seke di makalehi

14
SEBUAH PEMIKIRAN AWAL SEKE DI MAKALEHI Oleh: Sudirno Kaghoo Masyarakat nelayan di Desa Makalehi Kecamatan Siau Barat Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) sudah lama menghadapi dilema kemiskinan. Pulau Makalehi merupakan salah satu pulau terluar yang terletak di wilayah Sulawesi Utara. Pulau berpenghuni 1.427 jiwa ini memiliki luas wilayah 420 Ha, yang terdiri dari lahan pertanian/perkebunan seluas 380 Ha, hutan lindung 2 Ha dan danau seluas 8 Ha. Pulau ini mempunyai keanekaragaman hayati laut yang tinggi seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun dan ikan-ikan karang. Pulau ini terdiri dari perkampungan penduduk, perkebunan dan pertanian serta hutan. Pulau yang berada pada titik koordinat 01 o 46’ 53” LU dan 119 o 12’ 50” BT ini mempunyai titik dasar No. TD 051A dan titik referensi No. TR. 051. Permasalahan pemeliharaan titik referensi, pengawasan dan pembinaan Ipoleksosbudhankam masih merupakan permasalahan nasional yang sedang dihadapi bangsa Indonesia di kawasan terluar ini. (Idris, dkk; 2007:49). Letak geografis pulau Makalehi berada di sebelah Barat Pulau Siau Kecamatan Siau Barat Kabupaten Sitaro. Untuk mencapai pulau ini, dari 1

Upload: dirno

Post on 02-Jul-2015

767 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Artikel ini menjadi bahan dasar dari Tesis yang sedang kuteliti sekarang ini.

TRANSCRIPT

Page 1: SEKE DI MAKALEHI

SEBUAH PEMIKIRAN AWAL

SEKE DI MAKALEHI

Oleh: Sudirno Kaghoo

Masyarakat nelayan di Desa Makalehi

Kecamatan Siau Barat Kabupaten

Kepulauan Siau Tagulandang Biaro

(Sitaro) sudah lama menghadapi

dilema kemiskinan. Pulau Makalehi

merupakan salah satu pulau terluar

yang terletak di wilayah Sulawesi

Utara.

Pulau berpenghuni 1.427 jiwa ini

memiliki luas wilayah 420 Ha, yang

terdiri dari lahan pertanian/perkebunan

seluas 380 Ha, hutan lindung 2 Ha dan

danau seluas 8 Ha. Pulau ini mempunyai

keanekaragaman hayati laut yang tinggi

seperti terumbu karang, mangrove,

padang lamun dan ikan-ikan karang.

Pulau ini terdiri dari perkampungan

penduduk, perkebunan dan pertanian

serta hutan. Pulau yang berada pada titik

koordinat 01o 46’ 53” LU dan 119o 12’ 50”

BT ini mempunyai titik dasar No. TD

051A dan titik referensi No. TR. 051.

Permasalahan pemeliharaan titik

referensi, pengawasan dan pembinaan

Ipoleksosbudhankam masih merupakan

permasalahan nasional yang sedang

dihadapi bangsa Indonesia di kawasan

terluar ini. (Idris, dkk; 2007:49).

Letak geografis pulau Makalehi

berada di sebelah Barat Pulau Siau

Kecamatan Siau Barat Kabupaten Sitaro.

Untuk mencapai pulau ini, dari pelabuhan

Manado dapat menumpang kapal motor

sampai pelabuhan Ulu Siau (Kecamatan

Siau Timur) dengan perjalanan selama 6

jam. Dari Siau Timur perjalanan

dilanjutkan menggunakan mobil dengan

waktu tempuh selama setengah jam

menuju ke Siau Barat. Dari Siau Barat

menuju pulau Makalehi digunakan perahu

motor dengan waktu tempuh sekitar 1-2

jam.

1

Page 2: SEKE DI MAKALEHI

SEBUAH PEMIKIRAN AWAL

Pulau Makalehi merupakan pulau

yang memiliki keunikan tersendiri, yaitu

terdapat danau air tawar yang cukup luas

di tengah-tengah pulau. Bentuk lahan

pulau ini terdiri dari perbukitan, dataran

dan cekungan di tengah pulau yang

menampung air dari perbukitan.

Komposisi lahan pulau ini terdiri dari

hutan lahan basah, hutan lahan kering,

semak belukar, lahan terbuka dan

terumbu karang. Sebagian besar daerah

perbukitan dipergunakan sebagai lahan

perkebunan, selebihnya mulai ditanami

dengan tanaman palawija. Keadaan pulau

Makalehi yang hampir seluruhnya

berbukit ini memiliki kemiringan lereng

berkisar antara 30o sampai 50o.

Kondisi pantai Makalehi umumnya

berupa pantai terjal yang tersebar di

seluruh pantai pulau, meskipun diselingi

oleh substrat pasir di beberapa tempat.

Pada saat pasang, air mencapai bibir

tebing pulau dan karang di sekitar pantai

tidak terlihat karena tertutup air laut.

Tetapi pada saat air surut akan terlihat

karang terhampar di beberapa tempat.

Karena karakteristik pantainya

merupakan tebing terjal, maka nelayan

terbiasa menambatkan perahunya

dengan cara dimiringkan dan diikat ke

dahan pohon. Di perairan Pulau Makalehi

dikenal dua macam arah angin yang

berpengaruh terhadap gelombang dan

arus, yaitu angin Utara dan angin Selatan.

Pada saat angin bertiup dari Utara, justru

arus mengalir dari Selatan ke Utara,

begitu pun sebaliknya. Pada saat musim

angin Utara, kecepatan angin bisa sangat

tinggi dan gelombang besar, sehingga

kapal-kapal dan perahu tidak mampu

melewati perairan ini.

(http://www.kp3k.kkp.go.id/index.php).

Dalam kehidupan sosial

masyarakat nelayan di desa Makalehi

terdapat beberapa kelompok yang

disebut “kelompok seke”. Seke adalah alat

2

Page 3: SEKE DI MAKALEHI

SEBUAH PEMIKIRAN AWAL

tangkap ikan yang terbuat dari bambu dan

rotan yang dibenamkan kedalam air laut,

kemudian seiring dengan perubahan saman

alat tersebut diganti dengan jaring atau

pukat. Kegiatan menangkap ikan dengan

seke disebut maneke. Sedangkan orang-

orang yang menangkap ikan dengan

menggunakan seke disebut mananeke.

Kelompok seke pertama yang terbentuk

adalah Seke Maghurang kemudian muncul

Seke Mohongsalu, disusul lagi oleh Seke

Yamangsara kemudian Seke Rario, Seke

Potase dan terakhir Seke Pirua.

Kedudukan Seke Maghurang, Seke

Mohongsalu dan Seke Rario di bagian

selatan desa Makalehi meliputi kawasan laut

yang dinamakan Malahemung, Tilade dan

Saghe Kadio sedangkan tiga seke lainnya

yaitu Seke Pirua, Seke Yamangsara dan

Seke Potase berkedudukan di bagian utara

kampung meliputi tempat yang disebut

Malendang. Ketiga seke di selatan tidak

diperbolehkan menangkap ikan di pesisir

utara wilayah penangkapan ketiga seke yang

berkedudukan di utara, kecuali jika

diundang oleh anggota seke lainnya.

Undangan untuk menangkap ikan ini

biasanya karena ikan yang terlalu banyak

dalam arti cukup untuk dibagi-bagi kepada

kelompok seke yang lain.

Para petugas seke, secara hierarki

dibagi dalam beberapa sub kelompok, yaitu

orang-orang sesuai urutan nomor yang telah

ditentukan oleh pemimpin kelompok melalui

musyawarah seke. Orang-orang nomor satu

ini biasanya adalah orang-orang tua yang

berpengalaman termasuk tonaseng atau

kepala kelompok dan seterusnya kebawah

sesuai pengalaman dan kemampuan masing-

masing. Hierarki ini juga membedakan

pembagian jatah ikan hasil tangkapan.

Dalam usaha penangkapan, di setiap

seke terdapat paling kurang tiga kengkang

(sejenis perahu kecil yang berukuran lebih

besar dari biasanya). Ketiga kengkang itu

antara lain: 1). Kengkang Namu yaitu perahu

3

Page 4: SEKE DI MAKALEHI

SEBUAH PEMIKIRAN AWAL

tempat tali yang dipasang daun janur untuk

mengusir ikan, 2). Kengkang Pandihe, yaitu

perahu tempat untuk meletakan seke dan 3)

Kengkang Usu yaitu perahu tempat

membawa telide (alat yang berfungsi untuk

menekan seke jika ikan bergerak ke bawah).

Kengkang Usu ini selalu mengikuti

Kengkang Pandihe. Orang-orang yang

berada di kengkang-kengkang ini biasanya

adalah orang-orang muda yang bertenaga

kuat.

Selama melakukan kegiatan

penangkapan terdapat larangan tidak boleh

menyalakan api di pantai, merokok,

bercerita dan membuat gaduh. Ketika seke

dilepas, orang yang turun ke laut dengan

kaos tidak boleh melepaskan kaos yang

dikenakannya. Semua pelanggaran terhadap

aturan maneke ini akan dibahas oleh anggota

dalam musyawarah seke pada tingkatan

internal seke masing-masing maupun antar

kelompok seke.

Di satu sisi kelompok-kelompok

nelayan tradisional tengah

diperhadapkan pada situasi adanya

kelompok nelayan lainnya yang memiliki

teknologi modern dalam usaha

penangkapan ikan yang jauh lebih

memadai dibanding dengan teknologi

milik nelayan tradisional. Selain itu

Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan

Sitaro sedang giat menggalakan

Program Kelompok Usaha

Bersama (KUBE) dan kegiatan kolektif

lainnya yang bertalian dengan

pemberdayaan ekonomi masyarakat dan

pembentukan usaha ekonomi milik desa

guna meningkatkan pendapatan ekonomi

masyarakat desa dan pendapatan

ekonomi desa. Kehadiran kedua bentuk

kelompok-kelompok baru di atas

tentunya berpengaruh terhadap

eksistensi kelompok nelayan tradisional

bahkan diduga dapat menggeserkan

posisi strategis kelompok nelayan

4

Page 5: SEKE DI MAKALEHI

SEBUAH PEMIKIRAN AWAL

tradisional sehingga teralienasi secara

sosial dari kehidupan sosial masyarakat

desa atau bahkan bisa kehilangan

eksistensinya.

Dari kasus yang diamati dalam

kehidupan masyarakat nelayan seperti di

atas, terlihat jelas bahwa eksistensi

kelompok nelayan (seke) merupakan

institusi sosial bagi para anggotanya yang

memungkinkan mereka untuk bertahan

hidup meskipun seringkali mengalami

kondisi pasang surut. Mereka memelihara

norma-norma dan nilai-nilai luhur dan

mematuhinya sebagai suatu kewajiban

yang bersifat mengikat dan bahkan

memaksa anggota-anggota kelompok.

Terdapat pula penjenjangan yang bersifat

struktural dengan fungsi masing-masing

yang berbeda sehingga pembagian kerja

berlangsung dalam sistem kerja

kelompok yang diikuti dengan pembagian

hasil tangkapan nelayan, dimana besar

kecilnya hasil yang diperoleh masing-

masing anggota disesuaikan dengan

status anggota dalam kelompoknya.

Sedangkan penyimpangan yang terjadi

dalam sistem kerja antar kelompok

sebagai dinamika sosial masyarakat

nelayan, menimbulkan terjadinya

kelompok baru. Akan tetapi pertikaian

fisik dapat dihindari karena terdapat

sebuah mekanisme musyawarah mufakat

yang dijadikan sebagai “katup pengaman”

sehingga konflik menjadi fungsional

untuk memperkokoh konstruksi struktur

sosial masyarakat nelayan. Pola

kehidupan masyarakat nelayan

tradisional ini perlu digambarkan secara

memadai agar ditemukan sebuah

kerangka sosial untuk dijadikan strategi

pembangunan kawasan pesisir yang

proporsional. Intinya, kehidupan sosial

masyarakat nelayan tradisional di desa

Makalehi terkonstruksi secara mapan

karena menjunjung tinggi nilai-nilai lokal,

memiliki solidaritas yang tinggi dan rasa

saling percaya (trust) yang tinggi di

antara sesama anggota masyarakat,

memiliki kohesivitas, keadilan sosial dan

demokrasi dalam menyelenggarakan

kegiatan kelompoknya yang berimplikasi

pada peningkatan peran strategis

sumberdaya sosial sebagai subjek

5

Page 6: SEKE DI MAKALEHI

SEBUAH PEMIKIRAN AWAL

pembangunan dan agen perubahan di

wilayahnya.

Masyarakat nelayan merupakan

salah satu bagian masyarakat Indonesia

yang hidup dengan mengelola potensi

sumberdaya perikanan dan kelautan.

Masyarakat nelayan dapat ditemukan di

daerah-daerah pesisir pantai dan pulau-

pulau kecil serta pulau-pulau yang berada

pada daerah terluar kawasan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Mereka

memiliki masalah pembangunan yang

kompleks dan jarang diangkat ke

permukaan. Kondisi kehidupan

masyarakat nelayan ditandai oleh ciri-ciri

seperti adanya kemiskinan,

keterbelakangan sosial budaya,

rendahnya kualitas sumberdaya manusia

dan lemahnya fungsi dari keberadaan

kelompok usaha bersama, sehingga

memposisikan nelayan pada masalah

kemiskinan yang tak ada ujung

pangkalnya. Padahal sesungguhnya

ketersediaan sumber daya alam dan

lingkungan fisik seperti potensi perikanan

dan kelautan sangat melimpah, akan

tetapi upaya untuk memanfaatkan

sumber daya alam tersebut tidak

ditunjang oleh sarana dan prasarana

pendukung yang memadai. Dengan

kondisi kehidupan masyarakat nelayan

seperti yang dicirikan di atas, terjadilah

kemudian kelemahan bargaining position

masyarakat dengan pihak-pihak luar

sehingga masyarakat nelayan sulit

mengembangkan kapasitas diri dan

organisasi atau kelembagaan sosial yang

dimiliki sebagai sarana aktualisasi dalam

membangun wilayahnya (Kusnadi, 2006 :

91-92).

Dalam upaya membangun masyarakat

nelayan yang kondisinya seperti

diuraikan di atas agar potensi

pembangunan masyarakat bisa dikelola

dengan baik, maka langkah yang perlu

ditempuh adalah membangun dan

memperkuat kelembagaan sosial yang

dimiliki sehingga masyarakat secara

kolektif memiliki kemampuan optimal

(berdaya) dalam membangun

wilayahnya. Pemberdayaan masyarakat

nelayan merupakan usaha-usaha yang

terrencana, sistematik dan

6

Page 7: SEKE DI MAKALEHI

SEBUAH PEMIKIRAN AWAL

berkesinambungan untuk membangun

kemandirian sosial, ekonomi dan politik

dengan mengelola potensi sumber daya

yang dimiliki untuk mencapai

kesejahteraan sosial yang berkelanjutan.

(Kusnadi, 2009). Oleh sebab itu

diperlukan sejumlah kriteria dalam upaya

pemberdayaan dimaksud, meliputi: 1)

adanya kondisi pemberdayaan; 2)

memberikan kesempatan agar

masyarakat semakin berdaya; 3)

perlindungan agar keberdayaan dapat

berkembang; 4) meningkatkan

kemampuan agar semakin berdaya serta

5) fungsi pemerintah. Sementara proses

pemberdayaan dapat ditempuh melalui

tahapan: 1) insiasi, dimana pemerintah

paling dominan dan masyarakat pasif; 2)

partisipatoris, dimana proses

pemberdayaan berasal dari pemerintah

bersama masyarakat dan 3)

emansipatoris dimana masyarakat sudah

menemukan kekuatannya

sendirisehingga dapat melakukan

pembaharuan dalam mengaktualisasikan

dirinya. (Pranaka dan Prijono, 1996).

Kartasasmita (1996)

mengemukakan bahwa dalam kerangka

pemberdayaan masyarakat nelayan, maka

pembangunan diarahkan pada: 1)

penciptaan suasana dan iklim yang

memungkinkan potensi masyarakat

berkembang (enabling); 2) penguatan

potensi atau daya yang dimiliki

masyarakat (empowering) dan 3)

perlindungan (protecting) terhadap pihak

yang lemah agar jangan bertambah lemah

dan mencegah terjadinya persaingan yang

tidak seimbang dan eksploitasi yang kuat

atas yang lemah. Akan tetapi kemiskinan

nelayan masih tetap terjadi disebabkan

oleh faktor struktural bukan karena tidak

mau maju atau tidak mau melakukan

perubahan atau modernisasi. (Arif Satria,

2003). Oleh sebab itu Kusnadi (2006)

menawarkan dua model pemberdayaan

masyarakat pesisir, yaitu: 1) Model

Pemeberdayaan Masyarakat Pesisir

Berbasis Pranata Budaya atau

Kelembagaan Sosial dan 2) Model

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Berbasis Gender.

7

Page 8: SEKE DI MAKALEHI

SEBUAH PEMIKIRAN AWAL

Berdasarkan pemikiran tersebut di

atas, saya tertarik untuk menelusuri lebih

jauh mengenai seluk beluk kehidupan

masyarakat nelayan di desa Makalehi.

Masalah sebagaimana diuraikan di atas

sangatlah kompleks yaitu mencakup

masalah-masalah struktural tentang dua

fenomena yang saling kontradiktif baik

dari aspek fisik maupun non fisik.

Masalah disini diartikan sebagai

kesenjangan antara fenomena-fenomena

yang telah berhasil diidentifikasi selama

studi awal.

Dalam kehidupan sosial

masyarakat nelayan tradisional di desa

Makalehi ditemukan situasi sosial dimana

pada satu sisi sumberdaya alam pesisir

tersedia dalam jumlah yang melimpah,

sedangkan di sisi lain iklim atau cuaca

tidak menentu dan menimbulkan masalah

dalam usaha penangkapan. Pada satu sisi

tersedia sumber daya manusia dengan

kualitas yang cukup memadai, sementara

di sisi lain kehidupan nelayan tradisional

teralienasi dari kehidupan bersama.

Terdapat penggunaan teknologi modern

oleh kelompok luar sedangkan kelompok

tradisional bersaing dengan penggunaan

teknologi yang sederhana, tersedianya

saluran informasi dan jaringan

telekomunikasi tetapi pengetahuan dan

ketrampilan nelayan tradisional belum

memadai untuk mengaksesnya, akses ke

lembaga-lembaga keuangan tersedia akan

tetapi kelompok kurang berdaya untuk

melakukan manajemen. Selain itu dalam

kehidupan bersama masyarakat, nilai-

nilai yang menjadi acuan dalam

kehidupan bersama berlangsung longgar

sedangkan dalam kehidupan kelompok

berlangsung ketat, sehingga potensi

konflik dalam kelompok nelayan

tradisional semakin marak meskipun

dalam kehidupan bersama (struktur)

berlangsung fungsional sehingga ledakan

konflik dapat dihindari melalui

berfungsinya musyawarah mufakat

sebagai katup pengaman. Peta

masalahnya dapat digambarkan sebagai

berikut:

8

Page 9: SEKE DI MAKALEHI

SEBUAH PEMIKIRAN AWAL

Peta Masalah Dalam Kehidupan Sosial Kelompok Nelayan Tradisional di Desa Makalehi

Kabupaten Kepulauan Sitaro.

Peta masalah di atas

menggambarkan adanya kondisi sosial

kelompok nelayan yang tidak berdaya

menjadi berdaya sepanjang

berlangsungnya dinamika kelompok.

Dengan demikian kelompok nelayan

tradisional diasumsikan memiliki tingkat

kohesivitas yang sangat tinggi dan

mampu beradaptasi dengan lingkungan

sekitarnya serta mampu membangun

interaksi yang memadai dengan

lingkungan sekitarnya, dimana interaksi

tersebut ditandai dengan berlangsungnya

kepercayaan (trust), terpeliharanya

sistem norma-norma (norm’s) dan

terbentuknya jaringan-jaringan (network)

fungsional yang akhirnya berimplikasi

pada terbentuknya kekuatan modal sosial

(social capital) dalam tatanan kehidupan

masyarakat.

9

Page 10: SEKE DI MAKALEHI

SEBUAH PEMIKIRAN AWAL

10