sistema saraf

13
SISTEMA SARAF Neurotoxic Cobra Envenomation in a Dog and its treatment with Anticholinesterase and Artificial ventilation 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan neurologis dan sistem indera merupakan penyakit yang umum ditemukan dan dapat terjadi pada semua usia. Seorang dokter hewan memiliki peran yang sangat penting dalam upaya mengatasi gangguan neurologis dan sistem indera pada hewan. Dasar dari diagnosis gangguan ini lebih ditekankan pada kemampuan klinis dokter dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang benar dan komprehensif. Pemeriksaan penunjang hanya sebagai pelengkap untuk membantu ke arah diagnosis lanjut. Pada paper ini akan dipelajari kerusakan sistem staraf akibat neurotoxik dari bisa ular kobra yaitu racun yang melumpuhkan sistem pernafasan dan merusak otak korban. Sedikitnya terdapat 20 jenis enzim pada bisa ular. Komposisi masing-masing enzim berbeda-beda, tergantung jenis ularnya. Salah satu enzim yang terdapat dalam bisa ular adalah proteinase. Gigitan ular yang mengeluarkan bisa yang mengandung proteinase

Upload: maratus-sakinah

Post on 31-Jan-2016

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sistema Saraf

SISTEMA SARAF

Neurotoxic Cobra Envenomation in a Dog and its treatment

with Anticholinesterase and Artificial ventilation

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan neurologis dan sistem indera merupakan penyakit yang umum

ditemukan dan dapat terjadi pada semua usia. Seorang dokter hewan memiliki

peran yang sangat penting dalam upaya mengatasi gangguan neurologis dan

sistem indera pada hewan. Dasar dari diagnosis gangguan ini lebih ditekankan

pada kemampuan klinis dokter dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik

yang benar dan komprehensif. Pemeriksaan penunjang hanya sebagai pelengkap

untuk membantu ke arah diagnosis lanjut.

Pada paper ini akan dipelajari kerusakan sistem staraf akibat neurotoxik dari

bisa ular kobra yaitu racun yang melumpuhkan sistem pernafasan dan merusak

otak korban. Sedikitnya terdapat 20 jenis enzim pada bisa ular. Komposisi

masing-masing enzim berbeda-beda, tergantung jenis ularnya. Salah satu enzim

yang terdapat dalam bisa ular adalah proteinase. Gigitan ular yang mengeluarkan

bisa yang mengandung proteinase akan menyebabkan jaringan kulit dan otot si

korban mati secara cepat.

Envenomation oleh cobra yang dimanifestasikan secara klinis sebagai

neurotoksisitas dan jika tidak hadir segera, itu menyebabkan kegagalan pernafasan

dan kematian. Racun kobra secara kompetitif berikatan dengan reseptor nikotinik

dalam membran post-synaptic dari skeletal otot, mencegah pengikatan asetilkolin

mengakibatkan flaccid paralysis otot pernafasan (Karalliedde, 1995). Pengobatan

yang sering dilakukan adalah dengan penggunaan antivenom, yang pada saat

darurat kemmungkinan tidak mudah tersedia untuk pasien hewan. Jika tersedia,

mungkin tidak selalu memenuhi persyaratan. Laporan klinis kedokteran hewan

pada penggunaan antikolinesterasi dan ventilasi buatan untuk penanganan

envenomation oleh kobra masih kurang. Paper ini melaporkan seberapa sukses

Page 2: Sistema Saraf

adalah penggunaan ventilasi buatan dan antikolinesterase untuk penanganan

envenomation kobra pada anjing.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Ular adalah salah satu binatang reptilia yang tersebar luas di seluruh benua baik

spesies yang berbisa ( berbahaya ) maupun spesies yang tidak berbisa ( tidak

berbahaya ). Ular yang berbisa menghasilkan bisa untuk melemahkan musuh atau

mangsanya serta sebagai alat untuk mempertahankan diri. Racun / bisa ular akan

di injeksikan pada tubuh mangsanya melalui gigitan bila merasa terancam ,

ketakutan atau merasa terusik atau jika ular ingin melumpuhkan mangsanya.

Bisa ular merupakan hasil sekresi kelenjar mulut khusus yang menyerupai

kelenjar saliva pada hewan vertebrata, hal ini bisa dikatakan bisa ular merupakan

modifikasi dari saliva ini. Setiap spesies ular menghasilkan komponen dan

kandungan bahan toksik atau non toksi k yang berbeda beda. Tetapi jika ular

tersebut memiliki kekerabatan maka komponen penyusun bisanya akan mirip.

Umumnya setiap jenis ular berbisa mengandung hemoragin, kardiotoksin, dan

neurotoksin dengan kadar yang berbeda beda.

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai

cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan

gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan

dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau

bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun

alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah

gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Mengingat

masih sering terjadi keracunan akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah

pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi mengenai bahaya dan

pertolongan terhadap gigitan ular berbisa. Ular merupakan jenis hewan melata

yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa

dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang

Page 3: Sistema Saraf

atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke

dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular.

Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan

mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut

merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.

Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah

parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa

ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran

kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.

Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies,

ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu

atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi. Ular

berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya bisa

yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah

ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali

(Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus).

Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili

Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak

permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora

intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan

ular king kobra (Ophiophagus hannah).

Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian

rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua

subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki

organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di

antara lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan

(Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut

(Trimeresurus albolabris).

Page 4: Sistema Saraf

Susunan kimia dari bisa ular sangat kompleks sekitar 90 % tersusun atas

protein yang sebagian besar adalah enzim serta mengandung polipeptida, Enzim

utama bisa ular antara lain proteolitik, hialurinidase, asam amino oksidase,

kolinesterase, fosfolipase A, ribonuklease, deoksiribonuklease, fosfomonoeterase,

fosfodiesterase, nukleotidase, ATPase dan DPNase.

Protein penyusun bisa ular jika di suntikkan dan masuk ke aliran darah akan

mempengaruhi sistem kardiovaskuler, sirkulasi, respirasi, syaraf. Untuk mengatasi

gigitan ular berbisa maka digunakan antibisa ular yang di suntikkan langsung ke

pembuluh vena. Antibisa ular adalah serum atau antibodi yang diproduksi untuk

menetralisir efek sari infeksi bisa ular tersebut. Serum ini diperoleh dengan cara

menginjeksikan bisa ular yang telah dilemahkan ke dalam tubuh kuda.

Ada 2 jenis Racun ular, yaitu

1. Neurotoksin : Dapat melumpuhkan sistim saraf pusat, melumpuhkan

jantung dan sarah pernafasan. Racun jenis ini dimiliki oleh ular Kobra, ular

Mamba, ular Laut, Krait, Ular Karang.

2. Hemotoksin: Dapat menyerang sistim sirkulasi darah dan sistim otot dan

dapat menyebabkan kerusakan jaringan, gangrene, kelumpuhan permanen

kemapuan bergerak otot. Racun jenis ini dihasilkan oleh keluarga ular Viperidae

misalnya Rattle Snake, Coppe head, dan Cotton mouth.

Sampai saat ini dikenal sekitar 20 jenis enzim yang beracun. Umumnya ular

berbisa memiliki 6 sampai 12 jenis enzim dalam bisanya. Masing masing

berfungsi khusus, misalnya untuk mencerna mangsa, sedangkan enzim yang lain

untuk melumpuhkan mangsa.

3. STUDI KASUS

Signalement

Jenis : Anjing

Breed : Labrador

Page 5: Sistema Saraf

Umur : 2 tahun

Jenis Kelamin : Jantan

Berat : 20 kg

Anamnesa :

Anjing Labrador jantan, umur 2 tahun, dengan berat sekitar 20 kg. Pemilik

telah melihat anjing berkelahi dengan ular dan digigit di wajah beberapa kali.

Anjing dan ular yang sudah mati dibawa ke rumah sakit. Setelah diidentifikasi

ular yang menggigit anjing adalah cobra (Naja naja). Anjing yang tergigit terlihat

ptosis, edema wajah dan bibir dan gangguan pernapasan ringan. Setelah 15 menit

dari anjing tergigit ular, anjing mengalami kelemahan otot umum maju dan

paralisis otot pernapasan.

Diagnosa :

Intoxication pada anjing

4. PEMBAHASAN

Penanganan anjing intoksikasi karena bisa kobra yang dilakukan yaitu dengan

pemasangan ventilasi menggunakan ETT ( Endotraceal Tube). Dilakukan

pemasangan ventilasi buatan dimulai pada jam 08:15 menggunakan ambu bag,

selanjutnya anjing diberikan terapi cairan infus NaCl. Sejak antivenom tidak

tersedia di rumah sakit, itu diresepkan keluar. Fungsi jantung terus dipantau dan

dalam keadaan normal. Dilakukan terapi dengan 20 mg deksametason (Dexona)

dan 500 mg, Ceftriaxone intravena, selanjutnya diikuti dengan pemberian injeksi

tetanus toxoid intramuskular. Dibutuhkan waktu 3,5 jam keluarnya antivenom

polyvalent, setelah gigitan.

Satu botol dari Polyvalent Antivenomd diberikan sebagai intravena 'push' infus

setelah pengenceran di 50 ml normal saline. Anjing diamati untuk hampir satu

jam untuk respon apapun untuk antivenom tersebut. Ptosis masih terjadi, refleks

palpebra tidak ada dan otot-otot leher serta perut masih lembek. Respon terhadap

pengobatan antivenom dipantau, dengan memeriksa peningkatan tonus otot.

Page 6: Sistema Saraf

Dikarenakan kesulitan dalam pengadaan antivenom dan dalam upaya untuk

membalikkan kelumpuhan otot, praktek medis manusia administrasi

antikolinesterasi untuk kasus gigitan cobra dan kelumpuhan otot. Diberikan

neostigmin (myostigmine) @ 0,04 mg / kg, bersamaan infus intravena,

selanjutnya diperlambat infusnya dan diberikan 0,04 mg / kg atropin sulfat

(Tropine). Peningkatan tonus otot setelah satu jam pemberian neostigmin. Terlihat

nafas dangkal bagian abdominal, Satu jam kemudian, neostigmin dan atropin

diulang pada dosis yang sama dan melalui rute seperti sebelumnya. Ptosis secara

bertahap menghilang dan refleks palpebra kembali setelah setengah jam.

Ventilasi buatan dihentikan sementara untuk memeriksa gerak spontan

nafas dan terlihat nafas perut dangkal dan pulsus turun (dilihat dengan oxymeter).

Ventilasi buatan dilanjutkan pada jam 04:45 PM dan anjing mulai menolak

endotrakeal. Respirasi kembali meningkat. Tidak ada hipersensitivitas reaksi atau

kambuhnya gejala lumpuh. Peningkatan terlihat pada jam 06.00 yaitu terlihat

anjing mulai bisa berdiri dan berjalan tanpa bantuan, selanjutnya anjing kembali

normal pada malam harinya. Kasus itu ditindak lanjuti selama lima hari dengan

Ceftriaxone, infus NaCl dan injeksi vitamin B (Beplex Fortef).

Pemulihan anjing dilakukan dengan ventilasi buatan selama 8 ½ jam oleh

paramedis rumah sakit dengan Ambu bag. Menurut Warrell (2005) dalam kasus

neurotoksik envenomation pada manusia, di mana tidak ada mekanik ventilasi

yang tersedia. Hal ini juga menyatakan bahwa di kasus envenoming neurotoksik

dengan bulbar dan kelumpuhan, sesak nafas, dengan menggunakan antivenom

saja tidak cukup untuk mencegah kematian dini dari sesak napas. Ventilasi buatan

sangat penting dalam kasus tersebut.

Penggunaan Neostigmin disini adalah berfungsi untuk antikolinesterase,

dalam penggunaanya di sini, efektif dalam membalikkan kelumpuhan

neuromuskuler dari toksin cobra. Cara kerja Neostigmin yaitu dengan mencegah

penyumbatan neuromuskular dengan menghambat cholinesterase, sehingga

jumlah asetilkolin akan tersedia untuk kompetitif menggusur neurotoxin dari

reseptor nicotinic dan dengan demikian meningkatkan konduksi neuromuskular.

Page 7: Sistema Saraf

Gold (1996), melaporkan dalam penggunaan neostigmin dapat mengurangi

tingkat kelumpuhan dan kematian setelah gigitan ular kobra. Watt et al. (1986)

menyatakan bahwa, neurotoxin dari ular kobra bersifat reversibel memblok post

synaptic reseptor acetylcholine. Karalliedde (1995) melaporkan bahwa, di antara

komponen yang paling beracun dari kobra adalah neurotoksin yang berikatan

dengan reseptor nicotinic acetylcholine dalam postsynaptic pada membran otot

rangka, sehingga mencegah ikatan asetilkolin. Warrell (1998) menyebutkan

bahwa, obat antikolinesterase harus selalu dipantau, terhadap efek envenomations

ular neurotoksik. Antikolinesterase memberikan efek yang berguna pada pasien

dengan neurotoksik envenoming, terutama digigit ular kobra. Atropin sulfat

diberikan untuk mencegah yang terjadinya efek muskarinik asetilkolin, seperti

meningkatnya sekresi, bradikardia dan kolik.

Antivenom polyvalent diberikan di sini dimungkinkan menetralisir racun.

Warrell (1998) menyebutkan bahwa, antivenom diharapkan dapat menetralisir

racun yang beredar dalam tubuh, menghambat envenoming dan memungkinkan

recovery. Hal ini juga menyatakan bahwa, pengobatan antivenom saja tidak bisa

diandalkan untuk menyelamatkan nyawa dari pasien dengan kelumpuhan, dan

sesak nafas.

5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kami menyimpulkan bahwa pengobatan antivenom saja tidak boleh

diandalkan untuk menyelamatkan nyawa pasien anjing dengan cobra

envenomation. Inkubasi dan ventilasi buatan harus dilakukan segera pada kasus

sesak nafas dan kelumpuhan akibat gigitan kobra dan tingkat kesembuhan

maksimal didukung dengan ventilasi buatan. Obat antikolinesterasi sangat efektif

dalam membalikkan neurotoksisitas yang disebabkan oleh bisa ular kobra.

Penggunaan secara rasional obat antikolinesterase seperti neostigmin dapat

menjadi Pengobatan yang efektif dalam kasus-kasus keterlambatan pengadaan

antivenom.

Page 8: Sistema Saraf

DAFTAR PUSTAKA

Bawaskar, H. S. and Bawaskar, P. H. (2004). Envenoming by the Common Krait

(Bungarus caeruleus) and Asian Cobra (Naja naja): Clinical Manifestations

and Their Management in a Rural Setting. Wilderness and Env. Med.

15:257-66.

Gold, B. S. (1996). Neostigmine for the treatment of neurotoxicity following

envenomation by the Asiatic Cobra. Ann. Emerg. Med. 28: 87-89.

Karalliedde, L. (1995). Animal Toxins. Br. J. Anaes. 74: 319-27.

Warrell, D. A. (1998). WHO/SEARO Guidelines for the clinical management of

snake bites in the South East Asian Region. http:// www. searo. who. Int

/LinkFiles/ Publications_snakes.pdf. pp. 45, 47, 50-53, 63 .

Watt, G., Theakston, R.D.G., Hayes, C.G., Yambao, M.L. Sanglang, R., Ranoa,

C.P., Alquizalas, E. And Warrell D.A. (1986). Positive response to

edrophonium in patients with neurotoxic envenoming by cobras (Naja Naja

Philippinensis). A placebo controlled study. New Eng. J. Med. 315: 1444-

48.