sekolah berbasiskan realitas
DESCRIPTION
Sadar atau tidak sadar, kebanyakan sekolah yang ada di tanah air saat ini sedang melaksanakan program yang disebut “Fullday” yang dimaksud adalah dimana proses pembelajaran dilaksanakan seharian penuh di sekolah. Dengan adanya program seperti ini maka waktu dan kesibukan siswa/i lebih banyak dihabiskan di lingkungan sekolah ketimbang di rumah. Anak-anak dapat berada di rumah lagi bila menjelang sore hari.Padahal yang terbayang dari fakta ini adalah bahwa anak didik seakan-akan hanya memerlukan suasana akademis yang penuh dengan peraturan dan pengawasan, serta macam-macam urusan sekolah lainnya. Konsekuensi dari diadakannya program fullday ini yang terparah adalah anak didik akan jauh dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan realitas kehidupan yang seharusnya ia hadapi. Dengan demikian dapat dibayangkan, program fullday akan melahirkan produk anak didik yang jauh dari kehidupan nyata. Sadar dengan urusan akademis namun buta dengan urusan dunia luarnya. Bermain dengan segudang rumusan dalil dan teori namun tidak kritis dengan fenomena yang terjadi di sekitar lingkungannya. Mereka bagaikan keluar dari pabrik yang bernama sekolah, bak sebuah robot yang digerakan dengan remot control, tiada kemandirian.TRANSCRIPT
Oleh:M.Jeffri Saputra
Sadar atau tidak sadar, kebanyakan sekolah di tanah air saat ini
sedang melaksanakan program yang disebut sebagai “fullday”.
Program fullday yang dimaksud adalah di mana proses pembelajaran
dilaksanakan sehari penuh di sekolah yang dilaksanakan oleh pihak
sekolah. Dengan kebijakan seperti ini maka waktu dan kesibukan anak-
anak lebih banyak dihabiskan di lingkungan sekolah ketimbang di
rumah. Anak-anak dapat berada di rumah lagi bila menjelang sore.
Alasan positif yang dapat dikemukakan bila program fullday
dilaksanakan, yaitu anak-anak akan menghabiskan waktunya hampir
sehari penuh bersama guru dan temannya, yang kemudian dapat
membentuk tata pergaulan dan ukhwah dalam suasana interaksi dan
sosialisasi yang bernuansa akademis. Di samping itu, anak didik juga
terhindar dari tawuran antarsekolah dan kegiatan yang tak bermanfaat
dirumah.
Sedangkan dampak negatif program fullday yang dikemukakan adalah,
anak didik akan kelelahan setiba di rumah, kemudian tidur, dan
malamnya pun mereka dituntut untuk belajar. Artinya, tidak efektifnya
waktu di rumah untuk anak-anak dengan dilaksanakannya program
fullday
Padahal, yang terbayang dari gagasan ini adalah bahwa anak
didik seakan-akan hanya memerlukan suasana akademis yang penuh
dengan peraturan dan pengawasan, serta tetek bengek urusan sekolah
lainnya. Konsekwensi dari diadakannya program fullday itu yang
terparah adalah, anak didik akan jauh dan tidak memiliki waktu yang
cukup untuk berinteraksi dengan realitas kehidupan yang seharusnya
ia hadapi. Dengan demikian dapat dibayangkan, program fullday akan
melahirkan produk anak didik yang jauh dari kehidupan nyata. Sadar
dengan urusan akademis tapi buta dengan urusan dunia luarnya.
Bermain dengan segudang rumusan dalil dan teori namun tidak kritis
dengan fenomena yang terjadi di sekitar lingkungannya. Ia keluar dari
pabrik bernama sekolah bak sebuah robot yang digerakan dengan
remot kontrol, tiada kemandirian (demikian bila meminjam bahasa-
bahasa Ivan Illich atau Paulo Freire tentang dunia pendidikan).
Tidak jarang dijumpai, apa yang didapatkan (anak didik) di
sekolah bertentangan dengan kenyataan yang ada di luarnya. Menurut
hemat saya, tawuran antarpelajar muncul bahkan karena sekolah
tempatnya belajar telah membentuk sikap egois yang menganggap
teman itu hanya yang satu sekolah saja. Anak lain yang tidak sama
sekolahnya lalu dianggap sebagai musuh. Hal ini disebabkan karena
mereka terbiasa dan dibentuk oleh suasana akademis masing-masing,
sehingga sulit menerima perbedaan atau realitas yang ada. Dari sini,
belum tentu dengan program fullday di sekolah akan dapat
menghindari tawuran antarpelajar di sekolah. Bukankah tawuran
antarpelajar selama ini sering dalam keadaan memakai seragam, dan
waktu belajar di sekolah?.
Setiap orang diberikan kebebasan untuk belajar di sekolah
kehidupan dan dengan itu menentukan jalan hidupnya. Dalam sekolah
kehidupan yang menjadi materi pembelajaran adalah baik-buruk
realitas itu sendiri, dan yang menjadi guru adalah pribadi masing-
masing. Oleh sebab itu tidak ada yang patut bertanggung jawab dan
disalahkan dalam menentukan sebuah pilihan yang telah ditetapkan
oleh masing-masing individu. Dengan demikian manusia dituntut
mengadakan interaksi dengan lingkungannya, belajar dari
pengalamannya, dan merancang masa depannya. Realitas yang ada
itulah yang menjadi basis bagi sekolah kehidupan.
Sulit untuk dipungkiri bahwa, di sekolah kehidupan inilah tempat
di mana setiap orang ditentukan sukses atau gagal. Banyak orang
yang pintar, berprestasi, memiliki bermacam gelar, tapi banyak pula
yang gagal menerima kenyataan kehidupan yang harus dihadapinya.
Dia gagal di sekolah kehidupan. Karena ia tidak memiliki persiapan
untuk itu. Sebaliknya, banyak pula orang yang sukses dalam sekolah
kehidupan ini meskipun prestasinya di sekolah (dalam arti
sesungguhnya) biasa-biasa saja. Karena mereka sadar dengan realitas
yang dihadapinya sehingga ia tahu benar bagaimana pula cara
menghadapinya.
Jelas sudah, bahwa lembaga sekolah bukanlah satu-satunya
sumber ilmu pengetahuan dan kunci keberhasilan seseorang. Dengan
demikian, sudah saatnya anak didik dikembalikan kepada realitas
kehidupan dengan pengajaran atau Manajemen yang Berbasiskan
Realitas (MBR) di sekolah, serta diberikan waktu yang cukup baginya
untuk belajar dari realitas itu. Agar anak didik setelah ke luar dari
sekolah tidak gagap menerima kenyataan yang ada.
Berangkat dari pandangan seperti ini, maka gagasan program
fullday sangatlah kurang –kalau tidak setuju dikatakan tidak– sesuai
dengan prinsip realitas kehidupan yang selalu berubah dan dinamis.
Kehidupan yang akan dilalui bagi anak didik ke depan bukanlah
kehidupan yang dibentuk oleh sebuah kondisi sekolah, lebih dari itu
beraneka corak realitas akan ditemuinya. Dengan demikian, saatnya
sekolah melakukan gerakan kesadaran tentang adanya sebuah realitas
kehidupan (“sekolah kehidupan”) yang menentukan sebuah
keberhasilan dan kesuksesan, tentu, dengan cara “mengembalikan”
anak-anak ke realitas kehidupan itu sendiri.