senin, 21 februari 2011 | media indonesia mampukah uu ... filepada 8 februari 2011, komisi informasi...
TRANSCRIPT
PADA 8 Februari 2011, Komisi Informasi Pusat (KIP) mengabulkan permohonan LSM Indonesia Corruption Watch (ICW), agar Mabes Polri menyebutkan namanama pemilik dan besaran 17 rekening milik pejabat tinggi (pati) secara terbuka ke publik.
Namun, putusan KIP itu tak sertamerta menghentikan perseteruan antara Polri versus ICW. Polri akan mengajukan banding, dan ICW siap meladeninya.
Keberadaan rekening milik sejumlah pati Polri ini tersingkap ke hadapan publik melalui tulisan Majalah Tempo edisi 28 Juni4 Juli 2010.
Disebutkan adanya enam jenderal polisi dan beberapa perwira menengah yang memiliki rekening bank berisi puluhan miliar bahkan hingga Rp54 miliar, padahal gajinya tidak sampai Rp10 juta per bulan.
ICW lalu meminta kepada KIP untuk membuka informasi tersebut karena Polri menolak memberikan kejelasan tentang siapa pemilik rekening terse
but. LSM ini sebenarnya sudah meminta informasi pemilik 23 rekening pati Polri. Namun, hanya enam rekening yang dikabulkan. Sisanya, sebanyak 17 rekening di antaranya tidak bisa dibuka. Alasan penolakan Polri, ke17 rekening itu masih wajar.
Setelah melewati serangkaian sidang ajudikasi nonlitigasi, putusan KIP akhirnya memenangkan gugatan ICW. KIP memerintahkan agar namanama pemilik dan besaran 17 rekening pati Polri dibuka ke publik.
“Memutuskan, mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya. Memerintahkan termohon (Mabes Polri) memberi informasi ke pemohon,” kata Ketua KIP Alamsyah Saragih.
Majelis hakim KIP menilai bahwa dalil yang digunakan Polri tidak memadai untuk dijadikan alasan penolakan.
Dalil yang digunakan Polri merujuk pada Pasal 10 A UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Disebutkan, aparat dalam melaksanakan tugasnya
wajib merahasiakan laporan dan dokumen yang mereka terima.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar,
kepada Media Indonesia, di Jakarta, Kamis (17/2) mengatakan, membuka informasi nama dan besaran nilai rekening sama dengan mengungkap rahasia pribadi.
“Tidak bisa disebarluaskan, karena menyangkut privasi orang,” ujar Boy.
Akan tetapi, bagi ICW, sikap penolakan Polri untuk membuka informasi adalah bentuk
ketertutupan kepolisian dalam penanganan perkara.
Pejabat publikAktivis ICW Tama Satrya
Langkun mengatakan, alasan membocorkan rahasia pribadi sebenarnya tidak bisa berlaku untuk pejabat publik, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 18 UU KIP No 14 Tahun 2008.
“Tidak berlaku untuk pejabat publik. Polisi kan pejabat publik. Secara definisi sudah jelas, kemudian para saksi ahli yang ada di persidangan pun mengatakan demikian,” sergahnya.
Kedua pihak, yakni Polri dan ICW, mengaku akan mempertahankan argumentasi masingmasing hingga terbit putusan banding.
Majelis hakim KIP memberikan kesempatan kepada kedua pihak untuk memasukkan memori banding, selamalamanya 14 hari kerja setelah putusan dibacakan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Putusan yang sama dikeluarkan majelis KIP dalam sidang sengketa informasi antara ICW
dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, pada 15 November 2010.
Sengketa bermula dari permintaan ICW untuk membuka dokumen surat pertanggungjawaban (SPJ) dan kuitansi penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional pendidikan (BOP) di lima SMP negeri di Jakarta.
Namun, permintaan ICW itu ditolak oleh kepala sekolah dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Alasannya, informasi itu hanya bisa dibuka oleh pihak yang berkompeten.
KIP akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan ICW karena dalam persidangan ditemukan fakta bahwa tidak ada larangan dari pihak dinas pendidikan kepada sekolah untuk membuka dokumen.
Kepala Seksi Manajemen SMP Dinas Pendidikan DKI Jakarta Lardi melemparkan tanggungjawab itu ke5 SMP tersebut. “Nah, masalah SPJ itu kan di sekolah masingmasing.” tukas Lardi. (*/P4)
SEBUAH meja setengah bundar dilengkapi tiga kursi diletakkan di pojok
sebelah kiri gedung belakang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Jakarta Pusat.
Tata letak ruangan dibuat serupa konter layanan pelanggan di bank. Faktanya, tempat itu merupakan tempat pelayanan informasi publik, yang buka SeninJumat pukul 9.0015.00 WIB.
Saat Media Indonesia mendatangi tempat itu, Kamis (17/2), seorang petugas tampak sibuk melayani permintaan informasi, baik mengatasnamakan individu maupun lembaga, yang langsung datang ke gedung tersebut.
Sebuah formulir berisi pertanyaan mengenai keterangan pribadi pemohon informasi dan alasan mengajukan permintaan adalah dokumen pertama yang harus diisi pelapor. Petugas itu meminta fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) pelapor.
Selesai menjalani prosedur yang ada, petugas kemudian memberikan informasi yang diminta saat itu juga karena mereka memiliki cadangan buku yang memuat informasi tersebut.
“Pola seperti ini memudahkan kami yang juga mengerjakan tugas seharihari. Awalnya, orang setiap saat keluar masuk ruangan kantor untuk mencari informasi. Dengan penempatan seperti ini, pekerjaan kami yang lain tidak terganggu,” kata pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kemenkominfo, Gatot S Dewabroto. PPID wajib dimiliki badan publik sebagaimana amanat UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Gatut mencatat setidaknya ada 30 permintaan informasi setiap bulan. Untuk informasi berkategori dikecualikan, Gatot mengaku, ada perlakuan khusus. “Misalnya, Anda meminta laporan hasil pemeriksaan (LHP) kepada saya. Saat saya akan memberikan pada Anda, saya harus melihat UU yang lain terkait pemeriksaan dan pengelolaan negara. Aturannya di situ adalah boleh diketahui publik setelah diserahkan kepada DPR. Jadi, UU KIP sendiri masih menghormati UU yang lain,” jelas Gatot.
Digedor duluBagaimana dengan
pelayanan informasi di DPR? Ruang Pengelola Informasi dan Dokumentasi yang disediakan DPR, terletak di
lantai 1,5 Gedung Nusantara 3 di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.
Sepuluh komputer disediakan untuk mengakses informasi, beberapa petugas siap memberi bantuan apabila ada masyarakat yang datang dan membutuhkan informasi.
Akan tetapi, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penyediaan informasi DPR masih kurang cepat. Seperti ketika ICW meminta data dan informasi mengenai perjalanan dinas sejumlah komisi. Lewat dua bulan, setelah digedor dengan pengajuan sengketa, barulah informasi yang diminta ICW diberikan.
“PPID DPR belum memiliki format baku yang standar, karena dari lima laporan yang diterima, disampaikan dengan cara berbedabeda. Sekarang, data yang diminta sudah dikasih. Jadi, kami mencabut permohonan sengketa,” kata Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan, Jumat (18/2).
Informasi yang ditagih ICW, antara lain, perjalanan Badan Kehormatan ke Yunani dan Turki, Badan Urusan Rumah Tangga ke Prancis, Komisi X ke Afrika Selatan, dan Komisi IV ke Belanda.
Ketua PPID DPR Helmizar mengakui lambannya respons mereka. “Kami masih mencari bentuk. Apalagi, PPID di sini baru ada sekitar Agustus 2010. Pengumpulan informasi memang agak lama,” jelasnya.
Namun, ia terus melakukan sosialisasi dan memberikan penjelasan kepada para karyawan dan pejabat di DPR. Helmizar boleh berbangga. Atas upayanya itu, DPR termasuk salah satu dari lima unit yang proaktif menyediakan informasi menurut catatan Komisi Informasi Pusat (KIP). Penyediaan informasi melalui
website baru dirintis dua bulan lalu.
Sepanjang 2010, Wakil Ketua PPID Suratno membeberkan, permohonan yang masuk tercatat ada 38 permintaan informasi. Informasi yang diminta kebanyakan risalah rapat, kehadiran anggota dewan, pengadaan barang dan jasa serta daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA).
Berbeda dengan apa yang terjadi di Kejaksaan Agung (Kejagung). Institusi penegak hukum ini belum bergerak secepat Kemenkominfo dan DPR dalam menyediakan informasi publik. Yang sudah dilakukan baru menunjuk PPID sementara pada Mei 2010.
“Sampai sekarang di Kejagung menerbitkan Peraturan Kejaksaan (Perja) Nomor 032/A/JA/08/2010 tentang Pelayanan Informasi Publik. Kemudian difollow up dengan membuat standar operasi dan prosedur,” cetus Kapuspenkum Kejagung Noor Rachmad.
Prosedur standar hingga kini masih diformulasikan, tapi belum jelas kapan aturan itu bisa segera diimplementasikan di lingkungan kejaksaan. Maka itu, jangan heran jika perjalanan UU KIP hampir setahun ini, Kejagung baru melayani tiga permintaan saja.
Lain lagi dengan standar layanan yang dimiliki LSM Imparsial yang bergerak dalam advokasi HAM. Mereka belum menerapkan aturan KIP secara formal. Tidak ada PPID. Permintaan informasi yang datang juga hanya tercatat jika dilakukan secara tertulis. Kalau hanya lisan, itu tidak pernah tercatat. (Din/Wta/P4)
asi yang dicatat Kemenkominfo. Evaluasi keseluruhan, rencananya baru akan dilakukan setelah genap setahun UU KIP, yakni April 2011.
Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hayono Isman mengutarakan, kebiasaan masa lalu yang serbatertutup, menjadi kerikil utama keterbukaan informasi.
Jadi, sebenarnya ini hanya soal perubahan pola pikir mind set. Satu catatan penting dilontarkan Hayono. Menurutnya, kultur ketertutupan badan
publik juga dipicu minimnya sosialisasi yang dilakukan Komisi Informasi Pusat.
DPR sendiri terus memantau implementasi dari UU KIP. Dalam UU KIP sudah jelas sanksi yang akan dijatuhkan pada badan publik yang menolak. “Mereka bisa dikenakan sanksi pidana. Sebelum kena kasus hukum, kita ingatkan kepada mereka yang menolak. Maklum, UU ini masih baru,” tutupnya.
Yang dikhawatirkan, ketidaktahuan tersebut kiranya jangan sampai menjalar ke pengadilan.
Sebab, pengadilan berfungsi menjadi tangan yudikatif yang memproses sengketa informasi yang ada. Kalau pengadilan tidak memiliki bekal dan pemahaman cukup, siasia apa yang diperjuangkan dalam UU KIP itu.
Hal itu disadari Kepala Bagian PerundangUndangan MA Ingan Malem Sitepu. “Ada ketua KIP dari daerah yang mengatakan hakim masih merasa asing dengan UU KIP itu. Sebenarnya kan tidak boleh begitu, sebagai hakim itu dituntut harus sudah tahu dan
paham,” ungkap Ingan saat ditemui di kantornya.
MA sendiri telah berencana sosialisasi untuk memberikan pemahaman UU KIP. Akan tetapi, ia menyadari, tanpa sosialisasi pun seharusnya hakim sudah memahami.
“Sejak diundangkan di lembaran negara artinya semuanya bisa mengetahui. Apalagi hakim dengan kaitannya tugas dia kan harus memahami. Tidak perlu harus menunggu pengarahan,” pungkasnya. (*/P4)
Mampukah UU Keterbukaan Menghadang Ketertutupan?
EKSEKUSI PUTUSAN KIP: ICW bersama sejumlah pewakilan orang tua murid yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Pendidikan (KAKP) mencari dokumen SPJ dana BOS dan BOP terkait eksekusi putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) di gedung Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Jumat (21/1).
ANTARA/FANNy OcTAviANus
Pola seperti ini memudahkan kami
yang juga mengerjakan tugas sehari-hari. Awalnya, orang setiap saat keluar masuk ruangan kantor untuk mencari informasi.”
Gatot S DewabrotoPengelola Informasi dan Dokumentasi Kemenkominfo
23 senin, 21 FeBRUARi 2011 | MeDiA inDOnesiAFokus polkamSeperti Layanan di Konter Bank
Duel Panas Badan Publik versus ICW
ANTARA
SUSU BERBAKTERI: Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih memerhatikan layar saat menjelaskan kasus susu formula yang tercemar bakteri, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR di gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (16/2).
mi/susANTO
Tema:Negara-Negara
arab Bergejolak
INTeRNaSIONaLSELASA (22/2/2011)
FOKUS