sistema saraf
TRANSCRIPT
SISTEMA SARAF
Neurotoxic Cobra Envenomation in a Dog and its treatment
with Anticholinesterase and Artificial ventilation
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan neurologis dan sistem indera merupakan penyakit yang umum
ditemukan dan dapat terjadi pada semua usia. Seorang dokter hewan memiliki
peran yang sangat penting dalam upaya mengatasi gangguan neurologis dan
sistem indera pada hewan. Dasar dari diagnosis gangguan ini lebih ditekankan
pada kemampuan klinis dokter dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang benar dan komprehensif. Pemeriksaan penunjang hanya sebagai pelengkap
untuk membantu ke arah diagnosis lanjut.
Pada paper ini akan dipelajari kerusakan sistem staraf akibat neurotoxik dari
bisa ular kobra yaitu racun yang melumpuhkan sistem pernafasan dan merusak
otak korban. Sedikitnya terdapat 20 jenis enzim pada bisa ular. Komposisi
masing-masing enzim berbeda-beda, tergantung jenis ularnya. Salah satu enzim
yang terdapat dalam bisa ular adalah proteinase. Gigitan ular yang mengeluarkan
bisa yang mengandung proteinase akan menyebabkan jaringan kulit dan otot si
korban mati secara cepat.
Envenomation oleh cobra yang dimanifestasikan secara klinis sebagai
neurotoksisitas dan jika tidak hadir segera, itu menyebabkan kegagalan pernafasan
dan kematian. Racun kobra secara kompetitif berikatan dengan reseptor nikotinik
dalam membran post-synaptic dari skeletal otot, mencegah pengikatan asetilkolin
mengakibatkan flaccid paralysis otot pernafasan (Karalliedde, 1995). Pengobatan
yang sering dilakukan adalah dengan penggunaan antivenom, yang pada saat
darurat kemmungkinan tidak mudah tersedia untuk pasien hewan. Jika tersedia,
mungkin tidak selalu memenuhi persyaratan. Laporan klinis kedokteran hewan
pada penggunaan antikolinesterasi dan ventilasi buatan untuk penanganan
envenomation oleh kobra masih kurang. Paper ini melaporkan seberapa sukses
adalah penggunaan ventilasi buatan dan antikolinesterase untuk penanganan
envenomation kobra pada anjing.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Ular adalah salah satu binatang reptilia yang tersebar luas di seluruh benua baik
spesies yang berbisa ( berbahaya ) maupun spesies yang tidak berbisa ( tidak
berbahaya ). Ular yang berbisa menghasilkan bisa untuk melemahkan musuh atau
mangsanya serta sebagai alat untuk mempertahankan diri. Racun / bisa ular akan
di injeksikan pada tubuh mangsanya melalui gigitan bila merasa terancam ,
ketakutan atau merasa terusik atau jika ular ingin melumpuhkan mangsanya.
Bisa ular merupakan hasil sekresi kelenjar mulut khusus yang menyerupai
kelenjar saliva pada hewan vertebrata, hal ini bisa dikatakan bisa ular merupakan
modifikasi dari saliva ini. Setiap spesies ular menghasilkan komponen dan
kandungan bahan toksik atau non toksi k yang berbeda beda. Tetapi jika ular
tersebut memiliki kekerabatan maka komponen penyusun bisanya akan mirip.
Umumnya setiap jenis ular berbisa mengandung hemoragin, kardiotoksin, dan
neurotoksin dengan kadar yang berbeda beda.
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai
cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan
gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan
dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau
bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun
alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah
gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Mengingat
masih sering terjadi keracunan akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah
pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi mengenai bahaya dan
pertolongan terhadap gigitan ular berbisa. Ular merupakan jenis hewan melata
yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa
dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang
atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke
dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies,
ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu
atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi. Ular
berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya bisa
yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah
ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali
(Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus).
Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili
Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak
permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan
ular king kobra (Ophiophagus hannah).
Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian
rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua
subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki
organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di
antara lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan
(Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut
(Trimeresurus albolabris).
Susunan kimia dari bisa ular sangat kompleks sekitar 90 % tersusun atas
protein yang sebagian besar adalah enzim serta mengandung polipeptida, Enzim
utama bisa ular antara lain proteolitik, hialurinidase, asam amino oksidase,
kolinesterase, fosfolipase A, ribonuklease, deoksiribonuklease, fosfomonoeterase,
fosfodiesterase, nukleotidase, ATPase dan DPNase.
Protein penyusun bisa ular jika di suntikkan dan masuk ke aliran darah akan
mempengaruhi sistem kardiovaskuler, sirkulasi, respirasi, syaraf. Untuk mengatasi
gigitan ular berbisa maka digunakan antibisa ular yang di suntikkan langsung ke
pembuluh vena. Antibisa ular adalah serum atau antibodi yang diproduksi untuk
menetralisir efek sari infeksi bisa ular tersebut. Serum ini diperoleh dengan cara
menginjeksikan bisa ular yang telah dilemahkan ke dalam tubuh kuda.
Ada 2 jenis Racun ular, yaitu
1. Neurotoksin : Dapat melumpuhkan sistim saraf pusat, melumpuhkan
jantung dan sarah pernafasan. Racun jenis ini dimiliki oleh ular Kobra, ular
Mamba, ular Laut, Krait, Ular Karang.
2. Hemotoksin: Dapat menyerang sistim sirkulasi darah dan sistim otot dan
dapat menyebabkan kerusakan jaringan, gangrene, kelumpuhan permanen
kemapuan bergerak otot. Racun jenis ini dihasilkan oleh keluarga ular Viperidae
misalnya Rattle Snake, Coppe head, dan Cotton mouth.
Sampai saat ini dikenal sekitar 20 jenis enzim yang beracun. Umumnya ular
berbisa memiliki 6 sampai 12 jenis enzim dalam bisanya. Masing masing
berfungsi khusus, misalnya untuk mencerna mangsa, sedangkan enzim yang lain
untuk melumpuhkan mangsa.
3. STUDI KASUS
Signalement
Jenis : Anjing
Breed : Labrador
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin : Jantan
Berat : 20 kg
Anamnesa :
Anjing Labrador jantan, umur 2 tahun, dengan berat sekitar 20 kg. Pemilik
telah melihat anjing berkelahi dengan ular dan digigit di wajah beberapa kali.
Anjing dan ular yang sudah mati dibawa ke rumah sakit. Setelah diidentifikasi
ular yang menggigit anjing adalah cobra (Naja naja). Anjing yang tergigit terlihat
ptosis, edema wajah dan bibir dan gangguan pernapasan ringan. Setelah 15 menit
dari anjing tergigit ular, anjing mengalami kelemahan otot umum maju dan
paralisis otot pernapasan.
Diagnosa :
Intoxication pada anjing
4. PEMBAHASAN
Penanganan anjing intoksikasi karena bisa kobra yang dilakukan yaitu dengan
pemasangan ventilasi menggunakan ETT ( Endotraceal Tube). Dilakukan
pemasangan ventilasi buatan dimulai pada jam 08:15 menggunakan ambu bag,
selanjutnya anjing diberikan terapi cairan infus NaCl. Sejak antivenom tidak
tersedia di rumah sakit, itu diresepkan keluar. Fungsi jantung terus dipantau dan
dalam keadaan normal. Dilakukan terapi dengan 20 mg deksametason (Dexona)
dan 500 mg, Ceftriaxone intravena, selanjutnya diikuti dengan pemberian injeksi
tetanus toxoid intramuskular. Dibutuhkan waktu 3,5 jam keluarnya antivenom
polyvalent, setelah gigitan.
Satu botol dari Polyvalent Antivenomd diberikan sebagai intravena 'push' infus
setelah pengenceran di 50 ml normal saline. Anjing diamati untuk hampir satu
jam untuk respon apapun untuk antivenom tersebut. Ptosis masih terjadi, refleks
palpebra tidak ada dan otot-otot leher serta perut masih lembek. Respon terhadap
pengobatan antivenom dipantau, dengan memeriksa peningkatan tonus otot.
Dikarenakan kesulitan dalam pengadaan antivenom dan dalam upaya untuk
membalikkan kelumpuhan otot, praktek medis manusia administrasi
antikolinesterasi untuk kasus gigitan cobra dan kelumpuhan otot. Diberikan
neostigmin (myostigmine) @ 0,04 mg / kg, bersamaan infus intravena,
selanjutnya diperlambat infusnya dan diberikan 0,04 mg / kg atropin sulfat
(Tropine). Peningkatan tonus otot setelah satu jam pemberian neostigmin. Terlihat
nafas dangkal bagian abdominal, Satu jam kemudian, neostigmin dan atropin
diulang pada dosis yang sama dan melalui rute seperti sebelumnya. Ptosis secara
bertahap menghilang dan refleks palpebra kembali setelah setengah jam.
Ventilasi buatan dihentikan sementara untuk memeriksa gerak spontan
nafas dan terlihat nafas perut dangkal dan pulsus turun (dilihat dengan oxymeter).
Ventilasi buatan dilanjutkan pada jam 04:45 PM dan anjing mulai menolak
endotrakeal. Respirasi kembali meningkat. Tidak ada hipersensitivitas reaksi atau
kambuhnya gejala lumpuh. Peningkatan terlihat pada jam 06.00 yaitu terlihat
anjing mulai bisa berdiri dan berjalan tanpa bantuan, selanjutnya anjing kembali
normal pada malam harinya. Kasus itu ditindak lanjuti selama lima hari dengan
Ceftriaxone, infus NaCl dan injeksi vitamin B (Beplex Fortef).
Pemulihan anjing dilakukan dengan ventilasi buatan selama 8 ½ jam oleh
paramedis rumah sakit dengan Ambu bag. Menurut Warrell (2005) dalam kasus
neurotoksik envenomation pada manusia, di mana tidak ada mekanik ventilasi
yang tersedia. Hal ini juga menyatakan bahwa di kasus envenoming neurotoksik
dengan bulbar dan kelumpuhan, sesak nafas, dengan menggunakan antivenom
saja tidak cukup untuk mencegah kematian dini dari sesak napas. Ventilasi buatan
sangat penting dalam kasus tersebut.
Penggunaan Neostigmin disini adalah berfungsi untuk antikolinesterase,
dalam penggunaanya di sini, efektif dalam membalikkan kelumpuhan
neuromuskuler dari toksin cobra. Cara kerja Neostigmin yaitu dengan mencegah
penyumbatan neuromuskular dengan menghambat cholinesterase, sehingga
jumlah asetilkolin akan tersedia untuk kompetitif menggusur neurotoxin dari
reseptor nicotinic dan dengan demikian meningkatkan konduksi neuromuskular.
Gold (1996), melaporkan dalam penggunaan neostigmin dapat mengurangi
tingkat kelumpuhan dan kematian setelah gigitan ular kobra. Watt et al. (1986)
menyatakan bahwa, neurotoxin dari ular kobra bersifat reversibel memblok post
synaptic reseptor acetylcholine. Karalliedde (1995) melaporkan bahwa, di antara
komponen yang paling beracun dari kobra adalah neurotoksin yang berikatan
dengan reseptor nicotinic acetylcholine dalam postsynaptic pada membran otot
rangka, sehingga mencegah ikatan asetilkolin. Warrell (1998) menyebutkan
bahwa, obat antikolinesterase harus selalu dipantau, terhadap efek envenomations
ular neurotoksik. Antikolinesterase memberikan efek yang berguna pada pasien
dengan neurotoksik envenoming, terutama digigit ular kobra. Atropin sulfat
diberikan untuk mencegah yang terjadinya efek muskarinik asetilkolin, seperti
meningkatnya sekresi, bradikardia dan kolik.
Antivenom polyvalent diberikan di sini dimungkinkan menetralisir racun.
Warrell (1998) menyebutkan bahwa, antivenom diharapkan dapat menetralisir
racun yang beredar dalam tubuh, menghambat envenoming dan memungkinkan
recovery. Hal ini juga menyatakan bahwa, pengobatan antivenom saja tidak bisa
diandalkan untuk menyelamatkan nyawa dari pasien dengan kelumpuhan, dan
sesak nafas.
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kami menyimpulkan bahwa pengobatan antivenom saja tidak boleh
diandalkan untuk menyelamatkan nyawa pasien anjing dengan cobra
envenomation. Inkubasi dan ventilasi buatan harus dilakukan segera pada kasus
sesak nafas dan kelumpuhan akibat gigitan kobra dan tingkat kesembuhan
maksimal didukung dengan ventilasi buatan. Obat antikolinesterasi sangat efektif
dalam membalikkan neurotoksisitas yang disebabkan oleh bisa ular kobra.
Penggunaan secara rasional obat antikolinesterase seperti neostigmin dapat
menjadi Pengobatan yang efektif dalam kasus-kasus keterlambatan pengadaan
antivenom.
DAFTAR PUSTAKA
Bawaskar, H. S. and Bawaskar, P. H. (2004). Envenoming by the Common Krait
(Bungarus caeruleus) and Asian Cobra (Naja naja): Clinical Manifestations
and Their Management in a Rural Setting. Wilderness and Env. Med.
15:257-66.
Gold, B. S. (1996). Neostigmine for the treatment of neurotoxicity following
envenomation by the Asiatic Cobra. Ann. Emerg. Med. 28: 87-89.
Karalliedde, L. (1995). Animal Toxins. Br. J. Anaes. 74: 319-27.
Warrell, D. A. (1998). WHO/SEARO Guidelines for the clinical management of
snake bites in the South East Asian Region. http:// www. searo. who. Int
/LinkFiles/ Publications_snakes.pdf. pp. 45, 47, 50-53, 63 .
Watt, G., Theakston, R.D.G., Hayes, C.G., Yambao, M.L. Sanglang, R., Ranoa,
C.P., Alquizalas, E. And Warrell D.A. (1986). Positive response to
edrophonium in patients with neurotoxic envenoming by cobras (Naja Naja
Philippinensis). A placebo controlled study. New Eng. J. Med. 315: 1444-
48.