skripsi faktor faktor yang berhubungan dengan …repository.stikes-bhm.ac.id/591/1/1.pdfpeminatan...
TRANSCRIPT
SKRIPSI
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN KUSTA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
WONOASRI KABUPATEN MADIUN
Oleh :
HETTY APRILIANA
NIM : 201503023
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2019
ii
SKRIPSI
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN KUSTA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
WONOASRI KABUPATEN MADIUN
Diajukan untuk memenuhi
Salah satu persyaratan dalam mencapai gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)
Oleh :
HETTY APRILIANA
NIM : 201503023
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2019
iii
iv
v
LEMBAR PERSEMBAHAN
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat, nikmat, dan rahmat-Nya
yang telah kekuatan, dan kesempatan menggenggam ilmu sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya kecil ini. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan maka apabila telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah dengan
sungguh – sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanlah hendaknya
kamu berharap (Qs. Alam Nasyrah: 7,9). Dengan seiring rasa
syukurku,kupersembahkan karya kecil ini kepada orang – orang tercinta dan rasa
terima kasih untuk:
1. Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya
kepada penulis, sehingg mampu menyelesaikan karya ini dengan baik.
2. Kedua orang tuaku tercinta yang tidak pernah hentinya selama ini
memberiku semangat, doa, dorongan, nasehat dan kasih saying yang tak
tergantikan hingga aku kuat menjalani setiap rintangan yang ada.
3. Untuk sahabat – sahabatku yang sama – sama berjuang yang tidak bosan
mengingatkan dan member semangat satu sama lain.
4. Untuk teman – temanku Kesehatan Masyarakat angkatan 2015 terima kasih
atas segala dukungannya, motivasi sehingga tersusunlah skripsi ini.
5. Untuk dosen pembimbing dan ilmunya yang telah memberikan coretan
terindah sehingga saya bisa menyelesaikan karya kecil ini dengan baik.
vi
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Hetty Apriliana
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Madiun, 23 April 1997
Agama : Islam
Alamat : Jalan Kerto Manis No 33 Perumahan Maniserjo 1 Kota
Madiun
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan : 1. Lulusan TK Candra Switama Tahun 2003
2. Lulusan SD Negeri 02 Demangan Tahun 2009
3. Lulusan SMP Negeri 10 Kota Madiun Tahun
2012
4. Lulusan SMA Negeri 6 Kota Madiun Tahun 2015
5. STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun Tahun 2015-
sekarang
viii
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN 2019
ABSTRAK
Hetty Apriliana
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
KUSTA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS WONOASRI KABUPATEN
MADIUN
113 halaman + 40 tabel + 8 gambar + 12 lampiran
Latar belakang:Indonesia menempati jumlah insiden kusta tertinggi nomor 3 di dunia
dengan jumlah kasus 16.826 penderita. Kasus di provinsi Jawa Timur pada tahun 2016
ditemukan kasus baru penderita kusta sebanyak 4.058 penderita. Dari data Dinas
Kesehatan Kabupaten Madiun untuk wilayah kerja Puskesmas Wonoasri diperoleh
jumlah kasus Kusta pada tahun 2018 jumlah kasus 35 penderita.
Tujuan penelitian: Mengetahui Faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian
kusta diwilayah kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Metode penelitian: Desain penelitian ini menggunakan pendekatan case control dalam
menentukan sampel dengan menggunakan teknik Probabality Sampling dengan jenis
Simple Random Sampling. Jumlah sampel penelitian sejumlah 60 responden.
Hasil penelitian:Terdapat hubungan antara riwayat kontak p= 0,026 (95% CI= 1,320 –
14,504), kelembaban p= 0,006 (95% CI= 1,667 – 16,515), luas ventilasi p = 0,041 (95%
CI= 1,203 – 15,605), jenis dinding p= 0,004 (95% CI= 1,890 – 19,043), jenis lantai p=
0,030 (95% CI= 1,272 – 12,578), status ekonomi p= 0,009(1,612 – 15,071), status
pekerjaan p= 0,016 (95% CI= 1,452 – 14,389) dengan kejadian penyakit kusta.
Kesimpulan: Penyakit kusta dapat menular dengan sangat mudah terutama pada kondisi
rumah yang memenuhi syarat dan status ekonomi, pekerjaandan riwayat kontak yang
masih berisiko.
Kata Kunci:Kejadian Kusta,Jenis Dinding,Status Ekonomi
Kepustakaan: 43 (2007 – 2018)
ix
STUDY PROGRAM PUBLIC HEALTH
ABSTRACT
Hetty Apriliana
THE RELATED FACTORS WITH LEPROSY IN WONOASRI PRIMARY
HEALTH CENTERS IN MADIUN REGENCY
113 pages+ 40 Tables + 8 Pictures + 12 Attachments
Background: Indonesia occupies the highest leprosy incidence number 3 in the
world by the number of cases of 16,826 sufferers. Cases in East Java province in
the year 2016 found new cases of 4,058 sufferers as much as lepers. From
Madison County health service data for work-area Clinics Wonoasri obtained the
number of cases of leprosy in 2018 the number of cases of 35 sufferers.
Research objectives: knowing the Factors – factors that are associated with the
incidence of leprosy relic in Madiun Regency Wonoasri public health work.
Research methods: the design of this research using an approach case-control in
determining the sample by using the technique of Sampling Probabality with this
type of Simple Random Sampling. The number of samples of research a number
of 60 respondents.
Research results: there is a relationship between the contact history p = 0.026
(95% CI = 1.320 – 14.504) humidity p = 0.006 (95% CI = 1.667 – 16.515),
extensive ventilation p = 0.041 (95% CI = 1.203 – 15.605), a type of wall p =
0.004 (95% CI = 1.890 – 19.043), a type of floor p = 0.030 (95% CI = 1.272 –
12.578), economic status p = 0.009 (1,612 – 15.071),employment status p = 0.016
(95% CI = 1.452 – 14.389) with the incidence of leprosy.
Conclusion: leprosy can be transmitted very easily especially on home conditions
and economic status, pekerjaandan the contact history is still risky.
Keywords: incidence of Leprosy, this type of wall, the Economic
Literature: 43 (2007 – 2018)
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan Rahmat, Ridho’ dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi dengan baik dan lancar.
Dalam penyusunan skripsi ini banyak pihak yang memberi dukungan sebagai
penyempurnaan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapakan terima kasih yang sebesarnya kepada :
1. Bapak Zaenal Abidin, S.KM., M.Kes (Epid) selaku Ketua STIKES Bhakti
Husada Mulia Madiun dan selaku Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan motivasi dalam penyusunan skripsi.
2. Ibu Avicena Sakufa Marsanti, S.KM., M.Kes selaku Ketua Prodi S1
Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun yang telah
memberikan sarana dan prasarana untuk peneliti dan selaku Pembimbing I
yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam penyusunan skripsi.
3. Ibu Hanifah Ardiani, S.KM., M.KM selaku Ketua Dewan Penguji skripsi.
4. Seluruh staf Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun yang telah menerima
dan membantu saya dalam melakukan pengumpulan data.
5. Teman-teman yang telah memberikan mendukung dan membantu dalam
menyelesaikanl skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan
memberikan manfaat bagi pembaca serta perkembangan dunia pendidikan
kesehatan di masa yang akan datang.
Madiun, Juli 2019
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Sampul Depan .................................................................................................... i
Sampul Dalam .................................................................................................... ii
Lembar Persetujuan ............................................................................................ iii
Lembar Pengesahan ........................................................................................... iv
Lembar Persembahan ........................................................................................ v
Halaman Pernyataan ........................................................................................... vi
Daftar Riwayat Hidup ........................................................................................ vii
Abstrak ............................................................................................................... viii
Kata Pengantar ................................................................................................... x
Daftar Isi ............................................................................................................. xi
Daftar Tabel ....................................................................................................... xiv
Daftar Gambar .................................................................................................... xvi
Daftar Lampiran ................................................................................................. xvii
Daftar Singkatan .................................................................................................xviii
Daftar Istilah ....................................................................................................... xix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................. 6
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 8
1.5 Keaslian Penelitian ...................................................................... 9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kusta .......................................................................... 11
2.2 Proses Deteksi dan Identifikasi Penyakit Kusta .......................... 12
2.3 Klasifikasi Kusta ......................................................................... 13
2.4 Epidemiologi ............................................................................... 14
2.5 Cara Penularan ............................................................................. 15
xii
2.6 Tanda-tanda Gejala Kusta ........................................................... 16
2.7 Pengobatan dan Pengendalian Pengobatan ................................. 17
2.7.1 Pengobatan ....................................................................... 17
2.7.2 Pengendalian Pengobatan ................................................ 19
2.8 Reaksi Kusta ................................................................................ 20
2.9 Upaya Pencegahan Kusta ............................................................ 21
2.9.1 Pencegahan Primer .......................................................... 21
2.9.2 Pencegahan Sekunder ...................................................... 22
2.9.3 Pencegahan Tersier .......................................................... 23
2.10 Faktor yang Menyebabkan Kejadian Kusta ................................ 26
2.10.1 Agent ................................................................................ 26
2.10.2 Host .................................................................................. 27
2.10.3 Environment ..................................................................... 28
2.11 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta .......... 30
2.11.1 Faktor Host ...................................................................... 30
2.11.2 Faktor Agent .................................................................... 35
2.11.3 Faktor Environment ......................................................... 35
2.12 Kondisi Fisik Rumah ................................................................... 41
2.12.1 Definisi Rumah Sehat ...................................................... 41
2.12.2 Syarat-syarat Rumah Sehat .............................................. 42
2.13 Kerangka Teori ............................................................................ 48
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL dan HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual .................................................................. 49
3.2 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 50
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian ......................................................................... 52
4.2 Populasi dan Sampel .................................................................... 54
4.2.1 Populasi ........................................................................... 54
4.2.2 Sampel ............................................................................. 54
4.3 Teknik Sampling ........................................................................ 57
4.4 Kerangaka Kerja Penelitian ......................................................... 58
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ............... 60
4.5.1 Variabel Penelitian........................................................... 60
4.5.2 Definisi Operasional Variabel ......................................... 60
4.6 Instrumen Penelitian .................................................................... 64
4.6.1 Kuesioner ......................................................................... 64
4.6.2 Observasi ......................................................................... 64
4.6.3 Wawancara ...................................................................... 64
4.6.4 Pengukuran ...................................................................... 65
4.6.5 Uji Validitas ..................................................................... 66
4.6.6 Uji Reliabilitas ................................................................. 67
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 68
4.8 Jenis Data .................................................................................... 69
4.8.1 Data Primer ...................................................................... 69
4.8.2 Data Sekunder .................................................................. 69
xiii
4.9 Teknik Pengolahan Data .............................................................. 69
4.10 Analisis Data .............................................................................. 71
4.10.1 Analisis Univariat ............................................................ 71
4.10.2 Analisis Bivariat .............................................................. 71
4.11 Etika Penelitian ............................................................................ 73
4.11.1 Lembar Persetujuan (Informed Consent) ......................... 73
4.11.2 Tanpa Nama (Anonimity) ................................................. 73
4.11.3 Kerahasiaan (Confidentiality) .......................................... 74
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum ....................................................................... 75
5.1.1 Letak dan Batas-Batas Wilayah ....................................... 75
5.1.2 Kependudukan/Demografi ............................................... 77
5.1.3 Taraf Tingkat Pendidikan ................................................ 78
5.2 Karakteristik Responden ............................................................. 78
5.2.1 Jenis kelamin ................................................................... 78
5.2.2 Pendidikan ....................................................................... 79
5.2.3 Kejadian Kusta ................................................................ 79
5.2.4 Umur ................................................................................ 79
5.3 Hasil penelitian ............................................................................ 80
5.3.1 Hasil Univariat ................................................................. 80
5.3.2 Hasil Bivariat ................................................................... 82
5.4 Pembahasan ................................................................................. 87
5.4.1 Hubungan Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta ....... 89
5.4.2 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Kusta ............. 91
5.4.3 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian Kusta .......... 93
5.4.4 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian Kusta ........... 96
5.4.5 Hubungan Jenis Lantai Dengan Kejadian Kusta ............. 98
5.4.6 Hubungan Status Ekonomi Dengan Kejadian Kusta ....... 101
5.4.7 Hubungan Status Pekerjaan Dengan Kejadian Kusta ...... 103
5.5 Keterbatasan Penelitian ............................................................... 105
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan .................................................................................. 106
6.2 Saran ............................................................................................ 108
DAFTAR PUSTAKA
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian ................................................................. 9
Tabel 2.1 Tanda Utama Kusta Pada Tipe PB dan MB ........................... 14
Tabel 2.2 Efek Samping Obat Multi Drug Therapy dan Penangannya .. 19
Tabel 2.3 Perbedaan Antara Reaksi Kusta Tipe I dan Tipe II ................ 21
Tabel 4.1 Nilai Odds Ratio Beberapa Faktor Kejadian Kusta ............... 55
Tabel 4.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................. 56
Tabel 4.3 Definisi Operasional Variabel ................................................ 61
Tabel 4.4 Data Validitas Instrumen Penelitian ....................................... 67
Tabel 4.5 Nilai Alpha Cronbach’s......................................................... 67
Tabel 4.6 Data Reliabilitas Instrumen Penelitian ................................... 68
Tabel 4.7 Realisasi Penelitian ................................................................ 68
Tabel 4.8 Coding .................................................................................... 70
Tabel 4.9 Analisi Bivariat ...................................................................... 72
Tabel 5.1 Luas Wilayah dan Jumlah Dusun per Desa Tahun 2017 ........ 75
Tabel 5.2 Jumlah KK dan Jumlah penduduk per Desa ........................... 77
Tabel 5.3 Klasifikasi Keadaan Pendapatan masyarakat Miskin ............. 77
Tabel 5.4 Tingkat Pendidikan Penduduk Tahun 2017 ............................ 78
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Di UPT Puskesmas Wonoasri 2019 ....................................... 78
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan
Di UPT Puskesmas Wonoasri 2019 ...................................... 79
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri 2019 ............................. 79
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
xv
di UPT Puskesmas Wonoasri 2019 ........................................ 79
Tabel 5.9 Distribusi Riwayat Kontak Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun ....... 80
Tabel 5.10 Distribusi Kelembaban Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun ....... 80
Tabel 5.11 Distribusi Luas Ventilasi Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun ....... 81
Tabel 5.12 Distribusi Jenis Dinding Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun ...... 81
Tabel 5.13 Distribusi Jenis Lantai Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun ....... 81
Tabel 5.14 Distribusi Status Ekonomi Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun ...... 82
Tabel 5.15 Distribusi Status Pekerjaan Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun ...... 82
Tabel 5.16 Hubungan Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta.............. 83
Tabel 5.17 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Kusta ................... 84
Tabel 5.18 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian Kusta ................ 84
Tabel 5.19 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian Kusta.................. 85
Tabel 5.20 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian Kusta .................... 86
Tabel 5.21 Hubungan Status Ekonomi dengan Kejadian Kusta .............. 86
Tabel 5.22 Hubungan Status Pekerjaan dengan Kejadian Kusta ............. 86
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Model 1 Segitiga Epidemiologi ......................................... 28
Gambar 2.2 Model 2 Segitiga Epidemiologi ......................................... 29
Gambar 2.3 Model 3 Segitiga Epidemiologi ......................................... 29
Gambar 2.4 Kerangka Teori .................................................................. 48
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ............................................. 49
Gambar 4.1 Skema Case Control .......................................................... 53
Gambar 4.2 Kerangka Kerja Penelitian ................................................ 59
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kecamatan Wonoasri ................................... 76
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Pengambilan Data Awal
Lampiran 2 Surat Balasan Pengambilan Data Awal
Lampiran 3 Surat Izin Penelitian
Lampiran 4 Surat Balasan Izin Penelitian
Lampiran 5 Kwitansi Pembayaran Penelitian di Puskesmas Wonoari
Lampiran 6 From Bimbingan Penelitian
Lampiran 7 Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 8 Lembar Kuesioner
Lampiran 9 Lembar Observasi
Lampiran 10 Hasil Output Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 11 Hasil Output Univariat dan Bivariat
Lampiran 12 Dokumentasi Penelitian
xviii
DAFTAR SINGKATAN
AC : Air Conditioner
APHA : The American Public Health Association
BCG : Bacil Calmatte Guerine
ENL : Erytheam Nodusom Leprosum
MB : Multi Basier atau Kusta Basah
MH : Morbus Hansen
ML : Mycobacterium Leprae
OR : Odd Ratio
PB : Pausi Basiler atau Kusta Kering
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
RFC : Relase Froam Control
RFT : Relase From Treatment
UMR : Upah Minimum Regional
WHO : Word Health Organization
xix
DAFTAR ISTILAH
Agent : Pembawa
Environment : Lingkungan
Eritematosa : Kemerahan Pada Kulit
Fragmented : Bentuk Pecah
Granular : Bentuk Berbutir - Butir
Hiperpigmentasi : Warna Kulit Menjadi Lebih Gelap
Hipopigmentassi : Warna Kulit Menjadi Lebih Terang
Host : Penjamu
Leprosy : Kusta
Multi Basier : Kusta Basah
Pausi Basiler : Kusta Kering
Relaps : Kambuh
Solid : Bentuk Utuh
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit berbasis lingkungan merupakan penyakit yang proses
kejadiannya pada sebuah kelompok masyarakat yang memiliki keterkaitan
erat dengan satu atau lebih komponen lingkungan dalam sebuah ruang.
Laporan WHO menunjukkan bahwa faktor lingkungan berpengaruh secara
signifikan terhadap lebih dari 80% penyakit. Masalah kesehatan dan
penyakit berbasis lingkungan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan
yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang memadai, baik kualitas
maupun kuantitasnya dapat menyababkan bebagai penyakit salah satunya
adalah penyakit kusta (WHO, 2017).
Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks. Penyakit tersebut akan berdampak pada
kelangsungan hidup keluarga (Depkes RI, 2015). Kusta disebut juga Morbus
Hansen (MH) merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae yang menyerang kulit. Dikenal ada dua macam tipe kusta yaitu tipe
MB (Multi Basier atau Kusta Basah) dan tipe PB (Pausi Basiler atau Kusta
Kering). Kusta tipe MB merupakan sumber penularan penyakit kusta,
namun cara penularan yang pasti belum diketahui. Penularan kusta secara
jelas masih belum diketahui tetapi sebagai besar dari peneliti menyimpulkan
bahwa penularan utama kusta yaitu melewati kulit, namun perlu kontak
2
yang akrab dan lama dengan penderita kusta hingga dapat terinfeksi
penyakit kusta (Fitra, 2013).
Penyakit kusta masih menjadi masalah, baik skala global maupun
nasional. Insiden kusta di berbagai benua pada tahun 2016 antara lain di
benua Afrika sebesar (19.384 kasus), di benua Amerika sebesar (27.356
kasus), di Mediterania Timur sebesar (2.834 kasus), di benua Asia Tenggara
(161.263) kasus dan di Pasifik Barat sebesar (3.914 kasus). Selain itu WHO
juga melaporkan bahwa Indonesia menempati jumlah insiden kusta tertinggi
nomor 3 di dunia dengan jumlah kasus sebesar (16.826 kasus) setelah India
(385.485 kasus) dan Brazil (25.281 kasus) (WHO, 2017).
Di Indonesia penyakit kusta masih menjadi masalah. Angka kejadian
kusta di Indonesia masih bisa diturunkan meskipun relatif lambat. Angka
prevalensi kusta di Indonesia dilaporkan 15.910 kasus (6,1%/ 100.000
penduduk). Sedangkan pada Provinsi Jawa Timur pada tahun 2016 angka
prevalensi penyakit kusta mengalami kenaikan 4.058 kasus (1,04%/ 10.000
penduduk). Khususnya Kabupaten Madiun menduduki urutan ke-19 dari 54
kasus penyakit kusta di jawa timur. Pada tahun 2017 Kabupaten Madiun
mengalami kenaikan dengan angka prevalensi 23 kasus (0,34/ 10.000
penduduk).
Di Kabupaten Madiun 2 peringkat teratas yang menduduki kasus kusta
yang tertinggi Puskesmas Balerejo dan Puskesmas Wonoasri. Peringkat ke-1
diduduki oleh Puskesmas Balerejo dengan 28 kasus (15%) di tahun 2017
dan 39 kasus (25%) ditahun 2018. Sedangkan Puskesmas Wonoasri yang
3
menduduki peringkat ke – 2 mempunyai kasus kusta 22 kasus (13,7%) di
tahun 2017 dan 35 kasus (22,9%) di tahun 2018. Peneliti mengambil kasus
di wilayah kerja Puskesmas Wonoasri dikarenakan kusta basah lebih
banyak dibandingkan kusta kering. Sedangkan, di wilayah kerja Puskesmas
Balerejo kusta basah lebih sedikit dibandingkan kusta kering. Sehingga,
penularan kusta yang paling beresiko di wilayah kerja Puskesmas Wonoasri.
Faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit kusta adalah faktor
perilaku individu, lingkungan, pendapatan keluarga, riwayat kontak.
Kondisi sehat dapat dicapai dengan mengubah perilaku tidak sehat dan
menciptakan lingkungan sehat dirumah tangga. Perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) merupakan pola keluarga yang memperhatikan dan menjaga
kesehatan seluruah anggota keluarga (Shilvia, 2014).
Kondisi fisik rumah sangat mempengaruhi kesehatan bagi penghuninya.
Rumah sehat adalah bangunan rumah tinggal yang memenuhi syarat
kesehatan yang terdiri dari komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku
antara lain yaitu memiliki jamban sehat, tempat pembuangan sampah,
sarana air bersih, saranan pembuangan air limbah, ventilasi baik, dan lantai
rumah tidak dari tanah (Profil Kesehatan Indonesia, 2016).
Di wilayah kerja Puskesmas Wonoasri pada kondisi fisik rumah masih
banyak yang kurang memenuhi syarat kesehatan. Jumlah rumah tangga yang
berperilaku hidup bersih dan sehat 2016 sebanyak 899 (48,7%) dan 2017
sebanyak 907 (67%) rumah tangga yang dikatagorikan sebagai rumah
tangga yang sehat dari 9.570 rumah yang dipantau. Cakupan rumah pada
4
masyarakat di Wonoasri dalam katagori belum memenuhi syarat dan lebih
rendah dari target nasional yaitu 80% (Depkes RI, 2015). Dapat
disimpulkan bahwa pencapaian rumah sehat di Puskesmas Wonoasri belum
100%, Keadaan ini diduga menjadi perkembangbiakan kuman kusta di
dalam rumah dan memungkinkan penularan penyakit dapat berlangsung
(Profil Puskesmas Wonoasri, 2017).
Faktor lingkungan dan faktor perilaku merupakan faktor paling
dominan terhadap tinggi rendahnya derajatnya kesehatan, oleh karena itu
lingkungan sehat dan perilaku sehat perlu diupayakan dengan sebenar-
benarnya. Lingkungan merupakan salah satu faktor paling penting dan
berpengaruh positif terhadapnya terwujudnya statsus kesehatan masyarakat.
Lingkungan merupakan faktor determinan dalam menularkan dan
memunculkan suatu penyakit, baik penyakit menular maupun tidak menular
(Shilvia, 2014).
Faktor lingkungan di masyarakat Wonoasri dalam katagori belum
memenuhi syarat. Mayoritas rumah masyarakat Wonoasri masih berlantai
tanah, ventilasi dan aliran udara kurang lancar, jenis dinding batu bata,serta
jumlah penghuni rumah lebih dari lima orang. Faktor lingkungan yang tidak
baik dapat memunculkan suatu penyakit.
Selain faktor lingkungan dan faktor perilaku yang merupakan faktor
paling dominan. Riwayat kontak juga sangat berpengaruh terhadap penyakit
kusta. Bila seseorang yang berhubungan dengan penderita kusta baik
serumah maupun tidak serumah. Sumber penularan kusta adalah kusta utuh
5
yang berasal dari penderita kusta, jadi penularan kusta lebih mudah terjadi
jika ada kontak langsung dengan penderita kusta (Imam Wahjoedi, 2016).
Penderita kusta di Wonoasri mayoritas bertempat tinggal satu rumah
dengan mereka yang belum terdeteksi penyakit kusta. Sehingga, dengan
adanya kontak langsung dengan penderita bakteri Mycobacterium leprae
dengan mudah masuk ke tubuh anggota keluarga yang belum terdeteksi
penyakit kusta.
Faktor ekonomi dan status pekerjaan berperan dalam kejadian kusta, hal
ini terbukti pada Negara-negara eropa. Peningkatan sosial ekonomi
berdampak pada penurunan kasus kusta. Kondisi ekonomi keluarga rendah
mempunyai resiko lebih besar menderita kusta dibandingkan dengan
seseorang yang kondisi ekonominya keluarganya baik. Jenis pekerjaan
diduga dapat mempengaruhi kejadian kusta (Shilvia, 2014).
Masyarakat Wonoasri mayoritas pekerjaannya sebagai petani, buruh
tani dan penghasilnya masih kurang dibawah UMR Kabupaten Madiun. Hal
tersebut, dapat dikatakan status ekonominya masih rendah. Status ekonomi
keluarga yang rendah mempunyai resiko yang lebih besar menderita kusta
dibandingkan dengan keluarga yang kondisi ekominya baik.
Dari permasalahan diatas maka perlu memperhatikan mata rantai
penularan penyakit kusta, penyakit kusta dapat diputuskan penularannya
melalui intervensi yang sesuai dan hal ini dapat dilakukan jika proses
terjadinya infeksi penyakit tersebut diketahui. Penyakit kusta bisa
dihentikan bila kondisi lingkungan, riwayat kontak harus diperbaiki dengan
6
tepat. Untuk instansi kesehatan sebaiknya memberikan pelayanan promotif
yang berkaitan dengan penyakit kusta seperti memberikan penyuluhan
mengenai pentingnya menciptakan dan memelihara rumah sehat serta
kegiatan penyisiran untuk menemukan penderita kasus baru.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin melakukan penelitian
mengenai Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut “Apakah Ada Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Kusta di wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten
Madiun?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun,
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi jenis lantai rumah pada kejadian kusta di
Wilayah Kerja Puskemas Wonoasri Kabupaten Madiun.
2. Mengidentifikasi jenis dinding rumah pada kejadian kusta di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
3. Mengidentifikasi luas ventilasi pada kejadian kusta di Wilayah
Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
7
4. Mengidentifikasi kelembaban pada kejadian kusta di Wilayah
Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
5. Mengidentifikasi riwayat kontak pada kejadian kusta diwilayah
kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
6. Mengidentifikasi status ekonomi pada kejadian kusta diwilayah
kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
7. Mengidentifikasi status pekerjaan pada kejadian kusta diwilayah
kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
8. Menganalisis hubungan jenis lantai rumah dengan kejadian
kusta diwilayah kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
9. Menganalisis hubungan jenis dinding rumah dengan kejadian
kusta diwilayah kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
10. Menganalisis hubungan luas ventilasi rumah dengan kejadian
kusta diwilayah kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
11. Menganalisis hubungan kelembaban dengan kejadian kusta
diwilayah kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
12. Menganalisis hubungan riwayat kontak penderita dengan
kejadian kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri
Kabupaten Madiun.
13. Menganalisis hubungan status ekonomi dengan kejadian kusta di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
14. Mengalisis hubungan status pekerjaan dengan kejadian kusta di
Wilayah Kerja di Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
8
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat khususnya pada masyarakat penderita kusta tentang
pentingnya menjaga kondisi fisik rumah yang memenuhi standart.
Serta, masyarakat yang tidak terdeteksi penyakit kusta
memperhatikan menjaga kebersihan diri agar tidak tertular penyakit
tersebut.
1.4.2 Bagi Instansi Puskesmas Wonoasri
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada puskesmas wonoasri tentang hasil penelitian penyakit kusta
kondisi fisik lingkungan rumah, riwayat kontak, status ekonomi.
1.4.3 Bagi STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun
Menambah referensi tentang faktor resiko yang berhubungan
dengan penularan penyakit kusta, dan dapat dijadikan bahan
masukan bagi penelitian selanjutnya.
1.4.4 Bagi Peneliti
Sebagai sumber referensi dan mengembangkan wawasan bagi
peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian. Khususnya,
meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit
kusta.
1.5 Keaslian Penelitian
Beberapa hal Keaslian penelitian-penelitian sebelumnya sebagai berikut:
9
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
NO
JUDUL, NAMA,
TEMPAT DAN
TAHUN
PENELITIAN
METODE VARIABEL
PENELITIAN HASIL PENELITIAN
1 Faktor risiko
lingkungan
kejadian kusta
(Siswanti, Yuni
Wijayanti, Kota
Semarang
Tahun 2018)
Jenis penelitian
ini adalah
analitik
observasional
dengan
pendekatan
kasus-control.
Dengan desain
chi-square
Variabel
Bebas:
Kepadatan
hunian, luas
ventilasi,
kebiasaan
membuka
jendela, jenis
lantai, jenis
dinding,
riwayat
kontak, status
ekonomi.
Variabel
Terikat:
Faktor risiko
kejadian kusta
Ada hubungan antara
kepadatan hunian (p-
value= 0.002), luas
ventilasi (P-value= 0.015),
riwayat kontak (P-value=
0.002) dan status ekonomi
(Pvalue= 0.002)
2 Sebaran Kasus
Baru
Berdasarkan
Faktor
Lingkungan
Dan sosial
ekonomi di
Kecamatan
Konang Dan
Geger
Kabupaten
Bangkalan
(Sri Nurcahyati,
Hari basuki,
Arief Wibowo,
Bangkalan,
Tahun 2016)
Jenis penelitian
ini adalah
analitik
observasional
dengan
pendekatan
kasus – control
Case Control
Variabel
Bebas:
Jenis lantai,
ventilasi,
pencahayaan,
pendapatan,
kepadatan
hunian, waktu
tempuh
terhadap
pelayanan
kesehatan
Variabel
terikat:
Kejadian kusta
Ada hubungann antara
jenis lantai (P-value=
0.846), ventilasi (P-value=
0.00), pencahayaan (P-
value= 0.430)
Kelembapan (P-value=
0.176), sumber air (P-
value= 0.00), pendidikan
(P-value= 0.391),
pekerjaan (P-value=
0.026), pendapatan (P-
value= 0.511)
Kepadatan hunian (P-
value= 0.037)
Waktu tempuh (P-value=
0.00)
3 Faktor Risiko
Kejadian Kusta
di Kabupaten
Lamongan
(Aprizal, Lutfan
Lazuardi,
Lamongan,
Tahun 2017)
Jenis penelitian
ini adalah
analitik
observasional
dengan
pendekatan
kasus – control
Case Control
Variabel
Bebas:
Status
ekonomi,
kepadatan
hunian,
kondisi lantai,
sumber air
bersih, riwayat
kontak,
kebiasaan
Status ekonomi (P-value=
0.001), kepadatan hunian
(P-value= 0.001), kondisi
lantai (P-value= 0.051),
sumber air bersih (P-
value= 0.033), riwayat
kontak (P-value= 0.001),
kebiasaan penggunaan
sabun (P-value= 0.022),
menggunakan alas kaki (P-
value= 0.004)
Lanjutan tabel 1.1
10
NO
JUDUL, NAMA,
TEMPAT DAN
TAHUN
PENELITIAN
METODE VARIABEL
PENELITIAN HASIL PENELITIAN
penggunaan
sabun,
menggunakan
alas kaki
Beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-
penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Tempat Penelitian : Wilayah Kerja Puskesmas wonoasri, Kabupaten
Madiun.
2. Waktu Penelitian : Pada Tahun 2019.
11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kusta
Penyakit Kusta atau lepra (Leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen
adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang
paling banyak memiliki penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India
dan Brazil (Ayu, 2015).
Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seseorang ahli fisika
Norwegja bernama Gehard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu.
Umumnya penyakit kusta terdapat dinegara yang sedang berkembang, dan
sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah (Ayu,
2015).
Istilah kusta berasal dari bahasa sanserketa, yakti Kustha berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit ini diduga berasal dari
Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat
perpindahan penduduk. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada
abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke
Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang. Pada tahun 1995
Organisasi Kesehatan (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta
jiwa yang cacat permanen karena kusta (Ayu, 2015).
Saat ini penyakit Leprae lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan
hanya untuk menghargai jerih payah penemuannya, melainkan juga karena
12
kata Leprosy dan Leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga
penamaan yang netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosail yang
seharusnya diderita oleh pasien kusta (Ayu, 2015).
Penyakit ini adalah tipe penyakit Granulomatosa pada saraf tepi dan
mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang
bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.
Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan
pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah (Ayu, 2015).
2.2 Proses Deteksi dan Identifikasi Penyakit Kusta
Bakteri Mycobacterium leprae memiliki bentuk yang berbeda-beda.
Bentuknya tidak bisa dilihat dengan kasat mata/ mata telanjang, kecuali
menggunakan mikroskop. Bentuk-bentuk Mycobacterium leprae yang dapat
ditemukan dalam pemeriksaan mikroskop sebagai berikut: (Ramadhan,
2016)
1. Bentuk utuh (Solid): Dinding sel bakteri tidak terputus, mengambil zat
warna secara sempurna. Jika terdapat daerah kosong/ transparan
dibagian tengah, juga dapat dikatakan solid.
2. Bentuk globus: Bentuk solid yang membentuk kelompok dapat dibagi 2
yaitu, globus besar terdiri (200-300 bakteri), globus kecil terdiri (40-60
bakteri).
3. Bentuk pecah (Fragmented): Dinding bakteri biasanya terputus
sebagian atau seluruhnya, tidak menyerab zat warna secara merata.
13
4. Bentuk berbutir-butir (Granular): Tampak seperti titik-titik yang
tersusun.
5. Bentuk clump: Bentuk granular yang membentuk kelompok tersendiri,
biasanya lebih dari 500 bakteri.
Bakteri Mycobacterium leprae tidak memiliki warna khusus, yang
berarti bakteri ini mudah diwarnai. Akan tetapi, apabila mewarnai akan
tahan terhadap dekolarasi oleh asam atau alkohol sehingga dinamakan
sebagai basil “Tahan Asam”. Bentuk dari bakteri Mycobacterium leprae
adalah berbentuk batang, sedangkan media perkembangbiakan bakteri tidak
ada (Ramadhan, 2016).
2.3 Klasifikasi Kusta
Klasifikasi penyakit kusta dibagi menjadi tipe Paucibacillary (PB) dan
Multibacillary (MB). Tipe Paucibacillary atau tipe kering memiliki bercak
atau warna keputihan, ukurannya kecil dan besar, batas tegas, dan terdapat
di suatu atau beberapa tempat dibadan (pipi, punggung, dada, ketiak, lengan,
pinggang, patat, paha, betis atau pada punggung kaki), dan permukaan
bercak tidak berkeringat. Kusta tipe ini jarang menular tetapi apabila tidak
segera diobati menyebabkan kecacatan (Depkes RI, 2006).
Tipe yang kedua yaitu Multibacillary atau tipe basah memiliki ciri-ciri
berwana kemerahan, tersebar merata diseluruh badan, kulit tidak terlalu
kasar, terjadi penebalan kulit dengan warna kemerahan, dan tanda awal
terdapat pada telinga dan wajah.
14
Tabel 2.1 Tanda Utama Kusta Pada Tipe PB dan MB
TANDA UTAMA PAUCIBACILLARY
(PB)/ KUSTA KERING
MULTIBACILLARY
(MB)/ KUSTA BASAH
Bercak Kusta Jumlah -5 Jumlah >5
Penebalan Syaraf tepi
disertai gangguan fungsi
(mati rasa atau kelemahan
otot, didaerah yang
dipersarafi saraf yang
bersangkutan)
Hanya 1 syaraf Lebih dari 1 syaraf
Kerokan Jaringan Kulit BTA negative BTA positif
Sumber: (Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit kusta, 2012).
2.4 Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularnnya
hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung
antar kulit. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab Mycobacterium
leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam dropet (Hendra, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia).
Masa tunasnya sangat bervaraisi, umurnya beberapa tahun, ada yang
mengatakan anatara 40 hari-40 tahun. Penyebaran kusta dari suatu benua
negeri dan tempat ke benua negeri dan tempat lain. Masuknya kusta ke
pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh
orang-orang cina dropet (Hendra, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia).
Faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah pathogenesis kuman
penyebabnya, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan
varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan
imunitas dan kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir luar manusia.
Kusta bukan penyakit keturunan. Dapat menyerang semua umur anak-anak
lebih rentan dari pada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak
15
dibawah umur 14 tahun ± 13%, tetapi anak dibawah umur 5 tahun jarang
sekali. Sekarang ada usaha mencatat penderita yang dibawah umur 1 tahun
untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta congenital dropet (Hendra,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).
Frekuensi tertinngi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Faktor
sosial ekonomi kiranya memegang peranan. Makin rendah sosial
ekonominya makin subur kusta dan sebaliknya. Faktor sosial ekonominya
tinggi membantu penyembuhan. Penyakit ini kebanyakan terdapat di daerah
tropis dan subtropics yang panas dan lembab dropet (Hendra, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia).
Beberapa jumlah penderita kusta di dunia belum dapat diketahui pasti,
diperkirakan sekitar 15 juta. Penderita yang lebih banyak adalah di India,
kurang lebih 4 juta yang lebih terpusat di India bagian Selatan. Prevalensi
yang tertinggi ada di Afrika Tropis, sekitar 20-50 per seribu. Di Amerika
Selatan yang bebas kusta adalah Chili dan yang terbanyak adalah Brazil. Di
Indonesia sendiri diperkirakan prevalensi rata-rata 0,8 per seribu, juga tidak
merata yang tertinggi antara lain di Sulawesi Selatan dropet (Hendra,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).
2.5 Cara Penularan
Meskipun cara penularan yang pasti belum diketahui dengan jelas,
penularan di dalam rumah tangga dan kontak atau hubungan dengat dalam
waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan kusta.
16
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan
tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh
penderita, yaitu selaput lender hidung. Tetapi, ada yang mengatakan bahwa
penularan penyakit kusta:
1. Melalui sekresi hidung, basil yang berasal dari sekresi hidung penderita
yang sudah mongering, diluar masih dapat hidup 2-7 × 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur
15 tahun, keduanya memiliki kontak yang lama.
2.6 Tanda-tanda Gejala Kusta
Tanda-tanda seseorang menderita kusta antara lain:
1. Kulit mengalami bercak putih seperti panu, pada awalnya hanya sedikit
tetapi lama kelamaan semakin lebar dan banyak.
2. Adanya bintil-bintil kemerahan yang tersebar pada kulit.
3. Ada bagian tubuh yang tidak berkeringat.
4. Rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka.
5. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka
singa).
6. Mati rasa karena kerusakan syaraf tepi.
Gejalanya memang tidak terlalu nampak, justru sebaiknya waspada jika
anggota keluarga yang menderita luka tak berujng sembuh dalam jangka
waktu lama dan juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa sakit.
Kusta dikenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena
menyebabkan cacat tubuh. Namun, pada tahap awal kusta gejala yang
17
timbul dapat hanya berupa kelainan warna kulit. Kelainan kulit yang
dijumpai dapat berupa perubahan warna seperti hipopigmentasi (warna kulit
menjadi lebih terang), hiperpigmentasi (warna kulit menjadi lebih gelap),
dan eritematosa (kemerahan pada kulit). Gejala-gejala umum pada kusta/
lepra, reaksi panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil, nyeri
kepala, kadang-kadang diseratai iritasi (Ayu, 2015).
2.7 Pengobatan dan Pengendalian Pengobatan
2.7.1 Pengobatan
Pengobatan penyakit kusta bertujuan untuk membunuh kuman
kusta sehinga dapat memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit kusta, dan mencegah terjadinya cacat serta
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pada
penderita patuh berobat menyebabkan Mycobacterium Leprae tidak
dapat merusak jaringan tubuh sehingga sumber penularan terutama
Multi Basieler terputus (Depkes RI, 2015).
Pengobatan penderita kusta dengan cacat permanen bertujuan
untuk mencegah cacat lebih lanjut. Penderita yang tidak minum obat
secara teratur dapat mengaktifkan kembalikan kuman kusta,
sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan sarat yang
memperburuk keadaan (Depkes RI, 2015).
Indonesia melakukan pengobatan kusta dengan kombinasi Multi
Drug Therapy yang sesuai dengan rekomendasi WHO. Multi Drug
Therapy adalah kombinasi dua obat kusta bersifat bakterisida kuat
18
dan obat anti kusta dan obat anti kusta lain yang bersifat
bakteriostatik. Multi Drug Therapy untuk kusta tipe Multi Basiler
terdiri 24 dosis sedangkan tipe Pausi Basiler terdiri dari 6 dosis.
Regimen Multi Drug Therapy yang dianjurkan WHO adalah
(Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012) :
1. Penderita Pausi Basiler (PB)
Rifampicin 600 mg (2 kapsul @ 300 mg) dan 1 tablet
Dapsone/ DDS 100 mg tiap bulan diminum di depan petugas
pada hari pertama. Pengobatan pada hari ke-2 sampai dengan
ke-28 adalah 1 tablet Dapsone/ DDS 100 mg, diminum dengan
pengawasan keluarga, satu blister untuk satu bulan dengan lama
pengobatan 6 blister di minum selama 6-9 bulan (Pedoman
Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012).
Penderita kusta tipe PB yang telah mendapatkan pengobatan
6 blister dinyatakan Relase From Treatment (RFT) dan diamati
selama dua tahun untuk mnemukan tanda-tanda reaksi atau
kambuh (relaps) secara dini (Depkes RI, 2015). Penderita yang
tidak kembali atau tidak memeriksakan diri pada waktunya
dinyatakan Relase Froam Contrrol (RFC) pada waktunya. Paska
RFT timbul lesi baru pada kulit. Maka terjadi relaps dan harus
dikonfirmasikan kepada dokter kusta yang memiliki
kemampuan klinis dalam mendiagnosa relaps.
2. Penderita Multi Basiler (MB)
19
Rifampicin 600 mg (2 kapsul @300 mg), Lamprene 300 mg
(3 tablet @100 mg), dan 1 tablet Dapsone/ DDS 100 mg tiap
bulan di minum di depan petugas pada hari pertama. Pengobatan
pada hari ke-2 sampai ke-28 adalah 1 tablet Lamprene dan 1
tablet Dapsone/ DDS 100 mg, 1 blister untuk satu bulan dengan
lama pengobatan 12 blister diminum selama 12-18 bulan (
Depkes RI, 2015). Penderita kusta tipe Multi Basiller yang telah
mendapatkan pengobatan 12 blister dinyatakan RFT dan diamati
selama 5 tahun untuk menemukan tanda-tanda reaksi atau
kambuh (relaps) secara dini (Pedoman Nasional Program
Pengendalian Penyakit Kusta, 2012).
2.7.2 Pengendalian Pengobatan
Pengendalian pengobatan diperlukan untuk mengurangi efek
samping obat yang tidak diinginkan karena dapat menambahkan
tingkat kecacatan pada penderita kusta. Efek samping obat Multi
Drug Therapy.
Tabel 2.2 Efek Samping Obat Multi Drug Therapy dan
Penanganannya NO EFEK SAMPING NAMA OBAT PENANGANAN
1 Ringan
a. Urine Berwarna
merah
b. Perubahan Warna
Kulit
c. Masalah
Gastrointestinal
d. Anemia
a. Rifampicin
b. Clofazimin
c. MDT
d. Dapsone
a. Menegakkan penderita
penjelasaan yang benar
b. Konseling
c. Obat diminum dengan
makanan atau setelah makan
d. Pemberian tablet Fe dan
asam folat
20
Lanjutan Tabel 2.2 NO EFEK SAMPING NAMA OBAT PENANGANAN
2 Serius
a. Ruam kulit
gatal
b. Alergi,
Urtikaria
c. Ikterus
(Kuning)
d. Shock, purpura,
gagal ginjal
a. Dapsone
b. Dapsone dan
Rifampicin
c. Rifampicin
d. Rifampicin
a. Hentikan Dapsone, Rujuk
b. Hentikan keduanya, rujuk
c. Hentikan Rifampicin, rujuk
d. Hentikan Rifampicin, Rujuk
Sumber : (Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012).
2.8 Reaksi Kusta
Reaksi Kusta adalah suatu kejadian dalam perjalanan kronis penyakit
kusta yang merupakan reaksi kekebalan (celluar respons) atau reaksi
antigen antibody (humoral respon) dengan akibat merugikan penderita.
Reaksi ini dapat terjadi sebelum sesaat, maupun sesudah pengobatan.
Umumnya ditandai dengan bercak bertambah merah disertai dengan
peradangan akut pada kulit, syaraf, timbul benjolan kemerahan yang nyeri,
syaraf tepi menjadi sakit, nyeri dan bengkak, demam dan lesu, tangan dan
kaki mungkin membengkak. Paling sering terjadi pada 6 bulan sampai 1
tahun setelah selesai pengobatan. Reaksi kusta merupakan peristiwa awal
terjadinya kecacatan maka dideteksi dan diobati dengan obat dan dosis
khusus menggunakan prednisone.
Ada 2 macam reaksi kusta yaitu tipe I (Reversal Reakction) dan reaksi
tipe II (Erythema Nodusom Leprosum=ENL).
21
Tabel 2.3 Perbedaan Antara Reaksi Kusta Tipe I dan Tipe II GEJALA/ TANDA REAKSI TIPE I REAKSI TIPE II
Keadaan Umum Demam ringan atau
tanpa demam
Ringan sampai berat disertai
kelemahan umum dan demam
tinggi
Peradangan Dikulit Bercak Kulit lama
kelamaan menjadi
meradang (merah), dapat
timbul bercak baru.
Timbul nodul (bintil-bintil) baru
kemerahan lunak dan nyeri. Nodul
dapat pecah. Biasanya pada lengan
dan tungkai.
Syaraf Sering terjadi umumnya,
berupa nyeri tekanan
syaraf dan gangguan
fungsi.
Jarang Terjadi
Peradangan pada
organ lain
Hampir tidak pernah Terjadi pada mata, kelenjar getah
bening, sendi, ginjal
Waktu timbulnya Biasanya segera (setelah
pengobatan)
Biasanya setelah mendapatkan
pengobatan yang lama umumnya
lebih dari 6 bulan.
Tipe Kusta Dapat terjadi pada kusta
tipe PB maupun MB
Hanya pada kusta tipe MB
Faktor pencetus Obat-obatan yang
meningkatkan kekebalan
tubuh
Emosi, kelelahan dan stress.
Hal-hal yang dapat mempermudah terjadinya reaksi kusta atau
timbunya kembali penyakit kusta setelah pengobatan yaitu pada penderita
yang dalam kondisi lemah dan stress (Widyono, 2016).
2.9 Upaya Pencegahan Kusta
Pencegahan secara umum adalah mengambil tindakan terlebih dahulu
sebelum kajadian. Upaya pencegahan penyakit kusta dapat juga dibedakan
menjadi tiga jika ditinjau dari pandangan epidemiologi pencegahan penyakit
(Masriadi, 2018).
2.9.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah pencegahan tingkat pertama,
tujuannya adalah untuk mengurangi insideni penyakit dengan cara
mengendalian penyebab penyakit dan faktor risikkonya. Pencegahan
ini terdiri dari:
22
1. Promosi kesehatan
Promosi kesehatan dilakukan dengan cara penyuluhan
tentang penularan, pengobatan dan pencegahan penyakit kusta,
serta pentingnya makanan sehat dan bergizi untuk meningkatkan
status gizi setiap individu menjadi baik.
Hutabarat (2008) menjelaskan bahwa pencegahan primer
dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena
penyakit kusta dan memilih risiko tertular karena berada
disekitar atau dekat dengan penderita dan tetangga penderita,
yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta (Masriadi,
2018).
2. Pemberian imunisasi
Hasil Penelitian di Malawai tahun 1996 didapatkan bahwa
pemberian vaksin BCG satu kali dapat member perlindungan
terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali
dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%.
Namun demikian, ini belum menjadi kebijakan program di
Indonesia karena, penelitian beberapa negara memberikan hasil
berbeda pemberian vaksin BCG tersebut (Masriadi,2018).
2.9.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini meliputi diagnosis dini dan pemberian
pengobatan (Prompi Teratment) yakni :
23
1. Diagnosis dini yaitu pada kusta dapat dilakukan dengan
pemeriksaan kulit, dan pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya
(Masriadi, 2018).
2. Pengobatan yang diberikan pada penderita kusta adalah DDS
(Diaminodifelsufon), Klofazimin, rifampisin, prednisone,
sulfatferrous dan vitamin A, pengobatan lain adalah Multi Drug
Treatment (MDT) yaitu gabungan pemberian obat rifampicin,
ofloxacindan minocyline sesuai dengan dosis dan tipe penyakit
kusta. Pengobatan kusta ini dilakukan secara teratur dan terus
menerus selama 6-9 bulan (Masriadi, 2018). Hubarat (2008),
pencegahan sekunder dilakukan dengan pengobatan pada
penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan.
Menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat
atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan pemberian multi drug therapy pada penderita kusta
terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan
sumber kuman menularkan kepada orang lain (Masriadi, 2018).
2.9.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dimaksudkan umtuk mengurangi kemajuan
atau komplikasi penyakit yang sudah terjadi, merupakan sebuah
aspekterapatika dan kedokteran rehabiltasi yang paling penting.
Pencegahan tersier merupakan usaha pencegahan terakhir yang
terdiri dari: (Masriadi, 2018).
24
1. Rehabilatasi medik
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai
pengolahan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan
pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu. Mulai dari
pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah
rekontruksi dan bedah septic, pemberian alas kaki, serta terapi
okupasi (Masriadi, 2018).
Perawatan terhadap reaksi kusta mempunyai 4 tujuan
(Srinivasan H, 2004) (Masriadi, 2018), yaitu:
a. Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar dari
gangguan sensorik, paralis dan kontruaktur.
b. Hentikan kerusakan mata untuk mencegahan bantuan.
c. Kontrol nyeri.
d. Pengobatan untuk memastikan basil lepradan mencegah
perburukan keadaan penyakit (Tjokronegoro, dkk, 2003)
menjelaskan bahwa bila kasus dini sudah mulai dilakukan
upaya rehabilitasi medis maka upaya tersebut lebih bersifat
pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi
difokuskan pada pencegahan handicap dan
mempertahankan fungsi yang tersisa (Masriadi, 2018).
2. Rehabilitasi nonmedik
Meskipun penyakit kusta tidak banyak menyebabkan
kematian. Namun, penyakit ini termasuk penyakit yang paling
25
ditakuti diseluruh dunia. Penyakit kusta itu sendiri, keluarga,
dan masyarakat. Penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu
cacat psikososial dan cacat fisik. Seringkali penyakit kusta di
identifikasi dengan cacat fisik yang menimbulkan rasa jijik atau
ngeri serta rasa takut yang berlebihan terhadap mereka yang
melihatnya (Masriadi, 2018).
3. Rehabilitasi mental
Penyuluhan Kesehatan berupa bimbingan mental, harus
diupayakan sedinimungkin pada setiap penderita, keluarganya,
dan masyarakat sekitarnya. Untuk memberikan dorongan dan
semangat agar mereka dapat menerima kenyataan ini. Selaian ini
juga agar penderita dapat segera mulai menjalani pengobatan
dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara
medis (Masriadi, 2018).
4. Rehabilitasi karya
Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang
sudah terlanjut cacat dapat kembali melakukan pekerjaan yang
sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru sesuai
dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja
sebelumnya. Penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat
akan mengurangi risiko berlanjutnya cacat penderita kusta
(Masriadi, 2018).
26
5. Rehabilitasi sosial
Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi ekonomi
penderita. Hal tersebut sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri
tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya. Rehabilitasi
sosial bukanlah bantuan sosial yang harus diberikan secara terus
menerus melainkan upaya yang bertujuan untuk menunjungkan
kemandirian penderita (Masriadi, 2018).
2.10 Faktor yang Menyebabkan Kejadian Kusta
2.10.1 Agent
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Kusta adalah
penyakit yang disebabkan oleh bateri Mycobacterium leprae yang
menyerang kulit, saraf tepi di tangan maupun kaki, dan selaput lendir
pada hidung, tenggorokan dan mata.
Kuman ini satu genus dengan kuman TB dimana di luar tubuh
manusia. Kuman kusta hidup baik pada lingkungan yang lembab
akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari. Kuman kusta dapat
bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar
matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Kuman Tuberculosis dan
Leprae jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam.
Selain itu, seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh
dengan subur pada lingkungan dengan kelembapan yang tinggi.
Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik
27
untuk bakteri-bakteri pathogen termasuk yang memiliki rentang suhu
yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam
rentang 25-40 ͦ C , tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-
37 ͦ C.
Pengetahuan mengenai sifat-sifat agent sangat penting untuk
pencegahan dan penanggulangan penyakit, sifat-sifat tersebut
termasuk ukuran, kemampuan berkembangbiak, kematian agent atau
daya tahan terhadap pemanasan atau pendinginginan.
2.10.2 Host
Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman seperti
Mycobacterium leprae, kuman tersebut dapat menularkan pada 10-
15 orang. Menurut penelitian pusat ekologi penelitian tingkat
penularan kusta di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi,
dimana seseorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3
orang di dalan rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik,
kuman ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik jika
ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa
menangkap kuman. Hal yang perlu diketahui tentang host atau
penjamu meliputi karakteristik: Gizi atau dayan tahan tubuh,
pertahanan tubuh, hygiene pribadi, gejala dan tanda penyakit dan
pengobatan. Karakteristik host dapat dibedakan antara lain: umur,
jenis kelamin, pekerjaan, keturunan, pekerjaan, ras dan gaya hidup.
28
2.10.3 Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik
benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak. Seperti, suasana yang
berbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang
lain. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik,
lingkungan fisik terdiri dari: keadaan geografis (daratan tinggi atau
rendah, persawahan dan lain-lain), kelembapan udara, suhu,
lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan non fisik meliputi:
sosial (pendidikan, pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun
menurun), Ekonomi.
Dalam segitiga epidemiologi terdapat beberapa model hubungan
antara Host, Agen, Environment antara lain sebagai berikut:
1. Model 1 hubungan Host-Agent-Environment
Gambar 2.1 Model 1 Segitiga Epidemiologi
Sumber: (Koes Irianto, 2014)
Pada model ini, seseorang berada pada kondisi sehat,
dimana host, agent dan environment berada pada kondisi
seimbang.
Agent Host
Environment
29
2. Model hubungan Host-Agent-Environment
Gambar 2.2 Model 2 Segitiga Epidemiologi
Sumber: (Koes Irianto,2014)
Pada model ini, seseorang berada pada kondisi tidak sehat,
dimana daya tahan penjamu (faktor host) berkurang.
3. Model 3 hubungan Host-Agent-Environment
Gambar 2.3 Model 3 Segitiga Epidemiologi
Sumber: (Koes Irianto,2014)
Pada model ini, seseorang pada kondisi tidak sehat, dimana
kondisi lingkungan mengalami pergeseran atau perubahan dari
kondisi normal.
Host
Agent
Environment
Agent
Host
Environment
30
2.11 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta
2.11.1 Faktor Host
1. Umur
Dalam Epidemiologi kusta, umur saat penularan kusta
adalah aspek yang sangat penting. Umur saat penularan terkena
kusta diketahui bervariasi di berbagai negara, di berbagai daerah
pada suatu negara, dan juga daerah yang sama dari waktu ke
waktu (Ramadhan, 2016).
2. Jenis kelamin
Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa
proporsi penderita kusta berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan.
3. Tingkat pendidikan
Masyarakat yang terdidik mungkin memperhatikan adanya
munculnya hipopigmentasi pada kulit dan melaporkan ke dokter
dengan segera. Sedangkan pada sisi yang lain, masyarakat yang
tinggal dirumah yang miskin mungkin tidak melaporkan untuk
memperoleh pendapat dari ahli dalam waktu yang lama karena
ketidaktahuan dan ketidak pedulian mereka.
4. Riwayat kontak
Kusta merupakan penyakit infeksius, tetapi derajat
inveksitanya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin
31
beberapa tahun,dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan
infeksi sewakt masa anak-anak. Insiden yang rendah pada
pasien-pasien yang merupakan pasangan suami istri (kusta yang
diperoleh dari pasangannya). Penyakit ini timbul akibat kontak
fisik yang erat dengan pasien yang terinfeksi dan resiko ini jauh
lebih besar bila terjadi kontak dengan kasus kusta (Yessita,
2013).
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui
dengan jelas, penularan di dalam rumah tangga dan kontak/
hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat
berperan dalam penularnnya (Yessinta, 2013).
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-3 tahun,
akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularannya terjadi
apabila Mycobacterium leprae yang utuh (hidup) keluar dari
tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum
diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta.
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak
yang lama dengan penderita (Depkes RI, 2017).
a. Kontak dengan penderita kusta
1) Kontak serumah dengan penderita kusta
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
penularan kusta disebabkan oleh kontak serumah
dengan penderita kusta (Andy, 2014) melaporkan
32
proporsi penderita kusta sebesar 25% mempunyai
riwayat kontak serumah dengan penderita.
2) Kontak dengan tetangga yang menderita kusta
Penelitian (Andy, 2014) mendapatkan hasil
proporsi penderita kusta yang mempunyai riwayat
kontak dengan tetangga yang menderita sebesar 32,1%.
b. Tipe kusta pada kontak dengan penderita kusta
Kusta biasanya dinggap sebagai penyebab utama
infeksi. Menurut (Setyawan, 2015), risiko yang tinggi
secara bermakna untuk terkena kusta telah secara konsisten
dilaporkan oleh berbagai peneliti diantaranya mereka yang
mengalami kontak dengan penderita kusta lepromatosa
dibandingkan dengan yang mengalami kontak dengan
penderita kusta nonlepromatosa. Walaupun kasus
Lepromatosa secara nyata infeksius, tetapi penderita
nonlepromatosa tidak dapat diabaikan, karena sebagian
besar pasien selama periode tertentu penyakit mereka
terbukti infeksius untuk orang yang peka (Setyawan, 2015).
c. Keteraturan minum obat pada kontak dengan penderita
kusta
Penularan kusta juga dapat terjadi jika kontak dengan
penderita kusta yang minum obat tidak teratur maupun yang
tidak diobati karena masih banyak mengandung M.Leprae.
33
Penderita yang tidak teratur minum obat maupun yang tidak
diobati, kemungkinan diakibatkan karena tidak adanya
akses dalam mendapatkan obat maupun tidak tersedianya
obat tersebut pada unit pelayanan kesehatan di daerah.
5. Tingkat pekerjaan
Pekerjaan adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh
manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk
suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang.
Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap
sinonim dengan profesi.
Sebagian besar penderita kusta di dunia berada di negara
yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebagian besar
penduduk Indonesia mencari penghasilan dengan bercocok
tanam atau bertani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap
terjadinya cacat pada kusta.
6. Tingkat ekonomi
Peran penting sosial ekonomi didukung oleh fakta bahwa
daerah-daerah endemis kusta biasanya di daerah negara yang
belum berkembang dan negara yang sedang berkembang,
masyarakat hidup dalam kondosi sosial ekonomi rendah dan
tidak higinis. Faktor sosial ekonomi kiranya memegang peranan,
semakin rendah sosial ekomoni semakin subur penyakit kusta.
34
Sebaliknya, faktor sosial ekonomi semakin tinggi akan
membantu penyembuhan penderita kusta.
7. Vaksin BCG
Pemakaian vaksin BCG (Bacil Calmette Guerine) untuk
menimbulkan kekebalan terhadap kusta. Karena, diharapkan
adanya reaksi silang antara antigen Mycobacterium leprae dan
Mycobacterium tuberculosis. Sampai saat ini telah dilakukan uji
lapangan di berbagai tempat yang berbeda di dunia dengan hasil
yang berbeda. Selain itu juga telah dilakukan percobaan
imunuterapi untuk penderita kusta tipe MB dengan campuran
BCG dan Mycobacterium leprae (Setyawan, 2015).
8. Gizi
Interaksi yang komplek anatara kurang gizi dan kusta telah
dilaporkan. Kurang gizi sangat berbahaya bagi kerusakan
imunitas dimana mempunyai pengaruh yang sangat dalam
terhadap seluruh sistem imun. Kekurangan gizi memainkan
peran penting tidak hanya memudahkan terjadinya kusta, tetapi
juga dalam meningkatkan angka penyakit kusta. Faktor-faktor
diet dilaporkan dapat memberikan pengaruh terhadap
etiopathogenis kusta adalah vitamin A, B, C, D, E, Fe, Ca, dan
ZN.
35
9. Status imunisasi
Imunisasi sesungguhnya adalah pemindahan atau transfer
antibody (immunoglobulin) secara pasif. Secara vaksinisasi
adalah pemberian vaksin atau antigen (kuman/ bagian kuman
yang dilemahkan) yang dapat merangsang pembentukan
imunitas (antibodi) dalam tubuh. Vaksiniasi disebut juga
imunisasi aktif. Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko
untuk terkena kusta. Imunisasi untuk mencegah penyakit kusta
sendiri belum ada imunisasi, hanya saja pemberian imunisasi
BCG untuk meningkatkan pembentukan kekebalan tubuh/
imunitas dalam tubuh seseorang.
2.11.2 Faktor Agent
Kuman infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya suatu
penyakit. Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae dimana bakteri ini termasuk kuman aerob, tidak membentuk
spora, berbentuk batang, dikelilingi membrann sel lilin yang
merupakan cirri-ciri dari spesies Mycobacterium leprae.
2.11.3 Faktor Environment
Menurut keputusan menteri kesehatan RI No.829/ Menkes/ VIII/
1999 menjelaskan, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
Hubungan antara perumahan dengan kesehatan telah dibuktikan
sejak lebih dari 60 tahun yang lalu oleh The American Public Health
36
Association (APHA). Kondisi rumah yang buruk memungkinkan
terjadinya penularan penyakit.
1. Jenis lantai
Lantai yang baik harus selalu kering, tinggi lantai harus
disesuaikan dengan kondisi setempat, lantai harus lebih tinggi
dari muka tanah. Ubin atau semen adalah baik. Syarat yang
penting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan
tidak basah pada musim hujan, sehingga dapat mencegah
terjadinya penularan penyakit terhadap penghuninya.
Lantai rumah sangat penting untuk diperhatikan terutama
dari segi kebersihan dan persyaratan. Lantai dari tanah lebih
tidak baik digunakan lagi karena jika musim hujan akan menjadi
lembab sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap
penghuninya dan merupakan tempat yang baik untuk
berkembang biak kuman penyakit.
2. Luas ventilasi
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer
yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan
kejadiannya maka ventilsi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Ventilasi alamiah
Ventilasi alamiah berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu
daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan masa di
udara karena perubahan temperature. Ventilasi alam
37
mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperature
udara dan kelembapannya. Selain melalui jendela, pintu dan
lubang angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari
pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding
ruangan, atap dan lantai.
b. Ventilasi buatan
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan
dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-
alat tersebut antara lain: kipas angin dan AC (Air
Conditioner).
Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai
berikut: luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas
lantai ruangan, sedangakn luas lubang ventilasi insidentil
(dapat dibuka dan ditutup) minimal 5% dari luas lantai.
Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan,
udara yang termasuk harus bersih, tidak dicemari asap atau
pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain, aliran udara
disahakan cross ventilation dengan lubang ventilasi
berhadapan antara dua dinding. Aliran udara jangan sampai
terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari,
dinding, sekat, dsb.
Secara umum, penilaian ventilasi dan luas lantai
rumah, dengan menggunakan roll meter. Menurut indikator
38
pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syararat
kesehatan adalah ≥10% luas lantai rumah dan luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <10% luas
lantai rumah. Rumah dengan luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi
pemghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga
aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar.
3. Kelembaban
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air
dalam udara. Kelembapan terdiri dari 2 jenis, yaitu 1)
kelembaban absolute, yaitu uap air per unit volume udara, 2)
kelembapan nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara
pada suatu temperature terhadap banyaknya uap air pada saat
udara jenuh dengan uap air pada temperature tersebut.
Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan
menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan
perumahan, kelembapan udara yang memenuhi syarat kesehatan
dalam rumah adalah <40 atau >70%.
Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi
syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya.
Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket,
ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk
39
kedalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi
dapat menyebabkan membrane mukosa hidung menjadi keringat
sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme.
Bakteri-bakteri pada umumnya akan tumbuh dengan subur pada
lingkungan dengan kelembapan tinggi karena air membentuk
lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang
esensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri.
4. Pencahayaan
Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya
cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultra
violet. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat
tidak menyilaukan. Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi
syarat berisiko 2,5 kali terkena Tuberculose dan Kusta
dibandingkan penguin yang memenuhi persyaratan.
5. Jenis dinding
Dinding rumah yang baik menggunakan tembok,tetapi
dinding rumah daerah tropis. Khususnya dipedesaan banyak
yang berdinding papan, kayu. Hal ini disebabkan masyarakat
perdesaan perekomoninya kurang. Rumah yang berdinding tidak
rapat seperti papan, kayu dapat menyebabkan berbagai macam
penyakit. Untuk dinding di kamar mandi dan tempat cuci harus
kedap air dan mudah dibersihkan.
40
6. Kepadatan hunian
Kepadatan hunian adalah perbandingan antara luas lantai
rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah
tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan
bisa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang
sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas
yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum
4m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 4m²/orang.
Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni >2 orang, kecuali untuk
suami dan istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada
anggota keluarga yang menjadi penderita kusta sebaiknya tidak
tidur dengan anggota keluarga lainnya.
Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan
menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan
penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil
bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥4m² per orang
dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila
diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni
<4m² per orang.
Kepadatan hunian dalam satu rumah tinggal akan
memberikan pengaruh pagi penghuninya. Luas rumah yang
tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan
berjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena selain
41
kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota
keluarga terkena penyakit infeksi. Terutama tuberculosis dan
leprae akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain,
dimana seseorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3
orang di dalam rumahnya.
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan
penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya
penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh
sebab itu, kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal
merupakan variabel yang berperan dalam kejadian kusta.
2.12 Kondisi Fisik Rumah
2.12.1 Definisi Rumah Sehat
Rumah sehat adalah bangunan rumah tinggal yang memenuhi
syarat kesehatan dari aspek fisik yaitu atap lantai dan dinding serta
dilengkapi fasilitas kesehatan lingkungan yaitu rumah yang memiliki
jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat pembuangan sampah,
sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang baik dan kepadatan
hunian rumah yang sesuai.
Rumah juga sebagai tempat terapi fisik dan mental seluruh
penghnianna. Kesejukan ruangan pada waktu siang hari dapat
membant melepas kepenatan, karena kemacetan jalan atau masalah
pekerjaan dikantor. Pada malam hari, kehangatan sebuah rumah
42
membantu kita beristirahat mempersiapkan fisik untuk bekerja
kembali keesokannya harinya (Rudiyanto, 2007).
2.12.2 Syarat-syarat Rumah Sehat
Rumah dan lingkungan sehat dapat terwujud apabila memenuhi
beberapa syarat tertentu. Adapun beberapa syarat rumah sehat
sebagai berikut: (Rudiyanto, 2007).
1. Bersih.
2. Kokoh.
3. Ventilasi atau aliran udara lancar.
4. Cahaya atau penerangan cukup.
5. Rumah tidak berjejal-jejal dengan rumah lain.
6. Rasio atau berbandingan antara jumlah penghuni dengan luas
ruangan rumah seimbang.
7. Memenuhi beberapa sistem kesehatan lingkungan.
8. Keindahan bentuk rumah dan ruangan.
Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor: 829 Menkes SK/VII/1999 adalah
sebagai berikut:
1. Bahan bangunan
Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat
yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain sebagai
berikut:
a. Debu total tidak lebih dari 150 µg m3.
43
b. Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4jam.
c. Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg.
d. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan
berkembangnya mikroorganisme pathogen.
2. Komponen dan penataan ruang rumah
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.
b. Dinding di ruang tidur ruang keluarga dilengkapi dengan
sarana ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara.
c. Kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah
dibersihkan.
d. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan
kecelakaan.
e. Ruang didalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai
ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur,
ruang dapur, ruang mandi dan ruang bermain anak.
f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan
asap.
3. Pencahayaan
Pencahayaan alam atau buatan langsung atau tidak langsung
dapat menerangi seluruh bagian ruangan minimal intesitasnya
60lux dan tidak menyilaukan.
44
4. Kualitas udara
Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan
sebagai berikut:
a. Suhu udara nyaman berkisar antara 18 ͦ C sampai 30 ͦ C.
b. Kelembapan udara berkisar anatara 40% sampai 70%.
c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam.
d. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam.
e. Konsentrasi gas formal tidak melebihi 120 mg/m3.
5. Ventilasi
Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen
minimal 10% dari luas lantai.
6. Air
Tersedia air bersih dengan kapasitas minimal 60 lt/ hari/
orang. Kualitas air harus memenuhi syarat kesehatan air bersih
dan air minum sesuai dengan peraturan undang-undang yang
berlaku.
7. Tersedianya sarana penyimpanan makanan yang aman dan
hygiene.
8. Limbah
a. Limbah cair berasal dari rumah, tidak mencemari sumber
air, tidak menimbulkan bau dan tidak mencemari
permukaan tanah.
45
b. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau,
tidak menyebabkan pencemaran terhadap permukaan tanah
dan air tanah.
9. Kepadatan hunian ruang tidur
Luas ruang tidur minimal 8m² dan tidak dianjurkan
digunakan lebih dari dua orang tidur dalam saru ruang tidur,
kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
Menurut (Imam, 2015) rumah sehat harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis
Rumah sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis,
misalnya adalah pencahayaan, suhu,kebisingan, ventilasi, bahan
bangunan, bebas dari vector penyakit, dan lain-lain.
a. Bahan bangunan
Bahan bangunan sebaiknya tidak terbuat dari bahan
yang dapat melepas zat-zat yang dapat membahayakan
kesehatan seperti asbes dan juga tidak terbuat dari bahan
yang dapat menjadi tumbuh kembangnya mikro organism
pathogen.
b. Ventilasi yang baik
1) Ventilasi yang memenuhi syarat sebaiknya tidak kurang
10% dari luas lantai.
46
2) Ventilasi yang baik akan memberikan udara segar dari
luar.
3) Suhu Optimun 22-24 ͦ C.
4) Kelembaban ruang 40% sampai70%.
c. Pencahayaan yang cukup
Memberi kesempatan cahaya matahari masuk yang
cukup. Jika diukur menggunakan luxmeter hasilnya tidak
kurang dari 60 lux dan tidak lebih dari 120 lux. Sehingga,
cahaya matahari mampu membunuh kuman-kuman
pathogen. Namun jika cahaya matahari kurang sempurna
akan mengakibatkan ketegangan pada mata.
d. Bebas dari kegaduhan dan kebisingan
1) Tingkat kebisingan maksimal di perumahan 55 dBA.
2) Tingkat kebisingan yang ideal di perumahan anatara
40-45 dBA.
3) Dampak kebisingan mengakibatkan gamgguan
kenyaman, gangguan aktivitas, dan keluhan stress.
e. Kepadatan hunian ruang tidur
Luas ruang tidur minimal m², dan tidak dianjurkan
lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak
dibawah umur 5 tahun.
47
2. Memenuhi kebutuhan psikologis
a. Kesempatan dan kebersamaan untuk kehidupan keluarga
secara normal.
b. Hubungan serasi antara orang tua dan anak.
3. Memberi pencegahan dan perlindungan terhadap penularan
penyakit dan pencemaran.
a. Vektor Penyakit
Vektor penyakit seperti tikus, kecoak, lalat dan nyamuk
tidak bersarang di dalam rumah sehingga dapat mencegah
terjadinya penularan penyakit.
b. Air
Tersedianya sarana air bersih dengan kapasitas
maksimal 60 liter/ orang/ hari. Penyedaiaan air bersih harus
memenuhi syarat kesehatan.
c. Limbah
Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari
sumber air, tidak menimbulkan bau dan tidak mencemari
permukaan tanah. Sedangkan, limbah padat harus dikelola
agar tidak menimbulkan bau, pencemaran terhadap
permukaan tanah serta air tanah
48
d. Tersedianya fasilitas untuk menyimpan makanan
Untuk menyimpan makanan sangat diperlukan
sehingga baik makanan mentah maupun makanan yang
sudah matang tidak mudah terkontaminasi dari luar.
2.13 Kerangka Teori
Gambar 2.4 Kerangka Teori Sumber: Segitiga Epidemiologi (Notoadmojo, 2018)
FAKTOR HOST JENIS KELAMIN
UMUR
STATUS GIZI
VAKSIN BCG
RIWAYAT
KONTAK
PENDIDIKAN
PEKERJAAN
EKONOMI
STATUS
IMUN
FAKTOR
AGENT Mycobacterium Leprae
FAKTOR
LINGKUNGAN JENIS LANTAI
LUAS VENTILASI
KELEMBABAN
PENCAHAYAAN
JENIS DINDING
KEPADATAN
HUNIAN
KEJADIAN PENYAKIT
KUSTA
49
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka fikir mengenai hubungan
antara variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian atau hubungan antar
konsep dengan konsep lainnya dari masalah yang diteliti sesuai dengan apa
yang telah diuraikan pada studi kepustakaan (Nasir, 2011).
Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Terikat
Variabel Bebas
(independent)
Riwayat Kontak
Penderita
Status Ekonomi
Status Pekerjaan
Kejadian Penyakit
Kusta
Jenis Dinding
Jenis Lantai
Kelembaban
Luas Ventilasi
50
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian
yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis menyatakan
hubungan apa yang kita cari atau ingin kita pelajari. Hipotesis adalah
keterangan sementara dari hubungan fenomena yang kompleks, oleh karena
itu hipotesis menjadi sangat penting dalam sebuah penelitian (Nasir, 2011).
Ditinjau dari operasi rumusannya, ada dua jenis hipotesis yaitu:
1. Hipotesis nol atau hipotesis nihil, hipotesis ini dituliskan dengan “H0”
adalah hipotesis yang meniadakan perbedaan antar kelompok atau
meniadakan hubungan sebab akibat antar variabel.
2. Hipotesis Ha, hipotesis ini ditulis dengan “Ha”. Hipotesis ini digunakan
untuk menolak atau menerima hipotesis nihil (nol). Hipotesis ini
menyatakan adanya hubungan antar variabel.
Dari penjelasannya diatas dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Ha : Ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian kusta di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
2. Ha : Ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian kusta di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
3. Ha : Ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian kusta di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
51
4. Ha : Ada Hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian kusta di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
5. Ha : Ada hubungan antara riwayat kontak penderita dengan kejadian
kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
6. Ha : Ada hubungan antara status ekonomi dengan kejadian kusta di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
7. Ha : Ada hubungan antara status pekerjaan dengan kejadian kusta di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
52
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian pada hakekatnya merupakan suatu strategi untuk
mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai
pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian. Pemilihan
desain harus disesuaikan dengan topik penelitian, dengan menilih yang
paling efisien dan dengan hasil yang memuaskan (Rosjidi, 2017).
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif dengan desain studi Case Control. Penelitian Kuantitatif yaitu
jenis penelitian yang diperoleh dengan menggunakan prosedur statistic atau
cara lain dari kuantifikasi (pengukuran), sedangkan case control merupakan
salah satu bentuk rancangan penelitian analitik yang mengikuti proses
perjalanan penyakit kearah belakang berdasarkan urutan waktu. Oleh karena
itu, rancangan penelitian ini disebut restrospektif. Karena penelitian kasus
control dilakukan sebab akibat maka penelitian diawali dengan kelompok
penderita sebagai kasus dan kelompok penderita sebagai kontrol. Lamanya
penelitian merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan. Karena,
lamanya penelitian membutuhkan biaya dan kelangsungan penelitian.
Ciri-ciri penelitian Case Control adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan subjek berdasarkan status penyakitnya.
2. Dilakukan pengamatan apakah subjek mempunyai riwayat terpapar atau
tidak.
53
3. Subjek yang didiagnosis menderita kasus berupa insiden/prevalen dan
populasi.
4. Subjek yang tidak menderita disebut kontrol.
Tahap-tahap penelitian Case Control:
1. Identifikasi variabel-variabel penelitian (faktor resiko dan efek).
2. Menetapkan objek penelitian (populasi dan sampel).
3. Identifkasi kasus.
4. Melakukan pengukuran restropektif (melihat kebelakang untuk melihat
faktor resiko).
5. Melakukan analisis dengan membandingkan proporsi antara variabel-
variabel objek penelitian dengan variabel-variabel kontrol.
Rancangan penelitian case control dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.1 Skema Case Control
Pada penelitian ini dilakukan pendekatan restrospektif yang diawali
dengan mengamati pada kelompok kasus (Kusta), kemudian dilanjutkan
dengan kelompok pembanding kontrol (Tidak Kusta).
Untuk mencari perbedaan dalam pengalaman terpajan oleh faktor resiko
yang diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit kejadian perbedaan
Ter-ekspos
Tidak
Ter-ekspos
Ter-ekspos
Tidak
Ter-ekspos
KASUS
(Penderita)
KONTROL
(Bukan
Penderita)
Populasi
(Sampel)
54
pengalaman kedua kelompok dibandingkan untuk menentukan ada tidaknya
hubungan sebab akibat.
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri atas objek atau
subjek yang mempunyai karakteristik dan kualitas tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sujarweni, 2012). Populasi kasus ini dalam
penelitian ini yaitu semua penderita penyakit kusta yang terdaftar di
Puskesmas Wonoasri berjumlah 35 kasus dan untuk populasi yang
tidak terdiagnosis kusta berdasarkan pemeriksaan klinis
4.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Sujarweni, 2012). Kriteria sampel yang
diambil sebagai responden adalah kriteria inklusi yaitu karakteristik
umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau
dan akan diteliti dan kriteria eksklusi yaitu menghilangkan atau
mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi
karena berbagai sebab. Besar sampel yang diperlukan untuk
pengujian dua sisi diperoleh dengan rumus (Lemeshow, 1997)
sebagai berikut:
n = 𝑍1− 𝛼 2
2 𝑃 2 1− 𝑃 2 + 𝑍 1− 𝛽 𝑃 1 1− 𝑃 1 + 𝑃 2 1− 𝑃 2 ²
(𝑃 1− 𝑃 2 )²
55
Keterangan:
n = Besar sampel minimum
𝑍1− 𝛼 2 = Deviat baku alfa, nilai 1,96 (nilai 𝑍𝛼 pada CI 95%, 𝛼 =
0,05)
𝑍 1− 𝛽 = Deviat baku 𝛽, nilai 0,842 (nilai 𝑍𝛽 pada power 80%)
𝑃 1 = Proporsi paparan kelompok kasus
𝑃 2 = Proporsi paparan kelompok kontrol
𝑂𝑅 = Odds Ratio berdasarkan faktor resiko penelitian
sebelumnya
Jumlah sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan tingkat
kepercayaan 95% (𝛼 = 0,05) sehingga 𝛼 sebsar 1,96 dengan power
sebesar 80% untuk 𝛽sebsar 0,842. Nilai OR dan 𝑃 2 diperoleh dari
beberapa penelitian sebelumnya, maka dapat dihitung besar sampel
yang berhubungan dengan gaya hidup. Perhitungan sampelnya
sebagai berikut:
𝑃 1 = 𝑂𝑅 𝑥 𝑃 2
(𝑂𝑅 𝑥 𝑃 2 ) + (1− 𝑃 2)
Tabel 4.1 Nilai Odds Ratio Beberapa Faktor Kejadian Penyakit
Kusta No Variabel Odd Ratio (OR) ∑ Sampel
1 Jenis Lantai 2,80 17
2 Pekerjaan 3,5 15
3 Status Ekonomi 5.4 12
4 Kelembapan 2,25 16
5 Luas Ventilasi 5.8 18
6 Jenis Dinding 5,8 13
7 Riwayat Kontak 7,0 30
56
Perhitungan sampel dilakukan pada jumlah OR yang paling
tinggi yaitu variabel Riwayat Kontok dengan nilai OR = 7,0
(berdasarkan penelitian Siswanti dkk Tahun 2018) sehingga
diperoleh perhitungan sebagai berikut.
𝑃 1 = 𝑂𝑅 𝑥 𝑃 2
(𝑂𝑅 𝑥 𝑃 2 ) + (1− 𝑃 2)
𝑃 1 = 7,0𝑥 40
7,0𝑥 40 + (1− 40)
𝑃 1 = 25,6
Sehingga diketahui: 𝑃 2 = 40 𝑃 1 = 25,6
n = 𝑍1− 𝛼 2
2 𝑃 2 1− 𝑃 2 + 𝑍 1− â 𝑃 1 1− 𝑃 1 + 𝑃 2 1− 𝑃 2 ²
(𝑃 1− 𝑃 2 )²
= 1,96 2. 40 1− 40 + 0,842 25,6 1− 25,6 + 40 1− 40 ²
(25,6− 40)²
= 29,5 = 30 (Dibulatkan)
Dari Perhitungan diatas didapatkan besar sampel minimum yang
harus diambil sebanyak 30 sampel, yaitu 30 sampel kasus dan 30
sampel kontrol dengan perbandingan 1:1 sehingga jumlah sampel
yang diteliti pada penelitian ini 60 sampel.
Setelah ditentukan besar sampel selanjutnya menentukan kriteria
sampel.
Tabel 4.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi SAMPEL KRITERIA INKLUSI KRITERIA EKSKLUSI
Kasus 1. Warga yang tinggal di
wilayah kerja Puskesmas
Wonoasri Kabupaten madiun
2. Warga yang telah terdiagnosa
penyakit kusta dan terdaftar di
Puskesmas Wonoasri
Kabupaten Madiun
3. Bersedia menjadi responden
1. Sudah Meninggal dunia
2. Melakukan renovasi
rumah kurang dari 1
tahun
57
Lanjutan Tabel 4.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
SAMPEL KRITERIA INKLUSI KRITERIA EKSKLUSI
Kontrol 1. Warga yang tinggal di
wilayah kerja Puskesmas
Wonoasri Kabupaten Madiun
2. Warga yang tidak terdiagnosa
kusta dan tidak terdaftar di
Puskemas Wonoasri
3. Bersedia menjadi responden
1. Tidak dapat
berkomunikasi dengan
baik.
4.3 Teknik Sampling
Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel (Sugiyono,
2010). Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian,
terdapat berbagai teknik sampling yang digunakan. Dalam penelitian ini
menggunakan probability sampling dengan jenis simple random sampling.
Probability sampling adalah adalah teknik pengambilan sampel yang
memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk
dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2014). Jenis Probability sampling yang
digunakan dalam pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Simple
random sampling.
Menurut Sugiyono (2014) bahwa dikatakan simple (sederhana) karena
pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Cara demikian dilakukan
bila anggota populasi dianggap homogen. Pada penelitian ini dilakukan
teknik pengambilan sampel dengan menggunakan Simple random sampling,
hal ini dilakukan karena anggota populasi yakni penderita kusta yang
terdaftar di wilayah kerja puskesmas Kabupaten Madiun memiliki peluang
yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Langkah-langkah Simple random
sampling yang dilakukan dengan cara undian, adalah sebagai berikut.
58
1. Peneliti mendaftar semua anggota populasi.
2. Setelah selesai didaftar, kemudian masing-masing anggota populasi
diberi nomor, masing-masing dalam satu kertas kecil-kecil.
3. Kertas-kertas kecil yang masing-masing telah diberi nomor tersebut
kemudian digulung atau dilinting.
4. Gulungan atau lintingan kertas yang telah berisi nomor-nomor tersebut,
kemudian dimasukkan ke dalam suatu tempat (misalnya kotak atau
kaleng) yang dapat digunakan untuk mengaduk sehingga tempatnya
tersusun secara acak (sembarang).
5. Setelah proses pengadukan dianggap sudah merata, kemudian peneliti
atau orang lain yang diawasi peneliti, mengambil lintingan kertas satu
per satu sampai diperoleh sejumlah sampel yang diperlukan.
Cara undian ini sangat sederhana dan mudah digunakan, cocok
digunakan untuk jumlah sampel yang kecil, namun untuk digunakan
terhadap jumlah populasi yang besar, akan menjadi tidak efisien.
4.4 Kerangka Kerja Penelitian
Kerangka kerja merupakan merupakan penahapan dalam suatu
penelitian pada kerangka kerja disajikan alur penelitian terutama variabel
yang akan digunakan dalam penelitian (Wiratna, 2014). Berikut
disampaikan kerangka kerja dari penelitian ini mulai awal hingga penarikan
kesimpulan:
59
Gambar 4.2 Kerangka Kerja Penelitian
Sampel
Berdasarkan perhitungan dengan rumus Lemeshow didapat besar sampel berjumlah
30 orang, sehingga 30 sebagai kasus dan 30 orang sebagai kontrol
dengan perbandingan 1:1
Uji Validitas dan Reliabilitas
Desain Penelitian
Desain penelitian analitik dengan pendekatan Case Control
Teknik Sampling
Probability sampling dengan jenis Simple random sampling
Variabel Independent
Kondisi fisik rumah, Riwayat,
Status Ekonomi, Status Pekerjaan
Variabel Dependent
Kejadian Kusta
Populasi
Semua penderita kusta yang terdaftar di Puskesmas Wonoasri
Kabupaten Madiun
Pengolahan Data
Editing, Coding, Entry, Cleaning,
Tabulating
Analisis Data
Menggunakan uji Chi-Square
Hasil dan Kesimpulan
60
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
4.5.1 Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas (Variabel Independent)
Variabel bebas merupakan variabel yang dapat
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau
timbulnya variabel terikat (dependent) (Wiratna, 2014). Variabel
bebas pada penelitian ini adalah jenis dinding, jenis lantai,
kelembapan, luas ventilasi, riwayat kontak, status ekonomi,
status pekerjaan.
2. Variabel Terikat (Variabel Dependent)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau
yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Wiratna,
2014). Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian
penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri.
4.5.2 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel adalah pengertian variabel yang
diungkap dalam definisi konsep secara operasional, secara praktik
dan secara nyata dalam lingkup objek penelitian/ objek yang diteliti.
Mendefisikasi variabel secara operasioanl adalah menggambarkan
atau mendeskripsikan variabel penelitian sedemikian rupa,sehingga
orientasi pengertian definisi operasional terletak pada istilah yang
spesifik (tidak berinterpretasi ganda) dan terukur (observable atau
measurabele)
61
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi operasional variabel penelitian ini adalah:
Tabel 4.3 Definisi Operasional Variabel
NO VARIABEL DEFINISI
OPERASIONAL ALAT UKUR
SKALA
DATA PARAMETER HASIL UKUR
1 Kejadian
Kusta Semua penderita
yang didiagonosis
kusta diwilayah
kerja wonoasri
Berdasarkan
anamnesis dan
pemeriksaan secara
klinis serta tercatat
dalam kartu
penderita.
Wawancara ,
ceklist (untuk
penderita kontrol)
& Melihat Kartu
penderita Kusta
Nominal 1. Kasus, warga yang tercatat
sebagai penderita di
Puskesmas Wonoasri.
2. Kontrol, warga yang tidak
menderita kusta yang
menjadi keluarga/ tetangga
dari penderita kusta
0 = Penderita Kusta
(Kasus)
1 = Buka Penderita
Kusta (Kontrol)
2 Jenis Dinding Jenis bahan yang
digunakan sebagai
dasar sebuah ruangan
yang terbuat dari
semen
Lembar Observasi
Dan Wawancara
Nominal 1. Tidak memenuhi syarat bila
sebagian/ seluruh dinding
terbuat dari papan dan kayu.
2. Memenuhi syarat,bila jenis
dinding terbuat dari semen.
(Permenkes RI, 2011)
0 = Tidak Memenuhi
Syarat
1 = Memenuhi Syarat
3 Jenis Lantai Jenis bahan yang
digunakan sebagai
dasar sebuah ruangan
yang terbuat dari dari
semen/ubin/kramik
Dan kondisi keadaan
lantai rumah
penderita sekitar 2
tahun yang lalu
sebelum didiagnosis
Lembar Observasi
Dan Wawancara
Nominal 1. Tidak memenuhi syarat, bila
sebagian/ seluruh lantai
terbuat dari tanah dan
plester yang retak.
2. Memenuhi syarat, bila jenis
lantai terbuat dari semen/
ubin/ kramik.
(Permenkes RI, 2011)
0 = Tidak Memenuhi
Syarat
1 = Memenuhi Syarat
62
Lanjutan Tabel 4.3 Definisi Operasional Variabel
NO VARIABEL DEFINISI
OPERASIONAL ALAT UKUR
SKALA
DATA PARAMETER HASIL UKUR
kusta
4 Kelembaban Angka yang
menunjukkan
kelembaban ruangan
(dalam%)
Hygrometer Nominal 1. Tidak memenuhi syarat, bila
kelembaban < 40-70%.
2. Memenuhi syarat,bila
kelembaban ≥ 40-70%.
(Permenkes RI, 2011).
0 = Tidak Memenuhi
Syarat
1 = Memenuhi Syarat
5 Luas Ventilasi Mengukur panjang
dan lebar lantai serta
ventilasi dengan
menggunkaan
rollmeter dan kondisi
fisik rumah penderita
diukur berdasarkan
syarat rumah sehat
sekitar 2 tahun yang
lalu sebelum
didiagnosis kusta
Rollmeter dan
lembar Observasi
Nominal 1. Tidak memenhi syarat bila
ventilasi <10% luas lantai.
2. Memenuhi syarat,bila
ventilasi ≥10% luas lantai
(Permenkes RI, 2011)
0 = Tidak Memenuhi
Syarat
1 = Memenuhi Syarat
6 Riwayat
Kontak
Penderita
Riwayat penderita
kusta yang
berhubungan
keluarga
Lembar
Kuesioner Dan
Wawancara
Dengan
perhitungan Skor
Dari Skala
Guttman Yaitu
Jawaban
Ya = 1
Tidak = 0
Nominal 1. Berisiko jika total skor
≥ 50%
2. Tidak Berisiko jika total
skor < 50%
(Sunyoto, Danang, 2012).
0 = Berisiko
1 = Tidak Berisiko
7 Status Keadaan sosial Lembar Observasi Nominal 1. < UMR Rp.1.763.267,65 0 = < UMR
63
Lanjutan Tabel 4.3 Definisi Operasional Variabel
NO VARIABEL DEFINISI
OPERASIONAL ALAT UKUR
SKALA
DATA PARAMETER HASIL UKUR
Ekonomi ekonomi penderita
diukur dengan
melihat pendapatan
rata – rata perbulan
sekitar 2 tahun yang
sebelum didiagnosis
kusta.
dan Wawancara 2. ≥ UMR Rp.1.763.267,65
(https://www.dedyprastyo.com/
2018/12/umr-jawa-timur-2019/)
1 = ≥ UMR
8 Status
Pekerjaan
Jenis pekerjaan atau
mata pencarian yang
dilakukan responden
untuk memperoleh
penghasilan baik dari
segi pekerjaan mapn
lingkungannya
kerjanya saat
didiagnosis menderita
kusta sekitar 2 tahun
yang lalu sebelum
didiagnosis kusta.
Lembar Observasi
dan Wawancara
Nominal 1. Tidak Beresiko (tidak
bekerja, pelajar, pegawai
kantor)
2. Berisiko (pekerja
bangunan, buruh, tukang
batu, pekerja bengkel,
penjahit, petani)
(Nur Laily, 2012)
0 = Berisiko
1 = Tidak Berisiko
64
4.6 Instrumen Penelitian
4.6.1 Kuesioner
Kuesioner adalah metode pengumpulan data dengan cara
menggunakan daftar pertanyaan yang diajukan kepada responden
untuk dijawab dengan memberikan angket (Wiratna, 2014). Dalam
kuuesioner penelitian cukup banyak berisi jawaban dalam bentuk
kata sehingga diperlukan scoring untuk memudahkan penilaian dan
akan membantu dalam proses analisis data yang telah ditemukan.
Untuk penilaian ini menggunakan penilaian scoring dengan skala
pengukuran Gutman. Untuk hasil jawaban terhadap pertanyaan
kuesioner akan dilakukan penilaian berupa skor angka 0 untuk
jawaban tidak memenuhi syarat, sedangkan skor 1 untuk jawaban
memenuhi syarat.
4.6.2 Observasi
Observasi merupakan suatu metode yang digunakan untuk
peneliti dengan cara pengamatan langsung terhadap kegiatan yang
dilakukan oleh responden. Observasi dapat berisi sebuah daftar jenis
kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati oleh peneliti
(Wiratna, 2014).
4.6.3 Wawancara
Adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan
data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau informasi secara
65
lisan dari responden, berhadapan atau tatap muka dengan orang
tersebut (face to face).
4.6.4 Pengukuran
Melakukan pengukuran yang meliputi pengukuran kelembaban
dan Luas Ventilasi:
1. Kelembaban
Kriteria tingkat kelembaban suatu ruangan yang memenuhi
syarat adalah jika prosentase kandungan air dalam udara adalah
40% - 70%. Tidak memenuhi syarat jika prosentase kandungan
air dalam udara di ruangan kurang dari 40% atau lebih dari 70%.
Alat yang digunakan adalah Hygrometer. Lokasi pengukuran
ditentukan dengan melihat ruang yang paling sering digunakan
beraktifitas anggota keluarga, dan terkeuali tempat menaruh air,
atau kamar mandi, untuk waktu juga konsisten di pukul 09.00 –
14.00 dengan cuaca diluar cerah, tidak mendung dan tidak hujan.
2. Luas ventilasi
Secara umum mengukur luas ventilasi yaitu dengan cara
membandingkan antara luas lantai dengan luas ventilasi. Luas
ventilasi yang memenuhi syarat bila ventilasi ≥10% luas lantai
dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat bila ventilasi
<10% luas lantai (Permenkes, 2011).
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan rollmeter,
berikut cara pengukurannya:
66
a. Luas ventilasi ruang tamu, dan ruang tidur diukur.
b. Luas lantai ruang tamu, dan ruang tidur diukur.
c. Luas ventilasi dibandingkan dengan luas lantai rumah
4.6.5 Uji Validitas
Untuk menguji validitas instrumen digunakan rumus korelasi
Product moment. Penentuan kevalidan suatu instrumen diukur
dengan membandingkan r-hitung dengan r-tabel. Adapun penentuan
disajikan sebagai berikut:
1. r-hitung > r-tabel atau nilai sig r < 0,05 : Valid
2. r-hitung < r-tabel atau nilai sig r > 0,05 : Tidak Valid
Jika ada butir yag tidak valid, maka butir yang tidak valid
tersebut dikeluarkan, dan proses analisis diulang untuk butir yang
valid saja
Hasil r hitng dibandingkan r tabel dimana df=n-2 dengan sig
5%. Jika r tabel < r hitung maka valid, dan jika r tabel > r hitung
maka tidak valid (Sujarweni,2014)
Dengan menggunakan jumlah responden sebanyak 30 uji
kuesioner dilakukan di puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun
dengan jumlah responden 30 (15 untuk responden kasus dan 15
untuk responden kontrol) maka nilai r tabel dapat diperoleh melalui
tabel r product moment pearson dengan df (degree of freedom) = n –
2, sehingga df= 30–2 = 28, maka R tabel = 0.312. Butir pertanyaan
67
dikatakan valid jika r hitung > r tabel. Dapat dilihat dari Corrected
Item Total Correlation. Analisis output bisa dilihat dibawah ini:
Tabel 4.4 Data Validitas Instrumen Penelitian No Butir R hitung R table Keterangan
Pertanyaan 1 0,669 0.312 Valid
Pertanyaan 2 0.839 0.312. Valid
Pertanyaan 3 0.619 0.312 Valid
Pertanyaan 4 0.313 0.312 Valid
Pertanyaan 5 0.334 0.312 Valid
Pertanyaan 6 0.556 0.312 Valid
Pertanyaan 7 0.367 0.312 Valid
Pertanyaan 8 0.461 0.312 Valid
Pertanyaan 9 0.457 0.312 Valid
Sumber: Data primer Validitas Instrumen Penelitian
Disimpulkan dari tabel diatas bahwa 9 butir pertanyaan
dinyatakan valid karena melebihi R tabel ≥0,312.
4.6.6 Uji Reliabilitas
Menurut Sayuti dalam Saputri (2010), kuesioner dinyatakan
reliabel jika mempunyai nilai koefisien alpha, maka digunakan
ukuran kemantapan alpha yang diinterprestasikan sebagai berikut:
Tabel 4.5 Nilai Alpha Cronbach’s Nilai Alpha Cronbach’s Kualifikasi Nilai
0,00- 0,20 Kurang reliabel
0,21- 0,40 Lumayan reliabel
0,41- 0,60 Cukup reliabel
0,61- 0,80 Reliabel
0,81- 1,00 Sangat reliabel
Uji reliabilitas dapat dilihat pada nilai α-Cronbach, jika nilai α-
Cronbach > 0,60 maka kontruk pertanyaan yang merupakan dimensi
variabel adalah reliable (Sujarweni,2015). Analsisi output bias
dilihat dibawah ini:
68
Tabel 4.6 Data Reliabilitas Insreumen Penelitian
Cronbach’s Alpha Keterangan
0,717 Reliabel
Sumber: Sumber Data Reliabelitas Instrumen Penelitian
Diperoleh r hitung > r tabel maka di nyatakan valid.
Berdasarkan uji reliabilitas didapatkan hasil Cronbach’s Alpha
sebesar 0,717 yang artinya reliabel. Sehingga kuesioner penelitian
ini dapat digunakan sebagai alat pengumpulan data pada sumber
penelitian.
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian : Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas
Wonoasri Kabupaten Madiun.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dimuali pada bulan April - Mei 2019 dan perencanaan
(penyusunan proposal) sampai dengan penyusunan laporan akhir bulan
Agustus 2019 di Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten
Madiun.
Tabel 4.7 Realisasi Penelitian
No Kegiatan Tanggal Acc
1 Pembuatan dan Konsul Judul 1 Februari 2019
2 Penyusunan dan Bimbingan
Proposal
12 Februari 2019 – 11 April
2019
3 Ujian Proposal 23 April 2019
4 Revisi Proposal 27 April 2019
5 Pengambilan Data 27 Mei 2019 – 2 Juni 2019
6 Penyusun dan Konsul Skripsi 28 Juni 2019 -
7 Ujian skripsi 9 Juli 2019
8 Revisi Skripsi 19 Juli 2019
69
4.8 Jenis Data
4.8.1 Data Primer
Data primer adalah data asli yang dikumpulkan sendiri oleh
peneliti untuk menjawab masalah penelitiannya secara khusus. Pada
umumnya data primer ini belum tersedia, sehingga seseorang peniliti
harus melakukan pengumpulan data sendiri berdasarkan
kebutuhannya. Data primer dari penelitian ini meliputi wawancara
dengan menggunakan kuesioner, observasi yang dilakukan oleh
peneliti secara langsung serta pengukuran.
4.8.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil
pengumpulan sumber lain atau pihak lain yaitu dengan mengadakan
studi kepustakaan dengan objek penelitian atau dapat dilakukan
dengan menggunakan data yang diperoleh dari instansi yang terkait.
Data sekunder pada penelitian ini meliputi data yang diperoleh dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun, WHO, Puskesmas Wonoasri,
UMR Kabupaten Madiun 2019, menteri kesehatan RI No.829/
Menkes/VIII/1999 dan berbagai sumber lainnya.
4.9 Teknik Pengolahan Data
1. Editing
Editing yaitu meliputi kelengkapan dan kebenaran data serta
kuesioner yang dilakukan sebelum meninggalkan tempat yang
70
bertujuan untuk mengurangi kekurangan data maupun kesalahan data
pada saat data sudah terkumpul.
2. Coding
Coding yaitu mengartikan data yang sudah terkumpul selama
pelaksanaan penelitian dengan menggunakan kode numeric (angka)
agar dapat dengan mudah dianalisis oleh peneliti.
Tabel 4.8 Coding
No Variabel Coding
1 Kejadian kusta 0 = Kasus
1 = Kontrol
2 Jenis Dinding 0 = Tidak Memenuhi Syarat
1 = Memenuhi Syarat
3 Jenis Lantai 0 = Tidak Memenuhi Syarat
1 = Memenuhi Syarat
4 Kelembaban 0 = Tidak Memenuhi Syarat
1 = Memenuhi Syarat
5 Luas Ventilasi 0 = Tidak Memenuhi Syarat
1 = Memenuhi Syarat
6 Riwayat Kontak Penderita 0 = Berisiko
1 = Tidak Berisiko
7 Status Ekonomi 0 = < UMR
1 = ≥ UMR
8 Status Pekerjaan 0 = Berisiko
1 = Tidak Berisiko
3. Entry
Entry masing-masing jawaban responden dalam bentuk “kode”
(angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau “software”
computer (Notoatmodjo, 2011).
4. Cleaning
Cleaning yaitu apabila semua data dari setiap sumber semua data
atau responden selesai dimasukkan, peneliti melakukan pengecekkan
kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan
71
kode ketidak lengkapan dan sebagainnya. Kemudian dilakukan
pembentulan atau korelasi.
5. Tabulating
Tabulating yaitu penyusunan data yang dilakukan peneliti dalam
bentuk table, diagram, narasi mapun histogram dengan tujuan
mempermudah peneliti untuk membaca hasil, sehingga peniliti mudah
dalam pengambilan keputusan dan perencanaan dalam sebuah
penelitian.
4.10 Analisis Data
4.10.1 Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau
mendiskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada
umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi
dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2012). Analis yang
dilakukan pada penelitian ini adalah mengidemtifikasi dari masing-
masing variabel, seperti variabel jenis dinding, jenis lantai,
kelembaban, luas ventilasi, riwayat kontak, status pekerjaan, status
ekonomi.
4.10.2 Analisis Bivariat
Data yang diperoleh akan dianalisis secara analitik untuk
mengetahui hubungan antar variabel dengan menggunakan uji
statistik. Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga berhungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2012).
72
Analisa penelitian ini menggunakan uji statistic Chi-Square dan
besarnya resiko dengan Odd Ratio (OR). Odd Ratio merupakan
perbandingan antara odd subjek sakit dengan odd Subjek tidak sakit.
Sedangkan untuk persyaratan uji chi-square antara lain:
1. Bila dalam tabel 2 x 2 dijumpai nilai E (harapan) <5, lebih dari
(20%), maka uji yang digunakan adalah fisher exact untuk
semua variabel yang ditetapkan signifikasi derajat penolakan 5%
9 (P-value 0,05).
2. Bila tabel 2 x 2 tidak dijumpai nilai E (harapan) <5 tidak lebih
dari (20%) maka uji yang dipakai sebaiknya continuity
correction.
Analisa bivariat dapat dibuat dalam bentuk tabel sebagai
berikut:
Tabel 4.9 Analisis Bivariat EFEK
FAKTOR RISIKO KASUS KONTROL JUMLAH
YA a B a + b
TIDAK c D c + d
JUMLAH a + c b + d a + b + c + d
Keterangan:
a : Jumlah kasus dengan faktor risiko.
b : Jumlah kontrol dengan faktor risiko.
c : Jumlah kasus tanpa faktor risiko.
d : Jumlah kontrol tanpa faktor risiko.
73
Dasar pengambilan keputusan dengan tingkat signifikan adalah:
1. Apabila sig p > 0,05 maka H0 diterima, sehingga antara kedua
variabel tidak ada hubungan yang bermakna jadi H1 ditolak.
2. Apabila sig p ≤ 0,05 maka H0 ditolak, sehingga antara kedua
variabel ada hubungan yang bermakna jadi H1 diterima.
3. 95% CI tidak melewati angka 1 artinya berhubungan, 95% CI
melewati angka 1 artinya tidak berhubungan.
Syarat pembaca OR dalam SPSS sebagai berikut:
1. OR < 1, tidak merupakan faktor risiko.
2. OR = 1, merupakan faktor protektif.
3. OR > 1, merupakan faktor risiko.
4.11 Etika Penelitian
4.11.1 Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Responden bersedia diteliti, setelah diberikan permintaan
menjadi responden harus mencantumkan tanda tangan. Jika
responden menolak untuk diteliti tidak boleh memaksa dan tetap
menghormati hak-hak responden.
4.11.2 Tanpa Nama (Anonimity)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak
mencantumkan nama responden. Peneliti hanya mencantumkan
nama insial responden. Subyek mempunyai hak untuk meminta
bahwa data yang diberikan harus dirahasiakan sehingga tidak perlu
mencamtumkan nama identitas subyek.
74
4.11.3 Kerahasiaan (Confidentiality)
Subyek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang
diberikan harus dirahasiakan. Kerahasiaan responden dan informasi
yang telah dikumpulkan dijamin oleh peneliti. Data tersebut hanya
disajikan dan dilaporkan kepada beberapa kelompok yang
berhubungan dengan penelitian.
75
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum
5.1.1 Letak dan Batas – Batas wilayah
Kecamatan Wonoasri terletak dengan ketinggian antara 55 meter
sampai dengan 68 meter di atas permukaan air laut dan keseluruhan
mempunyai topografi yang datar. Luas wilayah Kecamatan Wonoasri
adalah 33,93 km2 yang terbagi dalam 10 desa dengan rincian sebagai
berikut:
Tabel 5.1 Luas Wilayah dan Jumlah Dusun per Desa Tahun 2017 NO NAMA DESA JUMLAH DUSUN LUAS WILAYAH
(Ha)
1 Banyukambang 3 135,00
2 Bancong 3 187,00
3 Buduran 3 231,00
4 Jatirejo 3 137,00
5 Klitik 5 205,00
6 Ngadirejo 6 558,21
7 Plumpungrejo 4 667,73
8 Purwosar 5 194,63
9 Sidomulyo 4 945,43
10 Wonoasri 3 132.00
JUMLAH 39 3393,00 Sumber: Data Primer 2019
76
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kecamatan Wonoasri Sumber:Data Profil Puskesmas Wonoasri 2018
Kecamatan Wonoasri merupakan salah satu dari 15 kecamatan
diwilayah Kabupaten Madiun yang memiliki batas – batas Wilayah
sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kecamatan Pilangkenceng
Sebelah Timur : Kecamatan Mejayan
Sebelah Selatan : Kecamatan Wungu
Sebelah Barat : Kecamatan Balerejo
77
5.1.2 Kependudukan/Demografi
Jumlah penduduk Kecamatan Wonoasri tahun 2017 adalah 36.567
jiwa. Distribusi penyebaran penduduk di tiap desa dapat dilihat tabel
berikut:
Tabel 5.2 Jumlah KK dan jumlah penduduk per Desa
NO DESA KK JUMLAH PENDUDUK
L P TOTAL
1 Banyukambang 624 854 901 1755
2 Bancong 788 1104 1108 2212
3 Buduran 1176 1640 1538 3178
4 Jatirejo 884 1231 1284 2515
5 Klitik 1182 1752 1742 3494
6 Ngadirejo 2241 3030 3054 6086
7 Plumpungrejo 1555 2356 2273 4629
8 Purwosari 1738 2405 2424 4829
9 Sidomulya 1867 2604 2571 5175
10 Wonoasri 979 1375 1330 2705 JUMLAH 13034 18351 18225 36576
Sumber: Data Primer 2019
Jumlah Rumah Tangga Sangat Miskin, Miskin, Hampir Miskin
pendapatan perlindungan social 2008 (PPSL08) perdesa Kec.Wonoasri
Tabel 5.3 Klasifikasi Keadaan Pendapatan Masyarakat Miskin
NO DESA
RT
SANGAT
MISKIN
RT
MISKIN
RT
HAMPI
R
MISKIN
JUMLAH
1 NGADIREJO 41 188 218 447
2 JATIREJO 9 77 70 156
3 BANYUKAMBANG 12 51 69 132
4 SIDOMULYA 9 74 250 333
5 PLUMPUNGREJO 81 338 199 618
6 WONOASRI 10 65 131 206
7 BANCONG 9 100 115 224
8 KLITIK 23 101 77 201
9 PURWOSARI 22 85 87 194
10 BUDURAN 30 136 159 325 JUMLAH 246 1215 1375 2836
Sumber: Data Primer 2019
78
5.1.3 Taraf Tingkat Pendidikan
Sebagian besar Penduduk Kecamatan Wonoasri berpendidikan rendah
menurut tingkat pendidikan per desa ( Data Akhir Tahun 2017)
Tabel 5.4 Tingkat Pendidikan Penduduk Tahun 2017
NO PENDIDIKAN L P JUMLAH %
1 TIDAK/BELUM
SEKOLAH
4387 4558 8954 24,46
2 TIDAK TAMAT
SD
3321 3699 7020 19,19
3 TAMAT SD 2541 2656 5197 14,21
4 TAMAT SLTP 4425 3587 8012 21,91
5 TAMAT SLTA 4425 3587 8012 21,91
6 D I / II 34 59 93 0,25
7 DIII 101 155 256 0,70
8 D IV /S 1 474 483 957 2,62
9 S2 27 19 46 0,13
10 S3 3 2 5 0.01
11 SLB 11 7 18 0,05
JUMLAH 18351 18225 36576 100,0 Sumber: Data Primer 2019
5.2 Karakteristik Responden
Karakteristik responden penelitian di UPT Puskesmas Wonoasri
Kabupaten Madiun yang tercakup dalam lembar pertanyaan penelitian
meliputi jenis kelamin,pendidikan,umur,kejadian kusta.
5.2.2 Jenis Kelamin
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasakan Jenis Kelamin di
UPT Puskesmas Wonoasri 2019
Jenis Kelamin Jumlah Presentase (%)
Laki – Laki 23 38,3
Perempuan 37 61,7
Total 60 100,0
Sumber: Data Primer 2019
Berdasarkan tabel 5.5 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 37 orang (61,7 %).
79
5.2.3 Pendidikan
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasakan Pendidikan di UPT
Puskesmas Wonoasri 2019
Pendidikan Jumlah Presentase (%)
SD 9 15
SMP 21 35
SMA 30 50
TOTAL 60 100,0
Sumber: Data Primer 2019
Berdasarkan tabel 5.6 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar
responden SMA sebanyak 30 orang (50%).
5.2.4 Umur
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasakan Umur di UPT
Puskesmas Wonoasri 2019.
Umur Jumlah Presentase (%)
≥ 35 Tahun 50 83,3
< 35 Tahun 10 16,7
Total 60 100 ,0 Sumber: Data Primer 2019
Berdasarkan tabel 5.8 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar
responden yang berumur ≥ 35 tahn sebanyak 50 orang (83,3%).
5.3 Hasil Penelitian
Hasil penelitian dari penderita kusta di wilayah kerja UPT puskesmas
Wonoasri Kabupaten Madiun adalah sebagai berikut:
5.3.1 Hasil Univariat
Tabel 5.9 Distribusi Riwayat Kontak Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Riwayat Kontak Jumlah Presentase
Berisiko 41 66,3
Tidak Berisiko 19 31,7
Total 60 100,0 Sumber: Data Primer 2019
80
Berdasarkan tabel 5.9 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar
Riwayat Kontak responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri dalam
katagori berisiko yaitu sebanyak 41 responden (66,3%).
Tabel 5.10 Distribusi Kelembaban Responden Berdasarkan Kejadian Kusta
di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Kelembaban Jumlah Presntase (%)
Tidak Memenuhi Syarat 37 61,7
Memenuhi Syarat 23 38,3
Total 60 100,0 Sumber: Data Primer 2019
Berdasarkan tabel 5.10 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar
kelembaban rumah responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri dalam
katagori tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 37 responden (61,7%).
Tabel 5.11 Distribusi Luas Ventilasi Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Luas Ventilasi Jumlah Presentase (%)
Tidak Memenuhi Syarat 44 73,3
Memenuhi Syarat 16 26,7
Total 60 100,0 Sumber: Data Primer 2019
Berdasarkan tabel 5.11 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar
Luas Ventilasi rumah responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri
dalam katagori tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 44 responden
(73,3%).
Tabel 5.12 Distribusi Jenis Dinding Responden Berdasarkan Kejadian Kusta
di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Jenis Dinding Jumlah Presentase (%)
Tidak Memenuhi Syarat 36 60
Memenuhi Syarat 24 40
Total 60 100,0 Sumber: Data Primer 2019
81
Berdasarkan tabel 5.12 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar
Jenis Dinding rumah responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri dalam
katagori tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 36 responden (60%).
Tabel 5.13 Distribusi Jenis Lantai Responden Berdasarkan Kejadian Kusta
di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Jenis Lantai Jumlah Presentase (%)
Tidak Memenuhi Syarat 39 65
Memenuhi Syarat 21 35
Total 60 100,0 Sumber: Data Primer 2019
Berdasarkan tabel 5.13 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar
Jenis Lantai rumah responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri dalam
katagori tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 39 responden (66%).
Tabel 5.14 Distribusi Status Ekonomi Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Status Ekonomi Jumlah Presentase (%)
< UMR 35 58,3
≥ UMR 25 41,7
Total 60 100,0 Sumber: Data Primer 2019
Berdasarkan tabel 5.14 diatas dapat diketahui presentase Status
Ekonomi responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri dalam katagori
<UMR sebanyak 35 responden (58,3%).
Tabel 5.15 Distribusi Status Pekerjaan Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Status Pekerjaan Jumlah Presentase (%)
Berisiko 38 63,3
Tidak Berisiko 22 36,7
Total 60 100,0 Sumber: Data Primer 2019
82
Berdasarkan tabel 5.15 diatas dapat diketahui bahwa presentase Status
Pekerjaan responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri dalam katagori
Berisiko (petani, buruh tani, dll) sebanyak 38 responden (63,3%).
5.3.2 Hasil Bivariat
Hasil penelitian dimaksudkan untuk mengetahui hubungan dan
besarnya nilai odds ratio faktor risiko, dan digunakan untuk mencari
hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dengan uji statistic
yang disesuaikan dengan skala data yang ada. Uji statistic yang digunakan
Chi-Square dan penentuan odds ratio (OR) dengan taraf kepercayaan (CI)
95 % dan tingkat kemaknaan 0,05. Hasil uji Chi-Square dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
5.3.2.1 Hubungan Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Tabel 5.16 Hubungan Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Riwayat
Kontak
Kejadian kusta
OR 95%
CI
P -
Value Kasus Kontrol
N % N %
Berisiko 25 83,3 16 43,3 4,375 1,320 –
14,504
0,026
Tidak
Berisiko 5 16,7 14 46,7
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019
Presentase responden yang berisiko pada kelompok kasus sebanyak 25
(76,7 %), lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya 16 (43,3 %).
Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat (continuity
correction) dengan p Value 0.026 < 0.05 berarti ada hubungan antara
riwayat kontak dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas
Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang terdapat anggota
83
keluarga yang menderita Kusta memiliki risiko 4,375 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki anggota keluarga
yang menderita Kusta (95% CI = 1,320 – 14, 504).
5.3.2.2 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Tabel 5.17 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun
Kelembaba
n
Kejadian kusta
OR 95% CI P -
Value Kasus Kontrol
N % N %
Tidak
Memenuhi
Syarat
24 80 13 43,3 5,231 1,657 – 16,515 0,008
Memenuhi
Syarat 6 20 17 56,7
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019
Prosentase responden yang tidak memenuhi syarat pada kelompok
kasus sebanyak 24 (80 %), lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya
13 (43,3 %). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat
(continuity correction) dengan p Value 0.008 < 0.05 berarti ada hubungan
antara kelembaban dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas
Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang kelembaban rumahnya
kurang baik memiliki risiko 5,231kali lebih besar dibandingkan dengan
responden yang kelembaban rumahnya baik (95% CI =1,657 – 16,515).
84
5.3.2.3 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Tabel 5.18 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun
Luas
Ventilasi
Kejadian kusta
OR 95% CI P -
Value Kasus Kontrol
N % N %
Tidak
Memenuhi
Syarat
26 86,7 18 60 4,333 1,203 –
15,605
0,041
Memenuhi
Syarat 4 13,3 12 40
Total 30 100,0 30 100 ,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019
Prosentase responden yang tidak memenuhi syarat pada kelompok
kasus sebanyak 26 (86,7 %), lebih besar dari kelompok kontrol yang
hanya 18 (60 %). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan
dilihat (continuity correction) dengan p Value 0.041 < 0.05 berarti ada
hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian kusta di wilayah kerja
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang luas
ventilasi rumahnya kurang baik memiliki risiko 4,333 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang luas ventilasi rumahnya baik (95%
CI =1,203 – 15,605).
5.3.2.4 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Tabel 5.19 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun
Jenis
Dinding
Kejadian kusta
OR 95% CI P -
Value Kasus Kontrol
N % N %
Tidak
Memenuhi
Syarat
24 80 12 40 6,000 1,890 –
19,043
0,004
Memenuhi
Syarat 6 20 18 60
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019
85
Prosentase responden yang tidak memenuhi syarat pada kelompok
kasus sebanyak 24 (80%), lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya
12 (40 %). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat
(continuity correction) dengan p Value 0.004 < 0.05 berarti ada hubungan
antara jenis dinding dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas
Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang jenis dinding
rumahnya kurang baik memiliki risiko 6,000 kali lebih besar dibandingkan
dengan responden yang jenis dinding rumahnya baik (95% CI =1,890 –
19,043).
5.3.2.5 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Tabel 5.20 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun
Jenis
lantai
Kejadian kusta
OR 95%
CI
P –
Value Kasus Kontrol
N % N %
Tidak
Memenuhi
Syarat
24 80 15 50 4,000 1,272 –
12,578
0,030
Memenuhi
Syarat 6 20 15 50
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019
Prosentase responden yang tidak memenuhi syarat pada kelompok
kasus sebanyak 24 (80%), lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya
15 (50 %). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat
(continuity correction) dengan p Value 0.030 < 0.05 berarti ada hubungan
antara jenis lantai dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas
Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang jenis lantai rumahnya
86
kurang baik memiliki risiko 4,000 kali lebih besar dibandingkan dengan
responden yang jenis lantai rumahnya baik (95% CI =1,272 – 12,578).
5.3.2.6 Hubungan Status Ekonomi dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Tabel 5.21 Hubungan Status Ekonomi dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun
Status
Ekonomi
Kejadian kusta
OR 95% CI P -
Value kasus Kontrol
N % N %
< UMR 23 76,7 12 40 4,929 1,612 –
15,071
0,009
≥ UMR 7 23,3 18 60
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019
Prosentase responden yang < UMR pada kelompok kasus sebanyak 23
(76,7%), lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya 12 (40 %).
Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat (continuity
correction) dengan p Value 0.009 < 0.05 berarti ada hubungan antara
status ekonomi dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas
Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang status ekonominya <
UMR memiliki risiko 4,929 kali lebih besar dibandingkan dengan
responden yang status ekonominya ≥ UMR (95% CI =1,612 – 15,071).
5.3.2.7 Hubungan Status Pekerjaan dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Tabel 5.22 Hubungan Status Pekerjaan dengan Kejadian Kusta di UPT
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun
Status
Pekerjaan
Kejadian kusta
OR 95% CI P -
Value kasus Kontrol
N % N %
Berisiko 24 80 14 46,7 4,571 1,452 –
14,389
0,016
Tidak
Berisiko 6 20 16 53,3
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019
87
Prosentase responden status pekerjaanya berisiko (petani, buruh tani,
dll) pada kelompok kasus sebanyak 24 (80%), lebih besar dari kelompok
kontrol yang hanya 14 (46,7 %). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah
dilakukan dilihat (continuity correction) dengan p Value 0.016 < 0.05
berarti ada hubungan antara status pekerjaan dengan kejadian kusta di
wilayah kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden
yang status pekerjaannya yang berisiko (petani, buruh tani, dll) memiliki
risiko 4,571 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang status
pekerjaanya tidak berisiko (pegawai kantor, pelajar) (95% CI=1,452 –
14,389).
5.4 Pembahasaan
5.4.1 Hubungan Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta
Hasil analisis bivariat menggunakan uji Chi-square untuk mengetahui
hubungan riwayat kontak dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-value
0,026 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara riwayat
kontak dengan kejadian kusta di wilayah kerja puskesmas Wonoasri.
Diketahui nilai OR sebesar 4,375 berarti bahwa responden yang riwayat
kontak rumah kurang baik pada kelompok kasus 4,375 kali lebih besar
berisiko terkena kusta dibandingkan dengan responden yang riwayat kontak
kurang baik pada kelompok kontrol.
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 25 (83,3%) responden yang
menderita kusta disebabkan karena tertular dari penderita lain yaitu keluarga
(lama kontak dengan penderita), hal ini sejalan dengan penelitian Benjamin
88
(2013) yang meneliti faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian
kusta menyatakan bahwa riwayat kontak merupakan faktor risiko kejadian
kusta, dikarenakan bahwa kontak dengan penderita yang lama berisiko
terhadap kejadian kusta dibandingkan dengan orang yang kontak dengan
penderita hanya singkat.
Berdasarkan hasil frekuensi 16 (53,3%) bahwa pada keluarga yang
terdapat penderita kusta namun responden tersebut tidak menderita kusta
tetapi memliki resiko yang tinggi. Dikarenakan responden memiliki daya
tahan tubuh yang baik. Sehingga tidak tertular penyakit kusta.
Kusta merupakan penyakit infeksius, tetapi derajat inveksitasnya
rendah.Kusta memiliki waktu inkubasi panjang, mungkin beberapa tahun
dan tampaknya kebanyakan responden mendapatkan infeksi sewaktu masa
anak – anak. Insiden yang tinggi pada pasien yang merupakan pasangan
suami istri (kusta yang diperoleh dari pasangannya). Penyakit ini timbul
akibat kontak fisik yang erat dengan pasien yang terinfeksi dan resiko ini
jauh lebih besar bila terjadi kontak dengan kasus kusta (Yessinta ,2013).
Berdasarkan hasil frekuensi 5 (16,7%) pada kelompok kasus tetapi tidak
berisiko dikarena penderita memiliki kontak fisik terhadap keluarganya
sangat sedikit Penderita kusta memiliki ruang tidur sendiri, tempat cuci
baju sendiri tidak campur dengan keluarga lain. Sehingga,resikonya terpapar
tertular penyakit kusta sangat kecil.
Peneliti menyarankan agar masyarakat meningkatkan kewasapadaan
terutama pada penyebaran penyakit kusta yang dapat dengan mudah
89
menular melalui kontak langsung yang sangat lama dengan penderita kusta
dan ruang tidur penderita kusta dengan keluarga diusahakan tidak jadi satu.
Karena, untuk menghindari penularan terhadap keluarga.
5.4.2 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Kusta
Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahi
hubungan antara kelembaban dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-value
0,008 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara kelembaban
dengan kejadian kusta diwilayah kerja puskesmas Wonoasri.Diketahui nilai
OR sebesar 5,231 berarti bahwa responden yang kelembabanya kurang baik
pada kelompok kasus 5,231 kali lebih besar berisiko terkena kusta
dibandingkan dengan responden yang kelembabanya rumah baik pada
kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil observasi bahwa seberapa responden yang tidak kusta
didapatkan bahwa kelembaban dirumah tidak memenuhi syarat hal ini
dikarenakan rumah tersebut kurang mendapat sinar matahari secara
langsung. Hal ini didukung oleh peneliti yang melakukan pengukuran
kelembaban di rumah responden. Dari hasil pengukuran kelembaban
sebagian besar tidak memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat dari distribusi
frekuesi dengan kelompok kasus sebanyak 24 (80%) rumah responden yang
tidak memenuhi syarat kelompok kasus dan 13 ( 43.3%) rumah responden
yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kontrol.
Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat
kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Pengaruh besar
90
terhadap penghuninya adalah bakteri didalam rumah akan mudah
berkembang biak dan dapat membat penghuni rumah sakit akibat tertapar
bakteri yang berkembang dirumahnya. Rumah merupakan media yang baik
pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri dan virus.
Mikrrorganisme dapat masuk ke dalam tubuh melalui tubuh melalui udara
(Benjamin,2013).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yuni (2018) mengenai faktor
risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian kusta. Hasil uji
statistic chi – square menunjukkan p – value 0,032 yang artinya ada
hubungan bermakna antara kelembaban dengan kejadian kusta. Dimana
orang yang tinggal didalam rumah dengan kelembaban < 40% sampai 70%
memiliki risiko 5,29 kali untuk terkena kusta dibandingkan dengan orang
yang tinggal rumah dengan kelembaban antara > 40% - 70% (Sri
Nurcahyanti, 2016).
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 6 (20%) rumah responden
yang memenuhi syarat kelembaban rumah dan menderita kusta disebabkan
karena ada salah satu kondisi ruangan tidak sesuai dengan kriteria rumah
sehat, dimana pada ruangan tersebut jendela jarang dibuka setiap paginya.
Sehingga pertukaran udara tidak berjalan berjalan normal dan suhu ruangan
berada dibawah normal. Berdasarkan observasi yang dilakukan penelitian
ruangan yang kondisi udaranya lembab yaitu ruangan keluarga yang
biasanya digunakan untuk menonton tv dan dapur, kemungkinan ruangan
tersebut menjadi tempat berkembanya bakteri Mycobacterium leprae. Pada
91
ruangan tersebut tidak ada ventilasi sehingga berkembangnya bakteri dan
tertapaparnya bakteri terhadap penghuni sangat mudah.
Menurut hasil wawancara rumah responden yang tidak memenuhi
syarat dengan kejadian kusta yaitu disebabkan karena jendela pada ruang
keluarga dan ruang tidur jarang sekali dibuka, tidak ada waktu untuk
membuka jendela karena pekerjaan dan melakukan aktifitas lainnya. Seperti
yang telah diuraikan wijayanti (2018) bakteri Mycobacterium leprae seperti
halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan
kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri
dan merupakan hal enssensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup
sel bakteri.
Peneliti menyarankan sebaiknya pihak puskesmas memberikan
penyuluhan mengenai syarat rumah sehat yang memenuhi syarat antra 40%
- 60% agar kelembaban dalam rumah dapat memenuhi syarat dan tidak
menimbulkan rumah menjadi tempat berkembang biak bakteri. Cara
menurunkan tingkat kelembaban juga berkaitan dengan keberadaan ventilasi
yang cukup. Serta sering membuka pintu maupun jendela pada pagi hari,
agar udara dalam rumah dapat berganti.
5.4.3 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian Kusta
Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahi
hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-value
0,041 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara luas ventilasi
dengan kejadian kusta diwilayah kerja puskesmas Wonoasri. Diketahui nilai
92
OR sebesar 4,333 berarti bahwa responden yang luas ventilasi kurang baik
pada kelompok kasus 4,333 kali lebih besar berisiko terkena kusta
dibandingkan dengan responden yang luas ventilasi rumahnya baik pada
kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil observasi bahwa rumah responden memiliki luas
ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan ukuran ventilasi tidak memenuhi
standart. Karena, kebanyakan rumah responden memiliki ventilasi/jendela
tetapi tidak dibuka saat pagi hari dan siang hari. Ada juga rumah responden
yang tidak memiliki ventilasi tetapi dinding rumah responden terbuat dari
kayu yang memiliki celah – celah untuk udara masuk dalam rumah. Hal ini
dapat dilihat dari distribusi frekuesi dengan kelompok kasus sebanyak 26
(86,7%) rumah responden yang tidak memenuhi syarat dan 18 ( 60%)
rumah responden yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kontrol.
Keberadaaan ventilasi dalam keadaaan terbuka pada siang hari
merupakan salah satu syarat yang menentukan kualitas udara agar tidak
pengap dan lembab yang menyebabkan berpontensinya hidupnya
mikrooganisme. Mikrooganisme di udara merupakan unsur pencemaran
sebagai penyebab gejala berbagai penyakit antara lain penyakit kulit
(Basuki, 2016).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yuni (2018) mengenai faktor
risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian kusta. Hasil uji
statistik chi – square menunjukkan p – value 0,015 < 0,05 yang artinya ada
hubungan bermakna antara luas ventilasi dengan kejadian kusta. Penelitian
93
tersebut menyatakan bahwa sebagian besar responden yang menderita kusta
memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat. Sebagian responden kasus
pada penelitian ini kurang dari 10% luas lantai. Ventilasi menjadi
persyaratan mutlak suatu rumah yang sehat, karena fungsinya sangat
penting.
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 4 (13,3%) rumah responden
yang memenuhi syarat luas ventilasi rumah dan menderita kusta disebabkan
karena ada salah satu kondisi rumah yang tidak sesuai dengan kriteria
rumah sehat, dimana jendela pada setiap paginya jarang dan ada salah satu
ruangnnya tidak memiliki ventilasi yang terbuka. Sehingga pertukaran udara
tidak berjalan berjalan normal. Berdasarkan observasi yang dilakukan
penelitian terdapat yang kondisi udaranya lembab yaitu ruangan keluarga
atau tempat tidur kemungkinan ruangan tersebut menjadi tempat
berkembanya bakteri Mycobacterium leprae.
Menurut hasil wawancara rumah responden yang tidak memenuhi
syarat dengan kejadian kusta yaitu disebabkan karena jendela pada ruang
keluarga dan ruang tidur jarang sekali dibuka, tidak ada waktu untuk
membuka jendela karena pekerjaan dan melakukan aktifitas lainnya. Seperti
yang telah diuraikan Yuni (2018) ventilasi menjadi persyaratan mutlak suatu
rumah yang sehat karena fungisnya sangat penting.pertama, untuk menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tetap segar. Jika ventilasi kurang, maka
ruangan akan mengalami kekurangan O2. Kedua, aliran udara yang terus
meningkat dapat membebaskan udara dalam ruangan dari bakteri penyebab
94
kusta. Selain itu, luas ventilasi rmah yang tidak memenuhi syarat
mengakibatkan terhalangnya proses masuknya cahaya matahari yang masuk
kedalam rumah. Akibatnya, kuman kusta tidak bisa mati dan berkembang
dengan baik di tubuh penderita.
Peneliti menyarankan sebaiknya puskesmas memberikan penyuluhan
mengenai syarat rumah sehat yang memenuhi syarat khususnya luas
ventilasi harus memenuhi syarat minimal 10% dari luas lantai agar
kebutuhan luas ventilasi untuk sirkulasi udara cukup. Maka dari itu ventilasi
rumah sangat perlu untuk ditambahkan jumlahnya.
5.4.4 Hubungan Jenis Dinding Dengan Kejadian Kusta
Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahi
hubungan antara jenis dinding dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-value
0,004 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara jenis dinding
dengan kejadian kusta diwilayah kerja puskesmas Wonoasri. Diketahui nilai
OR sebesar 6,000 berarti bahwa responden yang jenis dinding kurang baik
pada kelompok kasus 4,333 kali lebih besar berisiko terkena kusta
dibandingkan dengan responden yang jenis dinding rumahnya baik pada
kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil observasi bahwa rumah responden memiliki jenis
dinding yang tidak memenuhi syarat .Karena, kebanyakan rumah responden
memiliki dinding rmahnya masih terbuat dari papan tanpa ventilasi yang
cukup. Kondisi dinding yang tidak memenuhi syarat dapay menyebabkan
rumah tidak sehat. Hal ini dapat dilihat dari distribusi frekuesi dengan
95
kelompok kasus sebanyak 24 (80%) rumah responden yang tidak memenuhi
syarat dan 12 (40%) rumah responden yang tidak memenuhi syarat pada
kelompok kontrol
Jenis dinding yang tidak kedap air lebih bersifat lembab dan menjadi
tempat yang baik untuk pertumbuhan kusta. Jenis dinding rumah sebainya
dibuat dari tembok, tetapi dengan ventilasi yang cukup.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yuni (2018) mengenai faktor
risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian kusta. Hasil uji
statistic chi – square menunjukkan p – value 0,004 < 0,05 yang artinya ada
hubungan bermakna antara jenis dinding dengan kejadian kusta. Penelitian
tersebut menyatakan bahwa sebagian besar responden yang menderita kusta
memiliki jenis dinding yang tidak memenuhi syarat. Hal ini karena dinding
tidak kedap air lebih bersifat lembab dan menjadi pertumbuhnya kuman
kusta. Dinding harus terbuat dari dari bahan yang kedap air dan mudah
dibersihkan. Hal ini untuk mencegah agar dinding rumah tidak kotor dan
lembab sehingga menjadi tempat tumbuh dan bekembangnya bakteri
penyebab kusta.
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 6 (20%) rumah responden
yang memenuhi syarat jenis rumah dan menderita kusta disebabkan karena
penderita yang tertular bakteri kusta berasal dari riwayat kontak orang lain
bukan dari lingkungan rumahnya. Mungkin saat bekerja penderita terpapar
oleh bakteri kusta dan daya tahan tubuhnya tidak baik. Sehingga sangat
mudah tertapapar penyakit kusta.
96
Menurut hasil wawancara rumah responden yang tidak memenuhi
syarat dengan kejadian kusta yaitu disebabkan karena jenis dinding yang
tidak kedap air dan bersifat lembab. Seperti yang telah diuraikan Yuni
(2018) jenis dinding menjadi persyaratan mutlak suatu rumah yang sehat
karena fungisnya sangat penting.pertama, mencegah pertumbuhnya kuman
kusta didalam rumah agar tidak menularkan anggota keluarga lainnya.
Kedua, jenis dinding harus mudah dibersihkan. Hal ini untuk mencegah agar
dinding rumah tidak cepat kotor dan tidak lembab sehingga tidak menjadi
tempat tumbuh dan berkembangnya bakteri kusta.
Peneliti menyarankan sebaiknya puskesmas memberikan penyuluhan
tentang jenis dinding yang memenuhi syarat adalah dinding yang kedap air
seperti tembok, bukan dinding kayu yang dapat mempunyai karekteristik
lembab. Karena, jenis dinding juga memiliki peran terhadap proses
perkembangbiakan bakteri, melalui kelembaban dindingnya.
5.4.5 Hubungan Jenis Lantai Dengan Kejadian Kusta
Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahi
hubungan antara jenis lantai dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-value
0,030 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara jenis lantai
dengan kejadian kusta diwilayah kerja puskesmas Wonoasri. Diketahui nilai
OR sebesar 4,000 berarti bahwa responden yang jenis lantai kurang baik
pada kelompok kasus 4,000 kali lebih besar berisiko terkena kusta
dibandingkan dengan responden yang jenis lantai rumahnya baik pada
kelompok kontrol.
97
Berdasarkan hasil observasi bahwa rumah responden memiliki jenis
lantai yang tidak memenuhi syarat. lantai responden masih terbuat dari
tanah. Tanah merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan
Mycobacterium leprae. Hal ini disebabkan karena bakteri Mycobacterium
leprae dapat bertahan hidup ditanah hingga 46 hari. Hal ini dapat dilihat dari
distribusi frekuesi dengan kelompok kasus sebanyak 24 (80%) rumah
responden yang tidak memenuhi syarat dan 15 (50%) rumah responden
yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kontrol.
Lantai rumah memiliki risiko tinggi kejadian terhadap kejadian kusta
karena lantai yang tidak memenuhi syarat atau lantai yang terbuat dari tanah
dan plester yang retak merupakan media yang baik untuk
perkembangbiakan Mycobacterium leprae. Hal ini disebabkan karena
bakteri Mycobacterium leprae dapat bertahan hidup ditanah hingga 46 hari.
Mycobacterium leprae mamp hidup di luar tubuh manusia dan dapat
ditemukan pada tanah dan debu (Benjamin, 2013).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yuni (2018) mengenai faktor
risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian kusta. Hasil uji
statistic chi – square menunjukkan p – value 0,030 < 0,05 yang artinya ada
hubungan bermakna antara jenis lantai dengan kejadian kusta. Penelitian
tersebut menyatakan bahwa sebagian besar responden yang menderita kusta
memiliki jenis lantai yang tidak memenuhi syarat. Hal ini berbagai jenis
penyakit akan muncul. Karena, lingkungan yang buruk. Rumah yang sehat
akan memberikan kesehatan bagi penghuninya. Apabila lantai rumah terbuat
98
dari bahan tidak kedap air dapat menyebabkan meresapnya air ke dalam
rumah. Sehingga, rumah menjadi tidak sehat dan lingkungan sekitar buruk.
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 6 (20%) rumah responden
yang memenuhi syarat jenis lantai rumah dan menderita kusta disebabkan
karena penderita yang tertular bakteri kusta berasal dari lingkungan kerjanya
bukan dari lingkungan rumahnya. Mungkin saat bekerja penderita terpapar
oleh bakteri kusta dan daya tahan tubuhnya tidak baik. Sehingga sangat
mudah tertapapar penyakit kusta. Terpapar bakteri kusta tidak hanya
didalam rumah, tetapi bisa terpapar dilingkungan rumah.
Menurut hasil wawancara rumah responden yang tidak memenuhi
syarat dengan kejadian kusta yaitu disebabkan karena jenis lantai yang tidak
kedap air . Seperti yang telah diuraikan Yuni (2018) jenis lantai menjadi
persyaratan mutlak suatu rumah yang sehat. Karena, lantai merupakan
bahan bangunan fisik rumah yang sebaiknya dibuat dari bahan kedap air dan
dibuat agak tinggi agar tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Bakteri
Mycobacterium leprae suka hidup pada tempat yang sanitasi lingkunganya
buruk.
Peneliti menyarankan sebaiknya puskesmas memberikan penyuluhan
tentang jenis lantai yang memenuhi syarat adalah jenis lantai yang kedap air
seperti keramik atau marmer, rata tak licin serta mudah dibersihkan. Bukan
lanti yang lembab atau lantai dari tanah, karena lantai yang lembab atau
mudah basah dapat menyebabkan media untuk tumbuh mikrooganisme.
99
5.4.6 Hubungan Status Ekonomi Dengan Kejadian Kusta
Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahi
hubungan antara status ekonomi dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-
value 0,009 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara status
ekonomi dengan kejadian kusta diwilayah kerja puskesmas Wonoasri.
Diketahui nilai OR sebesar 4,000 berarti bahwa responden yang memiliki <
UMR pada kelompok kasus 4,000 kali lebih besar berisiko terkena kusta
dibandingkan dengan responden yang ≥ UMR pada kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil observasi keluarga penderita kusta diwilayah kerja
puskesmas Wonoasri yang terdiri 4 – 6 anggota keluarga dengan satu tulang
punggung yang bekerja sebagai petani, buruh dan tukang becak. Status
ekonomi yang rendah berpengaruh pada kemampuan responden untuk
mengakses pelayanan kesehatan, pemenuhan gizi dan kondisi fisik rumah.
Sebagian, besar responden kasus dalam penelitian ini memiliki ekonomi
dengan penghasilan perbulan < UMR ( Rp.1.763.267,65). Hal ini dapat
dilihat dari distribusi frekuesi dengan kelompok kasus sebanyak 23 (86,7%)
perhasilan perbulan < UMR ( Rp.1.763.267,65) dan kelompok kontrol 12 (
40%) perhasilan perbulan <UMR ( Rp.1.763.267,65).
Status ekonomi atau pendapatan merupakan salah satu faktor yang
mempunyai peran dalam mewujudkan kondisi kesehatan seseorang.
Pendapatan yang diterima seseorang akan mempengaruhi daya beli barang –
barang kebutuhan pokok dan barang – barang kebutuhan lainnya seperti
sandang, papan dan pelayanan kesehatan (Siswanti, 2018).
100
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yuni (2018) mengenai faktor
risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian kusta. Hasil uji
statistic chi – square menunjukkan p – value 0,009 < 0,05 yang artinya ada
hubungan bermakna antara status ekonomi dengan kejadian kusta.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa sebagian besar responden yang
menderita kusta memiliki penghasilan perbulan < UMR( Rp.1.763.267,65).
Dengan, distribusi pekerjaan responden terbanyak petani dan buruh
cenderung hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari – hari, sehingga
mereka tidak bias mengakses layanan kesehatan dan tidak bias memperbaiki
kondisi rumah sehat. Ketika, responden mengalami gejala penyakit kusta,
mereka tidak mampu memperiksa diri ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 7 (23,3%) responden yang
penghasilnnya ≥UMR dan menderita kusta disebabkan karena penderita
terpapar bakteri kusta berasal dari lingkungan kerjanya. Rata – rata
penderita kusta yaitu bekerja sebagai petani. Saat bekerja di ladang mereka
tidak memakai alas kaki. Sehingga, tanah diladang langsung bersentuhan
dengan kaki penderita dengan mudah bakteri kusta dapat masuk melalui
kulit kaki dan selesai bekerja mereka jarang langsung membersihkan diri.
Sehingga dengan tidak menjaga kebersihan diri, bakteri mudah bekembang
biak di dalam tubuh penderita.
Menurut hasil wawancara responden dengan penghasilan perbulan
<UMR dengan kejadian kusta yaitu disebabkan karena status ekonomi yang
rendah. Seperti yang telah diuraikan Yuni (2018) penyakit kusta terdapat di
101
Negara yang sedang berkembang dari sebagian besar penderitanya adalah
golongan ekonomi lemah. Negara atau masyarakat berstatus ekonomi
rendah, pengetahuan tentang kesehatan dan lingkungan rendah, sehingga
keadaan kesehatannya lingkungan buruk. Hal ini mengakibatkan adanya
populasi berisiko tinggi terhadap penyakit menular dan siklus kusta sering
terjadi.
Peneliti menyarankan sebaiknya puskesmas memberikan pemberdayaan
masyarakat kepada ibu – ibu atau bapak – bapak. Mendapatkan
pengahasilan sendiri. Sehingga, dapat membantu perekonomian rumah
tangga. Bila ada penghasilan lebih perekonomian rumah tangga akan lebih
baik dan kesejahteraan semakin terpenuhi.
5.4.7 Hubungan Status Pekerjaan Dengan Kejadian Kusta
Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahi
hubungan antara status pekerjaan dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-
value 0,016 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara jenis
status pekerjaan dengan kejadian kusta diwilayah kerja puskesmas
Wonoasri. Diketahui nilai OR sebesar 4,571 berarti bahwa responden yang
memiliki status pekerjaan yang berisiko pada kelompok kasus 4,571 kali
lebih besar berisiko terkena kusta dibandingkan dengan responden yang
status pekerjaanya tidak berisiko kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil observasi pada wilayah kerja puskesmas wonoasri
didominisi oleh pekerja petani, buruh yang tanpa kenal lelah bekerja
mengeluarkan tenaga berlebihan yang akan berdampak pada penurunan
102
stamina sehingga penderita kusta dapat mengalami stress fisik dan terjadi
perubahan respon imun yang dapat memicu terjadina ENL (Entrhema
Nodosum Leprosum) Hal ini dapat dilihat dari distribusi frekuesi dengan
kelompok kasus sebanyak 24 (80%) status pekerjaan yang berisiko dan 14 (
46,7%) status pekerjaan yang berisiko pada kelompol kontrol.
Kejadian pada penderita kusta diduga lebih banyak terjadi pada pekerja
kasar/berisiko yang banyak mengeluarkan tenaga dan mengalami kelelahan
fisik. Kelelahan fisik dan stress akibat bekerja pada penderita kusta
menyebabkan gangguan umum yang dapat memicu meningkatnya respon
imun dan dapat terjadi reaksi kusta. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Pagolori (2015) mengatakan bahwa kelelahan fisik akibat bekerja
merupakan faktor risiko penyakit kusta.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Benjamin (2013) mengenai
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kusta. Hasil uji statistic chi
– square menunjukkan p – value 0,016 < 0,05 yang artinya ada hubungan
bermakna antara status pekerjaan dengan kejadian kusta. Penelitian tersebut
menyatakan bahwa sebagian besar responden yang menderita kusta
memiliki pekerjaan resiko (petani, buruh tani). Responden lebih banyak
pekerja kasar yang banyak mengeluarkan tenaga dan mengalami kekelahan.
Sehingga,daya tahan tubuh menurun dan mudah terkena virus/bakteri.
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 6 (20%) responden
pekerjaanya tidak berisiko dan menderita kusta disebabkan karena kondisi
lingkungan rumah tidak memenuhi syarat sehingga mereka mudah terpapar
103
bakteri kusta. Bila kondisi lingkungan rumahnya lembab bakteri kusta dapat
berkembang biak lebih cepat.
Menurut hasil wawancara responden dengan pekerjaan yang berisiko
Seperti yang telah diuraikan benjamin (2013) salah satu faktor risiko
kejadian kusta adalah jenis pekerjaan. Pekerjaan sebagai petani dan buruh
berisiko 3,5 kali terhadap kejadian kusta dibanding dengan orang yang
pekerjaanya pns/guru bermakna secara statistic terhadap kejadian kusta.
5.5 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang mungkin dapat
mempengaruhi hasil penelitian, yaitu sebagai berikut:
5.5.1 Kemungkinan terjadi bias informasi karena responden menjawab
kuesioner tidak jujur.
5.5.2 Kuesioner dalam penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti
berdasarkan teori tentang penyakit kusta, dikarenakan belum ada
kuesioner yang baku. Maka penelitian ini melakukan uji validitas
dan reliabilitas kuesioner untuk membuktikan ketepatan dan
kelayakan kuesioner untuk mengukur variabel yang diteliti.
104
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian
faktor–faktor yang berhubungan dengan kejadian kusta di wilayah kerja
puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun adalah sebagai berikut:
6.1 Kesimpulan
1. Identifikasi jenis lantai rumah pada responden yang tidak memenuhi
syarat bila sebagian / seluruh lantai terbuat dari tanah dan plester yang
retak (65%).
2. Identifikasi jenis dinding rumah responden yang tidak memenuhi syarat
bila sebagian / seluruh dinding terbuat dari papan dan kayu (60%).
3. Identifikasi luas ventilasi rumah responden yang tidak memenuhi syarat
<10% luas lantai (73,3%).
4. Identifikasi kelembaban rumah responden yang tidak memenuhi syarat
<40 – 70% (61,7%).
5. Identifikasi riwayat kontak yang berisiko (68,3%).
6. Identifikasi status ekonomi <UMR Rp.1.763.267,65 (58,3%).
105
7. Identifikasi status pekerjaan berisiko yang bekerja sebagai petani, buruh
tani,bengkel (63,3%).
8. Ada hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian kusta di wilayah
kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value
0,026, OR= 4,375 (95% CI = 1,320 – 14,504).
9. Ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian kusta di wilayah
kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value
0,008, OR= 5,231 (95% CI = 1,657 – 16,515).
10. Ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian kusta di wilayah
kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value
0,041, OR= 4,333 (95% CI = 1,203 – 15,605).
11. Ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian kusta di wilayah
kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value
0,004, OR= 6,000 (95% CI = 1,890 – 19,043).
12. Ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian kusta di wilayah
kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value
0,030, OR= 4,000 (95% CI = 1,272 – 12,578).
13. Ada hubungan antara status ekonomi dengan kejadian kusta di wilayah
kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value
0,009, OR= 4,929 (95% CI = 1,612 – 15,071).
14. Ada hubungan antara status pekerjaan dengan kejadian kusta di wilayah
kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value
0,016, OR= 4,571 (95% CI = 1,452 – 14,389).
106
6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka peneliti dapat mengajukan saran
antara lain sebagai berikut:
1. Bagi Instansi Kesehatan
a. Diharapkan dapat memberikan informasi atau penyuluhan tentang
penularan penyakit kusta dikarenakan kondisi fisik rumah yang
tidak memenuhi syarat terutama pada kelompok kasus sehingga
dapat menekan penularan kusta pada orang lain.
2. Bagi Masyarakat
b. Selalu menjaga kebersihan dan lingkungan fisik rumah.
a. Menambah jumlah genting kaca agar pencahayaan dalam rumah
menjadi cukup.
b. Membuka jendela disaat pagi hari untuk mengurangi kelembaban
di dalam rumah.
c. Memisahkan kamar tidur antara penderita kusta dengan keluarga
lain untuk menghindari penularan bakteri kusta.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan dapat menggunakan jumlah sampel yang lebih besar,
sehingga dapat menghasilkan hasil penelitian yang lebih baik. Serta
dapat melengkapi variabel penelitian yang belum sempat diteliti oleh
peneliti yaitu variabel kepadatan hunian, personal hygiene,
pencahayaan. Bisa menggunkan metode lain untuk
mengaplikasikannya.
107
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Basuki, Hari. 2016. Sebaran Kasus Kusta Baru Berdasarkan Faktor Lingkungan Dan
Sosial Ekonomi Di Kecamatan Konang Dan Geger Kabupaten
Bangkalan.Jurnal Penelitian.Diakses pada Tanggal 30 Januari 2019.
Bhratara. 2016. Penjagaan Kesehatan. Jakarta: Karya Aksara.
Departemen Kesehatan RI. 2015. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit
Kusta. Dirjen Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Nasional. Jakarta.
Dinas Kesehatan Indonesia. 2017. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.
Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2016. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Surabaya.
Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun. 2017. Profil Penyakit Kusta.Pemberantas
Penyakit Menular Dinkes Kabupaten Madiun.
Djuanda, Adhi. 2015. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Sukses
Sejahtera.
Enjang, Indan. 2016. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Irianto, Koes. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular Dan Penyakit Tidak Menular.
Bandung: Alfabeta.
Kholifah, Siti. 2017. Hubungan jarak tempat tinggal dan tingkat pendidikan terhadap
tingkat kunjungan masyarakat ke puskesmas Gadirejo (studi pada msyarakat
Pekon Wonodadi dan pekan Klaten Kecamatan Gadingrejo Kabupaten
Pringsewu. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, Bandar
Lampung.
kompasiana. 2016. penyakit kusta dan gizi buruk di indonesia. Jakarta.
Kusnanto, Hari. 2018. Analisis Spasial Kejadian Kusta Di Kabupaten Blora. Jurnal
Penelitian. Diakses Pada Tanggal 30 Januari 2019.
108
Lazuardi, Luftan. 2017. Faktor Risiko Kejadian Kusta Di Kabupaten Lamongan.
Jurnal Penelitian. Diakses Pada Tanggal 30 Januari 2019.
Machfoedz, Irchman. 2004. Menjaga Kesehatan Rumah Dari Berbagai
Penyakit.Yogyakarta: Fitramaya.
Magnus, Manya. 2011. Epidemiologi Penyakit Menular.Jakarta. Buku Kedokteran.
Maharani, Ayu. 2015. Penyakit Kulit. Yogyakarta. Pustaka Baru Press.
Masriadi. 2018. Surveilans. Jakarta. CV.Trans Info Media.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada jaminan
Kesehatan Nasional.
Muharry, Andy. 2017. Faktor Risiko Kejadian Kusta.Jurnal Penelitian.Diakses Pada
Tanggal 30 Januari 2019.
Nasir, Abd, Abdul Muthin, M.E.Ideputri. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan:
Konsep Pembuatan Karya Tulis dan Thesis Untuk Mahasiswa Kesehatan.
Yogyakarta. Nuha Medika.
Notoatmodjo, S. 2010. Metedeologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. 2010. Konsep dan penerapan Metedologi Penelitian Ilmu keperawatan.
Jakarta: Selemba Medika.
Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. 2012. Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077. Tentang Pedoman
penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. http://www.hukor.kemenkes.go.id.
Diakses Pada Tanggal 1 April 2019.
Reformasi Indonesia. 2018. Kusta Bukan Penyakit Kutukan. Jakarta.
Rosjidi, Cholik Harun, Laily Isro’in dan Nurul Sri Wahyuni. 2017. Penyusun
Proposal Dan Laporan Penelitian Step By Step. Yogyakarta. Unmuh Ponorogo
Press.
Rudiyanto. 2007. Lingkungan Sehat. Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka.
109
Rulianti, Luh Putu. 2018. Studi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Penyakit Kusta Pada Wilayah Kerja Puskesmas Bakunase Kota Kupang Tahun
2017. Jurnal Info Kesehatan. Diakses Pada Tanggal 11 Maret 2019.
Ryadi, Slamet. 2015. Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Karya Anda.
Santoso, Imam. 2015. Kesehatan LIngkungan Permukiman Perkotaan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing.
Saryono, Mekar Dwi Anggraeni. 2013. Metedeologi Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif Dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sudarmanto. 2010. Kemiskinan Dan Kebutuhan Pokok.Surabaya: C.V Rajawali.
Sujarweni, V.Wiratna. 2014. Metode penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Gawa
Medika.
Sujarweni, Wiratna. 2014. Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Gava
Medika.
Suntoyo, Danang. 2011. Analisis Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Suntoyo, Danang. 2013. Teori, Kuesioner, dan Analisi Data Sumber Daya Manusia
(Praktik Penelitian). Yogyakarta: Center Of Academic Publising Service.
Tjahyono, Suhodo. 2007. Membangun Rumah Sederhana Yang Aman Dan Sehat.
Yogyakarta: Saka Mitra Kompetensi.
Tosepu,Ramadhan. 2016. Epidemiologi Lingkungan Teori dan Aplikasi. Jakarta:
Sinar Grafika. Offset.
Untari, Ida. 2017. 7 Pilar Utama Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: Thema
Pusblishing.
Wahjoedi, Imam. 2017. Prevalensi Kusta Pausibasiler Dan Multibasiler
Berdasarkan Karakteristik Kepadatan Hunian, Riwayat Kontak, Sosial
Ekonomi Di Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tengga Timur. Jurnal Penelitian.
Diakses Pada Tanggal 30 Januari 2019.
Widoyono. 2016. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan
Pemberantasan. Jakarta : Erlangga.
Wijayanti, Yuni. 2018. Faktor Risiko Lingkungan Kejadian Kusta. Jurnal Penelitian.
Diakses Pada Tanggal 30 Januari 2019.
110
111
Lampiran 1 Surat Izin Pengambilan Data Awal
112
113
114
Lampiran 2 Surat balasan pengambilan Data Awal
115
116
117
Lampiran 3 Surat Izin Penelitian
118
Lampiran 4 Surat balasan Izin Penelitian
119
120
121
122
Lampiran 5 Kwintasi Pembayaran Penelitian di Puskesmas Wonoasri
123
Lampiran 6 Form Bimbingan Penelitian
124
Lampiran 7 Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Saya yang bertanda tangan dibawah ini,saya :
Nama :
Umur :
Alamat :
Memberikan Persetujuan dan bersedia menjadi responden dalam penelitian
yang dilakukan oleh Hetty Apriliana sebagai mahasiswa calon Sarjana Kesehatan
Masyarakat dari STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun dengan judul penelitian
“Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta diWilayah Kerja
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun”.
125
Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan penuh kesadaran tanpa ada
paksaan dari pihak lain.
Madiun,………2019
Peneliti Responden
(Hetty Apriliana) ( )
Lampiran 8 Lembar Kuesioner
KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
KUSTA DIWILAYAH KERJA WONOASRI
IDENTITAS RESPONDEN
Umur :
Jenis Kelamin :
Ceklist Pemilihan Responden
NO ASPEK YANG DIOBSERVASI KEMUNCULAN
ADA TIDAK
1 Kelainan Kulit yang merah atau putih yang
126
mati rasa
2 Syaraf mata rusak, sehingga susah melakukan
buka tutup mata
3 Kehilangan rasa pada bercak
4 Terjadi penebalan atau pembekangkakan pada
bercak
5 Kulit yang kering dan retak
No.Responden :
Status : Kasus (Pasien yang terdaftar di puskesmas
Wonoasri dan menunjukkan buku berobat di
puskesmas wonoasri)
Kontrol
1. Identitas Responden
Umur : Thn
JenisKelamin : L / P
Pendidikan :SD / SMP / SMA / S1 / S2 / S3
2. Pertanyaan
A. RiwayatKontak
NO PERTANYAAN YA TIDAK
1 Apakah anda pernah berhubungan atau kontak langsung dengan
penderita kusta
2 Apakah anda pernah bersentuhan langsung lebih dari 1 kali dengan
penderita kusta
3 Apakah anda pernah tidur bersama dengan keluarga penderita kusta
4 Apakah ada anggota keluarga serumah yang menderita kusta
127
Lampiran 9 Lembar Observasi
LEMBAR OBSERVASI
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
KUSTA DIWILAYAH KERJA WONOASRI
No.Responden :
Status : Kasus
Kontrol
128
NO VARIABEL HASIL PENGUKURAN KETERANGAN
1 Kelembaban ( % )
2 Luas Ventilasi Luas Ventilasi Luas Lantai
( m) ( m)
NO VARIABEL HASIL PENGAMATAN KETERANGAN
1 JenisDinding a. Tembok
b. Papan
c. Kayu
2 JenisLantai a. Tanah
b. Plaster
c. Semen
d. Ubin
e. Keramik
3 Ekonomi Gaji Perbulan :Rp. (………………)
Berikan tanda (√)pada kolom dibawah ini
PEKERJAAN
JENIS PEKERJAAN CEKLIST (√)
Tidak Bekerja
Pelajar
Pegawai Kantor
Pekerja Bangunan
Buruh
Petani
Pekerja Bengkel
Buruh
Tukang Batu
dll
129
Lampiran 10 HASIL OUTPUT VALIDITAS DAN RELIABILITAS
1. UJI VALIDITAS
130
NO NO BUTIR TOTAL
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 7
2 1 1 1 0 1 0 1 0 1 6
3 1 0 0 0 1 0 0 0 1 3
4 1 0 0 0 1 0 1 0 1 4
5 1 1 1 0 `1 1 1 0 1 7
6 1 1 1 0 1 1 1 1 1 8
7 1 0 0 1 1 0 0 1 1 5
8 1 0 0 1 1 0 0 0 1 4
9 1 1 1 0 1 1 1 1 1 8
10 1 1 1 0 1 1 1 0 1 7
11 1 0 0 0 1 0 0 0 1 3
12 1 0 0 1 1 0 0 1 1 5
13 1 1 1 1 0 1 1 0 1 7
14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
15 0 0 0 0 1 0 1 0 0 2
16 0 0 0 0 0 1 0 1 1 3
17 0 0 1 0 0 0 1 0 0 2
18 0 0 1 1 0 1 1 1 1 6
19 1 1 0 0 1 1 0 1 0 5
20 1 1 0 0 1 1 0 0 1 5
21 1 1 1 0 1 1 1 0 1 7
22 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
23 1 1 1 0 1 1 1 1 1 8
24 1 1 0 1 0 1 0 1 1 6
25 0 0 0 0 1 1 0 0 1 3
26 0 0 1 1 0 0 1 0 0 4
27 0 0 1 0 0 0 1 0 0 2
28 0 0 0 0 0 1 0 0 1 2
29 0 0 0 0 0 1 1 0 1 3
30 1 1 1 0 1 1 1 0 1 7
131
Hasil Uji Validitas Kuesioner dengan 9 butir pertanyaan yang diberikan kepada 30 responden:
Correlations
p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 total
p1 Pearson Correlation 1 .655** .117 .154 .617
** .106 -.089 .132 .488
** .669
**
Sig. (2-tailed) .000 .539 .416 .000 .578 .640 .486 .006 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p2 Pearson Correlation .655** 1 .535
** .000 .283 .623
** .272 .202 .268 .839
**
Sig. (2-tailed) .000 .002 1.000 .130 .000 .146 .285 .152 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p3 Pearson Correlation .117 .535** 1 .094 -.094 .259 .736
** .144 -.060 .619
**
Sig. (2-tailed) .539 .002 .619 .619 .167 .000 .448 .754 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p4 Pearson Correlation .154 .000 .094 1 -.250 -.049 -.144 .523** .126 .313
Sig. (2-tailed) .416 1.000 .619 .183 .797 .447 .003 .505 .093
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p5 Pearson Correlation .617** .283 -.094 -.250 1 -.098 .000 -.095 .253 .334
Sig. (2-tailed) .000 .130 .619 .183 .607 1.000 .617 .177 .071
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p6 Pearson Correlation .106 .623** .259 -.049 -.098 1 .085 .247 .402
* .556
**
Sig. (2-tailed) .578 .000 .167 .797 .607 .656 .189 .028 .001
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p7 Pearson Correlation -.089 .272 .736** -.144 .000 .085 1 -.110 -.183 .367
*
Sig. (2-tailed) .640 .146 .000 .447 1.000 .656 .563 .334 .046
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p8 Pearson Correlation .132 .202 .144 .523** -.095 .247 -.110 1 .030 .461
*
Sig. (2-tailed) .486 .285 .448 .003 .617 .189 .563 .875 .010
132
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p9 Pearson Correlation .488** .268 -.060 .126 .253 .402
* -.183 .030 1 .457
*
Sig. (2-tailed) .006 .152 .754 .505 .177 .028 .334 .875 .011
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
total Pearson Correlation .669** .839
** .619
** .313 .334 .556
** .367
* .461
* .457
* 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .093 .071 .001 .046 .010 .011
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Dari hasil analisis di dapat nilai skor item dengan skor total. Nilai ini kemudian kita bandingkan dengan nilai R tabel. R tabel dicari pada signifikan 5%
dengan n=30 (df=n-2= 28), maka di dapat R tabel sebesar 0.312. Penentuan kevalidan suatu instrumen diukur dengan membandingkan r-hitung dengan r-
tabel. Adapun penentuan disajikan sebagai berikut:
r-hitung > r-tabel atau nilai sig r < 0,05 : Valid
r-hitung < r-tabel atau nilai sig r > 0,05 : Tidak Valid
Jika ada butir yag tidak valid, maka butir yang tidak valid tersebut dikeluarkan, dan proses analisis diulang untuk butir yang valid saja
Tabel rangkuman hasil uji validitas
No Butir R hitung Keterangan Interpretasi
1 0,669 ≥0.312 Valid
2 0.839 ≥0.312. Valid
3 0.619 ≥0.312 Valid
4 0.313 ≥0.312 Valid
5 0.334 ≥0.312 Valid
6 0.556 ≥0.312 Valid
7 0.367 ≥0.312 Valid
8 0.461 ≥0.312 Valid
9 0.457 ≥0.312 Valid
2. UJI RELIABILITAS
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.717 10
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance
if Item Deleted
Corrected Item-
Total Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
p1 9.77 17.220 .604 .680
p2 9.97 16.240 .799 .656
p3 9.93 17.237 .541 .683
p4 10.13 18.671 .211 .716
p5 9.80 18.579 .234 .714
p6 9.83 17.592 .472 .691
p7 9.87 18.395 .265 .711
p8 10.03 17.964 .364 .701
p9 9.63 18.378 .386 .704
total 5.23 4.944 1.000 .652
Dari hasil analisis di dapat nilai Alpha sebesar 0.717 > 0,60 maka dapat disimpulkan bahwa butir-butir instrument penelitian tersebut reliable
Lampiran 11 HASIL OUTPUT UNIVARIAT DAN BIVARIAT
1. HASIL OUTPUT UNIVARIAT
Jenis_Kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki-Laki 23 38.3 38.3 38.3
Perempuan 37 61.7 61.7 100.0
Total 60 100.0 100.0
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid SD 9 15.0 15.0 15.0
SMP 21 35.0 35.0 50.0
SMA 30 50.0 50.0 100.0
Total 60 100.0 100.0
Kejadian_Kusta
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Kasus 30 50.0 50.0 50.0
Kontrol 30 50.0 50.0 100.0
Total 60 100.0 100.0
Riwayat_Kontak
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Berisiko 41 68.3 68.3 68.3
Tidaak Berisiko 19 31.7 31.7 100.0
Total 60 100.0 100.0
Kelembapan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 37 61.7 61.7 61.7
Memenuhi Syarat 23 38.3 38.3 100.0
Total 60 100.0 100.0
Luas_Ventilasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 44 73.3 73.3 73.3
Memenuhi Syarat 16 26.7 26.7 100.0
Total 60 100.0 100.0
Jenis_Dinding
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 36 60.0 60.0 60.0
Memenuhi Syarat 24 40.0 40.0 100.0
Total 60 100.0 100.0
Jenis_Lantai
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 39 65.0 65.0 65.0
Memenuhi Syarat 21 35.0 35.0 100.0
Total 60 100.0 100.0
Status_Ekonomi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid < UMR 35 58.3 58.3 58.3
>= UMR 25 41.7 41.7 100.0
Total 60 100.0 100.0
Status_Pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Berisiko 38 63.3 63.3 63.3
Tidak Berisiko 22 36.7 36.7 100.0
Total 60 100.0 100.0
Umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid ≥ 35 tahun 50 83.3 83.3 83.3
< 35 tahun 10 16.7 16.7 100.0
Total 60 100.0 100.0
2. HASIL OUTPUT BIVARIAT
Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta
Crosstab
Kejadian_Kusta
Total Kasus Kontrol
Riwayat_Kontak Berisiko Count 25 16 41
% within Kejadian_Kusta 83.3% 53.3% 68.3%
Tidaak Berisiko Count 5 14 19
% within Kejadian_Kusta 16.7% 46.7% 31.7%
Total Count 30 30 60
% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.239a 1 .012
Continuity Correctionb 4.929 1 .026
Likelihood Ratio 6.431 1 .011
Fisher's Exact Test .025 .013
Linear-by-Linear Association 6.135 1 .013
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Riwayat_Kontak (Berisiko /
Tidaak Berisiko)
4.375 1.320 14.504
For cohort Kejadian_Kusta =
Kasus
2.317 1.050 5.112
For cohort Kejadian_Kusta =
Kontrol
.530 .332 .845
N of Valid Cases 60
Kelembaban dengan Kejadian Kusta
Crosstab
Kejadian_Kusta
Total Kasus Kontrol
Kelembapan Tidak Memenuhi Syarat Count 24 13 37
% within Kejadian_Kusta 80.0% 43.3% 61.7%
Memenuhi Syarat Count 6 17 23
% within Kejadian_Kusta 20.0% 56.7% 38.3%
Total Count 30 30 60
% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 8.531a 1 .003
Continuity Correctionb 7.051 1 .008
Likelihood Ratio 8.803 1 .003
Fisher's Exact Test .007 .004
Linear-by-Linear Association 8.389 1 .004
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kelembapan
(Tidak Memenuhi Syarat /
Memenuhi Syarat)
5.231 1.657 16.515
For cohort Kejadian_Kusta =
Kasus
2.486 1.201 5.148
For cohort Kejadian_Kusta =
Kontrol
.475 .288 .784
N of Valid Cases 60
Luas Ventilasi dengan Kejadian Kusta
Crosstab
Kejadian_Kusta
Total Kasus Kontrol
Luas_Ventilasi Tidak Memenuhi Syarat Count 26 18 44
% within Kejadian_Kusta 86.7% 60.0% 73.3%
Memenuhi Syarat Count 4 12 16
% within Kejadian_Kusta 13.3% 40.0% 26.7%
Total Count 30 30 60
% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.455a 1 .020
Continuity Correctionb 4.176 1 .041
Likelihood Ratio 5.649 1 .017
Fisher's Exact Test .039 .020
Linear-by-Linear Association 5.364 1 .021
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Luas_Ventilasi (Tidak
Memenuhi Syarat /
Memenuhi Syarat)
4.333 1.203 15.605
For cohort Kejadian_Kusta =
Kasus
2.364 .977 5.719
For cohort Kejadian_Kusta =
Kontrol
.545 .346 .859
N of Valid Cases 60
Jenis Dinding dengan Kejadian Kusta
Crosstab
Kejadian_Kusta
Total Kasus Kontrol
Jenis_Dinding Tidak Memenuhi Syarat Count 24 12 36
% within Kejadian_Kusta 80.0% 40.0% 60.0%
Memenuhi Syarat Count 6 18 24
% within Kejadian_Kusta 20.0% 60.0% 40.0%
Total Count 30 30 60
% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 10.000a 1 .002
Continuity Correctionb 8.403 1 .004
Likelihood Ratio 10.357 1 .001
Fisher's Exact Test .003 .002
Linear-by-Linear Association 9.833 1 .002
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Jenis_Dinding (Tidak
Memenuhi Syarat /
Memenuhi Syarat)
6.000 1.890 19.043
For cohort Kejadian_Kusta =
Kasus
2.667 1.285 5.536
For cohort Kejadian_Kusta =
Kontrol
.444 .265 .745
N of Valid Cases 60
Jenis Lantai dengan Kejadian Kusta
Crosstab
Kejadian_Kusta
Total Kasus Kontrol
Jenis_Lantai Tidak Memenuhi Syarat Count 24 15 39
% within Kejadian_Kusta 80.0% 50.0% 65.0%
Memenuhi Syarat Count 6 15 21
% within Kejadian_Kusta 20.0% 50.0% 35.0%
Total Count 30 30 60
% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.934a 1 .015
Continuity Correctionb 4.689 1 .030
Likelihood Ratio 6.081 1 .014
Fisher's Exact Test .029 .015
Linear-by-Linear Association 5.835 1 .016
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Jenis_Lantai
(Tidak Memenuhi Syarat /
Memenuhi Syarat)
4.000 1.272 12.578
For cohort Kejadian_Kusta =
Kasus
2.154 1.048 4.426
For cohort Kejadian_Kusta =
Kontrol
.538 .333 .871
N of Valid Cases 60
Status Ekonomi dengan Kejadian Kusta
Crosstab
Kejadian_Kusta
Total Kasus Kontrol
Status_Ekonomi < UMR Count 23 12 35
% within Kejadian_Kusta 76.7% 40.0% 58.3%
>= UMR Count 7 18 25
% within Kejadian_Kusta 23.3% 60.0% 41.7%
Total Count 30 30 60
% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 8.297a 1 .004
Continuity Correctionb 6.857 1 .009
Likelihood Ratio 8.526 1 .004
Fisher's Exact Test .008 .004
Linear-by-Linear Association 8.159 1 .004
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Status_Ekonomi (< UMR /
>= UMR)
4.929 1.612 15.071
For cohort Kejadian_Kusta =
Kasus
2.347 1.198 4.598
For cohort Kejadian_Kusta =
Kontrol
.476 .283 .801
N of Valid Cases 60
Status Pekerjaan dengan Kejadian Kusta
Crosstab
Kejadian_Kusta
Total Kasus Kontrol
Status_Pekerjaan Berisiko Count 24 14 38
% within Kejadian_Kusta 80.0% 46.7% 63.3%
Tidak Berisiko Count 6 16 22
% within Kejadian_Kusta 20.0% 53.3% 36.7%
Total Count 30 30 60
% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.177a 1 .007
Continuity Correctionb 5.813 1 .016
Likelihood Ratio 7.379 1 .007
Fisher's Exact Test .015 .007
Linear-by-Linear Association 7.057 1 .008
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Status_Pekerjaan (Berisiko /
Tidak Berisiko)
4.571 1.452 14.389
For cohort Kejadian_Kusta =
Kasus
2.316 1.122 4.778
For cohort Kejadian_Kusta =
Kontrol
.507 .311 .826
N of Valid Cases 60
Lampiran 12 Dokumentasi
Gambar 1.Wawancaradenganrespondenkelompokkasus&kontrol
Gambar 2.WAWANCARA DENGAN RESPONDEN KELOMPOK KASUS & KONTROL
Gambar 3.MengukurKelembaban
Gambar 4.MengukurVentilasi Gambar 5.MengukurKamarTidur
Gambar 6.Keadaanrumahrespondenkelompokkasus&kontrol