skripsi - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti...

66
PEMBERDAYAAN BALAI REHABILITASI SOSIAL PGOT/EKS.PSIKOTIK SAMEKTO KARTI PEMALANG TERHADAP PEMBINAAN MORAL PENGEMIS, GELANDANGAN, DAN ORANG TERLANTAR (PGOT) DI PEMALANG SKRIPSI Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Oleh: Rani Filliastuti NIM 3301411016 JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2015

Upload: ngotruc

Post on 18-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

PEMBERDAYAAN BALAI REHABILITASI SOSIAL

PGOT/EKS.PSIKOTIK SAMEKTO KARTI PEMALANG TERHADAP

PEMBINAAN MORAL PENGEMIS, GELANDANGAN, DAN ORANG

TERLANTAR (PGOT) DI PEMALANG

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Rani Filliastuti

NIM 3301411016

JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2015

Page 2: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

iii

Page 3: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih
Page 4: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih
Page 5: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya

bersama kesulitan itu ada kemudahan. (Q.S. Al-Insyirah: 5-6)

Yang membuat kita kuat adalah doa, yang membuat kita dewasa adalah

masalah, yang membuat kita maju adalah usaha keras, yang membuat kita

hanur adalah putus asa, yang membuat kita semangat adalah haarapan dan

impian – Emas Putih

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Bapakku Giyatman dan Ibuku Tuminah yang selalu

mendoakan, mengasihi, menyayangi, membimbing,

melindungi, menguatkan setiap langkah saya, dan

mengajari arti kehidupan.

Adikku Rena Fillias Afinii dan Regita Fillias Maydiana

yang selalu menguatkan dan menghibur saya.

Dwi Hari Priyanto yang selalu mendukung dan

menyemangati saya.

Teman-temanku Melinda, Kiky, Indri, dan Manda yang

selalu ada bersama saya.

Teman-teman Kost Albait 3 yang selalu mendukung saya.

Teman sperjuangan PPKn 2011 atas kebersamaannya.

Almamaterku UNNES.

Page 6: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

SARI

Filliastuti, Rani. 2015, Pemberdayaan Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti

terhadap Pembinaan Moral PGOT (Pengemis, Gelandangan, dan Orang

Terlantar) di Kabupaten Pemalang. Skripsi. Jurusan Politik dan

Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.

Pembimbing Moh. Aris Munandar, S.Sos, M.M, Drs. Setiajid, M.Si. 117 halaman.

Kata Kunci : Pemberdayaan, Balai Rehabilitasi Sosial, Pembinaan Moral

Kesejahteraan sosial hakekatnya merupakan tujuan bagi manusia yang hidup

di dunia. Namun, kenyataannya saat ini kesejahteraan di Indonesia masih

tergolong rendah, karena masih banyak keluarga-keluarga yang berada di bawah

garis kemiskinan. Rendahnya kesejahteraan terlihat dengan banyaknya PGOT

(Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar) terutama di daerah Pemalang. Hal

ini sangat memprihatinkan karena Indonesia dalam dasar negaranya sudah

menjamin kesejahteraan warganya yaitu pada pasal 27 ayat 2 UUD 1945. Balai

Rehabilitasi Sosial Samekto Karti sebagai pelaksana teknis Dinas Sosial Jawa

Tengah yang bertungas memberikan pelayanan kepada PGOT (Pengemis,

Gelandangan, dan Orang Terlantar) di Kabupaten Pemalang di bidang pelayanan

dan rehabilitasi sosial dengan menggunakan multi layanan yang bertujuan untuk

mewujudkan keberfungsian PMKS.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah: (1) Bagaimana pemberdayaan Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti

terhadap pembinaan moral PGOT (pengemis, gelandangan, dan orang terlantar) di

kabupaten Pemalang? (2) Bagaimana strategi pembinaan moral yang dilakukan

Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti dalam membina PGOT (Pengemis,

Gelandangan, dan Orang Terlantar) di Kabupaten Pemalang?. Tujuan dalam

penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui pemberdayaan Balai Rehabilitasi

Sosial Samekto Karti terhadap pembinaan Moral PGOT (Pengemis, Gelandangan,

dan Orang Terlantar) di Kabupaten Pemalang, (2) untuk mengetahui strategi

pembinaan moral yang dilakukan Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti dalam

membina PGOT (Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar) di Kabupaten

Pemalang.

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Lokasi penelitian di Balai

Rehabilitasi Sosial Samekto Karti Pemalang yang terletak di Jalan Raya Pabrik

Comal Baru, Ampel Gading, Kabupaten Pemalang. Obyek penelitian ini adalah

pegawai Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti dan penerima manfaat Balai

Rehabilitasi Samekto Karti. Metode pengumpulan data berupa: observasi,

waancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan analisis interaksi

dengan langkah pengumpulan data, reduksi data, penyajian datadan verivikasi

data. Validitas data menggunakan teknik triangulasi sumber.

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Pemberdayaan Balai Samekto Karti

Pemalang melalui pengembangan kapasitas kelembagaan cukup baik. Balai

Samekto Karti telah menempuh langkah-langkah untuk mengembangakan

kapasitas kelembagannya, baik pada tingkat sistem yaitu penguatan dengan

adanya visi dan misi, terdapat dasar hukum pelaksanaan balai, penyesuaian

Page 7: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

prosedur kerja balai sesuai peraturan terbaru yaitu Peraturan Gubernur No. 53

Tahun 2013, tingkat entitas yaitu penguatan dengan menyesuaikan struktur

organisasi sesuai Peraturan Gubernur No. 53 Tahun 2013, komunikasi, kemitraan

kerja, kepemimpinan, sarana dan prasarana, dan tingkat individu yaitu penguatan

yang dilakukan adalah penambahan jalur rekruitmen, peningkatan standar

kompetensi calon, pengembangan pegawai melalui pengikutsertaan pegawai

dalam pelatihan-pelatihan yang bersangkutan. (2) Strategi pembinaan moral yang

dilakukan oleh Balai Samekto Karti Pemalang dilakukan dengan beberapa

kegiatan pembinaan, yaitu pembinaan keagamaan untuk menumbuhkan nilai

religius, pembinaan mental dan sosial untuk menumbuhkan nilai sosialitas,

pembinaan ideologi dan pembinaan perilaku untuk menumbuhkan nilai kesopanan

dan tanggung jawab serta pembinaan ketrampilan untuk menumbuhkan nilai

kemandirian. Pembina berusaha memberikan solusi yang terbaik dalam

memecahkan masalah yang dihadapi oleh penerima manfaat, baik masalah pribadi

maupun masalah kelompok. Dalam melakukan penyampaian pembinaan moral,

pembina menggunakan metode keteladanan, life in, dan praktek. Misalnya

memberikan contoh kepada penerima manfaat dengan kedisiplinan, supaya para

penerima manfaat dapat disiplin dan mematuhi peraturan yang ada. (3) kendala

yang dihadapi oleh pegawai Balai Samekto Karti Pemalang adalah komunikasi,

kekurangan pegawai, sarana dan prasarana.

Saran yang diajukan untuk Balai Samekto Karti Pemalang perlu adanya

upaya peningkatan pengembangan kapasitas, khususnya penguatan pada sarana

dan prasarana balai, misalnya peningkatan pemeliharaan alat-alat ketrampilan dan

penambahan alat-alat terapi untuk pelaksanaan rehabilitasi kepada penerima

manfaat. Kemudian penguatan kapasitas pegawai lebih ditingkatan, misalnya

penambahan pramu rukti dan pekerja sosial, serta memperbanyak keikutsertaan

pada pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak-pihak terkait. Balai

Samekto Karti, dalam memberikan pembinaan moral sudah baik, diharapkan

dapat mempertahankannya dan berusaha untuk meningkatkannya agar menjadi

lebih baik lagi. Cara yang digunakan untuk membina penerima manfaat

hendaknya dilakukan dengan berbeda, karena di Balai Samekto Karti sebagian

besar penghuninya adalah PGOT Eks.Psikotik misalnya melalui kegiatan yang

lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk

melakukan jalan santai dan pegawai lebih sabar menghadapi penerima manfaat.

Balai Samekto Karti dalam menghadapi kendala yang ada sudah baik, diharapkan

dapat mempertahankan dan lebih meningkatkannya agar lebih baik lagi. Caranya

untuk kekurangan pegawai, pihak balai dapat mengajukan surat permohonan

kekurangan pegawai seperti yang sudah di instruksikan oleh Dinas Sosial Jawa

Tengah.

Page 8: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kasih dan

kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul

“PEMBERDAYAAN BALAI REHABILITASI SOSIAL SAMEKTO KARTI

TERHADAP PEMBINAAN MORAL PGOT (PENGEMIS,

GELANDANGAN, DAN ORANG TERLANTAR) DI KABUPATEN

PEMALANG”. Selama menyusun Skripsi ini, penulis telah banyak menerima

bantuan, kerjasama, dan sumbagan pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

dalam kesempatan ini penulis sampaikan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum, Rektor Universitas Negeri Semarang.

2. Drs. Moh. S. Mustofa. M.A, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Semarang.

3. Drs. Slamet Sumarto M.Pd, Ketua Jurusan PKn Universitas Negeri

Semarang.

4. Moh. Aris Munandar, S.Sos, MM, Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan, pengarahan, petunjuk, dan saran dalam penyusunan

skripsi ini.

5. Drs. Setiajid, M.Si, Dosen Pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan, pengarahan, petunjuk, dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Prof. Dr. Suyahmo, M.Si, Dosen penguji skripsi yang telah memberikan

masukan serta mengarahkan penulis dalam menyempurnakan skripsi ini.

7. Segenap dosen serta seluruh Staf dan Karyawan Jurusan PKn atas ilmu dan

jasa yang diberikan.

Page 9: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

8. Ign. Agus Aprijanto Kepala dan segenap Staf Balai Rehabilitasi Sosial

Samekto Karti Pemalang yang telah membantu kelancaran penelitian

kepada penulis dan penerima manfaat pembinaan moral.

9. Keluarga penulis, terima kasih atas segala bentuk bantuan materiil maupun

non materiil yang telah diberikan.

10. Teman-teman PKn angkatan 2011 dan sahabat-sahabat terimakasih atas

dukungannya.

11. Seluruh pihak yang telah mendukung terselesaikannya penulisan skripsi ini,

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Tidak ada sesuatu apapun yang dapat diberikan penulis, hanya ucapan terima

kasih dan untaian doa semoga Allah SWT memberikan imbalan atas kebaikan

yang telah diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis. Penulis berharap

semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Semarang, 31 Agustus 2015

Penulis

Page 10: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ....................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................................ iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................... v

SARI ................................................................................................................... vi

PRAKATA ......................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii

DAFTAR BAGAN ..............................................................................................xiii

DAFTAR GAMBAR .........................................................................................xiv

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 6

E. Batasan Istilah ......................................................................................... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................ 9

A. Pemberdayaan ........................................................................................... 9

B. Rehabilitasi ...............................................................................................15

1. Tujuan Rehabilitasi ...........................................................................15

2. Fungsi Rehabilitasi ............................................................................16

3. Sasaran Rehabilitasi ..........................................................................16

C. Balai Rehabilitasi Sosial ...........................................................................20

D. Pembinaan Moral ......................................................................................24

1. Strategi .............................................................................................24

2. Pembinaan .........................................................................................25

Page 11: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

3. Pengertian Moral ...............................................................................27

4. Sumber-Sumber Ajaran Moral ............................................................. 28 5. Nilai-nilai Moral .................................................................................30 6. Pendekatan Pembinaan Moral ..............................................................30

E. PGOT (Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar)................................32

1. Pengemis……........................................................................................32

2. Gelandangan..........................................................................................34

3. Orang Terlantar......................................................................................37

F. Kerangka Berfikir..........................................................................................40

BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................43

A. Metode Penelitian .....................................................................................43

1. Jenis dan Teknik Penelitian ...............................................................43

2. Lokasi Penelitian ...............................................................................44

3. Fokus Penelitian ................................................................................44

4. Sumber Data ......................................................................................45

5. Teknik Pengumpulan Data ................................................................46

6. Teknik Analisis Data .........................................................................50

7. Validitas Data ....................................................................................53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................55

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum .............................................................................55

a. Sejarah Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti Pemalang .......55

b. Visi dan Misi Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti

Pemalang ....................................................................................57

c. Pegawai Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti Pemalang ......58

d. Profil Penerima Manfaat ............................................................59

2. Pemberdayaan Balai dengan Pengembangan Kapasitas

(Capacity Building) ...........................................................................60

a. Pengembangan Kapasitas Tingkat Sistem ..................................60

b. Pengembangan Kapasitas Tingkat Entitas ..................................63

c. Pengembangan Kapasitas Individu .............................................76

3. Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial .....................................................80

4. Strategi Pembinaan Moral .................................................................100

5. Kendala yang Muncul dalam Pembinaan Moral ...............................115

B. Pembahasan

1. Pemberdyan Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti

terhadap Pembinaan Moral PGOT ...................................................118

2. Strategi Pembinaan Moral Balai Rehabilitasi Sosial PGOT

Samekto Karti Pemalang ...................................................................120

3. Kendala yang Muncul dalam Pembinaan Moral ...............................124

4. Relevansi antara Pembinaan Moral dengan Moral Pancasila ...........125

BAB V PENUTUP .............................................................................................127

1. Simpulan .............................................................................................127

Page 12: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

2. Saran ...................................................................................................128

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................130

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................135

Page 13: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Daftar informan.......................................................................................... 48

Tabel 2 : Daftar Pegawai Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti .......................... 58

Tabel 3 : Daftar Penerima Manfaat Balai Rehabilitasi Samekto Karti ..................... 59

Tabel 4 : Pengembangan Kapasitas Tingkat Sistem.................................................. 60

Tabel 5 : Strategi Pengembangan Sarana dan Prasarana........................................... 73

Page 14: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 : Kerangka berfikir ............................................................................... 42

Bagan 2 : Analisis Data ...................................................................................... 52

Bagan 3 : Struktur Organisasi Balai Samekto Karti Pemalang .......................... 65

Page 15: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Kegiatan Pemberian Obat pada Penerima Manfaat ................................ 93

Gambar 2 : Kegiatan Senam para Penerima Manfaat ................................................ 94

Gambar 3 : Kegiatan Ketrampilan Pertukangan dan Hasil....................................... 109

Gambar 4 : Ruang Pelatihan Ketrampilan Menjahit.. .............................................. 111

Gambar 5 : Kegiatan Ketrampilan Keset Kain Perca dan Hasil............................... 112

Gambar 6 : Ruang Pelatihan Ketrampilan Pembuatan Tas Belanja dan Hasil......... 113

Gambar 7 : Lahan Pelatihan Ketrampilan Pertanian ................................................ 115

Page 16: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keputusan (SK Dosen Pembimbing)

Lampiran 2 Surat Rekomendasi Penelitian

Lampiran 3 Surat Izin Penelitian Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah

Lampiran 4 Instrumen Penelitian

Lampiran 5 Pedoman Wawancara

Lampiran 6 Struktur Organisasi Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti Pemalang

Lampiran 7 Data Penerima Manfaat Balai Samekto Karti Pemalang

Lampiran 8 SOPP Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti Pemalang

Lampiran 9 Jadwal Kegiatan Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti Pemalang

Lampiran 10 Tata Tertib Penerima Manfaat

Lampiran 11 Hak dan Kewajiban Penerima Manfaat

Lampiran 12 File Penerima Manfaat

Page 17: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

1

BAB I

PENDHULUAN

A. Latar Belakang

Kesejahteraan sosial hakekatnya merupakan tujuan bagi setiap

manusia yang hidup di dunia. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun

2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa

Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,

spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu

mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Kesejahteraan di Indonesia masih tergolong rendah, karena masih banyak

keluarga-keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan, berdasarkan data

dari Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Per

Provinsi Tahun 2012 jumlah penduduk miskin adalah 30.018.980 jiwa.

Fenomena seperti ini memunculkan berbagai permasalahan sosial, salah

satunya adalah permasalahan tuna sosial dimana diakibatkan oleh rendahnya

kesejahteraan sosial di Indonesia. Permasalahan tuna sosial meliputi masalah

gelandangan, pengemis, dan orang terlantar. Permasalahan gelandangan,

pengemis, dan orang terlantar terus menunjukkan peningkatan yang hingga

saat ini belum teratasi dengan baik. Populasi tuna sosial berdasarkan Data

Pusdatin Departemen Sosial pada tahun 2008, berjumlah kurang lebih 1,06

juta jiwa, yang terdiri atas 39 ribu pengemis, 40 ribu gelandangan, sedangkan

pada tahun 2012 berjumlah yang terdiri dari 178,262 pengemis, 18,599

gelandangan, 108,819. Berdasar data Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Jawa

Page 18: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

2

Tengah, jumlah penyandang PMKS tahun 2014 mencapai 4.926.203 jiwa atau

14,8% dari jumlah penduduk Jawa Tengah sebanyak 33 juta lebih. Jumlah

penyandang PMKS tersebut meliputi kemiskinan 13,2%, kecacatan (meliputi

cacat tubuh, cacat mental dan cacat ganda) 0,53%, ketelantaran (meliputi anak

dan lansia terlantar) 0,42%, dan sisanya ketunaan meliputi anak jalanan, anak

berhadapan dengan hukum, narkoba, HIV/AIDS, waria dan gay, PGOT, dan

korban bencana (Humas Jateng, 2014).

Pada umumnya penyebab munculnya pengemis, gelandangan dan

orang terlantar disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Begitu juga hasil

penelitian Artijo Alkostar dalam Ahmad (2010:3) bahwa munculnya kaum

tuna sosial dsebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal.

Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak

kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal

meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan

letak geografis. Faktor ekonomi merupakan faktor yang umum untuk menjadi

penyebab munculnya fenomena pengemis, gelandangan, dan orang terlantar.

Sebenarnya ada berbagai cara yang dapat mereka tempuh untuk mendapatkan

kesejahteraan, misalnya dengan mempunyai pekerjaan yang layak, kehidupan

yang bahagia, tempat tinggal yang layak dan lain sebagainya. Sulistiawati

(2012:206) mengatakan bahwa pengaruh penyerapan tenaga kerja terhadap

kesejahteraan masyarakat berjalan searah, artinya apabila penyerapan tenaga

kerja meningkat, maka akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Page 19: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

3

Pengemis dan gelandangan yang ada disekitar kita rata-rata berusia

anak sekolah dan para dewasa dalam masa produktif. Usia dimana seharusnya

mereka bersekolah untuk anak-anak dan bekerja bagi mereka yang berada

diusia produktif. Bersaing mendapatkan pekerjaan yang layak untuk

medapatkan kehidupan yang layak pula. Keadaan ini membuat sebagian

masyarakat limbung dan berusaha untuk survive dengan cara seadanya, seperti

antara lain mengemis, mencuri, memalak, menodong, melacur,

mengeksploitasi anak dan perempuan untuk tujuan seks dan lain-lain cara

mencari nafkah yang melanggar hukum, norma-norma sosial dan agama.

Gejala-gejala ini utama marak terjadi di kota-kota besar yang mereka anggap

lebih memungkinkan untuk cara-cara mencari nafkah semacam itu.

Fenomena menjamurnya pengemis, gelandangan, dan orang terlantar

juga terjadi di Kota Tegal dan kondisi seperti ini cukup meresahkan

masyarakat. Seperti yang dilansir dalam harian Pewarta Indonesia Kamis, 27

November 2014 “Petugas gabungan dari aparat kepolisian dan dinas sosial

tenaga kerja transmigrasi Kota Tegal Jawa Tengah menggaruk puluhan

gelandangan dan pengemis yang bisa beropersai di sejumlah pasar razia pekat

ini digelar menyusul maraknya gepeng yang beroperasi sambil membawa

anak kecil di wilayah Kota Tegal, puluhan pengemis gelandangan dan orang

terlantar yang sering beroperasi di sejumlah tempat di Kota Tegal kamis siang

terjaring razia petugas gabungan aparat kepolisian resot tegal kota dan

kesbangpolinmas”. Keadaan seperti ini memberikan tanda kepada pemerintah

untuk segera mengatasi keadaan seperti itu.

Page 20: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

4

Pemerintah melalui dinas sosial yang tersebar diberbagai daerah di

Indonesia merealisasikannya dengan mendirikan dan memberdayakan balai

rehabilitasi sosial yang ada untuk membina para pengemis, gelandangan dan

orang terlantar khususnya pembinaan moral. Balai Rehabilitasi Sosial

merupakan tempat untuk melaksanakan serangkaian kegiatan pemulihan dan

pemberian bantuan untuk memperbaiki kemampuan orang untuk

melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam masyarakat, memperbaiki

kemampuan orang dan lingkungan sosial dalam memecahkan masalah-

masalah sosial, memperbaiki status dan peranan sosial orang sehingga dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Balai Rehabilitasi Sosial

(Barehsos) Samekto Karti Pemalang adalah upaya pemerintah sebagai

tanggung jawab dalam memberikan pelayanan rehabilitasi terhadap pengemis,

gelandangan dan orang terlantar. Mereka menjalani kehidupan tanpa adanya

tujuan dan perkerjaan yang jelas. Maka dari itu mereka harus kembali

diarahkan agar mempunyai pribadi yang baik, seharusnya mereka dapat

diterima dalam kehidupan masyarakat. Balai Rehabilitasi Sosial Samekto

Karti Pemalang mempunyai tugas untuk menangani program rehabilitasi

pengemis, gelandangan, dan orang terlantar dengan berbagai strategi yang ada.

Kegiatan-kegiatan pembinaan yang dilakukkan oleh barehsos ini tidak sama

dengan barehsos lainnya, maka dari itu penulis merasa terpanggil untuk

mempelajari pemberdayaan balai rehabilitasi sosial Samekto Karti Pemalang

dalam melakukan pembinaan moral terhadap para pengemis, gelandangan, dan

orang terlantar.

Page 21: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

5

Dari latar belakang tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian secara mendalam terhadap Pemberdayaan Balai Rehabilitasi Sosial

Samekto Karti terhadap Pembinaan Moral Pengemis, Gelandangan, dan Orang

Terlantar (PGOT) di Pemalang. Dari hasil penelitian itu, kemudian dituangkan

dalam bentuk tulisan ilmiah skripsi yang berjudul “Pemberdayaan Balai

Rehabilitasi Sosial PGOT/Eks.Psikotik Samekto Karti Pemalang terhadap

Pembinaan Moral Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar (PGOT) di

Pemalang”.

B. Rumusan Masalah

Dalam latar belakang masalah seperti diatas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah Balai Rehabilitasi Sosial PGOT/Eks.Psikotik Samekto

Karti Pemalang terhadap Pembinaan Moral Pengemis, Gelandangan, dan

Orang Terlantar (PGOT) di Pemalang?

2. Bagaimanakah Strategi Pembinaan Moral yang dilakukan Balai

Rehabilitasi Sosial PGOT/Eks.Psikotik Samekto Karti Pemalang dalam

membina Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar (PGOT) di

Pemalang?

3. Apa kendala yang muncul dalam Strategi Pembinaan Moral yang

dilakukan Balai Rehabilitasi Sosial PGOT/Eks.Psikotik Samekto Karti

Pemalang dalam membina Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar

(PGOT) di Pemalang?

Page 22: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

6

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diajukan, maka tujuan

yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui Pemberdayaan Balai Rehabilitasi Sosial PGOT/Eks.Psikotik

Samekto Karti Pemalang terhadap Pembinaan Moral Pengemis,

Gelandangan, dan Orang Terlantar (PGOT) di Pemalang.

2. Mengetahui Strategi Pembinaan Moral yang dilakukan Balai Rehabilitasi

Sosial PGOT/Eks.Psikotik Samekto Karti Pemalang dalam membina

Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar (PGOT) di Pemalang.

3. Mengetahui kendala yang muncul dalam Strategi Pembinaan Moral yang

dilakukan Balai Rehabilitasi Sosial PGOT/Eks.Psikotik Samekto Karti

Pemalang dalam membina Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar

(PGOT) di Pemalang.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoretis

a. Bagi civitas akademika ataupun orang yang berminat membaca

diharapkan dapat memberikan wawasan dan informasi terkait

Pemberdayaan Balai Rehabilitasi Sosial PGOT/Eks.Psikotik Samekto

Karti Pemalang terhadap Pembinaan Moral Pengemis, Gelandangan,

dan Orang Terlantar (PGOT) di Pemalang.

b. Bagi mahasiswa jurusan pendidikan pancasila dan kewarganegaraan

diharapkan dapat memberikan informasi tentang Pemberdayaan Balai

Page 23: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

7

Balai Rehabilitasi Sosial PGOT/Eks.Psikotik Samekto Karti Pemalang

terhadap Pembinaan Moral PGOT (Pengemis, Gelandangan, dan

Orang Terlantar) di Kabupaten Pemalang

2. Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pengayaan

khususnya oleh Balai Rehabilitasi Sosial PGOT/Eks.Psikotik Samekto

Karti Pemalang untuk mengevaluasi program-program yang telah

dijalankan, kemudian digunakan sebagai bahan untuk merumuskan

program baru.

b. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan pengayaan untuk

dinas sosial tingkat daerah maupun pusat.

E. Batasan Istilah

1. Pemberdayaan

Pemberdayaan merupakan kegiatan memberikan kewenangan atau

memberikan kemampuan kepada seseorang, lembaga atau instansi terkait

untuk menjadi pelaksana berbagai kebijakan dan program-program agar dapat

mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan.

2. Balai Rehabilitasi Sosial

Balai Rehabilitasi Sosial merupakan tempat atau lembaga untuk

melaksanakan serangkaian kegiatan pemulihan dan pemberian bantuan untuk

a) memperbaiki kemampuan orang untuk melaksanakan fungsi sosialnya

secara wajar dalam masyarakat, b) memperbaiki kemampuan orang dan

Page 24: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

8

lingkungan sosial dalam memecahkan masalah-masalah sosial, dan c)

memperbaiki status dan peranan sosial orang sehingga dapat menyesuaikan

diri dengan lingkungannya.

3. Strategi

Strategi adalah cara atau rentetan kegiatan yang dilakukan dengan

menggunakan berbagai kekuatan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

4. Pembinaan Moral

Pembinaan moral merupakan usaha, upaya dan kegiatan yang

dilakukkan untuk memperbaiki atau menjadikan seseorang lebih baik dalam

kebiasan-kebiasaan, perilaku, dan kehidupannya sesuai dengan norma yang

berlaku.

5. PGOT

a. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan pendapatan atau

penghasilan dengan cara meminta-minta di muka umum dengan berbagai

cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

b. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai

dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, tidak

mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu

dan hidup mengembara.

c. Orang terlantar adalah penduduk yang karena sesuatu alasan sehingga

tidak mampu dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar

baik rohani, jasmani maupun sosial.

Page 25: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Pemberdayaan

Menurut Wrihatnolo, Randy R dan Riant Nugroho Dwidjowijoto

(2007:80) Pemberdayaan dengan berbagai bentuk modelnya diterapkan untuk

memberdayakan orang, masyarakat, dan organisasi termasuk memberdayakan

organisasi pemerintah. Wrihatnolo, Randy R dan Riant Nugroho

Dwidjowijoto (2007:2) juga menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah

”proses menjadi” bukan sebuah ”proses instan”. Sebagai suatu proses,

pemberdayaan melewati tiga tahap, yaitu: penyadaran, pengkapasitasan, dan

pendayaan.

a. Tahap penyadaran

Pada tahap ini sasaran yang akan diberdayakan disuntik dengan

pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka

berhak untuk mempunyai sesuatu. Program-program yang dapat

dilaksanakan pada tahap ini ialah memberikan pengetahuan yang

bersifat kognisi, belief, dan healing.

b. Tahap pengkapasitasan

Pengkapasitasan (capacity building) sering disebut dalam bahasa yang

lebih sederhana ialah memampukan atau enabling. Pada tahap ini,

sasaran harus mampu lebih dulu sebelum yang bersangkutan diberi

daya atau kuasa. Jadi, pada prinsipnya sasaran supaya diberikan lebih

dahulu program pemampuan untuk membuat sasaran cakap (skillfull)

atau mampu dalam mengelola sesuatu yang akan sasaran terima

berupa daya atau kuasa. Proses memampukan sasaran sendiri terdiri

dari tiga jenis, yaitu: manusia, organisasi, dan sistem nilai.

Pengkapasitasan organisasi dilaksanakan dalam bentuk restrukturisasi

organisasi yang akan menerima daya.

c. Tahap pendayaan

Pada tahap ini yang dilakukan adalah pemberian daya, kekuasaan,

otoritas, atau peluang kepada sasaran. Pemberian ini harus disesuaikan

dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki sasaran. Prosedur pada

tahap ini cukup sederhana namun kita sering kali tidak cakap

Page 26: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

10

menjalankannya, yaitu karena adanya pengabaian terhadap bahwa

dalam kesederhanaan pun ada ukuran. Pada hakekatnya bahwa proses

pemberian daya atau kekuasaan harus disesuaikan dengan kecakapan

penerima.

Menurut Pribandiyono (2011:3) kapasitas organisasi (capacity building)

didefinisikan sebagai sebuah proses penilaian untuk meningkatkan

kemampuan individu, kelompok, organisasi, kesisteman, komunitas atau

masyarakat dalam hal:

a. Menganalisa lingkungannya, internal dan eksternal;

b. Mengidentifikasi masalah, kebutuhan-kebutuhan, isu-isu dan peluang-

peluang;

c. Memformulasikan strategi untuk mengatasi masalah, isu-isu dan

kebutuhan-kebutuhan tersebut, dan memanfaatkan peluang yang

relevan;

d. Merancang sebuah rencana aksi, serta mengumpulkan dan

menggunakan secara efektif dan efisien sumberdaya yang

berkesinambungan untuk mengimplementasikan, memonitor, dan

mengevaluasi rencana aksi tersebut, serta;

e. Memanfaatkan umpan balik sebagai rencana perbaikan.

Haryanto (2014:18) menyebutkan bahwa pengembangan kapasitas

kelembagaan (capacity building) merupakan serangkaian strategi yang

ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas dan responsibilitas dari

kinerja suatu lembaga dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi. Menekankan

fokus sebagai upaya inisiatif peningkatan kinerja kelembagaan. Dalam

pengembangan kapasitas institusi harus dilakukan diberbagai tingkatan yang

saling terkait, yang secara sederhana dapat dilakukan melalui 3 tingkatan,

yaitu sebagai berikut.

a. Tingkat Sistem

Dalam dimensi sistem, maka perubahan diarahkan pada reformasi

kebijakan, yaitu melakukan perubahan pada “aturan main” dari

kerangka kerja kelembagaan yang dapat mendorong proses pencapaian

tujuan-tujuan secara efektif dan efisien.

Page 27: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

11

b. Tingkat Entitas

Dalam dimensi entitas/organisasi, maka penguatan kelembagaan

diarahkan pada perbaikan instrument manajemen untuk memperbaiki

kinerja dari fungsi-fungsi dan tugas-tugas pada seluruh lini organisasi

dan perbaikan pada struktur mikronya. Aktifitas yang harus dilakukan

adalah menata kembali struktur organisasi, mekanisme tata kerja,

proses pengambilan keputusan, sistem komunikasi internal dan

eksternal (jaringan komunikasi), sistem kepemimpinan, sistem insentif,

dan sistem pemanfaatan personel.

c. Tingkat Individu

Pada tingkat individu, maka pengembangan kapasitas diarahkan pada

pengadaan, penyediaan, dan pemanfaatan personel yang kompeten

secara manajerial dan secara teknik/substansif. Kegiatan utama

difokuskan pada sistem rekruitmen, pemetaan kompetensi pegawai,

pelatiahan, penempatan, pengaturan kondisi, dan lingkungan kerja,

sistem insentif dan sistem penilaian kinerja.

Proses pengembangan kapasitas kelembagaan berkaitan dengan

strategi menata input (masukan) dan proses dalam mencapai output dan

outcome secara optimal, serta menata feedback sebagai langkah perbaikan

pada tahap berikutnya, dijelaskan sebagai berikut.

a. Strategi menata input

Strategi menata masukan berkaitan dengan kemampuan lembaga

dalam menyediakan berbagai jenis dan jumlah serta kualitas sumber

daya manusia dan non sumber daya manusia sehingga siap untuk

digunakan bila diperlukan.

b. Strategi menata output

Strategi menata proses berhubungan dengan kemampuan organisasi

dalam mendesain, memproses, dan mengembangkan seperangkat

kebijakan, struktur organisasi, dan manajemen.

c. Strategi menata feedback

Strategi menata umpan balik berkaitan dengan kemampuan organisasi

melakukan perbaikan secara berkesinambungan melalui evaluasi hasil

yang telah dicapai, dan mempelajari kelemahan/kekurangan yang ada

pada masukan, proses, dan melakukan tindakan penyempurnaan secara

nyata dengan melakukan berbagai penyesuaian lingkungan yang

terjadi.

Grindle (1997) (dalam Haryanto, 2014:19) mengatakan, “Capacity

building is intended to encompass a variety of strategies that have to do with

increasing the efficiency, effectiveness and responsiveness of government

performance” (pengembangan kapasitas merupakan upaya yang ditujukan

Page 28: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

12

untuk mengembangkan berbagai strategi untuk meningkatkan efisiensi,

efektivitas, dan responsibilitas kinerja pemerintah).

Jenivia Dwi Ratnasari, Mochamad Makmur, Heru Ribawanto

(2013:105) menyatakan bahwa.

Capacity building dapat juga diartikan sebagai upaya memperkuat

kapasitas individu, kelompok atau organisasi yang dicerminkan melalui

pengembangan kemampuan, ketrampilan, potensi dan bakat serta

penguasaan kompetensi-kompetensi sehingga individu, kelompok atau

organisasi dapat bertahan dan mampu mengatasi tantangan perubahan

yang terjadi secara cepat dan tak terduga. Capacity building dapat pula

dimaknai sebagai proses kreatif dalam membangun kapasitas yang belum

nampak. Lebih jauh dirumuskan bahwa tujuan dari pengembangan

kapasitas adalah.

a. Mengakselerasikan pelaksanaan desentralisasi sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

b. Pemantauan secara proporsional, tugas, fungsi, sistem keuangan,

mekanisme dan tanggung jawab dalam rangka pelaksanaan

peningkatan kapasitas daerah.

c. Mobilisasi sumber-sumber dana Pemerintah, Daerah dan lainnya.

d. Penggunaan sumber-sumber dana secara efektif dan efisisen.

Faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan kapasitas

kelembagaan menurut M. Ratna Juwita Ningtyas, Heru Ribawanto, Minto

Hadi (2014:691)

a. Faktor pendukung

1) Evaluasi

2) Penetapan Standar Operasional Prosedur (SOP)

b. Faktor penghambat

1) Sumber Daya Manusia (SDM)

2) Kendala Waktu Rapat

3) Perbedaan Pandangan terhadap Kelembagaan

4) Kepentingan Politis

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan kapasitas kelembagaan

menurut Haryanto (2014:29) secara garis besar terbagi kedalam dua

komponen, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi,

kepemimpinan, komitmen bersama (collective commitment), pengakuan

Page 29: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

13

bersama atas kelemahan dan kekuatan, partisipasi, inovasi, dan akuntabilitas.

Sedangkan faktor eksternal meliputi networking, informasi, dan regulasi.

a. Aspek kepemimpinan

Haryanto (2014:29) mengataan bahwa kepemimpinan yang

kondusif (condusive leadership) merupakan hal yang paling

mendasar dalam mempengaruhi kesuksesan program institusional

capacity development. Ciri kepemimpinan yang kondusif adalah

adanya kesempatan yang luas pada setiap komponen organisasi

termasuk sumber daya personal untuk melakukan inisiasi-inisiasi

dalam pengembangan kapasitas kelembagaan menuju pencapaian

tujuan-tujuan organisasi yang diinginkan.

Soekarso dan Iskandar Putong (2015:13) menyatakan pada

dasarnya kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajemen

yang strategis, karena kepemimpinan dapat menggerakkan,

memberdayakan, dan mengarahkan sumber daya secara efektif dan

efisien kearah pencapaian tujuan. keberadaan kepemimpinan

menjadi lebih penting untuk mengembangkan visi dan misi

organisasi masa depan.

b. Aspek komitman bersama (collective commitmen).

Komitmen bersama merupakan keterlibatan seluruh actor

organisasi dalam mendukung keberhasilan program pengembangan

kapasitas kelembagaan.

c. Aspek pengakuan atas kelemahan dan kekuatan lembaga.

Proses pengembangan kapasitas kelembagaan diawali dengan

identifikasi existing kapasitas. Oleh sebab itu, organisasi dan

individu harus secara transparan mengungkapkan kekuatan dan

kelemahan atas kapasitas yang tersedia.

d. Aspek partisipasi.

Partisipasi dari seluruh unsur lembaga, mulai dari staf

terbawah sampai kepada pimpinan tertinggi disebuah organisasi

sangan dibutuhkan untuk mensukseskan program pengembangan

kapasitas kelembagaan.

e. Aspek inovasi

Inovasi merupakan bagian yang cukup penting dalam capacity

development, khususnya dalam menyediakan berbagai alternative

dan metode pembangunan yang beragam dan sesuai dengan

kebutuhan.

f. Aspek transparasi

Transparasi menjadi aspek penting dalam pengembangan

kapasitas kelembagaan khususnya dalam rangka pengendalian

pelaksanaan program agar tujuan program dapat berhasil sesai

dengan yang diharapkan.

Page 30: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

14

g. Aspek networking

Proses pengembangan kapasitas kelembagaan tidak dapat

dilakukan secara ego kelembagaan, namun perlu dilakukan melalui

kerjasama dengan para stakeholders terkait.

h. Aspek informasi

Informasi mengenai perubahan lingkungan atau perubahan

akan kebutuhan pelayanan masyarakat sangat berguna bagi

organisasi sebagai dasar dalam mendesain program-program

pengembangan kelembagaan.

i. Aspek regulasi

Reformasi terhadap berbagai regulasi yang dilakukan secara

kondusif dengan mempertimbangkan berbagai dinamika yang

muncul, merupakan salah satu cara yang perlu dilakukan dalam

rangka mendukung keberhasilan program pengembangan kapasitas

kelembagaan.

Menurut Tjandra (2006:57) bahwa yang berkaitan dengan penguatan

kapasitas yang menyangkut sistem, perlu dilakukan penataan rentang kendali

(span of control) organisasi dan sinkronisasi deskripsi kewenangan

kelembagaan dari setiap unit organisasi pemerintahan. Penguatan kapasitas

dari segi organisasi pemerintahan dapat dilakukan melalui penerapan prinsip

evektivitas dan efisiensi dalam penataan struktur kelembagaan melalui

pengembangan organisasi.

Menurut Siagian (2002:3) Pengembangan organisasi merupakan suatu

disiplin ilmiah baru yang sangat banyak kaitannya dengan masalah

perilaku organisasi berdasarkan perspektif waktu jangka panjang yang

terdiri dari serdangkaian pentahapan dengan penekanan pada hubungan

antar individu, kelompok, dan organisasi. Pengembangan organisasi

berfungsi untuk memungkinkan organisasi meningkatkan efetifitas dan

kemampuannya beradaptasi dengan kondisi dan tuntutan lingkungan yang

selalu berubah. Unsur-unsur pengembangan organisasi adalah sebagai

berikut.

a. Terencana.

b. Mencakup seluruh organisasi.

c. Berdampak jangka panjang.

d. Melibatkan manajemen puncak.

e. Menggunakan berbagai bentuk intervensi berdasarkan pendekatan

keprilakuan.

Page 31: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

15

2. Rehabilitasi

Rehabilitasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan

bahwa rehabilitasi adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik)

yang dahulu (semula), atau perbaikan anggota tubuh yang cacat dsb atas

individu (misal pasien rumah sakit, korban bencana) supaya menjadi manusia

yang berguna dan memiliki tempat dulu masyarakat (Alwi, 2007).

Widati (2010:8) menarik kesimpulan sebagai berikut.

Sifat kegiatan yang dilakukan oleh petugas rehabilitasi adalah berupa

bantuan, dengan pengertian setiap usaha rehabilitasi harus selalu

berorientasi kepada pemberian kesempatan kepada peserta didik yang

dibantu untuk mencoba melakukan dan memecahkan sendiri masalah-

masalah yang disandangnya (clien centered). Jadi bukan berorientasi

pada kemampuan pelaksana/tim rehabilitasi (provider centered).

Arah kegiatan rehabilitasi adalah refungsionalisasi dan pengembangan.

Refungsionalisasi dimaksudkan bahwa rehabilitasi lebih diarahkan pada

pengembalian fungsi dari kemampuan peserta didik, sedangkan

pengembangan diarahkan untuk menggali/menemukan dan memanfaatkan

kemampuan siswa yang masih ada serta potensi yang dimiliki untuk

memenuhi fungsi diri dan fungsi sosial dimana dia hidup dan berada.

a. Tujuan Rehabilitasi

Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 dijelaskan bahwa

Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan

kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang agar dapat melaksanakan

fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan,

pendidikan dan pengalaman.

Page 32: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

16

Tujuan utama rehabilitasi menurut Widati (2010:8) adalah

membantu peserta didik mencapai kemandirian optimal secara fisik,

mental, sosial, vokasional, dan ekonomi sesuai dengan

kemampuannya. Ini berarti membantu individu tersebut mencapai

kapasitas maksimalnya untuk memperoleh kepuasan hidup dengan

tetap mengakui adanya kendala-kendala teknis yang terkait dengan

keterbatasan teknologi dan sumber-sumber keuangan serta sumber-

sumber lainnya. Tujuan rehabilitasi adalah terwujudnya anak/peserta

didik berkelainan yang berguna (usefull).

b. Fungsi Rehabilitasi

Pada umumnya, rehabilitasi yang diberikan kepada peserta didik

berkelainan berfungsi untuk pencegahan (preventif), penyembuhan

(kuratif), atau pemulihan/pengembalian (rehabilitatif), dan

pemeliharaan/penjagaan (Widati, 2010:13).

Fungsi sosial, peserta didik yang cacat pada umumnya memiliki

masalah sosial, baik yang bersifat primer (misalnya: rendah diri, isolasi

diri, dan sebagainya). Melalui upaya rehabilitasi dapat berfungsi memupuk

kemampuan anak dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.

Fungsi keterampilan, melalui kegiatan rehabilitasi peserta didik

akan memiliki dasar-dasar keterampilan kerja yang akan menjadi fondasi

dalam memilih dan menekuni keterampilan professional tertentu di masa

depan.

c. Sasaran rehabilitasi

Manusia tidak dipandang sebagai sekedar komponen-komponen

yang terpisah-pisah seperti komponen fisik, mental, psikologis, budaya,

dan ekonomi, melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh yang mencakup

semua komponen tersebut.

Page 33: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

17

Sasaran rehabilitasi adalah individu sebagai suatu totalitas yang

terdiri dari aspek jasmani, kejiwaan, dan sebagai anggota masyarakat.

Sasaran rehabilitasi cukup luas, karena tidak hanya terfokus pada

penderita cacat saja, tetapi juga kepada petugas-petugas panti

rehabilitasi, orang tua dan keluarga penca, masyarakat, lembaga-

lembaga pemerintah dan swasta serta organisasi sosial yang terkait

(Widati, 2010:14).

Menurut Nurfitriyana, Sjamsiar Sjamsuddin, dan Lely Indah Mindarti

(2013:567) tahapan pelayanan rehabilitasi adalah sebagai berikut.

1) Pendekatan awal: tahapan pendekatan awal yang diproses secara

bertahap sesuai dengan teori pelayanan publik.

2) Penerimaan

3) Asesmen: pengungkapan masalah yang lebih mendalam sehingga

diketahui penyebab dan solusi penanganan permasalahan dengan

memberikan rencana pelayanan melalui tahap asesmen.

4) Pembinaan: Kegiatan pembinaan menurut Surat Keputusan Kepala

Dinas Nomor 259 Tahun 2011 tentang pedoman pelayanan panti

diantaranya meliputi beberapa kegiatan yaitu bimbingan fisik,

bimbingan mental spiritual, bimbingan sosial, bimbingan

keterampilan, bimbingan rekreasi, bimbingan terapi musik,

konsultasi keluarga, konsultasi psikologis dan bimbingan aktivitas

sehari-hari.

5) Resosiliasi: tahap persiapan sebelum kembali ke masyarakat.

6) Penyaluran: penyaluran merupakan pengembalian kepada keluarga,

masyarakat, rujuk panti lain, dan pengembalian daerah asal.

7) Pembinaan lanjut dan terminasi: usaha pembinaan lanjut dilakukan

dengan konsultasi dengan keluarga atau pihak yang menerima.

Tahapan akhir setelah pembinaan lanjut adalah terminasi.

Terminasi merupakan akhir dari pelayanan antara pemberi layanan

dan penyandang.

Usaha Rehabilitasi menurut Kamus Glosarium Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial merupakan usaha-usaha yang terorganisir melalui usaha

penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemilikan kemampuan

penyaluran kembali ketengah-tengah masyarakat, pengawasan maupun

pembinaan lanjut sehingga dengan demikian para penyandang masalah sosial

kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak dengan martabat

Page 34: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

18

manusia sebagai Warga Negara RI sosial (Kamus Glosarium Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial: 2009).

Menurut Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 Usaha rehabilitatif

terhadap gelandangan dan pengemis meliputi usaha-usaha penampungan,

seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, bertujuan agar fungsisosial

mereka dapat berperan kembali sebagai warga masyarakat.

Usaha rehabilitasi sosial (Depsos, 1988:9) (dalam Widati, 2010:22)

menurut pendekatan pelayanan sosial dilaksanakan melalui tiga sistem, yaitu:

a. Sistem Panti

Pusat/panti/sasana rehabilitasi sosial dibangun dan dilengkapi

dengan berbagai peralatan dan fasilitas untuk menyelenggarakan

program dan kegiatan rehabilitasi sosial guna membimbing penca

kearah kehidupan yang produktif serta memberikan kemungkinan-

kemungkinan yang lebih luas agar dapat melaksanakan fungsi

sosialnya secara wajar.

b. Sistem Non Panti yang Berbasis Masyarakat

Pada dasarnya konsep layanan rehabilitasi sosial non panti ini

berorientasikan kepada masyarakat sebagai basis pelayanannya

(community-based social rehabilitation), artinya menggunakan

masyarakat sebagai wadah atau pangkalan untuk menyelenggarakan

pelayanan rehabilitasi, yang pelaksanaannya terutama dilakukan

dengan bantuan tenaga sosial sukarela yang berasal dari masyarakat

desa (LKMD). Fungsi rehabilitasi sosial non panti adalah:

meningkatkan usaha-usaha ke arah penyebaran pelayanan rehabilitasi

sosial yang berbasis masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat

dalampembangunan bidang kesejahteraan sosial yang semakin merata,

meningkatkan integrasi para penca.

c. Lingkungan Pondok Sosial

Lingkungan pondok sosial adalah usaha rehabilitasi secara

komprehensif dan integratif bagi penyandang permasalahan sosial

termasuk penca di suatu perkampungan sosial dalam rangka

refungsionalisasi dan pengembangan baik fisik, mental, maupun

sosialnya. Tujuan dikembangkannya lingkungan pondok sosial adalah:

memberi kesempatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan fungsi

sosial para penyandang permasalahan sosial, yang semula tidak

berkesempatan dan berkemampuan melaksanakan fungsi sosialnya

sebagaimana mestinya, baik untuk memenuhi kebutuhan dirinya

sendiri, keluarga, dan kelayakan pergaulan dalam masyarakat.

Page 35: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

19

Rehabilitasi Sosial menurut UU No. 11 tahun 2009 tentang

kesejahteraan Sosial merupakan proses refungsionalisasi dan pengembangan

untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara

wajar dalam kehidupan masyarakat.

Rehabilitasi Sosial (Program Desaku Menanti: Direktorat Jenderal

Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI 2014) adalah serangkaian kegiatan

pemulihan dan pemberian bantuan untuk :

a. Memperbaiki kemampuan orang untuk melaksanakan fungsi sosialnya

secara wajar dalam masyarakat.

b. Memperbaiki kemampuan orang dan lingkungan sosial dalam

memecahkan masalah-masalah sosial.

c. Memperbaiki status dan peranan sosial orang sehingga dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Pengertian rehabilitasi sosial (Depsos: 2002) (dalam Widati, 2010:18)

adalah suatu rangkaian kegiatan professional dalam upaya mengembalikan

dan meningkatkan kemampuan warga masyarakat baik perorangan,

keluargamaupun kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial agar

dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar, dan dapat menempuh

kehidupan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.

Sedangkan menurut The National Council On Rehabilitation (dalam

Widati, 2010:19), rehabilitasi sosial adalah perbaikan atau pemulihan menuju

penyempurnaan ketidakberfungsian fisik, mental, sosial dan ekonomi sesuai

kapasitas potensi mereka.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 ada 3 upaya yang

dilakukan untuk menanggulangi pengemis dan gelandangan, yaitu sebagai

berikut.

Page 36: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

20

a. Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi

penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan,

pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada

hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan

tercegah terjadinya :

1) pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-

keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit

penghidupannya;

2) meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan

pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu

ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya;

3) pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan

dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan

ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah

masyarakat.

Usaha-usaha yang dapat dilakukan antara lain adalah.

1) Penyuluhan dan bimbingan sosial;

2) Pembinaan sosial;

3) Bantuan sosial;

4) Perluasan kesempatan kerja;

5) Pemukiman lokal;

6) Peningkatan derajat kesehatan.

b. Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui

lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan

pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam

masyarakat.

c. Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi

usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan,

pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-

daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah-

tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut, sehingga

dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki

kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat

manusia sebagai Warga Negara Republik Indonesia.

3. Balai Rehabilitasi Sosial

Balai adalah gedung, rumah, atau kantor. Sosial adalah berkenaan

dengan masyarakat atau perlunya ada komunikasi dalam suatu usaha

menunjang pembangunan ini serta memperhatikan kepentingan umum.(Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. 2007).

Page 37: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

21

Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 111 Tahun 2010

tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Pada Dinas Sosial

Provinsi Jawa Tengah, tanggal 1 November 2010 maka berubah nomenklatur

menjadi Balai Rehabilitasi Sosial (BAREHSOS) dan Unit Rehabilitasi Sosial

(UREHSOS). Landasan pelaksanaan revitalisasi BAREHSOS dan UREHSOS

yaitu Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 75 Tahun 2010 tentang

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Tengah Tahun

2011, sebagai penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah (RPJMD).

Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Tengah No 53 Tahun 2013

Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Sosial

Provinsi Jawa Tengah bahwa Balai Rehabilitasi Sosial dipimpin oleh seorang

Kepala Balai yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada

Kepala Dinas. Balai Rehabilitasi Sosial mempunyai tugas pokok

melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan kegiatan teknis

penunjang dinas dibidang pelayanan dan rehabilitasi sosial dengan

menggunakan pendekatan multi layanan. Untuk melaksanakan tugas, Balai

Rehabilitasi Sosial menyelenggarakan fungsi :

a. Penyusunan rencana teknis operasional penyantunan, pelayanan dan

rehabilitasi sosial;

b. Pelaksanaan kebijakan teknis operasional penyantunan, pelayanan dan

rehabilitasi sosial;

Page 38: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

22

c. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan bidang penyantunan, pelayanan

dan rehabilitasi sosial;

d. Pengelolaan ketatausahaan; dan

e. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai

dengan tugas dan fungsinya.

Menurut Habibullah (2010:2) Balai Rehabilitasi Sosial merupakan

tempat untuk memulihkan hal yang salah menjadi benar yang terjadi dalam

lingkungan masyarakat.

Widodo (2012:7) menyebutkan dalam bukunya bahwa 10 jenis panti

sosial yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat teknis di

lingkungan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial. Rincian dan pengertian

jenis panti sosial Sesuai SK Menteri Sosial RI Nomor 50/HUK/2004 tentang

Standarisasi Panti Sosial adalah sebagai berikut:

a. Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak (3 jenis panti sosial):

1) Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) adalah panti sosial yang

mempunyai tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi anak

yatim, piatu, dan yatim piatu yang kurang mampu, terlantar agar

potensi dan kapasitas belajarnya pulih kembali dan berperan aktif

dalam kehidupan bermasyarakat.

2) Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) adalah panti sosial yang mempunyai

tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi anak terlantyar putus

sekolah agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan

bermasyarakat.

3) Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) adalah panti sosial yang

mempunyai tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi

anak nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan

bermasyarakat.

b. Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan (4 jenis panti

sosial)

1) Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) adalah panti sosial yang mempunyai

tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang

cacat tubuh agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan

bermasyarakat.

Page 39: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

23

2) Panti Sosial Bina Netra (PSBN) adalah panti sosial yang mempunyai

tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi para

penyandang cacat netra agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam

kehidupan bermasyarakat.

3) Panti Sosial Bina Rungu Wicara (PSBRW) adalah panti sosial yang

mempunyai tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi

para penyandang cacat rungu wicara agar mampu mandiri dan

berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

4) Panti Sosial Bina Laras (PSBL) adalah panti sosial yang mempunyai

tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang

cacat mental bekas psikotik agar mampu mandiri dan berperan aktif

dalam kehidupan bermasyarakat.

c. Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial (3 jenis panti sosial)

1) Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) adalah panti sosial yang

mempunyai tugas memberkikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi

wanita tuna susila agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam

kehidupan bermasyarakat.

2) Panti Sosial Bina Karya (PSBK) adalah panti sosial yang mempunyai

tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi gelandangan,

pengemis dan orang terlantar agar mampu mandiri dan berperan aktif

dalam kehidupan bermasyarakat.

d. Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza (Jenis

Panti sosial); Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) yakni panti sosial

yang mempunyai tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial

bagi anak korban narkotika agar mampu mandiri dan berperan aktif

dalam kehidupan bermasyarakat.

Pelayanan dan Rehabilitasi Berbasis Panti/Institusi Pelayanan dan

rehabilitasi sosial dalam asrama (panti) dengan berbagai fasilitasnya,

meliputi pemberian bimbingan fisik, mental, sosial, intelektual, serta

ketrampilan baik diprakarsai oleh pemerintah maupun masyarakat (Kamus

Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial: 2009).

Page 40: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

24

4. Srategi Pembinaan Moral

a. Strategi

Kata strategi berasal dari Bahasa Yunani strategia yang

diartikan sebagai "the art of the general" atau seni seorang panglima

yang biasanya digunakan dalam peperangan.

Menurut Sumarsono (2001:139) dalam pengertian umum,

strategi adalah cara untuk mendapatkan kemenangan atau pencapaian

tujuan. Strategi pada dasarnya merupakan seni dan ilmu menggunakan

dan mengembangan kekuatan (ideologi, politik, ekonomi, sosial-

budaya dan hankam) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Strategi menurut Salusu (1996:101) ialah suatu seni

menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk

mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan

lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan.

Menurut Salusu (1996:105) tipe-tipe strategi adalah sebagai

berikut.

1) Corporate Strategy (strategi organisasi). Strategi ini berkaitan

dengan perumusan misi, tujuan, nilai-nilai, dan inisiatif-inisiatif

stratejik yang baru. Pembatasan-pembatasan diperlukan, yaitu

apa yang dilakukan dan untu siapa.

2) Program Strategy (strategi program). Strategi ini lebih

memberi perhatian pada implikasi-implikasi stratejik dari suatu

program tertentu. Apa kira-kira dampaknya apabila suatu

program tertentu dilancarkan atau diperkenalkan, apa

dampaknya bagi sasaran organisasi.

3) Resource Support Strategy (strategi pendukung sumber daya).

Strategi sumber daya ini memusatkan perhatian pada

memaksimalkan pemanfaatan sumber-sumber daya esensial

Page 41: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

25

yang tersedia guna meningkatkan kualitas kinerja organisasi.

Sumber daya itu dapat berupa tenaga, keuangan, teknologi, dan

sebagainya.

4) Institutoinal Strategy (strategi kelembagaan). Fokus dari

strategi institusional ialah mengembangkan kemampuan

organisasi untuk melaksanakan inisiatif-inisiatif stratejik.

b. Pembinaan

Pengertian pembinaan menurut bahasa atau asal katanya,

berasal dari bahasa arab yang berarti membangun, membina dan

mendirikan. Rasulullah bersabda: “Dibina Islam atas lima sendi yang

terpokok yaitu meyakini ke-Esaan Allah, mendirikan sholat,

membayar zakat fitrah, berpuasa di bulan ramadhan dan haji” (HR.

Bukhori).

Menurut Firdaus (2014:120) Pembinaan berasal dari kata

“bina” yang mendapat awalan ke- dan akhiran–an, yang berarti

bangun/bangunan. Pembinaan juga berarti membina, memperbaharui,

atau proses, perbuatan, cara membina, usaha, tindakan, dan kegiatan

yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk

memperoleh hasil yang lebih baik.

Pembinaan menurut Mahayyun (2008:31) merupakan

pembaharuan, penyempurnaan, atau usaha dan tindakan dan kegiatan

yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna memperoleh

hasil yang lebih baik.

Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.

129/Huk/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang

Sosial Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota bahwa,

Page 42: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

26

“Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

fasilitasi, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis,

bimbingan teknis, pendidikan, dan pelatihan atau bantuan teknis

lainnya yang mencakup a) perhitungan sumber daya dan dana

yang dibutuhkan untuk mencapai SPM, termasuk kesenjangan

pembiayaannya; b) penyusunan rencana pencapaian SPM dan

penetapan target tahunan pencapaian SPM; c) penilaian prestasi

kerja pencapaian SPM; dan d) pelaporan prestasi kerja

pencapaian SPM”.

Menurut Morgan, Phil dan Marshal (2006:344) menyatakan

bahwa Pembinaan adalah sebuah cara yang bagus untuk memperbaiki

keefektifan ekskutif secara individual. Ketika direncanakan dan

dilaksanakan dengan baik, pembinaan bakal mengarah pada organisasi

yang lebih efektif. Morgan juga mengkategorikan pembinaan sesuai

aspek sehingga tidak melewati batas, yaitu sebagai berikut.

1. Pembinaan para pemimpin/pembinaan perilaku,

Inilah kategori terbesar dan paling inklusif. Lazimnya, fokus

pembinaan semacam ini terpusat pada perilaku-perilaku seorang

pemimpin, gaya, visi, atau praktiknya. Pembina bekerja dengan

pihak yang dibina guna memahami dan mengoptimalkan

efektivitasnya dalam hubungan-hubungan kunci.

2. Pembinaan Karir/Kehidupan,

Semua pembinaan melibatkan perubahan, tetapi pembinaan untuk

transisi berfokus pada perubahan yang merupakan bagian dari

perubahan khusus dalam level atau keadaan tertentu.

3. Pembinaan Pengembangan Kepemimpinan,

4. Pembinaan Bagi Perubahan Organisasional,

Pembinaan untuk perubahan organisasional merupakan suatu

kategori kumpulan lainnya, lebih didefinisikan oleh keragamannya

alih-alih oleh pendekatan apapun yang terpadu.

5. Pembinaan Terpadu

Terfokus secara organisasional dapat mencakup tantangan dalam

cakupan luas.

Dalam melaksanakan kegiatan pembinaan tidak dapat lepas

dari program pembinaan.

Program pembinaan menurut Wardani dan Umuri (2011:50)

adalah prosedur yang dijadikan landasan untuk menentukan isi

Page 43: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

27

dan urutan acara-acara pembinaan yang akan dilakukan. Program

pembinaan menyangkut sasaran, isi, dan metode. Pertama,

Sasaran Program. Perumusan sasaran program pembinaan yang

jelas dan tegas akan memudahkan memberikan arah dan tujuan

pembinaan yang jelas. Kedua, Isi Program. Isi materi program

pembinaan berhubungan dengan sasarannya. Ketiga, Pendekatan

Program.

c. Pengertian Moral

Moral berasal dari bahasa latin mores yang berarti adat

kebiasaan. Menurut Rachman (2011:16) bahwa moral adalah hal-hal

yang berkenaan dengan kesusilaan. Seseorang individu dapat

dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai denga

kaidah-kaidah moral yang ada.

Moral menurut Ibung (2009:3) menyebutkan bahwa moral

pada dasarnya memiliki banyak arti sesuai dengan sudut pandang yang

berbeda-beda. Moral sendiri berarti tata cara, kebiasaan, dan adat.

Moral adalah suatu keyakinan tentang benar salah, baik dan buruk,

yang sesuai dengan kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau

pemikiran.

Chaplin (dalam Ibung, 2009:3) disebutkan bahwa moral

mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau

menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku.

Moral berasal dari bahasa Latin mores, yang berarti „akhlak‟,

„tabiat‟, „kelakuan‟, „cara hidup‟, „adat istiadat‟ (yang baik).

Menurut Mangunhardjana (1998:158) dari kata tersebut terbentuk

kata “moralis”, yang berarti „berkaitan dengan akhlak, tabiat,

kelakuan‟. Dari sini turun kata”moral”. Kata ini dipergunakan

Page 44: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

28

untuk menyebut baik-buruknya manusia sebagai manusia dalam

hal sikap perilaku, tindak tanduk, dan perbuatannya. Dipandang

dari segi moral, dapat terjadi bahwa seseorang dari segi tertentu

baik, tetapi dari segi moral buruk …. Dari kata “moral” yang

menjadi kata untuk menilai manusia sebagai manusia itu, kita

mendapat kata benda moralitas, yang berarti mutu baik-buruknya

manusia sebagai manusia. Untuk mengukur mutu manusia

sebagai manusia itu dipergunakan norma atau patokan moral:

tolok ukur untuk menetapkan baik-buruknya sikap, tindak tanduk,

dan perbuatan manusia sebagai manusia.

d. Sumber-sumber Ajaran Moral

1) Agama

Sebagaimana sering diakui oleh banyak orang bahwa setiap

agama mengajarkan kebaikan, yang berarti setiap agama

mengandung ajaran moral. Secara umum, agama tidak hanya

mengajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan

manusia terhadap tuhan (ibadah), akan tetapi juga kewajiban-

kewajiban untuk berbuat baik terhadap sesama manusia dan

lingkungannya. Agama bahkan memberikan motivasi keimanan

bahwa perbuatan baik yang dilakukan terhadap sesama manusia

dan lingkungannya itu merupakan amal salih, yang oleh

pemeluknya diyakini akan mendapatkan balasan pahala dari

Tuhan Yang Maha Kuasa (Muchson,2013:18).

2) Hati nurani

K. Bertens (2011: 56) Hati nurani/kata hati adalah

kesadaran moral, instansi yang membuat kita menyadari baik atau

buruk (secara moral) dalam perilaku kita karena itu dapat

Page 45: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

29

menyuluhi dan membimbing perbuatan-perbuatan kita di bidang

moral.

Bartens (2011:6) menyatakan, bahwa hati nurani

membimbing kita dan menjadi patokan untuk prilaku kita,

tapi yang sebenarnya diungkapkan oleh hati nurani bukan

baik buruknya perbuatan itu sendiri, melainkan bersalah

tidaknya si pelaku. Bila suatu perbuatan secara objektif

baik, tapi suara hati menyatakan bahwa perbuatan itu

buruk, maka dengan dilakukan perbuatan itu orang

bersangkutan secara moral. Dan sebaliknya orang tidak

bersalah bila suara hatinya menyangka perbuatan itu baik,

sedangkan secara objektif perbuatan itu buruk.

Poedjawiyatna (2003:28) juga menyatakan tentang hati

nurani, yaitu sebagai berikut.

“Dalam tindakan (moral) manusia kata-hati ini

menghadapinya dalam situasi tertentu, jadi dalam keadaan

kongkrit, maka kata hati itu menilai tindakan itu atas baik

buruknya. Kata hati merupakan pengetrapan kesadaran

moral tindakan etis yang tertentu dalam segala situasinya.

Dalam hal itu kata-hati bertindak sebagai hakim. Seperti

hakim memberi putusan tentang salah-tidaknya tertuduh,

begitu kata hati menentukan baik buruknya tindakannnya

sendiri dalam situasi tertentu.

3) Adat istiadat

Adat istiadat adalah suatu tata cara yang berlaku dalam

lingkungan masyarakat tertentu, yang berlangsung secara turun-

temurun. Jadi pada dasarnya adat istiadat itu bersifat lokal, hanya

berlaku dalam lingkungan masyarakat tertentu. Adat istiadat dan

budaya dapat menjadi sumber ajaran moral, terutama dalam

pengertian moral kesopanan. Setiap suku bangsa memiliki adat

istiadat dan budaya daerah sendiri-sendiri, yang semua itu

Page 46: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

30

menjadi sumber ajaran moral bagi masyarakatnya (Muchson,

2013:20).

e. Nilai-nilai Moral

Paul Suparno dalam (Zuriah, 2011:46-51) mengatakan anak –anak

harus dikondisikan dan diajak untuk melihat dan mengalami hidup

bersama yang baik dan menyenangkan. Pengalaman menyenangkan

yang dialami ini harus didasari oleh sikap dan tanggapan yang baik

dari semua pihak. Kebaikan tersebut berdasarkan nilai-nilai hidup yang

telah ditanamkan pada mereka sejak dini. Nilai-nilai moralitas dan

budi pekerti yang perlu ditanamkan adalah sebagai berikut: religiusitas,

sosialitas, gender, keadilan, demokrasi, kejujuran, kemandirian, daya

juang, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap lingkungan

f. Pendekatan Pembinaan Moral

Wardani dan Ummuri (2011:54) memberikan pendapat tentang

pembinaan moral, mereka menyatakan bahwa pembinaan moral harus

dilaksanakan secara totalitas sebagai pribadi manusia seutuhnya yang

meliputi rasa, pikir, cipta, karsa, dan budi pekerti manusia.

Pembinaan moral menurut Solikhin (2010:26) meliputi dua

aspek, yaitu a). terwujudnya kestabilan jiwa yang seimbang, dan b).

penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga menjadi manusia

konsisten dan komiten hanya kepada keluhuran moral.

Page 47: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

31

Dalam membina moral, ada beberapa metode pendekatan yang

diterapkan. Motode yang didasarkan pada etika kepedulian terdiri dari

empat komponen (Nucci, 2015:247-253) sebagai berikut.

1) Keteladanan

Hampir semua pendekatan pada pendidikan moral

menyadari pentingnya keteladanan. Jika kita akan mengajarkan

kaum muda untuk menjadi orang yang bermoral, kita harus

menunjukan perilaku yang bermoral pada mereka. Dari perspektif

kepedulian, kita harus menunjukan kepada mereka apa artinya

peduli.

2) Dialog

Dialog adalah unsur mendasar dari pendidikan moral dari

perspektif kepedulian. Semua bentuk pendidikan moral

menggunakan jenis pembicaraan seperti ini-biasanya pernyataan

pengetahuan, perintah, kekesalan, pujian, peringatan, nasehat.

Kesimpulannya tidak diketahui salah satu pihak di awal dan

kemudian secara bertahap diungkapkan ke pihak lain. Pembahasan

masalah dan tanggapan dalam dialog adalah sentral bagi

pendidikan moral bukan hanya karena melalui dialog lah

kepedulian diaktifkan tetapi juga karena dialog memberikan

kesempatan untuk mendiskusikan masalah moral yang khusus.

3) Praktik

Kemudian kita membutuhkan kesempatan untuk

mempraktikan apa yang telah diajarkan. Setiap perjumpaan

memberikan kesempatan pada kepedulian, dan pendidikan moral

harus menekankan hal ini. Contohnya Praktek kerjasama

memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan

sosial, dan keterampilan sosial yang berkembang dengan baik pada

gilirannya berkontribusi pada kehidupan orang yang peduli dan

orang yang dipedulikan.

4) Konfirmasi

Mengakui bahwa visi dan keyakinan tertentu adalah milik

kita sendiri dan tetap terbuka terhadap kemungkinan bahwa,

melalui dialog dan praktek, pandangan kita dapat dimodifikasi,

atau setidaknya, bahwa visi lain mungkin sepenuhnya dapat

diterima untuk orang lain.

Berdasarkan pendapat Paul Suparno dalam (Zuriah, 2011:94-

95) ada beberapa metode yang dapat ditawarkan atau digunakan untuk

pendidikan moral, yaitu sebagai berikut.

Page 48: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

32

1) Metode keteladanaan

Proses pembentukan moral pada anak akan dimulai dengan

melihat orang yang diteladaninya. Guru dapat menjadi tokoh idola

dan panutan bagi anak. Dengan keteladanan guru dapat

membimbing anak untuk membentuk sikap yang kokoh.

Keselarasan antara kata dan tindakan dari guru akan amat berarti

pada anak. Oleh karena itu, dituntut ketulusan, keteguhan,

kekonsistenan hidup seorang guru.

2) Metode live in

Ada ungkapan “pengalaman adalah guru yang terbaik”,

ungkapan ini kiranya tepat, apabila pengalaman ini sungguh

menyentuh hati dapat mengubah sikap dan pandangan hidup orang

secara mendalam. Metode live in dimaksudkan agar anak

mempunyai pengalaman hidup bersama orang lain langsung dalam

situasi yang sangat berbeda dari kehidupan sehari-harinya. Dengan

pengalaman langsung anak dapat mengenal lingkungan hidup yang

berbeda dalam cara berfikir, tantangan, permasalahan termasuk

nilai-nilai hidupnya.

5. PGOT ( Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar )

a. Pengemis

Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan

dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan

alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain ( Sesuai PP

No. 31 Tahun 1980 ).

Menurut Purnama (2015:2) Pengemis adalah seorang yang

mendapat penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan

berbagai cara dan alasan untuk mendapat belas kasihan orang lain.

Pengemis menurut Muksin (2004:87) juga tergolong kaum dhuafa,

terutama yang benar-benar lemah ekonominya. Pada kenyataannya,

banyak pengemis yang mengemis karena malas dan enggan bekerja

atau mencari nafkah. Ia pura-pura miskin kemudian pergi

mengemis kepada orang lain dengan berpakaian lusuh dan

compang-camping, sehingga terkesan miskin dan sengsara agar

orang tersentuh untuk memberikan uang.

Page 49: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

33

Pengemis sesuai pasal 6 Perda Daerah Istimewa Yogyakarta

Nomor Tahun 2014 Tentang Penanganan Gelandangan Dan Pengemis

adalah orang-orang dengan kriteria :

1) mata pencariannya tergantung pada belas kasihan orang lain, agak

terpaksa/takut.

2) berpakaian kumuh dan compang camping;

3) berada ditempat-tempat ramai/strategis; dan

4) memperalat sesama untuk merangsang belas kasihan orang lain

Menurut Riskawati dan Abdul Syani (2012:48) ada beberapa faktor

penyebab munculnya gelandangan dan pengemis, yaitu sebagai

berikut.

a) Faktor Internal, meliputi kemiskinan, keluarga, umur, cacat

fisik, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya ketrampilan,

sikap, dan mental.

b) Faktor Eksternal, meliputi lingkungan, letak geografis, dan

lemahnya penanganan masalah gelandangan dan pengemis.

Ahmad (2010:3) dalam penelitiannya menyebutkan faktor-faktor

penyebab munculnya gepeng paling tidak disebabkan oleh faktor

utama seperti berikut ekonomi, usia lanjut, cacat tubuh, minimnya

lapangan kerja yang dapat diakses oleh tenaga yang tidak terampil dan

kurang berpendidikan.

Menurut Lestari (2015:9) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa

faktor penyebab seseorang memilih menjadi pengemis yaitu sebagai

berikut.

a) Malas dan tidak mau bekerja

Mereka menjadi malas karena budaya yang diturunkan oleh

orang terdekat mereka.

Page 50: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

34

b) Faktor usia

Mereka menganggap menjadi pengemis adalah karena tenaga

yang sudah tidak seperti dulu lagi saat muda, mereka mulai

lemah dan rentan terhadap penyakit.

c) Cacat tubuh

Menganggap bahwa kondisi fisik beliau yang tidak sempurna

membuatnya tidak mempunyai kesempatan yang sama dalam

bidang apapun.

d) Pendidikan

Relative rendahnya pendidikan menyebabkan kurangnya bekal

dan keterampilan untuk hidup layak, seperti yang ditemukan

dilapangan, mayoritas.

e) Ekonomi

Kurangnya lapangan pekerjaan, kemiskinan dan akibat

rendahnya pendapatan perkapita serta tidak tercukupinya

kebutuhan hidup.

f) Lingkungan

Lingkungan juga merupakan salah faktor yang menyebabkan

seseorang menjadi pengemis, karena lingkungan memiliki

peran besar dalam mempengaruhi seseorang berperilaku,

termasuk menjadi pengemis.

g) Agama

Faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pengemis adalah

kurangnya pengetahuan tentang agama.

b. Gelandangan

Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal

dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak

didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan

spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya,

mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor

informal.

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak

sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat

setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang

Page 51: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

35

tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum

(Sesuai PP No. 31 Tahun 1980).

Menurut Suparlan (1993:179) Istilah gelandangan berasal dari kata

gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran, atau tidak pernah

mempunyai tempat kediaman yang tetap. Lingkungan hidup golongan

yang termiskin di Indonesia, yang dinamakan orang gelandangan.

Menurut Purnama (2015:2) Gelandangan adalah seorang yang

hidup dalam keadaan tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak

memiliki pekerjaan tetap dan mengembara ke tempat umum sehingga

hidup tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam

masyarakat.

Gelandangan sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Daerah Daerah

Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penanganan

Gelandangan Dan Pengemis adalah orang dengan kriteria sebagai

berikut.

1) Tanpa Kartu Tanda Penduduk (KTP);

Tanpa Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah mereka tidak memiliki

Kartu identitas ini dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau

Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM).

2) Tanpa tempat tinggal yang pasti/tetap;

Tanpa tempat tinggal yang pasti/tetap adalah tanpa tempat tinggal

yang pasti/tetap dapat berupa; rumah sendiri, rumah

kontrakan/rumah sewa, rumah kost, dan jenis tempat hunian lain

yang sah.

3) Tanpa penghasilan yang tetap; dan

Tanpa penghasilan yang tetap adalah penghasilan yang pasti

diperoleh seperti upah atau penghasilan yang didapat dari kegiatan

wirausaha. Penghasilan tetap tidak menunjuk pada jumlahnya

tetapi pada kepastian bahwa seseorang memiliki penghasilan pada

waktu tertentu, misalnya harian, mingguan atau bulanan.

Page 52: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

36

4) Tanpa rencana hari depan anak-anaknya maupun dirinya.

Tanpa rencana hari depan anak-anak maupun dirinya adalah tanpa

rencana hari depan diindikasikan dengan tidak adanya upaya

sungguh-sungguh yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas

hidup diri dan keluarganya.

Weinberg dalam Program Desaku Menanti menggambarkan

bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori

orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan

pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini,

Rubington & Weinberg dalam ( Program Desaku Menanti: Direktorat

Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI 2014)

menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan

orang pada kumpulan masyarakat pada umumnya. Gelandangan dan

Pengemis pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang

masuk dalam kategori menggelandang dan mengemis untuk bertahan

hidup, dan mereka yang menggelandang dan mengemis karena malas

dalam bekerja. Gelandangan dan pengemis pada umumnya tidak

memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke

daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak

mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai

akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari

pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living

together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak

keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak

Page 53: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

37

mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus

hubungan dengan kerabatnya di desa.

c. Orang Terlantar

Orang terlantar adalah penduduk yang karena sesuatu sebab

sehingga tidak mampu dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara

wajar baik rohani maupun jasmani maupun sosial (UU Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan). Ciri-cirinya:

1) tidak terpenuhinya kebutuhan dasar hidup khususnya pangan,

sandang dan papan;

2) tempat tinggal tidak tetap/gelandangan;

3) tidak mempunyai pekerjaan/kegiatan yang tetap;

4) miskin.

Ketelantaran merupakan (1) pengabaian / penelantaran anak-anak

dan orang lanjut usia karena berbagai sebab (2) kondisi tidak

terpenuhinya kebutuhan fisik, psikis, dan sosial secara wajar yang

disebabkan oleh ketidakmampuan sosial ekonomi, dan pengabaian

terhadap tugas dan tanggungjawab (Pusdatin Kesejahteraan Sosial,

Kamus Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, 2009).

Anak Telantar 1). Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya

melalaikan kewajibannya, sehingga kebutuhan anak tidak dapat

terpenuhi secara wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. 2).

Menurut UU No. 23 Tahun 2002 anak yang tidak terpenuhi

kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

Page 54: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

38

Pelayanan Sosial Anak Terlantar merupakan proses atau

serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terorganisir, sistematis dan

profesional terhadap anak terlantar guna terpenuhinya seoptimal

mungkin hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh kembang,

perlindungan dan partisipasi (Pusdatin Kesejahteraan Sosial, Kamus

Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, 2009).

Lanjut Usia menurut Pusdatin Kesejahteraan Sosial tahun 2009

Terlantar Lanjut usia yang tidak mempunyai bekal hidup, pekerjaan,

penghasilan bahkan tidak mempunyai sanak keluarga yang dapat

memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak (Pusdatin Kesejahteraan

Sosial, Kamus Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial,

2009).

Menurut Palenkahu dan Suling (1992:66) definisi tentang lanjut

usia/jompo terlantar di Indonesia adalah sebagai berikut.

Mereka yang telah berusia 55 tahun ke atas tetapi karena tidak

mempunyai bekal hidup, pekerjaan, atau penghasilan dan juga

tidak mempunyai keluarga atau sanak saudara yang mampu

menjamin hidupnya secara layak, maka hidupnya dalam keadaan

terlantar. Mereka dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok,

yaitu sebagi berikut.

a. Yang keadaan fisiknya sudah sangat menurun/mengalami

kemunduran, dan tidak mempunyai keluarga atau sanak

saudara yang mampu menjamin hidupnya secara layak.

b. Yang masih potensial.

c. Seperti sub. a., tetapi masih mempunyai keluarga yang mau

merawatnya meskipun keadaan hidupnya juga kurang mampu.

Pemahaman orang-orang terlantar menurut POTLANSIA (Pondok

Orang Terlantar & Lanjut Usia) dibagi dua kelompok, yaitu terlantar 1

dan terlantar 2, yang penjelasannya sebagai berikut.

Page 55: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

39

1) Yang dimaksud orang-orang terlantar 1 adalah orang-orang yang

dinyatakan oleh anggota masyarakat dan kepala desa setempat

bahwa orang tersebut benar-benar warga desa setempat yang tidak

memiliki pekerjaan/penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, tidak memiliki tempat tinggal.

2) Yang dimaksud orang-orang terlantar 2 adalah orang-orang yang

dinyatakan oleh anggota masyarakat dan kepala desa setempat

bahwa orang tersebut benar-benar warga desa setempat yang tidak

memiliki pekerjaan/penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, sudah memiliki tempat tinggal biarpun dalam kondisi

sederhana.

Pemahaman orang-orang lansia menurut POTLANSIA (Pondok

Orang Terlantar & Lanjut Usia) dibagi dua kelompok, yaitu lansia 1

dan lansia 2, yang penjelasannya sebagai berikut.

1) Yang dimaksud orang-orang lansia 1 adalah orang-orang berusia

60 tahun keatas, sudah tidak memiliki kemampuan melakukan

usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak memiliki sanak

famili, tidak memiliki tempat tinggal, hidupnya terlantar.

2) Yang dimaksud orang-orang lansia 2 adalah orang-orang lansia

berusia 60 tahun keatas, diurus oleh keluarga miskin sehingga

pengurusannya tidak memenuhi nilai-nilai kemanusiaan.

Menurut Salamah (2005:59) menyatakan bahwa mereka adalah

lansia yang terlantar tidak mempunyai keluarga dan tempat tinggal

serta dari keluarga yang tidak mampu. Perbedaan daerah asal

membawa pengaruh terhadap kebiasaan, gaya bicara dan tingkah

lakunya, di samping latar belakang pendidikan dan pengalaman

masa lalu lansia juga berpengaruh dalam segala perbuatannya.

Keadaan psikis para orang lanjut usia ditandai oleh beberapa hal,

yaitu sebagai berikut.

a. Adanya kemunduran mental, mengalami regresi yaitu suatu

tungkah laku mundur seperti anak kecil.

b. Mengalami dimensia atau pikun, yaitu mudah lupa terhadap

sesuatu yang baru saja dilakukan dan peristiwa yang baru saja

mereka alami atau lihat.

c. Mengalami ilusi atau salah tangkap, pada lansia dalam

menyapa, memanggil sering salah dia mengira temannya tetapi

bukan, salah tangkap pembicaraan orang lain.

d. Mengalami delusi, yaitu adanya anggapan bahwa segala

disekitarnya adalah jelek, baik tanggapan terhadap lingkungan,

orang-orang disekitarnya semua jelek.

e. Mengalami neurasthenia, yaitu suatu perasaan dimana orang

merasa letih, lelah dan sensitif terhadap cahaya ataupun suara.

Page 56: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

40

Pelayanan Sosial Lanjut Usia dalam Panti Pelayanan sosial

terhadap lanjut usia yang meliputi perawatan jasmani, rohani, dan

sosial serta perlindungan untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat

menikmati taraf hidup secara wajar melalui sistem pengasramaan

(Pusdatin Kesejahteraan Sosial, Kamus Glosarium Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial, 2009).

F. Kerangka Berfikir

Kesejahteraan sosial merupakan hal yang diinginkan oleh setiap

manusia yang hidup di dunia, tidak terkecuali warga negara Indonesia.

Namun, di Indonesia kesejahteraan sosial masih tergolong rendah. Akibat

kesejahteraan yang rendah di Indonesia bermunculan masalah-masalah sosial,

salah satunya masalah PMKS yang hingga saat ini masih belum teratasi

dengan baik. PMKS yang dimaksud dalam penelitian ini adalah PGOT

(Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar). PGOT muncul disebabkan

oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal

meliputi kemiskinan, keluarga, umur, cacat fisik, rendahnya tingkat

pendidikan, rendahnya ketrampilan, sikap, dan mental. Faktor Eksternal,

meliputi lingkungan, letak geografis, dan lemahnya penanganan masalah

gelandangan dan pengemis. Pemerintah melalui dinas sosial yang tersebar di

setiap wilayah negara Indonesia berupaya menanggulanginya dengan

memberdayakan Balai Rehabilitasi Sosial. Pemberdayaan Balai Rehabilitasi

Sosial dapat dilaksanakan dengan meningkatkan kualitas balai/lembaga

Page 57: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

41

dengan mengembangkan kapaitas lembaga (capacity building). Rehabilitasi

Sosial merupakan merupakan tempat untuk melaksanakan serangkaian

kegiatan pemulihan dan pemberian bantuan untuk memperbaiki kemampuan

orang untuk melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam masyarakat,

memperbaiki kemampuan orang dan lingkungan sosial dalam memecahkan

masalah-masalah sosial, memperbaiki status dan peranan sosial orang

sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam Balai

Rehabilitasi Sosial dilakukan serangkaian kegiatan misalnya pemberian

bimbingan fisik, mental, sosial, intelektual, serta ketrampilan baik diprakarsai

oleh pemerintah maupun masyarakat untuk para PGOT (Pengemis,

Gelandangan, dan Orang Terlantar) khususnya mengenai pembinaan moral

mereka. Melalui pembinaan moral yang dilaksanakan di Balai Rehabilitasi

Sosial diharapkan PGOT (Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar)

mempunyai pribadi manusia seutuhnya yang meliputi rasa, pikir, cipta, karsa,

dan budi pekerti manusia.

Page 58: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

42

Kesejahteraan Sosial Rendahnya Kesejahteraan

Sosial di Jawa Tengah

Permasalahan Sosial

PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial) salah satunya PGOT (Pengemis,

Gelandangan, dan Orang Terlantar)

Dinas Sosial

Balai Rehabilitasi Sosial

Pembinaan Moral

PGOT (Pengemis, Gelandangan, dan

Orang Terlantar) mempunyai pribadi

manusia seutuhnya yang meliputi rasa,

pikir, cipta, karsa, dan budi pekerti

manusia.

a) Faktor Internal, meliputi kemiskinan, keluarga, umur, cacat fisik, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya ketrampilan, sikap, dan mental

b) Faktor Eksternal, meliputi lingkungan, letak geografis, dan lemahnya penanganan masalah gelandangan dan pengemis.

Memberikan berbagai fasilitasnya, meliputi

pemberian bimbingan fisik, mental, sosial,

intelektual, serta ketrampilan baik

diprakarsai oleh pemerintah maupun

masyarakat

Penguatan Kapasitas (Capacity Building)

Page 59: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

127

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Pemberdayaan Balai Samekto Karti Pemalang melalui pengembangan

kapasitas kelembagaan cukup baik. Balai Samekto Karti telah menempuh

langkah-langkah untuk mengembangakan kapasitas kelembagannya, baik

pada tingkat sistem yaitu penguatan dengan adanya visi dan misi, terdapat

dasar hukum pelaksanaan balai, penyesuaian prosedur kerja balai sesuai

peraturan terbaru yaitu Peraturan Gubernur No. 53 Tahun 2013, tingkat

entitas yaitu penguatan dengan menyesuaikan struktur organisasi sesuai

Peraturan Gubernur No. 53 Tahun 2013, komunikasi, kemitraan kerja,

kepemimpinan, sarana dan prasarana, dan tingkat individu yaitu penguatan

yang dilakukan adalah penambahan jalur rekruitmen, peningkatan standar

kompetensi calon, pengembangan pegawai melalui pengikutsertaan

pegawai dalam pelatihan-pelatihan yang bersangkutan.

2. Strategi pembinaan moral yang dilakukan oleh Balai Samekto Karti

Pemalang dilakukan dengan beberapa kegiatan pembinaan, yaitu

pembinaan keagamaan untuk menumbuhkan nilai religius, pembinaan

mental dan sosial untuk menumbuhkan nilai sosialitas, pembinaan ideologi

dan pembinaan perilaku untuk menumbuhkan nilai kesopanan dan

tanggung jawab serta pembinaan ketrampilan untuk menumbuhkan nilai

kemandirian. Pembina berusaha memberikan solusi yang terbaik dalam

memecahkan masalah yang dihadapi oleh penerima manfaat, baik masalah

Page 60: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

128

pribadi maupun masalah kelompok. Dalam melakukan penyampaian

pembinaan moral, pembina menggunakan metode keteladanan, dan

praktek. Misalnya memberikan contoh kepada penerima manfaat dengan

kedisiplinan, supaya para penerima manfaat dapat disiplin dan mematuhi

peraturan yang ada.

3. Kendala atau hambatan yang dihadapi oleh pegawai Balai Rehabilitasi

Sosial PGOT/Eks.Psikotik Samekto Karti Pemalang adalah kendala

komunikasi dengan penerima manfaat, keberadaan pegawai yang kurang

memadai sehingga untuk memberikan pelayanan terhadap penerima

manfaat kurang optimal, serta sarana prasana yang kurang memadai,

seperti pemeliharaan, pemanfaatan dan pengoptimalan sarana dan

prasarana.

B. Saran

1. Balai Samekto Karti Pemalang perlu adanya upaya peningkatan

pengembangan kapasitas, khususnya penguatan pada sarana dan prasarana

balai, misalnya peningkatan pemeliharaan alat-alat ketrampilan dan

penambahan alat-alat terapi untuk pelaksanaan rehabilitasi kepada

penerima manfaat. Kemudian penguatan kapasitas pegawai lebih

ditingkatan, misalnya penambahan pramu rukti dan pekerja sosial, serta

pmemperbanyak keikutsertaan pada pelatihan-pelatihan yang

diselenggarakan oleh pihak-pihak terkait.

2. Balai Samekto Karti dalam memberikan pembinaan moral sudah baik,

diharapkan dapat mempertahankannya dan berusaha untuk

Page 61: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

129

meningkatkannya agar menjadi lebih baik lagi. Cara yang digunakan untuk

membina penerima manfaat hendaknya dilakukan dengan berbeda, karena

di Balai Samekto Karti sebagian besar penghuninya adalah PGOT

Eks.Psikotik misalnya melalui kegiatan yang lebih menyenangkan, seperti

penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai

dan pegawai lebih sabar menghadapi penerima mannfaat.

3. Balai Samekto Karti dalam mengatasi kendala yang ada sudah baik,

diharapkan dapat mempertahankan dan lebih meningkatkannya agar lebih

baik lagi. Caranya untuk kekurangan pegawai, pihak balai dapat

mengajukan surat permohonan kekurangan pegawai seperti yang sudah di

instruksikan oleh Dinas Sosial Jawa Tengah.

Page 62: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

130

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Haryanto. 2014. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan: Teori dan Aplikasi.

Jakarta: AP2I Nasional.

Ibung, Dian. 2009. Mengembangkan Nilai Moral pada Anak: Panduan bagi

Orang Tua untuk Membimbing Anaknya Menjadi Anak yang Baik.

Jakarta: PT. Elex Media Kompututindo.

Maman, Rachman. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Moral: dalam

Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Campuran, Tindakan, dan

Pengembangan. Semarang: UNNES Press.

Mangunhardjana, A. 1998. Isme-Isme Dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta:

Kanisius.

Miles, Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku

Sumber Tantang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.

Moleong, L. J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya.

Morgan, Howard, Phil Harkins dan Marshal Goldsmith. 2006. The Art & Practice

Of Leadership Coaching. Jakarta: Transmedia.

Muksin. 2004. Menyayangi Dhuafa. Jakarta: Gema Insani Press.

Muchson, dan Samsuri.2013. Dasar – Dasar Pendidikan Moral (Berbasis

Pengembangan Pendidikan Karakter). Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Nucci, Larry P & Darcia Narvaez. 2015. Handbook Pendidikan Moral dan

Karakter. Bandung: Nusa Media

Palenkahu, S.S, dan Suling. 1992. Pedoman Praktis bagi Manusia Usia Lanjut:

petunjuk-petunjuk yang berguna berdasarkan pengalaman kehidupan

pribadi. Jakarta: Gunung Mulia.

Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial. 2009. Glosarium

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Kementrian Sosial

Republik Indonesia.

Page 63: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

131

Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial.2012. Rekapitulasi Data

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Per Provinsi Tahun

2012. Jakarta: Kementrian Sosial Republik Indonesia

Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan

Organisasi Nonprofit. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Siagian, Sondang. P. 2002. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta: Bumi

Aksara.

Soekarso, dan Iskandar Putong. 2015. Kepemimpinan: Kajian Teoritis dan

Praktis. Jakarta: Buku & Artikel Karya Iskandar Putong.

Solikhin, Muhammad. 2010. Menyatu Diri dengan Ilahi. Yogyakarta: NARASI.

Sumarsono, dkk. 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka

Umum.

Suparlan, Parsudi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan: bacaan untuk antropologi

perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tjandra, W. Riawan. 2006. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Grasindo.

Widati, Sri. 2010. Rehabilitasi Psiko-Fisikal. Buku Ajar. Bandung: Universitas

Pendidikan Indonesia.

Widodo, Nurdin, dkk. 2012. Evaluasi Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Pada Panti

Sosial Pembinaan Lanjut (After Care Services) Pasca Rehabilitasi Sosial

2012. Jakarta: P3KS Press.

Wrihatnolo, Randy R dan Riant Nugroho Dwidjowijoto. 2007. Manajemen

Pemberdayaan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Zuriah, Nurul. 2011. Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif

Perubahan Menggagas Platfom Pendidikan Budi pekerti secara

Kontekstual dan Futuristik. Jakarta Bumi Aksara.

Jurnal

Ahmad, Maghfur. 2010. Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan-

Pengengemis (Gepeng). Dalam Jurnal Penelitian. Vol. 7.No.2.

Firdaus. 2014. Upaya Pembinaan Rohani dan Mental. Dalam Al-Adyan. Vol.

9.No. 01.

Habibullah. 2010. Hubungan antara Konsep Diri dengan Penyesuaian Diri

Gelandangan dan Pengemis di PBSK Pabgudi Luhur Bekasi. Dalam

Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial.Vol. 15.No. 2.

Page 64: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

132

Lestari, Puji. 2015. Studi Tentang Kategorisasi Pengemis di Kota Pekanbaru.

Dalam Jom FISIP.Vol. 2.No. 1.

Ningtyas M. Ratna Juwita, Heru Ribawanto, dan Minto Hadi. 2014. Upaya

Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan.

Dalam Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 4, Hal. 687-693.

Nurfitriyana, Sjamsiar Sjamsuddin, dan Lely Indah Mindarti. 2013. Pelayanan

Publik Dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Sosial. Dalam Jurnal

Administrasi Publik (JAP).Vol.2. No.3.Hal.564-570.

Purnama, Andrio dan Febri Yuliani. 2015. Pelaksanaan Pembinaan Gelandangan

dan Pengemis oleh Dinas Sosial Kota Pekanbaru. Dalam Jom FISIP.

Vol. 2. No. 1.

Ratnasari, Jenivia Dwi, Mochamad Makmur, dan Heru Ribawanto. 2013.

Pengembangan Kapasitas (Capacity Building) Kelembagaan Pada

Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jombang. Dalam Jurnal

Administrasi Publik (JAP), Vol.1, No.3, h. 103-110.

Riskawati, Isma dan Abdul Syani. 2012. Faktor Penyebab Terjadinya

Gelandangan dan Pengemis. Jurnal Sociologie, Vol. 1, No.1, Hal. 43-52

Salamah. 2005. Kondisi Psikis dan Alternatif Penanganan Masalah

Kesejahteraan Sosial Lansia di Panti Wredha. Jurnal PKS Vol. IV No.

11, 2005, Hal.55-61.

Sulistiawati, Rini. 2012. Pengaruh Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga

Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia. Vol. 8.

No. 3. Hal 195-211.

Wardani, Novita Eko dan M. Towil Ummuri. 2001. Bentuk-bentuk Pembinaan

Moral Siswa SMA PGRI 1 Temanggung Tahun Ajaran 2008/2009. Dalam

Citizen.Vol. 1.No. 1.

Peraturan Perundangan

Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Penanganan Gelandangan Dan Pengemis.

Peraturan Gubernur Jawa Tengah No 53 Tahun 2013 Tentang Organisasi dan

Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Sosial Provinsi Jawa

Tengah.

Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 111 Tahun 2010 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Pada Dinas Sosial Provinsi Jawa

Tengah.

Page 65: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

133

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 129/Huk/2008 tentang Standar

Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial Daerah Provinsi,

Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Pengemis dan

Gelandangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial.

Undang-Undang Dasar 1945. 2011. Bandung: Diperbanyak oleh Fokusmedia.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Skripsi

Mahayyun, Shofria Ihda. 2008. “Pelaksanaan Pembinaan Keagamaan Para

Lansia Muslim di Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unit Budhi

Luhur Kasihan, Bantul, Yogyakarta”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas

Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.

Mallalahi, Nurul Hasmy. 2012. “Pranata Sosial Perlindungan Anak Terlantar di

Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bambu Apus”. Skripsi. Depok:

Fakultasi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Pribandiyono. 2011. “Kemampuan Sumber Daya Organisasi dan Kompetensi

(Capacity Building Organizations and Competences)”. Makalah disajikan

dalam Seminar Aplikasi Kompetensi Sumber Daya Manusia dalam

Organisasi, Surabaya, Quantum HRM Internasional, 12 Maret.

Internet

Badan Pusat Statistik. 2012. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980,

1990, 1995, 2000 dan 2010.http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?

tabel=1&id_subyek=12. (14 Feb 2015)

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI.2014.

Pengembangan Model Rehabilitasi Sosial Gepeng Dan Pemulung

Melalui Program Desaku Menanti Provinsi Jawa

Timur.http://Kemsos.go.id/ unduh/rehsos/. (18 Januari 2015)

Hidayatulah, Hanif. 2014. Pemda Kota Tegal Razia PGOT.Kamis, 27 November

2014, 15:55.http://www.pewarta-indonesia.com/berita/daerah/15049-

pemda-kota-tegal-razia-pgot.pdf. (5 Maret 2015)

Page 66: SKRIPSI - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/27458/1/3301411016.pdf · lebih menyenangkan, seperti penerima manfaat diajak keluar dari balai untuk melakukan jalan santai dan pegawai lebih

134

Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Departemen Pendidikan

Nasional Republik Indonesia.http://badanbahasa.kemdikbud.go.id

/kbbi/index.php. (30 Maret 2015)

Yayasan Pembina Kesejahteraan Hidup Karomah Setambul Bahirotun. 2011.

POTLANSIA (Pondok Orang Terlantar & Lanjut Usia).

https://yayasanksb.wordpress.com/potlansia. (14 Februari 2015)