skizofrenia
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit skizofrenia telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu, namun baru kira-
kira seratus tahun terakhir uraian penyakit ini dapat ditemui dalam kepustakaan
kedokteran. Menurut catatan sejarah terdapat empat ilmuan (dokter) yang merupakan
tokoh konseptor Skizofrenia, yaitu Hughlings Jackson (1887), Eugen Bleuier (1908),
Emil Kraepelin (1919), dan Kurt Schneider (1959), yang masing-masing mendefinisikan
Skizofrenia ini dari sudut pandang yang berbeda. Tapi dikemudian hari diketahui bahwa
ternyata pandangan mereka merupakan suatu kesatuan.
1.1. Definisi
Skizofrenia merupakan penyakit kronis otak yang timbul akibat
ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah
gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons
emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan
delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra)
1.2. Insidensi
Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association
(APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.
(Wikipedia Indonesia). Menurut DSM-IV-TR insiden pertahun dari skizofernia berkisar
0.5 sampai 5.0 per 10.000 dengan variasi geografis. Ditemukan disemua tempat di dunia,
insiden dan prevalensinya secara kasar sama .
Walaupun insidensi pada lelaki dan wanita sama, gejala muncul pada lelaki lebih
awal. 75% Penderita skizofrenia lelaki mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun dan
wanita biasanya antara 20 -30 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko
tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat
disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap
penyesuaian diri .
1
1.3. Gejala dan Klinis
Pada masa ini, tidak ada pemeriksaan fisik maupun lab yang bisa mendiagnosa
skizofrenia. Seorang dokter biasanya mencapai diagnosanya berdasarkan gejala-gejala
klinis. Dengan pemeriksaan fisik biasanya kita dapat menyingkirkan penyakit lain yang
mungkin menyebabkan keadaan sakit yang serupa pada pasien (epilepsi, metabolik,
disfungsi tiroid, tumor otak, zat psikoaktif, lain-lain).
Saat ini beberapa penelitian telah mengklasifikasikan skizofrenia menurut
kombinasi 5 buah gejala yang muncul, yaitu:
1. Gejala positif
2. Gejala negatif
3. Kognitif
4. Agresif/ hostile
5. Depresif / cemas
Jaras dopamin, mesolimbik, suatu projeksi dari area ventral tegmental ke arah
daerah limbik, termasuk nukleus akumbens. Pada hipotesis dopamin, terjadi pelepasan
dopamin yang berlebihan di jaras tersebut yang akan menyebabkan gejala positif
psikosis, yaitu:
Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional.
Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan.
Kekacauan alam pikir, dilihat dari isi pembicaraannya, bicaranya kacau.
Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.
Merasa dirinya ’Orang Besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan
sejenisnya.
Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman
terhadap dirinya.
Menyimpan rasa permusuhan.
Jaras mesokortikal, berasal dari area ventral tegmental di batang otak, berprojeksi
ke kortex limbik. Apabila terjadi defisiensi dopamin, atau terjadi blokade dopamin, maka
akan muncul gejala negatif, yaitu:
2
Afek tumpul dan mendatar, yaitu wajahnya tidak ada ekspresi.
Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn), tidak mau bergaul atau kontak
dengan orang lain, suka melamun (day dreaming)
Kontak emosional amat ’miskin’, sukar diajak bicara, pendiam.
Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
Sulit untuk pikir abstrak
Pola pikir stereotip.
Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak (avoilition) dan tidak ada spontanitas,
monotron serta tidak ingin apa-apa dan serba malas.
Problema kognitif juga ditemui seperti, gangguan berpikir, inkoheren, assosiasi
longgar, neologisme, hendaya perhatian, hendaya dalam meproses informasi.
Sedangkan gejala agresif, seperti hostility, acting out kepada diri sendiri (bunuh
diri), orang lain (menyerang), dan benda (menghancurkan), kasar, buruknya kontrol
impulse, dan akting out seksual.
Gejala depresif dan cemas juga berhubungan dengan skizofrenia, seperti rasa
bersalah, tension, iritabel, dan rasa cemas .
3
BAB II
ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI
Skizofrenia kemungkinan merupakan suatu kelompok gangguan dengan penyebab
yang berbeda dan secara pasti memasukkan pasien yang gambaran klinisnya, respon
pengobatannya, dan perjalanan penyakitnya adalah bervariasi.
2.1. Model Diatesis-Stres
Satu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan
adalah model diatesis-stres. Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki
suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang, jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan
yang menimbulkan stres, memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. Pada model
diatesis-stres yang paling umum diatesis atau stres dapat biologis atau lingkungan atau
keduanya. Komponen lingkungan dapat biologis (sebagai contoh, infeksi) atau psikologis
(sebagai contoh, situasi keluarga yang penuh ketegangan atau kematian teman dekat).
Dasar biologis untuk suatu diatesis dibentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti
penyalahgunaan zat, stres psikologis, dan trauma.
Penyebab skizofrenia tidak diketahui. Tetapi dalam dekade yang lalu semakin
banyak penelitian telah melibatkan peranan patofisiologis untuk daerah tertentu di otak,
termasuk sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis. Tentu saja ketiga daerah
tersebut adalah saling berhubungan, sehingga disfungsi pada salah satu daerah mungkin
melibatkan patologi primer di daerah lainnya. Dua jenis penelitian telah melibatkan
sistem limbik sebagai suatu tempat potensial untuk patologi primer pada sekurangnya
suatu bagian, kemungkinan bahkan pada sebagian besar, pasien skizofrenik, dua tipe
penelitian adalah pencitraan otak pada orang yang hidup dan pemeriksaan neuropatologi
pada jaringan otak postmortem.
Waktu suatu lesi neuropatologis tampak di otak dan interaksi lesi dengan
lingkungan dan stresor sosial masih merupakan bidang penelitian yang aktif. Dasar untuk
timbulnya abnormalitas mungkin terletak pada perkembangan abnormal (sebagai contoh,
migrasi abnormal neuron di sepanjang glia radial selama perkembangan). Atau dalam
degenerasi neuron setelah perkembangan (sebagai contoh, kematian sel terprogram yang
4
awal secara abnormal, seperti yang tampak terjadi pada penyakit Huntington). Tetapi ahli
teori masih memegang kenyataan bahwa kembar monozigotik mempunyai angka ketidak
sesuaian 50%, jadi menyatakan bahwa terdapat interaksi yang tidak dimengerti antara
lingkungan dan perkembangan skizofrenia. Suatu penjelasan lain adalah, walaupun
kembar monozigotik mempunyai informasi genetika yang sama, pengaturan ekspresi gen
saat mereka menjalani kehidupan yang terpisah adalah berbeda. Faktor-faktor yang
mengatur ekspresi gen baru saja mulai dimengerti; kemungkinan melalui regulasi gen
yang berbeda, satu kembar monozigotik menderita skizofrenia, sedangkan yang lainnya
tidak.
2.2. Hipotesis Dopamin
Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamin untuk skizofrenia
menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan dari terlalu banyaknya aktivitas
dopaminergik. Teori tersebut timbul dari dua pengamatan. Pertama, kecuali untuk
clozapine, khasiat dan potensi antipsikotik adalah berhubungan dengan kemampuannya
untuk bertindak sebagai antagonis reseptor dopaminergik tipe 2 (D2). Kedua, obat-obatan
yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang paling jelas adalah amfetamin, yang
merupakan salah satu psikotomimetik. Teori dasar tidak memperinci apakah
hiperaktivitas dopaminergik adalah karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu
banyaknya reseptor dopamin, atau kombinasi keduanya. Teori dasar juga tidak
menyebutkan apakah jalur dopamin di otak mungkin terlibat, walaupun jalur
meoskortikal dan mesolimbik paling sering terlibat. Neuron dopaminergik di dalam jalur
tersebut berjalan dari badan selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem
limbik dan korteks serebral.
Hipotesis dopaminergik tentang skizofrenia terus diperbaiki dan diperluas. Satu
bidang spekulasi adalah bahwa reseptor dopamine tipe 1 (D1) mungkin memainkan
peranan dalam gejala negatif, dan beberapa peneliti tertarik dalam menggunakan agonis
D1 sebagai pendekatan pengobatan untuk gejala tersebut. Reseptor dopamin tipe 5 (D5)
yang baru ditemukan adalah berhubungan dengan reseptor D1 dan dapat meningkatkan
penelitian. Dalam cara yang sama reseptor dopamin tipe 3 (D3) dan dopamin tipe 4 (D4)
adalah berhubungan dengan reseptor D2 dan akan merupakan sasaran penelitian karena
5
agonis dan antagonis spesifik adalah dikembangkan untuk reseptor tersebut. Sekurangnya
satu penelitian telah melaporkan suatu peningkatan reseptor D4 dalam sampel otak
postmortem dari pasien skizofrenik.
Walaupun hipotesis dopamin tentang skizofrenia telah merangsang penelitian
skizofrenia selama lebih dari dua dekade dan masih merupakan hipotesis neurokimiawi
yang utama, hipotesis tersebut memiliki dua masalah. Pertama, antagonis dopamin adalah
efektif dalam mengobati hampir semua pasien psikotik dan pasien yang teragitasi berat,
tidak tergantung pada diagnosis. Dengan demikian, adalah tidak mungkin untuk
menyimpulkan bahwa hiperaktivitas dopaminergik adalah unik untuk skizofrenia.
Sebagai contoh, antagonis dopamin juga digunakan untuk mania akut. Kedua beberapa
data elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin meningkatkan
kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan jangka panjang dengan obat
antipsikotik. Data tersebut menyatakan bahwa abnormalitas awal pada pasien skizofrenia
mungkin melibatkan keadaan hipodopaminergik.
Suatu peranan penting bagi dopamin dalam patofisiologi skizofrenia adalah
konsisten dengan penelitian yang telah mengukur konsentrasi plasma metabolit dopamin
utama, yaitu homovanilic acid. Beberapa penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa,
dalam kondisi eksperimental yang terkontrol cermat, konsentrasi homovanilic acid
plasma dapat mencerminkan konsentrasi homovanilic acid di sistem saraf pusat.
Penelitian tersebut telah melaporkan suatu hubungan positif antara konsentrasi
homovanilic acid praterapi yang tinggi dan dua faktor: keparahan gejala psikotik dan
respon terapi terhadap obat antipsikotik. Penelitian homovanilic acid plasma juga telah
melaporkan bahwa, setelah peningkatan sementara konsentrasi homovanilic acid plasma,
konsentrasi menurun secara mantap. Penurunan tersebut dihubungkan dengan perbaikan
gejala pada sekurangnya beberapa pasien.
2.3. Serotonin
Serotonin telah mendapatkan banyak perhatian dalam penelitian skizofrenia sejak
pengamatan bahwa antipsikotik atipikal mempunyai aktivitas berhubungan dengan
serotonin yang kuat (sebagai contoh, clozapine, risperidone, ritanserin). Secara spesifik,
antagonisme pada reseptor serotonin (5-hydroxytryptamine) tipe 2 (5-HT2) telah disadari
6
penting untuk menurunkan gejala psikotik dan dalam menurunkan perkembangan
gangguan pergerakan berhubungan dengan antagonisme-D2. Seperti yang juga telah
dinyatakan dalam penelitian tentang gangguan mood, aktivitas serotonin telah berperan
dalam perilaku bunuh diri dan impulsif yang jug adapat ditemukan pada pasien
skizofrenik.
2.4. Norepinefrin
Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa pemberian antipsikotik jangka panjang
menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus sereleus dan bahwa efek terapetik
dari beberapa antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik-1
dan adrenergik-2. walaupun hubungan antara aktivitas dopaminergik dan noradrenergik
masih belum jelas, semakin banyak data yang menyatakan bahwa sistem noradrenergik
memodulasi sistem dopamminergik dalam cara tertentu sehingga kelainan sistem
noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk sering relaps.
2.5. Asam Amino
Neurotransmiter asam amino inhibotro gamma-aminobutyric acid (GABA) juga
telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia adalah konsisten dengan
hipotesis bahwa beberapa pasien dengan skizofrenia mengalami kehilangan neuron
GABA-ergik di dalam hipokempus. Hilangnya neuron inhibitor GABA-ergik secara
teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergik.
Neurotransmiter asam amino eksitasi glutamat telah juga dilaporkan terlibat
dalam dasar biologis untuk skizofrenia. Suatu rentang hipotesis telah diajukan untuk
glutamat, termasuk hipotesis hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan hipotesis neurotoksisitas
akibat glutamat.
7
2.6. Pencitraan Otak
2.6.1. Tomografi Komputer
Penelitian awal yang menggunakan tomografi komputer (CT) pada populasi
skizofrenik mungkin telah menghasilkan data yang paling awal dan paling meyakinkan
bahwa skizofrenia dapat dipercaya sebagai penyakit otak. Penelitian tersebut telah secara
konsisten menunjukkan bahwa otak pasien skizofrenik mempunyai pembesaran ventrikel
lateral dan ventrikel ketiga dan suatu derajat penurunan volume kortikal. Temuan tersebut
dapat diinterpretasikan sebagai konsisten dengan adanya jaringan otak yang lebih sedikit
dari biasanya pada pasien yang terkena; apakah penurunan jumlah jaringan otak tersebut
disebabkan kelainan perkembangan atau karena degenerasi adalah masih belum
terpecahkan.
Penelitian CT lainnya telah melaporkan asimetrisitas serebral yang abnormal,
penurunan volume serebelum, dan perubahan densitas otak pada pasien skizofrenik.
Banyak penelitian CT telah menghubungkan adanya kelainan pemeriksaan CT dengan
adanya gejala negatif atau defisit, gangguan neuropsikiatrik, peningkatan gejala
neurologis, gejala ekstrapiramidalis yang sering dari antipsikotik, dan penyesuaian
pramorbid yang buruk. Walaupun tidak semua penelitian CT telah menegakkan anggapan
tersebut, penelitian telah menimbulkan kesan bahwa semakin banyak bukti neuropatologi
yang ada, semakin serius gejalanya. Tetapi, kelainan yang dilaporkan pada penelitian CT
pada pasien skizofrenik juga telah dilaporkan pada keadaan neuropsikiatrik lainnya,
termasuk gangguan mood, gangguan berhubungan alkohol, dan demensia. Jadi,
perubahan tersebut kemungkinan tidak spesifik untuk proses patofisiologis skizofrenia
dasar.
Sejumlah penelitian telah berusaha untuk menentukan apakah kelainan yang
terdeteksi oleh CT adalah progresif atau statik. Beberapa penelitian telah menyimpulkan
bahwa lesi yang diamati pada CT ditemukan pada onset penyakit dan tidak berkembang.
Tetapi penelitian lain, telah menyimpulkan bahwa patologi yang divisualisasikan oleh CT
terus berkembang selama penyakit. Jadi, apakah proses patologis aktif adalah terus
berkembang pada pasien skizofrenik adalah masih belum pasti.
8
Walaupun pembesaran ventrikel pada pasien skizofrenik dapat ditunjukkan jika
digunakan kelompok-kelompok pasien dan kontrol, perbedaan antara orang yang terkena
dan tidak terkena adalah bervariasi dan biasanya kecil. Dengan demikian, penggunaan
CT dalam diagnosis skizofrenia adalah terbatas. Tetapi, beberapa data menyatakan bahwa
ventrikel lebih besar pada pasien dengan tardive dyskinesia daripada pasien yang tidak
menderita tardive dyskinesia. Juga, beberapa data menyatakan bahwa pembesaran
ventrikel adalah lebih sering ditemukan pada pasien laki-laki daripada wanita.
2.6.2. Pencitraan Resonansi Magnetik
Pencitraan resonansi magnetik (MRI) awalnya digunakan untuk memperjelas
temuan pada pemeriksaan CT tetapi selanjutnya digunakan untuk memperluas
pengetahuan tentang patofisiolofi skizofrenia. Satu penelitian MRI yang paling penting
adalah pemeriksaan kembar monozigotik yang tidak sama-sama menderita skizofrenia.
Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua kembar yang menderita skizofrenia
mempunyai ventrikel serebral yang lebih besar daripada kembar yang tidak terkena,
walaupun sebagian besar kembar yang terkena mempunyai ventrikel serebral di dalam
suatu rentang normal.
Peneliti yang menggunakan MRI dalam riset skizofrenia telah menggunakan sifat-
sifat resolusi yang unggul, dibandingkan dengan CT, dan informasi kualitatif, sebagai
contoh, yang didapatkan dengan menggunakan berbagai urutan signal untuk
mendapatkan citra T1 atau T2 yang diperkuat. Resolusi unggul dari MRI telah
menghasilkan beberapa laporan bahwa volume kompleks hipokampus-amigdala dan girus
parahipokampus adalah menurun pada pasien skizofrenik. Satu penelitian terakhir
menemukan suatu penurunan spesifik dari daerah otak tersebut di hemisfer kiri, dan
bukan di hemisfer kanan, walaupun penelitian lain telah menemukan penurunan volume
bilateral. Beberapa penelitian telah menghubungkan penurunan volume sistem limbik
dengan derajat psikopatologi atau parameter lain keparahan penyakit. Jugatelah terdapat
laporan waktu relaksasi T1 dan T2 yang berbeda pada pasien skizofrenik, khususnya yang
diukur di daerah frontalis dan temporalis.
9
2.6.3. Elektrofisiologi
Penelitian elektroensefalografi (EEG) pada pasien skizofrenia menyatakan bahwa
sejumlah besar pasien mempunyai rekaman yang abnormal, peningkatan kepekaan
terhadap prosedur aktivasi (sebagai contoh, aktivitas paku yang sering setelah tidak
tidur), penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas teta dan delta, kemungkinan
aktivitas epileptiformis yang lebih dari biasanya, dan kemungkinan kelainan sisi kiri yang
lebih banyak dari biasanya.
2.6.4. Potensial Cetusan
Sejumlah besar kelainan pada potensial cetusan (evoked potentials) pada pasien
skizofrenik telah digambarkan dalam literatur penelitian. Gelombang P300 merupakan
yang paling banyak dipelajari dan didefinisikan sebagai gelombang potensial cetusan
yang besar dan positif yang terjadi kira-kira 300 milidetik setelah suatu stimulasi sensoris
dideteksi. Sumber utama gelombang P300 mungkin berlokasi di struktur sistem limbik
dari lobus temporalis medial. Pada pasien skizofrenik P300 telah dilaporkan secara
statistik lebih kecil dan lebih lambat daripada kelompok pembanding. Kelainan pada
gelombang P300 juga telah dilaporkan lebih sering pada anak-anak yang berada pada
10
resiko tinggi mengalami skizofrenia karena mempunyai orang tua yang menderita
skizofrenia. Apakah karakteristik P300 mewakili suatu keadaan fenomena atau suatu sifat
fenomena adalah masih kontroversial.
Potensial cetusan lain yang telah dilaporkan abnormal pada pasien skizofrenik
adalah N100 dan variasi negatif berkelompok (continent negative variation). Gelombang
N100 adalah gelombang negatif yang terjadi kira-kira 100 milidetik setelah stimulus, dan
variasi negatif berkelompok adalah suatu pergeseran voltasi negatif yang berkembang
dengan lambat yang mengikuti presentasi stimulus sensorik yang merupakan peringatan
untuksuatu stimulus yang akan datang. Data potensial cetusan telah diinterpretasikan
sebagai menyatakan bahwa, walaupun pasien skizofrenik adalah sensitif secara tidak
lazim terhadap stimulus sensorik (potensial cetusan awal yang lebih tinggi), mereka
mengkompensasi peningkatan kepekaan tersebut dengan mengumpulkan pemrosesan
informasi pada tingkat kortikal yang lebih tinggi (dinyatakan oleh potensial cetusan akhir
yang lebih kecil).
2.7. Genetika
Prevalensi Skizofrenia pada Populasi Spesifik
Populasi Prevalensi (%)
Populasi umum 1,0
Bukan saudara kembar pasien skizofrenik 8,0
Anak dengan satu orang tua skizofrenik 12,0
Kembar dizigotik pasien skizofrenik 12,0
Anak dari kedua orangtua skizofrenik 40,0
Kembar monozigotik pasien skizofrenik 47,0
Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada
kembar monozigotik yang diadopsi menunjukkan bahwa kembar yang diasuh oleh orang
tuaangkat mempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang sama besarnya seperti
saudara kembarnya yang dibesarkan oleh orang tua kandungnya. Temuan tersebut
menyatakan bahwa pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan. Untuk mendukung
lebih lanjut dasar genetika adalah pengamatan bahwa semakin parah skizofrenia, semakin
11
mungkin kembar adalah sama-sama menderita gangguan. Satu penelitian yang
mendukung model diatesis-stres menunjukkan bahwa kembar monozigotik yang diadopsi
yang kemudian menderita skizofrenia kemungkinan telah diadopsi oleh keluarga yang
tidak sesuai secara psikologis.
12
BAB III
DIAGNOSA
3.1. Kriteria Diagnosis Skizofernia
Kriteria diagnostik skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR) :
A. Gejala karakteristik : Ditemukannya dua atau lebih gejala berikut :
(1) Waham
(2) Halusinasi
(3) Bicara terdisorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau inkoheren)
(4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
(5) Gejala negatif, yaitu, pendengaran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan
(avoilition)
masing-masing didapat selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan
berhasil)
Catatan : hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau
atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengkomentari perilaku atau
pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap satu sama lainnya.
B. Disfungsi sosial/pekerjaan : Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset
gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, atau perwatan diri, adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai
sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk
mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang
diharapkan)
C. Durasi : tanda gangguan terus menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang jika
diobati dengan berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaiutu, gejala fase aktif) dan
mungkin termasuk periode gejala prodromal atau residual. Selama periode
prodromal atau residual, tanda gangguan mungkin dimanifstasikan hanya oleh
gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam
13
bentuk yang diperl;emah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi
yang tidak lazim)
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood : Gangguan skizoafektif
dan gangguan mood dengan ciri psikotik yang telah disingkirkan karena : (1)
tidak ada episode depresif berat, manik, atau campuran yang telah terjadi
bersama-sama dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood telah terjadi
selama gela fase aktif, durasi totalnya adalah relatif singkat dibandingkan durasi
periode aktif dan residual.
E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum : gangguan tidak disebabkan oleh efek
psikologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu
medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif : Jika terdapat riwayat
adanya gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya,
doagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang
menonjol juga ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati
secara berhasil)
Klasifikasi perjalanan penyakit longitudinal (dapat diterapkan hanya setelah
sekurangnya 1 tahun lewat sejak onset awal gejala fase aktif) :
Episodik dengan gejala residual interepisode (episode didefinisikan oleh
timbulnya kembali gejala psikotik yang menonjol); juga sebutkan jika :
dengan gejala negatif yang menonjol
Episodik tanpa gejala residual interepisodik.
Kontinu (gejala psikotik yang menonjol ditemukan di seluruh periode
observasi); juga sebutkan jika : dengan gejala negatif yang menonjol
Episode tunggal dalam remisi parsial; juga sebutkan jika : dengan gejala
negatif yang menonjol
Episode tunggal dalam remisis penuh
Pola lain atau tidak ditentukan .
14
3.2. Gejala Pramorbid
Sebelum seseorang secara nyata aktif (manifes) menunjukan gejala-gejala
Skizofrenia, yang bersangkutan terlebih dahulu menunjukan gejala-gejala awal yang
disebut gejala pradormal. Sebaliknya bila seseorang penderita Skizofrenia tidak lagi aktif
menunjukan gejal-gejala Skizofrenia, maka yang bersangkutan menunjukan gejala-gejala
sisa yang disebut gejala residual 1.
Tanda awal skizofrenia sering kali terlihat sejak kanak-kanak. Indikator
premorbid (pra-sakit) pada anak pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan anak
mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan
komunikasi: anak sulit melakukan pembicaraan terarah. Gangguan atensi: anak tidak
mampu memfokuskan, mempertahankan, serta memindahkan atensi. Pada anak
perempuan tampak sangat pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa
menikmati rasa senang dan ekspresi wajah sangat terbatas. Sedangkan pada anak laki-laki
sering menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.
Pada bayi biasanya terdapat problem makan, gangguan tidur kronis, tonus otot
lemah, apatis dan ketakutan terhadap obyek atau benda yang bergerak cepat. Pada balita
terdapat ketakutan yang berlebihan terhadap hal-hal baru seperti potong rambut, takut
gelap, takut terhadap label pakaian, takut terhadap benda-benda bergerak.
Pada anak usia 5-6 tahun mengalami halusinasi suara seperti mendengar bunyi
letusan, bantingapintu atau bisikan, bisa juga halusinasi visual seperti melihat sesuatu
bergerak meliuk-liuk, ular, bola-bola bergelindingan, lintasan cahaya dengan latar
belakang warna gelap. Anak terlihat bicara atau tersenyum sendiri, menutup telinga,
sering mengamuk tanpa sebab.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor
predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan
berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid
yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta
selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri
aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada
perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran
15
yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang
termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi
skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia,
misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa
saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu
mengatasi.
3.3. Kepribadian Pramorbid Skizofrenia
Faktor predisposisi dan beresiko tinggi bagi terjadinya gangguan jiwa Skizofrenia,
yaitu Kepribadian Paranoid, Skizoid, Skizotipal dan Ambang (Borderline) yang
kriterianya sebagai berikut:
3.3.1 Kepribadian Paranoid
Seseorang yang berkepribadian paranoid menunjukkan gejala-gejala sebagai
berikut :
A. Kecurigaan dan ketidakpercayaan yang pervasif dan tidak beralasan terhadap
orang lain, seperti yang ditunjukkan oleh sekurangkurangnya 3 dari 8 hal berikut ini :
1. Merasa akan ditipu atau dirugikan, berprasangka buruk dan sukar untuk bisa
percaya terhadap maksud baik dari orang lain.
2. Kewaspadaan yang berlebihan, yang bermanifestasi sebagai usaha meneliti secara
terus-menerus terhadap tanda-tanda ancaman dari lingkungannya atau
mengadakan tindakan-tindakan pencegahan yang sebenarnya tidak perlu.
3. Sikap berjaga jaga atau menutup-nutupi, melakukan pengamanan fisik dan tempat
tinggalnya.
4. Tidak mau menerima kritik atau kesalahan, walaupun ada buktinya. Alam
perasaan (afek) sensitif, reaktif dan mudah tersinggung.
5. Meragukan' kesetiaan orang lain, selalu curiga akan dikhianati dan karenanya
sukar untuk mendapatkan kawan ataupun pasangan.
6. Secara intensif dan picik mencari-cari kesalahan dan bukti tentang prasangkanya,
tanpa berusaha melihat secara keseluruhan dari konteks yang ada.
16
7. Perhatian yang berlebihan terhadap motifmotif tersembunyi dan arti-arti khusus;
penuh kecurigaan terhadap peristiwa atau kejadian di sekitarnya yang diartikan
salah dan dianggap ditujukan pada dirinya.
8. Cemburu yang patologik, tidak beralasan dan tidak rasional, dengan dalih yang
dicari-cari untuk pembenaran dari rasa cemburunya itu.
B. Hipersensitivitas, seperti yang ditunjukkan oleh sekurang-kurangnya 2 dari 4 hal
berikut ini :
1. Kecenderungan untuk mudah merasa dihina atau diremehkan dan cepat
mengambil sikap menyerang (offensive).
2. Membesar-besarkan kesulitan yang kecil, tidak proporsional dan mendramatisasi
seolah-olah sedang menghadapi kesulitan atau ancaman yang serius.
3. Siap mengadakan balasan apabila merasa terancam, serangan balik yang tidak
pada tempatnya.
4. Tidak dapat santai, tidak tenang, selalu gelisah dan tegang karena tidak ada rasa
aman dan terlindung (security feeling).
C. Keterbatasan kehidupan alam perasaan (afektif) seperti yang
ditunjukkan oleh sekurang-kurangnya 2 dari 4 hal berikut ini :
1. Penampakan yang dingin dan tanpa emosi, ekspresi wajah kosong,
"tidak hidup" bagaikan "topeng".
2. Merasa bangga bahwa dirinya selalu obyektif, rasional dan tidak mudah
terangsang secara emosional, subyektivitas tinggi.
3. Tidak ada rasa humor yang wajar terkesan "serius" tidak suka bercanda,
tidak ada sense of humor.
4. Tidak ada kehangatan emosional, lembut dan sentimental, seolah-olah
tidak mempunyai perasaan, hambar dan tidak bereaksi terhadap rangsangan atau
hal yang bagi orang lain sesuatu yang membuat lucu atau gembira.
Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota keluarga ada
yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian paranoid sebagaimana diuraikan di muka.
Baik pihak keluarga maupun yang bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter
(psikiater) agar tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya
dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofreni.
17
3.3.2. Kepribadian Skizoid
Seseorang yang berkepribadian skizoid menunjukkan gejala-gejala sebagai
berikut :
A. Terdapat ciri emosional yang dingin dan tidak acuh serta tidak terdapatnya
perasaan hangat atau lembut terhadap orang lain.
B. Sikap yang acuh tak acuh (indifferent) terhadap pujian, kritikan atau perasaan
orang lain, tidak menghargai orang lain.
C. Hubungan dekat hanya satu atau dua orang saja, termasuk anggota keluarganya,
tidak mampu bersosialisasi.
D. Tidak terdapat pembicaraan, perilaku, atau pikiran yang aneh (eksentrik), yang
merupakan ciri khas kepribadian Skizotipal.
Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota keluarga ada
yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian skizoid sebagaimana diuraikan di muka.
Baik pihak keluarga maupun yang bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter
(psikiater) agar tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya
dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofrenia.
3.3.3. Kepribadian Skizotipal
Seseorang yang berkepribadian skizotipal menunjukkan gejala-gejala sebagai
berikut, yaitu sekurang-kurangnya terdapat 4 dari 8 hal yang berikut ini :
1. Pikiran magik atau gaib (magical thinking) seperti takhyul yang tidak sesuai
dengan budayanya (superstitious), dapat melihat apa yang akan terjadi
(clairvoyance), telepati, indera keenam, "orang lain dapat merasakan perasaan
saya" (pada anak-anak dan remaja terdapat preokupasi dan fantasi yang aneh).
2. Gagasan mirip waham yang menyangkut diri sendiri (ideas of reference), merasa
segala peristiwa atau kejadian di sekitarnya selalu ada kaitannya atau bersangkut-
paut dengan dirinya.
3. Isolasi sosial, seperti tidak memiliki kawan akrab atau orang yang dapat
dipercaya, kontak sosial hanya terbatas pada tugas sehari-hari yang seperlunya,
kurang mampu bersosialisasi.
18
4. Ilusi yang berulang-ulang, seperti merasa adanya "kekuatan" atau "orang" yang
sebenarnya tidak ada (misalnya merasa seolaholah ibunya yang sudah meninggal
berada bersama dengan dirinya dalam ruangan), depersonalisasi atau derealisasi
yang tidak berhubungan dengan serangan panik.
5. Pembicaraan yang ganjil (tetapi tidak sampai menjurus kepada pelonggaran
asosiasi atau inkoherensi), seperti pembicaraan yang digresif, kabur, bertele-tele,
sirkumstansial (berputar-putar), metaforik (perumpamaan).
6. Di dalam interaksi (tatap muka) dengan orang lain terdapat hubungan (rapport)
yang tidak memadai (inadequate) akibat afek (alam perasaan) yang tidak serasi
(inappropriate) atau afek yang terbatas (constricted), misalnya tampak dingin atau
tidak acuh.
7. Kecurigaan atau ide paranoid, yaitu rasa curiga atau buruk sangka yang tidak
rasional.
8. Kecemasan sosial yang tidak perlu atau hipersensitivitas yang berlebih terhadap
kritik yang nyata ataupun yang dibayangkan.
Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota keluarga ada
yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian skizotipal sebagaimana diuraikan di muka.
Baik pihak keluarga maupun yang bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter
(psikiater) agar tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya
dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofrenia.
3.3.4. Kepribadian Ambang
Seseorang yang berkepribadian ambang menunjukkan gejala-gejala sebagai
berikut, yaitu paling sedikit terdapat 5 dari 8 kriteria di bawah ini :
1. Impulsivitas atau perubahan yang tidak dapat diduga, setidak-tidaknya dalam dua
aspek yang dapat merugikan diri, misalnya boros, hubungan seks, berjudi,
penggunaan zat (NAZA: Narkotika, Alkohol & Zat Adiktif), mencuri di toko,
makan berlebihan, tindakan cedera diri.
2. Ada pola hubungan interpersonal yang mendalam (intense) dan tidak stabil,
seperti perubahan yang hebat dalam sikap, menyanjung, merendahkan, manipulasi
(secara konsisten mengggunakan orang lain untuk kepentingan dirinya).
19
3. Kemarahan hebat dan tidak wajar, atau kurangnya pengendalian terhadap
kemarahan, misalnya uring-uringan, kemarahan yang menetap.
4. Gangguan identitas yang bermanifestasi dalam ketidakpastian mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan identitas, misalnya citra diri, identitas jenis (gender
identity), cita-cita jangka panjang atau pemilihan karier, pola persahabatan, nilai-
nilai dan loyalitas, misalnya "siapakah saya?", "saya merasa seperti kakak saya
apabila saya sedang senang".
5. Alam perasaan (mood, affect) yang tidak mantap ditandai oleh perubahan hebat
dari afek (mood) yang normal menjadi depresi, iritabilitas (mudah
tersinggung/marah) atau cemas, biasanya berlangsung beberapa jam dan (sangat
jarang) sehingga beberapa hari, dan kembali ke alam perasaan yang normal.
6. Tidak tahan untuk berada sendirian, misalnya ia berusaha keras untuk tidak
berada sendirian, merasa depresif apabila berada sendirian.
7. Tindakan yang mencederai diri sendiri , misalnya usaha bunuh diri, mutilasi diri
(pemotongan atau pengundungan bagian tubuh), kecelakaan berulang kali atau
perkelahian fisik.
8. Perasaan kosong atau rasa bosan (jenuh) yang berkepanjangan (menahun/kronik).
3.4. Kriteria Diagnosis Subtipe Skizofernia
Kriteria diagnostik subtipe skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR) :
3.4.1. Tipe Paranoid
Bila ditemui kriteria sebagai berikut:
a. Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi suara yang sering
b. Tidak ada satu pun dari gejala berikut yang menonjol: bicara kacau, tingkah laku
katatonik, atau tingkah laku yang kacau, afek tumpul atau tidak sesuai.
20
3.4.2. Tipe terdisorganisasi (hebefrenik)
a. Bila semua gejala ini menonjol
1. Bicara kacau
2. Tingkah laku kacau
3. Afek tumpul atau tidak sesuai
b. Kriteria tidak sesuai untuk tipe katatonik
3.4.3.Tipe katatonik
Suatu tipe skizofernia, dimana gambaran klinisnya didominasi oleh sedikitnya
dua dari gejala berikut:
1. Imobilitas motorik, bukti dari katalepsi (fleksibilitas lilin) atau stupor
2. Aktivitas motor yang berlebihan (yang kadang-kadang tidak bertujuan dan tidak
dipengaruhi oleh stimulus eksternal)
3. Negativisme yang ekstrim
4. Gerakan volunter yang aneh seperti yang ditunjukkan posturing.
5. Ekolalia dan ekopraksia
3.4.5. Tipe yang tidak tergolongkan
Suatu tipe skizofrenia dimana ditemukan gejala yang memenuhi kriteria A, tetapi
tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi atau katatonik.
3.4.6. Tipe residual
Tipe skizofernia dimana kriteria ini dijumpai:
1. Tidak ada atau tidak menonjol: delusi, halusinasi, bicara kacau, kekacauan yang
terlihat, atau tingkah laku katatonik
2. Adanya bukti dari gangguan seperti yang diindikasikan dengan keberadaan gejala
negatif, atau dua atau lebih gejala yang terdapat pada Criterion A untuk
skizofrenia.
21
3.5. Golongan ”Skizofrenia” lain- lain
3.5.1. Skizofrenia Simpleks
Suatu bentuk psikosis (gangguan jiwa yang ditandai dengan terganggunya realitas
dan pemahaman diri/insight yang buruk ) yang perkembangannya lambat dan perlahan
dari perilaku yang aneh, ketidak mampuan memenuhi tuntutan masyarakat dan
penurunan keterampilan sosial.
3.5.2. Gangguan Skizofreniform
Gambaran klinis Skizofreniform ini sama dengan Skizofrenia, perbedaannya
adalah bahwa fase-fase perjalanan penyakitnya (fase aktif, prodormal dan residual )
kurang dari 6 bulan tetapi lebih lama dari 2 minggu.
3.5.3. Skizofrenia Laten
Hingga kini belum terdapat suatu kesepakatan yang dapat diterima secara umum
untuk memberikan gambaran klinis kondisi ini.
3.5.4. Gangguan Skizoafektif
Gambaran klinis tipe ini didominasi oleh gangguan pada alam perasaan (mood,
affect) disertai waham dan halusinasi serta terdapat perasaan gembira yang berlebihan
(maniakal) atau rasa sedih yang sangat mendalam (depresi) .
3.6. Diagnosis Banding
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan medis
psikiatrik, non psikiatrik dan berbagai macam zat.
3.6.1. Medis dan Neurologis
Akibat zat : Amfetamin, halusinogen, alkaloid beladona, halusinosis alkohol,
putus barbiturat, kokain, phencyclidine (PCP).
Epilepsi : Terutama epilepsi lobus temporalis.
Neoplasma, penyakit serobrovaskular, atau trauma : Terutama frontalis dan
limbik.
22
Kondisi lain : Sindroma immunodefisiensi didapat (AIDS)
Porfiria intermitten akut
Keracunan karbon monoksida
Lipoidosis serebral
Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Penyakit Fabry
Penyakit Fahr
Penyakit Hallervorden-Spatz
Keracunan logam berat
Ensefalitis herpes
Homosistinuria
Penyakit Huntington
Lekodistrofi metakromatik
Neurosiflis
Hidrosefalus
Pellagra
SLE
Sindroma Wernicke-Korsakoff
Penyakit Wilson
3.6.2. Psikiatrik
Psikosis atipikal
Gangguan autistic
Gangguan psikotik singkat
Ganguan delusional
Berpura-pura
Gangguan obsesif-kompulsif
Gangguan keperibadian
Gangguan skizofrenia lain-lain.
23
BAB IV
PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA
Gangguan jiwa Skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut
(kronis, menahun). Oleh karenanya terapi pada skizofrenia memerlukan waktu yang
realtif lama (berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun), hal ini dimaksudkan untuk menekan
sekecil mungkin kekambuhan (relapse).
Terapi yang komprehensif dan holistic atau terpadu dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga penderita skizofrenia tidak lagi mengalami diskriminasi bahkan
metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi
terapi dengan obat-obatan anti skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi, terapi psikososial
dan terapi psikoreligius.
4.1. Psikofarmaka
Terpi farmakologis merupakan terapi utama dari penatalaksanaan skizofrenia.
Pemilihan agent farmakologis yang tepat membutuhkan pertimbangan yang matang akan
keuntungan dan kerugian pemberian obat tersebut. Terapi farmakologis atau
psikofarmaka merupakan salah satu elemen dari terapi terpadu bagi penderita
skizofrenia6.
Kemajuan dibidang Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) akhir-akhir ini mengalami
kemajuan pesat, baik dibidang organobiologik maupun dibidang obat-obatannya. Dari
sudut organobiologik sudah diketahui bahwa pada skizofrenia terdapat gangguan pada
fungsi transmisi sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) sel-sel penyusun saraf pusat
(otak) yaitu pelepasan zat dopamine dan serotonin yang mengakibatkan gangguan pada
alam pikir, alam perasaan dan perilaku. Oleh karena itu psikofarmaka yang akan
diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter tersebut, sehingga gejala-
gejala klinis tadi dapat dihilangkan.
Dewasa ini banyak jenis psikofarmaka yang digunakan untuk mengobati
penderita skizofrenia. Hingga sekarang belum ditemukan obat yang ideal, masing-masing
jenis obat ada kelebihan dan kekurangannya selain juga ada efek samping.
24
Syarat-syarat psikofarmaka yang ideal untuk skizofrenia :
a. Dosis rendah dengan efektivitas terapi dalam waktu relatif singkat.
b. Tidak ada / sedikit efek samping.
c. Dapat menghilangkan gejala-gejala skizofrenia dalam waktu relatif singkat.
d. Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat).
e. Tidak menyebabkan kantuk.
f. Memperbaiki pola tidur.
g. Tidak menyebabkan habituasi, adiksi dan dependensi.
h. Tidak menyebabkan lemas otot.
i. (Jika mungkin) pemakaiannya dosis tunggal.
Berbagai jenis obat yang beredar di pasaran yang hanya dapat diperoleh dengan resep
dokter dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu golongan generasi pertama (typical) dan
golongan generasi kedua (atypical).
Tabel 4.1. Sediaan Antipsikotik dan Dosis Anjuran
No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran1 Chlorpromazine LARGACTIL
PROMACTILMEPROSETILETHIBERNAL
Tab. 25 mg, 100 mg
Amp.25 mg/ml
150-600 mg/h
2 Haloperidol SERENACE
HALDOLGOVOTILLODOMERHALDOL DECA-NOAS
Tab. 0,5 mg, 1,5&5 mgLiq. 2 mg/mlAmp. 5 mg/mlTab. 0,5 mg, 2 mgTab. 2 mg, 5 mgTab. 2 mg, 5 mgAmp. 50 mg/ml
5-15 mg/h
50 mg / 2-4 minggu
3 Perphenazine TRILAFON Tab. 2 mg, 4&8 mg 12-24 mg/h4 Fluphenazine
Fluphenazine-decanoate
ANATENSOLMODECATE
Tab. 2,5 mg, 5 mgVial 25 mg/ml
10-15 mg/h25 mg / 2-4 minggu
5 Levomepromazine NOZINAN Tab.25 mgAmp. 25 mg/ml
25-50 mg/h
6 Trifluoperazine STELAZINE Tab. 1 mg, 5 mg 10-15 mg/h7 Thioridazine MELLERIL Tab. 50 mg, 100 mg 150-600 mg/h8 Sulpiride DOGMATIL –
FORTE Tab. 200 mgAmp. 50 mg/ml
300-600 mg/h
9 Pimozide ORAP FORTE Tab. 4 mg 2-4 mg/h10 Risperidone RISPERDAL
NERIPROSNOPRENIAPERSIDAL-2RIZODAL
Tab. 1,2,3 mgTab. 1,2,3 mgTab. 1,2,3 mgTab. 2 mgTab. 1,2,3 mg
Tab 2-6 mg/h
11 Clozapine CLOZARIL Tab. 25 mg, 100 mg 25-100 mg/h12 Quetiapine SEROQUEL Tab. 25 mg, 100 mg, 200 mg 50-400 mg/h13 Olanzapine ZYPREXA Tab. 5 mg, 10 mg 10-20 mg/h
25
Sharma (2001) menyatakan bahwa 3 gejala yang menonjol pada gangguan jwa
skizofrenia adalah gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif. Sebagaimana
diketahui meskipun gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia telah dapat diatasi,
namun bila fungsi kognitif tidak dipulihkan, maka penderita tidak mempunyai
kemampuan untuk berpikir dan mengingat yang amat penting bagi menjalankan fungsi
kehidupannya sehari-hari. Sehingga dengan demikian bila ketiga gejala-gejala tersebut di
atas dapat diatasi, maka penderita skizofrenia dapat hidup produktif dan mendiri. Hal ini
dimungkinkan dengan ditemukannya obat anti skizofrenia golongan atypical.
Nasrallah (2001) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pemakaian obat
golongan typical pada 30% penderita skizofrenia tidak memperlihatkan perbaikan klinis
secara bermakna. Diakui bahwa golongan typical ini mampu mengatasi gejala positif
skizofrenia, tetapi kurang efektif untuk mengatasi gejal-gejala negatif, gejala kognitif dan
efek samping EPS. Sedangkan obat golongan atypical dapat mengatasi gejala-gejala
positif, negatif, mencegah efek samping EPS dan memulihkan fungsi kognitif.
Dengan terapi psikofarmaka sesungguhnya gangguan jiwa skizofrenia dapat
diobati dan disembuhkan dalam arti manageable dan controllable. Penderita skizofrenia
tidak harus meminum obat seumur hidup, sebab kadang kala perjalanan gangguan jiwa
skizofrenia ini sewaktu-waktu dapat mengalami remisi, karena pada hakekatnya penyakit
ini merupakan self limitting process.
4.1.1 Obat-obat yang digunakan
Antipsikotik merupakan obat utama yang digunakan dalam terapi psikofarmaka
untuk penderita skizofrenia. Bagaimanapun, obat-obat lain mungkin digunakan untuk
mengatasi gejala anxietas, gangguan tidur, depresi, gangguan mood, juga untuk
mengurangi efek samping yang mungkin timbul akibat penggunaan obat utama.
4.1.1.1. Neuroleptik (Antipsikotik)
Golongan obat ini biasanya sangat esensial untuk mengendalikan gejala-gejala
skizofrenia. Beberapa gejala yang sangat berespon terhadap obat golongan antipsikotik
antara lain, gangguan pikiran, halusinasi, waham (waham hubungan, waham kejar, dan
lain sebagainya).
26
Beberapa antipsikotik yang ada di pasaran misalnya, trifluoperazine (Stelazine),
pimozide (Orap), flupenthixol (Fluanxol), and chlorpromazine (Largactil) dalam sediaan
oral dan sediaan injeksi short-acting . Obat-obat lain dalam golongan ini yang termasuk
long-acting injection (depot) diantaranya, flupenthixol (Fluanxol), fluphenazine
decanoate (Modecate), pipotiazine (Piportil L4), dan haloperidol decanoate (Haldol LA).
Sebagian besar pasien rawat inap diberikan terapi inisial dengan sediaan oral
dalam bentuk tablet maupun liquid. Bagi pasien-pasien yang sangat terganggu, dapat
diberikan sediaan injeksi agen psikotropika yang memiliki efek cepat dengan durasi
pendek. Pasien rawat jalan dapat diobati dengan sediaan tablet maupun depot / sediaan
long-acting. Injeksi digunakan pada kondisi dimana terjadi compliance, pada pasien
dengan gangguan absorpsi atau terkadang untuk tujuan kenyamanan pasien.
Pada umumnya agen antipsikotik tidak menyebabkan alergi, sehingga hanya
pasien skizofrenia dengan kecenderungan terjadinya efek samping yang berat yang tidak
dapat menerima terapi antipsikotik (kondisi ini sangat jarang terjadi). Terdapat beberapa
pasien yang dilaporkan bahwa penggunaan obat-obat antipsikotik sebagai terapi mereka
membuat mereka merasa sangat tidak nyaman, sehingga mereka akan merasa jauh lebih
berbahagia jika tidak meminum obat tersebut. Pada pasien-pasien seperti ini sangat perlu
ditekankan mengenai pertimbangan keuntungan dan kerugian penggunaan obat
antipsikotik tersebut.
Terkadang suatu obat tertentu tidak cocok untuk pasien tertentu, pada kondisi ini
antipsikotik alternatif mungkin berguna.. Sebagai contoh, terdapat dua golongan
antipsikotik berdasarkan potensi yang dimiliki obat tersebut (antipsikotik potensi rendah
dan potensi tinggi). Pemilihan obat subtype mana yang akan digunakan lebih
dipertimbangkan berdasarkan efek samping yang mungkin muncul selama penggunaan
obat tersebut, daripa potensi obat itu sendiri. Obat-obat dengan potensi tinggi cenderung
menyebabkan efek samping muscular dan resah, gelisah (akhatisia). Dimana obat-obat
dengan potensi yang rendah dapat menyebabkan efek mengantuk dan penurunan tekanan
darah.
Efek samping yang paling umum dari obat-obat antipsikotik adalah gangguan
otot. Pada tahap awal, dapat terjadi dystonia akut (spasme otot- terutama otot mata, leher
maupun batang tubuh). Kondisi ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien,
27
tetapi berespon cukup cepat terhadap terapi. Umunya, pasien dengan penggunaan obat
ini mengalami, kekakuan, perlambatan gerak, gemetaran dan atau gelisah.
Efek samping lain yang juga sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik yaitu,
mengantuk, faintness, mulut kering, pengelihatan kabur, sensitivitas meningkat terhadap
sinar matahari, dan konstipasi. Beberapa pria mengeluh mengalami kesulitan ejakulasi,
sementara beberapa wanita mengalami gangguan siklus haid, dan pada kedua kelompok
jenis kelamin pernah didapatkan laporan bahwa beberapa dari mereka mengalami
galacthorrea. Kondisi-kondisi ini biasanya reversibel dengan dikuranginya dosis
antipsikotik yang digunakan, atau dengan mengganti antipsikotik yang sedang digunakan
atau dengan menambahkan obat tambahan lain yang berfungsi sebagai penekan gejala
efek samping yang terjadi. Antipsikotik mungkin dipergunakan dalam jangka waktu yang
lama, dan pada beberapa kasus, seumur hidup pasien. Dosis terapeutik mungkin dapat
dikurangi secara bertahap seiring kemajuan penyakit pasien. Pengurangan dosis dapat
dipertimbangkan, setelah pasien tetap berada dalam keadaan gejala terkendali selama
beberapa bulan sampai beberapa tahun. Jika pasien mengalami efek samping yang
membuatnya tidak nyaman, klinisi mungkin dapat mengurangi dosis obat lebih cepat,
meskipun dengan resiko meningkatnya kemungkinan relapse. Jika terjadi relapse
peningkatan dosis sesaat dari obat tersebut mungkin diperlukan. Ketika gejala penyakit
telah kembali terkendali, pengurangan dosis harus dipertahankan pada level sedikit lebih
tinggi dari pada pemberian dosis rendah sebelumnya. Pengurangan dosis lebih lanjut
sebelum satu tahun terapi, adalah tidak dianjurkan.
Efek samping jangka panjang yang umum terjadi yaitu tardive dyskinesia. Setelah
beberapa bulan atau biasanya beberapa tahun, beberapa pasien dapat mengalami gerakan-
gerakan otot yang sifatnya involunter, yang biasanya terjadi pada otot wajah juga otot –
otot anggota gerak. Penetalaksanaan terbaik untuk kondisi ini adalah pencegahan, dan
oleh karena itu pasien harus mempertahankan dosis terendah yang paling mungkin untuk
memberikan efek terapeutik. Karena terdapat kemungkinan pengurangan dosis yang
dilakukan secara cepat dapat menyebabkan gangguan tersebut semakin jelas, sehingga
sangat disarankan untuk mengurangi dosis secara bertahap dengan selisih penurunan
relative kecil. Akan tetapi efek samping tardive dyskinesia ini meskipun tidak ringan,
umumnya tidak sampai membuat pasien merasa tidak nyaman menggunakan obat ini.
28
4.1.1. 2. Antiparkinson
Terpisah dari antipsikotik, obat-obat antiparkinson merupakan obat lain yang
paling sering diresepkan dalam terapi skizofrenia, meskipun obat-obat golongan ini tidak
bersifat causative. Beberapa obat antiparkinson antikolinergik yang sering digunakan
antara lain, benztropine mesylate (Cogentin), trihexyphenidyl (Artane), procyclidine
(Kemadrin), amantadine (Symmetrel).
Obat golongan in juga sering disebut “terapi efek samping”. Antiparkinson
diindikasikan pada kondisi dimana efek samping gangguan otot yang timbul akibat
penggunaan antipsikotik sudah sampai membuat pasien merasa tidak nyaman. Dosis
pemberian bergantung pada derajat ketidaknyaman pasien. Jika dibutuhkan, pemberian
dalam dosis tunggal lebih dianjurkan dan paling baik diminum saat pasien terjaga, agar
pasien dapat benar-benar merasakan kerja obat tersebut. Obat golongan ini sangat efektif
untuk mengatasi kekauan otot dan tremor serta dapat juga membantu mengatasi gelisah.
Bagaimana pun, obat-obat ini mungkin dapat memperburuk gejala lainnya seperti
pengelihatan kabur, dan mulut kering. Suatu keadaan toxic confusional state dapat terjadi
pada pemberian dosis yang berlebih, dan dapat menyebabkan klinisi menetapakan
diagnosa yang salah, karena keadaan ini sangat mirip dengan keadaan dimana terjadi
kekambuhan penyakit utama.
Beberapa psikiater menyarankan pemberian antiparkinson sebagai terapi
profilaksis untuk mencegah efek samping yang mungkin terjadi, sementara beberapa
psikiater lain menyarankan agar antiparkinson baru diberikan pada saat efek samping
gangguan otot telah muncul, pada kelompok yang terakhir, mereka berpegang pada
prinsip dimana sebenarnya tidak ada satupun obat yang tidak mempunyai efek samping
sama sekali. Bagaimanapun, ketika seorang pasien harus menerima terapi antipsikotik
dosis tinggi, adalah penting untuk mencegah berkembangnya efek samping yang
menakutkan atau yang dapat membuat pasien tidak nyaman. Sebaliknya, pada saat
tercapai keadaan dimana gejala penyakit utama telah terkontrol dan dosis terapi
antipsikotik mulai diperkecil, dosis terapi antiparkinson yang diberikan dapat dikurangi
atau dihentikan.
29
4.1.1. 3. Sedatives and Anxiolytics
Obat-obat golongan ini memberikan efek terapeutik sesuai dengan namanya.
Misalnya, beberapa obat golongan benzodazepine digolongkan sebagai sedatif karena
obat-obat tersebut menyebabkan kantuk, sementara yang lainnya digolonkan sebagai
anxiolitik karena obat-obat tersebut mengurangi anxietas.
Tidak ada satupun obat dalam golongan ini yang digunakan untuk mengatasi
skizofrenia, kecuali jelas dinyatakan pada referensi yang ada, sangat dianjurkan untuk
mencegah penggunaan berlebih obat-obat golongan ini, guna mencegah terjadinya :
1. Obat kehilangan efek terapeutiknya
2. Pasien mengalami ketergantungan secara psikologis maupun fisiologis
terhadap obat tersebut.
Terdapat tiga kelompok obat sedative utama, yaitu :
1. Barbiturat – hati-hati terhadap efek toksisitas dan adiksi yang mungkiin timbul akibat
penggunaan obat golongan ini.
2. Benzodiazepin
3. Sedatif non-barbiturat.
Diantara ketiganya, golongan benzodiazepine paling banyak digunakan. Obat-
obat golongan benzodiazepine yang paling sering dipakai antara lain, flurazepam
(Dalmane), triazolam (Halcion), nitrazepam (Mogadon). Digunakan pada waktu
(menjelang) tidur, obat-obat ini dapat membantu mengatasi gangguan tidur.
Bagaimanapun, jika obat-obat ini digunakan dalam jangka waktu lama, antara 4-6
minggu, dapat menombulkan efek toleransi.
Pada golongan non-barbiturat, obat –obat yang sering diresepkan sebagai sedative
yaitu chloral hydrate (Noctec). Seperti juga benzodiazepine, obat ini dapat mennimbulkan
kebiasaan / sugesti pasien, sehingga sangat tidak dianjurkan untuk digunakan lebih dari
4-6 minggu.
Sebagian besar anxiolotik (yang juga dikenal secara kurang tepat sebagai minor
tranquilizers) juga termasuk golongan benzodiazepine. Terdapat juga anxiolotik
golongan non-benzodiapin, tetapi lebih jarang digunakan daripada golongan
benzodiazepine. Obat-obat golongan benzodiazepine yang sering dipakai antara lain,
30
lorazepam (Ativan), chlordiazepoxide (Librium), oxazepam (Serax), clorazepate
(Tranxene), diazepam (Valium), alprazolam (Xanax).
Dalam penatalaksanaan skizofrenia, anxiolitik digunakan untuk dua alasan, yaitu :
1. Mengurangi anxietas
2. Mengatasi efek samping antipsikotik yang mencakup gelisah, kaku otot, dan tremor.
Untuk alas an yang kedua ini, anxiolitik sering digunakan selama lebih dari 6 minggu.
Benzodiazepin tergolong obat yang aman, tetapi tetap harus dihindari
penggunaanya bersamaan dengan alkohol maupun dengan obat lain. Kombinasi dengan
obat – obat lain sangat tidak dianjurkan, kecuali jika atas permintaan dokter. Pada
keadaan tertentu, benzodiazepine dapat memperburuk anxietas. Pada kasus seperti ini,
penggunaan lebih lanjut harus dihindari. Obat-obat ini harus dihentikan secara bertahap
untuk membantu mencegah terjadinya gejala putus obat.
4.1.1. 4. Antidepressant
Antidepresant paling sering digunakan untuk mengatasi gangguan mood. Ketika
digunakan pada penatalaksanaan skizofrenia, obat-obat golongan ini berfungsi sebagai
terapi penyerta (bersamaan dengan antipsikotik sebagai obat utama) guna mengatasi
gangguan mood yang sering menjadi gejala penyerta pada pasien skizofrenia. Obat
golongan ini, dalam dosid kecil dapat juga digunakan sebagai sedatif maupun hipnotik.
Oleh karena itu, obat-obat golongan ini dapat digunakan sebagai terapi alternatif terhadap
benzodiazepin. Antidepresant terbagi ke dalam empat kelompok utama :
1. Trisiklik (amitriptyline (Elavil), imipramine (Tofranil), doxepin (Sinequan),
clomipramine (Anafranil)). Gejala depresi dan anxietas tertentu juga dapat berespon
terhadap obat obat trisiklik.
2. Inhibitor Monoaminoksidase (phenelzine (Nardil) dan tranylcypromine (Parnate)).
Obat – obat ini digunakan untuk mengatasi gangguan mood, tetapi jarang digunakan
dalam penatalaksanaan skizofrenia.
3. Tetrasiklik (maprotiline (Ludiomil)).
4. Lain-lain (trazodone (Desyrel) and fluoxetine (Prozac)).
Keempat kelompok utama golongan ini digunakan untuk gangguan depresif yang
disebabkan oleh perubahan biokimiawi. Obat-obat ini tidak menolong untuk pasien yang
31
mengalami depresi karena kondisi dasar yang tidak menyenangkan. Karena sebagian
besar pasien-pasien skizofrenia sering mengalami depresi karena kondisi yang memang
tidak menyenagkan (bukan karena perubahan biokimiawi), penggunaan antidepressant
sering tidak banyak menolong. Jika antidepressant dibutuhkan, obat-obat ini memerlukan
waktu sampai dengan 2 minggu, sebelum efek terapeutik obat tersebut tercapai. Obat-
obat ini dapat memperburuk efek samping antipsikotik dan antiparkinson (misal, mulut
kering dan pengelihatan kabur). Efek samping yang mempengaruhi fungsi lain dari tubuh
juga dapat terjadi.
4.1.2. Efek Samping yang Sering Terjadi dan Penaggulangannya
Mengantuk
Gangguan Otot
Efek Antikolinergik
Efek Terhadap Jantung dan Pembuluh Darah
Reaksi Terhadap Kulit
4.2. Psikoterapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia, baru dapat diberikan
apabila apabila penderita dengan terapi psikofarmaka di atas sudah mencapai tahapan
dimana kemampuan menilai realitas (Reality Testing Ability / RTA) sudah pulih kembali
dan pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa
penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.
Psikoterapi ini banyak macam dan ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar
belakang penderita sebelum sakit (pramorbid). Psikoterapi yang sering diterapkan antara
lain :
a. Psikoterapi Suportif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan
motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya (fighting spirit)
dalam menghadapi hidup ini tidak kendur dan menurun.
32
b. Psikoterapi Re-edukatif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang
maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu dan juga dengan pendidikan
ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama dengan yang baru sehingga penderita
lebih adaptif terhadap dunia luar.
c. Psikoterapi Rekonstruktif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki kembali (rekonstruksi)
kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula
sebelum sakit.
d. Psikoterapi Kognitif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif
(daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai
moral etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan tidak, mana
yang halal dan haram, dan lain sebagainya.
e. Psikoterapi Psikodinamik
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan proses
dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk
mencari jalan keluarnya. Dengan psikoterapi ini diharapkan penderita dapat memahami
kelebihan dan kelemahan dirinya dan mampu menggunakan mekanisme pertahanan diri
(defense mechanism) dengan baik.
f. Psikoterapi Perilaku
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang
terganggu (maladaptif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).
Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan agar penderita mampu berfungsi
kembali secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di sekolah/kampus,
di tempat kerja dan lingkungan sosialnya.
g. Psikoterapi Keluarga
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan hubungan penderita dengan
keluarganya. Dengan psikoterapi ini diharapkan keluarga dapat memahami mengenai
gangguan jiwa skizofrenia dan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan
penderita.
33
Secara umum tujuan dari psikoterapi tersebut di atas adalah untuk memperkuat
struktur kepribadian, mematangkan kepribadian (maturing personality), memperkuat ego
(ego strength), meningkatkan citra diri (self esteem), memulihkan kepercayaan diri (self
confidence), yang kesemuanya itu untuk mencapai kehidupan yang berarti dan
bermanfaat (meaningfulness of life).
4.3. Terapi Psikososial
Salah satu dampak dari skizofrenia adalah terganggunya fungsi sosial penderita
atau hendaya (impairment). Hendaya ini terjadi dalam berbagai bidang fungsi rutin
kehidupan sehari-hari, seperti dalam bidang studi (sekolah/kuliah), pekerjaan, hubungan
sosial dan perawatan diri. Sering pula diperlukan pengawasan agar kebutuhan gizi dan
higiene terjamin, dan untuk melindungi penderita dari akibat buruk yang disebabkan oleh
hendaya daya nila dan hendaya kognitif, atau akibat tindakannya yang berdasarkan
waham (delusi) atau sebagai respons atau tindak lanjut terhadap halusinasinya.
Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu
mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan
masyarakat. Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap
mengkonsumsi obat psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi.
Kepada penderita diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan
dan kesibukan dan banyak bergaul.
4.4. Terapi Psikoreligius
Dari penelitian yang telah dilakukan, secara umum memang menunjukkan bahwa
komitmen agama berhubungan dengan manfaatnya dibidang klinik (religious
commitment is associated with clinical benefit). Larson, dkk (1982) dalam penelitiannya
membandingkan keberhasilan terapi terhadap dua kelompok penderita skizofrenia.
Kelompok pertama mendapat terapi yang konvensional (psikofarmaka) dan lain-lainya
tetapi tidak mendapat terapi keagamaan. Terapi kedua mendapat terapi konvensional
(psikofarmaka) dan lain-lainnya serta mendapat terapi keagamaan. Kedua kelompok
34
tersebut dirawat dirumah sakit jiwa yang sama. Hasil perbandingannya ternyata cukup
bermakna yaitu :
a. Gejala-gejala klinis skizofrenia lebih cepat hilang pada kelompok kedua
dibandingkan kelompok pertama.
b. Pada kelompok kedua lamanya perawatan (long stay hospitalization) lebih pendek
daripada kelompok pertama.
c. Pada kelompok kedua hendaya lebih cepat teratasi daripada kelompok pertama.
d. Pada kelompok kedua kemampuan adaptasi lebih cepat daripada kelompok
pertama.
Terapi keagamaan yang dimaksudkan dalam penelitian di atas adalah berupa
kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada
Tuhan, ceramah keagamaan, dan kajian kitab suci, dan lain sebagainya.
Penafsiran yang salah terhadap agama dapat mencetuskan terjadinya gangguan
jiwa skizofrenia, yang dapat diamati dengan adanya gejala-gejala waham (delusi)
keagamaan atau jalan pikiran yang patologis dengan pola sentral keagamaan. Dengan
terapi psikoreligius ini gejala patologis dengan pola sentral keagamaan tadi dapat
diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat dipulihkan
kembali ke jalan yang benar.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Hawari, H. Dadang,dr. Pendekatan holistic pada gangguan jiwa SKIZOFRENIA.
Edisi 2. Cetakan I. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001.
2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry. 8th ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia 2000. p.471-503.
3. http://www.mja.com.au/public/issues/178_09_050503/lam10582_fm.html
4. Maslim, Rusdi, dr, SpKJ. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication). Edisi ketiga. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atma Jaya. Jakarta 2001. hal 14-15.
5. Thornton, John F, M.B., F.R.C.P.(C). Et all. Schizophrenia : The Medications.
http://www.mentalhealth.com/book/p42-sc3. html-- .Clarke Institute of Psychiatry.
Department of Psychiatry. University of Toronto.
36