sind.malabsorbsi

Upload: azman-hakim

Post on 29-Oct-2015

61 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada beberapa tahun belakangan ini sindrom malabsorbsi telah lebih banyak diteliti oleh para ahli di bidang gastroenterologi. Pola maldigesti dan malabsorbsi anak di negara berkembang seperti Indonesia, berbeda dengan negara industri. Di negara berkembang kelainan ini banyak dihubungkan dengan gastroenteritis, bayi berat badan lahir rendah, dan diare pasca bedah, sedangkan di negara maju banyak terdapat pada celiac disease, cystic fibrosis.

Di samping itu banyak keadaan lain yang dihubungkan dengan mukosa yeyunum yang abnormal. Di negara tropik antara lain giardia, cacing tambang, tuberkulosis dan tropical sprue. Giardiasis dihubungkan dengan dengan perubahan struktur mukosa usus. Malabsorbsi karena penyakit cacing tambang adalah sekunder karena defisiensi besi pada penyakit ini serupa dengan yang terjadi pada defisiensi besi tanpa penyakit cacing tambang

Kelainan yang terdapat pada usus terdiri dari ( Anderson, 1977) :

1. Perubahan kondisi intralumen usus halus bagian atas

2. mukosa usus halus yang abnormal

3. hal-hal lain yang patologik merupakan dasar gejala penyakit

4. disfungsi usus besar yang mempengaruhi usus kecil

Elemen-elemen mayor yang mempengaruhi pencernaan normal dan absorbsi nutrisi adalah :

1. Traktus gastrointestinal yang intak (secara anatomi dan fungsional )

2. Enzim-enzim brush border yang normal

3. Emulsifikasi, translokasi dan pengolahan lemak yang normal

4. Fungsi pankreas normal

Sindrom malabsorbsi dapat berupa gangguan absorbsi karbohidrat, lemak, protein, vitamin. Namun demikian yang sering dijumpai pada anak adalah malabsorbsi karbohidrat dan malabsorbsi lemak.

EPIDEMIOLOGI

Masalah yang penting adalah intoleransi laktosa atau defisiensi laktase pada malabsorbsi karbohidrat. Intoleransi laktosa dapat terjadi terhadap susu sapi murni maupun susu formula. Diketahui bahwa susu sapi murni mengandung 4,25-5,0 g% laktosa, sedangkan ASI mengandung 6,8-7,3 g%. Dalam ASI, laktosa merupakan karbohidrat terpenting sebagai sumber kalori. Di Indonesia pada 36 bayi baru lahir terdapat 72,2% yang mengalami intoleransi laktosa. Pada 150 bayi 1 bulan sampai 2 tahun terdapat 51,3%, dan pada 50 anak usia 2 tahun sampai 6 tahun terdapat 72%.

Prevalensi malabsorbsi laktosa sangat bervariasi di seluruh dunia. Pada orang timur termasuk Indonesia prevalensi malabsorbsi laktosa pada orang dewasa sebesar 98%. Penelitian terdahulu oleh Hedgar dkk mendapatkan prevalensi malabsorbsi laktosa 21% pada usia 3-5 tahun dan 58% pada usia 6-11 tahun. Pada penelitian yang dilakukan oleh BKGAI , prevalensi malabsorbsi laktosa murid SLTPN 7 Jakarta lebih adalah 73% lebih tinggi dibanding penelitian lain pada kelompok usia yang lebih muda.

BAB II

PEMBAHASAN

Definisi

Malabsorbsi didefinisikan sebagai setiap keadaan dimana terdapat gangguan proses digesti dan absorbsi nutrien sehingga tidak dapat memasuki rongga usus.

Istilah sindrom malabsorbsi digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang menyebabkan maldigesti atau malabsorbsi makanan seperti distensi perut, pucat, tinja yang banyak dan berbau busuk, otot yang kurus terutama otot proksimal, dan lambat tumbuh serta kurangnya kenaikan berat badan.

Dalam kesempatan ini akan di bahas mengenai :

1. Malabsorbsi karbohidrat

2. Malabsorbsi lemak

3. Malabsorbsi protein

4. Malabsorbsi vitamin

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya malabsorpsi :

Malnutrisi kronis

Gangguan hati dan saluran empedu

BBLR

MEP

Infeksi usus

Imunodefisiensi

Sindroma pertumbuhan bakteri berlebihan

Sindrom usus pendek

Enteropati sensitive-gluten

Malabsorpsi dicurigai bila terdapat :

Gagal tumbuh

Distensi abdomen

Flatus berlebihan

Diatesis bleeding

Keabnormalan tulang

Manifestasi kulit dari defisiensi nutrien

MALABSORBSI KARBOHIDRAT

Karbohidrat dapat di bagi dalam :

Monosakarida ( glukosa, galaktosa, fruktosa )

Disakarida ( laktosa, sukrosa, maltosa )

Polisakarida ( glikogen, amilum, tepung )

Sebelum masuk usus polisakarida dipecah menjadi disakarida oleh amilase dari ludah pankreas. Laktosa merupakan karbohidrat utama dari susu ( susu sapi mengandung 50 mg laktosa per liter )

Etiologi

Intoleransi laktosa terjadi karena defisiensi enzim laktase dalam brush border usus halus.

Pencernaan dan absorbsi karbohidrat

Karbohidrat terpenting dalam diet bayi adalah laktosa, sedang pada dewasa 60% dari karbohidrat dalam diet adalah tepung dan sukrosa dan sedikit sekali laktosa.Walaupun konsep digesti disakarida intralumen telah diterima, namun saat ini jelas bahwa hidrolisis oleh enzim disakaridase terjadi di brush border ( mikrovili ) sel mukosa. Enzim lactase mengubah sukrosa menjadi glukosa dan galaktosa, sukrase mengubah sukrosa menjadi glukosa. Laktase terbentuk pada trimester terakhir kehamilan.

Pada absorbsi monosakarida, misalnya glukosa, terbukti kini diperlukan zat yang membantu transportasi aktif glukosa tersebut, yaitu Natrium.

Tipe Intoleransi Karbohidrat Sumber : Harries, 1978

Disakarida

Monosakarida

Primer- defisiensi sukrase-isomaltase

malabsorpsi

glukosa

- defisiensi laktase

galaktosa

(fruktose

- alaktasia congenital

terabsorpsi)

- hipolaktasia yang timbul kemudian

Sekunder- defisiensi laktase

malabsorpsi

monosakarida

- defisiensi semua disakarida

Patofisiologi

Sugar intolerance (intoleransi gula) timbul bila tubuh mengalami defisiensi salah satu atau lebih enzim disakaridase dan atau adanya gangguan absorbsi serta pengangkutan monosakarida dalam usus halus. Jadi dua faktor yang dapat menimbulkan intoleransi gula ialah faktor pencernaan (digesti) dan faktor absorbsi. Gangguan kedua faktor ini dapat bersifat bawaan (congenital, primer) atau didapat (sekunder). Pada bentuk primer terdapat kelainan genetik, sedangkan bentuk sekunder lebih banyak disebabkan keadaan seperti diare (oleh sebab apapun), beberapa saat setelah diare oleh karena absorbsi belum pulih dan produksi enzim belum sempurna, pasca-operasi usus, terutama bila dilakukan reseksi usus, mal-nutrisi energi protein (atrovi vili).Tanda dan gejala intoleransi karbohidrat

Karbohidrat yang tidak diserap akan menimbulkan beban osmotik (diare berair); oleh bakteri di kolon akan dibentuk gas (abdomen kembung, tinja berbuih, flatus) dan asam-asam organik seperti asam laktat (tinja bersifat asam) dan adanya gula di tinja (reduksi positif). Dengan demikian, tanda dan gejala utama intoleransi gula adalah diare berair, berbuih dan sering flatus, tinja bersifat asam, pH 5,5 atau kurang dan adanya eritema natum dan dalam tinja terdapat gula yang tidak diserap.

Perlu dibedakan antara intoleransi gula dan defisiensi disakaridase (laktase, sukrase, maltase). Yang terakhir dapat terjadi pada suatu kondisi patalogik, ialah rusaknya mukosa usus halus, terutama brush border sel epitel tempat letaknya enzim-enzim tersebut. Namun apakah kerusakan ini akan menimbulkan tanda-tanda intoleransi gula, tergantung kepada beberapa faktor : luasnya kerusakan, banyaknya disakarida yang dimakan pada satu waktu dan umur serta kemampuan anak untuk menyerap kembali cairan hasil kondisi hiperosmolar dalam kolon.

Pemeriksaan laboratorium

1. Pengukuran pH tinja (pH( 6, normal pH tinja 7 8)

2. Penentuan kadar gula dalam tinja dengan tablet Clinitest

Normal tidak terdapat gula dalam tinja. (+ = 0,5%, ++ = 0,75%, +++ = 1%, ++++ = 2%).

3. Lactose loading (tolerance) test

Setelah penderita dipuasakan selama semalam diberi minum laktosa 2 g/kgbb. Dilakukan pengukuran kadar gula darah sebelum diberikan laktosa dan setiap setengah jam kemudian sehingga 2 jam lamanya. Pemeriksaan ini dianggap positif (intoleransi laktosa) bila didapatkan grafik yang mendatar selama 2 jam atau kenaikan kadar gula darah kurang dari 25 mg % (Jones, 1968).

4. Barium meal lactose

Setelah penderita dipuasakan semalam, kemudian diberi minum larutan barium-laktosa. Dilihat kecepatan pasase larutan tersebut. Hasil dianggap positif bila larutan barium-laktosa terlalu cepat dikeluarkan (1 jam) dan berarti pula hanya sedikit yang diabsorbsi.

5. Biopsi mukosa usus halus dan ditentukan kadar enzim laktase dalam mukosa tersebut. Di negeri yang sedang berkembang seperti Indonesia, malabsorbsi yang terjadi akibat malnutrisi energi protein, infeksi usus kronis dan intoleransi sekunder terhadap gula merupakan persoalan sehari-hari.

Kelainan mukosa usus pada bedah mayat tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya pada waktu hidup. Otolisis terjadi cepat sekali setelah penderita meninggal, sehingga analisis mukosa usus yang baik hanya diperoleh dari sediaan yang masih segar.

Setelah cara biopsi usus peroral pada orang dewasa dan anak ditemukan, banyak biopsi usus dilakukan untuk pemeriksaan mukosa usus misalnya pada kwashiorkor, pasca-gastroenteritis, Celiac syndrome, sprue, anemia defisiensi besi.

Untuk diagnosis klinis biopsi usus penting sekali, karena banyak hal dapat diketahui dari pemeriksaan ini, misalnya gambaran vilus dibawah dissecting microscope, gambaran histologis mukosa (mikroskop biasa dan elektron), aktifitas enzimatik (kualitatif dan kuantitatif)

Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, sejak tahun 1968, biopsi usus dilakukan dengan kapsul Watson, modifikasi dari kapsul Crosby. Dari 31 anak dengan malnutrisi energi protein ternyata gambaran vili yang tampak di bawah dissecting microscope menunjukkan kelainan berupa atrofi mukosa berbagai derajat. Pada pemeriksaan histologis juga ditemukan atrofi mukosa disertai serbukan sel yang bertambah dalam lamina propria kripta Lieberkuhn yang dalam dan diduga diserta defisiensi laktase sekunder.

Biopsi usus ternyata tidak berbahaya dan sangat bermanfaat dalam menyelidiki berbagai keadaan klinis yang disertai malabsorbsi usus.

6. Sugar chromatography dari tinja dan urin.

Diagnosis

Dibuat berdasarkan gejala klinis dan laboratorium seperti diatas.

Pengobatan

Diberikan susu rendah laktosa (LLM, Amiron, eiwit melk) atau Free lactose milk formula (sobee, Al 110) selama 2-3 bulan kemudian diganti kembali ke susu formula yang biasa. (kadar laktosa Almiron 1,0%, eiwit melk 1,4%, LLM 0,8%, Sobee 0% dan Al 110 (0%).

Pada intoleransi laktosa sementara, sebaiknya diberikan susu rendah laktosa selama 1 bulan sedangkan pada penderita dengan intoleransi laktose primer (jarang di Indonesia) diberikan susu bebas laktosa.

Prognosis

Pada kelainan primer (congenital) prognosis kurang baik, sedangkan pada kelainan yang didapat (sekunder) prognosis baik.

Maldigesti dan malabsorpsi disakarida sekunder

Di Indonesia lebih banyak terjadi malabsorpsi disakarida sekunder daripada primer dan dihubungkan dengan penyakit gastroenteritis PEM, BBLR, kadang kadang pada keadaan pasca bedah usus.

Patologi kerusakkan mukosa, epitel, dan brush border mengakibatkan depresi aktivitas enzim disakaridase. Laktase lebih mengalami depresi daripada sukrase, maltase (Dahlquist, 1962) dan laktase biasanya terakhir normal kembali pada penyembuhannya (Plotkin dan Isselbacher, 1963). Gambaran perubahan histologik kerusakkan mukosa dengan berbagai derajat atrofinya biasanya selalu terdapat pada defisiensi disakarida sekunder pasca gastroenteritis pada bayi.

Pada penyembuhan mukosa, aktivitas disakarida akan normal kembali, namun pada beberapa keadaan, defisiensi laktase tetap terdapat selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan sesudah jaringan terlihat normal dibawah mikroskop biasa.

Penatalaksanaan

Pada kebanyakkan penderita, pemberian susu bebas laktosa adekuat tapi pada beberapa penderita diperlukan juga yang bebas sukrosa. Lamanya diet bebas atau rendah laktosa sangat variabel. Kebanyakkan penderita tahan makanan normal dalam waktu 2 3 minggu, tapi ada yang memerlukan waktu 2 3 bulan bahkan 6 12 bulan walaupun sangat jarang.

Malabsorpsi monosakarida sekunder

Hal ini dapat terjadi pada bayi muda dan bersifat sementara, namun dapat membahayakan hidupnya. Selain itu sering terdapat pada PEM, dan failure to thrive (lifshitz dkk, 1970). Diperkirakan terdapat hubungan sementara overgrowth, garam empedu terkonjugasi dan transport monosakarida di usus.

Burke dan Anderson (1966), menemukan toleransi monosakarida pada neonatus pasca bedah gastrointestinal. Terdapatnya gula dalam tinja dan hubungannya dengan monosakarida yang dimakan dapat memberi gambaran adanya malabsorpsi monosakarida, lebih-lebih dengan mencatat gejala-gejala yang terjadi pada percobaan dieliminasinya monosakarida dalam diet yang kemudian diberikan lagi.

Penatalaksanaan

Dianjurkan diet bebas karbohidrat, malabsorpsi monosakarida sering sulit pengobatannya dan memerlukan kesabaran dan sering diperlukan infus cairan intravena berulang kali. Disarankan formula glukosa polimer untuk memperbaiki keadaan ini

Malabsorbsi lemak

Pengertian

Malabsorpsi lemak diartikan sebagai suatu keadaan terdapatnya gangguan absorpsi lemak dalam usus sehingga terjadi pengelolaan lemak yang berlebihan dalam tinja. Keadaan dapat atau tanpa disertai diare. Pengeluaran lemak yang melebihi 5 g/hari disebut steatorea. Secara makroskopik steatore dapat ditandai dengan tinja yang lengket, berkilat, dan berlemak, sedangkan secara mikroskopik dapat tampak globul lemak yang memenuhi lebih dari setengah lapangan pandang besar.

Di alam bentuk trigliserida asam lemak umumnya mengandung atom C lebih dari 14, seperti asam palmitat, asam stearat, asam oleat dan asam linoleat. Bentuk ini disebut LCT (Long Chain Triglycerides). Disebut MCT (Medium Chain Tryglycerides) adalah trigliserida dengan atom C6-12 buah. Untuk pengobatan anak dengan malabsorbsi lemak, susu MCT telah banyak digunakan oleh berbagai klinik.

Penyebab

Gangguan absorbsi lemak (LCT) dapat terjadi pada keadaan :

1. Lipase tidak adad atau kurang.

2. Conjugated bile salts tidak ada atau kurang.

3. Mukosa usus halus (vili) atrofi atau rusak.

4. Gangguan sistem limfe usus.

Keadaan ini menyebabkan diare dengan tinja berlemak (steatorea) dan malabsorbsi lemak.

Dalam keadaan sehat absorbsi LCT dari usus halus bergantung kepada beberapa faktor. Hidrolisis dari LCT menjadi asam lemak dan gliserida terjadi di usus halus bagian atas dengan pengaruh lipase pankreas dan conjugated bile salts yang ikut membentuk micelles yaitu bentuk lemak yang siap untuk di absorbsi. Sesudah masuk ke dalam usus kecil terjadi re-esterifikasi dari asam lemak sehingga kemudian terbentuk kilomikron yang selanjutnya diangkut melalui pembuluh limfe.

Absorbsi MCT berbeda sekali dengan LCT, demian pula metabolismenya. MCT dapat diabsorbsi dengan baik dan cepat walaupun tidak terdapat lipase pancreas dan conjugated bile salts, apalagi tidak melalui pembentukan micelles dan kilomikron. MCT akhirnya akan diangkut langsung melalui vena porta dan selanjutnya dalam hati akan dimetabolisme.

Patofisiologi

Malabsorbsi lemak dapat terjadi pada kelainan sebagai berikut :

1. Penyakit pankreas : fibrosis kistik, insufisiensi lipase pancreas.

2. Penyakit hati : hepatitis neonatal, atresia biliaris, sirosis hepatis.

3. Penyakit usus halus : reseksi usus halus yang ekstensif (pada atresia, volvulus, infark mesenterium), penyakit seliak dan malabsorbsi usus (karena kelainan mukosa usus atau atrofi), enteritis regional, tropical sprue, contaminated small bowel syndrome, abetalipoproteinemia (karena gangguan pembentukan kilomikron), malabsorbsi yang sebabnya tidak diketahui. Mungkin sekali terjadi pada diare berulang dan kronis pada malnutrisi energi protein.

4. Kelainan limfe : limfangiektasia usus, gangguan limfe karena -trauma, tuberkulosis, kelainan kongenital.

5. neonatus kurang bulan

Diagnosis

Steatorea atau bertambahnya lemak dalam tinja merupakan suatu conditio sine qua non untuk diagnosis malabsorbsi lemak.

Prosedur yang paling sederhana ialah pemeriksaan tinja makroskopis dan mikroskopis. Tanda-tanda makroskopis tinja yang karakteristik tinja berlemak ialah lembek, tidak berbentuk (nonformed stool), berwarna cokelat muda sampai kuning, kelihatan berminyak.

Pemeriksaan mikroskopis lebih menentukan. Perhitungan kuantitatif metode Van de Kamer atau tinja yang dikumpulkan 3 hari berturut-turut merupakan pemeriksaan yang paling baik.

Bila ekskresi dalam feses lebih dari 15 gram selama 3 hari (5g/hari) maka hal ini menunjukkan adanya malabsorbsi.

Pengobatan

Pengobatan lebih banyak ditujukan pada latar belakang penyebab terjadinya malabsorbsi lemak ini. Kemudian untuk malabsorbsi lemaknya sendiri diberikan susu MCT.

Preparat MCT di luar negeri banyak dibuat dari minyak kelapa.

1. Dalam bentuk bubuk : Portagen, atau Tryglyde (Mead Johnson), Trifood MCT milk.2. Dalam bentuk minyak : Mead Johnson MCT oil, Trifood MCT oil.3. Mentega MCT : margarine union.Malabsorpsi dan maldigesti Protein

Maldigesti dan malabsorpsi protein bisa terdapat pada 2 keadaan utama :

1. gangguan pankreas,

2. kelainan mukosa usus halus.

Di negara berkembang seperti Indonesia, dengan banyak PEM, kedua keadaan tersebut bisa terdapat bersama-sama sehingga makin memberatkan keadaan PEM-nya.

Gangguan digesti dan absorpsi ini meliputi :

1. defek digesti protein intralumen

2. defek digesti protein dalam brush border dan dalam sel epitel usus

3. transpor asam amino yang abnormal ke vena portaMalabsorpsi asam amino neutral

Sistem transpor aktif ini untuk asam amino neutral tidak terdapat pada suatu penyakit autosom resesif yang disebut Hartnup Disease, nama keluarga yang pertama dilaporkan terkena penyakit ini. Anak-anak ini menderita malabsorpsi asam amino neutral pada usus dan tubulus ginjal yang mengakibatkan terjadinya aminosiduria. Aminosiduria, triptofanuria dan indikanuria merupakan keadaan yang khas untuk Hartnup diseaseMalabsorpsi Triptofan

Dengan terjadinya malabsorpsi triptofan terjadi blue diaper syndrome (Gryboski, 1975). Hal ini berhubungan dengan hiperkalsemia dan nefrokalsinosis. Warna biru pada popok disebabkan oleh ekskresi indol yang meningkat di urin akibat kerja bakteri di kolon terhadap asam amino yang tak dapat diserap. Adanya indol dalam urin dapat diketahui dengan reaksi indikan asam (pemeriksaan Obermeyer).

Malabsorpsi metionin

Malabsorpsi metionin adalah suatu penyakit dengan diare dan kejang sebagai gejala utama (Gryboski, 1975; Hooft dan Antener, 1968). Gejala lain : light blond hair, fair, kulit kering, mata biru, tachypnoe, retardasi mental.

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya ekskresi intermitten hydroxybutyric acid dalam air kencing (sampai 70 mg sehari). Diet metionin pada penderita ini akan mengurangi frekuensi diare, kejang dan gejala lain (Gryboski, 1975).

Malabsorpsi vitamin ( B12).

Beberapa cacat congenital yang jarang dapat mengganggu asimilasi vitamin B12. Keadaan ini jauh lebih jarang dari defisiensi atau malabsorpsi vitamin B12 dalam diet akibat reseksi atau disfungsi ileum terminal. Pada anemia pernisiosa juvenil, produksi faktor intrinsik di lambung tidak sempurna. Akibatnya terjadi malabsorpsi vitamin B12, yang menyebabkan anemia megaloblastik dan kegagalan pertumbuhan. Struktur dan fungsi lambung lainnya normal.

Defisiensi transkobalamin II adalah cacat suatu protein yang diwariskan yang dibutuhkan untuk mengangkut vitamin B12 intestinum. Hasilnya adalah anemia megaloblastik berat, diare, dan muntah.

Imerslund telah menguraikan penderita yang mengalami cacat absorbsi vitamin B12 di ileum. Struktur dan fungsi ileum normal. Anemia megaloblastik muncul setelah berumur akhir tahun pertama. Sering disertai proteinuria.

Pengobatan gangguan-gangguan ini adalah memberikan vitamin B12 dengan suntikan: 1000 (g/minggu untuk defisiensi transkobalamin II dan 100 (g/bulan untuk yang lain.

BAB III

KESIMPULAN

Gastroenteritis, BBLR, dan diare pasca bedah di negara berkembang seperti Indonesia banyak dihubungkan dengan pola maldigesti dan malabsorbsi. Selain itu, kelainan kelainan yang terdapat pada usus juga dapat mengakibatkan sindrom malabsorbsi.

Sindrom malabsorbsi dapat berupa gangguan absorbsi karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin. Namun, yang paling sering ditemukan pada anak adalah malabsorbsi karbohidrat terutama intoleransi laktosa dan malabsorbsi lemak.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya malabsorbsi, oleh karena itu penanganan yang tepat amat dibutuhkan mengingat malabsorbsi dapat mengakibatkan salah satunya gagal tumbuh

DAFTAR PUSTAKA

1. Staf pengajar IKA FK UI. Buku kuliah Ilmu Kesehatan Anak I, 1983.

2. Markum, A.H. Buku ajar Ilmu Kesehatan Anak jilid I, 1991.

3. Behrman, Kliegman. Nelson Edisi 15, Ilmu Kesehatan Anak Volume 2.

4. Suharyono dkk. Gastroenterologi Anak Praktis, 1988.

5. http://www.naspghan.org/sub/Malabsorption.htm.

6. BKGAI, Kongres Nasional II Kumpulan Makalah, 2003.

PAGE 14