shautut tarbiyah, ed. ke-33 th. xxi, november 2015 meretas

15
167 Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P. Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P. Institut Agama Islam Negeri Kendari Jl. Sultan Qaimuddin No. 17 Kendari Abstrak Esensi ajaran sufi yang sesungguhnya adalah kepatuhan (taat). Kepatuhan itu dapat diraih mujahadah (perjuangan batin) melawan hawa nafsu sebagai sumber segala kejahatan dan muraqabah (merasa dalam pengawasan Allah) agar tidak ada ruang untuk untuk berbuat dosa. Dari kepatuhan itu, kemudian seseorang meretas jalan ke rana sufi, melalui suluk (perjalanan spiritual) dengan berbagai riyadah (latihan) yang dimulai dari tobat dan berujung pada ridha. Ajaran- ajaran sufi itu nampak pada amalan-amalan mereka yang sangat indah dalam menjalankan syariat yang seimbang dengan penghayatan spiritual sehingga ia sampai pada tingkat ihsan sebagai rana sufi dengan segala pencapaian spritualnya. Kata kunci: Taat, Miujahadah, Muroqabah Abstract The real essence of Sufi teachings is obedience (disobedient). Compliance could be achieved mujahadah (inner struggle) against lust as the source of all evil and muraqabah (feel in control of God) so that there is no room for sin. From the submissions, then a paved road to the shutter Sufis, through mysticism (spiritual journey) with various Riyadah (training) beginning of repentance and culminate in approval. Sufi teachings were evident in their works are very beautiful in running the Shari'a is balanced with an appreciation of spiritual until it reaches the level of courtesy as Sufi shutter with all his spiritual attainment. Keywords: Obedience, Miujahadah, Muroqabah ﻣﻠﺨﺺ اﻟﺠﻮھﺮ اﻟﺤﻘﯿﻘﻲ ﻟﻠ ﺘﻌﺎﻟﯿﻢ اﻟﺼﻮﻓﯿﺔ ھﻮاﻻﻣﺘﺜﺎل. ﯾﻤﻜﻦ أن ﯾﺘﺤﻘﻖ اﻻﻣﺘﺜﺎل أن اﻟﺼﺮاع اﻟﺪاﺧﻠﻲ ﺿﺪ ﺷﮭﻮة ﻛﻤﺼﺪر ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﺮ، وأن اﷲ ﻛﺎن ﻓﻲ اﻟﺴﯿﻄﺮة، و ﻟﯿﺲ ھﻨﺎك ﻣﺠﺎل ﻟﻠ ﺨﻄﯿﺌﺔ. ﻣﻦ اﻟﺘﻘﺪﯾﻤﺎت، ﺛﻢ اﻟﻄﺮق اﻟﻤﻌﺒﺪة إﻟﻰ اﻟﺘﺼﻮف ﻣﺼﺮاع اﻟﺼﻮﻓﯿﺔ ﻣﻦ ﺧﻼل ﻣﺨﺘﻠﻒ رﯾﺎدة ﺑﺪاﯾﺔ اﻟﺘﻮﺑﺔ و ﺗﺒﻠﻎ ذروﺗﮭﺎ ﻓﻲ اﻟﻤﻮاﻓﻘﺔﻋﻠﯿﮭﺎ. ﻛﺎﻧﺖ ﺗﻌﺎﻟﯿﻢ اﻟﺼﻮﻓﯿﺔ واﺿﺢ ﻓﻲ أﻋﻤﺎﻟﮭﻢ ﺟﻤﯿﻠﺔ ﺟﺪا ﻓﻲ ﺗﺸﻐﯿﻞ اﻟﺸﺮﯾﻌﺔ ﻏﯿﺮ ﻣﺘﻮازن ﻣﻊ اﻟﺘﻘﺪﯾﺮ اﻟﺮوﺣﯿﺔ ﺣﺘﻰ ﯾﺼﻞ إﻟﻰ ﻣﺴﺘﻮى ﻣﺠﺎﻣﻠﺔ ﻛﻤﺎ ﻣﺼﺮاع

Upload: others

Post on 13-Nov-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

167

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

Meretas Jalan ke Rana Sufi

Tomo P. Institut Agama Islam Negeri Kendari Jl. Sultan Qaimuddin No. 17 Kendari

Abstrak Esensi ajaran sufi yang sesungguhnya adalah kepatuhan (taat). Kepatuhan itu dapat diraih mujahadah (perjuangan batin) melawan hawa nafsu sebagai sumber segala kejahatan dan muraqabah (merasa dalam pengawasan Allah) agar tidak ada ruang untuk untuk berbuat dosa. Dari kepatuhan itu, kemudian seseorang meretas jalan ke rana sufi, melalui suluk (perjalanan spiritual) dengan berbagai riyadah (latihan) yang dimulai dari tobat dan berujung pada ridha. Ajaran-ajaran sufi itu nampak pada amalan-amalan mereka yang sangat indah dalam menjalankan syariat yang seimbang dengan penghayatan spiritual sehingga ia sampai pada tingkat ihsan sebagai rana sufi dengan segala pencapaian spritualnya. Kata kunci: Taat, Miujahadah, Muroqabah Abstract The real essence of Sufi teachings is obedience (disobedient). Compliance could be achieved mujahadah (inner struggle) against lust as the source of all evil and muraqabah (feel in control of God) so that there is no room for sin. From the submissions, then a paved road to the shutter Sufis, through mysticism (spiritual journey) with various Riyadah (training) beginning of repentance and culminate in approval. Sufi teachings were evident in their works are very beautiful in running the Shari'a is balanced with an appreciation of spiritual until it reaches the level of courtesy as Sufi shutter with all his spiritual attainment. Keywords: Obedience, Miujahadah, Muroqabah

ملخصتعالیملل الحقیقي الجوھر الداخلي الصراع أن الامتثال یتحقق أن یمكن لا .الامتثال ھو الصوفیة

،شر كل من كمصدر شھوة ضد لیسو السیطرة، في كان االله وأن خطیئةلل مجال ھناك من .،التقدیمات بدایة ریادة مختلف خلال من الصوفیة مصراع التصوف إلى المعبدة الطرق ثم

تبلغو التوبة في جدا جمیلة أعمالھم في واضح الصوفیة تعالیم كانت .علیھا الموافقة في ذروتھا مصراع كما مجاملة مستوى إلى یصل حتى الروحیة التقدیر مع متوازن غیر الشریعة تشغیل

Page 2: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

168

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

.روحي إحراز من أوتي ما بكل الصوفیة،الطاعة :البحث كلمات ،الداخلي الصراع .والتصوف

Pendahuluan Catatan sejarah menunjukan bahwa fenomena mistisisme ada

pada setiap agama dan budaya manusia. Khusus dalam Islam, lazim disebut sufisme, tasawuf atau mistisisme Islam, guna membedakan dengan mistik lain, demikian juga mengnai landasan ideologi dan gerakannya perlu dipahami, agar eksistensinya tetap murni dan terpelihara serta dapat berfungsi mensucikan diri, untuk seterusnya dapat sampai ketingkat makrifat. Sebagai bagian integral dari ajaran Islam, tasawuf digali dari al-Qur’an dan sunah, sebagai landasan ideologi, dengan mencontoh kehidupan Nabi, sahabat, tabiin dan ulama-ulama sufi muktabar, sebagai orientasi gerakan. Kehidupan sufi nampak pada prilaku Nabi yang senantiasa memelihara akhlak,1 sebagai ekspresi kemurnian iman dan kepatuhannya melaksanakan syariat. Hal ini kemudian diikuti oleh para sahabat dan tabiin serta para ulama muktabar yang dating setelahnya.

Mereka hidup sederhana, wara’, tawadu’ dan zuhud. Mereka tidak merasa ujud (sombong), perhatian mereka hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka tidak perlu mengidentifikasi diri sebagai sufi atau sebagai fuqaha’. Hal yang sama, juga dilakukan para sufi pada generasi awal seperti Hasan al-Basri, Sufyan al-Sauri dan lain-lain. Mereka yakin bahwa pengamalan syariat adalah suatu keniscayaan untuk mencapai tingkat penghayatan spiritual yang tinggi (makrifat). 2 Atau dengan istilah lain, mereka dapat memasuki rana sufi, suatu tingkat pemahaman dan pengamalan agama yang sangat mendalam dan indah, dimana seseorang menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan apabila ia tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat dia.

Kaum sufi belajar konsisten seperti belajar mengendalikan suasana diri dari waktu-waktu. Waktu yang disunnahkan untuk mengucapkan shalawat para ulama menyebutkan ada waktu-waktu dan kondisi-kondisi yang disunahkan untuk bershalawat, dan mungkin secara singkat penjelasannya sebagai berikut: 1. setelah mendengar dan mengikuti ucapan muadzin ketika adzan, 2. ketika masuk dan keluar masjid, 3. setelah tasyahud (tahiyat) akhir di dalam

1Q.S. al-Qalam /68 : 4. 2Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), h. 30.

Page 3: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

169

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

shalat, 4. Setelah doa qunut, 5. di dalam shalat Jenazah setelah takbir yang kedua, 6. Sebelum dan sesudah berdoa., 7. ketika berkhutbah jum’at, I’ed, Istisqa dll (khusus bagi khatib), 8. ketika disebut nama beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, 9. ketika berada di Shafa dan Marwah bagi yg sedang Haji/Umrah, 10. hari Jum’at, 11. ketika pagi dan sore, 12. ketika mnutup majelis pertemuan (taklim, kajian, pelajaran), 13. ketika menyampaikan pelajaran dan ketika selesainya, 14. di antara takbir-takbir dalam shalat I’ed, 15. utamakan Sholawat bila bila... kapan kapan saja!3

Ranah sufi berdasarkan 15 indikator di atas memang memudahkan mendorong setiap sufi untuk berlomba dalam kebaikan. Menjalankan syariat islam dan mengamalkan segala ilmu dan pengetahuan dari tindak laku sehari-hari dapat menjadikanya memenuhi syarat minimal menjadi sufi. Masalah kemudian yang muncul adalah apakah label sufi tersebut masih cukup urgen untuk menjadi ladang penumpukan amal di masa kini. Jika masih memungkinkan, maka mewariskan perilaku sufi dengan indikator di atas menjadi semakin urgen. Termasuk diwariskan dalam kehidupan mahasiswa di kampus-kampus PTAIN menjadi keharusan. Pewarisan pengetahuan tersebut harus dengan cukup antusias, agar sufi-sufi baru dapat melakukan regenerasi berkelanjutan.

Regenerasi dan keberlanjutan kaun sufi di bumi ini memang menjadi kewajiban generasi kini. Setiap generasi harusnya menyadari tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi. Bahwa kekhalifan tersebut harus dapat diwariskan agar asma Allah di bumi Allah senantiasa terjaga dan terkumandang dengan baik hingga zaman berakhir. Gagasan ini memang boleh datang dari mana saja, oleh siapa saja dan kapan saja. Sehingga sebagai penggiat ilmiah di kampus berbasis keagamaan, artikel ini menjadi sangat urgen untuk dipaparkan dan disebarkan sebagai bahan atau referensi berpikir dalam membentuk sufi baru dan berkualitas, yang mampu memenuhi tuntutan zaman. Akankah kita dapat melahirkan Khalil Gibran baru, Mario Teguh local di Kendari atau mampu kah kita meregenerasi mahasiswa IAIN Kendari, sumber kekuatan sufi baru di Asia Tenggara.

3 https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=10151998118799425&id=202281863134299 diunduh pada 01 Juni 2015.

Page 4: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

170

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

Pembahasan Konsekuensi dari sebuah akidah yang murni (haqqul yaqin),

yang dicapai melalui dalil-dalil naqli dan aqli akan melahirkan kepatuhan menjalankan syariat berupa amalan lahir yang formalistik dan amalan batin/spiritual secara serempak. Karena itu, taat merupakan keniscayaan untuk meretas jalan ke rana sufi. Namun untuk meraih ketaatan itu, harus dilakukan dengan mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu) dan muraqabah (merasa diri dalam pengawasan Allah). Ketiga hal ini selalu dipelihara oleh kaum sufi, agar dapat melakukan perjalanan spiritual (suluk) menuju kedekatkan dengan Allah. Seperti apa taat, mujahadah dan muraqabah dalam ajaran sufi, hal ini dapat di lihat pada uraian sebagai berikut: a. Taat.

Pada masa Rasulullah dan sahabatnya pengamalan Islam bersumber dari al-Qur’an yang merupakan sumber asli ajaran Islam. Ilmu-ilmu keislaman sebagai hasil ijtihad seperti ilmu kalam, fikih, tasawuf, filsafat dan ilmu pengetahuan belum dikenal dan belum berdiri sendiri. Penghayatan dan pengamalan Islam tumbuh dan berkembang tanpa dikotomi antara zikir, pikir dan amal perbuatan atau antara iman, Islam dan ihsan. Nabi senantiasa taat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Demikian pula pada masa sahabat, mereka berusaha mentaati Allah dan rasulnya, kemudian dilanjutkan oleh para tabiin yang setia. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada para pelanjut perjuangannya yaitu para penguasa setelahnya (ulil amri), disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:

Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Nisa’ 4: 59.

فِي تَنَازَعْتُمْ فَإِنْ ۖ مِنْكُمْ الْأَمْرِ وَأُولِي الرَّسُولَ وَأَطِیعُوا اللَّھَ أَطِیعُوا آمَنُوا الَّذِینَ أَیُّھَا یَاوِیلًاتَأْ وَأَحْسَنُ خَیْرٌ ذَٰلِكَ ۚ الْآخِرِ وَالْیَوْمِ بِاللَّھِ تُؤْمِنُونَ كُنْتُمْ إِنْ وَالرَّسُولِ اللَّھِ إِلَى فَرُدُّوهُ شَيْءٍ

Terjemahnya: “Wahai orang-orang yang beriman! taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.”4 Ayat di atas mengabarkan tentang pentingnya menjaga amanah

dalam pilar kepemimpinan dalam domain islam. Kondisi ini harusnya dapat berjalan sesuai pilar kepemimpinan di atas. Meskipun kadang

4Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, edisi revisi 2010 (Surabaya: Pustaka Assalam, 2010), h. 114.

Page 5: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

171

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

dapat menjadi perbincangan hangat, sebut saja kasus ahok Gubernur DKI Jakarta. Daerah dengan mayoritas berpenduduk muslim, tetapi memiliki gaya dan perilaku non muslim, sehingga menjadi wajar dengan otomatis dipimpin oleh pemimpin non muslim. Banyak pula dari berbagai kalangan termasuk ilmuwan, bahkan ilmuwan yang ada dalam kampus yang berlabel agama menerima gaya kepemimpinan tersebut.

Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Nur/24 : 52

الْفَائِزُونَ ھُمُ فَأُولَٰئِكَ وَیَتَّقْھِ اللَّھَ وَیَخْشَ وَرَسُولَھُ اللَّھَ یُطِعِ وَمَنْTerjemahnya: “Dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan”5

Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Nur/24:51-52

أَطَعْنَا إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِینَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّھِ وَرَسُولِھِ لِیَحْكُمَ بَیْنَھُمْ أَنْ یَقُولُوا سَمِعْنَا وَ ۚ وَأُولَٰئِكَ ھُمُ الْمُفْلِحُون

اللَّھَ وَرَسُولَھُ وَیَخْشَ اللَّھَ وَیَتَّقْھِ فَأُولَٰئِكَ ھُمُ الْفَائِزُونَوَمَنْ یُطِعِ Terjemahnya :

Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata, "Kami mendengar, dan kami taat". dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.6

Menaati Allah di sini berarti menegakkan semua hukum-hukum-Nya, mengamalkan kitab dan aturan-aturan-Nya. Juga menaati Rasul-Nya karena dialah yang menjelaskan dan mendakwakan aturan-aturan Allah kepada umat manusia. Ketaatan yang sesungguhnya adalah hak Allah, sedangkan ketaatan kepada Rasul, hanya sebagai manifestasi ketaatan kepada Allah, khususnya mengenai syariat dengan segala normatifitasnya. Kepatuhan kaum sufi meliputi apa saja yang dicintai dan diridai Allah swt. baik baik mengenai ucapan, perbuatan yang nampak atau tidak misalnya niat dan pikiran yang keliru,7 ketaatan itu dapat mencapai tingkat yang sempurna, apabila disertai dengan mujahadah dan muraqabah.

5Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 498. 6Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 497-498. 7Ibnu Taimiyah, Risalah al-Ubudiyah, terj. Mu’ammal Hamidy, Hakikat Penghambaan Manusia Kepada Allah (Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1982), h. 1.

Page 6: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

172

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

Menjadi sufi yang memenuhi tuntutan zaman memang harus alim. Alim disini berarti harus berilmu, memenuhi syarat kepemimpinan islam. Tidak dibenarkan memang jika ada pemimpin yang tidak memenuhi pengetahuan atau keahlian di setiap bidang yang ditanganinya. Tuntunan hidup dalam dunia islam memang sudah cukup sempurna, masalah kemudian adalah ketiadaan sumber daya untuk menggali, menelusuri dan mengamalkan segala ilmu kebaikan seperti yang telah dijabarkan dalam Quran dan Hadis. 2. Mujahadah

Secara etimologi kata mujahadah berasal dari kata jahada yang artinya bersungguh-sungguh mengarahkan segala kemampuannya pada jalan yang diyakini baik dan benar.8 Sedangkan secara terminologi, mujahadah adalah mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari segala yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah swt. Atau dengan kata lain, mujahadah adalah usaha yang optimal untuk memenuhi syarat dan rukun diterimanya suatu amal.9

Usaha yang sungguh-sungguh dan optimal yang dilakukan dengan tekun, serta terus menerus melawan hawa nafsu agar tidak terjerumus dalam dosa rohani misalnya, amarah, iri, dengki, loba, rakus, tamak, ujud dan lain-lain. Jihad dan mujahadah bukanlah entitas yang berbeda, tapi merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sebagaimana halnya syariat dan hakekat merupakan kesatuan yang integral (utuh). Karena itu, mujahadah adalah usaha yang sungguh-sungguh dan seimbang antara amalan lahir dan amalan batin, atas dasar ketaatan kepada Rasul-Nya, untuk seterusnya meretas jalan menuju rida Allah.

Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Jasiyah/45: 23

غِشَاوَةً بَصَرِهِ عَلَى وَجَعَلَ وَقَلْبِھِ سَمْعِھِ عَلَى وَخَتَمَ عِلْمٍ عَلَى اللَّھُ وَأَضَلَّھُ ھَوَاهُ إِلَھَھُ اتَّخَذَ مَنِ أَفَرَأَیْتَ تَذَكَّرُونَ أَفَلا اللَّھِ بَعْدِ مِنْ یَھْدِیھِ فَمَنْ

Terjemahnya: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya dan Allah telah mengunci

8Lois Ma’luf, al-Munjid Fi al-Lugah Wa al-I’lam (Bairut: Dar al-Masyriq, 1989), h. 106. Dan Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, tashih Achmad Warson Munawir dan Mustofa Bisri, Kamus al-Bisri (Surabaya : Pustaka Progressif, 1999), h. 88. 9Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Jawahir al-Qur’an, terj. Mohammad Luqman Hakiem, Permata Ayat-ayat Suci (Cet.I ; Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 343 dan Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsri Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet.XII; Bandung: Mizan, 2001), h. 502.

Page 7: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

173

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”10

Allah swt. berfirman dalam Q.S. Yusuf/12 : 53

رَحِیمٌ غَفُورٌ رَبِّي إِنَّ ۚ رَبِّي رَحِمَ مَا إِلَّا بِالسُّوءِ لَأَمَّارَةٌ النَّفْسَ إِنَّ ۚ نَفْسِي أُبَرِّئُ وَمَا

Terjemahnya: “Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha penyanyang”.11

Allah swt. berfirman dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 14

Terjemahnya:

“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”.12

Kalau jihad dimakanai dimaknai sebagai pengerahan kemampuan fisik, seperti berperang mengangkat senjata, memberantas segala macam bentuk kemaksiatan, narkoba, morpin, narkotika, ganja dan sejenisnya, maka mujahadah, adalah usaha yang sungguh-sungguh dan optimal yang dilakukan dengan tekun, serta terus menerus melawan hawa nafsu agar tidak terjerumus dalam dosa rohani misalnya, amarah, iri, dengki, loba, rakus, tamak, ujud dan lain-lain. Jihad dan mujahadah bukanlah suatu entitas yang berbeda, tapi merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sebagaiman halnya syariat dan hakekat merupakan kesatuan yang integral (utuh). Karena itu, mujahadah adalah usaha yang sungguh-sungguh dan

10Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 721. 11Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 352. 12Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 64.

Page 8: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

174

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

seimbang antara amalan lahir dan amalan batin, atas dasar ketaatan kepada Rasul-Nya, untuk seterusnya meretas jalan menuju rida Allah. 3. Muraqabah.

Upaya untuk menyucikan diri melalui kepatuhan dan mujahadah, akan mencapai tingkat kesempurnaan jika dilaksanakan dengan muraqabah yaitu merasakan sedang berada dalam pengawasan Allah yang senantiasa melihat gerak gerik hamba-Nya, baik lahir maupun batin. Allah mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan hati manusia dan apa yang ia rasakan, tidak ada satupun yang lepas dari pengetahuan Allah, walaupun sebesar biji zarrah.

Secara etimologi muraqabah berasal dari bahasa Arab, yakni raqaba yang berarti menjaga, mengawal, mengintai, mengamati dan mengawasi.13 Secara terminologi berarti kosentrasi, penuh, waspada, dengan segenap kekuatan jiwa, pikiran dan imajinasi serta pemriksaan yang dengannya sang hamba mengawasi dirinya sendiri dengan cermat.14 Muraqabah juga berarti bertafakkur dengan kesungguhan hati seolah-olah berhadapan dengan Allah, meyakinkan diri bahwa Allah senantiasa mengawasi dan memperhatikannya.15 Pengertian yang paling sesuai untuk kata muraqabah adalah pengawasan, karena dengan pengawasan, berarti telah mencakup arti pengamatan, pengawalan dan penjagaan, yang merupakan kesadaran yang lahir dari penghayatan keimanan terhadap Allah swt. khususnya sifat-sifat-Nya yang Maha mengetahui, maha melihat dan maha mendengar terhadap apa yang dilakukan oleh seorang hamba, baik yang dilakukan oleh fisik, pikiran dan hatinya.

Ajaran-ajaran muraqabah dalam al-Qur’an, dapat dilihat pada ayat-ayat sebagai berikut : Allah berfirman dalam Q.S. al-Alaq/96: 14.

Terjemahnya :

Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?16

13Lois Ma’luf, al-Munjid Fi al-Lugah Wa al-I’lam, h. 274. Dan Ahmad Darson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Al Munawwir, 1984), h. 557. 14 Amatullah Armstrong, Sufi Terminology, h. 197. 15 Ahmad Rahman, “Muraqabah” dalam Ensiklopedi Tasawuf, ed. Heri MS Faridy, Rahmat Hidayat dan Ika Prasasti Wijayanti, Jil. II (Cet. I; Bandung: Angkasa, 2008) 16Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 905.

Page 9: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

175

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

Allah swt. berfirman dalam Q.S. Qaf/50 :16.

Terjemahnya :

“Dan sungguh, kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”17 Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Ahzab/33: 52

كَتْ یَمِینُكَ لا یَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ وَلا أَنْ تَبَدَّلَ بِھِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُھُنَّ إِلا مَا مَلَ (٥٢) رَقِیبًا شَيْءٍ كُلِّ عَلَى اللَّھُ وَكَانَ

Terjemahnya: “Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”18

Adapun hadis yang menjelaskan tentang muraqabah antara lain:

ةَ عَنْ أَبِى حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِیلُ بْنُ إِبْرَاھِیمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَیَّانَ التَّیْمِىُّ عَنْ أَبِى زُرْعَ بَارِزًا یَوْمًا لِلنَّاس، فَأَتَاهُ جِبْرِیلُ فَقَالَ مَا الإِیمَانُ قَالَ ھُرَیْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى االلهُ عَلَیْھِ وَسَلَّمَ

الَ الإِسْلاَمُ الإِیمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّھِ وَمَلاَئِكَتِھِ وَبِلِقَائِھِ وَرُسُلِھِ، وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ. قَالَ مَا الإِسْلاَمُ قَبِھِ، وَتُقِیمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤَدِّىَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ. قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّھَ وَلاَ تُشْرِكَ

19مَا الإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّھَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّھُ یَرَاكَArtinya:

“Musaddad telah menyampaikan kepada kami ia berkata Isma’il bin Ibrahim telah menyampaikan kepada kami, Abu Hayyan al-Taimiy telah memberitakan kepada kami dari Abu Zur‘ah dari Abu Hurairah ia berkata bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. keluar ditengah umat, kemudian Jibril datang kepadanya dan bertanya tentang iman, Rasulullah saw. menjawab iman adalah beriman kepada Allah, malaikat-Nya, dan hari hari pertemuan dengan-Nya, Rasul-rasul-Nya dan beriman kepada hari pengutusan. Kemudian ia bertanya tentang Islam, ia menjawab Islam adalah menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dan mendirikan shalat, membayar zakat yang diwajibkan dan berpuasa pada bulan Ramadan. Kemudian ia bertanya tentang ihsan, Rasulullah saw. menjawab menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya sesungguhnya Ia melihat engkau.

17Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 748. 18 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 601. 19Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, h. 23.

Page 10: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

176

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

Makna hadis adalah merujuk pada kekhusyukan dalam beribadah, memperhatikan hak Allah dan menyadari adanya pengawasan Allah kepadanya serta keagungan dan kebesaran Allah selama menjalankan ibadah. Berdasarkan ayat dan hadis tersebut di atas, dapat dipahami bahwa muraqabah adalah suatu keadaan di mana seorang hamba merasa dalam pengawasan Allah sehingga tidak ada ruang baginya untuk melakukan dosa walau sekecil apapun dan seluruh gerak geriknya sesuai dengan kehendak Allah.

Taat, mujahadah dan muraqabah menyatu dalam kepribadian seorang sufi, untuk memperindah pelaksanaan syariat, dengan tingkat pengamalan yang ihsan dan eksklusip dibandingkan dengan kaum muslimin pada umumnya. Dari sinilah kaum sufi melakukan perjalanan spiritual/suluk menempuh maqamat dari tobat sampai rida dengan segala amalan-amalannya seperti banyak melakukan salat sunnah, memelihara air wudhu, zikir, tafakkur, dan lain-lain, disamping merasakan anugerah Tuhan berupa ahwal sebagai pencapaian spiritualnya dan pada akhirnya merasakan tajalli dalam berbagai bentuknya ahwal sebagai wujud kedekatan dengan Allah Yang Maha Esa. Ekspresi kepatuhan itu, tergambar pada perilakunya yang ihsan, selalu memelihara air wudunya, memperbanyak ibadah sunnah, mengambil tempat pada saf pertama setiap salat berjamaah, banyak berzikir dan mengamalkan wirid, sejauh itu tidak menjurus kepada bidah. Hal ini menunjukkan bahwa kaum sufi adalah hamba-hamba yang patuh,jauh dari sifat-sifat tercela.20

Kaum sufi mengatakan bahwa amalan-amalan yang menekankan formalitas yang menekankan syarat, rukun, sah, batal, halal, haram dan lain-lain, harus selaras dengan penghayatan rohani seperti ikhlas, khusyuk serta ihsan, agar dapat mencapai kesucian lahir batin, dan dapat menemukan jalan untuk dekat dengan Tuhan sebagai tujuan terakhir dalam sufisme.

Usaha kaum sufi untuk mencapai tingkat kesucian lahir batin, ditempuh melalui kepatuhan, mujahadah dan muraqabah serta menjalani suluk atau perjalanan spiritual melalui tiga fase, yaitu fase takhalli, tahalli dan tajalli. Pada fase takhalli, kaum sufi berusaha menempuh maqamat tobat, wara’, zuhud dan faqr, sedangkan pada fase tahalli kaum sufi menempuh maqamat sabar, syukur, tawakal dan rida. Dari sini kemudian kaum sufi dapat sampai ke tingkat tajalli dengan segala pencapaian spiritualnya yang diekspresikan oleh kaum 20Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 57.

Page 11: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

177

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

sufi dalam bentuk kasyf, syahadah, fana’ dan baqa’, ittihad, hulul dan wahdah al-wujud. Pencapaian spiritual ini sejauh landasan teologi dan normatifnya bersumber dari al-Qur’an dan hadis, dan dilaksanakan dengan taat, mujahadah dan muraqabah. Atau dengan kata lain, amalan lahiriyah yang bersifat formalistik menekankan tata tertib, tanpa adanya penghayatan spiritual di dalamnya, tidak dapat menumbuhkan ajaran moral. Amalan-amalan seperti itu, tidak dapat membawa ke tingkat khusyuk, ikhlas apalagi ihsan, yang terasa hanyalah kesibukan fisik yang sama sekali tidak menjiwai pelakunya alias tidak dapat membawa ke rana sufi.

Menjadi sufi modern harus mampu hidup khusyuk. Ikhlas dan khusuk adalah jiwa dari sholat. Mendirikan sholat adalah mewujudkan jiwa sholat itu dalam lahirnya. Kedudukan kusyuk dan Ikhlas adalah semisal jiwa ( ruh ) di dalam tubuh. Khusuk: dapat diartikan sebagai 1. Kata sebagian ulama: khusyuk adalah mememajamkan mata (penglihatan) dan merendahkan suara, 2. kata Ali bin Abi Thalib: kusyuk adalah tidak berpaling ke kanan dan tiada berpalinh ke kiri, di dalam sholat, 3. kata Amru ibnu Dinar: khusyuk adalah tenang dan bagus dalam kelakuan, 4. kata Ibn Sirin: khusyuk adalah tiada mengangkat pandangan dari tempat sujud, 5. kata Ibnu Jubair: khusyuk adalah tetap mengarahkan pikiran kepada shalat hingga tiada mengetahui orang sebelah kanan dan sebelah kiri, 6. kata ‘Atha: khusyuk adalah tiada mempermain–mainkan tangan, tiada memegang megang badan dalam sholat.21

Khusyuk pencakup pengertian dalam amalan badan, seperti tenang dan amalan hati, seperti takut. Khusyuk adalah amalan hati, suatu keadaan / kegiatan yang mempengaruhi jiwa, kemudian membekas dalam anggota lahir, seperti ketenangan dan ketundukan hati. Bersabda Nabi Muhammad SAW: “ sekiranya khusyuk jiwa orang ini, maka tentulah khusuk pula seluruh anggota (badannya)” (HR Al Hakim, At Tturmudzy dari Abu Hurairah. Boleh ditegaskan khusyuk adalah tunduk dan tawadlu’ serta ketenangan hati dan segala anggota ( badan) kepada allah SWT.

21 https://www.facebook.com/permalink.php?id=131116630311231&story_fbid=390843704338521 diunduh pada tanggal 10 Agustus 2015.

Page 12: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

178

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

Kesimpulan Berdasarkan uraian sebagaimana dikemukakan diatas dapat

disimpulkan bahwa untuk sampai ke rana sufi, diperlukan landasan teologi dan normatif yang dikonstruk di atas al-Qur’an dan hadis serta dilaksanakan secara sistemik, mulai aqidah, syariah dan akhlak sebagai ajaran dasar kemudian diimplementasikan secara ijtihadiyat pada berbagai dimensi ajaran Islam, termasuk didalamnya ajaran mengenai sufisme. Khusus mengenai sufisme, maka hal ini dapat dicapai melalui kepatuhan menjalankan perintah Allah dan menjauhkan larangan-Nya, yang dilaksanakan dengan mujahadah dan muroqabah, sehingga tidak ada ruang dan tempat untuk berbuat dosa. Konsekuensinya, seseorang menjadi suci dan dapat memasuki rana sufi dengan berbagai tingkat pencapaian spiritual seperti makrifat, kasf, syahadah, fana dan baqa’ ittihad, hulul, dan wahdatul wujud. Pencapaian spiritual itu, akan lebih mempermantap jati diri seorang muslim, memperindah syariat dan akhlak, sehingga seseorang jauh dari segala sifat tercelah seperti korupsi, selingkuh dan narkoba dengan berbagai modusnya, di era kontemporer.

DAFTAR PUSTAKA

al-Qur’an al-Hadis ‘Abdillah, Ahmad bin Hanbal Abu, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz

II. Kairo: Mu’assasah Qartabah, t.th. Abdullah, M Amin, Falsafah Kalam di Era Post Moderrnisme. Cet.

III; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004. Adam, Syahrul, Nabi Muhammad Saw dalam Ensiklopedi Tasawuf,

ed. Heri MS. Faridy et al., Jil. II. Cet. I; Bandung: Angkasa, 2008.

Ahmad, Ilyas Bayunus dan Farid, Islamic Sociology: An Introduction. Terj. Hamid Basyaib, Sosiologi Islam Dan Masyarakat Kontemporer. Bandung: Mizan, 1996.

al-Akkad, Abbas Mahmud, Ketuhanan Sepenjang Ajaran Agama-Agama dan Pemikiran Manusia. Jakarta: Bulan Bintang, 1998.

al-Habsyi, Husain, Kamus al-Kautsar Lengkap. Cet. III; Bangil: YAPI. Yayasan Pesantren Islam, 1986.

al-Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraqi. Bairut : Dar al-Fikr, 1426-1427 H/2006 M

Page 13: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

179

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

al-Mubarakfury, Shafiyurrahman, Sirah Nabawiyah. Terj. Katur Suhardi, Sirah Nabawiyah . Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997.

Al-Sarraj, al-Luma’ fi al-Tasawuf (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1960).

Al-Sharqawi, Effat, Falsafah al-Had}arah al-Islamiyah. Terj. Ahmad Rofi Usmani, Filsafat Kebudayaan Islam. Cet.I; Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1406 H/1986 M.

al-Taftazani, Abu Wafa’ Al-Gamini, Sufi Dari Zaman Ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi’ Usmani. Bandung: Pustaka Pelajar, 1985.

Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf . Cet.II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Annadwy, Sulaiman, al-Risalah al-Muhammad Saw, terj. Chudri Thaib, Risalah Nabi Muhammad Saw. Surabaya : al-Ikhlas, 1405 H./1985 M, h. 110-114. dan Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya .Cet.XX; Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005.

Arberry, A.J., Pasang Surut Tasawuf, Terj. Bambang Herawan. Bandung: Mizan, 1993.

Ardhani, M., Nilai-Nilai Spritual dalam al Qur’an dan Sunnah, dalam Nurcholish Madjid dkk., Manusia Modern Menbamba Allah: Renungan Tasawuf Positif, ed Ahmad Najib Burhani. Jakarta: Iman Dan Hikmah, 1422/2002.

Arifin, Syamsul, Spritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.

Armstrong, Amatullah, Sufi Terminology (Al-Qamus al-Sufi ) The Mystical Language of Islam. Terj. Nasrullah dan Ahmad Baiquni, Khazanah Istilah Sufi. Cet. III ; Bandung : Mizan,1421/2000.

ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Memahami Syari’at Islam. Cet. I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000.

Basyir, Ahmad Azhar, Pokok-pokok Ijtihad dalam Hukum Islam, dalam Ahmad Azhar Basyir dkk., Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung : Mizan, 1988/1408.

Bukhari, Muhammad bin Isma’il, Sahih al-Bukhari. Cet.I; Beirut: Dar Ibn Kasir, 1423H/2002.

Daudy, Ahmad, Struktur Tasawuf dalam Pembidangan Ilmu Agama Islam dalam Hubungannya dengan Kurikulum IAIN dalam Harun Nasution, dkk., Orientasi Pengemangan Ilmu Agama Islam (Ilmu Tasawuf). Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana

Page 14: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

180

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

Dan Sarana Perguruan TinggiAgama/IAIN Departemen Agama RI, 1986.

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, edisi revisi 2010. Surabaya: Pustaka Assalam, 2010.

Faqih, Zainun Kamal, Tasawuf dan Tarekat Ajaran Esoterisme Islam, dalam Manusia Modern Mendamba Allah, ed. Ahmad Najib Burhani. Cet.I; Jakarta: Iman dan Hikmah, 2002.

Farich, Ahmad, Pembersih Jiwa. Bandung: Pustaka, 1990. Haikal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad. Cet. XXIII;

Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 1999. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Cet.XX; Jakarta:

Pustaka Panjimas, 2005. ________ Sejarah Umat Islam II. Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang,

1981 ________ Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987. https://www.facebook.com/permalink.php?id=131116630311231&sto

ry_fbid=390843704338521 diunduh pada tanggal 10 Agustus 2015.

https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=10151998118799425&id=202281863134299 diunduh pada 01 Juni 2015.

Ibnu Taimiyah, Risalah al-Ubudiyah, terj. Mu’ammal Hamidy, Hakikat Penghambaan Manusia Kepada Allah. Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1982.

Isa, Abdul Qadir, Haqa’iq al-Tasawwuf, terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis, Hakikat Tasawuf . Cet. XII; Jakarta: Qisthi Press, 2010.

Ilyas, Yunahar, Kuliah Aqidah Islam. Cet.X; Yogyakarta : LPPI (Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam. 2006.

Kartanegara, Mulyadhi, Pengantar Epistimologi Islam. Bandung: Mizan, 2003.

Madjid, Nurcholish, Warisan Intelektual Islam, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

________ Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1996. ________ Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis

tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Paramadina, 1995.

Ma’luf, Lois, al-Munjid Fi al-Lugah Wa al-I’lam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1989.

Munawwir, Ahmad Darson, Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Al Munawwir, 1984.

Page 15: Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas

181

Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-33 Th. XXI, November 2015 Meretas Jalan ke Rana Sufi Tomo P.

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan. Cet. II ; Jakarta: Universitas Imdonesia (UI-Press), 1983.

_______ “Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam,” dalam Ahmad Azhar Basyir, dkk. Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1988/1408.

Rahman, Ahmad, Ensiklopedi Tasawuf, ed. Heri MS Faridy, Rahmat Hidayat dan Ika Prasasti Wijayanti, Jil. II. Cet. I; Bandung: Angkasa, 2008.

Sabiq, Sayyid, Aqidah al-Islam. Terj. Abdai Rathomy, Ilmu Tauhid. Cet.VII; Bandung: Diponegoro, 1986.

Shihab, Quraish, Yang Sarat Dan Yang Bijak. Jakarta: Lantera Hati, 2007.

------------ Wawasan al-Qur’an: Tafsri Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet.XII; Bandung: Mizan, 2001.

Shihab, Alwi, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia. Bandung: Mizan, 2001.

Syah, Ismail Muhammad, Tujuan dan Ciri Hukum Islam, dalam Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam. Cet. II; Jakarta : Bumi Aksara Kerja Sama Dengan Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1992.

Toriquddin, Moh, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern. Malang: UIN Malang Press, 2008.

Umari, Akram Dhiyauddin, Madinan Society At The Time Of The Society: Its Characteristics and Organization, terj. Masyarakat Madani, Tinjauan Historis Kehidupan Nabi, Jakarta: Gema Insani, 1999.

Yahya, Mukhtar, Aqidah Tauhid dalam Agama Bangsa-bangsa Purbakala Dan Filsafat Lama. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.