seminar surgikal rev 1

38
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Venous ulcer merupakan kerusakan pada jaringan akibat adanya gangguan aliran darah balik vena. Salah satu penyebabnya yaitu malfungsi dari katup pembuluh darah vena, biasanya terjadi pada kaki. Di negara- negara berkembang, hal tersebut merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus. Angka prevalensi penderita venous ulcer masih belum diketahui secara pasti, namun di negara berkembang diperkirakan antara 1%-3% dari seluruh populasi dan akan terus meningkat hingga 20 penderita per 1000 penduduk. Insiden venous ulcer mencapai puncaknya antara usia 60-80 tahun dan beberapa penelitian menunjukkan wanita memiliki risiko yang lebih tinggi menderita venous ulcer tersebut (University of Leicester, 2000). Selain jumlah penderita yang cukup besar, venous ulcer menyebabkan dampak yang berbahaya bagi penderitanya. Di Amerika Serikat, pasien dengan luka kronik akibat venous ulcer dapat menghabiskan dana sekitar US$5-10 milyar per tahun untuk perawatan luka (Brem et al., 2004). Selain itu, penelitian terbaru menunjukkan bahwa penderita venous ulcer sebagian besar mengalami nyeri yang hebat pada luka tersebut terutama 1

Upload: panjie-ariek-indraswara

Post on 09-Nov-2015

235 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

SURGICAL

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Venous ulcer merupakan kerusakan pada jaringan akibat adanya gangguan aliran darah balik vena. Salah satu penyebabnya yaitu malfungsi dari katup pembuluh darah vena, biasanya terjadi pada kaki. Di negara-negara berkembang, hal tersebut merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus. Angka prevalensi penderita venous ulcer masih belum diketahui secara pasti, namun di negara berkembang diperkirakan antara 1%-3% dari seluruh populasi dan akan terus meningkat hingga 20 penderita per 1000 penduduk. Insiden venous ulcer mencapai puncaknya antara usia 60-80 tahun dan beberapa penelitian menunjukkan wanita memiliki risiko yang lebih tinggi menderita venous ulcer tersebut (University of Leicester, 2000).

Selain jumlah penderita yang cukup besar, venous ulcer menyebabkan dampak yang berbahaya bagi penderitanya. Di Amerika Serikat, pasien dengan luka kronik akibat venous ulcer dapat menghabiskan dana sekitar US$5-10 milyar per tahun untuk perawatan luka (Brem et al., 2004). Selain itu, penelitian terbaru menunjukkan bahwa penderita venous ulcer sebagian besar mengalami nyeri yang hebat pada luka tersebut terutama sesaat dan setelah dilakukan tindakan misalnya perawatan luka dan debridement (Williams et al., 2012).Penatalaksanaan venous ulcer biasanya dilakukan berkali-kali dan lebih bertujuan untuk pencegahan infeksi serta perbaikan jaringan-jaringan pada luka (Yusuf, 2010). Sedangkan manajemen nyeri kurang begitu menjadi fokus penatalaksanaan padahal nyeri merupakan keluhan subjektif yang kerap dialami oleh penderita venous ulcer (Brem et al., 2004).Manajemen nyeri merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dari penatalaksanaan venous ulcer. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa teknik yang efektif dalam manajemen nyeri pada pasien dengan venous ulcer yang kronik terutama pada ekstremitas bagian bawah adalah dengan pemasangan popliteal block catheter di PACU (Post Anesthesia Care Unit) (Neill and Balkarran, 2012). Dengan cara ini, pemberian anestesi dapat diberikan secara berkelanjutan untuk beberapa jam hingga beberapa hari untuk mengontrol nyeri yang dialami pasien saat dilakukan tindakan perawatan. Hasilnya setelah dilakukan berbagai tindakan perawatan dan pembedahan selama sekitar 15 bulan, area luka kronik pasien tersebut berkurang dari 32,0 cm menjadi 11,5 cm (Neill and Balkarran, 2012).

. Dengan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan perawat tentang manajemen nyeri yang dapat dilakukan pada pasien dengan venous ulcer salah satunya dengan penggunaan continous popliteal block anesthesia di PACU.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan atau manajemen nyeri pada venous ulcer yang dilakukan tindakan popliteal block anesthesi.1.3 Manfaat

a. Bagi penyusun

Menambah pengetahuan tentang venous ulcer, penatalaksanaan manajemen nyeri yang efektif yaitu dengan popliteal block anesthesia, serta peran-peran perawat selama tindakan tersebut.b. Bagi pembaca

Memberikan tambahan informasi tentang venous ulcer, manajemen nyeri yang efektif termasuk popliteal block anesthesia.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Venous ulcer2.1.1 Definisi

Venous ulcer adalah luka yang terjadi akibat adanya kerusakan fungsi dari katup pembuluh darah vena dan biasanya terjadi pada kaki. Hal tersebut merupakan penyebab utama dari berbagai luka kronik, terjadi 70-90% dari kasus ulkus pada kaki.

2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab utama dari venous ulcer yaitu adanya kerusakan fungsi dari katup pembuluh darah vena yang biasanya terjadi pada kaki sehingga aliran darah ke perifer dan aliran darah balik vena mengalami gangguan.

Etiologinya antara lain: tekanan jangka panjang, neuropati diabetik, dan penyakit sistemik seperti rheumatoid artritis, vaskulitis, osteomyelitis, dan malignancy kulit. Sedangkan faktor risikonya adalah usia lanjut, obesitasm luka pada kaki sebelumnya, Deep Vein Trombus, dan phlebitis.

2.1.3 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan venous ulcer meliputi manajemen konservatif, penatalaksanaan mekanis, medikasi, dan pembedahan. Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk mengurangi edema, meningkatkan penyembuhan ulcer, dan mencegah kekambuhan.

a. Manajemen Konservatif

1. Terapi kompresi

Terapi kompresi terbukti meningkatkan penyembuhan venous ulcer. Metode yang digunakan antara lain kompresi inelastik, elastik, dan intermitten pneumatic. Terapi kompresi dapat mengurangi edema, meningkatkan refluks vena, dan meningkatkan penyembuhan ulcer, serta mengurangi nyeri.

2. Dressing 3. Elevasi kaki

Elevasi kaki dikombinasikan dengan terapi kompresi. Elevasi kaki dilakukan dengan cara menaikkan ekstremitas bawah di atas level jantung dengan tujuan mengurangi edema, meningkatkan sirkulasi mikro dan penghantaran oksigen. Elevasi kaki efektif dilakukan selama 30 menit, tiga sampai empat kali per hari.b. Penatalaksanaan Mekanis

Penatalaksanaan mekanis termasuk tekanan negatif topikal.c. Medikasi

Pentoxifylline: inhibitor agregasi platelet yang mengurangi viskositas darah Aspirin

Iloprost: vasodilator, inhibitor agregasi platelet Oral zinc: efek antiinflamasi Antibiotik Terapi oksigen hiperbarikd. Manajemen Bedah

1. Debridement: pengangkatan jaringa nekrotik dan bakteri terpendam. Debridemen dapat berupa debridemen tajam, enzimatik, mekanikal, biologi, ataupun autolytic.2. Skin grafting: pembedahan ini secara umm tidak efektif jika terjadi edema persisten3. Operasi untuk insufisiensi vena2.2 Popliteal Anestesi Block

2.2.1 Definisi

Saraf popliteal merupakan saraf pada fossa/rongga popliteal yang ada di belakang lutut dan merupakan cabang dari plexus lumbosacral. Pembuluh darah popliteal adalah lanjutan dari pembuluh darah femoralis pada adductor hiatus yang berjalan melalui rongga popliteal dibelakang sendi lutut dan berakhir pada batas bawah muskulus popliteal. Pembuluh darah ini berada pada fossa popliteal dan nervus medial popliteal. Arteri popliteal mengeluarkan cabang-cabangnya pada otot, sendi lutut, dan bercabang menjadi arteri tibia anterior dan arteri tibia posterior.

Popliteal anenstesi Block Cateter merupakan suatu pendekatan multidisipliner dalam menejemen luka kronik pada pasien yang membutuhkan multiple surgical debridement dalam hal ini khususnya untuk ekstremitas bawah (lower ekstremity). Dalam proses ini dilakukan dengan teknik aseptik yang dipandu dengan teknik USG sciatic sehingga dapat membantu penempatan cateter pada perineural (di bagian lapisan saraf: popliteal) dengan tepat sehingga efektif untuk memblok komunikasi nyeri yang diterjemahkan dari kaki ke otak sehingga dapat menjadi kontrol nyeri yang efektif untuk pasien tanpa adanya depresi CNS dan efek samping kardiopulmonal (efek general anestesi).

2.2.2 Indikasi

Popliteal anenstesi Block Chateter ini digunakan untuk multiple debridement surgical jangka panjang khususnya pada ektremitas bawah dengan tingkat nyeri yang tinggi. Contohnya seperti penyakit vena ulcer.

2.2.3 Proses Pelaksanaan Popliteal Anesthesi Block

1. Persiapan

a. Persiapan Alat

1. Mesin USG dengan probe frekuensi 10-12 MHz

2. Needle 80-mm, dengan kedalaman 3-4 cm

3. Anestesi lokal untuk disuntikkan dan untuk wheal kulit

4. Peralatan streril seperti ChloraPrep

5. Gel steril untuk Ultrasound

6. Tegaderm untuk ditempatkan di ujung probe

7. Jarum perangsang saraf yang dihubungkan ke stimulator

8. Saraf stimulator (jika ingin di tambahan untuk gambar USG atau jika USG tidak tersedia): Sebuah terisolasi jarum 21-gauge atau 22-gauge, perangsang saraf ditetapkan pada 1-1,5 mA, frekuensi pulsa 1 Hz, dan pulsa durasi 0,1 msec. Pasang jarum untuk perangsang saraf dan tempat grounder pada pasien.

Akan dibutuhkan mesin USG dengan kedalaman pemeriksaan sekitar 3-4 cm (USG pada kisaran 10-12 Mhz yg memadai untuk ini). Jarum bius dipilih dengan panjang sekitar 2 inci. Anastesi local pilihan. Jika membutuhkan tindakan katerisasi urin, maka selang kateter dan urobag juga perlu disiapkan. Monitor fisiologis harus dipasang, dan sedasi serta analgetik juga harus disiapkan sesuai dengan protocol. Persiapan kulit (disinfektan) juga harus dilakukan sesuai dengan standard.

b. Persiapan Anestesi

Pada orang dewasa, 1 kali suntikan dari 30 mL 1,5% untuk anastesi bedah jangka pendek mampu bertahan antara 2-3 jam. Dan untuk anastesi bedah jangka panjang 3-4 jam menggunakan 1:400,000 epinefrin ke dalam campuran injeksi. Popliteal block anastesi sepenuhnya sembuh sekitar 2 jam kemudian. Jika Jika blok lagi diperlukan, menambahkan Tetrakain di 2mg/mL (0,2%) memperpanjang blok untuk 4-6 jam.

Untuk analgesia pasca operasi lagi, 0,25% Ropivacaine atau Bupivakain dapat digunakan dan untuk mengurangi nyeri selama lebih dari 12 jam. Onset dapat ditunda sekitar 5-20 menit. Ini dapat digunakan untuk mengontrol rasa sakit baik perioperatif dan pasca operasi. Kombinasi keduanya dapat digunakan.

c. Persiapan Pasien

Pasien harus diposisikan sedemikian rupa sehingga bagian popliteal (bagian belakang lutut) dapat dijangkau oleh pemeriksa. Bila tidak ada fraktur atau tidak ada posisi tertentu yang membuat pasien nyaman, dengan pasien berbaring telungkup akan membuat akses penuh ke daerah sasaran. Seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Namun, terkadang, karena trauma atau pertimbangan lain, pasien tidak dapat berbaring telungkup. Dalam hal ini menempatkan pasien dengan posisi lateral (miring) dengan kaki yang akan dilakukan oprasi berada di bagian atas akan memudahkan akses ke daerah popliteal. Dapat digunakan bantal, selimut yang dilipat, handuk, dll untuk menyangga kaki agar tetap pada posisinya. Seperti ditunjukkan pada ilistrasi dibawah ini.

Posisi supine hampir mirip dengan posisi lateral. Landmark yang paling baik dapat dilihat dengan lutut ditekuk, hal ini dapat dicapai dengan menempatkan kaki pada berdiri dan bantal di betis atau hanya dengan menekuk kaki pasien.

Bent-leg supine approach Leg on stand-supine approach

2. Prosedur

Arahkan alat pemeriksa USG ke kanan dank e kiri, letakkan alat pemeriksa melintang di lekukan lipatan dalam lutut, target hanya di lipatan. Kedalaman scan harus sekitar 4cm. fkuskan perhatian ke bagian bawah gambar USG dan tahan alat pemeriksa pada posisinya. Perhatikan penampilan lipatan dalam lutut. Jika kesulitan menemukan arteri gunakan colour Doppler.

Setelah tepat pada arteri pada lipatan dalam lutut, fokuskan hanya pada arteri yang dangkal dan lateral. Ini adalah posisi saraf tibialis. Landmark untuk posisi prone adalah fossa poplitea, bisep femoris, dan semitendinosus. Masukkan jarum 7-10 cm di atas lipatan poplitea, 1 cm miring dititik tengah antara tendon semitendinosus dan biseps femoris.

Untuk posisi lateral, vastus lateralis dan otot bisep femoralis berfungsi sebagai landmark. Pasien harus posisi miring dan lutut ditekuk. Batas patella atas ditandai dan garis diperpanjang ke lateral. Alur antara tendon bisep femoralis dan vastus lateralis juga ditandai. Setelah pasien melenturkan lutut dan mampu melakukan perlawanan pada otot betis yang berlawanan arah. Tempatkan jarum dipersimpangan garis perpanjangan batas patella disekitar 7cm lipatan lutut proksimal. Masukkan jarum sampai menyentuh tulang paha kemudian ditarik sedikit dan mengarahkan 20-30 posterior sampai menemukan kedutan kaki.

Pada dasarnya, untuk mencari kedutan kaki atau jari kaki di antara 0.3-0.5 mA. Diawali sekitar 1-1,5 mA dan turun ketika kedutan makin jelas dan berkembang. Carilah inversi, eversi, plantar, atau dorsofleksi. Anestesi lokal disuntikkan sedikit jika 100% tidak jelas berada di lokasi yang tepat.

Lokasi

Lokasi untuk popliteal-block berlangsung melalui pendekatan lateral yang pada dasarnya sama seperti yang di teknik single-shot dan termasuk:

Lipatan Popliteal fossa

vastus lateralis

bisep femoris

lokasi penyisipan jarum ditandai pada 8 cm dari proksimal ke lipatan fossa poplitea dalam alur antara vastus lateralis dan bisep femoris.

Menempatkan Jarum pada Target

Menempatkan jarum pada sisi saraf memungkinkan untuk menilai deposisi dan penyebaran injeksi anastesi local tanpa harus khawatir ketepatan posisi ujung jarum. Ketika injeksi disekitar objek melingkar, setidaknya dalam penampang, secara teoritis injeksi pada satu titik dalam lingkaran tidak memiliki ujung yang jelas atas setiap titik lain di sepanjang lingkar. Selanjutnya, menyuntikkan anestesi local pertama di satu sisi, kemudian reposisi jarum ke sisi lain dan menyuntikkan lebih banyak, tamaknya cara yang wajar untuk memastikan bahwa anastesi local mengelilingi saraf.

Suntikan Anestesi Lokal

Begitu jarum berada pada posisi, suntikkan perlahan dan lihat penyebarannya harus mendorong saraf fan otot terpisah. Reposisikan jarum jika diperlukan, setidaknya 1x selama injeksi pada setiap blok saraf yang dilakukan di bawah bimbingan USG. Injeksi yang dilakukan secara lambat akan menghasilkan penyebaran yang lebih baik dari solusi local daripada terburu-buru, tekanan tinggi injeksi.

Popliteal block juga cocok dilakukan tanpa asisten dengan 20 ml jarum suntik dengan jarum yang tidak memiliki tabung ekstensi.

2.2.4 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi setelah blok popliteal adalah hal yang langka. Tabel di bawah ini memberikan petunjuk khusus tentang kemungkinan komplikasi dan bagaimana untuk menghindarinya.

InfeksiGunakan teknik aseptic

HematomaHindari beberapa jarum melewati dengan jarum blok kontinu, semakin besar diameter jarum dan / atau desain Tuohy dapat mengakibatkan hematoma otot bisep femoris atau vastus lateralis otot

Ketika saraf tidak terlokalisasi pada dua atau tiga jarum, melokalisasi saraf menggunakan pengukur, jarum single-shot yang lebih kecil terlebih dahulu dan kemudian masukkan kembali jarum terus menerus menggunakan sudut yang sama, teknik ini pada dasarnya mirip dengan lokalisasi internal vena jugularis dengan "lokalisasi jarum" sebelum memasukkan jarum besar untuk kanalisasi

Tekanan vascular

Hindari terlalu dalam penyisipan jarum, karena selubung vaskuler diposisikan medial dan lebih dalam ke saraf sciatic

Ketika saraf tidak terlokalisasi dalam 2cm setelah berkedut lokal bisep musle berhenti, jarum harus ditarik dan dimasukkan kembali ke sudut yang berbeda, daripada terlalu dalam

cedera saraf

Sangat langka, stimulasi saraf dan penggunaan jarum lambat, jangan menyuntikkan ketika pasien mengeluh nyeri atau tekanan tinggi pada injeksi terpenuhi, tidak menyuntikkan ketika stimulasi diperoleh pada 50% dari normal2

1

0

Kesadaran Sadar, siaga dan orientasi

Bangun namun cepat kembali tertidur

Tidak berespons2

1

0

Aktivitas Seluruh ekstremitas dapat digerakkan

Dua ekstremitas dapat digerakkan

Tidak bergerak 2

1

0

Jika jimlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

Tabel 2.2 Skor pemulihan pasca anestesi STEWARD SCORE (anak-anak)

PergerakanGerak bertujuan2

Gerak tak bertujuan1

Tidak bergerak0

PernafasanBatuk, menangis2

Pertankan jalan nafas1

Perlu bantuan0

KesadaranMenangis2

Bereaksi terhadap rangsangan1

Tidak bereaksi0

Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

Tabel. 2.3 Skor pemulihan pasca anestesi BROMAGE SCORE (spinal anestesi)

KriteriaNilai

Gerakan penuh dari tungkai0

Tak mampu ekstensi tungkai1

Tak mampu fleksi lutut2

Tak mampu fleksi pergelangan kaki3

Jika Bromage Score 2 dapat pindah ke ruangan.

2.3.5 Tim Multidisipliner dalam PACU

Terdapat sebuah tim dalam PACU yang terdiri dari berbagai disipliner yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Tim multidisipliner tersebut antara lain:

a. Manager

Mengatur staf untuk prosedur dan asuhan keperawatan post anastesi. Manager bertanggung jawab untuk mensupervisi operasi seluruh unit setiap harinya dan juga bertanggung jawab dalam perekrutan staf baru dan mensupervisi staf yang telah ada. Manager bertindak sebagai penghubung antara staff dan administrasi keperawatan, begitupun disiplin ilmu yang lain dengan tanggung jawab 24 jam penuh untuk unit dan stafnya.

b. Charge Nurse

Merancang pembagian tugas perawat untuk tiap-tiap pasien pada tempat yang tersedia, memfasilitasi arus pasien dari OK ke PACU dan pasien dari PACU ke area perawatan yang telah dirancang, dan juga memonitor perawat pelaksana dan membantu dalam keselamatan dan stabilitas pasien.

c. Unit clerk (juru tulis/ administrasi)

Menjawab panggilan telepon, menata grafik pasien, memfasilitasi dokumentasi untuk pasien yang masuk dan keluar PACU. Clerk mendokumentasikan pemindahan pasien dari dan ke PACU dan juga membantu anggota keluarga pasien.

d. Staf perawat

Memonitor status neurologi dan cardiovaskular termasuk skor nyeri dan tanda-tanda vital, dokumen, pengkajian, intervensi, dan komunikasi, dan bertanggung jawab dalam perawatan langsung pasien post-anastesi. Staf perawat memulihkan pasien, memberikan medikasi nyeri dan mengkaji ulang nyeri dan menginformasikan pada dokter tentang perubahan status atau kondisi pasien.

Karena peran perawat dala PACU sangat penting, maka seorang perawat PACU harus memiliki keahlian dalam: Airway management, Basic Life Support, Advanced Cardiac Life Support, Perawatan luka operasi, dan perawatan kateter drainase (Morgan, et al. 2006).

e. Asisten Perawat

Memindahkan pasien keluar dari PACU ke ruang perawatan biasa atau pulang dan membantu perawat pelaksana dengan memobilisasi pasien dari dan ke bed, dan juga mengamankan peralatan yang dibutuhkan untuk pasien.

f. Anastesiologi

Melakukan pemasangan blok anastesi, menulis perintah, mendokumentasikan prosedur, mengkomunikasikan rencana perawatan kepada perawat pelaksana, tim bedah, dan tim managemen nyeri

g. Tim managemen nyeri

Terdiri dari perawat, atau anastesiologi yang mengikuti pasien dengan infusan epidural, blok regional, nyeri kronik, dan hydromorphone (Dilaudid), memberikan dosis obat, dan merekomendasikan pilihan medikasi nyeri.

Perawat yang tergabung dalam tim managemen nyeri harus merupakan perawat yang terlatih, berpengalaman dan teregistrasi. Di bawah arahan atau protokol yang ditulis oleh dokter anastesi, dalam pemberian analgesik regional berkelanjutanperawat dapat menjalankan peran untuk:

Menginisiasi, menambah, atau menghentikan infus kateter

Memberikan bolus analgsik melalui kateter

Mengganti syringe atau infus yang kosong dengan infus baru atau syringe yang telah diisi kembali

Memonitor lokasi insersi kateter

Melepas kateter

Memonitor keefektifan dan efek samping analgesik pada pasien

Merawat efek samping pemberian analgesic (ASA, 2002).

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Peran Perawat Dalam Penatalaksanaan Venous ulcer yang Dilakukan Tindakan Continuous Popliteal Block Anaesthesia

Beberapa peran perawat dalam penatalaksanaan venous ulcer dengan continous popliteal block anaesthesi adalah:a. Monitoring

Monitoring secara ketat sangat penting bukan hanya untuk mendeteksi komplikasi potensial namun juga untuk memantau reaksi cepat dari agen anastesi lokal yang digunakan. Untuk memonitor pasien dengan anastesi lokal berkelanjutan, dapat digunakan bagan Modified Early Warning Score (MEWS) yang meliputi nadi, tekanan darah, respirasi, sedasi, dan skor nyeri. Selain itu, yang perlu dimonitor adalah lokasi insersi kateter akan adanya infeksi.

Tanda-tanda toxisitas anastesi lokal berkelanjutan yang perlu dimonitoring memiliki beberapa derajat, yaitu:

1. Mild: pasien gelisah/kebingungan, pusing, mati rasa lidah dan bibir, pengelihatan kabur

2. Moderat: otot berkedut, kejang, tungkai terasa berat

3. Severe: aritmia jantung, hipotensi, gagal nafas, henti jantung

b. Intervensi Mandiri

Mobilitas - pasien dapat dimobilisasi dengan observasi secara rutin terhadap kemampuan tungkai dan sendi-sendi. Blok motoric mungkin terjadi dikarenakan oleh efek anestesi local. Pastikan kemampuan otot di bagian otot yang dianestesi disangga dan domobilisasikan untuk mengurangi tekanan pada bagian yang teranestesi

Akses intravena - akses intravena harus dipertahankan, dan perawatan catheter anestesi dilakukan sesuai dengan protocol

Lokasi Insisi kateter - Tempat insisi kateter harus dipantau setiap hari untuk tanda2 infeksi atau kebocoran. Jika ada permasalahn haris dilaporkan kepada tim anestesi atau bedah yang sesuai

Tanda infeksi - Jika ada tanda infeksi pada tempat masuknya kateter, lakukan swab dan kirim untuk pemeriksaan kultur dan sensitivitas. Kemudian informasikan kepada tim medis.

Management Local Anesthetic Toxicity.

Komplikasi anestesi local sangat jarang terjadi, namun tanda gejala tetap harus diperhatikan.

Pengobatan toksisitas:

Jika gejala yang ringan (1):

1. Hentikan infuse anestesi local dan informasikan kepada tim medis

2. Pasang EKG dan monitor jantung

3. Menjaga oksigenasi dan TD

4. Konsultasikan dengan tim management nyeri atau anastesiologis

5. Lanjutkan observasi

Jika gejala sedang atau berat (2 atau 3):

1. Hentikan infuse anestesi local2. Pasang EKG dan monitor3. Telpon bantuan segera4. Menjaga kepatenan jalan nafas dan oksigenasi5. Hipotensi akan diatasi dengan pemberian cairan intravena6. Kejang akan diatasi dengan pemberian diazepam7. Lakukan CPR jika mengalami cardiac arrest

c. Kolaborasi

Di dalam management anastesi blok popliteal berkelanjutan, seorang perawat harus memiliki kriteria standar untuk menjadi anggota dari tim di ruang PACU. sertifikasi dan pengalaman harus dimiliki untuk memastikan kompetensi perawat dalam melakukan tindakan manajemen anastesi kateter berkelanjutan. Seorang perawat incharge memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan yang bersifat kolaboratif.

Regulasi dosis anastesi - Memasukkan bolus anastesi dalam dosis yang telah ditentukan oleh anastesiologis, menambah dan mengurangi jumlah pump yang harus dimasukkan sesuai prosedur, menghentikan, meneruskan, maupun melepas kateter bisa dilakukan oleh perawat incharge. Jika terdapat kesulitan dalam melepas kateter, perawat perlu menghentikan tindakan dan segera menghubungi anastesiologis atau tim bedah. Perlu diperhatikan juga untuk menghindari penundaan penggantian cairan infus anastesi untuk mendapatkan efek analgesik berkelanjutan. Tindakan-tindakan ini merupakan tindakan kolaboratif dengan anestesiologis.

Penanganan efek samping dan komplikasi - Pengetahuan perawat tentang efek samping dan komplikasi anastesi blok plopiteal memungkinkan perawat untuk mengetahui perubahan kondisi pasien dengan cepat. Dengan ini, perawat bertanggung jawab untuk melakukan kolaborasi dengan berkonsultasi dengan tim anestesiologi dan disiplin lain yang berkaitan, serta menginisiasi sebuah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah yang muncul. Dalam kasus toksisitas infus anastesi, hipotensi mungkin muncul dan perawat perlu melakukan inisiasi dan konsultasi tentang resusitasi cairan intravena. Begitu pula munculnya kejang yang memerlukan pemberian diazepam. Perawat juga perlu melaporkan adanya infeksi pada daerah insersi sehingga penanganan lebih lanjut dapat diberikan.

d. Edukasi

Dalam penatalaksanaan jenis anestesi ini banyak informasi penting yang perlu diberikan pada pasien dengan Popliteal Anestesi Block. Informasi yang diberikan meliputi pentingnya memberikan posisi yang benar pasca bedah, perlunya mobilisasi dini, manajemen nyeri yang bisa dilakukan pasien seperti relaksasi dan distraksi nyeri, pentingnya menjaga kebersihan untuk mencegah terjadinya infeksi pada area insisi pemasangan cateter popliteal, serta efek samping dan komplikasi yang mungkin muncul setelah penggunaan popliteal anestesi block cateter. Selain itu juga informasi mengenai lama pemakaian anestesi popliteal block ini mungkin juga dibutuhkan untuk mengurangi tingkat kecemasan pasien.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Perawatan secara umum untuk rehabilitasi pasca stroke adalah mengajarkan kepada pasien dan keluarga untuk memaksimalkan kembali fungsi motoriknya secara bertahap. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajarkan senam pasca stroke kepada pasien. Program rehabilitasi mempengaruhi kecepatan dan daya tahan berjalan secara positif. peningkatan sebesar 6% hingga 30% pada kecepatan berjalan, dan 12% hingga 23% pada daya tahan berjalan. Peningkatan dalam performa berjalan yang dapat disebabkan oleh kombinasi dari pelatihan fungsional berorientasi-berjalan, BWSTT, aktivitas aerobik lain, dan pelatihan kekuatan unilateral. Rehabilitasi fisik intensif yang terdiri dari pelatihan kekuatan unilateral dan BWSTT pada seseorang dengan hemiparese pasca-stroke dapat menyebabkan peningkatan relevan secara klinis dari aktivasi neuromuskular otot agonis dan peningkatan kekuatan kontraktil intrinsik, sehingga menyebabkan peningkatan kekuatan volunter dalam rentang luas mode dan velositas kontraksi. Keuntungan menyeluruh program rehabilitasi dicerminkan lebih jauh dalam peningkatan kecepatan dan daya tahan berjalan.

4.2 Saran

1. Bagi perawat diharapkan dapat mengajarkan dan melakukan manajemen rehabilitasi stroke mengenai jadwal dan jenis rehabilitasi yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi pasien.

2. Bagi perawat diharapkan mampu memberikan edukasi serta motivasi kepada pasien untuk melakukan rehabilitasi pasca stroke yaitu senam stroke setelah pasien pulang, sehingga melakukannya secara mandiri.

2.1. Bagi perawat diadakan pelatihan manajemen pelaksanaan rehabilitasi pasca stroke (ROM pasif, ROM aktif, dan senam stroke)

2.2. Bagi mahasiswa keperawatan diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan tentang perawatan pasien pasca stroke baik dari literature maupun dari klinik

DAFTAR PUSTAKA

Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Suatu Pendekatan Proses Keperawatan, Cetakan I Jilid 2, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran Bandung, Bandung, 1996

Kozier. (1995). Fundamental of Nursing. 5th ed. Addison Wisley

Kandel, E. R. Schwartz, J. H. Jessel, T. M. (1995). Essential of Neural Science and Behavior dalam An Instruction to Movement. Prentice Hall International Inc

Long, B.C. (1996). Essential of Medical Surgical Nursing: A Nursing Process Approach. Edisi 2. Tim Penerjemah R. Karnaen, dkk. Bandung

Mansjoer, A, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI,Jakarta, 2002, Hal :253-256.

G.Edward Morgan, Jr., Mageds, Mikhail, Postanesthesia Care, dalam Clinical Anesthesiology ,Edisi III, Mc Graw-Hill Companies New York,2002,Hal :932-949.

Karjadi Wirjoatmodjo, Penyulit Pasca Bedah-Anestesi, dalam Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan SI Kedokteran, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000, Hal: 222-225.

Carl. L. Gwinnut, Postanesthesia Care, dalam Clinical Anesthesia, Blackwell Science ltd, London,1997,Hal: 104-132.

Arif Manjoer, Sprahaita, Wahyu Ika Wardani, dkk, Anestesia Umum, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Media Aesculapius FK UI, Jakarta, 2002, Hal:253-256.

Thomas B. Boulton, Colin E. Biogg, C.Longton Hewers, Alih Bahasa Jonatan Oswari ; editor, Widayanti D Wulandari, Komplikasi dan Bahaya Anestesi. Dalam Anestesiologi, EGC, Jakarta,1994, Hal: 213-237.

M. Roesli Thalib, Komplikasi Anestesia, dalam Anestesiologi, FKUI, Jakarta, 1989, Hal : 146-156.

Thomas, J. 2012. Continuous Local Anaesthetic Infusion Nursing Guidelines. Royal Cornwall Hospital

3