skizofrenia

21
REFLEKSI KASUS FEBRUARI 2014 “SKIZOFRENIA HEBEFRENIK’’ Nama : Edi Suryadi No. Stambuk : G 501 09 058 Pembimbing: Dr. Dewi Suriany A, Sp. KJ DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO 1

Upload: edhy-suryadi

Post on 02-Oct-2015

3 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Ilmu Kedokteran Jiwa

TRANSCRIPT

REFLEKSI KASUS FEBRUARI 2014

SKIZOFRENIA HEBEFRENIK

Nama : Edi SuryadiNo. Stambuk : G 501 09 058Pembimbing: Dr. Dewi Suriany A, Sp. KJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWAFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKORUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATAPALU2014

2

REFLEKSI KASUSA. Identitas pasien.DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWAFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS TADULAKO

Nama: Tn. A.Jenis kelamin: Laki laki.Usia: 28 tahun.Alamat: Lolu, Biromaru.Agama: Islam.Pekerjaan: -Status pernikahan: Belum kawin.Pendidikan terakhir: SMA (selesai).

B. Deskripsi kasus.Pasien datang bersama ibunnya ke Poli Klinik Jiwa RSUD UNDATA dengan mengeluhkan sakit ulu hati yang dirasakan sejak 1 hari yang lalu. Ibu pasien juga mengeluhkan bahwa pasien merusak barang 2 bulan lalu, apsien merusak tempat tidurnya yang telah di rapikan oleh ibunya. Perilaku merusak ini awalnya bermula saat kejadian tahun 2002 saat pasien duduk di kelas 2 SMA negeri 1 Biromaru. Ibu pasien di undang oleh pihak sekolah karena pasien dinyatakan tidak naik kelas dengan alasan pasien kedapatan sedang minum-minum beralkohol di sekolah bersama teman-temannya. Padahal menurut ibu pasien, pasien memiliki nilai yang baik. Namun ibu pasien tidak terima karena dari pihak sekolah kurang melakukan komunikasi akan kelakuan anaknya di sekolah. Walapun dengan berat hati atas keputusan dari sekolah yang menurut pengakuan ibu pasien sangatlah tidak adil, akhirnya pasien pindah sekolah. Pasien pindah sekolah ke SMA negeri 3 kelas 2. Pasien menyelesaikan sekolahnya dan melanjutkan keperguruan tinggi selama 4 semester namun pasien berhenti atas kemauan sendiri dengan alasan tidak memiliki uang. Ibu pasien mengatakan bahwa pasien pernah didaftarkan ke AKPOL namun tidak diterima dengan alasan kondisi kejiwaan pasien.Menurut ibu pasien, semenjak kejadian itu pasien mulai memperlihatkan kelakuaan aneh. Pasien mulai mengurung diri di kamar, berbicara tidak jelas dan pasien terlihat tertawa sendiri. Padahal sebelumnya pasien tipe orang ceria, mudah bergaul, dan memiliki banyak teman berdasarkan pengakuan ibu pasien. Keadaan ini diperparah dengan ketidakhadiran ayah pasien dalam keluarga. Permasalaah keluarga pasien ini, dimana ayah pasien yang sedang melanjutkan pendidikan S2 di Makassar melakukan penelitian ke Buol tanpa pulang terlebih dahulu melihat keluarganya. Pasien menunggui ayahnya, namun tak kunjung pulang. Menurut ibu pasien, pasien sangat dekat dengan ayahnya dibanding ibunya. Pasien lebih banyak menghabiskan waktu bersama ayahnya.Pasien mulai terlihat gelisah, sedih, murung, tertawa sendiri dan mulai memecahkan barang yang ada dirumah seperti piring kaca, gelas kaca, dan merusak ranjang. Ibu pasien mengatakan bahwa pasien mendengar bisikan-bisakan yang tidak jelas dari mana sumbernya. Pasien mulai tak terkontrol lagi, kemudian kira-kira 3 bulan kemudian setelah pasien terlihat mengamuk pasien di bawa berobat ke RSD MADANI pada tahun 2003. Pasien dirawat inap 3 bulan, setelah itu pasien diperbolehkan rawat jalan karena menunjukkan perbaikan. Pasien tidak lagi mengamuk, namun pasien masih terlihat tertawa sendiri.Pasien memiliki perilaku buruk yaitu merokok dalam sehari pasien sanggup menghabiskan 1 bungkus rokok. Pasien meminta uang untuk membeli rokok kepada ibunya, pasien akan marah dan bahkan mengamuk ketika tidak diberikan rokok. Pasien juga mengkonsumsi minuman beralkohol. Namun menurut pengakuan ibu pasien, pasien akan minum-minum beralkohol ketika ada keramaian atau ada orang yang ajak saat ada acara saja. Sehingga ibu pasien sering melarang pasien keluar rumah. Dan sampai saat ini pasien menjadi pasien kontrol di Poli Klinik Jiwa RSUD UNDATA.

C. Emosi yang terlibat.Pada kasus ini, menarik dibahas karena pada pasien ditemukan ada keunikan tersendiri bagi pemeriksa yaitu saat diwawancarai pasien lebih banyak diam dan sedikit berbicara. Pasien hanya menjawab ala kadarnya saja. Pada pasien ini juga sempat tinggal kelas, ini merupakan stresor pemicu terjadinya gangguan pada pasien dan ditambah dengan masalah ayah pasien yang tidak pulang saat melanjutkan studi hingga pasien mulai memberontak, merusak dan menhancurkan barang-barang.

D. Evaluasi.1. Pengalaman baik.Pasien cukup kooperatif tapi kurang komunikatif saat diwawancarai. Namun pasien bersifat penurut saat diberikan konseling. Selain itu pengalaman yang didapatkan setelah wawancara adalah harus lebih memahami karakter pasien yang kurang komunikatif agar mendapat informasi akan keluhan dan permasalahan yang dihadapi oleh pasien.

2. Pengalaman buruk.Pada pasien ini sangat sulit mendapatkan informasi, karena informasi dari pasien sangat terbatas. Pasien juga masih terlihat sedikit bingung ketika diajukan beberapa pertanyaan sehingga masih sulit melakukan autoanamnesis.

E. Analisis.Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan pola perilaku dan psikologis yang secara klinis bermakna dan menimbulkan suatu penderitaan (distress) dan hendaya (disability) dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan fungsi pekerjaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasien ini menderita gangguan jiwa.Ada beberapa kriteria diagnostik skizofrenia di dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) antara lain :1. Karakteristik simtom : Terdapat dua (atau lebih) dari kriteria di bawah ini, masing-masing ditemukan secara signifikan selama periode satu bulan (atau kurang, bila berhasil ditangani) : a. Delusi (waham).b. Halusinasi.c. Pembicaraan yang tidak terorganisasi (misalnya, topiknya sering menyimpang atau tidak berhubungan).d. Perilaku yang tidak terorganisasi secara luas atau munculnya perilaku katatonik yang jelas.e. Simtom negatif; yaitu adanya afek yang datar, alogia atau avolisi (tidak adanya kemauan).Catatan : Hanya diperlukan satu simtom dari kriteria 1, jika delusi yang muncul bersifat kacau (bizare) atau halusinasi terdiri dari beberapa suara yang terus menerus mengkomentari perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling berbincang antara satu dengan yang lainnya.2. Ketidakberfungsian sosial atau pekerjaan. Untuk kurun waktu yang signifikan sejak munculnya onset gangguan, ketidakberfungsian ini meliputi satu atau lebih fungsi utama; seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, adanya kegagalan untuk mencapai beberapa tingkatan hubungan interpersonal, prestasi akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).3. Durasi. Adanya tanda-tanda gangguan yang terus menerus menetap selama sekurangnya enam bulan. Pada periode enam bulan ini, harus termasuk sekurangnya satu bulan gejala (atau kurang, bila berhasil ditangani) yang memenuhi kriteria 1 (yaitu fase aktif simtom) dan mungkin termasuk pula periode gejala prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual ini, tanda-tanda dari gangguan mungkin hanya dimanifestasikan oleh simtom negatif atau dua atau lebih simtom yang dituliskan dalam kriteria 1 dalam bentuk yang lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).4. Di luar gangguan skizoafektif dan gangguan mood. Gangguan-gangguan lain dengan ciri psikotik tidak dimasukkan, karena :a. Selama fase aktif simtom, tidak ada episode depresif mayor, manik atau episode campuran yang terjadi secara bersamaan. b. Jika episode mood terjadi selama simtom fase aktif, maka durasi totalnya akan relatif lebih singkat bila dibandingkan dengan durasi periode aktif atau residualnya.5. Di luar kondisi di bawah pengaruh zat atau kondisi medis umum. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (penyalahgunaan obat, pengaruh medikasi) atau kondisi medis umum.6. Hubungan dengan perkembangan pervasive. Jika ada riwayat gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasive lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika muncul delusi atau halusinasi secara menonjol untuk sekurang-kurangnya selama satu bulan (atau kurang jika berhasil ditangani).

Tipe-tipe skizofrenia.Berdasarkan definisi dan kriteria diagnostik tersebut, skizofrenia di dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) dapat dikelompokkan menjadi beberapa subtipe, yaitu :1. Skizophrenia paranoid.Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :a. Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi dengar yang menonjol secara berulang-ulang.b. Tidak ada yang menonjol dari berbagai keadaan berikut ini : pembicaraan yang tidak terorganisasi, perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik, atau afek yang datar atau tidak sesuai.2. Skizophrenia hebefrenik.Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :a. Di bawah ini semuanya menonjol : Pembicaraan yang tidak terorganisasi. Perilaku yang tidak terorganisasi. Afek yang datar atau tidak sesuai.b. Tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik.3. Schizophrenia katatonik.Tipe Skizofrenia dengan gambaran klinis yang didominasi oleh sekurang-kurangnya dua hal berikut ini :a. Imobilitas motorik, seperti ditunjukkan adanya katalepsi (termasuk fleksibilitas lilin) atau stupor.b. Aktivitas motorik yang berlebihan (tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal).c. Negativisme yang berlebihan (sebuah resistensi yang tampak tidak adanya motivasi terhadap semua bentuk perintah atau mempertahankan postur yang kaku dan menentang semua usaha untuk menggerakkannya) atau mutism.d. Gerakan-gerakan sadar yang aneh, seperti yang ditunjukkan oleh posturing (mengambil postur yang tidak lazim atau aneh secara disengaja), gerakan stereotipik yang berulang-ulang, manerism yang menonjol, atau bermuka menyeringai secara menonjol.e. Ekolalia atau ekopraksia (pembicaraan yang tidak bermakna).4. Schizophrenia Undifferentiated.Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria 1, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi, dan katatonik.5. Schizophrenia Residual.Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :a. Tidak adanya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisasi, dan perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik yang menonjol.b. Terdapat terus tanda-tanda gangguan, seperti adanya simtom negatif atau dua atau lebih simtom yang terdapat dalam kriteria 1, walaupun ditemukan dalam bentuk yang lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengelaman persepsi yang tidak lazim).

Pada pemeriksaan status internus, neurologis dan riwayat medis pasien, tidak didapatkan indikasi adanya gangguan medis umum yang menimbulkan disfungsi otak. Dari anamnesis didapatkan bahwa ada riwayat trauma saat pasien berumur 6 bulan pasien pernah terjatuh dari kereta bayi, namun seiring perkembangan dan pertumbuhan pasien tidak terjadi gangguan yang bermakna serta tidak ditemukan adanya riwayat kejang dan epilepsi sehingga gangguan mental organik dapat disingkirkan.Dari anamnesis didapatkan riwayat penggunaan zat yaitu pasien minum minuman beralkohol, namun pasien tidak memiliki riwayat ketergantungan terhadapa minum beralkohol. Pasien akan minum alkohol ketika dapat tawaran dari temannya sehingga diagnosis gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif juga dapat disingkirkan.Berdasarkan riwayat penyakit, anamnesis dan pemeriksaan status mental ditemukan gangguan emosi yaitu mood : kosong dan afek : tidak serasi. Gangguan persepsi yaitu halusinasi auditorik. Gangguan pikiran yaitu proses pikir : inkoherensia dan isi pikir : kemiskinan isi pikir. Gangguan fungsi intelektual (kognitif) yaitu orientasi dan daya ingat terganggu. Daya nilai terganggu serta tilikan derajat 2 sehingga pasien masuk golongan psikotik. Dengan mempertimbangkan onset pasien lebih dari 1 bulan, penurunan realita yang terganggu dan gejala tersebut menimbulkan perubahan perilaku pribadi secara keseluruhan maka pasien memenuhi kriteria skizofrenia. Berdasarkan kriteria diagnosis Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR), maka diagnosa yang diajukan adalah Skizofrenia hebefrenik (F20.1).Skizofrenia dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor yang saling berkombinasi, sehingga Skizofrenia dapat menunjukkan beberapa bentuk yang beragam baik dari simtom maupun manifestasinya. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka teori Diathesis-Stress Model lebih tepat untuk menerangkan tentang penyebab munculnya Skizofrenia. Teori ini menyatakan bahwa Skizofrenia dapat disebabkan oleh pengaruh keadaan fisik, psikis, dan lingkungan yang kurang kondusif di dalam kehidupan seseorang.Teori Diathesis-Stress Model dapat diterangkan dalam dua bagian, yaitu : Diathesis Model, yang menyatakan bahwa penyebab Skizofrenia didasarkan pada faktor genetik sebagai predisposisi biologis. Ada beberapa hipotesis yang berkaitan dengan ketidakberfungsian sistem biologis, seperti : kerusakan struktur otak, ketidakmampuan menerima dan mengorganisasikan informasi yang kompleks, kekacauan sistem regulasi neurotransmiter. Sedangkan Stress Model, berhubungan dengan kemampuan seorang individu untuk mengatasi permasalahan dengan jalan keluar yang tepat. Stresor dari lingkungan dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu yang bersifat fisik dan bersifat psikologis.Teori Diathesis-Stress Model menyatakan bahwa teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan berkembangnya gejala Skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh secara dinamis.1. Faktor biologis.Penyebab Skizofrenia secara pasti belum dapat diketahui, tetapi dari berbagai penelitian dalam sepuluh tahun terakhir menyatakan bahwa peran dari gangguan secara fisik-biologislah yang paling dominan. Gangguan tersebut dapat berupa : kerusakan dan gangguan di bagian otak tertentu, gangguan dopamin, gangguan neurotransmiter, gangguan sistem syaraf, gangguan elektrofisis, disfungsi pada gerakan visual, gangguan sistem psikoneuroimunologi, dan gangguan sistem psikoneuroendokrinologi.Di dalam genetika, dinyatakan bahwa gen pembawa Skizofrenia dapat diwariskan pada suatu silsilah keluarga yang sifat hubungannya tertutup. Namun, faktor genetik ini akan muncul secara nyata dalam manifestasi perilaku, apabila dipengaruhi oleh faktor lingkungan.2. Faktor lingkungan.Komponen lingkungan dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu yang bersifat biologis-fisik (seperti adanya infeksi virus yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan otak, penyalahgunaan obat atau zat, cedera di bagian otak tertentu) dan bersifat psikologis (seperti adanya situasi keluarga yang penuh dengan ketegangan, kematian orang terdekat).3. Faktor psikososial.Metode penanganan terhadap Skizofrenia sekarang ini telah diupayakan untuk dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya melakukan penanganan secara biologismedik, tetapi juga telah menggabungkan penanganan yang bersifat psikososial.

Skizofrenia berdasarkan teori psikoanalitik adalah hasil dari fiksasi perkembangan, yang muncul lebih awal daripada gangguan neurosis. Jika neurosis merupakan konflik antara id dan ego, maka psikosis merupakan konflik antara ego dan dunia luar. Menurut Freud, kerusakan ego (ego defect) memberikan kontribusi terhadap munculnya simptom skizofrenia. Disintegrasi ego yang terjadi pada pasien skizofrenia merepresentasikan waktu dimana ego belum atau masih baru terbentuk.Konflik intrapsikis yang berasal dari fiksasi pada masa awal serta kerusakan ego yang mungkin merupakan hasil dari relasi obyek yang buruk turut memperparah symptom skizofrenia. Hal utama dari teori Freud tentang skizofrenia adalah dekateksis obyek dan regresi sebagai respon terhadap frustasi dan konflik dengan orang lain.Secara umum, dalam pandangan psikoanalitik tentang skizofrenia, kerusakan ego mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan kontrol terhadap dorongan dari dalam, seperti seks dan agresi. Gangguan tersebut terjadi akibat distorsi dalam hubungan timbal balik ibu dan anak.Berbeda dengan model yang kompleks dari Freud, pandangan psikodinamik setelahnya lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus. Hambatan dalam membatasi stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama masa kanak-kanak dan mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal.Menurut pendekatan psikodinamik, simptom positif diasosiasikan dengan onset akut sebagai respon terhadap faktor pemicu/pencetus, dan erat kaitannya dengan adanya konflik. Simptom negatif berkaitan erat dengan faktor biologis, dan karakteristiknya adalah absennya perilaku/fungsi tertentu. Sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat konflik intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.Dalam kasus ini, kemungkinan penyebab penderitaan (distress) dan hendaya (disability) pada pasien adalah dari faktor lingkungan dan faktor keluarga dimana pasien sempat tidak naik kelas dan tidak bertemu dengan ayahnya akibat tidak pulang saat studi di Makassar serta terjadi perceraian. Kejadian dan konflik tersebut merupakan stresor tersendiri bagi pasien yang menyebabkan pasien menjadi gelisah, sering mengamuk dan menghancurkan barang.

F. Penatalaksanaan.1. Farmakoterapi. Antipsikotik.Antipsikotik termasuk tiga kelas obat yang utama, yaitu :a) Antagonis reseptor dopamin adalah obat antipsikotik yang klasik dan efektif dalam pengobatan skizofrenia. Obat ini memiliki dua kekurangan utama, yaitu : Hanya sejumlah kecil pasien, cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup normal. Disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius. Efek mengganggu yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor. Efek serius yang potensial adalah tardive dyskinesia dan sindroma neuroleptik malignan.b) Risperidone adalah suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamine tipe 2 (d2). Risperidone menjadi obat lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena kemungkinan obat ini adalah lebih efektif dan lebih aman daripada antagonis reseptor dopaminergik yang tipikal.c) Clozapine adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti. Clozapine adalah suatu antagonis lemah terhadap reseptor D2 tetapi merupakan antagonis yang kuat terhadap reseptor D4 dan mempunyai aktivitas antagonistic pada reseptor serotogenik. Agranulositosis merupakan suatu efek samping yang mengharuskan monitoring setiap minggu pada indeks-indeks darah. Obat ini merupakan lini kedua, diindikasikan pada pasien dengan tardive dyskinesia karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapine tidak disertai dengan perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut.

2. Psikoterapi. a) Terapi Perilaku.Tehnik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan social untuk meningkatkan kemampuan social, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal.Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan. Dengan demikian frekuensi perilaku mal adaptif atau menyimpang dapat diturunkan.Latihan keterampilan perilaku (behavioral skills trainning) sering dinamakan terapi keterampilan sosial (social skills therapy). Terapi ini dapat secara langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan tambahan alami bagi terapi farmakologis. Latihan keterampilan ini melibatkan permainan simulasi (role playing) dalam terapi, dan pekerjaan rumah tentang keterampilan yang telah dilakukan.b) Terapi berorientasi keluarga.Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasik dan menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah memang timbul pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan masalah secara cepat.Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas dalam terapi keluarga adalah proses pemulihan khususnya lama dan kecepatannya.

G. Prognosis.Penegakan prognosis dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu prognosis positif apabila didukung oleh beberapa aspek berikut, seperti : onset terjadi pada usia yang lebih lanjut, faktor pencetusnya jelas, adanya kehidupan yang relatif baik sebelum terjadinya gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan, dan seksual, fase prodromal terjadi secara singkat, munculnya gejala gangguan mood, adanya simtom positif, sudah menikah, dan adanya sistem pendukung yang baik.Sedangkan prognosis negatif, dapat ditegakkan apabila muncul beberapa keadaan seperti berikut : onset gangguan lebih awal, faktor pencetus tidak jelas, riwayat kehidupan sebelum terjadinya gangguan kurang baik, fase prodromal terjadi cukup lama, adanya perilaku yang autistik, melakukan penarikan diri, statusnya lajang, bercerai, atau pasangannya telah meninggal, adanya riwayat keluarga yang mengidap skizofrenia, munculnya simtom negatif, sering kambuh secara berulang, dan tidak adanya sistem pendukung yang baik.Pada kasus ini memiliki prognosis negatif/buruk karena onset gangguan lebih awal, status pasien lajang, riwayat relaps berulang dan riwayat penyerangan.

H. Kesimpulan.Skizofrenia adalah suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia, penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikkan klinis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira, S. D., Hadisukanto, G. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit FK UI : Jakarta.

2. Maslim, R. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan dari PPDGJIII. Jakarta.

3. Sadock, B. 2009. Buku Ajar Psikiatri Klinis ed. 2. EGC : Jakarta.

4. Semium, Y. 2006. Kesehatan Mental 2. Kanisius : Yogyakarta.

5. Tomb, D. A. 2004. Buku Saku Psikiatri. EGC : Jakarta.

6. Kaplan., Sadock. 1997. Skizofrenia dalam Sinopsis Psikiatri Jilid 1, edisi 7. Penerbit Bina Rupa Aksara. Jakarta.

7. Maramis, W.F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Universitas Airlangga. Surabaya.

8. Hawari, D. 2003. Skizofrenia dalam Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa. Penerbit FKUI. Jakarta.