sindroma guillain

Upload: yudhi-aulia

Post on 19-Jul-2015

74 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Sindroma Guillain-Barre (SGB)

PendahuluanSindrom Guillain Barre (SGB) adalah suatu jenis poliradikuloneuropati yang progresif dan akut dengan gejala kelemahan, parestesia dan hiporefleksia, yang biasanya terjadi setelah suatu febris atau penyakit viral. Pada kasus yang berat, kelemahan otot dapat berlanjut menjadi suatu kegagalan pernafasan. Disfungsi otonom yang sangat labil bisa juga terjadi. Sindrom Miller-Fisher adalah suatu varian yang umum dijumpai pada SGB dan terjadi pada 5% kasus SGB. Sindrom terdiri dari ataksia, oftalmoplegia dan arefleksia. Insidensi umur rata rata muncul SGB sekitar 40 tahun, Ratio pria dibandingkan dengan wanita 1,5:1. Dengan puncak pada umur 15 -35 tahun dan 50 -75 tahun serta puncak ringan pada pria antara umur 30 -50 tahun.

Sedangkan Miastenia Gravis (MG) merupakan suatu penyakit otoimun , dengan gejala kelemahan otot yang berfluktuasi dan membaik bila diberikan obat-obat inhibitor antikholinesterase, dan disebabkan karena adanya defek pada transmisi neuromuskuler,yang disebabkan oleh adanya antibodi terhadap reseptor asetilkholin. Kira-kira terdapat 1- 3 diantara 10.000 penduduk yang menderita penyakit 1,2 ini dan wanita dua kali lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria pada umur sebelum 40 tahun dan pria dan wanita sama jumlahnya menderita penyakit ini pada umur yang lebih tua. . Tidak ada penyembuhan, namun pengobatan dapat mengurangi gejala.

PembahasanSindrom Guillain Barre (SGB) terdapat di berbagai belahan di dunia , insidensinya mencapai 0,6 2,4 kasus per 100.000 penduduk pertahun di USA, namun dianggap bahwa angka pelaporan frekuensi yang aktual agaknya sekitar 15% lebih besar dari angka yang dilaporkan. Resiko terjadinya penyakit ini sama diseluruh dunia dan diantara semua ras bangsa, kecuali adanya predileksi musim untuk GBS yang ada hubungannya dengan kampilobakter jejuni di Cina, yang cenderung terjadi di musim panas. Penyakit ini mempunyai gambaran klinis yang khas berupa suatu defisit neurologis yang bersifat menjalar ke atas ( ascending) dan biasanya didahului oleh infeksi pernafasan bagian atas atau infeksi gastrointestinal sebelumnya. Penyakit ini juga mempunyai gambaran cairan serebrospinal yang khas dan gambaran EMG yang berkarakteristik. Sampai sekitar 10 tahun yang lalu SGB dianggap sebagai suatu kesatuan gejala klinis berupa poliradikuloneuropati yang progresif dan akut dengan gejala kelemahan, parastesi dan hiporefleksia yang biasanya terjadi sesudah febris atau penyakit viral. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat berlanjut menjadi suatu kegagalan pernafasan. Disfungsi otonom yang sangat labil juga bisa terjadi. Kelumpuhan maksimal biasanya terjadi setelah 2 minggu setelah permulaan gejala, namun bisa juga terjadi lebih cepat dan mendadak. Pada pasien SGB sering menunjukkan konduksi serabut saraf yang hilang atau melambat.Gangguan pada konduksi saraf ini terjadi karena demielinisasi pada sel akson saraf. Saraf perifer dan radiks saraf merupakan tempat utama terjadinya demielinisasi, namun saraf kranialpun dapat terkena. SGB dianggap terjadi karena suatu respon otoimun, yang dicetuskan oleh suatu penyakit sebelumnya atau beberapa kondisi medis yang lain. Biasanya sel sistem imun hanya menyerang benda asing dan organisme yang menyerang badan, namun pada SGB, sistem imun mulai menyerang sarung mielin yang mengelillingi akson dari banyak saraf perifer, dan kadang-kadang malahan akson juga. Bila sarung mielin terkena, maka saraf tidak bisa mengirim signal secara efisien. Pada SGB yang didahului infeksi virus atau bakteri, virus mungkin

telah merubah sifat sel, sehingga sistem imun menganggapnya sebagai benda asing. Mungkin juga virus tersebut telah merubah sistem imun sehingga kurang bisa mendiskriminasi sel yang seharusnya dikenal sebagai milik badan sendiri, sehingga limfosit tertentu dan makrofag justru menyerang mielin. Limfosit-T yang telah disensitasi berkerja sama dengan limfosit-B untuk membentuk antibodi terhadap komponen sarung mielin yang membantu merusak mielin. Pada kebanyakan pasien, gejala terjadi karena kerusakan pada sarung mielin. Pada sebagian pasien SGB, juga terjadi kerusakan aksonal, yang disebabkan oleh serangan seluler imun yang langsung pada aksonnya sendiri. 1 SGB digambarkan sebagai suatu kumpulan sindrom klinik dengan suatu poliradikuloneuropati yang akut dengan kelumpuhan dan gangguan pada refleks. SGB masih tetap merupakan suatu diagnosis, yang dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan gejala klinis. Walaupun secara klasik dianggap sebagai suatu demyelinating neuropathy, dengan kelumpuhan yang asenden, namun terdapat berbagai varian klinis yang telah dikenal dalam kepustakaan. Berbagai varian ini mempunyai pattern yang sama dalam hal evolusi, penyembuhan, overlapping gejala dan patogenesis otoimun. 5 Sindrom Miller-Fisher adalah suatu varian yang umum dijumpai pada SGB dan terjadi pada 5% kasus SGB. Sindrom terdiri dari ataksia, oftalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terutama terlihat sewaktu berjalan dan pada badan, dan ekstremitas tidak begitu terkena. Yang khas adalah, bahwa kekuatan motorik biasanya masih baik dan perjalanan penyakitnya gradual dan penyembuhan yang sempurna terjadi setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Terdapat hubungan yang erat dengan antibodi antigangliosid dan varian ini. Antibodi anti-GQ1b yang di trigger oleh strain C. jejuni tertentu, mempunyai suatu spesifitas dan sensitivitas yang tinggi untuk penyakit ini. Konsentrasi tinggi dari gangliosid GQ1b ditemukan di n okulomotorius, trokhlearis dan abdusens, yang dapat menerangkan hubungan antara antibodi anti-GQ1b dengan oftalmoplegia.

Pada pungsi lumbal tampak disosiasi sitoalbuminik pada likuor serebrospinalis dan pada EMG tampak tanda-tanda khas dari suatu proses demielinisasi pada saraf perifer. Prognosis biasanya baik dan imunoterapi dengan plasmaferesis maupun IVIg dapat diberikan pada pasien dengan penyakit yang berat atau yang penyembuhannya lambat. SGB, penyakit ini biasanya mempunyai suatu pattern yang asenden dengan kelumpuhan yang progresif, yang dimulai dari ekstremitas bawah, disertai dengan arefleksia. Kelemahan hampir selalu simetris dan harus dipertimbangkan diagnosis yang lain, bila ditemukan kelumpuhan yang asimetris. Sekuele biasanya adalah dalam bidang otonomik atau disfungsi saraf motorik, namun juga bisa dalam bentuk gangguan parestesia dan gangguan sensibilitas. Parestesia biasanya dimulai pada ujung jari kaki dan meluas keatas dan sentral. seringkali ada nyeri terutama di pinggang bawah dan pantat, namun bisa juga di paha dan di pundak. Gangguan pada saraf kranial bisa ditemukan pada 4575%1 (3550%) 2 kasus, dan bisa terjadi kelemahan muka, disfasia atau disartri. Bisa pula ditemukan varian Miller-Fisher dengan oftalmoplegi dan ataksia (23%) 2 Pada SGB juga bisa tampak gangguan pada tanda-tanda vital yang menandakan adanya suatu disfungsi otonom dan bisa dalam bentuk bradikardia atau takhikardia, hipotensi atau hipertensi, hipotermia atau hipertermia. Disfungsi otonom bisa terjadi pada 26% pasien dan mencakup sistem simpatik dan parasimpatik. Selain fluktuasi pada denyut jantung, tekanan darah dan suhu, juga bisa terjadi anhidrosis, ileus paralitik, gangguan miksio dan disfungsi pupil. Gangguan saraf kranial bisa terkena pada 45 75 % kasus dan urutan dari banyaknya terjadi adalah pada saraf fasial, bulber, mengunyah dan okuler. Berlainan dengan kelemahan ekstremitas yang simetris, maka biasanya kelumpuhan otot muka terjadi secara asimetris. Disrefleksia, refleks biasanya menurun atau menghilang pada pasien dengan kelumpuhan. Bila ada kelumpuhan disertai refleks yang normal, harus dipertimbangkan suatu diagnosis alternatif yang lain. Hipotonia, gangguan sensorik, kelumpuhan yang desenden pada

varian bulber seperti disfagia, disartri dan mengeluarkan air liur. Paralisis otot pernafasan bisa terjadi pada 25% kasus SGB.

Patologi SGBPemeriksaan patologis pada saraf penderita, penyakit ini menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi. Uniknya selaput myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih tinggi. Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf, oleh karena hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin berhenti sama sekali, sehingga penderita SGB mengalami gangguan motorik dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. Bila otot-otot pernafasan terserang, maka fungsi kardiopulmunari akan terganggu pula. Di samping itu hancurnya selaput myelin mungkin juga menyerang cranial nerves termasuk diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari system saraf otonomik. Oleh karena, itu bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, system saraf otonom mungkin saja terganggu. Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu, sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu setelah kelemahan berhenti. Problematik Fisioterapi Dalam kasus SGB ini ada 4 problem yang menonjol berkaitan dengan penatalaksaan Fisioterapi yaitu: a. Gangguan Musculoskeletal Gangguan musculoskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan otot. Kelemahan otot tersebut disebabkan oleh terhambat atau terhentinya konduksi saraf spinalis ke neuromusculojunction, yang satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa serabut otot yang mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron. Saraf yang menginervasi motor neuron berasal dari beberapa akar saraf tulang belakang, jadi bila ada satu akar saraf mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot yang mendapat inervasi dari akar saraf lain masih mendapatkan konduksi saraf. Gangguan motorik pada SGB diawali dengan kelemahan otot bagian bawah, mula-mula yang dirasakan kelemahan, bila berlanjut menjadi lumpuh. Kelemahan otot biasanya simetris, antara kanan dan kiri. b. Gangguan Kardiopulmonari Hal yang sama juga terjadi, bila proses kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot pernafasan yakni: otot intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan juga, akibatnya bahkan semakin rumit, oleh karena ekspansi dada berkurang. Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, kemampuan batukpun menurun, sehingga kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan menjadi berkurang. c. Gangguan Saraf Otonomik Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin mencapai tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga gangguan saraf otonom simpatik. Bila gangguan selaput myelin mencapai nervus vagus akan terjadi gangguan parasimpatik, hal ini karena saraf tepi otonom berakar dari akar saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal dan nervus vagus. Gangguan yang tampak adalah naik turunnya tekanan darah, keringat yang berlebihan ataupun postural hipotensi.

d. Gangguan Sensasi Gangguan lain yang dirasakan pasien SGB adalah gangguan rasa (sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar atau nyeri. Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi dan yang telah lama tidak digerakkan. Meskipun gangguan tersebut tidak berbahaya tetapi menimbulkan rasa tidak nyaman.Untuk menegakkan diagnosis biasanya dibuat berdasarkan gejala klinik dan dikonfirmasi dengan tes lain seperti pemeriksaan laboratorium maupun elektrodiagnostik. Pemeriksaan laboratorium berguna untuk menyingkirkan diagnosis lain dan untuk mengakses keadaan fungsional secara lebih baik dan untuk menentukan prognosis. Pada pemeriksaan lumbal pungsi, kebanyakan pasien (90%), tetapi tidak pada semua pasien terjadi peninggian protein likuor (>400 mg/L)1 (>550 )12 tanpa disertai peninggian sel likuor. Pada waktu 2448 jam 1,6 , likuor bisa masih normal dan setelah satu minggu baru meninggi. Walaupun disebutkan , bahwa tidak ada peningkatan dalam jumlah sel (kurang dari 10 leukosit per cc), namun kadang-kadang pada beberapa pasien bisa naik sedikit. 1,2 Protein likuor yang normal tidak menyingkirkan adanya SGB, sebab pada 10 % kasus protein tetap normal dan peninggian protein likuor baru terlihat sampai 1 2 minggu setelah permulaan kelumpuhan. Peningkatan sel dalam likuor pasien SGB yang tipikal , meningkatkan kemungkinan adanya Lymes disease, neoplasma, infeksi HIV , meningitis sarkoid dan penyakit-penyakit lain 6. Pemeriksaan antibodi juga dapat dilakukan karena bisa terdapat antibodi terhadap saraf perifer dan sentral. Pasien dengan varian MillerFisher bisa mempunyai antibodi terhadap GQ1b dan pasien-pasien yang menpunyai antibodi terhadap subtipe GM1 mempunyai prognosis yang lebih buruk. Pada hasil pungsi lumbal dan analisa cairan otak, pada pasien ini didapatkan peningkatan protein yang cukup bermakna, sedangkan pemeriksaan antibodi saraf tidak dilakukan karena sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya selain itu terbentur dengan masalah keuangan dari pasien. Pada beberapa literatur dikatakan, bahwa dapat dilakukan pemeriksaan forced vital capasity (FVC), karena pemeriksaan ini juga dianggap dapat menuntun penyusunan terapi. Jika FVC kurang dari 20 mL/kg, pasien direkomendasikan untuk dirawat di ICU, dan bila FVC < 15 mL/kg, pasien dianjurkan untuk diintubasi. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti EMG dapat membantu menetapkan diagnosis pada SGB, dengan jalan mengukur aktivitas listrik dari otot terhadap respons stimulasi listrik. Juga akan diukur kecepatan hantar saraf (KHS / NCV) sepanjang suatu saraf. EMG dilakukan dengan elektrode jarum dan KHS / NCV diukur dengan menempatkan elektrode tempel pada kulit dan merangsang saraf perifer. Penurunan / perlambatan pada KHS / NCV kadang-kadang baru bisa terlihat setelah 2-3 minggu. Penurunan KHS sampai hanya 20% dari normal, dihubungkan dengan suatu prognosis yang buruk. Menurut guideline National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINDS); maka penemuan elektrodiagnostik yang cenderung kearah GBS adalah hilangnya Hrefleks, CMAP sensorik dengan amplitudo rendah atau hilang dan F-wave yang abnormal. 6 Pemeriksaan Elektrokardiogram dapat terlihat berbagai kelainan pada EKG, termasuk blok atrioventrikuler (AV-block) derajat 2 dan 3, kelainan pada T-wave, depresi ST, melebarnya QRS dan berbagai gangguan pada ritme jantung Penatalaksanaan pasien SGB seringkali sangat rumit dan pengobatan medis dan perawatan yang baik sangat mempengaruhi keluaran (outcome). Dalam fase dini yang masih progresif, harus dilakukan observasi yang seksama dan perawatan di rumah sakit adalah wajib, juga pada kasus2 yang enteng.

Karena terjadi perbaikan spontan pada kebanyakan kasus, maka penatalaksanaan terutama ditujukan pada perawatan yang baik dan menghindari komplikasi infeksi sekunder, namun penatalaksanaan tetap rumit dan melelahkan. Walaupun dalam kepustakaan disebutkan, bahwa hanya 2 jenis terapi (plasmaferesis danImunoglobulin) yang secara spesifik dapat mempengaruhi jalannya penyakit, namun terdapat tindakan2 lain yang membantu untuk mencegah terjadinya komplikasi yang sering menyertai penyakit ini.Pengobatan medikamentosa pada saat ini terutama ditujukan pada imunomodulasi. Menurut petunjuk guideline dariAmerican Academy of Neurology (AAN), maka pengobatan SGB yang dimulai secara dini dalam waktu 2 4 minggu setelah gejala pertama timbul, dapat mempercepat waktu penyembuhan. 6 Hanya plasmaferesis (plasma exchange therapy) dan imunoglobulin intravena (IVIg 7s) yang terbukti efektif. Kedua modalitas pengobatan ini telah terbukti dapat memperpendek waktu penyembuhan sampai 50 % , namun harganya mahal dan ada kesukaran dalam cara memberi dan efektivitas ke 2 regimen pengobatan itu hampir sama dan komparabel. Walaupun terbukti menurunkan beratnya penyakit dan memperpendek waktu adanya gejala, namun outcome jangka panjang belum jelas dipengaruhi oleh obat-obatan ini Plasmaferesis (PE): secara historis dan case control studies terbukti menurunkan beratnya penyakit dan gejala-gejalanya dan memperpendek durasi SGB, namun efeknya biasanya tidak segera dan tidak dramatis. PE seringkali digunakan pada anak2 dan pada sindroma Miller Fisher; suatu varian SGB, namun belum ada bukti definitif mengenai efektivitas PE pada ke 2 penyakit ini, namun telah dipakai secara luas. PE sebaiknya diberikan secepat mungkin pada penderita SGB yang tidak dapat berjalan tanpa bantuan (unable to walk unassisted). Plasma yang akan diganti dalam 4-5x PE yang dilakukan dalam jangka waktu 7 10 hari seluruhnya adalah kira-kira 250 cc/kgbb. Harus dipakai suatu alat dengan pengaliran yang terus-menerus (continuous flow machine), dan cairan pengganti plasma yang dipakai adalah albumin 5%. Pelaksanaan PE yang lebih intensif, misalnya setiap hari tidak dianjurkan, PE biasanya aman dan ditoleransi dengan baik. Untuk melakukan PE dipilih vena perifer yang baik dan bisa juga dilakukan didaerah subklavia. Komplikasi yang bisa timbul adalah instabilitas otonom, hiperkalsemia dan perdarahan karena faktor pembekuan ikut dihilangkan dan infeksi. Imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari SGB dan mengurangi produksi otoantibodi dan meningkatkan pelarutan dan penyingkiran kompleks imun. IVIg menetralisir antibodi mielin yang bersirkulasi melalui antibodi anti idiotipik dan mendown-regulatesitokinin pro-inflamatoir termasuk interferon gamma (INF-gamma). Selain itu juga memblok kaskade komplemen dan mempromosikan terjadinya remielinisasi. Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2g selama 5 hari) atau cara lain dengan pemberian 2g/kg IVIg yang diberikan sekaligus sebagai dosis tunggal. 1 2 dengan pemberian dengan pompa infus (infusion pump), dan bila perlu diulang setelah 4 minggu, sehingga juga memerlukan beaya yang banyak. Pemberian IVIG adalah aman dan lebih mudah daripada PE, namun harganya mahal. IVIG berguna di rumah-rumah sakit, dimana tidak ada fasilitas PE. Kontraindikasi adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA dan antibodi anti IgE / IgG. Tidak ada interaksi dengan obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan. Sebaiknya diperiksa serum IgA sebelum pemakaian IVIg. Harus diketahui pula, bahwa pemberian IVIg dapat meninggikan viskositas serum dan ada kemungkinan terjadinya kejadian tromboembolik, dan infus tersebut juga meninggikan risiko terjadinya serangan migren, dan bisa terjadi aseptik

meningitis (10%), urtikaria, pruritus atau petechiae yang bisa terjadi 2-5 hari post-infus sampai 30 hari. Juga ada peningkatan risiko terjadinya nekrosis renal tubuler pada manula, dan pada penderita diabetes, juga bila ada penyakit ginjal sebelumnya. Perubahan hasil laboratorium yang ada hubungan dengan infus tersebut adalah peninggian titer antibodi antiviral dan antibakterial selama 1 bulan dan bisa terjadi peningkatan LED sampai sebesar 6 kali selama 2-3 minggu dan hiponatremia. Jarang sekali bisa terjadi reaksi allergi dan hipotensi Plasmaferesis dan Imunoglobulin, yang disebut juga terapi spesifik pada SGB perlu dipertimbangkan terutama pada kasus-kasus asenden yang cepat dengan disertai gangguan pernafasan untuk mengurangi waktu perawatan di ICU. Visser et al (1998)15 dalam uji kliniknya mengemukakan, bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara pemberian plasmaferesis dibandingkan dengan IVIg saja atau dengan IVIg yang dikombinasi dengan metilprednisolon, namun the Dutch GuillainBarre Study Group 16 mengemukakan hasil uji kliniknya , yang menyatakan bahwa IVIg dalam kombinasi dengan metilprednisolon 0,5 g sehari selama 5 hari lebih efektif daripada terapi tunggal IVIg. Albumin dipakai pada plasmaferesis, karena plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma dengan pemberian 50 mL/kg dan agaknya juga bisa menyingkirkan otoantibodi dan imun kompleks dari serum dan juga menyingkirkan konstituen sitotoksik dari serum . Kontraindikasi adalah oedema pulmoner dan insufisiensi renal. Tidak ada interaksi dan sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan. Kortikosteroid tidak lagi direkomendasikan untuk terapi pada SGB.8,9 Walaupun demikian, kortikosteroid yang menurut kepustakaan tidak berguna.Bahwa ada hasil dengan memberikan kombinasi steroid dengan IVIg atau dengan plasmaferesis , masih belum jelas betul, namun karena potensi plasmaferesis untuk meningkatkan produksi antibodi, maka suatu kombinasi pemberian plasmaferesis dengan kortikosteroid dianjurkan. Cara pemberian adalah dengan dosis tinggi dan diturunkan perlahan-lahan (tapering off) dengan menggunakan prednison atau metilprednisolon, yang efek sampingnya lebih sedikit. Terdapat berbagai cara pemberiannya, a.l prednison dapat diberikan dengan dosis awal 1 mg/kg (biasanya 60-100 mg/hari untuk orang dewasa). Dosis tinggi dipertahankan sampai adanya perbaikan klinis yang bermakna, lalu selanjutnya pemberian dosis yang sama alternating setiap 2 hari sampai 2 minggu , lalu diturunkan secara tapering off dengan dosis 10 mg setiap 2 minggu sampai tercapai dosis 10 mg/hari (alternating), lalu diturunkan lagi dengan 5 mg/hari pada hari ke 2 (alternating day) dan akhirnya tidak makan obat pada hari ke 2 , lalu diberikan terapi 1 mg/hari setiap 2 hari. Kadang-kadang dipilih metilprednisolon, karena efek samping dikatakan lebih sedikit. Metilprednisolon dapat diberikan dengan dosis 500 mg sehari selama 5 hari 18 lalu di tapering off. Prognosis yang buruk dihubungkan dengan progresivitas gejala yang cepat, umur lanjut, ventilasi lama (> 1bulan) dan penurunan amplitudo potensial aksi otot yang besar, (yang menandakan adanya gangguan aksonal) pada pemeriksaan neuromuskuler. Pada uji klinik yang dipublikasikan dinyatakan, bahwa penyembuhan sempurna bisa diharapkan pada 50 - 95 % kasus. Pada anak-anak, outcome SGB lebih baik. Pada Miastenia Gravis (MG) sistem imun menghentikan kerja neurotransmiter dengan jalan memblok atau merusak reseptor di paut saraf-otot ( neuromuscular junction ), sehingga mencegah otot untuk berkontraksi. Akibatnya adalah, bahwa akan terjadi kelemahan otot , karena penghambatan dari pesan khemis (chemical messages) ini . Biasanya seorang penderita MG mengalami pemburukan gejala setelah melakukan latihan fisik dan akan merasa lebih baik setelah beristirahat. Penyakit ini bisa menyerang otot-otot mata terlebih dahulu dan kadang-kadang penyakit berlanjut dan menelan , mengunyah dan berbicara bisa terganggu. MG jarang menyebabkan kematian, kecuali bila otot pernafasan terkena.

Penyakit ini bervariasi dalam beratnya penyakit dan progresivitas-nya, pada permulaan kelemahan bisa intermiten, dan seringkali gejala pertama adalah menurunnya kelopak mata (ptosis) atau penglihatan dobel, dan pada 15% penderita MG keluhan mata merupakan keluhan tunggal dan ini disebut ocular myasthenia. Bila kelemahan terjadi secara umum, maka disebut generalized myasthenia. 10 Gejala-gejala bisa disimpulkan sbb: * Kelemahan otot dapat berupa kelopak mata yang menurun dan kelemahan otot wajah yang menyebabkan pasien MG seperti memakai topeng , karena terlihat datar, tanpa emosi dan tanpa ekspresi * Kelemahan membaik setelah beristirahat dan memburuk setelah aktivitas fisik * Gangguan visus seperti melihat tidak jelas (blurred vision) dan penglihatan dobel (diplopia) , tak mampu menetapkan penglihatan pada suatu titik tertentu (unsteady gaze) dan ptosis * Slurred speech. * Rasa capai / fatique setelah aktivitas apa saja, walaupun ringan. * Gangguan menelan, mengunyah dan batuk yang bisa menyebabkan pasien tersedak * Gangguan pernafasan * Nafas yang pendek * Jalan seperti bebek ("Waddling like a duck") karena tidak ada keseimbangan * Gangguan pada paru-paru dan infeksi. Perlu disebutkan bahwa kelelahan yang khronis (chronic fatigue) , tanpa kelemahan , bukan merupakan gejala MG. 4,10 Pada pasien ini juga didapatkan kelemahan pada otot otot mata, sering mrasa kelemahan dan jika beristirahat, sering merasa kelelahan setelah aktivitas apa saja walaupun ringan, gangguan menelan jika minum air sehingga pasien menjadi tersedak. Oleh karenanya kami memasukkan ke dalam kriteria miastenia gravis. Prinsip umum pemeriksaan diagnostik pada MG adalah: Rasional: * Karena timektomi atau imunoterapi secara jangka panjang kadang-kadang perlu dilakukan untuk mengobati MG, maka adalah esensial untuk menegakkan diagnosis yang kukuh dan pasti * Suatu diagnosis yang kukuh dan pasti , menghindari pengobatan yang tidak benar menghindari efek samping obat pada pasien-pasien yang tidak menderita MG. 11 dan sewaktu berjalan

Pada waktu melakukan diagnosis, pemeriksaan bisa normal, atau otot-otot menunjukkan kelemahan yang memburuk secara progresif, bila otot dipakai. Refleks dan sensibilitas normal. Kelemahan bisa meliputi lengan , tungkai, otot pernafasan , menelan, berbicara atau kelompok otot mana saja. Otot muka bisa terkena dan biasanya terkena secara dini , termasuk terjadinya ptosis. Secara klinis harus dilakukan pemeriksaan motorik dan refleks dan diukur waktu lamanya bisa melakukan abduksi lengan kedepan dan bisa juga dilakukan dinamometri dari beberapa otot. Cara-cara pemeriksaan diagnostik MG yang secara tradisional dilakukan adalah: elektrodiagnosis serologis farmakologis 12

Strategi tes diagnostik MG : Sebagai panduan umum maka suatu diagnosis yang kukuh dan pasti berdasarkan atas: riwayat penyakit yang khas dan pemeriksaan fisik disertai : 2 tes diagnostik yang positif, terutama yang serologis dan elektrodiagnosis

Pemeriksaan diagnostik MG biasanya harus melingkupi kedua tes yaitu: test terhadap serum antibodi AChR Repetitive nerve stimulation test 12

Elektrodiagnosis : * EMG: * RNS (repetitive nerve stimulation) * Single Fiber EMG, dimana saraf yang mengurus otot di stimulasi secara berulang, dan ini terutama dilakukan pada pasien-pasien tertentu, dimana tes-tes lain negatif atau tidak jelas hasilnya Pada pasien ini didapatkan Harvey Masland test (+) dengan SF EMG abnormal. Hasil yang didapatkan pada pemeriksaan elektrodiagnosis sesuai dengan kriteria miastenia. Serta F-wave conduction block, sesuai dengan kriteria SGB. Tes Tensilon (edrofonium) biasanya positif pada kebanyakan kasus, dan mudah dilakukan sebagaibedside test , namun tidak begitu sensitif atau spesifik seperti pemeriksaan serologis maupun neurofisiologis. Tensilon (edrofonium) memblok enzim yang memecah asetilkholin sehingga pada pemberian akan menyebabkan fungsi otot membaik, yang terlihat sebagai membaiknya kekuatan otot sesaat setelah pemberian injeksi i.v. MRI & CT thorax seringkali dilakukan untuk diagnosis diferensial dan juga untuk memeriksa adanya kelenjar timus , timoma, maupun hyperplasia timus 12 Tes fungsi pulmonal : tes pernafasan

Tes diagnostik lain : untuk MG yang tidak dilakukan secara rutin pada mayoritas penderita MG adalah: motor point biopsy: * menghitung AChR pada paut saraf-otot * mengevaluasi transmisi neuromuskuler dengan metode elektrofisiologis secara in vitro * pewarnaan imunositokhemikal ujung saraf otot (motor endplates) utk imunoglobulin dan komplemennya tes gerakan okuler evaluasi genetik defek dari subunit AChR.12

MG adalah suatu penyakit yang khronis yang tidak ada pengobatannya pada saat ini. Tujuan pengobatan adalah remisi yang dipertahankan dan yang sempurna, yang didefinisikan sebagai tidak adanya gejala dan tanda-tanda (absent symptoms & signs) pada keadaan tanpa pengobatan. Untuk kebanyakan pasien, remisi yang lengkap adalah sesuatu yang mustahil, dan suatu remisi yang parsial lebih merupakan tujuan yang lebih nyata. Terapi dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu: obat yang memperbaiki transmisi NMJ dan gejala kelemahan, namun tidak mempengaruhi perjalan penyakit, termasuk inhibitor AChE, prosedur yang mempengaruhi sistem imun untuk jangka waktu yang terbatas, namun tidak merubah perjalanan alamiah penyakitnya seperti plasmaferesis dan IVIg dan obat-obat dan prosedur yang merubah perjalanan penyakit MG seperti imunosupresan prednison , azatioprin dan timektomi. 13 Pada pasien-pasien tertentu, sukar untuk menetapkan apakah suatu regimen terapi efektif, umpamanya bisa ada gejala-gejala yang memburuk, padahal kekuatan tidak berubah, malahan kadangkala membaik. Pada keadaan demikian, perlu memperoleh data yang kwantitatif sebagai perbandingan yang obyektif, yang sebaiknya dilakukan pada saat yang selalu sama pada setiap hari atau pada dosis terakhir dari piridostigmin. Yang harus di perhatikan dan dibedakan adalah kemungkinan terjadinya suatu miopati steroid pada MG, terutama bila kelemahan bertambah, walaupun ditambah prednison. Asetilkholin dipecah dalam badan oleh enzim yang disebut kholinesterase, dan hal ini dapat di blok oleh obat-obat antikholinesterase seperti piridostigmin. Obat-obatan ini dapat mengontrol MG pada beberapa pasien, namun pada pasien-pasien lain biasanya juga diperlukan penambahan obat-obatan yang lain. Transient symptomatic control dapat dicapai dengan pemberian mestinon secara oral. Mestinon memblok degradasi asetilkholin pada paut saraf-otot (NMJ) dan menyebabkan kadar asetilkholin meninggi sehingga terjadi suatu respons otot yang lebih baik terhadap stimulasi saraf . Mestinon adalah suatu pengobatan simptomatik yang temporer dan tidak mempengaruhi perjalanan penyakit MG . 14Kebanyakan pasien membutuhkan 120 mg mestinon yang dapat diberikan setiap 4-5 jam Neostigmin (prostigmin) dapat juga dipakai (150mg/hari) . Propanteline (Pro-Bantin) atau atropin dapat diberikan bila ada efek samping muskarinik Bila terjadi efek samping nikotinik, maka dosis harus dikurangi . 15Obat-obatan seperti prednisolon dan azatioprin, yang mensupresi sistem imun seringkali dipakai pada pasien dengan kelemahan yang berat , terutama yang tidak ada timoma atau tidak ada kemajuan setelah timektomi. Bila diperlukan perbaikan yang cepat, misalnya bila ada kelemahan yang berat yang menyebabkan gangguan pada pernafasan atau menelan , maka pasien harus dirawat di rumah sakit untuk dilakukan plasmaferesis (plasma exchange) yang menghilangkan antibodi dari darah .

Pada kebanyakan kasus MG, langkah pertama untuk merubah perjalanan penyakit MG adalah melakukan operasi pengangkatan kelenjar timus (timektomi) . Kelenjar timus terletak dibelakang sternum dan dianggap sebagai suatu pusat latihan ("training center") untuk sel-sel imun dalam badan. Semua sel yang memproduksi antibody harus melewati timus untuk di edukasi untuk memproduksi berbagai antibodi. Pada MG , timus memperbesar kehadiran dan kapasitas produksi antibodi dari sel imun yang memproduksi antibodi terhadap reseptor paut saraf-otot (NMJ). Walaupun peranan kelenjar timus pada MG belum diketahui secara pasti , namun beberapa penyelidikan mensugestikan, bahwa suatu timektomi dapat meninggikan kemungkinan terjadinya remisi lebih dari 50%.11 sampai 80%15: Dikatakan bahwa 25% pasien yang menjalani timektomi akan mengalami remisi post-timektomi, 25% menunjukkan perbaikan yang sedang dan 25% menunjukkan perbaikan yang sedikit, sedangkan sisanya tidak ada perubahan pada keadaan klinisnya post-operatif.15 Timektomi juga memfasilitasi kontrol dari gejala MG dengan jalan pengurangan jumlah obat setelah operasi , namun suatu keuntungan dari timektomi belum bisa dilihat sampai 6 18 bulan setelah timektomi, namun harus diketahui bahwa timektomi merupakan terapi pilihan pada pasien-pasien berumur < 10 thn dan > 65 tahun 15 Kortikosteroid memainkan peranan yang penting pada pengobatan MG, karena efektivitasnya dan reliabilitasnya dalam menimbulkan dan mempertahankan remisi yang lama . Kortikosteroid mempengaruhi sistem imun pada beberapa level yang berlainan, namun mekanisme kerjanya pada MG belum diketahui secara pasti. Prednison adalah obat yang paling sering dipakai sebagai obat oral yang diberikan dengan dosis inisial 40 60 mg perhari selama 3 6 minggu lalu diturunkan setelah suatu respons yang baik telah dicapai. Oleh sebab yang tidak diketahui, sebagian besar persentase pasien memburuk kelemahannya, malahan ada yang sampai mengalami krisis setelah pemberian dosis yang tinggi, sehingga pasien-pasien yang mendapatkan dosis 100 mg atau lebih harus di monitor secara seksama , mula-mula dalam perawatan di rumah sakit. Suatu cara lain adalah pemberian dosis dari rendah dan secara perlahan-lahan meninggikannya selama beberapa minggu. Walaupun terdapat berbagai cara pemberian prednison dengan dosis tinggi, namun tujuannya adalah sama , yaitu untuk secepatnya merubah kedalam dosis selang-seling ( alternative day dosing) untuk mengurangi efek samping jangka pendek , yaitu berat badan yang bertambah, hiperglikemi, osteopeni, erosi gaster dan duodenum dan katarak. Dosis yang pasti dan cara pemberian dari prednison harus di cocokkan (tailored) pada setiap pasien tergantung kebutuhannya . Suatu pemberian jangka pendek dari 2g metilprednisolon secara iv yang disusul dengan infus kedua 5 hari kemudian kadang-kadang efektif untuk menghentikan krisis miastenia, namun belum ada uji klinik yang baik mengenai hal ini.13 Prednison adalah suatu steroid dan sering dihubungkan dengan berbagai efek samping. Bila terjadi efek samping yang tidak dapat ditoleransi dan kegagalan pengobatan, maka dapat diberikan imunosupresan yang lain , misalnya azatioprin / imuran. 6 dan siklofosfamide, dan harus diketahui bahwa obat-obatan ini bisa baru bekerja setelah 6 12 / 8 12 bulan.15,16 Pemberian inhibitor AChR tidak selalu menghasilkan suatu remisi dan hasilnya adalah dalam jangka pendek, sehingga seringkali harus dikombinasi dengan imunosupresan. Terapi kombinasi dengan steroid dan azatioprin dianggap superior, dibandingkan dengan steroid saja dan ada yang merekomendasikan prednisolon dengan dosis rendah, dan dinaikkan secara perlahanlahan sampai dosis maksimum 1 mg/kg bb selang sehari (alternating) dan pemberian secara selang sehari ini akan mencegah terjadinya efek samping yang berat, terutama osteoporosis. Peninggian dosis steroid yang cepat akan menyebabkan kelemahan yang bertambah dan harus dicegah , kecuali bila dirawat di rumah sakit. 16

Azatioprin (Imuran)telah dipakai pada pasien yang tidak responsif, tidak ada toleransi terhadap obat, atau yang mengalami relaps dengan kortikosteroid dan juga dipakai sebagai suatu obat yang mengurangi dosis steroid (steroid-sparing agent) yang diberikan secara bersamaan dengan prednison untuk mengurangi efek samping jangka panjang, namun harus diketahui bahwa azatioprin kurang efektif sebagai monoterapi dibandingkan dengan prednison. Dosisnya berbeda-beda, dengan tujuan untuk meninggikan mean corpuscular volume atau penurunan leukosit, sedangkan ada juga yang memberikan suatu dosis tetap yang berdasarkan berat badan, biasanya 3-5 mg/kg/hari. Beberapa hal harus diketahui tentang pengobatan dengan azatioprin yaitu: 1. mulai kerjanya lama (long delay of onset of action ) yaitu sampai 24 bulan sebelum terlihat adanyasteroid-sparing effect. 2. Selain itu terjadi efek samping pada 10% pasien , dengan gejala-gejala seperti flu, yaitu nausea, febris, menggigil , artralgia atau keluhan GI yang biasanya langsung hilang, bila pengobatan dihentikan. 3.Supresi sumsum tulang terjadi pada semua pasien, namun jarang menjadi penyebab penghentian terapi bila dilakukan monitoring dengan baik 4.Terdapat suatu kekhawatiran akan adanya peninggian risiko terjadinya kanker , terutama limfoma setelah terapi selama 10 20 tahun. Karena efek azatioprin baru terlihat setelah 6 12 / 8 12 bulan 16 17 , maka peranan steroid menjadi sangat krusial pada fase ini . Bila azatioprin mulai bekerja, kadang-kadang malahan lebih dini, maka dapat dilakukan penurunan dosis steroid secara perlahan-lahan ( slow tapering off) sampai tercapai dosis maintenance yang paling rendah yang dapat mengontrol gejala-gejalanya MG. Obat-obatan imunosupresan lain perlu dipertimbangkan pula, bila azatioprin tidak dapat ditoleransi dengan baik, atau karena tidak ada efeknya. Metotreksat, siklosporin, siklofosfamid atau mikofenolat dapat ditambahkan . Siklosporin didapatkan efektif dalam suatu uji klinik yang kecil terutama sebagai suatu steroidsparing agent, namun harus diketahui efek sampingnya , yaitu insufisiensi ginjal, hipertensi, nyeri kepala dan hirsutisme. Plasmaferesis dan IVIg. Kadang-kadang perlu diberi tambahan (supplementary treatment) dengan plasmaferesis atauIVIg . Harus diketahui, bahwa plasmaferesis merupakan tindakan yang invasif, sedangkan IVIg mempunyai efek samping antara lain renal yang bisa merupakan suatu komplikasi. 16 Plasmaferesis dan IVIg secara cepat mempengaruhi sistem imun, namun hanya untuk suatu jangka waktu yang pendek. Suatu perbandingan antara plasmaferesis dan IVIg menunjukkan suatu efektivitas yang sama, dan mungkin juga harga yang kurang lebih sama, namun perbedaannya terletak pada mekanisme kerjanya, sehingga sebetulnya bisa merupakan suatu terapi yang saling membantu (complementary therapies) pada MG. 13 Plasmaferesis menghilangkan antibodi, yang dianggap bekerja di NMJ, namun juga memodulasi sistem imun. Respons terhadap plasmaferesis terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari dan berguna untuk mengobati atau menghentikan krisis miastenia(KM) , namun diperlukan peralatan yang khusus untuk memisahkan darah dalam berbagai komponen dan diperlukan personalia yang terlatih sehingga tidak tersedia dimana-mana. Biasanya pengobatan dengan plasmaferesis memerlukan 4 sampai 6 kali pada hari yang selang-seling. Prosedur ini biasanya ditoleransi dengan baik, namun memerlukan akses vena yang baik. Kebanyakan komplikasi terjadi karena kateter vena tsb. 13

IVIg terdiri dari antibodi eksogen yang dikumpulkan (pooled exogenous antibodies) yang didapatkan dari beribu-ribu donor. Mekanismenya belum begitu diketahui, namun antibody eksogen tersebut ber-interaksi pada beberapa tempat yang berlainan , termasuk pengikatan ( binding) pada otoantibodi pada tempat-tempat antigenik yang idiotipik dan pada sel T untuk memodulasi sitem imun. Dosis yang direkomendasi dalam sebulan adalah 2g/kg dibagi dalam dosis selama 5 hari, yang diberikan secara perlahan-lahan untuk menghindari efek samping. Dosis ulangan biasanya 1 g / kg selama 1 2 hari. Dosis yang paling efektif belum ditemukan secara pasti, namun half-life dari IVIg adalah sekitar 4 minggu dan pengulangan pemberian setiap bulan dapat diterima ( reasonable) dengan tujuan untuk mengurangi dosis secara perlahan-lahan (slowly tapering) berdasarkan keadaan klinisnya pasien. Respons terjadi dalam 2-4 minggu 13 Harus diketahui, bahwa MG merupakan penyakit dengan banyak variasi, sehingga pengobatan pasien MG adalah suatu seni dan harus dilakukan secara individual. Terdapat pasien-pasien yang sangat refrakter terhadap pengobatan, yang tetap lemah dan memerlukan berbagai pengobatan untuk mengobati eksaserbasi yang tidak dapat diprediksi terlebih dahulu. Pada situasi yang demikian, maka penemuan dari kombinasi pengobatan yang paling optimum dapat menjadi suatu tantangan. Pada kasus ini tidak diberikan baik IVIG maupun PE, karena kendala keuangan pada pasien , oleh karenanya kami memberikan mestinon. Meskipun orang yang terkena bisa mengalami kelumpuhan total, prognosis penyakit ini cukup bagus. Enam bulan setelah terserang, 85% dari kasus yang dilaporkan sembuh. Secara keseluruhan hanya 5% yang meninggal akibat SGB. Oleh karenanya, disamping perawatan pada tahap akut, tata laksana fisioterapi akan sangat menentukan prognosis, apakah akan ada gejala sisa atau sembuh total.

Penatalaksanaan FisioterapiPenatalaksanaan fisioterapi pada pasien SGB harus dimulai sejak awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Perjalanan penyakit SGB yang unik ada 2 fase yang perlu diperhatikan dalam pemberian program terapi. Yang Pertama adalah fase awal yaitu ketika gangguan masih terus berlanjut hingga berhenti, sebelum kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase ini yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun. Yang Kedua dalah fase lanjut atau penyembuhan ketika kondisi pasien membaik. Pada fase ini pemberian terapi bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dan pengoptimalan kemampuan fungsional pasien a. Gangguan Musculoskeletal Pada fase awal diberikan program latihan aktif, hal ini bila memungkinkan. Bila pasien tidak mampu menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya diberikan bantuan oleh terapis (assisted aktif exercise). Bila kemudian kondisi kelemahan pasien sangat menonjol, diberikan latihan pasif. Exercise diberikan secara sistematis, dari anggota tubuh yang lemah, diakhiri pada anggota tubuh yang kuat, gerakan dilakukan sesuai dengan luas gerak sendi normal. Dalam melakukan exercise, pasien dilarang terlalu berlebihan, karena justru akan merusak motor unit yang dilatih, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. b. Gangguan Kardiopulmonari Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital paru, maka pertukaran gas dalam alveoli meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Dengan demikian bila kekuatan otot intercostal sudah kembali membaik, rongga dada sudah siap kembali mengembang.

Oleh karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator atau manual hyperinflation bisa memberikan efek samping, maka latihan aktif harus segera diberikan. Latihan aktif berupa latihan nafas melalui dada dan perut serta latihan batuk yang berguna untuk mengeluarkan sekresi yang menumpuk dalam paru dan saluran nafas. Apabila pasien belum mampu batuk, dalam mengeluarkan sekresi dapat dibantu dengan ventilator atau manual hyperinflation yang diatur dengan teknik tertentu, di mana panjang ekspirasi diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran nafas bisa dikeluarkan. c. Gangguan Saraf Otonomik Gangguan saraf otonomik perlu dicermati dalam melakukan tindakan fisioterapi. Pada waktu mobilisasi misalnya, dari berbaring ke duduk, tubuh perlu adaptasi oleh karena terjadi perbedaan pengaruh gravitasi terhadap tubuh, tanpa gangguan saraf otonomikpun seseorang yang berbaring lama memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah meningkat atas pengaruh saraf otonom. Pada saat latihan harus dicermati kemampuan komunikasi pasien atau warna muka sebagai indicator tekanan darah d. Gangguan Sensasi Problem sensasi pada pasien SGB yang muncul adalah rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar dan rasa kesemutan. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation). Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi yaitu decubitus. Karena rasa tebal menyebabkan pasien tidak dapat merasakan tekanan kasur pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga terjadi lecet dan akhirnya menjadi luka decubitus. Untuk menghindari hal tersebut harus dilakukan perubahan posisi saat pasien bed rest secara berkala (periodik) .*** Prognosis: MG yang tidak diobati mempunyai angka kematian 25 31 %, namun dengan pengobatan saat ini (terutama menghindari eksaserbasi akut) , angka kematian telah menurun menjadi sekitar 4% Pada 40% penderita MG hanya mempunyai gejala okuler , namun biasanya menjadi ekstraokuler dalam tahun pertama. Dari pasien-pasien yang hanya menderita jenis okuler MG, hanya 16% yang tetap secara eksklusif menderita ocular MG dalam jangka waktu 2 tahun. Pada pasien dengan kelemahan umum, puncak dari kelemahan maksimal biasanya tercapai dalam waktu 3 tahun pertama . Setengah dari jumlah kematian juga terjadi dalam periode ini. Yang tetap hidup setelah 3 tahun pertama, biasanya telah mencapai suatu keadaan steady state atau telah membaik. Pemburukan keadaan setelah 3 tahun umumnya tidak terjadi Faktor risiko yang penting untuk suatu prognosis yang jelek adalah: umur yang lebih dari 40 tahun, menderitanya penyakit belum lama sebelum terjadi progresivitas dan timoma. 1