skripsifh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/nova sagita setya... · listrik bagi...

109
PER DI PT KEMEN UN RLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNA T PLN (PERSERO) RAYON PURBALING SKRIPSI Oleh : NOVA SAGITA SETYA WIWAHA E1A006228 NTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAY NIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012 AN GGA YAAN N

Upload: phamkhanh

Post on 24-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNAN

DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA

KEMENTERIAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNAN

DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA

SKRIPSI

Oleh :

NOVA SAGITA SETYA WIWAHA

E1A006228

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2012

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNAN

DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA

DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

2

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNAN

DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan

Memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Oleh :

NOVA SAGITA SETYA WIWAHA

E1A006228

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2012

3

PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNAN

DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA

Oleh :

NOVA SAGITA SETYA WIWAHA

E1A006228

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan

Memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Diterima dan disahkan

Pada tanggal............................

Pembimbing I/ Pembimbing II/ Penguji III

Penguji I Penguji II

Sutikno, S.H. Bambang Heryanto, S.H., M.H Sunarto, S.H.

NIP.194807041980031001 NIP.195610091987021001 NIP.194911111980031001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Hj. Rochani Urip Salami, S.H., MS

NIP. 195206031980032001

4

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Bila peryataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

Isi skripsi merupakan tanggung jawab pribadi penulis, bukan tanggung jawab

pembimbing ataupun lembaga-lembaga yang terkait.

Purwokerto, Juli 2012

Nova Sagita Setya Wiwaha

NIM E1A006228

5

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T atas limpahan

rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi tepat dengan

judul “Perlindungan Hukum Bagi Pensiunan di PT PLN (Persero) Rayon

Purbalingga”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Penulis berusaha semaksimal mungkin agar dapat menyusun skripsi ini

dengan baik. Berbagai hambatan baik data dan literatur merupakan tantangan yang

harus dihadapi penulis. Namun berkat bantuan, dukungan, masukan serta saran dari

berbagai pihak sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Oleh karena

itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H., MS, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

2. Bapak Sutikno, S.H., selaku Dosen Pembimbing I, dan Bapak Bambang

Heryanto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan, petunjuk dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Sunarto, S.H., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan

masukan demi penyempurnaan skripsi ini.

4. Bapak Mukhsinun, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang

selalu memberikan pengarahan dalam pengambilan mata kuliah.

5. Bapak Teguh Subagyo Manager PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga yang

telah memberikan ijin penelitian, serta Ibu Sri dan Bapak Setyadi yang telah

membantu selama proses penelitian.

6

6. Ibu dan Bapak tercinta yang selalu mendoakan saya serta memberikan

semangat agar terus menyelesaikan kuliah dan skripsi saya ini.

7. Wiwit Gunawan S.P. dan Tri Anita Setya Ardany, S.H., kakak-kakak saya

yang telah banyak sekali membantu, memberikan semangat dan arahan pada

saya.

8. Semua pihak yang belum disebutkan dan telah membantu penulis dalam

penyusunan skripsi, semoga bantuan yang telah diberikan akan menjadi

pahala.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Namun

demikian, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak-

pihak yang membutuhkannya.

Purwokerto, Juli 2012

Penulis

7

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNAN

DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA

Nama : Nova Sagita Setya Wiwaha

NIM : E1A006228

PT PLN (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang

mengurusi ketenagalistrikan di Indonesia, berkewajiban untuk menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum dengan tetap memperhatikan tujuan perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan. Kewajiban tersebut dapat dilaksanakan secara baik jika para pekerjanya memiliki sikap yang profesional dan mampu memberikan pelayanan secara maksimal. Agar para pekerja memiliki sikap yang profesional dan bekerja secara maksimal, maka perusahaan harus memberikan hak-hak yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Salah satu bentuk hak pekerja yang dilindungi oleh hukum adalah penghargaan terhadap pekerja. Penghargaan terhadap pekerja ini dapat diberikan sebagai hak pekerja setelah seorang pekerja tidak lagi bekerja atau telah memasuki masa pensiun.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi pensiunan di PT PLN (Persero) dan juga untuk mengetahui apakah PT PLN (Persero) telah melaksanaan perlindungan hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa PT PLN (Persero) belum memberikan perlindungan hukum bagi pensiunannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kata kunci : perlindungan hukum, pensiun, pensiunan

8

ABSTRACT

PT PLN (Persero) is a State Owned Enterprises (SOEs), which deal with aspects of electricity in Indonesia, is obliged to provide electricity to the public interest by considering the objectives of the company that is making a profit. Such liability can be carried out either if the workers have a professional attitude and ability to provide service to the fullest. That workers have a professional attitude and work optimally, it must grant the rights in accordance with applicable regulations.

One form of workers' rights are protected by law is the reward. The reward can be given as the right of workers after a worker is no longer working or pension.

This study uses a normative juridical approach. The purpose of this study was to determine the form of legal protection for retirees in PT PLN (Persero) and also to determine whether PT PLN (Persero) has been carrying out legal protection in accordance by Act No. 3 of 1992 on Labor Social Security and Act No. 11 of 1992 on the Pension Fund.

The results of this study indicate that PT PLN (Persero) have not provided legal protection for retirees in accordance with the laws and regulations. keywords : legal protection, pension, retirees

9

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i

HALAMAN PENGESAHAN…….………………………………………….. ii

PERNYATAAN…………………………………………………………….… iii

KATA PENGANTAR…………………………..……………………………. v

ABSTRAK…....………………………………….…………………………… vi

ABSTRACT…………………………………..………………………………. vii

DAFTAR ISI………………………………………………..……………........ viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 10

B. Rumusan Masalah………………………………..……………….…… 10

C. Tujuan Penelitian…………………………………..……………….….. 10

D. Kegunaan Penelitian…………………………………………..……….. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Ketenagakerjaan………………..………………………….… 11

1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan……………………..……… 11

2. Sumber Hukum Ketenagakerjaan……….……………………...… 14

3. Pihak-Pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan………….………… 16

B. Hubungan Kerja…………………………………………………...….. 22

1. Perjanjian Kerja Sebagai Dasar Hubungan Kerja……...……… 22

2. Pengertian Hubungan Kerja…………………………….……… 26

3. Putusnya Hubungan Kerja……………………..…………….…... 28

C. Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan………………………….….… 33

10

1. Pengertian Perlindungan Hukum Tenaga Kerja………………..… 33

2. Perlindungan Secara Ekonomis Bagi Tenaga Kerja……………… 35

3. Perlindungan Hukum Bagi Pensiunan………………….…....….…37

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan…………………………………………………… 42

B. Spesifikasi Penelitian…………………………………………..……… 42

C. Lokasi Penelitian…………………………………………………….… 43

D. Sumber Data………..……………………………………………….… 43

E. Metode Pengumpulan Data…………………………………………… 44

F. Metode Penyajian Data……………………………………………..… 44

G. Metode Analisis Data………………………………………….……… 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian…………………………………………………...…… 46

B. Pembahasan…………………………………………………………… 85

BAB V PENUTUP

A. Simpulan……………………………………………………………… 96

B. Saran………………………………………......…….......……….….… 97

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan suatu negara memerlukan aspek pokok yang disebut dengan

sumber daya (resources), baik sumber daya alam (natural resources) maupun

sumber daya manusia (human resources). Kedua sumber daya ini sangat penting

dalam menentukan keberhasilan pembangunan. Sejarah menunjukkan bahwa negara

yang bisa mencapai kemakmuran adalah negara yang berhasil memanfaatkan sumber

daya yang dimilikinya1.

Sumber daya alam merupakan salah satu aset negara yang meliputi tanah dan

kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim atau cuaca, hasil hutan,

tambang dan hasil laut yang sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu

negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sumber daya alam

yang melimpah dan berpotensi tinggi sangat mendukung pembangunan ekonomi

suatu negara. Indonesia sendiri memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah.

Salah satu sumber daya alam yang dimiliki Indonesia yaitu tenaga listrik2.

Tenaga listrik merupakan suatu bentuk energi sekunder yang sudah menjadi

kebutuhan primer masyarakat modern saat ini, ditandai dengan ketergantungan

masyarakat pada tenaga listrik dalam aktifitas sehari-hari, baik di rumah, di kantor,

maupun pada proses industri yang kesemuanya sangat tergantung pada tenaga listrik.

1 Lourenco Gusmao, 2011, Peranan SDA dan SDM terhadap Pembangunan Ekonomi,

http://dodogusmao.wordpress.com. Diakses tanggal 16 April 2012. 2 Ibid.

12

Tenaga listrik, sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam, mempunyai

peranan penting bagi negara dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional.

Pembangunan sektor ketenagalistrikan bertujuan untuk memajukan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan tujuan

pembangunan nasional, yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata

materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 3.

Mengingat arti penting tenaga listrik bagi negara dalam mewujudkan

kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang dan sejalan dengan ketentuan dalam

Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan menyatakan

bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat yang penyelenggaraannya dilakukan oleh

pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan

kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan

usaha penyediaan tenaga listrik4.

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang dalam penelitian selanjutnya

disebut PT PLN (Persero), adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang

mengurusi aspek kelistrikan yang ada di Indonesia. Awalnya PT PLN (Persero)

merupakan Perum (Perusahaan Umum) Listrik Negara yang didirikan dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1990, kemudian dialihkan bentuknya

3 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 tentang

Ketenagalistrikan. 4 Ibid.

13

menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 1994.

Sebagai sebuah perusahaan, PT PLN (Persero) juga mempunyai kewajiban-

kewajiban yang sama dengan perusahaan atau pengusaha lainnya dalam hal

memenuhi hak-hak pekerjanya sesuai dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan.

Hak-hak pekerja, antara lain:

a. Atas upah setelah selesai melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian. b. Atas fasilitas lain, dana bantuan dan lain-lain yang berlaku di perusahaan. c. Atas perlakuam yang tidak diskriminatif dari pengusaha. d. Atas perlindungan keselamatan kerja, kesehatan, kematian dan penghargaan. e. Atas kebebasan berserikat dan perlakuan HAM dalam hubungan kerja 5. PT PLN (Persero) berkewajiban untuk menyediakan tenaga listrik bagi

kepentingan umum dengan tetap memperhatikan tujuan perusahaan yaitu

menghasilkan keuntungan. Kewajiban tersebut dapat dilaksanakan secara baik jika

para pekerja PT PLN (Persero) memiliki sikap yang profesional dan mampu

memberikan pelayanan yang maksimal.

Pelayanan ini sangat berkaitan dengan kualitas dari para pekerja yang ada di

PT PLN (Persero). Agar para pekerja memiliki sikap yang profesional dan bekerja

secara maksimal, maka perusahaan harus memberikan hak-hak yang sesuai dengan

peraturan yang ada atau sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh

para pihak yang terkait.

Hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur atau memuat hak dan

kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. Takaran hak dan kewajiban

masing-masing pihak haruslah seimbang. Dalam konteks hubungan kerja, kewajiban

5 Zainal Asikin, dkk, 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, hal 53.

14

para pihak berlangsung secara timbal balik. Artinya, kewajiban pengusaha

merupakan hak pekerja atau buruh dan sebaliknya kewajiban pekerja atau buruh

merupakan hak pengusaha6.

Pasal 1 angka (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara

pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai

unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Sedangkan pengertian perjanjian kerja

disebutkan dalam Pasal 1 angka (14) yaitu suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan

pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban

kedua belah pihak.

Peraturan perundang-undangan telah memberikan perlindungan hukum bagi

pekerja berupa perlindungan keselamatan kerja, kesehatan, kematian dan

penghargaan. Penghargaan dapat diberikan sebagai hak pekerja setelah seorang

pekerja tidak lagi bekerja atau telah memasuki masa pensiun. Pekerja yang telah

mengabdi dan menyumbangkan tenaga ataupun pikirannya bagi kemajuan

perusahaannya dalam kurun waktu yang tidak sedikit, berhak atas penghidupan yang

layak atau mendapat penghargaan yang dapat membantunya setelah memasuki masa

pensiun. Pensiun, artinya tidak bekerja lagi karena masa tugasnya selesai. Sedangkan

pensiunan berarti karyawan yang sudah pensiun7.

Menurut Zulaini Wahab perkembangan pemberian pensiun atau tunjangan hari

tua diawali sejak tahun 1939, ketika sejumlah buruh yang mencari nafkah pada

perusahaan besar, baik dari segi kapasitas produksinya maupun keuntungannya, telah

6 Abdul Khakim, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Edisi Revisi), Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hal 46-47.

7 http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php. Diakses tanggal 30 September 2011.

15

berani menuntut nasib agar mereka diberikan jaminan hari tua dan pensiun sebagai

kesinambungan penghasilan apabila kelak tidak bekerja lagi karena usia tua. Melalui

upaya tersebut, kaum buruh yakin bahwa mereka akan memperoleh tingkat

kesejahteraan yang baik karena paling sedikit perusahaan harus memberikan

kenaikan penghasilan dengan membayar iuran dalam program pensiun atau program

kesejahteraan hari tua yang diikutinya. Karena tuntutan tersebut demikian gencarnya

sehingga apabila tidak dipenuhi, pengusaha khawatir dapat berakibat pada

kelangsungan jalannya perusahaan, pada akhirnya perusahaan menerima tuntutan

buruh untuk memberikan peningkatan kesejahteraan hidup dengan membentuk

jaminan hari tua8.

Lebih lanjut pada tingkat yang sederhana, perusahaan menyelenggarakan

program pensiun dengan membentuk cadangan pensiun (book reserve) atau

membebankannya pada biaya perusahaan (pay as you go) untuk pembayaran pensiun

bagi buruh yang berhenti bekerja pada usia pensiun. Pada tingkat yang lebih maju,

perusahaan mendirikan yayasan sebagai wadah untuk menyelenggarakan program

pensiun bagi karyawannya. Kelembagaan yayasan tersebut terpisah dari perusahaan

pendiri yayasan tersebut9.

Indonesia memiliki dua pengaturan pokok yang berkaitan dengan perlindungan

masa pensiun atau hari tua bagi pekerja yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992

tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992

tentang Dana Pensiun.

8 Zulaini Wahab, 2005, Segi Hukum Dana Pensiun, Jakarta: PT Raja Grafindo, hal 3. 9 Ibid.

16

Jaminan Sosial Tenaga Kerja, berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1992 memiliki pengertian suatu perlindungan bagi tenaga kerja

dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan

yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan

yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari

tua, dan meninggal dunia.

Pada dasarnya program ini menekankan pada perlindungan bagi tenaga kerja

yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih lemah. Oleh karena itu pengusaha

memikul tanggung jawab utama, dan secara moral pengusaha mempunyai kewajiban

untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja, di samping itu,

sudah sewajarnya apabila tenaga kerja juga berperan aktif dan ikut bertanggung

jawab atas pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja demi terwujudnya

perlindungan tenaga kerja dan keluarganya dengan baik10.

Sudah menjadi kodrat, bahwa manusia itu berkeluarga dan berkewajiban

menanggung kebutuhan keluarganya. Oleh karenanya, kesejahteraan yang perlu

dikembangkan bukan hanya bagi tenaga kerja sendiri, tetapi juga bagi keluarganya

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas, yang harus

tetap terpelihara termasuk pada saat tenaga kerja kehilangan sebagian atau seluruh

penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko sosial antara lain kecelakaan

kerja, sakit, meninggal dunia, dan hari tua11.

Dalam rangka menciptakan landasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

perlindungan tenaga kerja, undang-undang ini mengatur penyelenggaraan jaminan

10 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

11 Ibid.

17

sosial tenaga kerja sebagai perwujudan pertanggungan sosial sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan12.

Hari tua adalah umur pada saat produktivitas pekerja menurun, sehingga perlu

diganti dengan pekerja yang lebih muda. Termasuk dalam penggantian ini adalah

jika tenaga kerja tersebut cacat tetap dan total 13.

Sementara jaminan hari tua adalah santunan berupa uang yang dibayarkan

secara sekaligus atau berkala atau sebagian dan berkala kepada tenaga kerja karena

telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun atau cacat total tetap setelah

ditetapkan oleh dokter 14.

Program Jamsostek diselenggarakan oleh negara, tetapi pelaksanaannya

dilakukan oleh Badan Penyelenggara yang ditunjuk. Dalam hal ini Menteri yang

bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan melimpahkan tugas dan

wewenang penyelenggaraan program tersebut kepada Badan Penyelenggara yang

ditunjuk itu.

Badan Penyelenggara yang ditunjuk tersebut adalah Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut melaksanakan fungsi dan

tugasnya dengan mengutamakan pelayanan kepada peserta dalam peningkatan

perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja beserta keluarganya15.

12 Ibid. 13 Lalu Husni, 2006, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta :

PT Raja Grafindo Persada, hal 167. 14 Zulaini Wahab, 2001, Dana Pensiun dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia,

Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hal 144. 15 Ibid, hal 146.

18

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan

Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, telah ditetapkan

Perusahaan Perseroan PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja disingkat PT Jamsostek

(sebelumnya bernama PT Asuransi Sosial Tenaga Kerja disingkat PT Astek), sebagai

Badan Penyelenggara tunggal Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja16.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun mengatur

kelembagaan dan pelaksanaan dana pensiun bagi perusahaan yang mendirikan

yayasan atau lembaga dana pensiun karena pada prakteknya pelaksanaan jaminan

hari tua atau pensiun dapat pula dilaksanakan oleh lembaga dana pensiun atau

lembaga keuangan lainnya. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan

menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun (Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 1992).

Sistem pendanaan suatu program pensiun memungkinkan terbentuknya

akumulasi dana, yang dibutuhkan untuk memelihara kesinambungan penghasilan

peserta program pada hari tua. Keyakinan akan adanya kesinambungan penghasilan

menimbulkan ketentraman kerja, sehingga akan meningkatkan motivasi kerja

karyawan yang merupakan iklim yang kondusif bagi peningkatan produktivitas.

Dalam dimensi yang lebih luas, akumulasi dana yang terhimpun dari

penyelenggaraan program pensiun merupakan salah satu sumber dana yang

diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan nasional yang

berlandaskan kemampuan sendiri. Hal ini sejalan dengan salah satu arah dan

kebijaksanaan pembangunan jangka panjang, yakni peningkatan dan pengembangan

16 Ibid, hal 147.

19

sumber-sumber dana pembangunan yang berasal dari dalam negeri secara optimal,

baik dari pemerintah maupun masyarakat17.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Dana Pensiun, selama lebih kurang tujuh

puluh tahun, program pensiun diselenggarakan berdasarkan Arbeidersfondsen

Ordonnantie (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 377). Arbeidersfondsen Ordonnantie

merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1601 s bagian kedua KUH

Perdata. Pada dasarnya Pasal 1601 s KUH Perdata mengatur tentang perlindungan

hukum bagi kaum pekerja18.

Setelah berlakunya Undang-Undang Dana Pensiun, kelembagaan dana pensiun

diakui sebagai badan hukum, ini berarti pula menambah khazanah perbendaharaan

istilah tentang lembaga badan hukum di Indonesia, di samping badan hukum yang

telah ada seperti perseroan terbatas (PT) dan koperasi, memberikan jaminan

kepastian penyelenggaraan program pensiun setelah berlakunya Undang-Undang

Dana Pensiun. Adanya komitmen Undang-Undang Dana Pensiun untuk menjadikan

dana pensiun bebas dari praktik-praktik yang dapat merugikan kepentingan peserta,

semakin memberikan jaminan kepastian penyelenggaraan program pensiun19.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengkaji dan melakukan

penelitian dengan mengambil judul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

PENSIUNAN DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA”

17 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.

18 Zulaini Wahab, 2005, Op. Cit, hal 4. 19 Ibid, hal 20.

20

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah berdasarkan latar belakang yang telah dibahas sebelumnya,

yaitu “Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi pensiunan dalam Perjanjian

Kerja Bersama di PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi

pekerja yang telah memasuki masa pensiun di PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis

Secara teoritis penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan mengenai

perlindungan hukum dalam bidang ketenagakerjaan khususnya mengenai

perlindungan hukum bagi pekerja yang memasuki masa pensiun.

2. Secara praktis

Hasil penelitian juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pelaku bisnis,

pimpinan BUMN, maupun para praktisi lainnya yang berhubungan dengan

ketengakerjaan dalam hal pekerja yang memasuki masa pensiun.

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Ketenagakerjaan

1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan

Sebelum menjelaskan pengertian tentang hukum ketenagakerjaan, penulis

akan menjelaskan pengertian tentang hukum perburuhan terlebih dahulu. Dulu

hukum ketenagakerjaan disebut hukum perburuhan atau dalam bahasa Belanda

disebut arbeidrechts. Kata “perburuhan” sendiri berasal dari kata “buruh”, yang

secara etimologis dapat diartikan dengan keadaan memburuh, yaitu keadaan

dimana seseorang buruh bekerja pada orang lain (pengusaha)20.

Para ahli hukum mengartikan hukum perburuhan secara berbeda-beda.

Berikut ini adalah pengertian hukum perburuhan menurut beberapa ahli hukum:

a. Molenaar

Menurut Molenaar dalam Asikin menyebutkan bahwa hukum

perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku yang pada pokoknya

mengatur hubungan antara pekerja dan pengusaha, antara pekerja dan

pekerja serta antara pekerja dan penguasa21.

b. M.G. Levenbach

M.G. Levenbach dalam Manulang menyebutkan bahwa hukum

perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, di

mana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan

20 Zaeni Asyhadie, 2007, Hukum Kerja, Jakarta: PT Raja Grafindo, hal.1 21 Abdul Khakim, Op. Cit, hal 4.

22

penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja

itu22.

c. Mok

Mok dalam Kansil menyebutkan bahwa hukum perburuhan

adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di

bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang

langsung bergantung dengan pekerjaan itu23.

d. Iman Soepomo

Menurut Imam Soepomo dalam Manulang menyebutkan bahwa

hukum perburuhan adalah himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis

maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana

seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah 24.

Hukum ketenagakerjaan menurut Darwan Prints adalah sekumpulan

peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja/organisasi pekerja

dengan majikan atau pengusaha/organisasi majikan dan pemerintah, termasuk di

dalamnya adalah proses-proses dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan untuk

merealisasikan hubungan tersebut menjadi kenyataan25.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa ketenagakerjaan adalah segala hal yang

berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa

kerja.

22 Ibid. 23 Ibid, hal 5. 24 Ibid. 25 Darwan Prints, 1994, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya

Bakti, hal 1.

23

Menurut Abdul Khakim, istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang

amat luas dan untuk menghindarkan adanya kesalahan persepsi terhadap

penggunaan istilah lain yang kurang sesuai dengan tuntutan perkembangan

hubungan industrial maka istilah ketenagakerjaan lebih tepat digunakan dibanding

dengan istilah hukum perburuhan. Hal ini juga sejalan dengan penamaan Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bukan Undang-Undang

Perburuhan26.

Abdul Khakim juga menyatakan bahwa hukum ketenagakerjaan memiliki

unsur-unsur sebagai berikut:

1. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis, 2. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan

pengusaha/majikan, 3. Adanya orang bekerja pada dan di bawah orang lain, dengan

mendapatkan upah sebagai balas jasa, 4. Mengatur perlindungan pekerja atau buruh, meliputi masalah

keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/buruh dan sebagainya27.

Berdasarkan pengertian ketenagakerjaan tersebut dapat dirumuskan

pengertian hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan

dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan

sesudah hubungan kerja. Jadi pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas dari

hukum perburuhan yang selama ini kita kenal yang ruang lingkupnya hanya

berkenaan dengan hubungan hukum antara buruh dengan majikan dalam

hubungan kerja saja28.

26 Abdul Khakim, Op. Cit, hal 6. 27 Ibid, hal 6. 28 Lalu Husni, Op. Cit, hal 24.

24

2. Sumber Hukum Ketenagakerjaan

Sumber hukum menurut Halim ialah segala sesuatu yang menimbulkan

atau melahirkan hukum. Sumber hukum itu sendiri dibedakan menjadi dua

macam, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum

formil adalah sumber-sumber hukum yang memiliki bentuk-bentuk (formal)

tersendiri yang secara yuridis telah diketahui/berlaku umum. Sedangkan sumber

hukum materiil adalah sumber-sumber yang melahirkan isi (materiil) suatu hukum

sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung29.

Dalam bukunya Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Darwan Prinst

menyebutkan bahwa secara umum sumber hukum terdiri dari 30:

1. Undang-undang 2. Adat atau Kebiasaan 3. Yurisprudensi 4. Doktrin (Pendapat para sarjana) 5. Agama

Menurut Budiono, sumber-sumber hukum ketenagakerjaan terdiri atas31:

1. Perundang-undangan; 2. Kebiasaan; 3. Keputusan; 4. Traktat; dan 5. Perjanjian.

Sedangkan Shamad berpendapat bahwa sumber hukum ketenagakerjaan

terdiri atas32:

1. Peraturan perundangan (undang-undang dalam arti materiil dan formil);

2. Adat dan kebiasaan; 3. Keputusan pejabat atau badan pemerintah;

29 Abdul Khakim, Op. Cit, hal 17. 30 Darwan Prinst, Op. Cit, hal 2. 31 Abdul Khakim, Op. Cit, hal 18. 32 Ibid.

25

4. Traktat; 5. Peraturan kerja (yang dimaksud adalah peraturan perusahaan); dan 6. Perjanjian kerja, perjanjian perburuhan, atau kesepakatan kerja

bersama (KKB).

Selain kedua pendapat tersebut, Wahab dalam Asikin menambahkan

bahwa doktrin/pendapat para ahli hukum juga merupakan sumber hukum

ketenagakerjaan. Mengingat pendapat para ahli dapat dipergunakan sebagai

landasan untuk memecahkan masalah-masalah perburuhan, baik langsung maupun

tidak langsung33.

Abdul Hakim sependapat jika agama juga termasuk sumber hukum

ketenagakerjaan, mengingat terdapatnya kemungkinan pemecahan masalah

ketenagakerjaan melalui pendekatan ajaran agama yang dianutnya. Jika adat dan

kebiasaan bisa menjadi sumber hukum ketenagakerjaan, apalagi agama yang

dianut dan menjadi keyakinan dalam hidup dan kebiasaan para pihak34.

Dari pendapat para sarjana tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa secara

lengkap sumber hukum ketenagakerjaan adalah :

1. Undang-undang; 2. Adat dan kebiasaan; 3. Agama; 4. Keputusan pejabat/badan pemerintah atau lembaga ketenagakerjaan; 5. Yurisprudensi; 6. Doktrin; 7. Traktat; 8. Perjanjian kerja; dan 9. Peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.35

33 Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid, hal 19.

26

3. Pihak-Pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan

Dalam praktek sehari-hari ada beberapa kelompok yang terkait

sehubungan ketenagakerjaan, seperti Pekerja, Pengusaha, Organisasi Pekerja,

Organisasi Pengusaha dan Pemerintah36. Berikut adalah uraian mengenai pihak-

pihak yang terkait dalam hukum ketenagakerjaan tersebut.

a. Pekerja/buruh/karyawan

Dalam kehidupan sehari-hari masih terdapat beberapa peristilahan

mengenai Pekerja. Misalnya ada yang menyebutnya Buruh, Karyawan atau

Pegawai. Namun sesungguhnya dapat dipahami, bahwa maksud dari semua

peristilahan tersebut adalah sama; yaitu orang yang bekerja pada orang lain dan

mendapat upah sebagai imbalannya 37.

Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan,

selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai zaman penjajahan

Belanda juga kerena peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum Undang-

Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) menggunakan istilah

Buruh. Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah

pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar,

orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”. Sedangkan yang melakukan

pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut sebagai

“Karyawan/Pegawai” (White Collar). Pembedaan yang membawa konsekuensi

36 Darwan Prinst, Op. Cit, hal 22. 37 Ibid.

27

pada perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak terlepas dari

upaya memecah belah orang-orang pribumi38.

Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus

dan buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada

orang maupun badan hukum disebut buruh39.

Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh

diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh

pemerintah (Depnaker) pada waktu kongres FSBI II Tahun 1985. Alasan

pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh

lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada di

bawah pihak lain yakni majikan40.

Menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah

atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih

luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik

perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah

atau imbalan dalam bentuk apapun41.

Untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan kerja dalam perlindungan

Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1992, pengertian “pekerja” diperluas yakni termasuk :

38 Lalu Husni, Op. Cit, hal 33. 39 Ibid. 40 Ibid, hal 34. 41 Ibid, hal 35.

28

1. magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak;

2. mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan;

3. narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.42

b. Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Organisasi pekerja/serikat pekerja, merupakan organisasi yang dibentuk

dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun di luar perusahaan,

yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna

memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh

serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya (Pasal 1 angka

(17) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).

Pekerja/buruh sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan

dalam hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,

mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta mendirikan dan

menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh43.

Hak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak asasi

pekerja/buruh yang telah dijamin dalam Pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar

1945. Demikian pula telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia

Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk

Berorganisasi, dan Konvensi ILO No. 98 mengenai berlakunya Dasar-dasar untuk

Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama. Kedua konvensi tersebut dapat

42 Ibid. 43 Zaeni Asyhadie, Op.Cip, hal 22.

29

dijadikan dasar hukum bagi pekerja/buruh untuk berorganisasi dengan mendirikan

serikat pekerja/serikat buruh44.

c. Pengusaha

Berdasarkan perkembangan zaman dan konsep hubungan industrial

Pancasila, maka istilah “majikan” dianggap sudah tidak sesuai lagi sebagaimana

penggantian istilah “buruh” menjadi pekerja. Istilah “majikan” berkonotasi

sebagai pihak yang selalu berada di atas sebagai lawan atau kelompok penekan

dari buruh. Padahal antara buruh dan majikan secara yuridis merupakan mitra

kerja yang mempunyai kedudukan yang sama. Oleh sebab itu, lebih tepat jika

disebut istilah “pengusaha” 45.

Istilah pengusaha untuk menggantikan istilah majikan, mulai digunakan

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

pengertian pengusaha dirumuskan dalam Pasal 1 angka (5), yaitu :

(a) orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

(b) orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

(c) orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Selain memberikan pengertian tentang pengusaha, dalam Pasal 1 angka (4)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga disebutkan

pengertian tentang pemberi kerja, yaitu orang perorangan, pengusaha, badan

44 Ibid. 45 Lalu Husni, Op. Cit, hal 36.

30

hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan

membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

d. Organisasi Pengusaha

Dalam Pasal 105 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, mengenai

organisasi pengusaha ini ditentukan sebagai berikut :

(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.

(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara itu, mengenai bagaimana keterkaitannya dalam bidang

ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak menentukan sama

sekali. Oleh karena itu, maka dalam membahas organisasi pengusaha ini perlu

disimak organisasi pengusaha yang ada di Indonesia46.

Lalu Husni dalam bukunya Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,

menguraikan secara lengkap tentang dua organisasi pengusaha yang ada, yaitu

KADIN dan APINDO 47.

KADIN adalah kependekan dari Kamar Dagang dan Industri yang

dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1973

dan yang beranggotakan para pengusaha yang ada di Indonesia. KADIN dibentuk

sebagai wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak di bidang perekonomian48.

Sedangkan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), menurut Lalu Husni adalah

46 Zaeni Asyhadie, Op. Cit, hal 32. 47 Ibid. 48 Ibid.

31

organisasi pengusaha yang khusus mengurus masalah yang berkaitan dengan

ketenagakerjaan di Indonesia49.

e. Pemerintah

Peran serta pemerintah di dalam hukum ketenagakerjaan sangat penting hal

ini dimaksudkan untuk terciptanya hubungan industrial yang adil. Maksudnya jika

hubungan antara pengusaha dan pekerja yang sangat berbeda secara sosial dan

ekonomi diserahkan seluruhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk

menciptakan keadilan akan sulit tercapai. Hal ini disebabkan pihak yang kuat akan

selalu ingin menguasai yang lemah. Atas dasar itulah pemerintah turut campur

tangan melalui peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan

kepastian hukum dan kewajiban para pihak50.

Tujuan diadakannya pengawasan dalam pelaksanaan ketentuan hukum

(Law enforcement) di bidang hukum ketenagakerjaan akan menjamin pelaksanaan

hak-hak normatif pekerja, yang pada gilirannya mempunyai dampak terhadap

stabilitas usaha. Selain itu pengawasan ketenagakerjaan juga akan dapat membidik

pengusaha dan pekerja untuk selalu taat menjalankan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan sehingga akan tercapai suasana

kerja yang harmonis51.

49 Ibid. 50 Lalu Husnis, Op. Cit, hal 47-48. 51 Ibid, hal 51.

32

B. Hubungan Kerja

1. Perjanjian Kerja Sebagai Dasar Hubungan Kerja

Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms,

mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601a KUH Perdata memberikan

pengertian perjanjian kerja sebagai suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si

buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan

untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah52.

Pengertian atau perumusan tersebut dapat diuraikan bahwa perjanjian kerja

adalah:

a. Perjanjian antara seorang pekerja (buruh) dengan pengusaha untuk melakukan pekerjaan. Jadi, si pekerja sendiri harus melakukan pekerjaan itu dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain;

b. melakukan pekerjaan itu pekerja harus tunduk dan berada di bawah perintah pengusaha atau pemberi kerja. Jadi, antara pengusaha dan pekerja ada suatu hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.

c. Sebagai imbalan dari pekerjaan yang dilakukan, pekerja berhak atas upah yang wajib dibayar oleh pengusaha atau pemberi kerja53.

Secara lebih umum, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, dalam Pasal 1 angka (14) menyebutkan bahwa perjanjian kerja

adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja

yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.

52 Ibid, hal 54. 53 Andi Hamzah, 1990, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta :

Penerbit Rineka Cipta, hal 64.

33

Berdasarkan pengertian perjanjian kerja tersebut, dapat ditarik beberapa

unsur dari perjanjian kerja yakni :

1. Adanya unsur work atau pekerjaan

Suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek

perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja,

hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Secara teknis

pengusaha tidak akan mungkin merekrut pekerja/buruh jika tidak tersedia

pekerjaan sesuai dengan kapasitas kebutuhan perusahaannya. Unsur

pekerjaan, secara yuridis merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian

kerja yang diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adanya pekerjaan sebagai syarat

objektif dari perjanjian kerja, sehingga objek perjanjian kerja harus jelas.

Sifat pekerja yang dilakukan oleh pekerja sangat pribadi karena

bersangkutan dengan keterampilan atau keahliannya, maka menurut

hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus.

2. Adanya unsur perintah

Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha

adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha

untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan, inilah

perbedaan hubungan hukum kerja dengan hubungan lainnya.

3. Adanya upah

Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian

kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja

34

bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika

tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan

hubungan kerja. 54

Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dengan pekerja atau buruh

tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh

pengusaha dengan serikat pekerja atau serikat buruh yang ada pada perusahaan.

Demikian pula perjanjian kerja tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perusahaan yang dibuat oleh pengusaha55.

Perjanjian kerja juga harus memenuhi syarat materiil dan formil yang ada

dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Syarat

materiil terdapat dalam Pasal 52, Pasal 55, Pasal 59 dan Pasal 60 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan syarat formil terdapat

dalam Pasal 54 dan Pasal 57. Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat

secara tertulis dan lisan. Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak

dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat

membantu proses pembuktian56.

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-

kurangnya memuat keterangan:

54 Andi Hamzah, Op. Cit, hal 55-57. 55 Zaeni Asyhadie, Op .Cit, hal 44. 56 Lalu Husni, Op.Cit, hal 59.

35

a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usahanya; b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. Jabatan/jenis pekerjaan; d. Tempat pekerjaan; e. Besarnya upah dan cara pembayaran; f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak-hak dan kewajiban pengusaha

dan pekerja/buruh; g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas

dasar :

1. Kesepakatan kedua belah pihak; 2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; 4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan

ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perjanjian kerja tersebut terdapat syarat subyektif dan syarat obyektif.

Syarat subyektif menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian,

sedangkan syarat obyektif menyangkut obyek perjanjian. Jika syarat subyektif

tidak terpenuhi (point 1 dan 2) maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat

dibatalkan, artinya salah satu pihak (yang tidak cakap) memiliki hak untuk

meminta agar perjanjian itu dapat dibatalkan oleh hakim. Sedangkan jika syarat

obyektif tidak terpenuhi (point 3 dan 4), maka akibat hukum dari perjanjian

tersebut batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah ada

perjanjian atau perikatan, sehingga para pihak tidak memiliki dasar untuk saling

menuntut di muka pengadilan. Keempat syarat yang terdapat dalam pasal 52,

36

bersifat kumulatif. Artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa

perjanjian tersebut sah57.

2. Pengertian Hubungan Kerja

Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur atau

memuat hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. Takaran hak

dan kewajiban masing-masing pihak haruslah seimbang. Pada konteks hubungan

kerja, kewajiban para pihak berlangsung secara timbal balik. Artinya kewajiban

pengusaha merupakan hak pekerja atau buruh dan sebaliknya kewajiban pekerja

atau buruh merupakan hak pengusaha58.

Menurut Imam Soepomo hubungan kerja adalah hubungan antara buruh

dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, buruh

menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah

dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan

membayar upah59.

Hubungan kerja disebut juga hubungan perburuhan atau hubungan

industrial. Ada beberapa istilah mengenai hubungan kerja ini :

a. Labour Relations b. Labour Management Relations c. Industrial Relations. 60 Mengenai kewajiban pengusaha dan hak pekerja, diatur dalam Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kewajiban pengusaha

menurut undang-undang tersebut antara lain:

57 Ibid, hal 58. 58 Abdul Khakim, Op. Cit, hal 46-47. 59 Andi Hamzah, Op. Cit, hal 63. 60 Ibid.

37

1. Pasal 67 ayat (1) menyebutkan, pengusaha yang mempekerjakan tenaga

kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan

jenis derajat kecacatannya.

2. Pasal 77 ayat (1) menyebutkan, setiap pengusaha wajib melaksanakan

ketentuan waktu kerja.

3. Pasal 79 ayat (1) menyebutkan bahwa, pengusaha wajib memberi waktu

istirahat dan cuti kepada pekerja atau buruh.

4. Pasal 85 ayat (3) menyebutkan bahwa, pengusaha yang mempekerjakan

buruh/pekerja yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja

lembur.

Sedangkan menurut Lalu Husni, kewajiban pekerja pada intinya adalah

sebagai berikut:

1. Buruh/pekerja wajib melaksanakan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah tugas utama buruh dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan.

2. Buruh/pekerja wajib menaati aturan dan petunjuk majikan/pengusaha; dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha.

3. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; jika buruh/pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda61.

Hak pekerja atau buruh yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, antara lain:

61 Lalu Husni, Op.Cit, hal 62.

38

1. Pasal 88 ayat (1) menyebutkan, setiap pekerja atau buruh berhak

memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan.

2. Pasal 99 ayat (1) menyebutkan bahwa, setiap pekerja atau buruh dan

keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial.

3. Pasal 82 ayat (1) menyebutkan, pekerja/buruh perempuan berhak

memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya

melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan

menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

Berdasarkan hak-hak pekerja tersebut, secara normatif pekerja telah

mendapatkan perlindungan. Kewajiban pengusaha yang dipaparkan merupakan

hak pekerja, dan sebaliknya hak pekerja merupakan kewajiban pengusaha62.

3. Putusnya Hubungan Kerja

Operasional hukum ketenagakerjaan secara sistematik dan pengelompokan

peraturan perundang-undangan terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu yang

mengatur masa sebelum bekerja (pre-employment), masa selama bekerja (during

employment), dan masa setelah kerja (post-employment):

1. Masa sebelum bekerja (pre-employment), merupakan masalah pengadaan pekerja yang meliputi pengaturan lowongan kerja, pengerahan dan penempatan pekerja merupakan hal penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan tenaga kerja.

2. Masa selama bekerja (during employment), masa ini mendapatkan perhatian, karena masa ini merupakan substansi dari hukum ketenagakerjaan. Sedemikian pentingnya, karena pemerintah perlu campur tangan dan mengatur selama hubungan kerja berlangsung.

62 Ibid, hal 64.

39

Melalui masa inilah semua pihak dapat dilindungi secara adil agar tercapai ketenangan kerja dan kelangsungan berusaha.

3. Masa setelah bekerja (post employment), setelah hubungan kerja juga perlu perhatian seksama, sehingga pekerja tetap mendapatkan perlindungan sesuai keadilan. Permasalahan seperti sakit berkepanjangan, hari tua, pensiun, tunjangan kematian dan sebagainya tidak dapat diabaikan begitu saja63.

Berakhir atau putusnya hubungan kerja dapat menimbulkan permasalahan

terutama bagi pekerja. Sebab dengan putusnya hubungan kerja akan

mempengaruhi pada kehidupan pekerja, terutama dampak secara ekonomis. Imam

Soepomo, mengatakan bahwa pemutusan hubungan kerja bagi buruh merupakan

permulan dari segala pengakhiran, permulaan dari berakhirnya mempunyai

pekerjaan, permulaan dari berakhirnya kemampuan membiayai keperluan hidup

sehari-hari baginya dan keluarganya, permulaan dari berakhirnya kemampuan

menyekolahkan anak-anak dan sebagainya64.

Dampak berakhirnya atau putusnya hubungan kerja terhadap pekerja, akan

memberi pengaruh psikologis, ekonomis, finansial, sebab:

a. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi pekerja telah kehilangan mata pencaharian;

b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak mengeluarkan biaya (keluar masuk perusahaan, disamping biaya-biaya lain seperti pembuatan surat-surat untuk keperluan lamaran dan foto copy surat-surat lain);

c. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya65. Berakhir atau putusnya hubungan kerja dalam teori hukum

ketenagakerjaan ada empat jenis, yaitu:

63 Abdul Hakim, Op. Cit, hal 14-17. 64 Zainal Asikin, dkk, Op.Cit. hal 140. 65 Ibid.

40

a. Pemutusan hubungan kerja demi hukum;

Artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya

dan kepada buruh/pekerja, pengusaha tidak perlu mendapatkan penetapan

PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari lembaga yang berwenang

sebagaimna diatur dalam pasal 154 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut:

1) pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana

telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;

2) pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri,

secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya

tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan

kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk

pertama kali;

3) pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja

bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau

4) pekerja/buruh meninggal dunia. 66

b. Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja;

Buruh/pekerja berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan

pihak pengusaha, karena pada prinsipnya buruh tidak boleh dipaksakan

untuk terus-menerus bekerja bilamana ia sendiri tidak menghendakinya.

66 Lalu Husni, Op.Cit, hal 187.

41

Dengan demikian PHK oleh buruh ini yang aktif untuk meminta

diputuskan hubungan kerjanya adalah dari buruh/pekerja itu sendiri67.

Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan

hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

indrustrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

1) menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam

pekerja/buruh;

2) membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan;

3) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan

selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;

4) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada

pekerja/buruh;

5) memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan

di luar yang diperjanjikan; atau

6) memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,

keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh

sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada

perjanjian kerja (Pasal 169 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003). 68

67 Ibid, hal 185. 68 Ibid.

42

c. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha;

Pemutusan ini merupakan kehendak atau prakarsanya berasal dari

pengusaha, karena adanya pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan

oleh pekerja/buruh atau mungkin karena faktor-faktor lain, seperti

pengurangan pekerja, perusahaan tutup karena merugi, perubahan status

dan sebagainya69.

Menurut Abdul Khakim, pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh

pengusaha terbagi menjadi dua macam, yaitu PHK karena kesalahan

ringan dan PHK karena kesalahan berat70.

Berdasarkan Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

bahwa PHK oleh pengusaha harus memeperoleh penetapan terlebih

dahulu dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Jadi,

mem-PHK pekerja/buruh tidak dapat semau atau sekehendak pengusaha.

Kesemuanya harus dilakukan dengan dasar dan alas an yang kuat,

sebagaimana diatur pada Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 71.

d. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan;

Pemutusan ini ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan

perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan (majikan/buruh)

berdasarkan alasan penting. Alasan penting adalah di samping alasan

mendesak juga karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan

69 Abdul Hakim, Op. Cit, hal 191. 70 Ibid. 71 Ibid.

43

pemohon atau perubahan keadaan di mana pekerjaan yang dilakukan

sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan

hubungan kerja 72.

C. Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan

1. Pengertian Perlindungan Hukum Tenaga Kerja

Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur

hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum, selain itu hukum berfungsi

sebagai perlindungan kepentingan manusia. Perlindungan hukum dapat diartikan

sebagai suatu bentuk tindakan kepada subyek hukum sesuai dengan hak dan

kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia73.

Perlindungan hukum tenaga kerja adalah suatu bentuk perlindungan yang

diberikan oleh pemerintah kepada setiap warga negara dengan tujuan mengatur

dan menjamin pelaksanaan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat74.

Dalam berbagai tulisan di bidang ketenagakerjaan sering kali dijumpai

adagium yang berbunyi “pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan”.

Adagium ini tampaknya biasa saja, sepertiya tidak mempunyai makna, tetapi kalau

dikaji lebih jauh akan kelihatan kebenarannya. Pekerja/buruh dikatakan sebagai

tulang punggung karena memang dia mempunyai peranan yang penting. Tanpa

adanya pekerja/buruh perusahaan tersebut tidak akan bisa jalan, dan tidak akan

bisa pula ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional75.

72 Lalu Husni, Op. Cit, hal 188. 73 Zainal Asikin, Op. Cit, hal 75-76. 74 Ibid, hal 77. 75 Zaeni Asyhadie, Op. Cit, hal 77.

44

Menyadari akan pentingnya pekerja/buruh bagi perusahaan, pemerintah,

dan masyarakat, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat menjaga

keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan. Demikian pula perlu diusahakan

ketenangan dan kesehatan pekerja/buruh agar apa yang dihadapinya dalam

pekerjaan dapat diperhatikan semaksimal mungkin sehingga kewaspadaan dalam

menjalankan pekerjaan itu tetap terjamin. Pemikiran-prmikiran tersebut

merupakan program perlindungan kerja yang dalam praktik sehari-hari berguna

untuk mempertahankan produktivitas dan kestabilan perusahaan76.

Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan

tuntunan, santunana, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak

asasi manusia, perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku

dalam perusahaan. Dengan demikian secara teoritis dikenal ada tiga jenis

perlindungan kerja yaitu :

a. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan mengembangkan perikehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial ini disebut juga dengan kesehatan kerja.

b. Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja.

c. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jaminan sosial. 77

76 Ibid. 77 Ibid, hal 78.

45

2. Perlindungan Secara Ekonomis Bagi Tenaga Kerja

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa perlindungan secara ekonomis

disebut juga sebagai jaminan sosial. Jaminan sosial bagi pekerja diatur dalam

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

(Undang-Undang Jamsostek).

Pengertian jaminan sosial tenaga kerja menurut Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang Jamsostek yaitu suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk

santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang

atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami

oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan

meninggal dunia.

Menurut Abdul Khakim, program Jamsostek merupakan kelanjutan

program Asuransi Tenaga Kerja (ASTEK) yang didirikan menurut Peraturan

Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977. Secara yuridis penyelenggaraan program

Jamsostek dimaksudkan sebagai pelaksanaan pasal 10 dan pasal 15 Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Kerja

(yang sekarang sudah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)78.

Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan

Sosial Tenaga Kerja jo. Pasal 2 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun

1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial tenaga Kerja berbunyi :

78 Abdul Hakim, Op. Cit, hal 120.

46

Pasal 3 ayat 2:

Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja.

Pasal 2 ayat 3:

Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh)

orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu

juta rupiah) sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program

jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Bunyi pasal tersebut, bahwa program jaminan sosial tenaga kerja sebagai

hak yang harus didapatkan oleh pekerja dan merupakan kewajiban bagi

perusahaan untuk mengikutsertakan para pekerjanya dalam program jaminan

sosial tenaga kerja.

Ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja disebutkan dalam

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, pasal 6 ayat 1 meliputi :

1. Jaminan kecelakaan kerja 2. Jaminan kematian 3. Jaminan hari tua 4. Jaminan pemeliharaan kesehatan

Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) adalah santunan berupa uang sebagai

pengganti biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, biaya pengobatan dan/atau

perawatan, biaya rehabilitasi serta santunan sementara tidak mampu bekerja,

santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya atau cacat total selama-lamanya

baik, fisik maupun mental, santunan kematian sebagai akibat peristiwa berupa

47

kecelakaan kerja. Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaaan kerja berhak menerima

Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)79.

Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan

hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian

pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju

tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui80.

Jaminan Kematian (JKM) adalah santunan kematian berupa uang tunai dan

santunan berupa uang untuk pengganti biaya pemakaman, seperti pembelian tanah

(sewa/retribusi), peti jenazah, kain kafan, transportasi dan lain-lain yang berkaitan

dengan tata cara pemakaman sesuai adat istiadat, agama dan kepercayaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa serta kondisi daerah masing-masing dari tenaga kerja yang

bersangkutan. Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja,

keluarganya berhak atas Jaminan Kematian (JKM)81.

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) adalah jaminan berupa pelayanan

kesehatan yang diberikan kepada tenaga kerja atau suami atau istri yang sah dan

anak yang bersifat menyeluruh dan meliputi pelayanan peningkatan kesehatan,

pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta pemulihan kesehatan82.

3. Perlindungan Hukum Bagi Pensiunan

Bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena mencapai

usia pensiun, undang-undang memberikan perlindungan berupa program Jaminan

79 Zulaini Wahab, 2001, Op. Cit, hal 143. 80 Ibid, hal 144. 81 Ibid. 82 Ibid, hal 145.

48

Hari Tua (JHT) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang

Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Jaminan hari tua sendiri memiliki arti santunan berupa uang yang

dibayarkan secara sekaligus atau berkala atau sebagian dan berkala kepada tenaga

kerja karena :

a. telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun;

b. atau cacat total tetap setelah ditetapkan oleh dokter. 83

Sedangkan hari tua adalah umur pada saat produktivitas pekerja menurun,

sehingga perlu diganti dengan pekerja yang lebih muda. Termasuk dalam

penggantian ini adalah jika tenaga kerja tersebut cacat tetap dan total84.

Pensiun dapat mengakibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mampu

bekerja, akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi

pekerja, oleh karena itu program jaminan hari tua ini memiliki peran yang tidak

kalah pentingnya dengan program jaminan sosial tenaga kerja yang lain, karena

akan membantu tenaga kerja yang telah memasuki masa pensiun.

Selain program Jaminan Hari Tua, bentuk perlindungan bagi pensiunan

juga diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tersebut, sebagai dasar

penyelenggaraan Program Pensiun adalah Arbeidersfondsen Ordonnantie Tahun

1926 Nomor 337, sebagai pelaksanaan dari Pasal 1601(s) buku III KUH Perdata.

83 Zulaini Wahab, 2001, Op. Cit, hal 144. 84 Lalu Husni, Op.Cit, hal 167.

49

Disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992

tersebut bahwa dana pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan

menjalankan program yang menjanjikan manfaat pasti.

Indonesia sendiri mengenal adanya dua jenis dana pensiun, yaitu:

1. Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), yaitu dana pensiun yang

dibentuk oleh orang atau badan yang mempekerjakan karyawan,

selaku pendiri, untuk menyelenggarakan program pensiun bagi

kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta, dan

yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja. DPPK dapat

menjalankan Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) atau Program

Pensiun Iuran Pasti (PPIP).

2. Dana pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) yaitu dana pensiun yang

dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk

menyelenggarakan program pensiun bagi perorangan, baik karyawan

maupun pekerja mandiri yang terpisah dari dana pensiun pemberi

kerja bagi karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang

bersangkutan. DPLK hanya dapat menyelenggarakan Program

Pensiun Iuran Pasti (PPIP).

Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) adalah program pensiun yang

besar manfaat pensiunnya telah ditetapkan dalam peraturan dana pensiun,

sedangkan besarnya iuran pemberi kerja dari waktu ke waktu tidak pasti

jumlahnya, bergantung dari kecukupan dana untuk memenuhi kewajiban

membayar manfaat pensiun, kekurangan tersebut menjadi tanggung jawab

50

pemberi kerja untuk memenuhinya, dan apabila dana pensiun kelebihan dana,

kelebihan tersebut dapat diperhitungkan sebagai iuran pemberi kerja85.

Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) adalah program pensiun yang besar

iurannya telah ditetapkan dalam peraturan dana pensiun, sedangkan besar manfaat

pensiun bergantung dari besarnya akumulasi iuran dan hasil pengembangannya

sampai seorang peserta berhenti bekerja yang kemudian harus dibelikan anuitas

dari perusahaan asuransi jiwa86.

Peraturan dana pensiun hanya dapat menjadi dasar penyelenggaraan satu

jenis program pensiun. Oleh karena itu satu dana pensiun hanya dapat

menyelenggarakan satu jenis program pensiun. Dengan kata lain, satu dana

pensiun tidak dapat menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP)

dan Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) secara sekaligus87.

Dana pensiun mempunyai tujuan tersendiri dari beberapa sisi, yaitu:

1. Sisi pemberi kerja, dana pensiun sebagai usaha untuk menarik atau

mempertahankan karyawan perusahaan yang memiliki potensi, cerdas,

terampil dan produktif yang diharapkan dapat meningkatkan atau

mengembangkan perusahaan, di samping sebagai tanggung jawab

moral dan sosial pemberi kerja kepada karyawan serta keluarganya

pada saat karyawan tidak lagi mampu bekerja atau pensiun atau

meninggal dunia;

85 Zulaini Wahab, 2001, Op.Cit. hal 4 86 Ibid. hal 5. 87 Ibid.

51

2. Sisi karyawan, dana pensiun adalah untuk memberikan rasa aman

terhadap masa yang akan datang dalam arti tetap mempunyai

penghasilan pada saat memasuki masa pensiun;

3. Sisi pemerintah, dengan adanya dana pensiun bagi karyawan akan

mengurangi kerawanan sosial. Kondisi tersebut merupakan unsur yang

sangat penting dalam menciptakan kestabilan negara;

4. Sisi masyarakat, adanya dana pensiun merupakan salah satu lembaga

pengumpulan dana yang bersumber dari iuran dan hasil

pengembangan. Terbentuknya akumulasi dana yang bersumber dari

dalam negeri tersebut dapat membiayai pembangunan nasional dalam

rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. 88

88 Ibid. hal 2-3.

52

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu cara yang teratur dan

terpikir baik-baik untuk mencapai maksud; cara kerja yang bersistem untuk

memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan89.

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legisme positivisme yang

berpendapat bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan

diundangkan oleh lembaga yang berwenang. Selain itu konsep ini melihat hukum

sebagai sistem normatif yang bersifat otonom tertutup dan terlepas dari kehidupan

masyarakat90.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif. Menurut

Ronny Hanitijo Soemitro, deskriptif analitis adalah menggambarkan Peraturan

perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dari praktek

pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan dalam penelitian ini 91.

89 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hal 580-581. 90 Ronny Hanitijo Soemitro, 1999, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia

Indonesia, hal 11. 91 Ibid, hal 97-98.

53

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga, Pusat

Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum UNSOED, dan Unit Pelayanan Terpadu

(UPT) Perpustakaan UNSOED.

D. Sumber Data

Peneliti menggunakan sumber data sekunder dan sumber data primer yang

digunakan untuk membangun penelitian. Data primer diambil dari hasil wawancara,

dari data sekunder diambil dan diuraikan dalam tiga bagian, yaitu:

1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

terdiri dari :

a. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

b. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga

Kerja.

c. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.

d. Perjanjian Kerja Bersama antara PT PLN (Persero) dengan Serikat

Pekerja PT PLN (Persero), serta peraturan internal PT PLN (Persero)

yang terkait langsung dengan pelaksanaan dana pensiun sebagai

bentuk jaminan hari tua.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari literatur mengenai hukum

ketenagakerjaan, jaminan sosial tenaga kerja, dana pensiun, serta berbagai

literatur dan hasil penelitian yang berkaitan dengan obyek yang akan

diteliti.

54

3. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang akan digunakan

dalam rencana penelitian ini adalah yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

yang meliputi, kamus dan ensiklopedia92.

E. Metode Pengumpulan Data

1. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara menginventarisasi

peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dan dokumen resmi yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti kemudian disajikan dalam bentuk teks

normatif yang disusun secara sistematis, logis dan rasional.

2. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dengan jalan wawancara secara langsung

dengan pihak-pihak terkait. Data ini digunakan sebagai pelengkap dari data

sekunder.

F. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun

secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti data yang diperoleh akan

dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan yang diteliti

sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.

92 Ibid.

55

G. Metode Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis

kualitatif, yaitu suatu analisis dengan menjabarkan dan menafsirkan data dengan

berdasarkan pada norma-norma hukum, doktrin dan teori-teori ilmu hukum yang

relevan dengan pokok permasalahan sehingga dapat menjawab dan mengambil

kesimpulan.

56

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Data Sekunder

1.1 Sejarah Singkat dan Perkembangan PT PLN (Persero)

Sejak awal berdirinya sampai saat ini, PLN telah banyak mengalami

berbagai perkembangan. Hal tersebut dijelaskan dalam sejarah perjalanan

atau perkembangan PLN yang dikelompokkan dalam beberapa periode, yaitu:

a. Periode Sebelum Tahun 1943

Ketenagalistrikan di Indonesia dimulai pada akhir abad ke 19,

pada saat beberapa perusahaan Belanda, antara lain pabrik gula dan

pabrik teh mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk kebutuhan

sendiri. Ketenagalistrikan untuk kemanfaatan umum mulai ada pada

saat perusahaan swasta Belanda, yaitu NV. NIGN yang semula

bergerak dibidang gas memperluas usahanya dibidang penyediaan

tenaga listrik untuk kemanfaatan umum. Pada tahun 1927 Pemerintah

Belanda membentuk s”Landss Waterkracht Badrijvan (LBW), yaitu

perusahaan listrik negara yang mengelola PLTA Plengan, PLTA

Lamajan, PLTA Bangkok Dago, PLTA Ubrug dan Kracak di Jawa

Barat, PLTA Giringan di Madiun, PLTA Tes di Bengkulu, PLTA

Tonasa Lama di Sulawesi Utara dan PLTU di Jakarta. Selain itu di

beberapa kota praja dibentuk perusahaan-perusahaan listrik Kotapraja.

Sehingga perusahaan-perusahaan kelistrikan tersebut mempunyai

57

kegiatan yang dinilai menguntungkan. Sehingga bermunculan

perusahaan-perusahaan swasta milik Belanda seperti NV.ANIEM,

NV.GEBEO, NV.OGEM dan beberapa perusahaan listrik yang bersifat

lokal ditingkat Kotapraja.

b. Periode Tahun 1943 – 1945

Pada waktu pendudukan Jepang perusahaan-perusahaan

listrik swasta tersebut dikuasai secara keseluruhan oleh Jepang

dan dikelola menurut situasi dan kondisi daerah-daerah tertentu

seperti Perusahaan Listrik Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa

Timur, Sumatra dan lain-lain.

c. Periode Tahun 1945 – 1950

Mulai tahun 1945 sampai dengan tahun 1950, perusahaan Listrik

dan Gas diambil alih oleh Pemerintah RI dari Jepang pada tanggal 27

Oktober 1945. Kemudian melalui ketetapan Presiden Republik

Indonesia No.I/S.D/1945, dibentuk Jawatan Listrik dan Gas yang

berkedudukan di Yogyakarta yang untuk pertama kalinya di dalam

sejarah Indonesia terdapat satu kesatuan Perusahaan Listrik Seluruh

Indonesia tanggal 27 Oktober 1945 dijadikan sebagai hari Listrik

Nasional.

Pada masa Agresi Belanda ke-1 (19 Desember 1948)

perusahaan-perusahaan listrik yang dibentuk dengan ketetapan

Presiden tersebut di atas dikuasai kembali oleh pemiliknya semula.

Pada Agresi ke-2 sebagian besar kantor-kantor Jawatan Listrik dan Gas

58

direbut oleh Pemerintah Koloni Belanda kecuali daerah Aceh. Tahun

1950 Jawatan Listrik dan Gas diubah menjadi Jawatan Listrik dan Gas

milik Pemerintah Koloni Belanda. Sedangkan Perusahaan milik swasta

diserahkan kepada pemiliknya semula sesuai hasil Konferensi Meja

Bundar (KMB).

d. Periode Tahun 1951 – 1966

Jawatan Tenaga membawahi Perusahaan Negara untuk

Pembangkitan Tenaga Listrik (PENUPETEL) dan diperluas

dengan membawahi juga Perusahaan Negara untuk Distribusi

Tenaga Listrik (PENUDITEL) pada tahun 1952. Berdasarkan

Keputusan Presiden No.163 tanggal 3 Oktober 1953 tentang

“Nasionalisme Perusahaan Listrik milik Bangsa Belanda” dan

berlaku sejak 3 Desember 1957, yaitu konsesi pengusahaannya

telah berakhir, maka beberapa perusahaan listrik milik swasta

tersebut diambil alih dan digabungkan ke Jawatan Tenaga.

Kemudian pada tahun 1958 Dewan Perwakilan Rakyat dan

Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan:

1) Undang-undang tentang Nasionalisasi semua perusahaan

Belanda.

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.18 tentang

Nasionalisasi Perusahaan Listrik dan Gas milik Belanda.

Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, semua perusahaan

milik Belanda diambil alih termasuk Perusahaan Listrik dan Gas

59

seluruh Indonesia. Jawatan Tenaga diubah menjadi Perusahaan Listrik

Negara melalui Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga

No.P.25/45/17 tanggal 23 September 1958, sedangkan P3LG

dibubarkan pada tahun 1959 setelah dibentuk Dewan Direktur

Perusahaan Listrik Negara (DD PLN).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1960 tentang

Perusahaan Negara dan melalui Peraturan Pemerintah RI Nomor 67

tahun 1961 dibentuklah Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik

Negara (BPU PLN), yang mengelola semua Perusahaan Listrik Negara

dan Gas berada dalam satu wadah organisasi. Guna mewujudkan

undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut Menteri Pekerjaan

Umum dan Tenaga pada saat itu menerbitkan Surat Keputusan Menteri

PUT No.Ment.16/1/20 tanggal 20 Mei 1961 yang memuat arahan

mengenai BPU. BPU sendiri adalah suatu perusahaan Negara yang

diserahi tugas mengurus perusahaan-perusahaan Listrik dan Gas yang

berbentuk Badan Hukum. Kemudian dibentuk daerah eksploitasi yang

terdiri atas:

1) 10 (sepuluh) Daerah eksploitasi listrik umum (Pembangkitan

dan Distribusi).

2) Organisasi BPU-PLN dipimpin oleh Direksi.

3) 1 ( satu ) Daerah eksploitasi khusus Pembangkit Listrik.

4) 13 PLN eksploitasi proyek-proyek kelistrikan.

60

5) Daerah eksploitasi khusus Distribusi dibagi lebih lanjut

menjadi Cabang.

6) Daerah eksploitasi khusus pembangkit dibagi lebih lanjut

menjadi Sektor.

e. Periode Tahun 1967 – 1985

Dalam kabinet Pembangunan 1, Dirjen Tenaga Listrik (Dirjen

Gatrik) PLN dan Lembaga Masalah Ketenagaan (LMK) dialihkan ke

Departemen Pekerjaan Umum Tenaga Listrik (PUTL). LMK

ditetapkan dalam pengolahan PLN melalui Peraturan Menteri PUTL

No.6/PRT/1970. Tahun 1972, PLN ditetapkan sebagai Perusahaan

Umum melalui Peraturan Pemerintah No.18, pemerintah juga

memberikan tugas-tugas pemerintah dibidang kelistrikan kepada PLN

untuk mengatur, membina, mengawasi dan melaksanakan perencanaan

umum di bidang kelistrikan Nasional disamping tugas-tugas sebagai

perusahaan.

Mengingat kebijakan energi dipandang perlu untuk ditetapkan

secara nasional, maka pada Kabinet Pembangunan III dibentuk

Departemen Pertambangan dan Energi, dan Perusahaan Listrik Negara

(PLN) serta Perusahaan Gas Negara (PGN) berpindah lingkungan dari

Departemen PUTL ke Departemen di bidang ketenagaan selanjutnya

ditangani oleh Direktorat Jendral Ketenagaan (1981).

Dalam kabinet Pembangunan IV, Dirjen ketenagaan diubah

menjadi Dirjen Listrik dan Energi (LEB), perubahan nama ini

61

bertujuan untuk memperjelas tugas dan fungsinya yaitu:

1) Pembinaan program kelistrikan

2) Pembinaan pengusahaan

3) Pengembangan energi baru

Terlihat bahwa tugas-tugas pemerintah yang semula dipikul oleh

PLN secara bertahap dikembalikan ke departemen sehingga PLN dapat

lebih memusatkan fungsinya sebagai perusahaan.

f. Periode Tahun 1985 – 1990

Mengingat tenaga kerja sangat penting bagi peningkatan

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara umum serta untuk

mendorong peningkatan kegiatan ekonomi oleh karena itu, usaha

penyediaan tenaga listrik, pemanfaatannya dan pengelolaannya perlu

ditingkatkan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup

merata dengan mutu pelayanan yang baik. Kemudian dalam rangka

peningkatan pembangunan yang berkesinambungan di bidang

ketenagalistrikan diperlukan upaya secara optimal, sehingga

penyediaan tenaga listrik terjamin.

Agar tujuan tersebut tercapai, Pemerintah Republik Indonesia

menganggap bahwa ketentuan dalam perundang-undangan yang ada

sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan

pembangunan di bidang kelistrikan, maka bersama-sama dengan

Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah menetapkan Undang-Undang

Nomor 15 tahun 1985 tentang Kelistrikan. Kemudian sebagai

62

pengejawatahan undang-undang tersebut Pemerintah Republik

Indonesia pada tahun 1989 mengeluarkan peraturan pemerintah tentang

penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik. Berdasarkan undang-

undang dan peraturan pemerintah tersebut ditetapkan bahwa PLN

merupakan Pemegang Kuasa Usaha Ketenaga Listrikan.

g. Periode Tahun 1990 – Sekarang

Tahun 1990 pemerintah mengubah status pendirian PLN dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1990. Periode Juli 1994 sampai

sekarang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1994,

PLN dialihkan bentuknya menjadi perusahaan Perseroan (Persero).

Maksud dan tujuan peralihan bentuk ini adalah sebagai berikut:

1) Menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum dan

sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip

pengelolaan perusahaan.

2) Mengusahakan penyediaan tenaga listrik dalam jumlah dan

mutu yang memadai dengan tujuan untuk:

a) Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat

secara adil dan merata serta mendorong peningkatan

kegiatan ekonomi.

b) Mengusahakan keuntungan agar dapat membiayai

pengembangan penyediaan tenaga listrik untuk melayani

kebutuhan masyarakat.

63

c) Merintis kegiatan-kegiatan usaha penyediaan tenaga

listrik.

d) Menyediakan usaha-usaha lain yang menunjang usaha

penyediaan tenaga listrik sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dengan dialihkannya bentuk umum PLN menjadi PT PLN

(Persero), sehingga perusahaan umum listrik negara dinyatakan bubar

pada saat pendirian Perseroan dengan ketentuan bahwa hak dan

kewajiban beralih pada perusahaan Persero yang bersangkutan.

Berhubungan dengan itu maka agar di dalam pelaksanaan operasional

sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan sesuai dengan makna

yang terkandung di dalam undang-undang dan peraturan pemerintah

yang berlaku. Latar belakang perubahan PERUM menjadi PERSERO

adalah bahwa selama lima pelita (25 tahun) PLN hidup dan Beroperasi

atas bantuan anggaran pemerintah (APBN). Sehingga ketergantungan

sektor tenaga listrik pada APBN dan dana-dana lunak dari pinjaman

Bank Dunia dan sebagainya sangat besar. Maksud dan tujuan

perubahan bentuk PERUM menjadi PERSERO antara lain sebagai

berikut:

1) Agar perusahaan dapat meningkatkan pelayanannya kepada

masyarakat.

2) Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha

menyediakan tenaga listrik.

64

3) Agar perusahaan dapat bergerak lebih lincah dan luwes

sehingga dapat memobilisasi dana-dana dari masyarakat

(swasta) selain dana-dana tradisional yang selama ini

diperoleh.

Sejalan dengan perkembangan pembangunan di segala bidang

dan semakin banyaknya kebutuhan pemakaian listrik di negara kita,

maka untuk dapat melayani masyarakat dan industri dalam pengadaan

dan penyediaan tenaga listrik kemudian PLN dibagi menjadi 11 PLN

wilayah, 4 PLN Distribusi, 2 PLN Pembangkitan dan penyalur serta 12

wilayah induk. Adapun dari ke-11 PLN yang berstatus Wilayah antara

lain:

1) PLN Wilayah II di Medan

2) PLN Wilayah III di Padang

3) PLN Wilayah IV di Palembang

4) PLN Wilayah V di Pontianak

5) PLN Wilayah VI di Banjar Baru

6) PLN Wilayah VII di Manado

7) PLN Wilayah VIII di Ujung Pandang

8) PLN Wilayah IX di Ambon

9) PLN Wilayah X di JayaPura

10) PLN Wilayah XI di Denpasar

11) PLN Wilayah khusus di Batam

65

Sedangkan PLN yang berstatus distribusi meliputi:

1) PLN Distribusi Jawa Timur di Surabaya

2) PLN Distribusi Jawa Tengah dan D.I.Y. di Semarang

3) PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten di Bandung

4) PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangggerang di Jakarta

PLN Distribusi Jawa Tengah dan D.I.Y. dibagi menjadi

beberapa Area Pelayanan Pelanggan yaitu:

1) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Semarang

2) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Surakarta

3) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Yogyakarta

4) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Tegal

5) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Purwokerto

6) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Magelang

7) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Kudus

8) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Salatiga

9) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Klaten

10) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Pekalongan

11) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Cilacap

Selanjutnya PT. PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan

Purwokerto dibagi menjadi beberapa rayon meliputi:

1) Rayon Purwokerto Kota

2) Rayon Banyumas

3) Rayon Purbalingga

66

4) Rayon Banjarnegara

5) Rayon Wonosobo

6) Rayon Ajibarang

7) Rayon Wangon

1.2 Visi, Misi, dan Motto PT PLN (Persero)

PT PLN (Persero) mempunyai visi, misi, dan motto perusahaan sebagai

berikut:

Visi: Diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh kembang

unggul dan terpercaya dengan bertumpu pada potensi insani.

Misi:

a. Menjalankan bisnis kelistrikan dan bidang lain yang terkait,

berorientasi pada kepuasan pelanggan, anggota perusahaan dan

pemegang saham.

b. Menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan

kualitas kehidupan masyarakat.

c. Mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan

ekonomi.

d. Menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan.

Motto: Listrik untuk kehidupan yang lebih baik (Electricity for a better

life).

Serta penerapan nilai-nilai, yaitu :

a. Saling Percaya

b. Integritas

67

c. Peduli

d. Pembelajar

1.3 Struktur Organisasi Perusahaan

Struktur organisasi perusahaan dibuat untuk mengetahui sistem

pengorganisasian perusahaan yang rnelibatkan seluruh karyawan

yang ada di dalam perusahaan tersebut. Fungsi pengorganisasian

dalam perusahaan adalah untuk memandu dan memanfaatkan

komponen-komponen penting guna mengatur jalannya perusahaan

secara bersama sehingga komponen-komponen ini dapat mencapai

sasaran perusahaan dengan baik.

Struktur organisasi yang diperoleh akan menjelaskan gambaran

secara skematis tentang bagian-bagian tugas dan tanggung jawab

serta hubungan antar bagian atau departemen yang ada. Sehingga

perusahaan memiliki garis komando yang jelas untuk seluruh

karyawan.

PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga dalam struktur

organisasinya dipimpin oleh seorang Manajer Rayon dan memiliki

pegawai tetap sejumlah 17 orang.

Struktur organisasi dari PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga

seperti di bawah ini :

Gambar 2.

Gambar 2.

Struktur organisasi dari PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga

seperti di bawah ini :

Gambar 2.1. Struktur Organisasi APJ Purwokerto

Gambar 2.2. Struktur Organisasi Rayon Purbalingga

68

Struktur organisasi dari PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga

Organisasi APJ Purwokerto

. Struktur Organisasi Rayon Purbalingga

69

Adapun uraian tugas dan fungsi dari masing-masing adalah sebagai

berikut.

a. Manajer Unit Pelayanan dan Jaringan

Tugas pokok Manajer Unit Pelayanan dan Jaringan adalah

bertanggung jawab dalam neningkatkan pelayanan pelanggan,

pengelolaan administrasi pelanggaan, pendistribusian tenaga listrik,

pengoperasian, pemeliharaan jaringan dan gardu distribusi di wilayah

kerjanya secara efisien dan efektif, serta pelaksanaan penyambungan

baru dan perubahan daya untuk mendukung peningkatan pendapatan

penjualan tenaga listrik dan menjamin mutu keandalan serta kelancaran

penyalaan tenaga listrik kepada pelanggan, membina hubungan kerja,

kemitraan, dan komunikasi yang komunikatif guna menjaga cira

perusahaan serta mewujudkan Internal Coorporate Governance.

Manajer Unit Pelayanan dan Jaringan mempunyai fungsi sebagai

berikut:

1) Menyusun RKAP unit.

2) Mengkoordinir pelaksanaan kegiatan pemasaran, pelayanan

pelanggan, pengelolaan administrasi pelanggan, pencetakan

rekening, penagihan dan pengawasan piutang.

3) Mengkoordinir pengelolaan pembacaan meter, evaluasi dan

analisa hasil pembacaan meter serta pengolahan hasil

pembacaan meter.

4) Mengkoordinir pelaksanaan pendistribusian tenaga listrik,

70

pelayanan komplain pelanggan, kecepatan penyambungan

dan pemutusan, perubahan daya serta kegiatan penertiban

pemakaian tenaga listrik.

5) Menganalisa dan mengevaluasi kinerja operasi jaringan

distribusi.

6) Bertanggung jawab atas pelaksanaan manajemen asset

distribusi.

7) Mengkoordinir pelaksanaan kontruksi untuk mendukung

program pemasaran, mutu keandalan dan efisiensi.

8) Bertanggung jawab atas penyusunan Tingkat Mutu

Pelayanan.

9) Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam

rangka meningkatkan penyaluran tenaga listrik.

10) Bertanggung jawab atas pelaksanaan K8 dan peralatan kerja.

11) Melaksanakan kegiatan pembinaan administrasi personalia,

pengelolaan kesekretariatan, kehumasan, dan pengendalian

keuangan.

b. Supervisor Pelayanan Pelanggan

Tugas Pokok Supervisor Pelayanan Pelanggan adalah

bertanggung jawab dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian

Pelayanan Pelanggan yang meliputi: Informasi pelayanan,

PB/PD/layanan lainnya, administrasi pelanggan, rencana penjualan,

kehumasan serta pelaksanaan dan pengendalian penagihan atas piutang

71

pelanggan dan usulan penghapusan piutang ragu-ragu. Supervisor

Pelayanan Pelanggan mempunyai fungsi:

1) Mengelola informasi dan penyuluhan PB/PD/layanan

lainnya yang berhubungan dengan sambungan tenaga listrik

kepada calon pelanggan, pelanggan dan masyarakat.

2) Melaksanakan promosi penjualan tenaga listrik.

3) Mengendalikan pelayanan PB/PD, ganti nama pelanggan,

penyambungan sementara, perubahan tarif, balik nama

pelanggan, dan perubahan lainnya serta pengaduan

pelanggan yang berhubungan dengan sambungan tenaga

listrik.

4) Mengendalikan, memonitor dan pelaksanaan Perintah Kerja

(PK).

5) Memeriksa kwitansi pembayaran yang berhubungan dengan

pelaksanaan PB/PD, penyambungan sementara, perubahan

tarif, ganti nama pelanggan, balik nama pelanggan, P2TL,

dan perubahan lainnya.

6) Bertanggung jawab atas penerimaan pembayaran BP/UJL,

penyambungan sementara, biaya perubahan, tagihan susulan

dan biaya lainnya.

7) Menjamin atas kebenaran Perubahan Data Pelanggan dan

hasil peremajaan Data Induk Pelanggan (DIP).

8) Mengelola Arsip Induk Pelanggan (AIL) dan DIP.

72

9) Melaksanakan pengumpulan data potensi pasar untuk

informasi pengembangan jaringan distribusi.

c. Supervisor Pembacaan Meter dan Pengelolaan Rekening

Tugas pokok Supervisor Pembacaan Meter dan Pengelolaan

Rekening adalah bertanggung jawab dalam perencanaan, pelaksanaan,

dan pengendalian manajemen baca meter, pengelolaan rekening atas

penjualan tenaga listrik kepada pelanggan yang dilaksanakan akurat

dan tepat waktu, memelihara perangkat lunak dan perangkat keras serta

memuktahirkan data base pelanggan (Data Base Administrator).

Supervisor Pembacaan Meter dan Pengelolaan Rekening mempunyai

fungsi sebagai berikut :

1) Melaksanakan Manajemen Baca Meter.

2) Melaksanakan pengelolaan rekening.

3) Bertanggung jawab atas pengoperasian dan pemeliharaan

perangkat lunak dan perangkat keras.

4) Bertanggung jawab atas pemeliharaan Data Base (sebagai

Data Base Administrator).

d. Supervisor Pelayanan Teknik

Tugas pokok Supervisor Pelayanan Teknik adalah bertanggung

jawab dalam perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan Pelayanan

Teknik yang meliputi : survei, perencanaan kebutuhan material &

pasang SR & APP untuk pekerjaan PB/PD, penyambungan sementara,

pemutusan dan penyambungan kembali, operasi dan pemeliharaan

73

distribusi, pengendalian konstruksi, pengelolaan data asset sesuai

dengan ketentuan dan target yang telah ditentuan perusahaan.

Supervisor Pelayanan teknik mempunyai fungsi:

1) Memantau dan mengendalikan permintaan PB/PD,

penyambungan dan pemutusan sementara, penyambungan

kembali, pembongkaran sementara/rampung dan layanan

lainnya.

2) Merencanakan dan mengendalikan kebutuhan material JMT,

JTR, Trafo, SR dan APP serta kebutuhan anggarannya sesuai

dengan kewenangannya.

3) Menyusun perencanaan pembangunan, pengoperasian dan

pemeliharaan jaringan distribusi.

4) Menyusun SOP pengoperasian dan pemeliharaan jaringan

distribusi.

5) Mengkoordinir dan memantau pelaksanaan operasi dan

pemeliharaan jaringan distribusi, cubicle, proteksi, dan

pembangunan jaringan.

6) Melaksanakan Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL)

bersama tim.

7) Memantau susut KWH dan melakukan penekanannya.

8) Melaksanakan pembacaan KWH meter transaksi pada gardu

induk & KWH batas antar unit.

9) Melaksanakan pengelolaan sarana dan peralatan kerja.

74

10) Memantau pembebanan jaringan distribusi, mutu tegangan,

dan SAIDI/SAIFI.

11) Melaksanakan pengelolaan sarana dan peralatan kerja.

12) Membuat usulan listrik pedesaan.

13) Melaksanakan pengelolaan data asset.

e. Supervisor Keuangan dan Administrasi

Tugas Pokok Supervisor Keuangan dan Administrasi adalah

bertanggung jawab dalam penyusunan anggaran, pengelolaan

keuangan, penyelenggaraan kesekretariatan dan rumah tangga kantor,

pengelolaan SDM dan penyelenggaraan kegiatan hukum dan

kehumasan. Supervisor Keuangan dan Administrasi mempunyai fungsi

sebagai berikut:

1) Memverifikasi dan memvalidasi bukti-bukti penerimaan dan

pengeluaran dana imprest.

2) Melakukan opname saldo kas setiap bulan.

3) Mengawasi dan bertanggung jawab terhadap pengiriman

(transfer otomatis) dan penyimpanan fisik uang.

4) Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penerimaan

pendapatan.

5) Memonitor atas perekaman data transaksi keuangan dan

pengiriman data SIMKEU.

6) Melakukan rekonsiliasi konfirmasi pendapatan operasi, saldo

bank, saldo hutang, saldo piutang, persekot pegawai dinas,

75

PUMP-KPR/BPRP dengan fungsi terkait.

7) Mempersiapkan dokumen berdasarkan transaksi keuangan

untuk keperluan penyelenggaraan akuntansi di kantor APJ.

8) Menyelenggarakan sub-sub administrasi yang terkait dengan

transaksi keuangan (persekot pegawai/dinas, PUMP-KPR,

pajak, hutang usaha, hutang biaya, dll.)

9) Mengelola surat-surat masuk dan keluar sesuai TLSK.

10) Melaksanakan administrasi penggandaan dan pendistribusian

ATK pada fungsi terkait.

11) Mengelola administrasi SDM yang meliputi: SPPD, absensi

pegawai, penilaian kinerja pegawai, pembayaran gaji dan

tunjangan serta biaya perawatan kesehatan.

12) Mengelola rumah tangga kantor dan kendaraan, serta

membantu pelaksanaan kegiatan hukum.

13) Membuat SPK untuk pekerjaan rumah tangga kantor dengan

pihak ketiga.

f. Supervisor Pengendalian Penagihan

Tugas Pokok Supervisor Pengendalian Penagihan yaitu:

1) Menyusun rencana dan melakukan pembukuan pendapatan

operasi.

2) Bertanggung jawab atas penerimaan, perhitungan, dan

pendistribusian rekening ke tempat pembayaran.

3) Bertanggung jawab atas pelaksanaan penagihan dan

76

pelayanan penerimaan pembayaran piutang pelanggan.

4) Melaksanakan uji petik pemeriksaan saldo piutang, daftar

pelunasan rekening dan penyetoran uang ke bank payment

point.

5) Bertanggung jawab atas penyetoran uang/giral/cek/atau

bukti setoran dari hasil penagihan ke fungsi akuntansi.

6) Mengelola, mengawasi, dan mengevaluasi saldo piutang

listrik (tunggakan rekening listrik dan piutang ragu-ragu).

7) Melakukan rekonsiliasi penerimaan pendapatan operasi

dengan fungsi terkait secara harian.

g. Supervisor Penertiban

Tugas Pokok Supervisor Penertiban adalah bertanggung jawab

dalam pelaksanaan penyusunan rencana dan pelaksanaan pekerjaan

penertiban yang meliputi: Penertiban teknik Instalasi, pemutusan dan

penyambungan, bongkar rampung serta pengendalian Losses dan PJU.

Supervisor Penertiban mempunyai fungsi sebagai berikut:

1) Menyusun program kerja fungsi penertiban sebagai pedoman

kerja.

2) Membuat usulan anggaran dan TIM untuk pelaksanaan

P2TL.

3) Melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk

pelaksanaan P2TL.

4) Menyusun jadwal dan melaksanakan P2TL.

77

5) Menetapkan Target Operasi (TO) Penertiban Pemakaian

Tenaga Listrik (P2TL).

6) Membuat laporan hasil pelaksanaan P2TL yang telah

dilaksanakan.

7) Mengelola penertiban jenis tarif listrik sesuai

peruntukannya.

8) Mengelola pemutusan sementara (TUL VI-01) dan bongkar

rampung (TUL VI-03).

9) Mengelola penyambungan kembali berdasarkan permintaan

dari Supervisor Pengendalian Penagihan.

10) Membuat rekapitulasi pelaksanaan pemutusan dan bongkar

rampung serta penyambungan kembali untuk disampaikan

kepada Supervisor Pengendalian Penagihan.

11) Mengusulkan pemegang atau penanggung jawab tang segel

penertiban, pemutusan dan penyambungan.

12) Mengelola data hasil penyegelan tang segel penertiban,

pemutusan dan penyambungan.

13) Mengelola data base pelaksanaan segel plastik.

14) Membuat action plan dan pemantauan program penurunan

susut.

15) Melaksanakan pembacaan KWH meter transaksi pada gardu

induk dan KWH batas antar unit.

78

16) Membuat neraca energi sebagai bahan perhitungan susut

KWH.

17) Memantau susut Distribusi dan melakukan upaya untuk

penekanan susut teknik maupun non teknik.

18) Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam

rangka inventarisasi dan penertiban PJU secara periodik.

19) Membuat laporan berkala sesuai bidangnya.

1.4 Ketenagakerjaan

Terkait dengan ketenagakerjaan dapat dilihat di dalam Perjanjian Kerja

Bersama antara PT PLN (Persero) dengan Serikat Pekerja PT PLN (Persero).

Disebutkan dalam Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan Perjanjian Kerja

Bersama adalah perjanjian hasil perundingan yang diselenggarakan antara

SP-PLN dengan PT PLN (Persero) yang dicatatkan di Kementerian yang

membidangi ketenagakerjaan untuk mengatur dan melindungi hak serta

kewajiban kedua belah pihak yang selanjutnya disingkat dengan PKB.

Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perseroan

adalah PT PLN (Persero) yang didirikan dengan Akta Notaris Soetjipto, SH

Nomor 169 Tahun 1994 beserta perubahannya. Sedangkan yang dimaksud

dengan Serikat Pekerja adalah Serikat Pekerja PT PLN (Persero) yang

selanjutnya disebut SP-PLN, terdiri dari DPD, DPD, DPC, dan DPAC (Pasal

1 angka 7).

Mengenai istilah “pekerja”, dalam PKB ini banyak digunakan dengan

istilah “pegawai”, seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 1 angka 8

79

sebagai berikut :

Pegawai adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan

diangkat, bekerja, dan diberi penghasilan menurut ketentuan yang berlaku

di Perseroan, atau dapat juga disebut Pekerja.

1.4.1 Hak dan Kewajiban PT PLN (Persero)

Pasal 5 ayat (1) PKB, menyebutkan bahwa Perseroan berhak

untuk mengatur pegawai dan jalannya Perseroan, memberikan sanksi

kepada pegawai yang melanggar peraturan disiplin pegawai,

mengajukan keberatan atas tidakan SP-PLN yang bertentangan

dengan PKB, serta membuat aturan Kepegawaian dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan Pegawai. Sedangkan kewajiban PT PLN

(Persero) dijelaskan dalam pasal 6 ayat (1) PKB, yaitu :

a. Mentaati dan melaksanakan isi PKB;

b. Menjaga, membina dan meningkatkan hubungan yang

harmonis melalui kerjasama yang baik dengan Serikat

Pekerja (SP-PLN), menghormati dan mempercayai

sehingga hubungan industrial benar-benar terbina,

terpelihara dan dilaksanakan sebagaimana mestinya;

c. Melaksanakan pengelolaan Perseroan secara efisien

dengan membangun dan membina terciptanya Perseroan

yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)

dalam rangka mewujudkan Good Corporate Governance

(GCG);

80

d. Menempatkan anggota Dewan Pengawas Dana Pensiun

PLN mewakili peserta yang ditunjuk oleh SP-PLN, dengan

jumlah dan persyaratan sesuai peraturanan perundang-

undangan yang berlaku;

e. Menerapkan sistem SDM dengan best practice perusahaan

terkemuka di Indonesia.

1.4.2 Perlindungan Hukum Bagi Pensiunan PT PLN (Persero)

Pegawai PT PLN (Persero) yang diberhentikan sebagai

Pegawai bukan karena hukuman disiplin diberikan hak-hak sebagai

berikut (Pasal 57 ayat (3) PKB) :

a. Penghargaan;

b. Manfaat pensiun atau pengembalian iuran Peserta bagi

Pegawai yang menjadi peserta Dana Pensiun PLN;

c. Pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai yang berhenti

bekerja pada usia 56 (lima puluh enam) tahun dan telah

memiliki masa kerja di Perseroan paling sedikit 16 (enam

belas) tahun atau berhenti bekerja karena cacat atau

berhenti bekerja karena meninggal dunia/tewas, dan

diberikan kepada keluarga Pegawai yang memenuhi

persyaratan.

81

1.4.2.1 Penghargaan

Bagi Pegawai yang diberhentikan sebagai Pegawai,

serta telah memiliki masa kerja paling sedikit 3 (tiga) tahun

terus menerus dan tidak terputus di Perseroan, termasuk masa

kerja sebagai Tenaga Harian dan Calon Pegawai berhak

mendapatkan penghargaan (Pasal 51 ayat 1 PKB).

Penghargaan yang dimaksud adalah sebagai uang pesangon,

uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, yang

besarannya ditetapkan sebagai berikut (Pasal 51 ayat 2 PKB) :

a. Uang penghargaan untuk Pegawai yang

mempunyai masa kerja 1 (satu) tahun sampai

dengan 15 (lima belas) tahun, penghargaan per

tahun masa kerja diberikan sebesar 1 (satu) kali

penghasilan bulan terakhir;

b. Uang penghargaan untuk Pegawai yang

mempunyai masa kerja ke 16 (enam belas) tahun

dan seterusnya, penghargaan per tahun masa kerja

diberikan sebesar 2 (dua) kali penghasilan bulan

terakhir.

1.4.2.2 Pemeliharaan Kesehatan

Berdasarkan Pasal 57 ayat (3) huruf c PKB, disebutkan

bahwa pemeliharaan kesehatan diberikan bagi Pegawai yang

berhenti bekerja pada usia 56 (lima puluh enam) tahun dan

82

telah memiliki masa kerja di Perseroan paling sedikit 16 (enam

belas) tahun atau berhenti bekerja karena cacat atau berhenti

bekerja karena meninggal dunia, dan diberikan kepada

keluarga Pegawai yang memenuhi persyaratan.

Pelaksanaan program pemeliharaan kesehatan ini

mengacu pada Pasal 43 dan 44 PKB sebagai berikut :

Pasal 43 (1) Pegawai, keluarga Pegawai (Istri/Suami dan anak yang

memenuhi syarat) yang terdaftar dan diakui di Perseroan berhak mendapatkan pemeliharaan kesehatan.

(2) Istri/Suami yang bekerja di perusahaan/institusi lain dapat diberikan bantuan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan syarat perusahaan/institusi tempat istri/suami tersebut bekerja tidak menyelenggarakan fasilitas kesehatan, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari perusahaan/institusi lain tempat istri/suami tersebut bekerja.

(3) Suami yang tidak bekerja, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Kelurahan, dapat diberikan bantuan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa rawat inap dan rawat jalan.

(4) Batas usia anak yang diberikan pemeliharaan kesehatan adalah usia 25 (dua puluh lima) tahun dengan ketentuan tidak/belum pernah kawin dan atau tidak mempunyai penghasilan sendiri dan atau masih menjadi tanggungan pegawai.

(5) Jumlah anak yang ditanggung sesuai ayat (1) dan ayat (2) di atas maksimum 3 (tiga) orang anak, dengan ketentuan apabila anak yang ditanggung sudah melampaui usia sebagaimana ayat (2) di atas secara otomatis digantikan oleh anak dengan urutan berikutnya yang belum masuk daftar anak yang ditanggung.

(6) Pemeriksaan dan pengobatan dapat dilakukan di sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah atau milik swasta, yang terdiri atas : a. Dokter; b. Rumah sakit; c. Apotik;

83

d. Laboratorium dan tempat pemeriksaan penunjang lainnya.

(7) Untuk memudahkan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (6) Perseroan dapat melanggan dokter, rumah sakit, laboratorium dan apotik.

(8) Pelaksanaan penetapan dokter, rumah sakit, laboratorium dan apotik yang dilanggan dan penetapan kelas rawat inap, serta pelaksanaan rawat jalan, untuk lingkungan Kantor Pusat oleh Pejabat Manajemen Atas terkait dan untuk PLN Unit diserahkan kepada Pimpinan Unit PLN setempat, dengan cara melakukan koordinasi dengan Unit PLN lainnya apabila dalam satu wilayah kerja terdapat beberapa Unit PLN.

(9) Pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud ayat (8) untuk mencapai efisiensi yang lebih optimal.

(10) Jenis bantuan pemeliharaan kesehatan yang ditanggung oleh Perseroan, terdiri atas : a. Rawat jalan; b. Rawat inap; c. Pemeriksaan kehamilan; d. Pertolongan persalinan sampai dengan anak ketiga; e. Pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan untuk

peneguhan diagnosa. (11) Bantuan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1), terdiri atas : a. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter

umum/dokter gigi; b. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis,

tidak termasuk perawatan wajah dan kecantikan (skin care);

c. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis, tidak termasuk bedah plastik (kosmetik) kecuali akibat Kecelakaan Dinas;

d. Pertolongan persalinan atau gugur kandung atas indikasi medis;

e. Pelayanan keluarga berencana dan imunisasi/vaksinasi yang menjadi program Pemerintah serta bedah minor (khitan);

f. Alat-alat rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi alat tubuh seoptimal mungkin termasuk kacamata;

g. Upaya peningkatan kesehatan Pegawai yang diselenggarakan oleh Perseroan secara massal;

h. Pemeriksaan kesehatan berkala (khusus) bagi Pegawai yang menjalankan tugas di tempat-tempat kerja yang berpotensi bahaya yang dapat mengakibatkan penyakit yang timbul karena

84

hubungan kerja; i. Pemeriksaan kesehatan berkala (umum) bagi

Pegawai yang usianya lebih dari 40 (empat puluh) tahun;

j. Obat yang diperlukan sehubungan dengan huruf a sampai i sesuai ketentuan yang berlaku.

(12) Rawat jalan yang dimaksud dalam ayat (10) huruf a, adalah pemeliharaan kesehatan yang dilakukan oleh dokter/bidan atau dilakukan di Rumah Sakit, termasuk pemeriksaan penunjang, perawatan dan pengobatan gigi serta pengobatan dalam kondisi darurat gawat.

(13) Rawat inap sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) huruf b, paling rendah menggunakan fasilitas kelas II.

(14) Biaya pemeliharaan kesehatan ditanggung 100 % (seratus perseratus) oleh Perseroan dengan cara restitusi, kecuali di Rumah Sakit yang dilanggan Perseroan.

(15) Penyalahgunaan terhadap fasilitas pemeliharaan kesehatan dikenakan sanksi hukuman disiplin.

Pasal 44

Jenis bantuan pemeliharaan kesehatan yang tidak ditanggung oleh Perseroan, adalah:

a. Biaya pengobatan penyakit yang timbul sebagai akibat dari perbuatan yang bersangkutan, antara lain : (a) Penyalahgunaan obat (narkoba); (b) Percobaan bunuh diri;

b. Perawatan wajah untuk kecantikan (skin care) dan bedah plastik (kosmetik) yang bukan akibat kecelakaan dinas;

c. Pemeliharaan kesehatan yang tidak termasuk standar prosedur perawatan baku (seperti terapi ozon dan lain-lain);

b. Pengobatan penyakit AIDS disebabkan karena perbuatan amoral.

c. Pengobatan non medis.

1.4.3 Dana Pensiun PT PLN (Persero)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu

hak pensiunan PT PLN (Persero) yaitu mendapatkan manfaat pensiun

atau pengembalian iuran peserta Dana Pensiun PLN. Hak ini

diberikan bagi pegawai yang menjadi peserta Dana Pensiun PLN

85

karena kepesertaan Dana Pensiun PLN ini bersifat sukarela, jadi

hanya pegawai yang menjadi peserta program Dana Pensiun PLN

sajalah yang mendapatkan hak ini.

Dana Pensiun PLN ini merupakan kelanjutan dari Yayasan

Dana Pensiun Perusahaan Umum Listrik Negara yang dibentuk

berdasarkan Akta Nomor 65 tanggal 19 Desember 1989 oleh Adlan

Yulizar, S.H. Notaris di Jakarta dengan nama Yayasan Dana Pensiun

Perusahaan Umum Listrik Negara serta telah diumumkan dalam

Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 40 tanggal 18

Mei 1990 yang pembentukan dananya telah mendapat persetujuan

dari Menteri Keuangan RI berdasarkan surat Nomor

S.049/MK.13/1992 tanggal 10 Januari 1992, kemudian disesuaikan

dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana

Pensiun, didirikan berdasarkan Keputusan Direksi Perusahaan Umum

Listrik Negara Nomor 035.K/706/DIR/1993 tanggal 13 April 1993

dengan nama Dana Pensiun Perusahaan Umum Listrik Negara, untuk

jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya. Dengan dialihkannya

bentuk hukum Perusahaan Umum Listrik Negara menjadi Perusahaan

Perseroan (Persero), sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan

Pemerintah RI Nomor 23 Tahun 1994, Dana Pensiun Perusahaan

Umum Listrik Negara diubah menjadi Dana Pensiun PT PLN

(Persero) yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan RI dengan

Keputusan Nomor KEP.284/KM.17/1997 tanggal 15 Mei 1997 dan

86

telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Menteri

Keuangan RI Nomor KEP-40/KM.10/2009 tanggal 23 Maret 2009.

Dalam melaksanakan program pensiun Pegawai ini, Dana

Pensiun PLN berpedoman pada Peraturan Dana Pensiun PLN yang

saat ini berlaku yaitu Keputusan Direksi PT PLN (Persero) Nomor

010.K/DIR/2011 tentang Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun

PT PLN (Persero). Peraturan Dana Pensiun ini disebut Peraturan Dana

Pensiun dari Dana Pensiun PT PLN (Persero) Tahun 2011 yang

disingkat PDP-DPPLN 2011.

1.4.3.1 Jenis Program Pensiun

Jenis program pensiun yang dijalankan oleh Dana

Pensiun PLN adalah Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP).

Program Pensiun Manfaat Pasti adalah Program Pensiun yang

manfaatnya ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.

1.4.3.2 Syarat Kepesertaan

Berdasarkan PDP-DPPLN 2011 Pasal 34, yang

dimaksud peserta adalah setiap orang yang memenuhi

persyaratan Peraturan Dana Pensiun, dan telah terdaftar pada

Dana Pensiun PLN, yang terdiri atas :

a. Pegawai.

b. Pensiunan.

c. Mantan Pegawai yang masih berhak atas Pensiun

Ditunda.

87

Sedangkan syarat kepesertaan, disebutkan dalam Pasal

35 PDP-DPPLN 2011, yaitu :

a. Setiap Pegawai yang diangkat sebelum tanggal 1

Januari 2012 dan Usia Pensiun Normalnya

ditetapkan 56 tahun berhak menjadi Peserta.

Maksud pembatasan kepesertaan ini adalah untuk

menyesuaikan dengan kebijakan yang berkaitan

dengan pengendalian resiko atas beban jangka

panjang Perseroan.

b. Untuk menjadi Peserta, Pegawai yang

bersangkutan wajib mendaftarkan diri dan

menyatakan kesediaannya untuk dipotong

Penghasilan Dasar Pensiunnya guna membayar

Iuran Peserta kepada Dana Pensiun PLN.

1.4.3.3 Mulai dan Berakhirnya Kepesertaan

Kepesertaan dimulai sejak yang bersangkutan

ditetapkan sebagai Peserta dan berakhir apabila :

a. Peserta meninggal dunia/tewas; atau

b. Peserta telah berhenti bekerja pada Pemberi Kerja

yang bersangkutan dengan mengalihkan dananya

ke Dana Pensiun lain; atau

c. Peserta berhenti bekerja sebelum mencapai Usia

Pensiun Dipercepat dengan masa kepesertaan

88

kurang dari 3 (tiga) tahun.

1.4.3.4 Hak dan Kewajiban Peserta

Kewajiban Peserta Dana Pensiun PLN berdasarkan

Pasal 37 PDP-DPPLN 2011 yaitu :

a. Wajib membayar Iuran Peserta.

b. Mematuhi Peraturan Dana Pensiun dan peraturan

pelaksanaannya.

c. Mendaftarkan Isteri / Suami dan atau Anak atau

Pihak Yang Ditunjuk ke Pemberi Kerja dan Dana

Pensiun serta memberitahukan tiap perubahannya.

d. Setiap Penerima Manfaat Pensiun wajib mengisi

dan menyampaikan formulir Surat Pernyataan

Tanda Bukti Diri (SPTB) dalam rangka pendataan

ulang.

Sedangkan hak peserta Dana Pensiun PLN yaitu :

a. Berhak atas Manfaat Pensiun Normal atau Manfaat

Dipercepat atau Manfaat Cacat atau Pensiun

Ditunda.

b. Iuran Peserta dan hasil Pengembangannya apabila

berhenti bekerja sebelum Usia Pensiun Dipercepat

dan memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga)

tahun, dan dibayarkan secara sekaligus.

c. Peserta yang tidak mempunyai Isteri / Suami dan

89

anak, berhak menunjuk Pihak yang Ditunjuk untuk

menerima hak atas Manfaat Pensiun apabila yang

bersangkutan meninggal dunia.

d. Berhak menyampaikan pendapat dan saran atas

perkembangan portofolio investasi dan hasilnya.

e. Berhak melihat hasil pengawasan terhadap

pengelolaan Dana Pensiun PLN.

1.4.3.5 Biaya yang Merupakan Beban Dana Pensiun

Pasal 72 ayat 1 PDP PLN 2011 menyebutkan bahwa

biaya untuk pembayaran Manfaat Pensiun dibiayai oleh Dana

Pensiun PLN. Adapun biaya-biaya yang dimaksud adalah

sebagai berikut (Pasal 72 ayat 2 PDP PLN 2011) :

a. biaya administrasi kantor, termasuk biaya jasa

keahlian, biaya pemeliharaan kantor gedung atau

inventaris, biaya perkantoran, alat tulis kantor,

perangkat komputer, barang cetakan, pemakaian

listrik, air, pos, telegram, telex, facsimile, telepon,

sewa, biaya pengolahan data, dan konsumsi;

b. biaya investasi;

c. penghasilan, uang jasa, tunjangan dan bonus bagi

Anggota Pengurus dan Anggota Dewan Pengawas;

d. biaya kepegawaian Dana Pensiun PLN, termasuk

gaji, upah, uang lembur, uang konsumsi, kesehatan,

90

pakaian dinas, tunjangan, bonus, jaminan hari tua,

uang duka / kemalangan, uang ganti rugi, uang jasa

purnakarya dan asuransi pegawai Dana Pensiun

PLN;

f. biaya umum, termasuk honorarium, rapat,

penyuluhan, perjalanan dinas dan transport;

g. biaya pendidikan termasuk latihan, seminar,

lokakarya dan kursus;

h. biaya Akuntan Publik, Aktuaris, Penerima Titipan,

Konsultan, Notaris, Pengacara, Penasehat Hukum,

Penilai, biaya riset, biaya bank dan biaya

pengumuman dalam Berita Negara Republik

Indonesia;

i. biaya asuransi, pajak, penerbitan dan eksibisi,

iuran, abonemen, iklan dan retribusi, biaya

penyusutan;

j. biaya pembubaran dan likuidasi dalam hal terjadi

pembubaran Dana Pensiun PLN.

1.4.3.6 Iuran

Iuran diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dana

guna membiayai Program Pensiun terdiri dari Iuran Normal

dan Iuran Tambahan (Pasal 44 PDP-DPPLN 2011). Iuran

Normal adalah iuran yang diperlukan untuk membiayai

91

kewajiban Masa Kerja yang akan datang sesuai perhitungan

aktuaria yang didasarkan pada prosentase Penghasilan Dasar

Pensiun. Sedangkan Iuran Tambahan adalah iuran yang

digunakan untuk melunasi defisit yang timbul sesuai dengan

perhitungan aktuaria. Iuran Tambahan menjadi kewajiban dan

tanggung jawab Pemberi Kerja (PT PLN Persero), sedangkan

Iuran Normal menjadi kewajiban dan tanggung jawab Peserta

dan Pemberi Kerja.

Iuran Normal yang menjadi kewajiban Peserta disebut

Iuran Peserta, sementara Iuran Normal yang menjadi

kewajiban Pemberi Kerja disebut Iuran Pemberi Kerja (Pasal

45 PDP-DPPLN 2011). Besar Iuran Peserta perbulan adalah

6% (enam perseratus) dari Penghasilan Dasar Pensiun (PhDP),

sedangkan besar Iuran Pemberi Kerja adalah selisih antara

prosentase Iuran Normal dengan Iuran Peserta dikalikan PhDP

(Pasal 46 PDP-DPPLN 2011). Berdasarkan Surat Keputusan

Direksi PT PLN (Persero) Selaku Pendiri Dana Pensiun PT

PLN (Persero) Nomor 219.K/DIR/2011, besar Iuran Pemberi

Kerja perbulan adalah 11,21% dari Penghasilan Dasar Pensiun

(PhDP).

Tentang tata cara pembayaran iuran diatur dalam Pasal

47 PDP-DPPLN 2011 sebagai berikut :

92

a. Pegawai yang menjadi Peserta, wajib membayar

Iuran Peserta setiap bulan, yang dipotong langsung

oleh Pemberi Kerja dari penghasilan Pegawai yang

bersangkutan.

b. Iuran Peserta dan Iuran Pemberi Kerja dimulai

pada bulan sejak Pegawai ditetapkan sebagai

Peserta dan berakhir pada saat Peserta berhenti

bekerja atau meninggal dunia/tewas atau Pensiun.

c. Pemberi Kerja wajib menyetor seluruh Iuran

Peserta dan Iuran Pemberi Kerja kepada Dana

Pensiun PLN selambat-lambatnya tanggal 15 (lima

belas) bulan berikutnya.

d. Iuran Peserta dan Iuran Pemberi Kerja yang belum

disetor setelah melampaui 2,5 (dua setengah) bulan

sejak jatuh tempo dinyatakan:

(1) sebagai hutang Pemberi Kerja yang dapat

segera ditagih dan dikenakan bunga yang layak,

yaitu bunga tertinggi dari deposito berjangka 6

(enam) bulan yang berlaku pada bank

Pemerintah yang dihitung sejak hari pertama

dari bulan;

(2) sebagai piutang Dana Pensiun PLN yang

memiliki hak utama dalam pelaksanaan

93

eksekusi putusan Pengadilan apabila Pemberi

Kerja dilikuidasi.

1.4.3.7 Manfaat Pensiun

Manfaat Pensiun (MP) adalah pembayaran berkala

yang dibayarkan kepada Peserta pada saat dan dengan cara

yang ditetapkan dalam PDP93. Rumusan perhitungan MP

secara garis besar adalah sebagai berikut :

MP = (FP1 x MK1 x PhDP1) + (FP2 x MK2 X PhDP2)

atau

MP = MP1 + MP2

Keterangan : FP = Faktor Penghargaan; MK1 = Masa Kerja sampai dengan Juli 2001; MK2 = Masa Kerja mulai Agustus 2001 sampai dengan Peserta berhenti bekerja PhDP = Penghasilan Dasar Pensiun PhDP1 = Gaji Pokok Peserta pada Juli 2001 x 36,52 PhDP2 = Gaji Dasar terakhir pada saat berhenti bekerja94

1.4.3.8 Jenis Manfaat Pensiun

Pasal 48 PDP-PLN 2011 menyebutkan bahwa jenis-

jenis manfaat pensiun yang diberikan bagi peserta Dana

Pensiun PLN adalah sebagai berikut :

a. Manfaat Pensiun Normal, dibayarkan kepada

Peserta yang berhenti bekerja dan telah mencapai

93 Dana Pensiun PT PLN, 2011, Panduan Peraturan Dana Pensiun (PDP) 2011. Jakarta : Dana Pensiun PT PLN, hal 10.

94 Ibid.

94

Usia Pensiun Normal;

b. Manfaat Pensiun Dipercepat, dibayarkan kepada

Peserta yang berhenti bekerja dan

sekurangkurangnya telah mencapai Usia Pensiun

Dipercepat tetapi belum mencapai Usia Pensiun

Normal;

c. Manfaat Pensiun Cacat, dibayarkan kepada Peserta

yang berhenti bekerja karena Cacat;

d. Pensiun Ditunda, bagi Peserta yang berhenti

bekerja pada usia kurang dari 46 (empat puluh

enam) dan memiliki masa kepesertaan 3 (tiga)

tahun atau lebih.

2. Data Primer

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Setyadi yang bekerja sebagai

Supervisor Keuangan dan Administrasi di PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga,

diperoleh data sebagai berikut:

2.1 PT PLN (Persero) pada awalnya merupakan Perusahaan Umum (Perum)

saat ini telah mengalami perubahan status perusahaan menjadi Persero,

dengan perubahan status tersebut hak-hak dan kewajiban bagi pekerja

mengacu pada perjanjian kerja bersama yang setiap dua tahun ke depan

mengalami perubahan.

95

2.2 Hak-hak pensiunan pegawai diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama

(PKB) antara PT PLN (Persero) dengan Serikat Pekerja PT PLN

(Persero).

2.3 PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga tidak mendaftarkan pegawainya

pada program Jaminan Hari Tua (JHT) yang diselenggarakan oleh PT

Jamsostek. Alasannya adalah mengikuti kebijakan PT PLN (Persero)

pusat.

B. Pembahasan

Pekerja memiliki peran yang sangat penting dalam perusahaan. Agar pekerja

dapat bekerja secara maksimal, dan dapat mempertahankan produktivitas

perusahaan, pengusaha perlu memperhatikan hak-hak dari pekerjanya. Pasal 27 ayat

(2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak

atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bunyi pasal tersebut

jelas menyatakan, bahwa setiap orang sebagai warga negara berhak untuk

medapatkan pekerjaan yang layak dan berhak pula untuk memperoleh perlindungan,

baik dari pengusaha maupun dari pemerintah.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 99 ayat (1) menyebutkan

bahwa setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan

sosial tenaga kerja. Lebih lanjut pada ayat (2) pasal tersebut menyebutkan bahwa

jaminan sosial tenaga kerja tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Jaminan sosial tenaga kerja diatur dalam

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

(Undang-Undang Jamsostek) serta Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993

96

tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (yang telah diubah

sebanyak 8 kali, perubahan terakhir peraturan pemerintah ini yaitu Peraturan

Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012) sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang

tersebut.

Ruang lingkup jaminan sosial tenaga kerja berdasarkan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1992 adalah:

1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK);

2. Jaminan Kematian (JKM);

3. Jaminan Hari Tua (JHT);

4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).

Penulis akan membahas mengenai program Jaminan Hari Tua (JHT) karena

program ini yang terkait dengan perlindungan pensiunan yang dibahas dalam

penelitian ini.

Jaminan Hari Tua merupakan program tabungan wajib yang berjangka

panjang dimana iurannya ditanggung oleh pekerja/buruh dan pengusaha, namun

pembayarannya kembali hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat-syarat

tertentu. Pada dasarnya program jaminan hari tua dalam Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1992 merupakan “pembaruan” dari program tabungan hari tua sebagaimana

yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi

Sosial Tenaga Kerja. Pembaruan yang dimaksudkan itu adalah dengan penambahan

besarnya iuran yang diwajibkan kepada pekerja/buruh95.

95 Zaeni Asyhadie, 2008, Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia,

Jakarta : Rajawali Press, hal 160.

97

Tabungan biasa, tabungan hari tua dan jaminan hari tua memiliki perbedaan

yang mencolok. Berikut adalah perbedaan antara ketiga “program” tersebut 96:

Tabungan Biasa

Tabungan Hari Tua Jaminan Hari Tua

• Penyelenggaraannya

dilakukan secara sukarela oleh pekerja/buruh dengan menyetor sendiri pada bank atau lebaga keuangan lainnya yang dikehendaki.

• Penyelenggaraannya

dilakukan secara wajib berdasarkan PP No. 33 Tahun 1977, dengan iuran dibayar langsung oleh pengusaha kepada badan penyelenggara (Perum ASTEK).

• Penyelenggaraannya

dilakukan secara wajib berdasarkan UU No. 3 Tahun 1992, dengan iuran dibayar langsung oleh pengusaha kepada badan penyelenggara (PT JAMSOSTEK).

• Besar iuran/tabungan tergantung kemampuan pekerja/buruh yang bersangkutan.

• Besar iuran 2,5% dari upah pekerja/buruh, dengan rincian 1,5% ditanggung oleh pengusaha dan 1% ditanggung oleh pekerja/buruh.

• Besar iuran 5,7% dari upah pekerja/buruh, dengan rincian 3,7% ditanggung oleh pengusaha dan 2% ditanggung oleh pekerja/buruh.

• Pengambilannya bebas, tergantung kebutuhan pekerja/buruh.

• Pengambilan dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu dan dibayar secara lumpsum (sekaligus).

• Pengambilan dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu dan dibayar secara lumpsum (sekaligus), dan juga dibayar secara berkala apabila memenuhi syarat yang ditentukan.

• Hasil tabungan sesuai

dengan besar tabungan yang telah disetor, ditambah presentase bunga yang kadangkala berubah sesuai dengan perkembangan perkonomian.

• Hasil tabungan yang diterima pekerja/buruh lebih dari 150% dari yang disetor pekerja/buruh karena adanya tambahan iuran oleh pengusaha, ditambah bunga yang besarnya diumumkan setiap tahun.

• Besar jaminan yang diterima oleh pekerja/buruh hampir 175% lebih dari yang disetor pekerja/buruh karena adanya iuran oleh pengusaha, ditambah hasil pengembangan oleh badan penyelenggara yang besarnya diumumkan setiap tahun.

96 Ibid, hal 161.

98

Kepesertaan jaminan hari tua bersifat wajib secara nasional bagi semua

pekerja/buruh yang memenuhi persyaratan. Persyaratan yang dimaksudkan adalah

khusus bagi pekerja/buruh harian lepas, borongan, dan pekerja/buruh dengan

perjanjian kerja waktu tertentu yang harus bekerja di perusahaannya lebih dari tiga

bulan97. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat 1 dan Pasal 4 ayat 1 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang berbunyi

sebagai berikut.

Pasal 3 ayat 1 :

Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan

program jaminan sosial tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan

dengan mekanisme asuransi.

Pasal 4 ayat 1 :

Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan

pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang

ini.

Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993

menyebutkan bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10

(sepuluh) orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000 (satu

juta rupiah) sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program

jaminan sosial tenaga kerja, yang di dalamnya termasuk program Jaminan Hari Tua.

97 Ibid, hal 163.

99

Berdasarkan data 1.3, jumlah pegawai PT PLN (Persero) yaitu 17 orang.

Artinya, PT PLN (Persero) wajib mengikutsertakan pegawainya ke dalam program

jaminan sosial tenaga kerja yang dijalankan oleh PT Jamsostek, yang termasuk di

dalamnya program Jaminan Hari Tua (JHT) sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan data 1.4.2 dan data 2.3, bahwa PT PLN (Persero) belum

mengikutsertakan pegawainya pada program Jaminan Hari Tua (JHT) yang

diselenggarakan oleh PT Jamsostek. Artinya, PT PLN (Persero) melanggar ketentuan

Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan

Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993. Atas pelanggaran ini, PT PLN (Persero) dapat

dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1992 serta Pasal 47 a Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagai

berikut.

Pasal 29 ayat 1: Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pasal 47 a : Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (3), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 8 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 19 serta Pasal 20 ayat (1), dan telah diberikan peringatan tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan ijin usaha.

Selanjutnya penulis akan membahas mengenai pelaksanaan dana pensiun yang

diberikan bagi pegawai PT PLN (Persero). Dana Pensiun menurut Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 adalah badan hukum yang mengelola dan

100

menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. Indonesia sendiri

mengenal dua bentuk dana pensiun, yaitu Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan

Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 menyebutkan bahwa

Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh orang

atau badan yang mempekerjakan karyawan, selaku pendiri, untuk menyelenggarakan

Program Pensiun Manfaat Pasti atau Program Pensiun Iuran Pasti, bagi kepentingan

sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta, dan yang menimbulkan

kewajiban terhadap Pemberi Kerja.

Berdasarkan data 1.4.3, Dana Pensiun PLN merupakan Dana Pensiun Pemberi

Kerja (DPPK), oleh karena itu Dana Pensiun PLN hanya boleh menjalankan program

Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) atau Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP)

saja. Data 1.4.3.1 telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan tersebut.

Pada masa berlakunya Arbeidersfondsen Ordonnantie, yayasan dana pensiun

bebas menjalankan usahanya. Yayasan dana pensiun dapat menjalankan bermacam-

macam program di samping program pensiun, seperti program tunjangan hari tua,

program bea siswa, pinjaman kepada peserta pensiunan, penggantian biaya

perawatan/kesehatan, dan program lainnya yang bersifat sosial. Namun, sejak

berlakunya Undang-Undang Dana Pensiun, dana pensiun hanya diperkenankan

menyelenggarakan program pensiun saja dan tidak diperkenankan menyelenggarakan

program di luar program pensiun apapun nama dan bentuknya98.

98 Zulaini Wahab, 2005, Op. Cit, hal 23-24.

101

Agar menjamin bahwa dana pensiun benar-benar menyelenggarakan program

pensiun dan tidak menyelenggarakan program lain di luar program pensiun,

perundang-undangan di bidang dana pensiun melakukan pembatasan dengan

menetapkan hal-hal sebagai berikut :

a. Setiap pembentukan dana pensiun wajib mendapatkan pengesahan Menteri

Keuangan. Pengesahan pembentukan dana pensiun dilakukan melalui

pengesahan atas peraturan dana pensiun dari dana pensiun yang

bersangkutan (Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Dana Pensiun)99. Data 1.4.3

menyebutkan bahwa pendirian Dana Pensiun PLN berdasarkan Keputusan

Menteri Keuangan RI Nomor KEP-40/KM.10/2009 tanggal 23 Maret

2009. Berdasarkan data tersebut, Dana Pensiun PLN dalam pendiriannya

telah sesuai dengan ketentuan tersebut.

b. Peraturan dana pensiun dari suatu dana pensiun hanya dapat menjadi dasar

penyelenggaraan satu jenis program pensiun (Pasal 5 ayat 1 Peraturan

Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992)100. Berdasarkan PDP-PLN 2011, Dana

Pensiun PLN hanya menjalankan Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP)

(data 1.4.3.1). Hal ini berarti, dalam menjalankan program pensiunnya,

Dana PLN telah mengikuti peraturan perundangan yang berlaku.

c. Dana pensiun tidak diperkenankan melakukan pembayaran apa pun,

kecuali pembayaran yang ditetapkan dalam peraturan dana pensiun (Pasal

31 ayat 1 Undang-Undang Dana Pensiun)101. Data 1.4.3.5 telah sesuai

dengan ketentuan peraturan ini.

99 Ibid, hal 25. 100 Ibid. 101 Ibid.

102

d. Dalam peraturan dana pensiun harus dicantumkan biaya yang merupakan

beban dana pensiun (Pasal 4 huruf q Peraturan Pemerintah Nomor 76

Tahun 1992)102. Data 1.4.3.5 juga telah sesuai dengan ketentuan peraturan

tersebut.

Mengenai syarat kepesertaan dana pensiun pada Dana Pensiun Pemberi Kerja

(DPPK), Pasal 19 Undang-Undang Dana Pensiun menyebutkan bahwa yang berhak

menjadi peserta dana pensiun adalah:

a. setiap karyawan pendiri dan mitra pendiri (bila ada);

b. yang memenuhi syarat kepesertaan (dalam Dana Pensiun yang didirikan

oleh pemberi kerja);

c. berusia minimal 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;

d. dan telah memiliki masa kerja sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.103

Berdasarkan data 1.4.3.2, syarat kepesertaan Dana Pensiun PLN telah sesuai

dengan Pasal 19 Undang-Undang Dana Pensiun.

Kepesertaan peserta dana pensiun pemberi kerja dimulai sejak tanggal

terdaftar sebagai peserta dan berakhir apabila peserta meninggal dunia atau pensiun,

berhenti bekerja dengan mengalihkan haknya ke dana pensiun lain atau berhenti

bekerja sebelum masa kepesertaannya kurang dari tiga tahun104. Data 1.4.3.3 tentang

mulai dan berakhirnya kepesertaan Dana Pensiun PLN, telah sesuai dengan

ketentuan tersebut.

102 Ibid. 103 Ibid, hal 86. 104 Ibid, hal 87.

103

Hak-hak peserta Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), adalah sebagai berikut:

a. Memperoleh manfaat pensiun normal, atau manfaat pensiun cacat, atau

manfaat pensiun dipercepat, atau manfaat pensiun ditunda sesuai dengan

peraturan dana pensiun.

b. Memperoleh salinan mengenai hasil pengawasan dewan pengawas atas

pengelolaan dana pensiun yang dilakukan oleh pengurus.

c. Memperoleh keterangan dari pengurus mengenai neraca dan perhitungan

hasil usaha dana pensiun serta perkembangan portofolio investasi dan

hasilnya, minimal enam bulan sekali.

d. Menunjuk pihak yang ditunjuk menerima dana peserta apabila peserta

meninggal dunia dan tidak mempunyai istri/suami dan anak.

e. Menyampaikan saran dan pendapat kepada pendiri, dewan pengawas, dan

pengurus mengenai perkembangan portofolio investasi dan hasilnya. 105

Kewajiban peserta Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), adalah sebagai

berikut:

a. Menyatakan kesediaannya untuk dipotong gajinya guna membayar iuran

(apabila peserta diwajibkan membayar iuran).

b. Membayar iuran peserta (apabila peserta diwajibkan membayar iuran).

c. Memberikan data kepesertaan yang diperlukan oleh pengurus.

d. Mendaftarkan istri/suami dan anak serta melaporkan kepada pengurus

setiap terjadi perubahan susunan anggota keluarga.

105 Ibid.

104

e. Menaati peraturan dana pensiun yang bersangkutan.106

Data 1.4.3.4 tentang hak dan kewajiban peserta Dana Pensiun PLN telah

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di atas.

Iuran yang dilakukan oleh Dana Pensiun PLN menurut data 1.4.3.6 adalah

iuran peserta dan iuran pemberi kerja, hal ini telah sesuai dengan ketentuan pasal 15

ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun yang

menyebutkan bahwa iuran dana pensiun pemberi kerja berupa:

a. Iuran pemberi kerja dan peserta; atau

b. Iuran pemberi kerja

Besarnya iuran pemberi kerja yang dibayarkan oleh PT PLN (Persero) kepada

Dana Pensiun PLN sesuai dengan nilai aktuaria. Peraturan pembayaran tersebut juga

telah sesuai dengan pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang

Dana Pensiun, yang menggunakan penghitungan iuran bagi pemberi kerja

berdasarkan pada laporan aktuaria. Dalam hal penyetoran yang terdapat pada data

1.4.3.6 juga telah sesuai dengan pasal 17 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 11

Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, yang intinya penyetoran dilakukan selambat-

lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya dan iuran yang belum disetor setelah

melewati dua setengah bulan sejak jatuh tempo dinyatakan sebagai utang atau

piutang.

Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) adalah program pensiun yang

menjanjikan pembayaran manfaat pensiun kepada peserta yang besarnya manfaat

pensiun telah ditetapkan secara pasti di dalam peraturan dana pensiun (Pasal 1 angka

106 Ibid, hal 88.

105

(7) Undang-Undang Dana Pensiun). Dengan perkataan lain, besarnya manfaat

pensiun yang akan diterima peserta (setelah pensiun) telah ditentukan secara pasti

dalam bentuk rumus yang tercantum dalam peraturan dana pensiun107. Data 1.4.3.7

telah sesuai dengan ketentuan ini.

Peserta yang mengikuti Dana Pensiun PLN akan mendapatkan manfaat

pensiun (data 1.4.3.8), manfaat pensiun yang diberikan tersebut telah sesuai dengan

pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun,

bahwa peserta yang memenuhi persyaratan berhak atas manfaat pensiun normal, atau

manfaat pensiun cacat, atau manfaat pensiun dipercepat, atau manfaat pensiun

ditunda.

107 Ibid, hal 87.

106

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Hak-hak yang diberikan bagi pensiunan di PT PLN (Persero) Rayon

Purbalingga adalah sebagai berikut :

a. Penghargaan

Penghargaan yang dimaksud adalah sebagai uang pesangon, uang

penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Pegawai yang

mempunyai masa kerja 1 – 15 tahun, penghargaan per tahun masa kerja

diberikan sebesar 1 kali penghasilan bulan terakhir. Sedangkan untuk

pegawai yang mempunyai masa kerja ke 16 tahun dan seterusnya,

penghargaan per tahun masa kerja diberikan sebesar 2 kali penghasilan

bulan terakhir.

b. Pemeliharaan Kesehatan

Pelaksanaan pemeliharaan kesehatan ini mengikuti ketentuan yang ada di

Perjanjian Kerja Bersama, yang pada intinya pelaksanaan pemeliharaan

kesehatan bagi pensiunan PT PLN (Persero) ini sama dengan saat mereka

masih bekerja.

c. Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP)

Program ini diselenggarakan oleh Dana Pensiun PLN yang kepesertaanya

bersifat sukarela (tidak wajib). Pekerja yang mengikuti program ini dikenai

iuran setiap bulan sebesar 6%, sedangkan iuran bagi pemberi kerja

tergantung pada nilai aktuaria (Berdasarkan Surat Keputusan Direksi PT

107

PLN (Persero) Selaku Pendiri Dana Pensiun PT PLN (Persero) Nomor

219.K/DIR/2011, besar Iuran Pemberi Kerja perbulan adalah 11,21% dari

Penghasilan Dasar Pensiun).

PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga belum mengikutkan pegawainya pada

program Jaminan Hari Tua (JHT) yang diselenggarakan oleh PT Jamsostek.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disimpulkan bahwa PT PLN

(Persero) Rayon Purbalingga belum memberikan perlindungan hukum bagi

pensiunannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, serta

Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program

Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

B. Saran

PT PLN (Persero) hendaknya memenuhi hak pegawainya dengan

mengikutsertakan pegawainya pada program Jaminan Hari Tua (JHT) yang

diselenggarakan oleh PT Jamsostek sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial

Tenaga Kerja, serta Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang

Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (yang telah diubah sebanyak

8 kali, perubahan terakhir peraturan pemerintah ini yaitu Peraturan Pemerintah

Nomor 53 Tahun 2012) sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut.

108

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Asikin, Zainal, dkk, 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Asyhadie, Zaeni, 2007, Hukum Kerja, Jakarta : PT Raja Grafindo.

______________2008, Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, Jakarta : Rajawali Press.

Hamzah, Andi 1990, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta :

Rineka Cipta. Husni, Lalu, 2006, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Edisi Revisi),

Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Khakim, Abdul, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Edisi

Revisi), Bandung : PT Citra Aditya Bakti. Manulang, Sundjung H, 1998, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan,

Jakarta:Rineka Cipta. Panduan Peraturan Dana Pensiun (PDP) 2011 Dana Pensiun PT PLN. Prinst, Darwan, 1994, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung : PT Citra

Aditya Bakti. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1999, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Jakarta: Ghalia Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Wahab, Zulaini, 2001, Dana Pensiun dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di

Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti. _____________2005. Segi Hukum Dana Pensiun, Jakarta : PT Raja Grafindo.

109

B. Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37).

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133). Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun Pemberi

Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120). Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program

Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20).

Perjanjian Kerja Bersama antara PT PLN (Persero) dengan Serikat Pekerja PT

PLN (Persero) Periode Tahun 2010 – 2012. Peraturan Dana Pensiun (PDP) PT PLN (Persero) 2011.

C. Sumber lain

Lourenco Gusmao, 2011, Peranan SDA dan SDM terhadap Pembangunan Ekonomi, http://dodogusmao.wordpress.com. Diakses pada tanggal 16 April 2012.

http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php. Diakses pada tanggal 30 September 2011.