siwi 2017.docx · web viewperilaku perempuan penggemar k-pop dapat dikategorikan sebagai bentuk...
TRANSCRIPT
IDENTITAS PEREMPUAN DALAM BUDAYA POPULER
(Studi Kasus Representasi Identitas Perempuan dalam Perilaku Penggemar K-Pop di Festival Musik Populer Korea Selatan di Surakarta)
Siwi Nur Wakhidah
Firdastin Ruthnia Yudiningrum
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret
Abstract
K-Pop has become one of popular culture which infatuated by young people in Indonesia, especially female. The domination of female’s act in K-Pop seen from their activity and also their behavior. The fondness of K-Pop by young female annotate long list about their collective identity, so it makes their personal identity as female become vague. This study esteemed female as a consumer of popular culture, who mold a specific behavior as their identity representation, while they are in K-Pop Festival. The aim of this study is to find out identity’s representation in feminism perspective and popular culture aspect inside female who devotee of K-Pop. This study used observation, in-depth interview, and literature as a data collective’s methods. Also, this research used interactive analysis to analyze the data, and source triangulation technique to checked validation of the data. And, the result said, female identity of K-Pop’s devotee when they are in a K-Pop festival is divided become personal identity as female, and collective identity as fans. Which is in one’s sober senses, they will perform their collective identity, however in unrealized senses, they influenced by their personal identity. So, their female identity representation showed became remix hybrid, that’s performed as expressive behavior because of dance cover groups and how they performed themselves in fashion.
Keywords: identity, feminism, young people, popular culture, K-Pop
1
Pendahuluan
Korean Wave, atau yang biasa disebut dengan Hallyu, di abad 21 memang
menjadi sorotan. Kehadirannya yang tiba-tiba, berhasil menerpa anak muda di
berbagai belahan dunia, dengan bermodalkan wajah oriental dan melankolis.
Presiden Kim Daejung (1998-2003), yang memulai pergerakan budaya populer,
mereka beranggapan bahwa menciptakan budaya populer tidak perlu infrastruktur
besar-besaran, yang diperlukan ialah waktu dan bakat. Korea Selatan
menggunakan budaya populer sebagai cara untuk menciptakan sumber
keuntungan baru, mempersatukan orang, dan menghasilkan produk yang bisa
diekspor untuk membantu menyebarkan budaya Korea secara global (Hong, 2014:
100).
Salah satu produk budaya populer yang menjadi andalan Korea Selatan ialah
musik pop-nya, atau biasa disebut K-Pop. Kemunculan K-Pop dengan ‘image’
idola diawali oleh oleh Seo Taiji and Boys yang muncul membawa warna baru
dengan ‘image’ seorang idola tahun 1992. Tak lama, Lee Sooman hadir dengan
SM Entertaiment pada tahun 1993, dan melahirkan grup idola H.O.T (High Five
of Teenager), disusul YG Entertainment dengan Sechkies tahun 1996.
Semakin dikenal, semakin banyak pula yang mengetahui dan menggemari.
Para grup idola ini memiliki penggemar yang tergabung dalam fanclub, tidak
hanya di regional tapi juga internasional. Kementerian Kebudayaan, Pariwisata
dan Olahraga Korea Selatan memperkirakan ada 3,3 juta fans luar Korea Selatan
yang bergabung dalam 182 fanclub di 20 negara yang berbeda (Jeong, 2011).
Banyaknya penggemar K-Pop yang berada di luar Korea Selatan, mengakibatkan
pergerakan penggemar yang membentuk subkultur baru. Mereka akan berkumpul
dan mengobrolkan idola mereka. Selain itu, mereka juga mengadakan kegiatan-
kegiatan kelompok, seperti merayakan ulangtahun sang idola, dan mengadakan
project ulangtahun, dan mengadakan acara dengan meniru gaya dari idola.
Menariknya, acara semacam ini didominasi oleh para penggemar yang berjenis
kelamin perempuan.
2
Contoh nyata fenomena terjadi di berbagai negara, seperti halnya di Thailand.
Penggemar di sana berkumpul dan menirukan tarian dari idola mereka atau biasa
disebut dance cover, yang biasa mereka tampilkan di acara-acara bertajuk Korean
Festival atau K-Pop Festival. Penggemar dari bintang idola, Michael Jackson atau
Beyonce Knowles tidak didominasi oleh satu jenis kelamin, mereka tidak
menyelenggarakan rangkaian pesta atau lomba meniru nyanyian dan tarian idola
mereka dalam sebuah acara kumpu-kumpul, yang diselenggarakan secara teratur,
atau mengunggah rekaman video kegiatan itu di internet (Heryanto, 2015: 247).
Dari penjelasan Heryanto tersebut, kita dapat melihat keunikan tersendiri dari K-
Pop dan para penggemarnya. Di mana keunikan tersebut dapat menjadi fenomena
sosial dan juga ciri khas dari budaya populer asal negeri gingseng tersebut. Tidak
hanya di Thailand saja, Filipina, Peru dan Brazil hanya salah satu dari banyaknya
negara yang mengalami fenomena hallyu dan perilaku kaum muda perempuan
yang fanatik.
Di Indonesia, musik Korea Selatan juga turut ambil dalam perkembangan
budaya populer asing. Semakin banyak jumlah penggemar K-Pop, semakin
bertambah pula jumlah komunitasnya, membuat semakin maraknya acara-acara
yang bertajuk K-Pop dan budaya populer Korea. Hal tersebut tidak dapat
dilepaskan dari perilaku dari para penggemar K-Pop yang didominasi oleh
perempuan. Dalam penelitian ini, peneliti memandang perempuan sebagai
konsumen aktif budaya populer, yakni K-Pop. Mereka berperan aktif dalam
menciptakan subkultur baru dan juga gaya baru bagi mereka dan lingkungan
mereka. Penelitian ini menjabarkan bagaimana perilaku perempuan penggemar K-
Pop ketika berada di subkultur yang mereka ciptakan sendiri, yakni festival K-
Pop. Dan, bagaimana mereka merepresentasikan identitas perempuan mereka
melalui perilaku mereka ketika berada di festival K-Pop tersebut.
Rumusan Masalah
Penelitian ini merumuskan fenomena budaya populer K-Pop sebagai berikut:
3
1. Bagaimana perilaku perempuan penggemar K-Pop tersebut ketika berada
dalam acara festival musik populer Korea Selatan di Surakarta?
2. Bagaimana perempuan penggemar K-Pop merepresentasikan identitas
mereka sebagai perempuan dalam sebuah festival musik populer Korea
Selatan di Solo?
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk:
1. Mengkaji perilaku apa saja yang dilakukan penggemar K-Pop ketika
berada di festival K-Pop.
2. Mengkaji bagaimana perempuan penggemar K-Pop merepresentasikan
identitas diri mereka sebagai perempuan ketika berada di festival musik
populer Korea Selatan.
Tinjauan Pustaka
Penelitian ini menyoroti perilaku dari perempuan penggemar K-Pop
sebagai pelaku komunikasi yang merepresentasikan identitas mereka di dalam
ruang lingkup subkultur baru yang mereka ciptakan, yakni festival musik populer
Korea Selatan. Untuk mengkaji penelitian ini, peneliti menggunakan teori
komunikasi tentang identitas dari Michael Hecht, dan didukung dengan teori
perilaku terencana, dan berbagai kajian mengenai gender dan budaya populer.
1. Komunikasi
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, pada tradisi pelaku komunikasi
sosiokultural, yang menjadi dasarnya ialah konsistensi perilaku seorang individu
terhadap situasi, dan salah satu tujuan psikologinya adalah mengidentifikasi serta
mengukur kepribadian dan sifat perilaku individu (Foss dan Littlejohn, 2014).
Thomas M. Scheidel (dalam Fajar, 2009), mengungkapkan bahwa manusia
berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri untuk
membangun kontak sosial dengan orang di sekitar dan mempengaruhi orang lain.
Penelitian ini berada dalam ranah efek media, yang memandang bahwa perilaku
4
merupakan efek dari konsumsi media yang dilakukan oleh perempuan penggemar
K-Pop. Dijelaskan oleh Burton (1999: 183), bahwa efek-efek media pasti bersifat
perilaku atau sikap, yaitu mempengaruhi apa yang kita lakukan dan yang kita
pikirkan. Kesamaan persepsi antara pelaku komunikasi terhadap pesan yang
disampaikan menjadi tujuan utama dari komunikasi. Sama halnya dengan
penelitian ini, yang menempatkan perempuan penggemar K-Pop sebagai
komunikan atau audiens yang diterpa pesan, dan mereka melakukan umpan balik
(efek) berupa perilaku yang mereka lakukan ketika berada di festival musik
populer. Jadi, audiens (dan efek-efek) dikaitkan dengan bagaimana para
penggemar berbicara tentang apa yang mereka baca dalam majalah ‘mereka’
(Burton, 1999).
2. Teori Komunikasi tentang Identitas
Teori ini berada dalam kajian tradisi sosiokultural, yang menunjukkan
bagaimana pelaku komunikasi memahami diri mereka sebagai makhluk-makhluk
kesatuan dengan perbedaan-perbedaan individu… (Littlejohn dan Foss, 2012:
120). Teori ini disejajarkan dengan teori interaksi simbolik milik Weber dan
Mead. Pencetus teori ini ialah Michael Hecht (dalam Littlejohn dan Foss, 2012),
yang mengatakan bahwa identitas merupakan penghubung utama antara individu
dan masyarakat serta komunikasi merupakan mata rantai yang memperbolehkan
hubungan ini terjadi. Komunikasi yang dilakukan bisa berupa apa saja, mulai dari
pertukaran simbol hingga ke interaksi antar individu, hingga membentuk perilaku
yang khas.
Hecht memperkenalkan dimensi-dimensi identitas khusus yang terdiri dari
dimensi afektif (perasaan), dimensi kognitif (pemikiran), dimensi perilaku
(tindakan), dan spiritual (transenden). Di mana dengan keempat dimensi tersebut,
identitas khusus terbentuk dan menjadi pondasi dasar motivasi yang bersifat
abadi. Bukan berarti identitas tidak berubah, Hecht menegaskan, identitas tidak
bisa berubah namun bisa berkembang. Hecht menambahkan, ada dua dimensi lain
yang membentuk identitas diri, yakni subjective dimension, yang berasal dari diri
sendiri dan ascribed dimension, yang berasal dari apa yang orang lain katakan.
5
Dua dimensi tersebut berinteraksi membentuk identitas dalam empat tingkatan
(Hecht dalam Littlejohn dan Foss, 2012: 131), yaitu:
a. Personal
Tingkatan ini terdiri dari rasa yang berasal dari keberadaan diri sendiri
dalam situasi sosial, yang berisi dari perasaan, ide tentang diri sendiri, siapa
dan seperti apa diri sebenarnya.
b. Enactment
Pada tingkatan ini, apa yang diperbuat oleh individu menjadi penting.
Pengetahuan orang lain mengenai diri individu menjadi fokus utama
tingkatan ini. Simbol-simbol yang dihasilkan oleh seorang individu menjadi
salah satu cara orang lain menilai diri seorang individu, begitupun dengan
penampilannya.
c. Relation
Yang terpenting dalam tingkatan ini ialah interaksi. Bagaimana seorang
individu memaknai diri mereka kaitannya dengan orang lain yang di sekitar
mereka. Dan, setiap individu dengan orang lain tersebut, mereka memiliki
peran masing-masing.
d. Communal
Tingkatan ini menjadi tingkatan yang paling besar, yakni berdasarkan pada
kelompok maupun budaya yang lebih besar dibandingkan dengan tingkatan
sebelumnya. Ketika seorang individu sedang berada di sebuah kelompok
atau budaya besar
Dengan kajian teori ini, peneliti mengharapkan mampu memberikan
pencerahan terhadap fenomena perempuan dan K-Pop yang sedang berada di
puncak kejayaannya di Indonesia. Sehingga, para penggemar K-Pop yang
mayoritas adalah perempuan, mampu menempatkan diri mereka dengan benar di
tengah kepungan budaya populer, tanpa harus menanggalkan identitas
keperempuanan mereka.
6
3. Teori Perilaku Terencana
Setiap individu adalah makhluk sosial yang tidak bisa dipisahkan dengan
sesamanya. Mereka berinteraksi dan menghasilkan lingkungan, serta kondisi-
kondisi tertentu. Dalam prosesnya menjadi makhluk sosial, setiap individu
berperilaku dan membentuk diri mereka melalui perilaku yang mereka tunjukkan.
Dalam Psikologi, perilaku manusia adalah reaksi yang dapat bersifat sederhana
maupun bersifat kompleks. Kurt Lewin (1951; dalam Brigham, 1991)
merumuskan suatu model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku
adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan. Seperti yang sudah
disampaikan di atas, interaksi memiliki peran dalam penentuan perilaku seorang
individu. Selain itu, faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam
menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada
karakteristik individu itu sendiri (Azwar, 1995).
4. Perempuan dalam Budaya Populer
Sudah banyak kajian mengenai perempuan dalam media, bagaimana
konstruksi perempuan dalam sebuah iklan dan sebagainya. Dalam penelitian ini
peneliti memandang perempuan sebagai konsumen media K-Pop, juga bertindak
sebagai seorang penggemar K-Pop di festival musik populer Korea Selatan, yang
merupakan bentuk tanggapan dari budaya populer yang menerpa mereka. Sparke
(1995) dalam Hollows (2010), mengatakan perempuan diberi tanggung jawab
untuk konsumsi, maka kemampuan mengonsumsi yang mereka kembangkan tidak
hanya dipandang sebagai kemampuan khusus tetapi sebagai hal yang penting
dalam pembentukan selera feminism.
Budaya populer menjadi salah satu wadah untuk perempuan berekspresi dan
berinteraksi. Budaya populer dianggap sebagai wilayah perjuangan, tempat
terjadinya konflik antara kelompok dominan dan kelompok tidak dominan, yang
akan terus dikonstruksi dan direkonstruksi (Hall, 1981; Bennett 1986b, Hollows
dan Jancovich, 1995; dalam Hollows, 2010). Perempuan dan budaya populer
menjadi sebuah kesatuan yang mampu menciptakan subkultur baru. Begitupun
7
perempuan penggemar K-Pop, mereka tergelincir ke dalam subkultur yang
membuat mereka bebas untuk berkhayal. Seolah mereka berada dekat dengan
yang mereka idolakan, walau sebenarnya yang mereka lakukan hanyalah
berkumpul dan menikmati subkultur yang mereka buat sendiri sebagai bentuk
memenangkan ‘ruang’ untuk mereka.
5. Fandom
Dalam penelitian ini, istilah penggemar K-Pop terus diulang, bahkan dijadikan
objek dalam penelitian. Hal tersebut membuat penelitian ini tidak dapat dijauhkan
dari istilah fandom, yang berasal dari kata fan (penggemar) dan akhiran –dom.
Fandom adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada subkultur, pelbagai
hal, dan pelbagai kegiatan yang berkenaan dengan penggemar dan kegemarannya
(Hollows, 2010). Fandom, sebagaimana yang disebutkan oleh Grossberg (1992;
dalam Lee, 2012), merupakan jembatan antara selebriti dengan audiens dalam
budaya populer. Dan, saat ini, fandom telah mejadi sebuah fenomena global yang
menggambarkan mengenai budaya populer (Gray et. al., 2007; dalam Lee, 2012).
Para penggemar ini sering kali digambarkan sebagai yang tidak
berpendidikan, emosional, dan terkutuk karena berhubungan dengan bentuk
budaya ‘tingkat rendah’ (Hollows, 2010). Senada dengan apa yang digemari
musik pop –biasanya- bercerita tentang roman, tentang kisah percintaan
perempuan, dan hubungan asmara yang emosional. Maka, tak bisa dipungkiri para
penggemar musik pop, baik K-Pop maupun bukan cenderung lebih emosional
dibandingkan dengan penggemar musik selain pop.
Metodologi
Metodologi menjadi bagian penting dalam suatu penelitian, yang
dipengaruhi oleh perspektif teoritis yang digunakan untuk melakukan penelitian.
Untuk mengukur ketepatan metodologi yang digunakan dalam sebuah penelitian,
dapat dilakukan dengan menilai kemanfaatan dan benar atau tidaknya metode-
metode yang digunakan. Seperti yang disampaikan oleh Bogdan dan Taylor (1975
8
dalam Mulyana, 2001: 145), metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang
kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus.
Metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berupa logika matematis,
angka, maupun statistik. Metode ini bertujuan untuk mempertahankan bentuk dan
isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya (Mulyana, 2001: 150).
Begitupun dengan perilaku penggemar K-Pop yang ada di festival musik populer
Korea Selatan di Surakarta dalam merepresentasikan identitas mereka.
Perilaku perempuan penggemar K-Pop dapat dikategorikan sebagai bentuk
kasus yang spesifik, baik secara gender maupun budaya populer. Kasus dalam hal
ini dapat dimaknai sebagai sebuah konsep, aktivitas, waktu, benda (hasil karya
seseorang), kebijakan, kelas sosial, organisasi, Negara, wilayah, kasus, atau
fenomena lain yang spesifik (Martono, 2015). Sehingga, penelitian ini menjadi
sebuah penelitian studi kasus yang berkaitan dengan kajian gender dan budaya
populer. Dalam penelitian ini, tidak hanya menyoroti perempuan secara umum
saja, melainkan perempuan dengan usia muda, seperti yang disampaikan Heryanto
(2015; 242), kaum muda perempuan menjadi sorotan dan berperan dalam
perkembangan musik populer Korea Selatan di Indonesia. Selain itu, dalam
penelitian ini, difokuskan pada perilaku perempuan penggemar K-Pop ketika
berada pada lingkungan subkultur yang mereka ciptakan sendiri, yakni festival K-
Pop. Di mana dalam representasi identitas ini mereka mengalami hibriditas remix,
yang mana identitas yang mereka tidak hanya satu, melainkan identitas personal
sebagai perempuan dan identitas kolektif sebagai penggemar K-Pop.
Sajian dan Analisis Data
K-Pop dimulai dari tahun 1992 ditandai dengan munculnya Seo Taiji and
Boys, menjadi cikal bakal lahirnya gelombang musik Korea berbasis idol atau
idola (Howard, 2014). Dari para idola cetakan itulah, muncul para konsumennya,
yakni para penggemar yang konsumtif. Seiring dengan globalisasi informasi dan
produk budaya populer Korea, muncullah istilah K-Pop (Korean Populer) untuk
9
menyebut musik populer Korea, dan istilah K-Popers untuk penggemar K-Pop
yang berada di luar Korea Selatan.
Anak muda dan musik populer seakan sudah menjadi satu padu yang tidak
dapat dipisahkan, dan menjadi elemen penting dalam budaya anak muda. Para
anak muda ini dengan aktif akan menciptakan subkultur baru, yang mereka
gunakan untuk berekspresi. Budaya populer semacam ini dipandang sebagai
budaya yang rendahan, atau bisa disebut sebagai budaya massa. Budaya yang
dianggap tidak elit oleh para penikmat budaya tinggi (Strinati, 1995). Tak ayal,
banyak masyarakat memandang K-Popers sebagai seorang individu yang kurang
elit dibandingkan dengan penggemar musik jazz, -misalnya. Pandangan
masyarakat ini tidak tanpa alasan, kebanyakan K-Popers ini terlalu menonjol
dalam mengekspresikan kegemarannya di depan publik.
Berdasarkan Teori Komunikasi tentang Identitas (Hecht dalam Littlejohn
dan Foss, 2012: 131), ada empat tingkatan dalam identitas individu. Yakni,
Personal, Enactment, Relation, dan Communal, di mana keempatnya memiliki
keterkaitan satu sama lain. Terlebih dalam penelitian ini menggunakan kajian
gender, communal identities merupakan bagian dari personal, enactment, dan
relation, “…one cannot examine a person’s gender identity (personal identity)
without considering how society defines gender roles (communal identities)…”
(Hecht dan Jung, 2004: 267). Dengan menggunakan teori tersebut, peneliti
melakukan analisis dengan mereduksi data menjadi empat bagian:
1. Pembentukan Identitas Diri (Personal Layer)
Perilaku yang dilakukan oleh para perempuan penggemar K-Pop ini sebagian
besarnya adalah perilaku konsumsi. Konsumsi musik K-Pop, konsumsi informasi
dan pesan dari para idola K-Pop, dan konsumsi barang-barang K-Pop. di mana
perilaku konsumsi ini mereka mulai sejak mengenal dan menyukai K-Pop. Pada
poin inilah identitas kolektif mereka sebagai penggemar K-Pop terbentuk.
Konsumsi musik K-Pop dan informasi, mereka dapatkan melalui jaringan internet
di berbagai situs-situs tertentu yang mereka kinjungi hampir setiap hari.
10
Sedangkan untuk konsumsi barang K-Pop, dibagi menjadi beberapa barang. Di
mana konsumsi barang ini mempengaruhi gaya hidup para perempuan penggemar
K-Pop ini. Dalam tahap ini, identitas mereka sebagai seorang penggemar
terbentuk, walaupun identitas yang dihasilkan dari konsumsi barang merupakan
identitas yang ‘tidak otentik’ atau ‘tidak nyata’, dan dipandang sebagai bentuk
‘kesadaran yang salah’ (Hollows, 2010: 149). Walaupun, identitas diri mereka
sebagai perempuan tidak sepenuhnya hilang, tapi berubah wujud menjadi paduan
antara perempuan dan ‘Korea’, menjadi identitas yang ‘tidak nyata’. ‘Korea’ yang
dimaksud ialah produk Korea yang dibawa oleh Korean pop, seperti telepon
genggam, barang elektronik, fashion dan kosmetik (Siriyuvasak dan Shin, 2007).
2. Penampilan Identitas (Enactment Layer)
Tahapan di atas, termasuk dalam pembentukan identitas, yakni pada tingkatan
personal, yang mana para perempuan ini mulai mengabaikan identitas perempuan
mereka. Pada tingkatan selanjutnya, yakni enactment, identitas perempuan sedikit
banyak mempengaruhi mereka dalam menampilkan diri di hadapan orang lain.
Terkait dengan perilaku konsumsi yang telah dilakukan oleh para perempuan ini,
secara otomatis mempengaruhi gaya hidup mereka. Seperti yang dikatakan Jeff
Yang (dalam Hong, 2016), “saat orang membeli K-Pop, mereka membeli gaya
hidup. K-Pop adalah budaya populer sebagai gaya hidup.”
Salah satu gaya hidup yang diaplikasikan oleh para penggemar K-Pop ialah
fashion. Salah satu bentuk dari pengungkapan identitas ialah fashion yang spesifik
atau khas (Sweeney, 2014). Fashion menjadi salah satu gaya hidup yang
didapatkan oleh penggemar K-Pop yang telah lama mengonsumsi budaya populer
tersebut. Praktik fesyen dan kecantikan adalah ‘bagian dari proses yang
menciptakan dan mereproduksi perilaku dan citra tentang laki-laki dan
perempuan’ (Rouse dalam Barnard, 1996). Praktik ini tidak hanya menciptakan
identitas yang digenderkan, tapi juga identitas yang dikelaskan, ‘rasial’, identitas
umur, dan etnik (Hollows, 2010). Dengan fesyen, perempuan K-Popers ini dengan
bebas menampilkan identitas mereka, baik sebagai penggemar dan sebagai
perempuan. Mereka bebas memilih praktik fesyen yang sesuai dengan kebutuhan
11
dan keinginan mereka, pada tingkatan ini, identitas perempuan sangat
mempengaruhi. Begitu pula dengan identitas penggemar K-Pop yang masih kuat.
Secara sadar para remaja putri ini berupaya melakukan proses identifikasi dirinya
dengan idolanya… secara tidak sadar beberapa aspek citra yang ditampilkan para
idolanya mereka aplikasikan dalam pilihan-pilihan hidupnya (Retno Wulan,
2014).
Seperti yang disampaikan oleh Thomas Carlyle, fashion atau pakaian menjadi
“perlambangan jiwa” (emblems of the soul), yang mampu menunjukkan siapa
pemakainya dan sangat erat dengan diri kita. Dalam kasus ini, fashion dijadikan
alat untuk menunjukkan diri mereka, digunakan untuk membantu menentukan
bagaimana dia dikenali dan diterima (Wilson 1985; Ewen, 1988), sehingga para
perempuan K-Popers ini dapat menciptakan identitas individual mereka, baik
sebagai perempuan dan penggemar. Walaupun, perempuan adalah korban fesyen
yang pasif dari kapitalisme konsumen (Hollows, 2010).
3. Hubungan dengan Sesama Penggemar (Relation Layer)
Baxter (2004; dalam Hecht dan Jung, 2004), mengatakan bahwa dalam
relation identity ada empat level, yang pertama, bagaimana seorang individu
mengembangkan dan membentuk identitas mereka berdasarkan pada bagaimana
orang lain memandang mereka. Kedua, bagaimana mereka mengidentifikasi diri
mereka berdasarkan pada hubungan yang mereka miliki dengan orang lain.
Ketiga, keluarnya identitas dalam hubungan terhadap identitas lain, mengingat
seorang individu memiliki banyak identitas. Yang keempat, yaitu hubungan itu
sendiri. para perempuan penggemar K-Pop ini biasa menjalin hubungan dengan
sesama penggemar K-Pop melalui media sosial dan komunitas. Serta, perilaku
unik yang timbul ketika para perempuan ini berkumpul, maka mereka akan
bersifat ekspresif.
Ketika menjalin hubungan dan berinteraksi dengan orang lain, yang menonjol dari
perempuan penggemar K-Pop adalah sikap ekspresif mereka. Hal ini jelas terjadi
ketika mereka berada di tingkat communal yakni festival K-Pop. Keseluruhan
12
perilaku yang mereka dapatkan dari hasil konsumsi budaya populer Korea Selatan
mereka bawa dan aplikasikan ke dalam identitas mereka sebagai penggemar di
festival K-Pop, sehingga identitas mereka sebagai perempuan tersamarkan.
4. Perilaku dan Representasi Identitas di Festival K-Pop
Pada tingkat komunal, identitas kolektiflah yang akan mendefinisikan
identitas mereka dan merupakan karakteristik dari sebuah grup tertentu (Hecht
dan Jung, 2004). Dengan adanya tingkat komunal dalam proses pembentukkan
identitas, maka peran gender dalam sebuah kerumunan sosial akan dapat terlihat.
Setelah memahami bagaimana seorang perempuan K-Popers membentuk identitas
personal mereka, hingga bagaimana mereka memilih identitas dan
menampilkannya, bagaimana mereka merepresentasikannya akan dijelaskan pada
bab ini. Perempuan K-Popers ini memerlukan ‘ruang’ bagi mereka untuk
menampilkan identitas mereka, tidak hanya sebagai perempuan tapi juga sebagai
penggemar dari grup idola K-Pop.
Melalui festival K-Poplah mereka merasa memiliki ‘ruang’ untuk melepaskan
kendali mereka, seperti halnya fandom Beatles, mereka memberikan kesempatan
kepada remaja putri untuk ‘mengabaikan kendali –berteriak-teriak, pingsan,
berlarian di tengah keramaian’ dan dalam prosesnya, ‘memprotes penindasan
seksual, standar ganda yang kaku dalam budaya remaja perempuan’ (Hollows,
2010: 232). Umumnya, acara festival K-Pop ini diisi oleh beberapa penampil yang
terdiri dari grup dance cover bintang K-Pop, dan perlombaan dance cover, dan
acara semacam ini diselenggarakan hampir setiap tahun per acara.
Pada tingkat communal identity, para perempuan K-Popers ini mencoba
menunjukkan identitas kolektif mereka sebagai penggemar K-Pop dan juga
sebagai seorang penonton pertunjukkan di festival K-Pop. Disebutkan oleh Hecht,
bahwa communal identities merupakan bagian dari personal, enactment dan
relation identities. Dalam budaya populer, perempuan digambarkan sebagai
penggemar musik pop ‘yang histeris’ (Hollows, 2010), dan melalui festival K-Pop
ini mereka diberikan kesempatan untuk mengekspresikan identitas yang kolektif
13
(Frith dan McRobbie, 1990; dalam Hollows, 2010: 233). Dengan hadirnya
perempuan K-Popers ke acara festival K-Pop, imajinasi personal berubah menjadi
imajinasi kolektif dari remaja perempuan dan laki-laki yang bertemu melalui
internet dan dalam pertemuan kelompok yang besar atau kecil, seperti festival K-
Pop (Siriyuvasak dan Shin, 2007).
Mereka menampilkan diri mereka dengan berbagai penampilan, di mana dari
sudut pandang perempuan penggemar K-Pop, modis itu seperti idola mereka. gaya
berpakaian yang demikian, mereka dapatkan dari pengaruh kesukaan mereka
terhadap K-Pop, dan intensitas mereka dalam mengonsumsi produk budaya
Korea. Perempuan dididik mengenai kompetensi konsumen yang mengungkapkan
bahwa feminitas harus ‘disusun’, tidak sekadar alamiah saja (Hollows, 2010).
Perempuan penggemar K-Pop ini masih membawa identitas perempuan ketika
berada di festival K-Pop dengan merepresentasikannya ke dalam wujud
berpakaian dan riasan yang mereka kenakan. Representasi identitas perempuan
mereka wujudkan dengan penampilan mereka yang mencoba mengikuti tren
fesyen Korea, itu berarti bahwa dalam merepresentasikan identitas perempuan
mereka tetap dipengaruhi oleh identitas kolektif sebagia penggemar. Begitu pula
dengan perilaku mereka yang histeris, ‘bahkan lebih memberontak kalau
mengutarakan tentang sisi daya tarik seksual yang aktif dan berhasrat… (Hollows,
2010: 232).
Simpulan
Perilaku perempuan penggemar K-Pop ketika berada di festival K-Pop
merupakan salah satu wujud pemberontakan kaum perempuan dalam menemukan
kebebasan. Pemberontakan tersebut mempengaruhi bagaimana identitas mereka
terbentuk, terlebih identitas sebagai perempuan. Hingga akhirnya ke tingkat
terakhir yakni communal, di mana perempuan K-Popers ini melakukan hibriditas
remix, dengan mencampurkan identitas diri sebagai perempuan dengan identitas
kolektif sebagai penggemar. Kemudian, hasil hibriditas remix tersebut
14
direpresentasikan menjadi identitas mereka sebagai penggemar di festival K-Pop,
namun tanpa disadari mereka juga membawa identitas perempuan mereka.
1. Perempuan penggemar K-Pop berperilaku ekspresif ketika berada di festival
K-Pop merupakan salah satu efek dari konsumsi K-Pop yang mereka telah
mereka lakukan. Perilaku ekpresif muncul karena adanya kelompok dance
cover, para perempuan ini akan melakukan dokumentasi dari penampilan
kelompok dance cover tersebut. Selain itu, mereka juga melakukan project
dukungan kepada kelompok tersebut. Dukungan itu berupa, teriak, fanchant
dan mengangkat banner yang bertuliskan nama kelompok tersebut.
2. Representasi identitas perempuan yang mereka lakukan berupa perilaku
konsumsi dan ekspresif, serta cara berpakaian ketika berada di festival K-Pop.
Para perempuan ini memiliki cara mereka sendiri dalam menampilkan ‘diri
mereka’, melalui pakaian mereka mencoba menampilkan keperempuanan
mereka yang telah tercampur dengan gaya hidup ala Korea. Mereka akan
berpakaian dengan atribut fandom mereka, atau mereka akan memilih
berdandan seperti laiknya idola K-Pop.
Saran
Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana peran perempuan
dalam budaya populer, dimana peran tersebut dapat dilihat dari representasi
identitas yang mereka tampilkan ketika berada di festival musik populer Korea.
Berikut saran yang dapat diberikan oleh peneliti berdasarkan penelitian ini:
1. Penggemar K-Pop
Para penggemar K-Pop yang semakin hari bertambah, tidak lagi para
remaja perempuan, melainkan juga anak-anak usia Sekolah Dasar dan para
laki-laki yang mulai melirik budaya populer yang satu ini. Sehingga, akan
lebih baik bila mempelajari budaya tersebut terlebih dahulu, sebelum
memutuskan menenggelamkan diri ke dalamnya. Karena dengan mengenal
dan memahami budaya populer yang digemari, seperti halnya K-Pop, kita
sebagai penggemar tidak akan dibutakan dengan kefanatikan terhadap budaya
15
tersebut. Melainkan menjadi penggemar yang cerdas dalam menyaring pesan
budaya populer.
2. Akademisi
Akan lebih baik lagi, apabila penelitian-penelitian selanjutnya yang
menggunakan subjek sama dengan penelitian ini, lebih dalam
mengembangkan peran perempuan dalam budaya populer, tidak hanya dari
segi K-Pop. Selain itu, untuk menambah pengetahuan mengenai perempuan
dan budaya populer, ada baiknya untuk memperbanyak bacaan buku mengenai
gender. Di zaman globalisasi, gender semakin hari semakin abu-abu saja, tidak
hanya kajian soal feminis yang berkembang, namun juga maskulin yang
semakin hari semakin menjadi sorotan pengkaji budaya populer. Penelitian
yang menggunakan studi kasus, tidak serta merta dapat diselesaikan dalam
hitungan beberapa bulan saja.
Selain itu, dengan penelitian ini, setidaknya peneliti berharap dapat
membuka jendela keilmuan komunikasi mengenai identitas. Karena setiap
individu yang lahir pasti membawa identitas mereka, begitupun ketika mereka
menjalai hidup mereka, mereka akan menemukan identitas baru mereka.
Alangkah baiknya, kajian identitas, menjadi suatu pembahasan yang menarik
untuk didiskusikan dalam ilmu komunikasi dan ilmu sosial humaniora lainnya.
Daftar Pustaka
Hecht, Michael L. dan Jung, Eura (2004). “Elaborating the Communication Theory of Identity: Identity Gaps and Communication Outcomes”. Communication Quarterly, Vol. 52 No. 3 Summer 2004, Social Science Database.
Heryanto, Ariel (2015). Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Hollows, Joanne (2010). Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.
Howard, Keith (2014). “Mapping K-Pop Past and Present: Shifting the Modes of Exchange”. Korea Observer, Autumn 2014, Vol. 45, No. 3, Social Science
16
Database. The Institute of Korean Studies.
Littlejohn, Stephen W. dan Foss, Karen A. (2012). Teori Komunikasi: Theories of Human Communication Ed. 9. Jakarta: Salemba Humanika.
Marhaeni, Fajar (2009). Ilmu Komunikasi: Teori dan Prakter. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Mulyana, Deddy (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Retno W., Roro (2014). “Sensualitas Perempuan dalam Industri Musik Populer”. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 12, No. 3, 2014. Telkom University.
Siriyivasak, Ubonrat dan Shin, Hyunjoon (2007). “Asianizing K-Pop: production, consumption and identification patterns among Thai youth”. Inter-Asia Cultural Studies, Vol. 8, No. 1, 2007. Routledge Taylor & Francis Group.
Strinati, Dominic (2016). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Pustaka Promethea.
17