sinusitis maxilaris sinistra
DESCRIPTION
laporan kasusTRANSCRIPT
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. AP
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 21 tahun
Alamat : Cimenyan
Tanggal berobat : 9 September 2013
B. Anamnesis
1. Keluhan utama: Pilek sejak 3 minggu, ingus berbau.
2. Riwayat penyakit sekarang:
Tn A berusia 21 tahun datang ke poliklinik THT RSUD Banjar dengan
keluhan pilek sejak 3minggu yang lalu. Pasien mengaku pilek dirasakan pada hidung
sebelah kiri, dan keluar ingus kental berwarna kuning dan berbau. Pasien mengaku
merasakan demam, dan pusing, os juga mengeluh sakit gigi hilang timbul pada gigi
atas sebelah kiri, namun pasien tidak merasakan nyeri di sekitar pipi dan kepala. nyeri
menelan dan nyeri pada belakang bola mata juga disangkal.
3. Riwayat penyakit dahulu:
Pasien mengaku baru kali ini mengeluhkan sakit seperti ini, riwayat keluar air
dari telinga disangkal, riwayat mimisan(-), belum pernah dirawat di rumah sakit.
4. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, Tb paru, Hipertensi, DM disangkal oleh pasien.
5. Riwayat alergi:
Pasien tidak memiliki riwayat alergi dingin, debu, makanan, ataupun obat-obatan.
1
6. Riwayat pengobatan:
Os belum pernsh berobat sebelumnya, os hanya beli obat kumur liserine untuk
mengobati sakit gigi.
7. Riwayat psikososial:
Pasien sering sekali mengkonsumsi makanan yang pedas, gorengan, dan es.
Pasien mengaku tidak merokok.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital
Tekanan darah : tidak dilakukan
Penafasan : 21 x/menit
Nadi : 90 x/menit
Suhu : 36,6 0C
Status Generalis
1. Kepala : normocephal, rambut bewarna hitam, distribusi rata
2. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+)
isokor
3. Telinga : lihat status lokalis
4. Hidung : lihat status lokalis
5. Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), stomatitis (-), lidah tidak kotor dan tidak
tremor, gigi palsu (-), gigi goyang (-) gigi berlubang dan caries dens
molaris 1 (+).
6. Tenggorok : lihat status lokalis
7. Leher : lihat status lokalis
8. Thorax
a. Inspeksi : normochest, simetris, retraksi dinding dada (-)
b. Palpasi : tidak ada bagian dada yang tertinggal saat nafas
c. Perkusi : sonor pada semua lapang paru
2
d. Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
9. Jantung
a. Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra
c. Perkusi : batas jantung relatif dalam batas normal
d. Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular
10. Abdomen
a. Inspeksi : datar
b. Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-), hepatomegali (-), spleenomegali (-)
c. Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen
d. Auskultasi : bising usus (+) normal
11. Ekstremitas
a. Superior : akral hangat, udem (-/-), RCT < 2 detik, sianosis (-/-)
b. Inferior : akral hangat, udem (-/-), RCT < 2 detik, sianosis (-/-)
D. Status lokalis THT
1. Telinga
Tabel 1. Pemeriksaan telinga
AD AS
Normotia, helix sign (-),
tragus sign (-)
AurikulaNormotia, helix sign (-), tragus
sign (-)
Preaurikula appendege (-)
tanda radang(-), pus(-), nyeri
tekan(-), fistula(-)
Preaurikula Preaurikula appendege (-) tanda
radang(-), pus(-), nyeri tekan(-),
fistula(-)
Tenang, udem(-), fistel(-),
sikatriks(-), nyeri tekan(-)
RetroaurikulaTenang, udem(-), fistel(-),
sikatriks(-), nyeri tekan(-)
Hiperemis(-), udem(-),
sekret(-), serumen(-), massa(-)MAE Hiperemis(-), udem(-), sekret(-),
serumen(-), massa(-)
3
Intak, reflek cahaya (+),
hiperemis (-), sikatriks (-)
Membran timpaniIntak, reflek cahaya
(+),hiperemis (-), sikatriks (-)
Tidak dilakukan Uji Rinne Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Uji Weber Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Uji Schwabach Tidak dilakukan
Interpretasi : Dalam batas normal
2. HidungTabel 2. Pemeriksaan hidung
Dextra Rhinoskopi anterior Sinistra
Tenang Mukosa Tenang
(-) Sekret (+)
Hipertrofi Konka inferior Hipertrofi
Deviasi (-) Septum Deviasi (-)
(-) Massa (-)
(+) Passase udara (+)
a. Sinus paranasal
1) Inspeksi : pembengkakan pada wajah (-), bagian bawah mata (-), daerah
diatas mata(-)
2) Palpasi : nyeri tekan pada pipi kiri (+)
b. Tes penghidu
1) Kanan : tidak dilakukan
2) Kiri : tidak dilakukan
c. Pemeriksaan transluminasi
1) Sinus Frontalis : tidak dilakukan
2) Sinus Maksilaris : tidak dilakukan
3. Tenggorok
4
Tabel 3. Pemeriksaan Nasofaring
Naofaring (Rhinoskopi posterior)
Konka superior Tidak dilakukan
Torus tubarius Tidak dilakukan
Fossa Rossenmuller Tidak dilakukan
Plika salfingofaringeal Tidak dilakukan
Tabel 4. Pemeriksaan Orofaring
Dextra Pemeriksaan Orofaring Sinistra
Mulut
Tenang Mukosa mulut Tenang
Bersih, basah Lidah Bersih, basah
Tenang Palatum molle Tenang
Karies (-) Gigi Karies dens molar 1 (+)
Simetris Uvula Simetris
Tonsil
Hiperemis (-) Mukosa Hiperemis (-)
T1 Besar T1
Melebar Kripta Melebar
(-) Detritus (-)
(-) Perlengketan (-)
Faring
Tenang Mukosa Tenang
(-) Granula (-)
(-) Post nasal drip (-)
Tabel 5. Pemeriksaan Laringofaring
5
Laringofaring (Laringoskopi indirect)
Epiglotis Tidak dilakukan
Plika ariepiglotika Tidak dilakukan
Plika ventrikularis Tidak dilakukan
Plika vokalis Tidak dilakukan
Rima glotis Tidak dilakukan
4. Pemeriksaan Maksilofasial
Tabel 6. Pemeriksaan MaksilofasialDextra Nervus Sinistra
Normosmia
I. Olfaktorius
Penciuman Normosmia
Tidak dilakukan
(+)
II. Optikus
Daya penglihatan
Refleks pupil
Tidak dilakukan
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
III. Okulomotorius
Membuka kelopak mata
Gerakan bola mata ke superior
Gerakan bola mata ke inferior
Gerakan bola mata ke medial
Gerakan bola mata ke
laterosuperior
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
IV. Troklearis
Gerakan bola mata ke lateroinferior (+)
(+)
(+)
V. Trigeminal
Tes sensoris
– Cabang oftalmikus (V1)
– Cabang maksila (V2)
(+)
(+)
6
(+) – Cabang mandibula (V3) (+)
(+)
VI. Abdusen
Gerakan bola mata ke lateral (+)
(+)
(+)
(+)
Tidak dilakukan
VII. Fasial
Mengangkat alis
Kerutan dahi
Menunjukkan gigi
Daya kecap lidah 2/3 anterior
(+)
(+)
(+)
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
VIII.Akustikus
Tes garpu tala Tidak dilakukan
(+)
Tidak dilakukan
IX. Glossofaringeal
Refleks muntah
Daya kecap lidah 1/3 posterior
(+)
Tidak dilakukan
(+)
(-)
(+)
X. Vagus
Refleks muntah dan menelan
Deviasi uvula
Pergerakan palatum
(+)
(-)
(+)
(+)
(+)
XI. Assesorius
Memalingkan kepala
Kekuatan bahu
(+)
(+)
(-)
(-)
XII. Hipoglossus
Tremor lidah
Deviasi lidah
(-)
(-)
a. Tes Pengecapan
1) Rasa manis : tidak dilakukan
7
2) Rasa asam : tidak dilakukan
3) Rasa asin : tidak dilakukan
4) Rasa pahit : tidak dilakukan
5. Leher
Tabel 7. Pemeriksaan LeherDextra Pemeriksaan Sinistra
Pembesaran (-) Thyroid Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submental Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submandibula Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis superior Pembesaran (-)Pembesaran (-) Kelenjar jugularis media Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis inferior Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar suprasternal Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar supraklavikularis Pembesaran (-)
E. Resume
Laki – laki berusia 22 tahun datang dengan keluhan pilek keluar ingus dengan ingus
berbau, pasien cephalgia. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan konka inferior
hipertrofi(+), sekret (+), palpasi sinus paranasal (+), pemeriksaan gigi karies dens molars
1 (+).
F. Diagnosa Kerja
1. Suspek Sinusitis Maksilaris Sinistra dentogen
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Foto sinus paranasal posisi water’s
H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Clindamycin 3x300 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Ambroxol 3 x 30 mg
8
Cetirizine (antihistamin) 1 x 1
2. Non-medikamentosa
Edukasi pasien untuk menjaga kebersihan mulut dan gigi
Hindari konsumsi makanan pedas dan minuman dingin
Istirahat yang cukup
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi sinus paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada setiap Individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga-rongga di dalam tulang, semua sinus mempunyai muara atau ostium ke dalam rongga hidung.
Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.
Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto rontgen anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.
Sinus maksilaris
10
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapa ukuran maksimal yaitu 15ml saat dewasa. Dinding anterior sinus adalah permukaan facial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya ialah permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral hidung serta dinding inferiornya ialah prosessus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada di sebelah postero-superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksilaris adalah :
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar-akar gigi rahang atas ( premolar 1, premolar 2, molar 1, molar 2, kadang-kadang juga caninus dan molar 3 ), bahkan akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
2. Letak sinus maksila berdekatan dengan orbita sehingga dapat menimbulkan komplikasi ke orbita.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, karenanya drenase sangat tergantung pada gerak silia, disamping itu harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis maksilaris.
Sinus maksilaris (antrum of highmore) adalah sinus yang pertama berkembang. Struktur ini pada umumnya berisi cairan pada kelahiran. Pertumbuhan dari sinus ini adalah bifasik dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun dan 7-12 tahun.Sepanjang pneumatisasi kemudian menyebar ke tempat yang rendah dimana gigi yang permanen mengambil tempat mereka. Pneumatisasinya dapat sangat luas sampaiakar gigi hanya satu lapisan yang tipis dari jaringan halus yang mencakup mereka.
Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida dan mempunyai volume kira-kira 15 ml (34 x 33 x 23 mm). dasar dari piramida adalah dinding nasal dengan puncak yang menunjuk ke arah processus zigomatikum. Dinding anterior mempunyai foramen intraorbital yang berada pada bagian midsuperior dimana nervus intraorbital berjalan di atas atap sinus dan keluar melalui foramen ini. Bagian tertipis dari dinding anterior adalah sedikit diatas fossa canina. Atap dibentuk oleh dasar orbita dan ditranseksi oleh n.infraorbita. dinding posterior tidak bisa ditandai. Di belakang dari dinding ini adalah fossa pterygomaxillaris dengan a.maksilaris interna, ganglion sfenopalatina dan saluran vidian, n.palatina mayor dan foramen rotundum.
Dasar dari sinus bervariasi tingkatannya. Sejak lahir sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di atas rongga hidung. Pada umur 9 tahun dasar dari sinus secara umum sama dengan dasar nasal. Dasar sinus berlanjut menjadi pneumatisasi sinus maksilaris. Oleh karena itu berhubungan dengan penyakit gigi di sekitar gigi rahang atas, yaitu premolar dan molar.
11
Cabang dari a. maksilaris interna mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbita, cabang a. sfenopalatina, a. palatina mayor, v. aksilaris dan v. jugularis system duralsinus. Sedangkan persarafan sinus maksila oleh cabang dari n.V.2 yaitu n. palatina mayor dan cabang dari n. infraorbita.
Ostium sinus maksilaris terletak di bagian superior dari dinding medial sinus. Intranasal biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum etmoid, atau disamping 1/3 bawah processus uncinatus. Ukuran ostium ini rata-rata 2,4 mm tapi dapat bervariasi. 88% dari ostium sinus maksilaris bersembunyi di belakang processus uncinatus sehingga tidak bisa dilihat secara endoskopi.
Sinus frontalis
Sinus frontal yang terletak di os.frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkebang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Ukuran sinus frontal adalah 2,8cm tingginya, lebarnya 2,4cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoidalis anterior.
Sinus Ethmoidalis
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoidalis seperti piramid dengan dasarnya dibagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5cm, tinggi 2,4cm dan lebarnya 0,5cm dibagian anterior dan 1,5cm di bagian posterior. Berdasarkan letaknya sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bemuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etomiod anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya dibawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.
Bagian anterior ada bagian yang sempit yang disebut resesus frontal. Bagian ini berhubungan dengan sinus frontal. Sinus ini paling bervariasi dibanding dengan sinus – sinus lainnya. Terletak di dalam massa bagian lateral os etmoid, sinus etmoid bentuknya berongga – rongga terdiri dari sel – sel yang menyerupai sarang tawon. Ukuran anterior-posterior sekitar 4-5 cm, tinggi 2,4 cm lebar di bagian anterior 0,5 cm, di bagian posterior 1,5 cm. Atap sinus etmoid disebut fovea etmoidalis yang berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding
12
lateral adalah lamina papirasea yang membatasi sinus etmoid dengan rongga orbita. Bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.
Sinus Sphenoidalis
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid di bagi menjadi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batasnya adalah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a. Karotis interna dan disebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
Medical Gross Anatomy Atlas Images
Nasal cavity, coronal section
1. Frontal sinus 2. Eye 3. Ethmoid sinus 4. Maxillary sinus 5. Superior concha 6. Middle concha 7. Inferior concha 8. Nasal septum
13
Medical Gross AnatomyAtlas Images
Skull, transverse section
1. Nose 2. Eye 3. Anterior ethmoid sinus 4. Middle ethmoid sinus 5. Posterior ethmoid
sinus 6. Sphenoid sinus 7. Optic nerve 8. Frontal lobe
Anatomi Kompleks Osteomeatal (KOM)
KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior.Terletak Pada sepertiga tengah dinding
lateral hidung, yaitu di meatus media yang merupakan muara-muara saluran dari sinus
maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior berupa daerah yang rumit dan sempit.Pada
potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara
konka media dan lamina papirasea.Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang
terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-
sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.Prosesus unsinatus berbentuk
bumerang memanjang dari anterosuperior ke posteroinferior sepanjang dinding lateral
hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada
ujung superior konka inferior.Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari
infundibulum.Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara
14
etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior.Bula etmoid dapat membengkak sangat
besar sehingga menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus
maksila.Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding anteromedial
dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada
bagian posteroinferolateralnya terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari
tepi terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris
anterior.Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel etmoid
anterior.Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan
anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan membuka sel ini akan memberi jalan menuju
resesus frontal. Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus
media dan merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau
melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi. KOM merupakan unit fungsional yang
merupakan tempat ventilasi dan drenase yaitu sinus-sinus yag letaknya di anterior yaitu sinus
maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini,
makaakan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus terkait.
Fungsi Sinus Paranasal
Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat nahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagi akibat pertumbuhan tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagi fungsi sinus paranasal antara lain :
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan men gatur kelembapan udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisaasi yang sebanyak mukosa hidung
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal mempunyai fungsi sebagai penahan panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataanya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
15
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tualang muka. Akan tetapi bila uadara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat 1% dari berat kepal, sehingga teori ini dianggap tudak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagi rongga uintuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagi resonator yang efektif.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak misalnya pada wwaktu bersalin dan membuang ingus.
6. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilakan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namum efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus tempat yang paling startegis.
Pemeriksaan pada Sinus Paranasal
Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan pemeriksaan yang
meliputi pemeriksaan inspeksi, palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, trasiluminasi,
radiologik, sinoskopi.
Pada pemeriksaan inspeksi dari luar diperhatikan ada tidaknya pembengkakan pada muka,
pipi, kelopak mata. Pemeriksaan palpasi, jika terjadi pada nyeri tekan pada daerah-daerah
sinus, maka terjadi gangguan pada sinus yang bersangkutan.
Pemeriksaan transluminasi, yaitu dengan menggunakan alat sumber cahaya. Akan
tetapi jenis pemeriksaan ini hanya dapat dipakai pada pemeriksaan sinus maksila dan sinus
frontal. Jenis pemeriksaan ini dilakukan jika sarana untuk pemeriksaan radiologik tidak
tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap didaerah infraorbita,mungkin
berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau neoplasma di dalam antrum.
16
Pemeriksaan radiologik dilakukan jika dicurigai adanya kelainan sinus paranasal.
Posisi yang rutin digunakan adalah posisi Waters, P-A dan lateral. Posisi Waters terutama
untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi posterior-anterior
untuk menilai sinus frontal, sedangkan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sfenoid dan
etmoid. Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah
pemeriksaan CT scan.
Pemeriksaan sinoskopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan endoskop yang
dimasukkan ke dalam sinus maksila melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di
fosa kanina. Dalam pemeriksaan tersebut dilihat apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi,
massa tumor atau kista, keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.
SINUSITIS
Definisi
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari,
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh
dunia.Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.Umunya disertai atau
dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis.Penyebab utamanya ialah selesma
(common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi
bakteri.Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pensinusitis.Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan
maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.
Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas,
maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen.Sinusitis dapat
menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi orbita dan intrakranial, serta
menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) tahun 2007, rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat(obstruksi) kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior) dan ataunyeri wajah, rasa tertekan di wajah, dan ataupenurunan atau hilangnya penghidudan salah satu dari temuan nasoendoskopi berupa polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan atauedema obstruksi mukosa di meatus mediusdan atau gambaran tomografi komputer berupa perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus.
17
Etiologi
Beberapa faktor etiologi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan Kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelaianan imunologik, dyskinesia silia seperti sindroma kartagener.
Pada anak hipertrofi adenoid merupakan factor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan dan menyembuhkan rinosinusitisnya.Lingkungan berpolusi, udara dingin, kering serta merokok menyebakan perubhan mukosa dan merusak silia.
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikroba dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
18
terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.Sekret menjadi purulen.Keadaan ini sebagai rinosinusitis akut abcterial dan memerlukan terapi antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor presdiposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.Pada keadaan ini mungkin diperluklan tindakan operasi.
Klasifikasi
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai 6 minggu dan kronik jika lebih dari 6 minggu.
Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antar 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan.
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secar adekuat.Pada sinusitis kronik adanya faktor presdiposisi harus dicari dan diobati secara tuntas.
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukanpada sinusitis akut adalah steptococcus pnemonia (30-5-%), hemophylus influenzae (20-40%) dan moraxella catarrhalis (4%).Pada anak M. Cattarhalis lebih banyak ditemukan (20%).
Pada sinusitis kronik, faktor presdiposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri negatif gram dan anaerob.
EPOS 2007 mengklasifikasikan sinusitis menjadi akut jika kurang dari 12 minggu dengan resolusi komplit gejala, dan kronik jika lebih dari 12 minggu tanpa resolusi gejala komplit (termasuk kronik eksaserbasi akut).
Berdasarkan beratnya penyakit, maka dibagi menjadi ringan, sedang dan berat berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) (0-10 cm) :
- Ringan = VAS 0-3- Sedang = VAS > 3-7- Berat = VAS > 7-10
Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari pertanyaan :
Berapa besar gangguan dari gejala rinosinusitis saudara?
Tidak mengganggu 10 cm gangguan terburuk yang masuk akal
Nilai VAS . 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien
19
Tanda dan Gejala Gejala Sinusitis maksila
Berupa rasa nyeri dibawah kelopak mata dan kadang tersebar ke alveolus sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih (referred pain) dapat terasa di dahi dan depan telinga. Pembengkakan di pipi, kelopak mata bawah.
Gejala Sinusitis sfenoidBerupa rasa nyeri pada verteks, oksipital, belakang bola mata atau daerah mastoid.
Gejala Sinusitis etmoidBerupa rasa nyeri pada pangkal hidung, kantus medius, kadang-kadang pada bola mata atau dibelakang bola mata.Akan terasa makin sakit bila pasien menggerakkan bola matanya.Nyeri alih (referred pain) dapat terasa pada pelipis (parietal).
Gejala Sinusitis frontalBerupa rasa nyeri yang terlokalisir pada dahi atau seluruh kepala.Pembengkakan pada kelopak mata atas dan dahi.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/ anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak nafas pada anak.Sinusitis akut memiliki gejala keluhan nyeri atau rasa tertekan di daerah sinus yang terkena. Sinusitis kronik gejalanya tidak khas sehingga sulit didiagnosis.
SINUSITIS DENTOGEN
Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secaara lansung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Harus curiga adanaya sinusitis dentogen pada sinusitis mnaksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobatai sinus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobatai sinusitisnya gigi yang terinfeksi harus divisnya gigi yang terinfeksi harus dicabut ataau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila.
Gejala dan Tanda Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tesumbat disertai nyeri / rasa tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip).Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain).Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantar atau dibelakang kedua bola mata menandakan
20
sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal.Pada sinusinis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid.Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia / anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorokan, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalh serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.
DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini (kriteria diagnosis EPOS 2007 tercantum dalam skema penatalaksanaan gambar 1 – gambar 7).Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinus etmoid posterior dan sfenoid).
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemesis.Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantue medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT Scan. Foto polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level) atau penebalan mukosa.
CT Scan sinus merupakan gold standart diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidubg dan sinus secxara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra operasi sebagia panduan operator saat melakukan operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan mmenjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes rresistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius / superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna.Lebih baik lagi bila diambvil sekret yang keluar dari fungsi sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan fungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.
TerapiTujuan terapi sinusitis ialah : 1) mempercepat penyembuhan 2) mencegah komplikasi dan
21
3) mencegah perubahan menjadi kronik.Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk mengilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin.Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosforin generasi ke-2.Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob.Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral / topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergik yang berat.
Tindakan OperasiBedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi.Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.
Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
KomplikasiKomplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik.Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita).Yag palin sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui troboplebitis dan perkontinuitatum.Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trobosis sinus cavernosus.Kelainan intrakranial.Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa :Osteomielitis dan abses subperiostal.Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak.Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
22
Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis.Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.
SINUSITIS JAMUR
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, sauatu keadaan yang tidak jarang ditemukan. Angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosopresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan predisposisi antara lain diabetes militus, neutropenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit.
Jenis jamur yang paling sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergillus dan candida. Perlu diwaspadai adanya sinusitis jamur pada kasus sebagai berikut; Sinusitis unulateral, yang sukar disembuhkan dengan terapi antibiotik. Adanya gambran kerusakan tulang dinding sinus, atau bila ada membran berwana putih keabu-abuan pada irigasi antrum.
Para ahli membagi sinusitis jamur sebagai bentuk infasif dan non-infasif, Sinusitis jamur infasif terbagi menjadi infasif akut fulminan dan infasif kronik indolen. Sinusitif jamur infasif akut, ada infasif jamur ke jaringan dan vaskuler, sering terjadi pada pasien diabetes tidak terkontrol, pasien dengan imunosupresi seperti leukemia, atau neutropenia, pemakaian steroid lama dan terapi imunosupresan. Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah dapat menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan dapat merusak dinding sinus, jaringan orbita dan sinus kavernosus. Di kavum nasi, mukosa berwarna biru kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering berakhir dengan kematian.
Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat kronik dan progresif dan bisa juga menginvasi sampai ke orbita dan atau intrakarnial, tetapi gambaran klinisnya tidak sehebat bentuk fluminan karena perjalanan penyakitnya lebih lambat. Gejalanya seperti sinusitis bakterial tetapi sekret hidungnya kental dengan bercak-bercak kehitaman, yang bila dilihat dengan mikroskop merupakan koloni jamur.
Sinusitis jamur non-invasif, atau miestoma merupakan kumpulan jamur di dalam rongga sinus tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang. Sering mengenai sinus maksila. Gejala klinis menyerupai sinisitis kronis berupa rinore prulen, postt nasal drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada massa jamur juga pada kavum nasi. Pada operasi bisa ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan kotor dengan atau tanpa pus dalam sinus. Tetapi untuk sinusitis jamur invasif ialah pembedahan, debridement, anti jamur sistemik dan pengobatan terhadap penyakit dasatnya. Obat standar ialah amfotersin B,bisa ditambah rifampisin atau flustosion agar lebih efektif, pada miestoma hanya perlu diterapi
23
bedah untuk membersihkan massa jamu, menjaga drainase dan ventilasi siinus, tida diperlukan anti jamur sistemik.
Gambar 1. Skema Penatalaksanaan Rhinosinusitis Akut pada Dewasa untuk Pelayanan Kesehatan Primer
24
Gambar 2. Skema Penatalaksanaan Rhinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk
Dokter Spesialis THT
25
Gambar 3. Skema Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronik dengan atau Tanpa Polip Hidung pada Dewasa untuk pelayanan Kesehatan Primer dan dokter spesialis NDN
THT
26
Gambar 4. Skema Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung pada Dewasa untuk Dokter Spesialis THT
Gambar 5. Skema Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronik dengan Polip Hidung pada Dewasa untuk Dokter Spesialis THT
27
Gambar 6.Skema Penatalaksanaan Rhinosinusitis Akut pada Anak
Gambar 7. Skema Penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada anak
28
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis pasien ini mengeluh pilek sejak 3 minggu dan berbau, demam dan sakit kepala dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya hipertrofi konka nasal kiri dan karies pada dens molar 1 serta nyeri tekan pada daerah wajah maka diagnosis pada pasien ini adalah sinusitis maksilaris sinistra dentogen. Dan diterapi dengan clindamycin, ambroxol, paracetamol dan cetirizine.
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secaara lansung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Harus curiga adanaya sinusitis dentogen pada sinusitis mnaksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobatai sinus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobatai sinusitisnya gigi yang terinfeksi harus divisnya gigi yang terinfeksi harus dicabut ataau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila.
DAFTAR PUSTAKA29
Higler, Adam Boies. 2007. Boies : Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamental of
otolaryngology) Ed.6. Jakarta : EGC
Matondang, Corry S et al., 2012. Diagnosis Fisis Pada Anak.Jakarta : CV. Sagung Seto
Europian Position Paper on Rhinosinusitis and nasal polyps (EPOS),
2007;www.rhinologyjournal.com;www.eaaci.net
Mangunkusumo, Endang; Soetjipto, Damajanti. 2012. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta : BP-FKUI
30
31