sifat pendidik dalam perspektif...
TRANSCRIPT
SIFAT PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF HADIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S. Pd.I)
Oleh:
Ummi Hani
105011000081
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M/1431 H
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
SIFAT PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF HADIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S. Pd. I)
Oleh:
Ummi Hani
105011000081
Di Bawah Bimbingan
Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag
NIP: 195807077198703.1.005
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M/1431 H
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi berjudul: “Sifat Pendidik dalam Perspektif Hadis” diajukan
kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian munaqasah pada tanggal 17 Juni
2010, dihadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I).
Jakarta, 17 Juni 2010
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Jurusan/Program Studi Tanggal Tanda Tangan
Bahrissalim, M. Ag.
NIP: 196803071998031002 ……….. ………………
Sekretaris Jurusan/Prodi
Drs. Sapiuddin Shidiq, M. Ag.
NIP: 196703282000031001 ……….. ………………
Penguji I
Dr. H. Ahmad Syafi’i Noor
NIP: 194709021967121001 ………... ………………
Penguji II
Ahmad Irfan Mufid, MA.
NIP: 19740318003121002 ………… ………………
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A. NIP: 195710051987031003
ABSTRAK
Nama : UMMI HANI
NIM : 105011000081
Judul : SIFAT PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF HADIS
Pendidik (Guru) adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Ia harus berperan secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga professional. Pendidik mempunyai tanggung jawab yang besar dalam proses belajar mengajar, sebab pendidik tidak hanya bertugas menyampaikan materi kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, ia juga bertugas untuk menanamkan nilai positif ke dalam jiwa peserta didik agar tidak hanya cakap dalam ilmu tetapi juga berakhlak mulia. Penelitian terhadap hadis Imam Bukhari, Nasa’i, dan Tirmidzi, adalah untuk mengetahui bagaimana Nabi Muhammad SAW memberikan gambaran dan kriteria tentang sosok pendidik yang ideal. Ini begitu penting untuk diketahui oleh para pendidik. Sebab pendidik tidak hanya dituntut untuk kompeten dalam menyampaikan materi, tetapi juga berusaha untuk mempengaruhi siswa dengan sikap dan keteladanan dirinya. Dengan begitu, proses pendidikan akan berjalan dengan baik. Penelitian ini dilakukan dengan mencari hadis yang di dalam matannya menyebutkan akar kata ‘allama dan ‘alima. Kemudian hadis-hadis tersebut dipilih dengan memilih hadis yang secara substantiv mengandung makna yang berkaitan dengan konsep sifat pendidik. Setelah hadis tersebut terkumpul lalu dicari penjelasan melalui syarahnya yang kemudian ditambah dengan konsep pendidikan modern tentang pendidikan. Selain itu dilengkapi pula dengan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hal tersebut. Adapun hasil penelitian diketahui bahwa, sifat pendidik yang ideal dalam hadis tersebut adalah: seorang pendidik harus penuh kasih sayang dalam mendidik siswanya, adil, demokratis serta senantiasa memberikan motivasi, dan transparan dalam menyebarkan ilmunya kepada orang yang membutuhkan. Sehingga dengan adanya sifat tersebut, tujuan pendidikan akan tercapai, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
i
KATA PENGANTAR
الرحيم الرحمن اهللا بسم Alhamdulillah, tidak ada ungkapan yang lebih dahsyat, yang lebih indah,
untuk diungkapkan selain rasa syukur yang sedalam-dalamnya kepada Allah
SWT, Penguasa alam raya ini. Karena berkat izin-Nya, penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam teruntuk Baginda
Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, sebagai tali
penghubung bagi penulis memohon pertolongan-Nya, dalam setiap aktivitas
selama jantung ini berdetak.
Selama menyusun skripsi ini, banyak kesulitan yang cukup menghambat.
Namun, berkat kesungguhan hati, kerja keras, dan motivasi, serta bantuan dari
semua pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk
itu, penulis dalam kesempatan ini, dengan bangga hati mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Prof. Dr. H. Dede
Rosyada, M. A.
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Jakarta
Bahrissalim, M. Ag dan Drs. Sapiudin Shidiq, M, Ag.
3. Dosen pembimbing skripsi Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag yang
telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam
membimbing penulis.
4. Dra. Hj. Sopiah, M.S, selaku Dosen Penasihat Akademik.
5. . Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing penulis selama kuliah
di UIN Jakarta.
6. Ayahanda Drs. H. Mulyadi, MM, serta Ibunda Hj. Najuah, S. Pd.I,
yang telah mencurahkan segenap kasih dan sayangnya, mengasuh,
membesarkan, serta mendidik penulis dengan penuh cinta. Semoga
semua pengorbanan kalian dibalas dengan limpahan rahmat dan
maghfirah dari Allah SWT amîn
ii
iii
7. Kedua adikku tersayang, Sesilia Umdatul Qori, dan Abu Dzar Al-
Ghifari, yang dengan penuh kasih dan sayang selalu menyemangati
serta membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Seseorang yang kini mengisi relung jiwaku, yang penuh kesetiaan dan
tidak pernah lelah untuk memberikan motivasi untuk penulis. Semoga
Allah memberikan restu-Nya untuk kita.
9. Teman-teman terbaikku, Lila, Vera, Hikmah, Yani, Siti, Asep, Tulus,
yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungannya kepada
penulis.
10. Mudzakir Kholid An-Nadawy yang telah bersedia menjadi Editor
dalam penulisan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan PAI B 2005, yang telah memberikan
pengalaman-pengalaman berharga selama perkuliahan.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada
mereka semua atas amal baik yang telah mereka berikan.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
serta menambah khazanah pengetahuan bagi penulis khususnya dan umumnya
semua pihak.
Jakarta, 29 Mei 2010
Penulis
Ummi Hani
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Permasalahan ........................................................................... 5
1. Identifikasi Masalah ........................................................... 5
2. Pembatasan Masalah .......................................................... 5
3. Perumusan Masalah ........................................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................ 6
1. Tujuan Penelitian ............................................................... 6
2. Kegunaan Penelitian ......................................................... 6
D. Metodologi Penelitian .............................................................. 6
1. Teknik Pengumpulan Data. ................................................ 7
2. Teknik Pengolahan Data .................................................... 7
3. Analisa Data ....................................................................... 7
BAB II : KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pendidik ................................................................. 8
B. Para Pendidik dalam Islam ....................................................... 11
C. Peran dan Tugas Pendidik ........................................................ 15
D. Tanggung Jawab Pendidik. ...................................................... 20
E. Syarat dan Sifat Pendidik dalam Perspektif Pendidikan Islam 22
F. Hak Pendidik ............................................................................ 26
G. Kedudukan Pendidik… ............................................................ 27
vi
vii
BAB III : HADIS
A. Pengertian Hadis ...................................................................... 30
B. Kedudukan Hadis ..................................................................... 31
1. Sebagai Dasar Hukum Islam .............................................. 31
2. Sebagai Dasar Pendidikan .................................................. 34
3. Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan .................................... 35
4. Sebagai Sumber Peradaban ................................................ 37
C. Fungsi Hadis Terhadap al-Qur’an.. .......................................... 38
1. Bayân Taqrîr ...................................................................... 39
2. Bayân Tafsîr ....................................................................... 39
3. Bayân Tasyri ...................................................................... 43
4. Bayân Nasakh .................................................................... 44
BAB IV : SIFAT PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF HADIS
A. Beberapa Sifat Pendidik ........................................................... 46
1. Penyayang. ......................................................................... 46
2. Adil ..................................................................................... 53
3. Demokratis dan Motivator ................................................. 59
4. Transparan .......................................................................... 65
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 70
B. Saran-Saran .............................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 72
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah proses bantuan yang disengaja dari seseorang kepada
orang lain dalam rangka mengembangkan secara optimal semua aspek
kemanusiaannya. Ranah kognitif, afektif dan psikomotor merupakan orientasi
pengembangan aspek pendidikan. 1 Bantuan ini dapat dilaksanakan dalam
lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat.
Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang
pertama dan utama dialami oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat
kodrati. Orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi dan
mendidik anak agar tumbuh dan berkembang dengan baik. 2 Namun, sejalan
dengan perkembangan tuntutan kebutuhan manusia, orang tua dalam situasi
tertentu tidak dapat memenuhi semua kebutuhan pendidikan anaknya. Oleh karena
itu orang tua mengirim anak-anak mereka ke sekolah.3
Sekolah merupakan rumah kedua setelah keluarga bagi anak, pendidikan
di sekolah adalah bagian dari pendidikan dalam keluarga. Di samping itu
1Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, No. 20, Tahun 2003, (Bandung: Fokus
Media, 2009), h. 2. 2Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999),
Cet. Ke-1, h. 33. 3Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. Ke-II,
h. 92.
1
2
kehidupan di sekolah merupakan jembatan bagi anak, yang menghubungkan
kehidupan keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat kelak. 4 Pendidikan
diharapkan dapat mentransfer ilmu pengetahuan terhadap anak didiknya secara
tepat, sehingga anak didik dapat bertanggung jawab, mandiri, berperilaku baik dan
bermanfaat bagi dirinya maupun lingkungannya.
Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara
keseluruhan dengan pendidik atau guru sebagai pemegang peranan utama. Proses
belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian
perbuatan pendidik dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung
dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan
timbal balik antara pendidik dan siswa itu merupakan syarat utama bagi
berlangsungnya proses belajar mengajar. Interaksi dalam peristiwa belajar
mengajar mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar hubungan antara pendidik
dengan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. dalam hal ini bukan hanya
penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap dan
nilai pada diri siswa yang sedang belajar.5
Pendidikan akan menghasilkan mutu yang baik jika semua komponen
pendidikan itu dapat berjalan dengan baik. Pada dasarnya komponen-komponen
pendidikan itu dituntut saling menunjang satu sama lain sehingga dapat tercapai
suatu hasil pendidikan yang optimal. Adapun komponen itu antara lain seperti
faktor guru sebagai tenaga professional, sarana dan prasarana, kurikulum dan
sebagainya.
Guru sebagai tenaga pendidik merupakan figur sentral dalam dunia
pendidikan khususnya saat terjalinnya proses interaksi belajar mengajar. Oleh
karenanya pendidik harus memiliki karakteristik kepribadian yang ideal sesuai
dengan persyaratan yang bersifat psikologis-pedagogis. 6 Seseorang dikatakan
sebagai pendidik atau guru, tidak cukup “tahu” sesuatu materi yang akan
4Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. Ke-1 h.
119. 5Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005).
Cet. Ke-17 h. 4. 6Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional. …, h. ii.
3
diajarkan, tetapi pertama kali ia harus merupakan seseorang yang memang
memiliki “kepribadian guru” dengan segala ciri tingkat kedewasaannya.7 Pendidik
juga merupakan faktor yang paling dominan dalam membantu mewujudkan hasil
pendidikan yang baik, karena merekalah yang bersentuhan langsung dengan
peserta didik dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalaman
serta membina kepribadian peserta didik ke arah yang lebih baik.
Seorang pendidik harus mempunyai sifat dan akhlak yang baik agar anak
yang ada dalam didikannya menjadi anak yang baik pula. Betapa penting dan
beratnya peranan para guru serta tanggung jawabnya, terutama tanggung jawab
moral untuk digugu dan ditiru, yaitu digugu kata-katanya dan ditiru perbuatan dan
kelakuannya.
Pendidik yang memiliki kepribadian yang baik akan selalu dihormati,
dikagumi dan disayang oleh peserta didik. Adapun kepribadian tersebut dapat
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Seorang
guru harus memiliki sifat dan tingkah laku yang terpuji karena mereka adalah
teladan bagi siswa dan masyarakat. Sifat-sifat itu seperti kasih sayang pada
peserta didiknya, adil, demokratis dan senantiasa memberikan motivasi, serta
transparan dalam menyebarkan ilmunya.
Profesi atau jabatan guru sebagai pendidik formal di sekolah memanglah
tidak dapat dipandang ringan karena menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Persyaratan yang cukup banyak untuk dipenuhi oleh guru menunjukkan bahwa
tanggung jawab dan tugas guru memang berat. Namun, justru karena itu dia
mendapatkan kedudukan yang tinggi. Orang yang berpendidikan akan berguna di
lingkungan di mana ia hidup. Orang yang memiliki ilmu pengetahuan akan hidup
mulia dan memiliki derajat yang tinggi di antara manusia-manusia yang lain.ini
semua sesuai dengan firman Allah:
7Sardiman, A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000), cet. Ke-7. h. 135.
4
...Allah akan meninggikan (mengangkat) derajat orang-orang yang beriman di antara kamu sekalian dan orang-orang yang berilmu pengetahuan. (Q.S. al-Mujadalah: 11). Ayat ini menunjukkan betapa Allah SWT memuliakan dan mengangkat
derajat hamba-hambanya yang beriman atau percaya kepada-Nya, di samping itu
juga mempunyai ilmu pengetahuan. Islam sangat menghargai orang-orang yang
berilmu pengetahuan, sehingga hanya mereka sajalah yang pantas mencapai taraf
ketinggian dan keutuhan hidup. 8
Semua sanjungan, kehormatan dan derajat kemuliaan yang Allah jelaskan
dalam ayat di atas adalah untuk para pendidik (guru) yang memiliki ilmu dan
menghiasi diri mereka dengan sifat terpuji.
Namun kenyataannya pada masa sekarang masih banyak guru yang belum
menghayati peran dan tugas mereka sebagai pendidik, terbukti dalam dunia
pendidikan sekarang ini banyak media massa baik cetak maupun elektronik yang
memuat kasus tindakan asusila yang dilakukan oknum guru, seperti tindak
kekerasan, penganiayaan dan sebagainya.
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dikaitkan dengan kenyataan yang
ada, penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian dan menuliskannya
dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul: “Sifat Pendidik Dalam
Perspektif Hadis”. Disamping itu, penelitian tentang sifat pendidik dalam
perspektif hadis perlu dikaji karena dalam Islam hadis memiliki peran yang sangat
penting, hadis yang berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap al-Qur’an,
memiliki kandungan makna yang luas dan lebih rinci. Hadis disamping sebagai
sumber hukum Islam yang dijadikan pedoman umat Islam dalam beragama kedua
setelah al-Qur’an, penjelasannya meliputi berbagai aspek yaitu aspek aqidah,
aspek syari’ah, dan aspek akhlak. Lebih dari itu hadis sebagaimana al-Qur’an juga
sebagai sumber peradaban dan ilmu pengetahuan.
8Zakiah Daradjat, et. al. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), h. 17
5
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa
masalah sebagai berikut:
a. Apa pengertian pendidik?
b. Siapa saja pendidik menurut pandangan Hadis?
c. Apa saja tugas dan tanggung jawab seorang pendidik?
d. Bagaimana kedudukan pendidik dalam Hadis?
e. Bagaimana sifat-sifat pendidik dalam Hadis?
2. Pembatasan Masalah Untuk lebih memperjelas dan memberi arah yang tepat dalam
pembahasan skripsi ini, maka penulis batasi pembahasannya pada sifat terpuji
yang harus dimiliki guru dalam perspektif hadis.
Kata pendidik dalam skripsi ini adalah guru, termasuk di dalamnya
guru bidang agama maupun umum. Baik dalam pendidikan formal, non
formal, maupun informal. Kemudian maksud kata hadis dalam skripsi ini
adalah hadis-hadis yang membahas tentang sifat pendidik. Penelitian ini juga
dibatasi pada hadis-hadis yang secara eksplisit menyebutkan akar kata ’allama
yu’allimu yang berarti mengajar atau mendidik, dan kata ’alima ya’lamu
’ilman, yang berarti mengetahui ilmu. Kemudian dilengkapi dengan hadis-
hadis lain yang sangat erat kaitannya dengan topik yang dibahas, sekalipun
secara eksplisit tidak menyebutkannya. Tetapi konteknya mempunyai
hubungan antara pendidik dan peserta didik. Adapun hadis yang akan
dijadikan rujukan dalam pembahasan skripsi ini adalah:
a. Kitab Sahih al-Bukhari No. 628 dan No. 2586
b. Kitab Sunan at-Tirmidzi No. 2649
c. Kitab Sunan an-Nasai No. 936.
3. Perumusan Masalah
Selanjutnya sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka rumusan
masalah yang akan diteliti adalah:
6
a. Bagaimana sifat-sifat pendidik dalam perspektif hadis?
b. Bagaimana relevansi makna hadis dengan sifat pendidik dalam dunia
pendidikan modern?
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui sifat pendidik dalam perspektif hadis
b. Untuk mengetahui relevansi makna hadis dengan sifat pendidik dalam
pendidikan modern.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
a. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan
Islam (S.Pd.I) pada fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang sifat yang
harus dimiliki seorang pendidik, sehingga dengan demikian, dapat
memberikan masukan dan pembekalan sebagai calon pendidik.
D. Metodologi Penelitian
Sebelum membahas metode-metode yang akan dibahas pada skripsi ini,
ada baiknya terlebih dahulu diketahui makna penelitian itu sendiri.
Menurut Winarno Surakhmad, “Penyelidikan (penelitian) adalah kegiatan
ilmiah mengumpulkan pengetahuan baru dari sumber-sumber primer, dengan
tekanan pada tujuan penemuan prinsip-prinsip umum, serta mengadakan ramalan
generalisasi di luar sampel yang diselidiki.9
Pada skripsi ini, metode yang digunakan penulis adalah library research
atau studi kepustakaan. Yaitu dengan mengumpulkan data-data dari sumber-
sumber kepustakaan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang dikaji, yaitu
9Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Metode Teknik, (Bandung: Tarsito,
1990).h. 28.
7
berupa buku-buku hadis sebagai sumber primer, maupun buku-buku non hadis
sebagai sumber sekunder yang berkaitan dengan sifat pendidik.
Adapun tehnik-tehnik penelitian dalam skripsi ini adalah:
1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang valid dan dapat dipertanggung
jawabkan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan study teks atau
dokumenter. Suharsimi Arikunto dalam bukunya mengatakan “Study
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat, notulen rapat, legger, agenda, dan
sebagainya”.10 Dalam hal ini, penulis menelusuri hadis dengan menggunakan
kamus hadis Al-Mu’jam al-Mufahras Li alfaż al-Hadîs an-Nabawi ke berbagai
kitab induk hadis, dan kitab yang dijadikan rujukan adalah kitab Shahih
Bukhari, Sunan Tirmidzi, dan Sunan an-Nasai melalui kata kunci ’allama dan
’alima. Dan untuk melengkapi data-data yang diperlukan, penulis juga
mencari data melalui internet.
2. Teknik Pengolahan Data
Setelah hadis-hadis yang secara eksplisit dan implisit yang berbicara
tentang sifat pendidik telah terhimpun, penulis menyeleksi beberapa hadis
yang berkaitan dengan sifat pendidik yang sangat urgen bagi penulis.
Kemudian hadis tersebut diterjemahkan.
3. Analisa Data.
Setelah hadis tersebut ditemukan dan diterjemahkan, langkah
selanjutnya adalah menganalisa makna yang terkandung dalam hadis dengan
menggunakan metode deskriptif analisis. Kemudian dipahami dengan
mempertimbangkan komentar-komentar ahli hadis dan syarah hadis dalam
kitab-kitab hadis, kemudian hadis-hadis tersebut dikompromikan dengan
pemikiran tokoh pendidikan modern.
10Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2006), Cet. 17, h. 231.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pendidik
Pendidik (guru), adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses
belajar mengajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya
manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu guru yang
merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan harus berperan serta secara
aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional sesuai dengan
tuntutan masyarakat yang semakin berkembang.1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidik berasal dari kata “didik”
yang mendapat awalan “pen” yang berarti “orang yang mendidik”. Mendidik pada
hakikatnya adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.2
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murabbi,
mu’allim, dan muaddib . Kata murabbi berasal dari kata rabba, yarubbu, rabban,
(mengasuh, memimpin)3 , kata mu’allim merupakan bentuk isim fa’il dari kata
‘allama yu’allimu ta’lîman (melatih) 4 , sedangkan muaddib berasal dari kata
1Sardiman, A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000), Cet. Ke-7, h. 125. 2Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), Edisi Ke-2, h. 263. 3Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2005), h. 136. 4Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia…, h. 277.
8
9
addaba yuaddibu ta’dîban (mendidik)5. Ketiga istilah itu mengandung makna
yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang
dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah
itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam, baik informal,
formal, dan non formal6.
Kata atau istilah murabbi, sering dijumpai pada kalimat yang orientasinya
lebih mengarah pada pemeliharaan, yang meliputi pemeliharaan jasmani dan
rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan
anaknya. Orang tua tentunya berusaha memberikan pelayanan secara maksimal
dengan harapan anaknya akan tumbuh dengan fisik yang sehat, serta memiliki
kepribadian yang terpuji. 7
Adapun istilah mu’allim, umumnya digunakan untuk membicarakan aktifitas
yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan, dari
orang yang tahu kepada orang yang belum tahu. Sedangkan menurut Sayed
Naquib al-Attas sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin istilah muaddib merujuk
makna pendidikan dari konsep Ta’dib, yang mengacu pada kata “adab” dan
variatifnya. Berangkat dari pemikiran tersebut ia merumuskan definisi mendidik
adalah membentuk manusia dalam menempatkan posisinya sesuai dengan susunan
masyarakat, bertingkah laku secara proporsional dan cocok dengan ilmu serta
teknologi yang dikuasainya.8
Dalam literatur pendidikan Islam penggunaan istilah untuk pendidik begitu
beragam, namun demikian, tampaknya istilah mu’allim lebih sering dijumpai
dalam berbagai literatur pendidikan Islam dibandingkan dengan yang lainnya.
5Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia… h. 37. 6Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
(Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999) Cet. Ke-I, h. 35. 7Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), Cet. Ke-6, h. 56. 8Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafndo Persada, 2001) Cet. Ke-I, h.
60.
10
Dalam bahasa Inggris, dijumpai pula beberapa kata yang berdekatan artinya
dengan pendidik, seperti kata teacher yang berarti guru, pengajar, dan tutor yang
berarti guru pribadi, atau guru yang memberi les pelajaran.9
Adapun secara terminologis, para pakar menggunakan rumusan yang
berbeda tentang pendidik.
1. Ahmad D Marimba, mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul
pertanggung jawaban sebagai pendidik, yaitu manusia dewasa yang
karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan
peserta didik.10
2. Menurut Hadari Nawawi, di Indonesia pendidik disebut juga guru,
sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis, guru adalah orang-orang
yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut
bertanggung jawab dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan
masing-masing11.
3. Zurinal menjelaskan, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berasal
dari anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas sebagai
pendidik, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai
dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan12.
4. Ramayulis menjelaskan, dalam pandangan Islam, pendidik adalah: orang
yang bertanggung jawab untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan
serta menginternalisasikan nilai-nilai, serta mengupayakan
perkembangan seluruh potensi anak didik, baik afektif, kognitif maupun
psikomotorik.13
9Jhon M. Echols, dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2003), Cet. Ke-27, h. 581. 10 Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-
Maarif:2000), h. 37. 11 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam… , h. 58. 12Zurinal Z, dan Wahdi Sayuthi, Ilmu Pendidikan, Pengantar dan Dasar-Dasar
Pelaksana Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), Cet. Ke-1, h. 71. 13Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 59.
11
Secara umum, pendidik adalah “orang yang memiliki tanggung jawab untuk
mendidik.14 Mendidik pada hakikatnya ialah segala perbuatan dan perlakuan yang
pada dasarnya memberitahukan, mengesankan dan mengingatkan orang lain
tentang sesuatu yang harus diterima untuk dicontoh, atau setidaknya dijadikan
suatu pedoman yang dianggap benar dalam berpikir, berkehendak, berperasaan
dan berbuat. 15 Sementara secara khusus, pendidik adalah orang-orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan
perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif maupun
psikomotorik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.16
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, pendidik adalah
seseorang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang
berkewajiban untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan,
pengalaman dan sebagainya kepada peserta didik serta menginternalisasikan nilai
dalam kehidupan peserta didik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan..
Pada hakikatnya, pendidik (guru) lebih tepat disebut dengan pendidik
dibanding dengan sebutan sebagai pengajar. Sebab, pengajar lebih cenderung
sebatas menyampaikan materi kepada peserta didik (transfer of knowledge),
sedangkan pendidik mempunyai makna yang lebih mendasar, yakni sebagai orang
yang berusaha membina peserta didik secara utuh, baik pada aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Jelasnya, mendidik tidak hanya transfer of knowledge,
(menyampaikan materi) tetapi juga transfer of values (mentransformasikan nilai
dalam jiwa peserta didik).17
B. Para Pendidik dalam Islam
Pendidik dalam pendidikan Islam ada beberapa macam:
1. Allah SWT
14Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet. Ke-1, h. 41. 15A. Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h. 37 16Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…, h. 41. 17Sardiman, A.M. Interaksi dan Motivasi…, h. 125.
12
Allah merupakan pendidik hakiki dalam Islam, semua ilmu
bersumber dari Allah SWT. Al-Razi, yang membuat perbandingan antara
Allah sebagai pendidik dengan manusia sebagai pendidik sangatlah berbeda,
Allah sebagai pendidik mengetahui segala kebutuhan orang yang dididiknya
sebab Dia adalah Zat Pencipta. Perhatian Allah tidak terbatas hanya terhadap
sekelompok manusia saja, tetapi mendidik dan memperhatikan seluruh
alam.18
Adapun hadis yang menjelaskan Allah sebagai pendidik hakiki
adalah:
نى بيحي نع اشيع نب لياعمسا إنثدة حفرع نب نسحا الحدثن نب اهللادبع تعمس الق يمليالد نب اهللا دبع ني عانبيشو الرمع هقلخ قلخ لجو زع اهللا نإ لوقي اهللا لوسر تعمس لوقو يرمعى دتهإ روالن كذل نم هابصأ نمف هرون نم مهيلى عقلأف ةملظ يف هاور. (اهللا ملى علع ملقلا فج لوقأ كذللف لض هأطخأ نمو 19)ىذمرالت
Bersumber dari Hasan Ibn Arafah dari Ismail Ibnu Ayyasy dari Yahya Ibn ‘Amr al-Syaibani dari Abdillah Ibn al-Dailamy ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: sesunnguhnya Allah Azza Wajalla telah menciptakan ciptaan-Nya dalam kegelapan, kemudian Ia melemparkan kepada mereka petunjuk-Nya, barang siapa yang mendapatkan darinya niscaya ia akan mendapatkan petunjuk, dan barang siapa yang menyalahinya niscaya ia akan sesat, maka yang demikian itu, aku katakan keringnya pena (ilmu) atas ilmu Allah. (H. R. Tirmidzi). 2. Nabi Muhammad SAW
Yang menjadi guru atau pendidik dalam Islam adalah Nabi
Muhammad SAW. Para Rasul yang diutus Allah dengan risalah Ilahiyah,
semuanya adalah para mu’allim yang ditugasi untuk menyampaikan
petunjuk kepada ummatnya agar menempuh jalan yang lurus, serta
18Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. . .., h. 59. 19Abî Isâ Muhammad ibnu Ĩsa ibnu Saurah at-Tirmidzî, Sunan at-Tirmidzî,, Kitâb
al-Imân, Bâb. Man Jâa Fi Iftiraq Hâdzihi al-Ummah, (tt.p., Dar al-Fikr, 1994), Juz 4, h. 292.
13
menyelamatkan mereka dari kegelapan menuju alam yang terang. Juga
mengajarkan kepada ummatnya apa yang belum mereka ketahui.20
Nabi sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai mu’allim
(pendidik). Nabi sebagai penerima wahyu al-Qur’an yang bertugas
menyampaikan petunjuk-petunjuk kepada seluruh umat Islam kemudian
dilanjutkan dengan mengajarkan kepada manusia ajaran-ajaran tersebut.
Hal ini pada intinya menegaskan bahwa kedudukan nabi sebagai pendidik
ditunjuk langsung oleh Allah SWT21. Hadis Nabi:
أشي نإف اهللا نوعديو نآرقال نؤرقي ءآلؤه ريى خلع لآ … تثعا بمنإو نوملعيو نوملعتي ءآلؤهو مهعنم أشي نإو ماهطعأ 22)بن ماجهرواه ا( املعم
…Semua orang berada dalam kebaikan. Yaitu orang-orang yang membaca al-Qur’an dan berdoa kepada Allah, jika Allah berkehendak Ia akan memberikannya (pahala), dan jika Ia berkehendak Ia akan mencegahnya, dan orang-orang yang belajar dan mengajarkan, sesunnguhnya aku diutus sebagai seorang pendidik. (H.R. Ibnu Majah).
3. Orang Tua
Islam mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama yang paling
bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani preserta
didik adalah kedua orang tua untuk mendidik diri dan keluarganya,
terutama anak-anaknya. Dalam ilmu pendidikan kedudukan orang tua
adalah sebagai pendidik kodrat/primair. Karena secara kodrat memang
anak berasal dari orang tua, sehingga orang tua lah yang mempunyai
tanggung jawab primair dalam mendidik anak.23
Keluarga disebut sebagai lingkungan pertama karena dalam
keluarga inilah anak pertama kalinya mendapatkan pendidikan dan
bimbingan. Dan keluarga disebut sebagai lingkungan pendidikan yang
utama karena sebagian besar hidup anak berada dalam keluarga, maka
20Abudin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits . .., h. 209. 21Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. . .., h. 59. 22Ibnu Mâjah, Zawâid Ibnu Mâjah ala al-Kutub al-Khamsah, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Alamiyah, 1993), h. 60. 23M Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),
Cet. Ke-1, h. 10.
14
pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah di dalam
keluarga, dari merekalah anak mulai mengenal pendidikannya. Dasar
pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup banyak tertanam
sejak anak berada di tengah orang tua dan keluarganya.
Oleh karena itu kehidupan dalam keluarga jangan sampai
memberikan pengalaman-pengalaman atau meninggalkan kebiasan-
kebiasaan yang tidak baik yang dapat merugikan perkembangan anak
kelak di masa dewasa. 24 Dan orang tua berkewajiban memberikan
pendidikan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Sabda Nabi:
25)بن ماجهرواه ا( بهموأحسنو أد مآادلوا أومرآا Muliakanlah anak-anakmu dan perbaguslah adab mereka. (H.R. Ibnu Majah).
4. Guru
Sejalan dengan perkembangan tuntutan kebutuhan manusia, orang
tua dalam situasi tertentu tidak dapat memenuhi semua kebutuhan
pendidikan anaknya. Untuk itu, mereka melimpahkan pendidikan anaknya
kepada lingkungan sekolah.
Namun, pelimpahan ini tidak sama sekali mengurangi tanggung
jawab orang tua. Mereka tetap memegang tanggung jawab pertama dan
terakhir dalam pendidikan anak, mempersiapkannya agar beriman kepada
Allah dan berakhlak mulia, membimbingnya untuk mencapai kematangan
berpikir dan keseimbangan psikis, serta mengarahkannya agar membekali
diri dengan berbagai ilmu dan keterampilan yang bermanfaat.
Orang yang menerima amanat orang tua untuk mendidik anak itu
disebut guru, yang meliputi guru madrasah atau sekolah, sejak dari taman
kanak-kanak sampai sekolah menengah, dosen di perguruan tinggi, kyai di
pondok pesantren, dan sebagainya. Namun guru bukan hanya penerima
24M Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan …, h. 22. 25Ibnu Mâjah, Zawâid Ibnu Mâjah…, h. 486.
15
Hadis Nabi:
) اه أحمدرو(وال تعسروا اورسا يورشبو علموا Ajarilah (orang lain tentang agama) dan berilah berita gembira, mudahkanlah mereka, dan janganlah kamu mempersulit mereka. (H.R. Ahmad). Dengan demikian dalam Islam ada empat yang dapat menjadi
pendidik, yaitu: Allah, para Nabi, kedua orang tua dan orang lain (guru).
C. Peran dan Tugas Pendidik
Kehadiran guru dalam proses pembelajaran merupakan peranan yang
penting, peranan guru itu belum dapat digantikan oleh teknologi apapun, baik
radio, tape recorder, internet maupun oleh komputer yang paling modern. Banyak
unsur-unsur manusiawi seperti sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi kebiasaan
dan keteladanan, yang diharapkan dari proses pembelajaran, yang tidak dapat
kecuali melalui pendidik.
1. Guru Sebagai Pendidik dan Pengajar
Guru mempunyai peran ganda sebagai pendidik dan pengajar, kedua
peran tersebut dapat dilihat perbedaannya, tetapi tidak bisa dipisahkan. Tugas
utama sebagai pendidik adalah membantu mendewasakan anak. Dewasa
secara psikologis, sosial, dan moral.
Dewasa secara psikologis berarti individu telah bisa berdiri sendiri tidak
bergantung pada orang lain serta telah mampu bertanggung jawab atas
perbuatannya, serta mampu bersikap objektif. Dewasa secara sosial berarti
telah mampu menjalin hubungan sosial dan kerja sama dengan orang dewasa
lainnya, dan telah mampu melaksanakan peran-peran sosial. Dewasa secara
moral, yaitu telah memiliki seperangkat nilai yang ia akui kebenarannya, ia
26Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. Ke-2,
h. 92-93.
16
pegang teguh dan mampu berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi
pegangannya.
Tugas utama guru sebagai pengajar adalah membantu perkembangamn
intelektual, afektif, psikomotor melalui penyampaian pengetahuan, pemecahan
masalah, latihan-latihan afektif dan keterampilan. Pada waktu guru
menyampaian pengetahuan, tidak mungkin terlepas dari upaya mendewasakan
anak, dan upaya mendewasakan tidak mungkin dilepaskan dari mengajar.
Guru sebagai pendidik terutama berperan dalam menanamkan nilai-nilai
ideal yang merupakan standar dalam masyarakat. Sebagai pendidik guru
bukan hanya penanam dan pembina nilai-nilai, tetapi ia juga berperan sebagai
model, dan sebagai suri tauladan bagi anak.27
2. Guru sebagai Pembimbing
Selain sebagai pendidik dan pengajar, guru juga mempunyai peran
sebagai pembimbing. Perkembangan anak tidak selalu mulus dan lancar,
adakalanya lambat dan mungkin berhenti sama sekali, dalam situasi seperti itu
mereka perlu mendapatkan bantuan dan bimbingan dalam upaya membantu
anak mengatasi kesulitan atau hambatan yang dihadapi dalam
perkembangannya, guru berperan sebagai pembimbing.28
Sebagaimana yang dijelaskan Ahmad D. Marimba bahwa upaya
melakukan bimbingan kepada peserta didik merupakan tugas seorang
pendidik, termasuk juga mengenali segala sesuatu yang berkenaan dengan
peserta didik, baik menyangkut kebutuhan maupun kesanggupannya.
Jabatan pendidik atau guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat
oleh dinas maupun di luar dinas dalam bentuk pengabdian. Tugas pendidik
tidak hanya sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan
dan kemasyarakatan.
Tugas pendidik sebagai suatu profesi menuntut kepada pendidik untuk
mengembangkan profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah tugas
27Nana Saodih Sukmadinata, Landasan Psikologis Proses Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), Cet. I, h. 253.
28Nana Saodih Sukmadinata, Landasan Psikologis…, Cet. I, h. 254.
17
pendidik sebagai suatu profesi. Pekerjaan yang bersifat profesi adalah
pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan
untuk itu, bukan sembarang orang yang mengemban pekerjaan itu sebatas
coba-coba karena tidak ada lapangan pekerjaan lain.
Selanjutnya, mengingat tugas dan tanggung jawab pendidik yang
begitu kompleknya, maka profesi ini memerlukan persyaratan khusus antara
lain:
a. Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu
pengetahuan yang mendalam
b. Menekankan adanya tingkat pendidikan dalam bidang tertentu sesuai
dengan bidang profesinya
c. Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai
d. Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang
dilaksanakannya
e. Memungkinkan perkembangan sejalan dinamika dari pekerjaan.29
Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan
nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas pendidik sebagai pengajar berarti
meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada
anak didik. Tugas pendidik sebagai pelatih berarti mengembangkan
keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak
didik.30
Tugas kemanusiaan adalah salah satu segi dari tugas pendidik atau
guru. Sisi ini tidak bisa pendidik abaikan, karena pendidik harus terlibat
dengan kehidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. pendidik harus
menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Dengan begitu anak
didik dididik agar mempunyai sifat kesetiakawanan sosial.
Pendidik harus dapat menempatkan diri sebagai orang tua kedua,
dengan mengemban tugas yang dipercayakan orang tua kandung anak didik
29 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), Cet ke-17, h. 15.
30Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional…, h. 7.
18
عليه رضي اهللا عنه قال قال رسول اهللا صلى اهللا ةريره ىبأ نع …31إنما انا لكم بمنزلة الوالد اعلمكم : وسلم
Dari Abi Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: aku bagi kalian seperti orang tua yang akan mengajarkan kalian…
Dari Hadis di atas dijelaskan Nabi sebagai seorang Rasul ia juga
berperan sebagai pendidik untuk ummatnya dan memposisikan dirinya sebagai
orang tua ke dua yang penuh rasa kasih dan sayang dalam mendidik anak-
anaknya, memahami kondisi dan watak peserta didiknya. Dengan begitu,
proses pendidikan akan berjalan dengan baik.
Di bidang kemasyarakatan merupakan tugas pendidik yang juga tidak
kalah pentingnya. Pada bidang ini pendidik mempunyai tugas mendidik dan
mengajar masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang bermoral
pancasila. Memang tidak dapat dipungkiri bila pendidik mendidik anak didik
sama halnya ia mencerdaskan bangsa Indonesia. Bila dipahami, maka tugas
pendidik tidak hanya sebatas dinding sekolah, tetapi juga sebagai penghubung
antara sekolah dan masyarakat.32
Mengenai tugas pendidik atau guru, para ahli pendidik Islam dan ahli
pendidikan Barat telah sepakat bahwa tugas pendidik ialah mendidik. Yaitu
mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi
psikomotorik, kognitif, maupun potensi afektif. Semua potensi ini harus
dikembangkan secara simbang sampai ke tingkat setinggi mungkin.33
31Abî at-Ŧayyib, Muhammad Syams al-Haq al-Adzîm Abâdî, Aun al-Ma’bũd, Kitâb at-
Tahârah , (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah), Jilid I, t.t. 32Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik . . ., h. 37. 33 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001), Cet. Ke-4, h. 74.
19
Ramayulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam, menjelaskan tugas
pendidik atau guru dalam pendidikan Islam di bagi kepada dua:
1. Tugas Secara Umum
Guru, sebagai “warasat al-anbiya” (pewaris para Nabi) yang pada
hakikatnya mengemban misi rahmatan lil-‘âlamin, yakni suatu misi yang
mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna
memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan
kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh
dan bermoral tinggi.
Selain itu tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan,
membersihkan, menyucikan hati manusi untuk bertaqarrub kepada Allah.
Sejalan dengan ini Abd al-Rahman al-Nahlawi menyebutkan tugas pendidik
yang pertama: fungsi penyucian yakni berfungsi sebagai pembersih,
pemelihara, dan pengemban fitrah manusia. Kedua: fungsi pengajaran yakni
menginternalisasikan dan mentransformasikan pengetahuan dan nilai-nilai
agama kepada manusia.
2. Tugas Secara Khusus adalah:
a. Sebagai pengajar (intruksional) yang bertugas merencanakan program
pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan
penilaian setelah program itu dilaksanakan.
b. Sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada
tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil, seiring dengan
tujuan Allah menciptakan manusia.
c. Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin dan mengendalikan
diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Menyangkut
upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan,
partisipasi atas program yang dilakukan itu.34
Secara singkat penulis dapat menyimpulkan, bahwa guru memiliki
peran yang begitu urgen, terutama dalam proses kegiatan belajar mengajar. Ia
34 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam . . ., h. 63
20
tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik dan
pembimbing. Kemudian pendidik juga mempunyai tugas yang begitu berat.
Oleh karena itu, kegiatan mendidik ini harus dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki kemampuan dari segi kognitif saja, tetapi juga semua aspek
kepribadiaannya.
D. Tanggung Jawab Pendidik
Sebagai pendidik, guru bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak
didik. Pribadi susila yang cakap adalah yang diharapkan ada pada diri setiap anak
didik. Tidak ada seorang guru pun yang mengharapkan anak didiknya menjadi
sampah masyarakat. Untuk itulah guru dengan penuh dedikasi dan loyalitas
berusaha membimbing dan membina anak didik agar di masa mendatang menjadi
orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.35
Memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik adalah suatu perbuatan
yang mudah, tetapi untuk membentuk jiwa dan watak anak didik itulah yang
sukar, sebab anak didik yang dihadapi adalah makhluk hidup yang memiliki otak
dan potensi yang perlu dipengaruhi dengan sejumlah norma hidup sesuai ideologi,
falsafah dan bahkan agama.
Menjadi tanggung jawab pendidik untuk memberikan sejumlah norma itu
kepada anak didik agar tahu mana perbuatan yang susila dan asusila, mana
perbuatan yang bermoral dan amoral. Semua norma itu tidak mesti pendidik
berikan ketika di kelas, di luar kelas pun sebaiknya pendidik contohkan melalui
sikap, tingkah laku, dan perbuatan. Pendidikan dilakukan tidak semata-mata
dengan perkataan, tetapi dengan sikap, tingkah laku, dan perbuatan.
Anak didik lebih banyak menilai apa yang pendidik tampilkan dalam
pergaulan di sekolah dan di masyarakat daripada apa yang guru katakan, tetapi
baik perkataan maupun apa yang pendidik tampilkan, keduanya menjadi penilaian
anak didik. Jadi apa yang pendidik katakan harus pendidik paraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.
35Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2000), Cet. Ke-1 h . 34.
21
Pendidik atau guru yang bertanggung jawab memiliki beberapa sifat,
Sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah menurut Wens Tanlain
ialah:
1. Menerima dan mematuhi norma, nilai-nilai kemanusiaan 2. Memikul tugas mendidik dengan bebas, berani, gembira (tugas
bukan menjadi beban baginya) 3. Sadar akan nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatannya serta
akibat-akibat yang timbul 4. Menghargai orang lain, termasuk anak didik 5. Bijaksana dan hati-hati, dan 6. Takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.36
Jadi pendidik harus bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku, dan
perbuatannya dalam rangka membina jiwa dan watak anak didik. Dengan
demikian, tanggung jawab pendidik adalah untuk membentuk anak didik agar
menjadi orang bersusila yang cakap, berguna bagi agama, dan bangsa di masa
yang akan datang.
Adapun tanggung jawab pendidik dalam perspektif Islam menurut pendapat
Abd al-Rahman al-Nahlawi yang dikutip oleh Ramayulis adalah:
“Tanggung jawab pendidik dalam perspektif Islam adalah mendidik individu supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan syariat-Nya, mendidik diri supaya beramal saleh, dan mendidik masyarakat untuk saling menasehati dalam melaksanakan kebenaran, saling menasehati agar tabah dalam menghadapi kesusahan beribadah kepada Allah serta menegakkan kebenaran”.37
Tanggung jawab itu bukan hanya tanggung jawab moral seorang pendidik
terhadap peserta didik, akan tetapi lebih jauh dari itu pendidik akan
mempertanggung jawabkan atas segala tugas yang dilaksanakannya kepada Allah.
Sebagaimana hadis Rasul:
:صلى اهللا عليه وسلم ابن عمر رضي اهللا عنه قال قال رسول اهللا عنعلى أهل آلكم راع وآلكم مسؤل عن رعيته والأمير راع والرجل راع
لؤسم مكلآو اعر مكلكف هدلوبيته والمرأة راعية على بيت زوجها و )يذمرالت اهور( .هتيعر نع
36Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik Dalam…,h. 36. 37Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 63
22
Dari Ibnu Umar ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: masing-masing
kamu adalah pengembala dan masing-masing bertanggung jawab atas gembalanya: pemimpin adalah pengembala, suami adalah pengembala terhadap anggota keluarga, dan istri adalah pengembala di tengah-tengah rumah tangga suaminya dan terhadap anaknya. Setiap orang diantara kalian adalah pengembala, dan masing-masing bertanggung jawab atas apa yang digembalanya.38 (H.R. Tirmidzi).
D. Syarat dan Sifat Pendidik dalam Perspektif Pendidikan Islam
Salah satu unsur penting dari proses kependidikan adalah pendidik. Di
pundak pendidik terletak tanggung jawab yang amat besar dalam upaya
mengantarkan peserta didik kearah tujuan yang dicita-citakan. Dalam hal ini
pendidik bertanggung jawab memenuhi kebutuhan kebutuhan peserta didik, baik
spiritual, intelektual, moral, estetika maupun kebutuhan pisik peserta didik. Untuk
dapat mengemban dan melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut
dibutuhkan syarat dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik agar kelak
diharapkan bisa menunaikan tugasnya dengan baik.
Ahmad Tafsir menyebutkan dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Dalam
Perspektif Islam” sebagaimana yang dikutip dari pendapat Soejono, menyebutkan
bahwa syarat pendidik atau guru adalah sebagai berikut:
1. Dewasa
Tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut
perkembangan seseorang jadi menyangkut nasib seseorang. Oleh
karena itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung jawab, itu
hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa; anak-anak tidak
dapat dimintai pertanggung jawaban.
2. Sehat Jasmani dan Rohani
Jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan,
bahkan dapat membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit
38Nadjid ahjad, Tarjamah al-Jâmi’ as-Şagîr, Jilid IV, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995,
Cet. Ke- II, h. 121.
23
menular. Dari segi rohani, orang gila berbahaya juga bila ia mendidik
karena ia tidak akan mampu bertanggung jawab.
3. Ahli dalam Mengajar
Ini penting sekali bagi pendidik, termasuk guru, orang tua di rumah
sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan.
Dengan pengetahuannya itu diharapkan ia akan lebih berkemampuan
menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah. Sering
kali terjadi kelainan pada anak didik disebabkan oleh kesalahan
pendidikan di dalam rumah tangga.
4. Berkesusilaan dan Berdedikasi Tinggi.
Syarat ini amat penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas
mendidik selain mengajar. Bagaimana guru akan memberikan contoh-
contoh kebaikan bila ia sendiri tidak baik perangainya? Dedikasi tinggi
tidak hanya diperlukan dalam mendidik. Selain mengajar, dedikasi
tinggi juga diperlukan dalam meningkatkan mutu mengajar.39
Mereka yang dianggap layak untuk mendidik sebagai pengajar di
lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah-sekolah atau perguruan tinggi)
tentu saja tidak cukup bila hanya mereka yang telah memenuhi syarat-syarat
formal empiris belaka, atau hanya mereka yang memenuhi formalitas saja. Hal ini
disebabkan karena untuk mengisi pekerjaan atau jabatan sebagai pengajar yang
dapat dipertanggungjawabkan untuk mendidik murid dengan sebaik-baiknya,
diperlukan orang-orang yang sungguh berjiwa asli sebagai pengajar.
Dalam perspektif ilmu pendidikan Islam, maka secara umum untuk
menjadi pendidik atau guru yang baik dan diperkirakan dapat memenuhi tanggung
jawab yang dibebankan kepadanya, menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat tidak
sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan seperti di bawah ini:
1. Takwa Kepada Allah SWT
Guru, sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin
mendidik anak didik agar bertakwa kepada Allah, jika ia sendiri tidak
bertakwa kepada-Nya. Sebab ia adalah teladan bagi anak didiknya
39Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan…, h. 80-81.
24
sebagaimana Rasulullah saw menjadi teladan bagi umatnya. Sejauhmana
seorang guru mampu memberi teladan yang baik kepada semua anak
didiknya. Sejauh itu pulalah ia akan diperkirakan berhasil mendidik
mereka agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik dan mulia.
2. Berilmu
Ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu bukti, bahwa
pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu
yang diperlukannya untuk suatu jabatan.
Guru pun harus mempunyai ijazah agar ia diperbolehkan mengajar.
Kecuali dalam keadaan darurat, misalnya jumlah anak didik sangat
meningkat, sedang jumlah guru jauh dari mencukupi. Tetapi dalam
keadaan normal ada patokan bahwa makin tinggi pendidikan guru makin
baik pendidikan dan pada gilirannya makin tinggi pula derajat masyarakat.
3. Berkelakuan Baik
Budi pekerti guru penting dalam pendidikan watak anak didik.
Guru harus menjadi teladan, karena anak-anak bersifat suka meniru. Di
antara tujuan pendidikan yaitu membentuk akhlak yang mulia pada diri
pribadi anak didik dan ini hanya mungkin bisa dilakukan jika pribadi guru
berakhlak mulia pula. 40
Guru yang tidak berakhlak baik tidak mungkin dipercaya untuk
mendidik. Di antara akhlak mulia guru tersebut adalah mencintai
jabatannya sebagai guru, bersikap adil terhadap semua anak didiknya,
berlaku sabar dan tenang, berwibawa, gembira, bersifat manusiawi,
bekerjasama dengan guru-guru lain, bekerjasama dengan masyarakat.
Di Indonesia untuk menjadi guru diatur dengan beberapa
persyaratan, yakni berijazah, profesional, sehat jasmani dan rohani, takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkepribadian luhur, bertanggung
jawab, dan berjiwa nasional.41
40Zakiah Dradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), Cet
ke-4, h. 41-42 41Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik Dalam …, h. 34.
25
Adapun syarat-syarat pendidik dalam perspektif Islam menurut an-
Nahlawi yang dikutip oleh Samsu Nizar adalah:
1. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya.
1. Bersifat ikhlas; melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari keridhaan Allah dan menegakkan kebenaran.
3. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik.
4. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya. 5. Senantiasa membekali diri dengan dengan ilmu, kesediaan diri untuk
terus mendalami dan mengkajinya lebih lanjut. 6. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi. 7. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan
proporsional. 8. Mengetahui kehidupan psikis peserta didik. 9. Tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang
dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola berpikir peserta didik. 10. Berlaku adil terhadap peserta didiknya. 42
Adapun sifat yang harus dimiliki pendidik dalam perspektif
pendidikan Islam menurut para ahli pendidikan Islam , diantaranya:
1. Menurut al-Abrasyi, seperti yang dikutip oleh Ahmad Tafsir dalam
buku “Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam” menyatakan sifat
yang harus dimiliki oleh pendidik adalah:
a. Zuhud b. Tidak ria c. Tidak memendam rasa dengki dan iri hati d. Ikhlas dalam melaksanakan tugas e. Konsisten f. Bijaksana g. Lemah lembut.43
2. Menurut al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Ramayulis dan Samsul
Nizar dalam buku “Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam”
menyebutkan sifat yang harus dimiliki seorang pendidik, adalah:
a. Pendidik hendaknya memandang serta menyanyangi anak didiknya
seperti anak sendiri
b. Dalam melaksanakan tugasnya, tidak mengharapkan imbalan
42 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam …, h. 45-46. 43Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam…, h. 82.
26
c. Mengamalkan ilmunnya
d. Kepada peserta didik yang berakhlak buruk, sebaiknya pendidik
menegurnya sebisa mungkin dengan penuh kasih sayang.
3. Menurut Ibnu Khaldun
a. Pendidik hendaknya menjadi uswatun hasanah bagi peserta didik
b. Pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik dalam
memberikan setiap pelajaran
c. Pendidik hendaknya memiliki kemampuan intelektual yang luas, yang
paham betul dengan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.44
Dari persyaratan-persyaratan di atas, terlihat jelas bahwa menjadi
seorang pendidik tidak mudah. Ia menghendaki sifat dan persyaratan
tertentu yang perlu dipenuhi sebelum profesi tersebut ditekuninya. Oleh
karena itu, tak heran jika Islam meletakkannya pada posisi sangat mulia dan
terhormat.
E. Hak Pendidik
Pendidik merupakan orang yang begitu berjasa dalam mencerdaskan anak
bangsa. Di tangan merekalah tercipta generasi-generasi yang menjadi kebanggaan
bangsa dan negara, oleh karena itu, pendidik berhak untuk mendapatkan:
1. Gaji. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pada bab XI
Pasal 40, dijelaskan bahwa tenaga pendidik dan kependidikan berhak
untuk memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang
pantas dan memadai. 45 Karena pekerjaan mendidik sudah menjadi
lapangan profesi, maka ia berhak untuk untuk mendapatkan kesejahteraan
dalam kehidupan ekonomi berupa gaji atau honorarium. Seperti di negara
Indonesia ini, pendidik merupakan bagian aparat negara yang mengabdi
untuk kepentingan negara melalui sektor pendidikan. Namun jika
dibandingkan dengan negara maju, penghasilan untuk pendidik belum
44Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan di Dunia dan Indonesia,
(Ciputat, PT. Ciputat Press Group, 2005) h. 12. 45Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Fokus Media, 2009), h. 21.
27
memadai. akan tetapi, karena dedikasi dan loyalitas yang tinggi tidak
menjadi halangan bagi para pendidik untuk mendidik para siswanya.
2. Penghargaan. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional juga
dijelaskan bahwa pendidik berhak untuk mendapatkan penghargaan sesuai
dengan tugas dan prestasi kerja46.
F. Kedudukan Pendidik
Pendidikan merupakan cultural transition yang bersifat dinamis ke arah
suatu perubahan yang kontinu sebagai sarana vital bagi membangun kebudayaaan
dan peradaban umat manusia. Dalam hal ini pendidik bertanggung jawab
memenuhi kebutuhan peserta didik baik spiritual, intelektual, moral, estetika
maupun kebutuhan fisik peserta didik.
Dalam kegiatan belajar mengajar, pendidik memegang peranan penting
dan kunci bagi berlangsungnya kegiatan pendidikan. Tanpa kelas, gedung dan
peralatan-peralatan lainnya proses pendidikan masih dapat berjalan walaupun
dalam keadaan darurat. Tetapi tanpa guru, proses pendidikan hampir tidak
mungkin dapat berjalan. Pendidik dalam kegiatan pendidikan bagaikan ruh bagi
jasad.47
Persyaratan yang cukup banyak untuk dipenuhi oleh guru menunjukkan
bahwa tanggung jawab dan tugas guru memang berat. Namun, justru karena itulah
dia mendapatkan kedudukan yang amat tinggi. Guru mendapat kedudukan dan
penghormatan yang tinggi, karena amat besar jasa dalam membimbing,
mengarahkan, memberi pengetahuan, membentuk akhlak, dan menyiapkan diri
agar siap menghadapi hari depan. Dalam Islam pendidik sangatlah dihargai
kedudukannya. Hal ini dijelaskan oleh Rasul, dalam sebuah hadis yang berbunyi:
ى تح ضرألي اف نمو اتاومالس يف نم هل رفغتسيل ماللعا نإو… رئاى سلع رمقال لضفآ دابعى اللع ماللعا لضفو اءمي الف انتيحال
46 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional…, h. 22. 47Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada 2001), h. 206.
28
Dan sesungguhnya para penuntut ilmu akan dimohonkan ampunan oleh
semua yang ada di langit dan bumi hingga ikan-ikan di lautan. Dan keutamaan seorang yang berilmu (pendidik) atas orang yang ahli ibadah seperti halnya bulan dan bintang bintang, sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya para Nabi hanya mewarisi ilmu pengetahuan, maka barangsiapa mengambilnya maka ambillah dengan bagian yang besar. (H.R. Abu Daud).48 Sabda Rasul tersebut menggambarkan tingginya kedudukan orang yang
mempunyai ilmu pengetahuan (pendidik) dengan diberikan kedudukan yang
begitu istimewa oleh Allah, yakni dimintakan ampunan oleh seluruh makhluk
yang ada di langit dan dibumi, mempunyai derajat yang lebih mulia dari pada
seorang yang ahli ibadah, serta menjadi seseorang yang dipercaya untuk
meneruskan tugas yang sangat mulia, yaitu sebagai pewaris para Nabi.
Hal ini beralasan karena dengan pengetahuan dapat mengantarkan manusia
untuk selalu berpikir dan menganalisa hakikat semua fenomena yang ada di alam,
sehingga mampu membawa manusia semakin dekat dengan Allah. Dengan
kemampuan yang ada pada manusia terlahir teori-teori untuk kemaslahatan
manusia.
Namun perlu diingat bahwa pendidik yang mendapat keistimewaan
tersebut adalah para pendidik yang mengamalkan ilmu yang dimilikinya. ilmunya
tidak hanya ia manfaatkan untuk dirinya, tapi juga untuk orang-orang di
sekitarnya.
Pendidikan Islam sarat dengan konsepsi ketuhanan yang memiliki
berbagai keutamaan. Abd al-Rahman al-Nahlawi menggambarkan orang yang
berilmu diberi kekuasaan menundukkan alam semesta demi kemaslahatan
manusia. Oleh karena itu dalam kehidupan sosial masyarakat, para ilmuwan
(pendidik) dipandang memiliki harkat dan martabat yang tinggi. Dan itu pulalah
sebabnya al-Ghazali meletakkan posisi pendidik pada posisi yang penting, dengan
48Sunân abî Dâud, Bab. Al-Hatsu ‘Ala Ŧalab al-Ilmi, (tt.p: Dar al-Fikr, t.t.), Jilid Ke-3, h. 313.
29
keyakinan bahwa pendidik yang benar merupakan jalan untuk mendekatkan diri
pada Allah dan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Keutamaan dan tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi
ajaran Islam itu sendiri, Islam memuliakan ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu
pengetahuan itu di dapat dari belajar dan mengajar, maka sudah pasti agama Islam
memuliakan seorang pendidik.49
49Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 61.
BAB III
KEDUDUKAN HADIS A. Pengertian Hadis
Kata hadis dalam Kamus Arab Indonesia, mempunyai arti berlaku, lawan
kata lama, menceritakan dan memberitahukan.1
Kata hadis berasal dari akar kata: Dari segi اثيدحو حدث يحدث حدوثا bahasa, kata hadis mempunyai beberapa arti yaitu:
1. Baru (jadîd), lawan kata dari terdahulu (qadîm)
2. Dekat (qarîb), tidak lama lagi terjadi, lawan dari jauh (ba’îd)
3. Warta berita (khabar), sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan
dari seseorang kepada orang lainnya.2
Sedangkan dari segi terminologi menurut para ahli hadis adalah:
وتقريرا ما أضيف الى النبي صلى اهللا عليه وسلم قولا أوفعلا أ"
".أوصفةSesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”. Menurut Mahmud at-Thahan sebagaimana dikutip Abdul Majid Khon,
hadis adalah:
.اريرقتوا ألعفوأ الوق انآ اءوس ملسو هيلع ى اهللالى صبالن نع اءا جم
1Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 2007), h. 99. 2Muhammad Ahmad, et. al. Ulumul Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-
2, h.18.
30
31
Sesuatu yang datang dari Nabi SAW baik berupa perkataan atau perbuatan atau persetujuan”.3
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis merupakan sumber
berita yang datang dari Nabi SAW. Adakalanya hadis itu bersifat qauli
(perkataan), adakalanya bersifat fi’li (perbuatan), dan adakalanya bersifat taqrîri
(persetujuan).
B. Kedudukan Hadis
1. Sebagai Dasar Hukum Islam
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu
sumber ajaran Islam. Ia menempati posisi ke dua sebagai sumber ajaran Islam.
Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam baik berupa perintah maupun
larangannya sama halnya dengan kewajiban mengikuti al-Qur’an.4 Hal ini
karena hadis Nabi merupakan penafsiran al-Qur’an dalam praktek atau
penerapan ajaran ajaran Islam secara faktual dan ideal. Mengingat bahwa
pribadi Rasulullah merupakan perwujudan dari al-Qur’an yang ditafsirkan
untuk manusia, serta ajaran agama Islam yang dijabarkan dalam kehidupan
sehari-hari, 5 dengan demikian segala uraian dalam hadis berasal dari al-
Qur’an.
Hadis sebagai sumber Islam ke dua setelah al-Qur’an, selalu
berintegrasi dengan al-Qur’an. Beragama tidak mungkin bisa sempurna tanpa
sunnah sebagaimana syariah tidak mungkin sempurna tanpa didasarkan
kepada sunnah, begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa al-Qur’an.
Antara hadis dengan al-Qur’an memiliki kaitan sangat erat yang untuk
memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisahkan atau berjalan sendiri-
sendiri.
3Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2008) Cet. Ke-1 h.2 4Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) Cet. Ke-4 h. 19 5Muhammad Ahmad, Ilmu Hadis…, h. 18
32
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadis sebagai sumber ajaran
Islam, dapat dilihat beberapa dalil dari al-Qur’an dan hadis seperti di bawah
ini:
a. Dalil al-Qur’an
⌧ .
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah
dan rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS: an-Nisa: 36)
Pada surat di atas Allah menyeru kaum muslimin agar beriman
kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), al-Qur’an, dan kitab yang
diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat Allah SWT
mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.
Selain memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasulullah
SAW, Allah juga menyerukan agar umat-Nya mentaati segala bentuk
perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya baik berupa perintah
maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh pada Rasululah ini sama halnya
dengan tuntutan taat dan patuh pada Allah SWT.
b. Dalil hadis
Selain berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an di atas, kedudukan hadis ini
juga dapat dilihat melalui hadis-hadis Rasul sendiri. Banyak hadis yang
33
menggambarkan hal ini dan menunjukkan perlunya ketaatan kepada
perintah-Nya. Dalam salah satu pesannya berkenaan dengan keharusan
menjadikan hadis sebagai pedoman hidup di samping al-Qur’an Rasulullah
SAW bersabda sebagai berikut:
اهللا ابتا آهمب متكسمت نا إا مدبا أولضت نل نيرما مكيف تآرت 6 )كالم اهور(. هلوسر ةنسو
Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian, jika kalian berpegang pada keduanya niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya. (HR. Mâlik).
Dalam salah satu taqrir (ketetapan) Rasul juga memberikan
petunjuk kepada umat Islam, bahwa dalam menghadapi berbagai persoalan
hukum dan kemasyarakatan, ke dua sumber ajaran yakni al-Qur’an dan
hadis merupakan sumber asasi, sebagaimana dialog antara Rasul SAW
dengan Muadz bin Jabal menjelang keberangkatannya ke Yaman.
Rasulullah bertanya”bagaimana kamu akan menetapkan hukum bila kamu
dihadapkan pada suatu masalah yang memerlukan penetapan hukum?
Muadz menjawab” saya akan menetapkannya dengan kitab Allah”. Lalu
Rasul bertanya lagi “bagaimana seandainya kamu tidak mendapatkannya
dalam kitab Allah”, Muadz menjawab” dengan sunnah Rasulullah, lalu
Rasulllah bertanya lagi “seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam
kitab allah dan sunnah Rasul? Muadz menjawab “saya akan berijtihad
dengan pendapat saya sendiri. Kemudian Rasulullah menepuk pundak
Muadz seraya berkata “ segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan
utusan seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki.(HR. Abi
Daud).7
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
dalam Islam hadis memiliki kedudukan yang begitu penting, selain al-
6Manşũr Alî Nâşif, al-Jâmi’ lil Uşũl, Kitâb al-Islâm wal îman, Juz I, (Beirut: Dar
al-Jâih, t.t.), h. 47. 7 Abî Dâud Sulaiman bin al-Asy’at as-Sijistânî, Sunân Abî Dâud, Kitab al-
Aqdhiyah, Juz 5, (Suriyah: Dar al-Hadis, t.t.), h. 18.
34
Qur’an hadis juga dapat dijadikan sumber asasi dalam menghadapi
berbagai persoalan hukum dan kemasyarakatan. Jika dalam menyelesaikan
suatu perkara tidak didapati penjelasannya dari al-Qur’an, maka langkah
selanjutnya adalah merujuk pada hadis Nabi. Kemudian, jika tidak
ditemukan penjelasannya, maka seseorang boleh mengambil langkah
ijtihad. Mengikuti hadis merupakan kewajiban bagi umat Islam
sebagaimana halnya mengikuti al-Qur’an baik dalam bentuk larangan
maupun perintahnya. Al-Qur’an dan hadis mempunyai kaitan yang sangat
erat, hal ini karena hadis merupakan penafsiran dari al-Qur’an.
Oleh karena itu dalam mengamalkannya tidak bisa dipisahkan atau
berjalan sendiri-sendiri.
2. Sebagai Dasar Pendidikan
Selain sebagai sumber hukum dalam Islam, hadis juga mempunyai
peran penting dalam pendidikan. Sebagaimana diketahui, Nabi dikatakan
sebagai orang yang ummi (tidak bisa baca dan tulis), namun, beliau mempuyai
pengetahuan yang sangat dahsyat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Terbukti bahwa dalam hadisnya Rasul tidak hanya memberikan tuntunan
kepada manusia dalam masalah ibadah saja, namun lebih dari itu, Nabi
memperhatikan semua aspek kehidupan.
Sebagai contoh, banyak hadis-hadis Nabi yang berbicara masalah
pemeliharaan lingkungan, (masalah aferostasi, reboisasi), perlindungan
terhadap kekayaan satwa, kesehatan, kebersihan, motivasi untuk gerak dan
olahraga, dan selainnya. Bahkan penjelasan yang Nabi berikan melalui hadis-
hadisnya lebih lengap dan rinci, mengingat bahwa hadis memang berfungsui
untuk memperjelas isi kandungan al-Quran yang begitu global. Dengan
demikian jelaslah bahwa selain sebagai sumber hukum Islam, hadis juga
berperan penting dalam Pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa, sebagai
seorang Rasul yang diutus Allah untuk memberikan petunjuk kepada seluruh
manusia, Nabi juga berperan sebagai pendidik. Hadis Nabi:
35
آل على خير هوآلء يقرؤن القرآن ويدعون اهللا فإن يشأ …أعطاهم وإن يشأ منعهم وهوآلء يتعلمون ويعلمون وإنما بعثت
8)رواه إبن ماجه(معلما …semua orang berada dalam kebaikan. Yaitu orang-orang yang
membaca al-Qur’an dan berdoa kepada Allah, jika Allah berkehendak ia akan memberikannya (pahala), dan jika ia berkehendak Ia akan mencegahnya, dan orang-orang yang belajar dan mengajarkan, sesunnguhnya aku diutus sebagai seorang pendidik. (H.R. Ibnu Majah).
3. Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan
Kedudukan yang lain dari hadis adalah sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Akal dan panca indera adalah dua sumber yang teramat penting
dalam ilmu pengetahuan. Dan keduanya merupakan kenikmatan dan karunia
yang besar yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia agar dapat
memahami dirinya dan alam sekitarnya. 9 Semua ini sebagaimana tertuang
dalam al-Qur’an sebagai berikut:
☺ ⌧ ☺
.
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS: an-Nahl: 18)
Akal dan panca indera adalah termasuk sarana terpenting yang dapat
membantu manusia membangun peradaban di bumi dan melaksanakan tugas
kekhalifahan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Menurut Yusuf al-Qardlawy, “ ….., keunggulan ilmu pengetahuan
yang dimiliki oleh Adam ‘Alaihissalam, bapak seluruh umat manusia,
terhadap para malaikat adalah merupakan kelebihan yang paling menonjol
8Ibnu Mâjah, Zawâid Ibnu Mâjah ala al-Kutub al-Khamsah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1993), h. 60.
9Yusuf Al-Qardlawy, Sunnah Ilmu …, h, 17.
36
yang mengistimewakan Adam ‘Alaihissalam atas para malaikat itu, dan ilmu
itu yang menentukan pilihan kepada Adam Alaihissalam untuk dapat
menduduki status khalifah di dunia.10
Ditambahkan lagi oleh beliau, “…., sungguhpun demikian akal juga
tidak terhindar dari kesalahan, akal juga sering tergesa-gesa, sombong, atau
dikuasai oleh ambisi.11
Karena itu, akal sebagaimana dikemukakan oleh Imam Muhammad
Abduh memerlukan penolong yang dapat membimbingnya ke jalan yang
benar ketika ia melalui persimpangan jalan, jebakan-jebakan, dan kawasan
asing bagi akal. Pembimbing akal adalah wahyu Ilahi. Wahyu ini diturunkan
oleh Allah kepada Rasul-Nya yang dijadikan sebagai penjelasan dan
pengurai kandungan al-Qur’an.12
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis juga
merupakan sumber ilmu pengetahuan yang paling sempurna dibanding
dengan panca indera dan akal. Dikatakan demikian, karena keduanya tidak
luput dari kekurangan, keterbatasan, dan kesalahan.
Kemudian menurut M. Quraiys Syihab, al-Qur’an menganjurkan
manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi, bintang-bintang,
udara, darat lautan dan sebagainya, agar manusia melalui perhatiaannya
tersebut mendapat berganda yaitu:
a. Menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan dan
b. Memanfaatkan segala sesuatu untuk membangun dan memakmurkan
bumi di mana ia hidup.13
Dari pernyataan di atas, al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam
pertama merupakan sumber ilmu pengetahuan. Dikatakan demikian karena
al-Qur’an berisi anjuran kepada manusia untuk memperhatikan alam raya ini,
dan ini secara tidak langsung memerintahkan kepada manusia untuk berfikir.
10Yusuf Al-Qardlawy, Sunnah Ilmu Pengetahuan dan Peradaban…., h. 118. 11Yusuf Al-Qardlawy, Sunnah Ilmu Pengetahuan dan Peradaban…, h, 119. 12Yusuf Al-Qardlawy, Sunnah Ilmu Pengetahuan dan Peradaban…, h. 120. 13M. Quraiys Syihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2007), Cet. Ke-8, h. 65.
37
Berfikir dari mana asal usulnya dan apa arti dari hidupnya serta ke mana
akhir hayatnya. Hal ini sesuai dengan pendapat beliau pula bahwa al-Qur’an
dengan isinya “membangkitkan rasa yang terpendam dalam jiwa, yang dapat
mendorong manusia untuk mempertanyakan dari mana ia datang, bagaimana
unsur-unsur dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir hayatnya”. 14
Ketika manusia dapat memanfaatkan akalnya secara baik maka ia akan
menyadari kebesaran Allah serta keagungan-Nya, dan dapat memanfaatkan
sesuatu yang berada di bumi ini sebagai upaya membangun dan
memakmurkan bumi.
Dengan demikian jika al-Qur’an merupakan sumber ilmu
pengetahuan, maka hadis sebagai penjelas dari al-Qur’an itu sendiri
merupakan sumber ilmu pengetahuan pula.
4. Hadis Sebagai Sumber Peradaban
Peradaban adalah sebuah fenomena kemajuan dalam bidang material,
intelektual, seni, sastra, dan sosial yang terdapat dalam suatu kelompok
masyarakat atau dalam beberapa kelompok masyarakat yang memiliki
kesamaan.
Kata peradaban atau (Hađârah) lawan katanya adalah al-Badawah
(Badui) atau orang yang terkenal bersikap kasar dan liar. Kemudian kata al-
Hađârah bermakna kota, dan lawan katanya adalah al-Badiyah maknanya
desa. al-Hađârah adalah berarti orang kota atau penduduk kota dan al-
Badw adalah orang Badui. Orang Badui terkenal bersikap kaku, kasar, keras,
bodoh dan buta huruf.15
Islam datang untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan ke jalan yang
terang. Contohya adalah Islam mengeluarkan manusia dari gelapnya
kehidupan Badui yang ganas menuju kehidupan yang terang yakni kehidupan
yang berperadaban dan berbudaya.
Semua ini seperti dijelaskan di dalam al-Qur’an, sebagai berikut:
14M. Quraiys Syihab, Membumikan Al-Qur’an…, h. 65. 15Yusuf Al-Qardlawy, Sunnah Ilmu …, h. 292.
38
⌧ ⌧ ☺
Orang-orang Arab Badwi itu lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS: at-Taubah: 97) Karena itu, Islam dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis benar-benar
ingin mengubah orang Badui; mengubah sifatnya yang keras dan bodoh
menjadi berdisiplin dan beradab. Dengan demikian mereka akan meningkat
dari segi materi, keilmuan, peradaban, kesenian, sosial, juga dari segi ruh dan
akhlak.16
Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa hadis pun selain menjadi
sumber ilmu pengetahuan, ia juga menjadi sumber peradaban bagi manusia.
Akan tetapi peradaban yang dikehendaki oleh Islam adalah peradaban yang
menghubungkan manusia dengan Allah dan bumi dengan langit. Dunia
dijadikan sarana untuk menuju akhirat; menggabungkan unsur spiritual
dengan material, menyeimbangkan antara akal dan hati, menyatukan ilmu
dan iman dan meningkatkan moral seiring dengan peningkatan material.17
Dengan demikian, telah jelas bahwa hadis yang merupakan sumber
peradaban hendaknya ditujukan untuk dapat menghubungkan manusia
dengan Allah dan langit dengan bumi. Kemudian dunia dijadikan sarana
untuk menuju akhirat, yang antara lain seperti menyatukan ilmu dan iman,
peningkatan moral seiring dengan peningkatan material.
C. Fungsi Hadis Terhadap al-Qur’an
Secara umum fungsi hadis terhadap al-Qur’an adalah untuk menjelaskan
makna kandungan al-Qur’an yang sangat dalam dan global. Sebagai sumber
ajaran ke dua ia menjadi penjelas (mubayyin) isi kandungan al-Qur’an tersebut.
Hal ini sesuai dengan firman Allah:
16Yusuf Al-Qardlawy, Sunnah Ilmu…, h. 293 17Yusuf Al-Qardlawy, Sunnah Ilmu…, h. 297.
39
⌧ Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahl:44)
Hanya penjelasan itu kemudian oleh para ulama diperinci ke berbagai
bentuk penjelasan.
Secara garis besar ada empat makna fungsi penjelasan hadis terhadap al-
Qur’an yaitu:18
1. Bayân Taqrîr
Bayân taqrîr disebut juga dengan bayan ta’kîd. Yang dimaksud
dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya
memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhâri, yang berbunyi sebagai berikut:
19)يارخبال اهور(أحدث حتى يتوضاء ا ذإ مآدحأ اةلص لاتقبل
Tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu. (HR. Bukhari).
Hadis di atas menaqrir QS Al-Maidah: 6 mengenai keharusan
berwudhu jika berhadas, ketika seseorang akan melaksanakan shalat. Ayat
yang dimaksud berbunyi20:
☺
18 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis…, h. 16. 19Abî Abdillah Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhâri, Şahîh Bukhâri, Bâb. Wujũb
at-Ŧahârah Li as-Şhalât, (tt.p.: Dar al-Fikr, 1981), Jilid Ke-3, h. 104. 20Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.
58.
40
☺
…Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah: 6).
2. Bayân Tafsîr
Yang dimaksud dengan bayân tafsîr adalah bahwa kehadiran hadis
berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-
Qur’an yang masih bersifat global (mujmâl), memberikan
persyaratan/batasan (taqyîd) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhsîs) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat
umum.21
Dalam bayân tafsîr ini ada beberapa macam:
a. Tafsîr Mujmal
Mujmal artinya ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang
singkat terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Dengan kata
lain ungkapannya masih bersifat global yang membutuhkan mubayyin
(penjelas).
Diantara contoh tentang ayat-ayat al-Qur’an yang masih
mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat,
disyariatkannya jual beli, nikah qhishas, hudud dan sebagainya. Ayat-
ayat al-Qur’an tentang hal ini masih bersifat global. Teknik
operasional dari kewajiban-kewajiban tersebut tidak dijumpai dalam
al-Qur’an tapi teknik tersebut dijelaskan dalam hadis Rasulullah SAW.
Sebagai contoh di bawah ini akan dikemukakan beberapa hadis
yang berfungsi sebagai bayan tafsir:
21Munzier Suparta, Ilmu Hadis…,h. 61.
41
22)يارخبال اهور(ي لصأ ينومتيأا رما آوصلShalatlah kamu sebagaimana kau melihat aku shalat”. (H.R.
Bukhari).
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab
al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Dikatakan bahwa salat itu
wajib bagi setiap orang mukallaf, namun, kapan dan dalam keadaan
bagaimanakah kewajiban itu dilaksanakan. Rasulullah dalam hal ini
menjelaskan syarat, rukun serta praktek pelaksanaannya bagi setiap
orang sesuai keadaannya. Cara salat orang yang muqim, tidak
berpergian dan tidak dalam keaadaan sedang berperang berbeda
dengan orang yang sedang bepergian atau perang.
Demikian pula orang yang keadaan fisiknya tidak
memungkinkan dapat melaksanakan salat dengan cara berdiri, boleh
sambil duduk atau berbaring. Semua penjelasan ini terdapat di dalam
petunjuk Rasulullah SAW. 23 Salah satu ayat yang memerintahkan
shalat adalah:
☺ ⌧
⌧
…Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku”. (al-Baqarah: 43).
b. Taqyîd al-Muţlaq
mentaqyid yang muthlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang
muthlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu.24 contoh
hadis yang membatasi (taqyîd) ayat-ayat yang bersifat mutlak, adalah
sabda Rasulullah SAW. Berikut ini:
22Abî Abdillâh…, Bâb. Rahmat an-Nâsi wa al-Bahâimi, (Beirut: Maktabah Al-AŞriyyah, t.t.,), Jilid Ke- 4, h. 1901.
23Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. Ke-7 h. 210 24 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis…, h. 31
42
فكال لصفم نم هدي عطقف قارسب ملسو هيلع ى اهللالص اهللا لوسر ىتا )رواه الترمذي(
Rasulullah SAW di datangi seseorang yang membawa pencuri,
maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan.25
Hadis ini mentaqyid ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38:
☺
☺ ⌧ ⌧
… Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (QS: al-Maidah: 38)
Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara
mutlak nama tangan tanpa dijelaskan batas tangan yang harus
dipotong apakah dari pundak, sikut, dan pergelangan tangan. Kata
tangan mutlak meliputi hasta dari bahu pundak, lengan, dan sampai
telapak tangan . kemudian pembatasan itu baru dijelaskan dalam
hadis ketik ada seorang pencuri datang ke hadapan Nabi dan
diputuskan hukuman dengan pemotongan tangan pada pergelangan
tangan.26
c. Tahksîs al-Âm
yang dimaksud mentakhsis yang am di sini, ialah
membatasi keumuman ayat al-Qur’an, sehingga tidak berlaku pada
bagian-bagian tertentu.27
25Abî Isa Muhammad bin Isa bin Saurah Ibnu Mũsa at-Tirmidzi, Sunan at-
Tirmidzi, al-Jâmi’ as-Şaħiħ, Kitab al-Ħudũd, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, t.t), Juz 4. h, 51. 26Achmad Gholib, Studi Islam, Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an, Al-
Hadis, dan Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Faza Media, 2006) Cet Ke-1 h. 104 27Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis… h. 32
43
Adapun contoh hadis yang berfungsi untuk mentakhsis
keumuman ayat-ayat al-Qur’an adalah:
ا لو رافلكا ملسملا ثرا يل ملسو هيلع اهللا ىلص يبالن الق 28)يارخبال اهور( .ملسلما رفكاال
Nabi SAW bersabda: Tidaklah oramg Muslim mewarisi dari orang kafir, begitu juga kafir tidak mewarisi dari oramg Muslim. (H.R. Bukhari) Hadis di atas mentakhsis surat an-Nisa ayat: 11
.ثييننالا ظح لثم رآلذل مآدالوى أف اهللا مكيصويAllah mensyariatkan bagimu tentang bagian harta pusaka
anak-anakmu. Yaitu bagian seorang laki-laki sama dengan bagian orang perempuan”. (QS. An-Nisa: 11).
Kandungan ayat di atas menjelaskan pembagian harta
pusaka terhadap ahli waris, baik anak lelaki, anak perempuan, satu
atau banyak, orang tua jika ada anak ataupun tidak, jika ada
saudara maupun tidak, dan seterusnya. Ayat ini bersifat umum,
kemudian dikhususkan dengan hadis Nabi yang melarang
mewarisi harta peninggalan jika berlainaan agama ataupun
pembunuh.
3. Bayân Tasyri
Yang dimaksud dengan bayân tasyri’ adalah mewujudkan suatu
hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an. Hadis
Rasulullah dalam segala bentuknya berusaha menunjukkan suatu kepastian
hukum terhadap berbagai persoalan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para
sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan memberikan bimbingan dan
menjelaskan persoalannya.29
28Abî Abdillâh… Bab. Lâ Yaritsu al-Muslima al-Kâfira, (tt.p.: Dar al-Fikr, t.t.),
Jilid Ke-8, h.14. 29Mudasir, Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Setia, 2007), Cet Ke-3, h. 84.
44
Dalam hadis terdapat hukum-hukum yang tidak dijelaskan al-
Qur’an. Ia bukan berfungsi sebagai penjelas atau penguat, tetapi hadis
sendirilah yang menjelaskan sebagai dalil atau ia menjelaskan yang tersirat
dalam ayat-ayat al-Qur’an.30
Contoh hadis yang berfungsi untuk bayan tasyri’ ini adalah hadis
tentang perkawinan senasab yang berbunyi:
31)ملسم اهور. (بسالن نم مرا حم ةاعضالر نم مرح اهللا نإ
Sesungguhnya Allah mengharamkan pernikahan karena persusuan sebagaimana halnya Allah telah mengharamkan karena senasab. (H.R. Muslim).
Hadis yang termasuk bayan tasyri’ ini wajib diamalkan
sebagaimana halnya dengan hadis-hadis lain. Ibnu al-Qayyim berkata
bahwa hadis-hadis Rasulullah SAW yang berupa tambahan terhadap al-
Qur’an harus ditaati dan tidak boleh menolak atau mengingkari.32
4. Bayân Nasakh
Secara bahasa, Nasakh, berarti al-Ibtħâl (membatalkan), Izâlah
(menghilangkan), dan Taghyîr (mengubah). Yang kemudian para ulama,
melalui pendekatan bahasa, memberikan pengertian bayan nasakh.
Sedangkan menurut ulama Ushul, nasakh berarti penghapusan oleh syariat
terhadap suatu hukum syara’ dengan dalil syara’yang datang kemudian.
Bagi Ulama Mutaqaddimin, nasakh terjadi karena adanya dalil syara’ yang
mengubah suatu hukum (ketentuan), karena telah berakhir masa
keberlakuannya serta tidak bisa diamalkanlagi. Dan pembuat syariat ayat
tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya33.
Intinya, ketentuan yang datang kemudian menghapus ketentuan
yang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok
dengan nuansanya. Sehingga hadis yang datangnya sesudah al-Qur’an
30Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis…, h. 19. 31Abî al-Ħusain Muslîm al-Ħajjâj, Şâhiħ Muslîm, Bâb. Al-Rađa’, (tt.p., t.p., t.t.),
Jilid Ke- 9, h. 21. 32Mudasir, Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Setia, 2007), Cet Ke-3, h. 85. 33Ajjaj al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Ter. Dari Ushul al-Hadits. Oleh
Qodirun Nur, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003), Cet. Ke-3, 258.
45
dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan al-Qur’an. Akan tetapi
ketidak berlakuan suatu hukum, harus terlebih dahulu memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan. Terutama syarat atau ketentuan adanya nasakh dan
mansukh.
Dalam bayan nasakh ini, ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Sebagian ada yang mengakui adanya bayan nasakh, dan sebagian lagi
tidak mengakui adanya bayan nasakh ini.
Di antara golongan yang mengaki adanya bayan nasakh adalah
golongan Mu’tazilah, Hanafiyah dan Hazm al-Dhariri. Bagi Mu’tazilah,
fungsi nasakh ini hanya berlaku untuk hadis-hadis yang mutawatir.
Sementara golongan Hanafiyah dalam hal nasakh al-Qur’an dengan
sunnah, tidak mensyaratkan hadisnya mutawatir, tetapi boleh dari hadis
selainnya. Dan Ibnu Hazm berpendapat, meskipun dengan hadis Ahad
sekalipun, sunnah bisa menasakh hukum yang ada dalam al-Qur’an.34
Sedangakn golongan yang tidak mengakui adanya bayan nasakh ini
di antaranya adalah golongan Imam Syafi’i, Madzhab Zahiriyah dan
kelompok Khawarij. Mereka berpendapat, sunnah tidak bisa menghapus
ketentuan yang ada dalam al-Qur’an meskipun di nasakh denagn hadis
mutawatir.35
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadis
yang berbunyi:
36)ىذمرالت اهور( ثارول ةيصا ول
Tidak ada wasiat bagi ahli waris (H.R. Tirmidzi).
Hadis ini menurut mereka menasakh firman Allah surat al-Baqarah:
180:
34Munzir Suparta, Ilmu Hadis…, h. 66. 35 Munzir Suparta, Ilmu Hadis…, h. 66-67. 36Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah Ibn Musa at-Turmudzi, Sunan at-
Tirmidzi, al-Jâmi’ as-Şaħiħ, Bab Mâ Jâa Lâ Wasiyyat li Wâritsin, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, t.t.), Juz 6, h. 309.
46
☺
⌧
☺
☺ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 180).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa hadis dalam
Islam merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, dan mempunyai
fungsi yang begitu penting dalam Islam. Diantara fungsi hadis adalah
bayân taqrîr, bayân tafsir, bayân tasyri’, serta bayân nasakh.
BAB IV
SIFAT PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF HADIS
A. Beberapa Sifat Pendidik
Faktor guru sebagai tenaga pendidik sangat dominan dalam menentukan
keberhasilan pendidikan, guru memiliki banyak fungsi di antaranya sebagai
pendidik, pengajar dan pembimbing siswa di sekolah. Terlepas dari fungsi guru
yang telah dikemukakan di atas, faktor terpenting dari seorang guru adalah sifat
dan kepribadiannya.
Sebagai suri tauladan, pendidik (guru) harus memiliki kepribadian yang
dapat dijadikan profil dan idola, seluruh kehidupannya adalah figur yang
paripurna. Itulah kesan terhadap pendidik sebagai sosok ideal, sedikit saja
pendidik berbuat yang kurang baik, akan mengurangi kewibawaannya dan
kharisma pun secara perlahan lebur dari jati diri. Sifat seorang pendidik sangat
besar peranannya dan turut menuntukan keberhasilan proses belajar mengajar.
Rasul dalam hadisnya banyak menjelaskan bagaimana sifat seorang
pendidik yang ideal. Diantara sifat guru yang ideal itu, diantaranya:
1. Penyayang
ثنا معلى بن أسد قال حدثنا وهيب عن أيوب عن أبي قلابة عن حدابن الحويرث أتيت النبي صلى اهللا عليه وسلم في نفر من مالك
رفيقا فلما رأى قومي فأقمنا عنده عشرين ليلة وآان رحيما وا فإذا موهم وصلرجعوا فكونوا فيهم وعلانا إلى أهالينا قال شوق
46
47
Dari Mâlik bin Huwairits berkata: aku menemui Rasulullah saw yang berada dalam kelompok kami dari kaumku kemudian kami tinggal bersamanya selama dua puluh malam, dan Rasulullah selalu bersikap ramah dan penuh kasih sayang. Ketika Rasul mengetahui kami telah merasa rindu kepada keluarga kami, maka beliau berkata: “Pulanglah dan temui keluarga kalian, dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan shalatlah kalian ketika telah tiba waktunya dan hendaklah seseorang diantara kalian mengumandangkan adzan dan orang yang lebih tua di antara kami menjadi imam. (H.R. Bukhari).
Pada hadis di atas disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan
para sahabatnya, mereks adalah Bani Laits yang terdiri dari tiga hingga
sepuluh orang,2 untuk pulang dan menemui keluarga mereka ketika para
sahabat berkumpul di kediaman Rasul. Selama mereka tinggal bersama,
Rasul senantiasa mengajak mereka untuk melakukan shalat secara
berjama’ah dan menunjuk seseorang untuk menjadi Imam ketika shalat,
serta mencontohkan kepada mereka tata cara shalat yang benar.
Karena para sahabat sudah lama tidak bertemu dengan keluarga
mereka, Rasul mengetahui bahwa para sahabatnya telah merasa rindu,
menyadari hal itu, dengan sifat kasih dan sayangnya, ia memerintahkan
para sahabat untuk pulang. Rasul tidak mau memaksakan para sahabat
untuk tetap tinggal bersamanya dan melanjutkan pelajaran sedangkan
mereka sudah tidak dapat berkonsentrasi. Karena jika dipaksakan,
dikhawatirkan para sahabat tidak dapat menyerap pelajaran yang diberikan
dengan baik.
Kemudian tidak lupa Rasul berpesan kepada para sahabat untuk
mengajarkan kepada keluarga mereka apa yang telah Ia ajarkan, serta
1Abî Abdillah Muhammad bin Ismâ’íl al-Bukhârî, Şaħîħ al-Bukhâri, Bab Man
Qâla liyuadzin fî as-Safari Muadzinun Wâhidun, (Beirut: Maktabah al-Aşriyyah, t.t.,) Juz 4, h. 1901.
2 Ahmad bin Alî bin Hajar al-Asqalânî, Fatħ al-Bâri, Bab Man Qâla liyuadzin fî as-Safari Muadzinun Wâhidun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993) Juz 2, h. 320.
48
beradzan ketika waktu shalat tiba dan menunjuk salah seorang untuk
menjadi Imam ketika melaksanakan shalat berjamaah.
Dalam kitab Fatħ al-Bâri yang merupakan kitab penjelas dari kitab
Şahîh Bukhâri, dikatakan bahwa kata “irji’ũ fakũnu fîhim wa’allimũhum”
menjelaskan bahwa dalam suatu kelompok atau golongan, tidak sepatutnya
seluruh anggota kelompok ikut pergi berperang (ketika itu sedang terjadi
perang Tabuk), tapi utuslah sebagian orang3 untuk pergi mencari ilmu
pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa, menuntut ilmu sangat
dianjurkan walau dalam keadaan bagaimanapun. Dan orang yang telah
diutus untuk mencari pengetahuan tersebut mempunyai kewajiban untuk
menyebarkan ilmu yang telah didapatnya kepada orang-orang di
sekelilingnya.
Kemudian pada kalimat “Irjiũ ilâ ahlîkum” juga menjelaskan
bahwa Rasul memerintahkan para sahabat untuk pulang menemui keluarga
mereka, karena ia mengetahui para sahabat telah begitu rindu dengan
keluarganya, dan Rasul juga berpesan agar mereka melaksanakan shalat
dan mengajarkan kepada keluarga mereka sebagaimana yang telah Rasul
contohkan, dan menganjurkan untuk orang yang lebih dewasa menjadi
imam dalam shalat.
Tindakan Rasul memerintahkan para sahabat untuk pulang
menemui keluarga mereka merupakan bentuk kasih sayang Rasul, karena
Rasul tidak ingin membiarkan sahabatnya menyimpan kerinduan begitu
lama kepada keluarganya. Disamping itu Rasul tahu, jika memaksakan
para sahabatnya untuk terus belajar, sedangkan mereka sudah tidak lagi
bisa fokus dan berkonsentrasi, hal tersebut tidak akan bermanfaat, karena
mereka tidak akan bisa menyerap pelajaran yang diberikan dengan baik.
Seorang pendidik dituntut untuk dapat memahami kondisi psikologis anak
didiknya, karena dengan begitu, kegiatan belajar mengajar dapat berjalan
dengan kondusif.
3Ahmad bin Alî bin Hajar al-Asqalânî, Fatħ al-Bâri, Kitâb al-Adâb, Bab Rahmat
an-Nâsi wal Bahâimi, (t.tp.: Dar al-Fikr, 1992), Juz, 12. h. 51.
49
Hadis di atas menunjukkan keagungan perisai Rasul dengan
memiliki sikap yang lemah lembut dan mengasihi peserta didiknya. Rasul
sejak awal sudah mencontohkan dan mengimplementasikan metode
pendidikan yang tepat terhadap para sahabatnya. Strategi pembelajaran
yang beliau terapkan sangat akurat dalam menyampakan ajaran Islam.
Rasul sangat memperhatikan kondisi dan karakter seseorang, sehingga
nila-nilai Islami dapat ditransfer dengan baik. Rasul juga sangat
memahami naluri dan kondisi setiap orang sehingga beliau mampu
menjadikan peserta didiknya suka cita baik material maupun spiritual4.
Hal ini juga merupakan perintah untuk para pendidik (guru)
berperilaku sebagaimana halnya Rasul dalam mendidik. Seorang pendidik
harus mempunyai sifat lembut dan kasih sayang kepada muridnya, dan hal
ini harus betu-betul dirasakan oleh anak didiknya. Rasa kasih sayang guru
dapat direalisasikan berupa memberi perhatian kepada peserta didiknya,
serta bersedia menjadi tempat untuk mencurahkan hati di saat mereka ada
permasalahan. Sifat seperti ini secara psikologis akan memberikan rasa
nyaman di hati mereka, dan dalam keadaan seperti inilah ilmu
pengetahuan dapat diterima dengan baik oleh peserta didik, sehingga
mereka mampu mendapatkan nilai akhir yang baik dan memuaskan.
Kemudian kata “wa şallũ” dalam riwayat lain dikatakan “wa şallũ
kamâ roaitumũnî uşallî”, menjelaskan bahwa Rasul memerintahkan para
sahabat untuk melakukan shalat sebagaimana yang telah ia ajarkan kepada
mereka 5 . Hal ini mengindikasikan bahwa, sebelum seorang pendidik
memerintahkan orang lain untuk melakukan sesuatu, hendaknya pendidik
memberikan contoh terlebih dahulu. Atau dalam hal ini disebut dengan
metode demonstrasi.
4Abu Aqil Dilangsa. Hadis Metode Pendidikan, dalam www.google.com/Hadis
Pendidikan, 19 Maret, 2009 atau http://alatsar.wordpress.com/19/03/ 2009 Hadis Metode Pendidikan.
5Ahmad bin Alî bin Hajar al-Asqalânî, Fatħ al-Bâri…, h. 51.
50
Metode demonstrasi ini dimaksudkan sebagai suatu kegiatan yang
memperlihatkan suatu gerakan atau proses kerja sesuatu, dan metode ini
bertujuan agar pesan yang disampaikan dapat dikerjakan dengan baik dan
benar. 6 Menurut teori belajar sosial, hal yang amat penting dalam
pembelajaran adalah kemampuan individu untuk mengambil intisari
informasi dari tingkah laku orang lain.
Di sisi lain, pendidik tidak boleh memberikan hinaan, omelan
bahkan bentakan kepada peserta didik yang melakukan kesalahan, terlebih
jika kesalahan itu dikarenakan peserta didik tidak mampu untuk menjawab
pertanyaan yang diberikan pendidik. Pendidik harus bersikap bijaksana,
jika hal itu terjadi, maka berikanlah bimbingan yang lebih intensif kepada
mereka, karena kemungkinan hal itu terjadi karena peserta didik tersebut
mempunyai tingkat intelegensi yang rendah, atau bahkan bisa terjadi
karena kesalahan dari pendidik sendiri dalam menyampaikan materi
tersebut, seperti penyampaian dan penggunaan metode yang kurang tepat
atau sebagainya. Mengapa harus demikian? Karena di samping sebagai
sahabat, pendidik juga merupakan pembina dan pembimbing yang
memberikan stimulus bukan dengan dominasi dan paksaan, dan dengan
dorongan bukan dengan celaan.7
Firman Allah:
⌧ ☺
Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena
kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". (QS. Al-Kahfi: 73)
Oleh sebab itu, seharusnya para pendidik memahami sisi ini dan
mempraktikkannya kepada siswa didiknya. Berlaku kasar terhadap siswa
dapat membahayakan mereka.
6Abu Aqil Dilangsa. Hadis Metode Pendidikan,,, 7Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2002), Cet. Ke-III, h. 101.
51
Selain itu, pendidik juga tidak boleh menghukum siswa secara fisik
maupun mental dengan semena-mena. Ada tahapan-tahapan yang harus
dilakukan sebelum pendidik memberikan hukman fisik kepada siswa.
Menurut hasil penelitian, di Indonesia ini cukup banyak guru yang menilai
cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa. Akibatnya
adalah terjadi traumatis psikologis, dendam yang mendalam, makin kebal
hukuman, dan cenderung akan melampiaskan kemarahan dan agresif
terhadap siswa lain yang dianggap lemah.8
Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik kepada siswa disebabkan
oleh beberapa faktor, di antaranya adalah:
a. Kurangnya pengetahuan pendidik bahwa kekerasan itu tidak efektif
untuk memotivasi siswa atau merubah tingkah laku. Selama ini
kekerasan dilakukan pendidik dengan dalih untuk mendisiplinkan
siswa, justru kekerasan akan mengakibatkan hal-hal yang berdampak
bagi masa depan anak, baik dari segi perkembangan, pertumbuhan
dan kepribadiannya. Akibat kekerasan akan membuat perilaku siswa
menjadi tidak konsisten, yakni “patuh di depan dan berani di
belakang guru”.
b. Adanya persepsi yang parsial dalam menilai siswa. Misalnya, ketika
siswa melanggar, bukan sebatas menangani, tetapi seharusnya
mencari tahu apa yang melandasi tindakan tersebut.
c. Adanya hambatan psikologis, sehingga dalam menangani masalah
pendidik lebih sensitiv dan reaktif.
d. Adanya tekanan kerja; adanya target (standarisasi) yang harus
dipenuhi pendidik, seperi kurikulum, materi, dan prestasi yang harus
dicapai siswa.
e. Pola yang dianut adalah mengedepankan kepatuhan dan ketaatan pada
siswa.
8Abdul Halim Rahmat. Menghilangkan Kekerasan Guru Pada Siswa, 17 Desember, 2008, dalam www.google.com/, Kasih Sayang Guru Pada Siswa, 01 Maret 2010.
52
f. Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan
cenderung mengabaikan kemampuan afektif. Sehingga pendidik dalam
mengajar suasananya cenderung kering, stressful dan tidak menarik,
padahal mereka dituntut untuk mencetak siswa-siswi yang berprestasi.
g. Adanya tekanan ekonomi pada pendidik yang akhirnya menjelma
menjadi bentuk kepribadian yang tidak stabil, emosional, mudah goyah
ketika merealisasikan rencana-rencana yang sulit diwujudkan.9
Karena itu solusi yang bisa ditawarkan untuk menghentkan
kekerasan ini adalah: Pertama, pendidik dan semua warga sekolah
membuat kesepakatan untuk menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di
sekolah. Kedua, mendorong dan mengembangkan humanisasi pendidikan
dengan menyatu padukan kesadaran hati dan pikiran, membutuhkan
keterlibatan mental dan tindakan sekaligus, serta mengembangkan suasana
belajar yang meriah, gembira, dengan memadukan potensi fisik dan psikis
menjadi sesuatu kekuatan yang integral. Ketiga, lebih mengedepankan
penghargaan dari pada hukuman. Keempat, terus menerus membekali
pendidik untuk menambah wawasan pengetahuan, kesempatan,
pengalaman baru untuk mengembangakan kreativitas mereka. Kelima,
adanya konseling, tidak hanya siswa yang membutuhkan bimbingan, tetapi
juga pendidik. Sebab pendidik juga mengalami masa sulit yang
membutuhkan dukungan, penguatan dan bimbingan untuk menemukan
jalan keluar yang terbaik. Keenam, segera memberikan pertolongan bagi
siapa pun juga yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan
menindaklanjuti serta mencari solusi alternatif yang terbaik. Sehingga
kekerasan tidak menjadi hal yang “biasa dan lumrah” tetapi menjadi suatu
tindakan yang harus mendapat perhatian serius.
Di samping itu, Pendidik dalam mencurahkan kecintaan dan rasa
kasih sayangnya kepada siswa tidak harus selalu diberikan dalam bentuk
hadiah ataupun pujian, akan tetapi sikap tersebut dapat diwujudkan dengan
9Abdul Halim Rahmat. Menghilangkan Kekerasan Guru Pada Siswa…,
53
sikap pemberian kesempatan kepada kepada peserta didik yang dipandang
sudah mampu menguasai pelajaran dan mampu untuk mengajarkannya
kepada orang lain, maka hendaknya pendidik memberikan kesempatan
kepada mereka untuk mengajarkannya.
Sikap pendidik seperti itulah yang menjadi idola para siswa,
seorang yang penyayang, lembut, memahami kondisi siswa, serta
bersahabat, dan pendidik seperti inilah yang berpeluang besar mencetak
peserta didik yang tidak hanya pandai pada segi kognitif, tetapi juga dalam
semua aspek kehidupannya.
2. Adil
ديمح نع ابهش ناب نع كالا منربخأ فسوي نب اهللا دبا عنثدح نع اهثدا حمهنأ ريشب نب انمعالن دمحمو نمحالر دبع نب تلحن ينإ القف اهللا لوسى رلا هى بتأ اهبأن أ" ريشب نب انمعالن هعجراف الا قل ال؟ قهلثم تلحن كدلو لآأ القا فاملا غذه يناب 10)يارخلبا اهور(
Dari Nu’mân bin Basyîr r.a. dia berkata: ”Bapak saya mendatangi
Rasulullah ia berkata kepada Rasulullah”Aku memberikan hadiah untuk anakku seorang pembantu, kemudian Rasul bertanya”Apakah semua anakmu kamu berikan hadiah seperti itu? Ia (ayah saya) berkata “Tidak” Rasulullah bersabda”Pulangkan kembali hadiah itu. (H.R. Bukhari).
Dalam hadis ini, dijelaskan bahwa Basyir (ayah Nu’man) datang
menemui Rasulullah dan berkonsultasi kepada beliau tentang pemberian
hadiah yang ia berikan kepada anaknya (Nu’man) berupa seorang
pembantu yang ia berikan untuk membantu Nu’man. Basyir bertanya
kepada Rasul, wahai Rasulullah! Aku telah memberikan anakku seorang
pembantu, kemudian Rasul bertanya kepadanya “Apakah semua anakmu
kau berikan hal yang sama? Ia menjawab “tidak”, maka Rasul bersabda
“Ambil kembali hadiah tersebut”. Setelah itu, Basyir kembali dan
mengambil kembali hadiah yang ingin diberikannya kepada Nu’man.
10Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Şahîh Bukhari, Kitâb al-
Hibah, Bab al-Isyhâd Fî al-Hibah, (Beirut: Maktabah Ashriyyah, t.t.,) Jilid 5, h. 212.
54
Hadis di atas menekankan kepada para orang tua agar bersikap adil.
Hal tersebut sebagaimana digambarkan oleh ayah Nu’mân bin Basyîr
ketika ia mengambil kembali pemberiannya kepada salah satu anaknya
karena dikhawatirkan terjadi keributan diantara mereka.
Secara etimologis, walad berarti sesuatu yang dilahirkan. kata
tersebut merupakan perubahan bentuk dari susunan kata kerja (fi’il)
walada yalidu wilâdatan, wilâdan, wildan 11 . Penggunaan kata tersebut
terkadang dipergunakan sebagai penggambaran anak dalam bentuk fisik
atau sosok seorang anak kecil, terkadang sebagai seorang pemuda atau
bahkan keseluruhan anggota keluarga.
Di dalam Kitab Fatħul Bârî yang merupakan penjelas dari kitab
Şahîh Bukhârî dikatakan bahwa kata “waladika” dalam kalimat “akullu
waladika nahalta mislahu” mencakup anak laki-laki dan perempuan.12 Ini
berarti bahwa dalam memberikan hadiah kepada anak, orang tua harus
memberikannya secara merata kepada semua anaknya baik laki-laki
maupun perempuan, karena mereka mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan perlakuan adil dari orang tua. Di samping itu, orang tua
yang tidak menerapkan sifat adil di antara anak-anaknya dikhawatirkan
akan menimbulkan hubungan yang tidak harmonis dalam keluarganya.
Karena adanya rasa cemburu dan iri dalam hati anak-anaknya.
Adil sering diartikan sebagai sikap moderat, obyektif terhadap
orang lain dalam memberikan hukum, persamaan dan keseimbangan
dalam memberikan hak orang lain tanpa ada yang dilebihkan atau
dikurangi. Kata adil sering disinonimkan dengan kata al-Musawah
(persamaan), dan al-Qisth (moderat/seimbang). Kata adil merupakan
lawan kata zalim13.
Dari penjelasan hadis di atas dapat dipahami, jika orang tua
bermaksud memberikan hadiah kepada salah satu anaknya, maka ia wajib
11 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta:1995), h. 1688.
12Ibnu Hajar al-Asqalânî, Fatħul Bârî, Bab al-Isyhâd Fî al-Hibah…, h. 212. 13Abu Mujahid, Berlaku Adil, dalam www.google.com/adil, 19 Maret 2010.
55
memberikan hadiah yang sama kepada anak-anaknya yang lain, ia tidak
boleh memberikan hadiah kepada anak tertentu saja, sebab perbuatan
semacam itu sebuah kezaliman kepada anak-anaknya yang lain. Sikap adil
dan tidak pilih kasih orang tua harus diberlakukan kepada pada seluruh
anak-anaknya tanpa pandang bulu. Mereka tidak boleh bersikap pilih kasih
terhadap anak tertentu. Baik kepada anak laki-laki atau perempuan, cantik
ataupun tidak, cerdas ataupun tidak, orang tua harus mencurahkan
perasaan cinta dan kasih sayang yang sama, tegasnya mereka harus
memberikan perlakuan yang sama kepada semua anaknya.14.
orang tua dalam memberikan hibah kepada anak-anaknya dituntut
untuk memberikan hak yang sama, baik untuk anak- laki-laki maupun
perempuan. Tapi tidak halnya dengan warisan. Dalam hal ini anak laki-
laki mendapat bagian lebih banyak dibanding perempuan. Sebab laki-laki
mempunyai tanggungan yang lebih besar untuk keluarganya. Sebagaimana
firman Allah:
… ⌧
Untuk laki-laki semisal dua bagian orang perempuan.
Kemudian pada kata “faarji’hu” menjelaskan bahwa orang tua
sebaiknya menarik kembali pemberian yang diberikan kepada anak
tertentu, jika orang tua tidak bisa untuk memberikannya kepada semua
anak-anaknya. Dalam pengembalian hadiah tersebut ada beberapa
pendapat. Sebagian ulama yang membedakan antara shadaqah dan hibah,
mengatakan jika orang tua memberikan pemberian kepada anaknya
sebagai bentuk shadaqah, maka pemberian tersebut tidak perlu
dikembalikan. Sebab, pemberian tersebut hanya bertujuan untuk
mengaharap pahala di sisi Allah.
Namun, orang tua boleh memberikan pemberian lebih kepada
sebagian anaknya, jika anak yang dilebihkan tersebut mempunyai
14Ibrahim Amini, Anakku Amanat-Nya, Terj. oleh M Anis Manlachela, (Jakarta: al-Huda, 2006), h. 133
56
kebutuhan yang lebih besar dibanding anak-anaknya yang lain.15 Sejalan
dengan hal tersebut, M Quraish Syihab, berpendapat bahwa adil adalah
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Dalam pengertian ini dapat
dipahami bahwa adil bukan berarti sama rata, namun melihat kondisi serta
keperluan. Keadilan merupakan kata yang menunjuk substansi ajaran
Islam. Islam tidak menjadikan sifat kasih sebagai tuntunan tertinggi, ini
karena kasih Dalam kehidupan pribadi apalagi masyarakat dapat
berdampak buruk.16
Anak-anak perlu diajarkan dan diperlakukan adil. Jika ada
perbedaan yakinkan mereka hal itu hanya berdasarkan kebutuhan yang
berbeda, bukan berarti orang tua tidak berlaku adil, sikap adil merupakan
sikap mulia yang perlu diterapkan oleh umat Islam. Sebagai orang tua
penting untuk berlaku adil terhadap seluruh anaknya agar tidak timbul
kecemburuan yang dapat mengganggu keharmonisan keluarga. Namun
yang tak kalah penting, keadilan bukan berarti pembagian uang yang sama.
Kebutuhan anak harus diukur dengan cermat berdasarkan kebutuhannya.17
Contohnya, seorang mahasiswa di Universitas tentu membutuhkan
keuangan yang lebih banyak dibandingkan adiknya yang masih di SMP.
Begitu halnya dengan pendidik, pendidik juga diperintahkan agar
bersikap adil dalam bergaul dengan anak-anak. Tidak boleh bertindak
diskriminatif atau membedakan anak berdasarkan latar belakang maupun
statusnya. Baik terhadap anak orang kaya atau orang miskin, anak laki-laki
maupun perempuan, pintar ataupun tidak. Abuddin Nata menyatakan
bahwa peserta didik yang masuk di lembaga pendidikan tidak ada
perbedaan derajat atau martabat, karena penyelenggaraan pendidikan
dilaksanakan dalam suatu ruangan dengan tujuan untuk memperoleh
pengetahuan dari pendidik. Pendidik harus mengajar anak orang yang
15 Ibnu Hajar al-Asqalânî, Fatħul Bârî, Bab al-Isyhâd Fi al-Hibah…, h. 214. 16 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 3, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.
42. 17 Islam Online, Berlaku Adil, dalam www.google.com/, Adil pada Anak, 12
Januari 2009.
57
tidak mampu dengan yang mampu secara bersama atas dasar penyediaan
kesempatan belajar yang sama bagi semua peserta didik.18
Di samping itu, Pendidik harus mencurahkan kasih sayang yang
sama, sebab jika pendidik berlaku tidak adil kepada anak-anak didiknya,
dalam hati mereka akan muncul rasa kecemburuan, kedengkian, dan
kebencian kepada anak yang lain. Agar tercipta rasa saling mencintai
diantara anak didiknya, hendaknya para pendidik menciptakan persamaan
derajat tanpa adanya sikap diskriminasi dalam pergaulan kehidupan anak-
anak.19
Namun perlu diingat, walaupun sikap adil harus dirasakan oleh
semua, bukan berarti adanya perlakuan yang sama rata dalam pemberian
waktu luang dan kesempatan yang sama dalam memberikan bimbingan.
Karena tiap siswa mempunyai tingkat intelegensi yang berbeda, ada yang
mudah menangkap pelajaran, dan ada sebagian siswa yang harus
diberikan pelajaran dan perhatian ekstra untuk memahami pelajaran.
Agar tercipta rasa saling mencintai diantara peserta didik,
hendaklah diciptakan persamaan dan kesamaan derajat tanpa adanya
diskriminasi dalam kehidupan peserta didik. Sehingga terciptalah iklim
sosio emosional yang bersahabat antar sesama peserta dan bahkan peserta
didik dengan pendidik di dalam kelas. Hal tersebut memungkinkan siswa
dapat belajar dengan nyaman dan menyenagkan.
Berlaku adil merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, Islam memerintahkan ummatnya untuk senantiasa berlaku adil.
Firman Allah:
⌧
18Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 67. 19Muhammad Athiyat al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Terj.
dari Rûh al-Islâm, oleh Syamsuddin Asyrofi, at all. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), h. 84
58
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. al-Mâidah: 8).
Tindakan Rasulullah dalam hadis di atas yang membatalkan
keinginan orang tua untuk memberikan hadiah kepada salah seorang
anaknya, menunjukkan bahwa memperlakukan anak secara tidak adil
merupakan perlakuan yang salah. Karena seorang anak mempunyai hak
untuk mendapatkan keadilan dari orang tuanya. Begitu pun dalam dunia
pendidikan sikap adil sangat diperlukan. Karena setiap siswa mempunyai
hak untuk mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang sama dari
pendidiknya. Oleh karena itu, jika pendidik bersikap tidak adil, maka
siswa tersebut mempunyai hak untuk menuntut.
Sikap adil memiliki beberapa keitimewaan di antaranya:
a. Sikap adil akan menjamin kelangsungan sebuah konsep
b. Sikap adil lebih menjamin keadaan istiqamah/lurus dan
terhindar dari penyimpangan
c. Sikap adil menunjukkan nilai khairiyah (kebaikan)
d. Posisi adil adalah posisi yang paling aman, jauh dari bahaya
e. Posisi adil adalah pusat persatuan dan kesatuan, dan20
f. Adil merupakan simbol kekuatan.
3. Demokratis dan Motivator
الق ليفن نب رفعج وبا أنثدح الق ورصنم نو ابرمع ينربخأ نب ديعس نع دالخ نب ةمركع نع اهللا ديبع نب لقعى ملع تأرق اهللا لوسر يأنرقأ الق بعآ نب يبأ نع اسبع ناب نع ريبج
20Abu Mujahid, Berlaku adil…
59
Dari Ubay bin Ka’ab berkata “Rasulullah membacakan sebuah
surat, lalu ketika aku berada di masjid, tiba-tiba aku mendengar seorang laki-laki membacanya tidak sama dengan bacaanku. Saya berkata ”siapa yang mengajarkanmu surat ini? Dia berkata “Rasulullah”, saya berkata “ kamu tidak boleh meninggalkanku hingga aku datang kepada Rasulullah saw. Maka kami datang kepada beliau, saya berkata “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang ini telah menyelisihi bacaanku dalam surat ini yang engkau ajarkan kepadaku, beliau berkata “wahai Ubay, bacalah!, maka saya membaca dan beliau berkata “bagus!”. Kemudian Rasululah berkata kepada orang laki-laki itu, “bacalah!, maka orang itu membaca selain dengan bacaanku, lalu beliau berkata kepadanya “bagus!”, kemudian beliau bersabda “wahai Ubay, sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf (bacaan), semuanya dapat mengobati ketidak pahaman maksudnya dan memadai sebagai hujjah. (H.R. Nasâ’î).
Dalam hadis ini, dijelaskan bahwa ketika Ubay bin Ka’ab sedang
berada di masjid ia mendengar seorang laki-laki membaca al-Qur’an
dengan bacaan yang berbeda dengan yang Rasulullah ajarkan kepadanya.
Kemudian Ubay menghampiri laki-laki itu dan bertanya kepadanya, “siapa
yang mengajarimu cara membacanya?”, laki-laki itu menjawab
“Rasulullah”, kemudian Ubay mengajak laki-laki tersebut untuk menemui
21an-Nasâ’î, al-Mujtabâ, Kitâb al-Iftitâh, Bâb Jâmi’ Ma Jâa Fî al-Qur’ân, (Beirut::
Dar al-Fikr, 1995) Jilid I, h. 164.
60
Rasulullah dan menanyakan masalah tersebut kepada Rasul. “wahai Rasul,
laki-laki ini membaca al-Qur’an berbeda dengan bacaan yang telah engkau
ajarkan kepadaku”, kemudian Rasul memerintahkan kepada Ubay untuk
membaca al-Qur’an seperti yang telah ia ajarkan kepadanya, setelah Ubay
membaca, Rasul berkata “bagus”, setelah itu Rasul juga memerintahkan
orang laki-laki tersebut untuk membaca, ia membaca dengan bacaan yang
berbeda dengan Ubay, setelah laki-laki tersebut membaca, Rasul berkata
“bagus”. Kemudian Rasulullah menjelaskan kepada Ubay bahwa al-
Qur’an diturunkan dengan tujuh macam bacaan yang berbeda.
Dalam kitab al-Mujtaba dijelaskan kata “yukhâlifu Qirâatî”
maksudnya adalah ia membaca al-Qur’an dengan sebuah bacaan yang
berbeda dengan bacaanku (Ubay), karena Ubay dan orang laki-laki
tersebut berasal dari daerah yang berbeda, sehingga dalam membaca al-
Qur’an mereka memiliki perbedaan dalam hal dialek. “man ‘allamaka”
maksudnya siapa yang mengajarimu bacaan tersebut.22
Dari hadis di atas bisa ditarik dua hal pokok yang merupakan sikap
agung Rasulullah. Yaitu sikap demokratis Rasul dalam menghadapai
perbedaan dialek seseorang dalam membaca al-Qur’an serta sikap
apresiasi Rasulullah terhadap sahabatnya dengan mengucapkan kalimat
“ahsanta” sebagai pujian dan motivasi untuk sahabatnya dalam belajar al-
Qur’an.
a. Demokratis
Dalam hadis terlihat jelas sikap demokrasi Rasulullah kepada para
sahabatnya dalam membaca al-Qur’an. Rasul tidak memaksakan seseorang
untuk membaca al-Qur’an dengan gaya satu bacaan yang baku dalam
membaca al-Qur’an, sebab Rasul mengerti tiap orang dari daerah yang
berbeda mempunyai dialek (cara membaca) yang berbeda dengan yang
lainnya. Seperti dialek orang Persia berbeda dengan dialek orang Mesir,
dialek orang Arab berbeda dengan dialek orang Non Arab dan sebagainya.
22an-Nasâ’î, al-Mujtabâ…, h. 164.
61
Oleh karena itu Rasulullah membolehkan orang membaca al-Qur’an
dengan dialek yang berbeda-beda.
Penjelasan dari hadis di atas merupakan perintah agar pendidik
berperilaku sebagaimana sikap demokratis yang Rasulullah terapkan
dalam mendidik. Sikap demokratis dalam pendidikan sangat penting.
Pendidikan akan memberdayakan manusia untuk menjadi manusia yang
seutuhnya bila mana di dalamnya dikembangkan dan dipegang kukuh
prinsip-prinsip demokrasi.23
Pendidikan yang demokrasi menurut M. Muchjiddin Dimjati dan
Muhammad Roqib, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis adalah
pendidikan yang berprinsip dasar rasa cinta dan kasih sayang terhadap
semua. Pendidikan yang membedakan anak menurut suku, ras, golongan,
aspirasi politik, sekte, jenis kelamin atau kondisi sosial ekonomi adalah
pendidik yang teoritis yang didasarkan pada prinsip sentimen,
kekhawatiran dan dendam.24
Seorang pendidik selayaknya menerapkan sikap demokratis dalam
proses belajar mengajar. Pendidik harus membiasakan peserta didiknya
untuk berpegang teguh pada kemampuan dirinya sendiri dan diberi
kebebasan dalam berfikir tanpa terpaku pada pendapat orang lain,
sehingga peserta didik bisa menentukan secara bebas masa depannya
sendiri berdasarkan kemampuan yang ada pada dirinya.25
kebebasan seperti ini dapat membiasakan peserta didik menjadi
manusia yang berani mengemukakan pendapat dengan penuh tanggung
jawab. Islam menganjurkan kepada para pendidik agar tidak mengekang
kebebasan individu peserta didik dalam mengembangkan potensi-potensi
yang telah dibawanya sejak lahir.
23Mulyoto, Pendidikan Yang Demokratis, dalam www.google.com/ Demokrasi Pendidikan, 28 Januari, 2010.
24Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet ke-6, h. 325. 25Muhammad Athiyat al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan… h. 57.
62
Pendidik bukan menekan kebebasan pendapat (bersifat otoriter)
pada peserta didik yang mengakibatkan jiwanya terbelenggu seperti
adanya rasa cemas, gelisah, dan kecewa selama berlangsungnya proses
belajar mengajar.
Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, pendidikan tidak
dipandang sebagai proses pemaksaan dari seorang pendidik untuk
menentukan setiap langkah yang harus diterima oleh peserta didiknya
secara individual. Dengan demikian dalam proses pembelajaran harus
dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi yaitu dengan penghargaan terhadap
kemampuan peserta didik, menerapkan persamaan kesempatan dan
memperhatikan keragaman peserta didik.
Pendidik hendaknya memposisikan peserta didiknya sebagai insan
yang harus dihargai kemampuannya dan diberi kesempatan untuk
mengembangkan kemampuannya tersebut. Oleh sebab itu dalam proses
pembelajaran harus dihindari suasana belajar yang kaku, penuh dengan
ketegangan, syarat dengan perintah dan intruksi yang membuat peserta
didik menjadi pasif dan tidak bergairah, cepat bosan dan mengalami
kelelahan26.
b. Motivator
Selain itu, Hadis di atas juga menjelaskan pendidik dianjurkan
untuk memberikan penghargaan kepada peserta didik, baik dalam bentuk
materi, doa, sanjungan dan pujian, sebagai bentuk motivasi yang ia
berikan untuk muridnya.
Penghargaan dengan berbagai bentuknya memiliki pengaruh
ampuh dalam memacu dan memotivasi para siswa untuk giat belajar.
Sebaiknya guru menggunakan metode ini ketika siswa merasa jenuh dan
bosan dalam kegitan belajar mengajar. 27
26Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Menurut al-Qur’an,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 84. 27Fuad bin Abdul Aziz, Begini Seharusnya menjadi Guru, Panduan lengkap
Metode Rasulullah, Terj Dari al-Mu’alimu Awwal, Qudwatun Likulli Mu’allim Wal Mu’allimah, oleh Jamaluddin ( Jakarta : Darul Haq, 2009), Cet. Ke-II, h. 79.
63
Dalam kegiatan belajar mengajar, peranan motivasi sangat
diperlukan. Motivasi bagi siswa dapat mengembangkan aktifitas dan
inisiatif, dapat mengarahkan dan memelihara ketekunan dalam melakukan
kegiatan belajar. Cara dan jenis menumbuhkan motivasi bermacam-
macam, namun dalam memberikan motivasi tersebut, guru juga harus
berhati-hati, Sebab mungkin maksudnya memberikan motivasi tetapi
justru tidak menguntungkan perkembangan belajar siswa.28
Bentuk penghargaan sangat bervariasi, diantaranya:
a. Penghargaan dalam bentuk materi, merupakan penghargaan dan
motivator yang paling kuat pengaruhnya terhadap terhadap siswa.
Karena di dalamnya terkandung nilai plus dari sekedar memperoleh
materi, yaitu unggul diantara rekan-rekannya, rasa puas guru
terhadapnya, dan memperoleh pujian dari guru-gurunya.
b. Penghargaan dalam bentuk do’a. yaitu mendoakan siswa dengan
keberkahan, kebaikan , taufik, dan yang sejenisnya.
c. Penghargaan dalam bentuk sanjungan (pujian). Yaitu memberikan
pujian kepada murid, contohnya ketika peserta didik mampu
menjawab pertanyaan yang diberikan pendidik dengan perkataan
“bagus”, “pintar”, “hebat”, dan sejenisnya. Metode ini mampu
menumbuhkan rasa percaya diri siswa terhadap keilmuannya, dan
memotivasi siswa yang lain untuk lebih giat belajar, serta memberi
siswa rasa puas dengan apa yang telah dicurahkannya dalam belajar.29
Senada dengan hal tersebut, Sardiman, dalam bukunya “Interaksi
dan Motivasi Belajar Mengajar” menyebutkan beberapa bentuk dan cara
yang dapat digunakan untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan
belajar mengajar di sekolah, diantaranya:
a. Memberi angka/nilai
Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan
belajarnya. Dalam belajar, banyak siswa yang belajar dengan tujuan
28 Sardiman A.M. Interaksi dan Motivas Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cety. Ke-7. h. 91.
29 Fuad bin Abdul Aziz…, h. 79-80
64
utama untuk mencapai nilai yang bagus. Nilai yang bagus itu bagi para
siswa merupakan motivasi yang sangat kuat. Namun demikian harus
diingat oleh guru bahwa pencapaian angka-angka seperti itu belum
merupakan hasil belajar yang bermakna. Oleh karena itu langkah
selanjutnya yang ditempuh guru adalah bagaimana cara memberikan
angka-angka dapat dikaitkan dengan values yang terkandung di dalam
setiap pengetahuan yang diajarkan kepada para siswa sehingga tidak
sekedar kognitif saja tetapi juga ranah afektif dan psikomotoriknya.
b. Hadiah
c. Saingan/kompetisi
Saingan atau kompetisi dapat digunakan sebagai alat motivasi
untuk mendorong belajar siswa. Persaingan, baik persaingan
individual maupun kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa.
d. Ego-involvement
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan
pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja
keras dengan mempertaruhkan harga diri adalah sebagai salah satu
bentuk motivasi yang sangat penting. Seseorang akan berusaha
dengan segenap tenaga untuk mencapai prestasi yang baik dengan
menjaga harga dirinya. Penyelesaian tugas dengan baik adalah symbol
kebanggaan dan harga diri sebagai tantangan, sehingga bekerja keras
dengan mempertaruhkan harga diri. Begitu juga dengan siswa, mereka
akan belajar dengan keras untuk menjaga harga dirinya.
e. Memberi ulangan
Para siswa akan menjadi giat belajar jika mengetahui akan ada
ulangan. Oleh karena itu memberi ulangan juga merupakan sarana
motivasi. Tetapi yang harus diingat oleh guru, jangan terlalu sering
memberikan ulangan karena akan membuat siswa merasa jenuh.
f. Pujian
65
Apabila ada siswa yang yang sukses dan berhasil
menyelesaikan tugas dengan baik, perlu diberikan pujian. Pujian
ini adalah bentuk reinforcement yang positif sekaligus merupakan
motivasi yang baik. Oleh karena itu, agar pemberian ini diharapkan
dapat memberikan motivasi, pemberiannya harus dilakukan
dengan tepat. Dengan pujian yang tepat akan memupuk suasana
yang menyenangkan dan mempertinggi gairah belajar sekaligus
akan membangkitkan harga diri.
g. Hukuman
Hukuman merupakan reinforcement yang negative, namun,
jika diberikan secara tepat dan bijaksana bisa menjadi alat motivasi.
Oleh karena itu, guru harus memahami prinsip-prinsip pemberian
hukuman.30
Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan
hasil yang baik pula, dengan adanya usaha yang tekun terutama di
dasari oleh adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan
dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seseorang
siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasinya, oleh
karena itu, dalam kegiatan belajar mengajar, pemberian motivasi
seorang pendidik berpengaruh besar bagi peserta didik. 4. Transparan
ابن اهللا دبا عنثدح يفوكال ياميلا شيرق نب ليدب ناب دمحا أنثدح نع اءطع نع مكحال ناب يلع نع انادز ناب ةارمع نع ريمن لئس نم" ملسو هيلع ى اهللالص اهللا لوسر الق: الق ةريري هبأ اهور" (ارالن نم امجلب ةاميلقا موي مجلأ همتآ مث هملع ملع نع 31)يذمرالت
Dari Abî Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda:”Barang siapa yang ditanya tentang ilmu yang diketahuinya, kemudian ia
30 Sardiman… 92-94 31Abî Isâ Muhammad ibn Ĩsa ibn Saurah ibn Mũsa at-Tirmudzî, Jâmi’ at-
Tirmidzî, Bâb Man jâa Fi Kitmân al-Ilmi, (Riyad: Dâr as-Salâm, t.t.), h. 601.
66
menyembunyikannya maka dibelenggulah ia pada hari kiamat dengan belenggu dari api neraka. (H.R. Tirmidzi).
Melalui hadis di atas, Rasulullah memerintahkan kita untuk tidak
menyembunyikan ilmu dan pengetahuan yang kita miliki kepada siapa pun.
Dan itu berarti adanya perintah untuk mengajarkannya tanpa membedakan
murid atas dasar kekayaan dan kedudukan antara orang miskin dan orang
kaya. Apalagi jika yang dimaksud merupakan pengetahuan yang berkaitan
dengan permintaan fatwa atas perkara tertentu. Karena menyembunyikan
ilmu pengetahuan berakibat buruk bagi orang yang berilmu, yaitu adanya
ancaman hukuman yang berat di akhirat nanti dengan dibelenggu dengan
api neraka.
Pada kata “Man suila a’n i’lmin ‘alimahu” yang dimaksud ilmu di
sini adalah ilmu yang dibutuhkan oleh seseorang yang bertanya terutama
pada masalah agama, “Tsumma katamahu” artinya sengaja diam dan tidak
memberikan jawaban atau menahan penjelasan, “uljima” artinya pada hari
kiamat nanti orang yang berilmu namun sengaja menyembunyikan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya tersebut mulutnya akan dimasukkan sebuah
cambuk, karena mulut merupakan tempat keluarnya ilmu dan perkataan32.
Imam at-Taibi berkata: balasannya adalah dikekang atau diikat
seperti hewan yang dikendalikan dengan tali kekang, dikekang dari apa
yang dikehendakinya. Karena karakter seorang alim yang hakiki adalah
menyeru kepada kebaikan. Imam Ibnu Hajar berkata: hal di atas
merupakan gambaran jauhnya seseorang dari ahli ilmu dan hikmah. Sebab,
menimba ilmu tujuannya adalah untuk disebarkan dan dimanfaatkan oleh
orang lain.
Ibnu Sayyid berkata: ilmu yang tidak boleh disembunyikan adalah
ilmu yang harus diajarkan kepada orang lain dan hukumnya fardu ain,
misalnya orang kafir yang ingin memeluk Islam dan berkata “ajarilah aku
apa itu Islam?” contoh lain adalah orang yang baru saja masuk Islam dan
32Al-Imâm al-hâfidz Abî al-Ulâ Muhammad Abd ar-Rahman al-Mubârkafũrî
Tuhfat al-Ahwadzi, Bab Man Jâa Fî Kitmân al-Ilmi, (tt.p.: Dar al-Fikr , t.t.) h. 408.
67
belum dapat mengerjakan shalat dengan baik, sementara waktu shalat telah
tiba lalu ia berkata “ajarilah aku cara mengerjakan shalat”, dan contoh
lainnya adalah ada orang yang datang meminta fatwa tentang halal atau
haram. Maka dalam perkara-perkara seperti itu janganlah menahan
jawaban, barang siapa yang melakukannya maka ia berhak mendapat
ancaman tersebut.33
Hadis di atas menjelaskan kewajiban para ulama (pendidik) untuk
mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada orang yang
membutuhkannya. Sebab, orang yang dengan sengaja menyembuyikan
ilmu pengetahuan merupakan dosa besar dan Allah akan memberikan siksa
yang berat pada hari kiamat nanti, yaitu mulut orang yang
menyembunyikan ilmu tersebut akan di kekang dengan api neraka.
Sudah sewajibnya para pendidik untuk menyebarkan ilmu yang
diketahuinya kepada orang yang membutuhkan, terutama pada hal-hal
yang berkaitan dengan masalah agama. Sebab tujuan seseorang menuntut
ilmu adalah untuk dapat diamalkan dan disebarkan kepada orang lain, agar
orang-orang di sekitarnya dapat mengambil manfaat dari ilmunya tersebut.
Di samping itu, orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya
merupakan gambaran yang yang jauh dari sosok ahli ilmu dan hikmah.34
Seseorang yang mengamalkan ilmunya tidak akan rugi, semakin
banyak ilmu yang ia sebarkan kepada orang lain, maka akan semakin
bertambah dalam pula ilmu yang dimilikinya. Sebab, seseorang yang
mengajarkan ilmu yang telah diketahuinya kepada orang lain, secara tidak
langsung ia sedang mengulang pelajaran yang telah ia pelajari, dengan
demikian, pengetahuannya pun akan semakin bertambah dan berkembang.
Di samping itu, dalam meyebarkan ilmunya, seorang pendidik tidak boleh
memandang seseorang berdasarkan status sosial dan latar belakang peserta
didiknya.
33Abu Amin Cepu, Larangan Menyembunyikan Ilmu, dalam www.google.com/,
menyebarkan ilmu, 12 Januari, 2010. 34 Abu Amin Cepu, Larangan Menyembunyikan Ilmu…
68
Pendidik dituntut untuk mengetahui berbagai informasi yang
berkembang di dalam masyarakat, karena pendidik merupakan tempat
untuk bertanya atau tempat pemberian jalan atau solusi atas berbagai
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. 35 Allah memberikan
kepercayaan kepada orang yang berilmu untuk dijadikan tempat bertanya
atau meminta fatwa tentang suatu masalah. Fiman Allah:
.
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetauhi. (QS. AN-Nahl: 43) Selain itu, pendidik mempunyai dua fungsi yang berbeda dengan
pekerjaan lain dalam masyarakat yaitu:
a. Menjadi jembatan antara sekolah denagn dunia atau kehidupan nyata
yang terjadi dalam masyarakat
b. Mengadakan hubungan antara masa muda dan masa tua, artinya ia
harus berusaha memberikan penjelasan kepada para pemuda
mengenai kehidupan dewasa, sehingga diharapkan para pemuda
mampu berpikir dewasa.36
Namun, kapan ilmu itu wajib diamalkan? Apabila ada orang yang
dapat menyampaikan ilmu tersebut dan lebih menguasai dari dirinya, maka
gugurlah kewajibannya, dan ia tidak akan mendapat siksaan karna ia tidak
mengamalkan ilmunya. Namun, jika tidak ada orang lain yang dapat
menyampaikan ilmu tersebut, ia berkewajiban untuk menyampaikannya.37
Karena tidak setiap orang berhak untuk memberi fatwa dan
berbicara tentang berbagai masalah kecuali berdasarkan ilmu dan
menguasainya. Memberi fatwa tanpa penguasaan dan berbicara tanpa ilmu
merupakan dosa besar. Oleh karena itu dalam memberikan ilmu tidak
35M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2002), h. 148 36 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan…, h. 148 37Tarbiyah net, Tidak Boleh Menyembunyikan Ilmu, dalam www.google.com/.
Menyebarkan Ilmu, 12 Januari 2010.
69
boleh sembarangan, karena akan sesat dan menyesatkan orang banyak.
Jika memang masalah yang ditanyakan kepada pendidik masalah yang
belum dikuasainya, maka hendaklah ia berkata jujur, bahwa ia belum
mengetahuinya, atau limpahkan permasalah tersebut kepada orang yang
lebih berkompeten darinya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
ا هيا اي: الق دوعسم ناب اهللا دبى علا عنلخد الق قورسم نع اهور(... ملعأ هللاا لقيلف ملعي مل نمو هب لقيلف أيش ملع نم اسالن .38)يارخبال
Dari Masruq ia berkata: Abdullah bin Mas’ud datang kepada kami dan berkata: wahai manusia, barang siapa yang mengetahui sesuatu (ilmu) hendaklah ia mengatakannya, dan barang siapa yang tidak mengetahuinya maka katakanlah: Allah lebih mengetahui. (H.R. Bukhari).
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa guru
merupakan figur sentral dalam kegiatan belajar mengajar. Ia mempunyai
pegaruh besar dalam keberhasilan proses belajar mengajar, sebab
pendidiklah yang bersentuhan langsung dengan peserta didik. Oleh karena
itu, pendidik dituntut untuk memiliki sifat dan kepribadian terpuji. Di
antara sifat tersebut adalah, penyayang, adil, demokratis, pemberi motivasi
serta transparan dalam menyebarkan ilmunya.
38Ibnu Hajar al-Asqalânî, Fatħul Bârî, Kitab at-Tafsir, Jilid 8, h. 547.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan mengenai Sifat Pendidik Dalam Perspektif Hadis pada
bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting di antaranya:
1. Pendidik merupakan figur yang dijadikan suri tauladan bagi peserta
didiknya, oleh karena itu pendidik selayaknya mempunyai sifat yang
mulia. Dalam hadis-hadis Rasul dijelaskan beberapa sifat yang harus
dimiliki oleh pendidik diantaranya adalah, kasih sayang, adil, demokratis
dan motivator, serta tranparan dalam penyebaran ilmunya.
2. Hadis-hadis Rasulullah tentang sifat pendidik, sesuai dengan pemikiran
para tokoh pendidikan modern. Dimana dalam pendidikan modern
dijelaskan untuk menjadi pendidik yang baik dan disenangi oleh peserta
didiknya, pendidik harus mempunyai rasa kasih sayang kepada pesrta
didiknya, memperlakukan mereka dengan adil tanpa ada perbedaan,
memberikan motivasi dan bersikap demokratis pada setiap perbedaan
yang muncul. Semua sifat-sifat tersebut juga terkandung dalam hadis-
hadis Rasul, terbukti dengan hadis-hadis penelitian ini.
B. Saran
Dari kesimpulan yang penulis paparkan di atas, kiranya penulis merasa
perlu untuk menyampaikan saran-saran sebagai berikut:
1. Hadis-hadis yang dalam matannya menyebutkan key word (kata kunci)
dari akar kata ‘allama dan ‘alima tidak hanya terdapat dalam kitab Imam
Bukhari, Nasai, dan Dawud dan Tirmidzi saja. Oleh karena itu perlu dicari
70
71
lagi hadis-hadis yang berbicara tentang sifat pendidik dari kitab-kitab
lainnya.
2. Hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat pendidik dalam perspektif hadis
belum sepenuhnya memberikan gambaran utuh. Oleh karena itu
diperlukan penjelasan dari sumber-sumbert lainnya mengenai hal tersebut.
3. Untuk para pendidik, hendaknya mencontoh dan meneladani sifat
Rasulullah dalam mendidik, sebab pendidik tidak hanya menjadi sorotan
ketika mereka berada di dalam kelas, tetapi juga sikap dan kepribadiannya
ketika di luar kelas.
4. Untuk para tokoh pendidikan, terutama para pendidik, hendaknya
mengkaji lebih jauh lagi hadis-hadis Rasul yang berbicara tentang
pendidikan khususnya yang membahas tentang sifat pendidik. Mengingat
hadis Rasul selain sebagai sumber hukum Islam, ia juga berperan sebagai
sumber pendidikan dan peradaban.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abd, Al-Baqi, Muhammad Fuad, Al-Mu’jam, Al-Mufahras li Al-Faz Al-Hadits, t.tp., Juz 4, 1926.
Abdul Aziz as-Syalhub, Fuad, Begini Seharusnya Menjadi Guru, Panduan
Lengkap Metode Rasulullah, Jakarta: Darul Haq, Cet. II, 2009. Ahjad, Nadjid, Tarjamah al-Jâmi’ as-Şagîr, Surabaya: PT. Bina Ilmu, Cet. II,
1995 Ahmad, Muhammad, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, Cet. II, 2000. Al-Abrasyi, Athiyat Muhammad, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2006. Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il. Shahih Bukhari, Beirut:
Maktabah al-Asriyyah, Juz 4, 1994. _____, Juz 7, t.t. _____, Dar al-Fikr, Juz 8, t.t. Adzim Abâdi, Abi Tayyib Muhammad Syams al-Haq, Aun al-Ma’bûd, Syarah
Sunan Abî Dâud, Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah, Jilid 5, t.t. Asqalânî, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fatħ al-Bâri, as-Sa’udi: Maktabah as-
Salafiyyah, Juz. 2, t.t. _____, as-Sa’udi: t.p., Juz. 5, t.t. Al-Khatib, Ajjaj, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet.
III, 2003. Alî Nâsif, Mansũr, al-Jâmi’ lil-Uşũl, Beirut: Dar al-Jâih, Juz I, t.t. Al-Nasâ’i, Abu abdurrahman Ahmad Ibnu Syuaib Ibnu Alî al-Khurasani, al-
Mujtabâ, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid I, 1995. Al-Mubâr Kafũri, Abî al-Ula Muhammad Abdurrahman, Tuhfat al-Ahwadzi, tt.p:
Dar al-Fikr, t.t. Al-Sijistânî, Abî Dâud Sulaiman al-Asy’at, Sunan Abî Dâud, t.p., Dar al-Fikr, Juz
3. t.t. _____,Suriyah: Dar-Al Hadits
73
Al-Tirmidzi, Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah ibn Musa, Jami’ al-Tirmidzi, Riyad: Dar As-Salam, 1999.
Al-Qardlawy, Yusuf, Sunnah Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban, Yogyakarta:
Tiara Wacana Ilmu, Cet. I, 2001 A.M, Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Cet. X, 2003. Amini, Ibrahim, Anakku Amanat-Nya, Jakarta: al-Huda, 2006.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:
Rineka Cipta, Cet. 17, 2006. Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi, Menuju Milenium
Baru, Jakarta:Logos Wacana Ilmu, Cet. I, 1999. Bahri Djamarah, Syaiful, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Jakarta:
Rineka Cipta, Cet. I, 2000. Dradjat, Zakiah, et. al, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Samara
Mandiri, 1999. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, Edisi 2, 2002. D Marimba, Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al- Ma’arif,
2000. Gholib, Ahmad, Studi Islam Pengantar Memahami al-Qur’an, al-Hadis dan
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Faza Media, Cet. I, 2006. Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
Cet. II, 1999. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2001. Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, Cet. I, 2006. M. Jhon, Echols, dan Shadily, Hasan, Kamus Inngris Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, Cet. 27, 2003. Mudasir, Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Setia, Cet. III, 2007.
74
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. I, 1997.
_____, al-Qur’an Dan al-Hadis, Dirasah Islamiyah I, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Cet. VII, 2000. _____, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000. _____, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, Studi
Pemikiran Tasawuf al-Ghazali, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2001. _____, dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadis, Jakarta: UIN Jakarta
Press, Cet. IV, 2005. Ngalim, Purwanto, M., Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002. Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, Cet. 1, 2002. Noer Aly, Hery, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. II,
1992. Nur Abdul Hafiz Suwaid, M., Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung: al-
Bayan, Cet. I, 1997. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. VI, 2008. _____, Nizar, Samsul, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan di Dunia dan Indonesia,
Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005. Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. IV, 2001 Ridwan, Halim, A., Tindak Pidana Pendidikan, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet. I,
2000. Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta: Prenada Media
Group, Cet. III, 2001. Sabri, Alisuf, M., Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I,
2005. Saleh Abdullah, Abdurrahman, Teori-Teori Pendidikan Menurut al-Qur’an,
Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
75
Sardiman, A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. X, 2003.
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Metode Teknik, Bandung:
Tarsito, 1990. Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Syaodih, Nana, Sukmadinata, Landasan Psikologis ProsesPendidikan, Bandung:
Remaja Rosdakarya, Cet.I, 2003.
Syihab, Quraish, M., Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. VIII, 2007. _____, Tafsir al-Misbah, Jakarta:Lentera Hati, Vol. 3, 2006.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. IV, 2001.
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, 2007. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Fokus Media, 2009. Uzer Usman, Moh., Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya,
Cet. 17, 2005 Warson Munawwir, Ahmad, al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta:
1995. Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 2005. Z, Zurinal, dan Sayuthi, Wahdi, Ilmu Pendidikan Pengantar dan Dasar-Dasar
Pelaksana Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I, 2006. INTERNET:
Abdul Halim Rahmat, “Menghilangkan Kekerasan Guru Pada Siswa”, dari www. google. com, 01 Maret 2010.
Abu Aqil Dilangsa, “Hadis Metode Pendidikan”, dari www.google.com, 19 Maret
2009. Abu Mujahid, “Berlaku Adil”, dari www.google.com, 19 Maret 2010. Abu Amin Cepu, “Larangan Menyembunyikan Ilmu”, dari www.google.com, 12
Januari 2010. Islam Online, “Berlaku Adil”, dari www.google.com, 19 Januari 2009.
76
Mulyoto, “Demokrasi Pendidikan, dari www.google.com, 28 Januari 2010. Tarbiyah Net, “Menyebarkan Ilmu”, dari www.google.com, 12 Januari 2010.
Pedoman Transliterasi Padanan Aksara
Huruf Arab
Huruf Latin keterangan
Tidak dilambangkan - ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
ħ ha dengan garis di atas ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
ş es dengan titik dibawah ص
đ de dengan garis di atas ض
ţ te dengan titik di bawah ط
ż zet dengan titik di atas ظ
Koma terbalik ‘ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
iv
v
apostrof ‘ ء
y ye ي
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin
keterangan
__ a fathah
__ i kasrah
__ u đammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin
keterangan
ai a dan i ي
au a dan u و
Vokal panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin keterangan
â a dengan topi di ا
atas
î i dengan topi di اي
atas
ũ u dengan او
bendera di atas