spkn

5
Pelayanan Operasional Pelabuhan Tanjung Priok Menurut Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (IHPS BPK) Republik Indonesia Semester II tahun 2013, BPK telah menyelesaikan pemeriksaan kinerja atas Efektivitas Kegiatan Pelayanan Operasional Pelabuhan Tanjung Priok untuk Menjamin Kelancaran Jasa Pelayanan Kapal dan Barang pada Kantor Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Priok, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai (KPU BC) Tanjung Priok, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II (Persero), Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Jakarta II, dan Instansi Terkait di Jakarta Tahun 2012 dan 2013 (s.d. Agustus). Instansi terkait dimaksud adalah Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian terkait pemberian izin larangan pembatasan (lartas) dan rekomendasi (Other Government Agency/ OGA) yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Hal ini dilakukan untuk menilai pelayanan operasional Pelabuhan Tanjung Priok apakah telah efektif menjamin kelancaran layanan kapal dan arus barang peti kemas impor. Sejak awal Tahun 2013 s.d. Juli 2013, Yard Occupancy Ratio (YOR) pada tempat penimbunan sementara (TPS) Terminal di Pelabuhan Tanjung Priok cenderung mencapai 100% dan pada bulan Juni dan Juli 2013 terjadi puncak stagnasi kepadatan peti kemas yang menjadi perhatian nasional karena lambannya pengeluaran barang impor dari terminal. YOR merupakan rasio perbandingan antara jumlah penggunaan ruang penimbunan dengan ruang penimbunan yang tersedia. Hal ini mengakibatkan arus barang impor menjadi tidak lancar dan meningkatnya dwelling time (DT) dari rata-rata Tahun 2012 selama

Upload: errikprabowo

Post on 16-Dec-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

h

TRANSCRIPT

Pelayanan Operasional Pelabuhan Tanjung PriokMenurut Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (IHPS BPK) Republik Indonesia Semester II tahun 2013, BPK telah menyelesaikan pemeriksaan kinerja atas Efektivitas Kegiatan Pelayanan Operasional Pelabuhan Tanjung Priok untuk Menjamin Kelancaran Jasa Pelayanan Kapal dan Barang pada Kantor Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Priok, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai (KPU BC) Tanjung Priok, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II (Persero), Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Jakarta II, dan Instansi Terkait di Jakarta Tahun 2012 dan 2013 (s.d. Agustus). Instansi terkait dimaksud adalah Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian terkait pemberian izin larangan pembatasan (lartas) dan rekomendasi (Other Government Agency/ OGA) yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).Hal ini dilakukan untuk menilai pelayanan operasional Pelabuhan Tanjung Priok apakah telah efektif menjamin kelancaran layanan kapal dan arus barang peti kemas impor. Sejak awal Tahun 2013 s.d. Juli 2013, Yard Occupancy Ratio (YOR) pada tempat penimbunan sementara (TPS) Terminal di Pelabuhan Tanjung Priok cenderung mencapai 100% dan pada bulan Juni dan Juli 2013 terjadi puncak stagnasi kepadatan peti kemas yang menjadi perhatian nasional karena lambannya pengeluaran barang impor dari terminal. YOR merupakan rasio perbandingan antara jumlah penggunaan ruang penimbunan dengan ruang penimbunan yang tersedia. Hal ini mengakibatkan arus barang impor menjadi tidak lancar dan meningkatnya dwelling time (DT) dari rata-rata Tahun 2012 selama enam hari menjadi delapan hari pada Tahun 2013. Salah satu indikator dalam mengukur kelancaran arus impor barang pada suatu pelabuhan adalah dengan menilai impor DT pelabuhan. Impor DT adalah waktu yang dihitung mulai dari suatu peti kemas (container) dibongkar dan diangkat (unloading) dari kapal sampai peti kemas tersebut meninggalkan TPS melalui pintu utama (World Bank, 2011). Waktu tunggu bongkar muat di suatu pelabuhan menjadi patokan sistem logistik suatu negara. Didalam laporan tersebut BPK menemukan adanya ketidakefektifan kegiatan pelayanan Pelabuhan Tanjung Priok untuk menjamin kelancaran layanan kapal dan arus barang terutama disebabkan oleh permasalahan-permasalahan pada tahap WT, pre customs clearance, customs clearance, dan post customs clearance.

1. Permasalahan pada Tahap Waiting TimeKegiatan jasa layanan kapal belum menjamin pencapaian WT sesuai dengan standar. Permasalahan jasa layanan kapal meliputi sistem operasi pelabuhan belum sepenuhnya dapat mengendalikan pelayanan pandu sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sistem operasi pelabuhan belum sepenuhnya dilaksanakan secara konsisten, dan ketersediaan alat pada Pelabuhan Tanjung Priok guna memenuhi kebutuhan jasa kepelabuhanan belum sepenuhnya memadai. 2. Permasalahan pada Tahap Pre Customs ClearanceProses perizinan dan/atau rekomendasi impor barang pada K/L terkait belum mendukung kelancaran arus barang di Pelabuhan Tanjung Priok sehingga rata- rata waktu pre customs clearance Tahun 2012 s.d. Agustus 2013 mencapai 41,48% dari total DT, berdampak terhadap tingginya DT. Lamanya proses pre customs clearance tersebut disebabkan adanya pengajuan perizinan/ rekomendasi belum seluruhnya dilaksanakan melalui proses perizinan yang didukung dengan sistem online dan Service Level Agreement (SLA), sistem informasi yang belum terintegrasi dalam Indonesia National Single Window (INSW), dan sosialisasi mekanisme perizinan terhadap importir/Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) belum efektif. 3. Permasalahan pada Tahap Customs ClearanceKetidakjelasan dan ketidaktegasan pengaturan pemutakhiran profil importir/ komoditi dan waktu pemutakhirannya serta kelemahan manajemen risiko dan sistem informasi penjaluran dapat menimbulkan risiko penyalahgunaan wewenang pada pengawasan dan pelayanan kepabeanan. Permasalahan utama terkait pemutakhiran profil importir/komoditi adalah Instruksi Direktur Jenderal Bea dan Cukai (Dirjen BC) Nomor INS-06/BC/2010 yang belum mengatur secara jelas importir yang mendapat prioritas untuk dimutakhirkan. Dalam Instruksi Dirjen BC tersebut juga belum mengatur secara jelas terkait waktu dan koordinasi serta peran antarunit kerja di DJBC dalam pemutakhiran profil importir. Selain itu, jumlah SDM yang ditugasi memutakhirkan profil importir dan komoditi yang disediakan tidak memadai. Permasalahan-permasalahan pemutakhiran profil importir untuk penjaluran tersebut di atas merupakan kelemahan pengendalian signifikan yang dapat menimbulkan risiko penyimpangan pada tahap pengawasan dan pelayanan kepabeanan.4. Permasalahan pada Tahap Post Custom ClearanceProses penanganan pengeluaran barang belum mendukung kelancaran arus barang sehingga rata-rata waktu post customs clearance periode Januari 2012 s.d. Agustus 2013 yang mencapai 35,73% dari rata-rata DT, berdampak terhadap tingginya DT. Permasalahan pengeluaran barang tersebut meliputi belum ada pengaturan waktu timbun maksimal atas barang yang sudah diurus dengan pemberitahuan pabean atau pemenuhan kewajiban pabeannya; terdapat keterlambatan penetapan sebagai barang tidak dikuasai (BTD) atas barang yang belum diurus oleh pemiliknya sebanyak 11.677 peti kemas; BTD sebanyak 1.220 peti kemas masih tersimpan di TPS yang seharusnya ditimbun di tempat penimbunan pabean (TPP); penimbunan barang hasil penindakan (BHP) sebanyak 1.294 peti kemas belum diatur secara tegas dan masih disimpan di TPS; beberapa importir diindikasikan menjadikan TPS sebagai gudang; terdapat 28 TPS yang belum menerapkan gate online; dan belum ada pengaturan terkait pihak yang berwenang memberikan persetujuan pengeluaran barang atas barang-barang longstay, baik yang sudah terbit pemberitahuan impor barang maupun sudah dikeluarkan SPPB-nya. Permasalahan yang Berpengaruh pada Seluruh Tahapan Proses BisnisPembahasan