sisi gelap dunia sufi

4
Sisi Gelap Dunia Sufi Kehidupan para sufi bukanlah sekedar sebuah dimensi kehidupan orang-orang suci yang begitu cemerlang menghiasi lembar sejarah umat di masa keemasan Islam. Sufisme dan ilmu tasawuf telah mengalami perkembangan, masa cemerlang, dan juga masa-masa surutnya. Ajaran sufi dengan berbagai tarekat dan kitab-kitab tasawuf karangan para syekh sufi merupakan salah satu buah karya ilmu dan peradaban Islam yang ikut berperan dalam memperkaya khazanah umat terutama pada periode keemasan Islam di abad pertengahan. Juga telah banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama dan orang-orang saleh. Namun, di balik sisi kecemerlangan akidah para sufi pada prakteknya banyak dijumpai berbagai penyimpangan yang bertentangan dengan akidah, syariat, dan akhlak Islam yang sempurna. Sebagian sufi ada yang menempuh cara menghadirkan ruh, dengan keyakinan, bahwa itu dari tasawuf. Sebagian lagi ada yang menempuh cara-cara mistik dan magis. Mereka memberi perhatian khusus kepada makam para wali. Makamnya dibangun diberinya lampu, diziarahinya dan dimintanya berkah, dengan segala bentuk bid’ah yang sama sekali tidak dibenarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Pada tingkat yang lebih ekstrem ada sebagian sufi yang berpendapat tentang tidak berlakunya taklif <menjalankan kewajiban-kewajiban agama> bagi seorang wali. Artinya, bahwa ibadah tidaklah menjadi keharusan bagi seorang wali sebab ia telah mencapai suatu tingkatan , dimana ia tak perlu lagi melakukan kewajiban- kewajiban itu. Sebab jika ia sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan syar’I dengan segala fenomenanya maka ia akan terputus dari keterpeliharaan batinnya. Selanjutnya ia akan dikacaukan oleh bermacam ragam pemikiran yang mempengaruhi batinnya untuk melihat yang lahir. Imam Ghazali mengkritik mereka yang telah diselimuti sifat sombong, antara lain terhadap kelompok-kelompok berikut ini: - mereka yang merasa bangga terhadap pakaian, sikap, dan logika - mereka yang mengklaim ilmu ma’rifat menyaksikan Yang Haq dan melampui maqam dan ahwal - mereka yang terjerumus ke dalam perilaku permisif melipat hamparan syara’ dan menolak ahwal dan menganggap sama antara yang halal dan haram - mereka yang berkata: ”beramal secara fisik tidak mempunyai nilai sama sekali. Sebab yang dilihat itu hatinya. Sedangkan hati kami ini sangat rindu mencintai ALLAH sebagai perekat bagi ma’rifat ALLAH. Kami hanya terjun ke dunia ini dengan tangan-tangan kami, sementara hati kami berdiam di dalam rububiyah ALLAH. Karena itu kalaulah kami masih punya keinginan, itu hanyalah di dalam lahir, bukan dalam hati. Banyak kata-kata yang dinisbatkan kepada Abu Yazid al-Bustami tetapi Abdullah al-Harawi <wafat 481 H> dan seorang orientalis RA Nicholson

Upload: rofiqm55

Post on 24-Jun-2015

128 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sisi Gelap Dunia Sufi

Sisi Gelap Dunia SufiKehidupan para sufi bukanlah sekedar sebuah dimensi kehidupan orang-orang suci yang begitu cemerlang menghiasi lembar sejarah umat di masa keemasan Islam. Sufisme dan ilmu tasawuf telah mengalami perkembangan, masa cemerlang, dan juga masa-masa surutnya. Ajaran sufi dengan berbagai tarekat dan kitab-kitab tasawuf karangan para syekh sufi merupakan salah satu buah karya ilmu dan peradaban Islam yang ikut berperan dalam memperkaya khazanah umat terutama pada periode keemasan Islam di abad pertengahan. Juga telah banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama dan orang-orang saleh.

Namun, di balik sisi kecemerlangan akidah para sufi pada prakteknya banyak dijumpai berbagai penyimpangan yang bertentangan dengan akidah, syariat, dan akhlak Islam yang sempurna. Sebagian sufi ada yang menempuh cara menghadirkan ruh, dengan keyakinan, bahwa itu dari tasawuf. Sebagian lagi ada yang menempuh cara-cara mistik dan magis. Mereka memberi perhatian khusus kepada makam para wali. Makamnya dibangun diberinya lampu, diziarahinya dan dimintanya berkah, dengan segala bentuk bid’ah yang sama sekali tidak dibenarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Pada tingkat yang lebih ekstrem ada sebagian sufi yang berpendapat tentang tidak berlakunya taklif <menjalankan kewajiban-kewajiban agama> bagi seorang wali. Artinya, bahwa ibadah tidaklah menjadi keharusan bagi seorang wali sebab ia telah mencapai suatu tingkatan , dimana ia tak perlu lagi melakukan kewajiban-kewajiban itu. Sebab jika ia sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan syar’I dengan segala fenomenanya maka ia akan terputus dari keterpeliharaan batinnya. Selanjutnya ia akan dikacaukan oleh bermacam ragam pemikiran yang mempengaruhi batinnya untuk melihat yang lahir.

Imam Ghazali mengkritik mereka yang telah diselimuti sifat sombong, antara lain terhadap kelompok-kelompok berikut ini:

- mereka yang merasa bangga terhadap pakaian, sikap, dan logika- mereka yang mengklaim ilmu ma’rifat menyaksikan Yang Haq dan melampui

maqam dan ahwal- mereka yang terjerumus ke dalam perilaku permisif melipat hamparan syara’ dan

menolak ahwal dan menganggap sama antara yang halal dan haram- mereka yang berkata: ”beramal secara fisik tidak mempunyai nilai sama sekali.

Sebab yang dilihat itu hatinya. Sedangkan hati kami ini sangat rindu mencintai ALLAH sebagai perekat bagi ma’rifat ALLAH. Kami hanya terjun ke dunia ini dengan tangan-tangan kami, sementara hati kami berdiam di dalam rububiyah ALLAH. Karena itu kalaulah kami masih punya keinginan, itu hanyalah di dalam lahir, bukan dalam hati.

Banyak kata-kata yang dinisbatkan kepada Abu Yazid al-Bustami tetapi Abdullah al-Harawi <wafat 481 H> dan seorang orientalis RA Nicholson meragukan hubungan kata-kata itu dengan Abu Yazid, kata-kata itu antara lain

- ”Maha suci aku, betapa agungnya kedudukanku”- ”sesungguhnya aku, tidak ada tuhan selain aku, maka sembahlah aku”- ”kuselami lautan, sementara para Nabi hanya berada di pinggirnya saja”- ”aku naik ke langit, dan ku pukulkan kubahku di depan arasy”

Bahkan yang lebih ekstrem lagi adalah ucapan-ucapan Husein bin Mansur ”al-Hallaj” yang begitu fenomemal namun mengundang kontroversi bahkan fitnah di kalangan umat, seperti:

- aku adalah Dia yang paling mencintai dan Dia yang paling mencintai adalah aku, kami adalah dua ruh yang menyatu dalam satu tubuh, apabila Dia melihatku, aku pun melihatnya dan apabila aku melihat-Nya, maka Dia pun melihatku

Page 2: Sisi Gelap Dunia Sufi

- Kau baurkan ruh Engkau dengan ruhku, bak tuak yang membaur dalam air, jika Engkau disentuh sesuatu maka aku pun disentuhnya karena itu maka Engkau adalah aku dalam segalanya

Para penganut sufisme ada yang menggunakan kalimat-kalimat bermakna ”Ghouts dan Ghiyats” <pertolongan>. Tetapi kemudian dikritik oleh Ibnu Taimiyah yang akhirnya menimbulkan perdebatan yang panjang dan sengit dengan kaum sufi. Karena yang berhak memiliki sifat itu adalah hanya ALLAH. ALLAH pula yang memperkenankan pertolongan kepada siapa saja yang dimohonkan pertolongan seperti para malaikat dan para nabi dan rasul serta orang-orang suci dan saleh.

Perdebatan antara Ibnu Taimiyah dengan kaum sufi terutama berkisar mengenai metode zikir yang diterapkan oleh para penganut tarekat sufisme. Sebagian besar tarekat sepakat tentang keutamaan zikir yang menyebut sebanyak-banyaknya asma dan sifat-sifat ALLAH dibarengi dengan menghayati artinya. Namun, disebabkan dalam keadaan yang begitu ekstasenya para sufi akhirnya hanya menyebutkan kata-kata singkat yang menggantikan asma ALLAH seperti ”hua-hua” yang artinya ”Dia Dia.”

Ibnu Taimiyah melalui kitabnya berkaitan dengan keadaan ekstase para sufi itu berpendapat bahwa berzikir dengan satu kata baik dengan bersuara atau tersembunyi adalah tidak berdasar sama sekali. Beliau menganggap hal itu sebagai salah satu bentuk bid’ah dalam berzikir kepada ALLAH bahkan menyerupai perilaku para penganut paham atheis dan ilmu kebatinan yang rusak. Ibnu Taimiyah juga menambahkan bahwa dengan mengucapkan kata-kata itu nuraninya hanya kembali kepada apa yang digambarkan oleh kalbu. Sedangkan kalbu itu kadang-kadang mendapat petunjuk dan kadang-kadang tersesat.

Ada sebagian kaum sufi yang mengkaitkan tasawuf dengan melakukan berbagai perbuatan yang aneh dan luar biasa seperti bermain dengan ular, membuka kepala dan menganyam rambut atau justru membiarkannya panjang dan semrawut.. Berpenampilan kusam dan compang camping sehingga auratnya tidak tertutup. Bila memang krn keadaan yang miskin sebagaimana yang diutamakan oleh sufisme namun semestinya para sufi pun harus bekerja keras demi mencukupi kebutuhannya seperti membeli pakaian dan kain sehingga layak dikenakan. Jangan hanya bermalas-malasan atau setiap waktu berdiam di mesjid-mesjid lalu shalat dan puasa tiada henti lalu untuk hidup sekedar makan dan minum yang diperoleh dari mengemis atau meminta-minta.

Kritik lain Ibnu Taimiyah adalah mengenai nazar terhadap orang-orang mati yang dilakukan oleh sebagian kaum sufi di zamannya kepada para nabi, syeikh, dan orang-orang suci/saleh lainnya, atau terhadap kuburan mereka. Beliau secara tegas menyatakan bahwa itu adalah syirik dan maksiat kepada ALLAH.

Mengenai sikap ”fana” yang menjadi trend di kalangan sufi Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa dalam fana semacam itu seorang sufi kadang-kadang berkata ”aku adalah al-Haq” atau ”Maha suci aku” atau ”di jubahku adalah ALLAH”. Dan sebagainya meski beliau masih bersikap moderat dengan meyakini bahwa memang ada sebagian sufi yang benar-benar mencapai tingkatan ketidaksadaran atau sakar rububiyah akibat begitu masyhuknya berzikir dan taqarrub kepada ALLAH sehingga ucapannya tidak dapat lagi berlaku secara normal. Kelezatan iman dan kedekatan yang begitu tinggi yang berhasil diraih oleh seorang sufi, maka meski ucapannya dalam sudut pandang syariat dilarang, namun tidaklah berdosa bagi sang sufi karena ia tidak sadar secara harfiah dengan semua ucapannya itu. Meskipun mereka tidaklah berdosa namun haram mengikuti ucapan-ucapan mereka dan tidak boleh pula menganggap bahwa apa yang mereka ucapkan adalah sesuatu yang benar.

Page 3: Sisi Gelap Dunia Sufi

Begitu banyaknya persoalan dalam sufisme dan ilmu tasawuf dimana banyak ulama berbedap pendapat mengenai berbagai praktek sufisme yang direalisasikan dalam bentuk tarekat-tarekat yang terikat dengan para syekh/guru sufi masing-masing. Sehingga memunculkan berbagai tindakan kultus individu terhadap banyak ulama sufi yang begitu dimuliakan dan disucikan oleh para pengikutnya. Bahkan makam-makam mereka dikeramatkan dan diziarahi secara rutin dengan melakukan zikir dan doa. Hal ini menjadi kontra produktif dengan disiplin ilmu tasawuf yang menjadi dasar sufisme. Pada prinsipnya ilmu tasawuf bertujuan mengajarkan setiap muslim agar memiliki ilmu yang memadai berdasarkan petunjuk kitab suci al-Qur’an dan hadist Rasulullah untuk mengenal, mendekatkan diri, dan beribadah/menyembah ALLAH dengan sikap penyerahan diri yang seutuhnya dan dalam kerangka kwalitas keimanan yang sempurna. Sehingga akan tercapai derajat taqwa yang tinggi sebagai puncak kemuliaan yang menjadi parameter penilaian ALLAH kepada para hamba-Nya.

Persoalan-persoalan tersebut tidak dapat terhindarkan karena ruang lingkup pembahasan sufisme dan ilmu tasawuf adalah sifat-sifat ALLAH Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Sedangkan manusia adalah makhluk ALLAH yang memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan. Meski banyak tuduhan miring berkaitan dengan sejarah awal berdirinya sufisme namun sebagai tolok ukur dari kesahihan ajaran sufi adalah wahyu ALLAH yang termaktub dalam al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW. Sedikit saja melenceng dari keduanya, maka dipastikan ia akan tersesat dan jatuh ke lembah kekufuran.

Tasawuf dan sufisme akan senantiasa dibutuhkan untuk dipelajari dan dikaji sebagai kekayaan ilmu umat. Sebagai penyempurna syariat dan penguat akidah serta penghalus akhlaq dan budi pekerti. Tidak sedikit ulama sufi menjadi teladan dan pribadi mulia yang layak dijadikan panutan karena menerapkan ajaran tasawuf sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah. Menjalankan syariat dengan sekaligus mencegah terjadinya bid’ah, menolak kultus individu terhadap para syekh/guru sufi, dan membuang semua infiltrasi akidah thagut yang dapat mencemari kemurnian Tauhid adalah cara yang sangat efektif agar ajaran tasawuf dapat diterapkan sesuai petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Wallahu ’alam.

-Ruslan

Referensi: Gerakan Keagamaan dan Pemikiran <Akar ideologis dan penyebarannya> - WAMY, penerbit al-Ishlahy Press.