skripsi diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh...
TRANSCRIPT
MENIKAHI ORANG MUSYRIK PERSPEKTIF AL-JASHASH
DAN AL-QURTUBI
(ANALISA TERHADAP SURAT AL-BAQARAH : 221 DALAM
TAFSIR AHKAM AL-QUR’AN DAN AL-JAMI’ LI AHKAM
AL-QURAN)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.i)
Oleh
Budy Prestiawan
NIM : 107034001793
JURUSAN TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 M / 2014 H
MENIKAHI ORANG MUSYRIK PERSPEKTIF AL-JASHASH
DAN AL-QURTUBI
(ANALISA TERHADAP SURAT AL-BAQARAH : 221 DALAM
TAFSIR AHKAM AL-QUR’AN DAN AL-JAMI’ LI AHKAM
AL-QURAN)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.i)
Oleh
Budy Prestiawan
NIM : 107034001793
Pembimbing
Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA
NIP : 19550725 200012 2 001
JURUSAN TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 M / 2014 H
LEMBAR PENGESAHAN
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul : “Menikahi Orang Musyrik Perspektif al-Jashash dan al-Qurtubi
Analisa terhadap Surat al-Baqarah : 221 dalam Tafsir Ahkam al-Quran dan al-Jami’
li Ahkam al-Quran” diajukan dalam Sidang Muaqosyah Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 September 2014. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1
(S1) pada Jurusan Tafsir Hadis.
Jakarta, 03 Oktober 2014
Sidang Munaqosyah
Ketua Sekretaris
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA Jauhar Azizy, MA
NIP: 19711003 199903 2 001 NIP: 19820821 200801 101 2
Penguji I Penguji II
Dr. Abd. Moqsith, MA Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
NIP: 19710607 200501 1 002 NIP: 19711003 199903 2 001
Pembimbing
Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA
NIP: 19550725 200012 2 001
INSPIRASI UNTUK SEORANG KAWAN
Walaupun kita gagal, meskipun kita mengalami masa-masa yang kelam dan hidup
tidak berjalan baik sesuai dengan apa yang kita harapkan …
BANGKITLAH !!!
“INGATLAH MIMPI-MIMPI YANG DAHULU INGIN KAU CAPAI,
GENGGAMLAH SELALU MIMPIMU DAN JANGAN PERNAH KAU
LEPASKAN”
“YAKINLAH DENGAN APA YANG KAU JALANI SAAT INI ADALAH
SALAH SATU CARA TUHAN UNTUK MEWUJUDKAN MIMPI-MIMPIMU”
“MIMPI ITU TIDAK AKAN TERCAPAI DENGAN KESENANGAN DAN
KEBAHAGIAAN, MIMPI ITU MEMBUTUHKAN KERJAKERAS,
SEMANGAT, KERINGAT BAHKAN AIR MATA”
“YAKINLAH BAHWA SKENARIO TUHAN AKAN INDAH PADA
WAKTUNYA”
Budy Prestiawan
(Mahasiswa TH ’07)
Nb.
Skripsi ini saya persembahkan khusus kepada teman-teman TH angkatan 2007
yang tidak dapat menyelesaikan masa studi S1 di UIN Jakarta.
iii
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya
pemulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang begitu berjasa dalam mencurahkan
kebaikan kepada seluruh manusia.
Dalam proses penulisan skripsi ini penulis merasakan tantangan dan halangan
yang begitu berat. Di sela-sela kesibukan penulis dalam bekerja, penulis harus
menyempatkan diri mencari buku-buku referensi serta mengetik hasil temuan tersebut
dengan harapan dapat segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Sebagai karya tulis hamba yang dha’if, tentunya di dalam penelitian ini masih
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, ada kemungkinan ditemukan bagi mereka
yang ingin menelaahnya dengan lebih teliti. Segala kesalahan tersebut tidak lain
adalah sebuah keterbatasan pengetahuan penulis di dalam melakukan penelitian ini.
Bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak serta kritikan, sangat berharga
dalam penyusunan tugas akhir ini. Maka, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Segenap civitas akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansoer MA, (Dekan Fakultas
Ushuluddin), Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si (Pembantu Dekan Bidang
Akademik), Dr. M. Suryadinata, M.Ag (Pembantu Dekan Bidang
iv
Administrasi Umum), Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA (Pembantu Dekan
Bidang Kemahasiswaan), Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A (Ketuan Jurusan
Tafsir-Hadis), Jauhar Azizy, MA (Sekretaris Jurusan Tafsir-Hadis)
2. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA Selaku pembimbing yang telah dengan sabar
dan tidak bosan-bosannya membantu, membimbing dan mengarahkan serta
menasehati penulis dalam penulisan skripsi ini, semoga beliau selalu diberi
perlindungan dan kesehatan oleh Allah SWT (Amin).
3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, Khususnya dosen-dosen di Jurusan
Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, dari semenjak
penulis masuk di Fakultas Ushuluddin sampai saat ini, sehingga berkat jasa
beliau-beliaulah penulis mendapatkan berbagai pengetahuan, semoga Allah
SWT selalu melindungi beliau-beliau semua (Amin).
4. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan, semangat, motivasi
kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, serta senantiasa
menghembuskan nafas untuk mendoakan penulis agar kelak menjadi manusia
yang sukses serta bermanfaat bagi banyak orang. Semoga Allah SWT selalu
memberikan rahmat, hidayah, perlindungan dan kesehatan kepada mereka
(Amin).
5. Kakak penulis (Didik Irawan) yang sudah banyak berkorban membantu
penulis mengeluarkan sebagian penghasilannya dalam menyelesaian skripsi
ini, semoga Allah SWT melancarkan dan memberikan keberkahan atas
rejekinya (Amin)
v
6. Teman-teman penulis di Jurusan Tafsir Hadis angkatan 2007: Mustar, Mi’roji,
Husnul Aqib, Fiqri Aulia Ilhamny, Daud Catur Wicaksono, Irwan
Muhibbudin, Muhammad Rusli, Arfan Akbar, Muhammad Berbudi,
Muhammad Badrul Munir, Ismail Amir, Syaifuddin, Dian Kusnadi, Uchil,
Redhitya Bagus, dan kepada teman-teman lain yang penulis tidak bisa
cantumkan namanya satu persatu dalam kata pengantar ini, semoga Allah
SWT melindungi mereka semua dimanapun berada (Amin).
7. Kepada Rahayu, Stella, dan teman-teman seperjuangan lain yang telah dengan
sukarela memberikan motivasi, dukungan, inspirasi, dan kekuatan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah SWT membalas segala
kebaikan-kebaikan mereka (Amin)
8. Akhirnya, harapan penulis, semoga segala aktivitas yang kita kerjakan selalu
diberi kemudahan dan menjadi nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi dari lubuk
hati yang paling dalam penulis haturkan banyak terimakasih yang sebesar-
besarnya.
Jakarta, 21 September 2014
Penulis
vi
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Budy Prestiawan
Tempat/ Tanggal Lahir : Jakarta 04 Mei 1989
NIM : 107034001793
Jurusan : Tafsir Hadis
Judul Skripsi : “Menikahi Orang Musyrik Perspektif al-Jashash dan al-Qurtubi
(Analisa terhadap Surat al-Baqarah : 221 dalam Tafsir Ahkam al-
Quran dan al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an)”.
Dosen Pembimbing : Dr. Faizah Syibromalisi, MA
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 September 2014
Budy Prestiawan
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................... 7
C. Tinjauan Pustaka ................................................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 9
E. Metode dan Teknik Penelitian ............................................... 9
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 11
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG AL-JASHASH DAN AL-
QURTUBI ....................................................................................... 13
A. Sekilas tentang al-Jashash dan Tafsir Ahkam al-Qur’an ......... 13
1. Riwayat Hidup ............................................................. 13
2. Profil Tafsir Ahkam al-Qur’an ..................................... 14
3. Karya-karya al-Jashash ................................................ 17
B. Sekilas tentang al-Qurtubi dan Tafsir al-Jami’ Li Ahkam Al-
Qur’an .................................................................................. 18
1. Riwayat Hidup ............................................................. 18
2. Profil Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an ................... 20
3. Karya-karya al-Qurtubi ................................................. 22
viii
BAB III PENAFSIRAN AL-JASHASH DAN AL-QURTUBI TERHADAP
SURAT AL-BAQARAH : 221 ....................................................... 24
A. Penafsiran al-Jashash terhadap Surat al-Baqarah : 221 .......... 24
B. Penafsiran al-Qurtubi terhadap Surat al-Baqarah : 221 ........... 31
BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PENAFSIRAN AL-JASHASH
DAN AL-QURTUBI TERHADAP SURAT AL-BAQARAH : 221
.......................................................................................................... 37
A. Pemaknaan Musyrik .............................................................. 37
B. Hukum Menikahi Orang Musyrik ......................................... 39
C. Keterkaitan al-Baqarah : 221 dengan al-Maidah : 5 ............... 42
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 47
A. Kesimpulan ........................................................................... 47
B. Saran .................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 52
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
Huruf
Arab
Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
t ط B ب
z ظ T ت
‘ ع Ts ث
gh غ J ج
f ف H ح
q ق Kh خ
k ك D د
l ل Dz ذ
m م R ر
n ن Z ز
w و S س
h هـ Sy ش
` ء S ص
y ي D ض
B. Vokal
Vokal Tunggal : ....... = a ...... = i ...... = u
Vokal Panjang : ....... = â ...... = î ...... = û
Vokal Rangkap : ....... = ai ...... = au
C. Alif Lam (al)
Alif lam ta’rîf (ال) dalam lafadz atau kalimat, baik yang bersambung
dengan huruf qamariyyah maupun syamsiyyah ditulis dengan huruf kecil (al), dan
diikuti dengan kata penghubung ” – “. Namun, jika terletak diawal kalimat, maka
ia ditulis dengan huruf besar (Al). Contoh:
x
1. Al ditulis dengan huruf kecil
- al-Qur’an = seperti, “sebagai mana disebutkan dalam al-Qur’an”
- al-Baihaqî = seperti, “menurut al-Baihaqi, bahwasannya…”
2. Al ditulis dengan huruf besar
- Al-Baihaqi = seperti, “Al-Baihaqi menyatakan bahwa….”
- Al-Bukhari = seperti, “Al-Bukhari, didalam kitabnya menegaskan…”
D. Singkatan
SWT = Subhânahu wa ta’âlâ H = Hijriyah
as = ‘Alaih al-salâm ra = Radiya Allâh ‘anhu
M = Masehi w = Wafat
Q.S = al-Qur’ân; surat h = Halaman
saw = Sholla Allahu ‘alaih wa sallam
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad memiliki banyak
sekali fungsi, dan fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh alam.
Petunjuk yang dimaksud adalah agama, atau yang biasa juga disebut syariat.1
Menurut Yusuf Qardhawi, al-Qur‟an dan sunnah merupakan dua sumber untuk
mengenali hukum dan ajaran islam yang berkaitan dengan akhlak, ibadah,
penetapan hukum, aqidah, adab sopan santun, dan bidang-bidang kehidupan
lainnya.2
Jika dilihat dari sejarah diturunkannya al-Qur‟an, tujuan pokok al-Qur‟an
salah satunya adalah petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan
menerangkan norma-norma yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya
secara individual atau kolektif, termasuk pula dalam hal tauhid agar manusia tidak
terjerumus kedalam kemusyrikan.3
Jika kita perhatikan tentang sejarah awal mula terjadi kemusyrikan tidak
terlepas dari kisah Nabi Nuh dan pengikutnya, sebagaimana riwayat yang shahih
dari Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas berkata: Dan setelah sepuluh abad
berlalu setelah masa Nabi Adam, munculah orang-orang shalih yang nama-nama
mereka disebutkan Allah4. Mereka ialah, Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan nasr.
5
1 M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), h. 27. 2 Yusuf Qardhawi, Al-Qur‟an dan As-Sunnah Refensi Tertinggi Umat Islam; Beberapa
Kaidah dan Rambu dalam Menafsirkan, (Jakarta: Rabbani Press,1997), h. 15. 3 Yusuf Qardhawi, Al-Qur‟an dan As-Sunnah Refensi Tertinggi Umat Islam; Beberapa
Kaidah dan Rambu dalam Menafsirkan, h. 40.
4
2
Mereka ini adalah orang-orang shalih yang bertauhid, ahli ibadah dan juga
berdakwah menyeru kaum mereka kepada Allah. Mereka amat dicintai oleh kaum
mereka, dan lebih dari itu, mereka adalah tauladan yang penuh pesona bagi
mereka. Tapi justru malapetaka kemudian muncul dari arah ini; yaitu rasa
ketergantungan mereka kepada orang-orang shalih tersebut melahirkan sikap
pengkultusan dan ghuluw pada diri mereka.6
Ibnu Taimiyah rahimahullah pun menjelaskan hal yang serupa tentang
kemusyrikan yang dilakukan kaum Nabi Nuh : “Nama-nama yang disebutkan
dalam ayat tersebut adalah nama-nama orang sholih dari kaum Nuh. Ketika orang-
orang sholih tersebut wafat, maka orang-orang mulai i‟tikaf di kubur-kubur
mereka, kemudian berlalulah waktu hingga mereka membuat bentuk untuk orang-
orang sholih tersebut dengan wujud patung. Dan perlu dipahami bahwa berdiam
(beri‟tikaf) di kubur, mengusap-ngusap kubur, menciumnya dan berdo‟a di sisi
kubur serta semacam itu adalah asal dari kesyirikan dan asal mula penyembahan
berhala.”7
23. Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan
kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula
suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr". (Q.S. Nuh : 23). 5 wadd, suwwa', yaghuts, ya'uq dan Nasr adalah nama-nama berhala yang terbesar pada
qabilah-qabilah kaum Nuh. 6 Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur‟an Al „Azhim, (T.tp: Dar Ibn al-Jauzi, 1431 H), Cet. I, Juz 7,
h. 390. Ghuluw adalah sikap berlebih-lebihan atau melampaui batas. Pengkultusan adalah
Pengkeramatan sang tokoh, sejak tokoh tadi hidup bahkan sampai ia meninggal dunia. Barang-
barang yang berkaitan dengan sosok tadi pun dicari-cari dan diagung-agungkan, dijadikan jimat
dan tidak lupa untuk dikeramatkan.Tambah parah lagi, makamnya senantiasa ramai dipadati oleh
para pengagum dan simpatisan yang ingin “mencari berkah” dari kubur sang tokoh. Bahkan ketika
tiba saat ulang tahun kematian dan kelahiran tokoh, semaraknya kubur lebih dibandingkan dengan
semaraknya masjid-masjid Allah. 7 Iyad bin „Abdul Lathief bin Ibrahim Al Qoisi, Tafsir Syaikh al-Islam Ibn at-Taimiyah,
(T.Tp, Dar Ibn al-Jauzi, 1432 H), Cet. I
3
Imam al-Bukhari juga menjelaskan di dalam kitab shahihnya tentang
kemusyrikan yang dilakukan kaum Nabi Nuh ternyata menyebar sampai ke orang
arab Jahiliyah :
ية ا ود كاثأ نكهأة تدوأ د، أي ح ف انأعسب تعأ و ىأ أ كاثأ ف قىأ انح ثا وأ صازت الأ
ف أف تانأجىأ ساد ثى نث غط خ فكاثأ ن ا غىأ أم وأي ا سىاع كاثأ نهر دل وأي أ ج انأاء ل ذي انأكلع، أسأ س أ س فكاثأ نح ا سأ وأي دا أ ق فكاثأ نه ا عىأ د سثإ وأي أ ع
ا إنى أصثىأ ا يهىأ أ إنى قىأ أطا حى انش ا أوأ ا ههكىأ ح فه و ىأ أ قىأ ي أ زجال صانح
ثدأ ححى إذا ا فهىأ جعأ ائهىأ ففعهىأ ها تأسأ ىأ أصاتا وس أ هسىأ ا جأ أ كاىأ يجانسهىأ انحى عثدتأ . هه أون وجس انأعهأ
Artinya : “berhala-berhala yang dulu (disembah) pada kaum Nuh menjadi (di-
sembah) Oleh orang-orang arab (jahiliyah) setelah itu. Berhala Wad menjadi
milik kabilah Kalb di Daumah al-Jandal, berhala Suwa' milik kabilah Hudzail,
Yaghuts adalah milik kabilah murad kemudian menjadi milik Bani Ghuthaif di al-
Jauf di negeri Saba`, berhala Ya'uq milik kabilah Hamdan, dan berhala nasr
milik kabilah himyar untuk keluarga Dzu al-Kala'. (mereka sebenarnya) adalah
nama-nama laki-laki yang shalih dari kaum Nuh. Ketika mereka meninggal, maka
setan membisikkan kepada kaum mereka untuk mendirikan patung (arca) di
tempat duduk mereka yang biasa mereka duduki. Lalu mereka menamakan patung
tersebut dengan nama mereka. Mereka pun melakukannya dan tidak disembah,
hingga ketika kaum tersebut telah wafat, dan ilmu telah lenyap, maka berhala-
berhala itupun disembah.”8
Bahkan pada masa Nabi Muhammad SAW pun kemusyrikan masih saja
merajalela. Hal ini dapat dilihat pada saat itu di sekeliling ka'bah ada sekitar 360
berhala dan arca yang ditancapkan oleh setiap kabilah untuk disembah dan
dijadikan perantara antara mereka dengan Allah. Namun berkat bimbingan Allah
yang terus menerus kepada Nabi Muhammad, sistimatika dalam berdakwah, dan
pribadi Nabi yang sangat mengesankan, akhirnya berhala-berhala tersebut bisa
dihancurkan dan pada akhirnya Mekah dan ka'bah bisa dikembalikan sesuai
dengan tujuan didirikannya semula yaitu menjadi kiblat kaum muslimin.9
8 Shahih al-bukhari, no. 4920. 9 Lihat http://www.iiq.ac.id/index.php?a=artikel&d=2&id=89, diakses pada tanggal 5
Oktober 2014, pukul 16.50. Artikel ditulis oleh: DR. KH. Ahsin Sakho Muhammad.
4
Jika kita melihat tentang perbuatan-perbuatan orang musyrik tersebut,
maka al-Qur‟an secara tegas melarang kita untuk berhubungan dengan orang
musyrik karena dikhawatirkan hubungan tersebut akan berdampak buruk bagi
aqidah kita, seperti apa yang Allah tegaskan dalam firman-firmannya :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh Telah kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”. (Q.S. Al-
Imran : 118).
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi
pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan
permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah diberi kitab sebelummu,
dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada
Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman”. (Q.S. Al-Maidah : 57)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), Karena rasa kasih sayang; padahal Sesungguhnya
5
mereka Telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir
Rasul dan (mengusir) kamu Karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika
kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku
(janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia
(berita-berita Muhammad) kepada mereka, Karena rasa kasih sayang. Aku lebih
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan
barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya dia Telah
tersesat dari jalan yang lurus”. (Q.S. Al-Mumtahanah : 1).
al-Qur‟an dengan tegas telah melarang kita untuk menjalin hubungan
dengan orang-orang musyrik, entah itu hanya sebatas hubungan pertemanan,
hubungan rekan kerja, hubungan percintaan ataupun hubungan yang lebih erat lagi
seperti hubungan pernikahan, karena hal ini dikhawatirkan hubungan-hubungan
tersebut akan dimanfaatkan oleh mereka (orang musyrik) untuk mempengaruhi
aqidah kita menjadi kearah kesesatan.
Di dalam al-Qur‟an banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang
pernikahan, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Dzariyat ayat 49 :
Artinya : “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah”. (Q.S. Al-Dzariyat : 49)
Dan Surat Yasin ayat 36 :
Artinya : “Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (Q.S. Yasin : 36).
Meskipun di dalam al-Qur‟an banyak terdapat ayat-ayat tentang
pernikahan, namun perlu diketahui bahwa ada beberapa batasan yang perlu
diperhatikan dalam hal memilih pasangan hidup, salahsatunya yaitu kita harus
berhati-hati dalam memilih pasangan hidup, terutama dengan orang musyik.
6
Manusia cenderung mengikuti naluri lahiriyahnya dalam hal mencari
pasangan. Perbedaan latar belakang keyakinan dan kepercayaan kini tidak lagi
dipersoalkan dalam hal mencari pasangan, menurut mereka yang penting adalah
ada kecocokan antar satu dengan yang lainnya dan juga rasa kasih dan sayang
antar sesama pasangan. Sehingga terjadi hubungan spesial (pacaran) antara
seorang muslim dan musyrik, bahkan tidak sedikit yang melanjutkan hubungan itu
ke jenjang yang lebih serius lagi, yaitu pernikahan.
Sebelum melangkah lebih jauh lagi, penulis terlebih dahulu akan
menjelaskan pengertian dan definisi ”Pernikahan” atau “Nikah”. Nikah dalam
bahasa Arab terdiri dari tiga huruf, yaitu : “nun”, “kaf” dan “ha” yang bermakna
untuk menunjukan sesuatu rakiban alaihi (menaiki di atas). Hal ini diambil dari
Abu Ali al-Farisi yang berkata bahwa pecahan-pecahan bahasa Arab memperhalus
makna dari “nakaha” tersebut menjadi “aqada” yang berarti “ikatan”. Namun
menurut para ahli bahasa bahwasanya tidak ada makna yang lebih tepat bagi
“nikah” kecuali “al-Wad‟u” yakni “hubungan seksual”.10
Secara etimologi
pernikahan berarti “persetubuhan” adapula yang mengartikan “perjanjian”.
Pernikahan menurut Abu Hanifah adalah “akad yang dikukuhkan untuk
memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja”.11
Di dalam agama Islam, pernikahan diatur dengan sangat baik, yaitu dengan
adanya syarat-syarat dan rukun-rukun dalam pernikahan. Salah satu syarat dalam
pernikahan yaitu calon pasangan suami dan istri harus sama-sama beragama
10 Isham al-Shabbaythi, et al-Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, (al-Qahirah: Dar al-
Hadits, 1994), Juz 5, h. 187. 11 M. Ali Hasan, Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1997), cet II, h. 1.
7
Islam.12
Kemudian yang jadi permasalahan adalah bagaimana jika pernikahan
tersebut dilakukan dengan orang musyrik?
Agar permasalahan ini menemui titik terang, penulis akan mencoba
mengkaji surat al-Baqarah ayat 221 yang berkaitan dengan kemusyrikan. Tidak
hanya itu, penulis juga akan memaparkan pendapat dua orang mufassir besar,
yaitu al-Jashash dan al-Qurtubi, untuk melihat bagaimana penafsiran al-Jashash
dan al-Qurtubi dalam menyikapi persoalan tentang pernikahan dengan orang
musyrik, kemudian penulis akan membandingkan dua pendapat mufassir tersebut
untuk bisa menemukan titik terang dari permasalahan tentang menikahi orang
musyrik ini.
Al-Jashash memiliki nama lengkap Imam Ahmad bin Ali Abu bakar Al-
Razi, beliau dikenal dengan sebutan “ Al-Jashash” (penjual kapur rumah), beliau
lahir di Baghdad tahun 305 H dan wafat tahun 370 H.13
Beliau salah satu Imam
fiqih mazhab Hanafi pada abad empat hijriyah. Dan kitabnya Tafsir Ahkam al-
Qur‟an dipandang sebagai kitab tafsir fiqih terpenting, terutama bagi pengikut
mazhab Hanafi.
Al-Jashash terlalu fanatik terhadap mazhab Hanafi sehingga
mendorongnya untuk memaksa-maksakan penafsiran ayat dan penta‟wilannya,
guna mendukung mazhabnya. Dari tafsirnya ini nampak jelas bahwa al-Jashash
menganut paham Mu‟tazilah.14
12 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1993), h. 850. 13 As-Sayid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Minhajuhum, (Teheran:
t.p, 1414), h. 107; Muhammad Husain Al Zahabi, Al Tafsir wa Al Mufassiruun, (Mesir:
Daar Al-Maktabah Al-Harisah, 1976), h. 439. 14 Manna‟ Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur‟an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu al-
Qur‟an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1992), h. 511.
8
Berbeda dengan tafsir Al-Jashash, kitab tafsir Al-Qurtubi dikarang oleh
Abdullah Muhammad bin Ahamd bin Aby Bakr bin Farah al-Anshori al-Khazroji
Al-Qurtubi, yang lahir di Spanyol pada tahun 580 H / 1184 M, meninggal 671 /
1273 M.15
beliau merupakan penganut mazhab Maliki, Al-Qurtubi di dalam
tafsirnya al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an tidak membatasi diri pada ayat-ayat hukum
semata-mata, tetapi juga menafsirkan al-Qur‟an secara menyeluruh. Beliau sangat
luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum, dan tidak fanatik terhadap mazhabnya.
Melalui dua kitab tersebut, penulis akan mencoba mengkomparasikan
penafsiran al-Jashash dan Al-Qurtubi dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat
221, sehingga dari studi komparasi ini dapat diketahui bentuk penafsiran antara
Al-Jashash dan Al-Qurtubi dalam menafsirkan ayat tentang menikahi orang
musyrik ini, sehingga permasalahan pernikahan seseorang yang melakukan
kemusyrikan akan dapat diketahui status hukumnya.
Alasan yang mendasari untuk meneliti kedua tafsir tersebut adalah bahwa
kedua pengarang memiliki latar belakang yang berbeda, baik kehidupan
pengarang, keilmuan, letak geografis atau daerah pengarang tinggal dan juga masa
yang berbeda. Sehingga nantinya pasti akan berpengaruh terhadap pola berfikir
dan hasil karya dari kedua mufassir tersebut, termasuk dalam menafsirkan surat
al-Baqarah ayat 221. Maka tidak dipungkiri jika nantinya dalam menafsirkan surat
al-Baqarah ayat 221 ini ditemukan persamaan dan perbedaan dalam memahami
isi, maksud dan kandungan yang terdapat dalamnya.
15 Manna‟ Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur‟an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu al-
Qur‟an, h. 411.
9
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menyusun sebuah skripsi ini dengan
mengangkat judul “Menikahi Orang Musyrik Perspektif al-Jashash dan Al-
Qurtubi Analisa terhadap Surat al-Baqarah : 221 dalam Tafsir Ahkam al-
Qur’an dan al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan alasan penulisan diatas, maka
penulis akan membatasi skripsi ini pada surat al-Baqarah ayat 221 saja yang selalu
dijadikan referensi para ulama dalam menjelaskan tentang pernikahan dengan
orang musyrik.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka rumusan masalah yang dapat
dikemukakan adalah :
“Bagaimana pandangan al-Jashash dan al-Qurtubi tentang menikahi orang
musyrik melalui surat al-Baqarah ayat 221?”
C. Tinjauan Pustaka
Dari hasil penelusuran Penulis mengenai “Menikahi Orang Musyrik
Perspektif al-Jashash dan al-Qurtubi Analisa Terhadap Surat al-Baqarah : 221
dalam Tafsir Ahkam al-Qur‟an dan al-Jami‟ Li Ahkam al-Qur‟an”, penulis
menemukan skripsi dan buku-buku yang berkaitan, yaitu sebagai berikut :
1. Perkawinan antar Agama menurut al-Qur‟an dan Hadis, Dewi
Sukarti, Jakarta: PBB UIN, 2003. Isi buku ini menitikberatkan
kepada tataran praktis dalam bidang fiqih dan tidak ada kajian tafsir
yang mendetail.
10
2. Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama; Perspektif Perempuan dan
Pluralisme, Ansor, Maria Ulfa, Jakarta: KAPAL Perempuan, 2004.
Pembahasan buku ini lebih menekankan sisi gender dan pluralisme
dan cenderung lebih menjelaskan realitas saat ini.
3. Konsep Nikah beda agama dalam al-Qur‟an, Dede Setiawan, Jakarta:
UIN, 2005. Pembahasan skripsi ini lebih menekankan kepada isi
tafsiran al-Qur‟an dan argumen ulama tafsir, tetepi mayoritas
kebanyakan tafsiran al-Shabuni.
4. Pernikahan Beda Keyakinan dalam al-Qur‟an (Analis Penafsiran al-
Maraghi atas Q.S al-Baqarah 2:221 dan Q.S al-Maidah 5:5), Dedi
Irawan, Jakarta: UIN, 2011. Pembahasan skripsi ini lebih
menekankan kepada tafsiran al-Maraghi dan argumennya tentang
pernikahan beda agama.
Adapun skripsi yang penulis susun ini lebih menitikberatkan kepada
tafsiran al-Qur‟an dan argumen para ulama tafsir tidak secara umum saja, tetapi
lebih khusus tentang argumen al-Jashash dan al-Qurtubi tentang menikahi orang
musyrik dalam surat al-Baqarah ayat 221.
Dari hasil penelusuran yang dilakukan penulis, penulis tidak menemukan
kajian yang serupa dengan judul penelitian ini. Maka menurut penulis, penelitian
ini patut untuk dilakukan guna menambah wawasan dan khazanah keilmuan,
khususnya dalam memahami penafsiran al-Jashash dan al-Qurtubi tentang
menikahi orang musyrik melalui surat al-Baqarah ayat 221.
11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dan manfaat penelitian skripsi ini yaitu :
1. Untuk mengetahui pandangan al-Jashash tentang menikahi orang
musyrik.
2. Untuk mengetahui pandangan al-Qurtubi tentang menikahi orang
musyrik.
3. Untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana program
strata satu (S-1) pada jurusan Tafsir-Hadits.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Studi ini merupakan penelitian kepustakaan (Librabry Research) yaitu
menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan untuk
menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli
terdahulu, mengikuti perkembangan penelitian dibidang yang akan diteliti,
memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang dipilih, memanfaatkan
data sekunder serta menghindarkan duplikasi penelitian.16
Karena studi ini menyangkut tentang al-Qur‟an secara langsung, maka
sumber yang pertama adalah al-Qur‟an dan terjemahannya. Sumber-sumber
lainnya adalah tafsir-tafsir, seperti tafsir al-Jashash, al-Qurtubi dan karya-karya
tafsir dan buku-buku lainnya yang bersangkutan dengan tema skripsi ini sebagai
data sekunder.
16 Masri Singarimbun dan Sofwan Effendi, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES,
1989), h.70.
12
2. Metode Penelitian
Sebuah karya ilmiah pada suatu bidang keilmuan dalam setiap
pembahasan menggunakan metode tertentu dalam menganalisa permasalahan-
permasalahan yang sedang digelutinya. Adapun metode yang penulis gunakan
dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif,
analisis, komparatif.
Metode deskriptif adalah suatu metode yang meneliti status sekelompok
manusia, suatu objek, kondisi, sistem pemikiran ataupun peristiwa. Tujuannya
adalah untuk membuat deskriptif (gambaran) secara sistematis, faktual, dan akurat
menenai fakta-fakta, sifat-sifat dan hubungan antara fenomena yang diselidiki.17
Sedangkan yang dimaksud dengan studi analisis ialah untuk menganalisa
(menguji) hipotesa-hipotesa dan mengadakan interpretasi yang lebih mendalam
tentang hubungan fakta-fakta, sifat-sifat antar fenomena yang diselidiki.18
Adapun metode komparatif digunakan untuk mengkomparasikan
(membandingkan) pemikiran al-Jashash dan al-Qurtubi.
3. Tekhnik Penulisan
Untuk tekhnik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Sripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan oleh
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.
17 Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), Cet. Ke-3, h.
63. 18 Muhammad Nazir, Metode Penelitian, h. 105.
13
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, maka penulis
membagi skripsi ini menjadi lima bab, dan masing-masing bab terbagi lagi
kedalam sub bab, adapun sistematika pembahasan tersebut yaitu :
Bab Pertama : Pendahuluan, bab ini merupakan acuan bagi penulis dalam
penyusunan skripsi ini dan menjadi landasan dalam pembahasan bab-bab
selanjutnya. Bab ini mengemukakan latar belakang masalah dan signifikasinya,
hal ini akan menjadi penjelas mengapa penulis mengangkat judul ini, dilanjutkan
dengan pokok permasalahan, tujuan penelitian, hal ini berguna untuk menjelaskan
pokok kajian yang akan penulis bahas, kemudian tinjauan pustaka, metode
penulisan serta sistematika penulisan penelitian ini.
Bab Kedua : Gambaran umum tentang al-Jashash dan al-Qurtubi, dalam
hal ini tokoh pertama yang dikemukakan adalah Al-Jashash dengan kitabnya
Ahkam al-Qur‟an, dimulai dari riwayat hidupnya, profil Tafsir Ahkam al-Qur‟an,
dan karya-karya Al-Jashash lainnya. Tokoh kedua yang dibahas adalah Al-
Qurtubi dengan kitabnya Al-Jami‟ Li Ahkam al-Qur‟an, dimulai dari riwayat
hidupnya, profil Tafsir Ahkam al-Qur‟an, dan karya-karya Al-Qurtubi lainnya.
Bab Ketiga : Penafsiran al-Jashash dan al-Qurtubi terhadap Surat al-
Baqarah : 221 dengan sub bab yang pertama di bahas adalah Penafsiran al-Jashash
terhadap surat al-Baqarah : 221 kemudian dibahas Penafsiran al-Qurtubi terhadap
Surat al-Baqarah : 221
14
Bab Keempat : Persamaan dan Perbedaan Penafsiran al-Jashash dan al-
Qurtubi Terhadap Surat al-Baqarah : 221, point pertama yang akan dibahas dalam
bab ini adalah tentang Pemaknaan Musyrik, kemudian akan dibahas Hukum
Menikah dengan Orang Musyrik dan yang terakhir akan dibahas tentang
Keterkaitan surat al-Baqarah : 221 dengn surat al-Maidah : 5.
Bab Kelima : Penutup, pada bab ini penulis menarik jawaban yang diambil
berdasarkan perumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan
juga penulis membuat saran-saran serta pada akhir tulisan penulis menjabarkan
referensi-referensi yang dapat dijadikan rujukan penulis dalam penulisan
penulisan ini.
15
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG AL-JASHASH DAN AL-QURTHUBI
A. Sekilas Tentang al-Jashash dan Tafsir Ahkam al-Qur’an
1. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad Ibn Ali Al-Razi, yang
terkenal dengan sebutan Al-Jashash.1 Ia lahir di Baghdad tahun 305 H. Beliau
merupakan seorang ahli tafsir dan ahli ushul fiqih ternama yang terkenal dengan
panggilan Al-Jashash (penjual kapur rumah). Beliau disebut demikian, karena
dalam mencari nafkah hidup ia bekerja sebagai pembuat dan penjual kapur
rumah.2
Pada masanya ia adalah imam pengikut madzhab Hanafi, beliau berguru
kepada Abu Sahal Al-Zujaj, Abu Al-Hasan Al-Harakhi, dan kepada orang alim
fiqih lainnya pada saat itu. Proses belajarnya menetap di baghdad, dan perjalanan
mencari ilmunya pun berakhir di sana. Al-Jashash berguru tentang zuhud kepada
Imam Al-Harakhi, saat Al-Jashash mencapai maqam zuhud, beliau diminta untuk
menjadi seorang penghulu (qadhi), tapi ia tolak. Dan ketika diminta lagi ia tetap
tidak menerimanya.3
Al-Jashash adalah salah seorang Imam fiqih Hanafi pada abad ke 4 H, dan
kitabnya Ahkam al-Qur’an dipandang sebagai kitab fiqih terpenting, terutama
bagi pengikut mazhab Hanafi. Al-Jashash terlalu fanatik buta terhadap mazhab
Hanafi sehingga mendorongnya untuk maksakan penafsiran ayat dan
1 Muhammad Husain Al Zahabi, Al Tafsir wa Al Mufassiruun, (Mesir: Daar Al Maktabah
Al Harisah, 1976), h. 485. 2 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 1992), h. 485. 3 Muhammad Husain Al Zahabi, Al Tafsir wa Al Mufassiruun , h. 485.
16
penakwilannya, guna mendukung mazhabnya, ia sangat ekstrim dalam
menyanggah mereka yang tidak sependapat dengannya dan bahkan berlebih-
lebihan dalam menta‟wilkan sehingga menyebabkan pembaca tidak suka
meneruskan bacaannya, karena ungkapan-ungkapannya dalam membicarakan
mazhab lain sangat pedas.4 Al-Jashash tergolong seorang ulama pilihan yang alim.
Banyak ulama lain yang mengembalikan permasalahan yang berkaitan dengan
mazhab Hanafi kepadanya berdasarkan bukti dan dalil yang ada. Al-Jashash wafat
tahun 370 H.5
2. Profil Tafsir Ahkam al-Qur’an
Al-Qur‟an al-Karim itu laksana samudra ilmu dan keunikannya tidak akan
pernah sirna sampai kapanpun, banyak sekali para ulama yang mengkaji al-Qur‟an
sampai saat ini, sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan metode yang
beraneka ragam. Kitab-kitab tafsir yang memenuhi perpustakaan merupakan bukti
nyata yang menunjukkan betapa tingginya semangat dan besarnya perhatian para
ulama untuk menggali dan memahami kandungan makna-makna kitab suci al-
Qur‟an.6
Dalam perkembangan berikutnya, bersamaan dengan kehadiran buku-buku
tafsir al-Qur‟an yang bersifat umum atau keseluruhan, lahir pula sejumlah kitab
tafsir yang lebih berorientasi kepada hukum, bahkan lebih dari itu ada yang
membatasi pembahasan kitab tafsirnya khusus pada ayat-ayat hukum. Kitab-kitab
inilah yang kemudian populer dengan sebutan kitab tafsir ayat ahkam atau tafsir
4 Manna‟ Khalil Al-Qattan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an, (Jakarta: Litera Antara Nusa, 2000), Cet. V, h. 518. 5 Muhammad Husain Al-Zahabi, Al Tafsir wa Al Mufassiruun, h. 439. 6 Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudlu’iy, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), h. 1.
17
ahkam.7 Salah satunya kitab Tafsir Ahkam yang tergolong tua dan terdiri atas tiga
jilid, dengan tebal halaman secara keseluruhan masing-masing 540 halaman, jilid
1 (diatur daftar isi) 494 halaman, jilid 2 dan 479 halaman, untuk jilid 3 yang tanpa
halaman daftar isi. Kitab ini disusun oleh Imam Hujj Al-Islam Abi Bakr Ahmad
bin Ali Al-Razi Al-Jashash (305-370 H), salah seorang ahli fiqih dari kalangan
mazhab Hanafi.8
Kitab tafsir Ahkam al-Qur’an karya Al-Jashash termasuk dalam tafsir bi
al-ma’tsur (bi al-riwayah), yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, dengan
perkataan sahabat atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi‟in,
disamping itu ia juga mengemukakan beberapa pendapat berdasarkan pada
pemikirannya.9
Tafsir Ahkam al-Qur’an karya Al-Jashash dikategorikan pada tafsir yang
menggunakan metode analitik (tahlili) yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan itu serta menerangkan makna-maknanya yang tercakup di dalamnya
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat
tersebut.10
Tafsir Ahkam al-Qur’an karya Al-Jashash ini termasuk tafsir yang
bercorak fiqih. Al-Jashash membatasi diri pada ayat yang berhubungan dengan
7 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 141.
(Prof. Dr. Drs. KH. MA, SH) 8 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 142.
9 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), h. 32-33. 10 Ahmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-qur’an, (Semarang: Gunung
Jati, 2001), h. 27-28.
18
hukum-hukum cabang (masalah-masalah furu’iyah) dengan menjelaskan
maknanya dengan hadis dan mengutip beberapa pendapat Imam mazhab.11
Tafsir Ahkam al-Qur’an ini sesungguhnya lebih layak dikategorikan dalam
kelompok buku-buku fiqih. Selain pemaparannya tidak pernah menunjukkan
nomor ayat yang hendak ditafsirkan, juga daftar isinya yang lebih
memperkenalkan tema-tema yang akan dibahas daripada ayat al-Qur‟annya
sendiri, karenanya para pembaca sedikit mengalami kesulitan dan harus bersabar
ketika mencari tafsir ayat-ayat tertentu dalam Tafsir Ahkam al-Qur’an.
Sehubungan dengan itu Muhammad Husain Al-Dzahabi berkomentar
bahwa penyimpangan Al-Jashash yang terlalu fanatik terhadap mazhab Hanafi itu
dalam membahas masalah-masalah fiqhiyah dan khilafiyah sering meluas dan
melebar sehingga pengalihan arah pembicaraannya sering-sering dirasakan tidak
lagi sesuai dengan ayat yang dibicarakan.12
Apabila dibaca dan dikaji Tafsir Ahkam al-Qur’an ini merupakan salah
satu karya tafsir yang menggunakan metode tafsir tahlili.13
Biasanya mufassir
menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur‟an, ayat demi ayat dan surat
demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut
berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata,
konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang
lain, baik sebelum dan sesudahnya (munasabat), dan tidak ketinggalan pendapat-
11
Manna‟ Khalil Al-Qattan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-
Ilmu Qur’an, h. 518. 12 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 142. 13 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 1998), h. 32.
19
pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik
yang disampaikan oleh Nabi, Sahabat, para tabi‟in maupun ahli tafsir lainnya.14
Dalam kitabnya, Al-Jashash membatasi diri pada penafsiran ayat yang
berhubungan dengan hukum-hukum cabang, ia mengemukakan satu atau beberapa
ayat lalu menjelaskan maknanya dengan atsar dan memaparkan masalah fiqih
yang berhubungan dengannya baik hubungan itu dekat maupun jauh, serta
mengemukakan berbagai perbedaan pendapat antar mazhab sehingga pembaca
merasa bahwa ia sedang membaca sebuah kitab fiqih, bukan kitab tafsir. Tafsir
Al-Jashash termasuk dalam tafsir bi al-ma’tsur (bi al-riwayah) yaitu menafsirkan
al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, dengan perkataan sahabat atau dengan apa yang
dikatakan tabi‟in, di samping itu juga beliau mengemukakan beberapa pendapat
berdasarkan pada pemikirannya.15
3. Karya-Karya Al-Jashash
Karya-karya beliau banyak sekali, ada yang berupa bentuk buku atau kitab,
diantara karya-karyanya adalah:
1. Ushul Al-Jashash
2. Tafsir Ahkam al-Qur’an
3. Syarah Mukhtashar Al-Karkhi
4. Syarah Mukhtashar Al-Tahawi
5. Syarah jami’ Al-Saghir Wa Al-Jami’ Al-Kabir
6. Syarah Asma’ Al-Husna
7. Jawab Al-Massa’il.16
14 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, h. 31. 15 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, h. 31. 16 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, h 486.
20
B. Sekilas Tentang Al-Qurthubi dan Tafsir al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an
1. Riwayat Hidup
Al-Qurthubi adalah salah seorang mufassir dan seorang yang alim.17
Nama
lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Ali Abi Bakar
bin Faraj Al Ansari Al Hajraji Al-Andalusi Al-Qurthubi.18
Beliau dilahirkan di
Spanyol tahun 580 H / 1184 M. beliau adalah hamba Allah yang saleh, bijaksana,
wara‟ dan zuhud. Beliau menghabiskan waktunya untuk urusan-urusan akhirat
dan untuk mencari keridhoan Allah, beribadah dan mengarang beberapa kitab.
Beliau merantau keluar daerahnya untuk belajar ilmu-ilmu agama,
sehingga menjadi sarjana yang teliti dan kehidupannya cenderung asketisisme19
dan selalu meditasi tentang kehidupan setelah mati. Al-Qurthubi telah belajar
ilmu-ilmu agama kepada para ulama dimasanya. beliau mengembara ke Timur
dan menetap di Andalusia. Di sana beliau berguru kepada: Syaih Abu Abbas
Ahmad bin Umar Al-Qurthubi, al-Hafizh Abu Ali al-Hasan bin Muhammad bin
Muhammad al-Bakry. Diantara para gurunya yang terkenal adalah Abu Abbas
Ahmad bin Umar Al-Qurthubi yang mempunyai kitab Shahih Muslim. Tokoh ini
merupakan seorang guru ulama salaf yang terkenal sebagai ahli bahasa Arab.20
Setelah Al-Qurthubi menuntut ilmu ke arah timur di dataran tinggi Mesir
dari beberapa guru, reputasinya menjadi besar, beliau juga belajar ilmu hadis.
Seperti Imam Nawawi telah mengutip dari kitab mufhimnya di beberapa tempat
dari karya-karyanya yang menyebutkan ada dua tokoh dari siapa Al-Qurthubi
17 As-Sayyid Muhammad „Ali Iyaziy, Al Mufassiruun Hayatuhum wa Minhajuhum
wizarah as-saqafah wa Al-Irsyad Al Islamy, (Teheran: tp, 1414 H), h. 409. 18 Muhammad Husain Al Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz , (Mesir: Daar Al-
Maktabah Al Harisah, 1976), h. 457. 19 Paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban. 20 Muhammad Husain Al Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, h. 512
21
telah belajar ilmu hadis, yaitu dari Al Hafidz Abu Ali Hasan Ali bin Muhammad
bin Ali Hafzi bin Yahsubi dan Abu Abbas Ahmad bin Umar Al-Qurthubi.21
Dari
beberapa ulama pada masanya beliau belajar agama dan belajar bahasa arab serta
belajar ilmu hadis dari tokoh ulama di Mesir, beliau menjadi paham agama serta
meneruskan cita-citanya untuk mengarang dan menulis kitab yang berguna pada
masanya.
Al-Qurthubi mempunyai sifat-sifat yang menjadikan para ulama
menyebut-nyebut keagungannya. Al-Hafizh Abdul Karim berkata tentangnya :
“Dia termasuk hamba Allah yang shalih, ulama yang arif, zuhud akan selalu
menyibukkan diri dengan urusan-urusan akhirat”. Dalam sejarah al-Kitaby juga
terdapat pujian baginya “Dia seorang syaikh, mempunyai karangan-karangan yang
berfaedah yang menunjukkan pada ketinggian ilmunya, diantaranya adalah tafsir
Qur‟an. Al-Dzahabi menyampaikan dalam sejarah Islam, “Abu Abdullah
Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Imam al-Qurthubi pemilik
lautan ilmu”. Dia mempunyai karangan-karangan yang berfaedah yang
menunjukkan pada ketinggian ilmu kejeniusan otak dan keutamaannya.22
Imam Al-Qurthubi kemudian berdomisili di Munyah Ibnu Kasib,
selanjutnya beliau meninggal dan dimakamkan di Munyah pada malam senin 9
Syawal 671 H.23
21 Muhammad Husain Al Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, h. 512 22 Muhammad Husain Al Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, h. 512 23 Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz I, (Dar Al-Kutub Al-Misriyyah, 1967),
h. 1.
22
2. Profil Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an
Tafsir Jami’i Ahkam al-Qur’an Wa al-Mubayyi Lima Tadhammanahu min
al-Sunnah Wa Ayi al-Qur’an (himpunan hukum-hukum al-Qur‟an dan penjelasan
terhadap isi kandungannya dari as-Sunnah dan ayat-ayat al-Qur‟an) tergolong
dalam salah satu kitab-kitab tafsir yang sangat tebal dengan berbagai jilid. Ada
yang sepuluh jilid tebal, dan ada pula yang terdiri 22 jilid dengan jumlah halaman
723.
Tafsir ini ditulis oleh Abu Abdullah Muhammad Al-Qurthubi, beliau
merupakan salah satu ulama yang sangat produktif dimasanya. Ibn Farhun seperti
dikutip Al-Dzahabi, menilai tafsir al-Qur‟an ini sebagai salah satu kitab tafsir
yang sangat bermutu dan paling besar manfaatnya. Ini dibuktikan bahwa semua
kitab tafsir yang lahir sesudah generasi Al-Qurthubi banyak merujuk kepada Al-
Jami’ li Ahkam al-Qur’an.24
Tafsir Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Al-Qurthubi termasuk dalam tafsir
Al-Ra‟yi. Yaitu suatu metode penafsiran al-Qur‟an yang pola pemahamannya
dilakukan melalui ijtihad setelah seorang mufassir al-ra‟yi mengetahui beberapa
syaratnya.25
Untuk menggunakan penafsiran al-ra‟yi, terlebih dahulu seorang
mufassir harus mencari makna ayat-ayat al-Qur‟an yang terdapat dalam al-Qur‟an
itu sendiri, lalu pada sunnah Nabi SAW, perbuatan para sahabat dan tabi‟in. jika
tidak menjumpai dalil yang terdapat pada beberapa sumber diatas, barulah seorang
mufassir menggunakan kekuatan akal pikirannya (ijtihad).26
Berbeda dengan tafsir al-Qur‟an karya para ulama lainnya, Tafsir al-Jami’
Li Ahkam al-Qur’an lebih menekankan pada pemahaman hukum islam dari segi
24
Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 144-145. 25 M. Nur Ichwan, Memasuki Dunia Al Qur’an, (Semarang: Lubuk Raya, 2001), h. 180. 26 M. Nur Ichwan, Belajar Mudah Ilmu-Ilmu Al-qur’an, (Semarang: tp, 2001), h. 215.
23
fungsinya sebagai petunjuk bagi umat islam untuk mencapai kebahagian hidup di
dunia dan akhirat, karena inilah tujuan utama menafsirkan al-Qur‟an. Tafsir al-
Qurthubi merupakan tafsir yang paling besar manfaatnya dan faedahnya paling
universal, merupakan referensi paling diperhatikan dalam ilmu tafsir, melihat
bahwa muatan atau isi tafsir ini sangat lengkap, tentang hukum-hukum faedah
bahasa, menyebutkan bacaan-bacaan, naskh dan mansukh serta muhkam dan
mutasyabih. Kitab ini mengalami banyak revisi karena banyak diminati dan
menjadi referensi utama dalam pemahaman al-Qur‟an dibanyak kalangan.
Metode yang digunakan Al-Qurthubi dalam menyusun tafsirnya dapat di
golongkan sebagai tafsir tahlili atau analitik, karena dalam penyusunannya dengan
menafsirkan ayat-ayat sesuai dengan runtutan dalam mushaf al-Qur‟an, sedangkan
dalam rangka menerangkan maknanya yang terkandung dalam ayat dilakukan
melalui beberapa ciri yaitu ciri kebahasan, munasabah ayat, hubungan ayat
dengan hadis, hubungannya dengan sosial histori kultural.27
Metode ini biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh
al-Qur‟an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam
mushaf. Uraian tersebut, menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang
ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya latar belakang turun
ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya
(munasabat), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan
berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi,
sahabat, para tabi‟in maupun ahli tafsir lainnya.28
27 Muhammad Ali Iyazi, al-Mufassiruun Hayatuhum wa Minhajuhum Wizarah as-
Saqafah wa Al-Irsyad Al Islamy, h. 411. 28 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, h. 31
24
Beliau bermadzhab maliki, di dalam tafsirnya Al-Qurthubi termasuk tafsir
yang bercorak fiqih, beliau tidak membatasi diri pada ayat-ayat hukum semata,
tetapi juga menafsirkan al-Qur‟an secara menyeluruh. Ia mengemukakan masalah-
masalah khilafiyah, mengetengahkan dalil bagi setiap pendapat.29
Metode yang
ditempuh Al-Qurthubi adalah dengan menyebutkan sebab-sebab nuzul,
mengemukakan macam-macam qiro‟at dan i‟rab, menjelaskan lafadz-lafadz yang
gharib, menghubungkan pendapat-pendapat kepada yang mengatakannya,
menyediakan paragraf khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para
ahli sejarah.
Tafsir Al-Qurthubi termasuk penafiran bi al-ra‟yi dan menafsirkan ayat-
ayat al-Qur‟an harus menggunakan kerangka berfikir yang sistematis. Yaitu
terlebih dahulu harus mencari makna ayat-ayat al-Qur‟an yang terdapat dalam al-
Qur‟an sendiri, sunnah Nabi, perkataan para sahabat dan tabi‟in kalau tidak
menjumpai beberapa dalil yang terdapat pada beberapa sumber diatas barulah
seorang mufassir menggunakan kekuatan akal pikirannya (ijtihad).
3. Karya-karya Al-Qurthubi
Semasa hidupnya beliau banyak membuat karya-karya ilmiah, antara lain
sebagai berikut:
1. Al Jami’ li-Ahkam al-Qur’an
2. Al-Tadzkiratu fi Ahwali al-Mauta wa Umuri al-Akhirati
3. Al-Asna fi Syarkhi al-Asma’ al-Husna
4. al-Tadzkaru fi Afdlali al-Adzkari
5. Al-Tadzkiratu bi al-Umuri al-Akhirati
29 Manna Khalil Akl-Qattan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu
Qur’an, h. 514 & 520.
25
6. Syarh at-Tuqsho fi al-Hadis al-Nabawi
7. Al-I’lam bima fi Dini al-Nashara min al-Mafasid wa al-Auhani wa
Idhari Makhosini Dini al-Islami.30
Komentar-komentar dalam kitab diatas adalah sangat sempurna dan sangat
berguna. Kebanyakan para pengarang yang menceritakan tentang Al-Qurthubi
mereka mengakui serta mengambil rujukan pendapat dari komentar kitab Al-
Qurthubi. E.J. Brill menjelaskan dalam kaitannya muqodimahnya tafsir Al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, yang menerangkan pada nilai al-Qur‟an akan mendapatkan
tingkatan yang tinggi dan keutamaan dimata Allah bagi mereka yang membawa
dan mempunyai kemampuan ijtihad untuk menggali isi kandungan al-Qur‟an.31
30 Muhammad Hussain al-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, h. 457. 31 Muhammad Hussain al-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, h. 512
26
BAB III
PENAFSIRAN AL-JASHASH DAN AL-QURTUBI TERHADAP SURAT
AL-BAQARAH : 221
A. Penafsiran al-Jashash terhadap surat al-Baqarah : 221
Al-Jashash banyak menukil pendapat ulama sebelum menyatakan
pendapatnya seputar hukum menikahi orang musyrik. Dalil yang dijadikan
sandaran adalah firman Allah SWT:
Artinya :”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Q.S. Al-
Baqarah ayat 221).
Mengenai firman Allah SWT : “dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”, Ali
bin Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Dalam hal ini, Allah SWT telah
mengharamkan untuk menikahi wanita-wanita musyrik.” Al-Jashash menukil
hadis yang diriwayatkan dari Ibn Umar yang mengatakan bahwa kata “Musyrik”
27
dalam surat al-Baqarah 221 masih bersifat umum, sehingga mencakup setiap
orang kafir dan ahlul kitab, baik itu wanita maupun laki-laki.1
Seperti firman Allah :
Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum
datang kepada mereka bukti yang nyata”. (Q.S. Al-Bayyinah : 1)
Ibn Umar ketika ditanya tentang menikahi wanita-wanita musyrik, Ibn
Umar menjawab bahwa Allah telah mengharamkannya, termasuk wanita Yahudi
dan Nasrani haram untuk dinikahi oleh orang muslim, ketika ia ditanya (tentang
keharamannya), kemudian Ibnu Umar menjawab bahwa ia tidak mengetahui dari
perbuatan syirik yang lebih besar daripada seseorang yang mengatakan bahwa
tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Allah.2 Al-Jashash menjelaskan
bahwa Indikasi dilarangnya pernikahan dengan wanita musyrik karena mereka
akan mengajak (orang yang menikahinya) ke neraka.
Firman Allah :
“Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu”. Al-Jashash menjelaskan bahwa memilih seorang
budak yang beriman lebih dianjurkan daripada seorang wanita musyrik yang
memiliki kelebihan dan derajat.
Al-Jashash mengutip pendapat as-Suddi mengatakan: “Ayat ini turun
berkenaan dengan Abdullah bin Rowahah yang mempunyai seorang budak wanita
berkulit hitam. Suatu ketika Abdullah bin Rowahah marah dan menamparnya, lalu
1 Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat, h. 15 2 Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat, h. 15.
28
ia merasa takut dan mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan peristiwa
yang terjadi di antara mereka berdua (Abdullah bin Rowahah dan budaknya).
Maka Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana budak itu?” Abdullah bin Rowahah
menjawab: “Ia berpuasa, shalat, berwudhu’ dengan sebaik-baiknya, dan
mengucapkan syahadat bahwa tidak ada illah yang berhak disembah selain Allah
SWT dan engkau adalah Rasul-Nya.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Wahai
Abu Abdullah, wanita itu adalah mukminah.” Abdullah bin Rowahah
mengatakan: “Demi Allah yang mengutusmu dengan hak, aku akan
memerdekakan dan menikahinya.” Setelah itu Abdullah pun melakukan
sumpahnya itu, maka beberapa orang dari kalangan kaum Muslimin mencelanya
serta berujar: “Apakah ia menikahi budaknya sendiri?” Padahal kebiasaan mereka
menikah dengan orang-orang musyrikin atau menikahkan anak-anak mereka
dengan orang-orang musyrikin, karena menginginkan kemuliaan leluhur mereka.
Maka Allah SWT menurunkan ayat ىة ة ة ؤ ة مه م ؤ ة ة ة ة ة ؤ ة ؤ ة ة ؤ ة ؤ ة ة م ؤ ة ة ة
“Seungguhnya wanita budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita musrik,
walaupun ia menarik hatimu”.3
Firman Allah SWT : “dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman”. Al-Jashash menjelaskan bahwa wanita musyrik dan
laki-laki musyrik haram untuk dinikahi, karena ajakan mereka ke neraka menjadi
alasan tegas diharamkannya menikah dengan mereka.4
3 Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat, h. 17; lihat pula Ibn Katsir, Lubab at-Tafsir min
Ibni Katsir, Alih Bahasa M. Abdu al-Ghofar E.M, cet. ke-1 (Jakarta, Pustaka Imam al-Syafi’i,
2009), jilid I, hlm. 427. 4 Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat, h. 18.
29
Didalam kitab fiqih madzhab Hanbali disebutkan juga bahwa tidak ada
perbedaan pendapat dalam pelarangan seorang wanita muslimah yang menikah
dengan seorang laki-laki musyrik/kafir.
ال تى ح ا ا م ه ح ى ) ال يحل مسلم و بح بف بحبل ق ل هللا تعب ى
(ي ى ا . ال وعل الفب في ذ ك (ال هه حل ه ) ق ه س حبوه
Artinya : “tidak dihalalkan bagi wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir,
karena ayat larangan ini [dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.] dan juga ayat ini
[mereka (wanita-wanita Muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka], dan kami tidak mengetahui
adanya perbedaan tentang ini diantara ulama”5
Imam Al-Kasai dari kalangan ulama Madzhab Hanafi, menegaskan
larangannya bagi wanita Muslimah dilarang untuk menikah dengan laki-laki
musyrik. Beliau berkata:
ب ةى بفة ة ةقة ؤ ةهة تةعة ىة ة ا ؤ ة ىة ا }فةالة ية ة زة إوؤ ةبحة ا ؤمة ؤ ة الة تةىؤ ةحة ا ا ؤمة ؤ ة ة هة ح ى ية ؤ ة } ة
“dilarang menikahkan wanita Muslimah kepada laki-laki kafir, karena ayat
larangan ini [dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.”
ية ة بةقة ؤ ةهة ز جل ةئةكة يةدؤ ة نة إ ةى ا ىبرة }في آ ة ة الؤىةبتة { ة ةوهة ؤ يةدؤ ة نة ا ؤمة ؤ ة ة
ةن ا ؤ ة ؤ ة ية جة ة ا ىبرة باة إ ةى ا ىبرة ة باة إ ةى ا ؤ ة ؤ ة ة ة ا دم ة إ ةى ا ؤ ة ؤ ة ة
“diakhir ayat, Allah mengatakan: [mereka (orang kafir) mengajak ke neraka],
karena mereka mengajakan untuk menjadi kafir. Dan ajakan menjadi kafir ialah
ajakan menuju neraka. Karena orang kafir telah pasti untuk mereka adalah
neraka.”6
Firman Allah SWT : “mereka (orang musyrik)
mengajak ke neraka”. Menurut al-Jashash menikahi wanita musyrik diawal
Islam tidak dilarang oleh al-Qur’an, sampai turunnya ayat
5 Kitab Al-Syarhu Al-Kabir Juz 7, h.507 6 Imam al-Kasa’i, Bada’iu Al-Shona’i, juz 2, h. 271
30
pengharaman ayat ini karena adanya ajakan orang
musyrik kepada kita agar terjatuh ke neraka menunjukkan bahwa makna ayat ini
menjadi illat7 diharamkannya menikahi wanita dan laki-laki musyrik.
al-Jashash menambahkan pula bahwa kebolehan untuk menikahi wanita
musyrik di awal Islam, tidak ada illat yang mengharamkan pernikahan tersebut,
namun layak diingat bahwa potongan ayat berikutnya (Al-Baqarah : 221) Allah
telah berfirman dalam redaksi yang sama untuk mengharamkan menikahi wanita
musyrik tersebut, karena dikhawatirkan bahwa wanita musyrik tersebut akan
mengajak ke neraka. “mereka mengajak ke neraka”
ajakan mereka untuk masuk ke neraka menjadi penegas bahaya laki-laki muslim
menikahi wanita musyrik.8
Al-Jashash menegaskan bahwa diantara larangan menikah dengan orang
musyrik adalah kekhawatiran terjadinya hubungan yang kurang harmonis dengan
orang musyrik, sebab tujuan pernikahan adalah mengharuskan adanya mawadah
sebagaimana firman Allah :
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”.(Q.S. Al-Ruum : 21)
7 Illat : dasar untuk menetapkan hukum 8 Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat, h. 18.
31
Maka ketika ada pemberitaan bahwa tujuan pernikahan itu menjadi sebab
mawaddah wa rahmah maka Rasulullah saw pun mencegah menikahi dengan
wanita musyrik, dan Rasulullah membencinya.9 Hal ini sebagaimana firman Allah
SWT :
Artinya: “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau
Saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang
Telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan10
yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.
Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan
rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya
hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (Q.S. Al-Mujadillah : 22)
Hal ini karena mereka (orang musyrik) dan kita (muslim) berada pada
keyakinan yang berseberangan, dan seandainya terjadi perkawinan maka anak-
anaknya kelak akan tumbuh dalam kondisi pertengkaran yang terjadi dalam
keluarganya dan hal ini pula akan mempengaruhi akhlak mereka yang setiap
harinya selalu berada dalam kondisi pertengkaran. Dan disini kita dapat
mengatakan bahwa menikahi wanita musyrik tentu dilarang dan dibenci oleh
9 Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat, h. 18 10 yang dimaksud dengan pertolongan ialah kemauan bathin, kebersihan hati, kemenangan
terhadap musuh dan lain lain.
32
Rasulullah saw, karena anak-anak mereka yang lahir karena pernikahan tersebut
pasti cenderung akan mengikuti dan mencontoh perilaku ibunya yang musyrik.
Itu sebabnya Rasulullah saw bersabda :
لة ة يةقة ة بة ؤهة ة ؤهة ة ا ؤمة ؤ ة ة هة سؤ هؤ ةلم ة ةوةب بة ة اة ة
Artinya : “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang bertempat tinggal di tengah-
tengah kaum musyrikin.”11
Setelah penulis lihat dari riwayat-riwayat yang telah al-jashash paparkan
diatas, maka penulis dapat menarik garis besar bahwa al-Jashash mengharamkan
menikahi orang musyrik karena mengikuti pendapat Ibn Umar diawal tulisan ini12
dan sebab-sebab lain yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu bahwa
“mereka mengajak ke neraka”, serta hal ini dikarenakan
hilangnya sifat mawaddah dalam rumah tangga karena kekhawatiran akan
terjadinya hubungan yang kurang harmonis bila kita sampai menikah dengan
musyrik karena faktor perbedaan keyakinan dan nantinya pasti akan berdampak
pula kepada kondisi psikis, pertumbuhan dan perkembangan anak yang
dibesarkan dalam kondisi yang selalu menyaksikan pertengkaran rumah tangga
ibu dan bapaknya, istilah seperti ini sering disebut dengan “Broken home”.13
11 Sebagai ungkapan bahwa orang mukmin itu harusnya berbeda dengan orang kafir, atau
tempat orang mukmin itu tidaklah bisa disamakan dengan tempatnya orang kafir. Hal ini seperti
dinukilkan dari Al-Khaththaby dalam “Tuhfah Al-Ahwadzy; Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no.
1604, Ath-Thabrany no. 2261, 2262, Al-Baihaqy dalam “Asy-Syu’ab” no. 9374 secara makna, dan
juga dalam “As-Sunan” (9/12-13). Dan ini hadits yang hasan. 12 Lihat fote note no 2, h. 25. 13 Hal ini telah Allah SWT sampaikan pula dalam al-Qur’an surat al-Mujadillah ayat 22
33
B. Penafsiran al-Qurtubi terhadap surat al-Baqarah : 221
Dalam menafsirkan tentang pernikahan dengan orang musyrik, al-Qurtubi
banyak menukil pendapat ulama sebelum menyatakan pendapatnya tetang hukum
menikahi orang musyrik. Dalil yang dijadikan sandaran adalah firman Allah
SWT:
Artinya :”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Q.S. Al-
Baqarah ayat 221)
Konteks ayat ini diturunkan pada Abu Mirtsad Al-Ghanawi. Menurut satu
pendapat, ayat ini diturunkan kepada Mitsad bin Abu Mirtsad, Dia memiliki nama
Kanaz bin Husain al-Ghanawi. Dia diutus oleh Rasulullah saw secara rahasia
untuk berangkat ke Makkah guna membebaskan dua orang sahabatnya, sementara
di Makkah dia mempunya seorang istri yang dicintainya pada masa jahiliyah.
Wanita itu bernama Anaq. Mendengar kedatangan Mirtsad ke Makkah, maka
Anaq kemudian mendatanginya, dan Mirtsad berkata kepadanya, “sesungguhnya
islam mengharamkan apa yang telah terjadi pada masa jahiliyah”, Anaq menjawab
“maka kawinilah aku!” Mirtsad berkata “ aku akan meminta izin terlebih dahulu
34
kepada Rasulullah saw”. Mirtsad kemudian mendatangi Rasulullah dan meminta
izin kepada beliau, namun beliau melarangnya menikahi Anaq, sebab dia adalah
seorang pria muslim sedangkan Anaq adalah seorang wanita musyrik.14
Al-Qurtubi menjelaskan tentang firman Allah SWT:
ه الة تةىة حة اؤ اة ؤمة ؤ ة ة ة حة ىة ية ؤ ة Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita“ ة
musyrik, sebelum mereka beriman”, yang dimaksud dengan wanita-wanita yang
musyrik tersebut adalah wanita-wanita penyembah berhala dan wanita-wanita
yang beragama Majusi, hal ini dinukil dari pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i,
Abu Hanifah, Al Auza’i, yang melarang menikah dengan wanita majusi,
sedangkan Ibnu Hanbal berkata, “Hal itu tidak menarik untukku”. Diriwayatkan
bahwa Hudzaifah bin Al Yaman pernah menikahi seorang wanita Majusi, lalu
Umar berkata kepadanya, “Ceraikan dia!”.15
Al-Qurtubi menukil pendapat Ibnu Athiyah yang mengatakan “Ibnu Abbas
berkata pada sebagian keterangan yang diriwayatkan darinya, “sesungguhnya ayat
ini (al-Baqarah : 221) adalah umum (sehingga mencakup) setiap wanita
penyembah berhala, wanita majusi dan wanita ahlul kitab. Setiap wanita yang
memeluk agama selain agam Islam adalah musyrik.16
Adapun perkataan Ibnu
Umar dalam al-Muwatha’ “aku tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar
daripada seorang wanita yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa”. Senada
dengan hal ini seperti apa yang diriwayatkan dari Umar bahwa dia memisahkan
Thalhah bin Ubaidillah dengan istrinya, dan Hudzaifah bin al-Yaman dengan
istrinya. Keduanya berkata “kami akan menjatuhkan talak wahai Amirul
14 Asbab al-Nuzul, karya An-Naisaburi, h. 49-50. 15 Syaikh Imam al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, h. 151 16 Tafsir Ibnu Athiyah juz 2, h. 246
35
Mu’minin, dan janganlah engkau marah, Umar berkata “seandainya talak kalian
dibolehkan, niscaya nikah kalian pun dibolehkan, akan tetapi aku akan
memisahkan kalian secara paksa”.17
Riwayat lain yang sanadnya lebih baik dari riwayat tersebut menyatakan
bahwa Umar hendak memisahkan mereka dari istri-istrinya, lalu Hudzaifah
berkata “apakah engkau menganggap bahwa dia haram? Maka pisahkanlah dia
wahai Amirul Mu’minin. Umar menjawab “aku tidak menganggap bahwa dia
haram, akan tetapi aku takut kalian mendapatkan wanita-wanita pezina dari
kalangan mereka”.18
Pendapat yang senada dengan ini juga diriwayatkan dari Ibnu
Abbas.
Al-Qurtubi menambahkan bahwa An-Nuhas mengatakan, “diantara hujjah
yang sah sanadnya, diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin Rayyan, dia
berkata “al-Laits menceritakan kepada kami dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar
jika ditanya tentang seorang laki-laki yang akan menikahi wanita Nasrani atau
Yahudi, maka dia menjawab, Allah telah mengharamkan wanita musyrik kepada
orang-orang yang beriman, sementara aku tidak mengetahui suatu kemusyrikan
yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan bahwa tuhannya
adalah Isa, atau salah satu dari hamba-hamba Allah”.19
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa alasan pengharaman tersebut telah
diterangkan Allah dalam ayat setelahnya, yaitu : ؤ ةئةكة يةدؤ ة نة إة ةى ا ىبرة Mereka“ ة
mengajak ke neraka,“dimana ajakan ke neraka dijadikan sebagai alasan hukum
17 Ibnu Katsir juga berkata, “Atsar ini gharib dari Umar”, lihat tafsir Ibnu Katsir, Juz 1, h.
386. 18 Ungkapan Umar ini sangat indah dan menunjukkan kecerdasan dan kejeniusannya.
Ungkapan ini perlu dipraktikan di masa sekarang ini, sebab sepantasnya seorang muslim menikahi
muslimah dan tidak menikahi wanita yang tidak memeluk agama islam 19 Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, terj. Fathurrahman, Tafsir al-Qurtubi , 142.
36
diharamkan menikahi mereka, maka jawabannya adalah hal tersebut (mengajak ke
neraka) merupakan jawaban untuk firman Allah:
“Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik”, sebab orang yang musyrik itu mengajak
ke neraka. Alasan hukum ini berlaku pula untuk orang-orang kafir.20
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa ketika ada pilihan antara wanita musyrik
dengan wanita budak mukmin maka diharuskan untuk memilih wanita budak
mukmin, sebagaimana firman Allah ta’ala :
“Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik”.
Firman Allah ini merupakan penegas bahwa budak perempuan beriman lebih baik
daripada seorang wanita musyrik, meskipun wanita musyrik itu mempunyai
kedudukan dan kekayaan, “Walaupun dia menarik hatimu”.
Ayat ini diturunkan tentang khansa, Ibu Sauda budak perempuan
Khuzaifah bin al-Yaman. Hudzaifah berkata kepadanya, “Wahai Khansa,
sesungguhnya engkau telah disebutkan di Al-Mala al-A’la meskipun engkau
hitam dan legam. Allah juga menurunkan namamu didalam-Nya”. Hudzaifah
kemudian memerdekakan dan mengawininya.21
Dalam riwayat yang dikemukakan As-Suddi berkata, “ayat ini diturunkan
tentang Abdullah bin Rawahah, dia mempunyai seorang budak perempuan yang
pernah ditamparnya saat sedang marah, namun kemudian dia menyesal. Dia
datang kepada Nabi SAW dan memberitahukan hal itu kepada beliau. Beliau
bertanya “siapa dia wahai Abdullah?” Abdullah menjawab, “dia adalah seorang
20 Syaikh Imam al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, h. 146 21 Syaikh Imam al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, h. 147
37
budak yang berpuasa, shalat dan menyempurnakan wudhunya dan mengucapkan
dua kalimat syahadat, Rasulullah Saw bersabda : “wanita itu adalah wanita yang
beriman.22
Ibnu Rawahah berkata : “sesungguhnya aku benar-benar akan
memerdekakannya dan menikahinya”, dia kemudian melakukan hal itu.
Setelah melihat dari riwayat-riwayat yang dipaparkan al-Qurthubi, maka
penulis menarik garis besar bahwa haram menikah dengan wanita musyrik, karena
mengikuti pendapat dari Ibnu Umar.23
al-Qurthubi pun menjelaskan dengan Surat
al-Baqarah ayat 221 yang menegaskan bahwa lebih baik menikahi wanita budak
yang mukmin daripada wanita musyrik merdeka meskipun mereka menarik
perhatianmu. Alasan pengharaman tersebut telah diterangkan Allah dalam ayat
setelahnya, yaitu : ؤ ةئةكة يةدؤ ة نة إة ةى ا ىبرة Mereka mengajak ke neraka,“dimana“ ة
ajakan mereka ke neraka penjadi penegas diharamkannya pernikahan tersebut.24
Setelah penulis membahas pandangan al-Jashash tentang menikahi
perempuan-perempuan musyrik, al-Jashash berpegang teguh pada riwayat Ibn
Umar yang mengatakan bahwa ia tidak mengetahui dari perbuatan syirik yang
lebih besar daripada seseorang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa atau
salah satu dari hamba Allah, dan diakhir ayat itu ditutup dengan firman Allah
yang menyatakan bahwa mereka mengajak ke neraka.
22 Hadis ini dicantumkan oleh Ibnu katsir dalam tafsirnya, Juz 1, h. 258. Lihat asbab an-
Nuzul karya al-Wahidi, h. 50. 23 Lihat h. 33, fote note no. 19 24 Syaikh Imam al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, h. 146
38
Disamping itu kekhawatiran beberapa ulama akan adanya
ketidakharmonisan perkawinan antara dua orang yang berbeda keyakinan maka
al-Jashash menurut penilaian penulis condong untuk mengharamkan pernikahan
dengan orang musyrik. Ternyata pendapat al-Jashash juga diikuti oleh al-Qurtubi
(ulama yang datang belakangan), karena beliau juga berpegang pada riwayat yang
sama yaitu Ibn Umar.
39
BAB IV
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PENAFSIRAN AL-JASHASH DAN
AL-QURTUBI TERHADAP SURAT AL-BAQARAH : 221
A. Pemaknaan Musyrik
Musyrik adalah orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu, baik
dengan menyembah benda-benda maupun menyembah Allah sambil menyembah
benda-benda. Jadi menurut mereka umat Yahudi dan Nasrani termasuk ke dalam
golongan musyrik, karena umat Yahudi mengatakan Uzair putra Allah dan umat
Nasrani mengatakan bahwa Isa putra Allah dan juga agama-agama lain seperti
Hindu, Budha, Konghucu dan lain-lain adalah musyrik. Sehingga umat Islam
diharamkan menikahinya.
Artinya : “(30). Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan
orang-orang Nasrani berkata: "Al masih itu putera Allah". Demikianlah itu
Ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang
kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai
berpaling?, (31). Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka sebagai Tuhan selain Allah1 dan (juga mereka mempertuhankan) Al
masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang
Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan”. (Q.S. At-Taubah : 30-31)
1 Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka
dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat
atau menghalalkan yang haram.
40
Ada pula ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan musyrik
adalah orang-orang Arab yang bukan ahlul kitab, jadi menurut mereka Yahudi dan
Nasrani boleh untuk dinikahi karena termasuk dalam ahlul kitab. Begitu juga
agama Hindu, Budha, Konghucu boleh dinikahi, karena menurut mereka agama-
agam tersebut juga memiliki kitab suci dan mereka yakin bahwa agama-agama
tersebut dibawa oleh nabi utusan Allah.
Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, bahwa musyrik yang dilarang untuk
dikawini itu ialah musyrik dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu
turunnya Al-Qur‟an memang tidak mengenal kitab suci dan menyembah berhala.
Maka menurut pendapat ini seorang muslim boleh menikah dengan wanita
musyrik dari bangsa non-Arab, seperti Cina, India dan Jepang, yang diduga
dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci. Muhammad Abduh juga
sependapat dengan ini.2 Beberapa pakar tafsir, seperti Thabathaba'i dan Rasyid
Ridha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-musyrikun dalam Al-
Qur'an adalah penyembah berhala yang ketika itu bertempat tinggal di Makkah.
Ibnu Katsir dalam tafsir al-Qur’an al-azim meriwayatkan bahwa Abu
Abdillah Ibn Hanbal pernah ditanya tentang siapa sebenarnya yang dimaksdukan
dengan musyrikat dalam ayat tersebut. Ibnu Hanbal menjawab bahwa yang
dimaksud dengan musyrik dalam ayat itu adalah perempuan-perempuan musyrik
Arab yang menyembah patung,3 Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa
walaupun penyebutan musyrik diungkapkan dengan menggunakan kalimat yang
umum, namun ia memiliki pengertian yang khusus yaitu perempuan-perempuan
2 Ibnu Jarir Al-Thabari, Tafsir Al-Manar, jilid VI, h. 193.
3 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikri, t.th), h. 242.
41
musyrik Arab.4 Ali As-Sabuni berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
perempuan musyrik adalah perempuan yang menyembah berhala dan perempuan
yang tidak mempunyai agama samawi.5
Al-Jashash menukil hadis yang diriwayatkan dari Ibn Umar yang
mengatakan bahwa kata “Musyrikat” dalam surat al-Baqarah 221 masih bersifat
umum, sehingga mencakup setiap wanita kafir dan wanita ahlul kitab. Ibn Umar
ketika ditanya tentang menikahi wanita-wanita musyrik, Ibn Umar menjawab
bahwa Allah telah mengharamkannya, termasuk wanita Yahudi dan Nasrani
haram untuk dinikahi oleh orang muslim, ketika ia ditanya (tentang
keharamannya),6 kemudian Ibnu Umar menjawab bahwa ia tidak mengetahui dari
perbuatan syirik yang lebih besar daripada seseorang yang mengatakan bahwa
tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Allah.7
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita
yang musyrik adalah wanita-wanita penyembah berhala dan wanita-wanita yang
beragama Majusi, hal ini dinukil dari pendapat Imam Malik, Asy-Syafi‟i, Abu
Hanifah, Al Auza‟i, yang melarang menikah dengan wanita majusi.8
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa kedua ayat tersebut (maksudnya ayat
dalam surah Al Baqarah ini dan ayat dalam surah Al Maa‟idah), sesungguhnya
tidak ada pertentangan di antara keduanya. Sebab zhahirnya lafazh syirik itu tidak
mencakup Ahlul kitab. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT:
4 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an al-Hakim, (Beirut: Darul al-Kutub, 1999),
h. 212. 5 Ali As-Sabuni, Rawai’ Al-Bayan, (Dimsyiq: Maktabah al-Ghazali, 1980), h. 282. 6 Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat, h. 15 7 Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat, h. 15. 8 Syaikh Imam al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, h. 151
42
Artinya: “Orang-orang kafir dari ahlul kitab dan orang-orang musyrik tiada
menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan
Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya
(kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar”.(Q.S Al-Baqarah ayat
105)
Senada dengan hal itu pula sebagaimana yang telah difirmankan Allah
SWT :
Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahlul kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum
datang kepada mereka bukti yang nyata,” (Q.S Al-Bayyinah: 1)
B. Hukum Menikahi Orang Musyrik
Didalam al-Qur‟an memang terdapat penjelasan tentang kebolehan
menikah dengan ahlul kitab, yaitu dalam surat al-Maidah ayat 5, disisi lain
sebagian ulama juga mengharamkan, karena menurut mereka ahlul kitab masa
sekarang tidak sama dengan ahlul kitab masa dahulu, ahlul kitab yang sekarang
sudah musyrik, sehingga tidak boleh dinikahi, sedangkan menikah dengan orang
musyrik jelas-jelas diharamkan
Umat Yahudi mengatakan Uzair putra Allah dan umat Nasrani
mengatakan bahwa Isa putra Allah. (Q.S al-Taubah : 30-31), dan juga agama-
agama lain seperti Hindu, budha, Konghuchu dan lain-lain adalah musyrik.
Sehingga umat Islam diharamkan menikahinya.
Ulama yang setuju berpendapat bahwa yang dimaksud dengan musyrik
adalah orang-orang Arab yang bukan ahlul kitab, jadi menurut mereka Yahudi dan
43
Nasrani boleh untuk dinikahi karena termasuk dalam ahlul kitab. Begitu juga
agama Hindu, Budha, Konghucu boleh dinikahi, karena menurut mereka agama-
agam tersebut juga memiliki kitab suci dan mereka yakin bahwa agama-agama
tersebut dibawa oleh nabi utusan Allah.
Al-Jashash menegaskan bahwa diantara larangan menikah dengan wanita
musyrikat adalah kekhawatiran terjadinya hubungan yang kurang harmonis antara
kaum muslim dan non muslim termasuk wanita-wanita musyrikat dan ahlul kitab,
sebab tujuan pernikahan adalah mengharuskan adanya mawadah9 sebagaimana
firman Allah :
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”.(Q.S. Al-Ruum : 21)
Al-Qurtubi menambahkan bahwa An-Nuhas mengatakan, “diantara hujjah
yang sah sanadnya, diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin Rayyan, dia
berkata “al-Laits menceritakan kepada kami dari Nafi‟, bahwa Abdullah bin Umar
jika ditanya tentang seorang laki-laki yang akan menikahi wanita Nasrani atau
Yahudi, maka dia menjawab, Allah telah mengharamkan wanita musyrik kepada
orang-orang yang beriman, sementara aku tidak mengetahui suatu kemusyrikan
9 Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat, h. 18
44
yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan bahwa tuhannya
adalah Isa, atau salah satu dari hamba-hamba Allah”.10
Imam Syafi‟i, ketika mengomentari ayat 10 surat Al-Mumtahanah
menjelaskan juga bahwa sudah tidak ada lagi pendapat yang menyelisihi. Semua
sepakat bahwa Muslimah tidak dihalalkan bagi laki-laki kafir. Beliau berkata:
بذبل ونى يختهف ه نى يبخ واددة ي ؤيي عس وجم عهى انكفبر سبء ان و للا فذر
أهم انعهى في ذنك
Artinya: “Maka Allah Subhanahu Wata’ala mengharamkan wanita-wanita
Muslimah bagi orang-orang kafir (laki-laki) dan sama sekali tidak membolehkan
walaupun satu orang dari wnaita-wanita Muslimah apapun alasannya. Dan tidak
ada sama sekali perbedaan pendapat antara ulama dalam hal ini”.11
Imam Al-Kasaini dari kalangan ulama Madzhab Hanafi, juga mengutip
pendapat yang sama, bahwa jelas larangannya bagi kaum wanita Muslimah
dilarang menikah dengan laki-laki musyrik. Beliau berkata:
ؤيت انكبفر نقىنه تعبنى كبح ان دتى يؤيىا }فل يجىز إ شركي كذىا ان ول ت
Artinya: “dilarang menikahkan wanita Muslimah kepada laki-laki non-Muslim,
karena ayat larangan ini [dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.”
إنى انبر }في آخر اليت بقىنه عس وجم ؤيبث إنى انكفر {أونئك يدعى ان لهى يدعى
انكفر يىج انبر عبء إنى انكفر عبءء إنى انبر ل واندد
Artinya: “diakhir ayat, Allah mengatakan: [mereka (orang kafir) mengajak ke
neraka], karena mereka mengajakan untuk menjadi kafir. Dan ajakan menjadi
kafir ialah ajakan menuju neraka. Karena orang kafir telah pasti untuk mereka
adalah neraka”.12
10 Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, terj. Fathurrahman, Tafsir al-Qurtubi , 142. 11 Imam Syafi’I, Kitab al-Umm, Jilid 5, h. 153. 12 Imam al-Kasani, Kitab Bada’i Al-Shana’i, juz 2, h.271
45
Dalam kitab fiqih mazdhab Hanbali disebutkan juga bahwa tidak ada
perbedaan pendapat antara ulama dalam pelarangan seorang wanita Muslimah
yang menikah dengan seorang laki-laki kafir/musyrik. Beliau berkata:
( ول تكذىا انشركي دتى يؤيىا)نقىل للا تعبنى (ول يذم نسهت كبح كبفر بذبل
ول عهى خلفب في ذنك (ل ه دم نهى)ونقىنه سبذبه .
Artinya: “tidak dihalalkan bagi wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-
Muslim, karena ayat larangan ini [dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.] dan juga
ayat ini [mereka (wanita-wanita Muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu
dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka], dan kami tidak
mengetahui adanya perbedaan tentang ini diantara ulama”.13
Jadi jelas bahwa larangan bagi wanita Muslimah untuk menikah dengan
laki-laki musyrik itu sudah menjadi Ijma‟ yang tidak bisa diperselisihkan lagi.
Dan memang samapai sekarang juga tidak ada satu pun ulama yang menyelesihi
itu.
C. Keterkaitan Surat al-Baqarah : 221 dengan Surat Al-Maidah : 5
Pengharaman menikahi yang dikandung ayat
hanya terbatas pada perempuan-perempuan penyembah berhala dari
kelompok orang-orang musyrik, sebab bila pengharaman ini diumumkan sehingga
termasuk ahlul kitab tentu akan bertentangan dengan firman Allah :
Artinya : “(dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu,” (al-Maidah : 5)
Padahal tidak ada nasakh pada 2 ayat ini sehingga kedua ayat tersebut hukumnya
13 Ahmad Ibn Hambal, Al-Syarhu Al-Kabir, Juz 7, h. 507
46
tetap berlaku, pemahaman yang diperoleh dari kata adalah
perempuan yang sudah masuk Islam.14
Hal ini sejalan dengan firman Allah :
Artinya: “Mereka itu tidak sama; di antara ahlul kitab itu ada golongan
yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di
malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang)”. (Q.S. Al-Imran : 113)
Para ulama berbeda pendapat tentang takwil ayat ini. Sekelompok ulama
mengatakan bahwa Allah telah mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrik
dalam surat al-Baqarah, kemudian wanita-wanita musyrik tersebut dinasakh (yaitu
wanita-wanita ahlul kitab), dimana Allah telah menghalalkan mereka dalam surat
al-Maidah ayat 5. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Pendapat ini pun
dikemukakan oleh Malik bin Anas, Sufyan bin Sa‟id Ats-Tsauri dan
Abdurrahman bin Amru al-Auza‟i.15
Al-Qurtubi pun menukil pendapat Ishak bin Ibrahim al-Harabi yang
mengatakan bahwa “sekelompok orang berpendapat untuk menjadikan ayat 221
dalam surat al-Baqarah sebagai ayat yang menasakh (menghapus), sedangkan ayat
dalam surat al-Maidah sebagai ayat yang dinasakh (dihapus). Mereka
mengharamkan menikahi setiap wanita musyrik, baik ahlul kitab maupun selain
ahlul kitab”.16
14 Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat, h. 17. 15
Pendapat yang benar dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan tidak adanya
nasakh. Sebab ayat dalam surat al-Baqarah itu bersifat umum, dimana ayat yang umum ini
kemudian ditakhshish (dikhususkan) oleh dalam surat al-Maidah ayat 5. 16 Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, terj. Fathurrahman, Tafsir al-Qurtubi,
(Jakarta: Pustaka Azam, 2007), 142.
47
An-Nuhas berkata “pendapat ini berbeda dengan pendapat segolongan
orang yang ditopang oleh Hujjah. Sebab ada segolongan orang dari kalangan
sahabat maupun thabi‟in yang menyatakan bahwa menikahi wanita ahlul kitab
adalah halal. Diantara orang-orang yang mengemukakan pendapat ini adalah
Utsman, Thalhah, Ibnu Abbas, Jabir dan Huzaifah, sedangkan dari kalangan
thabi‟in adalah Sa‟id bin al-Musayyab, Sa‟id bin Jubair, al-Hasan, Mujahid,
Thawus, Ikrimah, Asy-Sya‟bi dan Adh-Dhahak. Para fuqaha dari berbagai daerah
juga menganut pendapat ini, selain itu ayat dalam surat al-Baqarah ini tidak dapat
menasakh ayat dalam surat al-Maidah, sebab ayat dalam surat al-Baqarah ini
merupakan hal pertama yang diturunkan di Madinah, sedangkan ayat dalam surat
al-Maidah adalah hal yang terakhir yang diturunkan di Madinah. Ayat yang
pertama turun tidak dapat menasakh ayat yang terakhir turun.17
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa kedua ayat tersebut (maksudnya ayat
dalam surah Al Baqarah ini dan ayat dalam surah Al Maa‟idah), sesungguhnya
tidak ada pertentangan di antara keduanya. Sebab zhahirnya lafazh syirik itu tidak
mencakup Ahlul kitab. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT:
Artinya: “Orang-orang kafir dari ahlul kitab dan orang-orang musyrik tiada
menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan
Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya
(kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar”.(Q.S Al-Baqarah ayat
105)
Senada dengan hal itu pula sebagaimana yang telah difirmankan Allah
SWT :
17 Syaikh Imam al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Terj. Fahrurrahman, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007, h. 143
48
Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahlul kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum
datang kepada mereka bukti yang nyata,” (Q.S Al-Bayyinah: 1)
Dalam ayat ini al-Qurtubi melihat bahwa Allah telah membedakan lafadz
diantara mereka (kafir dan ahlul kitab), sedangkan (Athaf kata sambung wau/dan)
itu menunjukkan adanya perbedaan antara ma’thuuf (yang menyambung) dan
ma’thuufalaih (yang disambung). Selain itu, kata syirik adalah umum, dan bukan
nash.18
Meskipun demikian, al-Qurtubi menjelaskan bahwa ada pula diantara ahlul
kitab yang dapat dinikahi, seperti yang diterangkan dalam firman Allah SWT:
Artinya : “(dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu”, (Qs. Al-Maa‟idah : 5),
tetapi penekanannya disini adalah kebolehan menikahi orang-orang yang
diberikan al-Kitab tersebut setelah mereka masuk Islam.
Seperti firman Allah:
Artinya: “Dan sesungguhnya di antara ahlul kitab ada orang yang beriman
kepada Allah”,(Qs. Ali‟Imran : 199).
Dan senada dengan hal itu pula firman Allah SWT :
Artinya: “Diantara ahlul kitab itu ada golongan yang berlaku lurus”,(Qs.
Ali‟Imran : 113).19
18 Syaikh Imam al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, h.145 19 Syaikh Imam al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, h. 146
49
Al-Qurtubi menambahkan bahwa menikahi ahlul kitab, jika mereka adalah
orang-orang yang memerangi kaum muslim maka hal itu tidak dihalalkan. Hal ini
diambil dari riwayat Ibnu Abbas yang pernah ditanya akan hal itu, kemudian dia
menjawab “itu tidak halal”. Ibnu Abbas membaca firman Allah SWT :
Artinya : “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang
benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah20
dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk”.(At-Taubah : 29)
Kalau dilihat dari dua ayat di atas, berbeda konteks pemicaraan, yang
pertama pelarangan menikah dengan orang musyrik, sedangkan ayat yang kedua
kebolehan menikah dengan ahlul kitab, jelas bahwa dua ayat tersebut
membicarakan dalam objek yang berbeda. Bagi kalangan yang melarang
pernikahan beda agama biasanya menyamakan istilah musyrik, kafir dan ahlul
kitab, pada hal ketiganya memiliki makna dan pengertian yang berbeda, tetapi
tidak sedikit juga ulama yang membolekan melakukan pernikahan beda agama
dengan mengemukakan dalil dan argumennya masing-masing.21
Dalam kontek sekarang para mufassir mengemukakan ada 3 hal yang
menjadi penting dalam membahas pernikahan beda agama. Pertama, bahwa
20 Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah islam dari orang-orang yang
bukan islam, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka. 21
Tim Penulis Paramadina, Fiqh Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
(Jakarta: Paramadina, 2004), h. 43.
50
musyrik dalam surat al-Baqarah 221 adalah lafaz „am dan bisa ditakhsiskan
dengan ahlul kitab pada surat al-Maidah ayat 5. Ibnu Katsir dalam tafsirnya
mengutip pernyataan Ibn Abbas melalui Ali bin Abi Talhah bahwa perempuan-
perempuan ahlul kitab dikecualikan dari surat al-Baqarah 221,22
Sedangkan
Thabathaba‟i berpendapat bahwa pengharaman yang dimaksudkan dalam surat al-
Baqarah 221 hanyalah terbatas kepada orang-orang Watsani (para penyembah
berhala) sehingga tidak termasuk kedalamnya para ahlul kitab, pendapat ini
intinya menyatakan bahwa ahlul kitab termasuk dalam pngertian umum
musyrik.23
Kedua, bahwa al-Baqarah 221 bertentangan dengan al-Maidah 5,
sehingga menimbulkan hukum nasakh yang mana surat al-Baqarah 221 di nasakh
oleh al-Maidah 5, pada pendapat kedua ini mengandung pengertian bahwa
musyrik dan ahlul kitab adalah sama. Ketiga, sebahagian ulama mengambil illat
hukum pengharaman nikah dengan musyrik adalah karena bunyi akhir ayat
Yad’una ila al-Nar (karena mereka mengajak ke neraka). Pendapat ini sangat
dipandang sangat lemah, karena illatnya tidak logis dijadikan sebab, karena jika
demikian illatnya maka pengharaman tidak hanya kepada orang musyrik, tetapi
juga menikah dengan orang yang menyeru kepada kejahatan dari apapun jenis
agamanya baik dari islam ataupun agama lainnya.24
Dilihat dari aspek sejarah pengharamannya, Abdul Moqsith Ghazali
mengatakan bahwa disebabkan oleh dua hal yaitu : pertama, karena kaum musyrik
terus menerus menyerang islam sejak Nabi di Makkah bahkan sampai Nabi Hijrah
ke Madinah, karena itu dapat dipahami bahwa kaum muslim akan menghindari
22 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikri, t.th), h. 244. 23 Thabathaba‟i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Fikri, t.th), h. 153. 24 Ahmad Nurchalis, Ahmad Munib, Kado Cinta bagi Pasangan Nikah Beda Agama,
(Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 45.
51
pernikahan dengan kelompok yang selalu menyerangnya. Kedua, larangan
menikah dengan musyrik merupakan langkah strategis islam untuk menarik garis
pembeda antara lawan dan kawan.
Lebih lanjut Abdul Moqsith berkesimpulan bahwa pelarangan pernikahan
umat islam dengan orang-orang musyrik tersebut tidak selalu bersifat teologis,
tetapi yang lebih kuat bersifat politis pada saat ketegangan dan sandungan politisi
antara umat islam dan kaum musyrik itu sudah tidak ada, boleh jadi konsekuensi
logisnya hukum yang melarang umat islam menikah dengan orang musyrik itupun
bisa bergeser.25
Adapun pernikahan dengan ahlul kitab juga terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama tentang kemutlakan pengahalalan menikah dengan ahlul kitab
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Maidah 5. ada beberapa pendapat ulama,
Pertama, ulama Ibnu Abbas, Hanabilh, Sa‟id ibn Musayyab membolehkan
pernikahan dengan ahlul kitab, mereka mengatakan bahwa ayat tersebut
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah mencakup
keseluruhannya baik yang zimmi maupun yang harbi. Hanabilah membolehkan
menikah dengan ahlul kitab secara mutlaq dengan berpegang pada keumuman
surat al-Maidah 5. Ibnu Abbas tidak memutlakkannya. Menurutnya ayat tersebut
hanya meliputi ahlul kitab yang zimmi. al-Qurtubi berpendapat bahwa boleh
menikah perempuan ahlul kitab ketika dalam keadaan damai tidak dalam suasana
perang.
Kedua, „Atha‟ Ibnu Umar, Muhammad ibn Hanafiyah, Umar bin Khatab,
mengharamkan penikahan dengan ahlul kitab. „Atha ibn Umar berargumen bahwa
25 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al-
Qur’an, (Jakarta: Kata Kita, 2009), h. 315.
52
pembolehan menikah dengan ahlul kitab sebagaimana disebutkan dalam surat al-
Maidah 5 disebabkan karena pada saat itu jumlah perempuan muslim masih
sangat sedikit, sedangkan sekarang jumlah perempuan muslimah sudah sangat
banyak, sehingga tidak ada lagi kebutuhan menikah perempuan ahlul kitab.
kemudian umar juga pernah hendak mencambuk orang yang menikah dengan
perempuan ahlul kitab, beliau marah karena khawatir karena perbuatan menikah
dengan ahlul kitab akan diikuti oleh umat islam lainnya sehingga perempuan-
perempuan muslim tidak lagi menjadi pilihan untuk menikah.26
Beberapa kalangan ulama lainnya yang membolehkan pernikahan beda
agama, diantaranya Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa
Adillatuh, Ali Al-Sabhuni dalam tafsirnya Rawa‟I al-Bayan, Ibnu Katsir dalam
kitabnya Tafsir al-A‟dzam, Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan beberapa ulama
kontemporer lainnya serta beberapa pemikir di Indonesia seperti Siti Musdah
Mulia, Kautsar Azhari Nour dan Zainun Kamal.27
Mayoritas ulama tidak membolehkan perempuan muslim menikah dengan
laki-laki ahlul kitab berdasarkan dua alasan, Pertama, pada surat al-Maidah tidak
menjelaskan perempuan muslim boleh menikah dengan laki-laki ahlul kitab tetapi
yang disebutkan adalah sebalaiknya. Kedua, sifat perempun yang lemah sehingga
menjadikan perempuan mudah goyah dan terpengaruh dan dikhawatirkan
perempuan muslim akan berpindah agama kepada agama suami dan diindikasikan
bahwa keluarga tersebut akan terus melahirkan keturunan-keturunan kafir. Alasan
kedua ini menunjukan bahwa penikahan juga memiliki tujuan-tujuan politis.
26 Tim Penulis Paramadina, Fiqh Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis, Paramadina, Jakarta: 2004. hlm. 43. 27 Ahmad Nurchalis, Ahmad Munib, Kado Cinta bagi Pasangan Nikah Beda Agama,
(Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 47.
53
Perbedaan pendapat di atas dapat dimaklumi karena satu dalil yang sama belum
tentu menghasilkan hukum yang sama, karena berbedanya cara pandang, ideologi,
keberpihakan mempunyai pengaruh terhadap lahirnya tafsir. Satu hal yang perlu
untuk diperhatikan bahwa apaun jenis tafsirnya- membolehkan atau tidak yang
jelas pernikahan beda agama pernah terjadi dalam praktek kehidupan sosial umat
Islam pada zaman Nabi.
54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis menemukan
beberapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu :
Al-Jashash dan al-Qurtubi telah mengharamkan untuk menikahi wanita-
wanita musyrik”, karena ajakan mereka ke neraka menjadi alasan tegas
diharamkannya menikah dengan mereka. Hal ini karena mereka (orang musyrik)
dan kita (muslim) berada pada keyakinan yang berseberangan, dan seandainya
terjadi perkawinan maka anak-anaknya kelak akan tumbuh dalam kondisi
pertengkaran yang terjadi dalam keluarganya dan hal ini pula akan mempengaruhi
akhlak mereka yang setiap harinya selalu berada dalam kondisi pertengkaran.
Disini kita dapat mengatakan bahwa menikahi wanita musyrik tentu
dilarang dan dibenci oleh Rasulullah saw, karena anak-anak mereka yang lahir
karena pernikahan tersebut pasti cenderung akan mengikuti dan mencontoh
perilaku ibunya yang musyrik. Ketika ada pilihan antara wanita musyrik dengan
wanita budak mukmin maka diharuskan untuk memilih wanita budak
mukmin, meskipun wanita musyrik itu mempunyai kedudukan dan kekayaan,
disamping itu kekhawatiran beberapa ulama akan adanya ketidakharmonisan
perkawinan antara dua orang yang berbeda keyakinan menjadi alasan
diharamkannya pernikahan ini.
55
DAFTAR PUSTAKA
A.W Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Edisi ke 2, Cet XIV,
Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997.
Amin, Muhammad. Kualitas Asbab al-Nuzul dalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2007.
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Bulugh al-Maram, Surabaya: Nabhan, t.th.
Azra, Azyumardi. Sejarah ‘Ulum Al-Qur’an, t.tp: Pustaka firdaus, t.th.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, al-Usrah
wa Ahkamuha fi al-Tashri’ al-Islami, terjemahan fiqh munakahat,
Jakarta: Sinar Grafika Ofset, 2009.
Al-Baghawi. Ma’alim al-Tanzil, di-tahqiq oleh Muhammad Abdullah al-Namr,
cet 1, juz 1, Dar al-Taybah: 1997.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-qur’an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000.
Baidan, Nashruddin. Tafsir Maudhui bab Perkawinan Campuran, Cet I,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Dirbenpera
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.
1993.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Departemen Agama, 1993.
Eoh, O. S. Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
Al-Farmawi, Abd. Al-Hayy. Metode Tafsir Maudlu’iy, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996
Hamdani, M. Faisal. Nikah Mut’ah Analisis Perbandingan Antara Sunni dan
Syi’ah, cet. 1, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.
Hasan, M. Ali. Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, cet II, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1997.
Hasbi, Rusli. Rekontruksi Hukum Islam: Kajian Kritis Sahabat terhadap
Ketetapan Rasulullah saw, Jakarta: al-Irfan Publishing, 2007.
Hosen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Cet. I, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003.
56
Hosen, Ibrahim. Fiqih Perbandingan : Dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rujuk dan
Hukum Kewarisan, Jakarta: Perpustakaan Islam Yayasan Ihya
Ulumuddin Indonesia, 1971.
http://delapan208.wordpress.com/tag/nikah-muda/ diakses pada hari jum’at 12
Agustus 2014 pukul 18.55 WIB.
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/185877-kepala-bkkbn-desak-revisi-usia-
nikah, diakses pada hari jum’at 12 Agustus 2014 pukul 18.40 WIB.
Ichwan, M. Nur. Memasuki Dunia Al Qur’an, Semarang: Lubuk Raya, 2001.
‘Ali-Iyaziy, As-Sayyid Muhammad. Al Mufassiruun Hayatuhum wa Minhajuhum
wizarah as-saqafah wa Al-Irsyad Al Islamy, Teheran: tp, 1414 H.
Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat.
Al-Jaziri, Abdul Rahman. Kitab al-Fiqh ala Madhahib al-Arba’ah, jilid IV,
Beirut: Dar al-Fikr al-Ilmiyah, t.th.
Junaidi, Ahmad Arif. Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-qur’an, Semarang:
Gunung Jati, 2001.
Katsir, Ibn. Lubab at-Tafsir min Ibni Katsir, Terj. M. Abdu al-Ghofar E.M, jilid I,
cet. ke-1, Jakarta, Pustaka Imam al-Syafi’i, 2009.
Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Ma’arif, Muhammad Hadi. Sejarah al-Qur’an, Jakarta: Al-Huda, 2007.
Al-Mahali, Jalaluddin. Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Juz 1, Mesir: Darul
Hadits, t.th.
Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir
Tematik al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama,
Cet. I, Yogyakarta: Pustaka SM, 2000.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa al-. Tafsir al-Maraghi, Juz 2, Cairo: Mustafa al-Babi
al-Halabi, 1962.
Muchlas, Imam. Dr. H. MA. al-Qur’an Berbicara Kajian Kontekstual Beragam
Persoalan, Cet. I, Surabaya: Pustaka Progresif, 1996.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Madzhab, Cet. IV, Jakarta: Lentera
Barsitama, 1999.
Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Edisi ke 2, Cet XIV,
Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997.
57
Nazir, Muhammad. Metode Penelitian, Cet. III, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.
Pagar, Perkawinan Berbeda Agama : Wacana dan Pemikiran Hukum Islam
Indonesia, Bandung : Ciptapustaka media, 2006.
Al-Qardhâwî, Yûsuf. Berinteraksi dengan al-Qur’an, Cet. I, Jakarta: Gema Insani
Press, 1999.
Qardhawi, Yusuf. Al-Qur’an dan As-Sunnah Refensi Tertinggi Umat Islam;
Beberapa Kaidah dan Rambu dalam Menafsirkan, Jakarta: Rabbani
Press,1997.
Al-Qattan, Mannâ Khalîl. Mabâhits fî ˈUlûm al-Qur’ân, t.tp., Mansyurât al-‘Ashr
al-Hadîs, 1973.
Al-Qattan, Mannâ Khalîl. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Cet. X, Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2007.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, Cet. V, Jakarta: Litera Antara Nusa, 2000.
Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz I, Dar Al-Kutub Al-Misriyyah,
1967.
Al-Qurtubi. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, terj. Fathurrahman, Tafsir al-Qurtubi,
Jakarta: Pustaka Azam, 2007.
Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terj. As’ad Yasin, dkk, Jilid II Jakarta:
Gema Insani Press, 2000.
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000.
Rasjidi, M. Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen Jakarta:
Bulan Bintang, 1974
Rasyid, Rosiahan A. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Rajawali Press,
1991.
Ridha, Muh Rasyid. Tafsir al-Manar, Cairo: Dar al-Manar, 1367, Vol VI.
Sabiq, Sayyid. Fiqhus Sunnah, , Jilid 3, Cairo : Pena Publishing, 1994.
Al-Shabbaythi, Isham. et al-Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, Juz 5, al-
Qahirah: Dar al-Hadits, 1994.
Ash-Shabuni, M. ‘Ali. At-Tibyan fii ‘Ulum al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al-
Ghazali, 1991.
58
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Kitab Rawa’iu al-Bayyan tafsir Ayyati al-Ahkam,
Juz I.
Al-Shâlih, Shubhî. Mabâhits fi ‘Ulûmul al-Qur’ân, Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyîn,
1977.
Shihab, M. Quraish Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhi’I atas Perbagai
Persoalan Umat Bandung: Mizan, 1996.
Shihab, M. Quraish. Lentera al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung:
PT. Mizan Pustaka, 1994.
Shihab, M. Quraish. Sejarah dan ‘Ulûmul al-Qur’ân, Jakarta, Pustaka Firdaus,
1999.
Shihab, M.Quraish. Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
Singarimbun, Masri. dan Sofwan Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta:
LP3ES, 1989.
Soleh, H.E Hasan. Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, Cet, I, Jakarta:
Rajawali Pers, 2008.
Sosroatmojo, Arso. dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Suma, Moh. Amin. Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers, 2001
Asy-Sya’rawi, Mutawalli. Dosa Dosa Besar, Jakarta: gema insane press, 2000.
Syamsuri, Hasani Ahmad. Studi Ulum al-Qur’an, Cet. I, Jakarta: Zikra Press,
2009.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1992.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia.
Yuhdi, Masfuk. Masail Fiqhiyah, Cet. X, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997.
Zahabi, Muhammad Husain Al- Al Tafsir wa Al Mufassiruun, Mesir: Daar Al-
Maktabah Al-Harisah, 1976.
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam syafi’I, Jakarta: al-Mahira, 2010.
Zuhayli. Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid IX, Beirut: Dar al-Fikr,
1997.