skizofrenia

56
BAB I PENDAHULUAN Penyakit skizofrenia telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu, namun baru kira-kira seratus tahun terakhir uraian penyakit ini dapat ditemui dalam kepustakaan kedokteran. Menurut catatan sejarah terdapat empat ilmuan (dokter) yang merupakan tokoh konseptor Skizofrenia, yaitu Hughlings Jackson (1887), Eugen Bleuier (1908), Emil Kraepelin (1919), dan Kurt Schneider (1959), yang masing- masing mendefinisikan Skizofrenia ini dari sudut pandang yang berbeda. Tapi dikemudian hari diketahui bahwa ternyata pandangan mereka merupakan suatu kesatuan. 1.1. Definisi Skizofrenia merupakan penyakit kronis otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine , yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra) 1.2. Insidensi 1

Upload: prathama-gilang-wagiono-putera-ii

Post on 12-Aug-2015

65 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: SKIZOFRENIA

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit skizofrenia telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu, namun baru kira-

kira seratus tahun terakhir uraian penyakit ini dapat ditemui dalam kepustakaan

kedokteran. Menurut catatan sejarah terdapat empat ilmuan (dokter) yang merupakan

tokoh konseptor Skizofrenia, yaitu Hughlings Jackson (1887), Eugen Bleuier (1908),

Emil Kraepelin (1919), dan Kurt Schneider (1959), yang masing-masing mendefinisikan

Skizofrenia ini dari sudut pandang yang berbeda. Tapi dikemudian hari diketahui bahwa

ternyata pandangan mereka merupakan suatu kesatuan.

1.1. Definisi

Skizofrenia merupakan penyakit kronis otak yang timbul akibat

ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah

gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons

emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan

delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra)

1.2. Insidensi

Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association

(APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.

(Wikipedia Indonesia). Menurut DSM-IV-TR insiden pertahun dari skizofernia berkisar

0.5 sampai 5.0 per 10.000 dengan variasi geografis. Ditemukan disemua tempat di dunia,

insiden dan prevalensinya secara kasar sama .

Walaupun insidensi pada lelaki dan wanita sama, gejala muncul pada lelaki lebih

awal. 75% Penderita skizofrenia lelaki mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun dan

wanita biasanya antara 20 -30 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko

tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat

disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap

penyesuaian diri .

1

Page 2: SKIZOFRENIA

1.3. Gejala dan Klinis

Pada masa ini, tidak ada pemeriksaan fisik maupun lab yang bisa mendiagnosa

skizofrenia. Seorang dokter biasanya mencapai diagnosanya berdasarkan gejala-gejala

klinis. Dengan pemeriksaan fisik biasanya kita dapat menyingkirkan penyakit lain yang

mungkin menyebabkan keadaan sakit yang serupa pada pasien (epilepsi, metabolik,

disfungsi tiroid, tumor otak, zat psikoaktif, lain-lain).

Saat ini beberapa penelitian telah mengklasifikasikan skizofrenia menurut

kombinasi 5 buah gejala yang muncul, yaitu:

1. Gejala positif

2. Gejala negatif

3. Kognitif

4. Agresif/ hostile

5. Depresif / cemas

Jaras dopamin, mesolimbik, suatu projeksi dari area ventral tegmental ke arah

daerah limbik, termasuk nukleus akumbens. Pada hipotesis dopamin, terjadi pelepasan

dopamin yang berlebihan di jaras tersebut yang akan menyebabkan gejala positif

psikosis, yaitu:

Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional.

Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan.

Kekacauan alam pikir, dilihat dari isi pembicaraannya, bicaranya kacau.

Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan

semangat dan gembira berlebihan.

Merasa dirinya ’Orang Besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan

sejenisnya.

Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman

terhadap dirinya.

Menyimpan rasa permusuhan.

Jaras mesokortikal, berasal dari area ventral tegmental di batang otak, berprojeksi

ke kortex limbik. Apabila terjadi defisiensi dopamin, atau terjadi blokade dopamin, maka

akan muncul gejala negatif, yaitu:

2

Page 3: SKIZOFRENIA

Afek tumpul dan mendatar, yaitu wajahnya tidak ada ekspresi.

Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn), tidak mau bergaul atau kontak

dengan orang lain, suka melamun (day dreaming)

Kontak emosional amat ’miskin’, sukar diajak bicara, pendiam.

Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.

Sulit untuk pikir abstrak

Pola pikir stereotip.

Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak (avoilition) dan tidak ada spontanitas,

monotron serta tidak ingin apa-apa dan serba malas.

Problema kognitif juga ditemui seperti, gangguan berpikir, inkoheren, assosiasi

longgar, neologisme, hendaya perhatian, hendaya dalam meproses informasi.

Sedangkan gejala agresif, seperti hostility, acting out kepada diri sendiri (bunuh

diri), orang lain (menyerang), dan benda (menghancurkan), kasar, buruknya kontrol

impulse, dan akting out seksual.

Gejala depresif dan cemas juga berhubungan dengan skizofrenia, seperti rasa

bersalah, tension, iritabel, dan rasa cemas .

3

Page 4: SKIZOFRENIA

BAB II

ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI

Skizofrenia kemungkinan merupakan suatu kelompok gangguan dengan penyebab

yang berbeda dan secara pasti memasukkan pasien yang gambaran klinisnya, respon

pengobatannya, dan perjalanan penyakitnya adalah bervariasi.

2.1. Model Diatesis-Stres

Satu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan

adalah model diatesis-stres. Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki

suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang, jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan

yang menimbulkan stres, memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. Pada model

diatesis-stres yang paling umum diatesis atau stres dapat biologis atau lingkungan atau

keduanya. Komponen lingkungan dapat biologis (sebagai contoh, infeksi) atau psikologis

(sebagai contoh, situasi keluarga yang penuh ketegangan atau kematian teman dekat).

Dasar biologis untuk suatu diatesis dibentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti

penyalahgunaan zat, stres psikologis, dan trauma.

Penyebab skizofrenia tidak diketahui. Tetapi dalam dekade yang lalu semakin

banyak penelitian telah melibatkan peranan patofisiologis untuk daerah tertentu di otak,

termasuk sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis. Tentu saja ketiga daerah

tersebut adalah saling berhubungan, sehingga disfungsi pada salah satu daerah mungkin

melibatkan patologi primer di daerah lainnya. Dua jenis penelitian telah melibatkan

sistem limbik sebagai suatu tempat potensial untuk patologi primer pada sekurangnya

suatu bagian, kemungkinan bahkan pada sebagian besar, pasien skizofrenik, dua tipe

penelitian adalah pencitraan otak pada orang yang hidup dan pemeriksaan neuropatologi

pada jaringan otak postmortem.

Waktu suatu lesi neuropatologis tampak di otak dan interaksi lesi dengan

lingkungan dan stresor sosial masih merupakan bidang penelitian yang aktif. Dasar untuk

timbulnya abnormalitas mungkin terletak pada perkembangan abnormal (sebagai contoh,

migrasi abnormal neuron di sepanjang glia radial selama perkembangan). Atau dalam

degenerasi neuron setelah perkembangan (sebagai contoh, kematian sel terprogram yang

4

Page 5: SKIZOFRENIA

awal secara abnormal, seperti yang tampak terjadi pada penyakit Huntington). Tetapi ahli

teori masih memegang kenyataan bahwa kembar monozigotik mempunyai angka ketidak

sesuaian 50%, jadi menyatakan bahwa terdapat interaksi yang tidak dimengerti antara

lingkungan dan perkembangan skizofrenia. Suatu penjelasan lain adalah, walaupun

kembar monozigotik mempunyai informasi genetika yang sama, pengaturan ekspresi gen

saat mereka menjalani kehidupan yang terpisah adalah berbeda. Faktor-faktor yang

mengatur ekspresi gen baru saja mulai dimengerti; kemungkinan melalui regulasi gen

yang berbeda, satu kembar monozigotik menderita skizofrenia, sedangkan yang lainnya

tidak.

2.2. Hipotesis Dopamin

Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamin untuk skizofrenia

menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan dari terlalu banyaknya aktivitas

dopaminergik. Teori tersebut timbul dari dua pengamatan. Pertama, kecuali untuk

clozapine, khasiat dan potensi antipsikotik adalah berhubungan dengan kemampuannya

untuk bertindak sebagai antagonis reseptor dopaminergik tipe 2 (D2). Kedua, obat-obatan

yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang paling jelas adalah amfetamin, yang

merupakan salah satu psikotomimetik. Teori dasar tidak memperinci apakah

hiperaktivitas dopaminergik adalah karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu

banyaknya reseptor dopamin, atau kombinasi keduanya. Teori dasar juga tidak

menyebutkan apakah jalur dopamin di otak mungkin terlibat, walaupun jalur

meoskortikal dan mesolimbik paling sering terlibat. Neuron dopaminergik di dalam jalur

tersebut berjalan dari badan selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem

limbik dan korteks serebral.

Hipotesis dopaminergik tentang skizofrenia terus diperbaiki dan diperluas. Satu

bidang spekulasi adalah bahwa reseptor dopamine tipe 1 (D1) mungkin memainkan

peranan dalam gejala negatif, dan beberapa peneliti tertarik dalam menggunakan agonis

D1 sebagai pendekatan pengobatan untuk gejala tersebut. Reseptor dopamin tipe 5 (D5)

yang baru ditemukan adalah berhubungan dengan reseptor D1 dan dapat meningkatkan

penelitian. Dalam cara yang sama reseptor dopamin tipe 3 (D3) dan dopamin tipe 4 (D4)

adalah berhubungan dengan reseptor D2 dan akan merupakan sasaran penelitian karena

5

Page 6: SKIZOFRENIA

agonis dan antagonis spesifik adalah dikembangkan untuk reseptor tersebut. Sekurangnya

satu penelitian telah melaporkan suatu peningkatan reseptor D4 dalam sampel otak

postmortem dari pasien skizofrenik.

Walaupun hipotesis dopamin tentang skizofrenia telah merangsang penelitian

skizofrenia selama lebih dari dua dekade dan masih merupakan hipotesis neurokimiawi

yang utama, hipotesis tersebut memiliki dua masalah. Pertama, antagonis dopamin adalah

efektif dalam mengobati hampir semua pasien psikotik dan pasien yang teragitasi berat,

tidak tergantung pada diagnosis. Dengan demikian, adalah tidak mungkin untuk

menyimpulkan bahwa hiperaktivitas dopaminergik adalah unik untuk skizofrenia.

Sebagai contoh, antagonis dopamin juga digunakan untuk mania akut. Kedua beberapa

data elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin meningkatkan

kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan jangka panjang dengan obat

antipsikotik. Data tersebut menyatakan bahwa abnormalitas awal pada pasien skizofrenia

mungkin melibatkan keadaan hipodopaminergik.

Suatu peranan penting bagi dopamin dalam patofisiologi skizofrenia adalah

konsisten dengan penelitian yang telah mengukur konsentrasi plasma metabolit dopamin

utama, yaitu homovanilic acid. Beberapa penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa,

dalam kondisi eksperimental yang terkontrol cermat, konsentrasi homovanilic acid

plasma dapat mencerminkan konsentrasi homovanilic acid di sistem saraf pusat.

Penelitian tersebut telah melaporkan suatu hubungan positif antara konsentrasi

homovanilic acid praterapi yang tinggi dan dua faktor: keparahan gejala psikotik dan

respon terapi terhadap obat antipsikotik. Penelitian homovanilic acid plasma juga telah

melaporkan bahwa, setelah peningkatan sementara konsentrasi homovanilic acid plasma,

konsentrasi menurun secara mantap. Penurunan tersebut dihubungkan dengan perbaikan

gejala pada sekurangnya beberapa pasien.

2.3. Serotonin

Serotonin telah mendapatkan banyak perhatian dalam penelitian skizofrenia sejak

pengamatan bahwa antipsikotik atipikal mempunyai aktivitas berhubungan dengan

serotonin yang kuat (sebagai contoh, clozapine, risperidone, ritanserin). Secara spesifik,

antagonisme pada reseptor serotonin (5-hydroxytryptamine) tipe 2 (5-HT2) telah disadari

6

Page 7: SKIZOFRENIA

penting untuk menurunkan gejala psikotik dan dalam menurunkan perkembangan

gangguan pergerakan berhubungan dengan antagonisme-D2. Seperti yang juga telah

dinyatakan dalam penelitian tentang gangguan mood, aktivitas serotonin telah berperan

dalam perilaku bunuh diri dan impulsif yang jug adapat ditemukan pada pasien

skizofrenik.

2.4. Norepinefrin

Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa pemberian antipsikotik jangka panjang

menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus sereleus dan bahwa efek terapetik

dari beberapa antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik-1

dan adrenergik-2. walaupun hubungan antara aktivitas dopaminergik dan noradrenergik

masih belum jelas, semakin banyak data yang menyatakan bahwa sistem noradrenergik

memodulasi sistem dopamminergik dalam cara tertentu sehingga kelainan sistem

noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk sering relaps.

2.5. Asam Amino

Neurotransmiter asam amino inhibotro gamma-aminobutyric acid (GABA) juga

telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia adalah konsisten dengan

hipotesis bahwa beberapa pasien dengan skizofrenia mengalami kehilangan neuron

GABA-ergik di dalam hipokempus. Hilangnya neuron inhibitor GABA-ergik secara

teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergik.

Neurotransmiter asam amino eksitasi glutamat telah juga dilaporkan terlibat

dalam dasar biologis untuk skizofrenia. Suatu rentang hipotesis telah diajukan untuk

glutamat, termasuk hipotesis hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan hipotesis neurotoksisitas

akibat glutamat.

7

Page 8: SKIZOFRENIA

2.6. Pencitraan Otak

2.6.1. Tomografi Komputer

Penelitian awal yang menggunakan tomografi komputer (CT) pada populasi

skizofrenik mungkin telah menghasilkan data yang paling awal dan paling meyakinkan

bahwa skizofrenia dapat dipercaya sebagai penyakit otak. Penelitian tersebut telah secara

konsisten menunjukkan bahwa otak pasien skizofrenik mempunyai pembesaran ventrikel

lateral dan ventrikel ketiga dan suatu derajat penurunan volume kortikal. Temuan tersebut

dapat diinterpretasikan sebagai konsisten dengan adanya jaringan otak yang lebih sedikit

dari biasanya pada pasien yang terkena; apakah penurunan jumlah jaringan otak tersebut

disebabkan kelainan perkembangan atau karena degenerasi adalah masih belum

terpecahkan.

Penelitian CT lainnya telah melaporkan asimetrisitas serebral yang abnormal,

penurunan volume serebelum, dan perubahan densitas otak pada pasien skizofrenik.

Banyak penelitian CT telah menghubungkan adanya kelainan pemeriksaan CT dengan

adanya gejala negatif atau defisit, gangguan neuropsikiatrik, peningkatan gejala

neurologis, gejala ekstrapiramidalis yang sering dari antipsikotik, dan penyesuaian

pramorbid yang buruk. Walaupun tidak semua penelitian CT telah menegakkan anggapan

tersebut, penelitian telah menimbulkan kesan bahwa semakin banyak bukti neuropatologi

yang ada, semakin serius gejalanya. Tetapi, kelainan yang dilaporkan pada penelitian CT

pada pasien skizofrenik juga telah dilaporkan pada keadaan neuropsikiatrik lainnya,

termasuk gangguan mood, gangguan berhubungan alkohol, dan demensia. Jadi,

perubahan tersebut kemungkinan tidak spesifik untuk proses patofisiologis skizofrenia

dasar.

Sejumlah penelitian telah berusaha untuk menentukan apakah kelainan yang

terdeteksi oleh CT adalah progresif atau statik. Beberapa penelitian telah menyimpulkan

bahwa lesi yang diamati pada CT ditemukan pada onset penyakit dan tidak berkembang.

Tetapi penelitian lain, telah menyimpulkan bahwa patologi yang divisualisasikan oleh CT

terus berkembang selama penyakit. Jadi, apakah proses patologis aktif adalah terus

berkembang pada pasien skizofrenik adalah masih belum pasti.

8

Page 9: SKIZOFRENIA

Walaupun pembesaran ventrikel pada pasien skizofrenik dapat ditunjukkan jika

digunakan kelompok-kelompok pasien dan kontrol, perbedaan antara orang yang terkena

dan tidak terkena adalah bervariasi dan biasanya kecil. Dengan demikian, penggunaan

CT dalam diagnosis skizofrenia adalah terbatas. Tetapi, beberapa data menyatakan bahwa

ventrikel lebih besar pada pasien dengan tardive dyskinesia daripada pasien yang tidak

menderita tardive dyskinesia. Juga, beberapa data menyatakan bahwa pembesaran

ventrikel adalah lebih sering ditemukan pada pasien laki-laki daripada wanita.

2.6.2. Pencitraan Resonansi Magnetik

Pencitraan resonansi magnetik (MRI) awalnya digunakan untuk memperjelas

temuan pada pemeriksaan CT tetapi selanjutnya digunakan untuk memperluas

pengetahuan tentang patofisiolofi skizofrenia. Satu penelitian MRI yang paling penting

adalah pemeriksaan kembar monozigotik yang tidak sama-sama menderita skizofrenia.

Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua kembar yang menderita skizofrenia

mempunyai ventrikel serebral yang lebih besar daripada kembar yang tidak terkena,

walaupun sebagian besar kembar yang terkena mempunyai ventrikel serebral di dalam

suatu rentang normal.

Peneliti yang menggunakan MRI dalam riset skizofrenia telah menggunakan sifat-

sifat resolusi yang unggul, dibandingkan dengan CT, dan informasi kualitatif, sebagai

contoh, yang didapatkan dengan menggunakan berbagai urutan signal untuk

mendapatkan citra T1 atau T2 yang diperkuat. Resolusi unggul dari MRI telah

menghasilkan beberapa laporan bahwa volume kompleks hipokampus-amigdala dan girus

parahipokampus adalah menurun pada pasien skizofrenik. Satu penelitian terakhir

menemukan suatu penurunan spesifik dari daerah otak tersebut di hemisfer kiri, dan

bukan di hemisfer kanan, walaupun penelitian lain telah menemukan penurunan volume

bilateral. Beberapa penelitian telah menghubungkan penurunan volume sistem limbik

dengan derajat psikopatologi atau parameter lain keparahan penyakit. Jugatelah terdapat

laporan waktu relaksasi T1 dan T2 yang berbeda pada pasien skizofrenik, khususnya yang

diukur di daerah frontalis dan temporalis.

9

Page 10: SKIZOFRENIA

2.6.3. Elektrofisiologi

Penelitian elektroensefalografi (EEG) pada pasien skizofrenia menyatakan bahwa

sejumlah besar pasien mempunyai rekaman yang abnormal, peningkatan kepekaan

terhadap prosedur aktivasi (sebagai contoh, aktivitas paku yang sering setelah tidak

tidur), penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas teta dan delta, kemungkinan

aktivitas epileptiformis yang lebih dari biasanya, dan kemungkinan kelainan sisi kiri yang

lebih banyak dari biasanya.

2.6.4. Potensial Cetusan

Sejumlah besar kelainan pada potensial cetusan (evoked potentials) pada pasien

skizofrenik telah digambarkan dalam literatur penelitian. Gelombang P300 merupakan

yang paling banyak dipelajari dan didefinisikan sebagai gelombang potensial cetusan

yang besar dan positif yang terjadi kira-kira 300 milidetik setelah suatu stimulasi sensoris

dideteksi. Sumber utama gelombang P300 mungkin berlokasi di struktur sistem limbik

dari lobus temporalis medial. Pada pasien skizofrenik P300 telah dilaporkan secara

statistik lebih kecil dan lebih lambat daripada kelompok pembanding. Kelainan pada

gelombang P300 juga telah dilaporkan lebih sering pada anak-anak yang berada pada

10

Page 11: SKIZOFRENIA

resiko tinggi mengalami skizofrenia karena mempunyai orang tua yang menderita

skizofrenia. Apakah karakteristik P300 mewakili suatu keadaan fenomena atau suatu sifat

fenomena adalah masih kontroversial.

Potensial cetusan lain yang telah dilaporkan abnormal pada pasien skizofrenik

adalah N100 dan variasi negatif berkelompok (continent negative variation). Gelombang

N100 adalah gelombang negatif yang terjadi kira-kira 100 milidetik setelah stimulus, dan

variasi negatif berkelompok adalah suatu pergeseran voltasi negatif yang berkembang

dengan lambat yang mengikuti presentasi stimulus sensorik yang merupakan peringatan

untuksuatu stimulus yang akan datang. Data potensial cetusan telah diinterpretasikan

sebagai menyatakan bahwa, walaupun pasien skizofrenik adalah sensitif secara tidak

lazim terhadap stimulus sensorik (potensial cetusan awal yang lebih tinggi), mereka

mengkompensasi peningkatan kepekaan tersebut dengan mengumpulkan pemrosesan

informasi pada tingkat kortikal yang lebih tinggi (dinyatakan oleh potensial cetusan akhir

yang lebih kecil).

2.7. Genetika

Prevalensi Skizofrenia pada Populasi Spesifik

Populasi Prevalensi (%)

Populasi umum 1,0

Bukan saudara kembar pasien skizofrenik 8,0

Anak dengan satu orang tua skizofrenik 12,0

Kembar dizigotik pasien skizofrenik 12,0

Anak dari kedua orangtua skizofrenik 40,0

Kembar monozigotik pasien skizofrenik 47,0

Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada

kembar monozigotik yang diadopsi menunjukkan bahwa kembar yang diasuh oleh orang

tuaangkat mempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang sama besarnya seperti

saudara kembarnya yang dibesarkan oleh orang tua kandungnya. Temuan tersebut

menyatakan bahwa pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan. Untuk mendukung

lebih lanjut dasar genetika adalah pengamatan bahwa semakin parah skizofrenia, semakin

11

Page 12: SKIZOFRENIA

mungkin kembar adalah sama-sama menderita gangguan. Satu penelitian yang

mendukung model diatesis-stres menunjukkan bahwa kembar monozigotik yang diadopsi

yang kemudian menderita skizofrenia kemungkinan telah diadopsi oleh keluarga yang

tidak sesuai secara psikologis.

12

Page 13: SKIZOFRENIA

BAB III

DIAGNOSA

3.1. Kriteria Diagnosis Skizofernia

Kriteria diagnostik skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR) :

A. Gejala karakteristik : Ditemukannya dua atau lebih gejala berikut :

(1) Waham

(2) Halusinasi

(3) Bicara terdisorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau inkoheren)

(4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas

(5) Gejala negatif, yaitu, pendengaran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan

(avoilition)

masing-masing didapat selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan

berhasil)

Catatan : hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau

atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengkomentari perilaku atau

pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap satu sama lainnya.

B. Disfungsi sosial/pekerjaan : Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset

gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan

interpersonal, atau perwatan diri, adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai

sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk

mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang

diharapkan)

C. Durasi : tanda gangguan terus menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan.

Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang jika

diobati dengan berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaiutu, gejala fase aktif) dan

mungkin termasuk periode gejala prodromal atau residual. Selama periode

prodromal atau residual, tanda gangguan mungkin dimanifstasikan hanya oleh

gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam

13

Page 14: SKIZOFRENIA

bentuk yang diperl;emah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi

yang tidak lazim)

D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood : Gangguan skizoafektif

dan gangguan mood dengan ciri psikotik yang telah disingkirkan karena : (1)

tidak ada episode depresif berat, manik, atau campuran yang telah terjadi

bersama-sama dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood telah terjadi

selama gela fase aktif, durasi totalnya adalah relatif singkat dibandingkan durasi

periode aktif dan residual.

E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum : gangguan tidak disebabkan oleh efek

psikologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu

medikasi) atau suatu kondisi medis umum.

F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif : Jika terdapat riwayat

adanya gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya,

doagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang

menonjol juga ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati

secara berhasil)

Klasifikasi perjalanan penyakit longitudinal (dapat diterapkan hanya setelah

sekurangnya 1 tahun lewat sejak onset awal gejala fase aktif) :

Episodik dengan gejala residual interepisode (episode didefinisikan oleh

timbulnya kembali gejala psikotik yang menonjol); juga sebutkan jika :

dengan gejala negatif yang menonjol

Episodik tanpa gejala residual interepisodik.

Kontinu (gejala psikotik yang menonjol ditemukan di seluruh periode

observasi); juga sebutkan jika : dengan gejala negatif yang menonjol

Episode tunggal dalam remisi parsial; juga sebutkan jika : dengan gejala

negatif yang menonjol

Episode tunggal dalam remisis penuh

Pola lain atau tidak ditentukan .

14

Page 15: SKIZOFRENIA

3.2. Gejala Pramorbid

Sebelum seseorang secara nyata aktif (manifes) menunjukan gejala-gejala

Skizofrenia, yang bersangkutan terlebih dahulu menunjukan gejala-gejala awal yang

disebut gejala pradormal. Sebaliknya bila seseorang penderita Skizofrenia tidak lagi aktif

menunjukan gejal-gejala Skizofrenia, maka yang bersangkutan menunjukan gejala-gejala

sisa yang disebut gejala residual 1.

Tanda awal skizofrenia sering kali terlihat sejak kanak-kanak. Indikator

premorbid (pra-sakit) pada anak pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan anak

mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan

komunikasi: anak sulit melakukan pembicaraan terarah. Gangguan atensi: anak tidak

mampu memfokuskan, mempertahankan, serta memindahkan atensi. Pada anak

perempuan tampak sangat pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa

menikmati rasa senang dan ekspresi wajah sangat terbatas. Sedangkan pada anak laki-laki

sering menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.

Pada bayi biasanya terdapat problem makan, gangguan tidur kronis, tonus otot

lemah, apatis dan ketakutan terhadap obyek atau benda yang bergerak cepat. Pada balita

terdapat ketakutan yang berlebihan terhadap hal-hal baru seperti potong rambut, takut

gelap, takut terhadap label pakaian, takut terhadap benda-benda bergerak.

Pada anak usia 5-6 tahun mengalami halusinasi suara seperti mendengar bunyi

letusan, bantingapintu atau bisikan, bisa juga halusinasi visual seperti melihat sesuatu

bergerak meliuk-liuk, ular, bola-bola bergelindingan, lintasan cahaya dengan latar

belakang warna gelap. Anak terlihat bicara atau tersenyum sendiri, menutup telinga,

sering mengamuk tanpa sebab.

Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor

predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan

berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid

yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta

selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri

aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada

perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran

15

Page 16: SKIZOFRENIA

yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang

termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.

Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi

skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia,

misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa

saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu

mengatasi.

3.3. Kepribadian Pramorbid Skizofrenia

Faktor predisposisi dan beresiko tinggi bagi terjadinya gangguan jiwa Skizofrenia,

yaitu Kepribadian Paranoid, Skizoid, Skizotipal dan Ambang (Borderline) yang

kriterianya sebagai berikut:

3.3.1 Kepribadian Paranoid

Seseorang yang berkepribadian paranoid menunjukkan gejala-gejala sebagai

berikut :

A. Kecurigaan dan ketidakpercayaan yang pervasif dan tidak beralasan terhadap

orang lain, seperti yang ditunjukkan oleh sekurangkurangnya 3 dari 8 hal berikut ini :

1. Merasa akan ditipu atau dirugikan, berprasangka buruk dan sukar untuk bisa

percaya terhadap maksud baik dari orang lain.

2. Kewaspadaan yang berlebihan, yang bermanifestasi sebagai usaha meneliti secara

terus-menerus terhadap tanda-tanda ancaman dari lingkungannya atau

mengadakan tindakan-tindakan pencegahan yang sebenarnya tidak perlu.

3. Sikap berjaga jaga atau menutup-nutupi, melakukan pengamanan fisik dan tempat

tinggalnya.

4. Tidak mau menerima kritik atau kesalahan, walaupun ada buktinya. Alam

perasaan (afek) sensitif, reaktif dan mudah tersinggung.

5. Meragukan' kesetiaan orang lain, selalu curiga akan dikhianati dan karenanya

sukar untuk mendapatkan kawan ataupun pasangan.

6. Secara intensif dan picik mencari-cari kesalahan dan bukti tentang prasangkanya,

tanpa berusaha melihat secara keseluruhan dari konteks yang ada.

16

Page 17: SKIZOFRENIA

7. Perhatian yang berlebihan terhadap motifmotif tersembunyi dan arti-arti khusus;

penuh kecurigaan terhadap peristiwa atau kejadian di sekitarnya yang diartikan

salah dan dianggap ditujukan pada dirinya.

8. Cemburu yang patologik, tidak beralasan dan tidak rasional, dengan dalih yang

dicari-cari untuk pembenaran dari rasa cemburunya itu.

B. Hipersensitivitas, seperti yang ditunjukkan oleh sekurang-kurangnya 2 dari 4 hal

berikut ini :

1. Kecenderungan untuk mudah merasa dihina atau diremehkan dan cepat

mengambil sikap menyerang (offensive).

2. Membesar-besarkan kesulitan yang kecil, tidak proporsional dan mendramatisasi

seolah-olah sedang menghadapi kesulitan atau ancaman yang serius.

3. Siap mengadakan balasan apabila merasa terancam, serangan balik yang tidak

pada tempatnya.

4. Tidak dapat santai, tidak tenang, selalu gelisah dan tegang karena tidak ada rasa

aman dan terlindung (security feeling).

C. Keterbatasan kehidupan alam perasaan (afektif) seperti yang

ditunjukkan oleh sekurang-kurangnya 2 dari 4 hal berikut ini :

1. Penampakan yang dingin dan tanpa emosi, ekspresi wajah kosong,

"tidak hidup" bagaikan "topeng".

2. Merasa bangga bahwa dirinya selalu obyektif, rasional dan tidak mudah

terangsang secara emosional, subyektivitas tinggi.

3. Tidak ada rasa humor yang wajar terkesan "serius" tidak suka bercanda,

tidak ada sense of humor.

4. Tidak ada kehangatan emosional, lembut dan sentimental, seolah-olah

tidak mempunyai perasaan, hambar dan tidak bereaksi terhadap rangsangan atau

hal yang bagi orang lain sesuatu yang membuat lucu atau gembira.

Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota keluarga ada

yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian paranoid sebagaimana diuraikan di muka.

Baik pihak keluarga maupun yang bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter

(psikiater) agar tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya

dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofreni.

17

Page 18: SKIZOFRENIA

3.3.2. Kepribadian Skizoid

Seseorang yang berkepribadian skizoid menunjukkan gejala-gejala sebagai

berikut :

A. Terdapat ciri emosional yang dingin dan tidak acuh serta tidak terdapatnya

perasaan hangat atau lembut terhadap orang lain.

B. Sikap yang acuh tak acuh (indifferent) terhadap pujian, kritikan atau perasaan

orang lain, tidak menghargai orang lain.

C. Hubungan dekat hanya satu atau dua orang saja, termasuk anggota keluarganya,

tidak mampu bersosialisasi.

D. Tidak terdapat pembicaraan, perilaku, atau pikiran yang aneh (eksentrik), yang

merupakan ciri khas kepribadian Skizotipal.

Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota keluarga ada

yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian skizoid sebagaimana diuraikan di muka.

Baik pihak keluarga maupun yang bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter

(psikiater) agar tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya

dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofrenia.

3.3.3. Kepribadian Skizotipal

Seseorang yang berkepribadian skizotipal menunjukkan gejala-gejala sebagai

berikut, yaitu sekurang-kurangnya terdapat 4 dari 8 hal yang berikut ini :

1. Pikiran magik atau gaib (magical thinking) seperti takhyul yang tidak sesuai

dengan budayanya (superstitious), dapat melihat apa yang akan terjadi

(clairvoyance), telepati, indera keenam, "orang lain dapat merasakan perasaan

saya" (pada anak-anak dan remaja terdapat preokupasi dan fantasi yang aneh).

2. Gagasan mirip waham yang menyangkut diri sendiri (ideas of reference), merasa

segala peristiwa atau kejadian di sekitarnya selalu ada kaitannya atau bersangkut-

paut dengan dirinya.

3. Isolasi sosial, seperti tidak memiliki kawan akrab atau orang yang dapat

dipercaya, kontak sosial hanya terbatas pada tugas sehari-hari yang seperlunya,

kurang mampu bersosialisasi.

18

Page 19: SKIZOFRENIA

4. Ilusi yang berulang-ulang, seperti merasa adanya "kekuatan" atau "orang" yang

sebenarnya tidak ada (misalnya merasa seolaholah ibunya yang sudah meninggal

berada bersama dengan dirinya dalam ruangan), depersonalisasi atau derealisasi

yang tidak berhubungan dengan serangan panik.

5. Pembicaraan yang ganjil (tetapi tidak sampai menjurus kepada pelonggaran

asosiasi atau inkoherensi), seperti pembicaraan yang digresif, kabur, bertele-tele,

sirkumstansial (berputar-putar), metaforik (perumpamaan).

6. Di dalam interaksi (tatap muka) dengan orang lain terdapat hubungan (rapport)

yang tidak memadai (inadequate) akibat afek (alam perasaan) yang tidak serasi

(inappropriate) atau afek yang terbatas (constricted), misalnya tampak dingin atau

tidak acuh.

7. Kecurigaan atau ide paranoid, yaitu rasa curiga atau buruk sangka yang tidak

rasional.

8. Kecemasan sosial yang tidak perlu atau hipersensitivitas yang berlebih terhadap

kritik yang nyata ataupun yang dibayangkan.

Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota keluarga ada

yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian skizotipal sebagaimana diuraikan di muka.

Baik pihak keluarga maupun yang bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter

(psikiater) agar tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya

dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofrenia.

3.3.4. Kepribadian Ambang

Seseorang yang berkepribadian ambang menunjukkan gejala-gejala sebagai

berikut, yaitu paling sedikit terdapat 5 dari 8 kriteria di bawah ini :

1. Impulsivitas atau perubahan yang tidak dapat diduga, setidak-tidaknya dalam dua

aspek yang dapat merugikan diri, misalnya boros, hubungan seks, berjudi,

penggunaan zat (NAZA: Narkotika, Alkohol & Zat Adiktif), mencuri di toko,

makan berlebihan, tindakan cedera diri.

2. Ada pola hubungan interpersonal yang mendalam (intense) dan tidak stabil,

seperti perubahan yang hebat dalam sikap, menyanjung, merendahkan, manipulasi

(secara konsisten mengggunakan orang lain untuk kepentingan dirinya).

19

Page 20: SKIZOFRENIA

3. Kemarahan hebat dan tidak wajar, atau kurangnya pengendalian terhadap

kemarahan, misalnya uring-uringan, kemarahan yang menetap.

4. Gangguan identitas yang bermanifestasi dalam ketidakpastian mengenai hal-hal

yang berkaitan dengan identitas, misalnya citra diri, identitas jenis (gender

identity), cita-cita jangka panjang atau pemilihan karier, pola persahabatan, nilai-

nilai dan loyalitas, misalnya "siapakah saya?", "saya merasa seperti kakak saya

apabila saya sedang senang".

5. Alam perasaan (mood, affect) yang tidak mantap ditandai oleh perubahan hebat

dari afek (mood) yang normal menjadi depresi, iritabilitas (mudah

tersinggung/marah) atau cemas, biasanya berlangsung beberapa jam dan (sangat

jarang) sehingga beberapa hari, dan kembali ke alam perasaan yang normal.

6. Tidak tahan untuk berada sendirian, misalnya ia berusaha keras untuk tidak

berada sendirian, merasa depresif apabila berada sendirian.

7. Tindakan yang mencederai diri sendiri , misalnya usaha bunuh diri, mutilasi diri

(pemotongan atau pengundungan bagian tubuh), kecelakaan berulang kali atau

perkelahian fisik.

8. Perasaan kosong atau rasa bosan (jenuh) yang berkepanjangan (menahun/kronik).

3.4. Kriteria Diagnosis Subtipe Skizofernia

Kriteria diagnostik subtipe skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR) :

3.4.1. Tipe Paranoid

Bila ditemui kriteria sebagai berikut:

a. Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi suara yang sering

b. Tidak ada satu pun dari gejala berikut yang menonjol: bicara kacau, tingkah laku

katatonik, atau tingkah laku yang kacau, afek tumpul atau tidak sesuai.

20

Page 21: SKIZOFRENIA

3.4.2. Tipe terdisorganisasi (hebefrenik)

a. Bila semua gejala ini menonjol

1. Bicara kacau

2. Tingkah laku kacau

3. Afek tumpul atau tidak sesuai

b. Kriteria tidak sesuai untuk tipe katatonik

3.4.3.Tipe katatonik

Suatu tipe skizofernia, dimana gambaran klinisnya didominasi oleh sedikitnya

dua dari gejala berikut:

1. Imobilitas motorik, bukti dari katalepsi (fleksibilitas lilin) atau stupor

2. Aktivitas motor yang berlebihan (yang kadang-kadang tidak bertujuan dan tidak

dipengaruhi oleh stimulus eksternal)

3. Negativisme yang ekstrim

4. Gerakan volunter yang aneh seperti yang ditunjukkan posturing.

5. Ekolalia dan ekopraksia

3.4.5. Tipe yang tidak tergolongkan

Suatu tipe skizofrenia dimana ditemukan gejala yang memenuhi kriteria A, tetapi

tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi atau katatonik.

3.4.6. Tipe residual

Tipe skizofernia dimana kriteria ini dijumpai:

1. Tidak ada atau tidak menonjol: delusi, halusinasi, bicara kacau, kekacauan yang

terlihat, atau tingkah laku katatonik

2. Adanya bukti dari gangguan seperti yang diindikasikan dengan keberadaan gejala

negatif, atau dua atau lebih gejala yang terdapat pada Criterion A untuk

skizofrenia.

21

Page 22: SKIZOFRENIA

3.5. Golongan ”Skizofrenia” lain- lain

3.5.1. Skizofrenia Simpleks

Suatu bentuk psikosis (gangguan jiwa yang ditandai dengan terganggunya realitas

dan pemahaman diri/insight yang buruk ) yang perkembangannya lambat dan perlahan

dari perilaku yang aneh, ketidak mampuan memenuhi tuntutan masyarakat dan

penurunan keterampilan sosial.

3.5.2. Gangguan Skizofreniform

Gambaran klinis Skizofreniform ini sama dengan Skizofrenia, perbedaannya

adalah bahwa fase-fase perjalanan penyakitnya (fase aktif, prodormal dan residual )

kurang dari 6 bulan tetapi lebih lama dari 2 minggu.

3.5.3. Skizofrenia Laten

Hingga kini belum terdapat suatu kesepakatan yang dapat diterima secara umum

untuk memberikan gambaran klinis kondisi ini.

3.5.4. Gangguan Skizoafektif

Gambaran klinis tipe ini didominasi oleh gangguan pada alam perasaan (mood,

affect) disertai waham dan halusinasi serta terdapat perasaan gembira yang berlebihan

(maniakal) atau rasa sedih yang sangat mendalam (depresi) .

3.6. Diagnosis Banding

Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan medis

psikiatrik, non psikiatrik dan berbagai macam zat.

3.6.1. Medis dan Neurologis

Akibat zat : Amfetamin, halusinogen, alkaloid beladona, halusinosis alkohol,

putus barbiturat, kokain, phencyclidine (PCP).

Epilepsi : Terutama epilepsi lobus temporalis.

Neoplasma, penyakit serobrovaskular, atau trauma : Terutama frontalis dan

limbik.

22

Page 23: SKIZOFRENIA

Kondisi lain : Sindroma immunodefisiensi didapat (AIDS)

Porfiria intermitten akut

Keracunan karbon monoksida

Lipoidosis serebral

Penyakit Creutzfeldt-Jakob

Penyakit Fabry

Penyakit Fahr

Penyakit Hallervorden-Spatz

Keracunan logam berat

Ensefalitis herpes

Homosistinuria

Penyakit Huntington

Lekodistrofi metakromatik

Neurosiflis

Hidrosefalus

Pellagra

SLE

Sindroma Wernicke-Korsakoff

Penyakit Wilson

3.6.2. Psikiatrik

Psikosis atipikal

Gangguan autistic

Gangguan psikotik singkat

Ganguan delusional

Berpura-pura

Gangguan obsesif-kompulsif

Gangguan keperibadian

Gangguan skizofrenia lain-lain.

23

Page 24: SKIZOFRENIA

BAB IV

PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA

Gangguan jiwa Skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut

(kronis, menahun). Oleh karenanya terapi pada skizofrenia memerlukan waktu yang

realtif lama (berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun), hal ini dimaksudkan untuk menekan

sekecil mungkin kekambuhan (relapse).

Terapi yang komprehensif dan holistic atau terpadu dewasa ini sudah

dikembangkan sehingga penderita skizofrenia tidak lagi mengalami diskriminasi bahkan

metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi

terapi dengan obat-obatan anti skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi, terapi psikososial

dan terapi psikoreligius.

4.1. Psikofarmaka

Terpi farmakologis merupakan terapi utama dari penatalaksanaan skizofrenia.

Pemilihan agent farmakologis yang tepat membutuhkan pertimbangan yang matang akan

keuntungan dan kerugian pemberian obat tersebut. Terapi farmakologis atau

psikofarmaka merupakan salah satu elemen dari terapi terpadu bagi penderita

skizofrenia6.

Kemajuan dibidang Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) akhir-akhir ini mengalami

kemajuan pesat, baik dibidang organobiologik maupun dibidang obat-obatannya. Dari

sudut organobiologik sudah diketahui bahwa pada skizofrenia terdapat gangguan pada

fungsi transmisi sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) sel-sel penyusun saraf pusat

(otak) yaitu pelepasan zat dopamine dan serotonin yang mengakibatkan gangguan pada

alam pikir, alam perasaan dan perilaku. Oleh karena itu psikofarmaka yang akan

diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter tersebut, sehingga gejala-

gejala klinis tadi dapat dihilangkan.

Dewasa ini banyak jenis psikofarmaka yang digunakan untuk mengobati

penderita skizofrenia. Hingga sekarang belum ditemukan obat yang ideal, masing-masing

jenis obat ada kelebihan dan kekurangannya selain juga ada efek samping.

24

Page 25: SKIZOFRENIA

Syarat-syarat psikofarmaka yang ideal untuk skizofrenia :

a. Dosis rendah dengan efektivitas terapi dalam waktu relatif singkat.

b. Tidak ada / sedikit efek samping.

c. Dapat menghilangkan gejala-gejala skizofrenia dalam waktu relatif singkat.

d. Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat).

e. Tidak menyebabkan kantuk.

f. Memperbaiki pola tidur.

g. Tidak menyebabkan habituasi, adiksi dan dependensi.

h. Tidak menyebabkan lemas otot.

i. (Jika mungkin) pemakaiannya dosis tunggal.

Berbagai jenis obat yang beredar di pasaran yang hanya dapat diperoleh dengan resep

dokter dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu golongan generasi pertama (typical) dan

golongan generasi kedua (atypical).

Tabel 4.1. Sediaan Antipsikotik dan Dosis Anjuran

No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran1 Chlorpromazine LARGACTIL

PROMACTILMEPROSETILETHIBERNAL

Tab. 25 mg, 100 mg

Amp.25 mg/ml

150-600 mg/h

2 Haloperidol SERENACE

HALDOLGOVOTILLODOMERHALDOL DECA-NOAS

Tab. 0,5 mg, 1,5&5 mgLiq. 2 mg/mlAmp. 5 mg/mlTab. 0,5 mg, 2 mgTab. 2 mg, 5 mgTab. 2 mg, 5 mgAmp. 50 mg/ml

5-15 mg/h

50 mg / 2-4 minggu

3 Perphenazine TRILAFON Tab. 2 mg, 4&8 mg 12-24 mg/h4 Fluphenazine

Fluphenazine-decanoate

ANATENSOLMODECATE

Tab. 2,5 mg, 5 mgVial 25 mg/ml

10-15 mg/h25 mg / 2-4 minggu

5 Levomepromazine NOZINAN Tab.25 mgAmp. 25 mg/ml

25-50 mg/h

6 Trifluoperazine STELAZINE Tab. 1 mg, 5 mg 10-15 mg/h7 Thioridazine MELLERIL Tab. 50 mg, 100 mg 150-600 mg/h8 Sulpiride DOGMATIL –

FORTE Tab. 200 mgAmp. 50 mg/ml

300-600 mg/h

9 Pimozide ORAP FORTE Tab. 4 mg 2-4 mg/h10 Risperidone RISPERDAL

NERIPROSNOPRENIAPERSIDAL-2RIZODAL

Tab. 1,2,3 mgTab. 1,2,3 mgTab. 1,2,3 mgTab. 2 mgTab. 1,2,3 mg

Tab 2-6 mg/h

11 Clozapine CLOZARIL Tab. 25 mg, 100 mg 25-100 mg/h12 Quetiapine SEROQUEL Tab. 25 mg, 100 mg, 200 mg 50-400 mg/h13 Olanzapine ZYPREXA Tab. 5 mg, 10 mg 10-20 mg/h

25

Page 26: SKIZOFRENIA

Sharma (2001) menyatakan bahwa 3 gejala yang menonjol pada gangguan jwa

skizofrenia adalah gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif. Sebagaimana

diketahui meskipun gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia telah dapat diatasi,

namun bila fungsi kognitif tidak dipulihkan, maka penderita tidak mempunyai

kemampuan untuk berpikir dan mengingat yang amat penting bagi menjalankan fungsi

kehidupannya sehari-hari. Sehingga dengan demikian bila ketiga gejala-gejala tersebut di

atas dapat diatasi, maka penderita skizofrenia dapat hidup produktif dan mendiri. Hal ini

dimungkinkan dengan ditemukannya obat anti skizofrenia golongan atypical.

Nasrallah (2001) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pemakaian obat

golongan typical pada 30% penderita skizofrenia tidak memperlihatkan perbaikan klinis

secara bermakna. Diakui bahwa golongan typical ini mampu mengatasi gejala positif

skizofrenia, tetapi kurang efektif untuk mengatasi gejal-gejala negatif, gejala kognitif dan

efek samping EPS. Sedangkan obat golongan atypical dapat mengatasi gejala-gejala

positif, negatif, mencegah efek samping EPS dan memulihkan fungsi kognitif.

Dengan terapi psikofarmaka sesungguhnya gangguan jiwa skizofrenia dapat

diobati dan disembuhkan dalam arti manageable dan controllable. Penderita skizofrenia

tidak harus meminum obat seumur hidup, sebab kadang kala perjalanan gangguan jiwa

skizofrenia ini sewaktu-waktu dapat mengalami remisi, karena pada hakekatnya penyakit

ini merupakan self limitting process.

4.1.1 Obat-obat yang digunakan

Antipsikotik merupakan obat utama yang digunakan dalam terapi psikofarmaka

untuk penderita skizofrenia. Bagaimanapun, obat-obat lain mungkin digunakan untuk

mengatasi gejala anxietas, gangguan tidur, depresi, gangguan mood, juga untuk

mengurangi efek samping yang mungkin timbul akibat penggunaan obat utama.

4.1.1.1. Neuroleptik (Antipsikotik)

Golongan obat ini biasanya sangat esensial untuk mengendalikan gejala-gejala

skizofrenia. Beberapa gejala yang sangat berespon terhadap obat golongan antipsikotik

antara lain, gangguan pikiran, halusinasi, waham (waham hubungan, waham kejar, dan

lain sebagainya).

26

Page 27: SKIZOFRENIA

Beberapa antipsikotik yang ada di pasaran misalnya, trifluoperazine (Stelazine),

pimozide (Orap), flupenthixol (Fluanxol), and chlorpromazine (Largactil) dalam sediaan

oral dan sediaan injeksi short-acting . Obat-obat lain dalam golongan ini yang termasuk

long-acting injection (depot) diantaranya, flupenthixol (Fluanxol), fluphenazine

decanoate (Modecate), pipotiazine (Piportil L4), dan haloperidol decanoate (Haldol LA).

Sebagian besar pasien rawat inap diberikan terapi inisial dengan sediaan oral

dalam bentuk tablet maupun liquid. Bagi pasien-pasien yang sangat terganggu, dapat

diberikan sediaan injeksi agen psikotropika yang memiliki efek cepat dengan durasi

pendek. Pasien rawat jalan dapat diobati dengan sediaan tablet maupun depot / sediaan

long-acting. Injeksi digunakan pada kondisi dimana terjadi compliance, pada pasien

dengan gangguan absorpsi atau terkadang untuk tujuan kenyamanan pasien.

Pada umumnya agen antipsikotik tidak menyebabkan alergi, sehingga hanya

pasien skizofrenia dengan kecenderungan terjadinya efek samping yang berat yang tidak

dapat menerima terapi antipsikotik (kondisi ini sangat jarang terjadi). Terdapat beberapa

pasien yang dilaporkan bahwa penggunaan obat-obat antipsikotik sebagai terapi mereka

membuat mereka merasa sangat tidak nyaman, sehingga mereka akan merasa jauh lebih

berbahagia jika tidak meminum obat tersebut. Pada pasien-pasien seperti ini sangat perlu

ditekankan mengenai pertimbangan keuntungan dan kerugian penggunaan obat

antipsikotik tersebut.

Terkadang suatu obat tertentu tidak cocok untuk pasien tertentu, pada kondisi ini

antipsikotik alternatif mungkin berguna.. Sebagai contoh, terdapat dua golongan

antipsikotik berdasarkan potensi yang dimiliki obat tersebut (antipsikotik potensi rendah

dan potensi tinggi). Pemilihan obat subtype mana yang akan digunakan lebih

dipertimbangkan berdasarkan efek samping yang mungkin muncul selama penggunaan

obat tersebut, daripa potensi obat itu sendiri. Obat-obat dengan potensi tinggi cenderung

menyebabkan efek samping muscular dan resah, gelisah (akhatisia). Dimana obat-obat

dengan potensi yang rendah dapat menyebabkan efek mengantuk dan penurunan tekanan

darah.

Efek samping yang paling umum dari obat-obat antipsikotik adalah gangguan

otot. Pada tahap awal, dapat terjadi dystonia akut (spasme otot- terutama otot mata, leher

maupun batang tubuh). Kondisi ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien,

27

Page 28: SKIZOFRENIA

tetapi berespon cukup cepat terhadap terapi. Umunya, pasien dengan penggunaan obat

ini mengalami, kekakuan, perlambatan gerak, gemetaran dan atau gelisah.

Efek samping lain yang juga sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik yaitu,

mengantuk, faintness, mulut kering, pengelihatan kabur, sensitivitas meningkat terhadap

sinar matahari, dan konstipasi. Beberapa pria mengeluh mengalami kesulitan ejakulasi,

sementara beberapa wanita mengalami gangguan siklus haid, dan pada kedua kelompok

jenis kelamin pernah didapatkan laporan bahwa beberapa dari mereka mengalami

galacthorrea. Kondisi-kondisi ini biasanya reversibel dengan dikuranginya dosis

antipsikotik yang digunakan, atau dengan mengganti antipsikotik yang sedang digunakan

atau dengan menambahkan obat tambahan lain yang berfungsi sebagai penekan gejala

efek samping yang terjadi. Antipsikotik mungkin dipergunakan dalam jangka waktu yang

lama, dan pada beberapa kasus, seumur hidup pasien. Dosis terapeutik mungkin dapat

dikurangi secara bertahap seiring kemajuan penyakit pasien. Pengurangan dosis dapat

dipertimbangkan, setelah pasien tetap berada dalam keadaan gejala terkendali selama

beberapa bulan sampai beberapa tahun. Jika pasien mengalami efek samping yang

membuatnya tidak nyaman, klinisi mungkin dapat mengurangi dosis obat lebih cepat,

meskipun dengan resiko meningkatnya kemungkinan relapse. Jika terjadi relapse

peningkatan dosis sesaat dari obat tersebut mungkin diperlukan. Ketika gejala penyakit

telah kembali terkendali, pengurangan dosis harus dipertahankan pada level sedikit lebih

tinggi dari pada pemberian dosis rendah sebelumnya. Pengurangan dosis lebih lanjut

sebelum satu tahun terapi, adalah tidak dianjurkan.

Efek samping jangka panjang yang umum terjadi yaitu tardive dyskinesia. Setelah

beberapa bulan atau biasanya beberapa tahun, beberapa pasien dapat mengalami gerakan-

gerakan otot yang sifatnya involunter, yang biasanya terjadi pada otot wajah juga otot –

otot anggota gerak. Penetalaksanaan terbaik untuk kondisi ini adalah pencegahan, dan

oleh karena itu pasien harus mempertahankan dosis terendah yang paling mungkin untuk

memberikan efek terapeutik. Karena terdapat kemungkinan pengurangan dosis yang

dilakukan secara cepat dapat menyebabkan gangguan tersebut semakin jelas, sehingga

sangat disarankan untuk mengurangi dosis secara bertahap dengan selisih penurunan

relative kecil. Akan tetapi efek samping tardive dyskinesia ini meskipun tidak ringan,

umumnya tidak sampai membuat pasien merasa tidak nyaman menggunakan obat ini.

28

Page 29: SKIZOFRENIA

4.1.1. 2. Antiparkinson

Terpisah dari antipsikotik, obat-obat antiparkinson merupakan obat lain yang

paling sering diresepkan dalam terapi skizofrenia, meskipun obat-obat golongan ini tidak

bersifat causative. Beberapa obat antiparkinson antikolinergik yang sering digunakan

antara lain, benztropine mesylate (Cogentin), trihexyphenidyl (Artane), procyclidine

(Kemadrin), amantadine (Symmetrel).

Obat golongan in juga sering disebut “terapi efek samping”. Antiparkinson

diindikasikan pada kondisi dimana efek samping gangguan otot yang timbul akibat

penggunaan antipsikotik sudah sampai membuat pasien merasa tidak nyaman. Dosis

pemberian bergantung pada derajat ketidaknyaman pasien. Jika dibutuhkan, pemberian

dalam dosis tunggal lebih dianjurkan dan paling baik diminum saat pasien terjaga, agar

pasien dapat benar-benar merasakan kerja obat tersebut. Obat golongan ini sangat efektif

untuk mengatasi kekauan otot dan tremor serta dapat juga membantu mengatasi gelisah.

Bagaimana pun, obat-obat ini mungkin dapat memperburuk gejala lainnya seperti

pengelihatan kabur, dan mulut kering. Suatu keadaan toxic confusional state dapat terjadi

pada pemberian dosis yang berlebih, dan dapat menyebabkan klinisi menetapakan

diagnosa yang salah, karena keadaan ini sangat mirip dengan keadaan dimana terjadi

kekambuhan penyakit utama.

Beberapa psikiater menyarankan pemberian antiparkinson sebagai terapi

profilaksis untuk mencegah efek samping yang mungkin terjadi, sementara beberapa

psikiater lain menyarankan agar antiparkinson baru diberikan pada saat efek samping

gangguan otot telah muncul, pada kelompok yang terakhir, mereka berpegang pada

prinsip dimana sebenarnya tidak ada satupun obat yang tidak mempunyai efek samping

sama sekali. Bagaimanapun, ketika seorang pasien harus menerima terapi antipsikotik

dosis tinggi, adalah penting untuk mencegah berkembangnya efek samping yang

menakutkan atau yang dapat membuat pasien tidak nyaman. Sebaliknya, pada saat

tercapai keadaan dimana gejala penyakit utama telah terkontrol dan dosis terapi

antipsikotik mulai diperkecil, dosis terapi antiparkinson yang diberikan dapat dikurangi

atau dihentikan.

29

Page 30: SKIZOFRENIA

4.1.1. 3. Sedatives and Anxiolytics

Obat-obat golongan ini memberikan efek terapeutik sesuai dengan namanya.

Misalnya, beberapa obat golongan benzodazepine digolongkan sebagai sedatif karena

obat-obat tersebut menyebabkan kantuk, sementara yang lainnya digolonkan sebagai

anxiolitik karena obat-obat tersebut mengurangi anxietas.

Tidak ada satupun obat dalam golongan ini yang digunakan untuk mengatasi

skizofrenia, kecuali jelas dinyatakan pada referensi yang ada, sangat dianjurkan untuk

mencegah penggunaan berlebih obat-obat golongan ini, guna mencegah terjadinya :

1. Obat kehilangan efek terapeutiknya

2. Pasien mengalami ketergantungan secara psikologis maupun fisiologis

terhadap obat tersebut.

Terdapat tiga kelompok obat sedative utama, yaitu :

1. Barbiturat – hati-hati terhadap efek toksisitas dan adiksi yang mungkiin timbul akibat

penggunaan obat golongan ini.

2. Benzodiazepin

3. Sedatif non-barbiturat.

Diantara ketiganya, golongan benzodiazepine paling banyak digunakan. Obat-

obat golongan benzodiazepine yang paling sering dipakai antara lain, flurazepam

(Dalmane), triazolam (Halcion), nitrazepam (Mogadon). Digunakan pada waktu

(menjelang) tidur, obat-obat ini dapat membantu mengatasi gangguan tidur.

Bagaimanapun, jika obat-obat ini digunakan dalam jangka waktu lama, antara 4-6

minggu, dapat menombulkan efek toleransi.

Pada golongan non-barbiturat, obat –obat yang sering diresepkan sebagai sedative

yaitu chloral hydrate (Noctec). Seperti juga benzodiazepine, obat ini dapat mennimbulkan

kebiasaan / sugesti pasien, sehingga sangat tidak dianjurkan untuk digunakan lebih dari

4-6 minggu.

Sebagian besar anxiolotik (yang juga dikenal secara kurang tepat sebagai minor

tranquilizers) juga termasuk golongan benzodiazepine. Terdapat juga anxiolotik

golongan non-benzodiapin, tetapi lebih jarang digunakan daripada golongan

benzodiazepine. Obat-obat golongan benzodiazepine yang sering dipakai antara lain,

30

Page 31: SKIZOFRENIA

lorazepam (Ativan), chlordiazepoxide (Librium), oxazepam (Serax), clorazepate

(Tranxene), diazepam (Valium), alprazolam (Xanax).

Dalam penatalaksanaan skizofrenia, anxiolitik digunakan untuk dua alasan, yaitu :

1. Mengurangi anxietas

2. Mengatasi efek samping antipsikotik yang mencakup gelisah, kaku otot, dan tremor.

Untuk alas an yang kedua ini, anxiolitik sering digunakan selama lebih dari 6 minggu.

Benzodiazepin tergolong obat yang aman, tetapi tetap harus dihindari

penggunaanya bersamaan dengan alkohol maupun dengan obat lain. Kombinasi dengan

obat – obat lain sangat tidak dianjurkan, kecuali jika atas permintaan dokter. Pada

keadaan tertentu, benzodiazepine dapat memperburuk anxietas. Pada kasus seperti ini,

penggunaan lebih lanjut harus dihindari. Obat-obat ini harus dihentikan secara bertahap

untuk membantu mencegah terjadinya gejala putus obat.

4.1.1. 4. Antidepressant

Antidepresant paling sering digunakan untuk mengatasi gangguan mood. Ketika

digunakan pada penatalaksanaan skizofrenia, obat-obat golongan ini berfungsi sebagai

terapi penyerta (bersamaan dengan antipsikotik sebagai obat utama) guna mengatasi

gangguan mood yang sering menjadi gejala penyerta pada pasien skizofrenia. Obat

golongan ini, dalam dosid kecil dapat juga digunakan sebagai sedatif maupun hipnotik.

Oleh karena itu, obat-obat golongan ini dapat digunakan sebagai terapi alternatif terhadap

benzodiazepin. Antidepresant terbagi ke dalam empat kelompok utama :

1. Trisiklik (amitriptyline (Elavil), imipramine (Tofranil), doxepin (Sinequan),

clomipramine (Anafranil)). Gejala depresi dan anxietas tertentu juga dapat berespon

terhadap obat obat trisiklik.

2. Inhibitor Monoaminoksidase (phenelzine (Nardil) dan tranylcypromine (Parnate)).

Obat – obat ini digunakan untuk mengatasi gangguan mood, tetapi jarang digunakan

dalam penatalaksanaan skizofrenia.

3. Tetrasiklik (maprotiline (Ludiomil)).

4. Lain-lain (trazodone (Desyrel) and fluoxetine (Prozac)).

Keempat kelompok utama golongan ini digunakan untuk gangguan depresif yang

disebabkan oleh perubahan biokimiawi. Obat-obat ini tidak menolong untuk pasien yang

31

Page 32: SKIZOFRENIA

mengalami depresi karena kondisi dasar yang tidak menyenangkan. Karena sebagian

besar pasien-pasien skizofrenia sering mengalami depresi karena kondisi yang memang

tidak menyenagkan (bukan karena perubahan biokimiawi), penggunaan antidepressant

sering tidak banyak menolong. Jika antidepressant dibutuhkan, obat-obat ini memerlukan

waktu sampai dengan 2 minggu, sebelum efek terapeutik obat tersebut tercapai. Obat-

obat ini dapat memperburuk efek samping antipsikotik dan antiparkinson (misal, mulut

kering dan pengelihatan kabur). Efek samping yang mempengaruhi fungsi lain dari tubuh

juga dapat terjadi.

4.1.2. Efek Samping yang Sering Terjadi dan Penaggulangannya

Mengantuk

Gangguan Otot

Efek Antikolinergik

Efek Terhadap Jantung dan Pembuluh Darah

Reaksi Terhadap Kulit

4.2. Psikoterapi

Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia, baru dapat diberikan

apabila apabila penderita dengan terapi psikofarmaka di atas sudah mencapai tahapan

dimana kemampuan menilai realitas (Reality Testing Ability / RTA) sudah pulih kembali

dan pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa

penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.

Psikoterapi ini banyak macam dan ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar

belakang penderita sebelum sakit (pramorbid). Psikoterapi yang sering diterapkan antara

lain :

a. Psikoterapi Suportif

Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan

motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya (fighting spirit)

dalam menghadapi hidup ini tidak kendur dan menurun.

32

Page 33: SKIZOFRENIA

b. Psikoterapi Re-edukatif

Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang

maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu dan juga dengan pendidikan

ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama dengan yang baru sehingga penderita

lebih adaptif terhadap dunia luar.

c. Psikoterapi Rekonstruktif

Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki kembali (rekonstruksi)

kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula

sebelum sakit.

d. Psikoterapi Kognitif

Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif

(daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai

moral etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan tidak, mana

yang halal dan haram, dan lain sebagainya.

e. Psikoterapi Psikodinamik

Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan proses

dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk

mencari jalan keluarnya. Dengan psikoterapi ini diharapkan penderita dapat memahami

kelebihan dan kelemahan dirinya dan mampu menggunakan mekanisme pertahanan diri

(defense mechanism) dengan baik.

f. Psikoterapi Perilaku

Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang

terganggu (maladaptif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).

Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan agar penderita mampu berfungsi

kembali secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di sekolah/kampus,

di tempat kerja dan lingkungan sosialnya.

g. Psikoterapi Keluarga

Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan hubungan penderita dengan

keluarganya. Dengan psikoterapi ini diharapkan keluarga dapat memahami mengenai

gangguan jiwa skizofrenia dan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan

penderita.

33

Page 34: SKIZOFRENIA

Secara umum tujuan dari psikoterapi tersebut di atas adalah untuk memperkuat

struktur kepribadian, mematangkan kepribadian (maturing personality), memperkuat ego

(ego strength), meningkatkan citra diri (self esteem), memulihkan kepercayaan diri (self

confidence), yang kesemuanya itu untuk mencapai kehidupan yang berarti dan

bermanfaat (meaningfulness of life).

4.3. Terapi Psikososial

Salah satu dampak dari skizofrenia adalah terganggunya fungsi sosial penderita

atau hendaya (impairment). Hendaya ini terjadi dalam berbagai bidang fungsi rutin

kehidupan sehari-hari, seperti dalam bidang studi (sekolah/kuliah), pekerjaan, hubungan

sosial dan perawatan diri. Sering pula diperlukan pengawasan agar kebutuhan gizi dan

higiene terjamin, dan untuk melindungi penderita dari akibat buruk yang disebabkan oleh

hendaya daya nila dan hendaya kognitif, atau akibat tindakannya yang berdasarkan

waham (delusi) atau sebagai respons atau tindak lanjut terhadap halusinasinya.

Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali

beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu

mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan

masyarakat. Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap

mengkonsumsi obat psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi.

Kepada penderita diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan

dan kesibukan dan banyak bergaul.

4.4. Terapi Psikoreligius

Dari penelitian yang telah dilakukan, secara umum memang menunjukkan bahwa

komitmen agama berhubungan dengan manfaatnya dibidang klinik (religious

commitment is associated with clinical benefit). Larson, dkk (1982) dalam penelitiannya

membandingkan keberhasilan terapi terhadap dua kelompok penderita skizofrenia.

Kelompok pertama mendapat terapi yang konvensional (psikofarmaka) dan lain-lainya

tetapi tidak mendapat terapi keagamaan. Terapi kedua mendapat terapi konvensional

(psikofarmaka) dan lain-lainnya serta mendapat terapi keagamaan. Kedua kelompok

34

Page 35: SKIZOFRENIA

tersebut dirawat dirumah sakit jiwa yang sama. Hasil perbandingannya ternyata cukup

bermakna yaitu :

a. Gejala-gejala klinis skizofrenia lebih cepat hilang pada kelompok kedua

dibandingkan kelompok pertama.

b. Pada kelompok kedua lamanya perawatan (long stay hospitalization) lebih pendek

daripada kelompok pertama.

c. Pada kelompok kedua hendaya lebih cepat teratasi daripada kelompok pertama.

d. Pada kelompok kedua kemampuan adaptasi lebih cepat daripada kelompok

pertama.

Terapi keagamaan yang dimaksudkan dalam penelitian di atas adalah berupa

kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada

Tuhan, ceramah keagamaan, dan kajian kitab suci, dan lain sebagainya.

Penafsiran yang salah terhadap agama dapat mencetuskan terjadinya gangguan

jiwa skizofrenia, yang dapat diamati dengan adanya gejala-gejala waham (delusi)

keagamaan atau jalan pikiran yang patologis dengan pola sentral keagamaan. Dengan

terapi psikoreligius ini gejala patologis dengan pola sentral keagamaan tadi dapat

diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat dipulihkan

kembali ke jalan yang benar.

35

Page 36: SKIZOFRENIA

DAFTAR PUSTAKA

1. Hawari, H. Dadang,dr. Pendekatan holistic pada gangguan jiwa SKIZOFRENIA.

Edisi 2. Cetakan I. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001.

2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of

Psychiatry. 8th ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia 2000. p.471-503.

3. http://www.mja.com.au/public/issues/178_09_050503/lam10582_fm.html

4. Maslim, Rusdi, dr, SpKJ. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik

(Psychotropic Medication). Edisi ketiga. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika

Atma Jaya. Jakarta 2001. hal 14-15.

5. Thornton, John F, M.B., F.R.C.P.(C). Et all. Schizophrenia : The Medications.

http://www.mentalhealth.com/book/p42-sc3. html-- .Clarke Institute of Psychiatry.

Department of Psychiatry. University of Toronto.

36