shock hipovolemik

20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 SHOCK HIPOVOLEMIK Pengertian Syok Hipovolemik Syok hipovolemik adalah terganggunya system sirkulasi akibat dari volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini dapat terjadi akibat perdarahan yang massif atau kehilangan plasma darah. Etiologi Syok Hipovolemik Penyebab tersering syok hipovolemik adalah kehilangan darah akibat trauma termasuk kehilangan darah selama atau setelah pembedahan. Trauma yang dimaksud dapat berupa trauma tajam (Penetrating Trauma) seperti fraktur pelvis atau fraktur femur dan trauma tumpul seperti trauma tumpul abdomen (ruptur hepar, spleen, dan perforasi organ berongga) maupun trauma tumpul dada (seperti pneumothorax, hemothorax atau hemopericardium dan temponade). Ruptur anuerisme aorta dan perdarahan gastrointestinal merupakan penyebab kedua tersering dari syok hipovolemik. Penyebab syok hipovolemik non –trauma termasuk diabetes mellitus yang tidak terkontrol dan insufisiensi akut korteks adrenal yang menyebabkan kehilangan cairan tubuh yang banyak melalui ginjal. Mual muntah hebat, diare, dan luka bakar dapat menimbulkan kehilangan cairan plasma. Berikut adalah tabel yang menggambarkan penyebab syok hipovolemik.

Upload: najua-saleh

Post on 28-Oct-2015

81 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

tinjauan pustaka

TRANSCRIPT

Page 1: Shock Hipovolemik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 SHOCK HIPOVOLEMIK

Pengertian Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik adalah terganggunya system sirkulasi akibat dari volume

darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini dapat terjadi akibat perdarahan

yang massif atau kehilangan plasma darah.

Etiologi Syok Hipovolemik

Penyebab tersering syok hipovolemik adalah kehilangan darah akibat trauma

termasuk kehilangan darah selama atau setelah pembedahan. Trauma yang dimaksud

dapat berupa trauma tajam (Penetrating Trauma) seperti fraktur pelvis atau fraktur

femur dan trauma tumpul seperti trauma tumpul abdomen (ruptur hepar, spleen, dan

perforasi organ berongga) maupun trauma tumpul dada (seperti pneumothorax,

hemothorax atau hemopericardium dan temponade). Ruptur anuerisme aorta dan

perdarahan gastrointestinal merupakan penyebab kedua tersering dari syok

hipovolemik.

Penyebab syok hipovolemik non –trauma termasuk diabetes mellitus yang tidak

terkontrol dan insufisiensi akut korteks adrenal yang menyebabkan kehilangan cairan

tubuh yang banyak melalui ginjal. Mual muntah hebat, diare, dan luka bakar dapat

menimbulkan kehilangan cairan plasma. Berikut adalah tabel yang menggambarkan

penyebab syok hipovolemik.

Tabel 2.1 Penyebab syok hipovolemik

Causes of Hypovolemic ShockLoss of Blood Internally- rupture of vessels, spleen,

liver, extrauterine pregnancyExternally- Trauma, gastrointestinal, pulmonary,renal blood loss

Loss of Plasma Burn Wound, gastrointestinal losses (diarrhea, ileus, pancreatitis)

Loss of Fluids and Electrolytes Gastrointestinal and renal losses (uncontrolled diabetes mellitus, adrenocortical insufficiency)

Terkadang hemoptisis masif yang timbul akibat dari suatu tumor, tuberculosis,

infeksi jamur atau bronkietasis dapat menjadi penyebab syok hipovolemik.

Page 2: Shock Hipovolemik

Kehilangan darah merupakan penyebab yang esensial dari syok hipovolemik namun

trauma itu sendiri menyebabkan pelepasan dari mediator inflamasi yang

menyebabkan perburukan syok.

Patofisiologi Syok Hipovolemik

Tubuh manusia merespon perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem

fisiologi utama yaitu sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem

neuroendokrin.

Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut

dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui

pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (melalui pelepasan

tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber

perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya

menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu

sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi

bentuk yang sempurna. 

Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik

dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan

vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan

pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh

baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah

pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak,

jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.

Sistem renalis berespon terhadap syok hipovolemik dengan peningkatan

sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen

menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di

paru-paru dan hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya

membantu perbaikan keadaan pada syok hipovolemik, yaitu vasokonstriksi arteriol

otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron

bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan

retensi air. 

Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hipovolemik dengan

peningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari

glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah

Page 3: Shock Hipovolemik

(dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang

dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan

reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan

lengkung Henle.

Patofisiologi dari syok hipovolemik telah tercakup dalam mekanisme diatas.

Mekanisme yang rumit tersebut efektif dalam memenuhi perfusi organ vital pada

kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau koreksi pada

keadaan patologi yang mendasari perdarahan akan mengakibatkan berkurangnya

perfusi jantung, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.

Manifestasi Klinis Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik membutuhkan diagnosa dini untuk mencegah

keterlambatan terapi. Resusitasi cairan intravena harus segera diberikan dengan kanul

besar. Perjalanan klinis pasien dengan syok hipovolemik ditentukan oleh penyebab

syok tersebut. Pasien dapat mengeluhkan haus, diaphoresis, dan nafas yang pendek

dan dangkal. Kesadaran umumnya tidak terganggu kecuali pada syok berat pasien

dapat menjadi apatis.

Diagnosa klinis untuk syok yaitu hipotensi dan gejala klinis dari iskemia

organ. Tanda klinis pasien syok dapat dikenali dari penurunan tekanan darah sistolik

kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah lebih dari 40 mmHg dibawah presyok

level dengan nadi yang lemah. Pada syok hipovolemik dapat ditandai dengan

orthostatik hipotensi, postural dizziness, takikardi dan hipotensi adalah gejala dan

tanda awal dari syok hipovolemik. Gejala lainnya yang dapat timbul yaitu mukosa

membrane yang kering, penurunan turgor kulit, takipneu, oliguria, sianosis perifer,

supine hipotensi dan gejala klinis lainnya yang mungkin timbul tidak mempunyai

nilai diagnostik bermakna. Tingkat keparahan pada syok hipovolemik akibat

perdarahan dapat dikelompokkan berdasarkan tanda dan gejala klinis seperti yang

tertera pada tabel sebagai berikut.

Table 2.2 Clinical classes of severity of Hypovolemic shock after hemorrhage

Class I Class II Class III Class IVBlood lossmL%

<750<15%

750-150015-30%

>1500-2000>30-40%

>2000> 40%

Heart Rate (beat/min)

<100 >100 >120 >140

Page 4: Shock Hipovolemik

Systolic blood pressure

Normal Normal Decreased Decreased

Pulse pressure

Normal Decreased Decreased Decreased

Capillary refill time

Delayed Delayed Delayed Delayed

Respiratory rate/min

14-20 20-30 30-40 >35

Urine output (ml/h)

>30 20-30 5-15 <5

Mental Status

Slightly anxious

Anxious Confused Confused and lethargic

Diagnosis Syok Hipovolemik

1. Anamnesa

Riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab dan untuk penanganan

langsung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan

mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, biasanya pasien

hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental. Pada pasien

trauma, menentukan mekanisme cedera dan menggali beberapa informasi lain akan

memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu misalnya, cedera akibat tertumbuk

kemudi kendaraan, atau gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan

kendaraan bermotor.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas,

pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan.

Sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala – gejala syok. Jangan

hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini

menyebabkan diagnosis lambat. Mekanisme kompensasi mencegah penurunan

tekanan darah sistolik secara signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume

darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan.

Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi,

tanpa memperhatikan derajat syoknya.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis

Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin,

Page 5: Shock Hipovolemik

kadar glukosa), PT, APTT, AGD, dan urinalisis (pada pasien yang mengalami

trauma). Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan agar

memudahkan bilamana diperlukan darah.

4. Pemeriksaan Radiologi

Pasien dengan hipotensi atau dengan kondisi tidak stabil harus pertama kali

diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan

radiologi dan menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi.

Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di

unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai

terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric

lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus

perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah

pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan.

Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik

antara lain:

1. Memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat,

peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah. Jalan napas pasien

sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi

pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi

(seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan,

harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator

harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat

berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.

Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille

mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan

berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal

adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya.

Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena saphena, atau vena

tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika

digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar.

Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling

penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman. Pengadaan infus arteri

Page 6: Shock Hipovolemik

perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus

arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.

Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah

kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter

pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai. Jika

tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien

perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid

dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak

bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan

(darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk

mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut). Jika pasien sekarat dan hipotensi berat

(syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian

kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi

pasien.

Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu

contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari

posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan

trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava

inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk

pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg

juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran

udara. 

2. Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut

Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan

intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan

menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan

intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi

kehilangan darah.

Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal

tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta

diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif

dan butuh segera dibawa di ruang operasi. 

Page 7: Shock Hipovolemik

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2

bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif,

seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena

itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman,

tetapi tidak terlalu menguntungkan. Infus somatostatin dan ocreotide telah

menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari

varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping

yang signifikan.

Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore

tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon

gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan

berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur

esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut,

penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang

ekstrim. 

Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya

kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran)

memerlukan intervensi bedah.Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah

kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan

pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan

yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain,

hal ini harus dilakukan segera.

Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah

terjadi cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang

kedatangan pasien. Pada pasien yang berusia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai

contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya

aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus

dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas.

3. Resusitasi Cairan.

Pasang kanul intravena ukuran besar, lakukan pemeriksaan laboratorium

(croosmatch, hemoglobin, hematocrit, thrombosit, elektrolit, creatinin, analisis gas

Page 8: Shock Hipovolemik

darah dan pH, laktat, parameter koagulasi, transamine, albumin). Nilai kebutuhan

oksigen, intubasi, atau ventilasi (PO2 > 60 mmHg dan saturasi oksigen > 90%).

Resusitasi cairan dilakukan dengan perbandingan kristaloid dan koloid sebesar

3:1. Bila kehilangan darah>25% maka perlu diberikan eritrosit konsentrat, sementara

kehilangan darah > 60% maka perlu juga diberikan fresh frozen plasma (setelah 1 jam

pemberian konsentrasi eritrosit atau lebih cepat jika fungsi hati terganggu). Tujuan

utama terapi syok hipovolemik adalah penggantian volume sirkulasi darah.

Penggantian volume intravascular sangat penting untuk kebutuhan cardiac output dan

suplai oksigen ke jaringan. Syok hipovolemik yang disebabkan oleh kehilangan darah

dalam jumlah besar sering perlu dilakukan transfusi darah. Adapun indikasi transfusi

darah atau komponen darah pada syok hipovolemik yaitu:

Tabel 2.3 Indikasi transfusi komponen darah

Indication for blood component therapyComponent Indication Usual strating dosePacked RBC Replacement of Oxygen-

carrying capacity2-4 units IV

Platelets Thrombocytopenia with bleeding

6-10 units IV

Fresh frozen plasma Coagulopaty 2-6 units IVCrycoprecipitate Coagulopaty with fibrinogen 10-20 units IV

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi

elektrolit dan kelainan metabolic yang ada. Berbagai larutan parenteral telah

dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan

intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam

penanganan dan perawatan pasien.

Terdapat beberapa jenis cairan resusitasi yaitu cairan koloid, kristaloid dan

darah. koloid merupakan cairan dengan tekanan osmotik yang lebih tinggi

dibandingkan plasma (cairan hiperonkotik). Hipertonik dan hiperonkotik adalah

cairan plasma expander karena kemampuan untuk memindahkan cairan intrselular

dan interstisial selama resusitasi dan dengan cepat menggantikan volume plasma

(seperti albumin, dextran, dan starch). Cairan kristaloid adalah cairan yang

Page 9: Shock Hipovolemik

mengandung air, elektrolit dan atau gula dengan berbagai campuran. Cairan ini bisa

isotonik, hipotonik, dan hipertonik terhadap cairan plasma. Sedangkan cairan koloid

yaitu cairan yang Berat Molekulnya tinggi.

Cairan kristaloid terdiri dari:

1. Cairan Hipotonik

Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh karena itu

penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan intraseluler seperti pada dehidrasi

kronik dan pada kelainan keseimbangan elektrolit terutama pada keadaan

hipernatremi yang disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes insipidus. Cairan

ini tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada kegawatan (dextrosa 5%).

2. Cairan Isotonik

Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat dan

plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi intravaskuler yang

adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar dari kehilangannya. Cairan ini

cukup efektif sebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukan relatif lebih pendek

dibanding dengan cairan koloid.

3. Cairan Hipertonik

Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler utama. Oleh

karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan intraseluler ke dalam

ekstraseluler.Peristiwa ini dikenal dengan infus internal. Disamping itu cairan natrium

hipertonik mempunyai efek inotropik positif antara lain memvasodilatasi pembuluh

darah paru dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk luka bakar karena dapat

mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan mengurangi jumlah cairan

yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%.

Beberapa contoh cairan kristaloid :

1)  Ringer Laktat (RL)Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4 mEq/l,

Klorida 109mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada larutan ini

dimetabolisme didalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga terjadi dalam ginjal.

Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit yang menyebabkan gangguan fungsi

hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat kemudian dikonversi menjadi CO2 dan

H2O (80% dikatalisis oleh enzimpiruvat dehidrogenase) atau glukosa (20% dikatalisis

Page 10: Shock Hipovolemik

oleh piruvat karboksilase). Kedua proses ini akan membentuk HCO3. Sejauh ini

Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan karena komposisi elektrolitnya lebih

mendekati komposisi elektrolit plasma. Cairan ini digunakan untuk mengatasi

kehilangan cairan ekstra seluler yang akut. Cairan ini diberikan pada dehidrasi berat

karena diare murni dan demam berdarah dengue. Pada keadaan syok, dehidrasi atau

DSS pemberiannya bisa diguyur.

2)  Ringer AsetatCairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium 4

mEq/l, Kalsium 3mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi

keadaan asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat dimetabolisir

di dalam otot, sedangkan laktat didalam hati. Laju metabolisme asetat 250 ± 400

mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam.Asetat akan dimetabolisme menjadi

bikarbonat dengan cara asetat bergabung dengan ko-enzim A untuk membentuk asetil

ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A sintetase danmengkonsumsi ion hidrogen

dalam prosesnya. Cairan ini bisa mengganti pemakaian Ringer Laktat.‡ Glukosa 5%,

10% dan 20%Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter , 200 gr/liter.9

Glukosa 5% digunakanpada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan 20%

digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal

ginjal akut dengan oliguria.

3)  NaCl 0,9%Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L Klorida,

yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal untuk

penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia, hipokloremia atau

alkalosis metabolik. Cairan ini digunakan pada demam berdarah dengue dan renjatan

kardiogenik juga pada sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium seperti

asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikaldan luka bakar. Pada anak dan bayi

sakit penggunaan NaCl biasanya dikombinasikan dengancairan lain, seperti NaCl

0,9% dengan Glukosa 5%.

Adapun Jenis-jenis cairan koloid adalah :

1)  Albumin.Terdiri dari 2 jenis yaitu:

a)  Albumin endogen. Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan

dihasilkan di hati dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000, terdiri dari 584

asam amino. Albumin merupakan protein serum utama dan berperan 80% terhadap

Page 11: Shock Hipovolemik

tekanan onkotik plasma. Penurunan kadar Albumin 50 % akan menurunkan tekanan

onkotik plasmanya 1/3nya.

b)  Albumin eksogen. Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin,

albumin eksogen yang diproduksiberasal dari serum manusia dan albumin eksogen

yang dimurnikan (Purified protein fraction)dibuat dari plasma manusia yang

dimurnikan.8Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam fisiologis.

Albumin 25% biladiberikan intravaskuler akan meningkatkan isi intravaskuler

mendekati 5x jumlah yangdiberikan.Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan

onkotik plasma. Peningkatan inimenyebabkan translokasi cairan intersisial ke

intravaskuler sepanjang jumlah cairan intersisial mencukupi. Komplikasi albumin

adalah hipokalsemia yang dapat menyebabkan depresi fungsi miokardium, reaksi

alegi terutama pada jenis yang dibuat dari fraksi protein yangdimurnikan. Hal ini

karena factor aktivator prekalkrein yang cukup tinggi dan disamping ituharganya pun

lebih mahal dibanding dengan kristaloid. Larutan ini digunakan padasindroma

nefrotik dan dengue syok sindrom.

2)  HES (Hidroxy Ethyl Starch). Merupaka senyawa kimia sintetis yang menyerupai

glikogen. Cairan ini mengandung partikel dengan BM beragam dan merupakan

campuran yang sangat heterogen. Tersedia dalam bentuk larutan 6% dalam garam

fisiologis. Tekanan onkotiknya adalah 30 mmHg dan osmolaritasnya 310 mosm/l.

HES dibentuk dari hidroksilasi aminopektin, salah satu cabang polimer glukosa. Pada

penelitian klinis dilaporkan bahwa HES merupakan volume ekspander yang cukup

efektif. Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam. Pengikatan cairan

intravasuler melebihi jumlah cairan yang diberikan oleh karena tekanan onkotiknya

yang lebih tinggi. Komplikasi yang dijumpai adalah adanya gangguan mekanisme

pembekuan darah. Hal ini terjadi bila dosisnya melebihi 20ml/ kgBB/ hari.

3) Dextran. Merupakan campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam

ukuran dan berat molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc mesenteriodes yang

dikembangbiakkan di mediasucrose. BM bervariasi dari beberapa ribu sampai jutaan

Dalton. Ada 2 jenis dextran yaitu dextran 40 dan 70. Dextran 70 mempunyai BM

70.000 (25.000-125.000). Sediaannya terdapat dalam konsentrasi 6% dalam garam

fisiologis. Dextran ini lebih lambat dieksresikan dibandingkan dextran 40. Oleh

karena itu dextran 70 lebih efektif sebagai volume ekspander dan merupakan pilihan

Page 12: Shock Hipovolemik

terbaik dibadingkan dengan dextran 40. Dextran 40 mempunyai BM 40.000 tersedia

dalam konsentrasi 10% dalam garam fisiologis atau glukosa 5%. Molekul kecil ini

difiltrasi cepat oleh ginjal dan dapat memberikan efek diuretik ringan. Sebagian kecil

dapat menembus membran kapiler dan masuk ke ruang intertisial dan sebagian lagi

melalui sistim limfatik kembali ke intravaskuler. Pemberian dextran untuk resusitasi

cairan pada syok dan kegawatan menghasilkan perubahan hemodinamik berupa

peningkatan transpor oksigen. Cairan ini digunakan pada penyakit sindroma nefrotik

dan dengue syok sindrom. Komplikasi antara lain payah ginjal akut, reaksi anafilaktik

dan gangguan pembekuan darah.

4)  Gelatin. Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama pada

orang dewasa. Terdapat 2 bentuk sediaan yaitu:1.Modified Fluid Gelatin (MFG)

2.Urea Bridged Gelatin (UBG). Kedua cairan ini punya BM 35.000. Kedua jenis

gelatin ini punya efek volume expander yang baik pada kegawatan. Komplikasi yang

sering terjadi adalah reaksi anafilaksis. Cairan ini digunakan sebagai cairan rumatan

pada penyakit bronkopneumonia, status asmatikus dan bronkiolitis.

Pemilihan cairan resusitasi pada syok hipovolemik hingga saat ini masih

menjadi perdebatan. Pemberian infus koloid (plasma/albumin) pada syok hipovolemik

post operative dapat meningkatkan pengambilan okisgen lebih cepat dibandingkan

infus kristaloid. Inisial resusitasi pada syok hipovolemik sering dimulai dengan

hypertonic dan isotonic kristaloid yang kemudian dilanjutkan dengan cairan koloid

dan infuse eritrosit dan plasma.

Resusitasi syok hipovolemik pada luka bakar dimana terjadi kehilangan

plasma maka dilakukan resusitasi dengan kombinasi kristaloid dan koloid. Pada kasus

diabetes yang tidak terkontrol, diare dan insufisiensi korteks adrenal yang

menyebabkan kehilangan cairan plasma dan elektrolit maka cairan resusitasi terpilih

adalah cairan kristaloid. Cairan ini dapat mempertahankan volume intravascular,

interstisial, dan intraselular. Pembarian transfusi darah diindikasikan pada kasus

dengan kehilangan darah >40% atau syok derajat IV. Menurut CPG 2007 resusitasi

cairan optimal pada syok hipovolemik yang disebabkan oleh trauma adalah

penggunaan darah. Bila transfusi darah tidak tersedia maka penggunaan kristaloid

isotonic lebih dianjurkan karena kristaloid menghasilkan peningkatan cardiac output

yang dapat diperkirakan dan secara umum didistribusikan ke ekstraselular. Compound

Page 13: Shock Hipovolemik

Sodium Lactat adalah alternative pilihan yang dianjurkan untuk resusitasi awal pasien

hipovolemik.compound sodium lactate mengandung precursor bicarbonate yang

ketika dimetabolisme dapat membantu memperbaiki asidosis metabolic. Pemberian

cairan ini dihentikan pada pasien dengan gangguan hati. Alternative lain yang dapat

diberikan yaitu normal saline (NaCl 0.9%) meskipun pemberiannya dalam dosis besar

dapat menyebabkan asidosis metabolic.