skripsi diajukan kepada fakultas psikologi untuk memenuhi...
TRANSCRIPT
~7t/FS1 /f ·KONSELING PERKAWINAN DI BP4
KOTAMADYA JAKARTA SELATAN DALAM
MENANGANI KONFLIK SUAMI ISTRI
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Disusun Oleh:
Mira Humairoh NM: 10207002648
FAKUL TAS PSIKOLOGI
UIN SY ARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2007 rlll I 1428 H
KONSELING PERKAWINAN DI BP4 KOTAMADYA JAKARTA SELATAN
DALAM MENANGANI KONFLIK SUAMI ISTRI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Psikologi
Oleh:
Mira Humairoh NM: 10207002648
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I
~f~ Bambang Suryadi, Ph.D NIP. 150326891
FAKULTAS PSIKOLOGI
Pembimbing II
Gazj Saloom, M.Si
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2007 M / 1428 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul "Konseling Perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta
Selatan Dalam Menangani Konflik Suami lstri" telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 27 Februari 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Psikologi
Jakarta, 27 Februari 2007
SIDANG MUNAQASYAH
gkap Anggota
artati-M. Si 938
Penguji I
ah M.Si
Pembimbing I
f-Bambang S ryadi, Ph.D NIP: 150 326 891
Sekretariat Merangkap Anggota
Anggota
Penguji II
Ph.D
Pembimbing II
Gazi Saloom, M.Si
KATA PENGANTAR
~}I .;,A'" }I iJi1 ~
Al-Hamdu/illahi Rabb al-'Alamin, penulis panjatkan segala puja-puji syukur
hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala atas limpahan rahmat dan karunia
Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, kemudian semoga
shalawat dan salam hanya tercurah keharibaan junjungan agung nan mulia
Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya, berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini, secara pribadi penulis
mengucapkan terima kasih kepada segenap sivitas akademika Fakultas
Psikologi UIN Jakarta baik secara kelembagaan maupun perorangan.
Ucapan terima kasih terutama penulis sampaikan kepada:
1. !bu Ora. Netty Hartati, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Pembantu Dekan dan para dosen yang telah memberikan bimbingan
dan pengarahan selama dalam proses pembelajaran di Fakultas
Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Bapak Bambang Suryadi, Ph.D dan Gazy Saloom, M.Si, selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingannya, seh111gga skripsi
ini bisa diselesaikan dengan baik;
4. Ketua dan Staf BP4 Kotamadya Jakarta Selatan, para responden
konsultan perkawinan, bapak Ahmad Nasuha, ibu Endah Nina
Kurniasih dan ibu Asita R. lrisari atas kewdian waktu untuk
wawancara dan informasinya, sehingga 11kripsi ini dapat
diselesaikangan dengan baik;
5. Orang tuaku Umi Hj. Siti Maryam dan Baf)ak H. M. Nurdrn tercinta di
Cilebut Bogar atas do'a restunya baik spi<itual maupun material, teteh
Eni dan suami di Keradenan, teteh lin, adik lwan, adik Reza, dan adik
Tiar di Cilebut, serta keluarga besar Al-Falah di Cikaret Cibinong;
6. Mertuaku Umi Hj. Nur Fatmah dan Bapak H. Djumhur Ahmadi tercinta
di Mataram Lombok atas do'a restunya bark spiritual maupun material,
kak Tini & kak Zded, kak Eni, adik Efhy, 11dik Nita, Martin Rika dan
semua keluarga di Lombok;
7. Muhammad Harfin Zuhdi, suamiku tercinta-tersayang dan buah hati
belahan jiwa kami tercinta Muhammad Sheva Maulaya Zuhdi, sebagai
tempat private sharing dan motivator unruk segera menyelesaikan
studi dan skripsi; dan
8. Teman-teman mahasiswa Psiko!ogi angkatan 2002 kelas D, Umi, Ida
dan teman-teman fakultas Tarbiyah, serta teman-teman lain yang
dengan cara mereka masing-masing telah turut memperkaya wawasan
intelektual penulis.
Akhirnya hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala jualah penulis berdo'a
semoga mereka mendapat balasan yang mulia dan skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan khazanah keislaman dalam konteks
Psikologi Islam. Amiin Ya Rabb a/-'Alamiin.
Wallahul Hadi i/aa Sabilir Rasyaad.
Ciputat, 07 Februari 2007 M 19 Muharram 1428 H
Penulis
DAFTAR ISi
JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................ .i
DAFTAR 151. ....................................................................................... iv
ABSTRAKS ....................................................................................... vii
BABI PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
1.2. ldentifikasi Masalah ........................................................ 6
1.3. Pembatasan Masalah .............................................................. 7
1.4. Perumusan Masalah ...................................................... 8
1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 8
1.6.Sistematika penulisan .............................................................. 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Konseling ................................................................. 12
2.1.1 Pengertian Konseling .......................................... 12
2.1.2 Karakteristik Hubungan Konseling ......................... 14
2.1.3 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Pada
Keberhasilan Konseling ...................................... 17
2.1.4 Beberapa Pendekatan (Teknik) Konseling .............. 19
2.1.5 Proses Konseling .............................................. 33
2.2. Konseling Perkawinan ................................................. 36
2.2.1 Pengertian Konseling Perkawinan .......................... 36
2.2.2 Konselor Perkawinan ........................................... 38
2.2.3 Tujuan Konseling Perkawinan ................................... 39
2.2.4 Tipe-Tipe Konseling Perkawinan .......................... .41
2.3. Konflik .................................................................... .43
2.3.1 Definisi Konflik .................................................... .43
2.3.2 Sebab-Sebab Terjadinya Konflik .......................... .45
2.3.3 Permasalahan Suami lstri dalam Kehidupan
Sehari-hari. ....................................................... 51
2.3.4 Dampak Terjadinya Konflik ................................... 55
BAB Ill METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian .................................... 60
3.2 Subyek Penelitian ......................................................... 63
3.2.1 Kriteria Subyek ............................................................ 63
3.3 Metode Pengumpulan Data ........................................... 64
3.3.1 Wawancara ................................................................. 64
3.3.2 Observasi. ................................................................. 65
3.4 lnstrumen Pengumpulan Data..... . . . . .. . . . . . . . .. . . . . ............. 65
3.4.1 Pedoman Wawancara .................................................. 66
3.4.2 Lembar Observasi.. ...................................................... 66
3.4.3 Alat Perekam (Tape Recordiwr) ....................................... 66
3.5 Prosedur Penelitian...... ...... ..... . ... ... . .............. 67
3.5.1 Persiapan Penelitian............ . ..................................... 67
3.5.2 Pelaksanaan Penelitian....... . ....................................... 68
3.6 Analisa Data............................ . ................................. 68
BABIV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian .............................. 71
4.2 Pelaksanaan Konseling Perkawinan di BP4 Kotamadya
Jakarta Selatan ........................................................... 75
4.2.1 Jen is Konseling ................................................... 76
4.2.2 Waktu Konseling ................................................. 78
4.2.3 Durasi Konseling ................................................. 79
4.3 Metode Konseling Perkawinan di BP4 Jakarta Selatan ........ 80
4.4 Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Konseling
Perkawinan ................................................................ 82
4.5 Peranap Konseling Perkawinan dalam Menangani Konflik
Suami lstri. ................................................................ 86
4.6 Analisis Perbandingan Ketiga Konselor. ................................. 89
BABV PENUTUP
5.1 Kesimpulan .............................................................. 101
5.2 Diskusi. .................................................................... 103
5.3 Saran ...................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Tahapan-Tahapan Konseling Eklektik .................................... 32
DAFTAR TABEL
1. Tabel 4.1 : Gambaran um um Subyek .......................................... 72
2. Tabel 4.2.2 : Jadwal konseling dan Daftar nama Konselor. ................ 78
3. Tabel 4.2.3 : Konseling Perkawinan di BP4 Jakarta Selatan ............... 80
4. Tabel 4.2.4 : Analisis Perbandingan Ketiga Konselor. .................... 100
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1 : Pernyataan Kesediaan
2. Lampiran 2 : Lembar Oservasi
3. Lampiran 3 : Pedoman Wawancara A
4. Lampiran 4 : Pedoman Wawancara B
5. Lampiran 5 : Surat ljin Penelitian
6. Lampiran 6 : Surat Keterangan Penelitian
7. Lampiran 7 : Data Keberhasilan Konseling
8. Lampiran 8 : Surat Panggilan Konsultasi
9. Lampiran 9 : Berita Acara Penasehatan Suami lstri
(A) Fakultas Psikologi (B) Februari 2007 (C) Mira Humairoh
ABSTRAKS
(D) Konseling Perkawinan Di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan Dalam Menangani Konflik Suami lstri
(E) xi+ 105 (F) Penjelasan
Konflik yang terjadi antara suami istri dalam sebuah perkawinan muncul dalam berbagai bentuk dan beragam penyebab, dari yang berskala kecil sampai yang besar. Penyebabnya bisa terjadi karena faktor akhlak, ekonomi dan pihak ketiga. Konseling perkawinan sangat diperlukan oleh pasangan suami istri yang sedang mengalami konflik dalam perkawinan, karena pasangan yang SP.dang diianda konflik pada umumnya tidak lagi mempunyai hubungan baik dengan realitas. Dalam konteks ir.!lah konseling dibutuhkan agar suami istri dapat saling memahami dan membantu memperkokoh ikatan perkawinannya.
Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) merupakan satu-satunya badan semi resmi Departemen Agama di bidang penasehatan perkawinan dalam pelaksanaan konseling terhadap konflik suami istri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konseling perkawinan, metode konseling, faktcr pendukung dan penghaml:>at rlan peranan konsP.ling perkawinan dal::im menangani konflik suami istri di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dalam penelitian ini, subyek berjumlah tiga orang konselor atau konsultan perkawinan yang terlibat langsung dalam konseling perkawinan. Pengambilan subyek penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling (sampel bertuJuan) dimana sampel penelitian diambil dari populasi yang mewakili sampel-sampel lain. lnstrumen penelitian adalah wawancara mendalam (in-dept interview) dan observasi sebagai instrumen penunjang.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa secara umum konse!ing dilakukan dengan tatap muka yang dilakukan sesuai jadwal resmi yaitu hari Senin sampai Kamis, mulai pukul 09.00-15.00 WIB. Konseling dilakukan secara individual (masing-masing pasangan) dan secara kedua pasangan secara bersamaan dengan menggunakan teknik konseling client-centered therapy.
Dalam konseling perkawinan terdapat proses-proses yang dilakukan pertemuan pertama melakukan eksploras! masalah, perumusan masalah dan identifikasi masalah. Pertemuan kedua melakukan panggilan terhadap pasangan klien.
Pertemuan ketiga mempertemukan kedua pasangan secara bersama-sama untuk memecahkan masalah dan pengambilan keputusan diserahkan sepenuhnya kepada klien. Pertemuan keempat dilakukan untuk menentukan keputusan penanganan konflik, apakah mau berdamai atau diteruskan ke Pengadilan Agama. Pengambilan keputusan akhir tetap diserahkan kepada klien, konselor hanya sebagai mediator dan fasilitator terhadap keputusan klien tersebut.
Faktor pendukung konseling perkawinan adalah kejujuran klien dalam mengungkapkan masalahnya, dan keinginan klien untuk bekerja sama dengan konselor. Sedangkan faktor penghambatnya adalah sikap klien yang egois, emosional dan mau menang sendiri serta tidak mau bekerja sama dengan konselor. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pelaksanaan konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan memiliki peran positif dan signifikan dalam menangani konflik suami istri dengn tingkat keberhasilan di atas 50%.
Diharapi<an bagi para peneliti selanjutnya agar mengembangkan hasil penelitian ini dengan pendekatan kuantitatif dan memfokuskan klien sebagai subyek penelitiannya agar dapat diketahui bagaimana persepsi klien terhadap peran konselir;g perkawinan di BP4.
(G) Buku 40 (1997-2005)
1.1 Latar Belakang Masaiah
BABI
PENDAHULUAN
Dalam realitas hidup berpasangan yang terjalin dalam relasi suami istri, tentu
akan membawa implikasi dan konsekuensi baik dan buruk. lmplikasi baik dan
bermanfaat dapat dirasakan seperti tergambar dalam surat Ar-Rum: 21, yaitu
terciptanya suasana menyenangkan, membahagiakan dan menentramkan
bagi keduanya. Jadi perkawinan adalah solusi paling memungkinkan untuk
memenuhi keinginan-·keinginan, baik secara material, biologis, maupun
psikologis. Namun di samping membawa ketentraman dan bahagiaan,
perkawinan juga berpeluang mendatangkan ketidaktentraman jika masalah
dan konflik suami istri dalam rumah tangga disikapi secara tidak benar.
Tidak ada satu pun hubungan antar individu yang terbebas dari konflik. Studi
tentang konflik senantiasa dipelajari pada saat kita berbicara dalam disiplin
komunikasi antarpribadi, karena ia muncul seiring dengan tingginya intensitas
interaksi dan komunikasi antarpribadi, namun konflikjuga dapat berkurang
dan selesai melalui manajemen komunikasi yang baik antarpribadi. Jadi
konflik adalah bagian dari proses komunikasi antarpribadi. Dalam konflik
antarpribadi prinsip-prinsip efektivitas antarpribadi menghadapi ujian berat.
Selama konflik antarpribadi terjadi hampir tidak mungkin menahan diri
sejenak, menganalisis situasi, dan mengevaluasi prinsip efektifitas yang
mungkin paling relevan. Karena kesulitan ini, maka diperlukan manajemen
konflik (Joseph A. Devito, 1997).
Ada beberapa masalah yang menyebabkan terjadinya konflik dan
kehancuran rumah tangga, seperti dikemukakan oleh Florence Hellis,
sebagaimana dikutip Kamal Mukhtar (1993), yaitu:
1. Ketergantungan istri atau suami kepada orang tuanya, sehingga ia
tidak berani mengambil keputusan mengenai rumah tangganya tanpa
terlebih dahu:u maminta pertimiJ&ngan orang t:.ianya atau meniru
tindakan orang tuanya yang pernah dialami;
2. Keluarga istri atau suami yang terlalu banyak mencampuri urusan
anak yang sudah berumah tangga;
3. Perbedaan latar belakang kebudayaan; dan
4. Faktor-faktor sosial ekonomi.
2
Gambaran perkembangan keutuhan keluarga akhir-akhir ini sungguh sangat
memprihatinkan dengan tingkat angka perceraian yang jauh meningkat
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Realitas ini relevan dengan
tingkat prosentase penyebab perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama
seluruh Indonesia. Menurut data Direktorat Urusan Agama Islam Departemen
3
Agama, bahwa ada tiga faktor dominan penyebab perceraian yaitu:
meninggalkan kewajiban 48,60 %; terus menerus berEelisih/konflik 38,77 %;
dan moral 7,71 % (Direktorat Urais, 2002).
Berdasarkan data ini, terlihat bahwa konflik yang terus menerus memiliki
signifikansi yang besar terhadap intensitas terjadinya perceraian. Konflik
yang terjadi antara suami istri dalam sebuah perkawinan muncul dalam
berbagai bentuk dan beragam penyebab, baik konflik berskala kecil sampai
yang besar, dari pertengkaran k8cil sampai terjadinya perceraian dan
keruntuhan rumah langga. Oleh karenanya, ketika terjadi konflik, maka ia
han.;s disikapi dan dikelola seca;a baik, sehingga tidak berkepanjangan d3n
menimbulkan dampak negatif bagi stabilitas perkawinan.
Ajaran Islam menganjurkan bahwa ketika terjadi konflik suami istri, maka
pertama-tama harus melibatkan pihak keluarga dari kedua belah pihak
sebagai mediator (hakam). Sebagaimana diisyaratkan firman Allah:
.11 J' y. G-)\..pl l..\;.r- 014J_..I if ~ J .U...1 :....,. ~ I fail> ~ JI.A...;, ~ 0\J
lp,L..).o. 015' .11 01 ~ Artinya: "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam Guru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal" (Al-Nisa': 35).
5
Hal ini diperkuat berdasarkan keputusan Menteri Agama No.30 tahun 1977,
yang menegaskan adanya pengakuan dari pemerintah bahwa BP4
merupakan satu-satunya badan penunjang sebagian tugas Departemen
Agama dalam bidang penasehatan perkawinan, perselisihan rumah tangga
dan perceraian. Di dalam Diktum pertimbangannya SK tersebut, disebutkan
bahwa untuk melancarkan pelaksanaan UU N0.1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan segala peraturan pelaksanaan dipandang perlu menegaskan
pengakuan BP4 dalam keputusan Menteri Agama No.65 tahun 1961, bagitu
pula perribinaan badan tersebut sebagai satu-satunya badan yang b8rus<'lha
pada bidang penasehatan perkawinan dan mengurangi perceraian dalam
rangka menunjang tugas Departemen Agama di bidang bimbingan
masyarakat Islam (8?4 Pusat, 1997).
Lembaga ini tidak hanya memberikan nasehat sebelum pernikahan
dilangsungkan, namun juga pada saat terjadi konflik suami istri baik nerskala
kecil maupun konflik yang sudah menjurus kepada perceraian. Berdasarkan
data di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan, bahwa tingkat keberhasilan
konseling perkawinan dalam menangani konflik suami istri sangat poi;itif dan
signifikan. (Data Triwulan ke-1 2006, yang berhasil didamaikan sebanyak
53,3% dan Triwulan ke-112006, sebanyak 51,1%).Sedangkan kegagalan
konseling lebih disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pasangan suami
istri datang ke BP4 pada saat konfliknya sudah parah dan mengadukan
konfliknya (mengajukan cerai atau menggugat cerai), tanpa melalui tahapan
mediasi perdamaian dan konseling perkawinan di BP4.
6
Dalam konteks inilah penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih
lanjut tentang konseling perkawinan di BP4, termasuk ingin mengetahui
faktor pendukung dan kendala yang dihadapi dan ingin mengetahui lebih jauh
peran BP4 dalam menangani konflik suami istri. Selanjutnya penelitian ini
lebih memfokuskan kajian tentang "Konseling Perkawinan di BP4
Kotatnadya Jakarta Selatan Dalam Menangani Konflik Suami lstri".
1.2 ldentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis meng1dentifikasi beberapa
masalah yang menarik untuk diangkat dalam penelitian ini, di antaranya:
a. Bagaimana sejarah terbentuknya BP4 sebagai badan konseling
perkawinan semi resmi pemerintah;
b. BC!f!aimana peranan BP4 sebagai badan mediasi dan konseling
perkawinan dalam menangani konflik suami istri;
c. Apc:i faktor-faktor yang menjadi pemicu te~adinya konflik suami istri;
d. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam konseling perkawinan;
e. Bagaimana pelaksanaan konseling perkawinan di BP4 dalam
menangani konflik suami istri; dan
f. Apa metode dan pendekatan yang digun~ikan pada konseling
perkawinan di BP4 dalam menangani konflik suami istri.
1.3 Pembatasan Masalah
Konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui
wawancara konseling oleh seorang ahli yang p1ofesional kepada individu
yang sedang mengalami masalah (klien) yang bertujuan untuk membantu
memecahkan masalah yang dihadapi klien. Dengan kata lain, konseling
perkawinan merupakan konseling yang diselenggarakan sebagai metode
pendidikan, metode penurunan ketegangan emosional, metode yang
membantu partner-partner yang menikah untuk memecahkan masalah dan
cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik.
7
Dari identifikasi masalah di atas terlihat banyak aspek yang dapat dikaji dan
dianalisis mengenai pelaksanaan konseling perkawinan dalam menangani
konflik suami istri, namun tentu tidak seluruhnya dapat dikemukakan menjadi
permasalahan-permasalahan yang menjadi pertiatian. Penelitian ini dibatasi
pada masalah mengenai pelaksanaan konseling perkawinan dalam
menangani konflik suami istri di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan.
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka untuk memperjelas pokok
permasalahan, penulis merumuskan masalah sebagai pertanyaan utama
penelitian ini sebagai berikut:
a. Bagaimana pelaksanaan konseling perkawinan di BP4 Kotamadya
Jakarta Selatan?
b. Apa metode yang digunakan dalam proses konseling perkawinan di
BP4 Kotamadya Jakarta Selatan?
8
c. Apa faktor-faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi oleh BP4
Kotamadya Jakarta Selatan dalam pelaksanaan konseling perkawinan?
d. Bagaimana peranan konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta
Selatan dalam menangani konflik suami 1stri?
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan mi~salah yang telah
dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian in1 adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui pelaksanaan konseling perk41winan di BP4 Kotamadya
Jakarta Selatan;
b. Mengetahui metode yang digunakan dah11m proses konseling
perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan;
c. Mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam proses
konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan; dan
9
d. Mengetahui peranan konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta
Selatan dalam menangani konflik suami 1stri.
Selanjutnya penelitian ini diharapkan menghasilkan dua manfaat, yaitu
manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat secara teoritis
Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang Psikologi
sosial, khususnya yang berhubungan dengan konseling perkawinan dan
penanganan konflik suami istri secara positif.
2. Manfaat Praktis
Untuk memberi masukan dan rujukan kepada masyarakat secara umum,
dan secara khusus kepada pasangan suami istri sebagai masukan
konstruktif untuk mengelola konflik suami istri secara positif dalam
membangun keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.
10
1.6 Sistematika Penulisan
Pada umumnya, suatu pembahasan karya ilmiah diperlukan suatu bentuk
penulisan yang sistematis sehingga tampak gambaran yang jelas, terarah
serta logis dan saling berhubungan antara bab satu dan bab sesudahnya.
Skripsi yang berjudul Konseling Perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta
Selatan Dalam Menangani Konflil< Suami lstri ini, dibagi menjadi lima bab
sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan, merupakan landasan umum penelitian skripsi ini.
Bab ini memberikan gambaran tentang manual penelitian ini
dijalankan. lsinya terdiri dari Latar BEYiakang masalah kemudian
dilanjutkan dengan identifikasi masal01h, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan martlaat penelitian, serta
sistematika penulisan.
Bab II : Mengetengahkan tentang kajian pust11ka tentang pengertian
konseling perkawinan, pendekatan konseling, proses konseling,
tujuan dan fungsi konseling, serta tipe-tipe konseling perkawinan,
kemudian dilanjutkan dengan pengertian konflik, sebab-sebab
terjadinya konflik, dan permasalahan suami istri dalam kehidupan
sehari-hari, serta dampak terjadinya konflik.
Bab Ill : Dalam bab ini menguraikan tentang metode penelitian, yang
mengetengahkan pendekatan dan jenis penelitian, subyek
penelitian, metode pengumpulan data, instrumen penelitian,
prosedur penelitian, prosedur penelitian dan analisa data.
Bab IV : Dalam bab ini, penulis menguraikan tentang hasil penelitian dan
analisis yang berisi gambaran umum subyek penelitian,
pelaksanaan konseling perkawinan d1 BP4, metode yang
digunakan dan menjelaskan faktor pendukung dan penghambat
serta menjelaskan peranan konseling perkawinan dalam
menangani konflik suami isteri, dan analisis ketiga konselor
11
BabV Sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan yang diintrodusir dari
tujuan penelitian, sekaligus jawaban terhadap petanyaan yang
dirumuskan dalam penelitian ini. Kemudian dilanjutkan dengan
diskusi dan saran konstruktif bagi lembaga BP4 dan para peneliti
selanjutnya.
2.1 Konseling
2.1.1 Pengertian Konseling
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kata konseling (counseling) menurut Baruth dan Robinson (1987) berasal
dari kata counsel yang diambil dari bahasa Latin, counsilium,
artinya "bersama" atau "bicara bersama". Pengertian berbicara "bersama
sama" dalam hal ini adalah pembicaraan konselor dengan seorang atau
beberapa klien (Latipun, 2005).
Sedangkan menurut Maclean dalam Prayitno dan Amti (1998), konseling
adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan tatap muka antara individu
yang terganggu oleh karena masalah-masalahyang tidak dapat diatasinya
sendiri dengan seorang pekerja profesional, yaitu pekerja yang terlatih dan
berpengalaman membantu orang lain dalam mHmecahkan berbagai jenis
kesulitan pribadi. Hornby dalam Hallen (2002) mengemukakan bahwa kata
konseling berasal dari bahasa inggris, yaitu "to counsel' yang secara
etimologis berarti "to give advice" (memberi nasihat/ saran).
Sementara itu kata konseling secara etimologis menurut Rogers dalam
(Singgih Gunarsa, 191;)6}, yaitu suatu hubungan yang bebas dan berstruktur
13
dan membiarkan kliennya memperoleh pengertian sendiri yang
membimbingnya menentukan langkah-langkah positif ke arah orientasi baru.
Syahlan, et.al., (1997), mendefinisikan konseling sebagai suatu bentuk dialog
untuk menolong seseorang agar memperoleh pengertian yang lebih baik
mengenai dirinya dan permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga
rnampu mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya.
Menurut Depkes RI (2003) konseling adalah proses pertolongan dimana
seseorang yang tulus dan jelas memberi waktu, perhatian dan keahliannya
untuk membantu klien mempelajari keadaan dinnya, mengenali dan
memecahkan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan.
American Psychology Asociation (APA) (Baraja, 2004) merumuskan definisi
konseling sebagai suatu proses untuk membantu individu mengatasi
hambatan-hambatan perkembangan pribadinya dan untuk mencapai
perkembangan kemampuan pribadi yang dimilikinya secara optimal.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dik11takan bahwa konseling
adalah suatu proses pemberian bantuan yang t!tl11kukan melalui wawancara
konseling oleh seorang ahli yang profesional htpada individu yang sedang
mengalami masalah (klien) yang bertujuan unlltk membantu rnernecahkan
masalah yang dihadapi klien.
l<onseling memiliki tujuan untuk membantu klien agar:
a. Mengetahui apa yang harus dan akan dilakukan dalam berbagai
bidang kehidupan;
b. Merasa lebih baik, jauh dari ketegangan dan tekanan terus menerus
karena persoalan;
c. Berfungsi maksimal sesuai dengan potensi yang dimiliki;
d. Mencapai sesuatu yang lebih baik karem1 bersikap positif dan
optimistik; dan
14
e. Bisa hid up lebih efektif sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan
menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan lingkungan (Gunarsa, 1996).
2.1.2 Karakteristik Hubungan Konselor
George dan Cristiani (1990) dalam Latipun (2005) mengemukakan enam
karakteristik dinamika dan keunikan hubungan konseling.
Keenam karakteristik itu adalah :
1. Afeksi
Hubungan konselor dengan klien pada dasarnya lebih sebagai hubungan
afektif daripada sebagai hubungan kognitif. Hubungan afeksi akan tercermin
15
sepanjang proses konseling termasuk dalam melakukan eksplorasi terhadap
persepsi dan perasaan-perasaan subyektif klien. Hubungan yang penuh
afeksi ini dapat mengurangi rasa cemas dan ketakutan pada klien, dan
diharapkan hubungan konselor dan klien lebih produktif.
2. lntensitas
Hubungan konseling dilakukan dengan penuh intensitas. Hubungan konselor
dan klien ini diharapkan dapat saling terbuka terhadap persepsinya masing
masing. Tanpa adanya intensitas hubungan, m111ka hubungan konseling tidak
akan mencapai pada hubungan yang diharapkan Konselor biasanya
mengupayakan agar hubungannya dengan klien dapat berlangsung secara
mendalam sejalan dengan perjalanan hubungan konsehng.
3. Pertumbuhan dan Perubahan
Hubungan konseling bersifat dianamis. Hubungan konseling terus
berkembang sebagaimana perubahan dan pertumbuhan yang terjadi pada
konselor dan klien. Hubungan tersebut dikatakan dinamis jika dari waktu ke
waktu terus terjadi peningkatan hubungan konselor dengan klien,
pengalaman bagi klien dan tanggung jawabnya Dengan demikian pada klien
terjadi pengalaman belajar untuk memahami dirinya sekaligus bertanggung
jawab untuk mengembangkan dirinya.
16
4. Privasi
Pada prinsipnya dalam hubungan konseling perlu adanya keterbukaan klien.
Keterbukaan klien tersebut bersifat konfidensial, konselor harus menjaga
kerahasiaan seluruh informasi tentang klien dan tidak dibenarkan
mengemukakan secara transparan kepada siapapun tanpa seizin klien.
Perlindungan atau jaminan ini bersifat unik dan akan meningkatkan kemauan
klien membuka diri.
5. Dorongan
Konselor dalam hubungan konseling memberikan dorongan (supporlive)
kepada klien untuk meningkatkan kemampuan dirinya dan berkembang
sesuai dengan kemampuannya. Dalam hubungan konseling, konselor juga
perlu memberikan dorongan atas keinginannya untuk perubahan perilaku dan
memperbaiki keadaannya sendiri sekaligus memberi motivasi untuk berani
mengambil resiko dari keputusannya.
6. Kejujuran
Hubungan konseling didasarkan atas saling kejujuran dan keterbukaan, serta
adanya komunikasi terarah antara konselor dengan kliennya. Dalam
hubungan ini tidak ada sandiwara dengan jalan menutupi kelemahan atau
menyatakan yang bukan sejatinya. Klien maupun konselor harus
membangun hubungannya secara jujur dan terbuka. Kejujuran menjadi
prasyarat bagi keberhasilan konseling.
2.1.3 Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Keberhasilan Konseling
17
Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan konseling, faktor
faktor yang dipandang mempengaruhi hasil konseling biasanya dijadikan
sebagai pertimbangan dalam memberikan konseling. Menurut Baraja (2004)
terdapat lima faktor yang berpengaruh terhadap proses dan hasil konseling
antara lain:
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan:
- Jenis kesakitan, gangguan dan masalah
- Berat, ringan suatu kesulitar., gangguan dan masalah
- Konseling atau terapi sebelumnya
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan karakteristik subyek:
- Usia klien
- Jenis kelamin
- Tingkat pendidikan
- lntelegensi
- Status sosial ekonomi
2. Klien menilai perubahan perilaku yang telah terjadi pada dirinya; dan
3. Klien menilai proses dan tujuan konseling.
2.1.4 Beberapa Pendekatan (teknik) Konseling
Dalam literatur psikologi konseling dikenal beberapa pendekatan (teknik)
konseling. Masing-masing pendekatan memiliki karakteristik tersendiri. Di
bawah ini akan dikemukakan mengenai tiga pendekatan konseling dengan
menitikberatkan pada perbedaan peran antara konselor dengan klien.
Pendekatan-pendekatan tersebut yaitu:
1. Pendekatan Langsung (Directive Counseling)
19
Pendekatan directive counseling dalam W.S Winkel dan M.M. Sri Hastuti
(2004) disebut dengan istilah trait-factor counseling atau counselor-centered
counseling. Metode ini lebih bersifat mengarahkan kepada klien untuk
berusaha mengatasi kesulitan yang dihadapi. Pendekatan ini terpusat kepada
konselor, yaitu di mana konselor berperan sangat aktif dan mendominasi
seluruh interaksinya dengan klien. Sebaliknya peran klien sangat pasif,
cenderung menerima, dan tentunya akan diharapkan menyetujui dan
melaksanakannya sesuai dengan petunjuk yang diberikan konselor (Gunarsa,
1996).
20
Pelaksanaan konseling direktif ini menuntut kematangan, pengalaman, dan
latihan-latihan konselor, khusunya dalam masalah yang berat. Dengan cara
ini tujuan konseling dapat dicapai, karena peranan, pimpinan dan tanggung
jawab sebagian besar dipegang oleh konselor.
A. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Dire4<tif
Pendekatan direktif ini memiliki beberapa kelebltian, karena cara pendekatan
ini menurut Yusuf Gunawan dan Chaterine Oew1 (2001) dapat rnembantu:
a. Klien yang tidak mampu memulai wawaricara dan ia membutuhkan
bantuan konselor untuk mengungkapkan pokok persoalannya;
b. Klien yang dalam keadaan putus asa dan rnembutuhkan bantuan
orang lain sebelum memulai dengan kekuatannya sendiri;
c. Klien yang mau dan mampu memegang tanggung jawab dalam proses
konseling berikutnya;
d. Masalah klien yang sudah jelasa dan terdapat bukti-bukti yang pasti
sehingga memudahkan konselor untuk menentukan langkah-langkah
berikutnya; dan
e. Klien yang mau dan mampu menerima hasil konseling dan tidak akan
menyia-nyiakan kekuatan diri sendiri untuk ikut dalam proses
konseling berikutnya.
21
Namun pendekatan ini memiliki kelemahan-kel('mahan yang berbahaya, oleh
karena itu pendekatan ini tidak dapat dipakai dalam kondisi:
a. Jika klien memandang cara ini sebagai bentuk perampasan tanggung
jawabnya;
b. Jika masalah mengandung banyak keruwetan perasaan atau
gangguan perasaan, dan dengan cara ini konselor cenderung
melupakan aspek penting dalam konseling;
c. Jika belum terdapat bukti-bukti yang jelas dan dengan cara
pendekatan ini belum jelas akhir penyelesainnya; dan
d. Jika inisiatif konselor dapat rnengganggu hubungan baik antara
konselor dan klien (Yusuf Gunawan dan Chaterine Dewi 2001 ).
8. Peran Konselor
Konselor yang berpegang pada pendekatan direktif (Winkel dan Hastuti,
2004) mengikuti rangkaian langkah kerja yang agak mirip dengan
peiaksanaan studi kasus dan pelayanan dokter terhadap seorang pasien,
yaitu analisis atau pengurnpulan data yang relevan, sintesis atau organisasi
dari data itu untuk rnemperoleh gambaran yang selengkap mungkin tentang
klien, diagnosis atau kesirnpulan tentang sernoo unsur pokok masalah klien
dan sebab-sebabnya, prognosis atau perkiraan tentang perkernbangan klien
selanjutnya serta berl?,agai implikasi dari hasil Oiagnosis. Konseling atau
22
wawancara perseorangan untuk memikirkan p~'flyelesaian terhadap problem
yang dihadapi; tindak lanjut (follow-up) atau bantuan kepada klien bila timbul
masalah lagi dan evaluasi terhadap efektivitas konseling.
Dalam pendekatan direktif (Yusuf Gunawan, 2001) konselor berperan
sangat aktif dan mendominasi seluruh interaksinya dengan klien. Sebaliknya
peran klien sangat pasif, cenderung menerima, dan tentunya akan
diharapkan menyetujui dan melaksanakannya 11esuai dengan petunjuk yang
diberikan konselor.
Menurut Latipun (2005) ada beberapa peranan konselor dalam hal ini, yaitu:
a. Konselor lebih edukatif-direktif kepada klien, yaitu dengan jalan
banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap
awal;
b. Mengkonfrontasikan masalah klien secara langsung;
c. Menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan
memperbaiki cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk
mendidik dirinya sendiri; dan
d. Menyerukan klien menggunakan kemampuan rasional daripada
emosinya.
2. Pendekatan Tidak Langsung (Non Directive Counseling) ••
23
Pendekatan non direktif ini merupakan reaksi terhadap pendekatan direktif.
Pendekatan ini dalam Sofyan S. Willis (2004) sering disebutjuga client
centered therapy adalah suatu metode perawatan psikis yang dilakukan
dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai gambaran
yang serasi antara ideal self (diri klien yang ideal) dengan actual self (diri
klien sesuai kenyataan sebenarnya).
Berdasarkan pengertian di atas, tujuan pendekatan ini adalah untuk
membina kepribadian klien secara integral, berdiri sendiri dan mernpunyai
kernampuan untuk memecahkan masalah sendiri. Kepribadian yang integral
adalah struktur kepribadiannya tidak terpecah 1utinya sesuai antara
gambaran tentang diri yang ideal (ideal self) dengan kenyataan diri
sebenarnya (actual self). Kepribadian yang berdiri sendiri adalah yang
mampu menentukan pilihan sendiri atas dasar 1anggung jawab dan
kemampuan. Tidak tergantung pada orang lain sebelum menentukan pilihan,
tentu individu harus memahami (kekuatan dan tlelemahan diri), dan
kemudian keadaan diri tersebut ia terima.
Pendekatan ini memberikan kesempatan dan hmggung jawab kepada klien
untuk mencapai tujuan konseling. Peranan utarna dipegang oleh klien,
sedangkan konselor hanya berperan sebagai orang penuh penerimaan dan
perhatian terhadap problem klien serta menunjukkan sikap mau membantu.
Jadi dengan pendekatan ini fungsi konselor hanya sebagai pendengar yang
24
aktif dan dapat memantulkan kembali pikiran dan perasaan klien, dengan
disertai perasaan konselor yang menunjukkan sikap menerima dan penuh
pengertian (Yusuf Gunawan dan Chaterine Dewi, 2001)
Berdasarkan uraian di atas, maka pendekatan non direktif ini menuntut
kernampuan seorang klien untuk memecahkan problemnya sendiri. Hasil
yang efektif dari pendekatan ini merupakan hasil dari kekuatan klien sendiri
untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan membina hubungan baik
dan saling pengertian dengan seorang konselor. Dengan kondisi ini klien
akan berani menyatakan perasaannya dan mengerti reaksi-reaksi serta
belajar menerima diri sendiri.
A. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Non Direktif
Menurut Yusuf Gunawan dan Chaterine (2001) pendekatan non direktif ini
akan sangat efektif dalam beberapa kondisi, yaitu:
a. Klien dalam keadaan tertekan yang kurang berbahaya;
b. Klien mengalami kesukaran perasaan dan tidak mampu menganalisis
kesukaran;
c. Klien mengalami l<esulitan mengungkapkan perasaannya dan tidak
mampu menganalisisnya secara rasional;
d. Klien memiliki konflik perasaan yang aktual; "
e. Konselor memiliki kecakapan yang baik dalam menggunakan
pendekatan ini;
f. Klien ditunut memegang kendali tanggung jawab dalam pemecahan
masalah, terutama dalam pengambilan keputusan dan tindakannya;
g. Sebab-sebab kesukaran tampak samar dan masalahnya cukup
kompleks.
Demikian beberapa kelebihan pendekatan ini, namun pendekatan ini
memiliki keterbatasan dan kelemahan-kelemahm1, sebagaimana dijelaskan
Yusuf Gunawan dan Chaterine Dewi (2001 ), ya<tu:
25
a. Waktu interview sangat terbatas dan ma11ih banyak klien yang masih
membutuhkan pertolongan, padahal pendekatan ini memerlukan
durasi waktu yang cukup banyak;
b. Konselor yang kurang terlatih dalam masalah psikologis, sehingga ia
tidak memiliki kecakapan klinis;
c. Biasanya ketegangan klien berkaitan dengan masalah-masalah lain
yang banyak menyangkut ketegangan dan tekanan perasaan;
d. Kecakapan dan keberanian klien dalam mengungkapkan konlik
perasaannya sangat terbatas;
e. Kesukaran konselor dalam mengadakan penerimaan dan pemahaman;
26
f. Pendekatan ini menuntut sikap dewasa dari klien, karena klien harus
dapat menerima diri sendiri dan dapat berdiri sendiri untuk
memecahkan masalahnya sendiri;
g. Pendekatan ini kurang menghargai psikodiagnostik, karena
psikodiagnostik mengobjektifkan manusia;
h. Klien dapat menerima akibat yang kurang baik dan memperlemah
semangatnya dari penggunaan pendekatan ini, karena klien harus
menerima dan menanggung kesulitan-kesulitan diri sendiri;
i. Pendekatan ini memiliki kesukaran bagi klien, karena tidak diarahkan
kepada sutu tujuan tertentu;
j. Pendekatan ini memiliki kesukaran bagi klien yang kesulitan
mengungkapkan dirinya dengan bahasa yang baik, terutama bagi klien
yang malu berbicara; dan
k. Klien akan merasa kecewa, karena ia merasa dibiarkan oleh konselor
untuk memecahkan masalahnya sendiri. Padahal ia datang minta
bantuan kepada konselor, karena ia sendiri tidak dapat memecahkan
masalahnya.
B. Peran Konselor
Dalam pendekatan non direktif, konselor lebih hanyak memberikan
kesempatan kepada ~lien untuk mengungkapk11>n segala permasalahan,
perasaan dan persepsinya, sementara konselor rnerefleksikan segala yang
diungkapkan oleh klien.
27
Agar peran ini dapat dipertahankan dan tujuan konseling dapat dicapai, maka
konselor perlu menciptakan kondisi yang mampu menumbuhkan konseling.
Menurut Latipun (2005) ada beberapa kondisi yang perlu diciptakan untuk
rnembangun hubungan konseling, yaitu:
a. Konselor dan klien berada dalam hubunuan psikologis;
b. Klien adalah orang yang mengalami kec~masan, pernderitaan dan
ketidakseimbangan;
c. Konselor adalah benar-benar dirinya sejati dalam berhubungan
dengan klien;
d. Konselor merasa atau menunjukkan unconditional positive regard
untuk klien;
e. Konselor menunjukkan adanya rasa empati dan memahami tentang
kerangka acuan klien serta memberitahukan pemahamannya kepada
klien; dan
f. Klien menyadari usaha konselor yang menunjukkan sikap empatik
berkomunikasi dan unconditioning positive regard kepada klien.
Berkaitan dengan peran konselor ini, maka dalam memahami perilaku klien,
konselor menggunakan pendekatan internal frame of reference klien seniri.
Kemudian untuk menpiptakan kondisi tersebut, teknik yang dapat
,---_,_ 8 ' -·--- 2 f -------
/
P?C,ff P!f..;~- rl, f1· :-- -----/ •
. WN Sl'.41111 . ' ' ' : · •111!
---- . iK1Ji?7~ I ----- -~--·------ --·-·----~-~~~:~~~,/
dikembangkan adalah verbalisasi, teknik non verbal, membuka diri dan
ekspresi emosi (Latipun, 2005).
C. Tahapan Konseling
Setelah penulis menguraikan kelebihan dan kelemahan pendekatan non
direktif ini, maka selanjutnya akan dijelaskan proses dan tahapan pendekatan
non direktif. Menurut Boy dan pine (1981) dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
pertama, tahap membangun hubungan terapetik, menciptakan kondisi
fasilitatif dan hubungan yang substantif seperti empati, kejujuran, ketulusan,
penghargaan, dan sikap positiftanpa syarat. K"dua, tahap kelanjutan yang
disesuaikan dengan efektivitas hubungan kons~iling dan disesuaikan dengan
kebutuhan klien.
Sedangkan menurut Corey (1988) jika dilihat drui segi pengalarnan klien
dalam proses hubungan konseling dapat dibag1 rnenjadi empat tahap, yaitu:
a. Klien datang ke konselor dalam kondisi hdak kongruensi, mengalami
kecemasan, atau kondisi penyesuaian dtti yang tidak baik;
b. Saat klien menemui konselor dengan penuh harapan dapat
memperoleh bantuan, jawaban atas permasalahan yang sedang
dialami, dan menemukan jalan atas kesulitan-kesulitannya;
c. Pada awal konseling, klien menunjukkan perilaku, sikap dan
perasaannya yang kaku. Pada tahap aw11l ini klien cenderung 1.
29
menginternalisasi perasaan dan masalalmya, serta rnungkin bersikap
dipensif. Karena kondisi yang diciptakan konselor kondusif dengan
sikap empati, penghargaan dan konselm terus membantu klien untuk
mengeksplorasi dirinya secara lebih terbuka, sehingga ditandai
dengan sikap yang lebih menyatakan diri yang sesungguhnya; dan
d. Klien yang mulai menghilangkan sikap dan perilaku yang kaku,
membuka diri terhadap pengalamannya, dan belajar untuk bersikap
lebih matang dan teraktualisasi, dengan jalan menghilangkan
pengalaman yang didistorsinya.
3. Pendekatan Eklektik
Munculnya pendekatan eklektik ini karena beberapa alasan, antara lain
karena lemahnya penggunaan model tunggal untuk semua kasus yang pada
kenyataannya tidak mudah untuk diterapkan pada semua orang . Padahal
kehidupan dan keberadaan bahkan persoalan pada setiap orang berbeda
beda. Untuk mengatasi hal itu maka harus dicoba secara kreatif memilih
bagian-bagian dari beberapa pendekatan yang relevan. Kemudian secara
sintesis-analitik diterapkan kepada kasus yang dihadapi. Pendekatan seperti
ini dinamakan Creative-synthesis-Analytic (CSA).
30
Allen E. Ivey (1980) dalam Sofyan S. Willis (2004) menyebutkan pendekatan
CSA ini dengan nama eclectic approach yaitu memilih secara selektif bagian
bagian teori yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan konselor.
Peran konselor dalam pendekatan ini bersifat k·indisional disesuaikan
dengan kondisi dan kemampuan klien. Dalam pendekatan eklektik, konselor
kadangkala bisa sebagai penentu pemecahan rmisalah, kadangkala sebagai
partner klien, psikoanalisis dan sebagainya. Pe•an konselor yang kondisional
ini menurut Latipun (2005) terjadi karena perannya tidak terdefinisi secara
khusus dan ditentukan oleh jenis pendekatan yang digunakan.
Tahapan konseling eklektik sebenarnya menganut tahapan-tahapan yang
spesifik sebagai berikut:
i. Tahap eksplorasi masalah
Pada tahap ini yang terpenting adalah konselor menciptakan hubungan
baik dengan klien, membangun saling kepercayaan, menggali
pengalaman klien pada perilaku yang lebih rnendalam, mendengarkan
apa yang menjadi perhatian klien, menggali pengalaman-pengalaman
klien dan merespon klien, perasaan dan arti dari apa yang dibicarakan
klien.
2. Tahap perumusan masalah
Masalah klien baik afeksi, kognisi, maupun tingkah laku diperhatikan oleh
konselor. Setelah itu konselor dan klien, merumuskan dan membuat
kesepakatan masc;tlah apa yang sedang dihadapi. Masalah sebaiknya
31
dirumuskan dalam terminologi yang jelas. Jika rumusan masalahnya tidak
disepakati perlu kembali ke tahap pertama.
3. Tahap identifikasi masalah
Konselor bersama klien mengidentifikasi alternatif-alternatif pemecahan
dari rumusan masalah yang telah disepakati, alternatif yang diidentifikasi
adalah sangat mungkin dilakukan, yaitu yang tepat dan realistik. Konselor
dapat membantu klien menyusun daftar alternatif-alternatif, dan klien
memiliki kebebasan untuk memilih alternatif yang ada. Dalam hal ini
konselor tidak boleh menentukan alternatif yang harus dilakukan klien.
4. Tahap perencanaan
Jika klien telah menetapkan pilihan dari sejumlah alternatif, selanjutnya
menyusun rencana tindakan. Rencana tindakan ini menyangkut tindakan
apa saja yang akan dilakukan dan sebagainya. Rencana yang baik jika
realistik, bertahap, tujuan setiap tahap juga 1elas dan dapat dipahami oleh
klien. Dengan kata lain, rencana yang dibuat bersifat tentatif sekaligus
pragmatis.
5. Tahap tindakan atau komitmen
Tidak berarti operasionalisasi rencana yang disusun. Konselor perlu
mendorong klien untuk berkemauan melaksanakan rencana-rencana itu.
Usaha klien untuk melaksanakan rencana s<mgat penting bagi
keberhasilan konseling karena tanpa ada tir>dakan nyata proses konseling
tidak ada artinya. ,
32
6. Tahap penilaian dan umpan balik
Konselor dan klien perlu mendapatkan umpan balik dan penilaian tentang
keberhasilannya. Jika ternyata ada kegagalan m~ka perlu dicari apa yang
menyebabkan klien harus bekerja mulai mulai dari tahap yang mana lagi.
Mungkin diperlukan rencana-rencana baru yang sesuai dengan keadaan
klien dan perubahan-perubahan yang dihadapi klien. Jika ini yang
diperlukan maka konselor dan klien secara fleksibel menyusun alternatif
atau rencana yang lebih tepat.
Cara kerja tahapan-tahapan konseling eklektik sebagaimana dikemukakan
Carkhuff secara sistematik dapat dilihat pada g111mbar berikut (latipun, 2005):
I II III IV v VI Eksplorasi Perumu Identifika Percnca Aksi/kom Assesm masalah san si naan itmen ent dan
mas al ah masalah um pan balik
I I I I I I Berdasarkan elaborasi yang panjang lebar tentang ketiga pendekatan dalam
konseling, maka dapat dilihat bahwa pendekatan konseling yang relevan dan
dilakukan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan adalah pendekatan non direktif
atau sering disebut juga client-centered therapy adalah suatu metode
33
perawatah psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor
dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal self (diri klien
yang ideal) dengan actual self (diri klien sesuai kenyataan sebenarnya).
Pendekatan ini memberikan kesempatan dan tanggung jawab kepada klien
untuk mencapai tujuan konseling. Peranan utama dipegang oleh klien.
sedangkan konselor hanya berperan sebagai orang penuh penerimaan dan
perhatian terhadap pmblem klien serta menunjukkan sikap mau rnembantu.
Jadi dengan pendekatan ini fungsi konselor hanya sebagai pendengar yang
aktif dan dapat rnemantulkan kembali pikiran d111n perasaan klien, dengan
disertai perasaan ernpati konselor yang menun,ukkan sikap menerima dan
penuh pengertian.
2.1.5 Proses Konseling
Kata proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya runtutan
perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu; rangkaian tindakan
perbuatan (Moeliono, et.al.,1998). Dalam kamus Dewan, proses diartikan
sebagai perubahan atau peristiwa yang berlaku dalam perkembangan
sesuatu (Othman, et.al., 1991 ).
Menurut Baraja (2004) proses konseling merupakan suatu cara atau langkah
langkah agar kegiatai;i konseling berjalan sehingga dapat mengungkapkan
34
dan memecahkan masalah klien, maka dalam proses konseling perkawinan
diharapkan dapat terungkap masalah/konflik yang dihadapi suami isteri
sehingga terjadi perdamaian diantara mereka dan selain itu akan bisa
dirumuskan strategi pemecahan masalah-masalahnya.
Menurut Brammer (1979) dalam Sofyan S.WilliS (2004) proses konseling
adalah peristiwa yang tengah berlangsung dan memberi makna bagi peserta
konseling tersebut (konselor dan klien). Proses konseling terlaksana karena
hubungan konseling berjalan dengan baik.
Menurut Sofyan S. Willis (2004) secara umum proses konseling dibagi atas
tiga tahapan:
1. Tahap Awai Konseling
Adapun proses konseling tahap awal yang dilakukan konselor sebagai berikut:
a. Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien;
b. Memperjelas dan mendefinisikan masalah;
c. Membuat penaksiran dan penjajakan; dan
d. Menegosiasikan kontrak.
2. Tahap Pertengahan
Berangkat dari definisi masalah klien yang disepakati pada tahap awal, maka
kegiatan selanjutnya adalah memfokuskan pada aspek:
a. Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah, isu, dan kepedulian klien
lebih jauh;
b. Menjaga agar hubungan klien tetap selal\J terpelihara; dan
c. Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak;
3. Tahap Akhir Konseling (Tahap Tindakan)
Pada tahap akhir konseling ditandai dengan beberapa hal, yaitu:
a. Memutuskan perubahan sikap dan perilaku yang memadai;
b. Terjadinya transfer of learning pada klien;
c. Melaksanakan perubahan perilaku; dan
d. Mengakhiri hubungan konseling
35
Proses konseling perkawinan dalam hal ini akan merujuk pada pendekatan
yang dikemukakan oleh Carkhuff, seorang teontikus pendekatan eklektik.
Carkhuff (Winkel dan Sri Hastuti, 2004) yang mengemukakan model
konseling sistematis yang menjamin efisiensi dan efektifitas dari proses
konseling serta menghasilkan perubahan positif yang nyata pada diri klien,
yaitu dengan melewati tiga fase pokok dalam proses konseling adalah fase
eksplorasi (exploration), pemahaman diri (understanding), dan bertindak
(action).
36
2.2 Konseling Perkawinan
2.2.1 Pengertian Konseling Perkawinan
Adapun mengenai konseling perkawinan terdapat beberapa istilah, yaitu
couples counseling, maniage counseling, dan marital counseling. lstilah
istilah ini dapat digunakan secara bergantian dan memiliki makna yang sama
(Latipun, 2005).
Menurut Klemer (1975) dalam Latipun (2005) konseling perkawinan
merupakan konseling yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan,
metode penurunan ketegangan emosional, metode yang membantu partner
partner yang menikah untuk memecahkan masalah dan menentukan pola
pemecahan masalah yang lebih baik.
Dikatakan sebagai metode pendidikan, karena 1<onseling perl<awinan
memberikan pemahaman kepada pasangan yang berkonsultasi tentang diri,
pasangannya, dan masalah-masalah hubungan perkawinan yang dihadapi
serta cara-cara yang dapat dilakukan dalam mll?ngatasi masalah
perkawinannya.
Penurunan ketegangan emosional dimaksudkan bahwa konseling
perkawinan dilakukan biasanya saat kedua belah pihak berada pada situasi
emosional yang sangat berat (akut). Dengan konseling, pasangan dapat
melakukan ventilasi, dengan jalan membuka emosinya sebagai katarsis
terhadap tekanan-tekanan emosional yang dihadapi (Latipun, 2005).
Menurut Latipun (2005) ada tiga asumsi yang mendasari konseling
perkawinan, yaitu:
37
1. Konseling perkawinan lebih menekankan pada hubungan pasangan,
bukan kepada kepribadian masing-masing partner. Konse!or tidak
menekankan untuk mengetahui secara mendalam kepribadian setiap
klien yang datang. Dia akan menekankan tentang bagaimana
hubungan yang terjadi selama ini diantara pasangan tersebut.
Konselor dibolehkan melihat ke belakang tentang aspek kepribadian,
termasuk riwayat-riwayat masa lalunya, namun yang ditekankan
adalah bagaimana sifat kesulitan yang dihadapi menyangkut
hubungan kedua belah pihak;
2. Masalah yang dihadapi kedua belah pihak dalam kondisi mendesak
(akut), sehingga konseling perkawinan dilaksanakan dengan
pendekatan iangsung untuk memecahkan masalah; dan
3. Masalah-masalah yang dihadapi pasangan adalah masalah-masalah
yang normal, b,"ukan kasus ekstrim yang bersifat patologis. Masalah
38
normal adalah masalah yang umum dialami dalam kehidupan keluarga,
hanya saja pasangan suami istri mengalami kesulitan mengatasi
konflik-konfliknya.
2.2.2 Konselor Perkawinan
Konselor perkawinan di Sadan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan (BP4 Pusat, 1997) harus memenutii kualifikasi sebagai berikut:
1. Konselor atau penasehat perkawinan diangk11t dan diberhentikan oleh
pengurus masing-masing tingkatan organisa111
2. Konselor perkawinan harus:
a. Berkelakuan baik dan beramal saleh, terutama dalam kehidupan
berkeluarga;
b. Menyimpan rahasia orang yang berkepentingan;
c. Sudah mengikuti pelatihan sebagai konselor perkawinan;
d. Berumur sekurang-kurangnya 30 tahun dan telah kawin; dan
e. Memiliki pengetahuan dan keterampilan lentang konseling perkawinan
dan keluarga.
Di samping itu konselor juga diharapkan memillki beberapa aspek (BP4
Pusat, 1997):
,,
39
a. Rasa pengabdian yang tinggi. Jika rasa pengabdian itu tidak tertanam
pada diri konselor, maka jangan harap ia akan ikhlas dalam beramal.
Bahkan sebaliknya setiap tindakannya d1dasarkan pada keuntungan;
b. Motivasi yang kuat. Para konselor akan cepat putus asa dalam
mengatasi perselisihan yang berat dalam perselisihan suarni istri; dan
c. Mampu menerapkan metode yang baik. Para konselor harus memiliki
dan pandai menerapkan metode yang baik, karena metode yang
diterapkan berpengaruh pada berhasil atau tidaknya dalam menangani
suatu masalah;
2.2.3 Tujuan Konseling Perkawinan
Pelaksanaan konseling perkawinan tidak memiliki orientasi untuk
mempertahankan suatu keluarga. Konselor berpandangan bahwa dirinya
tidak memiliki hak untuk memutuskan cerai atau tidak sebagai solusi
terhadap masalah yang dihadapi pasangan. Brammer dan Shostrom (1962)
mengemukakan bahwa perhatian utama konseling perkawinan adalah
berorientasi untuk membantu klien-kliennya dalam mengaktualisasikan diri;
apakah dengan jalan bercerai atau tidak.
Pada hakikatnya tujuan konseling perkawinan 11dalah untuk clapat
mempengaruhi sikap, tingkah laku, pikiran, pen1saan dan terutama cara ,,
40
mengambil keputusan. Penasehatan perkawim~n terutama yang sedang
mengalami masalah (merital conflik) lebih bertl!fuan agar pasangan
perkawinan dapat mengambil sikap lebih dewa111a dan berfikir positif. Menurut
Deva (1989) pasangan perkawinan yang sedang mengalami konflik marital
umumnya tidak lagi mempunyai hubungan yang baik dengan realitas. Dalam
hal ini penasehatan dibutuhkan agar suami dan istri, masing masing dapat
berdiri sendiri, bersedia untuk saling membantu dan memperkokoh ikatan
perkawinannya. Menurut Masdani (1980) penar.ehatan juga bertujuan untuk
mengurangi ketegangan dan untuk menolong suami istri agar dapat
mengembangkan perilaku yang efektif dalam menghadapi konflik marital.
Dalam hal ini penasehatan yang diberikan diharapkan dapat membantu
mereka memperoleh pengertian yang obyektif tentang keadan yang
dihadapinya. Keadaan ini akan membawa mereka mengenal dan mampu
mengungkapkan perasaannya sehingga dapat mengurangi ketegangan dan
deritanya hingga mereka akan dapat berfikir realistis (BP4 Pusat, 1997).
Dalam konseling perkawinan, konselor membantu klien untuk melihat realitas
yang dihadapi dan mencoba menyusun keputusan yang tepat bagi keduanya.
Keputusannya dapat berbentuk menyatu kembali, berpisah, bercerai, untuk
mencari kehidupan yang lebih harmonis, dan menimbulkan rasa aman bagi
keduanya.
'
41
Secara lebih rinci tujuan jangka panjang konseling perkawinan menurut Huff
dan Miller dalam Latipun (2005) adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan kesadaran terhadap dirinya dan dapat saling empati
diantara para partner;
b. Meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan potensinya masing-
masing;
c. Meningkatkan keinginan untuk saling membuka diri;
d. Meningkatkan hubungan yang lebih intim; dan
e. Mengembangkan keterampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan
mengelola konflik.
2.2.4 Tipe-Tipe Konseling Perkawinan
Untuk memahami lebih lanjut tentang pelaksan111m konseling perkawinan,
rnaka diklasifikasikan empat tipe konseling pert.awinan, yaitu: concurrent,
collaborative, conjoint, dan couples group counseling (Latipun, 2005).
a. Concurrent Marital Counseling
Konselor yang sama melakukan konseling seC<11ra terpisah pada setiap
partner. Metode ini digunakan ketika salah seorang partner memiliki masalah
psikis tertentu untuk dipecahkan tersendiri. Dalam pendekatan ini konselor
mempelajari kehidupan masing-masing pasangan yang dijadikan bahan
dalam pemecahan masalah "pribadi" maupun masalah yang berhubungan
dengan perkawinannya.
b. Collaborative Marital Counseling
42
Setiap partner secara individual menjumpai konselor yang berbeda.
Konseling ini terjadi ketika seorang partner lebih suka menyelesaikan
masalah hubungan perkawinannya. Sementara konselor yang lain
menyelesaikan masalah-masalah lain yang juga menjadi perhatian kliennya.
Konselor kemudian bekerja sama membandingl<an hasil konselingnya dan
merencanakan strategi intervensi yang sesuai.
c. Conjoint Marital Counseling
Suami istri secara bersama-sama datang ke seorang atau beberapa konselor.
Pendekatan ini digunakan ketika kedua partner dimotivasi untuk bekerja
dalam hubungan, penekanan pada pemahaman dan modifikasi hubungan.
Pada tipe ini, konselor secara simultan melakukan konseling terhadap kedua
partner.
d. Couples Group Counseling
Beberapa pasangan suami istri bersama-sama datang kepada seorang atau
beberapa konselor. Pendekatan ini digunakan sebagai pelengkap conjoint
counseling. Metode ini dapat mengurangi kedalaman situasi emosional
antara pasangan, selanjutnya mereka belajar dan memelihara perilaku yang
lebih rasional dalam kelompok.
44
yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan".
Sementara menurut Roxane S. Lulofs. dan Dudley D. Cahn (2000), "Konflik
adalah dua atau lebih reaksi yang bertentangan terhadap suatu peristiwa,
atau perbedaan antara dua individu, adanya saling permusuhan antara
kelompok, atau adanya suatu masalah yang harus diselesaikan".
Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan konflik
adalah adanya suatu kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang
membawa ketidakharmonisan baik dari individu atau kelompok.
Dalam bahasa Arab menurut Munir al-Ba'labakiy dalam kamus al-Maurid
(1994), kata konflik bisa disebut dengan niza'un atau khilaf. Niza' berasal dari
kata naza'a yang dalam al-Qur'an disebutkan dalam berbagai bentuk
(Muhammad Fu'ad al-Baqiy, tt.th), kata naza'a memiliki beberapa arti di
antaranya:
1. Pertentangan, perselisihan (Q.S. Ali lmron/3:152)
2. Berbantah (Q.S. al-Anfal/8:46)
3. Menarik (Q.S. Asy-Syu'ara/26:33)
4. Mencabut (Q.S.Huud/11 :9)
5. Berlainan pendapat (Q.S. an-Nisa/4:59)
6. Melenyapakan (Q.S. al-Hijr/15:47)
7. Menggelimpangkan (Q.S. al-Qamar/54:10)
8. Memperebutkqn (Q.S. ath·Thur/52:23)
dalam mendefinisikan konflik, yaitu "Suatu keadaan dimana terdapat
pertentangan baik secara fisik atau non fisik, olch kelompok atau perorangan".
2.1.2 Sebab-Sebab Terjadinya Konflik
Dalam upaya penanganan konflik secara baik dan benar, maka diperlukan
pengenalan yang baik terhadap akar timbulnya konflik tersebut. Banyak
aspek yang menyebabkan timbulnya konflik, baik faktor internal maupun
faktor eksternal. Sebelum penulis membahas tentang objek sumber konflik,
maka penulis ingin memaparkan bahwa ada lima aspek yang memiliki
keterkaitan dan saling mempengaruhi dalam kehidupan seseorang. Kelima
aspek tersebut adalah pikiran, suasana hati, perilaku, reaksi fisik dan
lingkungan (Dennis Greenberger dan Christine A. Padesky, 2004). Di
samping kelima aspek tersebut, Siti Zainab (2005) menambahkan bahwa
faktor agama juga memiliki peran yang signifikan untuk mempengaruhi pola
perilaku pasangan suami istri dalam konteks penyebab timbulnya konflik.
46
Konflik suami istri dalam kehidupan rumah tangga bisa terjadi karena
beberapa sebab. Terkadang penyebabnya hanya satu, namun ada juga yang
penyebabnya lebih dari satu. Bahkan penyebab pertama bisa mendatangkan
penyebab berikutnya.
Pada penelitian ini, penulis akan menjelaskan enam faktor penyebab konflik
yang diambil dari obyek atau pelakunya yang saling kait mengait dan saling
mempengaruhi dalam kehidupan sesorang, sehagaimana dikemukakan oleh
Dennis Greenberger dan Christine A. Padesky (2004) serta oleh Siti Zainab
(2005). Adapun penyebab terjadinya konflik ter111ebut adalah:
a.Agama.
Faktor agama yang dimiliki oleh suami istri se~lum dan sesudah menikah
sangat mempengaruhi kondite sebuah rumah langga. Agama dapat
dikatakan sebagai peta atu kompas sebagai petunjuk bagi pasangan suami
istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Seringkali konflik terjadi
karena ketidaksiapan atau ketidakmampuan suami istri dalam mengurus
rurnah tangga serta ketidaktahuan akan hak dan kewajiban sumai istri yang
telah ditentukan oleh hukum agama (Shaleh Ghanim, 2001).
47
Pemahaman dan pengamalan agama yang baik membimbing kepada jalan
yang benar. Demikian sebaliknya pemahaman dan pengalaman agama yang
minim dan parsial, berakibat pada perilaku, suasana hati maupun reaksi fisik
yang tidak benar. Dan akhirnya semuanya akan bermuara pada masalah
hubungan suami istri, baik antara mereka berdua, keluarga mereka, bahkan
berdampak pada lingkungan dimana mereka tinggal.
Dalam konteks ini terlihat relevansi petunjuk Rasulullah saw. dalam memilih
pasangan hidup (suami istri) bahwa faktor agama merupakan faktor yang
sangat signifikan dalam membina rumah tangga.
b. Pikiran
Pikiran yang buruk (negatifthinking) dan prasangka berlebihan kepada
pasangan atau keluarganya, maupun lingkungannya karena terjadinya
misscommunication, sangat berbahaya karena akan mengakibatkan
terjadinya konflik dan disharmonis hubungan manusia dalam setiap lini
kehidupan bahkan hubungannya dengan Allah. Selain berbahaya prasangka
buruk juga merupakan dosa bagi pelakunya, sebagaimana firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu ada/ah dosa" (Al-Hujurat: 12).
48
Kecenderungan seorang istri lebih banyak berpraduga kepada suami, karena
secara alamiah perempuan lebih banyak atau 10ering berpikir yang berlebihan
daripada laki-laki. Seperti riset selama 20 tahun oleh Susan Nolen-Hoeksema
menunjukan makin banyak perempuan yang b1011ikir secara berlebihan. Di sisi
lain perempuan terlahir sebagai orang yang cenderung berfikir terlalu banyak
dan menganalisa secara berlebihan (Tabloid Awa, 2004).
Berpikir secara berlebihan akan menjadi masalah jika menjadi sebuah
tuntutan tanpa kompromi, demikian juga pikiran berlebihan dalam melihat
masalah yang terjadi dalam keluarga baik dengan pasangan secara langsung
ataupun tidak langsung memberi peluang mendatangkan konflik, atau
mempengaruhi konflik yang telah ada.
c. Suasana hati.
Suasana hati kurang stabil, sedikit banyak berpengaruh pada perilaku dan
reaksi fisik terhadap stimulus yang diterima dari luar, dengan atau tanpa
pemikiran terlebih dahulu. Jika hal tersebut tidak dipahami oleh pasangan
suami istri, maka dapat menimbulkan kesalahpahaman dan berujung pada
terjadinya konflik, baik besar maupun kecil.
49
Menurut hasil penelitian, sekitar 70 % perempuan menderita sindrom
pramenstruasi -premenstrual syndrom (PMS) sampai tingkat tertentu. Pada
tingkat paling ringan, PMS menyebabkan mudah marah, menangis dan
kembung. Tapi 1 diantara 20 perempuan menderita kondisi yang membuat
lemah, yang dapat mempengaruhi suasana hati, harga diri, hubungan
interpersonal dan pekerjaan (Tabloid Aura, 2004).
d. Perilaku
Perilaku yang buruk disebabkan kurangnya pemahaman agama tentang hak
dan kewajiban suami istri atau karena pengaruh lingkungan yang tidak
kondusif. Perilaku yang buruk, seperti suka menuntut yang berlebihan,
menghina, cemburu yang berlebihan, sombong, tidak bisa menghargai orang
lain, tidak melaksanakan kewajiban suami istri, melakukan perbuatan maksiat,
keras kepala, kikir, bores, berkhianat, materiali11tik, dan lain sebagamya.
Contoh perilaku istri yang berkhianat diilustrasikan dalam firrnan Allah:
Artinya: "Allah membuat istri nabi Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang yang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya, maka kedua suaminya itu ti111da dapat mernbantu mereka sedikitpun dari siksa Allah; dan dikatakan kepada keduanya: "Masuklah ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk neraka" (At-Tahrim:10).
50
Di samping itu, konflik juga terjadi !<arena kesalahan dalam berkomunikasi,
bagaimana menerima dan mengirim pesan. Proses komunikasi memang
sangat kompleks. Pesan yang diterima bukan saja dari telinga, namun yang
sangat berpengaruh bagaimana mengartikan pesan yang didengar,
selanjutnya bagaimana mengartikan pesan yang diterima sangat tergantung
kepada latar belakang masing-masing pasangan sebelum perkawinan.
Dalam sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Marriage and Family,
Gettman dan para koleganya melihat bahwa kebanyakan konflik diawali oleh
pertengkaran suami istri yang seringkali dicetuskan oleh istri dengan nada
pembicaraan yang meninggi (Tabloid Aura, 2003). Fenomena ini dapat
dipahami, karena secara fitrah, perempuan sangat mudah dikuasai oleh
emosi, sehingga tidak lagi mampu mengendalikan dirinya dengan logika dan
akal sehat (Muhammad Thalib, 2002).
e. Reaksi Fisik
Pikiran yang destruktif menimbulkan reaksi fisik yang destruktif pula. Reaksi
aktif destruktif, seperti kekerasan bisa berupa bentakan, pemukulan,
penyiksaan, dan pembunuhan adalah hal-hal yang sering dilakukan oleh
suami terhadap istri dalam menyelesaikan masalah.
51
Namun sebaliknya reaksi pasif destruktif adalah dengan menyiksa diri sendiri
dengan berbagai cara, dan yang paling fatal adalah bunuh diri. Reaksi
tersebut tidak menyelesaikan masalah, bahkan mempengaruhi dan
menambah permasalahan konflik baru. Sementara bagi perempuan yang
agresif sering melakukan reaksi fisik secara berlebihan, seperti suka
melempar barang ketika terjadi pertengkaran, membanting pintu, bahkan
melakukan kekerasan kepada suami atau keluarga yang lain.
2.3.3 Permasalahan Suami lstri dalam kehid~Jpan Sohari-Hari
Adapun permasalahan konflik suami istri menurut Siti Zainab (2005) biasanya
dipicu oleh bebrapa faktor, yaitu:
1. Perselingkuhan
Perselingkuhan memang kata-kata yang tidak asing didengar pada saat ini.
Perselingkuhan bisa terjadi dimana saja terutama di kota-kota besar.
Bentuknyapun beragam, dari perselingkuhan dengan teman kantor atau
atasan, dengan tetangga, dengan anak kos dan sebagainya.
52
Pelaku perselingkuhan pun sekarang tidak saja didominasi oleh suami,
namun dari pihak istri pun mulai meningkat. lni adalah fenomena perkawinan
yang sangat ironis dan mencemaskan dalam kmhidupan rumah tangga.
Faktor penyebab dari perselingkuhan bermacam-macam, seperti, adanya
peluang dan kesempatan, konflik dengan pasangan, seks yang tidak
terpuaskan, abnormalitas atau animalistis seks, iman yang hampa karena
hilangnya rasa malu dan sebagainya (Abu al-Ghifari, 2003).
Perselingluhan dengan alasan apapun bisa membawa akibat yang fatal, yaitu
terjadinya perceraian atau putusnya hubungan suami istri. Hal tersebut terjadi
karena kebanyakan pasangan sangat sulit memaafkan dan menerima
kembali pasangannya yang telah melakukan perselingkuhan.Secara medis
akan mendatangkan penyakit kelamin (kalau sampai melakukan zina)
dampaknya bisa aborsi. Dari sudut pandang sosial jelas perselingkuhan akan
mendatangkan aib, gunjingan dan hinaan dari lingkunganya. Secara
psikologis mengakibatkan depresi dan frustras1. Dan yang paling penting
dalam konteks ajaran Islam, adalah termasuk suatu perbuatan maksiat,
apalagi kalau sampai terjerumus pada perzinahan.
2. Keuangan atau kemiskinan
5.1
Masalah keuangan rentan menimbulkan konfli~ suami-istri. Apalagi pada
masa sekarang, naiknya harga kebutuhan po~ok dan banyaknya PHK yang
berakibat pada pengangguran, membuat para keluarga kehilangan
keseimbangan, tidak saja menimbulkan kekarauan keuangan, namun juga
menimbulkan kekacauan psikis, bahkan kegoyohan pada keyakinan.
Masalah keuangan tidak hanya terkait dengan kemiskinan. Banyak orang
yang sudah mapan secara materi, namun masth berambisi untuk
mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa melihat halal haramnya.
Semua waktu tersita sampai melupakan kewajlbannya, baik sebagai hamba
Allah maupun kewajiban kepada manusia. Sehingga hubungan keluarga dan
sosialnya terganggu dan berdampal< pada hubungan yang tidak harmonis.
3. Kekerasan
Tingkat kekerasan yang dialami perempuan di Indonesia cukup tinggi dari
jumlah penduduk Indonesia yang hampir 217 iuta jiwa, 11,4% atau sekitar 24
juta perempuan, terutama di pedesaan, mengaku pernah mengalami tindak
kekerasan. Sebagian besarnya adalah di dalarn rumah tangga, seperti
pelecehan seksual, penganiayaan, perkosaan, atau perselingkuhan yang
dilakukan oleh pihak suami (Zaitunah Subhan, 2004).
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga bisa berupa kekerasan fisik,
psikologis, kekerasan ekonomi dan kekerasan seksual. Jika dicermati jenis
kekerasan diatas, maka terjadinya kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga sangat rentan, apalagi bagi pihak istri. Karenanya hal tersebut tidak
saja perlu penanganan yang serius, juga diperlukan tindakan prepentif.
Secara sederhana faktor yang menimbulkan kekerasan terbagi dua, yaitu:
faktor eksternal adalah berkaitan dengan hubungan kekuasaan suami istri
dan diskriminasi gender di kalangan masyarakat. Dan faktor internal yaitu
karena kondisi psikis dan kepribadian suami s1wbagai pelaku kekerasan
(Fathul Jannah, 2003).
4. Gangguan seksual
54
Kasus yang berkenaan dengan gangguan sek11ual yang mendatangkan
konflik terhadap suami istri sangat beragam, d111ngan darnpak dan akibat yang
bervariasi pula. Sepe1ti ketidakmampuan suam1 atau istri memberi nafkah
batin kepada pasangannya, adanya perilaku y .. ng menyimpang dalam
melakukan kegiatan seksual dan sebagainya. Para psikiater mengakui,
banyak gangguan mental dan syaraf yang berawal dari problem
seksual.Gangguan-gangguan seksual juga dapat menimbulkan berbagai
penyakit psikomatis yang akhirnya mengakibatkan gangguan fisik.
Sehingga kesehatan emosional juga terkait kepada pengelolaan yang
bijaksana dari aspek seksual (Abu al-Ghifari, 2003).
55
Ketidakmampuan mengatasi masalah seksual sering berasal dari masalah
komunikasi. Hal tersebut dikarenakan berbedanya pria dan wanita
menaggapi masalah seks ini. Pria menginginkan cinta dan cenderung
menunjukan cintanya dengan memulai hubungan seks. Sedangkan wanita
cenderung lebih siap memulainya dengan ungkapan komunikasi non-seksual.
Disinilah sering terjadi kesalahpahaman, kar11ma masing-masing pasangan
merasa ditolak oleh pasangannya (Dewi L.O, 1995).
Melihat efek dari ketidakpuasan seksual dalam rumah tangga, maka
penyelesaian masalah seksual sangat penting. Diperlukan keterbukaan dan
kepercayaan dari kedua belah pihak untuk mengatasi hal tersebut. Sehingga
bisa jadi perasaan ketidakpuasan dan kekecewaan yang terpendam,
membawa kepada perilaku yang mendatangkan konflik terselubung.
2.3.4 Dampak Terjadinya Konflik
Adapun dampak dari terjadinya konflik suami-istri menurut Siti Zainab (2005)
adalah sebagai berikut:
1. Akibat Positif
56
a. Konflik suami istri tidak saja mendatangkan kesadaran untuk
mengintrospeksi diri pada pasangannya, namun juga introspeksi
hubungannya dengan Allah, yang kemud1an mendatangkan keinginan
untuk memperbaiki diri dari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan,
juga bertaubat dan membiasakan diri untuk beristighfar (Iman
Sulaiman, 2004)
Dengan adanya kesadaran untuk introspeksi din dari kedua belah pihak,
maka hal tersebut bisa:
1. Mengilhami kedua belah pihak untuk mengubah cara berpikir, merasa
ke arah yang inovatif dan menguntungkan;
2. Menambah atau meningkatkan komitmen dari masing-masing pihak di
dalam suatu hubungan (orang merasa lebih terikat);
3. Setelah konflik terselesaikan, masing-masing pihak akan menjadi lebih
akrab satu sama lain; dan
4. Dari konflik yang terjadi, pihak-pihak yang berhubungan berusaha
untuk mengembangkan suatu aturan main untuk dapat menyelesaikan
konflik di masa datang (Budyatna dan Nina Mutmainnah, 2002).
Konflik suami istri bisa menjadi wujud kasih sayang Allah, sebagai proses
seleksi dan ujian bagi hambanya. Allah SWT berfirman:
57
"Apakah manusia mengira, mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. Al-Ankabut:2)
Ujian yang Allah berikan berupa konflik diantara suami istri yang jika disikapi
secara benar akan memberikan banyak keuntungan lainnya, seperti
rnemberikan sifat sabar dan menumbuhkan rasa bersyukur yang akan
mendatangkan pahala serta meningkatkan derajat mereka.
2. Akibat Negatif
Konflik bisa menghambat tumbuh dan berkembangnya suatu hubungan
dalam beberapa hal:
a. Menimbulkan perasaan negatif;
b. Konflik seringkali menghabiskan energi. Terutama ketika upaya
penyelesaiannya menggunakan strategi konflik yang tidak produktif;
c. Konflik menyebabkan menutup dirinya dari pihak lain. Hal tersebut
dapat menyebabkan berkurangnya keintiman dan kesempatan untuk
berinteraksi secara pribadi; dan
d. Akibat yang paling sering dari terjadinya konflik adalah rnelemahkan
konsep diri seseorang (Budyatna dan Nina Mutmainnah, 2002).
Selain itu menurut Ahmad Bahjat (2002) damp~k dari konflik perkawinan ini
jika dilihat dari pengaruh secara tidak langsung akan berakibat pada
beberapa aspek diantaranya adalah:
58
a. Dampak bagi suami istri.
Dampak yang sangat umum adalah terjadinya rllsharmonis hubungan suami
istri seperti hilangnya rasa kasih sayang, pengt1r1ian, dan harapan yang tidak
jarang berujung kepada perceraian. Sedangkan dampak positifnya ialah
makin kokohnya ikatan perkawinan, kepercayaan, kebersamaan yang
akhirnya menjadikan keluarga yang sakinah.
b. Dampak terhadap anak.
Dampak terhadap anak-anak ini tergantung bagaimana orang tua mereka
bereaksi terhadap konflik. Hasil penelitian memmjukkan bahwa kematian
orang tua dalam peperangan tidak hanya mempengaruhi kehidupan anak
pada masa selanjutnya, bahkan mungkin kesedihan tersebut bisa membantu
mereka menyadari dan memahami kesedihan orang lain. Akan tetapi, konflik
dalam rumah tangga yang dialami seorang anak menghancurkan mental
rnereka dan diliputi suasana yang penuh kegelisahan. Kondisi tersebut bisa
membekas sampai mereka dewasa (Ahmad Bahjat, 2002).
Dari penelitian tersebut, maka jelas bahwa bagaimana suami istri dapat
menangani konflik yang terjadi sangat berpengaruh terhadap jiwa anak. Jika
mereka bersikap secara dewasa, maka anak-anak akan belajar bagaimana
mereka bereaksi secara baik jika terjadi konflik. Secara psikologis anak-anak
akan menjadi pribadi,yang tenang, logis, tidak tergesa-gesa dan tidak mau
59
menang sendiri jika kenyataan tidak seperti yang diinginkan. Membuat anak
anak dapat beradaptasi dengan lingkungan, dan tentunya bisa menjadi
pribadi yang menyenangkan. Akan tetapi jika penanganan konflik dari orang
tuanya tidak baik, apalagi sampai terjadi perceraian, maka secara psikologis
anak akan terganggu. Akibatnya anak merasa tidak aman, tertekan, bahkan
bisa merasa frustrasi yang pada akhirnya membawa kepada penderitaan.
Jika anak mengalami ketidaknyamanan dan frustrasi, maka anak bisa
terjerumus kepada perilaku menyimpang dan melakukan kemaksiatan,
seperti penggunaan narkoba, minuman keras, bahkan perzinahan.
c. Dampak bagi lingkungan sosial.
Dampak bagi lingkungan sosial ini bisa berkaib•n dengan hubungan keluarga
dari kedua belah pihak (terlepas letak secara g.,ografis dekat maupun jauh),
tetangga dan lingkungan sosial dimana merek<1 tinggal.
Hubungan keluarga kedua belah pihak tentu s~ngat berpengaruh dengan
adanya konflik yang terjadi. Jika konflik tersebu1 besar dan tidak
terselesaikan dengan baik, maka hubungan keluarga bisa renggang atau
disharmonis, bahkan kemungkinan terburuk bisa terputus. Sebaliknya konflik
yang ditangani secara baik, maka akan tercipta rasa memiliki dan saling
menolong, sehingga menciptakan hubungan keluarga yang lebih dekat dan
harmonis.
BAB Ill
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan metode kualitatif.. Pemilihan
pendekatan kualitatif ini didasarkan pada pertimbangan untuk menjawab
masalah dan tujuan penelitian, yaitu mengetahui pelaksanaan konseling
perkawinan di BP4 dalam menangani konflik suami istri.
Penggunaan pendekatan kualitatif dipergunakan atas tiga pertimbangan
pokok. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila
berhadapan dengan gejala yang kompleks. Kedua, metode ini menyajikan
secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga,
metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak
penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi
(Lexy Moleong, 2000).
Sehubungan dengan pendekatan ini, maka pendekatan kualitatif adalah
suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Pendekatan ini
diarahkan pada setting individu dalam latar tersebut secara menyeluruh.
61
Pertimbangan lainnya mengapa pendekatan kualitatif ini dipilih adalah karena:
1. Peneliti dapat memahami realitas dalam domain pengalarnan
masyarakat yang dikaji;
2. Pendekatan kualitatif secara langsung nwenyajikan hakikat hubungan
antara peneliti dan informannya;
3. Pendekatan kualitatif lebih dapat beradaptasi dengan keterkaitan pola
pola tingkah laku dan nilai-nilai yang menjadi latar belakangnya;
4. Desain penelitian kualitatif bersifat fleksihel dan lentur dalam arti
secara terus menerus disesuaikan dengi~n kenyataan di lapangan; dan
5. Konsepsi tentang realitas sosial lebih merupakan proses dan realitas
yang merupakan produk konstruksi sosial.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilakukan di kantor Sadan
Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kotamadya
Jakarta Selatan.
Adapun karakteristik penelitian kualitatif antara lain adalah ia akan
berlangsung dalam latar belakang yang alamiah, peneliti sendiri merupakan
alat pengumpul data yang utama, analisis datanya dilakukan secara induktif.
Ditinjau dari tujuannya penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif
analitis. Penulis berusaha menggambarkan fenomena sosial tertentu secara
sistematis, faktual dan akurat (Mohammad Nasir, 1998), kemudian dianalisis
62
secara rinci dan kritis. Dalam konteks ini berarti penulis menyajikan data-data
yang telah diperoleh tentang konseling perkawinan di BP4 Kotamadya
Jakarta Selatan dalam menangani konflik suami istri.
Penelitian data dilakukan dengan dua cara:
a. Penelitian Kepustakaan (Ubrary Research)
Penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan penulis dengan
me!akukan riset kepustakaan dan mengumpulkan data sumber-sumber
primer dan sekunder. Selanjutnya untuk memudahkan penulisan dalam
penelitian kepustakaan ini, maka penulis menggunakan dua metode, yaitu: 1)
metode seleksi sumber (source selection), yaitu dengan menyeleksi buku
buku yang menjadi inti dalam penelitian ini, dan 2) metode analisis inti
(content analysis), yakni dengan membaca dan menyelidiki serta mencermati
isi buku-buku dan dokumen yang akan diteliti, sehingga dapat rnemudahkan
penulis dalam mengemukakan ide dan persepsr.
b. Penelitian Lapangan (field research)
Dalam mengumpulkan data penulis mengguna~ an teknik interview yaitu
teknik wawancara !angsung untuk mendapatkan informasi yang diperlukan
dari subyek penelitian atau orang yang terlibat 111 da!amnya.
63
3.2 Subyek Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, menurut Strauss dalam Rosenthal dan Rosnow
(2004) tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah minimal subyek penelitian
yang harus dipenuhi. Apabila data yang diperoleh telah cukup memadai dan
mendalam, maka dapat diambil subyek dalam jumlah kecil, misalnya pada
penelitian yang menggunakan wawancara mendalam. Dalam penelitian ini,
subyek berjumlah tiga orang konselor. Pengambilan subyek penelitian
dilakukan dengan cara purposive sampling (sampel bertujuan) dimana
sampel penelitian diambil dari populasi yang mewakili sampel-sampel lain.
3.2.1 Kriteria Subyek
Dalam kajian pustaka telah disinggung mengenai pengertian konselor,
kualifikasi konselor perkawinan dan lain sebagainya, untuk keperluan
penelitian ditetapkan kriteria subyek penelitian.
Adapun kriteria subyek I responden adalah:
1. T elah mengikuti pelatihan konseiing perkawinan
2. Merupakan pegawai BP4 yang menjabat sebagai konsultan perkawinan
3. Telah melakukan konseling perkawinan pada pasangan suami istri
64
4. Telah menangani lebih dari tiga orang klien. Penentuan ini didasarkan
bahwa konselor tersebut telah memiliki pengalaman dalam menangani klien,
serta memahami karakteristik dan psikologis klien.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalarn penelitian ini. akan digunakan metode
wawancara mendalam (in-dept interview) dan metode observasi sebagai
penunjang.
3.3.1 Wawancara
Menurut Bugin (2001) wawancara merupakan pmses percakapan dengan
rnaksud untuk mengkonstruksi mengenai orang kejadian, kegiatan,
organisasi, motivasi, perasaan, dan lain sebagmnya yang diiakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara (interviewet) dengan yang diwawancarai
(interviewee).
Pada penelitian ini akan dilakukan wawancara semi terstruktur dan bersifat
terbuka, sehingga pada proses wawancara akan dapat menggali informasi
yang banyak berdasarkan pedoman wawancam yang telah tersusun, tetapi
bersifat luwes, bebas irama serta ada komunikasi yang baik antara
65
pewawancara dengan yang diwawancarai karena proses wawancara bersifat
terbuka.
3.3.2 Observasi
Observasi menurut Wayan Nurkancana (1993) merupakan suatu cara
pengumpulan data dengan menggunakan pengamatan langsung terhadap
suatu obyek dalam suatu periode tertentu dan mengadakan pencatatan
secara sistematis tentang hal-hal yang diamati. Pengamatan langsung yang
dimaksud dapat berupa kegiatan melihat, mendengar atau kegiatan indera
lainnya. Observasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi
ruang konseling serta fasilitas pendukungnya. Observasi dilakukan secara
terbuka, yaitu peneliti menyatakan langsung akan kehadiran peneliti untuk
mengadakan penelitian.
3.4 lnstrumen Pengumpulan Data
Untuk memudahkan peniJmpulan data, maka ponulis menggunakan
beberapa instrumen sebagai alat bantu yang akan digunakan dalam
penelitian, yaitu pedoman wawancara, lembar observasi dan alat perekam.
66
3.4.1 Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar proses wowancara yang dilakukan
tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Selain 1tu, pedoman wawancara
juga digunakan sebagai alat bantu untuk melak1>anakan kate9orisasi jawaban
sehingga memudahkan dalam melakukan anali1>1s.
3.4.2 Lembar Observasi
Lembar observasi digunakan untuk mencatat sotiap keadaan yang ada dalam
penelitian seperti gambaran tempat pelaksanaan penelitian, waktu penelitian,
kondisi ruang konseling serta fasilitas pendukungnya.
3.4.3 Alat Perekam (Tape Recorder)
Alat perekam berfungsi sebagai alat bantu agar tidak ada data atau informasi
yang terlewatkan dalam wawancara. Disamping itu, alat perekam dapat
memungkinkan penulis untuk dapat melakukan konsentrasi pada saat
wawancara. Alat perekam juga membantu penulis dalam mengulang kembali
hasil wawancara agar diperoleh data yang utuh, sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh responden dalam penelitian, sehingga mampu
67
meminimalisasi kemungkinan bias yang akan terjadi karena subyektivitas dan
keterbatasan penulis. Alat ini digunakan dengan seizin responden.
3.5 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dilakukan dengan tujuan agar pelaksanaan penelitian
dapat dilakukan dengan sistematis atas dasar perencanaan yang matang.
Prosedur penelitian dimulai dengan tahapan persiapan penelitian yang
dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan penelitian.
3.5.1 Persiapan Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian peneliti melakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Peneliti menghubungi kantor BP4 Kotarnadya Jakarta Selatan untuk
mempertimbangkan kemungkinan dilakui.;unnya penelitian.
b. Membuat pedoman wawancara dan lemllar obsflrvasi yang disusun
berdasarkan teori yang relevan dengan PH1salah.
c. Melakukan konsultasi dengan dosen pernbirnbing untuk mendapatkan
masukan-masukan.
d. Melakukan revisi berupa perbaikan atau tambahan yang diperlukan
dalam penyusunan pedoman wawancara.
3.5.2 Pelaksanaan Penelitian
Setelah persiapan untuk melakuka penelitian telah dilakukan, kemudian
peneliti melakukan langkah selanjutnya, yaitu :
68
a. Peneliti menghubungi kembali pihak konselor BP4 Kotamadya Jakarta
Selatan untuk menentukan dan meminta kesediaan responden untuk
menjadi subyek penelitian.
b. Membuat kesepakatan dengan responden mengenai waktu dan
tempat pelaksanaan wawancara.
c. Melakukan wawancara dengan responden berdasarkan pedoman
wawancara yang dibuat dan dibantu lembar observasi serta alat
perekam.
3.6 Analisa Data
Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka analisa datanya bersifat iteratif
(berkelanjutan) dan dikembangkan sepanjang penelitian berlangsung.
Dalam proses reduksi data, penulis menganalisis bahan-bahan yang telah
terkumpul, menyusunnya secara sistematis, dan menonjolkan pokok-pokok
permasalahannya.
70
Tahap berikutnya adalah penyajian data dalam konteks ini, penulis
menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Data yang telah dipolakan, difokuskan dan disusun secara sistematis tersebut
diambil kesimpulan, sehingga makna data dapat ditemukan. Namun
kesimpulan itu bersifat sementara saja dan masih bersifat umum. Agar
kesimpulan diperoleh secara final maka data lainnya perlu dicari. Data baru
tersebut bertugas melakukan pengujian terhadap berbagai kesimpulan
tentatif tadi.
BABIV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
;~;,-z 4.1 Gambaran Umum Subyek'Penelitian
Subyek penelitian ini adalah tiga .• ,111.rang konselor dari lima orang konselor ,--)!_,,;
perkawinan (yaitu mereka yang melakukan konseling perkawinan terhadap
pasangan suami istri yang menghadapi konflik perkawinan). Konselor yang
dipilih sebagai responden adalah mereka yang telah memiliki pengalaman
sebagai konsultan perkawinan.
Responden berusia antara 40-63 tahun. Dua orang responden adalah wanita
dan seorang responden lagi adalah laki-laki. Latar belakang pendidikan
mereka yaitu satu orang pascasarjana (S2), dua orang sarjana (S1). Mereka
telah berpengalaman menjadi konselor perkawinan antara 6 hingga 15 tahun.
Mereka telah menangani 50 hingga 130 klien. Diantara mereka, dua orang
rnenjadi konselor profesional dan dosen dan satu orang di samping konselor
juga berprofesi sebagai da'i.
72
Tabel 4.1
Gambaran Umum Subyek
Nama Usia Jen is Pendidikan Pekerjaan Pengalama Klien yang ,f,4\i\·,
kelamin n menjadi telah
konselor ditangani I -···--- - ··-- \..------
A.N 63 Pria 8~ Konselor & 15 Tahun 130 klien
8yari'ah Da'r
IAR ·--
51 Wanita 81 Konselor& 10 Tahun 100 klien
Psikologi Dasen
··-·- ·-------.---------··----E.N 42 Wanita 82 Konselor & 6 Tahun 70 klien
Dakwah Dost'n
--·-· ---- ------·------·-··---
Responden pertama adalah A.N. pria kelahiran Jepara 63 tahun silam ini
adalah lulusan fakultas 8yari'ah IAIN 8yarif Hid,~yatullah Jakarta. la memulai
kiprahnya sebagai konselor sejak 15 tahun yar11,1 lalu. la memiliki pengalaman
dan jam terbang yang tinggi memberikan konsEl'l111g perkawinan dalarn
menangani konflik suarni istri sesuai dengan tu1,1as'nya di bidang penyuluhan
u;usan agama Islam dan pernah beberapa kali menjadi kepala KUA
kecamatan di OKI Jakarta. Aktivitas konseling perkawinan yang dijalaninya
selama ini dipandang sebagai amal shaleh untuk membantu sebagai
penengah suami istri yang sedang menghadapt konflik.
73
Bapak yang memiliki 9 anak ini merupakan sosok yang ramah, bersahabat
dan penuh empati sehingga klien yang datang kepadanya bisa lebih tenang
untuk melakukan konseling kepadanya dengan pendekatan agama dan
hubungan interpersonal yang baik. Di samping sebagai konselor, ia juga
masih aktif berdakwah. Hingga saat ini subyek telah menangani lebih dari
100 klien.
Responden kedua bemama A.R., wanita kelahiran Jakarta, 4 November 1955
ini masuk menjadi konselor perkawinan di BP4 sejak tahun 1995 atau sudah
11 tahun mengabdi di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan. Selain menjadi
konselor di BP4, ia juga seorang konsultan perkawinan (marriage counseling)
di lembaga swasta. Adapun faktor yang melatar belakanginya menjadi
konselor adalah karena ia seorang psikolog, senang bersosialisasi dan
berinteraksi dengan orang banyak, dan akhimya menjadi hoby untuk
mengenal bermacam-macam karakter orang, sehingga dalam proses
konseling diterapkan beberapa pendekatan sesuai dengan karakter klien
yang dihadapi. lbu tiga orang anak ini juga memiliki pengalaman belajar di
Amerika Serikat dan ia berujar bahwa:
"Saya melihat bahwa konseling perkawinan di Indonesia belum begitu popular menjadi kebutuhan, berbeda misalnya dengan di Amerika yang menganggap bahwa marriage counseling merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan".
74
Sebelum menjadi konselor perkawinan di BP4, ia mengajar di fakultas
Psikologi UI Depok. Hingga saat ini subyek telah menangani kasus100 klien.
Responden ketiga bernama E.N., wanita kelahiran Jakarta, 2 .Juni 1964 ini
masih tampak awet muda walaupun memiliki 6 orang anak, dan ia sangat
ramah dalam menghadapi klien. Wanita yang h·>bi mernbaca dan
mendengarkan musik ini menyelesaikan SI di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan 82 di llQ Jakarta. la secara resmi masuk tl•~rgabung sebagai konselor
BP4 Kotamadya .Jakarta Selatan sejak tahun 2000.
Aktivitas konseling perkawinan yang selama ini dijalaninya dijadikan sebagai
tempat untuk selalu belajar dan memperbaiki diri sendiri karena banyak
hikmah yang dapat dijadikan pelajaran dari pengalaman hidup dan masalah
orang lain. Sebelum bergabung sebagai konselor, ia bertugas di bidang
penyuluhan agama Islam dan sebagai dosen btlberapa universitas di Jakarta.
Hingga saat ini subyek sudah menangani 70 knsus dan menurut
pengakuannya:
"Al-Hamdulillah kasus konflik suami istri yang saya tangani lebih banyak ke arah perbaikan (ishlah).
75
4.2 Pelaksanaan Konseling Perkawinan di BP4 Jakarta Selatan
Pelaksanaan konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan sama
artinya dengan nasehat perkawinan. Nasehat perkawinan (marriage
counseling) adalah suatu proses pertolongan yang diberikan kepada pria atau
wanita, sebelum dan sesudah perkawinan agar mereka memperoleh
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam perkawinan dan kehidupan
keluarganya (BP4 Pusat, 1997).
Konseling perkawinan sebelum kawin (pre marital counseling) pada dasarnya
diberikan kepada pemuda dan pemudi atau calon-calon suami istri agar
mereka memahami secara obyektif peranannya dalam perkawinan dan
memahami tanggung jawab masing-masing pasangan suami istri dalam
membina keluarga bahagia dan sejahtera. Konseling jenis ini dilakukan di
BP4 KUA Kecamatan.
Sementara konseling perkawinan sesudah per~awinan pada dasarnya
bersifat pemeliharaan hubungan perkawinan dan kekeluargaan supaya tetap
berada pada suasana rukun dan harmonis yanl1 rnenjadi syarat mutlak bagi
kebahagiaan kehidupan perkawinan dan keluarga. Dan manakala terjadi
konflik dalam rumah tangga, rnaka konseling p~.rkawinan diwujudkan dalam
bentuk usaha-usaha pertolongan dan perbaikan dan pengernbalian kondisi
76
yang harmonis bagi kelangsungan rumah tangga pasangan yang
bersangkutan. Konseling jenis inilah yang dilakukan di BP4 tingkat
Kotamadya/Kabupaten.
"'Jadi.. bantuan konseling di BP4 itu ada dua yattu konseling sebelum perkawinan yaitu dengan layanan konseling dan pelatihan bagi para calon pengantin, biasanya setelah dia mendaftar nikah lalu diundang untuk mengikuti pelatihan, materinya seputar keluargn sakinah, ilmu kesehatan yang mengisi acaranya biasanya, da'i, psikolog, bidan dari puskesmas dan itu dilaksanakan di Tingkat Kecamatan. Semenlara untuk konseling sesudah menikah tempatnya ya di BP4 Kotamadya yaitu untuk membantu pasangan suami istri yang sedang menghadapi konflik dalam rumah tangganya ... " (wawancara dengan Bapak A.N., Kamis 9 Nov1~mber 2006}.
Tugas pokok BP4 adalah melaksanakan penasehatan /konseling perkawinan
yang bertujuan untuk membantu pasangan suami istri yang menghadapi
konflik, dan menyelamatkan perkawinan dari kehancuran serta turut membina
terwujudnya sebuah perkawinan yang sakinah mawadah wa rahmah.
4.2.1 Jenis Konseling yang dilakukan
Konseling perkawinan secara umum dilakukan dengan cara konseling tatap
muka (face to face counseling) yaitu konseling yang prosesnya secara
langsung antara konselor dengan klien di ruangan khusus konsultasi BP4
Kotamadya Jakarta Selatan Jl.Buncit Raya No.2 Pejaten Pasar Minggu
Jakarta Selatan.
Konseling tatap muka dilakukan dengan terlebih dahulu klien mendaftarkan
diri untuk berkonsultasi ke sekretariat BP4, maka pada hari itu juga klien
dipersilahkan masuk ke ruang konsultasi perkawinan.
77
"Konseling dilakukan dengan cara tatap muka saja, caranya klien yang datang ke BP4 membawa surat keterangan dari kecamatan dan mengisi form pendaftaran untuk berkonsultasi dan pada hari 1tu juga dapat konsultasi" (Wawancara dengan lbu A.R., Kamis 9 November 2006).
Dalam konteks ini BP4 dapat dikatakan sebaga1 klinik perkawinan (maniage
clinic), dimana suami istri yang mengalami konflik perkawinan dapat meminta
bantuan dan pertolongan untuk memperbaiki hubungan perkawinan mereka.
Selanjutnya prosedur untuk mendapatkan kesempatan berkonsultasi dan
rnelakukan proses konseling perkawinan di BP..u Kotamadya Jakarta Selatan
sangat mudah dan sederhana. Pihak yang berkepentingan dalarn hal ini,
suami atau istri dapat rnengisi formulir pendafta<an dan segera akan
mendapatkan panggilan, mungkin pada hari itu 1uga .• Jika yang datang
rnengadukan perkaranya adalah pihak istri, maka pada kesempatan
berikutnya pihak suami akan diminta pula kesediaannya untuk datang begitu
juga sebaliknya. Kemudian pada kesempatan ketiga mereka dapat hadir
secara bersama-sama untuk melakukan cross check dan mengkonfrontir
terhadap laporan dan masalah-masalah yang sudah diajukan dalam mencari
alternatif penyelesaian masalah. Namun lebih baik lagi jika kedua belah pihak
sejak awal mempunyai kesadaran untuk datang secara bersama-sama
78
mencari solusi terhadap konflik yang dihadapinya dengan bantuan para
konselor yang kompeten di bidangnya.
4.2.2 Waktu Pelaksanaan Konseling
Pelayanan konseling perkawinan secara formal dilakukan pada hari Senin
sampai Karnis dari pukul 09.00-15.00 WIB. Berikut ini adalah jadwal
pelaksanaan konseling.
Tabel 4.2.2
Jadwal Pelaksanaan Konseling dan Daftar Nama Konselor
-Hari No Konselor Waktu
I - ---·-··-· --
Sen in 1 Ors. H. Farhan
2 Ora. Hj. Endah Nina Kurmasih, MA 09 00-15.00 WIB
rselasa ----· ··-·--
1 Ors. H. A. Nasuha ·--··-· -----------· ...... 09 00-15.00 WIB
Ra bu 1 Ors. H. Endang lsmai-1 -·-- ----
09.00-15.00 WIB
Kam is 1 Hj. Asita--R. lrisari, S.Psy --- ..
---- ..
2 Ors. H. Nasuha 09 00-15.00 WIB
---· ··---- .... -
79
4.2.3 Durasi Konseling
Dalam proses pelaksanaar. konseling dilakukan dalam jumlah durasi yang
bervariasi. Hal ini tergantung pada masalah dan kebutuhan yang dihadapi
klien. Pelaksanaan konseling perkawinan biasanya dilaksanakan dalam tiga
sampai empat sesi pertemuan. Pertemuan pertama lebih menitikberatkan
pada pada pembentukan hubungan baik antara konselor dengan klien,
abstraksi konflik dan identifikasi masalah klien yang melapor. Pertemuan
kedua adalah pertemuan konselor dengan pasangan klien untuk membina
hubungan baik dan mengecek dan mengkompi1masi laporan dari kiien yang
pertama. Pertemuan ketiga adalah mempertemukan kedua pasangan klien
untuk melakukan mengkonfrontir informasi kedua pasangan suami istri serta
menentukan alternatif penanganan konflik yang diputuskan sendiri oleh klien
dengan fasilitasi konselor, apakah mau melakukan perdamaian (is/ah) atau
diteruskan kasusnya ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan ketetapan
hukum. Sedangkan pertemuan keempat adalah kelanjutan dari pertemuan
ketiga yang diinginkan klien untuk menuntaskan penyelesaian masalahnya.
Sementara itu durasi konseling dalam setiap sesi pertemuan bervariasi
tergantung berat ringannya masalah, namun biasanya berkisar antara 60
menit (satu jam) sampai 90 menit (satu setengah jam).
I
80
Tabel 4.2.3
Pelaksanaan Konseling Perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan
I I I
Jen is
a. Jenis konseling
b. Teknik
c. Tempat
d. Waktu
e. Jumlah sesi
pertemuan
Uraian
·---a. Tatap muka (facu to face)
b. Konseling individu bagi pasangan suami istri
secara bergiliran dan konselin9 kelompok
bagi keduanya s.,cara bersamaan dengan
pendekatan clierit centered tlwmpy
counseling
c. Ruang konsultam BP4 Kota Jakarta Selatan
d. Jadwal konselinu setiap hari senin sampai
kamis pada pukul 09.00-15.00 WIB
e. Biasanya pertemuan antara 1-3 kali atau lebih
sampai 4 kali set'i pertemuan
I f. Durasi waktu
Lpertemuan
f. Face to face: anhua 1 jam - 1,5 jam
4.3 Metode Konseling Perkawinan di BP4 Jakarta Selatan
Metode yang digunakan dalam konseling perkawinan adalah metode non
derektif (metode yang bersifat tidak mengarahkan), yaitu cara untuk
82
masalah yang sedang dihadapi. Hal ini dilakukl'1n agar tercipta kemandirian
klien dalam menyelesaikan masalahnya sendin
"Metode konseling yang saya terapkan disini adalah metode non direktif, yaitu curhatan-curhatanlah antara klien dengan konselor, kita tanya apa keluhannya, lalu klien saya biarkan untuk bercerita mulai sejak awal perkenalan, pacaran lalu sampai dalam pernikahan dia merasa tidak ada keharmonisan dalam perkawinannya. Lalu kam1 sebagai konselor mencatat point-point penting mengenai masalahnya dan dari situlah kelihatan mana yang menyimpang dari aturan syari'at, itulah yang kita harus luruskan. Jadi upayanya supaya tetap terjalin dalam kehidupan berkeluarga itu keluarga yang sakinah mawaddah warahmah" (Wawanc1.1ra dengan Bapak AN., Kamis 9 November 2006).
"Pada pertemuan pertama yang datang biasanya yang merasa terdzolimi, misalnya si istri sendiri lalu pada pertemuan kedua kami melakukan panggilan kepada pihak suami dan melakukan re chek. Maka pada pertemuan ketiga keduanya istri dan suaminya kami pertemukan untuk mengkonfrontir satu sama lain dan membahas permasalahannya kalau bisa sekaligus menentukan alternatif pemecahan masalahannya."(Wawancara dengan ibu AR., Kamis 9 November 2006).
4.4 Faktor pendukung dan penghambat dalam Konseling Perkawinan.
Berdasarkan penelitian dan wawancara yang penulis lakukan terhadap
konselor, maka dapat dipaparkan di sini bahwa ada beberapa hal yang
menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam proses konseling
perkawinan dan cara mereka mengatasi hambatan tersebut, antara lain:
a. F aktor pendukung dalam pelaksanaan konseling
83
Faktor pendukung dalam pelaksanaan konseling perkawinan ada dua, yaitu
faktor konselor dan klien. Faktor konselor meliputi:
1. Kemampuan dan keterampilan konselor dalam melakukan konseling;
2. Kesabaran, pengertian dan motivasi yang mendalam dari konselor dalam
memberikan bantuan kepada klien yang memerlukan; dan
3. Mampu menerapkan metode yang tepat. Konselor harus mampu
menerapkan metode yang baik dan tepat, karena penerapan metode akan
berpengaruh pada berhasil tidaknya pelaksanaan konseling.
"Menurut saya, seorang konselor itu harus memiliki pengetahuan dan keterampilan. Di samping ia juga harus memiliki kesabaran dan motivasi yang kuat sehingga dapat melakukan konseling dengan baik" (wciwa:icara der.ga11 ibu AR., Kar11is, S November 2006).
Sedangkan faktor klien meliputi:
1. Niat atau keinginan klien untuk mencari solusi konflik secara baik dan ada
kemauan untuk tetap mempertahankan dan mewujudkan rumah tangga
yang sakinah mawaddah warahmah yang membawa kemaslahatan bagi
semua;
2. Kejujuran dan keterbukaan klien dalam mengungkapkan masalahnya
serta tetap berpikir positif dalam mencari penyelesaian konflik; dan
3. Dapat menjalin hubungan dan kerja sama secara baik dengan konselor
sesuai dengan kesepakatan dan harapan bersama.
84
Faktor pendukung lain adalah konflik sekecil apapun harus dikelola dengan
baik dan cepat ditangani secara baik, sehingga konfliknya tidak membesar
dan merembet ke mana-mana.
Di samping itu, faktor pendukung lain adalah tersedianya sarana prasarana
yang memadai bagi keberhasilan proses konseling, seperti ruang konsultasi
yang nyaman, tenang dan sejuk, sehingga klien dapat merasa tenang dan at
home di dalamnya.
"Faktor pendukungnya tentu saja bila ada niat atau kemauan klien untuk tetap mempertahankan rumah tangganya, mau jujur melihat kekurangan diri dan mau memperbaikinya, datang secara teratur berdua dan tidak memaksakan kehendak" (Wawancara dengan lbu E.N., Senin 13 Oktober 2006).
b. Faktor penghambat dalam pelaksanaan konseling
Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, pada umumnya faktor
penghambat berasal dari klien, diantaranya adalah sikap klien yang tertutup,
tidak mau mengungkapkan masalah yang dihadapi, salah satu pasangan
tidak memenuhi panggilan atau tidak koperatif, bersikap egois, memonopoli
percakapan, pasangan tidak diberi kesempatan untuk bicara, tidak jujur,
mengancam pasangannya dan memaksakan kehendak, tidak ada niat untuk
mempertahankan rumah tangga kembali, dan menganggap dirinya paling
benar dan paling pintar, mengedepankan emosinya, sehingga tidak mau
mendengar masukan dan nasehat dari konselor.
85
Faktor pengharnbat lain yang cukup dorninan yaitu pada urnurnnya klien yang
datang ke BP4 rnernbawa rnasalah/konflik yang sudah parah dan akut,
bahkan pasangan suarni istri sudah lama pisah rnnjang
"Harnbatannya kalau lagi diperternukan secara nnrsama-sama terkadang salah satu pasangan rnemonopoli percakapan. !Klak mau memberi kesernpatan pasangannya untuk bicara, tidak n1au rnenerirna masukan dari kami karna rnerasa paling pintar, egois, tidak k(1peratif bahkan pernah ada suarni yang rnengancam pasangannya dan rne11gancam bunuh diri sampai mengeluarkan senjata tajam kalau istrinya tetap rninta cerai, dan umurnnya rnasalah klien sudah sangat parah" (Wawancarn denuan lbu E. N., Sen in 13 November 2006).
Sedangkan dari pihak konselor sendiri berdasarkan wawancara yang penulis
lakukan tidak ditemui hambatan yang signifikan. karena mereka menjalani
profesi konselor ini sebagai bentuk pengabdian yang dijalani dengan ikhlas,
di sarnping sudah rnenjadi hoby, sehingga tidak ada perasaan jenuh. Namun
secara berkelakar mereka menyinggung tentang peningkatan kesejahteraan
para konselor agar mereka dapat melaksanakan tugas secara maksimal.
"Kami sebagai konselor merasa tidak memiliki hambatan atau kejenuhan dalam menjalani profesi ini, karena kami ikhlas menjalaninya kerena Allah dan dalarn rangka membantu sesama. Namun secara manusiawi kami mengharapkan agar pemerintah memperhatikan kesejahteraan konselor, hee ... hee .... " (Wawancara dengan Bapak A.N. Kamis, 9 November 2006).
c. Strategi dalam mengatasi hambatan
Untuk mengatasi hambatan yang berasal dari klien yang tertutup, maka para
konselor berusaha meyakinkan kepada klien bahwa ia bersedia sharing dan
86
membantunya untuk mencari alternatif pemecahan masalah secara baik serta
menjamin kerahasiaannya tetap terjaga, sehingga dapat membuat klien
merasa nyaman dan terbuka untuk mengungkapkan konflik yang dihadapinya.
Apabila klien dalam kondisi emosional, seperti sedih, marah, maka konselor
berusaha menenangkannya dengan obrolan-obrolan ringan dan rileks untuk
mencairkan suasana dan cooling down. Sementara untuk klien yang bersikap
egois, merasa paling benar dan pintar, maka konselor berusaha memberikan
pandangan-pandangan positif solusi alternatif untuk memecahkan masalah,
dan konselor tetap memberikan kesempatan klien untuk dapat mengambil
keputusan secara mandiri.
4.5 Peranan Konseling Perkawinan dalam Menangani Konflik Suami lstri
Pada hakikatnya tujuan konseling adalah untuk rnempengaruh1 sikap, tingkah
laku, pikiran, perasaan dan terutama cara klien mengambil keputusan.
Pelaksanaan konseling pada pasangan suami 10>tri yang sedang mengalami
konflik lebih bertujuan agar pasangan itu dapal rnengarnbil sikap lebih
dewasa dan berfikir positif. Konselor harus da1)±tt menjadi fasilitator yang
memberikan support kepada mere!<a agar dap1•t menerima kenyataan yang
dihadapi dan mampu melihat kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Oiupayakan juga agar mereka lebih mampu mt1ngendalikan emosinya,
sehingga mereka tetap dapat berbuat optimal dalam kesadaran penuh.
Dengan demikian, maka klien tersebut akan dapat lebih bertanggung jawab
terhadap masalah yang sedang dihadapinya.
87
Pada dasarnya konseling perkawinan merupakan konseling yang
diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan
emosional, metode membantu partner-partner yang menikah untuk
memecahkan masalah dan menentukan pemecahan masalah yang lebih baik.
Dikatakan sebagai metode pendidikan , karena konseling perkawinan
memberikan pemahaman kepada pasangan yang berkonsultasi tentang
dirinya, pasangannya dan masalah-masalah hubungan perkawinan yang
dihadapi serta cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah
perkawinannya.
Penurunan ketegangan emosional dimaksudkan bahwa konseling
perkawinan dilakukan biasanya saat kedua belah pihak berada pada situasi
emosional yang sangata berat (akut). Dengan melakukan konseling,
pasangan suami istri dapat melaku!<an ventilasi, dengan jalan membuka
emosinya sebagai katarsis terhadap tekanan emosional yang dihadapi.
Dari sinilah konselor memegang peranan sebagai mediator dan fasilitator
dalam proses konseling pasangan suami istri yang sedang mengalami konflik
88
perkawinan. Konselor dikatakan sebagai seorang mediator, karena ia
memediasi konflik dan sebagai komunikator yang dapat mengkumunikasikan
informasi dan alternatif solusi secara tepat dan berimbang kepada pasangan
suami istri. Sedangkan sebagai fasilatator, konselor bertugas memfasilitasi
kiien untuk membuat MoU perdamaian jika klie11 memilih berdamai,
sebaliknya jika klien memilih bercerai, maka konselor meneruskan kasusnya
ke Pengadilan Agama.
"Dalam prosesnya saya tidak banyak bicara, tapi klien yang banyak bicara, jadi saya hanya mendengarkan saja dan saya •umya memberi penekananpenekanan misalnya klien bilang ... ibu suami s&ya kurang perhatian deh sama saya maka yang saya katakan oh .. suami 1bu kurang perhatian ya .dan pertanyaan biasanya sesuai dengan alur yang 111ceritakan klien saja agar akar masalahnya jelas dan yang terpenting ad111lah kita harus menunjukan rasa empati, sehingga hubungan kita dengan kllen terjalin dengan baik sehingga dia mau curhat sama kita. Dalam kon~eling ini saya hanya sebagai pe.nyampai apa maunya istri apa maunya suami lalu kita sampaikan biasanya dia baru tahu oh ... istri saya pengennya saya seperti itu, jadi akhirnya biasanya klien mengatakan ooh .. saya baru tahu dari ibu"(Wawancara dengan ibu Nina, 13 November 2006) .
Dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi antara suami-istri akan
menimbulkan suasana tegang dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Oleh sebab itu konseling perkawinan sangat diperlukan oleh pasangan
perkawinan yang sedang mengalami konflik marital, menurut Deva (1989).
Pasangan suami istri yang sedang mengalami konflik marital umumnya tidak
lagi mempunyai hubungan yang baik dengan realitas.Dalam hal ini konseling
perkawinan dibutuhkan agar suami dan istri, masing-masing dapat berdiri
sendiri, bersedia untuJ< membantu dan memperkokoh ikatan perkawinannya.
89
Menurut masdani (1980). Konseling perkawinan juga bertujuan untuk
meredakan ketegangan dan menolong suami atau istri agar dapat
mengembangkan perilaku yang efektif dalam menghadapi konflik marital.
Dalam hal ini konseling yang diberikan diharapka11 dapat menolong mereka
memperoleh pengertian yang obyektif terhadap kondisinya. Keadaan ini akan
membawa mereka mengenal dan mampu mengungkapkan perasaannya
sehingga dapat mengurangi ketegangan, sehingga mereka akan dapat
berpikir realistis (BP4 Pusat, 1997).
4.6. Analisis Perbandingan Ketiga Konselor
Berdasarkan hasil eksplorasi data faktual lapangan selanjutnya dilakukan
proses analisa data. lnterpretasi data akan dilakukan dengan proses analisis
data terhadap ketiga konselor.
Konselor 1
Konselor 1 menggunakan pendekatan non direktif atau lebih dikenal sebagai
client centered therapy, yaitu suatu metode konseling perkawinan yang
dilakukan dengan berdialog antara konselor dengan klien untuk mencapai
gambaran yang serasi antara diri klien yang ideai dengan diri klien yang
sesuai kenyataan.
90
Konflik suami istri yang terjadi biasanya karena adanya pertentangan antara
gambaran rumah tangga yang ideal dengan kePyataan rumah tangga yang
sebenarnya. Peran konselor dalam konteks ini .11dalah sebaga1 pendengar
yang aktif dan dapat memantulkan kembali pikir an dan perasaan klien,
dengan disertai perasaan konselor yang menun1ukkan sikap menerima dan
penuh pengertian mengingatkan gambaran ideal rumah tangga sesuai
dengan ajaran Islam, sehingga klien kembali sadar akan hak dan tanggung
jawabnya dalam sebuah ikatan perkawinan, dan sekaligus memantulkan
kesadaran kepada klien bahwa apapun keputus.an yang akan diambil klien;
apakah mau berdamai atau bercerai, harus dilakukan secara baik.
Konselor 1 selalu menekankan pertimbangan aspek ajaran Islam ketika
memberikan tanggapan, masukan dan advis kepada klien dalam proses
konseling. Hal ini dapat dipahami karena ia memiliki latar belakang
pendidikan Islam (syari'ah). di samping ia juga sebagai seorang da'i.
"Metode konseling yang saya terapkan disini adalah metode non direktif, yaitu curhatan-curhatanlah antara klien dengan konselor, kita tanya apa keluhannya, lalu klien saya biarkan untuk bercerita mulai sejak awal perkenalan, pacaran lalu sampai dalam pernikahan dia merasa tidak ada keharmonisan dalam perkawinannya. Lalu saya sebagai konselor mencatat point-point penting mengenai masalahnya dan dari situlah kelihatan mana yang menyimpang dari aturan syari'at, itulah yang kita harus luruskan. Jadi upayanya supaya tetap terjalin dalam kehidupan berkeluarga itu keluarga yang sakinah mawaddah warahmah" (Wawancara dengan subyek, Kamis 9 November 2006).
91
Dalam pelaksanaan konseling perkawinan, maka tidak akan lepas dari
sebuah proses yang dilakukan. Bahwa proses konseling merupakan suatu
cara atau langkah-langkah agar kegiatan konseling dapat berjalan sehingga
dapat mengungkapkan masalah dan memecahkan masalah klien.
Proses konseling di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan dilakukan dalam
beberapa tahap pertemuan. Pertemuan pertama lebih menitikberatkan pada
pada pembentukan hubungan baik antara konselor dengan klien, abstraksi
konflik dan identifikasi masalah klien yang melapor. Pertemuan kedua adalah
pertemuan konselor dengan pasangan klien unluk membina hubungan baik
dan mengecek dan mengkompirmasi laporan d1u1 klien yang pertama.
Pertemuan ketiga adalah mempertemukan kedua pasangan klien untuk
melakukan mengkonfrontir informasi kedua pas.angan suami istri serta
menentukan alternatif penanganan konflik yang diputuskan sendiri oleh klien
dengan fasilitasi konselor, apakah rnau melakullan perdamaian (is/ah) atau
diteruskan kasusnya ke Pengadilan Agama unh1k mendapatkan ketetapan
hukum. Sedangkan pertemuan keempat adalah kelanjutan dari pertemuan
ketiga yang diinginkan klien untuk menuntaskan penyelesaian masalahnya.
"Adapun tahapan atau proses konseling di BP4 adalah sebagai berikut: pertama klien datang ke sekretariat dan mengis1 form konseling perkawinan, kemudian langsung masuk ke ruang konsultasi dan konselor menanyakan kepada klien apa masalah yang sedang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga klien. Kemudian klien saya biarkan untuk bercerita rnulai dari awal pernikahannya bahkan disinggung juga waktu pacaran, sampai akhirnya dalam perkawinannya terasa tidak ada keharmonisan. Dari situlah saya
92
sebagai konselor mencatat point-ponit permasalahannya. Dari gambaran ini kelihatan mana yang menyimpang dari aturan syari'at, itu yang harus saya luruskan. Pada pertemuan pertama ini saya tidak terlalu banyak komentar, saya hanya menyuruh klien untuk merenungi, introspeksi diri dan kalau sudah mantap saya mempersilahkan klien datang bersama pasangannya. Pada pertemuan kedua suami dipaggil lalu kita tanyakan sebenarnya apa masalah yang terjadi dalam perkawinan saudara sekaligus mengkonfrontasikan apakah benar rnasalahnya seperti ini. .. seperti yang diadukan istri, lalu kalau dia mau jujur mau mengakuinya, saya tanya saudara rnaunya apa .. masih sayang sama istri dan anak-anak ... coba dipikirkan lagi, introspeksi diri, jadi saya lebih menyuruh klien untuk mawas diri, merenungi awal dulu ia menikah dan masa depan anak-anak. Lalu saya sarankan untuk melakukan sholat istikhoroh minta petunjuk Allah untuk mengambil keputusan mau damai atau cerai. Pada pertemuan ketiga kita pertemukan keduanya saya tanya bagimana perkembangannya, sudah mantap dengan keputusan yang akan diambil. Dalam konteks ini kita kembali membahas masalahnya, diklarifikasi masalahnya dan meluruskan suatu pengaduan dari klien sesuai norma agama dan moral. Lalu saya tanya bagaimana sekarang keputusan ditangan saudara. Kalau klien tetap memilih cerai dinasehati dulu dan diberi rekomendasi untuk dilanjutkan ke Pengadilan Agama. Kalau klien memilih damai ada syarat-syarat perjanjian kedua belah pihak, kalau ada yang dilanggar diadukan lagi minta cerai ya sudah bisa cerai. Jadi intinya, saya sebagai konselor BP4 tetap menekankan bahwa apapun keputusan yang diambil klien; baik damai maupun cerai harus dilaksanakan secara baik berdasarkan ketentuan Hukum Islam dan Undang-Undang perkawinan" (Wawancara dengan subyek, Kamis, 9 Januari 2006).
Faktor pendukung dalam konseling perkawinan adalah kejujuran dan
keterbukaan klien dalam mengungkapkan masalahnya serta tetap berpikir
positif dalam mencari penyelesaian konflik.
"Menurut saya, faktor pendukungnya adalah kalau klien mau jujur mengungkapkan masalahnya, dan mau mendengar nasehat dari kami, dan sebaliknya penghambatnya adalah jika klien yang egois tidak mau menerima nasehat dari kami, klien tertutup tidak mau menceritakan masalah sebenarnya ... ini yang susah, berbohong hanya alasan untuk bercerai biasanya kelihatan dari gaya bicaranya. pernah juga suami istri malah ribut saat proses konseling" (Wawancara dengan subyek, kamis 9 November 2007).
9]
Adapun peranan konselor dalam konteks ini adalah sebagai mediator dan
fasilatator dalam menangani konflik suami istri.
"Tugas saya memediasi konflik suami istri supaya is/ah dan rnengingatkan akan hak dan kewajibannya masing-masing, tapi kalau mereka tetap ngotot maka saya memfasilitasinya untuk dilanjutkan ke l'.'engadilan Agama" (Wawancara dengan subyek, sabtu 16 desemb•~r 2006)
Konselor 2
Konselor 2 juga menggunakan pendekatan non direktif atau leb1h dikenal
sebagai client centered therapy dalam pelaksanaan konseling perkawinan.
'Metode yang saya gunakan adalah pendekatan client centered therapy Carl Rogers yang bertujuan untuk membina kepribadian klien secara integral, berdiri sendiri, dan kemarnpuan untuk memecahkan masalahnya sendiri" (Wawancara dengan subyek, Kamis 9 November 2006).
Adapun proses konseling dengan pendekatan non direktif ini dilakukan dalam
beberapa tahap, yaitu: 1) klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri;
2) konselor harus mernberikan motivasi kepada klien agar ia mampu
mengemukakan perasaan dan rnasalahnya; 3) konselor harus bersikap
ramah, bersahabat dan menerima kllen apa ad<mya; 4) konselor harus
berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan dirinya; 5)
klien menentukan pilihan sikap dan keputusan yang akan diambilnya.
"Bagi saya, proses konseling dengan pendekatan non direktif ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pertarna klien datang ke BP4 dengan kemauan sendiri menemui konselor untuk mengadukan konflik rumah tangganya. Saya sebagai konselor menampung, rnengapresiasi dan meyakinkan klien agar mau mengemukakan masalahnya secara jujur dan terbuka. Kedua, saya akan meyakinkan kepada klien bahwa saya dapat memahami dan rnenerima klien apa adanya dan siap membantunya. Ketiga, sikap penerirnaan ini akan
94
saya tunjukkan kepada klien secara verbal maupun non verbal. seperti tatap ramah, empati dan bersahabat. Keempat, saya akan memotivasi dan meyakinkan klien agar ia memiliki kemandirian dan berani mengambil keputusan secara mandiri (Wawancara dengan subyek, Kamis, 9 November 2006).
Faktor pendukung dalam pelaksanaan konseling perkawinan adalah
kemampuan dan keterampilan konselor dalam melakukan konseling, di
samping kesabaran, pengertian dan motivasi yang mendalam dari konselor
dalam memberikan bantuan kepada klien yang memerlukan.
"Menurut saya, faktor pendukung keberhasilan sebuah konseling terletak pada konselor. Seorang konselor itu harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dan menerapkan metode yang tepat. Di samping ia juga harus memiliki kesabaran dan motivasi yang kuat sehingga dapat melakukan konseling dengan baik" (Wawancara dengan subyek, Kamis, 9 November 2006).
Sedangkan faktor penghambatnya adalah sikap klien yang tidak jujur, egois,
merasa lebih pintar dan kuasa serta konfliknya sudah parah clan akut.
"Ada beberapa kasus konflik suami istri yang s11lah satu pasangannya adalah seorang yang memiliki pendidikan tinggi dan btlfkedudukan sebagai pejabat merasa lebih pintar dan sok kuasa, sehingga terjadi handicap terhadap proses konseling" (Wawancara dengan subyek Kamis, 9 November 2006).
Peranan konselor dalam menangani konflik sucmii istri adalah memaharni dan
menerima klien apa adanya secara netral dan l'ltlmbenkan bantuan kepada
arah yang diinginkan klien.
"Saya memberikan apresiasi kepada klien untuFi mengambil keputusannya secara mandiri, dan saya memberikan bantuan untuk itu, misalnya mau berdamai atau bercerai. Bagi saya, perceraian nu bukan sebuah indikator
95
kegagalan konseling perkawinan, karena ini merupakan suatu pilihan yang tepat menurut klien, karena boleh jadi kalau perkawinan tetap dipertahankan sementara konflik dan masalah masih ada, maka dampaknya akan lebih buruk, baik secara fisik maupun psikis" (Wawancara dengan subyek, kamis, 9 November 2006)
Konselor 3
Konselor 3 juga menggunakan pendekatan non direktif yaitu penekanan
keaktipan dan kemandirian pada klien dengan interview yang terpola,
sehingga mampu mengungkapkan problematika klien.
"Pendekatan yang saya gunakan adalah non direktif, yakni menekankan keaktifan dan kemandirian klien. Saya hanya berusaha menumbuhkan power dan rasa percaya dirinya klien sehingga ia mampu menemukan apa yang harus dilakukan ketika menghadapi masalah dan saya hanya memberi nasehat yang sesuai dengan kebutuhan klien. Metode yang saya terapkan biasanya dikenal dengan metode "Satu-Tujuh" yaitu fase ke-1: Sa: salam, yaitu memberi salam dan menyambut klien dengan hangat dan ramah. l<onsultan memperkenalkan diri dan tugasnya lmlu T: tanyalah, yaitu tanya bagaimana keadanya dan apa masalahnya dan dengarkan dengan penuh perhatian dan rasa empati dengan cara mendengarkan aktif. U: !Jraian, yaitu menguraikan hal-hal yang ingin penasehat ketahui agar klien dapat memahami masalahnya, dengan melihat potensi dan kekuatan yang ada padanya. Fase ke 2: bantuan: yaitu membantu klien untuk mencocokan keadaannya dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipilih. Fase ke 3: J: jelaskan, yaitu menjelaskan yang lebih lengkap bagaimana cara mengatasi konflik yang dihadapi klien dari segi positif dan negatifnya sesuai dengan tinjauan al-Qur'an dan al-hadits serta mendiskusikan bagaimana cara mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Kemudian fase ke 4 adalah U: ulang-ulangi, yaitu mengulangi pokok-pokok permasalah yang perlu diketahui dan diingatnya, kuatkan dengan nasehat agama dan yakinkan klien bahwa konselor siap membantu bila masih ada permasalah (Wawancara dengan subyek, senin, 13 November 2006).
Dalam konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan dibagi
dalam empat fase tahapan, yaitu: pertama, tahap permulaan dimulai dengan
96
menjalin hubungan yang baik dan menumbuhkan rasa saling percaya antara
konselor dengan klien (membentuk rapport) termasuk di dalamnya konselor
memperkenalkan diri, dan memberikan gambaran mengenai proses
konseling.
Kedua, tahap pertengahan, setelah komunikasi awal terbangun dengan baik,
maka selanjutnya konselor dapat meminta klien untuk mengungkapkan apa
permasalahan yang mesti dipecahkan bersama atau kadangkala klien sendiri
yang langsung mengungkapkan masalahnya kepada konselor.
Ketiga, tahap pertengahan, yaitu setelah ditentukan masalah rnana yang
menjadi fokus pembahasan, maka pada fase in1 adalah menerjemahkan
tilikan insight untuk mencari alternatif-alternatif pamecahan masalahnya.
Dalam menentukan pemecahan masalah, selak' diutarnakan agar klien
sendiri yang mengambil keputusannya. Semenlara konselor hanya sebagai
fasilitator yang membantu klien mencari alternat1f pemecahan masalahnya.
Tahap keempat, fase akhir yaitu mendefinisikan kembali problem klien dan
membantu membuat keputusan dan memfasilitasi klien untuk mencapai
kemandirian ketegasan diri dalam pengambilan keputusan.
"Berdasarkan pengalaman saya dalam melakukan konseling perkawinan ada empat fase yang harus dilalui, yaitu fase permulaan yang berisi perkenalan dan membentuk hubungan baik dengan klien y1mg bertujuan untuk menumbuhkan rasa saling percaya dan keterbukaan. Kedua fase pertengahan untuk mengungkapkan permasalahan yang dihadapi klien. Terus ketiga fase untuk menentukan alternatif-alternatif pemecahan masalah. kemudian yang terakhir adalah fase pengambillm keputusan oleh klien" (Wawancara dengan subyek, senin, 13 November 2006).
98
bahkan sampai menangis dan saya menyuruh rnereka untuk bersalaman dan berpelukan. Dan itu tergantung masalahnya kal01u masalahnya ringan biasa damai tapi kalau masing-masing pasangan tida~ rnau mengakui kesalahannya biasanya mereka tidal< mau berdllrnai, maka dilanjutkan kepengadilan agama (PA) dan biasanya ini ma~alah yan9 sudah beratnya ... .ibaratnya penyakit yang sudah akul (Wawancara dengan subyek, senin, 13 November 2006)
Selanjutnya berdasarkan analisis terhadap masmg-masing subyek di atas
dapat dikatakan bahwa ketiga konselor memilik1 kesamaan dan perbedaan
serta memiliki kekurangan dan kelebihan. Dalarn konteks penerapan metode
pada proses konseling sebenarnya tidak ada pt"bedaan dari ketiga konselor,
mereka sama-sama menggunakan metode non direktif atau clien centered
therapy. Namun perbedaannya terletak pada praktek dan keterampilan setiap
konselor dalam membangun hubungan hubungan (rapport) dengan klien, di
samping pengalaman dan latar belakang ilmu yang dimilikinya.
Untuk konselor AN pendekatan konseling yang diberikan lebih banyak
merujuk pada penekanan aspek ajaran islam, karena menurutnya faktor
dominan terjadinya konflik suami istri terletak pada kurangnya pemahaman
dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan rumah tangga, sehingga
ikatan pernikahan mudah goyah dan rentan terhadap konflik. Jika ajaran
Islam dijadikan sebagai dasar dan pegangan dalam membangun sebuah
rumah tangga, maka akan dapat menjadi benteng bagi keutuhan rumah
tangga, karena pernikahan itu sendiri dalam ajaran Islam disebut sebagai
mitsaqan ghalizhan (ikatan perjanjian yang kuat).
99
Sementara untuk konselor A.R dalam proses konseling lebih menekankan
pada pendekatan psikologi, karena menurutnya konflik suami istri biasanya
terjadi karena adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan dalam
perkawinan. Secara teoritik, konselor memiliki pengetahuan ilmu psikologi
yang memadai, namun dalam prakteknya, terlihat konselor kurang bisa
membangun hubungan (rapport) dengan klien secara baik, terutama pada
aspek empati dan attending, karena konselor menerapkan metode client
. centered secara teks book dan ketat. Di samping itu, konselor juga memiliki
performance dengan style sikap tegas dan vokal suara yang keras, sehingga
kiien merasa kurang mendapat empati dan attending yang memadai.
Sedangkan untuk konselor E.N. dalam konselingnya lebih menggunakan
pendekatan teaching heart (pendekatan dari hr*ti ke hati), karena menurutnya,
konflik biasanya terjadi karena suami istri mene4<<1nkan perbedaan dan ego
masing-masing, sehingga persamaan dan kom~men yang dibangun menjadi
terlupakan. Dalam konteks inilah pendekatan dari hati ke hati menjadi penting,
karena berusaha mencari titik persamaan sehirigga konflik bisa diminimalisir.
Pendekatan ajaran Islam juga memegang peran yang signifikan, karena
secara fitrah, manusia lebih menyukai perdamam (is/ah) daripada konflik atau
perceraian.
100
Tabel 4.6 Analisis Perband1ngan Ketiga Konselor
Keterangan Konselor A.N Konselor A.R Konselor E.N
Met ode Non direktif /client-centered Non direktif I Client-centered Non direktif I Client-centered konselinq theraov therapy theraov Proses Tahap awal meliputi: Tahap awal meliputi: Tahap awal meliputi: konseling 1. Empati dan membina Rapport 1. Membangun rapport 1. Membentuk rapport
2. Attending 2. Me11definisikan masalah 2. Mendefinisikan masalah 3. Refleksi 3. Menegosiasikan kontrak 3. Refleksi Tahap pertengahan meliputi: Tahap pertengahan meliputi: Tahap pertengahan meliputi: 1 . Mengarahkan 1. Mengeksplorasi masalah 1. Mengeksploeasi masalah 2. Konfrontasi 2. Konfrontasi 2. Konfrontasi 3. menyimpulkan 3. Memberi nasehat 3. Menerjemahkan tilikan insight Tahap akhir meliputi: Tahap akhir meliputi: Tahap akhir meliputi: 1. Mendorong 1. Transfer of learning 1. Mendorong 2. Menilai 2. Melaksanakan perubahan 2. Memfasilitasi kemandirian 3. mengakhiri perilaku 3. Menilai dan mengakhiri
3. Mengakhiri konseling Faktor Faktor pendukung yaitu: Faktor pendukung yaitu: Faktor pendukung yaitu: pendukung & 1. Kejujuran mengungkapkan 1. Kejujuran mengungkapkan 1. Sikap klien yang kooperatif penghambat masalahnya masalah 2. Kemampuan konselor
2. Berfikir positif dalam mencari 2. Kemampuan konselor dalam menerapkan metode konseling penyelesaian konflik melakukan konseling 3, Tersedinya sarana prasarana
3. Sarana dan prasarana di BP4 2. Kesabaran,dan motivasi kuat untuk menunjung konselng
I Faktor penghambat meliputi: kepada klien Faktor penghambat yaitu:
I 1. Masalahnya sudah kompleks, Faktor penghambat yaitu: 1. Sikap egois, memaksakan parah dan akut 1. Sikap klien yang plin-plan, kehendak kepada
2. Egois, sombong dan tidak egois, merasa lebih pintar pasangannya kooperatif 2. Konflik sudah parah dan akut 4. Tidak kooperatif dengan
101
konselor Peranan 1. Mediator, yaitu untuk 1. Memahami klien apa adanya 1. Mediator atau penengah yang konselor menangani konflik suami istri secara netral netral
2. Fasilitator, yaitu untuk 2. Memberikan bantuan kepada 2. Fasilitator yang membantu meneruskan oerkaranva ke PA an:ih yang diinainkan klien menyelesaikan konflik ke PA
5.1 Kesimpulan
BABV
PENUTUP
Pelaksanaan konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan
merupakan suatu proses konseling yang diberikan kepada pasangan suami
istri yang sedang mengalami konflik perkawinan, yang bertujuan untuk
meredakar. ketegangim dan menolong klien agar dapat mengembangkan
perilaku yang efektif dan obyektif dalam menghadapi konflik marital. Secara
umum konseling dilakukan dengan cara tatap muka dalam satu sampai
empat kali pertemuan antara konselor dengan klien yang dibagi dalam
em pat fase tahapan, yaitu: 1) membangun rapport; 2) mengeksplorasi
masalah; 3) menentukan alternatif pemecahan masalah; dan 4) memfasilitasi
klien untuk mencapai kemandirian diri dalam pengambilan keputusan.
Metode yang yang digunakan dalam konseling perkawinan adalah metode
non direktif yang sering disebut dengan client-centered therapy, yaitu suatu
metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara
konselor dengan klien, agar tercapai gambaran tentang diri yang ideal (ideal
self) dengan kenyataan diri sebenarnya (actual self) yang bertujuan untuk
membina kepribadian klien secara integral, berdiri sendiri dan mempunyai
kemampuan untuk memecahkan masalah sendiri.
103
Faktor pendukung dalam pelaksanaan konseling perkawinan ini terletak pada
keinginan dan mctivasi konselor dan klien untuk menyelesaikan konflik
dengan baik dan dapat menjalin hubungan dan kerja sama sesuai dengan
kesepakat;::n dan harapan bersama. Di samping itu, konflik sekecil apapun
harus dikelola dengan baik dan cepat ditangani, sehingga konfliknya tidak
membesar dan merembet ke mana-mana.Sedangkan faktor psnghambatnya
adalah sikap klien yang tertutup, egois, emosional dar. tidak mau menerima
nasehat, karena merasa paling pintar dan merasa paling benar.
Peranan konseling perkawinan ya11g dilakukan BP4 Kotamaciya Jakarta
Selatan memiliki manfaat yang positif dan signifikan, yaitu keoerhasilannya
dalam mem:ngani konflik suami istri, mencegah terjadinya perceraian
sewenang-wenang di'!n tetap mendorong terwujudnya keluarga sakinah
mawadah warahmah. Jadi peranan BP4 adalah sepagai mediator
perdamaian untuk meredakan konflik suami istri dan sekaligus sebagai
fasilitator untuk meneruskan kasusnya ke Pengadilan Agama untuk
memperoleh ketetapan hukum.
5.2 Diskusi
Konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan menggunakan
metode non direktif dengan mengacu pada teknik client-centered therapy
yang dikembangkan oleh Carl R. Rogers (Gunarsa, 1996). Kelebihan dari
teknik ini adalah adanya kebebasan dan keleluasaan pada klien dalam
menentukan sendiri strategi pemecahan masalah yang dihadapinya. Jadi
klien lebih banyak bercerita (katarsis) mengenai masalahnya.
104
Sementara tipe konseling perkawinan di BP4 termasuk ke dalam tipe
concurrent marital counseling dan conjoint marital counseling (Latipun, 2005).
Pendekatan ini digunakan untuk mengurangi ketegangan emosional antara
pasangan dan memodifikasi hubungan, selanjutnya mereka belajar dan
memelihara perilaku yang lebih rasional dalam kelompok.
Adapun faktor terjadinya konflik sebagaimana data dari BP4 ada tiga yaitu
akhlak, ekonomi dan pihak ke-3. Dari ketiga faktor tersebut yang lebih
dominan adalah adanya pihak ke-3 yaitu perselingkuhan dan campur tangan
pihak keluarga pasangan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Risa Rosmita
(2005). Bahwa konflik yang terjadi antara suami istri yang disebabkan oleh
perselingkuhan akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga
bahkan rnengakibatkan perceraian.
105
Konflik yang terjadi antara suami istri juga menimbulkan suasana tegang dan
tidak harmonis dalam rumah tangga. Oleh sebab itu konseling perkawinan
sangat diperlukan oleh pasangan perkawinan yang sedang mengalami konflik
marital (Deva, 1989). Pasangan perkawinan yang sedang mengalami konflik
marital umumnya tidak lagi mempunyai hubungan yang baik dengan malitas.
Dalam hal ini konseling perkawinan dibutuhkan agar suami dan istrl, masing
masing dapat berdiri sendiri, bersedia untuk membantu dan memperkokoh
ikatan perkawinannya. Menurut Masdani (1980). Konseling perkawinan juga
bertujuan untuk meredakan ketegangan dan menolong suami atau istri agar
dapat mengembangkan prilaku yang efektif dalam menghadapi konflik marital.
Dengan konseling diharapkan dapat menolong mereka memperoleh
pengertian yang ohyektif tentang keadaan yang dihadapinya. Keadaan ini
akan membawa me~eka mengenal dan mampu mengungkapkan
perasaannya sehingga dapat mengurangi ketegangan dan deritanya hingga
mereka akan dapat berpikir realistis.
5.3 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penulis memberikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Untuk memeberikan akses yang lebih luas terhadap pelayanan
konseling perkawinan di BP4 agar lebih dikembangkan dan
disesuaikan dengan perkembangan zaman, seperti adanya hotline
service, konseling via internet dan home visit.
106
2. BP4 sebagai badan konseling semi resmi pemerintah harus lebih pro
aktif melakukan sosialisasi program dan advokasi kepada masyarakat
untuk membina kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah wa
rahmah.
3. Untuk mengatasi faktor penghambat dalam konseling, seperti sikap
klien yang tertutup, egois dan apatis, maka konselor harus dapat
membangun hubungan baik dengan pendekatan empati dan persuasif.
Di samping itu pemerintah juga harus meningkatkan kesejahteraan
konselor dan memberikan training dan pelatihan secara berkala untuk
meningkatkan komptensi dan loyalitas konselor.
4. Dalam proses konseling perkawinan, konselor harus bisa memadukan
metode atau pendekatan agama dengan psikologi, sehingga akar
konflik dapat ditangani secara baik, bukan hanya sekedar memberikan
nasehat untuk meluruskan masalah secara syariat, namun lebih jauh
dapat memberikan alternatif solusi dalam menangani konflik secara
komprehensif dengan perspektif psikologi.
5. Diharapkan bagi para peneliti selanjutnya agar mengembangkan hasil
penelitian ini dengan pendekatan kuantitatif dan memfokuskan klien
sebagai subyek penelitiannya agar dapat diketahui bagaimana
persepsi klien terhadap peran konseling perkawinan di BP4.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Baqiy, Muhammad Fuad. (t.th). al-Mu]am al-Mufahras Ii alfadz alQur'an al-Karim. Jakarta: Maktabah Dahlan.
107
Al-Ba'labakiy, Munir. (1994). Kamus al-Maurid. Beirut: Dar al 'llm Iii Malayin
Alwi, Hasan. et.al. (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka. Ed.3. Cet-1
Arifin, M. (1998). Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Agama. Jakarta: Golden Press. Cet ke-6
Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta, Edisi Revisi V. Cet-2
Bahjat, Ahmad (2002). Hakikat Cinta Menuju Rumah Tangga Ideal. Bandung: Pustaka Hidayah.
Bakran, M. Hamdani. t\dz-Dzakaky. (2002). Kcnse/ing dan Psikoterepi Islam. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Cet-2
Baraja, Abu Bakar. (2004). Psikologi Konseling dan Teknik Konseling. Jakarta: Studia Press. Cet-1
BP4 Pusat. (1997). BP-4, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: BP4 Pusat Cet-1
BP4 Pusat. (1998). Hasil Munas BP-4 Ke-11. Jakarta: 1998
Budyatna dan Nina Mutmainah. (2002). Komunikasi Antar Pribadi. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Candra, I. Robby. (1992). Konflik dalam Hidup Sehari-hari. Jogjakarta: Kanisius
Capuzzi, dan Gross. (1991). Introduction To Counseling. Needham Heights: Allyn and Bacon.
Chaplin J.P. (1985). Dictionary of Psychology. Newyork Laurel.
108
Corey, G. (1988). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Eresco
Depag RI. (1985). Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: Depag RI
Devito, Joseph A. (1997). Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Book
Dewi L.O. (1995). Gejolak Emosi yang Dinamis, Langkah-langkah Memperbaiki Hubungan sebelum memutuskan untuk berpisah. Jakarta: Abdi Tandur
Greenberger, Dennis dan Padesky A. Christine. (2004). Manajemen Pikiran: Metode Ampuh Menata Pikiran untuk Mengatasi Depresi, Kemarahan, Kecemasan dan Perasaan Merusak Lainnya. Bandung: Kaifa. Cet-1
Gunawan, Yusuf dan Chaterine Dewi. (2001). Pengantar Bimbingan dan Konseling. Jogjakarta: Kanisius
Haryono, Rudy. (2001). Seuntai Harapan Mertua dan Menantu. Surabaya: Putra Pelajar.
Hasan, Muflihun. dan Ahnan, Maftuh.(2003). Menyelami Dinamika Rumah ............ Tangga. Surabaya: Putra Pelajar.
Haqani, Luqman. (2004). Prahara Rumah Tangga Karena Lidah Tak Bertulang. Bandung: Pustaka Ulumuddin.
Jones, Richard Nelson. (1996). Human Relationship Skill, (Cara Membina Hubungan Baik dengan Orang Lain. Jakarta: Bumi Akasara. Cet-2
Klemer, R.H. (1965) Counseling in marital and sexsual problem: A Physician's Handbook. Baltimore: The Williams & Wilkins Co.
Latipun. (2005). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Mahmud, Nabil. (2004). Problematika Rumah Tangga dan Kunci Penyelesaiannya. Jakarta: Qisthi Press.
Moleong, Lexi J. (2002). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Pickering, Peg. (2001). Kiat Menangani Konflik. Jakarta: Erlangga. Edisi.111
109
Shaleh, Ghanim. (2001). Al-Nusyuz, (Jika Suami lsteri Berselisih Bagaimana Menghadapinya?). Jakarta: Gema lnsani Press. Cet-5
Simon Fisher et. All. (2000). Mengelola Konflik Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Jakarta: The British Council.
Singgih, Gunarsa. (1996). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.
Thalib, Muhammad. (2002). 35 Fitrah Wanita dan 20 Keistimewaannya. Bandung: lrsyad Baitus Salam. Cct-1
Team Penyusun BP4 Pusat. (1997). Problema pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dan Pembinaan Keluarga. Jakarta: BP4 Pusat
Winkel, W.S. dan M.M. Sri Hastuti. (2004). Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: Media Abadi
Willis, S. Soyan. (2004). Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta. Cet-1
Lulofs, Roxane S. dan Dudley D. Gahn. (2000). Conflict from Theory to Action.
Tabloid
Tabloid Aura. (2004).edisi 28-29. 5 Agustus-11 Agustus
Skripsi dan Tesis:
Yayan Rohiyat .(2005) .Konseling HIV/AIDS (Koseling Dukungan Odha). Jakarta: Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatulloh.
Risa Rosmalita. (2005). Konflik dan Strategi Coping lstri Menghadapi Perselingkuhan Yang Dilakukan Suami. Jakarta: Fak. Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.
Siti Zainab. (2005). Manajemen Konflik Suami lstri Dalam Perspektif Al-qur'an. Tesis. Jakarta: Dakwah dan komunikasi UIN syarif Hidayatullah.
Nuri Rohmatika. (2005). Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Islam di BP4 Dalam Mencegah Terjadinya Perceraian. Jakarta: Fak. Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah.
Lembar Observasi
Subyek : 1/2/3
Wawancara/observasi : 1/2/3
Tempat
·ranggal
Jam
1. Keadaan tempat wawancara, cuaca, dan kehadiran pihak lain disekitar
tempat wawancara.
2. Kondisi ruang konseling
3. Fasilitas pendukung
4. Gangguan dan hambatan selama wawancara
5. Catatan khusus selama wawancara
Pedoman Wawancara A
Pengalaman Konselor
/ 1. Apa y~ motivasi menjadi konselor perkawinan?
2. Apa pekerjaan sebelum menjadi konselor?
3. Apa pekerjaan selain menjadi konselor?
4. Pernahkah perasaan jenuh, bosan atau bahkan stres menjadi konselor?
5. Bagaimana strategi mengatasinya?
6. Apa saja kendala dan handicap dari klien selama konseling berlangsung?
7. Bagaimana cara mengatasinya?
Pedoman llVawancara. ~
A. Gambaran Umum Konseling Perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan
1. Apa Metode dan jenis konseling yang digunakan dalam konseling
perkawinan?
2. Di mana tempat konseling perkawinan berlangsung?
3. Apa teknik konseling yang digunakan (individu/kelompok)?
4. Siapa yang paling dominan dalam pelaksanaan konseling?
(konselor/klien)?
5. Berapa durasi waktu dalam 1 kali sesi pertemuan?
6. Berapa jumlah (seluruh) sesi pertemuan konseling (pada umumnya)
7. (mohon jelaskan tiap sesinya)
B. Proses Konseling Perkawinan
1. Bagaimana cara membina hubungan yang baik dalam menumbuhkan
kepercayaan terhadap klien?
2. Bagaimana strategi yang dilakukan ketika klien sangat tertutup atau ada
klien yang tidak jujur memberi keterangan dan klien yang resisten?
3. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan konseling?
4. Bagaimana mengatasi hambatan-hambatan tersebut?
5. Apa konflik yang biasa diadukan suami atau istri?
6. Bagaimana tahapan dalam pelaksanaan konseling? 7. Bagaimana Peran konselor dalam menangani konflik suami istri ketika
keduanya dipertemukan? 8. Apa solusi I nasehat yang diberikan kepada pasangan suami istri yang
sedang dilanda konflik? 9. Apa yang dilakukan konselor apabila salah satu pasangan tidak
memenuhi panggilan? ·10. Bagaimana peran konselor dalam proses konseling?
11. Siapakah yang lebih berperan dalam pengarrbilan keputusan?
12.Apa saja yang menjadi faktor penyebab terja<l1nya konflik suami istri?
i3.Apakah klien sendiri yang mengungkapkan keluhan-keluhannya atau
diarahkan oleh konselor?
14.Apakah masalah (yang dikeluhkan) semuanya ditampung atau difokuskan
hanya pada masalah inti?
15. bagaimana peran BP4 dalam menangani konfiik suami istri?
BADAN PENASIHATAN, PEMBINAAN DAN PELESTARIAN PERKAWINAN (BP4) KOTAMADYA JAKARTA SELATAN
JI. Buncit Raya No. 2 Pejaten Pasar Minggu Telp.: 7983255 - 79198073 Jakarta Selatan
SURAT KETERANGAN Nomor : 6095/9-P/BP4/JS/Xl/2006
Sehubungan de ngan surat Universitas Islam ( UI N )Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal, 22 September 2006, Nomor : Ft.71/0T.01.7/1097/IX/2006, Perlhai : lzin Penelltlan, maka dengan inl Ketua BP4 Kola Jakarta Selatan menerangfkan bahwa :
Nam a Mahasiswa
Jurusa n Nomor pokok Tahun Akade m ik Program A I a m a t rum ah
: Mira Humairoh : Universitas Islam Negeri (UI N) Syarif Hidaya-
tullah Jakarta : Fakultas Psikologi : 102070026048 : 2006 12007 : Strata 1 (S.1) : JI. Semanggl Ill R!.002/03 Ciputat
Telah mengadakan wawancara, rise! dan penelitian di Kantor kami mengenai" Pelaksanaan l<onseling Perkawinan dt BP4 Kota .Jal<arta Selatan Dalam Menanganl Konfllk Suaml lsterl " dari tanggal 06 Nopember sampai dengan tanggal 13 Nopember 2006.
Demikian, agar menjadi maklum adanya.
Jakarta, 17 'jopem ber 2006
SJ\D.£1.N PENi.\S!t"lttiP.i'A PEl\o1BlNAf1i'4 DP.J~ PELESTARIPJ·I PERKA'NJNAN (S? .. \)
1_;\PORAN OP:f'A PEJ\lfl.Slr-IATAN
r<~)?'4SJJL 1·Pi.Sl PERKA\f'JlMAN ----------KOTi":JiW:'ARTi\ SELATAt.f ________ --- -·-- ;f;i~A.-~~-;.1~-~iZeT:·-<~ia~;;rl:Pe br, r1·1arei}-ii:i06-
1
---1----------------1 ------ i-~~·.iLAH SEU;R•il-iN\~A---- -- . - - - - -------BAN YAK!l'I' fl.-------------, ---PROSENTASE -------
. Mo-_! SATLlAN ·:~_: .. ::~s~J-~~:~--~ =~:~:[·~~~0-::~:-lt-~;~~;;J:~~;I~ j~:U~IJK-Jr~~:If Jr:.;;; p:.t :2::.:=a~,-C!---K-ET __ · --l l . ' l 1· ' l
I \SN Mp.Praµatan j 232 i - I · I 232 I · I · · 1 · ·
' I : i I i I I I I 2 j'3P4 Ps.Mir.ggu I f./'. I I j c.n • I I /
3 /SP4 t<eb.Saru I 32:) I I :l20 I I I I ·i !SP4 Keo.Lama j f,7•; j I £.79 i 5 ~ 8?4 Setiabudl J -:;. l 'J ! I ?. I'.) \
I I I I 15 fBP.:t Ciiandak j ':'AJ \ :'.'.48 i ·7 LEIP4 Pancor:an J :;.:1"'. ·_~;j~ i
l_ 1'.I :> I ap4 ,Jas1ak:irsa 1,~ ':.1.1 I I I 1 , • \ i I
'~ 2 ,;
' - I 1 ·• \ - i , ...... ----·--- .. _l_ .. ___ ,, .... 0.-----------J.----.. ---.. ;---------·---------------i
\ 24· i 2'l i 9.7''1-0 l 53.3~/r. l - !
i.c:;~·1~. '"?'.!Jtci: .\.:'
, : I I
C:..::it;:1l<:Hl .
- Dal:! TIC dizunbil d~ii Pen~F1dil;.u1 Ag:oirn•:i .l<'•k· '.::i·e:l
,':) - I, -·- ----· -· •..•. -- .L-··--····-··· -·-·-··.!
~~'>:'.:!HJ\lf\JS 8F''i Kot~> j~~ka1tc: ::;;1.0:l:::il;:11: - ~~~ .....
BA.DAN PENAS!HA.TPtl~ :PE!v16H~r\AN O.,!!.N
P;;LEST;.\RIA:N PC:R_K'..l\t1~iNr7J,;':'4 ;3?,q -···-----i<c·T J.' .JAl\ART.i\.SELA T.;i.l,N _________ _
'H) \BP4 TO?bet .~n;: f·-----'-----------------·-----------+----------.. ; ........... ---· i ·J -1 i BP4 Kata .Jak-Se! j SG·1 ~; 'l l) 'l '.~·Pi L •••• ++-.L••-'---·-•·---·-·-·-----·••-•• _!.. ___ ··--·--··'--•• ··--••••• ------··•
Ketua
~~
·:::a!z:!an : "Data TIC dia1nbil dari PengacJilan Ag<1r<1a Jal-:.-Sei
LP.Po<;~AN Ofl,T~\ ?'.:'..Nf.:,-:rl~lf~TAN
KONsu;_Tf<,S1 PEilJ\/\\;\'10!.AN ---··- -:r1:1.;~-u1·;· ;.;··:~ e-t 1 : ... U\;; ;i1:Ni :ti~ .:i tlt1i ·1· 2 (1 ·os·-
.: ~·
J::~~;;;'!!i '.·i 01 .It~:\ 2('1(1!<
!·)en£11_u1.1s p;: ... ~ i<ol~< J;1b'11!i: ~·~':L~!.:0 1
-= ._;.yarifudin, S.Pd
BADAN PENASIHATAN, PEMBINMN DAN PELESTARIAN PERKAWINAN (BP4) KOTAMADYA JAKARTA SELATAN
JI. Bunclt Raya No. 2 Pejaten Pasar Mlnggu Telp.: 7983255 • 79198073 Jakarta Selatan
Nomor Sifat Perihal
: .......... /5-P/BP4/JS/ ........ /2006 Jakarta, ......................... 2006 : Penting : Panggilan Konsultasi
Kepada Yth. Sdr .................................. ..
JAKARTA
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan masalah keluarga (rumah tangga) Saudara yang perlu kita bicarakan, mal<a dengan i•1i kami minta kahadiran Saudara pada :
Hari/Tangga.I
W a kt u
Acara
Tempat
: Jam 09.30 WIB
: Konsultasi Keluarga (Rumah Tangga)
: Kantor BP4 Kata Jakarta Salatan JI. Buncit Raya No. 2 Pejatan Ps. Minggu Jakarta Selatan (Belakang Harian Republil<a).
Demikian, atas kehadirannya kami ucapkan terima kasih.
Wass a I am, Ketua,
H. JAWAD!, S.Ag/
Ternbusan Yth. :
1 ............................................. (Konsultan)
2 ............................................. (Konsultan)
!. SUAMI
II. ISTRI
BADAN PENASIHATAN PEMBINAAN DAN PELESTARIAN PERKAWINAN (BP4) KOTA JAKARTA SELATAN
JI. Pejaten Raya, Pasar Minggu Jakarta Selalan Telp. 7983255, 79198073
BERITA ACARA PENASIHATAN SUAMI IS'tERI KRISIS RUMAH TANGGA
Nama
Umur
Kelahiran
Pendldlkan
KTP, No.
Nama
Umur
Kelahiran
Pendidikan
KTP, No.
............................... bin ..................................... .
......... tahun, Peke1Jnan: .................................... .
. Agam1t: .............................. .
.Alamat: .............................. .
. ............................... bint! ................................. ..
......... tahun, Pekerjaan : ................................... ..
................................ Agatna: .............................. .
o o o o O o 0 0 O o O O I 0 f Of O t O O 0 O 0 0 0 O 0 0 , o .Alaina t : 0 0 0 0 0 0 t 0 0 0 0 0 I 0 0 0 0 0 0 I 0 0 0 0 I 0 0 0 0 0 0
III. Nikah di KUA Kecamatan : ......................... tgl, .................. No. : ............... ..
rv. Sm·at Pengantar dari Pengad!lan Agama : ..................... tgl, ............. No ..... ..
V. Dalam Perkawinan in! sudah/belum mendapat anak berjumlah ............ orang
VI. SEBAB-SEBAB TERJADINYA KRISIS RUMAH TANGGA :
a. Ura!an singkat suami/istri :
..............................................................................
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ' ..... . f t t o o o o o o o o o o o o ' o ' o 0 o t o o o o o o o o t t o o t t 0 t 0 t 0 t I t t o t t t 0 t 0 t 0 t t t t t 0 0 t t t t I t o o 0 o 0 f 0 f o 0 o
..............................................................................
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .............................. .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ' ............................... . o o o o o 0 o o o o o o t o ' o o ' o o o o o o o o o 0 t 0 t o o o o o o 0 f o f I t t t o 0 t t o o o o o o o o o o o o o o t t o o o o 0 o 0 t o t o t o
..............................................................................
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . , ............................................. .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
b. Uraian singkat isteri/suami:
·················································································································· ······································································································
·················································································································· .................................................................................................................. ·················································································································· ............................................................................................................
········································································································· ············································································································ .............................................................................................................
······························································································ ········································································
···································································
I. MATEm PENASIHATAN:
............................. ., .......................................................................... . Ill. HASIL PENASIHATAN:
Damai/tidak damai *) Kalau tidak terjadi perdamaian, maka disepakat1 hal·hal scbag;o i berikut a. Meneruskan ke PA, BP4/Instansi yang bersani;lrntan.
b. Lain-lain : ................................................... ,, ................... . ..................................................... ..................... ............ . ..................................................... ......................................... ..
Jaka1ta, .............. . 20 ....
!{ctua BP4 Penasihat
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . I ( ......................... I
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ) Suan1i lstcri
Corel yang tidak perlu