sejarah peradaban ekonomi islam masa khulafa ar-rasyidin

39
Peradaban Ekonomi Pada Masa Khulafa’ al- Rasyidin Muhammad Noor Sayuti 1 Tony Abdul Syukur 2 Abstract Tulisan ini bertujuan untuk memahami kondisi sosial-ekonomi pada masa Khulafa al-Rasyidin, dimana para sahabat dengan ijtihadnya, menghasilkan konsep-konsep ekonomi yang akan berkaitan atau mempengaruhi ekonomi Islam setelah masa tersebut. Jenis tulisan ini adalah kualitatif berdasarkan studi kepustakaan dan memiliki sifat deskriptif. Tulisan ini diantaranya memiliki kesimpulan bahwa Pranata Ekonomi yang lahir dan berkembang pada masa Khulafa al-Rasyidin diantaranya adalah zakat sebagai dasar kebijakan fiskal, Pendirian Baitulmal, Kharaj, Hisbah, 'Usyr, Iqta', Kebijakan dalam menghadapi krisis Ramdah, Pencetakan uang. Kata Kunci: khulafa al-Rasyidin, peradaban, pranata ekonomi I. Pendahuluan Wafatnya Nabi Muhammad SAW merupakan hal yang tidak terelakan. Kedudukan beliau sebagai Rasulullah tidak mungkin dapat digantikan oleh siapapun. Akan tetapi, kedudukan Nabi sebagai kepala pemerintahan haruslah segera ada penggantinya. Keharusan akan adanya 1 Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syari’ah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Email: [email protected] 2 Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syari’ah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Email: [email protected] 1

Upload: -

Post on 14-Apr-2016

246 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

Peradaban Ekonomi Pada Masa Khulafa’ al-Rasyidin

Muhammad Noor Sayuti1

Tony Abdul Syukur2

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk memahami kondisi sosial-ekonomi pada masa Khulafa al-Rasyidin, dimana para sahabat dengan ijtihadnya, menghasilkan konsep-konsep ekonomi yang akan berkaitan atau mempengaruhi ekonomi Islam setelah masa tersebut. Jenis tulisan ini adalah kualitatif berdasarkan studi kepustakaan dan memiliki sifat deskriptif. Tulisan ini diantaranya memiliki kesimpulan bahwa Pranata Ekonomi yang lahir dan berkembang pada masa Khulafa al-Rasyidin diantaranya adalah zakat sebagai dasar kebijakan fiskal, Pendirian Baitulmal, Kharaj, Hisbah, 'Usyr, Iqta', Kebijakan dalam menghadapi krisis Ramdah, Pencetakan uang.

Kata Kunci: khulafa al-Rasyidin, peradaban, pranata ekonomi

I. Pendahuluan

Wafatnya Nabi Muhammad SAW merupakan hal yang tidak terelakan.

Kedudukan beliau sebagai Rasulullah tidak mungkin dapat digantikan oleh

siapapun. Akan tetapi, kedudukan Nabi sebagai kepala pemerintahan haruslah

segera ada penggantinya. Keharusan akan adanya kepala pemerintahan tertuang

dalam hadis Nabi riwayat Abu Daud, “Jika tiga orang berada dalam suatu

perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka

sebagai pemimpin”. Disamping itu, pemerintahan adalah suatu kewajiban, karena

akal perlunya manusia terhadap organisasi sosial. Namun hukum wajibnya adalah

fardhu kifayah.

Khilafah menurut Ibn Khaldun adalah pemerintahan yang berlandaskan

Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik

dalam hal keduniawian atau akhirat. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah,

1 Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syari’ah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Email: [email protected] Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syari’ah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Email: [email protected]

1

Page 2: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

Imam atau Sulthan. Khilafah adalah pengganti Nabi Muhammad dengan tugas

mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia.

Masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin berlangsung selama tiga puluh

tahun. Pada saat itu, para sahabat dihadapkan pada berbagai kenyataan hidup dan

kondisi sosial-ekonomi yang berbeda dengan yang terjadi pada masa Rasul,

ataupun sama tetapi dengan skala yang berbeda. Hal ini menuntut mereka untuk

melakukan ijtihad serta bermusyawarah di antara mereka.

Pembahasan ekonomi pada masa Khulafa al-Rasyidin diperlukan untuk

memahami kondisi sosial-ekonomi pada saat itu, dimana para sahabat dengan

ijtihadnya, menghasilkan konsep-konsep ekonomi yang akan berkaitan atau

mempengaruhi ekonomi Islam setelah masa tersebut.

II. Metode Penulisan

A. Jenis dan Sifat

Tulisan ini disusun berdasarkan studi dokumentasi di mana data-data serta

bahan-bahan yang penulis perlukan atau gunakan didalam penelitian ini

berdasarkan atas studi terhadap dokumen berupa literatur-literatur atau buku-buku

yang penulis dapatkan dengan cara penelusuran kepustakaan.

Sedangkan menurut sifatnya, maka tulisan ini adalah dikategorikan

sebagai penelitian yang bersifat deskriptif yang mendeskripsikan secara sistematis

B. Sumber Data

Adapun yang menjadi sumber data dalam makalah ini, didasarkan atas

data sekunder yang didapatkan melalui literatur-literatur dan buku-buku lainnya

yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengembangkan makalah ini.

Secara lebih jelasnya, maka sumber data tersebut dikategorikan sebagai berikut:

1. Bahan Hukum Primer

Adalah: data pokok yang dijadikan sebagai dasar dari penulisan ini. (Al-

Qur’an, As-Sunnah, Ijma Sahabat, Qiyas).

2. Bahan Hukum Sekunder

2

Page 3: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

Berupa data-data yang diperoleh dari buku-buku dan literatur-literatur penunjang,

melalui studi kepustakaan serta data-data lainnya yang ada hubungannya dengan

judul makalah yang ditulis, yang kesemuanya itu turut mendukung bahan primer

dalam tulisan ini, khususnya dalam masalah Peradaban Eknomi Khulafa al-

Rasyidin.

3. Bahan Hukum Tersier

Merupakan data yang diperoleh dari pengumpulan bahan-bahan yang ada

kaitannya dengan Peradaban Ekonomi Khulafa al-Rasyidin dengan melakukan

penemuan data dan fakta melalui media internet, media massa, buletin, majalah

dan makalah-makalah lain yang ada kaitannya dengan tulisan ini.

III. Pembahasan

A. Kronologi Sejarah Khulafa al-Rasyidin

1. Abu Bakar

Abu Bakar memiliki hati yang lembut, bersahabat, dermawan dan saleh.3

Beliau digelari Al-‘Atîq. Gelar Al-‘Atîq ini dilekatkan kepadanya karena

ketampanan wajahnya dan tidak akan tersentuh api neraka4. Di awal keislamannya

beliau menginfakkan hartanya di jalan Allah sebanyak 40.000 dirham, semua itu

beliau lakukan untuk kemajuan Islam dan membebaskan hamba sahaya.5

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Kaum Muhajirin dan Ansar berdebat

mengenai siapa yang pantas menggantikan nabi sebagai pemimpin. Pada akhirnya

mereka bersepakat bahwa yang pantas menggantikan nabi adalah Abu Bakar.6

Abu Bakar menjadi Khalifah di umur 59 dan menjabat selama kurang lebih 2

tahun, 3 bulan, 10 hari. Beliau wafat pada usia 63 tahun, persis dengan usia nabi.7

Selama masa jabatannya tersebut beliau sukses dalam membangun

3 Ahmed A.E. El-Ashker dan Rodney Wilson, Islamic Economic a Short History (Leiden: Brill, 2006), 95.4 Jalaluddin Abdurrahman As-suyuthi, Târikh al-khulafa (Beirut: Dar ibn Hazm) , 26.5 Muhammad ibn Saad Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra (Madinah: al-Syirkah al –Dauliyah li al-Thibâ’ah, 2001), Jilid 3, 158.6 Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 166.7 Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 185.

3

Page 4: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

kepemimpinannya yang merupakan periode penting setelah wafatnya Rasulullah

SAW. 8 Kesuksesannya ini tidak terlepas dari karakter dan kedekatan beliau

dengan Rasulullah SAW.

Pada masa pemerintahannya, Abu Bakar dihadapakan pada masalah-

masalah seperti kemurtadan, pembangkangan dan masalah politik pada masa

kekhalifahannya, beliau menanganinya dengan luar biasa. 9

Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu bakar dibiayai dari

Baitulmal dengan tambahan makanan berupa daging kambing dan beberapa

pakaian, setelah beberapa waktu tunjangan untuk abu bakar ditambah menjadi

2000 dirham kemudian ditambah lagi menjadi 2500 dirham.10 Sebelum wafatnya,

Abu Bakar mengembalikan harta tersebut, beliau mengatakan, “Segala yang ada

padaku dari harta Muslimin (baitulmal) kembalikanlah. Aku sama sekali tidak

ingin menggunakan harta ini. Berikanlah tanahku di tempat anu dan anu untuk

kepentingan kaum Muslimin sebagai ganti harta mereka yang kugunakan.”11

2. Umar ibn al-Khattab

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan

di kalangan umat Islam ketika pengangkatan khalifah kedua, Abu Bakar

bermusyawarah dengan para pemuka sahabat tentang calon penggantinya.

Berdasarkan hasil musyawarah tersebut, ia menunjuk Umar ibn al-Khattab yang

tatkala itu berumur 47 tahun. Keputusan tersebut diterima dengan baik oleh kaum

muslimin. Umar ibn al-Khattab melaksanakan tugas dalam kekhalifahan selama

kurang lebih 10 tahun dan 6 bulan, dan mampu merealisasikan hal-hal yang

besar dalam masa tersebut.

Umar ibn al-Khattab memiliki kepribadian yang berbeda dengan Abu

Bakar. Sifat menonjol Umar ibn al-Khattab adalah keberanian, kekuatan fisik dan

keteguhannya, beliau disegani dan ditakuti. Beliau merupakan panutan atas

8 El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 95.9 El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 96.10 Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 169.11 Muhammad Husain Haekal, Abu Bakar as-Siddiq Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, terjemahan oleh Ali Audah (Jakarta: Litera Antarnusa, 1995), 371.

4

Page 5: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

kesalehan, kesederhanaan, dan menjunjung tinggi keadilan. Pertimbangan dan

intelektual yang baik adalah yang paling dihormati oleh kaum muslimin dari

Khalifah Umar ibn al-Khattab.12

Selama masa kekhalifahannya beliau telah menampakkan politik yang

bagus, keteguhan prinsip, kecemerlangan perencanaan, meletakkan berbagai

sistem ekonomi dan manajeman yang penting menggambarkan garis-garis

penaklukan dan pengaturan daerah-daerah yang ditaklukkan, berjaga untuk

kemaslahatan rakyat, menegakkan keadilan di setiap daerah, dan terhadap semua

manusia, memperluas permusyawaratan, melakukan koreksi terhadap para pejabat

negara, orang yang bertanggung jawab terhadap Baitulmal, dan petugas kharaj

dan mencegah mereka dari menzhalimi rakyat. 13

Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun,

Umar ibn al-Khattab banyak melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah

Islam. Pada masa itu, wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, Palestina, Syiria,

sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Perluasan ini wilayah ini mendorong

untuk adanya cara pandang baru dalam menangani isu-isu ekonomi. Kontribusi

Umar ibn al-Khattab dalam hal ini sangatlah mengagumkan. 14

3. Utsman Ibn Affan.

Pengangkatan beliau sebagai khalifah atas inisiatif Umar ibn Khattab

membentuk sebuah tim yang terdiri dari enam orang sahabat yaitu, beliau sendiri

(Utsman Ibn Affan), Ali Ibn Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibn Al-Awwam, Sa’ad

ibn Abi Waqas dan Abdurrahman ibn ‘Auf. Umar meminta kepada tim tersebut

untuk memilih salah seorang dari mereka sebagai penggantinya, dan terpilihlah

Utsman ibn Affan yg tatkala itu berumur 69 tahun .15

Utsman dikenal dengan seorang sahabat yang memiliki dua sifat menonjol,

yaitu sifat malu dan kedermawanannya, seperti yang digambarkan dalam hadits,

12 El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 9913 Akram Dhiya al-‘Umari, ‘Asru al-Khilâfah al-Râsyidah (Riyadh : Maktabah al-‘Ubaikan,2003), 77-7814 El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 10215 Ibnu katsir, al -Bidayah Wa al- Nihayah, jilid 7, 280

5

Page 6: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

Rasulullah SAW berkata : “Tidak pantaskan aku merasa malu kepada seseorang

yang malaikatpun malu kepadanya.” tentang kedermawanannya yang

diriwayatkan oleh bukhari dalam shohinya, rasululullah berkata : ’ Barang siapa

yang mempersiapkan perlengkapan Jaisyur Usyrah, maka baginya adalah

Jannah.” 16

Utsman memiliki sifat yang mirip dengan Abu Bakar, beliau dikenal

dengan toleransi, bersahabat, lemah lembut, rendah hati dan pemalu. Salah satu

kelebihan yang dimiliki Utsman dibanding khalifah sebelumnya adalah

kekayaannya yang melimpah. 17

Masa kekhalifahan Ustman bin Affan berlangsung selama 12 tahun, 12

hari.18 Ini merupakan masa kekhalifahan yang terlama dibandingkan dengan

ketiga khalifah lainnya. Di akhir masa kekhalifahan Utsman bin Affan, gejolak

politik semakin meningkat hingga Ustman wafat terbunuh.19

4. Ali ibn Abi Tholib.

Ali ibn Abi Tholib diangkat menjadi khalifah ke empat sehari setelah

Utsman wafat, beliau dibai’at pada 19 dzulhijjah tatkala berumur sekitar 56 tahun

oleh beberapa orang sahabat diantaranya, Tholhah, Zubair dan Sa’ad ibn Abi

waqas.20

Masa Pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib berlangsung selama enam

tahun yang diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus

menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair ibn al-Awwam dan Aisyah yang

menuntut kematian Utsman bin Affan.

B. Pranata Ekonomi yang Lahir dan Berkembang pada masa Khulafa al-

Rasyidin

1. Zakat Sebagai Dasar Kebijakan Fiskal

16 al-suyuthi, Târikh al-khulafa, 122.17 El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 118-119.18 abi Ja’far Muhammad ibn Jarir At-Thabari, Târîkh at-Thabari (Mesir: Dâr al-Ma’ârif), jilid 4, 415.19 al-suyuthi, Târikh al-khulafa, .20 Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 29.

6

Page 7: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

Pada awal masa pemerintahannya, Khalifah Abu Bakar dihadapkan

dengan masalah pemurtadan (orang-orang yang mengaku sebagai nabi setelah

Rasulullah SAW). Konflik ini menyebabkan adanya orang-orang yang berpaling

dari Islam dan ada yang tetap dalam keislamannya, akan tetapi menolak untuk

membayar zakat kepada Abu Bakar. Penolakan untuk membayar zakat ini baik

karena kekikirannya untuk menyerahkan harta yang sudah diperoleh dengan kerja

keras, atau karena anggapan bahwa pembayaran itu sebagai upeti yang sudah

tidak berlaku lagi sesudah Rasulullah SAW wafat, dan boleh dibayarkan kepada

siapa saja yang mereka pilih sendiri sebagai pemimpinnya di Madinah. Mereka

mogok tidak mau membayar zakat dengan menyatakan bahwa mereka tidak

tunduk kepada Abu Bakar. 21 Abu Bakar tidak bisa menerima hal ini, baginya ini

merupakan ancaman terhadap persatuan Kaum Muslimin dan keutuhan Islam.

Beliau berpandangan zakat tidak bisa dipisahkan dari rukun Islam yang lain.

Beliau melihat dalam ayat-ayat Alquran, zakat dan salat selalu disebut

berbarengan. Selain itu, penolakan membayar zakat merupakan pelanggaran

mereka terhadap janji yang dibuat kepada nabi sebelum wafatnya. 22 Oleh karena

itu Abu Bakar berk-omitmen untuk melawan para pembangkang tersebut.

Ahmed el-Ashker dan Wilson berpendapat, bahwa keputusan Abu bakar

untuk memerangi pembangkang zakat walaupun mereka muslim, harus dilihat

dari berbagai sudut pandang: 23

1) Faktor keagamaan sebagaimana yang dijelaskan di atas, mereka memecah

rukun Islam dengan melaksanakan rukun yang lain tapi tidak membayar

zakat.

2) Perlunya untuk menyatukan Jazirah Arab. Hal ini diperlukan untuk

menyiapkan Jazirah Arab ke tingkat selanjutnya.

3) Penekanan terhadap peran zakat sebagai alat untuk pemerataan kekayaan dan

kepedulian sosial.

21 Haekal, Abu Bakr as-Siddiq, 87.22 El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 96.23 El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 97-98.

7

Page 8: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

4) Sumber keuangan negara yang terbatas pada saat itu, sedangkan banyak dari

orang-orang Muslim yang sedang membutuhkan dan juga pengeluaran untuk

berperang, baik melawan pemberontak maupun ekspansi ke Syria dan Iraq.

Pembangkangan ini berakhir tahun 633 M dengan kemenangan Khalifah

Abu Bakar. Dengan kemenangan ini beliau berhasil memantapkan situasi politik

dalam pusat pemerintahan di Madinah, integritas agama, kesatuan orang-orang

Muslim dan juga institusi zakat. Dengan memaksa para pembangkang untuk

membayar zakat, Abu Bakar telah menetapkam zakat sebagai pajak negara,

dimana zakat merupakan hak negara dengan membatasi kebebasan individu dalam

membayar zakat tersebut. 24

Peran zakat sebagai instrumen utama fiskal terus berlangsung hingga masa

kekhalifahan Ali bin Abi Tholib, hal ini karena potensi zakat yang dikumpulkan

sangat besar dan berpotensi membantu pencapaian sasaran pembangunan daulah

khilafah, hanya saja pada tataran implementasi manajemen, pengelolaan, dan

pendistribusiannya berbeda setiap khalifah, masing-masing dari mereka berijtihad

demi kemaslahatan umat, hal itu tercermin pada kebijakan Umar bin al-Khattab.

Pada masanya, Umar mengenakan zakat kuda kepada pemiliknya sebesar satu

dirham untuk setiap 40 dirham kuda, karena pada masa itu kuda memiliki nilai

jual tinggi, bahkan pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab Taghlabi

diperkirakan bernilai 20.000 dirham, dan orang islam terlibat dalam perdagangan

ini. Beliau juga mengenakan zakat khumus karet, dan zakat ‘usyr untuk madu.25

Begitu juga halnya Utsman bin ‘Affan, salah satu bentuk ijtihadnya, yaitu

membebaskan para muzakki untuk menghitung hartanya sendiri, hal itu dilakukan

untuk menghindari pemerasan dari pejabat negara.26

2. Pendirian Lembaga Baitulmal

24 El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 98.25 Adiwarman Karim, Sejarah Perekonomian Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 69 – 70.26 Rozalinda, Ekonomi islam teori dan aplikasinya pada aktivitas Ekonomi (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), 57

8

Page 9: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

Baitulmal berfungsi sebagai institusi khusus menangani harta yang

diterima Negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak

menerimanya.27 Pada masa Abu Bakar As-Siddiq, Baitulmal belum dibentuk

sebagai lembaga yang independen, juga tidak didukung infrastruktur yang baik,

hanya mengambil sebuah ruangan kecil dari rumah Abu Bakar di Sanuh, tanpa

ada penjagaan kecuali sebuah gembok kecil. Setelah Abu bakar pindah ke

rumahnya yang di terletak di samping Masjid Nabawi, maka beliau harus

memindahkan Baitulmal tersebut kesana.28 Walau demikian Baitulmal secara

operasional sudah berjalan sebagaimana pada zaman Rasulullah sebelumnya,

Hingga akhirnya, pada tahun 16 H bangunan Baitulmal didirikan oleh

Khalifah Umar, dengan Madinah sebagai pusatnya. Hal ini kemudian diikuti

dengan pendirian cabang-cabangnya di ibukota provinsi.29 Pembagian fungsi

Baitulmal, dengan pembentukan Al-diwan (bagian-bagian lembaga), dipecah

menjadi dua bagian pokok:

1) Bagian yang mengurus segala jenis harta yang masuk serta sumbernya

(Pedapatan Negara). Bagian –bagian ini terdiri dari :

a) Departemen Fai dan Kharaj.

b) Departemen Pemilikan Umum.

c) Departemen Shadaqah.

2) Departemen belanja negara dan harta yang harus dibelanjakan oleh Baitulmal

untuk berbagai keperluan yang mencakup pembiayaan bagian-bagian

Baitulmal itu sendiri, divisi-divisinya berikut ini:.

a) Divisi Dar al-Khilafah (Kesekretariatan Negara)

b) Divisi Mashalih al-Daulah (Kemaslahatan Negara)

c) Divisi Santunan. Divisi ini merupakan tempat penyimpanan arsip-arsip

dari kelompok masyarakat tertentu yang menurut pendapat Khalifah

berhak untuk memperoleh santunan dari negara. Seperti orang-orang fakir,

miskin, yang dalam keadaan sangat membutuhkan, yang berhutang, yang

27 Abd al-Qadim Zallum, al-Amwâl fi Daulah Al-Khilâfah (Beirut: Dâr al-Ummah, 2004), 17.28 Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 195.29 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), 91.

9

Page 10: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

sedang dalam perjalanan, para petani, para pemilik industri, dan lain-lain

yang menurut Khalifah mendatangkan maslahat bagi kaum Muslim serta

layak diberi subsidi. Tiga divisi tersebut (a), b) dan c)) memperoleh

subsidi dari badan fai dan kharaj.

d) Divisi Jihad, meliputi:

● Biro pasukan, yang mengurus pengadaan, pembentukan, penyiapan dan

pelatihan pasukan.

● Biro persenjataan (amunisi).

● Biro industri militer.

e) Divisi Penyimpanan Harta Zakat. Badan ini dibiayai dari pendapatan

Divisi zakat dalam kondisi adanya harta (zakat).

f) Divisi Penyimpanan Harta Pemilikan Umum. Divisi ini dibiayai dari

pendapatan pemilikan umum berdasarkan pendapat Khalifah sesuai

ketentuan hukum-hukum syara’.

g) Divisi Urusan Darurat/Bencana Alam (al-Thawâri). Divisi ini memberikan

bantuan kepada kaum Muslim atas setiap kondisi darurat/bencana

mendadak yang menimpa mereka, seperti gempa bumi, angin topan,

kelaparan dan sebagainya. Biaya yang dikeluarkan oleh divisi ini diperoleh

dari pendapatan fai dan kharaj, serta dari (harta) pemilikan umum. Apabila

tidak terdapat harta dalam kedua pos tersebut, maka kebutuhannya dibiayai

dari harta kaum Muslim (sumbangan sukarela atau pajak).

h) Divisi Anggaran Belanja Negara (al-Muwazanah al-Ammah), Pengendali

Umum (al-Muhasabah al-Ammah) dan Badan Pengawas (al-Muraqabah)30

Dalam pendistribusian harta Baitulmal, Abu Bakar dan Ali sama-sama

menerapkan prinsip kesamarataan, memberikan jumlah yang sama kepada semua

sahabat Rasulullah SAW dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang

terlebih dahulu memeluk Islam dengan sahabat yang baru memeluk islam, antara

hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dengan wanita.31 Selama masa

30 Zallum, al-Amwâl, 23-29. 31 Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 195. Lihat Euis, 97.

10

Page 11: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

pemerintahan Abu Bakar, harta Baitulmal tidak pernah menumpuk dalam jangka

waktu yang lama, pola pendistribusian yang dilakukan adalah pendistribusian

langsung, karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum muslimin.

Bahkan ketika Abu Bakar wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam

perbendaharaan negara. 32

Berbeda pada masa Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, mereka

mendistribusikan harta baitulmal berdasarkan prinsip keutamaan. Umar meihat

pada dua kriteria, yang pertama tingkat kedekatan dengan Rasul dan yang kedua

tingkat keberdahuluan masuk Islam, dalam hal ini Umar berpendapat bahwa yang

lebih dahulu masuk Islam adalah lebih baik dibanding yang lain, oleh karena itu

berhak untuk mendapat lebih banyak. Umar juga memberikan kepada Aisyah

2.000 dirham lebih banyak dibanding Ummahatul Mukminin yang lain

dikarenakan kedekatan Aisyah dengan Rasul. Walaupun Aisyah menolak

keutamaan tersebut.33

3. Kharaj

Sebelum masa pemerintahan Umar kaum muslimin diberi hak untuk

menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dari perang. Pada waktu ia

berkuasa peraturan ini diubah. Tanah-tanah di wilayah yang ditundukkan oleh

Islam harus tetap berada di tangan para pemiliknya sendiri dan mereka hanya

dikenakan pajak tanah (kharāj).

Kharāj adalah pajak bumi yang diwajibkan oleh Kepala Negara kepada

masyarakat yang mengadakan perjanjian perlindungan dengan negara.34 Kharāj

secara lugah memiliki makna keluar, yang bisa bermakna hasil yang dikeluarkan

tanah, sehingga mewajibkan pengelola kharāj membayar sewa atau upah karena

memperoleh hasil dari tanah. Adapun secara istilah kharāj memiliki makna hak

32 Ibid.33 El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 100.Lihat juga M.A. Sabzwari, “Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Khulafaur Rasyidin,” Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Editor: Adiwarman Karim (Jakarta: The International Institute of Islamic Thought-Indonesia (IIIT-I), 2002), 58.34 Muhammad Rawwas Qal'ahji, Ensiklopedi Fiqih: Umar Bin Khathab RA (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), 332.

11

Page 12: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

kaum muslimin atas tanah atau kawasan yang diperoleh dari kaum kafir dengan

jalan paksaan (penaklukan) atau jalan damai.35

Menurut Abdul Manan dalam buku Teori dan Praktek Ekonomi Islam,

kharāj adalah sejenis pajak yang dikenakan pada tanah terutama yang ditaklukkan

oleh kekuatan senjata, terlepas dari siapakah pemilik itu seorang yang di bawah

umur, seorang dewasa, seorang bebas, seorang budak, muslim maupun tidak

beriman.36

Kebijakan ini bermula pada distribusi tanah-tanah taklukan di Iraq dan

Syria, para pejuang muslim menuntut untuk diimplementasikannya aturan

Alquran, dimana mereka berhak menguasai empat per lima dari rampasan

termasuk tanah dan seperlimanya diserahkan kepada negara (khums). Dalam hal

ini Khalifah Umar tidak sependapat, menurutnya ada dua macam harta rampasan

yakni bergerak dan tidak bergerak. Untuk harta yang bergerak, aturan Alquran

bisa diterapkan, yakni empat perlima untuk pejuang Muslim dan seperlima untuk

negara. Akan tetapi untuk harta yang tidak bergerak khususnya tanah, semuanya

menjadi hak milik negara. Tanah tersebut tetap dipegang oleh pemilik sebelumnya

agar tetap produktif dan dimintai pembayaran pajak atas tanah yakni kharaj. 37

Khalifah Umar menjelaskan pandangannya kepada yang tidak sependapat sebagai

berikut:38

● Menghindari sistem feodalisme. Menyerahkan tanah yang telah

ditaklukan kepada kaum muslimin akan mengubah tatanan sosial Islam

kepada tatanan feodalisme, yang mana Khalifah Umar sangat

menentangnya. Adapun pada zaman Nabi, pembagian tanahnya masih

dalam jumlah yang sedikit, tidak bisa dibandingkan dengan penaklukan

Iraq dan Syria yang mana tanahnya sangat luas.

● Menghindari adanya kasta dalam masyarakat Islam. Menyerahkan tanah

kepada kaum muslimin akan menciptakan perbedaan kelas. Khalifah

35 Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islam (pendekatan al-Kharāj Imam Abu Yusuf) (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 77.36 Abdul Manan, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 43.37 El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 10438 El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 104-106

12

Page 13: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

Umar berpendapat bahwa distribusi harta rampasan dalam Alquran

memiliki tujuan “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara

orang-orang kaya di antara kalian saja…” (Q.S. 59:7)

● Menjaga kesejahteraan generasi yang akan datang. Khalifah Umar

menjelaskan “jika aku membagikan tanah tersebut, tidak akan ada yang

tersisa untuk orang-orang setelah kamu dimana tanah tersebut telah

dibagi dan diwariskan”39

● Menjaga keseimbangan sosial. Khalifah Umar mengatakan, “apa yang

akan tersisa untuk para ahli waris dan janda-janda dari pemilik tanah ini

dan apa yang akan tersisa untuk bangsa Syria dan Iraq?”.

● Kepemilikan pribadi dibolehkan, begitu pula dengan kepemilikan publik

demi kepentingan masyarakat. Khalifah Umar beralasan, “hal ini akan

menjadi harta rampasan yang permanen bagi umat muslim, yang

dimaksudkan untuk membantu para tentara serta keturunannya, dan

orang-orang sesudahnya”

● Dibutuhkannya SDM untuk mempertahankan tanah tersebut. “Apakah

kalian tidak melihat perbatasan ini? Semua ini membutuhkan orang yang

ditunjuk untuk menjaganya”.

● Negara membutuhkan penghasilan yang tetap. “Dari mana semua ini

tercukupi apabila aku membagikan tanah dan keledai-keledai ini?”

● Pembagian harta rampasan tidak boleh mengarah kepada peredaran

kekayaan untuk orang-orang kaya saja (Q.S. 59:7).

Tercatat dalam sejarah, Abu Hurairah ketika menjabat sebagai gubernur

berhasil mengumpulkan kharaj sebesar 500.000 dirham40, dari tanah yang subur di

kufah umar menetapkan kharaj hingga 100.000.000 dirham41, sementara saat itu

nilai satu dirham sama dengan satu mitsqal.

4. Peranan Negara Dalam Mengawasi Ekonomi

39 Yusuf Kamal, AZ-Zakah Wa Tarsyîd al -Ta’mîn A l-Mu’âshir (Kairo: Maktabah Iskandariyah, 1986), 88.40 Abû Yûsuf, Kitab al-Kharâj (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979), 45.41 Abû Yusuf, Kitab al-Kharâj, hlm 26.

13

Page 14: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

Peranan pemerintah dalam mengawasi ekonomi atau biasa dalam istilah

fiqih disebut hisbah, berfungsi fungsi mengawasi pasar dan kegiatan ekonomi

dikembangkan pada masa khalifah Umar ibn Khattab, beliau sebagai teladan umat

ini mencontohkan langsung peranan hisbah. Khalifah Umar tidak segan-segan

untuk turun langsung ke pasar, disamping menugaskan orang lain untuknya.

Perhatian Umar sangat besar terhadap peranan hisbah dalam meningkatkan

perekonomian, khususnya terhadap Pasar, Konsumen, dan Produsen.

Diantara cara terpenting yang dilakukan beliau adalah, pengaturan promosi

dan iklan, dan melarang penimbunan. Beliau menghimbau kaum muslimin untuk

tidak menjual barang sebelum sampai ke pasar, mengatur pasar agar terjadi

interaksi antara penawaran dan permintaan dengan tanpa hambatan, sehingga

terjadi persaingan sehat yang dapat merealisasikan kemaslahatan semua orang

yang berinteraksi di pasar. Khalifah Umar menilai pengawasan pasar dan

melindunginya sebagai salah satu perkara yang mendasar di dalam Islam, dan

tugas inti bagi pemerintah.42

5. ‘usyr

Yang dimaksud dengan ‘usyr adalah apa yang diambil oleh petugas negara

sepersepuluh dari para pedagang yang melintasi batas negara muslim, hal itu

serupa dengan bea cukai di zaman sekarang.43

Kebijakan ‘usyr yang mengambil sepersepuluh dari para pedagang yang

melintasi batas negara muslim, belum pernah ada pada zaman Rasul dan Abu

Bakar. Kebijakan Umar ini adalah sebuah inovasi kebijakan politik yang seakan

bertentangan dengan hadits Rasulullah yang menyatakan “Tidak akan masuk

surga sohib maks (pemungut bea cukai)”44 kebijakan ini merupakan ijtihad umar

yang tidak seorangpun dari sahabat menyanggahnya, dengan demikian ‘usyr

adalah ijma’ sahabat yang ketetapannya dapat berubah demi mewujudkan

kemaslahatan umat.

42 Jaribah ibn Ahmad al-Haritsi, al-Fiqh al-Iqtishâd Li Amîr al-Mu’minîn Umar Ibn al-Khattâb (Jeddah: Dâr al-Andalus al-Khadrâ, 2003), 666.43 Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 505.44 HR. Abu Daud No. 16.843.

14

Page 15: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ziyad bin Hudhair, “Bahwa

Umar bin al-Khattab mengutusnya untuk urusan ‘usyr ke Iraq dan Syam, dan

memerintahkannya untuk mengambil 2,5% dari kaum muslimin, 5% dari kafir

dzimmi, dan 10% dari kafir harbi.45

Politik Umar bin al-Khattab memiliki karakteristik dan fleksibel dalam

penetapan ‘Usyr, ini menunjukan bahwa penetapan ‘Usyr merupakan Ijtihad dan

wewenang imam (pemimpin negara), dimana ketentuan penambahan dan

pengurangannya sesuai tuntuntan kemaslahatan kaum muslimin, prosentase ‘Usyr

terpengaruh dengan bentuk barang dagangan yang didatangkan dan tingkat

kebutuhan kaum muslimin, jika terdapat kebutuhan terhadap barang tersebut,

maka presentasi ‘Usyrnya diturunkan untuk memotivasi importir barang,

sebaliknya jika kebutuhannya lebih sedikit maka presentasinya ditambah46.

6. Pengkaplingan tanah (Iqta’)

Adapun yang dimaksud pengaplingan tanah (al-Iqta’) di dalam fiqih Islam

adalah, jika para imam dalam hal ini pemerintah, memberikan suatu lahan tidur

kepada orang lain (masyarakat) karena kemaslahatan menuntut hal tersebut, yaitu

dengan tujuan untuk digarap, dieksplorasi atau dimanfaatkan dalam tempo tertentu

(hak memanfaatkan).47

Umar bin al-Khattab pada masa pemerintahannya, beliau sangat

memperhatikan urgensi semua aktifitas produksi, baik berupa barang dan jasa

yang dilakukan seorang muslim untuk memperbaiki apa yang dimilikinya, salah

satu aktifitas produksi yang beliau galakkan adalah penggarapan lahan tidur yang

dimiliki oleh Negara, yaitu dengan cara memberikan kesempatan kepada orang-

orang yang membutuhkan untuk memanfaatkan lahan yang mati dan membantu

mereka dalam mengeksplorasinya. salah satu riwayat mengatakan: Utsman bin

Abul ‘Ash berkata kepada Umar Radiyallahu ‘Anhu: “Wahai Amirul mukminin,

didaerah kami terdapat lahan yang tidak ada pemiliknya, maka putuskanlah dia

45 Abû Yusuf, Kitab al-Kharâj, 276.46 Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 510.47 Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz 6, Cet I (Cairo: Syarikah al-Quds, 2008) hlm. 51-52.

15

Page 16: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

kepadaku untuk aku kelola, agar dia mendatangkan manfaat bagi keluargaku juga

bagi kaum muslimin” maka umar menetapkan lahan itu untuknya.48

Pengaplingan tanah pada masa Umar bin al-Khattab tidak dikhususkan

pada lahan mati saja, tapi juga pengaplingan ini dilakukan pada tanah Ash-

Shawafi; yaitu bentuk tanah di daerah taklukan. tanah ini pada umumnya telah

digarap, dan pemiliknya diusir darinya karena kalah perang. Di mana Umar

menetapkan tanah ini menjadi milik baitul mal dan hasilnya dipergunakan untuk

kemaslahatan kaum muslimin. Pada sisi lain manajemen pengkaplingan dan upaya

menghidupkan lahan mati dapat dilakukan dengan bentuk memberikan saham

dalam merealisasikan keadilan distribusi.49

Berbeda dengan Umar bin al-Khattab, yang memberikan tanah Ash-

Shawafi umumnya kepada orang orang yang akan mengerjakannya dalam bidang

pertanian dengan pembagian hasil.50 Pada masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan

kebijakan manajemen kepemilikan tanah Ash-Shawafi diserahkan kepada pribadi-

pribadi untuk dikelola dengan sistem rental.51 Muawiyah yang tatkala itu

merupakan gubernur Syria, meminta tanah tersebut kepada Utsman dengan alasan

gajinya tidak mencukupi dikarenakan dia selalu memberikan hadiah-hadiah

kepada kerajaan Romawi, yang merupakan negara tetangga, untuk memberikan

kesan yang baik. Muawiyah beranggapan, dikarenakan pengeluaran dia

merupakan keuntungan secara politik untuk negara islam, maka dia seharusnya

mendapatkan kompensasi berupa tanah sawâfi. Dengan pendekatan, pengaruh di

Syria, dan kedekatan Muawiyah sebagai kerabat, Muawiyah mendapat persetujuan

Utsman.52

Menurut Qutb Ibrahim Muhammad, sebagaimana dikutip oleh el-Asyker

dan Wilson, dalam hal ini Khalifah Utsman memiliki beberapa alasan:53

1) Tanah tersebut diberikan dengan sistem rental bukan kepemilikan.

48 Ibnu Zanjawih, Al-Amwal, Juz 2, Cet I, pentahqiq / peneliti Syakir Zaib Fayyad (Riyadh: Markaz

Faishal lil buhuts wa ad-dirasat al-islamiyah, 1986) hlm. 626 .49

Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 198-199.50

al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 44051

El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 118.52

Ibid53 El-Ashker dan Wilson, Islamic Economic, 119.

16

Page 17: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

2) Meningkatnya produktifitas tanah.

3) Tidak perlu membayar pegawai pemerintahan untuk mengurus tanah tersebut.

Bertambah banyaknya pendapatan negara, karena rental tanah dan

pengurangan biaya pegawai negara. Pertambahan ini dari 4,000,000 dirham dan

9,000,000 dirham sampai 50,000,000 dirham selama masa pemerintahan Utsman.

Hingga pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Tholib, membuka kembali

lahan-lahan perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang kesayangan

utsman, dan mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan

yang telah di tetapkan Umar54

Dapat dilihat dari kebijakan ketiga khalifah tersebut, dari kekhalifahan

Umar bin al-Khattab hingga Ali bin Abi Tholib, pengkaplingan tanah dan

eksplorasinya menjadi instrumen penting dalam kebijakan fiskal, menjadi salah

satu unsur pokok pemasukan baitul mal.

7. Kebijakan Politik Ekonomi dalam Menhadapi Krisis Ramdah

Sekitar akhir tahun 17 H,55 masyarakat Arab dihadapkan dengan

perubahan ekonomi yang luar biasa, yang dikenal dengan krisis ramdah (wabah

th’aun amawas) kondisi pada saat itu manusia tertimpa bencana kelaparan berat

sebab kemarau panjang dan paceklik, binatang mati bergelimpangan dan

manusia kelaparan, hingga manusia terlihat mengangkat tulang.56 Dampaknya

terhadap ekonomi adalah terhentinya aktifitas perdagangan, krisis masalah sosial,

krisis masalah kesehatan.57 Tindakan Umar dalam menghadapi krisis dengan

menerapkan beberapa terapi perubahan ekonomi.

1) Andil dalam mengemban penderitaan krisis, beliau tidak menyukai makanan

yang orang lain kesulitan untuk mendapatkannya sepertinya aga tidak

melukai hati rakyat karena mementingkan dirinya.

2) Manajemen krisis, menugaskan orang untuk mengurusi para pengungsi dan

segala kebutuhannya.

54 Karim, Sejarah Perekonomian Islam, 82.55 Imam Ibnu katsir, al -Bidayah Wa al- Nihayah, jilid 7, 189.56 Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 235.57 Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 316

17

Page 18: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

3) Memerintahkan menghitung jumlah korban yang tertimpa krisis, dan

penghitungan kembali setiap kali jumlah orang yang terkena krisis

bertambah, agar dapat dilakukan perencanaan berdasarkan informasi yang

cermat dan terperinci.

4) Membuat perencanaan strategis untuk menghadapi perubahan di masa

mendatang, diantaranya penggalian teluk untuk menghubungkan antara

Mesir dan Hijaz untuk memudahkan dalam mendatangkan makanan pokok

ke daerah Hijaz58

8. Kebijakan Moneter.

Uang dikenal sebagai sesuatu yang diistilahkan manusia untuk menjadikan

suatu barang memiliki harga.59 Pada masa Rasulullah saw, Khalifah Abu bakar

Shiddiq dan awal dari masa Khalifah Umar, kaum Muslim telah menggunakan

bentuk, cetakan dan gambar dinar Hirakliy dan dirham Kisra. Hingga Pada

tahun ke-20 Hijriyah atau pada tahun ke-8 dari masa pemerintahan Khalifah

Umar, beliau mencetak dirham yang baru berdasarkan dirham Sasanid. Bentuk

dan timbangannya tetap mengacu pada (dirham) Kisra, gambar dan tulisannya

bermotif Bahlawiyah (Pahlevi). Hanya saja beliau menambah tulisannya dengan

menggunakan huruf Arab kufi, misalnya الله بسم dan (dengan nama Allah) بسمربي dengan) الله nama Allah Rabbku). Kemudian kaum Muslim tetap

menggunakan uang dinar yang mengacu pada (bentuk) dinar Byzantium dan

dirham Sasanid, hanya terdapat tambahan kata Islam dengan menggunakan huruf

Arab. Keadaan ini berlangsung terus sampai masa Khalifah Abdul Malik bin

Marwan.60

Kebijakan Moneter Umar yang masyhur adalah gagasan spektakulernya

tentang pembuatan dari kulit unta agar lebih efesien, alasan lainnya, banyaknya

kecurangan dalam dirham. Namun, beliau mengurungkan rencananya karena

khawatir unta akan punah.61 Dalam riwayat lain, seseorang berkata kepadanya :

58 Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 325.59 Zallum, al-Amwâl, 19760 Zallum, al-Amwâl, 19961 Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 289

18

Page 19: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

kalau begitu unta akan punah, maka aku batalkan keinginan tersebut”62

Nampaknya, kebutuhan mencetak uang pada masa Umar menjadi lebih besar

daripada sebelumnya karena luasnya wilayah negara khilafah, banyaknya harta

yang masuk ke Negara khilafah dari daerah-daerah yang ditaklukkan,

meningkatnya kegiatan perekonomian kaum muslimin, dan adanya pemalsuan

dirham, dan lain-lain. Meskipun demikian, belum terpenuhi keinginan untuk

menerbitkan mata uang yang independen bagi negara Islam pada waktu itu,

namun hanya mampu menerbitkan sebagian dirham yang tercermin dalam

pengeluaran dirham sesuai ukuran yang syari’at.63

Hingga pada masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan beliau

mengembangkan design uang, pada masanya, uang dicetak dengan bertuliskan

lafadz الكبر 64.(Allahu Akbar) الله

9. Kebijakan Fiskal Era Khulafaur Rasyidin

Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam memungut pajak dan

membelanjakan pajak tersebut untuk membiayai kegiatan ekonomi.65 Sistem

ekonomi Islam dan kebijakan fiskal pada masa Khulafaur Rasyidin masih

melanjutkan apa yang telah dirintis dan ditegakkan Rasulullah dalam mengatur

perekonomian Negara. Terkecuali pada masa Umar ibn al-Khattab, pendapatan

Negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan, perkembangan ekonomi

pada masanya mengalami kemajuan, keadaan ini dipengaruhi keberhasilannya

dalam melakukan inovasi-inovasi merubah kebijakan yang telah ada, juga

keberhasilannya dalam melakukan ekspansi.

Dalam pendistribusiannya, masa kekhalifahan Abu Bakr dan Ali bin Abi

Tholib menerapkan sistem kesamarataan, Berbeda pada masa Umar bin Khattab

dan Utsman bin Affan, mereka mendistribusikan harta baitulmal berdasarkan

prinsip keutamaan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Kebijakan Fiskal

62 Muhammad Utsman Syabir, Al-Mu’âmalat Al-Mâliah Al-Mu’asirah fi al-Fiqh al-Islami (al-Ardan: Dâr al-Nafa’is, 1998), 157.63 Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishad Li Amir, 298.64 Syabir, Al-Muamat Al-Maliah Al-Mu’asirah, 157.65 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 424.

19

Page 20: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

era Khulafaur Rasyidin diantaranya; Khumus min al-Ghanam, Fai, Jizyah, Zakat,

‘usyr, Kharaj, Waqaf dan Sedeqah.

C. Analisa Perkembangan Peradaban Ekonomi Islam Pada Era Khulafa al-

Rasyidin.

Peradaban suatu bangsa pasti tak akan pernah terlepas dari kebijakan yang

ada pada bangsa itu sendiri. Kerapkali kemunduran bahkan kehancuran suatu

bangsa bermula dari salah kaprahnya kebijakan yang diterapkan. Namun tak

jarang juga, arus kemajuan dan kejayaan suatu bangsa bermuara dari kebijakan.

Kebijakan sangat menentukan haluan suatu bangsa, kemana nohkoda bangsa

hendak berlayar. Oleh karena itu, kebijakan merupakan hal yang sangat esensial

dalam menentukan pengembangan sebuah bangsa dalam rangka membangun satu

peradaban dan menorehkan kemajuan. Pendek kata, maju mundurnya suatu

bangsa sangat tergantung pada kebijakan yang diterapkan.

Sebagai terminal akhir suatu kebijakan, maka kemampuan seorang

pemimpin sangat menentukan. Tercatat dalam lembaran sejarah, Islam pernah

memiliki pemimpin-pemimpin (khalifah) yang namanya masih acapkali

dibicarakan, baik di kalangan akademisi maupun non-akademisi, bahkan menjadi

rujukan dalam memformulasikan suatu tindakan berupa kebijakan yang

menyentuh wilayah politik, sosial, dan ekonomi.

Perekonomian era Khulafur Rasyidin dalam perkembangannya, pada masa

kekhalifahan Abu Bakar tidak mengalami banyak perubahan selain mengikuti apa

yang telah dirintis oleh Rasulullah SAW. Disebabkan masa kepemimpinannya

yang singkat, kurang lebih selama dua tahun. Namun, dalam masa yang singkat itu

Abu Bakar memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan

ekonomi Islam, yaitu upayanya dalam memerangi para pembangkang zakat,

dimana zakat sebagai instrument kekuatan fiscal.

Kemajuan pesat peradaban ekonomi Islam dimulai pada masa Umar bin

Khattab, pada masa inilah Islam menorehkan tinta emas dalam catatan sejarah,

disamping masa pemerintahannya yang berlangsung lama, keberhasilannya

mengembangkan perekonomian umat ini didasari keberaniannya mengambil

20

Page 21: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

kebijakan-kebijakan inovatif yang belum pernah ada sebelumnya. Sehingga

zamannya dikenal dengan zaman yang sarat dengan perubahan. Hal ini sangat

menunjukkan karakter dan kepribadian Umar bin Khattab sebagai seorang yang

terkenal akan keberaniannya dan prinsipil.

Dalam masalah perekonomian Umar Ibn Khattab dipandang banyak

melakukan inovasi, hal ini bisa dilihat dari beberapa pemikiran dan gagasannya

yang mampu mengangkat citra Islam pada masanya.

Memasuki pemerintahan selanjutnya, ketika khalifah Utsman bin Affan

menjabat, enam tahun pertama kepemimpinannya stabilitas roda perekonomian

dapat dipertahankan bahkan mengalami kemajuan, Hal ini didasari atas semakin

luasnya kekuasaan Islam, dengan kata lain bahwa sumber pemasukan negara dari

berbagai unsur seperti zakat, jizyah dan ghonimah semakin besar. Namun,

memasuki enam tahun kedua pemerintahannya, tidak terdapat perubahan

mendasar dalam bidang perekonomian, hal ini disebabkan karena mulai banyak

kekecewaan kaum muslimin yang ditimbulkan oleh kebijakan Ustman bin Affan

yang dianggap banyak menguntungkan keluarga khalifah, disamping itu. Faktor

lainnya yang mempengaruhi hal ini dikarenakan usianya yang mulai lanjut, yang

berpengaruh pada karakter dan kepribadiannya. Sehingga kebijakan-kebijakannya

dianggap telah disetir kerabat dekatnya.

Adapun ketika masa pemerintahan Ali bin Abi Tholib, dalam catatan

sejarah masa ini banyak diwarnai ketidak stabilan politik, walaupun Khalifah Ali

bin Abi Tholib mewarisi kendali pemerintahan dengan wilayah yang sangat luas,

namun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa Ia dengan mudahnya

menjalankan roda pemerintahan, sebab Ali juga mewarisi persoalan politik yang

sangat berpotensi menciptakan konflik dari pemerintahan sebelumnya, yang

menuntut penegakan hukum atas kematian Ustman bin Affan.66

Meski demikian, patut dicatat bahwa dalam mengelola perekonomian Ia

sangat berhati-hati terlebih dalam membelanjakan keuangan negara. Bahkan

diriwayatkan juga Ali menarik diri daftar penerima gaji dan bahkan menyumbang

sebesar 5000 Dirham setiap tahunnya. Dalam masalah perekonomian satu hal

66 Az-Zuhri, Kitâb al-thobaqât al-Kubra, Jilid 3, 29.

21

Page 22: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

yang sangat monumental dari pemerintahan Ali adalah pencetakan mata uang

sendiri atas nama pemerintahan Islam.67

Pereode Khalifah Umar bin Khattab merupakan pereode keemasan Islam

yang didalamnya semua aspek mulai dari dakwah, politik dan ekonomi tumbuh

dan berkembang pesat dengan mengacu pada rule syari’at Islam. Keberhasilan

pereode ini tidak terlepas dari pribadi khalifah Umar sendiri yang tegas dan peduli

akan kemajuan Islam.

Jika kita analisa keberhasilan Khalifah Umar pada dalam roda

pemerintahan dan perekonomian dengan kebijak-kebijakan yang diambil, maka

ada beberapa hal yang menjadi faktor keberahasilan Khalifah Umar dalam

menerapkan kebijakan ekonomi dalam pemerintahannya, yaitu:

a. Perhatian umar tentang masalah ekonomi dan tidak tergesa-gesa dalam

mengambil ketetapan di dalamnya melainkan dengan perenungan dan

memperhatikan tentang danpak sekarang dan akan datang. Seperti

pengambilan kebijakan tidak mengambil zakat hewan ternak pada tahaun

ramadah.

b. Umar dalam megambil kebijakan menggunakan jalan musyawarah dan

kembali kepada nash-nash al-qur’an dan as-sunnah untuk mencari hukum di

dalamnya. Seperti permasalah kepemilikan tanah pada daerah taklukan.

c. Lebih mengedepankan kemanfaatan umum daripada kepentingan pribadi.

Seperti permasalah pembentukan baitul mal dan pendistribusiannya.

Selain point di atas, keberhasilan Umar dalam penerapan kebijakan

ekonomi adalah semua kebijakan yang diambil dan diputuskan dalam majlis syuro

langsung diaplikasikan dalam masyarakat, mulai dari daerah ibukota sampai

propinsi-propinsi. Dengan sumber daya pelaksananya yang berdedikasi tinggi,

amanah dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.

D. Kesimpulan

67 Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), hlm. 104

22

Page 23: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

1. Abu Bakar menjadi Khalifah di umur 59 dan menjabat selama kurang lebih 2

tahun, 3 bulan, 10 hari. Umar ibn al-Khattab menjadi khalifah di umur 47 tahun

dan menjabat selama kurang lebih 10 tahun dan 6 bulan, dan mampu

merealisasikan hal-hal yang besar dalam masa tersebut. Utsman ibn Affan

menjadi khalifah di umur 69 tahun dan menjabat selama 12 tahun, 12 hari. Ali

bin Abi Thalib menjadi khalifah di umur 56 tahun dan menjabat selama kurang

lebih 6 tahun.

2. Pranata Ekonomi yang lahir dan berkembang pada masa Khulafa al-Rasyidin

diantaranya adalah zakat sebagai dasar kebijakan fiskal, Pendirian Baitulmal,

Kharaj, Hisbah, 'Usyr, Iqta', Kebijakan dalam menghadapi krisis Ramdah,

Pencetakan uang.

3. Pemerintahan Abu Bakar tidak banyak inovasi yang baru dikarenakan masa

kepemimpinannya yang singkat selama 2 tahun. tetapi dalam masa itu ada

kebijakan Abu Bakar yang menjadikan zakat sebagai dasar kebijakan fiskal

4. Perkembangan peradaban ekonomi pada masa Umar bin Khattab merupakan

yang paling pesat. hal ini dikarenakan keberanian Umar dalam mengambil

kebijakan-kebijakan inovatif yang belum pernah ada sebelumnya, disamping

masa kepemimpinannya yang berlangsung lama. yang menjadi faktor

keberhasilan Umar diantaranya adalah: tidak tergesa-gesa dalam mengambil

ketetapan, menggunakan jalan musyawarah, lebih mengedepankan

kemanfaatan umum dari pada kepentingan pribadi.

5. Perekonomian pada masa Utsman bin Affan, pada 6 tahun pertama

pemerintahannya mengalami kemajuan dikarenakan stabilnya sistem

perekonomian yang diterapkan sejak masa Umar dan semakin luasnya

kekuasaan Islam. Sedangkan pada 6 tahun kedua kebijakan Ustman bin Affan

dianggap banyak menguntungkan keluarganya, hal ini dikarenakan usianya

yang mulai lanjut yang berpengaruh pada karakter dan kepribadiannya.

6. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib banyak diwarnai ketidak stabilan

politik sehingga tidak banyak perkembangan ekonomi pada masa itu. Dalam

masalah perekonomian satu hal yang sangat monumental dari pemerintahan Ali

adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam.

23

Page 24: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

24

Page 25: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

E. DAFTAR PUSTAKA

Abû Yûsuf. Kitab al-Kharâj. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979.

Al-‘Umari, Akram Dhiya. ‘Asru al-Khilâfah al-Râsyidah. Riyadh: Maktabah

al-‘Ubaikan, 2003.

Al-Haritsi, Jaribah ibn Ahmad. Al-Fiqh al-Iqtishâd Li Amîr al-Mu’minîn Umar

Ibn al-Khattâb. Jeddah: Dâr al-Andalus al-Khadrâ, 2003.

Az-Zuhri, Muhammad ibn Saad. Kitâb al-thobaqât al-Kubra. Madinah: al-

Syirkah al –Dauliyah li al-Thibâ’ah, 2001.

Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga

Kontemporer. Jakarta: Gramata Publishing, 2010.

As-suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Târikh al-khulafa. Beirut: Dar ibn Hazm.

Asy-Syaukani. Nailul Authar, Juz 6, Cet I. Cairo: Syarikah al-Quds, 2008.

At-Thabari, abi Ja’far Muhammad ibn Jarir. Târîkh at-Thabari. Mesir: Dâr al-

Ma’ârif, Jilid 4.

El-Ashker, Ahmed A.E. dan Wilson, Rodney. Islamic Economic a Short History.

Leiden: Brill, 2006.

Haekal, Muhammad Husain. Abu Bakar as-Siddiq Sebuah Biografi dan Studi

Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, terjemahan

oleh Ali Audah. Jakarta: Litera Antarnusa, 1995.

Huda, Nurul dan Muti, Ahmad. Keuangan Publik Islam (pendekatan al-Kharāj

Imam Abu Yusuf). Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Ibnu Zanjawih, Al-Amwal, Juz 2, Cet I, pentahqiq / peneliti Syakir Zaib Fayyad.

Riyadh: Markaz Faishal lil buhuts wa ad-dirasat al-islamiyah, 1986.

Kamal, Yusuf. Az-Zakah wa Tarsyîd al -Ta’mîn A l-Mu’âshir. Kairo: Maktabah

Iskandariyah, 1986.

Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Perekonomian Islam. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2008.

Katsir, Imam Ibnu. al -Bidayah Wa al- Nihayah. Beirut: Dar ibn Katsîr, Jilid 7.

25

Page 26: Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Masa Khulafa Ar-Rasyidin

Manan, Abdul. Teori Dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti

Wakaf, 1995.

Qal'ahji, Muhammad Rawwas. Ensiklopedi Fiqih: Umar Bin Khathab RA. Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 1999.

Rozalinda. Ekonomi islam teori dan aplikasinya pada aktivitas Ekonomi. Jakarta:

Rajawali Pers, 2004.

Sabzwari, M.A. “Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Khulafaur Rasyidin.” In

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, eds. Adiwarman Karim. Jakarta: The

International Institute of Islamic Thought-Indonesia (IIIT-I), 2002.

Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002.

Syabir, Muhammad Utsman. Al-Mu’âmalat Al-Mâliah Al-Mu’asirah fi al-Fiqh al-

Islami. al-Ardan: Dâr al-Nafa’is, 1998.

Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo

Persada, 2009.

Zallum, Abd al-Qadim. al-Amwâl fi Daulah Al-Khilâfah. Beirut: Dâr al-Ummah,

2004.

26