skizofrenia
DESCRIPTION
stase jiwaTRANSCRIPT
SKIZOFRENIA
DEFINISI
Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis dengan variasi psikopatologi, biasanya berat,
berlangsung lama dan ditandai oleh penyimpangan dari pikiran, persepsi serta emosi.
Dari referensi lain menyebutkan skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “ Skizo“ yang
artinya retak atau pecah (split), dan “ frenia “ yang artinya jiwa. Dengan demikian
seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau
keretakan kepribadian
Skizofrenia merupakan bentuk psikosis fungsional paling berat, dan menimbulkan
disorganisasi personalitas paling besar. Dalam kasus berat, pasien tidak mempunyai kontak
dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara
bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-sekali bisa timbul serangan. Jarang
terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan
personalitas yang rusak —‘’cacat’’.
SEJARAH
Meski kasus Skizofrenia telah lama muncul, hal tersebut masih belum dinyatakan
sebagai suatu penyimpangan sebelum akhirnya pada tahun1896, Emil Kraeplin menyatakan
bahwa psikosis terdiri dari tiga tipe utama, Manic-Depressive Psychosis, Paranoia dan
Dementia Praecox. Dementia Praecox merupakan sindrom yang ditandai dengan terjadinya
delusi, halusinasi, permasalahan atensi dan gerak motorik yang aneh. Kraeplin percaya bahwa
Dementia Praecox biasanya mulai terjadi pada masa remaja.
Pada tahun 1911, Eugen Bleuler menyatakan bahwa pada beberapa pasien, simptom-
simptom Skizofrenia tidak berkembang dengan baik sampai dengan pasien tersebut masuk
masa dewasa. Ia juga menyatakan bahwa banyak pasien yang tidak mengalami proses
kemunduran mental seutuhnya. Beberapa pasien kondisi mentalnya sama tiap tahunnya, ada
yang terus membaik dan bahkan sembuh.
Bleuler lalu mengajukan pengertian baru bahwa Skizofrenia adalah pemikiran yang
terpecah (Split Mind). Pengertian yang diajukan Beluer ini tetap menimbulkan masalah.
Beberapa orang menganggap bahwa Split Mind adalah kepribadian ganda atau gangguan
identitas disosiatif (Dissociatives Identity Disorder). Apa yang sebenarnya Bleuer maksud
dengan Split Mind adalah terpecahnya fungsi-fungsi psikologis dalam satu kepribadian
individu. Dalam pemikiran penderita Skizofrenia, proses emosi, persepsi dan kognisi tidak
berlangsung sebagai suatu kesatuan. Emosi mungkin terpecah dari persepsi dan persepsi
terpecah dari realitas.
TEORI
Endokrin: Dahulu dikira bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh gangguan
endokrin. Teori ini dikemukakan karena skizofrenia sering timbul pada waktu
pubertas, kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium. Tetapi hal ini tidak
dapat dibuktikan.
Metabolism: ada orang yang menyangka bahwa skizofrenia disebabkan oleh
gangguan metabolisme, karena penderita dengan skizofrenia tampak pucat dan tidak
sehat. Ujung extremitas agak sianotik, nafsu makan berkurang dan berat badan
menurun. Pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam menurun.
Hipotesis ini tidak dibenarkan oleh banyak sarjana. Belakangan ini teori metabolisme
mendapat perhatian lagi karena penelitian dengan memakai obat halusinogenik,
seperti meskalin dan asm lisergik diethylamide (LSD-25). Obat-obat ini dapat
menimbulkan gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala skizofrenia, tetapi
reversibel. Mungkin skizofrenia disebabkan oleh suatu inborn error of metabolisme,
tetapi hubungan terakhir belum ditemukan.
Teori-teori tersebut di atas ini dapat dimasukkan ke dalam kelompok teori
somatogenik, yaitu teori yang mencari penyebab skizofrenia dalam kelainan badaniah.
Kelompok teori lain adalah teori psikogenik, yaitu skizofrenia dianggap sebagai suatu
gangguan fungsional dan penyebab utama adalah konflik, stress psikologis dan hubungan
antarmanusia yang mengecewakan. Dalam kelompok ini termasuk:
Teori Adolf Meyer. Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit badaniah, kata
Meyer (1906), sebab dari dahulu hingga sekarang para sarjana tidak dapat
menemukan kelainan patologis-anatomis atau fisiologis yang khas pada susunan saraf.
Sebaliknya Meyer mengakui bahwa suatu konstitusi yang inferior atau suatu penyakit
badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia. Menurutnya skizofrenia
merupakan suatu reaksi yang salah, suatu maladaptasi. Oleh karena itu, timbul suatu
disorganisasi kepribadian dan lama-kelamaan orang itu menjauhkan diri dari
kenyataan. Hipotesis Meyer ini kemudian memperoleh banyak penganut di Amerika
Serikat dan mereka memakai istilah reaksi “skizofrenik”.
Teori Sigmund Freud: juga termasuk teori psikogenik. Bila kita memakai formula
Freud,maka pada skizofrenia terdapat.
1. Kelemahan ego,yang dapat timbul karena penyebab psikogenik atau pun somatic
2. Superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi,Id yang berkuasa dan
terjadi suatu regresi ke fase narsisme.
3. Kehilangan kapasitas untuk transferensi sehingga terapi psikoanalitik tidak
mungkin.
Eugen Bleuler (1857-1938): Dalam tahun 1911 Bleuler menganjurkan supaya lebih
baik dipakai istilah “skizofrenia”, karena nama ini dengan tepat sekali menonjolkan
gejala utama penyakit ini,yaitu jiwa yang terpecah belah,adanya keretakan atau
disharmoni antara proses berpikir, perasaan dan perbuatan (schizos=pecah-belah atau
bercabang, phren=jiwa). Bleuler mengemukakan bahwa demensia dalam istilah
demensia prekox tidak dapat disamakan dengan dengan demensia pada gangguan otak
organik atau gangguan intelegensi pada retardasi mental. Ia berpendapat bahwa pada
skizofrenia tidak terdapat demensia (awalan “de” berarti kurang atau tidak ada,
mensia disini artinya kecerdasan), tetapi keinginan dan pikiran berlawanan,terdapat
suatu disharmoni. Bleuler membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok:
1. Gejala-gejala primer
Gangguan proses pikir
Gangguan emosi
Gangguan kemauan
Autism
2. Gejala-gejala sekunder
Waham
Halusinasi
Gejala katatonik atau gangguan psikomotor yang lain.
Bleuler menganggap bahwa gejala-gejala primer merupakan manifestasi penyakit
badaniah (yang belum diketahui apa sebenarnya,yang masih merupakan hipotesis).
Sedangkan gejala-gejala sekunder adalah manifestasi dari usaha penderita untuk
menyesuaikan diri terhadap gangguan primer tadi. Jadi gejala-gejala sekunder ini secara
psikologis dapat dimengerti.
Kemudian muncul teori lain yang menganggap skizofrenia sebagai suatu sindrom
yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyebab,antara lain keturunan,pendidikan
yang salah,maladaptasi,tekanan jiwa,penyakit badani seperti lues otak,atherosclerosis otak
dan penyakit lain yang belum diketahui.
Akhirnya timbul pendapat bahwa skizofrenia itu suatu gangguan psikosomatis,gejala-
gejala pada badan hanya sekunder karena gangguandasar yang psikogenik,atau merupakan
manifestasi somatic dari gangguan psikogenik. Tetapi pada skizofrenia justru kesukarannya
adalah untuk menentukan yang mana primer dan mana yang sekunder,mana yang merupakan
penyebab dan yang mana yang hanya akibat saja.
Jadi kita melihat bahwa hingga sekarang etiologi skizofrenia belum jelas. Karena itu
pernah pada suatu konferensi dunia khusus tentang skizofrenia,dikatakan bahwa sebenarnya
sangat memalukan kalau hingga sekarang kita belum mengetahui sebab musabab suatu
penyakit yang terdapat sejak dahulu kala dan yang tersebar begitu luas diseluruh dunia serta
yang khas bagi umat manusia (belum diketahui adanya skizofrenia pada binatang). Kita juga
belum sanggup mengerti dasarnya mengapa seseorang yang sebelumnya hidup normal
diantara orang-orang lain pada suatu waktu keluar dari rel atau jalan hidupnya yang wajar
lalus menderita skizofrenia. Angka kejadian ini diseluruh dunia diperkirakan 0,2-0,8%
setahun.
Sebagai ringkasan,hingga sekarang kita belum mengetahui dasar sebab-musabab
skizofrenia. Dapat diketahui bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh. Dapat diketahui
bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat,yang
menjadikannya manifes atau faktor pencetus (precipitating factors) seperti penyakit badaniah
atau stres psikologis,biasanya tidak menyebabkan skizofrenia,walaupun pengaruhnya
terhadap skizofrenia yang sudah ada tidak dapat disangkal.
Teori tentang etiologi skizofrenia yang saat ini banyak dianut adalah sebagai berikut:
Genetik: Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang turut menentukan
timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-
keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka
kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%,bagi saudara kandung 7-15%,bagi anak
yang salah satu orang tua menderita skizofrenia 7-16%,bila kedua orang tua menderita
skizofrenia 40-68%,bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%,bagi kembar satu telur
(monozigot) 61-86%.
Tetapi pengaruh genetik tidak sederhana seperti hokum Mendel. Diperkirakan bahwa
yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu
sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat,mungkin juga lemah,tetapi
selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi
skizofrenia atau tidak(mirip hal genetik pada diabetes mellitus)
Neurokimia: Hipotesis dopamine menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh
hiperaktivitas pada jaras dopamine mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan bahwa
amfetamin,yang kerjanya meningkatan pelepasan dopamine,dapat menginduksi
psikosis yang mirip skizofrenia,dan obat antipsikotik(terutama antipsikotik generasi
pertama atau psikotik tipikal/klasik) bekerja dengan mengeblok reseptor
dopamine,terutama reseptor D2. Keterlibatan neurotransmitter lain seperti
serotonin,noradrenalin,GABA dan glutamate,serta neuropeptida lain masih terus
diteliti oleh para ahli.
Hipotesis perkembangan saraf (neurodevelopmental hypothesis). Studi autopsi
dan studi pencitraan otak memperlihatkan abnormalitas struktur dan morfologi otak
penderita skizofrenia,antara lain berupa berat otak yang rata-rata lebih kecil 6%
daripada otak normal dan ukuran anterior-posterior yang 4% lebih pendk,pembesaran
ventrikel otak yang nonspesifik,gangguan metabolism di daerah frontal dan temporal
dan kelainan susunan selular pada struktur saraf dibeberapa daerah kortex dan
subkortex tanpa adanya tanda gliosis yang menandakan kelainan tersebut terjadi pada
saat perkembangan. Studi neuropsikologis mengungkapkan deficit dibidang
atensi,pemilihan konseptual,fungsi eksekutif dan memori pada penderita skizofrenia.
Semua bukti tersebut melahirkan hipotesis perkembangan saraf yang menyatakan
bahwa perubahan patologis gangguan ini terjadi pada awal kehidupan,mungkin sekali sangat
berpengaruh terhadap genetic,dan kemudian dimodifikasi oleh faktor maturasi dan
lingkungan.
EPIDEMIOLOGI
Perkiraan resiko skizofrenia pada suatu waktu tertentu 0,5-1%. Sekitar 15 persen
penderita yang masuk rumah sakit jiwa merupakan pasien skizofrenia, dan sebagian besar
pasien skizofrenia akan tinggal di rumah sakit untuk waktu lama. Pria lebih sering daripada
wanita dan kebanyakan dimulai sebelum usia 30 tahun.
Prevalensi skizofrenia di Amerika Serikat dilaporkan bervariasi terentang dari 1
sampai 1,5 persen dengan angka insidens 1 per 10.000 orang per tahun. Berdasarkan jenis
kelamin prevalensi skizofrenia adalah sama, perbedaannya terlihat dalam onset dan
perjalanan penyakit. Onset untuk laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35 tahun.
Prognosisnya adalah lebih buruk pada laki laki dibandingkan wanita.
Beberapa penelitian menemukan bahwa 80% semua pasien skizofrenia menderita
penyakit fisik dan 50% nya tidak terdiagnosis. Bunuh diri adalah penyebab umum kematian
diantara penderita skizofrenia, 50% penderita skizofrenia pernah mencoba bunuh diri 1 kali
seumur hidupnya dan 10% berhasil melakukannya. Faktor risiko bunuh diri adalah adanya
gejala depresif, usia muda dan tingkat fungsi premorbid yang tinggi.
Komorbiditas Skizofrenia dengan penyalahgunaan alkohol kira kina 30% sampai
50%, kanabis 15% sampal 25% dan kokain 5%-10%. Sebagian besar penelitian
menghubungkan hal ini sebagai suatu indikator prognosis yang buruk karena penyalahgunaan
zat menurunkan efektivitas dan kepatuhan pengobatan. Hal yang biasa kita temukan pada
penderita skizofrenia adalah adiksi nikotin, dikatakan 3 kali populasi umum (75%-90% vs
25%-30%). Penderita skizofrenia yang merokok membutuhkan anti psikotik dosis tinggi
karena rokok meningkatkan kecepatan metabolisme obat tetapi juga menurunkan
parkinsonisme. Beberapa laporan mengatakan skizofrenia lebih banyak dijumpai pada orang
orang yang tidak menikah tetapi penelitian tidak dapat membuktikan bahwa menikah
memberikan proteksi terhadap Skizofrenia.
ETIOLOGI
Penyebab skizofrenia tak diketahui dan merupakan suatu tantangan terbesar bagi
pengobatan kontemporer. Telah banyak diketahui banyak factor predisposisi dan pencetus.
Hereditas. Pentingnya factor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko
bagi masyarakat umum 1 %, orang tua 5%, saudara kandung 8%, dan anak 10%. Gambaran
terakhir ini menetap walaupun anak telah dipisahkan dari orang tua sejak lahir. Pada kembar
monozigot 30-40%.
Lingkungan. Gambaran pada penderita kembar seperti di atas menunjukkan bahwa
faktor lingkunagn juga cukup berperan dalam menampilkan penyakit pada individu yang
memiliki faktor predsiposisi. Beberapa peneliti mengatakan bahwa skizofrenia bukan suatu
penyakit, tetapi suatu respon terhadap tekanan emosi yang tak dapat ditoleransi dalam
keluarga dan masyarakat, tetapi pandangan ekstrim demikian, meski sesuai dengan
amsyarakat, kurang didukung oleh penelitian. Riset atas peristiwa hidup memperlihatkan
bahwa pasien skizofrenia mengalami peristiwa hidup itu dengan frekuensi tinggi dalam 3
minggu sebelum kambuh.
Emosi yang diekspresikan (EE). Jika keluarga skizofrenia memperlihatkan emosi
yang diekspresikan (EE) secara berlebihan, misalnya pasien sering diomeli atau terlau banyak
dikekang dengan aturan-aturan yang berlebihan, maka kemungkiann kambuh lebih besar.
Juga jika pasien tidak mendapat neuroleptik. Angka kekambuhan di rumah dengan EE rendah
dan pasien minum obat teratur, sebesar 12%; dengan EE rendah dan tanpa obat 42%; EE
tinggi dan tanpa obat, angka kekambuhan 92%.
Kepribadian premorbid. Personalitas pasien sebelumnya sering ’’skizoid’’. Perilaku
penarikan diri dan soliter ini bisa menjelaskan banyak skizofrenia tunggal.
Fisik. Banyak pasien skizofrenia berbadan astenik dan dalam kasus yang telah
didiagnosis pasti, sirkulasi tepinya mungkin buruk, ekstremitas dingin dan amenore.
Biokimia. Psikosis LSD dan psikosis amfetamin mempunyai sejumlah kesamaan dan
skizofrenia; berbagai obat, terutama fenoziatin, efektif untuk mengobati skizofrenia.
”Petunjuk” ini telah membawa ke banyak riset dan beberapa teori. Defisiensi serotonin –
LSD menghambat reseptor serotonin. Overaktivitas dopamin telah diusulkan, karena
amfetamin meningkatkan pelepasan dopamin dan obat untuk skizofrenia menghambat
reseptor dopamin. Peningkatan sensitivitas reseptor postsinaptik menjadi penjelasan yang
lebih mungkin. Teori lain mencakup degenerasi neuron noradrenalin dan defisiensi
monoamin oksidase. Banyak cacat ringan metabolisme telah ditemukan. Dalam katakonia
periodik (keadaan yang jarang ditemukan) timbul retensi nitrogen.
Imunologi. Ada peranan antibodi otak dalam genesis skizofrenia.
Kerusakan otak. Ada bukti dilatasi ventrikulus cerebri dan disorientasi usia pada
skizofrenia kronika membuat kemungkina ada penyebab organik. Infeksi virus lambat
mungkin ada.
FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya skizofrenia, antara lain:
sejarah keluarga, tumbuh kembang di tengah-tengah kota, penyalahgunaan obat seperti
amphetamine, stress yang berlebihan, dan komplikasi kehamilan.
Skizofrenia adalah penyakit gangguan fungsi otak yang diakibatkan oleh
ketidakseimbangan neurotransmitter. Akibat dari penyakit skizofrenia adalah terganggunya
kemampuan seseorang untuk berpikir jernih, berinteraksi dengan orang lain dan berperan
secara produktif di masyarakat. Di Indonesia sendiri diperkirakan terdapat kurang lebih 2 juta
orang yang mengalami skizofrenia, namun hanya sekitar 150 ribu pasien yang berkonsultasi
ke dokter. Pada pria kebanyakan penyakit skizofrenia menunjukkan gejalanya pada usia 16-
25 tahun, sedangkan pada wanita pada usia 23-36 tahun.
PSIKOPATOLOGI
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
Schizophrenia, yaitu pendekatan biologis (meliputi faktor genetik dan faktor biokimia),
pendekatan psikodinamik, pendekatan teori belajar.
Pendekatan Biologis
Faktor Genetik
Seperti halnya psikosis lain, schizophrenia nampaknya cenderung berkembang lewat
keluarga. Penelitian terhadap munculnya schizophrenia dalam keluarga biasanya diadakan
dengan mengamati penderita schizophrenia yang ada di rumah sakit jiwa dan kemudian
meneliti tentang perkembangan kesehatannya serta mencari keterangan dari berbagai pihak
untuk menentukan bagaimana schizophrenia dan psikosis lainnya muncul di antara keluarga
penderita. Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa resiko timbulnya psikosis,
termasuk schizophrenia, sekitar empat kali lebih besar pada hubungan keluarga tingkat
pertama (saudara kandung, orang tua, anak kandung) dibandingkan dengan masyarakat pada
umumnya.
Semakin dekat hubungan genetis antara penderita schizophrenia dan anggota
keluarganya, semakin besar kemungkinannya untuk terkena schizophrenia. Hal ini
menunjukkan bahwa kecenderungan terkena schizophrenia dapat ditularkan secara genetis.
Keluarga penderita schizophrenia tidak hanya terpengaruh secara genetis akan tetapi juga
melalui pengalaman sehari-hari. Orang tua yang menderita schizophrenia dapat sangat
mengganggu perkembangan anaknya. Hal ini menimbulkan persoalan tentang mana yang
lebih berpengaruh : genetis atau lingkungan.Untuk membedakan hal tersebut, para ahli
mengusahakan suatu penelitian terhadap anak kemabar. Kembar identik (monozygotic)
adalah sama/identik secara genetis, karena itu perbedaan antara anak kembar identik kiranya
dapat dihubungkan dengan perbedaan dalam lingkungan mereka. Jika mereka dibesarkan
bersama, maka kembar identik sama-sama mengalami, baik lingkungan yang sama maupun
genetis yang sama.
Di pihak lain, kembar yang tidak identik meskipun lahir pada saat yang hampir
bersamaan tetapi secara genetis mereka sama halnya dengan dua orang saudara kandung. Jika
kembar tidak identik dibesarkan bersama, mereka akan sama mengalami lingkungan yang
sama tetapi latar belakang genetisnya hanya identik sebesar 50%. Dalam penelitian terhadap
anak kembar secara umum, tingkat kemungkinan terkena schizophrenia di antara anak
kembar identik adalah sekitar dua atau empat kali lebih tinggi daripada antara anak kembar
yang tidak identik. Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh faktor genetis. Akan tetapi, dalam
suatu penelitian terhadap kembar identik lainnya ternyata menunjukkan bahwa tidak satupunh
dari anak yang kembarannya terkena schizophrenia yang juga menderita schizophrenia.
Dengan demikian, usaha untuk membedakan pengaruh genetis dan pengaruh lingkungan
masih kabur.
Hasil penelitian terhadap anak kembar belum dapat membedakan pengaruh genetis
dan pengaruh lingkungan karena anak kembar biasanya dibesarkan bersama. Oleh karena itu,
apabila anak yang orang tuanya menderita schizophrenia juga menderita schizophrenia maka
ada tiga kemungkinan jawaban : ibu atau ayah yang menderita schizophrenia mungkin
menularkannya secara genetis, atau anak hidup dalam lingkungan tertentu yang diciptakan
oleh orang tua, atau anak itu menderita schizophrenia akibat dari faktor genetik dan
lingkungan yang menekan. Untuk membedakan akibat gen dan akibat lingkungan tersebut,
diusahakan bebagai penelitian terhadap sekelompok anak yang lahir dari ibu yang menderita
schizophrenia tetapi dipisahkan dari ibunya setelah dilahirkan sehingga tidak ada kontak
dengan ibunya
Anak-anak tersebut kemudian diadopsi oleh keluarga lain. Ke;lompok lainnya terdiri
dari anak-anak yang lahir dari ibu yang normal dan juga diadopsi oleh keluarga lain. Dari
kelompok anak-anak yang lahir dari ibu yang terkena schizophreni, ternyata 5 orang
menderita schizophrenia dan beberapa lainnya menderita psikosis lainnya, sedangkan
kelompok anak-anak yang lahir dari ibu yang normal, tidak seorangpun yang terkena
schizophrenia. Hal ini mendukung pendapat bahwa schizophrenia lebih besar
kemungkinannya ditularkan secara genetis. Hasil ini juga didukung oleh beberapa penelitian
lain, yaitu bahwa anak-anak dari orang tua schizophrenia mempunyai kemungkinan terkena
schizophrenia dua kali lipat dibandingkan dengan anak-anak dari orang tua yang normal,
entah mereka dibesarkan oleh orang tua angkat yang menderita schizophrenia maupun tidak.
Singkatnya hubungan biologis atau genetis dengan penderita schizophrenia nampaknya
merupakan faktor yang paling menyolok untuk menimbulkan schizophrenia.
Beberapa penelitian tersebut menunjukkan pengaruh faktor genetis dalam menularkan
schizophrenia, namun tetap menjadi pertanyaan : bagaiman penularan genetis terjadi.
Beberapa peneliti mencoba hal itu dengan berbagai model antara lain :
a. Distinct Heterogenity Model.
Model ini menyatakan bahwa schizophrenia terdiri dari sejumlah psikosis,
beberapa diantaranya disebabkan oleh kerusakan gen yang dapat diikuti oleh gen-gen
tertentu dan yang hanya disebabkan oleh faktor lingkungan. Schizophrenia catatonic,
misalnya, mungkin merupakan penyakit yang muncul secara genetis yang akhirnya
diikuti ketidaknormalan gen pada kromosom tertntu.
b. Monogenic Model.
Model ini menyatakan bahwa semua bentuk schizophrenia dapat disebabkan
olehsuatu gen yang cacat. Gen yang cacat ini akan menyebabkan schizophrenia pada
orangyang menerima gen itu dari kedua orang tuanya (monozygote),
namunkemungkinannya kecil bila hanya dari satu orang tua (heterozygote).
c. Multifactorial-Polygenic Model.
Model ini menekankan pengaruh nilai ambang. Menurut model ini, schizophrenia
disebabkan oleh pengaruh berbagai gen, trauma biologis prenatal dan postnatal dan
tekanan psikososial yang saling berinteraksi. Aspek schizophrenia muncul bila faktor-
faktor itu berinteraksi melebihi batas ambang tertentu. Model-model lainnya
mengkombinasikan ciri-ciri dari ketiga model tersebut. Schizophrenia, misalnya, muncul
sebagai akibat dari interaksi gen tunggal dan tekanan lingkungan. Model Multifactorial-
Polygenic nampaknya lebih banyak diterima.
Faktor Biokimia
Kraeplin telah mengidentifikasikan schizophrenia sebagai akibat dari adanya
ketidakseimbangan kimiawi karena tidak normalnya kelenjar kelamin. Sementara Carl Jung
menyebutkan adanya unsur kimia yang tidak diketahui, yang disebutnya "toxin x". Adanya
indikasi pengaruh faktor genetis setidaknya menunjukkan adanya pengaruh faktor biokimia
karena faktor genetis terjadi melalui proses biologis dan kimiawi tubuh. Para peneliti lain
menemukan adanya substansi kimia yang tidak normal yang disebut taraxein dalam serum
darah.
Riset terakhir difokuskan pada dopamine, suatu neurotransmitter yang aktif di
wilayah otak yang terlihat dalam regulasi emosi atau sistem limbik. Hipotesis dopamine
menyatakan bahwa schizophrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya penerimaan dopamine
dalam otak. Kelebihan ini mungkin karena produksi neurotransmitter atau gangguan regulasi
mekanisme pengambilan kembali yang dengannya dopamine kembali dan disimpan oleh
vestikel neuron parasimpatik. Kemungkinan lain adalah adanya oversensitif reseptor
dopamine atau terlalu banyaknya respon dopamine. Penelitian terhadap pengaruh dopamine
dilakukan dengan menggunakan 3 macam obat bius, yaitu phenothiazine, L-Dopa, dan
amphetamine. Phenothiazine merupakan obat anti psikosis yang dapat mengurangi tingkat
kekacauan pikiran, halusinasi, dan memperbaiki suasanan hati penderita schizophrenia.
Terdapat bukti kuat bahwa phenophiazine mengurangi aktifitas dopamine dalam otak dengan
menghambat penerimaan dalam saraf parasimpatik. L-Dopa biasa digunakan untuk
pengobatan gejala-gejala penyakit parkinson. Tubuh akan mengubah L-Dopa ini menjadi
dopamine dan kadang-kadang menyebabkan gejala-gejala seperti schizophrenia. Sementara
amphetamine merupakan obat perangsang yang meningkatkan kemampuan dopamine dalam
otak. Pemberian amphetamine dalam dosis yang berlebihan ternyata menunjukkan gejala-
gejala seperti schizophrenia. Jika penderita schizophrenia diberi amphetamine, meski dalam
dosis rendah, ternyata gejala-gejala schizophrenianya semakin memburuk.
Dengan demikian, obat yang dapat menghambat penerimaan dopamine (seperti
phenothiazine) dapat mengurangi gejala-gejala schizophrenia, sementara obat lain yang
meningkatkan kemampuan dopamine (seperti amphetamine dan L-Dopa) dapat menyebabkan
atau memperburuk gejala-gejala schizophrenia. Hal ini memperlihatkan bahwa kelebihan
dopamine dapat menyebabkan gejala-gejala schizophrenia. Akan tetapi penemuan ini belum
seluruhnya tepat. Pemberian phenothiazine terhadap penderita schizophrenia memperlihatkan
bahwa seperempat dari mereka memberi respon yang sangat kecil atau tidak sama sekali,
bahkan seperempatnya memberikan respon negatif. Sementara, sepertiga penderita yang
diberi amphetamine tidak mengalami gejala yang makin memburuk. Hal ini memperlihatkan
bahwa seharusnya ada penyebab lain selain dari kelebihan dopamine.
Perlu disadari bahwa schizophrenia merupakan sekelompok psikosis dengan efek
yang bermacam-macam. Teori dopamine perlu dicermati secara hati-hati karena mungkin
terlalu sederhana dalam mencari penjelasan dengan memusatkan persoalan hanya pada
aktifitas dopamine semata tanpa memperhitungkan interaksi fungsi otak dengan sistem
biokimia secara menyeluruh. Penyumbatan dopamine mungkin mempengaruhi gejala-gejala
schizophrenia, tetapi tidak menjadi penyebab munculnya penyakit tersebut. Perubahan
aktifitas dopamine mungkin terjadi setelah munculnya psikosis dan bukan sebelumnya.
Otak
Sekitar 20-35% penderita schizophrenia mengalami beberapa bentuk kerusakan otak
(Sue, et al., 1986). Penelitian dengan CAT (Computer Axial Tomography) dan MRI
(Magnetic Resonance Imagins) memperlihatkan bahwa sebagian penderita schizophrenia
memiliki ventrikel serebral (yaitu ruangan yang berisi cairan serebrospinal) yang jauh lebih
besar dibanding dengan orang normal. Itu berarti jika ventriker lebih besar dari normal,
jaringan otak pasti lebih kecil dari normal. Pembesaran ventrikel berarti terdapat proses
memburuknya atau berhentinya pertumbuhan jaringan otak. Bebebrapa penelitian
memperlihatkan bahwa lobus frontalis, lobus temporalis, dan hipokampus yang lebih kecil
pada penderita schizophrenia (Atkinson, et al., 1992). Penelitian dengan PET (Positron
Emission Topography, yaitu pengamatan terhadap metabolisme glukosa pada saat seseorang
sedang mengerjakan tes psikologi, pada penderita schizophrenia memperlihatkan tingkat
metabolisme yang rendah pada lobus frontalis. Kelainan syaraf ini dapat pula dijelaskan
sebagai akibat dari infeksi yang disebabkan oleh virus yang masuk otak. Infeksi ini dapat
terjadi selama perkembangan janin. Akan tetapi, jika kerusakan otak terjadi pada masa awal
perkembangan seseorang, pertanyaan yang muncul adalah mengapa psikosis ini baru muncul
pada masa dewasa. Weinberger mengatakan bahwa luka pada otak saling mempengaruhi
dengan proses perkembangan otak yang normal. Lobus frontalis merupakan struktur otak
yang terlambat matang, khususnya pada usia dewasa. Dengan demikian, luka pada daerah
tersebut belum berpengaruh pada masa awal sampai lobus frontalis mulai berperan dalam
perilaku.
Pendekatan Psikoanalisa
Menurut Freud kepribadian terdiri atas 3 (tiga( sistem atau aspek, yaitu : id, egoan
super ego Id merupakan unsur landasan dasar, dan paling penting dari ketiganya, karena
merupakan sumber dari energi psikis, yang berasal dari insting-insting biologis manusia.
Insting-insting yang paling penting adalah insting seksual dan insting agresi. Kedua insting
tersebut yang banyak membimbing perilaku manusia.
Ego merupakan proses kepribadian yang logis dan mempunyai kegunaan yang
mempermudah transaksi/perbuatan manusia menguasai alam lingkungannya. Ego mencakup
kemampuan merencanakan, memecahkan masalah, dan menciptakan bermacam-macam
teknik untuk menguasai dunia sekitarnya. Selain itu, ego juga harus mampu mengendalikan
impuls-impuls manusai, karena ekspresi hiperaktif dari impuls-impuls seks dan dorongan-
dorongan agresi bisam mencelakakan manusia dan sekelilingnya. Dengan demikian, ego
berfungsi mengintegrasikan impuls-impuls seks dan agresinya dengan dunia luarnya.
Superego merupakan konsep yang melambangkan internalisasi dari nilai-nilai orang
tua oleh diri anak, yaitu berupa nilai-nilai yang ditanamkan dengan sangsi hukuman jika
dilanggar dan mendapatkan hadiah jika dipatuhinya. Pertimbangan antara id dan superego
seringkali tidak seimbang dan menimbulkan konflik. Apabila ego berfungsi dengan baik,
maka situasi konflik tersebut akan dapat dikendalikan dan diselesaikannya secara adekuat.
Sementara jika ego lemah, maka situasi konflik tersebut tidak akan dapat diselesaikannya,
dan akan timbul banyak konflik internal atau bahkan konfli yang sifatnya sangat hebat, yang
diekspresikannya dalam bentuk tingkah laku yang abnormal. Jika superego-nya dominan dan
bersifat sangat moralistis, biasanya individu justru akan kurang mampu menanggapi insting
seksual dan agresinya, sehingga individu akan mengembangkan pola rasa bersalah, penuh
dosa, dan penyesalan yang kronis sifatnya, serta dibarengi dengan simptom kelelahan dan
kebingungan.
Perkembangan kepribadian individu menurut Freud akan sangat ditentukan oleh
perkembangan psikoseksual dimasa kanak-kanaknya. Apabila anak terus-menerus mengalami
frustasi, mendapatkan perlakuan kejam, dan tidak mendapatkan cinta kasih, atau sebaliknya
terlalu dimanjakan secara berlebih-lebihan, ia akan mengalami keberhentian dan kerugian
dalam perkembangan kepribadiannya, yang disebut dengan proses fiksasi. Anak akan
mengembangkan bermacam-macam sikap yang immature atau tidak matang dan tingkah laku
yang abnormal. Pola kepribadian yang demikian tidak jarang terus berlarut-larut dan dapat
menjadi predisposisi terjadinya gangguan abnormalitas perilaku dimasa berikutnya.
Pada schizophrenia, pola kepribadian immature yang berkaitan dengan impuls seksual
dan agresi merupakan predisposisi untuk menimbulkan gangguan tersebut. Berkembangnya
gangguan schizophrenia lebih lanjut biasanya diawali oleh apa yang disebut sebagai
precipitating event atau peristiwa pencetus. Dalam menghadapi peristiwa pencetus tersebut,
melalui pola kepribadian yang immature, individu mengembangkan defence mechanism yang
berlebihan, dimana individu akan mengembangkan pola penyelesaian masalah yang tidak
berhubungan dengan realita yang ada, yang sampai akhirnya antar aspek-aspek kepribadian
terjadi disintegrasi atau terpecah. Kondisi tersebut, menyebabkan putusnya hubungan antara
individu dengan dunia nyata. Dalam hal ini terjadi beberapa defence mechanism yang saling
berbenturan secara bersamaan. Misalnya, pada mulanya individu menggunakan mekanisme
pertahanan rasionalisasi. Kemudian, rasionalisasi tersebut direpressnya.
Kemudian, individu mengungkapkan hal yang berlawanan dengan perasaan yang
direpressnya melalui reaksi formasi. Oleh karena itu, simptom delusi dan halusinasi yang
dikembangkan oleh schizophrenia merupakan defence terhadap defence yang lain (defence
againts a defence).
Pendekatan Teori Belajar
Para ahli teori belajar, seperti Ullmann dan Krasner, menerangkan tingkah laku
schizophrenia sebagai hasil proses belajar lewat pengkondisian dan pengamatan. Seseorang
belajar untuk "menampakkan" tingkah laku schizophrenia bila tingkah laku demikian lebih
memungkinkan untuk diperkuat daripada tingkah laku yang normal. Teori ini menekankan
nilai penguatan stimulasi sosial. Schizophrenia mungkin muncul oleh karena lingkungan
tidak memberi penguatan akibat pola keluarga yang terganggu atau pengaruh lingkungan
lainnya sehingga seseorang tidak pernah belajar merespon stimulus sosial secara normal.
Bersamaan dengan itu, mereka akan semakin menyesuaikan diri dengan stimulus pribadi atau
idiosinkratis. Selanjutnya, orang-orang akan melihat bahwa mereka sebagai orang aneh
sehingga mengalami penolakan sosial dan pengasingan yang akan semakin memperkuat
tingkah laku yang aneh. Perilaku aneh ini akan semakin bertahan karena tidak ada penguatan
dari orang lain berupa perhatian dan simpati.
Pandangan tersebut didukung oleh pengamatan dengan pengkondisian operan.
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa perilaku yang aneh dapat dibentuk melalui
proses penguatan. Akan tetapi fakta ini belum dapat memperlihatkan ap-akah tingkatan
perilaku yang aneh pada schizophrenia dapat dijelaskan melalui penmgalaman belajar. Selain
itu, fakta lain menunjukkan bahwa beberapa orang yang hidup dalam lingkungan yang keras
dan tertekan tetapi tidak menarik diri ke dalam dunia khayalannya dan tidak bertingkah aneh.
Beberapa penderita schizophrenia bahkan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mendapat
dukungan sosial. Teori belajar sosial menerangkan bahwa gejala-gejala schizophrenia terjadi
dalam lingkungan rumah sakit jiwa. Dalam lingkungan tersebut, penderita belajar dengan
mengamati perilaku pasien lain dan mengikutinya. Hal ini diperkuat lagi oleh petugas yang
memberi perhatian khusus pada penderita yang berperilaku aneh. Pandangan ini sesuai
dengan pengalaman di sekolah dimana guru memberi perhatian khusus justru pada anak yang
nakal. Barangkali beberapa perilaku schizophrenia dapat diterangkan dengan peniruan dan
penguatan, akan tetapi banyak orang menderita schizophrenia tanpa lebih dahulu bertemu
dengan penderita lainnya. Selain itu, kenyataannya justru gejal-gejala schizophrenialah yang
menyebabkan seseorang dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan bukannya akibat yang
diperoleh di dalam rumah sakit jiwa.
KLASIFIKASI
Skizofrenia hebefrenik. Mulainya biasanya pada akhir belasan tahun dan sering
timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala awal kebingungan, konsentrasi
buruk, nerkabut, mimpi siang hari, sadar akan keadaan dirinya sendiri, kemurungan, depresi,
apati, waham sepintas, ide pseudoilmiah dan pseudofilosofi, perasaan inferioritas dan
ketidak-adekuatan. Gangguan pemikiran menjadi jelas dan mungkin ada pemikiran konkret
atau hambatan pikiran. Khas ada keanehan emosi. Gejala yang mencolok adalah:gangguan
proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality.
Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering
terdapat pada skizofrenia hebefrenik. Waham dan halusinasi banyak sekali.
Skizofrenia paranoid. Gejala khasnya waham kejaran primer dan sekunder dengan
halusinasi auditorius. Mulainya lebih lambat dibandingkan skizofrenia hebefrenik, biasanya
30-50 tahun. Perjalanannya menahun sehingga kemunduran personalitas minimum. Salah
interpretasi tindakan orang lain bisa diakibatkan oleh dalam ide kejaran. Waham bisa
‘’diselubungi’’ dan pasien bisa berperilaku normal, tetapi biasanya wahamnya akan
menimbulkan pertentangan dengan masyarakat. Meski perjalanan penyakitnya menahun,
tetapi mungkin ada fluktuasi secara periodic. Seringkali didahului oleh adanya kepribadian
paranoid—individu hipersensitif atau sangat berhati-hati walaupun dalam keadaan yang tidak
membahayakan atau yang diisolasi oleh alasan deformitas, ketulian, kesulitan bahasa, dsb.
Kadang wahamnya bisa ‘’menular’’; biasanya keluarga dekat terlibat dalam folie a deux.
Skizofrenia katatonik. Perilaku serotype, negativisme, pemgambilan sikap,
immobilitas, dan stupor merupkan sifat paling jelas. Hambatan pikiran, neologisme,
halusinasi bisa juga timbul. Kegembiraan akut dapat menjadi tanda pertama penyakit. Gejala
katakonik menjadi semakin jarang dalam 30 tahun terakhir ini: mungkin banyak yang
merupakan produk neurosis institusional. Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun,
dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah
katatonik atau stupor katatonik. Stupor katatonik:penderita tidak menunjukkan perhatian
sama sekali terhadap lingkungannya. Emosinya sangat dangkal. Gejala yang penting adalah
gejala psikomotor seperti:
Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
Muka tanpa mimik, seperti topeng
Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama, beberapa hari,
bahkan kadang-kadang sampai beberapa bulan
Bila diganti posisinya penderita menentang:negativism
Makanan ditolak,air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di dalam mulut dan
meleleh keluar,air seni dan feses ditahan
Terdapat grimas dan katalepsi
Secara tiba-tiba atau pelan-pelan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai
berbicara dan bergerak.
Gaduh-gelisah katatonik: Terdapat hiperaktivitasnya motorik, tetapi tidak disertai
dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan dari luar.
Penderita terus berbicara atau bergerak saja. Ia menunjukkan
stereotipi,manerisme,grimas dan neologisme. Ia tidak dapat tidur,tidak makan dan minum
sehingga mungkin terjadi dehidrasi atau kolaps dan kadang-kadang kematian (karena
kehabisan tenaga dan terlebih bila terdapat juga penyakit badaniah: jantung, paru, dan
sebagainya).
Seorang pasien yang mulai membaik dari skizofrenia gaduh-gelisah katatonik
berulang-ulang minta dipulangkan dari rumah sakit. Pikiran ini diutarakannya melalui
berbagai macam cara sehingga sudah merupakan perseverasi, seperti dapat dilihat dari surat
di bawah ini yang diberikannya kepada penulis.
Skizofrenia simpleks: gambaran khas skizofrenia kronik dapat terlihat pada banyak
pasien baik berada di dalam masyarakat maupun yang sedang menjalani perawatan jangka
lama. Gejala negative mendominasi, tan;pa dorongan dan inisiatif, kemiskian pikiran dan
emosi serta perilaku ekstrenskik soliter. Terlihat ‘’disorientasi usia’’ dan bukti ada
penumpukan kerusakan serebrum yang dikaitkan dengan derajat gangguan fungsi intelektual.
Keadaan ini biasanya merupakan hasil akhir dari gejala-gejala skizofrenia yang sebelumnya
telah berkembang penuh, tetapi dalam beberapa kasus, onsetnya sangat pelan, sehingga
pasien seolah-olah langsung tampil dalam keadaan cacat (skizofrenia simpleks).
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis simplex
adalah kadangkala emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya
sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-
lahan sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya
atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau
pelajaran dan akhirnya menjadi penganggur. Bila tidak ada orang yang menolongnya ia
mungkin akan menjadi pengemis, pelacur atau penjahat.
Episode Skizofrenia akut: Gejala Skizofrenia timbul mendadak sekali dan pasien
seperti dalam keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul
perasaan seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah, semuanya seakan-akan
mempunyai suatu arti yang khusus baginya.
Skizofrenia Residual: Keadaan Skizofrenia dengan gejala primernya Bleuler, tetapi
tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan
Skizofrenia. Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya satu
episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang kea rah gejala negative yang lebih
menonjol. Gejala negative terdiri dari kelambatan psikomotor, pnurunan aktivitas,
penumpulan afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekspresi nonverbal
yang menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.
Skizofrenia Skizo Afektif: Disamping gejala Skizofrenia terdapat menonjol secara
bersamaaan juga gejala-gejal depresi (skizo depresif) atau gejala mania (psiko-manik). Jenis
ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa defek, tetapi mungkin juga timbul serangan lagi.
KLASIFIKASI (DSM-IV-TR)
1. Skizofrenia yang tidak teratur (Disorganized Schizophrenia)
Perilaku motorik penderita Skizofrenia kategori ini biasanya sangat aneh.
Mereka juga biasanya mengalami halusinasi dan delusi, bingung dan menarik diri juga
tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Kategori ini biasanya terjadi pada mereka yang
masih muda. Berikut ini adalah tiga gejala yang merupakan karakteristik dari
skizofrenia yang tidak teratur.
a. Pembicaraan yang membingungkan: pasien melakukan Neologisme, kata yang
berima dan campur aduk kata.
b. Gangguan suasana hati: berpura-pura, bersikap bodoh dan bermuka masam.
c. Perilaku yang membingungkan: pasien tidak mau mandi, tidak mau berpakaian
dan lainnya.
2. Katatonik Skizofrenia (Catatonic Schizophrenia)
Ciri khusus pada catatonic schizophrenia adalah adanya gangguan pada tingkah laku
gerak. Bentuk-bentuk gangguannya antara lain:
a. Diam Seluruhnya
Biasanya disertai dengan mutisme (kebisuan), penghentian bicara dan pasien
dapat mempertahankan kondisi ini selama berminggu-minggu. Posisi tubuh pasien
dapat diubah dan dibentuk oleh orang lain dan mempertahankannya dalam waktu yang
lama. Banyak pasien katatonik berganti-ganti antara periode diam dan periode aktivitas
motorik yang berlebihan, yang dapat mencakup perilaku kekerasan. Saat terlalu
bersemangat, pasien dapat menyakiti dirinya sendiri maupun orang lain. Pada saat
stupor, pasien harus dicegah dari kelaparan.
b. Kekakuan
Pasien menolak usaha orang lain untuk menggerakkan tungkainya. Pasien
mengetahui dengan jelas apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Pasien juga dapat
menunjukkan echolalia (meniru perkataan orang lain) dan echopraxia (meniru gerakan
orang lain).
c. Negativisme
Pasien tidak hanya menolak apa yang diperintahkan oleh orang lain tetapi juga
melakukan apa yang sebaliknya dari yang diperintahkan.
3. Paranoid Skizofrenia (Paranoid Schizophrenia)
Karakteristik paranoid skizofrenia ini adalah delusi dan/ atau halusinasi, sering
juga dihubungkan dengan penyiksaan dan waham kebesaran. Pada sejumlah kasus
dapat disertai dengan halusinasi, terutama halusinasi pendengaran.
Pasien paranoid skizofrenia dianggap lebih “normal” daripada pasien
skizofrenia lainnya. Hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa pasien paranoid
skizofrenia:
d. Menunjukkan hasil tes kognitif yang baik/ normal (Strauss, 1993).
e. Memiliki persepsi superior terhadap pernyataan emosi (Davis & Gibson,
2000).
f. Memiliki catatan penyesuaian premorbid yang lebih baik, memiliki
kemungkinan untuk menikah, serangan belakangan dan menunjukkan hasil
jangka panjang yang lebih baik daripada pasien skizofrenia lainnya (Fenton &
McGlashan, 1991; Kendler, McGuire, Gruenberg, et al., 1994; Sanislow &
Carson, 2001).