sepsis in immunocompromised children-rev
DESCRIPTION
referatTRANSCRIPT
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FKUP/RS HASAN SADIKIN BANDUNGSari Pustaka : / November 2011Oleh : Vidi PermatagalihSubdivisi : Pediatric Intensive Care UnitPembimbing : dr. Enny Harliany Alwi, SpA(K), M. Kes
Dr. dr. Dadang Hudaya Somasetia, SpA(K), M. Kes dr. Dzulfikar Djalil LH, SpA(K), M.Kes dr. Stanza Uga Peryoga, SpA
Hari / tanggal : Senin, 7 November 2011
SEPSIS PADA ANAK DENGAN IMUNOKOMPROMAIS
PENDAHULUAN
Sepsis yang dicetuskan oleh infeksi dapat berkembang menjadi syok septik dan kematian
masih tetap merupakan masalah besar dalam bidang pediatrik.1 Penelitian oleh Watson dkk,
pada tahun 1995, melaporkan lebih dari 42.000 anak dengan sepsis berat dengan mortalitas
10,3% di Amerika Serikat (AS).2 Menurut data WHO tahun 2006 didapatkan bahwa penyakit
utama yang menyebabkan kematian pada anak adalah pneumonia, diare, dan sepsis neonatus.3
Sedangkan pada tahun 2005 WHO mengumumkan kematian global anak sebanyak 80%
disebabkan lima infeksi berat yaitu, pneumonia, malaria, campak, sepsis dan diare.4
Sepsis dapat timbul sebagai komplikasi infeksi lokal atau dapat mengikuti kolonisasi
dan invasi mukosa oleh patogen yang virulens. Anak usia 3 bulan sampai 3 tahun merupakan
usia dengan faktor risiko bakteriemia yang biasanya berkembang menjadi sepsis.1 Anak yang
berisiko tinggi terhadap sepsis dan komplikasinya adalah bayi, anak dengan trauma serius,
anak yang mendapat terapi antibiotik lama, anak dengan malnutrisi, dan masalah medikal
kronis, termasuk anak dengan sistem imun yang tertekan seperti pada anak dengan sindroma
imunodefisiensi didapat pada infeksi HIV (Aquired Immunodeficiency Syndrome=AIDS) dan
imunodefisiensi kongenital/primer, anak yang menerima transplantasi, kemoterapi
imunosupresif pada keganasan, atau pemberian kortikosteroid.1
Penyakit dan infeksi akan berkembang bila sistem imun inang gagal dalam
melindungi tubuh terhadap bakteri patogen. Pada anak normal, sistem imun yang timbul akan
dapat mempertahankan diri dari rangkaian respon imun terhadap bakteri dan dapat mencegah
timbulnya penyakit. Sementara pada anak yang mengalami gangguan sistem imun, akan
mengalami kesulitan atau bahkan kegagalan dalam mempertahankan diri dari infeksi. Hal ini
bergantung pada derajat disfungsi imun yang dialami anak sehingga gagal membentuk respon
1
pertahanan diri terhadap infeksi.5 Kerusakan/kegagal sistem imum seluler dan humoral timbul
sebagai konsekuensi dari imaturitas, keganasan, transfusi, sepsis, syok, infeksi virus,
tuberkulosis dan malaria. Pasien-pasien dengan imunodefisiensi primer ataupun didapat
merupakan faktor risiko mendapat infeksi oportunistik dan manifestasi yang tidak biasa dari
berbagai penyakit.6 Pada makalah ini akan dibahas mengenai faktor predisposisi, tatalaksana
sepsis pada anak dengan status imun yang rendah termasuk pada anak dengan infeksi HIV.
DEFINISI
Imunodefisiensi adalah kegagalan antibodi humoral atau respon imun yang diperantarai sel.
Bila disebabkan karena defek pada limfosit T atau B, maka disebut imunodefisiensi primer.
Bila kondisi ini disebabkan karena hilangnya/berkurangnya antibodi dan/atau limfosit maka
disebut imunodefisiensi sekunder.7,8
Imunokompromais adalah suatu keadaan yang menunjukka ketidakmampuan tubuh untuk
memberikan respon imun yang fisiologis/normal.7
ETIOLOGI
Keadaan imunokompromais dapat disebabkan oleh defiensi imun kongenital atau pun didapat
(Primary Immuno Deficiencies=PIDs dan Aquired Immune Deficiencies). Pada PID sangat
sulit ditentukan insidensinya karena terkadang timbul dengan manifestasi berat saat lahir
sehingga menyebabkan kematian pada usia bayi dini.8 Sementara sebagian juga
bermanifestasi pada saatn remaja atau dewasa 10 sampai 20 tahun kemudian.9
Pada AID, defisiensi imun disebabkan penekanan fungsi imun yang menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi dari penyakit yang mendasarinya. Namun yang
paling banyak menyebabkan AID ini adalah infeksi HIV pada anak dan AID ini lebih sering
didapatkan dibandingkan dengan PID (Tabel 1).8
PATOFISIOLOGI RESPON IMUN PADA SEPSIS
Fenomena klinis terjadinya sepsis sangatlah kompleks. Ada beberapa hal yang terjadi pada
sepsis. Perubahan tersebut terjadi pada berbagai tingkat selular, humoral dan fungsi organ.
Aktivasi sel yang berespon terhadap bakteri atau komponen bakteri akan menyebabkan
dikeluarkannya berbagai mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan vasodilatasi
ataupun bisa juga langsung berinteraksi dengan sistem koagulasi yang nantinya akan
menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata.10-12
Sistem Imunitas2
Sepsis merupakan reaksi tubuh terhadap infeksi, dan hampir selalu merupakan reaksi
terhadap infeksi jamur atau bakteri. Organisme yang infeksius atau produknya akan
mengaktifkan sistem imunitas, termasuk diantaranya neutrofil, monosit, dan makrofag yang
selanjutnya akan menstimulasi dilepaskan mediator inflamasi yaitu sitokin. Sistem
komplemen merupakan sekelompok protein plasma yang biasanya dalam keadaan tidak aktif.
Protein-protein tersebut diaktivasi diaktivasi baik secara langsung maupun oleh adanya
antibodi patogen (organisme yang masuk ke dalam tubuh) sehingga menyebabkan
terbentuknya kompleks antigen-antibodi. Protein komplemen mengaktivasi reaksi “cascade”
untuk membentuk sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme. Sekali teraktivasi,
sistem komplemen akan menyebabkan aktivasi leukosit, menyebabkan degranulasi sel mast
(yang akan melepaskan histamin dan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah dan vasodilatasi), sehingga dapat menyebabkan terjadinya syok.11,12,13
Gambar 1 Respons Imun Terhadap Zat PatogenSumber: Hotchkiss dkk, 2003.13
Sel fagosit (neutrofil, monosit, makrofag) akan mengenali mikroorganisme secara
langsung dengan bantuan komplemen atau antibodi. Sel fagosit akan mencerna
mikroorganisme dan melepas metabolit aktif dan mediator inflamasi yang kemudiannya akan
menyebabkan proses inflamasi, vasodilatasi dan perembesan kapiler. Mikroorganisme bisa
juga secara langsung menyebabkan kerusakan sel yang selanjutnya melepaskan mediator-
mediator inflamasi. Beberapa kerja dari mediator-mediator inflamasi dapat dilihat pada tabel
2.11,12
3
Tabel 1. Efek Mediator Inflamasi
Mediator Sumber Efek utamaHistamin Sel mast, basofil,
trombosit Vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
Serotonin Trombosit Meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, agregasi trombosit
Prostaglandin Leukosit, trombosit, sel endotelial
Vasodilatasi (kecuali tromboksan, menyebabkan vasokonstriksi)
Leukotrien Leukosit Vasokonstriksi, bronkospasme, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
Platelet activating factor (PAF)
Leukosit, trombosit, sel endotelial
Agregasi dan degranulasi trombosit, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, adhesi leukosit
Nitric oxide (NO) Sel endotelial, makrofag, trombosit
Vasodilatasi
Sitokin Makrofag, limfosit Vasodilatasi, demam, letargi, menarik leukositKinin (Bradikinin) Circulates in plasma
inactive Meningkatkan permeabilitas kapiler, vasodilatasi
Sistem Komplemen Cascade of inactive plasma proteins
Aktivasi leukosit, fagositosis.C3a dan C5a meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi
Sumber: Daniels R dkk, 2007.12
Inflamasi
Inflamasi merupakan respons protektif tubuh yang terdiri dari 3 fase:12
1. Vasodilatasi: peningkatan aliran darah, menyebabkan fagositosis, antibodi dan faktor
pembekuan dialirkan ke daerah terinfeksi. Sebagian besar mediator inflamasi akan
menyebabkan vasodilatasi masif, sehingga akan terjadi takikardia, hipotensi, dan
gangguan perfusi organ. Pada fase awal hal ini tampak sebagai oliguria, penurunan
kesadaran, dll. Vasodilatasi juga dapat menyebabkan hipotermia.
2. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan protein plasma masuk
ke daerah terinfeksi. sehingga isi pembuluh darah masuk ke dalam rongga
ekstravaskular dan terjadi edema jaringan dan berkurangnya isi pembuluh darah.
Ditambah dengan vasodilatasi akan berakibat terjadinya takikardia, hipotensi dan
syok. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah juga terjadi pada kapiler paru yang
menyebabkan terjadinya edema paru dan adanya infiltrat yang kemudian akan
menimbulkan hipoksemia arteri, menurunkan komplains paru, dan peningkatan usaha
nafas.
3. Migrasi leukosit ke daerah terinfeksi.
4
Gambar 2 Efek Mediator Inflamasi pada Vasodilatasi.Sumber: Daniel R, 2007.12
Sepsis merupakan hasil dari kumpulan interaksi antara mikroorganisme yang
menginfeksi tubuh dengan imunitas dari inang, inflamasi dan respon koagulasi. Respon inang
dan karakteristik organisme yang menginfeksi mempengaruhi keluaran pada pasien-pasien
dengan sepsis dan pada disfungsi organ terjadi respon infeksi yang tidak adekuat. Pertahanan
tubuh dapat dikategorikan berdasarkan respon innate dan adaptif.14 Sistem imunitas innate
merupakan responder pertama terhadap invasi mikroorganisme dan sangat vital dalam
pertahanan tubuh. Contoh sel yang termasuk imunitas innate ini adalah monosit, sel dendritik,
neutrophil recognize pathogen termasuk toll like receptors (TLRs). 15,16 Imunitas innate ini
juga berespon secara cepat dengan adanya reseptor pengenalan (pattern-recognition
receptors) seperti TLR yang berinteraksi dengan molekul mikroorganisme. Ikatan antara
epitop TLR dengan mikroorganisme akan merangsang sinyal intraseluler, meningkatkan
transkripsi molekul proinflamasi seperti TNF-α dan interleukin 1β, sebagaimana dengan
sitokin antiinflamasi seperti interleukin 10. Sitokin proinflamasi akan menyebabkan up-
regulated adhesi dalam neutrofil dan sel endotelial. Walaupun neutrofil aktif akan membunuh
bakteri, neutrofil ini juga menyebabkan kerusakan pada endotel dengan melepaskan mediator
yang dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler.13,14 begitu sel-sel ini
terakitvasi, dengan segera akan memproduksi sitokin proinflamasi, sel-sel dalam sistem imun
innate harus dapat mengenali patogen dan mempresentasikan pada sistem imun adaptif.
Contohnya monosit, akan mempresentasikan antigen pada permukaan sel major
histocopatibility complex kelas II seperti human leukocyte antigen (HLA-DR). Berkurangnya
HLA-DR berhubungan dengan imunoparalisis.15
Tabel 3. Karakteristik Respon Imun Pro dan Anti-inflamasi terhadap Sepsis
5
Respon Proinflamasi Respon AntiinflamasiKarakteristik Sitokin TNF-α
IL-1βIL-6*IL-8IL-17IFNIL-2
IL-10TGFβIL-1rasTNFr
Fungsi Imunitas InnateFagosit, pembunuhan intraseluler, presentasi antigen
Meningkat Menurun
Tipe sel Adaptif Th1, Th17 Th2, Treg
Sumber: Muszinsky JA, Hall MA. 2011.15
Gambar 3 Respon Inang Terhadap SepsisSumber: Poll TV, Opal M. 2008.17
6
Gambar 4 Respon Inflamasi terhadap SepsisSumber: Russel JA. 200614
Sistem imun adaptif terdiri dari limfosit yang akan menstimulasi perkembangan sel
highly pathogen-spesific effector.15 Mikroorganisme akan merangsang respon imun humoral
dan selular. Sel B akan melepaskan imunoglobulin yang akan berikatan dengan
mikroorganisme yang kemudian akan memfasilitasi pengiriman melalui antigen-presenting
cell pada sel NK dan neutrofil yang akan membunuh mikroorganisme. Subgrup sel T akan
termodifikasi selama terjadinya sepsis. Sel Thelper (CD4+) dapat dibagi lagi menjadi Th1
dan Th2. Th1 akan mensekresi sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan interleukin 1β dan Th2
akan mensekresi sitokin antiinflamasi seperti interleukin 4 dan interleukin 10, bergantung
pada organisme yang menginfeksi, banyaknya infeksi dan faktor lain. Imunosupresi inang
pada sepsis selama ini diketahui merupakan penyebab kematian pada sepsis dengan risiko
tinggi sekuele seperti anergi, limfopenia, hipotermi dan infeksi nosokomial. Sindroma
disfungsi organ multipel dapat disebabkan pergeseran antiinflamasi dan apoptosis, epitel dan
sel endotelial.14 Pada awalnya, sepsis dapat ditandai dengan peningkatan mediator inflamasi,
namun bila sepsis berlanjut akan terjadi pergeseran menjadi supresi antiinflamasi.13 Sitokin
proinflamasi sangat penting pada keadaan sepsis. Selama sepsis, dilepaskan juga mediator
antiinflamasi terutama pada kondisi pasien bertahan terhadap sepsis dengan dilepaskannya
interleukin (IL). Prduksi dari IL ini dapat menyebabkan anergi dan memperlambat respon
inang terhadap invasi kuman18 dan dapat menyebabkan deaktivasi monosit.19 Hal ini disebut
imunoparalisis, immunodeficiency window, atau compensatory inflammatory response
syndrome (CARS).18,19 Hal ini sering disebabkan oleh pelepasan hormon stres seperti
katekolamin atau kortikosteroid. Selain itu, pelepasan TNF dini akan menyebabkan apoptosis
limfosit pada pencernaan, yang akan menyebabkan imunosupresi lebih lanjut.19
7
Gambar 4. Respon Inflamasi Dinamik terhadap Sepsis. Pada saat onset sepsis, pasien akan mengalami pelepasan proinflamasi yang dikenal sebagai SIRS. Hal ini akan diikuti oleh CARS yang ditandai dengan respon imun innate yang hiporesponsif dalam beberapa jam berikutnya. Kemudian, pada beberapa jam selanjutnya, sistem imun pasien akan mengalami status homeostasis imunologik. Bila fenotip antiinflamasi berlanjut maka akan terjadi imunoparalisis.
Sumber: Muszinsky JA, Hall MW. 2011.15
FAKTOR PREDISPOSISI SEPSIS
Pada umumnya predisposisi sepsis timbul bila terjadi ketidakseimbangan antara invasi
mikroorganisme dan kapasitas sistem imun pasien untuk mempertahankan diri dari invasi
ini.5,20 Hal ini dapat timbul karena berbagai faktor seperti perubahan yang mempengaruhi
inang, patogen atau yang mempengaruhi lingkungan sekitar. Mekanisme pertahanan inang
terdiri dari imunitas innate dan adaptif. Imunitas innate merupakan imunitas yang mengawali
proteksi melawan infeksi dan bersifat non spesifik, sedangkan imunitas adaptif berkembang
lebih lambat dan memediasi pertahanan melawan infeksi yang berulang dan bersifat spesifik.
Beberapa komponen yang termasuk dalam imunitas innate adalah barier epitel, fagosit,
komplemen dan sel pembunuh alami (Natural Killer Cell=sel NK). Terdapat dua tipe
imunitas adaptif yaitu humoral dan selular yang memberikan proteksi terhadap organisme
seluler dan ekstraseluler.5,21 Sebanyak 99% organisme dapat dilawan dengan barier fisik yang
8
baik, sekitar 1% dapat dilawan oleh sistem imunitas innate dan sisanya dilawan oleh imunitas
adaptif.11 Dasar molekular dan seluler pada keadaan imunodefisiensi dapat dilihat dari dua
aspek yaitu dengan mencari defek spesifik dari imunitas innate atau adaptif dan aspek yang
melihat dari segi klinis pasien yang memperlihatkan gejala tertentu yang menunjukkan defisit
imun tertentu (Tabel 4,5).20
Pemberian antibiotik yang tepat sebagai profilaksis diketahui berguna dalam
mencegah infeksi pada pasien dengan imunokompromais. Namun, penggunaan antibiotik
spektrum luas dapat berhubungan dengan timbulnya pola resistensi baru. Bila terjadi
resistensi, pasien yang terinfeksi kolonisasi bakteri dapat tidak menimbulkan gejala tetapi
keadaan defek lingkungan sekitar dapat menimbulkan sepsis.20 Terdapat tiga faktor utama
yang memisahkan tubuh dengan lingkungan luar yaitu kulit, sistem pencernaan dan sistem
pernapasan yang terutama dibatasi oleh epitel. Epitel ini mengandung sekret dan substansi
yang berfungsi sebagai antibakteri dan barier fisik ini juga mengandung kolonisasi bakteril
komensal.5,20 Penggunaan antibiotik spektrum luas dapat mempengaruhi flora normal pada
inang yang menyebabkan kolonisasi organisme yang berpotensi virulens. Sedangkan
pemberian obat anti kanker dapat menyebabkan kerusakan pada membran gastrointestinal
sehingga dapat menyebabkan berbagai organisme patogen dapat masuk ke dalam peredaran
darah.20
Tabel 4. Penyebab Utama Peningkatan Risiko Infeksi pada Pasien Imunokompromais
IMUNODEFISIENSI PRIMER
Defisiensi antibodi (Defek sel B)
X-linked agammaglobulinemia
Common Variable Immunodeficiency Defisiensi selektif imunoglobulin ADefisiensi IgG sub kelasSindroma hiper IgMCell Mediated Deficiency (Defek sel T)
Thymic displasia (Sindroma DiGeorge)
Defek reseptor sel TDefek produksi sitokin
9
Defek aktivasi sel TLimfositopenia CD8Defek Campuran sel B dan sel T
Severe Combined ImmunodeficiencyCombined Immunodeficiency
Sindrom Omenn Trombositopenia dan ezcema (Sindroma Wiskott-Aldrich) Ataksia telangiektasia Sindroma hiper IgE
Defek FagositDefisiensi adhesi leukositSindroma Chediak-HigasiDefisiensi MieloperoksidasePenyakit Granulomatosis KronikLeukopeniaNeutropeniaa kongenital (sindroma Kostman)Sindroma Scwachman-DiamonPenyakit Sistem KomplemenIMUNODEFISIENSI SEKUNDERHIVKeganasanTransplantasi Sumsum tulang dan stem sellTransplantasi Organ SolidLuka BakarPenyakit Sickles selFibrosis kistikDiabetes MelitusObat-obatan ImunosupresifAspleniaImplantasi benda asingMalutrisi
Sumber: Michaels MG, Green M, 20085
Tabel 5. Organisme berhubungan dengan infeksi pada imunokompromais sekunder
Kondisi OrganismeSplenektomi, autosplenektomi, asplenia Organisme encapsulated: s. Pneumonia, N.
Meningitides, H. InfluenzaeParasit: malaria
HIV/AIDS Bakteri: s. pneumoniae, salmonella, psedomonas, mycobacteriaViruses: HSC, CMV, Varicella-Zoster, EBV, RSV, adenovirus, parainfluenzae virusJamur: candida(terutama pada anak), cryptococcus, histoplasma.Pneumocystis carinii, toxoplasma, cryptosporidia
Kemoterapi berhubungan dengan neutropenia Gram positif dan negatif bakteri HSV candida, jamur Transplantasi sumsum tulang Gram positif dan negatif bakteri HSV candida, jamurTransplantasi organ Transplantasi ginjal—gram negatif
Tranplantasi hati – organisme enterikEnterococcus resisten vancomisin – assending colangitis
Kateter indwelling dan shunt Bakteri gram postif, terutama koagulase positif stapilococcus.
10
Sumber: Lieh-Lai MW, McGeorge KAL, Bautista MCA, Reid C, 200122
Defek kualitatif dan kuantitatif dapat mempengaruhi komponen innate dan adaptif.
Defek yang terjadi dapat mengenai komponen darah. Pasien dengan neutropenia sangat
diketahui berisiko tinggi sepsis, baik karena infeksi bakteri ataupun jamur. Selain itu
seseorang dapat rentan terhadap infeksi karena adanya disfungsi organ spesifik seperti pada
keadaan disfungsi limpa atau pada keadaan asplenia serta pada keadaan gagal hepar atau
gagal ginjal. Rusaknya epitel sistem pernapasan atau gastrointestinal juga dapat
menyebabkan masuknya organisme patogen.20
Tabel 6. Predisposisi Sepsis pada Pasien dengen Imunokompromais
Defek PatogenRusaknya barier fisik
Yang berhubungan dengan kateter vena
Mukositis Oral
Spesies StaphylococcusBasil gram negatifStreptococcus viridansSpesies CandidaHerpes simpleksCapnocytophagiaStomatococcus
Granulositopenia Staphylococcus aureusStaphylococcus koagulase negatifStreptococcus viridansEnterococcusBasil gram negatif enterik non enterikSpesies AspergillusFusarium
Kerusakan Imunitas Seluler Virus HerpesRespiratory Sincytial virusVirus influenzaVirus parainfluenzaMikobakteriaSpesies fungalToksoplasmaPneumocystis
Kerusakan Imunitas Humoral Streptococcus pneumoniaHaemophillus influenzae
Defek Komplemen Defisiensi C5, C6, C7 atau C8 Defisiensi C3
Neisseria meningitidisS. pneumoniaS. aureus
Fungsi Organ terganggu Hipofungsi limpa S. pneumonia
H. influenzaeN. meningitides
11
Penyakit hepar kronis Sindrom nefrotik
Gram negatif basil enterikS. pneumonia
Sumber: Allen UD, 200520
FAKTOR PREDISPOSISI SEPSIS PADA ANAK DENGAN KANKER DAN
IMUNODEFISIENSI DIDAPAT NON-HIV
Penerima Donor Organ Solid
Pada keadaan ini infeksi yang penting adalah infeksi oleh CMV terutama yang menerima
donor hepar. Penerima transplan juga sangat rentan terhadap infeksi oleh Epstein-Barr Virus
(EBV), virus herpes simpleks atau virus herpes tipe 6. Penerima transplan anak dapat
mempunyai risiko tinggi infeksi oleh EBV karena terjadi gangguan limfoproliferatif setelah
transplantasi yang sering terjadi bila donor adalah seropositif tapi penerima adalah
seronegatif. Infeksi bakteri dan jamur juga sangat penting pada keadaan ini terutama pada
pasien yang dirawat di rumah sakit lama, kolonisasi bakteri yang telah ada sebelumnya,
perawatan intensif, kateter intravaskuler dan ventilasi mekanik. Kolonisasi jamur pada
penerima transplan dapat meningkatkan risiko bakteri invasif.5,20
Pasien yang menerima Terapi Imunomodulator/Imunosupresif
Pasien-pasien yang mengalami imunodefisiensi bukan karena infeksi sangat bervariasi
berdasarkan penyakit dasar dan tingkat keparahan defisiensi imun yang dialami pasien. Pada
pasien-pasien ini risiko sepsis berhubungan dengan defek imun spesifik yang diderita pasien
baik itu yang memerlukan tindakan pemberian obat-obatan atau yang memerlukan tindakan
operasi. Beberapa contoh agen imunosupresif adalah terapi pada penderita kanker,
kortikosteroid, azathioprine, inhibitor calcineurin, antibodi anti sel T spesifik dan antibodi
monoklonal anti-sitokin. Pemberian obat-obatan ini sebenarnya ditujukan untuk menekan
atau menghilangkan efek pada komponen respon imun yang spesifik, tetapi ternyata
pemberian agen ini justru dapat mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi karena penekanan
terhadap sistem imun.20 Seperti pada pemberian kortikosteroid dapat meningkatkan risiko
sepsis dengan menghilangkan kemampuan fagositosis dan kemampuan bakterisidal dan
fungisidal yang menyebabkan infeksi sistemik.23
Pasien Kanker dan Penerima Donor Stem Cell
Telah diketahui penderita kanker dapat mengalami neutropenia yang meningkatkan risiko
sepsis dibandingkan yang tidak mengalami neutropeni. Namun, risiko ini bergantung pada
12
penyakit keganasan yang mendasari dan intensitas pemberian kemoterapi. Dikatakan bahwa
pada pasien dengan neutropenia, risiko rendah sepsis diindikasikan bila absolute neutrophil
count (ANC) > 100 sel/mm3, penemuan radiologis toraks normal dan tidak terdapat
keterlibatan hepar atau ginjal. Pada pasien yang menerima stem cell transplan mempunyai
risiko yang tidak jauh berbeda dengan yang menerima transplan organ solid. Respon immun
pada penerima transplan ini dapat memperlihatkan pengembalian respon imun yang
progresif, namun dapat juga terlambat sehingga memerlukan pemberian imunosupresi. Risiko
sepsis pada pasien ini bergantung pada kecepatan respon imun yang kembali dan tingkat
perlu tidaknya pemberian imunosupresif.5,20
Pasien Sakit Kritis
Kedaan sakit kritis sering melibatkan aktivasi urutan reaksi inflamasi yang harus dihentikan
agar pasien dapat bertahan. Pada respon terhadap suatu stres, sitokin proinflamatori seperti
tumor necrosis factor-α (TNF-α); interferon; dan interleukin-1 (IL-1), IL-6 dan IL-12
diproduksi bersama agen antiinflamasi seperti IL-10 dan reseptor TNF. Produksi IL-10
berhubungan dengan downregulation dari ekspresi molekul kompleks histokompatibilitas
mayor kelas II (Human Leucocyte Antigen (HLA)-DR) pada permukaan monosit, tapi bukan
sel B. Bila akibat downregulation ini berkepanjangan maka akan timbul kondisi yang
dinamakan imunoparalisis. Tertekannya fungsi monosit/makrofag akan menurunkan klirens
kompleks imun, gagalnya kemampuan presentasi antigen (antigen-presenting) dan
berkurangnya fungsi natural killer (NK). Imunoparalisis ditentukan dalam pemeriksaan
laboratorium dengan berkurangnya ekspresi antigen HLA-DR pada monosit darah perifer dan
penurunan produksi TNF-α sebagai respon terhadap paparan lipopolisakarida (LPS).
Imunoparalisis sering terlihat pada pasien trauma, pasien yang menjalani prosedur bedah
saraf dan pada pasien yang menjalani operasi by-pass kardiopulmonal.6
Pasien-pasien yang mengalami sakit kritis mengalami risiko tinggi terhadap infeksi
sistemik. Hal ini didasarkan bahwa pada pasien-pasien ini menjalani perawatan intensif
dengan tindakan yang invasif sehingga merusak barier fisik pasien, seperti pemasangan
kateter, ventilasi mekanik, pemasangan kateter intravena, tindakan operasi atau tindakan
13
invasif lainnya.6,21 Penyebab keadaan imunosupresif pada pasien dengan imunokompromais
adalah: 21
1. Perubahan sub populasi limfosit sehingga predominasi oleh Th2.
2. Anergi~ kurangnya reaksi terhadap perangsangan immun.
3. Hilangnya sel-sel imunitas adapatif karena apoptosis.
4. Efek imunosupresif langsung dari sel-sel apoptosis.
5. Hilangnya jaringan limfoid.
6. Berkurangnya ekspresi MHC kelas II (HLA DR) pada makrofag.
7. Efek Obat.
8. Produksi sitokin antiinflamatori.
9. Sebab lain termasuk neuroendokrin, metabolik dan perubahan hormonal .
Perhitungan jumlah total limfosit diukur pada 22 anak turun drastis mencapai nadir
pada saat enam jam setelah anestesi untuk suatu operasi besar dengan penyembuhan
sempurna sampai 48 jam. Walaupun kebanyakan anak dengan disfungsi imun akan sembuh
dalam beberapa waktu, tatalaksana kondisi yang mendasari atau penghentikan pemberian
imunosupresan pada anak yang lain tidak memberikan penyembuhan. Fenomena ini
berhubungan dengan gagal organ multipel dan kematian. Sebagai contoh, hitung limfosit
absolut kurang dari 1000 sel/µL selama tujuh hari berhubungan dengan peningkatan risiko
kematian sebanyak enam kali lipat pada satu penelitian. Pada pasien neutropenia dengan
sepsis, granulocyte stimulating factor (G-CSF) mengurangi kecenderungan kematian; namun
pada pasien tanpa neutropenia hanya satu penelitian clinical trial yang menunjukkan
keuntungan. Selama keadaan imunoparalisis, interferon yang merupakan aktivator mayor
monosit berkurang.6
FAKTOR PREDISPOSISI SEPSIS PADA ANAK DENGAN INFEKSI HIV
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sindrom klinis yang merupakan akibat
dari infeksi HIV-1 (dan jarang disebabkan HIV-2), yaitu retrovirus RNA tergantung pada
transkriptasi berbalik (reserve transcriptase) untuk replikasi. Setelah replikasi virus HIV, sel
T pembantu akan mengalami apoptosis yang menyebabkan defisiensi sangat berat imunitas
seluler dan humoral. Infeksi HIV pada anak kebanyakan disebabkan transmisi dari ibu ke
anak, maka imunodefisiensi didapat timbul pada host yang mempunyai sistem imun yang 14
murni dan yang mempunyai imunitas natural yang sedikit. Hal ini menjelaskan mengapa
progresifitas infeksi HIV yang pendek untuk menjadi AIDS pada anak yang terinfeksi HIV
perinatal dibandingkan pada anak yang terinfeksi HIV yang terjadi setelah usia dua tahun.
Terapi antiretrovirus dapat secara efektif mengembalikan disfungsi imun ini.6,24,25 Defek yang
berhubungan dengan fungsi limfosit, aktivitas sel pembunuh, aktivitas bakterisital netrofil
dan defek produksi imunoglobin spesifik antigen, selain akan meningkatkan fraksi total
globulin, juga akan meningkatkan predisposisi terhadap sepsis bakterial terutama bakteri
berkapsul seperti Streptococcus pneumonia.26
Banyaknya kematian yang berhubungan dengan AIDS pada kelompok usia anak
(490.000 tahun 2003) memperlihatkan dengan jelas bahwa anak-anak yang mendapat infeksi
HIV perinatal mengalami progresifitas cepat menjadi AIDS dibandingkan dengan penderita
dewasa. Progresifitas yang cepat menjadi AIDS menggambarkan terdapatnya infeksi saat
kurang matangnya sistem imun yang telah menginvasi sistem imun maternal.26
Infeksi pernapasan merupakan sebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak
dengan infeksi HIV dan pada anak yang mendapat entiretroviral atau yang tidak terdiagnosis,
PJP atau pneumonia bakterial merupakan kondisi yang paling pertama terlihat. Penyebabnya
adalah PJP timbul pada usia 2-6 bulan dan walaupun jumlah CD4 yang rendah meningkatkan
risiko PJB, tapi jumlah CD4 yang normal juga tidak memberikan proteksi terhadap PJP. Di
negara berkembang angka PJP mempunyai rentang antara 10% pada bayi dengan infeksi HIV
yang dirawat di Rumah Sakit (RS) dengan pneumonia dan 38% memerlukan ventilasi
mekanik. Insidensi pneumonia karena S. Pneumonia yang didapat di komunitas diperkirakan
40 kali lebih besar pada anak dengan infeksi HIV dan bakteriemia ditemukan 15% kasus,
sekitar dua kali lebih sering pada anak dengan infeksi HIV. Peningkatan juga ditemukan pada
pnemonia karena H. Influenza tipe B setelah PJP.24,25,26 Di negara-negara berkembang bila
tidak terdapat fasilitas untuk diagnostik, tetap harus memberikan antibiotik empiris dengan
segera. Resistensi terhadap preparat sulfa menjadi kendala pada pasien yang gagal
memberikan respon terhadap terapi kotrimoksazol, tetapi sampai saat ini terapi kotrimoksazol
masih efektif pada sebagian besar pasien dengan pneumocystis. Pemberian kontrimoksazol
saat terapi antiretroviral terbukti meningkatkan ketahanan.26
Anak dengan infeksi HIV mempunyai risiko relatif yang tinggi terhadap infeksi virus
pada sistem pernapasan bawah termasuk RSV. Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada
anak dua puluh kali lebih sering pada anak dengan infeksi HIV dan tinggi risiko untuk
mengalami resistensi terhadap obat tuberkulosis.14,16 Selain itu, kandidiasis mukosal adalah
15
infeksi jamur yang paling sering menyerang anak yang terinfeksi HIV dan dapat meluas ke
laring, trakea dan esofagus. Di negara berkembang, kandidiasis laringotrakeal sering
ditemukan menjadi penyebab obstruksi saluran pernapasan atas pada anak dengan keadaan
antiretroviral-naive.21,24,26
Komplikasi Organ Spesifik pada Infeksi HIV
Kardiovaskular
Sebelum era Highly Active AntiRetroviral Teraphy (HAART), sering ditemukan komplikasi
berupa henti kardiorespiratorius, disritmia dan kardiomiopati pada anak dengan HIV kurang
dari 1 tahun dan hal ini berhubungan dengan perkembangan penyakit. Namun, walaupun
begitu kelainan kardiovaskular dapat ditemukan segera setelah lahir.24-26
Nonkardiovaskular
Di negara-negara berkembang, sering ditemukan anemia ang berhubungan dengan status
imunologi dan mortalitas. Walaupun sering ditemukan limfopenia dan neutropeniaa, namun
keadaan ini sulit ditentukan dengan adanya efek dari sepsis, steroid dan toksisitas obat.
Komplikasi dan menifestasi neurologis karena HIV dapat menyebabkan sulitnya penilaian
gejala sisa karena sepsis pada anak dengan infeksi HIV. Ensefalopati karena HIV,
berhubungan dengan hilangya kemampuan perkembangan, atrofi serebral, defisit motorik dan
didapatkan pada > 20% kasus anak yang mendapat infeksi vertikal. 24-26
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pasien dengan imunokompromais mempunyai karakteristik yaitu
mengalami infeksi berulang, manifestasi yang tidak biasa dari infeksi patogen tertentu dan
timbulnya infeksi jamur.27 Tanda klinis yang utama pada imunodefisiensi mempunyai
tendensi untuk memperlihatkan gejala infeksi yang tidak biasa atau berulang dan berat. Anak
sekolah normal biasanya mengalami infeksi 6-12 kali pertahun dengan 3 atau 4 kali adalah
infeksi telinga, yang biasanya tidak berat dan terbatas infeksi saluran napas atas karena virus,
faringitis sterptokokal berulang dan otitis media ringan.28 Terdapat tanda peringatan yang
dipublikasikan oleh Jeffrey Modell Foundation untuk mencurigai bila seseorang mengalami
defisiensi sistem imun, terutama pada kasus di luar rumah sakit yaitu: 27
16
1. Delapan kali atau lebih infeksi telinga dalam satu tahun.
2. Dua kali atau lebih sinusitis dalam satu tahun.
3. Dua bulan atau lebih pemakaian antibiotik dengan efek tidak bermakna.
4. Dua kali atau lebih kejadian pneumonia dalam satu tahun.
5. Abses kulit dalam berulang.
6. Kegagalan bayi dalam kenaikan berat badan atau perkembangan yang terlambat.
7. Oral trush yang persisten atau pada tempat lain setelah usia satu tahun.
8. Kebutuhan atas antiobiotik intravena untuk suatu infeksi.
9. Dua atau lebih infeksi berat seperti meningitis, osteomielitis, selulitis atau sepsis.
10. Riwayat keluarga dengan PID.
Infeksi berulang yang karena imuodefisiensi didefinisikan berdasarkan bila pasien
memerlukan antibiotik, terjadi rekurensi setelah antibiotik dihentikan, keparahan dan sekuele,
usia kurang dari 6 bulan dan lebih dari 3-5 tahun, tempat infeksi dan patogen yang berbeda.27
Sumber lain mengatakan indikator yang sering digunakan para klinisi untuk
mencurigai suatu keadaan disfungsi imun dilihat dari infeksi yang didapat oleh pasien dan
bagaimana infeksi itu didapatkan. Manifestasi infeksi pada keadaan imunodefisiensi sering
mengenai sistem pernapasan, pencernaan dan kulit. Dan pada keadaan ini sering pasien
memperlihatkan manifestasi yang sangat berat seperti sepsis bakterialis berat, infeksi
berulang atau infeksi yang tidak biasa. Beberapa infeksi bila ditemukan mengindikasikan
suatu kelainan imunologis seperti infeksi PJP.20
Adanya keadaan imunodefisiensi dipertimbangkan bila terdapat gejala pneumonia,
otitis media, sinusitis, bronkitis, septikemia atau meningitis berat dengan infeksi oportunisitik
yang biasanya tidak patogen atau patogen seperti P. jirovecii, Candida atau CMV). Infeksi
yang didapatkan biasanya berulang dengan interval sembuh yang pendek. Anak dengan
imunodefisiensi primer biasanya memperlihatkan delapan atau lebih infeksi telinga, dua atau
lebih infeksi sinus yang serius, dua atau lebih pneumonia, abses berulang atau infeksi pada
tempat yang tidak biasa, infeksi jamur persisten seperti oral trush dalam satu tahun.28
Manifestasi Klinis Pasien dengan Infeksi HIV
Gambaran penyakit karena infeksi HIV termasuk onset penyakit yang bervariasi dan
mempunyai rentang yang sangat besar. Bayi muda dapat memperlihatkan tanda dan gejala
infeksi HIV yang berat sehingga dicurigai didapat dari ibu saat hamil. Sementara kasus yang
lain anak dengan infeksi HIV dapat tidak memperlihatkan gejala sampai bertahun-tahun.25
Setelah pengenalan profilaksis PCP, sepsis berat menjadi alasan paling sering pasien AIDS 17
dirawat di ICU. Dari episode bakteremia yang teridentifikasi organisme penyebabnya di
Pediatric AIDS Clinical Trials Group, sebanyak 69% adalah pneumokokus.6
Infeksi pada anak dengan infeksi HIV dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu infeksi
biasa dan infeksi oportunistik. Gejala klinis yang sering didapatkan karena infeksi pada
penderita HIV adalah termasuk bakteremia, infeksi saluran kemih, pneumonia dan infeksi
jaringan dan kulit. Streptococcus pneumoniae merupakan isolat paling sering ditemuka pada
anak HIV yang disertai demam dan terjadi sekitar sepertiga dari bakterimia yang terjadi.
Selain itu anak penderita HIV juga sering memperlihatkan insidensi yang meningkat
terjadinya otitis media akut dan kronis, sinusitis dan penumonia berulang yang sering
disebabkan H. Influenza dan Moxarella catarrhalis. Pneumonia akibat virus pada anak dengan
HIV sering disebabkan oleh Respiratory sincytial virus (RSV), parainfluenza, influenza A
dan B dan adenovirus.15 Anak dengan imunosupresi diketahui mengidap patogen virus seperti
RSV dan influenza untuk periode waktu yang lebih lama, dan karena itu infeksi virus
nosokomial dapat menjadi masalah signifikan apabila praktek pengendalian infeksi tidak
dilaksanakan.6
Disfungsi jantung terjadi pada 19% sampai 25% anak yang terinfeksi HIV dan
merupakan gejala yang membawa pasien untuk berobat pada sebagian kecil anak. Sekitar
10% populasi yang disurvei mengalami gagal jantung kongestif kronik, sedangkan 10%
lainnya memiliki fungsi ventrikel yang berkurang sementara. Komplikasi jantung tampaknya
terjadi lebih sering pada pasien dengan ensefalitis dan penyakit lainnya yang berkembang
cepat. Karena takikardia dan hepatomegali umum didapatkan pada pasien anak dengan AIDS
yang mengalami panas badan, infeksi paru, dan anemia, diagnosis klinis keterlibatan jantung
sulit dibuat. Pembesaran siluet jantung dapat tidak diperhatikan bahkan pada pasien yang
mengalami hipertrofi otot atau efusi perikard yang signifikan.6
Infeksi virus yang sering ditemukan pada penderita HIV adalah infeksi virus herpes
simpleks yang bermanifestasi sebagai gingivostomatitis atau dapat asimptomatik. Reaktivasi
infeksi virus herpes ini pada anak dengan disfungsi imun terutama infeksi HIV memberikan
manifestasi klinis yang berat dan berulang. Pada keadaan infeksi HIV interval antara infeksi
primer dan reaktivasi bisa sangat dekat sampai beberapa minggu dengan komplikasi viseral
yang berat. Infeksi CMV dapat ditemukan pada 60% anak dengan HIV dan sering tidak
memperlihatkan gejala, namun dapat memberikan gejala pneumonia, hepatitis, ensefalitis,
mielitis, gastritis dan korioretinitis.5
18
Infeksi oportunistik yang klasik adalah infeksi P. jirovecii atau P. carnii yang
manifestasi klinisnya tergantung dari status imun, usia terutama < 1 tahun dan sebagian besar
bayi terinfeksi antara usia 4-6 bulan. Demam dapat hilang timbul dengan disertai gejala
takipnea, dispnea dan batuk. Tanda utama yang sering dikeluhkan orang tua adalah kesulitan
pemberian makan dan hipoksia dapat progresif menjadi kematian bila tidak mendapat terapi.
Infeksi Mycobacterium avium kompleks (MAC) merupakan penyebab utama kehilangan
berat badan yang progresif selain demam, keringat malam, kehilangan berat badan, nyeri
abdomen dan anemia yang sering memerlukan transfusi berulang.15 Walaupun peningkatan
pengenalan dan pengobatan dari PJP telah meningkatkan prognosis, tetap saja keadaan ini
berhubungan dengan resiko tinggi terjadinya kematian. Pasien AIDS dengan peningkatan
usaha nafas, hipoksia, dan foto rontgen thoraks yang normal harus diduga PJP sampai
terbukti tidak dan terapi antibiotik harus dimulai segera.22,23
Infeksi jamur oportunistik yang sering ditemukan pada anak dengan infeksi HIV
adalah kandidiasis oral hingga orofaringeal. Infeksi jamur yang sering ditemukan sering
diakibatkan karena Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, Aspergillus fumigatus,
Malassezia furfur dan lain-lain. Infeksi parasit yang sering ditemukan pada infeksi HIV
adalah infeksi Toxoplasma gondii yang sering bermanifestasi sebagai ensefalitis yang
kemungkinan karena reaktivasi kista pada jaringan otak. Sedangkan untuk gejala
gastrointestinal bermanifestasi sebagai diare dan kolangitis.6,24,25
Nefropati HIV pertama kali dilaporkan pada tahun 1983 dan mungkin sering
ditemukan sebagai manifestasi awal AIDS. Komplikasi ini umumnya timbul antara usia 2,5 –
4,9 tahun. Gejala paling sering disfungsi ginjal adalah proteinuri berat (>3,5 g/hari) disertai
hipoalbuminemia dan edema anasarka. Hal ini mungkin berhubungan dengan asidosis tubulus
ginjal. Creatinine clearance biasanya normal. Pasien-pasien AIDS mengalami keluhan-
keluhan gastrointestinal termasuk difagia, sakit perut dan diare kronis, tetapi di ICU masalah
ini tidak terlalu penting kecuali bila mempengaruhi status gizi. Komplikasi-komplikasi yang
lainnya yang juga mengancam terhadap jiwa termasuk dehidrasi berat, intra-abdominal
sepsis, pankreatitis, dan gagal hati. Anemia terjadi pada anak yang terinveksi HIV sekitar
20% hingga 73% dan ini merupakan prediktor independen kematian dari AIDS. Sebagian
besar pasien yang terinfeksi virus memiliki ukuran dan bentuk normal eritrosit tetapi
retrikulosit tidak memadai. Penurunan zat besi kemungkinan berhubungan dengan
malabsorbsi diperkirakan sekitar 10% hingga 45% anemia pada anak yang terinfeksi HIV.
Kurang gizi atau nutrisi vitamin B dan asam folat juga berkontribusi pada terjadinya anemia.
19
Banyak pengobatan-pengobatan yang diberikan kepada para pasien yang mengidap AIDS
menyebabkan anemia termasuk ZDV, asiklovir, TMP-SMX dan pentamidine.6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk investigasi infeksi pada pasien dengan supresi sistem imun memerlukan indentifikasi
sebab infeksi dan tingkat imunosupresi. Yang paling mudah dilakukan dengan pemeriksaan
darah lengkap yang dapat memperlihatkan populasi leukosit pada hitung jenis. Dengan hitung
jenis dapat dilihat kelainan spesifik. Neutrofil mempunyai peran besar dalam pertahanan
melawan bakteri dan proteksi terhadap jamur dan virus, jumlah ANC dapat dijadikan
prediktor risiko infeksi yaitu bila ANC turun < 1 x 106/L. Hitung total limfosit yang rendah
dapat terlihat pada pasien dengan infeksi HIV dan pada pasien dengan depresi sumsum
tulang, pasien dengan pemberian steroid. Pemeriksaan CD4 dapat digunakan sebagai
indikator prognostik pada pasien dengan infeksi HIV dan AIDS bersama dengan viral load.
Pemeriksaan darah yang sangat penting juga adalah pemeriksaan kultur, PCR pada HIV, CRP
dan prokalsitonin.21
Pemeriksaan pencitraan dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber infeksi tapi
tidak dapat mengidentifikasi patogen. Pemeriksaan radiografi dapat memperlihatkan adanya
gambaran infeksi tuberkulosis atau bronkiektasis yang berhubungan dengan tingkat
imunosupresif. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menyingkirkan adanya pneumonia dan
dapat dilakkan di ICU. CT skan kepala sangat berguna untuk menemukan abses intrakranial
dan adanya infeksi jamur invasif (Invasive Fungal Infection=IFI). MRI digunakan terutama
pada pasien dengan gangguan neurologis.21
Diagnosis AIDS memerlukan konfirmasi infeksi HIV dan definisi penyakit AIDS.
Definisi penyakit AIDS termasuk penemuan nonspesifik seperti panas badan, penurunan
berat badan, limfadenopati atau diare lebih dari dua bulan dan penemuan spesifik seperti
ensefalopati, pneumonitis limfoid interestitial (LIP), infeksi oportunistik, infeksi berulang dan
keganasan.6,24,26
TATALAKSANA
Tatalaksana sepsis/syok septik pada pasien imunokompromais sebenarnya tidak mempunyai
perbedaan dengan sepsis/syok septik pada pasien tanpa kelainan sistem imun. Sampai saat ini
tidak ada panduan baru yang khusus membahas tatalaksana sepsis/syok septik pada pasien
20
imunokompromais. Namun, perbedaan tatalaksana ada pada pemilihan antibiotik, pemberian
terapi anti jamur dan pemberian terapi tambahan lain.
Pemberian Antibiotik dan Antibiotik Profilaksis
Pemberian antibiotik pilihan pada pasien dengan imunosupresi harus termasuk agen dengan
aktivitas luas terhadap basil gram negatif (termasuk Pseudomonas aeruginosa) ditambahkan
dengan agen yang terbukti melawan S. aureus resisten metisilin, seperti vankomisin.
Penggantian vankomisin dengan linezolid harus dipertimbangkan pada institusi yang kasus
sepsis sering disebabkan oleh enterokokus yang resisten vankomisin. Pada pasien dengan
neutropenia direkomendasikan pemberian antibiotik ganda terhadap bakteri gram negatif
untuk meyakinkan eradikasi. Hal ini dapat dipertimbangkan pada pasien imunokompromais
namun secara empiris belum dapat dibuktikan memberikan keluaran yang lebih baik.
Berbagai institusi antibiotik ganda yang diberikan imipenem/meropenem dengan
fluorokuinolon atau aminoglikosid.23,24
Antibiotik profilaksis yang sering diberikan adalah trimetoprim-sulfametoksazol pada
pasien HIV untuk profilaksis terhadap PJP berdasarkan hitung CD4. Dosis yang paling baik
digunakan adalah 150/750 mg/m2/hari diberikan 1-2 kali sehari tiga kali dalam seminggu.
Bila PJP ternyata tegak kombinasi ini diberikan setiap hari. Untuk profilaksis terhadap MAC
diberikan pada anak dengan imunosupresi lanjut dengan obat pilihan adalah klaritromisin 7,5
mg/kg dua kali sehari peroral atau azitromisin (20 mg/kg seminggu sekali peroral atau 5
mg/kg sehari sekali peroral). Pemberian profilaksis ini dapat dihentikan bila pasien
mengalami perbaikan sistem imun (biasanya dalam 6 minggu) dengan HAART. Setiap anak
yang tegak terinfeksi HIV harus dilakukan pemeriksaan uji kulit tuberkulin pada usia satu
tahun dan diulang tiap dua tahun.24 Mycobacterium avium-intracellulare complex (MAC)
dapat ditemukan pada paru anak dengan pneumonia. Kolonisasi sulit dibedakan dari penyakit
invasif. Pilihan terapi meliputi Clarithromycin dikombinasi dengan ethambutol, rifabutin,
atau amikacin. Profilaksis primer sekali seminggu dengan azithromycin dianjurkan pada anak
usia lebih dari dua tahun dan kurang dari 1 tahun dengan hitung CD4 secara persisten di
bawah 75. Anak usia antara 1 dan 2 tahun harus menerima profilaksis apabila nilai CD4
kurang dari 50.6
Pemberian Anti Jamur
21
Pemberian obat antijamur harus diberikan sesegera mungkin bila terdapat risiko infeksi jamur
yang sering terjadi pada pasien imunokompromais. Patogen jamur yang sering menyebabkan
syok septik adalah Candida, Cryptococcus, Histoplasma dan Coccidioides dapat
menyebabkan sepsis dan syok septik. Agen yang paling baik adalah Amphotericin B. Terapi
empiris infeksi jamur pada pasien demam dan neutropenia adalah amphotericin B,
voriconazole, caspofungin (Tingkat A-B), untuk Aspergilosis invasif diberikan voriconazole
(Tingkat B), pada kandidiasis luas diberikan ampotericin B, ampotericin liposomal,
flukonazol atau caspofungin.(tingkat A) beberapa penelitian random memperlihatkan bahwa
voriconazole memberikan respon tinggi dibandingkan dengan Amphotericin B untuk terapi
aspergilosis invasif probable/proven dan merupakan antijamur pilihan. Untuk kandidiasis
invasif, Infectious Disease Society of America (IDSA) merekomendasikan Amphotericin B
atau flokonazol untuk kandidemia.23 Pada pasien dengan neutropenia, bila terjadi
sepsis/demam yang berlangsung lebih dari 48 jam dengan pemberian antibiotik spektrum luas
maka harus dipertimbangkan pemberian antijamur.21
Infeksi fungal pada kandidiasis oral diberikan antijamur yaitu nistatin oral 200.000 U
(2 mL) untuk 6-12 hari, dapat juga diberikan flukonazol 1-2 mg/kg/hari empat kali sehari
peroral atau ketokonazol 3-5 mg/kg/hari peroral dua kali sehari.8 Cryptococcosis terjadi pada
5% sampai 15% dewasa tetapi hanya 0,6% sampai 1% anak. Organisme ini memasuki tubuh
melalui saluran napas. Oleh karena itu, gejala awanya pada kedua paru dan nonspesifik.
Cairan lavase bronkoalveolar harus diperiksa dengan pewarnaan tinta India dan dibiak.
Biakan darah dan aglutinasi lateks juga diperlukan. Terapi yang dianjurkan adalah
amphotericin B yang dikombinasikan dengan 5-flucytosine (100 mg/kg/hari) selama 2
minggu diikuti pemberian flukonazol (12 mg/kg/hari dibagi dalam dua dosis) selama 8
minggu berikutnya.6
Pemberian Terapi Lain
Infeksi virus pada penderita dengan disfungsi imun dapat menyebabkan kematian. Beberapa
virus dapat diidentifikasi namun hanya sebagian dapat diterapi. Hanya sedikit kasus dengan
infeksi virus dapat menyebabkan sepsis dan syok septik tanpa keterlibatan organ spesifik.
Sehingga beberapa pendapat mengatakan antivirus spesifik pada pasien dengan syok septik
tidak dibenarkan. Tapi disisi lain infeksi virus pada organ tertentu dapat menyebabkan
kematian dan gagal organ, sehingga pada pasien dengan infeksi virus dengan keterlibatan
organ dapat dipertimbangkan pemberian antivirus sambil menunggu hasil pemeriksaan lebih
22
lanjut, tetapi tetap harus dipertimbangkan toksisitas dan keuntungannya.23(Tingkat E) Terapi
penyakit CMV pada AIDS, selain HAART, adalah gansiklovir 5 mg/kg diberikan 2 kali
sehari dilanjutkan dengan terapi supresi jangka panjang.6 Terapi antivirus diberikan bila
dicurigai adanya infeksi virus oportunistik.22 Tabel 6
Pemberian Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) diindikasikan pada pasien dengan
neutropenia (Tingkat E), pada sepsis neonatus (tingkat B) dan pada pasien dengan
imunokompromais. (tingkat E) Memang pemberian komponen ini belum memperlihatkan
perbaikan keluaran namun memperlihatkan berkurangnya durasi neutropeniaa sekitar satu
hari dan menurunkan penggunaan antibiotik. Pemberian G-CSF dan GM-CSF pada sepsis
neonatus memperlihatkan keberhasilan dengan atau tanpa adanya neutropeniaa. Pemberian
kortikosteroid pada sepsis atau syok septik pada pasien imunokompromais masih belum
diketahui efektivitasnya.(tingkat E) Namun pemberian kortikosteroid direkomendasikan pada
diberikan pada dosis stres selama sepsis bila ditemukan keadaan insufisiensi renal.6,23
Steroid diberikan pada infeksi PJP pada PJP moderat sampai berat (PaO2<70 mmHg atau
A-a gradient >35 mmHg):22
>13 tahun: prednison 40 mg/dosis PO 2 kali sehari selama 5 hari, selanjutnya 40 mg
PO 4 kali sehari selama 5 hari, selanjutnya 20 mg PO 4 kali sehari sampai selesai
pemberian terapi antimikroba
<13 tahun: prednison 2 mg/kgbb/hari peroral selam 7 -10 hari, ditapering off pada
hari 10-14.
Terapi untuk PJP ini harus dimulai dalam 72 jam pertama dari saat pemberian antibiotik.
Tabel 7. Pemberian Antivirus pada Pasien Imunokompromais/AIDS
Varicella Acyclovir 30 mg/kgBB IV tiap 8 jam 7-10 hari atau 80 mg/kg PO 4 kaliSehari selama 7-10 hari
Rubeola acyclovir 30 mg/kg IV tiap 8 hari selama 7-10 hari
CMV Ganciclovir 10 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis tiap 12 jam selama 14 hari, selanjutnya 5 mg/kg IV selama 5 hari
Influenza A amantadine selama 2-5 hari
23
<9 tahun 5 mg/kgbb/hari PO dibagi 1-2 dosis maksimal 150mg/hari>9 tahun dan < 40 kg. 200 mg/hari dibagi 2 kali perhari
Sumber: Lieh-Lai MW, McGeorge KAL, Bautista MCA, Reid C, 200122
24
Status imunokompromais?Penggunaan steroid kronisKemoterapiNeutropeniaMalnutrisiHIV positifRiwayat trasplantasi organ
Infeksi bakteriYa Tidak Infeksi jamur, virus, parasit,
bakteri oportunistik menjadi patogen
Faktor resiko untuk infeksi pada pelayanan kesehatan:ResidenBaru menjalani perawatan DialisisHome care atau kunjungan ke
klinik RS
YaTidak
Pertimbangkan antibiotik sensitive terhadap patogen di komunitasMetisilin sensitive Stap. AureusEscherichia coliHaemophilus influenzaStreptococcus pneumoniaLegionella pneumonia
Pertimbangkan resistensi terhadap kuman patogen nosokomialMetisilin resistant Stap. AureusPseudomonas aeruginosaVancomicin resistant- EnterococcusAcinebacter baummaniiESBL producing Klebsiella pneumoniaESBL producing Escherichia coli
Terapi untuk kecurigaan Legionella: tunggal + kombinasiCeftriaxonAtauAmpisilin/sulbactamAtau ErtapenemDitambahFlouroquinolon atau
makrolide jika diperlukan
Diperlukan terapi kombinasi:Cefalosporin
(cefepime/ceftazidime)Atau
Carbapenem (imipenem/meropenem)Atau
Betalactamase inhibitor (piperacillin-tazobactam)Ditambah
MRSA (vancomisin, linezolide, tigecycline)
Antibiotik spectrum sempit berdasarkan organisme
Agoritma 1. Pilihan antibiotik awal pada sepsis berat dan syok sepsisSumber: Morrell MR, Micek ST, Kollet MH, 2009.29
PENCEGAHAN INFEKSI PADA PASIEN DENGAN IMUNOKOMPROMAIS
Infeksi pada anak dengan imunokompromais tidak dapat sepenuhnya dicegah mengingat
defek sering terjadi pada lebih dari satu komponen sistem imun. Pada pasien-pasien yang
tidak dirawat yang mengalami disfungsi imun, orang tua harus dijelaskan untuk menjaga
higiene seperti mencuci tangan, menghindari makan makanan yang kurang termasak,
menghindari minum air sungai, danau atau berenang di air yang tidak bersih, menghindari
kontak dengan binatang peternakan serta menghindari bermain dengan binatang peliharaan
seperti kucing.5 Pemberian vaksinasi dapat membantu mencegah beberapa infeksi bakteri dan
dapat sangat penting pada pasien dengan imunokompromais. Imunisasi pada keadaan ini
harusnya diberikan sebelum diberikan terapi lain seperti sebelum diberikan HAART yang
dapat mempengaruhi sistem imun anak. Pemberian vaksinasi inaktivasi yang dianjurkan
harus diberikan pada anak dengan keadaan ini. Sementara pemberian vaksin hidup
dipertimbangkan diganti dengan alternatif lain.5,24
Insidensi infeksi nosokomial pada perawatan intensif 15-40% merupakan konsekuensi
dari tindakan invasif yang diberikan pada pasien seperti, pembuatan luka untuk kateter
intraveana, pemasangan ventilator dan pemasangan kateter yang kesemuanya dapat
menyebabkan perubahan pada flora normal tubuh pasien. Intervensi yang paling penting
ternyata adalah mencuci tangan dengan cara biasa atau dengan menggunakan gel alkohol, hal
ini bila dilakukan sangat signifikan mengurangi transmisi bakteri. Isolasi pasien yang
berpotensi menular sangat diperlukan untuk mencegah infeksi silang.21,24 Isolasi sangat
25
penting terutama pada kasus yang transmisinya melalui droplet atau udara, namun pada
kolonisasi silang yang disebarkan dengan kontak hanya dapat diturunkan dengan mengubah
kebiasaan pada staf baik itu dokter atau perawat seperti penggunaan masker, sarung tangan
bersama dengan kebiasaan mencuci tangan.21
Ruangan tempat perawatan intensif merupakan tempat reservoar organisme yang
resisten. Gorden, dinding, lantai dan pendingin adalah sumber infeksi potensial. Peran
pembersihan ruangan dan dekontaminasi sangat penting. Hydrogen peroxide vapour saat ini
menjadi pilihan untuk dekontaminasi ruangan tetapi hanya bisa dilakukan di ruang tertutup
karena toksisitas pada manusia yang besar. Organisme MRSA sebaliknya tidak dapat
dibersihkan hanya dengan pembersihan dengan cara biasa.21
Untuk menghindari infeksi pada pasien dengan imunokompromais, salah satunya
dengan pemberian antibiotik yang tepat. Hal ini perlu dipertimbangkan bersama ahli
mikrobiologi dan penyakit infeksi.
RINGKASAN
Pasien-pasien dengan keadaan imunodefisiensi/imunokompromais atau pasien-pasien dengan
infeksi HIV dan AIDS sangat rentan terhadap infeksi dan sepsis karena defek imun yang
menyebabkan respon imun terhadap infeksi lebih tidak cukup baik dalam melawan organisme
yang masuk. Pada keadaan ini manifestasi infeksi dapat memperlihatkan gejala yang lebih
berat dibandingkan dengan pada keadaan tanpa disfungsi imun. Sebab terbanyak keadaan
imunokompromais adalah infeksi HIV dan AIDS, yang pada saat ini insidensinya semakin
meningkat. Pada keadaan seperti ini, sepsis dapat menyebabkan keluaran yang buruk pada
pasien-pasien dengan defisiensi imun. Penanganan pasien-pasien ini biasanya lebih kompleks
dan membutuhkan lebih dari satu macam pengobatan bahkan memerlukan pengobatan
profilaksis. Dalam hal ini pencegahan terjadinya infeksi sekunder atau oportunistik pada
pasien-pasien imunokompromais sangatlah penting untuk mencegah terjadinya sepsis yang
menyebabkan angka kematian pada keadaan ini meningkat. Salah satu upaya pencegahan
yang bisa dilakukan adalah menjaga higiene dan pemberian pengobatan yang tepat
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Enrion MA, Powell KR. Sepsis, septic shock, and systemic inflammatory respon
syndrome. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia. Elsevier-Saunders. 2008. h.
1094-9.
2. Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, etal: The epidemiology of severe sepsis in
children in the United States. Am J Respir Crit Care Med 2003; 167:695–701.
3. Khilnani P, Deopujari S, Carcillo J. Recent advances in sepsis and septic shock. Indian
Journal of Pediatr. 2008; 75: 821-30.
4. Kisson N, Carcillo JA, Espinosa V, Argent A, Devictor D, Madden M, dkk. World
federation of pediatric intensive care and critical care society: global sepsis initiative.
Pediatr. Crit Care Med. 2011; 12(5): 494-503.
5. Michaels MG, Green M. Infections in immunocompromised persons. Dalam: Kliegman
RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. penyunting. Nelson textbook of pediatrics.
Edisi ke-18. Philadelphia. Elsevier-Saunders. 2008. h. 1100-7.
6. McLaughin GE, Argent AC. Acquired immune dysfunction. Dalam: Fuhrman BP,
Zimmerman JJ, Carcillo JA, Clark RSB, Relvas M, Rotta AT,dkk. penyunting. Pediatric
critical care. Edisi ke-4. Philadelphia. Elsevier-Saunders. 2011.h. 1302-14.
7. Cruse JM, Lewis RE. Atlas of immunology. Edisi ke-2. Florida. Taylor & Francis. 2004
27
8. Steele RW. Clinical handbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-3. New York.
Informa Healthcare. 2007.
9. Weiller CR, FulbrightJLB. Common variable immunodeficiency: test indications and
interpretation. Mayo Clin Proc. 2005; 80(9): 1187-200.
10. Van Amersfoort ES, Van Berkel TJC, Kuiper J. Receptors, mediators, and mechanisms
involved in bacterial sepsis and septic shock. Clin Microbiol Rev. 2003; 16:379-414.
11. Remick DG. Pathophysiology of sepsis. AJP. 2007; 170:1435-44.
12. Daniels R. Pathophysiology of sepsis. (Diunduh tanggal 2 Februari 2008). Tersedia dari
URL:http://www.Library.nhs.uk/emergency
13. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Eng J Med.
2003; 348:138-50.
14. Russel JA. Management of sepsis. N Engl J Med. 2006; 355: 1699-1713.
15. Muszinsky JA, Hall MW. Sepsis-induced innate and adaptive immune supression. The
Open Inflammation Journal. 2011; 4: 67-73.
16. Sriskandan S, Altman DM. The immunology of sepsis. J Pathol. 2008; 214: 211-23.
17. Poll TV, Opal M. Host-pathogen interactions in sepsis. Lancet Infect Dis. 2008;8: 32-
43.
18. Siqueiera-Batista R, Gomes AP, Lima LC, Vitorino RR, Perez MCA, Mendonca EG,
dkk. Sepsis: an update. Rev Bras Ter Intensiva. 2011; 23(2): 207-16.
19. LaRosa S. Sepsis.[diunduh tanggal 9 November 2011]. Tersedia dari URL:
http://www.clevelandclinicsmed.com/
20. Allen UD. Factors influencing predisposition to sepsis in children with cancer and
aquired immunodeficiencies unrelated ti human immunodeficiency virus infection.
Pediatr Crit Care Med. 2005; 6(3): S80-6.
21. Phelan D, Robulotta F, Hinds C, Brown K. Immunocompromised patients; clinical
problems. Update 2010. Patient-centered acute care training. European society of
intensive care medicine. [diunduh tanggal 28 Oktober 2011]. Tersedia dari URL:
http://pact.esicm.org/
22. Lieh-Lai MW, McGeorge KAL, Bautista MCA, Reid C. Pediatric acute care. 2001
23. Gea-Banacloche JC, Opal SM, Jorgensen J, Carcillo JA, Sepkowitz KA, Cordonier C.
Sepsis associated with immunosupressive medication: an evidence-based review.
Pediatr Crit Care Med. 2004; 32(11): S578-90.
28
24. Yogev R, Chadwick EG. Aquired immunodeficiency syndrome (human
immunodeficiency virus). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF.
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia. Elsevier-Saunders.
2008. h. 1427-43.
25. Domachowske JB. Pediatric human immunodeficiency virus infection. Clin. Microbiol.
Rev. 1996; 9(4): 448-68.
26. Hatherill M. Sepsis perdisposition in children with human immunodeficiency virus.
Pediatr Crit Care Med. 2005; 6(3): S92-8.
27. Sorensen RU. Infections that suggest an immunodeficiency. [diunduh tanggal 25
Oktober 2011]. Tersedia dari URL: http://www.medschool.lsuhsc.edu/Pediatrics/
28. Rote NS. Alteration in immunity and inflamation. Dalam: McCance KL, Huether SE,
Brahsers VL, Rote NS. Pathophysiology; the biologic basis for disease in adult and
children. Edisi ke-6. Missouri. Mosby-Elsevier. 2010. h. 256-92.
29. Morrell MR, Micek ST, Kollet MH. The management of severe sepsis and septic shock.
Infect Dis Clin N Am. 2009; 23: 485-501.
29
Lampiran 1
Ya tidak
Syok septik
DIC
meningitis
gagal nafas
ya tidak
30
PASIEN DENGAN AIDS DAN DEMAM
Lihat ABCsOksimetriO2
Monitor BP
Tampak sakitRiwayat infeksi beratNilai CD4 rendahNeutropiaPemasangan kateter
TerapiDitentukan oleh tempat dan
sumberKurangnya perbaikan dengan
terapi yang adekuat mungkin menunjukkan perlunya pemeriksaan tambahan
Untuk bakteri rekuren pertimbangan profilaksis
TMP-SMX 150 mg/m@ PO 2x/hari
Leukosit >25.000/mm3 atau temperatur >40oC
Pertimbangkan rawatAntibiotik POMonitor dan nilai ulang
PulangkanFollow up dalam 24 jam
B
D
C
Algoritma 1. Pasien AIDS dengan DemamSumber: Lieh-Lai MW, McGeorge KAL, Bautista MCA, Reid C, 200122
PASIEN DENGAN AIDS DAN DEMAMPengambilan spesimen yang baik dan benar , penting untuk meningkatkan kemampuan diagnosis (kultur)Bakteri patogen yang seringDarah Streptococcus pneumonia
Haemophillus inflenzaeSalmonella sp.Escherichia coli
Urine dan feses Escherichia coliKulit/ jaringan lunak Staphylococcus aureus
Streptococcus viridans
Bakteri patogen yang utama pada anak penderita HIV sama dengan anak sehat yang imunokompeten, akan tetapi insidensi infeksi bakteri lebih besar dibandingkan anak yang tidak menderita HIV
Sepsis yang berhubungan dengan pemasangan kateter vena sentral biasanya akibat staphylococcus aureus dan stphylococcus epidermidis, infeksi yang berhubungan dengan kateter dapat diterapi tanpa melepaskan kateter.
INFEKSI OPPORTUNISTIKBakteri mycobacterium avium complexInfeksi jamur candidiasis oral, candidiasis esofagus, candidiasis disseminated
Cryptococcus neoformans, Aspergillus sp., histoplasma capsulatumCoccidioides immitis
Protozoan Pneumocystis carinii, toxoplasma gondiiViral herpes virus (CMV, Varicella-Zoster)
Diagnosis infeksi dengan paremeter klinis lebih sering dilakukan dibandingkan hasil dari kultur. Pneumonia akut adalah diagnosis klinis paling sering pada keadaan infeksi berat. Prinsip penanganan harus dibedakan dengan pasien immunokompeten
31
A
B
C
Anak penderita HIV dengan batuk lebih dari 2 minggu dan pilek harus dievaluasi untuk sinusitisOtitis media adalah infeksi minor yang sering terjadi dan dapat resisten terhadap pengobatan. Patogen yang sering meliputi streptococcus pneumonia, Haemophillus influenzae, dan streptococcus group A-β hemolitikus.
DIAGNOSTIKDarah : Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis, elektrolit, BUN, kreatinin, Ca, LDH,LFTs, Faktor pembekuan, analisis gas darah, CD4 Urine : Urin lengkapFeses : Parasit dan ova, rotavirus, shigella, salmonella, campylobacter, cryptosporodia. CMV, isosporasepsis : virus, jamur, kultur micobakterium pada darah, urin, CSF, bakteri aerob dan anaerob.Lain-lain : radiologi thorax, sinus, PPD
Syok
Gagal Napas
Akut Kronis
Radiografi dada
32
D
PASIEN DENGAN AIDS DAN DUGAAN KETERLIBATAN PARU
RR ↑, SpO2 <90%, wheezing, crakles, retraksi, demam, batuk non produktif
Batuk, wheezing, hipoksia, clubbing jari,parotitis,limfadenopati,hepatosplenomegali
Lihat ABCs, Oksimetri,O2
Monitor BP
LDH normal <250 IU/L
Pertimbangkan
C etiologi
bakteri Ceftriaxone 50
mg/kg IV tiap 12 jam
Jika riwayat infeksi gram negatif (+) cefepime 150 mg/kgBB IV tiap 8 jam max 6 g/24 jam
Atau Ceftazidime 150
mg/kgBB tiap 8 jam max 6 g/24 jam
Ditambah Tobramycin, jika
infeksi strain yang resisten 80-160 mg nebulisasi tiap 8
Normal atau interstitial difus
LDH >500 IU/L A-a gradient >30
Consider PCP
D
TMP/SMX 20
mg/kgBB/hari
E
Pertimbangkan Pentamidine 4 mg/kg
BB IM/IV
BAL
F
kortikosteroid
G
Interstitial reticulonodular
LDH <250-500 IU/L
Consider LIP
H
Prednison 2 mg/kg BB/hari
Selama 2-4 minggu, tapering off 1
mg/kg/hari saat respon adekuat atau saat SpO2 menjadi normal
terapi adjuvant bronchodilator fisioterapi dada
Normal atau mediastinal limphadenopati, atelektasis, efusi pleura
LDH normal PPD (+) (-) jika anergi Pertimbangkan
mycobacteria Isoniazid (INH) 10-15
mg/kg PO Ditambahkan Rifampisin 10-20 mg/kg
PO Ditambahkan Pirazinamide (PZA) 20-
40 mg/kgBB PO Triple terapi untuk 2
bln, selanjutnya INH, rif selama 10 bln
BAL, aspirasi sumsum tulang dan gaster untuk basil tahan asam kultur untuk konfirmasi
diagnostik
I
A
B
Jika tidak ada perbaikan setelah 24-48 jam
Algoritma 2. Pasien AIDS dengan Dugaan Keterlibatan ParuSumber: Lieh-Lai MW, McGeorge KAL, Bautista MCA, Reid C, 2001
Lampiran 2PASIEN AIDS DAN DUGAAN KETERLIBATAN PARUPasien AIDS dapat menderita gangguan pernafasan akibat pneumonia oleh bakteri, virus, infeksi oportunistik, penyakit saluran nafas reaktif, lymphoid interstitial pneumonitis (LIP), atau kardiomiopati, infeksi oprtunistik termasuk pneumocystis carinii pneumonia (PCP), mycobacterium-avium intracellulare compleks (MAC), aspergillosis, legionella, dan nocardia.
Selalu pikirkan kecurigaan tinggi kearah PCP pada psien dengan AIDS dengan gejala distres nafas akut dan hipoksia (SpO2 < 90% dan PaO2 <60 mmHg pada oksigen ruangan)
Patogen yang dapat menyebabkan pneumonia bakteri adalah: streptococcus pneumonia, Haemophillus influenzae tipe B, streptococcus group A, staphylococcus aureus, mycoplasma pneumoniae, branhamella catarrhalis, dan bakteri gram negatif termasuk pseudomonas ssp. Dan klebsiella spp. Jangan bergantung pada jumlah leukosit untuk mendiagnosis infeksi pada pasien dengan AIDS.
Infeksi paling sering terjadi pada pasien AIDS bayi <1tahun dan infeksi oportunistik pada anak HIV adalah pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Sebagian besar bayi terinfeksi antara usia 4-6 bulan. Secara klinis muncul dengan tanda perburukan yang cepat daei hipoksemia. Walaupun peningkatan pengenalan dan pengobatan dari PCP telah meningkatkan prognosis, tetap saja keadaan ini berhubungan dengan resiko tinggi terjadinya kematian. Pasien AIDS dengan peningkatan usaha nafas, hipoksia, dan foto rontgen thorax yang normal harus diduga PCP sampai terbukti tidak. Terapi antibiotik harus dimulai segera.
Pemberian TMP-SMX dihubungkan dengan efek samping: kemerahan pada kulit, neutropenia, trombositopenia, anemia aplastik, abnormal LFTs, sindroma steven-johnson, dan gangguan fungsi ginjal. Pentamidine umumnya diberikan pada anak yang tidak meneloransi pemberian TMP-SMX atau gagal dengan terapi
33
A
B
C
D
E
F
Pertimbangkan etiologi virus Pertimbangan infeksi fungal ampoterisin B 0,5 mg/kgBB selama 4-6 minggu
J K
Bronchoalveolar lavage (BAL) aman dan sensitif untuk mendiagnosis PCP. Pewarnaan wright-Giemsa biasa digunakan untuk tes skrening cepat. Pewarnaan Methenamine silver dan immunofluorescent direk dengan antibodi monoklonal (untuk deteksi formasi cystik) digunakan untuk menkonfirmasi hasil skrening. Hasil dapat tetap postif selama 72 jam setelah pemberian antibiotik. Tes untuk mengkonfirmasi penting dalam membuat diagnosis disamping pemberian profilaksis sekunder.
REKOMENDASI PEMBERIAN STEROID UNTUK PENGOBATAN PCPIndikasi- PCP moderat sampai berat (PaO2<70 mmHg atau A-a gradient >35 mmHg)
>13 tahun: prednison 40 mg/dosis PO 2 kali sehari selama 5 hari, selanjutnya 40 mg PO 4 kali sehari selama 5 hari, selanjutnya 20 mg PO 4 kali sehari sampai selesai pemberian terapi antimikroba
<13 tahun: prednison 2 mg/kgbb/hari peroral selam 7 -10 hari, ditapering off pada hari 10-14.
Terapi harus dimulai dalam 72 jam pertama dari saat pemberian antibiotik.
Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP) adalah komplikasi yang umum pada AIDS, predominan pada anak. Karekateristiknya adalah hipoksia yang progresif lambat dengan takipnea ringan, batuk, clubbing jari. Dihubungkan dengan limfadenopati general, pembesaran kelenjar parotis, dan hepatosplenomegali (penyakit hati kronik). Diagnosis berdasarkan klinis dihubungkan dengan batuk persisten (>2 bulan) retikulonodular atau interstitial tanpa konsolidasi pada rontgen thorax atau CT scan dada. Biopsi paru jarang dilakukan untuk menentukan diagnosis. BAL mungkin dibutuhkan untuk menyingkirkan infeksi.
Sangat penting untuk melakukan pemeriksaan BAL, biopsi dari spesimen pada tes susceptibilitas.
Anak dengan AIDS lanjut memiliki resiko untuk infeksi luas dengan mycobacterium avium complek (MAC), biasanya demam, kehilangan berat badan, keringat malam, nyeri abdomen, hepatosplenomegali, dan anemia.
Pneumonia akibat virus termasuk respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus, rubella, varicella, dan citomegalovirus (CMV)
MANIFESTASI KLINISUmum :DemamLeher : Pembesaran kelenjar parotis, pilek, limfodenopatiPernafasan : Takipnea, rales, wheezing, ronki, retraksi, batukGIT : HepatosplenomegaliEktremitas : Clubbing jari
DIAGNOSTIKDarah : Analisis gas darah (hitung A-a gradien), LDH, cold aglutinin (Mycoplasma), Kultur, BAL, kultur, PCP
34
G
H
I
J
Lain-lain : Radiografi dada, CT dada, biopsi paru. PPD dengan tes anergi, nasal RSVKultur : Bakteri aerob, anaerob, viral, jamur, mycobacterium, parasit.
Lampiran 3
Syok
DIC
Gagal Ginjal Akut
35
PASIEN IMUNOKOMPROMAIS DENGAN DEMAM
ANC < 500NeutropeniaPost kemoterapiCeftazidime150 mg/kbBB 3x/hariAtauCefepime 150
mg/kgBB/hari 3 x/hariDitambahVancomycin 40
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
DEFESIENSI IMUNOGLOBULIN
SCIDHypogammaglobinemia
Setelah infus IVIG, Pertimbangkan sebagai
pasien imunokompetenAsplenia Sickle cell anemiaSpenectomyCeftriaxone100 mg/kgBB IV tiap 12
jam
CD4 < 200HIVT cell defesiensi
Ceftriaxone100 mg/kgBB /hari tiap
12 jam
Pertimbangkan bactrim 20 mg/kg BB/hari IV tiap 6 jam
IVIG 400 mg/kgBB/bulan IV
Nilai ulang secara berkalaUbah antibiotik berdasarkan hasil kultur dan resistensiTambahkan antijamur dan atau antivirus berdasarkan faktor yang mendasari atau derajat kecurigaan adanya infeksi jamur atau virusBeberapa pasien memerlukan drainase abscessJika infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter vena sentral, pertimbangkan ekokardiogarafi untuk menentukan vegetasi. Tidak ada kesepakatan apakah infeksi vena sentral dapat dilepaskan. Jika kateter tidak dilepaskan, dan kateter yang digunakan multi lumen, pastikan antimikroba dimasukkan kedalam semua bagian.
Lihat ABCs, Oksimetri,O2
Monitor BP
A
B
C D
C
Algoritma 3. Demam pada keadaan ImunokompromaisSumber: Lieh-Lai MW, McGeorge KAL, Bautista MCA, Reid C, 2001
ANAK IMMUNOCOMPROMAIS DENGAN DEMAM
Anak imunocompromised: individu yang memiliki pagositik abnormal, fungsi imune selular dan humoral yang menjadikannya retan tehadap infeksi dan komplikasi oportunistik.
Pasien yang kehilangan membran mukosa dan kulit juga rentan terhadap komplikasi infeksi.
Demam akibat infeksi pada paseien imunokompromised merefleksikan keadaan emergensi medik atau bedah.
Penyebab utama keadaan imunokompromised: Gangguan sel B- X-linked (brotun) agammaglobulinemia- Variabel imunodefesiensi yang umum- IgA defesiensi Gangguan sel T- DiGoerge (thymic hypoplasia)- X-linked imunodefesiensi dengan hiper IgM- Defek produksi sitokin- Defek aktivasi sel T Kombinasi penyakit sel B dan T- Kombinasi immunodefesiensi (CID atau nezelof syndrom)- Hipoplasia rambut kartilago- Severe combined immunodefeciency (SCID)- Iskott-aldrich syndrome- Ataxia-telangectasia- Hiper IgE sindrome Defek sistem komplemen Neutropenia kongenital
36
A
B
Penyakit granulomatosis kronik Sindroma chediak-higashi Asplenia congenital
Sekunder atau imonokompremised yang didapat: Splenektomi atau autospelenktomi (sicle sel disease) Kemoterapi dengan neutropenia resultan (ANC<500/mm3) HIV/AIDS Immunosuppressive terapi Malnutrisi.
Kehilangan integritas mukosa dan kulit Kateter indwelling atau shunt Luka bakar Trauma
Organisme berhubungan dengan infeksi pada imunokompromised sekunderKondisi Organisme
Splenektomi, autosplenektomi, asplenia
Organisme encapsulated: s. Pneumonia, N. Meningitides, H. InfluenzaeParasit: malaria
HIV/AIDS Bakteri: s. pneumoniae, salmonella, psedomonas, mycobacteriaViruses: HSC, CMV, Varicella-Zoster, EBV, RSV, adenovirus, parainfluenzae virusJamur: candida(terutama pada anak), cryptococcus, histoplasma.Pneumocystis carinii, toxoplasma, cryptosporidia
Kemoterapi berhubungan dengan neutropenia
Gram positif dan negatif bakteri HSV candida, jamur
Transplantasi sumsum tulang Gram positif dan negatif bakteri HSV candida, jamur
Transplantasi organ Transplantasi ginjal—gram negatifTranplantasi hati – organisme enterikEnterococcus resisten vancomisin – assending colangitis
Kateter indwelling dan shunt Bakteri gram postif, terutama koagulase positif stapilococcus.
Manifestasi klinisUmum : keadaan imunosupresi: kemoterapi, imunosupresi, penyakit sickle sel,
penggunaan steroid kronik: demama, hipotemia, menggigil.
37
C
Kulit : petekie, purpura, kemerahan pada kulit, indurasi atau pus pada daerah kateter.Kardiovaskular: takikardia, nadi yang tidak stabil, perfusi yang menurun, hipotensi(lanjut)Respirasi : takipnea, distres nafas, gruntung, sianosisGIT : nyeri abdomen, pembengkakan, abscess perirectal, hindari pemeriksaan
rektal tetapi secara visula diperlukan.
DiagnostikDarah : darah lengkap, hitung jenis, ekeltrolit, BUN, kreatinin, glukosa, kultur (kultur dari Tempat insersi kateter disertai pengambilan dari kultur dari perifer).Urin : urinalisis, kultur, pewarnaan gramLain-lain : kultur luka, punksi lumbal bila diperlukan, rontgen thorax, pewarnaan gram.
Lampiran 4
Tabel Terapi AspergilosisInfeksi sistemik dan SSP
Infeksi yg tidak terlalu berat
Voriconazole
Dengan atau tanpa: CaspofunginAlternatif: Amphoterisin B (lipid complex) atau amphoterisin B (liposomal)
ItraconazoleAtauAmphotericin B
IV: 14 mg/kg/hari setiap 12 jamPO: 2-12 tahun: 400mg/hari 2x sehari, pemberian minimal selama 6 minggu
70mg/m2 pada hari pertama, kemudian 50mg/m2 setiap 24 jam. 5-10mg/kg/hari IV, infuse selama 3-4 jamPemberian minimal selama 6 minggu
5-10mg/hari IV/PO 2x sehari
0,25-0,5mg/kg inisiasi, ditingkatkan sesuai toleransi sampai dengan 1-1,5 mg/kg/hari; infus sebagai dosis tunggal selama lebih dari 2 jam
Sumber: Steele RW, 2007
Tabel Terapi BlastomycosisInfeksi sistemik yang berat
Infeksi SSP
Itraconazole
Amphoterisin B (lipid complex) atau amphoterisin B (liposomal)Alternative: Fluconazol
Amphoterisin B
2.5 mg/kg/hari 2x sehari, atau 5-10mg/kg/hari PO setiap 24 jam5-10mg/kg/hari IV, infus selama 3-4 jamPemberian minimal selama 6 minggu
12 mg/kg/hari dosis tunggal
0,25-0,5mg/kg inisiasi, ditingkatkan sesuai toleransi sampai dengan 0.5-1.5 mg/kg/hari; infus sebagai dosis tunggal selama lebih dari 2 jam
38
Untuk infeksi ringan-sedang
FluconazolAtauItraconazole
3-6 mg/kg/hari dosis tunggal
5-10mg/hari IV/PO 2x sehari
Sumber: Steele RW, 2007
Tabel Terapi ChromomycosisInfeksi sistemik
Itraconazole solnAlternatifTerbinafine PO
PO 5 mg/kg/hari setiap 24 jam dikumur dan ditelan, selama 12 bulan< 20 kg: 67,5 mg/hari20-40 g: 125 mg/hari.> 40 kg: 250mg/kg/hari
Sumber: Steele RW, 2007
Lampiran 5Tabel Terapi Coccidoidomycosis
Infeksi sistemik
Infeksi SSP
Amphoterisin B AtauAmphoterisin B liposomal atau Amphoterisin B lipid complexAtauFluconazolAtauItraconazole soln(osteomyelitis)
Fluconazol
1 mg/kg/hari IV, setiap 24 jam
5 mg/kg/hari IV setiap 24 jam
6-12 mg/kg IV/PO, setiap 24 jam
5-10 mg/kg/hari setiap 24 jam
12 mg/kg IV, setiap 24 jam untuk 30 hari
Sumber: Steele RW, 2007
Tabel Terapi KandidiasisInfeksi sistemik infesi disseminata
Infeksi traktus urinariusOrofaring atau esophageal
Amphoterisin B AtauAmphoterisin B lipid complex AtauFluconazol
Amphoterisin B
Fluconazol
ClotrimazoleAtauFluconazolatau
0.5-0.75 mg/kg/hari IV, setiap 24 jam
3-5 mg/kg/hari IV setiap 24 jam
6-12 mg/kg IV/PO perhari selama 2-4 minggu
3-6 mg/kg/hari dosis tunggal IV atau PO selama 7 hari
10 mg troche PO 5x/hari selama 7 hari
3-6 mg/kg/hari dosis tunggal PO selama 5 hari39
Infeksi SSP
Itraconazole soln
Amphoterisin BDitambah
Flucytosine
PO 5 mg/kg/hari setiap 24 jam dikumur dan ditelan, selama 5 hari
0,25-0,5mg/kg inisiasi, ditingkatkan sesuai toleransi sampai dengan 0.5-1.5 mg/kg/hari; infus sebagai dosis tunggal selama lebih dari 2 jam100-150 mg/kg/hari PO setiap 6 jam. Maksimum 150 mg/kg setiap 24 jam—adjust untuk level serum 40-60 mcg/mLLama: minimal 30 hari, guiding dengan CT atau MRI
Sumber: Steele RW, 2007
Lampiran 6Tabel Terapi Cryptococcosis
Infeksi sistemik
Infeksi SSP
FluconazolAtauAmphoterisin B AtauAmphoterisin B liposomal atau Amphoterisin B lipid complex
Amphoterisin BDitambahFlucytosine
Dilanjutkan dengan Fluconazol
12 mg/kg IV/PO, setiap 24 jam selama 6-12 minggu
1 mg/kg/hari setiap 24 jam
3-5 mg/kg/hari setiap 24 jam
0.5-0.7 mg/kg/hari IV, setiap 24 jam
100 mg/kg/hari PO setiap 6 jam selama 6 minggu
100 mg/kg/hari IV/PO setiap 24 jam selama 10 minggu
Sumber: Steele RW, 2007
Tabel Terapi FusariumInfeksi sistemik
Voriconazole
AlternatifAmphoterisin B
IV: 6-8 mg/kg/hari setiap 12 jam untuk 1 hari selanjutnya 7 mg/kg setiap 12 jamPO: 8 mg/kg/hari setiap 12 jam untuk 1 hari selanjutnya 7 mg/kg setiap 12 jam
1-1.5 mg/kg/hariSumber: Steele RW, 2007
Tabel Terapi HistoplasmosisInfeksi sistemik
Amphoterisin B Atau
1 mg/kg/hari , setiap 24 jam
40
Infeksi SSP
Amphoterisin B liposomal atau Amphoterisin B lipid complexAtauFluconazol
Amphoterisin B
Dilanjutkan dengan:Fluconazol
3-5 mg/kg/hari setiap 24 jam
5 mg/kg/hari PO soln perhari selama 6-12 minggu
0,25-0,5mg/kg inisiasi, ditingkatkan sesuai toleransi sampai dengan 0.5-1.5 mg/kg/hari; infus sebagai dosis tunggal selama lebih dari 2 jam, untuk 2-3 minggu
12 mg/kg/hari PO setiap 24 jam untuk 6 bulanSumber: Steele RW, 2007
41