seke di makalehi
DESCRIPTION
Artikel ini menjadi bahan dasar dari Tesis yang sedang kuteliti sekarang ini.TRANSCRIPT
SEBUAH PEMIKIRAN AWAL
SEKE DI MAKALEHI
Oleh: Sudirno Kaghoo
Masyarakat nelayan di Desa Makalehi
Kecamatan Siau Barat Kabupaten
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro
(Sitaro) sudah lama menghadapi
dilema kemiskinan. Pulau Makalehi
merupakan salah satu pulau terluar
yang terletak di wilayah Sulawesi
Utara.
Pulau berpenghuni 1.427 jiwa ini
memiliki luas wilayah 420 Ha, yang
terdiri dari lahan pertanian/perkebunan
seluas 380 Ha, hutan lindung 2 Ha dan
danau seluas 8 Ha. Pulau ini mempunyai
keanekaragaman hayati laut yang tinggi
seperti terumbu karang, mangrove,
padang lamun dan ikan-ikan karang.
Pulau ini terdiri dari perkampungan
penduduk, perkebunan dan pertanian
serta hutan. Pulau yang berada pada titik
koordinat 01o 46’ 53” LU dan 119o 12’ 50”
BT ini mempunyai titik dasar No. TD
051A dan titik referensi No. TR. 051.
Permasalahan pemeliharaan titik
referensi, pengawasan dan pembinaan
Ipoleksosbudhankam masih merupakan
permasalahan nasional yang sedang
dihadapi bangsa Indonesia di kawasan
terluar ini. (Idris, dkk; 2007:49).
Letak geografis pulau Makalehi
berada di sebelah Barat Pulau Siau
Kecamatan Siau Barat Kabupaten Sitaro.
Untuk mencapai pulau ini, dari pelabuhan
Manado dapat menumpang kapal motor
sampai pelabuhan Ulu Siau (Kecamatan
Siau Timur) dengan perjalanan selama 6
jam. Dari Siau Timur perjalanan
dilanjutkan menggunakan mobil dengan
waktu tempuh selama setengah jam
menuju ke Siau Barat. Dari Siau Barat
menuju pulau Makalehi digunakan perahu
motor dengan waktu tempuh sekitar 1-2
jam.
1
SEBUAH PEMIKIRAN AWAL
Pulau Makalehi merupakan pulau
yang memiliki keunikan tersendiri, yaitu
terdapat danau air tawar yang cukup luas
di tengah-tengah pulau. Bentuk lahan
pulau ini terdiri dari perbukitan, dataran
dan cekungan di tengah pulau yang
menampung air dari perbukitan.
Komposisi lahan pulau ini terdiri dari
hutan lahan basah, hutan lahan kering,
semak belukar, lahan terbuka dan
terumbu karang. Sebagian besar daerah
perbukitan dipergunakan sebagai lahan
perkebunan, selebihnya mulai ditanami
dengan tanaman palawija. Keadaan pulau
Makalehi yang hampir seluruhnya
berbukit ini memiliki kemiringan lereng
berkisar antara 30o sampai 50o.
Kondisi pantai Makalehi umumnya
berupa pantai terjal yang tersebar di
seluruh pantai pulau, meskipun diselingi
oleh substrat pasir di beberapa tempat.
Pada saat pasang, air mencapai bibir
tebing pulau dan karang di sekitar pantai
tidak terlihat karena tertutup air laut.
Tetapi pada saat air surut akan terlihat
karang terhampar di beberapa tempat.
Karena karakteristik pantainya
merupakan tebing terjal, maka nelayan
terbiasa menambatkan perahunya
dengan cara dimiringkan dan diikat ke
dahan pohon. Di perairan Pulau Makalehi
dikenal dua macam arah angin yang
berpengaruh terhadap gelombang dan
arus, yaitu angin Utara dan angin Selatan.
Pada saat angin bertiup dari Utara, justru
arus mengalir dari Selatan ke Utara,
begitu pun sebaliknya. Pada saat musim
angin Utara, kecepatan angin bisa sangat
tinggi dan gelombang besar, sehingga
kapal-kapal dan perahu tidak mampu
melewati perairan ini.
(http://www.kp3k.kkp.go.id/index.php).
Dalam kehidupan sosial
masyarakat nelayan di desa Makalehi
terdapat beberapa kelompok yang
disebut “kelompok seke”. Seke adalah alat
2
SEBUAH PEMIKIRAN AWAL
tangkap ikan yang terbuat dari bambu dan
rotan yang dibenamkan kedalam air laut,
kemudian seiring dengan perubahan saman
alat tersebut diganti dengan jaring atau
pukat. Kegiatan menangkap ikan dengan
seke disebut maneke. Sedangkan orang-
orang yang menangkap ikan dengan
menggunakan seke disebut mananeke.
Kelompok seke pertama yang terbentuk
adalah Seke Maghurang kemudian muncul
Seke Mohongsalu, disusul lagi oleh Seke
Yamangsara kemudian Seke Rario, Seke
Potase dan terakhir Seke Pirua.
Kedudukan Seke Maghurang, Seke
Mohongsalu dan Seke Rario di bagian
selatan desa Makalehi meliputi kawasan laut
yang dinamakan Malahemung, Tilade dan
Saghe Kadio sedangkan tiga seke lainnya
yaitu Seke Pirua, Seke Yamangsara dan
Seke Potase berkedudukan di bagian utara
kampung meliputi tempat yang disebut
Malendang. Ketiga seke di selatan tidak
diperbolehkan menangkap ikan di pesisir
utara wilayah penangkapan ketiga seke yang
berkedudukan di utara, kecuali jika
diundang oleh anggota seke lainnya.
Undangan untuk menangkap ikan ini
biasanya karena ikan yang terlalu banyak
dalam arti cukup untuk dibagi-bagi kepada
kelompok seke yang lain.
Para petugas seke, secara hierarki
dibagi dalam beberapa sub kelompok, yaitu
orang-orang sesuai urutan nomor yang telah
ditentukan oleh pemimpin kelompok melalui
musyawarah seke. Orang-orang nomor satu
ini biasanya adalah orang-orang tua yang
berpengalaman termasuk tonaseng atau
kepala kelompok dan seterusnya kebawah
sesuai pengalaman dan kemampuan masing-
masing. Hierarki ini juga membedakan
pembagian jatah ikan hasil tangkapan.
Dalam usaha penangkapan, di setiap
seke terdapat paling kurang tiga kengkang
(sejenis perahu kecil yang berukuran lebih
besar dari biasanya). Ketiga kengkang itu
antara lain: 1). Kengkang Namu yaitu perahu
3
SEBUAH PEMIKIRAN AWAL
tempat tali yang dipasang daun janur untuk
mengusir ikan, 2). Kengkang Pandihe, yaitu
perahu tempat untuk meletakan seke dan 3)
Kengkang Usu yaitu perahu tempat
membawa telide (alat yang berfungsi untuk
menekan seke jika ikan bergerak ke bawah).
Kengkang Usu ini selalu mengikuti
Kengkang Pandihe. Orang-orang yang
berada di kengkang-kengkang ini biasanya
adalah orang-orang muda yang bertenaga
kuat.
Selama melakukan kegiatan
penangkapan terdapat larangan tidak boleh
menyalakan api di pantai, merokok,
bercerita dan membuat gaduh. Ketika seke
dilepas, orang yang turun ke laut dengan
kaos tidak boleh melepaskan kaos yang
dikenakannya. Semua pelanggaran terhadap
aturan maneke ini akan dibahas oleh anggota
dalam musyawarah seke pada tingkatan
internal seke masing-masing maupun antar
kelompok seke.
Di satu sisi kelompok-kelompok
nelayan tradisional tengah
diperhadapkan pada situasi adanya
kelompok nelayan lainnya yang memiliki
teknologi modern dalam usaha
penangkapan ikan yang jauh lebih
memadai dibanding dengan teknologi
milik nelayan tradisional. Selain itu
Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan
Sitaro sedang giat menggalakan
Program Kelompok Usaha
Bersama (KUBE) dan kegiatan kolektif
lainnya yang bertalian dengan
pemberdayaan ekonomi masyarakat dan
pembentukan usaha ekonomi milik desa
guna meningkatkan pendapatan ekonomi
masyarakat desa dan pendapatan
ekonomi desa. Kehadiran kedua bentuk
kelompok-kelompok baru di atas
tentunya berpengaruh terhadap
eksistensi kelompok nelayan tradisional
bahkan diduga dapat menggeserkan
posisi strategis kelompok nelayan
4
SEBUAH PEMIKIRAN AWAL
tradisional sehingga teralienasi secara
sosial dari kehidupan sosial masyarakat
desa atau bahkan bisa kehilangan
eksistensinya.
Dari kasus yang diamati dalam
kehidupan masyarakat nelayan seperti di
atas, terlihat jelas bahwa eksistensi
kelompok nelayan (seke) merupakan
institusi sosial bagi para anggotanya yang
memungkinkan mereka untuk bertahan
hidup meskipun seringkali mengalami
kondisi pasang surut. Mereka memelihara
norma-norma dan nilai-nilai luhur dan
mematuhinya sebagai suatu kewajiban
yang bersifat mengikat dan bahkan
memaksa anggota-anggota kelompok.
Terdapat pula penjenjangan yang bersifat
struktural dengan fungsi masing-masing
yang berbeda sehingga pembagian kerja
berlangsung dalam sistem kerja
kelompok yang diikuti dengan pembagian
hasil tangkapan nelayan, dimana besar
kecilnya hasil yang diperoleh masing-
masing anggota disesuaikan dengan
status anggota dalam kelompoknya.
Sedangkan penyimpangan yang terjadi
dalam sistem kerja antar kelompok
sebagai dinamika sosial masyarakat
nelayan, menimbulkan terjadinya
kelompok baru. Akan tetapi pertikaian
fisik dapat dihindari karena terdapat
sebuah mekanisme musyawarah mufakat
yang dijadikan sebagai “katup pengaman”
sehingga konflik menjadi fungsional
untuk memperkokoh konstruksi struktur
sosial masyarakat nelayan. Pola
kehidupan masyarakat nelayan
tradisional ini perlu digambarkan secara
memadai agar ditemukan sebuah
kerangka sosial untuk dijadikan strategi
pembangunan kawasan pesisir yang
proporsional. Intinya, kehidupan sosial
masyarakat nelayan tradisional di desa
Makalehi terkonstruksi secara mapan
karena menjunjung tinggi nilai-nilai lokal,
memiliki solidaritas yang tinggi dan rasa
saling percaya (trust) yang tinggi di
antara sesama anggota masyarakat,
memiliki kohesivitas, keadilan sosial dan
demokrasi dalam menyelenggarakan
kegiatan kelompoknya yang berimplikasi
pada peningkatan peran strategis
sumberdaya sosial sebagai subjek
5
SEBUAH PEMIKIRAN AWAL
pembangunan dan agen perubahan di
wilayahnya.
Masyarakat nelayan merupakan
salah satu bagian masyarakat Indonesia
yang hidup dengan mengelola potensi
sumberdaya perikanan dan kelautan.
Masyarakat nelayan dapat ditemukan di
daerah-daerah pesisir pantai dan pulau-
pulau kecil serta pulau-pulau yang berada
pada daerah terluar kawasan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Mereka
memiliki masalah pembangunan yang
kompleks dan jarang diangkat ke
permukaan. Kondisi kehidupan
masyarakat nelayan ditandai oleh ciri-ciri
seperti adanya kemiskinan,
keterbelakangan sosial budaya,
rendahnya kualitas sumberdaya manusia
dan lemahnya fungsi dari keberadaan
kelompok usaha bersama, sehingga
memposisikan nelayan pada masalah
kemiskinan yang tak ada ujung
pangkalnya. Padahal sesungguhnya
ketersediaan sumber daya alam dan
lingkungan fisik seperti potensi perikanan
dan kelautan sangat melimpah, akan
tetapi upaya untuk memanfaatkan
sumber daya alam tersebut tidak
ditunjang oleh sarana dan prasarana
pendukung yang memadai. Dengan
kondisi kehidupan masyarakat nelayan
seperti yang dicirikan di atas, terjadilah
kemudian kelemahan bargaining position
masyarakat dengan pihak-pihak luar
sehingga masyarakat nelayan sulit
mengembangkan kapasitas diri dan
organisasi atau kelembagaan sosial yang
dimiliki sebagai sarana aktualisasi dalam
membangun wilayahnya (Kusnadi, 2006 :
91-92).
Dalam upaya membangun masyarakat
nelayan yang kondisinya seperti
diuraikan di atas agar potensi
pembangunan masyarakat bisa dikelola
dengan baik, maka langkah yang perlu
ditempuh adalah membangun dan
memperkuat kelembagaan sosial yang
dimiliki sehingga masyarakat secara
kolektif memiliki kemampuan optimal
(berdaya) dalam membangun
wilayahnya. Pemberdayaan masyarakat
nelayan merupakan usaha-usaha yang
terrencana, sistematik dan
6
SEBUAH PEMIKIRAN AWAL
berkesinambungan untuk membangun
kemandirian sosial, ekonomi dan politik
dengan mengelola potensi sumber daya
yang dimiliki untuk mencapai
kesejahteraan sosial yang berkelanjutan.
(Kusnadi, 2009). Oleh sebab itu
diperlukan sejumlah kriteria dalam upaya
pemberdayaan dimaksud, meliputi: 1)
adanya kondisi pemberdayaan; 2)
memberikan kesempatan agar
masyarakat semakin berdaya; 3)
perlindungan agar keberdayaan dapat
berkembang; 4) meningkatkan
kemampuan agar semakin berdaya serta
5) fungsi pemerintah. Sementara proses
pemberdayaan dapat ditempuh melalui
tahapan: 1) insiasi, dimana pemerintah
paling dominan dan masyarakat pasif; 2)
partisipatoris, dimana proses
pemberdayaan berasal dari pemerintah
bersama masyarakat dan 3)
emansipatoris dimana masyarakat sudah
menemukan kekuatannya
sendirisehingga dapat melakukan
pembaharuan dalam mengaktualisasikan
dirinya. (Pranaka dan Prijono, 1996).
Kartasasmita (1996)
mengemukakan bahwa dalam kerangka
pemberdayaan masyarakat nelayan, maka
pembangunan diarahkan pada: 1)
penciptaan suasana dan iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling); 2) penguatan
potensi atau daya yang dimiliki
masyarakat (empowering) dan 3)
perlindungan (protecting) terhadap pihak
yang lemah agar jangan bertambah lemah
dan mencegah terjadinya persaingan yang
tidak seimbang dan eksploitasi yang kuat
atas yang lemah. Akan tetapi kemiskinan
nelayan masih tetap terjadi disebabkan
oleh faktor struktural bukan karena tidak
mau maju atau tidak mau melakukan
perubahan atau modernisasi. (Arif Satria,
2003). Oleh sebab itu Kusnadi (2006)
menawarkan dua model pemberdayaan
masyarakat pesisir, yaitu: 1) Model
Pemeberdayaan Masyarakat Pesisir
Berbasis Pranata Budaya atau
Kelembagaan Sosial dan 2) Model
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Berbasis Gender.
7
SEBUAH PEMIKIRAN AWAL
Berdasarkan pemikiran tersebut di
atas, saya tertarik untuk menelusuri lebih
jauh mengenai seluk beluk kehidupan
masyarakat nelayan di desa Makalehi.
Masalah sebagaimana diuraikan di atas
sangatlah kompleks yaitu mencakup
masalah-masalah struktural tentang dua
fenomena yang saling kontradiktif baik
dari aspek fisik maupun non fisik.
Masalah disini diartikan sebagai
kesenjangan antara fenomena-fenomena
yang telah berhasil diidentifikasi selama
studi awal.
Dalam kehidupan sosial
masyarakat nelayan tradisional di desa
Makalehi ditemukan situasi sosial dimana
pada satu sisi sumberdaya alam pesisir
tersedia dalam jumlah yang melimpah,
sedangkan di sisi lain iklim atau cuaca
tidak menentu dan menimbulkan masalah
dalam usaha penangkapan. Pada satu sisi
tersedia sumber daya manusia dengan
kualitas yang cukup memadai, sementara
di sisi lain kehidupan nelayan tradisional
teralienasi dari kehidupan bersama.
Terdapat penggunaan teknologi modern
oleh kelompok luar sedangkan kelompok
tradisional bersaing dengan penggunaan
teknologi yang sederhana, tersedianya
saluran informasi dan jaringan
telekomunikasi tetapi pengetahuan dan
ketrampilan nelayan tradisional belum
memadai untuk mengaksesnya, akses ke
lembaga-lembaga keuangan tersedia akan
tetapi kelompok kurang berdaya untuk
melakukan manajemen. Selain itu dalam
kehidupan bersama masyarakat, nilai-
nilai yang menjadi acuan dalam
kehidupan bersama berlangsung longgar
sedangkan dalam kehidupan kelompok
berlangsung ketat, sehingga potensi
konflik dalam kelompok nelayan
tradisional semakin marak meskipun
dalam kehidupan bersama (struktur)
berlangsung fungsional sehingga ledakan
konflik dapat dihindari melalui
berfungsinya musyawarah mufakat
sebagai katup pengaman. Peta
masalahnya dapat digambarkan sebagai
berikut:
8
SEBUAH PEMIKIRAN AWAL
Peta Masalah Dalam Kehidupan Sosial Kelompok Nelayan Tradisional di Desa Makalehi
Kabupaten Kepulauan Sitaro.
Peta masalah di atas
menggambarkan adanya kondisi sosial
kelompok nelayan yang tidak berdaya
menjadi berdaya sepanjang
berlangsungnya dinamika kelompok.
Dengan demikian kelompok nelayan
tradisional diasumsikan memiliki tingkat
kohesivitas yang sangat tinggi dan
mampu beradaptasi dengan lingkungan
sekitarnya serta mampu membangun
interaksi yang memadai dengan
lingkungan sekitarnya, dimana interaksi
tersebut ditandai dengan berlangsungnya
kepercayaan (trust), terpeliharanya
sistem norma-norma (norm’s) dan
terbentuknya jaringan-jaringan (network)
fungsional yang akhirnya berimplikasi
pada terbentuknya kekuatan modal sosial
(social capital) dalam tatanan kehidupan
masyarakat.
9
SEBUAH PEMIKIRAN AWAL
10