siwi 2017.docx · web viewperilaku perempuan penggemar k-pop dapat dikategorikan sebagai bentuk...

26
IDENTITAS PEREMPUAN DALAM BUDAYA POPULER (Studi Kasus Representasi Identitas Perempuan dalam Perilaku Penggemar K-Pop di Festival Musik Populer Korea Selatan di Surakarta) Siwi Nur Wakhidah Firdastin Ruthnia Yudiningrum Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Abstract K-Pop has become one of popular culture which infatuated by young people in Indonesia, especially female. The domination of female’s act in K-Pop seen from their activity and also their behavior. The fondness of K- Pop by young female annotate long list about their collective identity, so it makes their personal identity as female become vague. This study esteemed female as a consumer of popular culture, who mold a specific behavior as their identity representation, while they are in K-Pop Festival. The aim of this study is to find out identity’s representation in feminism perspective and popular culture aspect inside female who devotee of K- Pop. This study used observation, in-depth interview, and literature as a data collective’s methods. Also, this research used interactive analysis to analyze the data, and source triangulation technique to checked validation of the data. And, the result said, female identity of K-Pop’s devotee when they are in a K-Pop festival is divided become personal identity as female, and collective identity as fans. Which is in one’s sober senses, they will perform their collective identity, however in unrealized senses, they influenced by their personal identity. So, their female identity representation showed became remix hybrid, that’s performed as expressive behavior because of dance cover groups and how they performed themselves in fashion. 1

Upload: ngodang

Post on 12-May-2018

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

IDENTITAS PEREMPUAN DALAM BUDAYA POPULER

(Studi Kasus Representasi Identitas Perempuan dalam Perilaku Penggemar K-Pop di Festival Musik Populer Korea Selatan di Surakarta)

Siwi Nur Wakhidah

Firdastin Ruthnia Yudiningrum

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Sebelas Maret

Abstract

K-Pop has become one of popular culture which infatuated by young people in Indonesia, especially female. The domination of female’s act in K-Pop seen from their activity and also their behavior. The fondness of K-Pop by young female annotate long list about their collective identity, so it makes their personal identity as female become vague. This study esteemed female as a consumer of popular culture, who mold a specific behavior as their identity representation, while they are in K-Pop Festival. The aim of this study is to find out identity’s representation in feminism perspective and popular culture aspect inside female who devotee of K-Pop. This study used observation, in-depth interview, and literature as a data collective’s methods. Also, this research used interactive analysis to analyze the data, and source triangulation technique to checked validation of the data. And, the result said, female identity of K-Pop’s devotee when they are in a K-Pop festival is divided become personal identity as female, and collective identity as fans. Which is in one’s sober senses, they will perform their collective identity, however in unrealized senses, they influenced by their personal identity. So, their female identity representation showed became remix hybrid, that’s performed as expressive behavior because of dance cover groups and how they performed themselves in fashion.

Keywords: identity, feminism, young people, popular culture, K-Pop

1

Page 2: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

Pendahuluan

Korean Wave, atau yang biasa disebut dengan Hallyu, di abad 21 memang

menjadi sorotan. Kehadirannya yang tiba-tiba, berhasil menerpa anak muda di

berbagai belahan dunia, dengan bermodalkan wajah oriental dan melankolis.

Presiden Kim Daejung (1998-2003), yang memulai pergerakan budaya populer,

mereka beranggapan bahwa menciptakan budaya populer tidak perlu infrastruktur

besar-besaran, yang diperlukan ialah waktu dan bakat. Korea Selatan

menggunakan budaya populer sebagai cara untuk menciptakan sumber

keuntungan baru, mempersatukan orang, dan menghasilkan produk yang bisa

diekspor untuk membantu menyebarkan budaya Korea secara global (Hong, 2014:

100).

Salah satu produk budaya populer yang menjadi andalan Korea Selatan ialah

musik pop-nya, atau biasa disebut K-Pop. Kemunculan K-Pop dengan ‘image’

idola diawali oleh oleh Seo Taiji and Boys yang muncul membawa warna baru

dengan ‘image’ seorang idola tahun 1992. Tak lama, Lee Sooman hadir dengan

SM Entertaiment pada tahun 1993, dan melahirkan grup idola H.O.T (High Five

of Teenager), disusul YG Entertainment dengan Sechkies tahun 1996.

Semakin dikenal, semakin banyak pula yang mengetahui dan menggemari.

Para grup idola ini memiliki penggemar yang tergabung dalam fanclub, tidak

hanya di regional tapi juga internasional. Kementerian Kebudayaan, Pariwisata

dan Olahraga Korea Selatan memperkirakan ada 3,3 juta fans luar Korea Selatan

yang bergabung dalam 182 fanclub di 20 negara yang berbeda (Jeong, 2011).

Banyaknya penggemar K-Pop yang berada di luar Korea Selatan, mengakibatkan

pergerakan penggemar yang membentuk subkultur baru. Mereka akan berkumpul

dan mengobrolkan idola mereka. Selain itu, mereka juga mengadakan kegiatan-

kegiatan kelompok, seperti merayakan ulangtahun sang idola, dan mengadakan

project ulangtahun, dan mengadakan acara dengan meniru gaya dari idola.

Menariknya, acara semacam ini didominasi oleh para penggemar yang berjenis

kelamin perempuan.

2

Page 3: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

Contoh nyata fenomena terjadi di berbagai negara, seperti halnya di Thailand.

Penggemar di sana berkumpul dan menirukan tarian dari idola mereka atau biasa

disebut dance cover, yang biasa mereka tampilkan di acara-acara bertajuk Korean

Festival atau K-Pop Festival. Penggemar dari bintang idola, Michael Jackson atau

Beyonce Knowles tidak didominasi oleh satu jenis kelamin, mereka tidak

menyelenggarakan rangkaian pesta atau lomba meniru nyanyian dan tarian idola

mereka dalam sebuah acara kumpu-kumpul, yang diselenggarakan secara teratur,

atau mengunggah rekaman video kegiatan itu di internet (Heryanto, 2015: 247).

Dari penjelasan Heryanto tersebut, kita dapat melihat keunikan tersendiri dari K-

Pop dan para penggemarnya. Di mana keunikan tersebut dapat menjadi fenomena

sosial dan juga ciri khas dari budaya populer asal negeri gingseng tersebut. Tidak

hanya di Thailand saja, Filipina, Peru dan Brazil hanya salah satu dari banyaknya

negara yang mengalami fenomena hallyu dan perilaku kaum muda perempuan

yang fanatik.

Di Indonesia, musik Korea Selatan juga turut ambil dalam perkembangan

budaya populer asing. Semakin banyak jumlah penggemar K-Pop, semakin

bertambah pula jumlah komunitasnya, membuat semakin maraknya acara-acara

yang bertajuk K-Pop dan budaya populer Korea. Hal tersebut tidak dapat

dilepaskan dari perilaku dari para penggemar K-Pop yang didominasi oleh

perempuan. Dalam penelitian ini, peneliti memandang perempuan sebagai

konsumen aktif budaya populer, yakni K-Pop. Mereka berperan aktif dalam

menciptakan subkultur baru dan juga gaya baru bagi mereka dan lingkungan

mereka. Penelitian ini menjabarkan bagaimana perilaku perempuan penggemar K-

Pop ketika berada di subkultur yang mereka ciptakan sendiri, yakni festival K-

Pop. Dan, bagaimana mereka merepresentasikan identitas perempuan mereka

melalui perilaku mereka ketika berada di festival K-Pop tersebut.

Rumusan Masalah

Penelitian ini merumuskan fenomena budaya populer K-Pop sebagai berikut:

3

Page 4: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

1. Bagaimana perilaku perempuan penggemar K-Pop tersebut ketika berada

dalam acara festival musik populer Korea Selatan di Surakarta?

2. Bagaimana perempuan penggemar K-Pop merepresentasikan identitas

mereka sebagai perempuan dalam sebuah festival musik populer Korea

Selatan di Solo?

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk:

1. Mengkaji perilaku apa saja yang dilakukan penggemar K-Pop ketika

berada di festival K-Pop.

2. Mengkaji bagaimana perempuan penggemar K-Pop merepresentasikan

identitas diri mereka sebagai perempuan ketika berada di festival musik

populer Korea Selatan.

Tinjauan Pustaka

Penelitian ini menyoroti perilaku dari perempuan penggemar K-Pop

sebagai pelaku komunikasi yang merepresentasikan identitas mereka di dalam

ruang lingkup subkultur baru yang mereka ciptakan, yakni festival musik populer

Korea Selatan. Untuk mengkaji penelitian ini, peneliti menggunakan teori

komunikasi tentang identitas dari Michael Hecht, dan didukung dengan teori

perilaku terencana, dan berbagai kajian mengenai gender dan budaya populer.

1. Komunikasi

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, pada tradisi pelaku komunikasi

sosiokultural, yang menjadi dasarnya ialah konsistensi perilaku seorang individu

terhadap situasi, dan salah satu tujuan psikologinya adalah mengidentifikasi serta

mengukur kepribadian dan sifat perilaku individu (Foss dan Littlejohn, 2014).

Thomas M. Scheidel (dalam Fajar, 2009), mengungkapkan bahwa manusia

berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri untuk

membangun kontak sosial dengan orang di sekitar dan mempengaruhi orang lain.

Penelitian ini berada dalam ranah efek media, yang memandang bahwa perilaku

4

Page 5: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

merupakan efek dari konsumsi media yang dilakukan oleh perempuan penggemar

K-Pop. Dijelaskan oleh Burton (1999: 183), bahwa efek-efek media pasti bersifat

perilaku atau sikap, yaitu mempengaruhi apa yang kita lakukan dan yang kita

pikirkan. Kesamaan persepsi antara pelaku komunikasi terhadap pesan yang

disampaikan menjadi tujuan utama dari komunikasi. Sama halnya dengan

penelitian ini, yang menempatkan perempuan penggemar K-Pop sebagai

komunikan atau audiens yang diterpa pesan, dan mereka melakukan umpan balik

(efek) berupa perilaku yang mereka lakukan ketika berada di festival musik

populer. Jadi, audiens (dan efek-efek) dikaitkan dengan bagaimana para

penggemar berbicara tentang apa yang mereka baca dalam majalah ‘mereka’

(Burton, 1999).

2. Teori Komunikasi tentang Identitas

Teori ini berada dalam kajian tradisi sosiokultural, yang menunjukkan

bagaimana pelaku komunikasi memahami diri mereka sebagai makhluk-makhluk

kesatuan dengan perbedaan-perbedaan individu… (Littlejohn dan Foss, 2012:

120). Teori ini disejajarkan dengan teori interaksi simbolik milik Weber dan

Mead. Pencetus teori ini ialah Michael Hecht (dalam Littlejohn dan Foss, 2012),

yang mengatakan bahwa identitas merupakan penghubung utama antara individu

dan masyarakat serta komunikasi merupakan mata rantai yang memperbolehkan

hubungan ini terjadi. Komunikasi yang dilakukan bisa berupa apa saja, mulai dari

pertukaran simbol hingga ke interaksi antar individu, hingga membentuk perilaku

yang khas.

Hecht memperkenalkan dimensi-dimensi identitas khusus yang terdiri dari

dimensi afektif (perasaan), dimensi kognitif (pemikiran), dimensi perilaku

(tindakan), dan spiritual (transenden). Di mana dengan keempat dimensi tersebut,

identitas khusus terbentuk dan menjadi pondasi dasar motivasi yang bersifat

abadi. Bukan berarti identitas tidak berubah, Hecht menegaskan, identitas tidak

bisa berubah namun bisa berkembang. Hecht menambahkan, ada dua dimensi lain

yang membentuk identitas diri, yakni subjective dimension, yang berasal dari diri

sendiri dan ascribed dimension, yang berasal dari apa yang orang lain katakan.

5

Page 6: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

Dua dimensi tersebut berinteraksi membentuk identitas dalam empat tingkatan

(Hecht dalam Littlejohn dan Foss, 2012: 131), yaitu:

a. Personal

Tingkatan ini terdiri dari rasa yang berasal dari keberadaan diri sendiri

dalam situasi sosial, yang berisi dari perasaan, ide tentang diri sendiri, siapa

dan seperti apa diri sebenarnya.

b. Enactment

Pada tingkatan ini, apa yang diperbuat oleh individu menjadi penting.

Pengetahuan orang lain mengenai diri individu menjadi fokus utama

tingkatan ini. Simbol-simbol yang dihasilkan oleh seorang individu menjadi

salah satu cara orang lain menilai diri seorang individu, begitupun dengan

penampilannya.

c. Relation

Yang terpenting dalam tingkatan ini ialah interaksi. Bagaimana seorang

individu memaknai diri mereka kaitannya dengan orang lain yang di sekitar

mereka. Dan, setiap individu dengan orang lain tersebut, mereka memiliki

peran masing-masing.

d. Communal

Tingkatan ini menjadi tingkatan yang paling besar, yakni berdasarkan pada

kelompok maupun budaya yang lebih besar dibandingkan dengan tingkatan

sebelumnya. Ketika seorang individu sedang berada di sebuah kelompok

atau budaya besar

Dengan kajian teori ini, peneliti mengharapkan mampu memberikan

pencerahan terhadap fenomena perempuan dan K-Pop yang sedang berada di

puncak kejayaannya di Indonesia. Sehingga, para penggemar K-Pop yang

mayoritas adalah perempuan, mampu menempatkan diri mereka dengan benar di

tengah kepungan budaya populer, tanpa harus menanggalkan identitas

keperempuanan mereka.

6

Page 7: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

3. Teori Perilaku Terencana

Setiap individu adalah makhluk sosial yang tidak bisa dipisahkan dengan

sesamanya. Mereka berinteraksi dan menghasilkan lingkungan, serta kondisi-

kondisi tertentu. Dalam prosesnya menjadi makhluk sosial, setiap individu

berperilaku dan membentuk diri mereka melalui perilaku yang mereka tunjukkan.

Dalam Psikologi, perilaku manusia adalah reaksi yang dapat bersifat sederhana

maupun bersifat kompleks. Kurt Lewin (1951; dalam Brigham, 1991)

merumuskan suatu model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku

adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan. Seperti yang sudah

disampaikan di atas, interaksi memiliki peran dalam penentuan perilaku seorang

individu. Selain itu, faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam

menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada

karakteristik individu itu sendiri (Azwar, 1995).

4. Perempuan dalam Budaya Populer

Sudah banyak kajian mengenai perempuan dalam media, bagaimana

konstruksi perempuan dalam sebuah iklan dan sebagainya. Dalam penelitian ini

peneliti memandang perempuan sebagai konsumen media K-Pop, juga bertindak

sebagai seorang penggemar K-Pop di festival musik populer Korea Selatan, yang

merupakan bentuk tanggapan dari budaya populer yang menerpa mereka. Sparke

(1995) dalam Hollows (2010), mengatakan perempuan diberi tanggung jawab

untuk konsumsi, maka kemampuan mengonsumsi yang mereka kembangkan tidak

hanya dipandang sebagai kemampuan khusus tetapi sebagai hal yang penting

dalam pembentukan selera feminism.

Budaya populer menjadi salah satu wadah untuk perempuan berekspresi dan

berinteraksi. Budaya populer dianggap sebagai wilayah perjuangan, tempat

terjadinya konflik antara kelompok dominan dan kelompok tidak dominan, yang

akan terus dikonstruksi dan direkonstruksi (Hall, 1981; Bennett 1986b, Hollows

dan Jancovich, 1995; dalam Hollows, 2010). Perempuan dan budaya populer

menjadi sebuah kesatuan yang mampu menciptakan subkultur baru. Begitupun

7

Page 8: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

perempuan penggemar K-Pop, mereka tergelincir ke dalam subkultur yang

membuat mereka bebas untuk berkhayal. Seolah mereka berada dekat dengan

yang mereka idolakan, walau sebenarnya yang mereka lakukan hanyalah

berkumpul dan menikmati subkultur yang mereka buat sendiri sebagai bentuk

memenangkan ‘ruang’ untuk mereka.

5. Fandom

Dalam penelitian ini, istilah penggemar K-Pop terus diulang, bahkan dijadikan

objek dalam penelitian. Hal tersebut membuat penelitian ini tidak dapat dijauhkan

dari istilah fandom, yang berasal dari kata fan (penggemar) dan akhiran –dom.

Fandom adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada subkultur, pelbagai

hal, dan pelbagai kegiatan yang berkenaan dengan penggemar dan kegemarannya

(Hollows, 2010). Fandom, sebagaimana yang disebutkan oleh Grossberg (1992;

dalam Lee, 2012), merupakan jembatan antara selebriti dengan audiens dalam

budaya populer. Dan, saat ini, fandom telah mejadi sebuah fenomena global yang

menggambarkan mengenai budaya populer (Gray et. al., 2007; dalam Lee, 2012).

Para penggemar ini sering kali digambarkan sebagai yang tidak

berpendidikan, emosional, dan terkutuk karena berhubungan dengan bentuk

budaya ‘tingkat rendah’ (Hollows, 2010). Senada dengan apa yang digemari

musik pop –biasanya- bercerita tentang roman, tentang kisah percintaan

perempuan, dan hubungan asmara yang emosional. Maka, tak bisa dipungkiri para

penggemar musik pop, baik K-Pop maupun bukan cenderung lebih emosional

dibandingkan dengan penggemar musik selain pop.

Metodologi

Metodologi menjadi bagian penting dalam suatu penelitian, yang

dipengaruhi oleh perspektif teoritis yang digunakan untuk melakukan penelitian.

Untuk mengukur ketepatan metodologi yang digunakan dalam sebuah penelitian,

dapat dilakukan dengan menilai kemanfaatan dan benar atau tidaknya metode-

metode yang digunakan. Seperti yang disampaikan oleh Bogdan dan Taylor (1975

8

Page 9: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

dalam Mulyana, 2001: 145), metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang

kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus.

Metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berupa logika matematis,

angka, maupun statistik. Metode ini bertujuan untuk mempertahankan bentuk dan

isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya (Mulyana, 2001: 150).

Begitupun dengan perilaku penggemar K-Pop yang ada di festival musik populer

Korea Selatan di Surakarta dalam merepresentasikan identitas mereka.

Perilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk

kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal

ini dapat dimaknai sebagai sebuah konsep, aktivitas, waktu, benda (hasil karya

seseorang), kebijakan, kelas sosial, organisasi, Negara, wilayah, kasus, atau

fenomena lain yang spesifik (Martono, 2015). Sehingga, penelitian ini menjadi

sebuah penelitian studi kasus yang berkaitan dengan kajian gender dan budaya

populer. Dalam penelitian ini, tidak hanya menyoroti perempuan secara umum

saja, melainkan perempuan dengan usia muda, seperti yang disampaikan Heryanto

(2015; 242), kaum muda perempuan menjadi sorotan dan berperan dalam

perkembangan musik populer Korea Selatan di Indonesia. Selain itu, dalam

penelitian ini, difokuskan pada perilaku perempuan penggemar K-Pop ketika

berada pada lingkungan subkultur yang mereka ciptakan sendiri, yakni festival K-

Pop. Di mana dalam representasi identitas ini mereka mengalami hibriditas remix,

yang mana identitas yang mereka tidak hanya satu, melainkan identitas personal

sebagai perempuan dan identitas kolektif sebagai penggemar K-Pop.

Sajian dan Analisis Data

K-Pop dimulai dari tahun 1992 ditandai dengan munculnya Seo Taiji and

Boys, menjadi cikal bakal lahirnya gelombang musik Korea berbasis idol atau

idola (Howard, 2014). Dari para idola cetakan itulah, muncul para konsumennya,

yakni para penggemar yang konsumtif. Seiring dengan globalisasi informasi dan

produk budaya populer Korea, muncullah istilah K-Pop (Korean Populer) untuk

9

Page 10: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

menyebut musik populer Korea, dan istilah K-Popers untuk penggemar K-Pop

yang berada di luar Korea Selatan.

Anak muda dan musik populer seakan sudah menjadi satu padu yang tidak

dapat dipisahkan, dan menjadi elemen penting dalam budaya anak muda. Para

anak muda ini dengan aktif akan menciptakan subkultur baru, yang mereka

gunakan untuk berekspresi. Budaya populer semacam ini dipandang sebagai

budaya yang rendahan, atau bisa disebut sebagai budaya massa. Budaya yang

dianggap tidak elit oleh para penikmat budaya tinggi (Strinati, 1995). Tak ayal,

banyak masyarakat memandang K-Popers sebagai seorang individu yang kurang

elit dibandingkan dengan penggemar musik jazz, -misalnya. Pandangan

masyarakat ini tidak tanpa alasan, kebanyakan K-Popers ini terlalu menonjol

dalam mengekspresikan kegemarannya di depan publik.

Berdasarkan Teori Komunikasi tentang Identitas (Hecht dalam Littlejohn

dan Foss, 2012: 131), ada empat tingkatan dalam identitas individu. Yakni,

Personal, Enactment, Relation, dan Communal, di mana keempatnya memiliki

keterkaitan satu sama lain. Terlebih dalam penelitian ini menggunakan kajian

gender, communal identities merupakan bagian dari personal, enactment, dan

relation, “…one cannot examine a person’s gender identity (personal identity)

without considering how society defines gender roles (communal identities)…”

(Hecht dan Jung, 2004: 267). Dengan menggunakan teori tersebut, peneliti

melakukan analisis dengan mereduksi data menjadi empat bagian:

1. Pembentukan Identitas Diri (Personal Layer)

Perilaku yang dilakukan oleh para perempuan penggemar K-Pop ini sebagian

besarnya adalah perilaku konsumsi. Konsumsi musik K-Pop, konsumsi informasi

dan pesan dari para idola K-Pop, dan konsumsi barang-barang K-Pop. di mana

perilaku konsumsi ini mereka mulai sejak mengenal dan menyukai K-Pop. Pada

poin inilah identitas kolektif mereka sebagai penggemar K-Pop terbentuk.

Konsumsi musik K-Pop dan informasi, mereka dapatkan melalui jaringan internet

di berbagai situs-situs tertentu yang mereka kinjungi hampir setiap hari.

10

Page 11: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

Sedangkan untuk konsumsi barang K-Pop, dibagi menjadi beberapa barang. Di

mana konsumsi barang ini mempengaruhi gaya hidup para perempuan penggemar

K-Pop ini. Dalam tahap ini, identitas mereka sebagai seorang penggemar

terbentuk, walaupun identitas yang dihasilkan dari konsumsi barang merupakan

identitas yang ‘tidak otentik’ atau ‘tidak nyata’, dan dipandang sebagai bentuk

‘kesadaran yang salah’ (Hollows, 2010: 149). Walaupun, identitas diri mereka

sebagai perempuan tidak sepenuhnya hilang, tapi berubah wujud menjadi paduan

antara perempuan dan ‘Korea’, menjadi identitas yang ‘tidak nyata’. ‘Korea’ yang

dimaksud ialah produk Korea yang dibawa oleh Korean pop, seperti telepon

genggam, barang elektronik, fashion dan kosmetik (Siriyuvasak dan Shin, 2007).

2. Penampilan Identitas (Enactment Layer)

Tahapan di atas, termasuk dalam pembentukan identitas, yakni pada tingkatan

personal, yang mana para perempuan ini mulai mengabaikan identitas perempuan

mereka. Pada tingkatan selanjutnya, yakni enactment, identitas perempuan sedikit

banyak mempengaruhi mereka dalam menampilkan diri di hadapan orang lain.

Terkait dengan perilaku konsumsi yang telah dilakukan oleh para perempuan ini,

secara otomatis mempengaruhi gaya hidup mereka. Seperti yang dikatakan Jeff

Yang (dalam Hong, 2016), “saat orang membeli K-Pop, mereka membeli gaya

hidup. K-Pop adalah budaya populer sebagai gaya hidup.”

Salah satu gaya hidup yang diaplikasikan oleh para penggemar K-Pop ialah

fashion. Salah satu bentuk dari pengungkapan identitas ialah fashion yang spesifik

atau khas (Sweeney, 2014). Fashion menjadi salah satu gaya hidup yang

didapatkan oleh penggemar K-Pop yang telah lama mengonsumsi budaya populer

tersebut. Praktik fesyen dan kecantikan adalah ‘bagian dari proses yang

menciptakan dan mereproduksi perilaku dan citra tentang laki-laki dan

perempuan’ (Rouse dalam Barnard, 1996). Praktik ini tidak hanya menciptakan

identitas yang digenderkan, tapi juga identitas yang dikelaskan, ‘rasial’, identitas

umur, dan etnik (Hollows, 2010). Dengan fesyen, perempuan K-Popers ini dengan

bebas menampilkan identitas mereka, baik sebagai penggemar dan sebagai

perempuan. Mereka bebas memilih praktik fesyen yang sesuai dengan kebutuhan

11

Page 12: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

dan keinginan mereka, pada tingkatan ini, identitas perempuan sangat

mempengaruhi. Begitu pula dengan identitas penggemar K-Pop yang masih kuat.

Secara sadar para remaja putri ini berupaya melakukan proses identifikasi dirinya

dengan idolanya… secara tidak sadar beberapa aspek citra yang ditampilkan para

idolanya mereka aplikasikan dalam pilihan-pilihan hidupnya (Retno Wulan,

2014).

Seperti yang disampaikan oleh Thomas Carlyle, fashion atau pakaian menjadi

“perlambangan jiwa” (emblems of the soul), yang mampu menunjukkan siapa

pemakainya dan sangat erat dengan diri kita. Dalam kasus ini, fashion dijadikan

alat untuk menunjukkan diri mereka, digunakan untuk membantu menentukan

bagaimana dia dikenali dan diterima (Wilson 1985; Ewen, 1988), sehingga para

perempuan K-Popers ini dapat menciptakan identitas individual mereka, baik

sebagai perempuan dan penggemar. Walaupun, perempuan adalah korban fesyen

yang pasif dari kapitalisme konsumen (Hollows, 2010).

3. Hubungan dengan Sesama Penggemar (Relation Layer)

Baxter (2004; dalam Hecht dan Jung, 2004), mengatakan bahwa dalam

relation identity ada empat level, yang pertama, bagaimana seorang individu

mengembangkan dan membentuk identitas mereka berdasarkan pada bagaimana

orang lain memandang mereka. Kedua, bagaimana mereka mengidentifikasi diri

mereka berdasarkan pada hubungan yang mereka miliki dengan orang lain.

Ketiga, keluarnya identitas dalam hubungan terhadap identitas lain, mengingat

seorang individu memiliki banyak identitas. Yang keempat, yaitu hubungan itu

sendiri. para perempuan penggemar K-Pop ini biasa menjalin hubungan dengan

sesama penggemar K-Pop melalui media sosial dan komunitas. Serta, perilaku

unik yang timbul ketika para perempuan ini berkumpul, maka mereka akan

bersifat ekspresif.

Ketika menjalin hubungan dan berinteraksi dengan orang lain, yang menonjol dari

perempuan penggemar K-Pop adalah sikap ekspresif mereka. Hal ini jelas terjadi

ketika mereka berada di tingkat communal yakni festival K-Pop. Keseluruhan

12

Page 13: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

perilaku yang mereka dapatkan dari hasil konsumsi budaya populer Korea Selatan

mereka bawa dan aplikasikan ke dalam identitas mereka sebagai penggemar di

festival K-Pop, sehingga identitas mereka sebagai perempuan tersamarkan.

4. Perilaku dan Representasi Identitas di Festival K-Pop

Pada tingkat komunal, identitas kolektiflah yang akan mendefinisikan

identitas mereka dan merupakan karakteristik dari sebuah grup tertentu (Hecht

dan Jung, 2004). Dengan adanya tingkat komunal dalam proses pembentukkan

identitas, maka peran gender dalam sebuah kerumunan sosial akan dapat terlihat.

Setelah memahami bagaimana seorang perempuan K-Popers membentuk identitas

personal mereka, hingga bagaimana mereka memilih identitas dan

menampilkannya, bagaimana mereka merepresentasikannya akan dijelaskan pada

bab ini. Perempuan K-Popers ini memerlukan ‘ruang’ bagi mereka untuk

menampilkan identitas mereka, tidak hanya sebagai perempuan tapi juga sebagai

penggemar dari grup idola K-Pop.

Melalui festival K-Poplah mereka merasa memiliki ‘ruang’ untuk melepaskan

kendali mereka, seperti halnya fandom Beatles, mereka memberikan kesempatan

kepada remaja putri untuk ‘mengabaikan kendali –berteriak-teriak, pingsan,

berlarian di tengah keramaian’ dan dalam prosesnya, ‘memprotes penindasan

seksual, standar ganda yang kaku dalam budaya remaja perempuan’ (Hollows,

2010: 232). Umumnya, acara festival K-Pop ini diisi oleh beberapa penampil yang

terdiri dari grup dance cover bintang K-Pop, dan perlombaan dance cover, dan

acara semacam ini diselenggarakan hampir setiap tahun per acara.

Pada tingkat communal identity, para perempuan K-Popers ini mencoba

menunjukkan identitas kolektif mereka sebagai penggemar K-Pop dan juga

sebagai seorang penonton pertunjukkan di festival K-Pop. Disebutkan oleh Hecht,

bahwa communal identities merupakan bagian dari personal, enactment dan

relation identities. Dalam budaya populer, perempuan digambarkan sebagai

penggemar musik pop ‘yang histeris’ (Hollows, 2010), dan melalui festival K-Pop

ini mereka diberikan kesempatan untuk mengekspresikan identitas yang kolektif

13

Page 14: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

(Frith dan McRobbie, 1990; dalam Hollows, 2010: 233). Dengan hadirnya

perempuan K-Popers ke acara festival K-Pop, imajinasi personal berubah menjadi

imajinasi kolektif dari remaja perempuan dan laki-laki yang bertemu melalui

internet dan dalam pertemuan kelompok yang besar atau kecil, seperti festival K-

Pop (Siriyuvasak dan Shin, 2007).

Mereka menampilkan diri mereka dengan berbagai penampilan, di mana dari

sudut pandang perempuan penggemar K-Pop, modis itu seperti idola mereka. gaya

berpakaian yang demikian, mereka dapatkan dari pengaruh kesukaan mereka

terhadap K-Pop, dan intensitas mereka dalam mengonsumsi produk budaya

Korea. Perempuan dididik mengenai kompetensi konsumen yang mengungkapkan

bahwa feminitas harus ‘disusun’, tidak sekadar alamiah saja (Hollows, 2010).

Perempuan penggemar K-Pop ini masih membawa identitas perempuan ketika

berada di festival K-Pop dengan merepresentasikannya ke dalam wujud

berpakaian dan riasan yang mereka kenakan. Representasi identitas perempuan

mereka wujudkan dengan penampilan mereka yang mencoba mengikuti tren

fesyen Korea, itu berarti bahwa dalam merepresentasikan identitas perempuan

mereka tetap dipengaruhi oleh identitas kolektif sebagia penggemar. Begitu pula

dengan perilaku mereka yang histeris, ‘bahkan lebih memberontak kalau

mengutarakan tentang sisi daya tarik seksual yang aktif dan berhasrat… (Hollows,

2010: 232).

Simpulan

Perilaku perempuan penggemar K-Pop ketika berada di festival K-Pop

merupakan salah satu wujud pemberontakan kaum perempuan dalam menemukan

kebebasan. Pemberontakan tersebut mempengaruhi bagaimana identitas mereka

terbentuk, terlebih identitas sebagai perempuan. Hingga akhirnya ke tingkat

terakhir yakni communal, di mana perempuan K-Popers ini melakukan hibriditas

remix, dengan mencampurkan identitas diri sebagai perempuan dengan identitas

kolektif sebagai penggemar. Kemudian, hasil hibriditas remix tersebut

14

Page 15: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

direpresentasikan menjadi identitas mereka sebagai penggemar di festival K-Pop,

namun tanpa disadari mereka juga membawa identitas perempuan mereka.

1. Perempuan penggemar K-Pop berperilaku ekspresif ketika berada di festival

K-Pop merupakan salah satu efek dari konsumsi K-Pop yang mereka telah

mereka lakukan. Perilaku ekpresif muncul karena adanya kelompok dance

cover, para perempuan ini akan melakukan dokumentasi dari penampilan

kelompok dance cover tersebut. Selain itu, mereka juga melakukan project

dukungan kepada kelompok tersebut. Dukungan itu berupa, teriak, fanchant

dan mengangkat banner yang bertuliskan nama kelompok tersebut.

2. Representasi identitas perempuan yang mereka lakukan berupa perilaku

konsumsi dan ekspresif, serta cara berpakaian ketika berada di festival K-Pop.

Para perempuan ini memiliki cara mereka sendiri dalam menampilkan ‘diri

mereka’, melalui pakaian mereka mencoba menampilkan keperempuanan

mereka yang telah tercampur dengan gaya hidup ala Korea. Mereka akan

berpakaian dengan atribut fandom mereka, atau mereka akan memilih

berdandan seperti laiknya idola K-Pop.

Saran

Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana peran perempuan

dalam budaya populer, dimana peran tersebut dapat dilihat dari representasi

identitas yang mereka tampilkan ketika berada di festival musik populer Korea.

Berikut saran yang dapat diberikan oleh peneliti berdasarkan penelitian ini:

1. Penggemar K-Pop

Para penggemar K-Pop yang semakin hari bertambah, tidak lagi para

remaja perempuan, melainkan juga anak-anak usia Sekolah Dasar dan para

laki-laki yang mulai melirik budaya populer yang satu ini. Sehingga, akan

lebih baik bila mempelajari budaya tersebut terlebih dahulu, sebelum

memutuskan menenggelamkan diri ke dalamnya. Karena dengan mengenal

dan memahami budaya populer yang digemari, seperti halnya K-Pop, kita

sebagai penggemar tidak akan dibutakan dengan kefanatikan terhadap budaya

15

Page 16: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

tersebut. Melainkan menjadi penggemar yang cerdas dalam menyaring pesan

budaya populer.

2. Akademisi

Akan lebih baik lagi, apabila penelitian-penelitian selanjutnya yang

menggunakan subjek sama dengan penelitian ini, lebih dalam

mengembangkan peran perempuan dalam budaya populer, tidak hanya dari

segi K-Pop. Selain itu, untuk menambah pengetahuan mengenai perempuan

dan budaya populer, ada baiknya untuk memperbanyak bacaan buku mengenai

gender. Di zaman globalisasi, gender semakin hari semakin abu-abu saja, tidak

hanya kajian soal feminis yang berkembang, namun juga maskulin yang

semakin hari semakin menjadi sorotan pengkaji budaya populer. Penelitian

yang menggunakan studi kasus, tidak serta merta dapat diselesaikan dalam

hitungan beberapa bulan saja.

Selain itu, dengan penelitian ini, setidaknya peneliti berharap dapat

membuka jendela keilmuan komunikasi mengenai identitas. Karena setiap

individu yang lahir pasti membawa identitas mereka, begitupun ketika mereka

menjalai hidup mereka, mereka akan menemukan identitas baru mereka.

Alangkah baiknya, kajian identitas, menjadi suatu pembahasan yang menarik

untuk didiskusikan dalam ilmu komunikasi dan ilmu sosial humaniora lainnya.

Daftar Pustaka

Hecht, Michael L. dan Jung, Eura (2004). “Elaborating the Communication Theory of Identity: Identity Gaps and Communication Outcomes”. Communication Quarterly, Vol. 52 No. 3 Summer 2004, Social Science Database.

Heryanto, Ariel (2015). Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Hollows, Joanne (2010). Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.

Howard, Keith (2014). “Mapping K-Pop Past and Present: Shifting the Modes of Exchange”. Korea Observer, Autumn 2014, Vol. 45, No. 3, Social Science

16

Page 17: Siwi 2017.docx · Web viewPerilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal ini

Database. The Institute of Korean Studies.

Littlejohn, Stephen W. dan Foss, Karen A. (2012). Teori Komunikasi: Theories of Human Communication Ed. 9. Jakarta: Salemba Humanika.

Marhaeni, Fajar (2009). Ilmu Komunikasi: Teori dan Prakter. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mulyana, Deddy (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Retno W., Roro (2014). “Sensualitas Perempuan dalam Industri Musik Populer”. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 12, No. 3, 2014. Telkom University.

Siriyivasak, Ubonrat dan Shin, Hyunjoon (2007). “Asianizing K-Pop: production, consumption and identification patterns among Thai youth”. Inter-Asia Cultural Studies, Vol. 8, No. 1, 2007. Routledge Taylor & Francis Group.

Strinati, Dominic (2016). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Pustaka Promethea.

17