sekolah berbasiskan realitas

4
Oleh:M.Jeffri Saputra Sadar atau tidak sadar, kebanyakan sekolah di tanah air saat ini sedang melaksanakan program yang disebut sebagai “fullday”. Program fullday yang dimaksud adalah di mana proses pembelajaran dilaksanakan sehari penuh di sekolah yang dilaksanakan oleh pihak sekolah. Dengan kebijakan seperti ini maka waktu dan kesibukan anak-anak lebih banyak dihabiskan di lingkungan sekolah ketimbang di rumah. Anak- anak dapat berada di rumah lagi bila menjelang sore. Alasan positif yang dapat dikemukakan bila program fullday dilaksanakan, yaitu anak-anak akan menghabiskan waktunya hampir sehari penuh bersama guru dan temannya, yang kemudian dapat membentuk tata pergaulan dan ukhwah dalam suasana interaksi dan sosialisasi yang bernuansa akademis. Di samping itu, anak didik juga terhindar dari tawuran antarsekolah dan kegiatan yang tak bermanfaat dirumah. Sedangkan dampak negatif program fullday yang dikemukakan adalah, anak didik akan kelelahan setiba di rumah, kemudian tidur, dan malamnya pun mereka dituntut untuk belajar.

Upload: muhammad-jeffri-saputra

Post on 27-Oct-2015

3 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Sadar atau tidak sadar, kebanyakan sekolah yang ada di tanah air saat ini sedang melaksanakan program yang disebut “Fullday” yang dimaksud adalah dimana proses pembelajaran dilaksanakan seharian penuh di sekolah. Dengan adanya program seperti ini maka waktu dan kesibukan siswa/i lebih banyak dihabiskan di lingkungan sekolah ketimbang di rumah. Anak-anak dapat berada di rumah lagi bila menjelang sore hari.Padahal yang terbayang dari fakta ini adalah bahwa anak didik seakan-akan hanya memerlukan suasana akademis yang penuh dengan peraturan dan pengawasan, serta macam-macam urusan sekolah lainnya. Konsekuensi dari diadakannya program fullday ini yang terparah adalah anak didik akan jauh dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan realitas kehidupan yang seharusnya ia hadapi. Dengan demikian dapat dibayangkan, program fullday akan melahirkan produk anak didik yang jauh dari kehidupan nyata. Sadar dengan urusan akademis namun buta dengan urusan dunia luarnya. Bermain dengan segudang rumusan dalil dan teori namun tidak kritis dengan fenomena yang terjadi di sekitar lingkungannya. Mereka bagaikan keluar dari pabrik yang bernama sekolah, bak sebuah robot yang digerakan dengan remot control, tiada kemandirian.

TRANSCRIPT

Page 1: Sekolah Berbasiskan Realitas

Oleh:M.Jeffri Saputra

Sadar atau tidak sadar, kebanyakan sekolah di tanah air saat ini

sedang melaksanakan program yang disebut sebagai “fullday”.

Program fullday yang dimaksud adalah di mana proses pembelajaran

dilaksanakan sehari penuh di sekolah yang dilaksanakan oleh pihak

sekolah. Dengan kebijakan seperti ini maka waktu dan kesibukan anak-

anak lebih banyak dihabiskan di lingkungan sekolah ketimbang di

rumah. Anak-anak dapat berada di rumah lagi bila menjelang sore.

Alasan positif yang dapat dikemukakan bila program fullday

dilaksanakan, yaitu anak-anak akan menghabiskan waktunya hampir

sehari penuh bersama guru dan temannya, yang kemudian dapat

membentuk tata pergaulan dan ukhwah dalam suasana interaksi dan

sosialisasi yang bernuansa akademis. Di samping itu, anak didik juga

terhindar dari tawuran antarsekolah dan kegiatan yang tak bermanfaat

dirumah.

Sedangkan dampak negatif program fullday yang dikemukakan adalah,

anak didik akan kelelahan setiba di rumah, kemudian tidur, dan

malamnya pun mereka dituntut untuk belajar. Artinya, tidak efektifnya

waktu di rumah untuk anak-anak dengan dilaksanakannya program

fullday

Padahal, yang terbayang dari gagasan ini adalah bahwa anak

didik seakan-akan hanya memerlukan suasana akademis yang penuh

Page 2: Sekolah Berbasiskan Realitas

dengan peraturan dan pengawasan, serta tetek bengek urusan sekolah

lainnya. Konsekwensi dari diadakannya program fullday itu yang

terparah adalah, anak didik akan jauh dan tidak memiliki waktu yang

cukup untuk berinteraksi dengan realitas kehidupan yang seharusnya

ia hadapi. Dengan demikian dapat dibayangkan, program fullday akan

melahirkan produk anak didik yang jauh dari kehidupan nyata. Sadar

dengan urusan akademis tapi buta dengan urusan dunia luarnya.

Bermain dengan segudang rumusan dalil dan teori namun tidak kritis

dengan fenomena yang terjadi di sekitar lingkungannya. Ia keluar dari

pabrik bernama sekolah bak sebuah robot yang digerakan dengan

remot kontrol, tiada kemandirian (demikian bila meminjam bahasa-

bahasa Ivan Illich atau Paulo Freire tentang dunia pendidikan).

Tidak jarang dijumpai, apa yang didapatkan (anak didik) di

sekolah bertentangan dengan kenyataan yang ada di luarnya. Menurut

hemat saya, tawuran antarpelajar muncul bahkan karena sekolah

tempatnya belajar telah membentuk sikap egois yang menganggap

teman itu hanya yang satu sekolah saja. Anak lain yang tidak sama

sekolahnya lalu dianggap sebagai musuh. Hal ini disebabkan karena

mereka terbiasa dan dibentuk oleh suasana akademis masing-masing,

sehingga sulit menerima perbedaan atau realitas yang ada. Dari sini,

belum tentu dengan program fullday di sekolah akan dapat

menghindari tawuran antarpelajar di sekolah. Bukankah tawuran

antarpelajar selama ini sering dalam keadaan memakai seragam, dan

waktu belajar di sekolah?.

Setiap orang diberikan kebebasan untuk belajar di sekolah

kehidupan dan dengan itu menentukan jalan hidupnya. Dalam sekolah

kehidupan yang menjadi materi pembelajaran adalah baik-buruk

realitas itu sendiri, dan yang menjadi guru adalah pribadi masing-

masing. Oleh sebab itu tidak ada yang patut bertanggung jawab dan

Page 3: Sekolah Berbasiskan Realitas

disalahkan dalam menentukan sebuah pilihan yang telah ditetapkan

oleh masing-masing individu. Dengan demikian manusia dituntut

mengadakan interaksi dengan lingkungannya, belajar dari

pengalamannya, dan merancang masa depannya. Realitas yang ada

itulah yang menjadi basis bagi sekolah kehidupan.

Sulit untuk dipungkiri bahwa, di sekolah kehidupan inilah tempat

di mana setiap orang ditentukan sukses atau gagal. Banyak orang

yang pintar, berprestasi, memiliki bermacam gelar, tapi banyak pula

yang gagal menerima kenyataan kehidupan yang harus dihadapinya.

Dia gagal di sekolah kehidupan. Karena ia tidak memiliki persiapan

untuk itu. Sebaliknya, banyak pula orang yang sukses dalam sekolah

kehidupan ini meskipun prestasinya di sekolah (dalam arti

sesungguhnya) biasa-biasa saja. Karena mereka sadar dengan realitas

yang dihadapinya sehingga ia tahu benar bagaimana pula cara

menghadapinya.

Jelas sudah, bahwa lembaga sekolah bukanlah satu-satunya

sumber ilmu pengetahuan dan kunci keberhasilan seseorang. Dengan

demikian, sudah saatnya anak didik dikembalikan kepada realitas

kehidupan dengan pengajaran atau Manajemen yang Berbasiskan

Realitas (MBR) di sekolah, serta diberikan waktu yang cukup baginya

untuk belajar dari realitas itu. Agar anak didik setelah ke luar dari

sekolah tidak gagap menerima kenyataan yang ada.

Berangkat dari pandangan seperti ini, maka gagasan program

fullday sangatlah kurang –kalau tidak setuju dikatakan tidak– sesuai

dengan prinsip realitas kehidupan yang selalu berubah dan dinamis.

Kehidupan yang akan dilalui bagi anak didik ke depan bukanlah

kehidupan yang dibentuk oleh sebuah kondisi sekolah, lebih dari itu

beraneka corak realitas akan ditemuinya. Dengan demikian, saatnya

sekolah melakukan gerakan kesadaran tentang adanya sebuah realitas

Page 4: Sekolah Berbasiskan Realitas

kehidupan (“sekolah kehidupan”) yang menentukan sebuah

keberhasilan dan kesuksesan, tentu, dengan cara “mengembalikan”

anak-anak ke realitas kehidupan itu sendiri.