senin, 21 februari 2011 | media indonesia mampukah uu ... filepada 8 februari 2011, komisi informasi...

1
PADA 8 Februari 2011, Komisi Informasi Pusat (KIP) menga- bulkan permohonan LSM Indo- nesia Corruption Watch (ICW), agar Mabes Polri menyebutkan nama-nama pemilik dan besar- an 17 rekening milik pejabat tinggi (pati) secara terbuka ke publik. Namun, putusan KIP itu tak serta-merta menghentikan perseteruan antara Polri versus ICW. Polri akan mengajukan banding, dan ICW siap mela- deninya. Keberadaan rekening milik sejumlah pati Polri ini tersing- kap ke hadapan publik melalui tulisan Majalah Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010. Disebutkan adanya enam jen- deral polisi dan beberapa per- wira menengah yang memiliki rekening bank berisi puluhan miliar bahkan hingga Rp54 miliar, padahal gajinya tidak sampai Rp10 juta per bulan. ICW lalu meminta kepada KIP untuk membuka informasi tersebut karena Polri menolak memberikan kejelasan tentang siapa pemilik rekening terse- but. LSM ini sebenarnya sudah meminta informasi pemilik 23 rekening pati Polri. Namun, hanya enam rekening yang dikabulkan. Sisanya, sebanyak 17 rekening di antaranya tidak bisa dibuka. Alasan penolakan Polri, ke-17 rekening itu masih wajar. Setelah melewati serangka- ian sidang ajudikasi nonlitigasi, putusan KIP akhirnya meme- nangkan gugatan ICW. KIP memerintahkan agar nama- nama pemilik dan besaran 17 rekening pati Polri dibuka ke publik. “Memutuskan, mengabulkan permohonan pemohon seluruh- nya. Memerintahkan termohon (Mabes Polri) memberi infor- masi ke pemohon,” kata Ketua KIP Alamsyah Saragih. Majelis hakim KIP menilai bahwa dalil yang digunakan Polri tidak memadai untuk di- jadikan alasan penolakan. Dalil yang digunakan Pol- ri merujuk pada Pasal 10 A UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Disebutkan, aparat da- lam melaksanakan tugasnya wajib merahasiakan laporan dan dokumen yang mereka terima. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar, kepada Media Indonesia , di Jakarta, Kamis (17/2) me- ngatakan, membuka informasi nama dan besaran nilai reke- ning sama dengan mengung- kap rahasia pribadi. “Tidak bisa disebarluaskan, karena menyangkut privasi orang,” ujar Boy. Akan tetapi, bagi ICW, sikap penolakan Polri untuk mem- buka informasi adalah bentuk ketertutupan kepolisian dalam penanganan perkara. Pejabat publik Aktivis ICW Tama Satrya Langkun mengatakan, alasan membocorkan rahasia pribadi sebenarnya tidak bisa berlaku untuk pejabat publik, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 18 UU KIP No 14 Tahun 2008. “Tidak berlaku untuk pejabat publik. Polisi kan pejabat pub- lik. Secara definisi sudah jelas, kemudian para saksi ahli yang ada di persidangan pun menga- takan demikian,” sergahnya. Kedua pihak, yakni Polri dan ICW, mengaku akan memper- tahankan argumentasi masing- masing hingga terbit putusan banding. Majelis hakim KIP memberi- kan kesempatan kepada kedua pihak untuk memasukkan memori banding, selama-la- manya 14 hari kerja setelah pu- tusan dibacakan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Putusan yang sama dikeluar- kan majelis KIP dalam sidang sengketa informasi antara ICW dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, pada 15 November 2010. Sengketa bermula dari per- mintaan ICW untuk membuka dokumen surat pertanggung- jawaban (SPJ) dan kuitansi penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional pendidi- kan (BOP) di lima SMP negeri di Jakarta. Namun, permintaan ICW itu ditolak oleh kepala sekolah dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Alasannya, informasi itu hanya bisa dibuka oleh pihak yang berkompeten. KIP akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan ICW karena dalam persidangan ditemukan fakta bahwa tidak ada larangan dari pihak dinas pendidikan kepada sekolah untuk membuka dokumen. Kepala Seksi Manajemen SMP Dinas Pendidikan DKI Jakarta Lardi melemparkan tanggungjawab itu ke-5 SMP tersebut. “Nah, masalah SPJ itu kan di sekolah masing-masing.” tukas Lardi. (*/P-4) S EBUAH meja setengah bundar dilengkapi tiga kursi diletakkan di pojok sebelah kiri gedung belakang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Jakarta Pusat. Tata letak ruangan dibuat serupa konter layanan pelanggan di bank. Faktanya, tempat itu merupakan tempat pelayanan informasi publik, yang buka Senin-Jumat pukul 9.00-15.00 WIB. Saat Media Indonesia mendatangi tempat itu, Kamis (17/2), seorang petugas tampak sibuk melayani permintaan informasi, baik mengatasnamakan individu maupun lembaga, yang langsung datang ke gedung tersebut. Sebuah formulir berisi pertanyaan mengenai keterangan pribadi pemohon informasi dan alasan mengajukan permintaan adalah dokumen pertama yang harus diisi pelapor. Petugas itu meminta fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) pelapor. Selesai menjalani prosedur yang ada, petugas kemudian memberikan informasi yang diminta saat itu juga karena mereka memiliki cadangan buku yang memuat informasi tersebut. “Pola seperti ini memudahkan kami yang juga mengerjakan tugas sehari-hari. Awalnya, orang setiap saat keluar masuk ruangan kantor untuk mencari informasi. Dengan penempatan seperti ini, pekerjaan kami yang lain tidak terganggu,” kata pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kemenkominfo, Gatot S Dewabroto. PPID wajib dimiliki badan publik sebagaimana amanat UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Gatut mencatat setidaknya ada 30 permintaan informasi setiap bulan. Untuk informasi berkategori dikecualikan, Gatot mengaku, ada perlakuan khusus. “Misalnya, Anda meminta laporan hasil pemeriksaan (LHP) kepada saya. Saat saya akan memberikan pada Anda, saya harus melihat UU yang lain terkait pemeriksaan dan pengelolaan negara. Aturannya di situ adalah boleh diketahui publik setelah diserahkan kepada DPR. Jadi, UU KIP sendiri masih menghormati UU yang lain,” jelas Gatot. Digedor dulu Bagaimana dengan pelayanan informasi di DPR? Ruang Pengelola Informasi dan Dokumentasi yang disediakan DPR, terletak di lantai 1,5 Gedung Nusantara 3 di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta. Sepuluh komputer disediakan untuk mengakses informasi, beberapa petugas siap memberi bantuan apabila ada masyarakat yang datang dan membutuhkan informasi. Akan tetapi, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penyediaan informasi DPR masih kurang cepat. Seperti ketika ICW meminta data dan informasi mengenai perjalanan dinas sejumlah komisi. Lewat dua bulan, setelah digedor dengan pengajuan sengketa, barulah informasi yang diminta ICW diberikan. “PPID DPR belum memiliki format baku yang standar, karena dari lima laporan yang diterima, disampaikan dengan cara berbeda-beda. Sekarang, data yang diminta sudah dikasih. Jadi, kami mencabut permohonan sengketa,” kata Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan, Jumat (18/2). Informasi yang ditagih ICW, antara lain, perjalanan Badan Kehormatan ke Yunani dan Turki, Badan Urusan Rumah Tangga ke Prancis, Komisi X ke Afrika Selatan, dan Komisi IV ke Belanda. Ketua PPID DPR Helmizar mengakui lambannya respons mereka. “Kami masih mencari bentuk. Apalagi, PPID di sini baru ada sekitar Agustus 2010. Pengumpulan informasi memang agak lama,” jelasnya. Namun, ia terus melakukan sosialisasi dan memberikan penjelasan kepada para karyawan dan pejabat di DPR. Helmizar boleh berbangga. Atas upayanya itu, DPR termasuk salah satu dari lima unit yang proaktif menyediakan informasi menurut catatan Komisi Informasi Pusat (KIP). Penyediaan informasi melalui website baru dirintis dua bulan lalu. Sepanjang 2010, Wakil Ketua PPID Suratno membeberkan, permohonan yang masuk tercatat ada 38 permintaan informasi. Informasi yang diminta kebanyakan risalah rapat, kehadiran anggota dewan, pengadaan barang dan jasa serta daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Berbeda dengan apa yang terjadi di Kejaksaan Agung (Kejagung). Institusi penegak hukum ini belum bergerak secepat Kemenkominfo dan DPR dalam menyediakan informasi publik. Yang sudah dilakukan baru menunjuk PPID sementara pada Mei 2010. “Sampai sekarang di Kejagung menerbitkan Peraturan Kejaksaan (Perja) Nomor 032/A/JA/08/2010 tentang Pelayanan Informasi Publik. Kemudian di-follow up dengan membuat standar operasi dan prosedur,” cetus Kapuspenkum Kejagung Noor Rachmad. Prosedur standar hingga kini masih diformulasikan, tapi belum jelas kapan aturan itu bisa segera diimplementasikan di lingkungan kejaksaan. Maka itu, jangan heran jika perjalanan UU KIP hampir setahun ini, Kejagung baru melayani tiga permintaan saja. Lain lagi dengan standar layanan yang dimiliki LSM Imparsial yang bergerak dalam advokasi HAM. Mereka belum menerapkan aturan KIP secara formal. Tidak ada PPID. Permintaan informasi yang datang juga hanya tercatat jika dilakukan secara tertulis. Kalau hanya lisan, itu tidak pernah tercatat. (Din/Wta/P-4) asi yang dicatat Kemenkom- info. Evaluasi keseluruhan, rencananya baru akan dilaku- kan setelah genap setahun UU KIP, yakni April 2011. Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hayono Isman mengutarakan, kebiasaan masa lalu yang serba-tertutup, menjadi kerikil utama keterbukaan infor- masi. Jadi, sebenarnya ini hanya soal perubahan pola pikir mind set. Satu catatan penting dilon- tarkan Hayono. Menurutnya, kultur ketertutupan badan publik juga dipicu minimnya sosialisasi yang dilakukan Komisi Informasi Pusat. DPR sendiri terus memantau implementasi dari UU KIP. Dalam UU KIP sudah jelas sanksi yang akan dijatuhkan pada badan publik yang meno- lak. “Mereka bisa dikenakan sanksi pidana. Sebelum kena kasus hukum, kita ingatkan kepada mereka yang menolak. Maklum, UU ini masih baru,” tutupnya. Yang dikhawatirkan, ketidak- tahuan tersebut kiranya jangan sampai menjalar ke pengadilan. Sebab, pengadilan berfungsi menjadi tangan yudikatif yang memproses sengketa informasi yang ada. Kalau pengadilan tidak memiliki bekal dan pe- mahaman cukup, sia-sia apa yang diperjuangkan dalam UU KIP itu. Hal itu disadari Kepala Bagian Perundang-Undang- an MA Ingan Malem Sitepu. “Ada ketua KIP dari daerah yang mengatakan hakim masih merasa asing dengan UU KIP itu. Sebenarnya kan tidak boleh begitu, sebagai hakim itu di- tuntut harus sudah tahu dan paham,” ungkap Ingan saat ditemui di kantornya. MA sendiri telah berencana sosialisasi untuk memberikan pemahaman UU KIP. Akan tetapi, ia menyadari, tanpa so- sialisasi pun seharusnya hakim sudah memahami. “Sejak diundangkan di lem- baran negara artinya semuanya bisa mengetahui. Apalagi hakim dengan kaitannya tugas dia kan harus memahami. Tidak perlu harus menunggu pengarahan,” pungkasnya. (*/P-4) [email protected] bukaan utupan? EKSEKUSI PUTUSAN KIP: ICW bersama sejumlah pewakilan orang tua murid yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Pendidikan (KAKP) mencari dokumen SPJ dana BOS dan BOP terkait eksekusi putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) di gedung Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Jumat (21/1). ANTARA/FANNY OCTAVIANUS Pola seperti ini memudahkan kami yang juga mengerjakan tugas sehari-hari. Awalnya, orang setiap saat keluar masuk ruangan kantor untuk mencari informasi.” Gatot S Dewabroto Pengelola Informasi dan Dokumentasi Kemenkominfo 23 SENIN, 21 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA POLKAM Seperti Layanan di Konter Bank Duel Panas Badan Publik versus ICW ANTARA SUSU BERBAKTERI: Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih memerhatikan layar saat menjelaskan kasus susu formula yang tercemar bakteri, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR di gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (16/2). MI/SUSANTO TEMA: Negara-Negara Arab Bergejolak INTERNASIONAL SELASA (22/2/2011) FOKUS

Upload: vucong

Post on 03-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PADA 8 Februari 2011, Komisi Informasi Pusat (KIP) menga­bulkan permohonan LSM Indo­nesia Corruption Watch (ICW), agar Mabes Polri menyebutkan nama­nama pemilik dan besar­an 17 rekening milik pejabat tinggi (pati) secara terbuka ke publik.

Namun, putusan KIP itu tak serta­merta menghentikan perseteruan antara Polri versus ICW. Polri akan mengajukan banding, dan ICW siap mela­deninya.

Keberadaan rekening milik sejumlah pati Polri ini tersing­kap ke hadapan publik melalui tulisan Majalah Tempo edisi 28 Juni­4 Juli 2010.

Disebutkan adanya enam jen­deral polisi dan beberapa per­wira menengah yang memiliki rekening bank berisi puluhan miliar bahkan hingga Rp54 miliar, padahal gajinya tidak sampai Rp10 juta per bulan.

ICW lalu meminta kepada KIP untuk membuka informasi tersebut karena Polri menolak memberikan kejelasan tentang siapa pemilik rekening terse­

but. LSM ini sebenarnya sudah meminta informasi pemilik 23 rekening pati Polri. Namun, hanya enam rekening yang dikabulkan. Sisanya, sebanyak 17 rekening di antaranya tidak bisa dibuka. Alasan penolakan Polri, ke­17 rekening itu masih wajar.

Setelah melewati serangka­ian sidang ajudikasi nonlitigasi, putusan KIP akhirnya meme­nangkan gugatan ICW. KIP memerintahkan agar nama­nama pemilik dan besaran 17 rekening pati Polri dibuka ke publik.

“Memutuskan, mengabulkan permohonan pemohon seluruh­nya. Memerintahkan termohon (Mabes Polri) memberi infor­masi ke pemohon,” kata Ketua KIP Alamsyah Saragih.

Majelis hakim KIP menilai bahwa dalil yang digunakan Polri tidak memadai untuk di­jadikan alasan penolakan.

Dalil yang digunakan Pol­ri merujuk pada Pasal 10 A UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Disebutkan, aparat da­lam melaksanakan tugasnya

wajib merahasiakan laporan dan dokumen yang mereka terima.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar,

kepada Media Indonesia, di Jakarta, Kamis (17/2) me­ngatakan, membuka informasi nama dan besaran nilai reke­ning sama dengan mengung­kap rahasia pribadi.

“Tidak bisa disebarluaskan, karena menyangkut privasi orang,” ujar Boy.

Akan tetapi, bagi ICW, sikap penolakan Polri untuk mem­buka informasi adalah bentuk

ketertutupan kepolisian dalam penanganan perkara.

Pejabat publikAktivis ICW Tama Satrya

Langkun mengatakan, alasan membocorkan rahasia pribadi sebenarnya tidak bisa berlaku untuk pejabat publik, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 18 UU KIP No 14 Tahun 2008.

“Tidak berlaku untuk pejabat publik. Polisi kan pejabat pub­lik. Secara definisi sudah jelas, kemudian para saksi ahli yang ada di persidangan pun menga­takan demikian,” sergahnya.

Kedua pihak, yakni Polri dan ICW, mengaku akan memper­tahankan argumentasi masing­masing hingga terbit putusan banding.

Majelis hakim KIP memberi­kan kesempatan kepada kedua pihak untuk memasukkan memori banding, selama­la­manya 14 hari kerja setelah pu­tusan dibacakan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Putusan yang sama dikeluar­kan majelis KIP dalam sidang sengketa informasi antara ICW

dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, pada 15 November 2010.

Sengketa bermula dari per­mintaan ICW untuk membuka dokumen surat pertanggung­jawaban (SPJ) dan kuitansi penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional pendidi­kan (BOP) di lima SMP negeri di Jakarta.

Namun, permintaan ICW itu ditolak oleh kepala sekolah dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Alasannya, informasi itu hanya bisa dibuka oleh pihak yang berkompeten.

KIP akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan ICW karena dalam persidangan ditemukan fakta bahwa tidak ada larangan dari pihak dinas pendidikan kepada sekolah untuk membuka dokumen.

Kepala Seksi Manajemen SMP Dinas Pendidikan DKI Jakarta Lardi melemparkan tanggungjawab itu ke­5 SMP tersebut. “Nah, masalah SPJ itu kan di sekolah masing­masing.” tukas Lardi. (*/P­4)

SEBUAH meja setengah bundar dilengkapi tiga kursi diletakkan di pojok

sebelah kiri gedung belakang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Jakarta Pusat.

Tata letak ruangan dibuat serupa konter layanan pelanggan di bank. Faktanya, tempat itu merupakan tempat pelayanan informasi publik, yang buka Senin­Jumat pukul 9.00­15.00 WIB.

Saat Media Indonesia mendatangi tempat itu, Kamis (17/2), seorang petugas tampak sibuk melayani permintaan informasi, baik mengatasnamakan individu maupun lembaga, yang langsung datang ke gedung tersebut.

Sebuah formulir berisi pertanyaan mengenai keterangan pribadi pemohon informasi dan alasan mengajukan permintaan adalah dokumen pertama yang harus diisi pelapor. Petugas itu meminta fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) pelapor.

Selesai menjalani prosedur yang ada, petugas kemudian memberikan informasi yang diminta saat itu juga karena mereka memiliki cadangan buku yang memuat informasi tersebut.

“Pola seperti ini memudahkan kami yang juga mengerjakan tugas sehari­hari. Awalnya, orang setiap saat keluar masuk ruangan kantor untuk mencari informasi. Dengan penempatan seperti ini, pekerjaan kami yang lain tidak terganggu,” kata pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kemenkominfo, Gatot S Dewabroto. PPID wajib dimiliki badan publik sebagaimana amanat UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Gatut mencatat setidaknya ada 30 permintaan informasi setiap bulan. Untuk informasi berkategori dikecualikan, Gatot mengaku, ada perlakuan khusus. “Misalnya, Anda meminta laporan hasil pemeriksaan (LHP) kepada saya. Saat saya akan memberikan pada Anda, saya harus melihat UU yang lain terkait pemeriksaan dan pengelolaan negara. Aturannya di situ adalah boleh diketahui publik setelah diserahkan kepada DPR. Jadi, UU KIP sendiri masih menghormati UU yang lain,” jelas Gatot.

Digedor duluBagaimana dengan

pelayanan informasi di DPR? Ruang Pengelola Informasi dan Dokumentasi yang disediakan DPR, terletak di

lantai 1,5 Gedung Nusantara 3 di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.

Sepuluh komputer disediakan untuk mengakses informasi, beberapa petugas siap memberi bantuan apabila ada masyarakat yang datang dan membutuhkan informasi.

Akan tetapi, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penyediaan informasi DPR masih kurang cepat. Seperti ketika ICW meminta data dan informasi mengenai perjalanan dinas sejumlah komisi. Lewat dua bulan, setelah digedor dengan pengajuan sengketa, barulah informasi yang diminta ICW diberikan.

“PPID DPR belum memiliki format baku yang standar, karena dari lima laporan yang diterima, disampaikan dengan cara berbeda­beda. Sekarang, data yang diminta sudah dikasih. Jadi, kami mencabut permohonan sengketa,” kata Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan, Jumat (18/2).

Informasi yang ditagih ICW, antara lain, perjalanan Badan Kehormatan ke Yunani dan Turki, Badan Urusan Rumah Tangga ke Prancis, Komisi X ke Afrika Selatan, dan Komisi IV ke Belanda.

Ketua PPID DPR Helmizar mengakui lambannya respons mereka. “Kami masih mencari bentuk. Apalagi, PPID di sini baru ada sekitar Agustus 2010. Pengumpulan informasi memang agak lama,” jelasnya.

Namun, ia terus melakukan sosialisasi dan memberikan penjelasan kepada para karyawan dan pejabat di DPR. Helmizar boleh berbangga. Atas upayanya itu, DPR termasuk salah satu dari lima unit yang proaktif menyediakan informasi menurut catatan Komisi Informasi Pusat (KIP). Penyediaan informasi melalui

website baru dirintis dua bulan lalu.

Sepanjang 2010, Wakil Ketua PPID Suratno membeberkan, permohonan yang masuk tercatat ada 38 permintaan informasi. Informasi yang diminta kebanyakan risalah rapat, kehadiran anggota dewan, pengadaan barang dan jasa serta daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA).

Berbeda dengan apa yang terjadi di Kejaksaan Agung (Kejagung). Institusi penegak hukum ini belum bergerak secepat Kemenkominfo dan DPR dalam menyediakan informasi publik. Yang sudah dilakukan baru menunjuk PPID sementara pada Mei 2010.

“Sampai sekarang di Kejagung menerbitkan Peraturan Kejaksaan (Perja) Nomor 032/A/JA/08/2010 tentang Pelayanan Informasi Publik. Kemudian di­follow up dengan membuat standar operasi dan prosedur,” cetus Kapuspenkum Kejagung Noor Rachmad.

Prosedur standar hingga kini masih diformulasikan, tapi belum jelas kapan aturan itu bisa segera diimplementasikan di lingkungan kejaksaan. Maka itu, jangan heran jika perjalanan UU KIP hampir setahun ini, Kejagung baru melayani tiga permintaan saja.

Lain lagi dengan standar layanan yang dimiliki LSM Imparsial yang bergerak dalam advokasi HAM. Mereka belum menerapkan aturan KIP secara formal. Tidak ada PPID. Permintaan informasi yang datang juga hanya tercatat jika dilakukan secara tertulis. Kalau hanya lisan, itu tidak pernah tercatat. (Din/Wta/P­4)

asi yang dicatat Kemenkom­info. Evaluasi keseluruhan, rencananya baru akan dilaku­kan setelah genap setahun UU KIP, yakni April 2011.

Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hayono Isman mengutarakan, kebiasaan masa lalu yang serba­tertutup, menjadi kerikil utama keterbukaan infor­masi.

Jadi, sebenarnya ini hanya soal perubahan pola pikir mind set. Satu catatan penting dilon­tarkan Hayono. Menurutnya, kultur ketertutupan badan

publik juga dipicu minimnya sosialisasi yang dilakukan Komisi Informasi Pusat.

DPR sendiri terus memantau implementasi dari UU KIP. Dalam UU KIP sudah jelas sanksi yang akan dijatuhkan pada badan publik yang meno­lak. “Mereka bisa dikenakan sanksi pidana. Sebelum kena kasus hukum, kita ingatkan kepada mereka yang menolak. Maklum, UU ini masih baru,” tutupnya.

Yang dikhawatirkan, ketidak­tahuan tersebut kiranya jangan sampai menjalar ke pengadilan.

Sebab, pengadilan berfungsi menjadi tangan yudikatif yang memproses sengketa informasi yang ada. Kalau pengadilan tidak memiliki bekal dan pe­mahaman cukup, sia­sia apa yang diperjuangkan dalam UU KIP itu.

Hal itu disadari Kepala Bagian Perundang­Undang­an MA Ingan Malem Sitepu. “Ada ketua KIP dari daerah yang mengatakan hakim masih merasa asing dengan UU KIP itu. Sebenarnya kan tidak boleh begitu, sebagai hakim itu di­tuntut harus sudah tahu dan

paham,” ungkap Ingan saat ditemui di kantornya.

MA sendiri telah berencana sosialisasi untuk memberikan pemahaman UU KIP. Akan tetapi, ia menyadari, tanpa so­sialisasi pun seharusnya hakim sudah memahami.

“Sejak diundangkan di lem­baran negara artinya semuanya bisa mengetahui. Apalagi hakim dengan kaitannya tugas dia kan harus memahami. Tidak perlu harus menunggu pengarahan,” pungkasnya. (*/P­4)

[email protected]

Mampukah UU Keterbukaan Menghadang Ketertutupan?

EKSEKUSI PUTUSAN KIP: ICW bersama sejumlah pewakilan orang tua murid yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Pendidikan (KAKP) mencari dokumen SPJ dana BOS dan BOP terkait eksekusi putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) di gedung Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Jumat (21/1).

ANTARA/FANNy OcTAviANus

Pola seperti ini memudahkan kami

yang juga mengerjakan tugas sehari-hari. Awalnya, orang setiap saat keluar masuk ruangan kantor untuk mencari informasi.”

Gatot S DewabrotoPengelola Informasi dan Dokumentasi Kemenkominfo

23 senin, 21 FeBRUARi 2011 | MeDiA inDOnesiAFokus polkamSeperti Layanan di Konter Bank

Duel Panas Badan Publik versus ICW

ANTARA

SUSU BERBAKTERI: Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih memerhatikan layar saat menjelaskan kasus susu formula yang tercemar bakteri, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR di gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (16/2).

mi/susANTO

Tema:Negara-Negara

arab Bergejolak

INTeRNaSIONaLSELASA (22/2/2011)

FOKUS