staff site universitas negeri yogyakartastaff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/drs... ·...

71
KANDUNGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SERAT WEDHATAMA Oleh: Muchson AR Prodi Pendidikan Kewarganegaraan FISE UNY Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan saat ini hanya mengedepankan aspek keilmuan dan kecerdasan intelektual anak. Adapun pembentukan karakter dan budaya bangsa di dalam diri siswa semakin terpinggirkan. Rapuhnya karakter dan budaya dalam kehidupan bangsa dapat membawa kemunduran dalam peradaban bangsa. Sebaliknya, kehidupan masyarakat yang memiliki karakter dan budaya yang kuat akan semakin memperkuat eksistensi suatu bangsa dan negara. Persoalan itu mengemuka dalam Saresehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang diadakan Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta, Kamis 14 Januari 2010, yang dibuka oleh Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh. Sebenarnya dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah dirumuskan : ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta 1

Upload: others

Post on 26-Jan-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PAGE

KANDUNGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER

DALAM SERAT WEDHATAMA

Oleh: Muchson AR

Prodi Pendidikan Kewarganegaraan FISE UNY

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan saat ini hanya mengedepankan aspek keilmuan dan kecerdasan intelektual anak. Adapun pembentukan karakter dan budaya bangsa di dalam diri siswa semakin terpinggirkan. Rapuhnya karakter dan budaya dalam kehidupan bangsa dapat membawa kemunduran dalam peradaban bangsa. Sebaliknya, kehidupan masyarakat yang memiliki karakter dan budaya yang kuat akan semakin memperkuat eksistensi suatu bangsa dan negara. Persoalan itu mengemuka dalam Saresehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang diadakan Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta, Kamis 14 Januari 2010, yang dibuka oleh Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh.

Sebenarnya dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah dirumuskan : ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Akan tetapi dalam hal pembentukan watak (karakter), rumusan yang bersifat normatif tersebut tidak secara nyata diimplementasikan dalam kebijakan pendidikan maupun praktik persekolahan kita.

Berbagai kasus yang tidak sejalan dengan etika, moralitas, sopan santun atau peroilaku yang menunjukkan rendahnya karakter telah sedemikian marak dalam masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi, perilaku itu tidak sedikit ditunjukkan oleh orang-orang yang terdidik. Ini membuktikan bahwa pendidikan kurang berhasil dalam membentuk watak (karakter) yang terpuji. Dalam kondisi yang demikian, kiranya cukup relevan untuk diungkapkan kembali “paradigma lama” tentang pendidikan, yakni pendidikan sebagai pewarisan nilai-nilai. Warisan nilai-nilai budaya masa lalu itu tidak sedikit yang berisi nilai-nilai pendidikan karakter.

Persoalan yang muncul dalam wacana pendidikan karakter menyangkut banyak hal, antara lain aspek substansi-materi dan aspek pedagogi. Dengan kata lain, menyangkut ”apa” yang diajarkan dan ”bagaimana” mengajarkannya. Beberapa tahun yang lalu pernah dikeluarkan kebijakan menteri tentang pendidikan budi pekerti, yang arahnya tidak jauh berbeda dengan pendidikan karakter. Persoalan yang diramaikan saat itu justru tentang curriculum design, apakah dikembangkan berdasar konsep separated curriculum atau integrated curriculum. Maksudnya, apakah akan berdiri sebagai mata pelajaran tersendiri (terpisah) atau akan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang telah ada.

Substansi-materi pendidikan karakter yang utama pada dasarnya adalah nilai-nilai moral, baik yang bersifat universal maupun lokal kultural. Nilai-nilai moral itu dapat berasal dari ajaran agama, etika, adat istiadat, tradisi, dan ajaran-ajaran moral yang diwariskan melalui tradisi tutur maupun tertulis. Salah satu warisan naskah lama yang di dalamnya terkandung ajaran moral adalah Serat Wwdhatama, buku kumpulan tembang karya KGPAA Mangkunegara IV (1811-1881, naik tahta 1853).

Isi buku Serat Wwdhatama itu secara selintas cukup dikenal oleh berbagai kalangan, namun isi yang lebih dalam masih belum banyak diungkapkan. Pengungkapan isi yang lebih dalam itu antara lain tentang : profil buku Serat Wwdhatama dan sosok pengarangnya; nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam buku Serat Wwdhatama; dan sebagainya. Kandungan nilai-nilai moral itu sangat relevan untuk diteliti dan diungkapkan kembali dalam kondisi moralitas yang carut marut seperti sekarang ini. Nilai-nilai moral dalam Serat Wwdhatama itu dapat memberikan sumbangan dan menjadi tawaran alternatif bagi upaya perbaikan moralitas bangsa.

B. Identifikasi Masalah

Terdapat banyak masalah yang dapat diidentifikasi dalam kajian tentang kandungan nilai-nilai pendidikan karakter Serat Wedhatama. Berbagai masalah yang dapat diidentikasi di sini adalah :

1. Masih kurang dikenalnya Serat Wedhatama serta sosok pribadi KGPAA Mangkunegoro IV sebagai pengarangnya.

2. Masih kurangnya pengungkapan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam Serat Wedhatama.

3. Masih belum jelasnya makna nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam Serat Wedhatama.

4. Masih belum adanya pengklasifikasian nilai-nilai pendidikan karakter yang bersifat universal dan yang bersifat kultural dari kandungan Serat Wedhatama.

5. Masih belum diungkapkannya kondisi sosial budaya yang melatar-belakangi munculnya Serat Wedhatama.

C. Pertanyaan Penelitian

Dari beberapa masalah yang diidentifikasi tersebut, pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah buku Serat Wedhatama itu dan siapakah sosok pribadi KGPAA Mangkunegoro IV , pengarang buku tersebut?

2. Apa saja nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam Serat Wedhatama?

3. Apa makna nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam Serat Wedhatama?

D. Tujuan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analisis isi (content analysis). Sebagaimana dikemukakan Carney (1972) yang dikutip oleh Darmiyati Zuchdi (1993: 12), tujuan penelitian analisis isi dibedakan menjadi dua, yaitu : deskriptif dan inferensial. Sejalan dengan pendapat tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengenal buku Serat Wedhatama sosok pribadi KGPAA Mangkunegoro IV, pengarang buku tersebut.

2. Mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam Serat Wedhatama.

3. Mengungkapkan makna nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam Serat Wedhatama.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut.

1. Secara teoritis bermanfaat bagi upaya pengembangan konsep isi pendidikan karakter yang memuat ajaran-ajaran moral, yang antara lain bersumber dari sosio kultural bangsa Indonesia.

2. Secara praktis bermanfaat bagi para guru, pemuka masyarakat, pemimpin formal maupun warga masyarakat pada umumnya yang memerlukan acuan dalam internalisasi nilai-nilai moral guna pembentukan karakter.

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Pemahaman tentang Nilai

Sejak zaman Yunani Kuno, nilai sudah dibicarakan dalam kerangka filsafati. Nilai sudah ditempatkan dalam hirarkhi ide atau gagasan pemikiran. Ide tentang hakikat kebenaran, kebaikan, dan keindahan sudah menjadi objek pemikiran secara radikal (mendalam). Pada akhir abad ke-19 kajian tentang nilai semakin mantap menjadi salah satu bidang kajian filsafat yang disebut aksiologi (filsafat nilai). Persoalan aksiologi meliputi nilai logis (benar-salah), nilai etis (baik-buruk), dan nilai estetis (indah-tidak indah). Namun beberapa ahli, termasuk Fraenkel (1977: 6), mengatakan bahwa the study of values ussually is divided into the areas of aesthetics and ethics. Jadi, persoalan aksiologi hanya meliputi estetika dan etika. Dalam pembagian cabang-cabang filsafat, etika merupakan salah satu cabang filsafat yang membicarakan persoalan moral atau tingkah laku yang baik.

Nilai (value) adalah harga atau penghargaan yang melekat pada suatu objek. Fraenkel (1977: 6) mengatakan tentang nilai sebagai berikut.

a value is an idea –a concept- about what someone thinks is important in life. When a person values something, he or she deems it worthwhile –worth having, worth doing, or worth trying to obtain.

Seorang antropolog melihat nilai sebagai ‘harga’ yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan dan lain-lain. Menurut Kuperman (1983), seorang sosiolog, nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya. Menurut Gordon Allport (1964), ahli psikologi kepribadian, nilai adalah keyakinan yang mendorong tindakan dan pilihan seseorang. Dalam psikologi, keyakinan ditempatkan pada hierarki tertinggi di atas hasrat, motif, sikap, keinginan, dan kebutuhan (Rohmat Mulyana, 2004: 7-9).

Selain pengertian, pemahaman tentang nilai yang lebih pelik menyangkut kompleksitas nilai, baik mengenai macam-macam nilai, konflik nilai, hierarki nilai dan lain-lain. Adanya bermacam-macam nilai dapat menimbulkan dilema nilai atau bahkan konflik nilai. Konflik nilai dapat melibatkan antar individu dan dapat juga hanya terjadi dalam diri seorang individu. Fraenkel (1977: 9) mengatakan : ’value conflict may not only be interpersonal (between individuals), but also intra personal- within one person’. Dengan memahami hierarki nilai, maka ketika seeorang dihadapkan pada konflik nilai, yang kadang-kadang memaksanya untuk melakukan pilihan nilai, ia akan tahu nilai mana yang lebih tinggi tingkatannya.

Menurut Max Scheler, sebagaimana dikutip oleh Rohmat Mulyana (2004: 38-39), hierarki nilai dapat dikelompokkan ke dalam empat tingkatan, yaitu :

1. Nilai kenikmatan. Pada tingkatan ini terdapat sederetan nilai yang menyenangkan atau sebaliknya, yang kemudian orang merasa bahagia atau menderita.

2. Niliai kehidupan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan, misalnya kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum dan seterusnya.

3. Nilai kejiwaan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani atau lingkungan. Nilai-nilai semacam ini adalah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai melalui filsafat.

4. Nilai kerohanian. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang suci, yang lahir terutama dari nilai ketuhanan sebagai nilai tertinggi.

Hierarkhi nilai itu ditetapkan urutannya oleh Scheler dengan menggunakan empat kriteria, yaitu : semakin bertahan lama, semakin tinggi tingkatannya; semakin dapat dibagikan dengan tanpa mengurangi maknanya, semakin tinggi nilainya; semakin tidak tergantung pada nilai-nilai lain, semakin tinggi esensinya; semakin membahagiakan, semakin tinggi fungsinya.

Tentang macam-macam nilai, ada beberapa penggolongan, klasifikasi, atau kategori nilai, yang kadang-kadang tidak jelas dasar penggolongannnya. Notonagoro mengemukakan tiga macam nilai, yaitu (1) nilai material, (2) nilai vital, dan (3) nilai kerohanian yang meliputi (a) nilai kebenaran, (b) nilai keindahan, (c) nilai kebaikan, dan (c) nilai relegius, yang merupakan nilai tertinggi dan bersifat mutlak (Roestandi, 1988: 38-39). Ada yang menyebut klasifikasi nilai itu meliputi : nilai terminal dan nilai instrumental; nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik; nilai personal (pribadi) dan nilai sosial. Selain itu ada yang menyebut kategori nilai itu meliputi nilai teoritis, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama (Rohmat Mulyana, 2004: 25-35).

Jika mengacu pada term klasifikasi nilai, ada pula yang menyebut nilai fundamental, nilai instrumental, dan nilai praksis. Jika mengacu pada term kategori nilai, masih banyak macam yang belum disebut, antara lain nilai moral (etis), nilai historis, nilai sosiologis, nilai psikologis, nilai kultural dan sebagainya. Di antara bermacam-macam nilai yang telah dikemukakan, yang sangat tinggi nilainya (atau bahkan tak ternilai harganya) adalah nilai moral.

B. Pendidikan Moral Sebagai Inti Pendidikan Karakter

Kata ’moral’ sering disinonimkan dengan kata-kata : akhlak, budi pekerti, atau susila (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1989: 592). Poespoprodjo (1986: 102) menyatakan bahwa moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian baik-buruknya perbuatan manusia. Widjaja (1985: 154) mengatakan bawa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan atau kelakuan. Persoalan moral dalam pembahasan etika meliputi tata susila dan tata sopan santun. Tata susila mendorong orang untuk berbuat baik, karena hati nuraninya mengatakan baik. Dengan demikian nilai-nilai kesusilaan itu bersumber dari hati nurani manusia yang sifatnya universal. Adapun tata sopan santun mendorong untuk berbuat, terutama yang bersifat lahiriah, tidak bersumber dari hati nurani, melainkan untuk sekedar menghargai orang lain dalam pergaulan. Dengan demikian nilai-nilai kesopanan bersumber lingkungan sosial yang sifatnya kultural-kontekstual.

Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah moral sering dikacaukan dengan etika. Secara akademis, etika adalah filsafat moral atau setidak-tidaknya ilmu tentang moral. Dengan demikian etika itu berada pada wilayah teoritis, bukan berada pada wilayah praksis. Moral pun dapat berada pada wilayah teoritis, jika yang dimaksud adalah filsafat moral, ajaran moral, atau konsep moral, bukan perilaku atau sikap moral. Berbicara tentang etika, Musa Asya’ari (2002: 117-129) mengemukakan macam-macam etika yang meliputi : etika hubungan manusia dengan Tuhan, etika hubungan manusia dengan sesamanya, etika hubungan manusia dengan alam, dan etika hubungan manusia dengan ciptaannya.

Konsep moral yang bersumber dari berbagai literatur Barat perlu dikritisi, agar tidak menyesatkan. Pandangan Barat tentang moral berkembang seiring dengan sejarah perkembangan intelektual mereka. Lahirnya abad modern yang diawali dengan zaman renaisans dan disusul dengan zaman afklarung membawa perubahan besar dalam pemikiran manusia, bukan saja dalam pemikiran intelektual, namun juga dalam pemikiran moral. Pemikiran intelektual Barat yang membawa kemajuan luar biasa di bidang sain berbasis pada pandangan yang bersifat naturalistik-sekularistik, rasionalistik, empiris, relativistik, dan probabelistik. Basis pandangan tersebut juga mendasari pemikiran mereka tentang moral. Dalam pandangan modern, baik dan buruk itu merupakan persoalan duniawi, naturalistik, dan sekularistik semata. Baik dan buruknya suatu perbuatan didasarkan atas pertimbangan rasional dan kenyataan empirisnya. Jika secara rasional dianggap baik dan secara empiris terbukti baik, maka baik lah tindakan itu. Dengan demikian sifatnya relatif, tidak absolut, dan probabelistik, sehingga tidak ada kepastian moral. Anggapan yang bersifat relatif itu juga mempunyai konotasi bahwa moral itu bersifat kultural, kontekstual, bahkan kondisional dan individual. Dalam tradisi Timur, jika persoalan etis yang direlatifkan itu sebatas persoalan kesopanan, hal itu dapat diterima. Akan tetapi jika persoalan etis yang direlatifkan itu juga menyangkut kesusilaan, hal itu tentu harus ditolak (Muchson AR, 2000: 13-15).

Berbicara tentang pendidikan moral pada dasarnya menyangkut proses internalisasi nilai-nilai moral. Jika nilai-nilai moral itu berhasil diinternalisasikan dalam diri seseorang, maka nilai-nilai itu akan menjadi norma atau acuan hidup yang menuntun sikap dan tindakan seseorang. Pendidikan moral ini lah yang merupakan inti dan wajah utama pendidikan pada masa awal perkembangannya. Dengan demikian, jika orang berbicara tentang pendidikan, pendidik, orang yang terdidik, maka gambaran yang paling menonjol adalah aspek moralitas, kepribadian, karakter dan sebagainya. Pendidik dan orang yang terdidik dianggap identik dengan orang yang moralitasnya tinggi. Bahwa pendidikan moral merupakan inti pendidikan dikemukakan oleh Downey & Kelly (1978: 8) sebagai berikut.

From earleist times in educational theory and practice moral education has been seen as the very core of the educational process, and moral upbringing has been regarded, almost without question, as the central feature of education itself”.

Pandangan semacam itu sering dianggap tidak sejalan dengan paradigma pendidikan modern, yakni pendidikan untuk perubahan. Menurut pandangan modern, pendidikan yang fungsional adalah pendidikan yang mampu menjawab tantangan masa kini dan tantangan masa depan. Memang, paradigma pendidikan di masa lalu bukanlah pendidikan untuk perubahan, bahkan sebaliknya, yakni pendidikan untuk pewarisan dan pelestarian nilai-nilai. Durkheim, seorang ahli sosiologi moralitas menyebutnya sebagai the conservation of a culture inherited from the past (Bourdieu dalam Karabel and Halsey, 1977: 488). Meskipun paradigma pendidikan sebagai pewarisan dan pelestarian nilai-nilai itu dianggap kuno atau konservatif, namun pendidikan seperti itu sangat relevan untuk solusi perbaikan moralitas bangsa.

Di Amerika Serikat sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Kirschenbaum yang dikutip oleh Darmiyati Zuchdi (2001: 1-2), sejak sebelum tahun 1990 telah dikembangkan pendidikan moral yang bagus, untuk mengajarkan nilai-nilai tradisional, dengan dukungan para orang tua, pemuka agama, guru, dan politisi. Usaha itu guna mengatasai masalah minuman keras, kriminilitas, kekerasan, disintegrasi keluarga, meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri dan remaja putri yang mengandung, menurunnya tanggung jawab masyarakat, tumbuhnya pertentangan rasial dan etnis, serta tidak terkendalinya jumlah skandal pada tahun 1980-an.

Pendidikan moral atau internalisasi nilai-nilai moral inilah yang menjadi esensi dari pendidikan karakter (watak). Hakikat pendidikan karakter tidak lain adalah penanaman nilai-nilai moral, baik moral kesusilaan maupun kesopanan. Parkay and Stanford (1998: 280) mengemukakan kaitan antara pembelajaran nilai dan (penalaran) moral dengan pendidikan karakter sebagi berikut.

One approach to teaching values and moral reasoning is known as character education, a movement that stresses a development of students “good character”.

Yudi Latif menyatakan bahwa karakter mencerminkan kepribadian seseorang atau sekelompok orang yang terkait dengan basis moralitas, kekhasan kualitas, serta ketegaran dalam krisis. Ia merupakan jangkar jati diri karena merupakan aspek evaluatif yang menentukan sikap dasar manusia terhadap diri dan dunianya (Kompas, Selasa 9 Juni 2009). Karakter memang mencerminkan kepribadian yang berkaitan dengan moralitas, namun kualitas moralnya itu sedemikian khas, sehingga berbeda kualitas dengan orang lain atau kelompok masyarakat yang lain. Dengan kekhasan kualitas moralnya itu, misalnya sangat kuat atau di atas rata-rata, seseorang atau suatu kelompok masyarakat akan mampu tegar dalam menghadapi krisis. Sementara itu Edgar F Puryear Jr, sebagaimana dikutip oleh Kiki Syahnakri, menyatakan dalam American Generalship bahwa character is everything bagi seorang pemimpin. Pentingnya karakter dinyatakan dalam adagium klasik, “If the wealth is lost, nothing lost. If the health is lost, something is lost. If the character is lost, everything is lost” (Kompas, Selasa 2 Juni 2009).

Pendidikan karakter yang esensinya adalah internalisasi nilai-nilai moral termasuk dalam pengembangan domain afektif. Domain afektif berkaitan dengan aspek batiniah (the internal side) yang tidak dapat diamati, maka dalam pemahamannya sering ditemukan konsep yang tumpang-tindih. Domain afektif berhubungan dengan perasaan, emosi, rasa senang-tidak senang, apresiasi, sikap, nilai-nilai, moral, karakter dan lain-lain. Adanya tumpang-tindih konsep terlihat dalam pendapat Ringness (1975: 5) yang menyatakan sebagai berikut.

The affective domain includes all behavior connected with feelings and emotions. Thus, as was earlier stated, emotions, tastes and preferences, appreciations, attitudes and values, morals and character, and aspects of personality adjustment or mental health are included.

Proses internalisasi nilai-nilai moral ke dalam domain afektif meliputi beberapa jenjang dan jenjang afeksi yang paling dalam adalah karakterisasi (pembentukan karakter). Krathwohl dkk (1964) mengemukakan Taksonomi Domain Afektif yang cakupannya secara hirarkhis meliputi (1) Receiving, (2) Responding, (3) Valuing, (4) Organization, and (5) Characterization (Bloom, et al, 1981: 301-302; Ringness, 1975: 21). Dengan demikian, karakterisasi adalah proses internalisasi nilai yang telah mencapai tingkatan paling tinggi atau paling dalam. Penghayatan terhadap suatu nilai jika telah sampai pada tingkatan yang sangat dalam, maka nilai itu telah mengkarakter atau menjadi penanda khas kepribadian orang yang bersangkutan.

Internalisasi nilai-nilai moral ke dalam domain afektif siswa melalui jalur pendidikan formal bukan merupakan persoalan yang mudah. Persoalannya bukan semata-mata terletak pada persoalan pedagogis yang prosesnya memang rumit, tetapi lebih terkait dengan persoalan kebijakan dan implementasinya. Secara formal pengembangan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor sudah kerap kali dirumuskan dalam kebijakan pendidikan di Indonesia, setidak-tidaknya dalam kebijakan yang bersifat umum. Wacana tentang pengembangan kemampuan afektif juga sering disinggung dalam berbagai forum pendidikan. Namun kemudian, semua itu tidak jelas implementasinya. Dalam kenyataannya, kuatnya penekanan pada pengembangan kognitif dan lemahnya pengembangan afektif sangat mewarnai praktik-praktik pendidikan kita selama ini. Kenyataan ini sesuai dengan persoalan yang diangkat oleh Ringness (1975: 5) yang menyatakan sebagai berikut.

One finds affective behavior in any school situation –indeed, in any situation- but compared to cognitive learning, relatively little affective learning has been deliberately introduced into the curriculum.

Keseimbangan antara ketiga aspek tersebut sangat penting, setidak-tidaknya aspek kognitif dan afektif, guna membangun kepribadian yang lebih utuh. Berbagai ketimpangan sosial yang muncul selama ini, jika dirunut akar permasalahannya, sangat mungkin disebabkan karena ketidakseimbangan itu. William Chang dalam artikelnya yang berjudul Normalisasi Sosial menyatakan bahwa sebuah proses normalisasi sangat diperlukan karena seluruh globus sedang sakit dan mengalami great warning. Asas normalisasi sosial itu ditemukan dalam hati (heart) dan pikiran (head) setiap manusia yang berkehendak baik untuk mereformasi tatanan sosial yang menderita sakit melalui usaha terkecil dalam lingkup hidup masing-masing (Kompas, 22 Desember 2008).

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Langkah-Langkah Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analisis isi (content analysis), yakni penelitian yang berusaha mengungkapkan isi buku, naskah, dokumen dan lain-lain. Krippendorff (1980: 22) mengatakan bahwa analisis isi dapat dikarekterisasikan sebagai metode penelitian yang berusaha menangkap makna simbolik pesan-pesan. Makna simbolik pesan-pesan itu diungkapkan dari data yang ditemukan dalam buku, naskah, atau dokumen yang diteliti. Dalam penelitian ini, analisis isi dilakukan terhadap Serat Wedhatama, yang direproduksi dalam :

1. Buku Serat Wedotomo, yang ditulis oleh Anjar Any, Penerbit CV Aneka Ilmu, Semarang, tanpa tahun.

2. Buku Wedhatama Winardi, tanpa nama penulis, terbitan PT Citra Jaya Murti, Surabaya, tahun 1993.

Langkah-langkah penelitian analisis isi yang dilakukan menurut rancangan Krippendorff (1980: 61) meliputi :

1. Pengadaan data :

a. Unitisasi

b. Sampling

c. Pencatatan

2. Reduksi data

3. Penarikan inferensi

4. Analisis

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada rancangan tersebut, dengan sedikit penyesuaian. Sampling tidak dilakukan dalam penelitian ini karena setiap macam tembang (pupuh) tidak dapat mewakili populasi. Demikian pula setiap bait (pada) tidak dapat mewakili macam tembang (pupuh) tertentu. Dengan demikian, penelitian ini bukan merupakan penelitian sampel, melainkan penelitian populasi. Reduksi data dilakukan secara fleksibel pada setiap langkah penelitian, terutama ketika deskripsi data berlangsung. Penarikan inferensi diintegrasikan dalam langkah analisis, yakni ketika analisis inferensial. Langkah lain yang perlu dilakukan adalah validitas data, yang meskipun tidak dicantumkan dalam deskripsi langkah-langkah penelitian, namun oleh Krippendorff juga ditekankan pentingnya langkah tersebut (1980: 159-166). Langkah uji validitas data dilakukan mengiringi langkah analisis data. Dengan demikian langkah-langkah penelitian ini meliputi : pengadaan data, validitas data, dan analisis data.

B. Pengadaan Data

Darmiyati Zuchdi (1993: 14) mengatakan bahwa kelebihan penelitian analisis isi adalah telah tersedianya data yang akan dianalisis, sehingga tidak terkontaminasi oleh kesalahan prosedur pengumpulan data. Dalam penelitian ini data sudah tersedia di dalam kedua buku Serat Wedhatama tersebut. Data tersebut berupa kata-kata yang bernilai pendidikan karakter, yang tersebar di setiap macam tembang (pupuh), sehingga merupakan data yang tak terstruktur. Dalam proses pengumpulan data, oleh karena datanya sudah tersedia, maka kegiatan yang dilakukan adalah penentuan unit dan pencatatan.

1. Penentuan unit dalam penelitian ini meliputi unit referensi, unit sintaksis, dan unit tematik.

a. Unit referensi diberi batasan menurut objek, kejadian, pribadi, tindakan, negara, atau ide yang dirujuk oleh suatu ungkapan. Unit ini untuk menemukan profil-profil kelompok individu, seperti pahlawan, guru, atau suku (Krippendorff, 1980: 61). Dalam penelitian ini unit referensi dibatasi pada Serat Wedhatama sebagai sebuah ide dan Mangkunegara IV sebagai pribadi pengarangnya. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran profil Serat Wedhatama dan Mangkunegara IV.

b. Unit sintaksis berkaitan dengan tata bahasa dari suatu medium komunikasi. Unit ini tidak menghendaki judgement makna. Unit sintaksis yang paling kecil adalah kata (Krippendorff, 1980: 61). Unit yang lebih besar adalah frasa, kalimat, paragraf, dan wacana (Darmiyati Zuchdi, 1993: 30). Dalam penelitian ini, unit sintaksisnya adalah kata-kata yang bernilai pendidikan karakter yang tersebar di semua macam tembang (pupuh).

c. Unit tematik diidentifikasi berdasar definisi struktural isi. Unit tematik yang satu dengan yang lain dibedakan berdasarkan landasan konseptualnya (Krippendorff, 1980: 62). Dalam penelitian ini, unit tematiknya didasarkan pada konsep yang mengklasifikasikan nilai menjadi nilai pribadi dan nilai sosial (Rohmat Mulyana 2004: 30) serta konsep tentang macam-macam etika, yang meliputi : etika hubungan manusia dengan Tuhan, etika hubungan manusia dengan sesamanya, etika hubungan manusia dengan alam, dan etika hubungan manusia dengan ciptaannya (Musa Asya’ari, 2002: 117-129). Dengan mengadaptasi kedua landasan konseptual itu dikembangkan empat unit tematik, yaitu : tema etika pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dan etika khas Jawa. Struktur isi nilai-nilai pendidikan karakter dalam Serat Wedhatama terdiri dari empat unit tematik tersebut.

2. Pencatatan dilakukan terhadap semua kata yang bernilai pendidikan karakter yang tersebar di semua macam tembang (pupuh). Kata-kata yang bernilai pendidikan karakter tersebut tidak lain adalah kata-kata tentang moralitas atau budi pekerti. Semua kata itu dicatat dalam catatan unit sintaksis. Selanjutnya semua kata dalam catatan unit sintaksis itu dikelompokkan ke dalam unit-unit tematik yang relevan, yaitu tema etika pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dan etika khas kultural Jawa.

C. Validitas

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas semantik dan validitas prediktif. Validitas semantik dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan dalam mengartikan setiap kata yang telah dicatat dalam unit sintaksis. Data yang berupa kata-kata dalam Bahasa Jawa tersebut semua diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga dapat lebih diketahui apakah kata-kata itu bernilai pendidikan karakter atau tidak. Validitas prediktif dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan dalam memaknai secara mendalam (prediksi makna) kata-kata yang sudah dikelompokkan dalam unit tematik.

Untuk mendapatkan validitas semantik dan validitas prediktif digunakan rujukan buku atau tulisan tentang Bahasa Jawa, moralitas Jawa, dan falsafah Jawa.

D. Analisis

Sesuai dengan tujuan penelitian, analisis isi dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif dilakukan terhadap data kata-kata yang bernilai pendidikan karakter yang sudah dicatat dalam unit sintaksis. Dalam deskripsi itu data dideskripsikan menjadi dua kategori, yaitu karakter yang baik dan karakter yang buruk. Analisis inferensial atau pemaknaan dilakukan terhadap data kata-kata yang bernilai pendidikan karakter yang sudah dikonstruk ke dalam unit tematik.

Menurut Darmiyati Zuchdi (1993: 15; 23; 53), tidak ada aturan-aturan yang pasti untuk membuat inferensi. Namun yang perlu diperhatikan dalam inferensi adalah : (1) tidak mengurangi makna simboliknya, dan (2) menggunakan konstruk analisis yang menggambarkan konteks data. Dikemukakan pula, logika inferensi itu didasarkan pada suatu kerangka teoritis dan merupakan penuntun bagi peneliti dalam membuat kategori-kategori. Logika inferensi yang dikonstruk menjadi kategori-kategori itu merupakan standar untuk menganalisis data. Lebih lanjut ditegaskan bahwa inferensi dalam analisis isi bersifat kontekstual, sehingga peneliti tidak mungkin mengabaikan konteks, baik konteks tempat, waktu, dan situasi berlakunya suatu peritiwa.

Dalam penelitian ini, logika inferensi didasarkan pada kategori-kategori tema yang meliputi empat unit tematik, yaitu tema : etika pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Analisis inferensial dilakukan dengan memilah-milah nilai-nilai pendidikan karakter dalam Serat Wedhatama menjadi tiga kategori tersebut.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Serat Wedhatama dan Sosok Pengarangnya

Secara harfiah, Serat Wedhatama berasal dari kata-kata: serat yang berarti tulisan; wedha yang berarti ajaran atau ilmu pengetahuan; dan tama berasal dari kata utama yang berarti kebaikan. Jadi Serat Wedhatama berarti tulisan yang berisi tentang ajaran kebaikan atau tuntunan moral. Serat Wedhatama adalah karya sastra dalam bentuk tembang, sebagaimana dinyatakan pada bagian awal buku tersebut yang berbunyi: sinawung resmining kidung, yang artinya: dihias dengan indahnya lagu (tembang).

Tembang-tembang dalam Serat Wedhatama dikategorikan dalam jenis tembang macapat. Menurut Suwarno (2008: 4-7) dan Suwardi Endraswara (2006: 87), ada beberapa pendapat tentang pengertian tembang macapat. Pertama, tembang macapat dibaca per empat wanda (suku kata) untuk setiap penggalan. Penggalan terakhir jika tidak genap empat wanda dibaca sisa wanda yang ada. Contoh : bapak pocung/dudu watu/dudu gunung/ asal saka/ Plembang/; Ngon- ingone/sang bupati/yen lumampah/si pocung lem-/beyan grana. Dalam Serat Wulang Reh juga demikian, misalnya pada pupuh Pocung pada/bait 7 yang berbunyi : lamun bener/lan pinter pa-/momongipun/kang ginawe/ tuwa/haja nganggo/habot sisih/ dipun padha/ pamengkune/mring santana. Kedua, tembang macapat itu berasal dari kata maca cepet (cara membacanya dengan cepat). Akronimnya adalah macapet, namun dalam perkembangannya agar enak didengar menjadi macapat. Ketiga, tembang macapat termasuk jenis sekar (tembang) klasisifikasi empat. Klasifikasi satu adalah sekar ageng sapadaswara. Klasifikasi dua adalah sekar ageng sapadadirga. Klasifikasi tiga adalah sekar tengahan.

Menurut Suwarno (2008: 8-9), sebagian besar pendapat mengatakan bahwa tembang macapat terdiri dari 11 macam tembang. Sebagian ada yang mengatakan hanya 9 macam tembang, namun malah ada juga yang mengatakan 15 macam tembang. Macam-macam tembang tersebut adalah : (1) Mijil; (2) Kinanthi; (3) Sinom; (4) Asmaradana; (5) Dhandanggula; (6) Maskumambang; (7) Durma; (8) Pangkur; (9) Pocung; (10) Gambuh; (11) Megatruh; (12) Balabak; (13) Wirangrong; (14) Jurudemung; (15) Girisa.

Penamaan tembang-tembang tersebut menggambarkan tahap-tahap perkembangan hidup manusia. Kehidupan manusia dimulai dari lahir (mijil) dan dilanjutkan masa kanak-kanak yang masih dibimbing atau digandeng (kinanthi) orang tua. Selanjutnya tahapan masa muda (sinom) dan mengenal asmara (asmaradana). Pada tahapan selanjutnya orang merancang kehidupan yang baik, manis, indah, sejahtera (dandanggula). Pada perkembangan selanjutnya orang sudah memikirkan kebaikan atau keutamaan, namun belum mengendap (maskumambang). Perkembangan selanjutnya, orang memasuki masa tua, yang seharusnya sudah mundur dari ‘ma lima’ (durma). Tahapan selanjutnya ditandai dengan sikap yang menghindari (nyimpang) dan mengesampingkan atau membelakangi (mungkur) berbagai urusan duniawi (pangkur). Kehidupan manusia akan berakhir dengan kematian dan kemudian dikafani (pocung).

Tembang macapat dalam buku Serat Wedhatama, baik yang diterbitkan Penerbit CV Aneka Ilmu Semarang, ditulis oleh Anjar Any, (tanpa tahun) maupun Penerbit Citra Jaya Murti Surabaya, tanpa nama penulis, (1993) terdiri dari lima macam tembang (pupuh), yang keseluruhannya berjumlah 100 pada/bait . Susunan tembang kedua buku itu tidak diurutkan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan hidup manusia. Jumlah pada/bait setiap macam tembang pada kedua buku tersebut tidak ada perbedaan, sebagaimana terlihat pada tabel.

Tabel: Perbandingan Serat Wedhatama Terbitan

CV Aneka IlmuSemarang dengan PT Citra Jaya MurtiSurabaya

No

Nama Tembang

Jumlah pada/bait

Pnbt CV Aneka Ilmu

Semarang

Pnbt PT Citra Jaya Murti

Surabaya

1

Pangkur

14 (1-14)

14 (1-14)

2

Sinom

18 (15-32)

18 (15-32)

3

Pucung

16 (33-47)

16 (33-47)

4

Gambuh

34 (48-82)

34 (48-82)

5

Kinanthi

18 (83-100)

18 (83-100)

Serat Wedhatama pada umumnya dikenal sebagai buku tembang yang berisi ajaran moral karangan KGPAA Mangkunegara IV, dengan nama kecil Sudira, yang lahir pada 1811. Namun dalam buku Serat Wedhatama tulisan Anjar Any, terbitan CV Aneka Ilmu Semarang (hal. 21-23) dikemukakan kontroversi pengarang buku tersebut. Ada sebuah sumber yang menyatakan bahwa Wedhatama itu sebenarnya ditulis oleh satu team yang dipimpin oleh RT Padmodipuro, seorang bangsawan Mangkunegaran. Ada pula yang menyatakan bahwa buku tersebut ditulis oleh RM.Ng. Wiryokusumo. Sementara itu di Mangkunegaran saat ini masih tersimpan sebuah surat dari RMT Tondokusumo, cucu R.M.Ng. Wiryokusumo, tertanggal 10 April 1941, yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar pertanyaan kakaknya yang bernama KPH Suryokusumo kepada neneknya, yaitu R.Ay. Wiryokusumo. Jawaban yang diperoleh menyatakan bahwa KGPAA Mangkunegara IV adalah pengarang Serat Wedhatama. Beliau mempunyai beberapa orang murid untuk pengajaran Bahasa Kawi, yaitu BRMH Suryoputro, BRMH Suryohasmoro, BRM Suryodarmojo, RMH Tondokusumo, RM. Ng. Joyosaroso, RM. Ng. Cokrowijoyo, dan RM. Ng. Wiryokusumo. Mereka sering menerima batu tulis (sabak) dan oleh RM. Ng. Wiryokusumo, batu tulis yang sudah berisi tulisan itu dikumpulkan untuk diserahkan kembali kepada KGPAA Mangkunegara IV.

KGPAA Mangkunegara IV adalah cucu Mangkunegara II dari garis ibu dan saudara sepupu Mangkunegara III. Ia menjadi penguasa Mangkunegaran (1853-1881), sebuah kadipaten (kerajaan kecil) yang didirikan oleh KGPAA Mangkunegara I atau RM Said, yang juga terkenal dengan panggilan Pangeran Sambernyawa. Kadipaten itu didirikan berdasarkan Perjanjian Salatiga pada tahun 1757, dua tahun sesudah Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi dua (palihan nagari), yaitu Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Berdasar Perjanjian Salatiga itu wilayah kekuasaan Surakarta Hadiningrat dikurangi lagi oleh wilayah kekuasaan Mangkunegaran.

Sesudah berakhirnya palihan nagari dan sekaligus berakhirnya perang suksesi itu merupakan zaman renaisans, yang melahirkan pujangga-pujangga besar. Mereka adalah Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Masa kepujanggaan Surakarta itu berlangsung selama kurang lebih 120 tahun, dihitung sejak Perjanjian Salatiga 1757 hingga wafatnya Ranggawarsita pada 1873 atau mangkatnya Mangkunegara IV pada 1881 (Hasanu Simon, 2004: 515).

Mangkunegara IV telah menjalankan dua peran ganda yang kontradiktif, yaitu peran pemegang kekuasaan pemeritahan dan peran pujangga. Dua peran tersebut sulit dijalankan oleh sosok pribadi yang sama dalam kurun waktu yang bersamaan. Ini yang hanya mungkin dilakukan oleh seorang raja yang dalam terminologi Jawa disebut raja pinandhita (raja yang berwatak pendeta). Dalam dunia pewayangan, yang tidak lain merupakan dunia ide, sosok seperti itu ditemukan pada diri Begawan Abiyasa. Setelah lengser dari kedudukannya sebagai raja Hastina, ia kemudian menjadi seorang begawan di Pertapan Wukiratawu atau Pertapaan Sapta Arga.

B. Kandungan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Serat Wedhatama

Dalam tradisi sastra Jawa, buku-buku tembang pada umumnya berisi ajaran moral atau tuntunan budi pekerti yang luhur. Hal itu berbeda dengan gendhing-gending dolanan yang isinya lebih bersifat hiburan. Dalam konteks masa kini, keinginan untuk menjadikan nyanyian atau lagu-lagu agar berfungsi sebagai media pendidikan nilai masih sering mengemuka, tidak hanya dari kalangan pemikir dan praktisi pendidikan, namun juga dari sebagian artis penyanyi itu sendiri.

Franky Sahilatua, pelantun lagu Bis Kota, Kereta Malam, Orang Pinggiran, dan Perahu Retak itu mengatakan bahwa ia lebih suka berbicara tentang nilai-nilai dan realitas sosial. Ia berpesan kepada generasi muda yang bergelut di bidang seni musik agar mampu mengangkat tema-tema lagu yang sarat dengan nilai-nilai yang didasari pemahaman terhadap realitas sosial (Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi UII, “Mimpi Indah Masyarakat Etis” majalah Kognisia; No. 02 Tahun II, September 2000),

Persoalan nilai dan realiatas sosial yang timpang juga muncul dalam pikiran Bimbo, kelompok musikus yang melegenda. Ia mengemukakan kegelisahannya dalam melihat karut-marut negeri ini. Ia merasakan bangsa Indonesia saat ini sudah kehilangan rasa (roh) Indonesianya, yakni akhlak santun, budi pekerti, dan nuansa-nuansa filosofis, spiritual. Ada perubahan nilai, perubahan karakter pada bangsa ini, bahkan rasanya bangsa ini bukan bangsa Indonesia lagi (Kompas, Jumat 11 Sepember 2009).

Adapun kandungan nilai-nilai moral atau budi pekerti dalam buku tembang Serat Wedhatama itu tersebar di dalam lima pupuh tembang yang ada. Nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing tembang dapat dideskripsikan pada unit-unit tembang berikut ini.

1. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam tembang Pangkur

Bait ke 1. Dengan menjauhi sifat angkara murka (mingkar mingkur ing angkara), Sri Mangkunegara IV berkenan mendidik para putra, yang dirangkai dalam bentuk tembang (sinawung resmining kidung). Dalam hubungan ini, agama merupakan pegangan hidup yang berharga (agama ageming aji).

Bait ke 2. Petuah agar jangan menjadi orang yang lemah budinya. Sebab, jika lemah budinya dan tumpul perasaannya (yen tan mikani rasa), meskipun sudah tua, ia bagaikan sepah tebu dan ketika dalam pertemuan sering bertindak memalukan (gonyak-ganyuk nglelingsemi).

Bait ke 3-4. Petuah agar tidak bertindak semaunya sendiri (nggugu karepe priyangga). Sifatnya, jika berbicara tanpa dipikirkan lebih dahulu, tidak mau dianggap bodoh, dan mabuk pujian. Adapun perilaku orang yang dungu, bualannya tidak karuan dan tidak masuk akal (ngandhar-andhar angendhukur, kandhane nora kaprah). Namun bagi orang yang bijaksana, dengan cara yang halus (sinamun ing samudana) hal itu ditanggapi dengan baik (sesadon ing adu manis).

Bait ke 5. Ajaran tentang ilmu sejati, yang membuat nyaman di hati. Ilmu ini mengajarkan agar menerima dengan senang hati jika dianggap bodoh (bungah ingaran cubluk) dan tetap gembira jika dihina (sukeng tyas yen den ina). Tidak demikian halnya dengan si Dungu yang selalu sombong (anggung gumrunggung) dan ingin dipuji setiap hari (ugungan sedina-dina).

Bait ke 6-8. Petuah yang menggambarkan tentang hidup yang hanya sekali, namun berantakan (uripe sepisan rusak). Orang yang demikian, pikirannya tidak berkembang dan kacau (nora mulur nalare pating seluwir), ibarat dalam gua yang gelap (kadi ta guwa kang sirung), picik pengetahuannya, namun sombong. Anak yang demikian, jika menghadapi kesulitan, ia mengandalkan orang tuanya yang bangsawan (pelayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur). Wataknya tampak ketika bertutur kata, tak mau kalah (lumuh asor kudu unggul), sombong dan meremehkan orang lain (sumengah sesongaran).

Bait ke 9. Ajaran tentang keburukan ilmu karang (ilmu gaib, ilmu kekebalan, ilmu sihir). Ilmu tersebut diibaratkan bedak, tidak meresap ke dalam jiwa (iku boreh upaminipun, tan rumasuk ing jasad), dan jika menghadapi mara bahaya tidak dapat diandalkan.

Bait ke 10-11. Petuah agar berguru tentang kebaikan (puruita kang patut), serta dapat menempatkan diri (traping angganira) dan mematuhi tatanan negara (angger ugering keprabon). Juga agar berguru pada orang bijak yang berjiwa pertapa (sarjana kang martapi), untuk memahami ilmu yang hakiki, tidak harus kepada orang yang lebih tua, namun bisa juga kepada anak muda ataupun orang kebanyakan (tan mesthi neng janma wredha, tuwin mudha sudra).

Bait ke 12. Ajaran tentang sebutan “orang tua” (wong tuwa, wong sepuh).Dia adalah orang yang memahami wahyu Allah, menguasai ilmu kesempurnaan, serta memahami makna dwitunggal (roroning atunggil, yaitu makhluk dan Khalik, titah dan yang menitahkan). Orang disebut “orang tua” bila ia tidak dikuasai hawa nafsu (lire sepuh sepi hawa).

Bait ke 13-14. Ajaran tentang pemahaman terhadap sukma (roh, namun ada yang memaknai Tuhan) (tan samar pamoring sukma). Caranya dengan diresapi dan direnungkan di kala sepi (sinuksmaya winahya ing asepi), di simpan di lubuk hati (sinimpen telenging kalbu), dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar, bagaikan mimpi. Dalam kondisi demikian itu lah hadirnya rasa yang sejati. Jika mampu mencapainya, ia telah mendapatkan anugerah Tuhan. Ia mampu mencapai alam kosong (bali alaming ngasuwung), kembali ke asal mula (mulih mula mulanira), tidak mabuk dunia yang sifatnya kuasa-menguasai

2. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam tembang Sinom

Bait ke 15-18. Petuah agar meniru perilaku yang baik (laku utama), yang dicontohkan oleh Panembahan Senopati, raja Mataram (wong agung ing Ngeksiganda). Ia sungguh-sungguh dalam menekan hawa nafsu (kapati amarsudi sudaning hawa lan nefsu), yang dijalani dengan bertapa (pinesu tapa brata). Ia berusaha membuat senang hati orang lain dan dalam setiap pertemuan ia membuat suasana tenteram. Di kala tiada kesibukan ia berkelana mencari ilham (kala kalaningasepi lelana teki-teki), untuk mencapai cita-cita (nggayuh geyonganing kayun), yang terpesona pada ketenteraman hati (kayungyun eninging tyas), senantiasa menjalani prihatin, kuat dalam mengurangi makan dan tidur (puguh panggah cegah dhahar lawan nendra). Setiap pergi meninggalkan istana, ia berkelana ke tempat yang sunyi (lelana laladan sepi) untuk menyerap kesempurnaan ilmu agar jelas apa yang dituju. Tujuannya untuk mencapai kehalusan budi (budya tulus) dan kemampuan yang optimal (mesu reh kasudarman). Di tepi samodra (neng tepining jalanidhi), ia memahami kekuasaan samodra, yang seakan digenggamnya dalam satu genggaman.

Bait ke 19-21. Pada bait (pada) ini lebih banyak berisi mitos tentang hubungan Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul, kurang relevan dengan nilai-nilai pendidikan karakter.

Bait ke 22-24. Ajaran tentang corak keislaman yang tidak begitu islami. Hal itu tampak pada sindiran terhadap anak muda yang dianggap suka meniru Nabi (manulad nelad Nabi), hanya untuk pamer, sebelum bekerja singgah dahulu di masjid (saben seba mampir mesjid). Bagi pengarang, anak muda seperti itu hanya berkutat pada syariat dan tidak sampai pada hakikat (anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi). Bahkan terungkap sinisme, jika berkhotbah berirama Dandanggula gaya palaran (kalamun maca kotbah, lelagone Dandanggendis, swara arum ngumandang cengkok palaran). Ia menghendaki keislaman yang tidak mendalam (sathitihik bae wus cukup), jangan bersemangat meniru ahli fikih (nelad kas ngepleki pekih).

Bait ke 25-28. Ajaran yang cenderung pada pragmatisme, yaitu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi pengarang, dari pada mendalami agama, lebih baik mencari nafkah (ngupa boga). Berhubung ditakdirkan sebagai orang lemah, lebih baik mengabdi raja, bertani, atau berdagang (suwiteng nata, tani tanapi agrami). Dengan nada sarkastis terhadap diri sendiri, ia memberi alasan “ini karena saya orang bodoh, belum tahu cara hidup orang Arab” (padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab). Ia pernah menghadapi dilema, antara mengutamakan perintah agama atau pekerjaan (bot Allah apa Gusti, tambuh-tambuh solah ingsun). Pada masa mudanya ia rajin beribadah dan dalam hatinya ada perasaan takut menghadapi hari akhir (sawadine tyas mami, banget wedine ing mbesuk, pranatan ngakir jaman). Akan tetapi hal itu terhenti, karena alasan pekerjaan. Tidak sempat sembahyang, karena ketika dipanggil yang memberi makan, jika tidak segera menghadap akan dimarahi (nora kober sembahyang, gya tinimbalan, marang ingkang asung pangan, yen kesuwen den dukani).

Bait ke 29. Petuah tentang tiga nilai yang mengangkat kedudukan manusia, yaitu pangkat, harta, dan kepintaran (wirya harta tri winasis). Jika seseorang tidak memiliki satu pun di antara ketiganya, maka tidak ada artinya sebagai manusia, bahkan lebih berharga daun jati kering, sehingga ia menjadi peminta-minta atau gelandangan (kalamun kongsi sepi saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman, ngulandara).

Bait ke 30-32. Ajaran tentang samadi atau meditasi, sehingga seseorang mampu melihat hakikat pribadinya sendiri secara jelas (wosing jiwangga melok tanpa aling-aling), serta menerawang keadaan yang seakan tanpa batas (angelangut tanpa tepi). Demikian itu manusia yang luhur, gemar menyepi (tuman tumanem ing sepi), mempertajam dan membersihkan jiwa (masah amemasuh budi), namun secara lahiriah tetap menjalankan tugas kewajibannya, bersikap rendah hati, dan senantiasa membuat senang hati orang lain.

3. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam tembang Pucung

Bait ke 33-34. Ajaran bahwa ilmu itu dapat tercapai dengan diamalkan (ngelmu iku kelakone kanthi laku), yang dimulai dengan kemauan kuat. Adapun budi yang baik akan mampu menghancurkan nafsu angkara yang berada di dalam diri manusia itu sendiri.

Bait ke 35-37. Ajaran bahwa orang yang terpesona pada kehidupan ruhani (wus sengsem reh ngasamun), bersifat pemaaf dan sabar. Dalam sunyi, hati yang jahat dapat ditenggelamkan oleh cinta kasih (karana karoban ing sih).

Bait ke 38-41. Pandangan yang bernada sarkastis terhadap praktik keislaman kalangan muda, dengan ucapan: belum mampu tetapi berani memaknai lafadz seperti sayid dari Mesir (durung pecus keselak besus, amaknani rapal kaya sayid seka Mesir), aneh, tidak suka ke-Jawa-annya, memaksa diri mencari pengetahuan di Mekah (elok Jawane den mohi, paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekah). Sedangkan inti pengetahuan yang dicari itu ada pada diri sendiri. Asal mau berikhtiar, di sana dan di sini (Jawa) tidak berbeda.

Bait ke 42. Pandangan bahwa ilmu itu harus sejalan dengan nalar (logika) (ngelmu iku mupakate lan panemu) dan untuk mencapainya dengan bertapa (pasahe lan tapa).

Bait ke 43. Ajaran tentang tiga hal yang perlu dijadikan pegangan, yaitu: rela jika kehilangan sesuatu, menerima dengan sabar jika mendapat perlakuan yang menyakitkan hati, ikhas menyerahkan diri pada Tuhan (lila lamun kelangan nora gegetun, trima lamun ketaman saserik sameng dumadi, legawa nalangsa srah ing bathara).

Bait ke 44. Pandangan sepintas tentang teologi yang bersifat mistis, kurang relevan dengan nilai-nilai pendidikan karakter.

Bait ke 45-47. Petuah tentang sifat-sifat angkara, yang kesukaannya mencaci maki tanpa isi, asalkan marah-marah (kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung janjine muring-muring), kesalahannya sendiri ditutupi, kemarahannya dilampiaskan untuk memukul orang lain, belum seberapa ilmunya namun ingin dianggap pandai, itupun sering terhalang oleh pamrih.

4. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam tembang Gambuh

Bait ke 48. Ajaran tentang empat macam sembah (sembah catur), yaitu sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa.

Bait ke 49-57. Ajaran sembah raga yang dianggap sebagai tahapan akan memulai perjalanan (semacam thariqat) (amagang laku). Pembersihannya dengan air sebagaimana bersuci sebelum shalat lima kali sehari (sesucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu). Pada tahapan ini, orang tergesa-gesa ingin melihat cahaya Tuhan (kesusu arsa weruh, pan cahyaning Hyang), tetapi belum mampu. Tahapan ini disebut syariat, ritualnya dilakukan dengan tetap dan tekun.

Bait ke 56-62. Ajaran sembah kalbu (cipta) yang jika dilakukan secara terus-menerus akan menjadi ritual (laku). Pembersihannya tanpa air, melainkan dengan mengendalikan hawa nafsu (sesucine tanpa banyu, hamung nyuda mring hardaning kalbu). Jika dilakukan dengan baik, orang akan berada pada suasana batin yang remang-remang atau sayup-sayup (tumalawung) dan terbukanya alam yang di atas. Pada tahapan ini syaratnya adalah sabar dalam segala tindakan dan terlaksananya dengan tenang, jernih, dan sadar (eneng, ening, eling).

Bait ke 63-69. Ajaran sembah sukma, yaitu sembah yang dilakukan setiap saat dan merupakan perjalanan (ritual) terakhir (pepuntoning laku). Pembersihannya dengan waspada dan ingat (sadar) (awas, emut). Pemeliharaannya dengan membiasakan diri untuk menguasai dan merangkul tiga alam (yang dimaksud adalah: alam fisik, alam rasa, dan alam angan-angan). Selain itu, makrokosmos (jagad agung) digulung ke dalam mikrokosmos (jagad alit).

Bait ke 70-72. Ajaran sembah rasa, yang dengan sembah ini akan mampu memahami hakikat (makna terdalam) dari kehidupan (sembah rasa karasa wosing dumadi). Tercapainya tanpa petunjuk, hanya dengan kesentausaan batin. Di sini tidak ada lagi was-was dan keragu-raguan, hanya percaya sepenuhnya pada takdir (wus ilang sumelanging kalbu, amung kandel kumandel ing takdir). Dipesankan agar jika belum mampu sampai pada tahapan ini jangan mengaku telah mampu, sebab akan mendapat laknat.

Bait ke 73. Untuk melaksanakan petuah-petuah dalam tembang ini, orang harus sentausa dan teguh budinya. Demikian pula harus sabar, tawakal, ikhlas di hati, rela dan menerima segala keadaan, berjiwa pandhita, dan paham terhadap akhir dari hidup ini.

Bait ke 74. Petuah agar segala tindak-tanduk dikerjakan sekedarnya (tidak berlebihan), memberi maaf kesalahan orang kain (den ngaksama kasisipaning sesami), menghindari tindakan tercela dan sifat angkara (sumimpanga ing laku dur).

Bait ke 75. Petuah agar orang mampu membedakan antara baik dan buruk, agar terpancar pelita yang menerangi hati (pandaming kalbu).

Bait ke 76-82. Lebih banyak berisi pandangan yang bersifat mistis tentang rasa dan wujud (endi manis, endi madu) dan ajaran-ajaran lain yang kurang relevan dengan nilai-nilai pendidikan karakter.

5. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam tembang Kinanthi

Bait ke 83. Petuah agar dalam hidupnya, orang berbekal ingat dan waspada (eling lan waspada; awas lan eling). Ingat yang dimaksud adalah ingat pada petunjuk atau contoh pelajaran yang diberikan oleh alam (eling lukitaning alam).

Bait ke 84. Petuah agar mempertajam perasaan (angulah lantiping ati) dan menyingkirkan hawa nafsu agar menjadi manusia yang berbudi luhur (bengkas kahardaning driya, supaya dadya utami).

Bait ke 85. Ajaran tentang cara mempertajam hati, yaitu dengan samadi di tempat yang sunyi (pangasahe sepi samun). Ketajamannya dapat mengikis gunung penghalang, yang menjadi penghalangnya budi (bengkas kahardaning driya, kekes srabedaning budi).

Bait ke 86-88. Petuah agar waspada, artinya mengetahui penghalang dalam hidup (wruh warananing urip). Juga agar tidak lengah dalam hati (aywa sembrana ing kalbu) dan memperhatikan pada kata-kata yang diucapkan sendiri, menghilangkan keraguan dalam hati, dan waspada dalam memandang sesuatu (waspada ing pangeksi).

Bait 88-90. Petuah agar tidak membiasakan diri berbuat nista (awya mematuh nalutuh), hati-hati terhadap berbagai rintangan dalam hidup. Umpama orang berjalan, jalan yang berbahaya dilalui, apabila kurang waspad, dapat tertusuk duri (sayekti kasandung ri) atau terantuk batu.

Bait 91-93. Petuah agar tidak seperti diibaratkan ‘berobat sesudah terluka’ (atetamba yen wus bucik). Yang demikian itu, meskipun orang mempunyai pengetahuan, tetapi tidak ada gunanya, sehingga pengetahuannya hanya untuk mencari nafkah dan pamrih (kawruhe kinarya ngupaya kasil lan melik).

Bait ke 94. Ajaran bahwa syarat menjalani ilmu sejati (lakune ngelmu sejati) adalah tidak iri dan dengki (tan dahwen pati openan), tidak berhati panas (tan panasten), tidak mengganggu orang lain (nora jail), tidak melampiaskan hawa nafsu (tan njurung ing kahardan), namun hanyalah diam agar tenang (amung eneng amrih ening).

Bait ke 95-98. Ajaran bahwa budi yang baik itu biasanya pandai bergaul dengan berbagai kalangan (bangkit ajur ajer). Meskipun pengetahuannya yang benar berbeda dengan pendapat orang lain, ia bersikap baik, sekedar untuk menyenangkan hati orang lain (mung ngenaki tyasing lyan). Oleh karena itu hendaknya dapat berpura-pura bodoh (den bisa mbusuki ujaring janmi).

Bait ke 99-100. Petuah agar mengikuti kebaikan-kebaikan yang telah diajarkan itu sebagai langkah mencapai kemuliaan. Meskipun tidak mampu untuk persis, tetapi harus ikhtiar semampunya. Jika tidak demikian berarti sungguh rugi hidup ini (yekti tuna tinitah).

C. Makna Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Serat Wedhatama

Sesuai dengan metode penelitian, inferensi atau pemaknaan nilai-nilai pendidikan karakter dalam Serat Wedhatama dikelompokkan ke dalam unit-unit tematik, yang dikonstruk menjadi tema-tema : etika pribadi, etika sosial, dan etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam inferensi atau pemaknaan ini juga dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu, baik yang bersifat historis, sosiologis, maupun kultural.

1. Etika Pribadi

Kandungan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkait dengan etika pribadi adalah beberapa ajaran atau petuah sebagai berikut:

a. Jangan menjadi orang yang lemah budinya dan tumpul perasaannya (tan mikani rasa), sebab orang yang lemah budinya dan tumpul perasaannya, meskipun sudah tua, ia bagaikan sepah tebu dan ketika dalam pertemuan sering bertindak memalukan (gonyak-ganyuk nglelingsemi) (Pangkur bait ke 2).

b. Sebaiknya mempelajari ilmu sejati, yang membuat nyaman di hati. Ilmu ini mengajarkan agar menerima dengan senang hati jika dianggap bodoh (bungah ingaran cubluk) dan tetap gembira jika dihina (sukeng tyas yen den ina) (Pangkur bait ke 5).

c. Hidup yang hanya sekali ini jangan sampai berantakan (uripe sepisan rusak). Orang yang demikian, pikirannya tidak berkembang dan kacau (nora mulur nalare pating seluwir), ibarat dalam gua yang gelap (kadi ta guwa kang sirung), picik pengetahuannya, namun sombong. Anak yang demikian, jika menghadapi kesulitan, ia mengandalkan orang tuanya yang bangsawan (pelayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur) (Pangkur bait ke 6-8).

d. Petuah agar berguru tentang kebaikan (puruita kang patut), Juga agar berguru pada orang bijak yang berjiwa pertapa (sarjana kang martapi), untuk memahami ilmu yang hakiki (Pangkur bait ke 10-11).

e. Petuah agar meniru perilaku yang baik (laku utama), yang dicontohkan oleh Panembahan Senopati, raja Mataram (wong agung ing Ngeksiganda). Ia sungguh-sungguh dalam menekan hawa nafsu (kapati amarsudi sudaning hawa lan nefsu), yang dijalani dengan bertapa (pinesu tapa brata). Ia berusaha membuat senang hati orang lain dan dalam setiap pertemuan ia membuat suasana tenteram. Di kala tiada kesibukan ia berkelana mencari ilham (kala kalaningasepi lelana teki-teki), untuk mencapai cita-cita (nggayuh geyonganing kayun), yang terpesona pada ketenteraman hati (kayungyun eninging tyas), senantiasa menjalani prihatin, kuat dalam mengurangi makan dan tidur (puguh panggah cegah dhahar lawan nendra). Setiap pergi meninggalkan istana, ia berkelana ke tempat yang sunyi (lelana laladan sepi) untuk menyerap kesempurnaan ilmu agar jelas apa yang dituju. Tujuannya untuk mencapai kehalusan budi (budya tulus) dan kemampuan yang optimal (mesu reh kasudarman). Di tepi samodra (neng tepining jalanidhi), ia memahami kekuasaan samodra, yang seakan digenggamnya dalam satu genggaman. (Sinom bait ke 15-18).

f. Petuah tentang tiga nilai yang mengangkat kedudukan manusia, yaitu pangkat, harta, dan kepintaran (wirya harta tri winasis). Jika seseorang tidak memiliki satu pun di antara ketiganya, maka tidak ada artinya sebagai manusia, bahkan lebih berharga daun jati kering, sehingga ia menjadi peminta-minta atau gelandangan (kalamun kongsi sepi saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman, ngulandara). (Sinom bait ke 29).

g. Ajaran bahwa ilmu itu dapat tercapai dengan diamalkan (ngelmu iku kelakone kanthi laku), yang dimulai dengan kemauan kuat. Adapun budi yang baik akan mampu menghancurkan nafsu angkara yang berada di dalam diri manusia itu sendiri (Pucung bait ke 33-34).

h. Ajaran bahwa orang yang terpesona pada kehidupan ruhani (wus sengsem reh ngasamun), bersifat pemaaf dan sabar. Dalam sunyi, hati yang jahat dapat ditenggelamkan oleh cinta kasih (karana karoban ing sih) (Sinom bait ke 35-37).

i. Pandangan bahwa ilmu itu harus sejalan dengan nalar (logika) (ngelmu iku mupakate lan panemu) dan untuk mencapainya dengan bertapa (pasahe lan tapa). (Sinom bait ke 42).

j. Ajaran tentang tiga hal yang perlu dijadikan pegangan, yaitu: rela jika kehilangan sesuatu, menerima dengan sabar jika mendapat perlakuan yang menyakitkan hati, ikhas menyerahkan diri pada Tuhan (lila lamun kelangan nora gegetun, trima lamun ketaman saserik sameng dumadi, legawa nalangsa srah ing bathara) (Sinom bait ke 43).

k. Petuah tentang sifat-sifat angkara, yang kesukaannya mencaci maki tanpa isi, asalkan marah-marah (kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung janjine muring-muring), kesalahannya sendiri ditutupi, kemarahannya dilampiaskan untuk memukul orang lain, belum seberapa ilmunya namun ingin dianggap pandai, itupun sering terhalang oleh pamrih (Sinom bait ke 15-18).

l. Untuk melaksanakan petuah-petuah dalam tembang ini, orang harus sentausa dan teguh budinya. Demikian pula harus sabar, tawakal, ikhlas di hati, rela dan menerima segala keadaan, berjiwa pandhita, dan paham terhadap akhir dari hidup ini (Gambuh bait ke 73).

m. Petuah agar segala tindak-tanduk dikerjakan sekedarnya (tidak berlebihan), memberi maaf kesalahan orang kain (den ngaksama kasisipaning sesami), menghindari tindakan tercela dan sifat angkara (sumimpanga ing laku dur) (Gambuh bait ke 74).

n. Petuah agar orang mampu membedakan antara baik dan buruk, agar terpancar pelita yang menerangi hati (pandaming kalbu) (Gambuh bait ke 75).

o. Petuah agar dalam hidupnya, orang berbekal ingat dan waspada (eling lan waspada; awas lan eling). Ingat yang dimaksud adalah ingat pada petunjuk atau contoh pelajaran yang diberikan oleh alam (eling lukitaning alam) (Kinanthi bait ke 83).

p. Petuah agar mempertajam perasaan (angulah lantiping ati) dan menyingkirkan hawa nafsu agar menjadi manusia yang berbudi luhur (bengkas kahardaning driya, supaya dadya utami) (Kinanthi bait ke 84).

q. Ajaran tentang cara mempertajam hati, yaitu dengan samadi di tempat yang sunyi (pangasahe sepi samun). Ketajamannya dapat mengikis gunung penghalang, yang menjadi penghalangnya budi (bengkas kahardaning driya, kekes srabedaning budi) (Kinanthi bait ke 85).

r. Petuah agar waspada, artinya mengetahui penghalang dalam hidup (wruh warananing urip). Juga agar tidak lengah dalam hati (aywa sembrana ing kalbu) dan memperhatikan pada kata-kata yang diucapkan sendiri, menghilangkan keraguan dalam hati, dan waspada dalam memandang sesuatu (waspada ing pangeksi) (Kinanthi bait ke 86-88).

s. Petuah agar tidak membiasakan diri berbuat nista (awya mematuh nalutuh), hati-hati terhadap berbagai rintangan dalam hidup. Umpama orang berjalan, jalan yang berbahaya dilalui, apabila kurang waspad, dapat tertusuk duri (sayekti kasandung ri) atau terantuk batu (Kinanthi bait ke 88-90).

t. Petuah agar tidak seperti diibaratkan ‘berobat sesudah terluka’ (atetamba yen wus bucik). Yang demikian itu, meskipun orang mempunyai pengetahuan, tetapi tidak ada gunanya, sehingga pengetahuannya hanya untuk mencari nafkah dan pamrih (kawruhe kinarya ngupaya kasil lan melik) (Kinanthi bait ke 91-93).

u. Ajaran bahwa syarat menjalani ilmu sejati (lakune ngelmu sejati) adalah tidak iri dan dengki (tan dahwen pati openan), tidak berhati panas (tan panasten), tidak mengganggu orang lain (nora jail), tidak melampiaskan hawa nafsu (tan njurung ing kahardan), namun hanyalah diam agar tenang (amung eneng amrih ening) (Kinanthi bait ke 94).

v. Petuah agar mengikuti kebaikan-kebaikan yang telah diajarkan itu sebagai langkah mencapai kemuliaan. Meskipun tidak mampu untuk persis, tetapi harus ikhtiar semampunya. Jika tidak demikian berarti sungguh rugi hidup ini (yekti tuna tinitah) (Kinanthi bait ke 99-100).

Berdasar uraian tersebut tampak bahwa Serat Wedhatama menekankan pentingnya pendidikan bagi setiap orang. Sebagaimana ajaran-ajaran dalam kultur Jawa, termasuk dalam Serat Wulang Reh, pendidikan yang dimaksud lebih menekankan pada pengembangan hati, rasa, emosionalitas, atau bahkan spiritualitas. Hal itu terungkap pada pesan agar: mempertajam perasaan (angulah lantiping ati), menyingkirkan hawa nafsu agar menjadi manusia yang berbudi luhur (bengkas kahardaning driya, supaya dadya utami), dan jangan menjadi orang yang lemah budinya dan tumpul perasaannya (tan mikani rasa). Serat Wedhatama memberi pujian pada orang yang terpesona pada kehidupan ruhani (wus sengsem reh ngasamun), yang sifatnya pemaaf dan sabar. Sebagaimana ajaran Serat Wulang Reh, pengembangan hati, rasa, emosionalitas, atau bahkan spiritualitas itu akan menghasilan ‘ilmu sejati’, yang membuat nyaman di hati. Orang yang telah memiliki ilmu ini akan menerima dengan senang hati jika dianggap bodoh (bungah ingaran cubluk) dan tetap gembira jika dihina (sukeng tyas yen den ina).

Namun demikian, Serat Wedhatama juga menekankan pentingnya pengembangan akal, pikiran, rasionalitas, atau intelektualitas. Hal itu terungkap pada pesan agar: jangan sampai hidup yang hanya sekali ini berantakan (uripe sepisan rusak), yaitu orang yang pikirannya tidak berkembang dan kacau (nora mulur nalare pating seluwir), ibarat dalam gua yang gelap (kadi ta guwa kang sirung), sehingga picik pengetahuannya. Pandangan bahwa ilmu itu harus sejalan dengan pendapat akal sehat (nalar, logika) (ngelmu iku mupakate lan panemu).

Tentang etos belajar (menuntut ilmu), terutama “ilmu sejati’ yaitu dengan samadi di tempat yang sunyi (pangasahe sepi samun) atau dengan bertapa (pasahe lan tapa). Dalam sunyi, hati yang jahat dapat ditenggelamkan oleh cinta kasih (karana karoban ing sih) Oleh karena itu, pencapaian ilmu itu harus dijalani dengan suatu proses (ngelmu iku kelakone kanthi laku) dan dimulai dengan kemauan kuat (lekase klawan kas). Syarat untuk menjalani ilmu sejati (lakune ngelmu sejati) adalah tidak iri dan dengki (tan dahwen pati openan), tidak berhati panas (tan panasten), tidak mengganggu orang lain (nora jail), tidak melampiaskan hawa nafsu (tan njurung ing kahardan), tetapi lebih menyukai diam agar tenang (amung eneng amrih ening). Untuk itu dianjurkan agar berguru pada orang bijak yang berjiwa pertapa (sarjana kang martapi). Orang hendaknya tidak menggunakan pengetahuannya semata-mata hanya untuk mencari nafkah dan pamrih (kawruhe kinarya ngupaya kasil lan melik).

Serat Wedhatama mengajarkan tiga hal yang perlu dijadikan pegangan, yaitu: rela jika kehilangan sesuatu (lila lamun kelangan nora gegetun), menerima dengan sabar jika mendapat perlakuan yang menyakitkan hati (trima lamun ketaman saserik sameng dumadi), ikhas menyerahkan diri pada Tuhan (legawa nalangsa srah ing bathara).

Serat Wedhatama mengajarkan tiga nilai yang mengangkat kedudukan manusia, yaitu pangkat, harta, dan kepintaran (wirya harta tri winasis). Jika seseorang tidak memiliki satu pun di antara ketiganya, maka tidak ada artinya sebagai manusia, bahkan lebih berharga daun jati kering, sehingga ia menjadi peminta-minta atau gelandangan (kalamun kongsi sepi saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman, ngulandara).

Serat Wedhatama mengajarkan agar dalam hidupnya, orang berbekal ingat dan waspada (eling lan waspada; awas lan eling). Ingat yang dimaksud adalah ingat pada petunjuk atau pelajaran yang diberikan oleh alam (eling lukitaning alam). Adapaun maksud waspada adalah mengetahui penghalang dalam hidup (wruh warananing urip), tidak lengah dalam hati (aywa sembrana ing kalbu) dan memperhatikan pada kata-kata yang diucapkan sendiri, menghilangkan keraguan dalam hati, dan waspada dalam memandang sesuatu (waspada ing pangeksi). Orang jangan sampai diibaratkan ‘berobat sesudah terluka’ (atetamba yen wus bucik). Yang demikian itu, meskipun orang mempunyai pengetahuan, tetapi tidak ada gunanya.

Serat Wedhatama mengajarkan agar segala tindak-tanduknya tidak berlebihan, memberi maaf kesalahan orang kain (den ngaksama kasisipaning sesami), menghindari tindakan tercela dan sifat angkara (sumimpanga ing laku dur). Orang juga harus mampu membedakan antara baik dan buruk, agar terpancar pelita yang menerangi hati (pandaming kalbu). Juga dipesankan agar orang mengikuti kebaikan-kebaikan yang telah diajarkan dalam buku itu sebagai langkah mencapai kemuliaan. Meskipun tidak mampu untuk persis, tetapi harus berikhtiar semampunya. Jika tidak demikian berarti sungguh rugi hidup ini (yekti tuna tinitah).

Serat Wedhatama mengajarkan agar orang menghindari sifat-sifat angkara dan perbuatan nista (awya mematuh nalutuh). Sifat angkara itu suka mencaci maki tanpa isi, asalkan marah-marah (kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung janjine muring-muring) dan kemarahannya dilampiaskan untuk memukul orang lain.

Serat Wedhatama memberikan contoh sosok Panembahan Senopati, raja Mataram pertama (wong agung ing Ngeksiganda), sebagai modeliing dalam pendidikan karakter dan tingkah laku yang terpuji (laku utama). Bait ini cukup populer di kalangan masyarakat Jawa. Panembahan Senopati digambarkan sebagai pribadi yang sungguh-sungguh dalam menekan hawa nafsu (kapati amarsudi sudaning hawa lan nefsu), yang dijalani dengan bertapa (pinesu tapa brata). Ia berusaha membuat senang hati orang lain dan dalam setiap pertemuan ia membuat suasana tenteram. Di kala tiada kesibukan ia berkelana mencari ilham (kala kalaningasepi lelana teki-teki), untuk mencapai cita-cita (nggayuh geyonganing kayun), yang terpesona pada ketenteraman hati (kayungyun eninging tyas), senantiasa menjalani prihatin, kuat dalam mengurangi makan dan tidur (puguh panggah cegah dhahar lawan nendra). Setiap pergi meninggalkan istana, ia berkelana ke tempat yang sunyi (lelana laladan sepi) untuk menyerap kesempurnaan ilmu agar jelas apa yang dituju. Tujuannya untuk mencapai kehalusan budi (budya tulus) dan kemampuan yang optimal (mesu reh kasudarman). Di tepi samodra (neng tepining jalanidhi), ia memahami kekuatan samodra, yang baginya seakan digenggamnya dalam satu genggaman.

2. Etika Sosial

Kandungan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkait dengan etika sosial adalah beberapa ajaran atau petuah sebagai berikut:

a. Jangan sampai bertindak kurang sopan santun dalam pertemuan, sehingga memalukan (gonyak-ganyuk nglelingsemi) (Pangkur bait ke 2).

b. Jangan bertindak semaunya sendiri (nggugu karepe priyangga). Sifatnya, jika berbicara tanpa dipikirkan lebih dahulu, tidak mau dianggap bodoh, dan mabuk pujian (Pangkur bait ke 3-4).

c. Jangan berperilaku seperti perilakunya orang yang dungu, yang bualannya tidak karuan dan tidak masuk akal (ngandhar-andhar angendhukur, kandhane nora kaprah). Orang yang dungu itu selalu sombong (anggung gumrunggung) dan ingin dipuji setiap hari (ugungan sedina-dina) Sebaliknya, jadilah orang yang bijaksana, yang dalam menanggapi orang yang dungu dengan cara yang halus (sinamun ing samudana) dan baik (sesadon ing adu manis) (Pangkur bait ke 3-5).

d. namun berantakan (uripe sepisan rusak). Orang yang demikian, pikirannya tidak berkembang dan kacau (nora mulur nalare pating seluwir), ibarat dalam gua yang gelap (kadi ta guwa kang sirung), picik pengetahuannya, namun sombong. Anak yang demikian, wataknya tampak ketika bertutur kata, tak mau kalah (lumuh asor kudu unggul), sombong dan meremehkan orang lain (sumengah sesongaran).(Pangkur bait ke 6-8)

e. Petuah agar berguru tentang kebaikan (puruita kang patut), serta dapat menempatkan diri (traping angganira) dan mematuhi tatanan negara (angger ugering keprabon) (Pangkur bait ke 10-11).

f. Ajaran bahwa budi yang baik itu biasanya pandai bergaul dengan berbagai kalangan (bangkit ajur ajer). Meskipun pengetahuannya yang benar berbeda dengan pendapat orang lain, ia bersikap baik, sekedar untuk menyenangkan hati orang lain (mung ngenaki tyasing lyan). Oleh karena itu hendaknya dapat berpura-pura bodoh (den bisa mbusuki ujaring janmi). (Kinanthi bait ke 95-98).

Serat Wedhatama mengajarkan agar orang jangan sampai bertindak kurang sopan santun dalam pertemuan, sehingga memalukan (gonyak-ganyuk nglelingsemi). Demikian juga, jangan bertindak semaunya sendiri (nggugu karepe priyangga). Sifatnya, jika berbicara tanpa dipikirkan lebih dahulu, tidak mau dianggap bodoh, dan mabuk pujian. Orang harus dapat menempatkan diri (traping angganira) dan mematuhi tatanan negara (angger ugering keprabon).

Dalam pandangan Serat Wedhatama, orang yang baik budinya itu biasanya pandai bergaul dengan berbagai kalangan (bangkit ajur ajer). Meskipun pengetahuannya benar dan berbeda dengan pendapat orang lain, ia bersikap baik, sekedar untuk menyenangkan hati orang lain (mung ngenaki tyasing lyan). Oleh karena itu kadang kala ia berpura-pura bodoh (den bisa mbusuki ujaring janmi). Orang yang bijaksana akan menanggapi orang yang dungu dengan cara yang halus (sinamun ing samudana) dan baik (sesadon ing adu manis).

Serat Wedhatama mengajarkan agar jangan berperilaku seperti perilakunya orang yang dungu, yang bualannya tidak karuan dan tidak masuk akal (ngandhar-andhar angendhukur, kandhane nora kaprah). Orang yang dungu itu suka sombong (anggung gumrunggung) dan ingin dipuji setiap hari (ugungan sedina-dina). Orang yang picik pengetahuannya, namun sombong, wataknya tampak ketika bertutur kata, tak mau kalah (lumuh asor kudu unggul), dan meremehkan orang lain (sumengah sesongaran).

3. Etika terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Kandungan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkait dengan etika terhadap Tuhan adalah beberapa ajaran atau petuah sebagai berikut:

a. Serat Wedhatama mengajarkan bahwa agama merupakan pegangan hidup yang berharga (agama ageming aji) (Pangkur bait ke 1).

b. Ajaran tentang sebutan “orang tua” (wong tuwa, wong sepuh).Dia adalah orang yang memahami wahyu Allah, menguasai ilmu kesempurnaan, serta memahami makna dwitunggal (roroning atunggil, yaitu makhluk dan Khalik, titah dan yang menitahkan). Orang disebut “orang tua” bila ia tidak dikuasai hawa nafsu (lire sepuh sepi hawa) (Pangkur bait ke 12).

c. Ajaran tentang pemahaman terhadap sukma (roh, namun ada yang memaknai Tuhan) (tan samar pamoring sukma). Caranya dengan diresapi dan direnungkan di kala sepi (sinuksmaya winahya ing asepi), di simpan di lubuk hati (sinimpen telenging kalbu), dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar, bagaikan mimpi. Dalam kondisi demikian itu lah hadirnya rasa yang sejati. Jika mampu mencapainya, ia telah mendapatkan anugerah Tuhan. Ia mampu mencapai alam kosong (bali alaming ngasuwung), kembali ke asal mula (mulih mula mulanira), tidak mabuk dunia yang sifatnya kuasa-menguasai (Pangkur bait ke 13-14).

d. Ajaran tentang corak keislaman yang tidak begitu islami. Hal itu tampak pada sindiran terhadap anak muda yang dianggap suka meniru Nabi (manulad nelad Nabi), hanya untuk pamer, sebelum bekerja singgah dahulu di masjid (saben seba mampir mesjid). Bagi pengarang, anak muda seperti itu hanya berkutat pada syariat dan tidak sampai pada hakikat (anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi). Bahkan terungkap sinisme, jika berkhotbah berirama Dandanggula gaya palaran (kalamun maca kotbah, lelagone Dandanggendis, swara arum ngumandang cengkok palaran). Ia menghendaki keislaman yang tidak mendalam (sathitihik bae wus cukup), jangan bersemangat meniru ahli fikih (nelad kas ngepleki pekih) (Sinom bait ke 22-24).

e. Ajaran yang cenderung pada pragmatisme, yaitu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi pengarang, dari pada mendalami agama, lebih baik mencari nafkah (ngupa boga). Berhubung ditakdirkan sebagai orang lemah, lebih baik mengabdi raja, bertani, atau berdagang (suwiteng nata, tani tanapi agrami). Dengan nada sarkastis terhadap diri sendiri, ia memberi alasan “ini karena saya orang bodoh, belum tahu cara hidup orang Arab” (padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab). Ia pernah menghadapi dilema, antara mengutamakan perintah agama atau pekerjaan (bot Allah apa Gusti, tambuh-tambuh solah ingsun). Pada masa mudanya ia rajin beribadah dan dalam hatinya ada perasaan takut menghadapi hari akhir (sawadine tyas mami, banget wedine ing mbesuk, pranatan ngakir jaman). Akan tetapi hal itu terhenti, karena alasan pekerjaan. Tidak sempat sembahyang, karena ketika dipanggil yang memberi makan, jika tidak segera menghadap akan dimarahi (nora kober sembahyang, gya tinimbalan, marang ingkang asung pangan, yen kesuwen den dukani) (Sinom bait ke 25-28).

f. Ajaran tentang samadi atau meditasi, sehingga seseorang mampu melihat hakikat pribadinya sendiri secara jelas (wosing jiwangga melok tanpa aling-aling), serta menerawang keadaan yang seakan tanpa batas (angelangut tanpa tepi). Demikian itu manusia yang luhur, gemar menyepi (tuman tumanem ing sepi), mempertajam dan membersihkan jiwa (masah amemasuh budi), namun secara lahiriah tetap menjalankan tugas kewajibannya, bersikap rendah hati, dan senantiasa membuat senang hati orang lain (Sinom bait ke 30-32).

g. Ajaran bahwa orang yang terpesona pada kehidupan ruhani (wus sengsem reh ngasamun), bersifat pemaaf dan sabar. Dalam sunyi, hati yang jahat dapat ditenggelamkan oleh cinta kasih (karana karoban ing sih) (Pucung bait ke 35-37).

h. Pandangan yang bernada sarkastis terhadap praktik keislaman kalangan muda, dengan ucapan: belum mampu tetapi berani memaknai lafadz seperti sayid dari Mesir (durung pecus keselak besus, amaknani rapal kaya sayid seka Mesir), aneh, tidak suka ke-Jawa-annya, memaksa diri mencari pengetahuan di Mekah (elok Jawane den mohi, paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekah). Sedangkan inti pengetahuan yang dicari itu ada pada diri sendiri. Asal mau berikhtiar, di sana dan di sini (Jawa) tidak berbeda (Pucung bait ke 38-41).

i. Pandangan sepintas tentang teologi yang bersifat mistis, kurang relevan dengan nilai-nilai pendidikan karakter (Pucung bait ke 44).

j. Ajaran tentang empat macam sembah (sembah catur), yaitu sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Ajaran sembah raga yang dianggap sebagai tahapan akan memulai perjalanan (semacam thariqat) (amagang laku). Pembersihannya dengan air sebagaimana bersuci sebelum shalat lima kali sehari (sesucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu). Pada tahapan ini, orang tergesa-gesa ingin melihat cahaya Tuhan (kesusu arsa weruh, pan cahyaning Hyang), tetapi belum mampu. Tahapan ini disebut syariat, ritualnya dilakukan dengan tetap dan tekun. Ajaran sembah kalbu (cipta) yang jika dilakukan secara terus-menerus akan menjadi ritual (laku). Pembersihannya tanpa air, melainkan dengan mengendalikan hawa nafsu (sesucine tanpa banyu, hamung nyuda mring hardaning kalbu). Jika dilakukan dengan baik, orang akan berada pada suasana batin yang remang-remang atau sayup-sayup (tumalawung) dan terbukanya alam yang di atas. Pada tahapan ini syaratnya adalah sabar dalam segala tindakan dan terlaksananya dengan tenang, jernih, dan sadar (eneng, ening, eling). Ajaran sembah sukma, yaitu sembah yang dilakukan setiap saat dan merupakan perjalanan (ritual) terakhir (pepuntoning laku). Pembersihannya dengan waspada dan ingat (sadar) (awas, emut). Pemeliharaannya dengan membiasakan diri untuk menguasai dan merangkul tiga alam (yang dimaksud adalah: alam fisik, alam rasa, dan alam angan-angan). Selain itu, makrokosmos (jagad agung) digulung ke dalam mikrokosmos (jagad alit). Ajaran sembah rasa, yang dengan sembah ini akan mampu memahami hakikat (makna terdalam) dari kehidupan (sembah rasa karasa wosing dumadi). Tercapainya tanpa petunjuk, hanya dengan kesentausaan batin. Di sini tidak ada lagi was-was dan keragu-raguan, hanya percaya sepenuhnya pada takdir (wus ilang sumelanging kalbu, amung kandel kumandel ing takdir). Dipesankan agar jika belum mampu sampai pada tahapan ini jangan mengaku telah mampu, sebab akan mendapat laknat (Gambuh bait ke 48-72).

Dalam bait yang cukup populer, Serat Wedhatama mengajarkan bahwa agama merupakan pegangan hidup yang berharga (agama ageming aji). Namun pandangan keagamaannya bersifat mistis, pandangan keagamaan khas Jawa yang kerap kali menggunakan term-term Islam. Hal itu tampak pada ajaran tentang empat macam sembah (sembah catur), yaitu sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Dengan sembah rasa, orang akan mampu memahami hakikat (makna terdalam) dari kehidupan (sembah rasa karasa wosing dumadi). Tercapainya tanpa petunjuk, hanya dengan kesentausaan batin. Di sini tidak ada lagi was-was dan keragu-raguan, hanya percaya sepenuhnya pada takdir (wus ilang sumelanging kalbu, amung kandel kumandel ing takdir). Ajaran yang bersifat mistis itu juga tampak pada ungkapan tentang ilmu kesempurnaan yang mengajarkan makna dwitunggal (roroning atunggil, yaitu makhluk dan Khalik, titah dan yang menitahkan).

Serat Wedhatama mengajarkan tentang pemahaman terhadap sukma (roh, namun ada yang memaknai Tuhan) (tan samar pamoring sukma). Caranya dengan diresapi dan direnungkan di kala sepi (sinuksmaya winahya ing asepi), di simpan di lubuk hati (sinimpen telenging kalbu), dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar, bagaikan mimpi. Dalam kondisi demikian itu lah hadirnya rasa yang sejati. Jika mampu mencapainya, ia telah mendapatkan anugerah Tuhan. Ia mampu mencapai alam kosong (bali alaming ngasuwung), kembali ke asal mula (mulih mula mulanira), tidak mabuk dunia yang sifatnya kuasa-menguasai.

Serat Wedhatama mengajarkan tentang samadi atau meditasi, sehingga seseorang mampu melihat hakikat pribadinya sendiri secara jelas (wosing jiwangga melok tanpa aling-aling), serta menerawang keadaan yang seakan tanpa batas (angelangut tanpa tepi). Manusia yang luhur gemar menyepi (tuman tumanem ing sepi), mempertajam dan membersihkan jiwa (masah amemasuh budi), namun secara lahiriah tetap menjalankan tugas kewajibannya, bersikap rendah hati, dan senantiasa membuat senang hati orang lain.

Serat Wedhatama tampak kurang sepaham dengan corak keislaman yang islami. Hal itu tampak pada sindiran terhadap anak muda yang dianggap suka meniru Nabi (manulad nelad Nabi), hanya untuk pamer, sebelum bekerja singgah dahulu di masjid (saben seba mampir mesjid). Anak muda seperti itu katanya hanya berkutat pada syariat dan tidak sampai pada hakikat (anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi). Bahkan terungkap sinisme, jika berkhotbah berirama Dandanggula gaya palaran (kalamun maca kotbah, lelagone Dandanggendis, swara arum ngumandang cengkok palaran). Ia menghendaki keislaman yang tidak mendalam (sathitihik bae wus cukup), jangan bersemangat meniru ahli fikih (nelad kas ngepleki pekih).

Pandangan yang bernada sarkastis terhadap praktik keislaman kalangan muda, dengan ungkapan: belum mampu tetapi berani memaknai lafadz seperti sayid dari Mesir (durung pecus keselak besus, amaknani rapal kaya sayid seka Mesir), aneh, tidak suka ke-Jawa-annya, memaksa diri mencari pengetahuan di Mekah (elok Jawane den mohi, paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekah). Sedangkan, katanya, inti pengetahuan yang dicari itu ada pada diri sendiri. Asal mau berikhtiar, di sana dan di sini (Jawa) tidak berbeda.

Serat Wedhatama bahkan mengemukakan ajaran yang cenderung pada pragmatisme. Hal itu tampak pada pesan yang menyatakan bahwa dari pada mendalami agama, lebih baik mencari nafkah (ngupa boga). Berhubung ditakdirkan sebagai orang lemah, lebih baik mengabdi raja, bertani, atau berdagang (suwiteng nata, tani tanapi agrami). Dengan nada sarkastis terhadap diri sendiri, pengarang memberi alasan “ini karena saya orang bodoh, belum tahu cara hidup orang Arab” (padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab). Ia pernah menghadapi dilema, antara mengutamakan perintah agama atau pekerjaan (bot Allah apa Gusti, tambuh-tambuh solah ingsun). Pada masa mudanya ia rajin beribadah dan dalam hatinya ada perasaan takut menghadapi hari akhir (sawadine tyas mami, banget wedine ing mbesuk, pranatan ngakir jaman). Akan tetapi hal itu terhenti, karena alasan pekerjaan. Tidak sempat sembahyang, karena ketika dipanggil yang memberi makan, jika tidak segera menghadap akan dimarahi (nora kober sembahyang, gya tinimbalan, marang ingkang asung pangan, yen kesuwen den dukani).

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasar uraian yang telah disajikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Serat Wedhatama merupakan karya sastra yang ditulis dalam bentuk tembang, yang dikategorikan dalam jenis tembang macapat. Adapun macamnya terdiri dari lima macam tembang (pupuh) serta jumlah pada/baitnya adalah : (1) Pangkur, terdiri 14 pada/bait; (2) Sinom, terdiri 18 pada/bait; (3) Pucung, terdiri 16 pada/bait. Serat Wedhatama adalah karya KPAA Mangkunegara IV (1811-1881, bertahta 1853).

2. Serat Wedhatama berisi nilai-nilai pendidikan karakter yang tidak lain adalah tuntunan moral atau budi pekerti. yang dapat diklasifikasikan sebagai etika pribadi, etika sosial, dan etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.

3. Dalam hal etika pribadi, Serat Wedhatama mengajarkan agar setiap pribadi mengutamakan pendidikan untuk dirinya. Sebagaimana ajaran dalam kultur Jawa lainnya, pendidikan yang dimaksud lebih menekankan pada pengembangan hati, rasa, emosionalitas, atau bahkan spiritualitas. Namun demikian, Serat Wedhatama juga menekankan pentingnya pengembangan akal, pikiran, rasionalitas, atau intelektualitas. Serat Wedhatama mengajarkan tiga hal yang perlu dijadikan pegangan, yaitu: rela jika kehilangan sesuatu (lila lamun kelangan nora gegetun), menerima dengan sabar jika mendapat perlakuan yang menyakitkan hati (trima lamun ketaman saserik sameng dumadi), ikhas menyerahkan diri pada Tuhan (legawa nalangsa srah ing bathara). Serat Wedhatama mengajarkan tiga nilai yang mengangkat kedudukan manusia, yaitu pangkat, harta, dan kepintaran (wirya harta tri winasis). Serat Wedhatama mengajarkan agar dalam hidupnya, orang berbekal ingat dan waspada (eling lan waspada; awas lan eling).

4. Dalam hal etika sosial, Serat Wedhatama mengajarkan agar orang jangan sampai bertindak kurang sopan santun dalam pertemuan, sehingga memalukan (gonyak-ganyuk nglelingsemi). Demikian juga, jangan bertindak semaunya sendiri (nggugu karepe priyangga). Orang harus dapat menempatkan diri (traping angganira) dan mematuhi tatanan negara (angger ugering keprabon. Orang yang baik budinya itu biasanya pandai bergaul dengan berbagai kalangan (bangkit ajur ajer).

5. Dalam hal etika terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pandangan keagamaan Serat Wedhatama bersifat mistis. Hal itu tampak pada ajaran tentang empat macam sembah (sembah catur), yaitu sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Serat Wedhatama mengajarkan tentang samadi atau meditasi, sehingga seseorang mampu melihat hakikat pribadinya sendiri secara jelas (wosing jiwangga melok tanpa aling-aling), serta menerawang keadaan yang seakan tanpa batas (angelangut tanpa tepi). Serat Wedhatama tampak kurang sepaham dengan corak keislaman yang islami.

B. Implikasi

Serat Wedhatama yang telah berusia sekitar 150 tahun menunjukkan bahwa karya sastra tersebut mempunyai kemampuan bertahan yang cukup kuat. Dalam masa tersebut Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, telah mengalami beberapa kali perubahan zaman. Dari perspektif sejarah telah dilalui zaman penjajahan Belanda, zaman kebangkitan nasional, zaman pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan dengan beberapa kali pergantian rezimnya. Dari perspektif sosiologi telah dilalui kehidupan masyarakat agraris-tradisional yang panjang hingga kehidupan masyarakat yang menuju ke arah industri-modern. Semua bentuk perubahan tersebut tentu membawa dampak budaya yang cukup besar, namun ternyata Serat Wedhatama masih bertahan hidup.

Serat Wedhatama merupakan warisan budaya yang hingga kini masih cukup dikenal di kalangan sebagian masyarakat Jawa. Proses pewarisan nilai-nilai budaya tersebut tidak melalui jalur struktural, termasuk sistem pendidikan formal, melainkan melalui jalur kultural. Kenyataan ini mengindikasikan prediksi bahwa ke depan Serat Wedhatama sebagai bagian dari budaya Jawa akan tetap bertahan, meskipun menghadapi gempuran budaya kontemporer. Dengan demikian benturan budaya tersebut akan tetap berlangsung dalam waktu yang panjang. Benturan budaya tersebut pada tingkatan yang ekstrim dapat menimbulkan benturan antar pendukung kebudayaan, yang kadang-kadang menimbulkan ketegangan dalam masyarakat.

Dalam globalisasi budaya, yang ditandai dengan benturan budaya, hampir dipastikan bahwa budaya Jawa tidak akan memenangkan pertarungan, meskipun di ‘kandang sendiri’. Namun dalam situasi krisis, budaya Jawa akan sangat mungkin menjadi budaya alternatif bagi masyarakatnya sendiri. Adalah sesuatu yang lazim terjadi, ketika nilai-nilai baru tidak memberikan sesuatu yang diharapkan, maka orang akan kembali menoleh pada nilai-nilai lama yang sudah ditinggalkan.

C. Saran

Budaya tradisional tidak identik dengan budaya primitif yang menunjukkan keterbelakangan, ketidakberadaban dan sebagainya. Dalam budaya tradisional tidak jarang terdapat nilai-nilai moral yang tinggi, baik nilai-nilai yang bersifat universal maupun lokal-kultural. Oleh karena itu sebaiknya nilai-nilai moral yang terkandung dalam Serat Wedhatama yang masih relevan, terutama dalam hal etika pribadi dan etika sosial, perlu dipertahankan dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia.

Dalam kaitannya dengan gagasan pendidikan karakter, nilai-nilai moral yang terkandung dalam Serat Wedhatama sebaiknya dapat dijadikan salah satu rujukan atau orientasi nilai. Dengan demikian, sosok manusia Indonesia adalah manusia yang memiliki karakter yang baik, yang di antara nilai-nilai karakternya itu berakar pada budayanya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Buku yang diteliti :

Anjar Any. (1986). Menyingkap Serat Wedotomo. Semarang: CV Aneka Imu.

Anonim. (1993). Wedhatama Winardi. Surabaya: Penerbit Citra Jaya Murti.

Buku referensi :

Asy’arie, Musa. (2002). Filsafat Islam; Sunnah Nabi Dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI.

Barcalow, Emmet (1998). Moral Philosophy; Theories and Issues. Belmont, CA-Washington: Wadsworth Publishing Company.

Downey, Merial & A.V. Kelly. (1978). Moral Education. London-Sydney: Harper & Row Publisher.

Endraswara, Suwardi (2006). Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.

Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values. London-Wellington: Prentice-Hall International.

Frondizi, Risieri. (2001). Pengantar Filsafat Nilai (Cuk Ananta Wijaya, penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Holmes, Robert L. (1998). Basic Moral Philosophy. Belmont, CA-Washington: Wadsworth Publishing Company.

Imam Muhni, Djuretno A. (1999). Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Karabel and Halsey, editors. (197