sosial pa haryo

Upload: fannisa-putri

Post on 09-Mar-2016

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sosial

TRANSCRIPT

TUGAS PRINSIP-PRINSIP KONSEP SOSIALDALAM ILMU LINGKUNGAN (Paper Konsep Sosial dan Budaya)

Nama: Fannisa Putri, STP.NPM: 250120150504Dosen: Prof. Dr.HaryoS. Martodirdjo

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS PADJADJARANBANDUNG2016BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahLingkungan (milleu) memiliki hubungan dengan manusia. Lingkungan memengaruhi sikap dan perilaku manusia, demikian pula kehidupan manusia akan memengaruhi lingkungan tempat hidupnya. Faktor lingkungan (tanah, iklim, topografi, sumber daya alam) dapat menjadi prakondisi bagi sifat dan perilaku manusia. Lingkungan menjadi salah satu variabel yang memengaruhi kehidupan manusia. Manusia pun dapat memengaruhi lingkungan demi kemajuan dan kesejahteraan hidupnya.Lingkungan dapat memberikan sumber kehidupan agar manusia dapat hidup sejahtera. Lingkungan hidup menjadi sumber dan penunjang hidup. Dengan demikian, lingkungan mampu memberikan kesejahteraan dalam hidup manusia. Pada masa sekarang, manusia tetap menginginkan lingkungan sebagai tempat maupun sumber kehidupannya yang dapat mendukung kesejahteraan hidup. Melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia mengusahakan lingkungan yang sebelumnya tidak memiliki daya dukung serta lingkungan yang tidak dapat untuk hidup (unhabitable) menjadi lingkungan yang memiliki daya dukung yang baik dan bersifat habitable. Contoh : manusia membangun bendungan, dam, atau waduk guna menampung air. Air tersebut digunakan untuk cadangan jika terjadi kemarau panjang, air bendungan juga digunakan untuk mengairi sawah-sawah. Selain itu, air juga digunakan sebagai penggerak untuk pembangkit listrik. Daerah-daerah yang sebelumnya gersang, seperti daerah gurun di Arab sekarang ini sudah bisa ditanami pepohonan. Manusia membuat saluran khusus untuk menyalurkan air sungai ke wilayah tersebut, bahkan dalam waktu tertentu dibuat hujan buatan.Dewasa ini, manusia dengan kemampuan ilmu pengetahuan yang maju dan teknologi modern dapat mengatasi keterbatasan lingkungan, terutama yang bersifat fisik atau lingkungan alam. Daerah-daerah yang pada masa lalu dianggap tidak mungkin dapat digunakan sebagai tempat hidup, sekarang ini dimungkinkan. Daerah itu sekarang mampu memberi kesejahteraan bagi hidup manusia berkat penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup manusia melalui penciptaan lingkungan hidup yang mendukungnya.

BAB IIPEMBAHASAN STUDI KASUSPopulasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi Pemberdayaannya Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu

Populasi masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi inipun bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, supplier faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya.Namun untuk lebih operasional, definisi populasi masyarakat pesisir yang luas ini tidak seluruhnya diambil tetapi hanya difokuskan pada kelompok nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai pulau-pulau besar dan kecil. Sebagian masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsisten, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka waktu sangat pendek. Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin diantaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak.Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya. Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai negara Asia serta Anderson (1979) yang melakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan bahwa kekacuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah asalan utama mengapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang sedemikian rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis. Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

Karakter Masyarakat PesisirMasyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang pluraristik tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena struktur masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya.Hal yang menarik adalah bahwa bagi masyarakat pesisir Indonesia, hidup di dekat pantai merupakan hal yang paling diinginkan untuk dilakukan mengingat segenap aspek kemudahan dapat mereka peroleh dalam berbagai aktivitas kesehariannya. Dua contoh sederhana dari kemudahan-kemudahan tersebut diantaranya, pertama, bahwa kemudahan aksesibilitas dari dan ke sumber mata pencaharian lebih terjamin, mengingat sebagian masyarakat pesisir menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan potensi perikanan dan laut yang terdapat di sekitarnya, seperti penangkapan ikan, pengumpulan atau budidaya rumput laut dan sebagainya. Kedua, bahwa mereka lebih mudah mendapatkan kebutuhan akan MCK (mandi, cuci, kakus) di mana mereka dapat mengaksesnya secara lebih mudah.Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik masyarakat agraris atau petani. Dari segi penghasilan, petani mempunyai pendapatan yang dapat dikontrol karena pola panen yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki dapat ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan. Berbeda halnya dengan masyarakat pesisir yang mata pencahariannyadidominasi dengan pelayan. Pelayan bergelut dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa dikontrol. Nelayan menghadapi sumberdaya yang bersifat open acces dan beresiko tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat pesisir sepeti nelayan memiliki karakter yang tegas, keras, dan terbuka (Satria, 2002).Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di wilayah Indonesia, mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas atau unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat-sifat dari usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut dan faktor-faktor lainnya. Karakter masyarakat pesisir merupakan aspek penting dalam sebuah pandangan sosiologi. Setting sosio-edukasimasyarakat pesisirdi Indonesia, menjadi penanda karakteristik kultur masyakatnya. Kultur masyarkat pesisir ini akrab dengan ketidakpastian yang tinggi, hal ini disebabkan karena kehidupan sosial di wilayah pesisir tergantung pada sumber daya laut yang ada. Secara alamiah,sumberdaya laut pesisir (perikanan) bersifatinvisible,sehingga sulit untuk diprediksi.Dalam kondisi seperti ini maka tidak jarang ditemui karakteristik masyarakat pesisir Indonesia yang keras, sebagian temparemental, dan boros karena ada persepsi bahwa sumberdaya perikanan tinggal diambil di laut. Secara sosiologi perlu adanya transformasi pendidikan danbudayayang dapat membangun keadabanpesisir keadaban yang transformatif, tangguh, dan mandiri, bukan keadaban yang lemah, pasif, dan destruktif(Mubyarto, et. al. 1984).Karakter sosial masyarakat di pesisir ini terbentuk melalui proses panjang. Sebagai contoh adalah fakta sosial di Tanjung Burung, Banten. Karakter sosial pesisiran seperti gaya hidup konsumtif terjadi karena adanya dorongan gengsi sosial yang kini semakin tampak menggejala dan merupakan kompensasi psikologis dari kesengsaraan hidup yang cukup lama menimpa. Dalamtatanan sosiologistersebut, kata lain gaya hidup yang dianggap boros itu merupakan upaya masyarakat di pesisir untuk menyenangkan diri sesaat. Gejala sosial yang terjadi di wilayah pesisir Indonesia ini dilakukan dalam menikmati kehidupan yang selayaknya.Streotipeinisering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan pesisir. Padahal kultur sosialmasyarakat pesisir,jika dicermatipada dasarnya memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring, dan seterusnya.Kondisi tersebut lambat tapi pasti membentuk dan menjadi identitas mereka (Ginkel, 2007).Masyarakat Tanjung Burung, pesisir utara Banten ini, secara sosio kultur-pendidikan lemah dan pasif. Secara struktural mereka termarginalisasi dalam sistem. Menurut Sunarto (2004)marjinalisasi hanyalah satu di antara banyak masalah sosiologis yang timbul sebagai akibat ketimpangan (Sunarto, 2004).Dimana ketimpangan ketersediaan sarana sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sarana infrastruktur publik.Marjinalisasi mengabaikan hakekat pemberdayaan masyarakat partisipatif (Ife, 2002), cenderung mengakibatkan keadaan komunitas pedesaan di pesisir menjadi semakin tidak berdaya dalam beradaptasi terhadap perubahan sosio-struktural dan ekologis.Karakteristik masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya, aspek pengetahuan, kepercayaan (teologis), dan posisi nelayan sosial. Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan nenek moyangnya misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka menggunakan rasi bintang.Dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut memilki kekuatanmagicsehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi nelayan sosial, pada umumnya, nelayan bergolong kasta rendah.Masyarakat Pesisir meyakini bahwa lautan yang dimiliki oleh mereka berdasarkan pembagian kawasan laut yang disahkan oleh Raja Desa itu merupakan suatu sumberdaya alam yang dijadikan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan lebihnya dijual untuk keuntungannya.Kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangatlah beragam. perkembanagan sosial budaya ini secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh faktor alam. Perkembangan selanjutnya memberikan karakteristik dalam aktifitasnya mengelola SDA. Tidaklah jarang ditemukan bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil belum tentu memilih laut sebagai lahan mata pencarian utama. Demikian pula, pada menunjukan pola dan karakter yang berbeda dari kawasan perairan satu ke kawasan lain memiliki pola yang berbeda.Adat istiadat suku yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangatlah beragam pula. Di beberapa tempat sering dijumpai adanya budaya pengaturan lahan laut atau sering disebut Hak ulayat laut. Aturan-aturan semacam ini merupakan satu kearifan lokal yang perlu dihargai sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 yang disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang-Undang.Kebudayaan masyarakat pesisir dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan atau sistem kognisi yang ada dan berkembang pada masyarakat pesisir, yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi untuk mendorong dan menciptakan kelakuan-kelakuan yang diperlukan.Dalam pengertian, kebudayaan adalah suatu model pengetahuan yang dijadikan pedoman atau pegangan oleh manusia untuk bersikap atau bertindak dan beradaptasi dalam menghadapi lingkungannya untuk dapat melangsungkan kehidupannya (Suparlan, 1983).Masyarakat pesisir memerlukan bentuk kegiatan nyata yang dapat membangun ekonomi mereka tanpa menghilangkan kultur dan karakteristik dari masyarakat pesisir tersebut. Maka diperlukan bentuk kegiatan yang berbasis masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang no.22 tahun 1999 tentang desentralisasi dan otonomi daerah yang memberikan wewenang kepada daerah untuk mengurus sendiri segala urusan daerahnya. Begitu juga dengan wilayah pesisir, ketua masyarakat atau kepala suku dapat bekerjasama dengan penduduk untuk mengurus pesisir dan lautnya sesuai dengan adat mereka.Kerajinan tangan, tarian, silat tradisional dan masih banyak lainnya telah menjadi bukti betapa masyarakat pesisir ini memiliki beragam budaya yang tak kalah dengan daerah lain. Jenis dan penggunaannya pun terasa sangat jelas dan memiliki nilai yang besar dikalangan masyarakat. Penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya tentu harus menjadi sesuatu yang mendasar demi tercapainya kelestarian budaya masyarakat karena betapapun modernnya suatu masyarakat rasanya sangat sulit untuk mencapai sebuah keharmonisan tanpa adanya nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman hidup disamping Al-Quran dan Al-Hadits serta pertaturan-peraturan yang ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah.Penghargaan terhadap nilai budaya di lingkungan kehidupan masyarakat pesisir terlihat dari masih banyaknya padepokan-padepokan yang mempelajari silat tradisional khas daerah serta taman belajar tarian yang mempelajari berbagai jenis tarian dan kesenian tradisional daerah yang bersangkutan. Melestarikan berbagai kesenian daerah bukan berarti bahwa mereka tidak mau mengikuti perkembangan zaman yang serba modern ini tetapi hanya ingin agar budaya warisan dari leluhur mereka tidak punah ditelah waktu dan keadaan yang serba modern seperti sekarang ini.Tradisi sedekah laut juga merupakan sebuah bentuk rasa syukur yang hampir dimiliki banyak masyarakat pesisir di Nusantara. Tradisi sedekah laut dihelat sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas limpahan kekayaan laut yang dapat menghidupi para nelayan. Di Karimunjawa tradisi sedekah laut dikenal dengan nama Pesta Lomba dan dilaksanakan pada hari ketujuh setelah Idul Fitri.Tradisi masyarakat pesisir didaerah pantai utara jawa yaitu Indramayu, dan Cirebon juga terdapat upacara nadran yaitu mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan). Sesajen yang diberikan, disebut ancak, yang berupa anjungan berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, dan lain sebagainya. Sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring, barongsai, telik sandi, jangkungan, ataupun seni kontemporer (drumband).Tradisi masyarakat pesisir sangat kental dengan aktivitas bahari, jauh sebelum teknologi mesin modern menempel di perahu-perahu mereka, jauh sebelum itu mereka berpanggayo dari satu tempat ke tempat lainnya. Panggayo (Bahasa yang digunakan masyarakat pesisir Maluku), atau dalam bahasa Indonesia berarti mendayung yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal dan adaptasi masyarakat pesisir wilayah yang dikelilingi laut tersebut dalam menyambung rantai kehidupan mereka.Bagi masyarakat daerah pesisir, menangkap ikan dengan cara yang tradisional selain untuk melestarikan budaya pendahulu juga dianggap sebagai cara yang tepat untuk tetap bisa bersahabat dengan alam sekitar yang telah menjadi tempat menggantungkan hidup mereka. Kedekatan mereka dengan alam sekitar telah terbukti dengan tetap lestarinya fauna dan flora yang tersebar luar disepanjang pantai dan lautan tempat mereka menghabiskan waktu untuk mencari penghidupan.

BAB IIIKESIMPULAN

Masyarakat pesisir juga dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian, secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di wilayah Indonesia, mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas atau unik, yaitu :1. Ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan2. Ketergantungan Pada Musim3.Terdapatnya Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat4.Ketergantungan Pada Pasar5.Aktivitas Kaum Perempuan dan Anak-Anak6.Rentan Terhadap Pengaruh Eksternal7.Rendahnya Tingkat Kesejahteraan dan Ilmu Pengetahuan8.Memiliki Kepribadian Yang Keras, Tempramental dan Boros9.Memiliki Sistem Kepercayaan dan Adat Yang Kuat

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. Second Edition. New York: Holt, Rinehart and Winston.Ginkel, Rob van. 2007. Coastal Cultures: An Anthropology of Fishing and Whaling Traditions. Apeldoorn: Het Spinhuis Publishers.Ife, Jim. 2002.Community Development : Community based alternatives in an age of globalization. Australia : Pearson Education.Mubyarto, Loekman Soetrisno dan Michael R.Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Rajawali. Jakarta.Panayatou, T. 1982. Management Concepts for Small-scale Fisheries: Economic and Social Aspects. FAO Fish. Tech. Paper, 228: 53 p.Satria, A. 2002. Dinamika Modernisasi Perikanan;Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Bandung:Humaniora Press.Smith, I.R. 1979. A Research Framework for Traditional Fishery. ICLARM Studies and Reviews No. 2. ICLARM. 45 p.Subade, R.F. and N.M.R. Abdullah. 1993. Are Fishers Profit Maximizers? The case of Gillnetters in Negros Occidental and Iloilo, Philippines. Asian Fisheries Science, 6:39-49.Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Suparlan. 1983. Kamus Istilah Kesejahteraan Sosial, Pustaka Pengarang, Yogyakarta.