semiotik - cakil
TRANSCRIPT
JUDUL
ANALISIS SEMIOTIK CERPEN
“ CAKIL“
KARYA TJAHJONO WIDIJANTO
Dimuat di Seputar Indonesia 10 Februari 2010
http://sriti.com/story_view.php?key=3729
ABSTRAK
Kajian Semiotika Prosa Fiksi pada Cerpen adalah adalah ilmu yang secara sistematik mempelajari
tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-sistem lambang, dan proses perlambangan yang terdapat dalam
suatu karya sastra dalam hal ini adalah kajian prosa berupa cerpen.
Cerpen karya Tjahjono Widijanto dengan Judul “Cakil” adalah cerpen dengan klasifikasi cerpen atau
karya sastra semiotika hal ini terlihat dari analisis sintaksis (alur dan pengaluran) dan analisis semantik
(tokoh dan latar). Hal itu terutama terlihat dari analisis semantik, tokoh yang dimaksudkan sebagai
rakyat kecil atau kaum rakyat jelata, Tjahjono ubah menjadi sebuah perlambangan “Cakil” tokoh
dalam perwayangan yang juga memiliki peranan sebagai orang yang senantiasa ikhlas untuk selalu
kesakitan, kalah dan dikalahkan. Perlambangan-perlambangan lainnya yang terdapat dalam cerpen ini
juga disesuaikan dengan karakteristik subjek yang sebenarnya dituju oleh Tjahjono selaku penulis dari
cerpen yang sedang dikaji ini. Hal ini sesuai dengan semiotik yang menitikberatkan kajiannya pada
perlambangan dan tanda-tanda.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Illahirobbi, karena hanya dengan izinNya karya tulis ini dapat
diselesaikan dengan segala perjuangan, pengorbanan, dan kerjakeras yang sangat berarti.
Makalah dengan judul ANALISIS SEMIOTIK CERPEN “ CAKIL ” KARYA TJAHJONO
WIDIJANTO Dimuat pada Koran Harian Seputar Indonesia pada tanggal 10 Februari 2010 dan
http://sriti.com/story_view.php?key=3729. Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dalam karya
tulis ini adalah untuk mengetahui gagasan dan struktur cerpen yang terkandung dalam cerpen “Cakil”.
Dengan didasari landasan teori yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, karya tulis ini akan
menjawab tujuan penulisan tersebut.
Terimakasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan
karya tulis makalah ini. Terutama kepada kedua orang tua penulis, teman-teman, dan kepada Ibu
Halimah selaku pembimbing mata kuliah Kajian Prosa Fiksi.
Sebagai manusia biasa penulis sangat menyadari akan adanya kekurangan dan kesalahan dalam
penyajian karya tulis ini, oleh karena itu penulis mohon maaf yang sedalam-dalamnya dan mohon
bimbingan, serta kritik dan saran pembaca, agar penulis tidak melakukan kesalahan-kesalahan serupa
pada karya-karya tulis yang akan penulis sajikan dikemudian hari, dan agar karya-karya tulis penulis
selanjutnya menjadi sebuah karya tulis yang lebih baik lagi. Berikut ini kiranya yang dapat penulis
sajikan. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
Wasalamuailaikum Wr.Wb.
Bandung, 4 November 2010
Penulis,
Andiyannita Khrishandiri
DAFTAR ISI
JUDUL
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Korpus
1.2 Pengarang dan Karyanya
1.3 Landasan Teori
1.3.1 Cerpen
1.3.2 Semiotik
A. Pengertian Semiotik
B. Tanda : Penanda dan Petanda
1.3.3 Kesusastraan
A. Aspek Sintaksis
B. Aspek Semantik
C. Aspek Verbal
D. Aspek Pragmatik
1.3.4 Metode Semiotik Dalam Penelitian Sastra
A. Konvensi Ketaklangsungan Ekspresi
B. Pembacaan Semiotik: Heuristik Dan Hermeneutik Atau Retroaktif
1.3.5 Penceritaan
1.3.6 Penunjukan Teks Ke Teks Lain Hubungan Intertekstual
1.4 Masalah
BAB II ANALISIS STRUKTUR CERPEN
2.1 Alur dan Pengaluran
2.1.1 Pengaluran
2.1.2 Alur
2.2 Tokoh Dan Latar
2.2.1 Tokoh
2.2.2 Latar
2.3 Penceritaan
2.4 Tema
2.5 Intertekstual
2.5.1 Kajian Intertekstual terhadap Ilmu Hukum tentang Korupsi
2.5.2 Kajian Intertekstual terhadap Ilmu Agama tentang Korupsi, Perzinaan, dan Pelacuran
2.5.3 Kajian Intertekstual terhadap Kondisi Lingkungan Sosial tentang Korupsi, Perzinaan, dan
Pelacuran
2.5.4 Kajian Intertekstual terhadap Cerpen “ Methamorphosis ” Karya Kafka terhadap
Simbolisasi Perubahan Wujud Tokoh Menjadi Anjing
BAB III MAKNA/GAGASAN DAN SIMBOLISASI CERPEN
3.1 Representasi Gagasan : Uraian
3.2 Representasi Gagasan : Simbolisasi
BAB IV SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Korpus
Banyak klasifikasi kajian yang dapat dilakukan dalam menganalisis karya sastra. Berdasarkan
ilmu yang diperoleh dari mata kuliah kajian prosa fiksi bimbingan dari Ibu Halimah, kajian karya
sastra terbagi diklasifikasikan kedalam beberapa kajian, diantaranya yaitu: kajian semiotika, kajian
sosiologi sastra, kajian persepsi sastra, kajian poskolonial sastra, dan kajian feminisme sastra.
Berdasarkan pembagian pembahasan kelompok, kebetulan kelompok penulis mendapatkan tugas
untuk menganalisis masing-masing sebuah cerpen dalam konteks kajian semiotika.
Pada mulanya cukup sulit bagi penulis untuk menemukan sebuah cerpen yang pas untuk dikaji
dengan menggunakan kajian semiotik ini, apalagi cerpen yang dikaji ditetapkan dengan kriteria
diterbitkan tahun 2010. Sulit menemukan karya cerpen dengan latar penulisan semiotik, untuk
mendapatkan karya yang dikeluarkan pada tahun 2010, penulis melacak beberapa karya melalui media
internet. Cerpen dengan judul “Cakil” penulis putuskan untuk diteliti karena dalam cerpen ini tokoh
dengan simbolisasi tokoh perwayangan bernama ‘Cakil’ beserta tata kehidupan perwayangan
didalamnya merupakan perlambangan yang digunakan oleh penulis cerpen dalam mengungkapkan
gagasan dalam cerita. Berbagai tokoh perwayangan menyimbolkan dunia perpolitikan dan kehidupan
masyarakat sekarang. Judul cerpen sebelumnya yang dijadikan bahan pertimbangan adalah cerpen
dengan judul “Kisah Mesin Ketik Tua” cerpen remaja karya Nasruddin Asn, dalam cerpen ini
mencerikan tentang simbolisasi kaum manula atau manusia lanjut usia dalam hal ini orang tua dan
para pejuang yang diacuhkan oleh perkembangan zaman. Tidak di analisisnya cerpen ini dikarenakan
cerpen tersebut terbit pada 15 November 2009 tidak masuk dalam kriteria cerpen yang terbit pada
tahun 2010, selain itu juga dikarenakan sulitnya ditemukan biodata mengenai pengarang. Judul cerpen
lainnya adalah “Ada yang Menangis Sepanjang Hari” merupakan salah satu cerpen dalam kumpulan
cerpen yang diterbitan pada harian umum KOMPAS, sulitnya mencari biodata pengarang dan
simbolisasi yang digunakan oleh pengarang sangat sederhana hanya satu simbolisasi ‘tangisan’
membuat cerpen ini tidak dikaji lebih lanjut oleh penulis.
Cerpen dengan judul “Cakil” karya Tjahjono. Penulis cerpen merupakan salah satu tokoh
dalam dunia sastra. Berbagai karya sastra yang dihasilkannya memiliki perbedaan jika dikaji
berdasarkan kajian prosa fiksi yang terdiri dari berbagai macam kajian yang telah disampaikan
sebelumnya.
Pengkajian dalam kajian semiotik dirasakan cukup sulit bagi penulis, karena dalam hal ini
penulis harus memiliki imajinasi yang cukup kuat untuk dapat memahami isi dari cerpen yang dikaji,
karena memang isi dalam cerpen semiotik tidak digambarkan secara realita. Mengapa pengarang
menggunakan simbolik dalam cerpennya? Adakah yang melatarbelakangi hal itu? Unik, menantang,
dan dibutuhkan konsentrasi juga keseriusan dalam melakukan kajian ini, maka dari itu penulis merasa
inilah saatnya untuk belajar mengkaji karya sastra semiotik.
1.2 Pengarang dan Karyanya
Nama: Tjahjono Widijanto. Tempat/tanggal lahir: Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan: Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. IKIP Negeri Malang (sekarang Universitas Negeri Malang). Profesi : Sastrawan (Penyair/esais)Prestasi/Pengalaman : 1) Pemenang Pertama (I) Lomba Mengulas karyaSastra Tingkat Nasional Tahun 2002 yang diadakan oleh Majalah Sastra Horison, Depdiknas dan Ford Foundantion. Dengan judul makalah: Estetika Bahasa dan Kosmologi Jawa dalam Asmaradana karya Goenawan Mohamad2) Pemenang Kedua (II) Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2005. Dengan judul makalah: “Cala Ibi”: Novel Kontemplatif Meditatif Sufistik dari Pulau Ternate.3) Pada tahun 1996 diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan karya (puisi) pada acara Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki Jakarta4) Pada tahun 2004 untuk kedua kalinya diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan karya di Taman Ismail Marzuki (TIM) dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia 2005.5) Pada tahun 2005 kembali diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk mengikuti Simposium Kritik Seni sekaligus menerima penghargaan sebagai Pemenang Kedua Sayambara Kritik Sastra Nasional yang diadakan DKJ.6) Pemenang kedua (II) Lomba Mengulas Karya Sastra th. 2005 (Depdiknas dan majalah Horison) dengan judul makalah: Konsep-konsep Spritualisme Timur Dalam Kumpulan Cerpen Godlog karya Danarto.7) Salah satu finalis Lomba Lingkungan Hidup (PKLH) tingkat Nasional th. 2005 di Jakarta dengan judul makalah: “Membangun Kota Berwawaskan Humanisme Ekologis”Salah satu cerita pendeknya berjudul “Coro” menjadi salah satu nominasi LMCP (Lomba Menulis Cerita Pendek) 2003, yang diadakan oleh Horison dan Depdiknas.9) Pada tahun 1996 dinobatkan sebagai salah satu Penyair Pilihan Jawa Timur versi Bengkel Muda Surabaya.Aktivitas dan Produktivitas : Menulis puisi, eseai, dan cerpen di berbagai Jurnal, Majalah dan Koran di luar negeri dan di dalam negeri. Antara lain: Jurnal PERISA Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Bahana (Brunei Darusasalam),Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi, Jurnal Perempuan, Majalah sastra HORISON, Kompas, Media Indonesia, Matra Suara Pembaruan, Matra, Suara Karya, Jawa Pos, Surabaya Pos ,Surya, Lampung Pos, Bali Pos, dll.-Pada tahun 1988 Mendirikan Majalah Kebudayaan IKLIM yang terbit di Malang sekaligus menjadi salah satu Redakturnya (1989-1990).-Aktif berteater bersama teater Ideot Malang dari th. 1987-1994-Ikut memprakarsai berdirinya Majalah Kebudayaan Kalimas Surabaya dan menjadi salah satu Redakturnya (1992-1994)-Ikut mendirikan majalah kebudayaan Lontar di Ngawi sekaligus menjadi salah satu redakturnya (1996-2004).-Ikut mendirikan Studi Lingkar Sastra Tanah Kapur Ngawi, dan aktif sebagai penggeraknya hingga sekarang (1995-sekarang)-Menjadi pendiri dan ketua kelompok teater Zat Ngawi (1998-sekarang).Buku-buku yang dihasilkan : Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, 2003), Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000), Ekstase Jemari (1995,: antologi tunggal), Dunia Tanpa Alamat (DKJT, 2003—antologi tunggal). Birahi Hujan (Dewan Kesenian Jakarta dan Logung Pustaka, 2004), Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, Jakarta 1996), Bapaku Telah Pergi: Antalogi Penyair Pilihan jawa Timur (Surabaya, 1995), Akulah Ranting (Dioma, Malang 1996), Antologi Cerpen dan Puisi Indonesia Modern: Gerbang (Pustaka Pelajar, Jogyakarta 1997), Memo Putih (DKJT, 2000), Keajaiban Bulan Ungu (DKS, 2000), Apa kabar Sastra? (Kumpulan Eseai, DKJT, 2002). Tegak Lurus dengan Langit (Kumpulan artikel Pemenang Lomba Mengulas karya sastra Nasional, 2002), Dunia Bayang-bayang (Surabaya, 1995), Antologi Sastra Kepulauan (DKSS: 1999), dll.Alamat : Menetap di Ngawi, Jawa Timur, alamat: jl. Hasanudin Gg. Cimanuk 1A Ngawi. Telp. (0351) 744894; H.P: 08155615593. Email: [email protected] (*)
1.3 Landasan Teori
1.3.1 Cerpen
Menurut Oemarjati dalam Pamusuk Eneste. Ed, (1985:256), cerpen adalah karangan
singkat. Menurutnya, apa yang disebut karangan singkat karena kesingkatannya yang tidak memberi
fasilitas untuk mencantumkan dengan detail ke setiap sudut pembicaraan. Disini apabila dibandingkan
dengan sebuah roman atau juga novel, berisikan tentang keseluruhan riwayat hidup sang tokoh.
Cerpen dengan singkat menceritakan suatu kejadian saja. Namun, menurut Boen dan Eneste. Ed,
(1985:256), merefleksikan sebuah roman yang terangkum.
Namun, untuk sekedar mendefinisikan dari segi fisik menurut Sumardjo dan Saini (1988:36-
37), belum bisa mewakili bentuk cerpen. Mendefinisikan dari segi fisik saja dapat bersinggungan
denga bentuk-bentuk lain. Seperti halnya fabel, parabel, cerita rakyat, dan anekdot yang memiliki
bentuk cerita yang pendek Perlu aspek-aspek yang lain untuk mendefinisikan cerpen menjadi lebih
konkrit. Definisi cerpen harus memperhatikan ciri yang terdapat dalam cerpen, ciri dasar cerpen
adalah sifat rekaan. Namun ciri rekaan dapat mengidentifikasikan sisi kehidupan nyata dengan cara
mengetahui peristiwa, perbuatan, pikiran dan perasaan tokoh yang ada dalam cerpen tersebut. Hal
tersebut dapat diperoleh denga melihat unsur-unsur yang membentuk suatu cerpen, seperti peristiwa
cerita (alu atau plot), tokoh cerita (karakter), tema cerita, suasana cerita (atmosfir cerita), latar cerita
(setting), sudut pandang penceritaan (point of view), dan gaya (style) penulisan.
1.3.2 Semiotik
A. Pengertian Semiotik
Berasal dari bahasa Yunani, yaitu Seméion yag berarti tanda.
Semiotik adalah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-
sistem lambang, dan proses perlambangan.
Ilmu tanda-tanda, menganggap fenomena masyarakat dan kebudayaan sebagai tanda-tanda.
Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, semiotik meliputi analisis sastra
sebagai sebuah penggunaan bahsa yang bergantung kepada konvensi-konvensi tambahan dan yang
meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang memberi makna bermacam-macam cara (modus) wacana.
Meskipun refleksi tentang tanda itu mempunyai suatu sejarah filsafat yang patut dihargai, namun
semiotik atau semiologi dalam arti modern bertanggal dari masa Ferdinand de Saussure (1857-1913),
yang mengemukakan pandangan bahwa linguistik hendaknya menjadi bagian suatu ilmu pengetahuan
umum tentang tanda, yang disebutnya semiologi.
Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena itu,
menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya-karya sastra mempunyai arti (makna).
Penelitian sastra dengan pendekatan semiotic itu sesungguhnya merupakan lanjutan dari
pendekatan strukturalisme. Dikemukakan Junus (1981:17) bahwa semiotic itu merupakan lanjutan
atau perkembangan strukturalisme. Strukturalisme itu tidak dapat dipisahkan dengan semiotic.
Alasannya adalah karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna.
Tanpa memperhatikan system tanda, tanda dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya
sastra (atau karya sastra) tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.
Menurut Zoest ( Sudjiman dan Aart van Zoest, 1992 : 2), semiotik memiliki dua tokoh yang
memiliki peranan penting, yaitu Saussure dan Charles Pierce . Pierce dikenal sebagai seorang ahli
filsafat dan logika dari Amerika ( 1839-1914), sedangkan Saussure dikenal sebagai seorang yang
memegang kendali dari awal munculnya linguistik umum.
Secara sistematik, teori semiotik pertama kali dikenalkan oleh Pierce. Menurut Peirce (Zoest
dalam Aart van Zoest, 1992:8) tanda selalu tedapat dalam hubungan trio: dengan ground-nya, dan
dengan interpretan-nya. Atau dengan kata lain Pierce mengatakan ( Luxemburg, 1984 : 46) bahwa ada
tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda, yaitu tanda itu, hal yang ditandai dan sebuah tanda
baru yang terjadi dalam batin si penerima.
B. Tanda : Penanda dan Petanda
Pierce mengatakan ( Luxemburg, 1984 : 46) bahwa ada tiga faktor yang menentukan adanya
sebuah tanda, yaitu tanda itu, hal yang ditandai dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin si
penerima. Pierce membagi ke dalam tiga unsur bentuk tanda yaitu ikon, indeks, dan simbol. Pierce
menjelaskan ( dalam Sukada, 1987 : 66-67 ) mengenai definisi ketiga unsur bentuk tanda, Ikon adalah
tanda yang menggunakan kesamaan, atau ciri-ciri bersama, dengan apa yang dimaksudkan. Indeks
adalah suatu tanda yang memiliki kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya. Simbol adalah
hubungan antara item penanda dengan item yang ditandai, yang bersifat alamiah melainkan
merupakan kesepakatan masyarakat semata-mata. Menurut Pierce, tanda selalu terdapat dalam
hubungan trio: dengan ground-nya, dengan acuannya, dan dengan interpretan-nya. Hubungan antara
tanda dengan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan; tanda itu disebut ikon. Foto seseorang
adalah ikon. Kedua, hubungan ini dapat timbul karena asa kedekatan eksistensi; tanda itu disebut
indeks.
Contohnya sebuah penunjuk angin. Terakhir, hubungan itu dapat pula merupakan hubungan yang
sudah terbentuk secara konvensional; tanda itu adalah simbol. Contoh simbol adalah bahasa ( zoest
dalam Sudjiman dan Aart van Zoest, 1992 : 8-9) .
Sementara itu, (dalam Lechte, 2001 :235) menurut Saussure tanda terbagi menjadi dua bagian
yaitu, penanda (significant), dan yang ditandai (signifié). Saussure (dalam Zaimar, 1991 : 23) juga
menganggap bahasa sebagai sistem yang paling lengkap. Selain dalam bahasa, ada kekurangan sistem
dalam tanda-tanda lain.
Dalam bahasa, petanda adalah konsep, sedangkan penanda adalah imaji bunyi yang bersifat psikis
dan hubungan antara tanda konsep dan imaji, disebut sebagai tanda.
Sementara Saussure (1988:147) melihat tanda adalah kombinasi antara konsep dan gambaran
akustik. Kemudian Saussure mengusulkan menganti istilah konsep dengan petanda (signifie) dan
gambaran akustik dengan penanda (significant).
Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena
sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-
sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang meungkinkan tabda-tanda tersebut mempunyai arti.
Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan
bahasa yang bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana
mempunyai makna (Preminger, dkk., 1974:980). Saussure menyebutkan ilmu itu dengan nama
semiologi. Pierce menyebutkan semiotik (semiotics). Kemudian nama itu sering dipergunakan
berganti-ganti pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu,
sedangkan di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik.
Perlu diperhatikan, dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa
indekslah yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukan hubungan
sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Misalnya, dalam penokohan, seorang tokoh tertentu, dokter
(Tono dalam Belenggu) dicari tanda-tanda indeks bahwa ia dokter. Misalnya Tono, ia selalu
menggunakan istilah-istilah kedokteran, alat-alat kedokteran, mobil bertanda simbol dokter, dan
sebagianya.
1.3.3 Kesusastraan
Sastra (karya sastra) merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya.
Bahan sastra adalah bahasa yang sudah berarti. Bahasa berkedudukan sebagai bahan dalam
hubungannya dengan sastra, sudah mempunyai sistem dan konvensi sendiri yang mempergunakan
bahasa, disebut semiotik tingkat kedua.
Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan
konvensi sastra. Makna sastra ditentukan oleh konvensi sastra atau konvensi tambahan itu. Jadi, dalam
sastra arti bahasa tidak lepas dari arti bahasanya. Dalam sastra arti bahasa itu mendapat ari tambahan
atau konotasinya. Lebih-lebih dalam puisi, konvensi sastra itu sangat jelas memberi arti tambahan
kepada arti bahasanya. Misalnya sajak Sutardji Calzoum Bachri ”Tragedi Winka & Sinka” (1938:38).
Bahasa merupakan sebuah sistem karena masing-masing unsurnya saling berhubungan satu
sama lain dalam keseluruhan yang teratur ( Zaimar, 1991 : 13). Setiap bagian memiliki fungsi sesuai
dengan kaidah-kaidah tertentu yaitu sebagai alat komunikasi.
Aspek sintaksis, aspek semantik, dan aspek verbal merupakan ketiga aspek yang dimiliki
dalam analisis stuktur teks, khususnya dalam analisis cerpen.
Pada penganalisisan cerpen ini, yaitu penganalisisan yang menggunakan konsep semiotik,
karya sastra dimulai dengan analisis bahasa dan menggunakan langkah-langkah yang terdapat di
dalam pemaparan linguistik wacana.
Menurut Zaimar (1991L:13) bahasa merupakan sebuah sistem karena masing-masing
unsurnya saling merhubungan satu sama lain dalam keseluruhan yang teratur. Dengan demikian,
setiap bagian itu memiliki fungsi sesuai denga kaidah tertentu sebagai alat untuk berkomunikasi.
Teori semacam iilah yang melandasi teori linguistik modern, dan pada akhirya teori linguistik
modern digunakan untuk landasan studi sastra.
Untuk sampai pada analisis makna diperlukan analisis aspek sistaksis, semantik, dan verbal
(Todorov, 1985:12). Analisis struktur sastra khususnya analisis cerpen memiliki beberapa aspek yaitu
aspek sintaksis, semantik dan verbal. Ketiga aspek yang digunakan tadi merupakan tataran dalam studi
linguistik, penelitian ini analisis semiotik karya sastra dimulai dengan analisis bahasa dan
menggunakan langkah-langkah yang ada dalam tataran linguistik wacana.
A. Aspek Sintaksis
Dalam Zaimer (1991:14) Roland Barthes mengemukakan gagasan dengan istilah sintaksis
naratif berdasarkan pemikiran Saussure, yaitu mengenai hubungan sintagmatik dan paradigmatik.
Dalam menelaah struktur, analisis sintagmatik mementingkan satuan-satuan yang dianalisis
saling berurutan. Sehingga langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan satuan-satuan
cerita beserta fungsinya. Barthes (dalam Zaimar, 1991:15) juga menekankan bahwa makna harus
menjadi kriteria satuan cerita atau dengan kata lain disebut sekuen. Berikut ini adalah kriteria yang
dikemukakan oleh Scmit dan Viala (dalam Zaimar, 1991:15)
1) Sekuen harus terpusat pada satu ttik perhatian , yang diamati merupakan objek tunggal dan sama:
peristiwa sama, tokoh yang sama, gagasan yang sama dan pemikiran yang sama.
2) Sekuen harus mengandung suatu kurun waktu dan ruang yang koheren: sesuatu yang terjadi pada
suatu tempat da waktu tertentu. Dapat juga merupakan gabungan beberapa tempat dan waktu yang
tercangkup dalam satu tahapan.
Tipe-tipe sekuen :
Sekuen yang menunjukan realitas/peristiwa vs Sekuen Gagasan/Pikiran, Sekuen sorot balik
(menampilkan kembali masa lampau dalam suatu rangkaian peristiwa), Sekuen kilas balik
(menampilkan kembali masa lampau dalam satu peristiwa saja), Sekuen yang menampilkan peristiwa
yang belum terjadi, Sekuen bayangan (prospektif), Sekuen peristiwa sebenarnya (realitas).
Menurut Barthes (dalam Zaimar, 1991:16),satuan cerita mempunyai dua fungsi yaitu sebagai
fungsi utama dan katalisator.Analisis aspek sintaksis memperlihatkan bahwa sebuah teks terdiri atas
unsur-unsur yang saling berkaitan. Melalui telaah aspek sintaksis, karya sastra dapat diuraikan
menjadi unsur-unsur terkecil berupa sekuen. Analisis sintaksis akan memperlihatkan bagaimana alur
dan pengaluran cerpen ini. Alur cerpen ini diperlihatkan melalui analisis fungsi utama dan
pengalurannya melaui analisis sekuen-sekuen.
Cerpen ini diuraikan menjadi unsur-unsur terkecil berupa sekuen. Analisis sintaksis
menunjukkan juga bagaimana alur dan pengaluran cerpen “Cakil” ini. Alur cerpen diperlihatkan lewat
analisis fungsi utama dan pengalurannya lewat analisis sekuen-sekuen.
B. Aspek Semantik
Analisis tokoh dan latar diperoleh dari analisis aspek semantik. Dari analisis itu akan
diketahui bagaimana pikiran-pikiran tokoh dan fungsi latar dalam novel secara keseluruhan. Analisis
semantik membahas tentang tokoh dan latar (suasana). Hal ini digunakan untuk menelaah hubungan
antara unsur-unsur yang hadir dan unsur yang tidak hadir dalam teks. Dari analisis semantik, dapat
diketahui bagaimana pikiran-pikiran tokoh dan fungsi latar (suasana) secara keseluruhan dalam cerpen
ini.
C. Aspek Verbal
Analisis aspek verbal tidak dilakukan karena dengan analisis aspek sintaksis dan analisis
aspek aemantik pun tujuan analisis telah tercapai. Dengan demikian, analisis dititikberatkan pada
analisis aspek sintaksis dan analisis aspek semantik.
D. Aspek Pragmatik
Aspek pragmatik yang biasa disebut naratologi, biasanya membahas tentang masalah urutan
peristiwa, modus dan tutur (sudut pandang), lama waktu peristiwa berlangsung, dan juga frekuensinya.
Melalui analisis pragmatik, sudut pandang digunakan penganalisis untuk mengetahui tipe penceritaan.
1.3.4 Metode Semiotik Dalam Penelitian Sastra
Dikemukakan Preminger dkk. (1974:981) bahwa penerangan semiotik itu memandang objek-
objek atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa: sistem linguistik) yang
endasari ”tata bahsanya” harus dianalisis. Penelitian harus menyendirikan satuan-satuan minimal yang
digunkan oleh sistem tersebut; peneliti harus menentukan kontras-kontras di antara satuan-satuan yang
menghasilkan arti (hubungan-hubungan paradigmatik) dan aturan-aturan kombinasi yang
memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama-sama sebagai pembentuk-pembentuk
struktur yang lebih luas (hubungan-hubungan sintagmatik).
Dikatakan selanjutnya oleh Preminger bahwa study semiotik sastra adalah usaha untuk
menganalisis sebuah sistem tanda-tanda. Oleh karena itu peneliti harus menentukan konvensi-
konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Dalam
sastra jenis-jenis sastra (genre) dan ragam-ragam, jenis sastra prosa dan puisi, prosa mempunyai
ragam: cerpen, novel, dan roman (ragam utama). Genre puisi mempunyai ragam: puisi lirik, syair,
pantun, soneta, balada, dan sebagianya. Tiap ragam itu merupakan sistem yang mempunyai konvensi-
konvensi sendiri. Dalam menganalisis sistem tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi apa yang
memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam rangka sastra itu mempunyai makna.
Cerkan (cerita rekaan) pun mempunyai konvensi-konvensi yang lain dari konvensi puisi,
misalnya konvensi yang berhubungan dengan bentuk cerita yang sufatnya naratif, misalnya plot,
penokohan, latar atau setting, dan pusat pengisahan (point of view). Di samping itu, juga mempunyai
monvensi-konvensi kebahasaan yang berupa gaya bahsa. Elemen-elemen cerkan itu merupakan
satuan-satuan tanda yang harus dianalisis dan disendiri-sendirikan (dalam arti dieksplisitkan)
Ada metode yang lebih khusus untuk meneliti karya sastra secara semiotik pembacaan
heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif. Untuk lebih mudah, penelitian semiotik dengan
menggunakan pendekatan atau metode konvensi yang penting dalam karya sastra, yaitu konvensi
ketaklangsungan ekspresi sastra dan konvensi hubungan antarteks.
A. Konvensi Ketaklangsungan Ekspresi
Ketaklangsungan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara
tidak langsung, dengan cara lain.
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu
penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti.
B. Pembacaan Semiotik: Heuristik Dan Hermeneutik Atau Retroaktif
Pembacaan Heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara
semiotik adalah berdasarkan konvensi-konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan
hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau
berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah
pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya.
Pembacaan heuristik cerkan adalah pembacaan ”tata bahasa” ceritanya, yaitu pembacaan dari
awal sampai akhir cerita secara berurutan.
Untuk mempermudah pembacaan ini dapat berupa pembuatan sinopsis cerita. Cerita yang
beralur sorot balik (dapat) dibaca secara alur lurus. Pembacaan Heuristik itu adalah penerangan kepada
bagian-bagian cerita secara berurutan. Begitu juga, analisis bentuk formalnya merupakan pembacaan
heuristik. Pembacaan heuristik belum memberikan makna yang sebenarnya. Pembacaan ini terbatas
pada pemahaman terhadap arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama, yaitu berdasarkan
konvensi bahasanya. Pembacaan heuristik harus diulang kembali dengan pembacaan retroaktif dan
ditafsirkan secara hermeneutik berdasarkan konvensi sastra (puisi), yaitu sistem semiotik tingkat
kedua. Konvensi sastra yang memberikan makna itu diantaranya konvensi ketakslangsungan ucapan
(ekspresi) sajak.
1.3.5 Penceritaan
Dalam menganalisis penceritaan cerpen, terdapat dua pilihan aspek. Yang pertama, berkenaan
dengan aspek kehadiran pencerita di dalam teks, dan yang kedua adalah berkaitan dengan tipe
penceritaan.
Aspek yang pertama, yaitu aspek kehadiran pencerita di dalam teks, terdiri dari dua pilihan
yaitu pencerita langsung/intern (pencerita yang hadir di dalam teks, kemudian mengambil peran
sebagai tokoh). Dan aspek yang kedua yaitu pencerita tidak langsung/ekstern (pencerita yang tidak
hadir di dalam teks dan mengambil peran sebagai pengamat).
Aspek yang kedua, yaitu aspek yang berkenaaan dengan tipe penceritaan. Aspek yang
berkenaan dengan tipe penceritaan terbagi menjadi tiga penceritaan yaitu wicara yang dilaporkan,
wicara yang dinarasikan dan wicara alihan.
Tipe penceritaan yang pertama, yaitu wicara yang dilaporkan adalah wicara yang ditampilkan
dengan cara langsung. Tipe penceritaan yang kedua adalah wicara alihan yaitu wicara yang
menyampaikan pikiran tokoh, perasaan tokoh, dll. Tipe penceritaan yang terakhir, yaitu wicara yang
dinarasikan yaitu wicara yang menyajikan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh.
1.3.6 Penunjukan Teks Ke Teks Lain Hubungan Intertekstual
Pengertian intertekstual dijelaskan Michel Riffaterre (dalam Zaimar, 1990:26) sebagai berikut:
Jadi, saya akan mendefinisikan kembali intertekstualitas: yaitu suatu fenomena yang
mengerahkan pembacaan teks, yang mungkin menentukan interpretasi dan yang kebalikan dari
pembacaan per baris. Ini adalah cara untuk memandang teks yang menentukan pembentukan makna
wacana, sedangkan pembacaan per baris hanya menentukan makna unsurnya, berkat cara memandang
teks semacam ini, pembaca sadar bahwa suatu karya sastra kata-kata tidaklah mengacu pada benda-
benda atau konsep atau secara umum tidak mengacu kepada dunia yang bukan kata-kata (non verbal).
Disini kata-kata mengacu kepada suatu jalinan pemunculan yang secra keseluruhan sudah menyatu
dengan dunia bahas. Jalinan itu dapat berupa teks-teks yang telah dikenal atau pun bagian-bagian teks
yang muncul setelah terlepas dari konteksnya dan yang dapat dikenali dalam konteksnya yang baru
sehingga orang tahu bahwa teks tersebut telah ada sebelum ia muncul dalam konteks yang baru.
Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1981:11), termasuk sastra. Karya
sastra itu merupakan sebuah response (Teeuw, 1983:65) pada karya sastra yang terbit sebelumnya.
Oleh karena itu, sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Sebuah karya
sastra baru mendapatkan maknanya yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya (Teeuw,
1983:66). Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks
lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu,
karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaan tersebut, baik secra umum
maupun khusus. Untuk dapat menemukan dan menafsirkan response itu adalah merupakan tugas
pembaca (Teeuw, 1983:65), termasuk pembaca adalah peneliti sastra.
Julia Kristeva (Culler, 1977:193) mengemukakan bahwa setiap teks itu, termasuk teks sastra,
merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi teks-teks lain.
Secara khusus, ada teks tertentu yang menjadi latar penciptaan sebuah karya disebut hipogram oleh
Riffaterre (1978:11,23), sedangkan teks yang menyerap mentransformasikan hipogram itu dapat
disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan makna hakiki tersebut digunkan metode
intertekstual, yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi
dengan hiprogramnya. Misalnya, tampak bahwa beberapa sajak Chairil Anwar merupakan
transformasi sajak Amir Hamzah (Pradopo. 1990:230-246).
1.4 Masalah
Karena cerpen ini berlandaskan prinsip semiotika yang mengandung unsur-unsur
perlambangan dalam peyampaian ide ceritanya, berlandaskan latar belakang penulisan dan teori-teori
yang berkaitan dengan penelitian ini, maka penulis merumusakan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Gagasan apakah yang terkandung dalam cerpen “Cakil” ini?
2. Apakah struktur cerpen ini mendukung penyampaian gagasan pengarangnya?
BAB II
ANALISIS STRUKTUR CERPEN
2.1 Alur dan Pengaluran
2.1.1 Pengaluran
2.1.2 Alur
2.2 Tokoh Dan Latar
2.2.1 Tokoh
2.2.2 Latar
2.3 Penceritaan
2.4 Tema
2.5 Intertekstual
2.5.1 Kajian Intertekstual terhadap Ilmu Hukum tentang Korupsi
2.5.2 Kajian Intertekstual terhadap Ilmu Agama tentang Korupsi, Perzinaan, dan Pelacuran
2.5.3 Kajian Intertekstual terhadap Kondisi Lingkungan Sosial tentang Korupsi, Perzinaan,
dan Pelacuran
2.5.4 Kajian Intertekstual terhadap Cerpen “ Methamorphosis ” Karya Kafka terhadap
Simbolisasi Perubahan Wujud Tokoh Menjadi Anjing
BAB III
MAKNA/GAGASAN DAN SIMBOLISASI CERPEN
3.1 Representasi Gagasan : Uraian
3.2 Representasi Gagasan : Simbolisasi
BAB IV
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Durachman, Memen. 1996. Tesis: Khotbah Di Atas Bukit, novel gagasan karya Kuntowijoyo. UI :
Jakarta.
Firda, Nihaya Nurul. 2008. Makalah : Analisis Semiotik Cerpen“SUNGKAWA SEIRIS SEMANGKA”
karya Indra Trenggono dalam Kumpulan Cerpen Iblis Ngambek.UPI : Bandung
Prastiwi, Andini Eka. 2008. Makalah : Analisis Semiotik Cerpen“Penthouse 2601”Karya Djenar
Maesa Ayu.UPI : Bandung
Sholeh Argani, Firdaus. 2006. Skripsi : Gagasan Eksistensialisme dalam cerpen “Mereka Bilang
Saya Monyet, Melukis Jendela,Cermin,Menyusu Ayah”, karya Djenar Maesa Ayu (Kajian
Semiotika). UPI : Bandung.
Skripsi : Analisis Struktur Cerpen “Menyusu Ayah”. UPI : Bandung.
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Teks Cerpen
Cakil
Cerpen Tjahjono Widijanto Dimuat di Seputar Indonesia 10/02/2010 Telah Disimak 100 kali
Dibutuhkan segera lowongan kerja menjadi Cakil. Syarat utama: (1) berbadan kuat dan lincah,(2) bersedia senantiasa ikhlas untuk selalu kesakitan, kalah dan dikalahkan.Syarat tambahan: pendidikan minimal SMA tapi diutamakan S-1.
Jagat pewayangan geger. Cakil diberitakan telah raib.Dalang-dalang, wayang-wayang, niyaga-niyaga, bahkan pesinden blingsatan.Mereka tak berkutik,dibuat tak berdaya dengan hilangnya Cakil.Hilangnya Cakil segera berimbas pada sepinya penonton. Kalau toh ada satu dua dalang mencoba mementaskan wayang tanpa Cakil,mereka langsung diprotes oleh penonton.Bahkan ada seorang dalang yang babak-belur dikeroyok penonton karena nekat tak mementaskan adegan perang kembang. Rapat dan musyawarah segera digelar oleh Asosiasi Dalang Indonesia. Rapat memutuskan bahwa Cakil harus segera dicari dan sambil menunggu Cakil ditemukan dibuka lowongan kerja menjadi Cakil baru. Lowongan itu disebarkan di berbagai media massa.
Pada mulanya banyak orang mendaftarkan diri. Mereka tidak saja dari kalangan pengangguran yang butuh pekerjaan, tetapi juga dari berbagai kalangan yang sudah mapan. Mereka penasaran dan ingin menjajal diri berpetualang menjadi Cakil. Ketertarikan mereka lebih didorong rasa heran dan penasaran mengapa ada jenis pekerjaan yang tak lazim. Saking banyaknya, diadakan seleksi ketat dan akhirnya diperoleh sepuluh calon Cakil.Sebelum diangkat menjadi Cakil tetap,mereka diwajibkan bekerja magang dulu selama tiga bulan.Belum sampai dua bulan,kesepuluh calon itu rontok satu per satu.Ada yang tak kuat karena setiap malam babak belur dihajar oleh Arjuna.
Ada yang tak tahan setiap malam harus berjumpalitan sebelum akhirnya benar-benar roboh kehabisan nafas. Ada pula yang tak sanggup melawan kebosanan karena tiap malam harus bedah perutnya kena keris sendiri. Dan yang paling banyak mundur karena para pelamar itu tak sanggup makan hati terusterusan karena harus selalu menjadi jahat dan ujung-ujungnya mesti kalah dengan menyakitkan. Mundurnya calon-calon Cakil itu kembali membuat para dalang blingsatan. Diumumkan kembali iklan lowongan kerja.Kali ini disertai dengan iming-iming gaji sepuluh kali lipat. Bahkan untuk memancing para pelamar juga dengan harapan agar Cakil yang menghilang mau kembali, Asosiasi Dalang memutuskan gaji Cakil akan dibayar dengan dolar Amerika.
Namun, selalu saja para pelamar itu tak sanggup bertahan dan Cakil asli tak juga mau kembali. Jadilah para dalang menganggur, juga niyaga,dan pesinden. Tingginya standar gaji Cakil menimbulkan persoalan baru. Tokoh-tokoh wayang yang lain,terutama wayang dari golongan satria merasa tersinggung dan dilecehkan. Mereka mulai kasak-kusuk. Bagaimana mungkin Cakil wayang raksasa yang tonggos giginya itu bisa demikian tinggi gajinya? Sedangkan golongan
mereka,golongan satria, yang selama ini menjadi golongan paling utama yang tampan, gagah, sekaligus memegang peran utama dalam dunia pewayangan malahan berada di bawah gaji Cakil.
Badan Kehormatan Satria akhirnya memutuskan untuk menggelar musyawarah luar biasa kaum satria. “Kakanda Yudistira, ini tidak boleh dibiarkan.Para dalang itu harus segera kita peringatkan.Kalau dibiarkan lama-lama kredibilitas dan kehormatan kita sebagai satria akan hancur.Para satria akan dikalahkan raksasa dan lambat laun dunia pewayangan akan berada dalam genggaman raksasa!” kata Arjuna membuka pembicaraan. “Benar Mbarep Kakangku.Para dalang harus mengembalikan wayang pada khitahnya. Mereka harus diingatkan, dunia wayang adalah dunia satria.Konsep manusia ideal dalam budaya wayang adalah satria pinandita.
Maka jadi tak lucu kalau tiba-tiba saja para dalang itu seenak perutnya menaikkan gaji Cakil melebihi gaji para satria. Itu namanya pelecehan. Itu harus diluruskan!” Bima berteriak lantang sambil mengacungkan tinjunya yang sebesar kelapa. “Coba Kakanda pikir”, si kembar Nakula menyambung,“Mestinya para dalang itu tahu bahwa kita sebagai satria harus dicitrakan sebagai yang gagah, yang halus, yang indah, tanpa cela untuk diteladani kawula alit. Satria itu kan warenaning Allah. Apa gunanya dalang-dalang itu menyanjung kita tiap malam dengan melagukan suluk satria gung binathara bau dhenda anyakrawati,wenang wisesa saknagari, berbudi bawa leksana?
Mestinya gaji kita juga harus paling tinggi dan mahal dong! Lha kok Cakil, raksasa bergigi tonggos itu malahan tiba-tiba mau dibayar dengan dolar. Itu namanya merusak tatanan dan keharmonisan!” Adiknya,si Sadewa tak mau kalah menyampaikan unek-uneknya, “Sejak dulu dari berbagai lakon, mulai dari Bale Sigala-gala, Parta Krama,Wahyu Cakraningrat,Dewa Ruci, Kresna Duta,sampai Bharata Yudha Jaya Binangun, kita para satria yang pegang peranan. Si jelek Cakil itu kan selalu muncul tidak lebih dari setengah jam. Itu pun langsung modar. Enak saja gajinya bisa setinggi itu. Itu tidak adil. Tidak fair! Para dalang itu harus kembali disekolahkan, minimal ditatar atau dikursuskan lagi!”
“Saya curiga. Jangan-jangan dalang-dalang itu bermain mata, berkonspirasi dengan para raksasa melakukan pembunuhan karakter para satria secara sistematis. Minimal mereka sudah mulai otoriter. Sudah mengkhianati demokrasi. Kita seret saja para dalang itu ke jalur hukum.Kita somasi.Biar tahu rasa!” teriak Setyaki lantang disambut dengan teriakan setuju para satria yang lain. Suasana tegang, gaduh dan kacau balau. Ada satria yang berteriak sambil memukul-mukul meja, Ada yang berebut mikrofon untuk berlomba interupsi, ada yang naik ke atas meja,bahkan ada yang melempar gelas ke dinding saking kesal dan marahnya. Gatotkaca yang bertugas memimpin sidang tak mampu mengendalikan suasana.
Yudhistira menggaruk-garuk kepalanya.Ia mengerti bagaimana perasaan saudara-saudaranya juga para satria yang lain. Namun, ia juga paham kesulitan yang dialami para dalang akibat ulah Cakil itu. Kakak sepupunya, Kresna yang biasanya memiliki ide yang brilian, kali ini hanya bisa mengangkat tangan sambil menenggak obat sakit kepala. Akhirnya Kresnadan Yudhistira menemui Ketua Asosiasi Dalang. Yudhistira sengaja tidak mengajak adik-adiknya karena khawatir mereka tidak dapat mengendalikan emosi. Ki Saminto Lebda Carita,si Ketua Asosiasi Dalang, manggutmanggut mendengarkan protes Yudhistira dan Kresna.
Keringat dingin menetes di keningnya. Dilepasnya blangkon hitam yang menutupi kepalanya.Dahinya yang lebar semakin berkilau-kilau dialiri keringat yang makin deras menetes. “Maafkan saya Saudara Kresna dan Yudhistira.Saya paham perasaan Saudara-Saudara.Tapi ini benarbenar keadaan darurat.Keputusan menetapkan gaji tinggi untuk Cakil semata-mata demi kebaikan bersama. Dengan gaji tinggi kita berharap Cakil mau kembali atau minimal ada yang mau jadi Cakil baru.Dengan demikian kita semua dapat bekerja lagi. Kalau terusterusan tidak ada Cakil,kita semua akan jadi pengangguran.Bagaimana nanti nasib para niyaga dan sinden?
Mohon keikhlasan saudarasaudara satria untuk sedikit mengorbankan harga diri demi kebaikan bersama!” katanya mencoba menjelaskan. “Tapi ini merugikan pihak kami sebagai golongan satria. Mestinya para dalang tidak boleh sepihak begitu dong! Bagaimanapun juga kami kaum satria memiliki kehormatan lebih tinggi dibanding para raksasa itu. Kalau nanti ganti dari pihak satria yang boikot gimana? Seandainya para satria yang tersinggung lantas mogok bermain, apa Sampeyan berani bertanggung jawab? Apa Sampeyan berani memainkan atau buat lakon carangan yang isinya raksasa saja?!” Kresna berteriak penuh emosi.
Akhirnya setelah melalui perdebatan panjang dan alot, dicapai kesepakatan bahwa naiknya gaji Cakil hanya sekadar pancingan dan bersifat sementara. Para dalang berjanji bilamana Cakil sudah ada
atau sudah kembali, gajinya akan kembali berada di bawah standar gaji para satria. Sebagai kompensasi, para dalang menaikkan beberapa tunjangan dan penambahan fasilitas para satria.
***
Cakil berjalan tengadah menyusur malam. Suram cahaya bulan menelan wajahnya. Insting dan pengalaman kriminalnya di dunia pewayangan membawa kakinya sampai di jalan-jalan sepanjang Dolly. Mulutnya ternganga menyaksikan bagaimana lampu warna-warni dan suara hentakan musik mengudeta sinar bulan dan suara malam.Giginya yang tonggos rasa-rasanya semakin memanjang melihat perempuan-perempuan cantik berdandan ketat terpajang seperti ikan hias di akuarium. “Ckk, ckk. Gila, dahsyat sekali. Kenapa nggak dulu-dulu minggat dari dunia wayang. Rugi dah aku!” desisnya.
Kehadirannya langsung membuat geger lokalisasi itu. Semua orang dengan takjub memandang padanya sambil berbisik-bisik. Nama dan wajahnya yang cukup populer di dunia wayang seperti magnet menghipnotis orang-orang dilokalisasi itu untuk menyebut namanya dengan hormat dan gemetar. Orang-orang mengeluelukannya, berteriak-teriak dan berebutan untuk berjabat tangan. Tak ketinggalan para wanita di kompleks itu berebutan keluar menyambut dan meminta Cakil mampir di kamarnya Mereka berlombalomba berteriak merayu, merebut perhatian dan menawari tidur bersama dengan gratisan.
“Cipir godhong tela, Mas Cakil nggak mampir hatiku kecewa lho!” kata seorang wanita langsing berambut keriting. “Tanjung perak Mas, kapale kobong.Mangga pinarak Mas Cakil, kamarnya kosong kok..!” kata seorang lagi berambut lurus dan berhidung mancung sambil mengedip- ngedipkan mata menggoda. “Mas Cakil, alang-alang pinggir kali. Nggak bisa goyang dijamin diulangi lhoMas!”kata Metty wanita tercantik di kompleks itu sambil memegang tangan Cakil. Cakil merasa tersanjung.Di dunianya dulu jangankan dipegang wanita,digoda pun tak pernah.Cakil langsung teringat pada musuh besarnya, Arjuna.Wanita-wanita hanya untuk Arjuna dan satria, bukan untuk raksasa. Ia terharu. Matanya berkaca-kaca.
Seumurumur baru kali ini ia disambut begitu banyak orang dengan demikian tulus dan antusias. Cakil tinggal di kompleks itu. Kedatangannya seakan-akan berkah bagi warga,Berita kedatangannya sampai di mana-mana. Berduyun- duyun orang-orang berdatangan untuk mengelu-elukannya. Cakil menjadi idola baru. Hidupnya serbacukup.Cindera mata dari hari ke hari makin menumpuk mulai dari sapu tangan, pipa rokok, handuk, baju hingga barang elektronik. Bahkan ada seseorang yang konon pejabat Pemda memberinya hadiah sebuah mobil. Kehadirannya membuat iri Maus, preman yang selama ini menguasai kawasan Dolly dan sekitarnya.
Maus mengumpulkan anak buahnya. Mereka mendatangi Cakil, memaksanya untuk pergi. Penjelasan Cakil bahwa ia tak berambisi merebut pengaruh dan kekuasaan tak digubrisnya. Cakil ditantang berkelahi. Cakil malas menanggapinya.Ia sudah bosan berkelahi.Tapi Maus memaksa dan mengeroyoknya beramai- ramai. Naluri jagoannya dengan reflek muncul.Dalam hitungan detik saja Maus dan kawankawannya dapat dirobohkan. Namun, mereka diampuni bahkan tetap dipercaya memegang keamanan seluruh kompleks. Makin hari nama Cakil makin harum. Pengaruh dan wibawanya tersebar ke mana-mana. Cakil dianggap sebagai sahabat, sebagai bapak, sebagai pelindung, pemimpin, dituakan dan dianggap sebagai sesepuh.
Disegani tidak saja di kalangan preman, tapi juga di kalangan rakyat biasa, tentara, polisi dan aparat pemerintahan kota. Cakil telah menjelma jadi Robin Hood sekaligus selebritas.Pergaulannya semakin lama makin bertambah luas. Tidak saja dari kalangan preman, pelacur dan tukang berkelahi, tapi juga di kalangan golongan masyarakat mapan seperti pedagang,dosen,guru, mahasiswa,pelajar,dokter bahkan pejabat. Pergaulannya dengan para mahasiswa membuat Cakil fasih menggalang dan menggelar demonstrasi- demonstrasi. Dari para pedagang dan pengusaha Cakil belajar bagaimana menjalankan bisnis. Bisnis dan perusahaannya berkembang dengan pesat dan menggurita.
Keberhasilan demi keberhasilan yang diperolehnya tak membuat Cakil puas. Ia bertekat mengembangkan perusahaannya ke level internasional. Cakil membidik sebuah tender raksasa bertaraf internasional di ibu kota.Dikumpulkannya segenap penasihat ekonomi dan konsultannya untuk menyusun strategi. “Bos, kita harus melakukan pendekatan informal bila ingin tender mega proyek ini dapat kita garap. Sekarang ini jamannya jaman lobi. Kita harus kreatif dan inovatif. Saya punya kenalan yang dapat menghubungkan Bos dengan pejabat pemerintahan pusat setingkat menteri yang mengurusi masalah ini.
Bos juga harus menemui Bapak Y, seorang anggota senior Dewan Perwakilan yang turut menentukan. Sebaiknya Bos menemui mereka dan negosiasi untuk mendapatkan rekomendasi,” saran Drs Sus salah seorang penasihatnya yang tepercaya. Pada hari yang ditentukan diantar Drs Sus dan kenalannya, Cakil menemui pejabat tinggi itu. Cakil sudah menyiapkan beberapa lembar cek dan sebuah kunci mobil keluaran terbaru buatan luar negeri. Mereka diminta untuk menunggu karena sang pejabat masih metting dengan duta besar negara sahabat. Waktu seperti merangkak. Hampir dua jam Cakil menunggu. Cakil sangat tersiksa. Sebagai raksasa,Cakil sama sekali tidak terlatih untuk bersikap sabar. Akhirnya setelah hampir bosan menunggu,sekretaris meminta Cakil memasuki ruangan sang Pejabat.
Dengan berdebar-debar Cakil melangkah ke dalam ruangan. Sang Pejabat duduk di atas kursi dengan tubuh membelakangi Cakil sambil asyik menerima telepon. Mendengar salam dari Cakil, sang pejabat meletakkan telepon dan memutar kepalanya memandang wajah Cakil. Cakil langsung terpekik.Kepala dan jantungnya serasa meledak ketika melihat sang pejabat tersenyum menyeringai padanya. Seringai dari wajah yang sangat dikenalnya, wajah Arjuna! Cakil menjerit melolong-lolong terbang berlari keluar ruangan meninggalkan Sus dan kenalannya yang melongo. Cakil langsung tancap gas.
Mobilnya meraung-raung membelah keramaian kota langsung menuju Gedung Dewan Perwakilan.Harapannya tinggal satu,Pak Y anggota senior di Dewan Perwakilan. Sampai di gedung Dewan Perwakilan, Cakil langsung menuju ruangan Pak Y. Seorang petugas keamanan berusaha menahannya dan mengatakan bahwa Pak Y sedang rapat dengan anggota dewan yang lain.Cakil tak peduli.Ia nekat masuk ruangan.Petugas keamanan itu berusaha meringkusnya.Dengan satu gerakan judo, Cakil membantingnya. Pintu ruangan dibukanya lebar. Tampak puluhan anggota Dewan Perwakilan sedang rapat.Cakil menerobos masuk.Pak Y mengangkat muka dan melambaikan tangan memanggilnya. Cakil langsung memekik dan jatuh tersungkur.
Dilihatnya wajah Kresna tersenyum penuh kemenangan. Cakil juga dengan jelas me-lihat wajah Yudistira, Bima, Nakula, Sadewa, Setyaki, Abimanyu, dan satria-satria lain.Semuanya mengenakan pin anggota Dewan Perwakilan di bajunya. Mereka tertawa dan bersorak penuh kemenangan. Cakil susah payah bangkit,sempoyongan berlari sambil menjeritjerit. Mobilnya tak lagi diingatnya. Berlari serabutan melintasi jalan raya. Diterjangnya kendaraankendaraan yang lalu lalang. Kendaraan-kendaraan menjeritjerit remnya disusul dengan makian pengemudinya. Cakil tak peduli, terus berlari secepat-cepatnya. Bahkan kadang-kadang ia meloncati begitu saja mobil-mobil yang menghadangnya. Ia tak lagi memedulikan arah dan tujuan.
Yang ada dalam pikirannya hanya satu.Segera meninggalkan tempat terkutuk itu dan menghilang selamanya dari para satria. Sampai di dekat perempatan jalan di bawah tiang lampu traffic light. Cakil beristirahat. Nafasnya ngos-ngosan hampir putus. Tibatiba sebuah mobil BMW warna hitam keluaran terbaru berhenti di sisinya. Jendela kaca terbuka. Cakil melihat sebuah wajah dengan pakaian necis berdasi dan berkacamata menyapanya,“ Mau ikut numpangBung?” Cakil melongo.
Sejurus kemudian melolong dan memekik panjang sekali.Panjang dan mengirisiris telinga. Ia tak pangling.Pengemudi mobil BMW mewah necis berdasi itu: Semar! Cakil menggelosor pingsan.***
Lampiran 2 : Urutan Satuan Teks
RIWAYAT HIDUP
Penulis mempunyai nama lengkap Andiyannita Khrishandiri (Risha), nama
panggilan penulis banyak sekali tergantung dari dimana tempat bernaungnya,
namun nama panggilan yang paling sering digunakan adalah Icha. Icha
dilahirkan di Bandung, 28 Desember 1987. Berbintang Capricorn. Icha
bertempat tinggal di Bandung, tepatnya di Komplek Margahayu Raya Blok
Q14/50 Jalan Merkuri Tengah X No.5 Bandung. Bergolongan darah A, tinggi ± 150 cm. Memiliki
hobi sharing, traveling, berlibur, berkhayal, membuat planning, jika tidur boleh dijadikan sebagai
salah satu hobi maka tidur-lah hobi yang paling dicintainya. Hal yang paling dibenci adalah
kebohongan, ketidakadilan, ketidakteraturan, dan kediktatoran. Riwayat pendidikan Icha adalah
Lulusan dari TK Ariyandini Bandung, Jl. TataSurya; SDN Lengkong Besar 105/I Bandung, Jalan
Lengkong Besar; SMPN 34 Bandung, Jalan Waas SoekarnoHatta; SMAN 22 Bandung, Jalan
Rajamantri; S1 - Institut Manajemen Telkom Bandung, Jurusan Manajemen Bisnis Telekomunikasi
dan Informatika, dan sekarang sedang menjalani studi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Bandung, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Angkatan
2006 dengan NIM 0605979.