senin, 14 maret 2011 | media indonesia menjaga subsidi ... filenya sudah jelas, tugas berat ......

1
JAJANG SUMANTRI K ELANGKAAN ba- han bakar minyak (BBM) bersubsidi ( public service obli- gation/PSO) yang kerap ter- jadi tidak sekadar akibat me- ningkatnya kebutuhan energi seiring dengan pertumbuhan populasi dan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor di Tanah Air. Adanya disparitas harga yang tinggi antara BBM bersubsidi dan BBM nonsub- sidi membuka peluang terjadi- nya berbagai penyalahgunaan alokasi BBM bersubsidi. Lantas, bagaimana langkah untuk memastikan alokasi BBM bersubsidi ini tepat sasaran dan tidak terus membeng- kak setiap tahun? Bagaimana kebijakan yang tepat untuk membuat masyarakat terlepas dari ketergantungan terhadap BBM bersubsidi? Berikut petikan wawancara Media Indonesia dengan Kepala Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Tubagus Haryono di Jakarta, akhir pekan lalu. Berbagai penyelewengan di lapangan menunjukkan keterlibatan berbagai unsur masyarakat. Kenapa penyele- wengan ini selalu ada? Adanya disparitas harga antara BBM PSO dan BBM non- PSO termasuk untuk konsumsi industri memang memicu ter- jadinya penyelewengan. Tanpa ada aturan yang tegas untuk memastikan siapa yang ber- hak mengonsumsi BBM PSO, penyelewengan tidak akan berhenti. Kalaupun aturan- nya sudah jelas, tugas berat selanjutnya adalah melakukan pengawasan dan ketegasan untuk melakukan penegakan hukumnya. Apa saja modusnya? Modus penyelewengan yang terjadi di masyarakat beragam. Misalnya di beberapa daerah ada upaya mengambil untung dengan menjual BBM PSO premium maupun solar yang dijual kepada industri. Mi- salnya di Sampit, Kalimantan Barat, sekelompok orang meng- gunakan sepeda motor untuk bolak-balik membeli premium, sehari bisa sampai 10-20 kali. Ada juga yang menggembung- kan kapasitas tangki sepeda motor yang biasanya hanya memuat 3 liter menjadi 20 liter. Masih banyak modus lain yang juga dilakukan pengendara mobil atau kapal nelayan yang menjual BBM ke kapal niaga maupun ke industri. Secara aturan, BPH Migas hanya ditugasi mengamankan volume BBM PSO sampai titik serah, misalnya sampai pompa bensin saja. Lepas dari situ sudah tanggung jawab badan usaha. Namun, tidak bisa be- gitu karena kondisi di lapangan memerlukan pengawasan yang ketat untuk memastikan BBM subsidi tepat sasaran. Di sini BPH Migas kesulitan karena dengan personel yang terbatas, hanya 100 pegawai, di lapangan untuk mengawasi 400 kabupaten/kota di selu- ruh Indonesia. Ini tidak gam- pang karena selain melakukan pengawasan, BPH Migas juga harus melakukan upaya-upaya hukum manakala terjadi pe- nyalahgunaan terhadap pendis- tribusian BBM. Karena itu kami menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda), kepolisian, dan kejaksaan. Bisa bersifat preventif terkait dengan pengawasan maupun represif untuk penindakan. Bagaimana peran badan usaha dalam antisipasi ini? Kita juga memaksimalkan peran badan usaha seperti Pertamina. Namun, karena memang tidak ada aturan te- gas, mereka juga tidak bisa membatasi konsumen untuk membeli BBM PSO ini. Berdasarkan ketentuan, pendistribusian BBM PSO hanya boleh dilakukan SPBU, agen premium minyak solar (APMS), dan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN). Faktanya, kios-kios eceran ada di mana-mana. Mereka ini juga memicu cepat habisnya stok BBM di SPBU. Kondisi ini muncul karena berbagai rencana mengatur konsumsi BBM PSO tidak berjalan, apa kendalanya? Ada dua kendala terkait de- ngan sik dan aturan. Alokasi BBM PSO ini diatur secara ketat melalui UU APBN sehingga bu- tuh perhitungan matang dengan persetujuan dari parlemen. Misalnya untuk 2011 alokasi BBM PSO mencapai 38,591 juta kl. Bila dilakukan secara ketat, itu cukup untuk mengiringi per- tumbuhan konsumsi sekitar 6%. Namun, harus diiringi dengan menggeser masyarakat mampu untuk mengurangi konsumsi BBM PSO. Untuk mencapai hal tersebut, harus dilakukan upaya untuk melakukan pengaturan di sisi konsumsi, sisi kebutuhan. Bila tidak diatur dan diawasi, ber- potensi terjadi penyalahgunaan dan melebihi kuota tersebut. Namun saat ini terjadi kondi- si yang tidak menguntungkan. Harga minyak dunia naik yang berimbas pada harga BBM non- PSO yang terus naik. Saat ini harga keekonomian premium saja sudah Rp8.300, pertamax sekitar Rp8.500. Dengan harga itu, selisihnya dengan premium Rp3.500. Ini disparitas harga yang cu- kup tinggi yang memberatkan masyarakat. Bagaimana dengan opsi dari tim kajian pengaturan BBM konsumsi? Masalah opsi mana yang akan dipilih untuk peng- aturan, itu merupakan kebi- jakan peme rintah. Apa pun keputusannya, pengawasan akan dilakukan BPH Migas. Jadi atau tidak jadi kebijakan itu diterapkan, BPH Migas akan tetap melakukan peng- aturan dan pengawasan. Tugas kami mengamankan alokasi 38,591 juta kl itu. Bila rencana pengaturan ini tidak berjalan, pembengkakan bisa mencapai 40 juta kl. Mengapa berbagai wacana kebijakan pengaturan kon- sumsi BBM PSO yang dice- tuskan sejak 2008 hingga kini tidak satu pun yang berjalan? Berbagai kajian terus berjalan, tapi tidak berjalan dengan ber- bagai alasan. Dulu kartu kendali terkendala teknis verikasi ken- daraan serta biaya penyediaan kartu yang hingga Rp200 miliar lebih. Pengaturan lubang tangki bahan bakar (nozzle) kendaraan ditentang industri kendaraan karena menyebabkan pem- bengkakan biaya produksi. Pembatasan dengan berpatokan pada kapasitas mesin (CC) dan tahun pembuatan kendaraan tak bisa dilakukan karena ba- nyak kendaraan tua yang CC- nya besar. Di sisi lain, untuk menum- buhkan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi BBM se- suai dengan spesikasi mesin kendaraan, juga belum ber- jalan. Masyarakat masih ter- fokus pada harga BBM PSO yang murah, padahal secara agregat hitungannya mahal karena mempengaruhi kinerja mesin, servis harus lebih se- ring dan sebagainya. Ke depan memang harus ada aturan tegas upaya pendistribusian BBM PSO berkeadilan. Orang kaya atau orang asing tidak boleh membeli BBM PSO. Bagaimana melepaskan diri dari ketergantungan BBM PSO ini? Mengapa energi alternatif pengganti BBM seperti gas bumi tidak berkembang? Memang potensi terbesar sebenarnya memang dari peng- gunaan gas bumi. Misalnya, mitra sudah melakukan ka- jian di 19 kota untuk program gas kota. Dari sekian banyak, ada beberapa kota yang layak dibangun dalam waktu dekat. Namun syaratnya, harus dekat dengan sumber pasokan atau transmisi gas. Sementara itu, hingga kini tidak ada investor yang bersedia membangun infrastruktur gas kota karena secara hitungan memang tidak ekonomis. Sebetulnya proyek gas kota ini yang sudah jalan di Palem- bang karena sudah ada sejak dulu. Surabaya juga sudah ada. Yang sedang dikembangkan di Sengkang, Sulawesi Selatan, dan di Bontang, Kalimantan Timur. Kendalanya, yaitu dana pemerintah terbatas. Bisa juga memakai dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pro- dusen migas. Itu langkah yang tidak memberatkan supaya masyarakat di daerah pengha- sil gas juga menikmati sumber daya gas yang mereka miliki. (E-2) [email protected] SENIN, 14 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA Menjaga Subsidi Merata ke Pelosok Negeri Jadi atau tidak pembatasan konsumsi BBM bersubsidi diberlakukan, BPH Migas tetap harus mengatur dan mengawasi konsumsi tersebut. MI/ADAM DWI W AWANCARA 20 Nama: Tubagus Haryono Lahir : Jakarta, 16 Januari 1956 Karier : 2003-sekarang Kepala BPH Migas 1997-2003 Anggota DPR RI 1985-1997 Pegawai Pertamina Pendidikan : 2008-2011 Program S-3 IPB 1992 Magister Manajemen UI Jakarta 1982 Sarjana Fisika UI Jakarta Organisasi : 2010-2015 Sekretaris Dewan Pakar ICMI 1994-1998 Anggota Lembaga Sensor Film (LSF) 1993-1996 Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) BIODATA

Upload: nguyenkien

Post on 24-Apr-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SENIN, 14 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA Menjaga Subsidi ... filenya sudah jelas, tugas berat ... serah, misalnya sampai pompa bensin saja. Lepas dari situ ... bersifat preventif terkait

JAJANG SUMANTRI

KELANGKAAN ba-han bakar minyak (BBM) bersubsidi (public service obli-

gation/PSO) yang kerap ter-jadi tidak sekadar akibat me-ningkatnya kebutuhan energi seiring dengan pertumbuhan populasi dan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor di Tanah Air. Adanya disparitas harga yang tinggi antara BBM bersubsidi dan BBM nonsub-sidi membuka peluang terjadi-nya berbagai penyalahgunaan alokasi BBM bersubsidi.

Lantas, bagaimana langkah untuk memastikan alokasi BBM bersubsidi ini tepat sasaran dan tidak terus membeng-kak setiap tahun? Bagaimana kebijakan yang tepat untuk membuat masyarakat terlepas dari ketergantungan terhadap BBM bersubsidi?

Berikut petikan wawancara Media Indonesia dengan Kepala Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Tubagus Haryono di Jakarta, akhir pekan lalu.

Berbagai penyelewengan di lapangan menunjukkan keterlibatan berbagai unsur masyarakat. Kenapa penyele-wengan ini selalu ada?

Adanya disparitas harga antara BBM PSO dan BBM non-PSO termasuk untuk konsumsi industri memang memicu ter-jadinya penyelewengan. Tanpa ada aturan yang tegas untuk memastikan siapa yang ber-hak mengonsumsi BBM PSO, penyelewengan tidak akan berhenti. Kalaupun aturan-nya sudah jelas, tugas berat selanjutnya adalah melakukan pengawasan dan ketegasan untuk melakukan penegakan hukumnya.

Apa saja modusnya?Modus penyelewengan yang

terjadi di masyarakat beragam. Misalnya di beberapa daerah ada upaya mengambil untung dengan menjual BBM PSO premium maupun solar yang dijual kepada industri. Mi-salnya di Sampit, Kalimantan Barat, sekelompok orang meng-gunakan sepeda motor untuk bolak-balik membeli premium, sehari bisa sampai 10-20 kali. Ada juga yang menggembung-kan kapasitas tangki sepeda motor yang biasanya hanya memuat 3 liter menjadi 20 liter. Masih banyak modus lain yang juga dilakukan pengendara mobil atau kapal nelayan yang menjual BBM ke kapal niaga maupun ke industri.

Secara aturan, BPH Migas hanya ditugasi mengamankan volume BBM PSO sampai titik serah, misalnya sampai pompa bensin saja. Lepas dari situ sudah tanggung jawab badan usaha. Namun, tidak bisa be-gitu karena kondisi di lapangan memerlukan pengawasan yang ketat untuk memastikan BBM subsidi tepat sasaran.

Di sini BPH Migas kesulitan karena dengan personel yang terbatas, hanya 100 pegawai, di lapangan untuk mengawasi 400 kabupaten/kota di selu-ruh Indonesia. Ini tidak gam-pang karena selain melakukan peng awasan, BPH Migas juga harus melakukan upaya-upaya hukum manakala terjadi pe-nyalahgunaan terhadap pendis-tribusian BBM. Karena itu kami menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda), kepolisian, dan kejaksaan. Bisa bersifat preventif terkait dengan pengawasan maupun represif untuk penindakan.

Bagaimana peran badan usaha dalam antisipasi ini?

Kita juga memaksimalkan peran badan usaha seperti Pertamina. Namun, karena memang tidak ada aturan te-gas, mereka juga tidak bisa membatasi konsumen untuk membeli BBM PSO ini.

Berdasarkan ketentuan, pendistribusian BBM PSO hanya boleh dilakukan SPBU, agen premium minyak solar (APMS), dan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN). Faktanya, kios-kios eceran ada di mana-mana. Mereka ini juga memicu cepat habisnya stok BBM di SPBU.

Kondisi ini muncul karena berbagai rencana mengatur konsumsi BBM PSO tidak berjalan, apa kendalanya?

Ada dua kendala terkait de-ngan fi sik dan aturan. Alokasi BBM PSO ini diatur secara ketat melalui UU APBN sehingga bu-tuh perhitungan matang de ngan persetujuan dari parlemen. Misalnya untuk 2011 alokasi BBM PSO mencapai 38,591 juta kl. Bila dilakukan secara ketat, itu cukup untuk mengiringi per-tumbuhan konsumsi sekitar 6%. Namun, harus diiringi dengan menggeser masyarakat mampu

untuk mengurangi konsumsi BBM PSO.

Untuk mencapai hal tersebut, harus dilakukan upaya untuk melakukan pengaturan di sisi konsumsi, sisi kebutuhan. Bila tidak diatur dan diawasi, ber-potensi terjadi penyalahgunaan dan melebihi kuota tersebut.

Namun saat ini terjadi kondi-si yang tidak menguntungkan. Harga minyak dunia naik yang berimbas pada harga BBM non-PSO yang terus naik. Saat ini harga keekonomian premium saja sudah Rp8.300, pertamax sekitar Rp8.500.

Dengan harga itu, selisihnya dengan premium Rp3.500. Ini disparitas harga yang cu-kup tinggi yang memberatkan masyarakat.

Bagaimana dengan opsi dari tim kajian pengaturan BBM konsumsi?

Masalah opsi mana yang akan dipilih untuk peng-

aturan, itu merupakan kebi-jakan peme rintah. Apa pun keputusan nya, pengawasan akan dilakukan BPH Migas. Jadi atau tidak jadi kebijakan itu diterapkan, BPH Migas akan tetap melakukan peng-aturan dan pengawasan. Tugas kami mengamankan alokasi 38,591 juta kl itu. Bila rencana pengaturan ini tidak berjalan, pembengkakan bisa mencapai 40 juta kl.

Mengapa berbagai wacana kebijakan pengaturan kon-sumsi BBM PSO yang dice-tuskan sejak 2008 hingga kini tidak satu pun yang berjalan?

Berbagai kajian terus berjalan, tapi tidak berjalan de ngan ber-bagai alasan. Dulu kartu kendali terkendala teknis verifi kasi ken-daraan serta biaya penyediaan kartu yang hingga Rp200 miliar lebih. Pengaturan lubang tangki bahan bakar (nozzle) kendaraan ditentang industri kendaraan

karena menyebabkan pem-bengkakan biaya produksi. Pembatasan dengan berpatokan pada kapasitas mesin (CC) dan tahun pembuatan kendaraan tak bisa dilakukan karena ba-nyak kenda raan tua yang CC-nya besar.

Di sisi lain, untuk menum-buhkan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi BBM se-suai dengan spesifi kasi mesin kendaraan, juga belum ber-jalan. Masyarakat masih ter-fokus pada harga BBM PSO yang murah, padahal secara agregat hitungannya mahal karena mempengaruhi kinerja mesin, servis harus lebih se-ring dan sebagainya. Ke depan memang harus ada aturan tegas upaya pendistribusian BBM PSO berkeadilan. Orang kaya atau orang asing tidak boleh membeli BBM PSO.

Bagaimana melepaskan diri dari ketergantungan BBM PSO

ini? Mengapa energi alternatif pengganti BBM seperti gas bumi tidak berkembang?

Memang potensi terbesar sebenarnya memang dari peng-gunaan gas bumi. Misalnya, mitra sudah melakukan ka-jian di 19 kota untuk program gas kota. Dari sekian banyak, ada beberapa kota yang layak dibangun dalam waktu dekat. Namun syaratnya, harus dekat dengan sumber pasokan atau transmisi gas. Sementara itu, hingga kini tidak ada investor yang bersedia membangun infrastruktur gas kota karena secara hitungan memang tidak ekonomis.

Sebetulnya proyek gas kota ini yang sudah jalan di Palem-bang karena sudah ada sejak dulu. Surabaya juga sudah ada. Yang sedang dikembangkan di Sengkang, Sulawesi Selatan, dan di Bontang, Kalimantan Timur. Kendalanya, yaitu dana pemerintah terbatas. Bisa juga memakai dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pro-dusen migas. Itu langkah yang tidak memberatkan supaya masyarakat di daerah pengha-sil gas juga menikmati sumber daya gas yang mereka miliki. (E-2)

[email protected]

SENIN, 14 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA

Menjaga Subsidi Merata ke Pelosok Negeri

Jadi atau tidak pembatasan konsumsi BBM bersubsidi diberlakukan, BPH Migas tetap harus mengatur dan mengawasi konsumsi tersebut.

MI/ADAM DWI

WAWANCARA20

Nama:Tubagus Haryono

Lahir : Jakarta, 16 Januari 1956

Karier : 2003-sekarang Kepala BPH Migas 1997-2003 Anggota DPR RI 1985-1997 Pegawai Pertamina

Pendidikan : 2008-2011 Program S-3 IPB 1992 Magister Manajemen UI Jakarta 1982 Sarjana Fisika UI Jakarta

Organisasi : 2010-2015 Sekretaris Dewan Pakar ICMI 1994-1998 Anggota Lembaga Sensor Film (LSF) 1993-1996 Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)

BIODATA