salam dan istishna.docx343r534

13
SALAM DAN ISTISHNA’ A. AS-SALAM 1. Pengertian As-Salam dan Dasar Hukumnya Secara bahasa as-salam atau as-salaf berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”. [1] Untuk hal ini para fuqaha (ahli hukum islam) menamainya dengan Al-Mahawi’ij yang artinga “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang yang menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu. Dalam perjanjian As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam (yang menyerahkan), pihak penjual disebut Al-Muslamuilaihi (orang yang diserahi), dan barang yang dijadikan objek disebut Al-Muslam Fiih

Upload: novrianda-chenava

Post on 29-Nov-2015

67 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

rr44r43r34rf3r3

TRANSCRIPT

Page 1: SALAM DAN ISTISHNA.docx343r534

SALAM DAN ISTISHNA’

A.      AS-SALAM

1.      Pengertian As-Salam dan Dasar Hukumnya

Secara bahasa as-salam  atau as-salaf  berarti pesanan. Secara

terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang

penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan

pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”.

[1]

Untuk hal ini para fuqaha (ahli hukum islam) menamainya dengan Al-

Mahawi’ij yang artinga “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang yang

menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara itu kedua belah

pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu.

Dalam perjanjian As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam

(yang menyerahkan), pihak penjual disebut Al-Muslamuilaihi (orang yang

diserahi), dan barang yang dijadikan objek disebut Al-Muslam Fiih (barang yang

akan diserahkan), serta harga barang yang diserahkan kepada penjual disebut

Ra’su Maalis Salam (modal As-Salam).[2]

Adapun yang menjadi dasar hukum pembolehan perjanjian jual beli

dengan pembayaran yang didahulukan ini disandarkan pada surat Al-Baqarah ayat

282:[3]

 …

Page 2: SALAM DAN ISTISHNA.docx343r534

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai

untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah

seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah

penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya…”

Disamping itu terdapat juga ketentuan hadis yang diriwayatkan Bukhari

dan Muslim yang artinya berbunyi :

“Siapa yang melakukan salaf, hendaklah melaksanakannya dengan

takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu

tertentu.[4]

Dari ketentuan hukum diatas, jelas terlihat tentang pembolehan

pembayaran yang didahulukan.

Pembiayan salam diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil

produksi pertanian, perkebunan, dan peternakan. Petani dan peternak pada

umumnya membutuhkan dana untuk modal awal dalam melaksanakan

aktivitasnya, sehingga bank syariah dapat memberikan dana pada saat akad.

Setelah hasil panen, maka nasabah akan membayar salam kembali. Dengan

melakukan transaksi salam, maka petani dan peternak dapat mengambil manfaat

tersebut.

2.      Rukun dan Syarat Jual Beli As-Salam

1)      Mu’aqidain : Pembeli (muslam) dan penjual ( muslam ilaih)

a.       Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).

b.      Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).

Page 3: SALAM DAN ISTISHNA.docx343r534

2)      Obyek transaksi ( muslam fih):

a.       Dinyatakan jelas jenisnya

b.      Jelas sifat-sifatnya

c.       Jelas ukurannya

d.      Jelas batas waktunya

e.       Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas

3)      Sighat ‘ijab dan qabul

4)      Alat tukar/harga

a.       Jelas dan terukur

b.      Disetujui kedua pihak

c.       Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung

1. Pengertian Istishna’

Berasal dari kata صنع (shana’a) yang artinya membuat kemudian ditambah

huruf alif, sin dan ta’ menjadi ستصنع yang (istashna’a) ا berarti meminta

dibuatkan sesuatu.

Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta di buatkan.

Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap barang jualan yang

berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau

meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.

Contohnya seseorang pergi ke salah satu tukang, misalnya tukang kayu,

tukang besi atau tukang jahit. Lalu mengatakan; “Tolong buatkan untuk saya

barang anu sejumlah sekian.” Syarat sahnya perjanjian pemesananan ini adalah

Page 4: SALAM DAN ISTISHNA.docx343r534

bahwa bahan baku harus berasal dari si tukang. Kalau berasal dari pihak pemesan

atau pihak lain, tidak disebut pemesanan, tetapi menyewa tukang.

Transaksi Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli

dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari

pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau

membeli barang menurut spesifikasi yang telah di sepakati dan menjualnya

kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atsa harga serta sistem

pembayaran di lakukan di muka, melalui cicilan atau di tangguhkan sampai suatu

waktu pada masa yang akan datang.

Menurut Ulama fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus

dari bai’ as-salam. Biasanya jenis ini di pergunakan di bidang manufaktur dan

konstruksi. Dengan demikian ketentuan bai’ al-istishna, mengikuti ketentuan dan

aturan bai’ as-salam.

2. Dasar Hukum Istishna’

Hukum transaksibai’ as-salam terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.

a. Al-Qur’an

�وه� �ب �ت ف�اك م�س�م�ى ج�ل�� أ �ل�ى إ �ن� �د�ي ب �م� �نت �د�اي ت �ذ�ا إ �وا آم�ن &ذ�ين� ال )ه�ا ي

� أ يا

“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai

untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”(al-

Baqarah:282)

Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat

tersebut tentang transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan

beliau, “saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang di jamin untuk jangka waktu

tertentu telah di halalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan di izinkan-Nya.” Ia lalu

membaca ayat tersebut diatas.

b. Al-hadits

م معلو جل ا لى ا م معلو ن ز و و م معلو كیل ففي شي اسلففي من

Page 5: SALAM DAN ISTISHNA.docx343r534

“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan

takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang di

ketahui”

Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh,

muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk

keperluan rumah, bukan untuk di jual.”(HR Ibnu Majah)

Mengingat Bai’ Al-Istishna merupakan lanjutan dari Bai’ as-salam maka

secara umum dasar hukum yang berlaku pada Bai’ as-salam juga berlaku pada

Bai’ al-Istishna’.Sungguhpun demikian para ulama membahas lebih lanjut

“keabsahan” Bai’ al-Istishna’ dengan penjelasan berikut.

Menurut Mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’termasuk akad yang di larang

karena bertentangan dengan semangat bai’secara qiyas. Mereka mendasarkan

kepada argumentasi bahwa pokok kontrak penjual harus ada dan dimiliki oleh

penjual, Sedangkan dalam Istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak di

miliki penjual. Meskipun demikian, Mazhab Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’

atas dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini.

1. Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus

menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-

istishna sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.

2. Di dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas

berdasarkan ijma’ ulama,

3. keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak

orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka

cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk

mereka.

4. Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak

selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.

Page 6: SALAM DAN ISTISHNA.docx343r534

Sebagian Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah

sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa

dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan.

Demikian juga terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu

barang dapat di minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran

serta bahan material pembuatan barang tersebut.

3. Rukun dan Syarat Istishna

Pelaksanaan bai’ al-istishna’ harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini.

1. muslam atau pembeli

2. muslam ilaih atau penjual

3. modal atau uang

4. muslam fiihi

5. sighat atau ucapan

4. Syarat Bai’ al-istishna’Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga

mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah

ini akan di uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.

a. Modal Transaksi Bai al-istishna’

1. Modal Harus di ketahui.

2. Penerimaan pembayaran salam.

b. Al-muslam fiihi (Barang)

1. Harus spesifik dan dapat di akui sebagai utang

2. Harus bisa di identifikasi secara jelas

3. Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari

4. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada

suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan penyerahan

segera.

Page 7: SALAM DAN ISTISHNA.docx343r534

5. Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk

penyrahan barang.

6. Tempat penyerahan.

7. Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.

6. Istishna’ Pararel

Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan

pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut.

Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk

memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal

sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat:(a) akad

kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan

pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah.

Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak pararel.

Diantaranya sebagai berikut.

1. Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-

satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya.

Istishna’ pararel atau subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak

ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap

bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran

kontrak yang berasal dari kontrak pararel.

2. Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab

terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan

hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’

al-istishna’ kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan

bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua

kontraktersebut tidak memunyai kaitan hukum samasekali.

3. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau

mengadakan barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan

subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang

Page 8: SALAM DAN ISTISHNA.docx343r534

membenarkankeabsahan istishna’ pararel, juga menjadi dasar bahwa bank

boleh memungut keuntungan kalau ada.

7. Perbedaan antara Salam dan Istishna’

Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni

jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum).

Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan

istisna’, yaitu :

1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad

berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad

berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.

2. salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula,

sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga

tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak

bertanggungjawab.

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia

mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang

untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang

baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan

penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan

oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.

Perbandingan Antara Bai’ as-Salam dan bai’ al-Istishna’

SUBJEK SALAM ISTISHNA ATURAN DAN KETERANGAN

Pokok

Kontrak

Muslam

FiihiMashnu’

Barang di tangguhkan dengan

spesifikasi.

Harga Di bayar saat

kontrak

Bisa saat

kontrak, bisa di

Cara penyelesaian pembayaran

merupakan perbedaan utama antara

Page 9: SALAM DAN ISTISHNA.docx343r534

angsur, bisa

dikemudian harisalam dan istishna’.

Sifat

Kontrak

Mengikat

secara asli

(thabi’i)

Mengikat secara

ikutan (taba’i)

Salam mengikat semua pihak sejak

semula, sedangkan istishna’ menjadi

pengikat untuk melindungi produsen

sehingga tidak di tinggalkan begitu

saja oleh konsumen secara tidak

bertanggung jawab.

Kontrak

Pararel

Salam

PararelIstishna’ Pararel

Baik salam pararel maupun istishna’

pararel sah asalkan kedua kontrak

secara hukum adalah terpisah.