setting genre dan praktek organisasi institusi

34
SETTING GENRE AND PRAKTEK ORGANISASI INSTITUTION Oleh I Wayan Dirgeyasa Universitas Negeri Medan (UNIMED), Jurusan Bahasa Inggris ([email protected] ) Januari 2011 Saya adalah pemimpin yang sudah berpengalaman maka pilihlah saya dan jangan pilih pemimpin yang belum berpengalaman “ atau ”Lebih cepat lebih,” atau ”pemimpin baru haluan baru” (Jargon kampanye pilpres Indonesia, 2009). Atau Setiap siswa wajib mengumpulkan tugas akhir tepat waktunya, dan jika tidak dapat, harus memberikan alasan yang jelas (Tuturan guru pada siswa). Atau “Anarki Pemisahan Wilayah” (Headline, Majalah Tempo, Feb, 2009). Atau ”Demokrasi yang Keblablasan” (Head Line Koran Indonesia Baru Medan), ”mayday”, ”mayday”, ”mayday” adalah ungkapan yang biasa digunakan oleh pelaut untuk mengatakan situasi emergensi. Atau ungkapan yang tekini dan terpanas di Indonesia adalah “Gayus,” “Gayus,” “Gayus” memiliki makna yang sangat beragam misalnya ”koruptor,” ’makelar kasus”, ”pengemplang pajakatau ungkapan dan pernyataan kondektur bis di Jakarta yang mengganti dan mensubstitusi ungkapan kantor Dirjen Pajak di Jln Gatot Subroto di mana bis tersebut menurunkan penumpanya. Ungkapan dan pernyataan di atas adalah bentuk-bentuk setting genre dan ujaran dalam praktek organisasi institusi. Ungkapan dan pernyataan tersebut sangat berbeda dan beragam tergantung pada setting genre dan praktek organisasi institusi di mana bahasa itu digunakan. Makalah ini secara umum, membahas penggunaan bahasa dalam konteks setting genre dan praktek organisasi institusi. Namun secara khususnya juga membahasa sepintas tentang hakikat genre, organisasi dan institusi, dan hubungan genre dan praktek organisasi, penggunaan setting genre dan bahasa dalam institusi tertentu seperti ruang kelas, media, medis dan kemaritiman. Di samping itu, tulisan ini juga mencoba mengkaji praktek organisasi insitusi dari sudut padang 1

Upload: dirgayasaway-way

Post on 27-Jun-2015

323 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Artikel

TRANSCRIPT

Page 1: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

SETTING GENRE AND PRAKTEK ORGANISASI INSTITUTION

Oleh I Wayan Dirgeyasa

Universitas Negeri Medan (UNIMED), Jurusan Bahasa Inggris([email protected])

Januari 2011

“Saya adalah pemimpin yang sudah berpengalaman maka pilihlah saya dan jangan

pilih pemimpin yang belum berpengalaman “ atau ”Lebih cepat lebih,” atau ”pemimpin baru

haluan baru” (Jargon kampanye pilpres Indonesia, 2009). Atau “Setiap siswa wajib

mengumpulkan tugas akhir tepat waktunya, dan jika tidak dapat, harus memberikan alasan

yang jelas (Tuturan guru pada siswa). Atau “Anarki Pemisahan Wilayah” (Headline, Majalah

Tempo, Feb, 2009). Atau ”Demokrasi yang Keblablasan” (Head Line Koran Indonesia Baru

Medan), ”mayday”, ”mayday”, ”mayday” adalah ungkapan yang biasa digunakan oleh pelaut

untuk mengatakan situasi emergensi. Atau ungkapan yang tekini dan terpanas di Indonesia

adalah “Gayus,” “Gayus,” “Gayus” memiliki makna yang sangat beragam misalnya ”koruptor,”

’makelar kasus”, ”pengemplang pajak” atau ungkapan dan pernyataan kondektur bis di

Jakarta yang mengganti dan mensubstitusi ungkapan kantor Dirjen Pajak di Jln Gatot Subroto

di mana bis tersebut menurunkan penumpanya.

Ungkapan dan pernyataan di atas adalah bentuk-bentuk setting genre dan ujaran

dalam praktek organisasi institusi. Ungkapan dan pernyataan tersebut sangat berbeda dan

beragam tergantung pada setting genre dan praktek organisasi institusi di mana bahasa itu

digunakan.

Makalah ini secara umum, membahas penggunaan bahasa dalam konteks setting

genre dan praktek organisasi institusi. Namun secara khususnya juga membahasa sepintas

tentang hakikat genre, organisasi dan institusi, dan hubungan genre dan praktek organisasi,

penggunaan setting genre dan bahasa dalam institusi tertentu seperti ruang kelas, media,

medis dan kemaritiman. Di samping itu, tulisan ini juga mencoba mengkaji praktek organisasi

insitusi dari sudut padang analisis wacana kritis (AWK) atau Critical Discourse Analysis (CDA)

secara sepintas.

A. PENDAHULUAN

Secara teoritis dan praktis-aplikatif, kajian wacana tidak saja menjadi domain para ahli

bahasa dan ilmuwan bahasa sebgaimana namanya, namun wacana telah berkembang

dengan pesat dan digunakan oleh bidang ilmu yang berbeda-beda seperti sastra, politik,

media masa, dan organisasi institusi lainya. Wacana pada prinsipnya telah melekat pada

semua bidang kehidupan manusia. Dari segi praktis, wacana digunakan sebagai praktek

sosial dalam masyarakat.

1

Page 2: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

Makna teks tidak saja dikaji dari perspektif linguistik tetapi juga ditinjau dari sudut

pandang konteks kewacanaan itu sendiri. Analisis wacana dalam konteks institusi misalnya

mengkaitkan penggunaan bahasa dengan institusi di mana bahasa itu dipergunakan. Analisis

ini berimplikasi pada penggunaan bahasa pada genre tertentu. Genre juga bermakna

penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan organisasi dan praktek institusi atau

profesi/lembaga pengguna bahasa itu sendiri dan konteks yang melingkupinya.

Munculnya analisis wacana merupakan bentuk penggunaan bahasa yang ditentukan

secara sosial. Wadok (1996) yang dikutip oleh Ramli (2007) mengatakan bahwa ’wacana

sebagai tindakan’ berarti sebuah tuturan bukanlah sebuah proses intelektual dan kognisi

semata, tetapi lebih merupakan bagian dari sebuah tindakan atau sebuah bentuk kehidupan.

Hubungan teks dan konteks mengimplikasikan hubungan dialektis antara peristiwa wacana

tertentu dan situasi, institusi, serta struktur sosial. Sebaliknya peristiwa wacana membentuk

konteks sosial. Teks merupakan bagian dari wacana. Dengan demikian dapat juga dikatakan

bahwa analisis wacana adalah kajian yang meneliti dan mengkaji bahasa yang digunakan

secara alamiah baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Kajian atau analisis wacana saat ini semakin relevan bila dikaitkan dengan ciri

masyarakat di era globalisasi dalam perspektif komunikasi dan berbahasa adalah

berdasarkan ciri-ciri tertentu yang sesuai dengan identitasnya. Misalnya bila kita menghadiri

sebuah pertemuan profesi tertentu seperti kedokteran, hukum, ekonomi atau kemaritiman,

dan bahkan militer, kita akan mendapatkan situasi penggunaan bahasa dalam bentuk kata,

frase, kalimat dan istilah atau jargon yang sangat asing bahkan hal tersebut sulit dipahami

dan dimengerti oleh orang yang tidak terdapat dalam kelompok, organisasi atau institusi

tersebut. Atau ketika kita membaca sebuah teks bidang penerbangan, hal ini juga sulit

dipahami oleh masyarakat yang bukan dalam bidangnya. Masyarakat bahasa yang terbentuk

karena situasi tersebut misalnya karena pekerjaan disebut masyarakat wacana (discourse

community). Merujuk pada ilustrasi di atas, maka ada yang disebut dengan masyarakat

wacana kedokteran, hukum, maritim dan juga penerbangan (Ohoiwutun, 2007).

Berkaitan dengan tema tulisan ini, ada beberapa sub-tema yang dibahas dalam tulisan

ini seperti a) hakikat genre, b) organisasi dan institusi, c) hubungan genre dan praktek

organisasi institusi dan d) Analisis wacan kritis dan kaitannya dengan genre dan praktek

organisasi institusi.

B. HAKIKAT GENRE

Studi tentang genre dan kaitannya dengan bahasa dan linguistik, awalnya digunakan

dalam dunia sastra untuk membedakan berbagai jenis puisi, novel, essay. Chandler(1997)

menambahkan kajian ini berkembang menjadi sebuah retorika dalam kajian teori sastra, teori

media, dan kajian linguistik. Dalam dunia sastra khususnya novel, genre merujuk pada

2

Page 3: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

bentuk, style, plot, struktur dan karakteritistik dan fitur-fitur lain yang membedakan genre yang

satu dengan yang lain. Dalam linguistik, kajian genre merujuk pada studi tentang jenis teks

yang berbeda dalam konteks yang berbeda beda..

Sejak itu, istilah genre mulai digunakan dalam wacana lisan maupun tulisan

berdasarkan berbagai teori dari linguistik terapan khususnya Linguistik Fungsional Sistemik

(Systemic Functional Linguistic-SFL (Swales, 1990); (Halliday, 1985) dalam (Hyland, 2003).

Hal ini senada juga dikatakan oleh Christie and Martin (2000) yang mengatakan bahwa

genre merupakan ranah dalam kajian fungsional linguistik yang mengkaji tuturan dalam

perskeptif organisasi dan institusi. Jadi apa sesungguhnya genre? Swales (1990) mengatakan

bahwa genre terdiri dari kelompok peristiwa komunikasi di mana anggota-anggotanya memiliki

seperangkat tujuan komunikasi. Genre juga dapat dikatakan sebagai proses penggunaan

bahasa yang memiliki tujuan tertentu bagi partisipan yang terlibat dalam suatu peristiwa

komunikasi dalam konteks sosial tertentu. Hal hampir senanda juga dikatakan oleeh

(Fairclough, 1995b). Dia mengatakan bahwa genre adalah penggunaan bahasa secara

khusus dengan partisipan tertentu pada praktek sosial tertentu misalnya genre interview,

media genre, atau iklan genre, dll dan (Jorgensen dan Phillips, 2002).

Swales kemudian menambahkan bahwa genre memiliki dan menunjukkan berbagai pola

dalam hal struktur, style, isi dan audiens. Artinya suatu jenis teks berbasis genre memiliki ciri

dan karakteristik tersendiri yang mencerminkan jenis genre itu sendiri. Swales lebih lanjut

mengatakan suatu jenis genre berhubungan dan diwujudkan oleh komunitas wacana. Hal ini

juga didukung oleh (Ohoiwutun, 2007) yang mengatakan bahwa masyarakat bahasa yang

terbentuk karena situasi tertentu seperti pekerjaan, dan profesi dan profesionalisme disebut

masyarakat wacana (discourse community). Merujuk pada ilustrasi masyarakat wacana di

atas, maka munculah istilah masyarakat wacana kedokteran, hukum, maritim dan juga

penerbangan, pendidikan, kesehatan, media, dan lain sebagainya .

Kembali ke genre dan kiatannya dengan konteks sosial, konteks sosial pada dasarnya

adalah menggunakan teks sesuai dengan fungsi sosial. Fungsi sosial teks tergantung pada

tujuan, lingkungan, dan tempat kerja. Berkaitan dengan genre, (Halliday,1994) dalam

(Hyland, 2003). mengatakan bahwa:

This theory addresses the relationship between language and its social functions and sets out

to show language a system from which users make choices to express meaning. Halliday

argues that the language users have to use and develop the specific ways of using language

to accomplish goals which means that texts are related to social context and the other texts.

Broadly, when a set of texts share the same purpose, they will often share the same structure,

and thus, they belong to the same genre.

3

Page 4: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

Berdasarkan pendapat di atas, genre teks baik lisan maupun tulisan merujuk pada

adanya hubungan antara bahasa dan fungsi sosialnya. Fungsi sosial tentu berbeda-beda,

maka pengguna bahasa tentu menggunakan genre yang berbeda tergantung dengan fungsi

sosial yang ada atau yang dipilih oleh pengguna bahasa. Genre juga menjadikan pengguna

bahasa untuk menggunakan dan mengembangkan cara yang khusus atau spesifik untuk

mencapai tujuan yang juga spesifik. Pengertian dan pernyataan yang paling penting dalam

memahami genre adalah bila sebuah teks lisan dan tulisan memiliki tujuan yang sama, akan

memiliki struktur yang sama dan digolongkan menjadi genre yang sama pula.

Genre sebagai konteks sosial artinya ujaran berbasis genre itu mengacu pada konteks

sosial dimana genre itu digunakan. Hyland (2003) berpendapat:

“In order to understand the text, genre promotes or follow a certain social convention for

organizing and creating message (information) because the writer want their reader to

understand and recognize the purposes. These reality socially recognized ways of using

language in particular purposes.”

Berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh Hyland and Halliday, genre pada dasarnya

tidak sekedar menuangkan informasi, pesan atau ide dalam ujaran yang benar secara

gramatikal, tetapi informasi dan pesan tersebut harus dikemas dalam suatu bentuk teks yang

sudah disetujui oleh pengguna bahasa itu sendiri. Teks yang berbasis genre memiliki ciri-ciri

sebagai berikut 1) tujuan (purpose), 2) struktur retorik (rhetorical structure), and 3) realiasasi

penggunaan bentuk kebahasaan (linguistic realization or grammatical patterns) (Pardiyono,

2007).

Genre sebagai sebuah teks yang memiliki orientasi, tujuan dan hubungan yang

berbeda-beda antara genre yang satu dengan yang lainya. Genre sebagai sebuah teks baik

lisan maupun tulisan mempunyai orientasi yang berbeda sesuai dengan konteks sosial

dimana teks tersebut digunakan (Badger dan Goodwith, 2000). (Swales,1990) dalam

((Ohoiwutun, 2007) menambahkan bahwa genre dapat diartikan sebagai sebagai suatu

wacana yang mempunyai ciri-ciri struktur, gaya dan isi yang khusus.

Dalam konteks masyarakat wacana, genre menjadikan masyarakat itu berbeda dalam

penggunaan bahasa lain. Dengan genre, mereka dapat memperkaya kosa kata khusus dan

struktur lainnya seperti frase dan kalimat yang berbeda dengan genre yang lainnya. Pada

tataran lain seperti kajian lintas institusi, kajian genre dalam lintas institusi juga akan berbeda.

Misalnya, pola atau struktur institusi kelas akan berbeda dengan institusi rumah sakit yaitu

hubungan interaksi antara dokter dengan pasien, atau institusi pemerintahan antara

pemerintah dengan masyarakatnya, atau institusi bisnis misalnya antara nasabah dengan

pelayan bank, atau institusi media.

4

Page 5: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

Dengan demikian, genre yang berbeda mengimplikasikan ’kontrak’ yang berbeda yang

dinegosiasikan antara pengguma genre tersebut. Sejalan dengan pernyataan sebelumnya,

(Livingstone, 1994) dalam Chandler (1997) mengatakan genre yang berbeda menghasilkan

suasana interaksi yang berbeda antara teks-pembaca, pembicara-pendengar yang berbeda

pemberi pesan dengan penerima pesan, komunikator-komunikan. Perbedaan nuansa

interaksi yang berbeda tersebut cenderung menghasilkan jenis keterlibatan yang berbeda

misalnya kritis, atau menerima, bertahan, apatik atau termotivasi (Chandler, 1997).

Untuk itu, genre harus dihubungkan dengan peristiwa komunikasi atau tindak tutur.

Pendekatan komunikasi berbasis genre bukan saja ditinjau dari segi bahasa, tetapi juga

ditinjau dari ciri-ciri yang bersifat eksternal yang mencakup hubungan pembicara-pendengar,

penulis dengan pembaca, media komunikasi (misalnya artikel di koran, surat, pesan dalam e-

mail) dan sebagainya. Walaupun begitu ciri-ciri ekternal pada giliranya akan berimplikasi pada

ciri-ciri internal teks termasuk bidang sintaksi, pilihan leksikal, dan fonologi atau pengkodean.

C. ORGANISASI DAN INSTITUSI

Istilah organisasi dan institusi ibarat sebuah mata uang dengan dua sisi. Organisasi

merupakan proses dan institusi merupakan suatu tempat di mana proses itu berlangsung.

Hornsby (2006) mengatakan institusi adalah tempat atau wadah dari organisasi (a building of

organisation). Organisasi dan institusi tidak dapat dipisahkan, namun dalam pembicaraan

sehari-hari kadang-kadang muncul istilah organisasi institusi, organisasi, atau institusi saja.

Misalnya ketika kita bicara sekolah, kita dapat mengatakan organisasi sekolah atau institusi

sekolah. Atau ketika kita bicara institusi media, sebenarnya di dalamnya sudah termasuk

organisasi media.

Berkaitan dengan organisais, Robbin, dalam Purwanto, dkk (2007) organisasi adalah

kesatuan sosial yang dikoordinasi secara sadar dengan batasan dan ketentuan yang bekerja

secara terus menerus untuk mencapai suatu tujuan atau seperangkat tujuan yang telah

ditetapkan. Kemudian Rogers dan Rogers dalam bukunya ”Communication in Organization”

yang dikutip oleh Effendi (2007) menambahkan bahwa organisasi adalah suatu sistem yang

mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui suatu

jenjang kepangkatan dan pembagian kerja.

Sedangkan (Schein,1982) dalam Muhammad (2009) mengatakan bahwa organisasi

adalah suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai tujuan melalui

pembagian pekerjaan dan fungsi melalui hirarkisitas, otoritas dan tanggung jawab. Organisasi

institusi memiliki ciri lain seperti memiliki struktur, saling berhubungan dan berkomunikasi

untuk mengkoordinasi aktivitas dalam organisasi. Berkaitan dengan hal ini, setting organisasi

institusi merujuk pada interaksi institusi atau identitas profesional pada suatu institusi seperti

5

Page 6: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

ruang dokter, pengadilan, polisi, sekolah atau ruang kelas, dan sebaginya memiliki cirinya

sendiri (Maynard dan Clayman, 1991) dalam Sarangi dan Robert (1999).

Kemudian (Dorothy Smith, 1978) yang dikutip Sarangi dan Robert (1999) mengatakan

istilah institusi merujuk dan mengidentitaskan pada sebuah hubungan yang kompleks yang

membentuk dan mendesain aparatur yang memimpin, dan diorganisasi sesuai dengan

fungsinya-pendidikan, kesehatan hukum, media dan sebagainya. Sejalan dengan apa yang

dikatakan Schein, hal ini dapat dikatakan bahwa anggota organisasi dan institusi saling

berhubungan dan berkomunikasi dalam mencapai tujuan institusi, maka munculah apa yang

disebut dengan komunikasi organisasi atau institusi, dan oleh Atkinson David, dkk (2003)

disebut bahasa institusi (insititutional language).

(Grant, 2004) dalam Fitzgerald dan Young (2006) mengatakan komunikasi institusi

organisasi adalah kumpulan struktur teks yang diwujudkan dalam praktek berkomunikasi baik

dalam bentuk lisan maupun tulisan. Komunikasi dianggap sebagai jantung dalam proses

organisasi (Orlikowski dan Yates, 1994). Kemudian komunikasi sangat penting akan

berlangsungnya sebuah kegiatan organisasi institusi. Kemudian (Wadok, 1999) yang dikutip

Atkinson, David, dkk (2003) mengatakan bahasa memegang peranan sentral dalam

kehidupan sehari-hari sebuah organisasi misalnya sapaan dan percakapan yang terjadi di

sebuah koridor, debat yang terjadi dalam rapat, peringatan verbal yang diberikan kepada

karyawan, percakapan telephone, atau jingles iklan dari sebuah produk. Jadi organisasi tidak

bereda di luar tetapi dikonstruksi oleh bahasa yang routine terjadi.

Sejalan dengan hal itu, Mumby dan Clair dalam Atkinson, David, dkk (2003) dengan

kuat menyatakan bahwa organisasi ada dan berada karena anggotanya yang

menciptakannya melalui wacana dan hal ini memang bukan berarti organisasi tidak ada apa—

apanya tanpa wacana (bahasa), tetapi wacana atau bahasa merupakan instrumen yang

prinsipil di mana anggota organisasi mencitpakan realitas sosial yang koheren yang

membentuk (frame) keberedaannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan (Schall, 1983)

yang dikutip oleh (Orlikowski dan Yates, 1994) di mana dengan tegas dia mengatakan bahwa

tidak ada proses kegiatan organisasi dan organisasi itu sendiri tanpa adanya proses

komunikasi.

Namun bahasa dan komunikasi dalam organisasi institusi berbeda dengan bahasa

digunakan pada konteks umum. Paling tidak bahasa dalam sebuah organisasi institusi

digunakan untuk menciptkan dan membentuk sebuah organisasi, untuk mengetahui peran

struktur internal, tanggung jawab dan hak dalam berbagai hal yang berbeda, dan bagi yang

lainnya dengan siapa mereka berinteraksi. Bahasa dalam organisasi juga mengeksplorasi

pola diskursif dari kontrol dan tantangan sebagai pergulatan untuk identitas. Dengan realitas

seperti ini munculah istilah bahasa institusi (institutioanal language) Atkinson, David, dkk

(2003). Kemudian bahasa dalam institusi di samping mencerminkan identitas juga budaya dari

6

Page 7: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

institusi tersebut (Thornborrow, 2002; Drew dan Heritage, 1992) dalam Atkinson, David, dkk

(2003). Chrisitie dan Martin, kemudian menambahkan bahwa bahasa organisasi institusi tidak

hanya berkaitan dengan identitas dan budaya, bahasa organisasi institusi juga memberikan

nuansa kekuasaan, otoritas dan positioning penuturnya dalam ruang dan waktu yang

berbeda-beda sesuai dengan genrenya (Chrisitie dan Martin, 2000).

Berkaitan dengan apa yang dijelaskan sebelumnya, Weick, (1987) lebih lanjut

mengatakan bahwa komunikasi antar anggota organisasi secara interpersonal merupakan

esensi utama dari organisasi institusi, sebab hal ini dapat menciptakan suatu struktur

organisasi yang kemudian mempengaruhi apa yang dikatakan dan dikerjakan dan apa yang

diperoleh oleh siapa dan untuk siapa. Kemudian Munby dan Clair dalam Fitzgerald and Young

(2006) menambahkan peranan wacana dalam sebuah organisasi memegang peranan penting

dalam sebuah organisasi institusi. Keduanya mengatakan bahwa organisasi ada hanya bila

anggota menciptakan keberadaanya melalui wacana. Dalam konteks ini, pengkajian bahasa

dan wacana dalam organisasi institusi menjadi isu utama dalam memahami bagaimana

kekuasaan, identitas, konflik dan resistensi saling berhubungan dalam sebuah setting kerja

atau organisasi institusi (Wado, 1999) dalam Atkinson, David, dkk (2003).

Dengan demikian, peranan bahasa dalam pelaksanaan organisasi memegang peranan

yang penting. Misalnya bagaimana bahasa ’diciptakan’ sedemikian rupa sehingga institusi

mampu mengontrol dan mendoktrinisasi anggotanya. Misalnya institusi pemerintahaan dalam

rezim orde baru sangat intens menggunakan bahasa sebagai alat kekuasaan. Penciptaan

kata-kata, istilah-istilah dan slogan-slogan seperti Gerakan Pengacau Keamanan (GPK),

Anti-Pancasila, Ekstrem kiri atau kanan, dll. Hal itu digunakan untuk menjuluki pihak-pihak

yang mengancam kekuasaan mereka. Sementara bangsa barat memunculkan istilah-istilah

seperti ’terroris,’’ kaum fundamentalis,’ ’poros setan, ’ dan lain sebagainya.

Dari sudut pandang yang lain, hakikat komunikasi dalam organisasi institusi, Blade dan

Haroldsen (1975) dalam Fitzgerald and Young (2006) mengatakan komunikasi organisasi

atau institusi ditandai dengan karakteristik seperti status dan peran, rumusan peranan, norma-

norma profesional dalam institusi, ketentuan jalur komunikasi, dan sanksi serta sejenisnya. Ini

merupakan bahwa setiap insitusi dibentuk dan dibangun oleh sistem komunikasi yang

mencerminkan institusi itu sendiri. Sejalan dengan itu, (Berger dan Luckman, 1967) dalam

Sarangi dan Robert (1999) menambahkan bahwa setiap organisasi institusi memiliki sistem

tranmisi komunikasi yang merupakan kode etik institusi.

Ditinjau dari sifat komunikasi organisasi, Effendi (2007) mengatakan komunikasi

organisasi bisa bersifat hirarkis, pekerjaan sehari-hari, pertukaran komoditas, dan saling

ketergantungan. Kemudian Sarangi dan Robert (1999) mengatakan tempat kerja atau institusi

ditopang oleh praktek komunikasi yang mungkin meliputi pembicaraan (talks)-pembicaraan

tatap muka atau telephone, atau teks (texts)-surat, memo, atau catatan, atau penggunaan

7

Page 8: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

ruang sosial-penempatan furniture, tempat tidur di rumah sakit, atau artifak-penggunaan

teknologi laboratorium dan komputer dalam berbagai konfigurasi. Dengan demikian,

organisasi institusi merupakan arena pertarungan sosial (social struggle) sebagai mana cara

berbicara, merekam dan bertingkah laku dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa

Sarangi dan Robert (1999); (Mc Carthy (1994) yang dikutip Tarwiyah (2003) dalam Sumarlan,

dkk (2003).

D. HUBUNGAN SETTING GENRE DAN PRAKTEK ORGANISASI INSTITUSI

Setting genre, ujaran, dan praktek organisasi institusi merupakan suatu frase dan

terminologi yang saling berhubungan dalam pengkajian wacana. Ketiga frase tersebut

memiliki pengertian, hakikat, dan substansi yang berbeda, namum mereka saling

berhubungan dan mempengaruhi dalam sebuah kajian wacana.

Berkaitan dengan wacana, (Sinclair dan Coulthard, 1975) dalam Fairclough (1999)

mengatakan bahwa wacana adalah penggunaan bahasa yang ditinjau dari praktek sosial

(discourse is a use of language seen as a form of social practice and discourse analysis is

analysis of how texts work within sociocultural practice). Analisis seperti memerlukan

perhatian bentuk tekstual, struktur dan pengorganisasian pada semua tingkatan, level

fonologi, gramatika, leksikal dan level dari teks yang lebih tinggi seperti pergantian

percakapan, struktur argumentasi, dan struktur generik.

Pandangan ini kemudian direpresentasikan dalam bentuk spesifikasi pemilihan leksikal

maupun gramatika tertentu. (Mc Carthy (1994) yang dikutip Sumarlan (2005) mengatakan

”Language is a site in which beliefs, values and points of views are produced, encoded and

contested,” yang artinya bahasa merupakan arena di mana berbagai nilai, dan pandangan

dihasilkan, diterjemahkan dan dipertandingkan.

Kemudiaan Fairclough (1997) lebih jauh berpendapat bahwa wacana adalah

penggunaan bahasa dilihat sebagai suatu bentuk praktek sosial yang kerjanya dikaji dalam

hubungan dengan aspek sosial dan budaya penulis atau penuturnya (Discourse is the use of

language seen as a form of social practice, and discourse analysis is analysis of how texts

work within social-cultural practice.) Kemudian Fairclough sendiri menambahkan pengertian

wacana di atas sebenarnya sejalan dengan pandangan bahwa bahasa sebagai suatu bentuk

praktek sosial (language as a form of social practice). Pandangan tersebut mengimplikasikan

bahwa adanya tiga hal utama dalam bahasa yaitu a) bahasa sebagai bagian dari masyarakat,

b) bahasa sebagai praktek social, dan c) bahasa sebagai proses yang dikondisikan secara

sosial (Eriyanto, 2001); (Sumarlan, dkk, 2003).

Kembali ke pemaknaan, pemaknaan ujaran tergantung pada konteks wacana yang

mendukung tuturan atau wacana adalah situasi kewacanaan. Situasi kewacanaan berkiatan

erat dengan tindak tutur. (Hymes, 1972) yang dikutip (Sudarya, 2009) menyebut komponen

8

Page 9: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

tutur dengan singkatan (SPEAKING) yang dalam Bahasa Indonesia dapat ditransformasi

menjadi (WICARA) yang fonem awalnya mempunyai makna yang menyangkut situasi

kewacanaan tersebut (Sudaryat, 2009): Berikut adalah makna WICARA dalam kaitannya

dengan konteks kewacanaan dalam pemaknaan ujaran dalam kajian analisis wacana.

W (aktu, tempat dan suasana);

I (instrumen yang digunakan);

C (ara dan etika tutur);

A (alur ujaran dan pelibat tutur);

R (asa, nada, dan ragam bahasa);

A (amanat dan tujuan tutur).

Ini artinya makna wacana sangat tergantung pada atrubut dan variabel yang fonem yang

melekat pada kata WICARA tersebut. Misalnya bila wacana itu ditinjau dari fonem A (amanat

dan tujuan), makna wacana akan terkait dengan genre. Hal ini tentu relevan karena genre itu

berhubungkan dengan penggunaan bahasa dalam konteks sosial, konteks sosial juga dapat

diartikan sebagai situasi dan tempat dimana bahasa itu digunakan. Genre sangat erat

kaitannya dengan institusi organisasi, tempat kerja (working place) di mana bahasa itu

digunakan. Genre dan institusi berarti penggunaan bahasa sesuai dengan profesi pengguna

bahasa tersebut. Genre pada konteks yang lebih ekspresif dan spesifik dapat juga merujuk

pada ESP dimana ESP itu adalah sebuah ’institusi’ tertentu yang tentu berbeda dengan

institusi lain (Bathia, 2007). Hal ini juga senada dengan apa yang dikatakan oleh (Badger

dan Goodwith, 2000) bahwa genre sebagai sebuah teks baik lisan maupun tulisan yang

mempunyai orientasi yang berbeda sesuai dengan konteks sosial dimana teks tersebut

diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi pada praktek organisasi institusi. Sejalan dengan

itu, (Bhatia, 1997) dalam Crossley (2007) mengatakan pendekatan genre dapat dipahami dan

diartikan sebagai studi tentang bahasa dan penggunaan bahasa baik pada tingkat akademik

maupun setting profesionalisme. Anlisis genre juga menjelaskan mengapa bahasa digunakan

berbeda dalam setting tertentu dan budaya tertentu.

Dalam mengkaji hubungan antara genre dan wacana institusi, kita tidak hanya

mengkaji hubungan genre dan wacana dengan institusi dalam sebuah intitusi dan organisasi

yang berbeda, tetapi kita juga mengkaji sejauh mana genre dan wacana dipengaruhi oleh

institusi dan sebaliknya genre dan wacana juga mempengaruhi institusi yang berbeda

(Fifzgerald, B dan Young, L. 2006). Lebih lanjut, dia mengtakan bahwa genre dan institusi

juga mengkaji hubungan antara wacana, kekuasaan, dan ideologi.

Berkaitan dengan genre dan komunikasi dan institusi, genre lahir dan digunakan dalam

komunitas organisasi tertentu. Penggunaan genre seperti itu, pada gilirannya memperkuat

bahwa genre sebagai organisasi memiliki struktur yang penting dan berbeda serta tipikal bagi

suatu komunitas institusi. Komunitas ini termasuk unit sosial seperti kelompok, organisasi

9

Page 10: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

institusi, dan juga profesi atau pekerjaan (Brown dan Duguid, 1991; Lave dan Wanger, 1991)

dalam (Orlikowski dan Yates, 1994).

Genre komunikasi institusi organisasi baik lisan dan tulisan merupakan merupakan jenis

komunikasi yang berbeda yang dicirikan dan ditandai oleh tujuan komunikasi yang sudah

saling dikenal secara sosial dan bentuk yang umum. Yang paling penting untuk dicermati

seperti apa yang dikatakan (Miller, 1984) bahwa komunikasi genre dalam institusi organisasi

bukan berakar pada motif komunikasisi individu tetapi tujuan komunikasi ini dikonstruksi,

dikenali, dan diperkuat oleh anggota institusi itu sendiri .

Hubungan genre, ujaran, dan praktek organisasi dan institusi, sesungguhnya merujuk

pada penggunaan bahasa merujuk pada segmentasi pada masyarakat. Pengguna bahasa

pada organisasi institusi yang berbeda-beda menujukkan identitas organisasi institusi itu

sendiri. Organisasi inistitusi berimplikasi pada institusi tersebut dan kemudian dapat dianggap

sebagai ”masyarakat wacana” dengan ciri-cirit tertentu. Berkaitan dengan masyarakat dalam

organisasi dan institusi, Swales, 1991) dalam ((Ohoiwutun, 2007) mengatakan ada enam ciri

masyarakat wacana. Pertama, suatu masyarakat wacana memiliki separangakat tujuan umum

yang telah disepakati. Kedua, satu masyarakat wacana berinterkomunikasi antar anggota-

anggota kelomopoknya. Ketiga, satu masyarakat wacana menggunakan mekanisme

hubungan antar anggota untuk memberikan informasi dan umpan balik. Keempat, masyarakat

wacana memiliki satu atau lebih genre untuk mencapai tujuan-tujuan komunikasi. Kelima,

dengan memiliki genre suatu masyarakat wacana telah meraih pemerolehan berbagai kosa

kata spesifik. Keenam, suatu masyarakat wacana senantiasa memiliki satu kelompok

anggota pemula dalam isi wacana yang relevan denan keahlian dalam bidang wacana

terssebut.

(Hymes, 1972) yang dikutip Fairclough (1999) mengatakan institusi dapat dianggap

sebagi sebagai ’masyarakat tutur (speech community) yang menggambarkan ciri peristiwa

tuturan (repotaire) yang tipikal dan khusus, dan menggambarkan suatu ’komponen’

selayaknya pekerjaan etnografi yang berbeda seperti setting, partisipan (identitas dan

hubungan mereka), tujuan, topik, dan lain sebagainya. Kemudian, Fairclough (1999)

menambahkan bahwa setiap institusi memiliki peristiwa tuturannya sendiri (speech events),

setting dan latar yang berbeda, partisipan yang tersegmentasi, dan aturan-aturannya, yang

mana anggota institusi mungkin terlibat aktif dalam peristitwa tuturan, memainkan

peranannya, dalam suatu setting dalam rangka mencapai tujuan dan topik yang ada dalam

institusi.

Ciri lain dari pembicaraan institusional yang membedakannya dengan pembicaraan

biasa (ordinary conversation) adalah seperti apa yang diutarakan oleh (Heritage, 1997) dalam

Koester (2006) yang mengatakan bahwa interaksi institusional sering terjadi dalam bentuk

asimetris. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa interaksi dalam institusi dan tempat kerja, pelaku

10

Page 11: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

interaksi mengambil peran tertentu yang umunya bersifat asimetris misalnya interkasi antara

dokter – pasien, guru – murid, majikan- bawahan, dll. Namun demikian, interaksi dan peranan

institusional juga merujuk pada identitas wacana seperti pembicara-yang diajak bicara

(speaker-addressee), penanya – penjawab (questioner-answerer), dan sebagainya

(Greatbatch dan Dingwall, 1998). Sejalan dengan peran dan identitas dalam interaksi (Have,

1991; Holmes, 1999) yang dirujuk Koester (2006) menambahkan bahwa peranan dan

identitas tersebut tidak ditentukan lebih dahulu atau bersifat fixed, tetapi dapat dinegosiasikan

dan berubah melalui pembicaraan. Atau peranan dan identitas dalam interaksi dapat berubah-

ubah, multiple, dan simetris atau asimetris (Gavruseva, 1995; Holmes, et all, 1999) dalam

(Koester, 2006). .

Istilah pembicaraan institusional (institutional talks) sering digunakan untuk merujuk

pada semua jenis setting tempat kerja (workplace setting) (Koester, 2006). Sejalan dengan

Koseter, (Drew dan Heritage, 1992; Schegloff, 1992a) dalam (Koester, 2006) menambahkan

bahwa pembicaraan institusional (institutional talks) berbeda dengan pembicaraan biasa

(ordinary talk) dalam banyak hal. Lebih lanjut (Drew dan Heritage, 1992) yang dikutip Koester

perbedaan pembicaraan institusional dicerminkan pada tiga dimensi interaksi. Ketiga dimensi

interkasi tersebut adalah, a) tujuan (goal orientation), b) batasan khusus (special and

particular constrain), dan c) prosedur (procedure).

Tujuan (goal orientation) mencerminkan sejumlah fitur-fitur dari percakapan dalam

sebuah intnsitusi. Kondisi ini tentu dihubungkan dengan praktek institusi yang khusus seperti

instruksi (instruction-giving), pengambilan keputusan (decision making), briefing dll.

Perhatikan ujaran di bawah ini:

’Uh... just wanted to tell you about my...conversation with Tony.”

Bentuk ujaran di atas ditemui biasanya dalam percakapan umum, karena pembicara

tidak memiliki tujuan transaksional yang jelas. Berbeda dengan ujaran yang biasa digunakan

dalam institusi kerja umumnya terstruktur dengan jelas yang merujuk pada analisis genre.

Analisis genre ini merujuk pada konteks institusi.

Batasan khusus (special and particular constrain) merujuk pada apa yang dapat

dikatakan atau dilakukan dan dapat dimanifestasikan dalam berbagai cara yang berbeda,

Artinya setiap institusi memiliki batasan yang khusus yang kadang-kadang berbeda dengan

institusi lain. Misalnya interaksi antara dokter dan pasien cenderung bersifat interaksi tanya

jawab tetapi kenyataannya dalam banyak dan hal hampir tidak terjadi pergantian peranan

dalam konteks tersebut. Ini merupakan batasan khusus yang ada dalam institusi pelayanan

kesehatan antara dokter dan pasien. Pola interaksi ini tentu akan berbeda dengan institusi lain

seperti lembaga bisnis dan lain sebagainya (Koester, 2006). Berdasarkan pandangan di atas,

jelas bahwa analisis wacana institusi dan profesionalisme dapat dikaji dan diteliti melalui sudut

pandang analisis genre (Bhatia, 2007); (Haris, 1997a) dalam Koester, 2006). Pendekatan ini

11

Page 12: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi strukur utama dan fase dalam berbagai jenis

interaksi yang berbeda. Hal ini sangat mungkin karena interaksi institusi dan tempat kerja

pada umumnya sangat spesifik dan terarah.

Hubungan setting genre dan ujaran serta praktek organisasi instiusi erat kaitannya

dengan analisis gerne. Analisis genre bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik

khusus/spesifik dari berbagai jenis pembicaran atau teks. Juga, analisis genre sesuai untuk

analisis wacana institusi dan tempat kerja Koester, 2006); (Bhatia, 2007). Kemudian, (Hasan,

1985) yang dikutip oleh Koester (2006) menambahkan bahw pendekatan analisis genre juga

mampu menjembatani dan membawa beberapa pendekatan kualitatif yang berbeda dalam

menganalisis teks dan percakapan pada institusi profesional atau tempat kerja. Di samping

itu, analisis genre dapat melakukan analisis percakapan, pembicaraan dan teks dalam lintas

disiplin termasuk konstruksionisme sosial. Dalam lingkup yang lebih luas, pendekatan genre

dan kiatannya dengan percakapan institusi, analisis genre dapat menjelaskan analisis

tersebut secara mendalam dan komprehensif (thick description), dan memungkinan analisis

dalam berbagai level analisis Sarangi dan Robert (1999);. Koester (2006).

(Bhatia, 2007) lebih lanjut menggambarkan secara komprehensif mengenai

penggunaan bahasa dalam praktek organisasi institusi. Dia mengatakan ada empat aspek

dari penggunaan bahasa dan kaitannya dengan genre dan praktek organisasi institusi dalam

memahami genre khusus atau tertentu sebagai bagian dari komunikasi dan kegiatan

profesionalisme untuk mencapai tujuan komunikasi. Keempat aspek tersebut adalah teks,

genre, praktek profesional, dan budaya profesional.

Figure 1. Penggunaan Bahasa dalam konteks organisasi (Bhatia, 2007)

Prosedur dan acauan (procedure dan framework) tergantung pada konteks institusional.

Artinya prosedur dan acauan yang digunakan berbeda dengan bahasa institusi lain dan

penggunaan bahasa pada umumnya. Perbedan tersebut misalnya dalam ranah penggunaan

jargon dan pilihan leksikal, serta item leksiko grammarnya. Berkaitan dengan itu, (Handford,

2004) yang dikutip Koester (2006) mengatakan bahwa wacana institusional sesungguhnya

berbeda dengan percakapan umumnya misalnya dalam hal leksiko-grammarnya.

12

PROFESIONAL CULTURE

PROFESSIONAL PRAKTIS

GENRE

TEKS

Page 13: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

Apa yang dikatakan oleh Handford, juga ditegaskan oleh Orlikowski dan Yates, (1994).

Dia mengatakan secara linguistik, komunikasi genre institusi dan praktek institusi pada

masyarakat tersebut dibedakan dalam bentuk kosa kata yang spesial, jargon profesi institusi

tempat kerja. Berikut adalah beberapa contoh genre dan ujaran pada praktek organisasi

institusi yang berbeda-beda.

1. Genre dan Ujaran Pakatek Oganisasi Istitusi Kepelautan

Berkaitan dengan genre, ujaran, praktek organisasi insitusi yang berbeda antara genre

dan institusi dalam hal kosa kata dan atau jargon-jargon yang digunakan pada organisasi

institusi kepelautan (profesi dan organisasi kepelautan).

Dalam komunikasi kepelautan dan juga penerbangan secara umum menggunakan

terminologi yang khusus misalnya dalam hal pelafalan (SPELLING). Pengejaan atau Spelling

dalam institusi kepelautan tidak sama dengan spelling dalam institusi lain seperti kesehatan

atau media. Berkut ciri dan karakeristik wacana kepelautan dari segi spelling dan leksikalnya.

Letter Code Letter Code

A Alfa N November

B Bravo O Oscar

C Charlie P Papa

D Delta Q Quebec

E Echo R Romeo

F Foxtrot S Sierra

G Golf T Tango

H Hotel U Uniform

I India V Victor

J Juliet W Whisky

K Kilo X X-ray

L Lima Y Yankee

M Mike Z Zulu

Figure 2. Daftar spelling dan simbolnya dalam komunikasi di laut

Penggunaaan spelling dengan menggunakan kode, dilakukan tentu untuk

menghindari, kekeliruan dan kesalahan dalam berkomunikasi karena komunikasi di

organasasi kepelautan khususnya ekternal komunikasi dengan menggunakan sistem

komunikasi elektronik yang cenderung mengalami gangguan komunikasi baik secara teknis

maupun non teknis.

13

Page 14: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

Pada tataran leksis, organisasi dan institusi kepelauatan juga meiliki karakteristiknya

sendiri, berikut adalah contoh frase dan ungkapan yang tipikal pada institusi kepelautan.

Mayday- digunakan pada situasi dan mengirim pesan yang bersitat disteress.

Pan-pan -digunakan untuk mengumumkan sebuah pesan yang urgen.

Securite -digunaknan untuk mengumumkan sebuah pesan yang aman

Kemudian Stafford dalam http//www.mediaed.org.uk/posted_documents/genre.html

5/20/2009 menyatakan bahwa genre sangat berhubungan erat dengan institusi dan

bagaimana sebuah teks diproduksi dan didistribusikan bagi anggota institusi tersebut. Genre

institusi antara yang satu berbeda dengan yang lain. Lebih lanjut Stafford, mengatakan bahwa

genre institusi dengan sebutan ’genre work’ karena genre work dihubungkan dan

berhubungan dengan institusi kerja.

Berkaitan dengan analisis ’genre work’ pada praktek organisasi institusi, secara linguistik

juga dapat dikaji dari segi lexico-grammar fiturnya. Berikut adalah lexico grammar dalam genre

kepelautan yang boleh diujarkan dan yang tidak boleh diujarkan.

NO NOTASI TIDAK BOLEH/DILARANG DIWAJIBKAN

1 MAY May I enter fairway

You may enter fairway

Question. Is it permitted to enter fairway

Answer. It is permitted to enter fairway.

2 COULD You could run into danger Warning. You are running into a danger

3 SHOULD You should anchor in

anchorage B3

ADVICE. Anchor in anchorage B3

Figure 3. contoh lexico-grammar yang berbeda dengan instusi lain

Dalam praktek institusi organisasi kepelautan, lexico-grammar seperti ““May I enter

fairway?”, “You may enter fairway”, You could running into danger” You should anchor in

anchorage B3” tidak pernah digunakan dan bahkan bukan merupakan bentuk atau fiture

lexico-grammar di instusi kepelautan dalam berkomunikasi .

2. Genre dan ujaran prakatek organisasi institusi Medis

Hubungan dokter dan pesien merupakan tema sentral dalam kajiwan genre, ujaran

dan praktek organisasi institusi dalam bidang medis. (Ibrahim Y, 2007) dalam English for

Specific Purpose (Vol.20.No.4, 2001) mengatakan bahwa studi tentang penggunaan bahasa

dan komunikasi merupakan aspek luas dan utama dalam bidang medis. Bagi dokter,

penggunaan bahasa untuk berkomonikasi menentukan kualitas kerja dan pelayanan mereka

dalam kaitannya dengan pasien. Hal ini sesuai dengan dokumen General Medical Council

(GMC’s document) yang menyatakan bahwa ”the doctor who lacks ’communication skill’ can

said to be lacking in technique, in the same way as the doctor who lacks ‘clinical knowledge.’”

Kutipan di atas jelas menunjukan bahwa dokter harus menguasa bahasa yang sesuai dengan

14

Page 15: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

kebutuhan kerja dan professional institusi, jika mereka tidak menguasai hal ini, berarti mereka

tidak saja lemah dalam berkomunikasi tetapi juga lemah dalam bidang ilmunya.

Hasil penelitian (Ibrahim Y, 2007) menemukan bahwa pola komunikasi antara dokter

dan pasien cenderung didominasi oleh dokter. Ini menunjukkan bahwa komunikasi cenderung

didominasi dan dikuasi oleh dokter dari pada pasien. Menurut tradisi medis di barat hal ini

dikategorikan komunikasi yang buruk. Hal ini juga mungkin terjadi di praktek institusi ruang

kelas yaitu hubungan antara guru dan siswa. Guru adalah sumber pengetahuan untuk itu,

biasanya reaksi diam dan patuh merupakan indikasi rasa hormat. Untuk pola komunikasi dan

dokter hampir sama. Pasien dan siswa cenderung memainkan peranan yang pasif, hampir

tidak ada alternatif sosial. Jika ada seperti pertanyaan ”What do you think?” ini

diinterpretasikan ada keragu-raguan.

Kemungkinan lain komunikasi dalam medis adalah pola pememaksaan. Ini merupakan

model komunikasi dokter-pasien. Hal ini digunakan agar pasien tidak terlalu banyak bertanya

dan juga mempercepat komunikasi tersebut. Komunikasi yang cepat merupakan ”tujuan”

dokter dalam melayani khususnya pada dunia ketiga dan ini sesuai dengan slogan ”one-

minute-consultation.” Nampaknya slogan tersebut menjadi pemicu komunikasi medis

cenderung didominasi oleh dokter sedangkan pasien cenderung tidak punya pilihan.

3. Genre dan ujaran prakatek organisasi institusi Ruang Kelas

Ruang kelas, juga merupakan setting genre, ujaran dan praktek organisasi yang

memiliki batasan dan cirinya sendiri dibandingkan dengan praktek organisasi institusi lain.

Organisasi institusi kelas sebenarnya merupakan genre pendidikan yang berlangsung di

ruang kelas dan tentu memiliki karakeristik yang berbeda dengan institusi lain. Dalam ruang

kelas misalnya, bahasa yang digunakan oleh guru dan siswa, dosen dan mahasiswa dapat

dianlisis. Dalam hal ini, tuturan guru dan dosen merupakan objek penelitian analisis wacana

dalam kelas. Pola ujaran dan komunikasi organisasi institusi kelas sangat beragam dan

bervariasi. Sincalir dan Coulthard yang dikutip oleh Ramli (2007) dalam penelitiannya

mengkaji interaksi institusi dalam kelas antara guru/dosen dan siswa/mahasiswa. Hasilnya,

dia membuat struktur wacana terdiri dari pelajaran (lesson), transaksi (transaction),

pertukaran (exchange), gerak (move) dan tindak(an) (action).

Dalam institusi kelas, kenyataanya ada banyak dimensi yang dapat dikaji dalam

institusi kelas. Artinya apa yang diutarakan oleh Sincalir dan Coulthard merupakan satu dari

beberapa dimensi yang dapat dikaji dalam wacana kelas. Misalnya wacana kelas dapat

ditinjau dari fungsi pertanyaan yang diajukan oleh guru atau dosen. Tsui yang dikutip Ramli

(2007) dalam penelitiannya melakukan analisis terhadap pertanyaan yang diajukan oleh guru

berdasarkan jawaban yang diharapkan. Dia kemudian menyimpulkan bahwa pertanyaan di

kelas digunakan sebagai request dan elisitasi.

15

Page 16: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

Seperti dijelaskan sebelumnya, genre dan praktek organisasi institusi, ujaran memiliki

dan memperlihatkan adanya kuasa dari satu kelompok atas kelompok lainnya dalam

kehidupan institusi tersebut (ruang kelas). Van Djik (2001) yang dikutip oleh Eriyanto (2009)

juga mengatakan kuasa melibatkan kontrol dari anggota suatu kelompok terhadap kelompok

lain dalam bentuk aksi atau kognisi sehingga kelompok yang berkuasa yang dapat membatasi

kebebasan kelompok tersebut sekaligus mempengaruhi pikiran mereka. Pada praktek

organisisai kelas, guru/dosen merupakan seorang yang mempunyai kuasa dapat mengontrol

prilaku siswa/mahasiswa sebagai orang yang dikuasi (Bonvillain, 2003). Berkaitan dengan

kekuasaan, guru (Thomas, 1995) dalam Ramli (2007) mengemukakan guru berpeluang

memiliki tiga jenis kuasa seperti a) legitimate power-kuasa yang diperoleh karena peran, umur

atau status, b) referent power-kuasa yang diperoleh karena dia dikagumi dan banyak orang

ingin seperti dia, dan c) expert power-yang mengacu pada kuasa yang dimiliki seseorang

karena pengetahuan dan keahliannya. Dari tiga kekuasaan tersebut, guru/dosen sangat

mungkin melakukan kekeliruan dan kesalahan dalam praktek organisasi. Sedangkan ditinjau

dari tindak tutur, representasi kekuasaan di kelas dapat dilihat dari tiga jenis tindak tutur yaitu

direktif, asertif, dan ekspresif (Jumadi, 2005). Misalnya:

Guru: (1) Anda harus dapat mengikuti pelajaran dengan baik. (2) Kalau terlambat, ada

prosedur yang harus anda lakukan. (3) Jangan sampai melakukan keonaran. (4)

Yang lain, kalau ada yang sakit harus minta izin. (5).....

Siswa:(Siswa mendengarkan penjelasan guru tanpa ada yang berani usul). Konteks

dituturkan ketika guru memberikan pengarahan pada pertemuan awal semester.)

(Jumadi, 2005: 60).

4. Genre dan ujaran prakatek organisasi institusi Media

Setting genre dan ujaran serta praktek institusi organisasi dapat ditunjukkan dalam

genre dan institusi dalam perspektif media. Media atau mass media meliputi media cetak dan

elektronik. Genre media yang dominan dan intens kaitannya dengan genre adalah media

cetak seperti surat kabar. Media-surat kabar harus mengikuti jenis-jenis aturan dalam

menyajikan berita dari pandangan linguistik karena institusi (media) yang mengahasilkannya.

Menurut Sumadiria (2008) bahasa media atau jurnalistik ditinjau dari efektivitas harus

sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, pengunaan kalimat aktif,

penghidaran penggunaan istilah teknis, dan sesuai dengan kaidah dan etika bahasa baku.

Di samping harus mengikuti aturan linguistik dan layout, media juga harus mengikuti

kepentingan lain seperti stakeholder, ideologi yang dianut, serta jenis media itu sendiri. Di

samping itu, analisis media juga memeperahatikan kategori media-berkualitas, pop, dan

yellow pages (Sumadiria, 2008). Kompleksnya analisis media, karena media juga merupakan

16

Page 17: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

sebuah institusi yang berorientasi profit dan media juga merupakan sebuah industri. Untuk itu

media tidak lepas dari kepentingan stakeholder. Artinya analisis media harus ditelursuri dari

pandangan kritis. Eriyanto (2009) misalnya mengatakan fakta merupakan hasil dari proses

pertarungan antara kekuatan ekonomi, politik, dan sosial yang ada dalam masyarakat. Atau

berita tidak semata mata cermin dan refleksi dari realitas, karena berita dapat dibentuk sesuai

dengan kepentingan kekuatan dominan.

Sejalan dengan hal itu, tidak dapat dipungkiri bahwa berita terjadi karena media tidak

berada dalam ruang yang vacum. Ujaran dalam media berada di tengah realitas yang sarat

dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam (Sobur, 2006).

(Althusser, 1971) yang dikutip oleh (Zastrouw, 2000) dalam Sobur (2006) mengatakan bahwa

media dalam hubungannya dengan kekuasaan menempati posisi strategis sebagai sarana

legitimasi. Di samping itu, (Schiller, 1973) dalam Bonvillain (2003) menambahkan media juga

memiliki mitos budaya yang ada di antara mereka seperti media merupakan kekuatan

keempat dari sebuah negara (the fourh state) dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

Berkaitan dengan media, Robert Murdoch, raja media di Amerika memiliki dua media

cetak The Times dan The Sun. Keduanya adalah sub-genre yang berbeda dalam konteks

institusi media cetak. Munculnya kedua media ini karena didasari oleh audiens yang berbeda

seperti dijelaskan bahwa genre yang berbeda memiliki audiens yang berbeda serta orientasi

dan tujuan serta ideologi yang berbeda pula.

Media merupakan alat untuk mengakses informasi dan media juga merupakan

representasi kekuatan yang kuat dalam masyarakat. Hal ini dapat dikaji secara linguistik

bagaimana media memberitakan suatu peristiwa dan kerangka acuan bagaimana orang

muncul dan berbicara. Thomas, et al (2005) mengatakan salah satu aspek yang sangat

penting dan menarik tentang kekuatan dan kekuasaan media adalah kajian dari sudut

pandang linguistik. Wacana ini dilihat dari bagaimana orang dan peristiwa dilaporkan serta

indikasi dan sudut pandang bagaimana peristiwa itu dilaporkan (Lee, 1992; Montgomery,

1996) dalam Thomas, et al (2005). Genre institusi dan praktek organisasi institusi dalam

media merujuk pada struktur linguisktik menentukan bagimana sebuah peristiwa

direpresentasikan, yang akhirnya berujung pada versi yang berbeda, sudut padang yang

berbeda pada suatu peristiwa yang sama.

Hal ini juga ada kaitannya antara genre dan media, seperti apa yang dikatakan

(Fairlough, 1995) bahwa analisis genre sesuai dan baik untuk menunjukkan hakikat dan

fomula media secara alamiah dan mampu mengubah kita misalnya bagaimana peristitwa

yang beragam di dunia disajikan dengan format yang berbeda dalam media. Bandingkan dua

media di Inggris yang merepresentasikan peristiwa yang sama dengan struktur linguistik yang

berbeda.

17

Page 18: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

DAILY MAIL

POISON GANG ON THE LOOSE

Huge hunt for terrorism armed

with deadly ricin

DAILY MIRROW

IT’S HERE

Deadly terror poison found

In Britain.

Kalau kita analisis ke dua surat kabar, kedua media tersebut menyajikan berita yang

sama tetapi dengan struktur lingusitik dan fiture yang berbeda. Pilihan lingustik kedua media

tersebut berbeda. Misalnya jenis kata dan frase, serta font atau layout teks yang digunakan

untuk merepresetasikan orang dan peristiwa, atau peristiwa apa yang mau dilibatkan, atau

juga siapa yang bertanggung jawab atas tulisan tersebut. Di sinlah genre organisasi dan

praktek institusi tersebut diwujudkan. Yang paling utama adalah bagaimana sudut pandang

dan ideologi disusun secara linguistik.

Misalnya Daily Mail menulis dengan huruf kapital dengan pilihan ’ poison gang’, yang

menunjukkan masih banyak gang yang memiliki atau melakukan tindakan terosime.

Sedangkan Daily Mirror menggunakan linguistik fiture ’It’s here’ yang memungkinkan

pembaca bekerja keras untuk memahami kata ’it’ dan ’here’ dalam konteks ini Thomas, et al

(2005).

Ini menunjukkan bahw fakta yang disajikan lewat bahasa berita dan bahasa bukanlah

sesuatu yang bebas nilai (Bonvillain, 2003). Bahasa media menjadi tidak netral dan kadang-

kadang memang tidak sepenuhnya dalam kontrol kesadaran. Sobur (2006) menyebut bias

yang berasal dari bahasa adalah bias yang sesungguhnya amat berbahaya, ibarat musuh

yang menikam dari belakang. Ini menunjukkan bahwa kekuatan linguistik sangat

mempengarhui kehidupan manusia dan media merupakan salah satu instrumen untuk

mewujudkan kekuatan tersebut.

E. SETTING GENRE DAN PRAKTEK ORGANISASI DAN ANALISIS WACANA KRITIS

(AWK)

Pada hakikatnya, analisis wacana genre, ujaran, dan praktek institusi organisasi, tidak

lepas dapat dilepaskan dari kajian analisis wacana kritis-AWK (Critical Discourse Analysis-

18

Page 19: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

CDA). Seperti diketahui bahwa AWK bertujuan untuk menggambarkan hubungan antara

bahasa, kekuasaan dan setiap institusi atau organisasi memiliki bahasa yang berbeda-beda.

Mereka berasumsi bahwa wacana sebagai media utama dan anggota organisasi

menciptakan realitas sosial yang koheren yang menjadi acuan mereka dalam berkomunikasi.

Keterikatan AWK dan wacana praktek organisasi institusi ditegaskan oleh Atkinson,

David, dkk (2003). Dia mengatakan bahwa AWK bertujuan untuk mengetahui bagaimana

fungsi konteks organisasi sebagai arena pertarungan mengenai makna dan identitas. AWK

mengeksplorasi ekspresi teks mengenai kekuasaan, konflik, dan resistensi dan

mengubungkan hal ini dengan struktur dan perubahan sosial pada konteks yang lebih luas.

Hal senada juga didukung oleh (Bourdieu, 1990) dalam Atkinson, David, dkk (2003) yang

mengatakan bahwa kekuasaan untuk mengkonstruksi kelompok adalah kekuasaan untuk

penciptaan dunia (world making). Seperti diketahui, bahwa orang berusaha untuk

mengamankan identitas yang mereka inginkan, menentukan realitas sosial yang sesuai

dengan yang mereka butuhkan, atau apa yang sesuai dengan kebutuhannya mungkin tidak

sesuai dengan kebutuhan orang lain (Atkinson, dkk, 2003).

Penggunaan bahasa dalam institusi sosial baik tuturan dan tulisan merupakan bentuk

praktek penggunaan bahasa dalam konteks sosial. Penggunaan bahasa dalam institusi sosial

sangat erat kaitannya dengan analisis wacana kritis. (Fairclough dan Wadok,1997) yang

dikutip Eryanto (2009) menggambarkan bahwa wacana sebagai praktek sosial menyebabkan

sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan

struktur sosial yang membentuknya. Analisis wacana kristis menganalisa bahasa bukan dari

segi linguistik semata, tetapi menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa

itu dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan untuk

menunjukkan identitas siapa mereka. Bahasa bukan hanya sebagai tempat dimana semua ini

terjadi, tetapi bahasa juga digunakan oleh penuturnya sebagai alat yang oleh (Fairclough,

2001) dalam (Atkinson, dkk, 2003) disebut ”stake’ suatu pertarungan untuk mewujdukan

persepsi tentang dunia, diri mereka, dan satu sama lainnya.

Kemudian Fairclough (1999) juga berpendapat bahwa kajian penggunaan bahasa

dalam institusi dan organisasi relevan dengan menggunakan pendekatan analisis wacana

kritis. (Fairclough, 1992b) dalam (Jorgensen dan Phillips, 2002) praktek organisasi insitusi

dapat dikaji dengan model pendekatan tiga dimensi model Faircloguh yang meliputi a) teks-

diproduksi dan dikonsumsi, b) praktek diskursif, dan c) praktek sosial. Model ini relevan dalam

kajian uajaran dalam praktek organisasi institusi, karena dalam institusi selalu ada manifestasi

kuasa dan kekuasaan yang hanya dapat diungkap melalui AWK. Institusi tersebut misalnya

keluarga, sekolah termasuk ruang kelas, tempat kerja, lembaga pemerintah dan lain

sebagainya. Berkaitan dengan genre, institusi, dan AWK, Fairclough lebih lanjut mengatakan

ada tiga level feneoma sosial dalam konteks ini yaitu formasi sosial, institusi sosial, dan

19

Page 20: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

tindakan sosial. Ini merupakan penentuan dari atas–bawah dimana institusi sosial ditentukan

oleh formasi sosial, tindakan sosial ditentukan oleh institusi sosial.

Seperti dijelaskan sebelumnya, AWK pada prinsipnya bertujuan untuk mengungkap

praktek diskursif (penyampain wacana) yang mengkonstruksi representasi hubungan sosial,

termasuk hubungan kuasa, dan bagaimana praktek tersebut digunakan untuk kepentingan

kelompok tertentu. Pada analisis AWK, suatu wacana tidak hanya dikaji dari deskripsi yang

tampak atau segi linguistik saja tetapi juga dari konteks yang melingkupinya. Hal ini dapat

dikatakan bahwa AWK pada hakikatnya menganilisis wacana dimensi teks bahasa, praktek

wacana, dan praktek sosiokulural secara simultan sebagai aplikasi dari dialektika. Dalam

AWK keberadaan sebuah teks tidak dapat dipisahkan dari pengaruh konteks sosiokultural dan

institusional yang bersifat determinatif.

Santoso (2003) mengatakan bahwa AWK diterapkan untuk menganalisis teks yang

terkait dengan wacana institusi. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa teks terkait dengan

institusi dan memperlihatkan adanya kuasa dari satu kelompok atas kelompok lainya dalam

kehidupan sehari-hari. (Fairlough, 1995) dalam Ramli (2007) mengatakan analisis wacana

yang terkait dengan insitusi banyak dikaji untuk mengungkap ’cara berbicara’ dan ’cara

melihat’ suatu institusi sosial. Di mana setiap institusi sosial mengahasilkan cara atau modus

bertutur tertentu tentang area kehidupan yang berhubungan dengan tempat dan hakikatnya

masing-masing.

G. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan penjelasan sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat ditarik

sebagai kesimpulan. Pertama, makan sebuah ujaran dapat ditinjau dari teks dan konteks

yang melingkupinya. Kedua, setting genre, ujaran, dan praktek organisasi institusi merupakan

satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling berkaitan dalam analisis wacana dalam

perspektif organisisi, disiplin ilmu, institusi atau praktek organisasi profesional dan tempat

kerja. Ketiga, Hubungan tersebut dapat diwakili oleh empat kata atau frase seperti texs,

genre, professional practices dan professional culture. Keempat, setiap jenis genre, sebagai

penggunaan bahasa dengan konteks sosial memiliki karakteristik yang berbeda-beda seperti

tujuan komunikasi, style, struktur linguistik dan juga audiens. Kelima, kajian setting genre,

ujaran dan praktek organisasi institusi, tidak dapat dilepaskan dari pendekatan analisis

wacana kritis (AWK) karena pendekatan (AWK) memiliki kriteria seperti a) tindakan, b)

konteks, c) historis, d) kekuasaan, dan e) ideologi. Di samping kelima kriteria itu ada pada

genre dan ujaran organisasi insititusi. Dengan kelima karakteristik ini, makna dalam wacana

organisasi dan praktek institusi dapat diungkap.

20

Page 21: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, David, dkk. 2003. Language and Power in the Modern World. Edinburgh: Edinburgh

University Press.

Badger Richard dan Goodwith, 2000. A Process Genre Approach to Teaching Writing in ELT

Journal No 54/2 April 2000. London: Oxford University Press.

Bhatia, K. Vijay. 2007. Genre Analysis, ESP and Professional Practice dalam English for

Specific Purpose Journal.vol 27. issue.2.London: Elsevier.

Blake.H.Reed dan Haroldsen O.E. 1979. A Taxonomy of Concepts in Communication.

Terjemahan, 2009. Surabaya: Papyrus.

Bonvillain, Nancy. 2003. Language, Culture, and Communication: The Meaning of Message. 4

th ed. New Jersey: Prentice Hall.

Chandler, John. 1997. An Introduction to Genre Theory. London: Britanica Co.

Crossley.S. 2007. A Chronotopic Approach to Genre Analysis: An Explanatory Study in

English for Specific Purposes : An International Journal., Vol 26,Issue 1. 2007.

Effendy, Uchjana O. 2007. Komunikasi Organisasi: Teori dan Prakterk. Bandung: Penerbit

Remaja Rosdakarya.

Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT. LKIS

Printing Cemerlang.

Fifzgerald, B dan Young, L. 2006. The Power of Language: How discourse influence society.

London: Equinox Publishing.

Fairclough, Norman. (1995). Media Discourse: VOICE. London: Edward Arnold, Inc.

______ (1999). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman

Hyland, Ken. 2003. Second Language Writing. London: Cambridge University Press

Ibrahim.Y. 2007. Doctor and Patient Questions as a Measure of Doctor-Centered in UAE

Hopital dalam in English for Specific Purposes: An International Journal., Vol 20,

Nomor 4.2001.

Jogersen, Mariane dan Phillips, Louise. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method.

London. Sage Publication.

Jumadi, 2005. Representasi Kekuasan Dalam Wacana Kelas. Jakarta: Pusat Bahasa.

Martin.J. dan Christie, Frances. 2000. Genre and Institutions: Social Process in the Workplace

and School. New York: Cintinuum.

Muhammad, Arni. 2009. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Orlikowski, Wanda dan Yates, Joaan. Genre Repertoire: the structuring of communicative

practice in organization dalam Administrative Science Quartely, Dec, 1994, Bnet

Publishing.

21

Page 22: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

Pardiyono, 2007. Pasti Bisa:Teaching Genre Based Writing. Yogyakarta: Penrbit Andi.

Pratista, Himawan. 2007. Memahami Film. Yogyakara: Homerian Pustaka.

Purwanto, dkk. 2007. Teori Organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.

Ramli, Soraya, Analisis Wacana dalam Ruang Kelas dalam Jurnal Ilmiah Lingua. Vol. 6 No. 2,

Oktober.2007.

Salim, Peter dan Yenni, 2003. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern

English Press.

Sarangi, Srinkant dan Robert,Celia. Eds. 1999. Talk, Work and Institutional Order: Disrcourse

in Medical, Mediation and Management Settings. New York: Mouton de Gruyter.

Santoso, Anang. Bahasa Politik Pasca Order Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sobur, Alex.2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik,

dan Analisis Framing. Bandung: Penerbit Rosdakarya.

Stoke, Jane. 2003. How to do Media and Cultural Studies diterjemahkan oleh Santri Indah

Astuti (Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya,

2006). Yogyakarta: PT. Benteng Pustaka.

Sudaryat, Yayat. 2009. Makna Dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.

Sumadiria, Haris. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature. Bandung: Simbiosa

Rekatama Media.

Sumarlan dkk, 20003. Teori dan Praktek Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.

Swales, John. 1990. Genre Analysis: English in Academic Research and Setting. Cambridge:

Cambridge University Press.

Thomas, Linda, et al. 2005. Language, Society, and Power. London: Routledge Publishing.Co

Zaimar Sumantri, O. dan Ayu B. Harahap. 2009. Telaah Wacana. Jakarta: The Intercultural

Institute.

22

Page 23: Setting Genre Dan Praktek Organisasi Institusi

CUKUPPPPPPPPPPPPPLAH…………….COY

23