skripsifh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/nova sagita setya... · listrik bagi...
TRANSCRIPT
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNAN
DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA
KEMENTERIAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNAN
DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA
SKRIPSI
Oleh :
NOVA SAGITA SETYA WIWAHA
E1A006228
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNAN
DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA
DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNAN
DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan
Memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Oleh :
NOVA SAGITA SETYA WIWAHA
E1A006228
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
3
PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNAN
DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA
Oleh :
NOVA SAGITA SETYA WIWAHA
E1A006228
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
Memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Diterima dan disahkan
Pada tanggal............................
Pembimbing I/ Pembimbing II/ Penguji III
Penguji I Penguji II
Sutikno, S.H. Bambang Heryanto, S.H., M.H Sunarto, S.H.
NIP.194807041980031001 NIP.195610091987021001 NIP.194911111980031001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., MS
NIP. 195206031980032001
4
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Bila peryataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Isi skripsi merupakan tanggung jawab pribadi penulis, bukan tanggung jawab
pembimbing ataupun lembaga-lembaga yang terkait.
Purwokerto, Juli 2012
Nova Sagita Setya Wiwaha
NIM E1A006228
5
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T atas limpahan
rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi tepat dengan
judul “Perlindungan Hukum Bagi Pensiunan di PT PLN (Persero) Rayon
Purbalingga”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Penulis berusaha semaksimal mungkin agar dapat menyusun skripsi ini
dengan baik. Berbagai hambatan baik data dan literatur merupakan tantangan yang
harus dihadapi penulis. Namun berkat bantuan, dukungan, masukan serta saran dari
berbagai pihak sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H., MS, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Bapak Sutikno, S.H., selaku Dosen Pembimbing I, dan Bapak Bambang
Heryanto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, petunjuk dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Sunarto, S.H., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan
masukan demi penyempurnaan skripsi ini.
4. Bapak Mukhsinun, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang
selalu memberikan pengarahan dalam pengambilan mata kuliah.
5. Bapak Teguh Subagyo Manager PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga yang
telah memberikan ijin penelitian, serta Ibu Sri dan Bapak Setyadi yang telah
membantu selama proses penelitian.
6
6. Ibu dan Bapak tercinta yang selalu mendoakan saya serta memberikan
semangat agar terus menyelesaikan kuliah dan skripsi saya ini.
7. Wiwit Gunawan S.P. dan Tri Anita Setya Ardany, S.H., kakak-kakak saya
yang telah banyak sekali membantu, memberikan semangat dan arahan pada
saya.
8. Semua pihak yang belum disebutkan dan telah membantu penulis dalam
penyusunan skripsi, semoga bantuan yang telah diberikan akan menjadi
pahala.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Namun
demikian, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak-
pihak yang membutuhkannya.
Purwokerto, Juli 2012
Penulis
7
ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENSIUNAN
DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA
Nama : Nova Sagita Setya Wiwaha
NIM : E1A006228
PT PLN (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
mengurusi ketenagalistrikan di Indonesia, berkewajiban untuk menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum dengan tetap memperhatikan tujuan perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan. Kewajiban tersebut dapat dilaksanakan secara baik jika para pekerjanya memiliki sikap yang profesional dan mampu memberikan pelayanan secara maksimal. Agar para pekerja memiliki sikap yang profesional dan bekerja secara maksimal, maka perusahaan harus memberikan hak-hak yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Salah satu bentuk hak pekerja yang dilindungi oleh hukum adalah penghargaan terhadap pekerja. Penghargaan terhadap pekerja ini dapat diberikan sebagai hak pekerja setelah seorang pekerja tidak lagi bekerja atau telah memasuki masa pensiun.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi pensiunan di PT PLN (Persero) dan juga untuk mengetahui apakah PT PLN (Persero) telah melaksanaan perlindungan hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa PT PLN (Persero) belum memberikan perlindungan hukum bagi pensiunannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kata kunci : perlindungan hukum, pensiun, pensiunan
8
ABSTRACT
PT PLN (Persero) is a State Owned Enterprises (SOEs), which deal with aspects of electricity in Indonesia, is obliged to provide electricity to the public interest by considering the objectives of the company that is making a profit. Such liability can be carried out either if the workers have a professional attitude and ability to provide service to the fullest. That workers have a professional attitude and work optimally, it must grant the rights in accordance with applicable regulations.
One form of workers' rights are protected by law is the reward. The reward can be given as the right of workers after a worker is no longer working or pension.
This study uses a normative juridical approach. The purpose of this study was to determine the form of legal protection for retirees in PT PLN (Persero) and also to determine whether PT PLN (Persero) has been carrying out legal protection in accordance by Act No. 3 of 1992 on Labor Social Security and Act No. 11 of 1992 on the Pension Fund.
The results of this study indicate that PT PLN (Persero) have not provided legal protection for retirees in accordance with the laws and regulations. keywords : legal protection, pension, retirees
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN…….………………………………………….. ii
PERNYATAAN…………………………………………………………….… iii
KATA PENGANTAR…………………………..……………………………. v
ABSTRAK…....………………………………….…………………………… vi
ABSTRACT…………………………………..………………………………. vii
DAFTAR ISI………………………………………………..……………........ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 10
B. Rumusan Masalah………………………………..……………….…… 10
C. Tujuan Penelitian…………………………………..……………….….. 10
D. Kegunaan Penelitian…………………………………………..……….. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Ketenagakerjaan………………..………………………….… 11
1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan……………………..……… 11
2. Sumber Hukum Ketenagakerjaan……….……………………...… 14
3. Pihak-Pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan………….………… 16
B. Hubungan Kerja…………………………………………………...….. 22
1. Perjanjian Kerja Sebagai Dasar Hubungan Kerja……...……… 22
2. Pengertian Hubungan Kerja…………………………….……… 26
3. Putusnya Hubungan Kerja……………………..…………….…... 28
C. Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan………………………….….… 33
10
1. Pengertian Perlindungan Hukum Tenaga Kerja………………..… 33
2. Perlindungan Secara Ekonomis Bagi Tenaga Kerja……………… 35
3. Perlindungan Hukum Bagi Pensiunan………………….…....….…37
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan…………………………………………………… 42
B. Spesifikasi Penelitian…………………………………………..……… 42
C. Lokasi Penelitian…………………………………………………….… 43
D. Sumber Data………..……………………………………………….… 43
E. Metode Pengumpulan Data…………………………………………… 44
F. Metode Penyajian Data……………………………………………..… 44
G. Metode Analisis Data………………………………………….……… 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian…………………………………………………...…… 46
B. Pembahasan…………………………………………………………… 85
BAB V PENUTUP
A. Simpulan……………………………………………………………… 96
B. Saran………………………………………......…….......……….….… 97
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan suatu negara memerlukan aspek pokok yang disebut dengan
sumber daya (resources), baik sumber daya alam (natural resources) maupun
sumber daya manusia (human resources). Kedua sumber daya ini sangat penting
dalam menentukan keberhasilan pembangunan. Sejarah menunjukkan bahwa negara
yang bisa mencapai kemakmuran adalah negara yang berhasil memanfaatkan sumber
daya yang dimilikinya1.
Sumber daya alam merupakan salah satu aset negara yang meliputi tanah dan
kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim atau cuaca, hasil hutan,
tambang dan hasil laut yang sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu
negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sumber daya alam
yang melimpah dan berpotensi tinggi sangat mendukung pembangunan ekonomi
suatu negara. Indonesia sendiri memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah.
Salah satu sumber daya alam yang dimiliki Indonesia yaitu tenaga listrik2.
Tenaga listrik merupakan suatu bentuk energi sekunder yang sudah menjadi
kebutuhan primer masyarakat modern saat ini, ditandai dengan ketergantungan
masyarakat pada tenaga listrik dalam aktifitas sehari-hari, baik di rumah, di kantor,
maupun pada proses industri yang kesemuanya sangat tergantung pada tenaga listrik.
1 Lourenco Gusmao, 2011, Peranan SDA dan SDM terhadap Pembangunan Ekonomi,
http://dodogusmao.wordpress.com. Diakses tanggal 16 April 2012. 2 Ibid.
12
Tenaga listrik, sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam, mempunyai
peranan penting bagi negara dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional.
Pembangunan sektor ketenagalistrikan bertujuan untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan tujuan
pembangunan nasional, yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 3.
Mengingat arti penting tenaga listrik bagi negara dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang dan sejalan dengan ketentuan dalam
Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan menyatakan
bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat yang penyelenggaraannya dilakukan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan
usaha penyediaan tenaga listrik4.
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang dalam penelitian selanjutnya
disebut PT PLN (Persero), adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
mengurusi aspek kelistrikan yang ada di Indonesia. Awalnya PT PLN (Persero)
merupakan Perum (Perusahaan Umum) Listrik Negara yang didirikan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1990, kemudian dialihkan bentuknya
3 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan. 4 Ibid.
13
menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 1994.
Sebagai sebuah perusahaan, PT PLN (Persero) juga mempunyai kewajiban-
kewajiban yang sama dengan perusahaan atau pengusaha lainnya dalam hal
memenuhi hak-hak pekerjanya sesuai dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan.
Hak-hak pekerja, antara lain:
a. Atas upah setelah selesai melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian. b. Atas fasilitas lain, dana bantuan dan lain-lain yang berlaku di perusahaan. c. Atas perlakuam yang tidak diskriminatif dari pengusaha. d. Atas perlindungan keselamatan kerja, kesehatan, kematian dan penghargaan. e. Atas kebebasan berserikat dan perlakuan HAM dalam hubungan kerja 5. PT PLN (Persero) berkewajiban untuk menyediakan tenaga listrik bagi
kepentingan umum dengan tetap memperhatikan tujuan perusahaan yaitu
menghasilkan keuntungan. Kewajiban tersebut dapat dilaksanakan secara baik jika
para pekerja PT PLN (Persero) memiliki sikap yang profesional dan mampu
memberikan pelayanan yang maksimal.
Pelayanan ini sangat berkaitan dengan kualitas dari para pekerja yang ada di
PT PLN (Persero). Agar para pekerja memiliki sikap yang profesional dan bekerja
secara maksimal, maka perusahaan harus memberikan hak-hak yang sesuai dengan
peraturan yang ada atau sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh
para pihak yang terkait.
Hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur atau memuat hak dan
kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. Takaran hak dan kewajiban
masing-masing pihak haruslah seimbang. Dalam konteks hubungan kerja, kewajiban
5 Zainal Asikin, dkk, 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, hal 53.
14
para pihak berlangsung secara timbal balik. Artinya, kewajiban pengusaha
merupakan hak pekerja atau buruh dan sebaliknya kewajiban pekerja atau buruh
merupakan hak pengusaha6.
Pasal 1 angka (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Sedangkan pengertian perjanjian kerja
disebutkan dalam Pasal 1 angka (14) yaitu suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
Peraturan perundang-undangan telah memberikan perlindungan hukum bagi
pekerja berupa perlindungan keselamatan kerja, kesehatan, kematian dan
penghargaan. Penghargaan dapat diberikan sebagai hak pekerja setelah seorang
pekerja tidak lagi bekerja atau telah memasuki masa pensiun. Pekerja yang telah
mengabdi dan menyumbangkan tenaga ataupun pikirannya bagi kemajuan
perusahaannya dalam kurun waktu yang tidak sedikit, berhak atas penghidupan yang
layak atau mendapat penghargaan yang dapat membantunya setelah memasuki masa
pensiun. Pensiun, artinya tidak bekerja lagi karena masa tugasnya selesai. Sedangkan
pensiunan berarti karyawan yang sudah pensiun7.
Menurut Zulaini Wahab perkembangan pemberian pensiun atau tunjangan hari
tua diawali sejak tahun 1939, ketika sejumlah buruh yang mencari nafkah pada
perusahaan besar, baik dari segi kapasitas produksinya maupun keuntungannya, telah
6 Abdul Khakim, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Edisi Revisi), Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hal 46-47.
7 http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php. Diakses tanggal 30 September 2011.
15
berani menuntut nasib agar mereka diberikan jaminan hari tua dan pensiun sebagai
kesinambungan penghasilan apabila kelak tidak bekerja lagi karena usia tua. Melalui
upaya tersebut, kaum buruh yakin bahwa mereka akan memperoleh tingkat
kesejahteraan yang baik karena paling sedikit perusahaan harus memberikan
kenaikan penghasilan dengan membayar iuran dalam program pensiun atau program
kesejahteraan hari tua yang diikutinya. Karena tuntutan tersebut demikian gencarnya
sehingga apabila tidak dipenuhi, pengusaha khawatir dapat berakibat pada
kelangsungan jalannya perusahaan, pada akhirnya perusahaan menerima tuntutan
buruh untuk memberikan peningkatan kesejahteraan hidup dengan membentuk
jaminan hari tua8.
Lebih lanjut pada tingkat yang sederhana, perusahaan menyelenggarakan
program pensiun dengan membentuk cadangan pensiun (book reserve) atau
membebankannya pada biaya perusahaan (pay as you go) untuk pembayaran pensiun
bagi buruh yang berhenti bekerja pada usia pensiun. Pada tingkat yang lebih maju,
perusahaan mendirikan yayasan sebagai wadah untuk menyelenggarakan program
pensiun bagi karyawannya. Kelembagaan yayasan tersebut terpisah dari perusahaan
pendiri yayasan tersebut9.
Indonesia memiliki dua pengaturan pokok yang berkaitan dengan perlindungan
masa pensiun atau hari tua bagi pekerja yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun.
8 Zulaini Wahab, 2005, Segi Hukum Dana Pensiun, Jakarta: PT Raja Grafindo, hal 3. 9 Ibid.
16
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992 memiliki pengertian suatu perlindungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan
yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan
yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari
tua, dan meninggal dunia.
Pada dasarnya program ini menekankan pada perlindungan bagi tenaga kerja
yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih lemah. Oleh karena itu pengusaha
memikul tanggung jawab utama, dan secara moral pengusaha mempunyai kewajiban
untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja, di samping itu,
sudah sewajarnya apabila tenaga kerja juga berperan aktif dan ikut bertanggung
jawab atas pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja demi terwujudnya
perlindungan tenaga kerja dan keluarganya dengan baik10.
Sudah menjadi kodrat, bahwa manusia itu berkeluarga dan berkewajiban
menanggung kebutuhan keluarganya. Oleh karenanya, kesejahteraan yang perlu
dikembangkan bukan hanya bagi tenaga kerja sendiri, tetapi juga bagi keluarganya
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas, yang harus
tetap terpelihara termasuk pada saat tenaga kerja kehilangan sebagian atau seluruh
penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko sosial antara lain kecelakaan
kerja, sakit, meninggal dunia, dan hari tua11.
Dalam rangka menciptakan landasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
perlindungan tenaga kerja, undang-undang ini mengatur penyelenggaraan jaminan
10 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
11 Ibid.
17
sosial tenaga kerja sebagai perwujudan pertanggungan sosial sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan12.
Hari tua adalah umur pada saat produktivitas pekerja menurun, sehingga perlu
diganti dengan pekerja yang lebih muda. Termasuk dalam penggantian ini adalah
jika tenaga kerja tersebut cacat tetap dan total 13.
Sementara jaminan hari tua adalah santunan berupa uang yang dibayarkan
secara sekaligus atau berkala atau sebagian dan berkala kepada tenaga kerja karena
telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun atau cacat total tetap setelah
ditetapkan oleh dokter 14.
Program Jamsostek diselenggarakan oleh negara, tetapi pelaksanaannya
dilakukan oleh Badan Penyelenggara yang ditunjuk. Dalam hal ini Menteri yang
bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan melimpahkan tugas dan
wewenang penyelenggaraan program tersebut kepada Badan Penyelenggara yang
ditunjuk itu.
Badan Penyelenggara yang ditunjuk tersebut adalah Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut melaksanakan fungsi dan
tugasnya dengan mengutamakan pelayanan kepada peserta dalam peningkatan
perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja beserta keluarganya15.
12 Ibid. 13 Lalu Husni, 2006, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, hal 167. 14 Zulaini Wahab, 2001, Dana Pensiun dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia,
Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hal 144. 15 Ibid, hal 146.
18
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan
Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, telah ditetapkan
Perusahaan Perseroan PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja disingkat PT Jamsostek
(sebelumnya bernama PT Asuransi Sosial Tenaga Kerja disingkat PT Astek), sebagai
Badan Penyelenggara tunggal Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja16.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun mengatur
kelembagaan dan pelaksanaan dana pensiun bagi perusahaan yang mendirikan
yayasan atau lembaga dana pensiun karena pada prakteknya pelaksanaan jaminan
hari tua atau pensiun dapat pula dilaksanakan oleh lembaga dana pensiun atau
lembaga keuangan lainnya. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan
menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun (Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1992).
Sistem pendanaan suatu program pensiun memungkinkan terbentuknya
akumulasi dana, yang dibutuhkan untuk memelihara kesinambungan penghasilan
peserta program pada hari tua. Keyakinan akan adanya kesinambungan penghasilan
menimbulkan ketentraman kerja, sehingga akan meningkatkan motivasi kerja
karyawan yang merupakan iklim yang kondusif bagi peningkatan produktivitas.
Dalam dimensi yang lebih luas, akumulasi dana yang terhimpun dari
penyelenggaraan program pensiun merupakan salah satu sumber dana yang
diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan nasional yang
berlandaskan kemampuan sendiri. Hal ini sejalan dengan salah satu arah dan
kebijaksanaan pembangunan jangka panjang, yakni peningkatan dan pengembangan
16 Ibid, hal 147.
19
sumber-sumber dana pembangunan yang berasal dari dalam negeri secara optimal,
baik dari pemerintah maupun masyarakat17.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Dana Pensiun, selama lebih kurang tujuh
puluh tahun, program pensiun diselenggarakan berdasarkan Arbeidersfondsen
Ordonnantie (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 377). Arbeidersfondsen Ordonnantie
merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1601 s bagian kedua KUH
Perdata. Pada dasarnya Pasal 1601 s KUH Perdata mengatur tentang perlindungan
hukum bagi kaum pekerja18.
Setelah berlakunya Undang-Undang Dana Pensiun, kelembagaan dana pensiun
diakui sebagai badan hukum, ini berarti pula menambah khazanah perbendaharaan
istilah tentang lembaga badan hukum di Indonesia, di samping badan hukum yang
telah ada seperti perseroan terbatas (PT) dan koperasi, memberikan jaminan
kepastian penyelenggaraan program pensiun setelah berlakunya Undang-Undang
Dana Pensiun. Adanya komitmen Undang-Undang Dana Pensiun untuk menjadikan
dana pensiun bebas dari praktik-praktik yang dapat merugikan kepentingan peserta,
semakin memberikan jaminan kepastian penyelenggaraan program pensiun19.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengkaji dan melakukan
penelitian dengan mengambil judul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
PENSIUNAN DI PT PLN (PERSERO) RAYON PURBALINGGA”
17 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
18 Zulaini Wahab, 2005, Op. Cit, hal 4. 19 Ibid, hal 20.
20
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang yang telah dibahas sebelumnya,
yaitu “Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi pensiunan dalam Perjanjian
Kerja Bersama di PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi
pekerja yang telah memasuki masa pensiun di PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara teoritis
Secara teoritis penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan mengenai
perlindungan hukum dalam bidang ketenagakerjaan khususnya mengenai
perlindungan hukum bagi pekerja yang memasuki masa pensiun.
2. Secara praktis
Hasil penelitian juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pelaku bisnis,
pimpinan BUMN, maupun para praktisi lainnya yang berhubungan dengan
ketengakerjaan dalam hal pekerja yang memasuki masa pensiun.
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Ketenagakerjaan
1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
Sebelum menjelaskan pengertian tentang hukum ketenagakerjaan, penulis
akan menjelaskan pengertian tentang hukum perburuhan terlebih dahulu. Dulu
hukum ketenagakerjaan disebut hukum perburuhan atau dalam bahasa Belanda
disebut arbeidrechts. Kata “perburuhan” sendiri berasal dari kata “buruh”, yang
secara etimologis dapat diartikan dengan keadaan memburuh, yaitu keadaan
dimana seseorang buruh bekerja pada orang lain (pengusaha)20.
Para ahli hukum mengartikan hukum perburuhan secara berbeda-beda.
Berikut ini adalah pengertian hukum perburuhan menurut beberapa ahli hukum:
a. Molenaar
Menurut Molenaar dalam Asikin menyebutkan bahwa hukum
perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku yang pada pokoknya
mengatur hubungan antara pekerja dan pengusaha, antara pekerja dan
pekerja serta antara pekerja dan penguasa21.
b. M.G. Levenbach
M.G. Levenbach dalam Manulang menyebutkan bahwa hukum
perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, di
mana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan
20 Zaeni Asyhadie, 2007, Hukum Kerja, Jakarta: PT Raja Grafindo, hal.1 21 Abdul Khakim, Op. Cit, hal 4.
22
penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja
itu22.
c. Mok
Mok dalam Kansil menyebutkan bahwa hukum perburuhan
adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di
bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang
langsung bergantung dengan pekerjaan itu23.
d. Iman Soepomo
Menurut Imam Soepomo dalam Manulang menyebutkan bahwa
hukum perburuhan adalah himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis
maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana
seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah 24.
Hukum ketenagakerjaan menurut Darwan Prints adalah sekumpulan
peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja/organisasi pekerja
dengan majikan atau pengusaha/organisasi majikan dan pemerintah, termasuk di
dalamnya adalah proses-proses dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan untuk
merealisasikan hubungan tersebut menjadi kenyataan25.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa ketenagakerjaan adalah segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa
kerja.
22 Ibid. 23 Ibid, hal 5. 24 Ibid. 25 Darwan Prints, 1994, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya
Bakti, hal 1.
23
Menurut Abdul Khakim, istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang
amat luas dan untuk menghindarkan adanya kesalahan persepsi terhadap
penggunaan istilah lain yang kurang sesuai dengan tuntutan perkembangan
hubungan industrial maka istilah ketenagakerjaan lebih tepat digunakan dibanding
dengan istilah hukum perburuhan. Hal ini juga sejalan dengan penamaan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bukan Undang-Undang
Perburuhan26.
Abdul Khakim juga menyatakan bahwa hukum ketenagakerjaan memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis, 2. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan
pengusaha/majikan, 3. Adanya orang bekerja pada dan di bawah orang lain, dengan
mendapatkan upah sebagai balas jasa, 4. Mengatur perlindungan pekerja atau buruh, meliputi masalah
keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/buruh dan sebagainya27.
Berdasarkan pengertian ketenagakerjaan tersebut dapat dirumuskan
pengertian hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan
dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan
sesudah hubungan kerja. Jadi pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas dari
hukum perburuhan yang selama ini kita kenal yang ruang lingkupnya hanya
berkenaan dengan hubungan hukum antara buruh dengan majikan dalam
hubungan kerja saja28.
26 Abdul Khakim, Op. Cit, hal 6. 27 Ibid, hal 6. 28 Lalu Husni, Op. Cit, hal 24.
24
2. Sumber Hukum Ketenagakerjaan
Sumber hukum menurut Halim ialah segala sesuatu yang menimbulkan
atau melahirkan hukum. Sumber hukum itu sendiri dibedakan menjadi dua
macam, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum
formil adalah sumber-sumber hukum yang memiliki bentuk-bentuk (formal)
tersendiri yang secara yuridis telah diketahui/berlaku umum. Sedangkan sumber
hukum materiil adalah sumber-sumber yang melahirkan isi (materiil) suatu hukum
sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung29.
Dalam bukunya Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Darwan Prinst
menyebutkan bahwa secara umum sumber hukum terdiri dari 30:
1. Undang-undang 2. Adat atau Kebiasaan 3. Yurisprudensi 4. Doktrin (Pendapat para sarjana) 5. Agama
Menurut Budiono, sumber-sumber hukum ketenagakerjaan terdiri atas31:
1. Perundang-undangan; 2. Kebiasaan; 3. Keputusan; 4. Traktat; dan 5. Perjanjian.
Sedangkan Shamad berpendapat bahwa sumber hukum ketenagakerjaan
terdiri atas32:
1. Peraturan perundangan (undang-undang dalam arti materiil dan formil);
2. Adat dan kebiasaan; 3. Keputusan pejabat atau badan pemerintah;
29 Abdul Khakim, Op. Cit, hal 17. 30 Darwan Prinst, Op. Cit, hal 2. 31 Abdul Khakim, Op. Cit, hal 18. 32 Ibid.
25
4. Traktat; 5. Peraturan kerja (yang dimaksud adalah peraturan perusahaan); dan 6. Perjanjian kerja, perjanjian perburuhan, atau kesepakatan kerja
bersama (KKB).
Selain kedua pendapat tersebut, Wahab dalam Asikin menambahkan
bahwa doktrin/pendapat para ahli hukum juga merupakan sumber hukum
ketenagakerjaan. Mengingat pendapat para ahli dapat dipergunakan sebagai
landasan untuk memecahkan masalah-masalah perburuhan, baik langsung maupun
tidak langsung33.
Abdul Hakim sependapat jika agama juga termasuk sumber hukum
ketenagakerjaan, mengingat terdapatnya kemungkinan pemecahan masalah
ketenagakerjaan melalui pendekatan ajaran agama yang dianutnya. Jika adat dan
kebiasaan bisa menjadi sumber hukum ketenagakerjaan, apalagi agama yang
dianut dan menjadi keyakinan dalam hidup dan kebiasaan para pihak34.
Dari pendapat para sarjana tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa secara
lengkap sumber hukum ketenagakerjaan adalah :
1. Undang-undang; 2. Adat dan kebiasaan; 3. Agama; 4. Keputusan pejabat/badan pemerintah atau lembaga ketenagakerjaan; 5. Yurisprudensi; 6. Doktrin; 7. Traktat; 8. Perjanjian kerja; dan 9. Peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.35
33 Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid, hal 19.
26
3. Pihak-Pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan
Dalam praktek sehari-hari ada beberapa kelompok yang terkait
sehubungan ketenagakerjaan, seperti Pekerja, Pengusaha, Organisasi Pekerja,
Organisasi Pengusaha dan Pemerintah36. Berikut adalah uraian mengenai pihak-
pihak yang terkait dalam hukum ketenagakerjaan tersebut.
a. Pekerja/buruh/karyawan
Dalam kehidupan sehari-hari masih terdapat beberapa peristilahan
mengenai Pekerja. Misalnya ada yang menyebutnya Buruh, Karyawan atau
Pegawai. Namun sesungguhnya dapat dipahami, bahwa maksud dari semua
peristilahan tersebut adalah sama; yaitu orang yang bekerja pada orang lain dan
mendapat upah sebagai imbalannya 37.
Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan,
selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai zaman penjajahan
Belanda juga kerena peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) menggunakan istilah
Buruh. Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah
pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar,
orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”. Sedangkan yang melakukan
pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut sebagai
“Karyawan/Pegawai” (White Collar). Pembedaan yang membawa konsekuensi
36 Darwan Prinst, Op. Cit, hal 22. 37 Ibid.
27
pada perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak terlepas dari
upaya memecah belah orang-orang pribumi38.
Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus
dan buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada
orang maupun badan hukum disebut buruh39.
Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh
diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh
pemerintah (Depnaker) pada waktu kongres FSBI II Tahun 1985. Alasan
pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh
lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada di
bawah pihak lain yakni majikan40.
Menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih
luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik
perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk apapun41.
Untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan kerja dalam perlindungan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1992, pengertian “pekerja” diperluas yakni termasuk :
38 Lalu Husni, Op. Cit, hal 33. 39 Ibid. 40 Ibid, hal 34. 41 Ibid, hal 35.
28
1. magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak;
2. mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan;
3. narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.42
b. Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Organisasi pekerja/serikat pekerja, merupakan organisasi yang dibentuk
dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun di luar perusahaan,
yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya (Pasal 1 angka
(17) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).
Pekerja/buruh sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan
dalam hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,
mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta mendirikan dan
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh43.
Hak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak asasi
pekerja/buruh yang telah dijamin dalam Pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar
1945. Demikian pula telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk
Berorganisasi, dan Konvensi ILO No. 98 mengenai berlakunya Dasar-dasar untuk
Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama. Kedua konvensi tersebut dapat
42 Ibid. 43 Zaeni Asyhadie, Op.Cip, hal 22.
29
dijadikan dasar hukum bagi pekerja/buruh untuk berorganisasi dengan mendirikan
serikat pekerja/serikat buruh44.
c. Pengusaha
Berdasarkan perkembangan zaman dan konsep hubungan industrial
Pancasila, maka istilah “majikan” dianggap sudah tidak sesuai lagi sebagaimana
penggantian istilah “buruh” menjadi pekerja. Istilah “majikan” berkonotasi
sebagai pihak yang selalu berada di atas sebagai lawan atau kelompok penekan
dari buruh. Padahal antara buruh dan majikan secara yuridis merupakan mitra
kerja yang mempunyai kedudukan yang sama. Oleh sebab itu, lebih tepat jika
disebut istilah “pengusaha” 45.
Istilah pengusaha untuk menggantikan istilah majikan, mulai digunakan
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
pengertian pengusaha dirumuskan dalam Pasal 1 angka (5), yaitu :
(a) orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
(b) orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
(c) orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Selain memberikan pengertian tentang pengusaha, dalam Pasal 1 angka (4)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga disebutkan
pengertian tentang pemberi kerja, yaitu orang perorangan, pengusaha, badan
44 Ibid. 45 Lalu Husni, Op. Cit, hal 36.
30
hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
d. Organisasi Pengusaha
Dalam Pasal 105 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, mengenai
organisasi pengusaha ini ditentukan sebagai berikut :
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara itu, mengenai bagaimana keterkaitannya dalam bidang
ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak menentukan sama
sekali. Oleh karena itu, maka dalam membahas organisasi pengusaha ini perlu
disimak organisasi pengusaha yang ada di Indonesia46.
Lalu Husni dalam bukunya Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,
menguraikan secara lengkap tentang dua organisasi pengusaha yang ada, yaitu
KADIN dan APINDO 47.
KADIN adalah kependekan dari Kamar Dagang dan Industri yang
dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1973
dan yang beranggotakan para pengusaha yang ada di Indonesia. KADIN dibentuk
sebagai wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak di bidang perekonomian48.
Sedangkan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), menurut Lalu Husni adalah
46 Zaeni Asyhadie, Op. Cit, hal 32. 47 Ibid. 48 Ibid.
31
organisasi pengusaha yang khusus mengurus masalah yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan di Indonesia49.
e. Pemerintah
Peran serta pemerintah di dalam hukum ketenagakerjaan sangat penting hal
ini dimaksudkan untuk terciptanya hubungan industrial yang adil. Maksudnya jika
hubungan antara pengusaha dan pekerja yang sangat berbeda secara sosial dan
ekonomi diserahkan seluruhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk
menciptakan keadilan akan sulit tercapai. Hal ini disebabkan pihak yang kuat akan
selalu ingin menguasai yang lemah. Atas dasar itulah pemerintah turut campur
tangan melalui peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan
kepastian hukum dan kewajiban para pihak50.
Tujuan diadakannya pengawasan dalam pelaksanaan ketentuan hukum
(Law enforcement) di bidang hukum ketenagakerjaan akan menjamin pelaksanaan
hak-hak normatif pekerja, yang pada gilirannya mempunyai dampak terhadap
stabilitas usaha. Selain itu pengawasan ketenagakerjaan juga akan dapat membidik
pengusaha dan pekerja untuk selalu taat menjalankan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan sehingga akan tercapai suasana
kerja yang harmonis51.
49 Ibid. 50 Lalu Husnis, Op. Cit, hal 47-48. 51 Ibid, hal 51.
32
B. Hubungan Kerja
1. Perjanjian Kerja Sebagai Dasar Hubungan Kerja
Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms,
mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601a KUH Perdata memberikan
pengertian perjanjian kerja sebagai suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si
buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan
untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah52.
Pengertian atau perumusan tersebut dapat diuraikan bahwa perjanjian kerja
adalah:
a. Perjanjian antara seorang pekerja (buruh) dengan pengusaha untuk melakukan pekerjaan. Jadi, si pekerja sendiri harus melakukan pekerjaan itu dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain;
b. melakukan pekerjaan itu pekerja harus tunduk dan berada di bawah perintah pengusaha atau pemberi kerja. Jadi, antara pengusaha dan pekerja ada suatu hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.
c. Sebagai imbalan dari pekerjaan yang dilakukan, pekerja berhak atas upah yang wajib dibayar oleh pengusaha atau pemberi kerja53.
Secara lebih umum, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, dalam Pasal 1 angka (14) menyebutkan bahwa perjanjian kerja
adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja
yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.
52 Ibid, hal 54. 53 Andi Hamzah, 1990, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta :
Penerbit Rineka Cipta, hal 64.
33
Berdasarkan pengertian perjanjian kerja tersebut, dapat ditarik beberapa
unsur dari perjanjian kerja yakni :
1. Adanya unsur work atau pekerjaan
Suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek
perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja,
hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Secara teknis
pengusaha tidak akan mungkin merekrut pekerja/buruh jika tidak tersedia
pekerjaan sesuai dengan kapasitas kebutuhan perusahaannya. Unsur
pekerjaan, secara yuridis merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian
kerja yang diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adanya pekerjaan sebagai syarat
objektif dari perjanjian kerja, sehingga objek perjanjian kerja harus jelas.
Sifat pekerja yang dilakukan oleh pekerja sangat pribadi karena
bersangkutan dengan keterampilan atau keahliannya, maka menurut
hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus.
2. Adanya unsur perintah
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha
adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha
untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan, inilah
perbedaan hubungan hukum kerja dengan hubungan lainnya.
3. Adanya upah
Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian
kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja
34
bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika
tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan
hubungan kerja. 54
Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dengan pekerja atau buruh
tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh
pengusaha dengan serikat pekerja atau serikat buruh yang ada pada perusahaan.
Demikian pula perjanjian kerja tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perusahaan yang dibuat oleh pengusaha55.
Perjanjian kerja juga harus memenuhi syarat materiil dan formil yang ada
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Syarat
materiil terdapat dalam Pasal 52, Pasal 55, Pasal 59 dan Pasal 60 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan syarat formil terdapat
dalam Pasal 54 dan Pasal 57. Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat
secara tertulis dan lisan. Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak
dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat
membantu proses pembuktian56.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-
kurangnya memuat keterangan:
54 Andi Hamzah, Op. Cit, hal 55-57. 55 Zaeni Asyhadie, Op .Cit, hal 44. 56 Lalu Husni, Op.Cit, hal 59.
35
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usahanya; b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. Jabatan/jenis pekerjaan; d. Tempat pekerjaan; e. Besarnya upah dan cara pembayaran; f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak-hak dan kewajiban pengusaha
dan pekerja/buruh; g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas
dasar :
1. Kesepakatan kedua belah pihak; 2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; 4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian kerja tersebut terdapat syarat subyektif dan syarat obyektif.
Syarat subyektif menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian,
sedangkan syarat obyektif menyangkut obyek perjanjian. Jika syarat subyektif
tidak terpenuhi (point 1 dan 2) maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, artinya salah satu pihak (yang tidak cakap) memiliki hak untuk
meminta agar perjanjian itu dapat dibatalkan oleh hakim. Sedangkan jika syarat
obyektif tidak terpenuhi (point 3 dan 4), maka akibat hukum dari perjanjian
tersebut batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah ada
perjanjian atau perikatan, sehingga para pihak tidak memiliki dasar untuk saling
menuntut di muka pengadilan. Keempat syarat yang terdapat dalam pasal 52,
36
bersifat kumulatif. Artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa
perjanjian tersebut sah57.
2. Pengertian Hubungan Kerja
Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur atau
memuat hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. Takaran hak
dan kewajiban masing-masing pihak haruslah seimbang. Pada konteks hubungan
kerja, kewajiban para pihak berlangsung secara timbal balik. Artinya kewajiban
pengusaha merupakan hak pekerja atau buruh dan sebaliknya kewajiban pekerja
atau buruh merupakan hak pengusaha58.
Menurut Imam Soepomo hubungan kerja adalah hubungan antara buruh
dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, buruh
menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah
dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan
membayar upah59.
Hubungan kerja disebut juga hubungan perburuhan atau hubungan
industrial. Ada beberapa istilah mengenai hubungan kerja ini :
a. Labour Relations b. Labour Management Relations c. Industrial Relations. 60 Mengenai kewajiban pengusaha dan hak pekerja, diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kewajiban pengusaha
menurut undang-undang tersebut antara lain:
57 Ibid, hal 58. 58 Abdul Khakim, Op. Cit, hal 46-47. 59 Andi Hamzah, Op. Cit, hal 63. 60 Ibid.
37
1. Pasal 67 ayat (1) menyebutkan, pengusaha yang mempekerjakan tenaga
kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan
jenis derajat kecacatannya.
2. Pasal 77 ayat (1) menyebutkan, setiap pengusaha wajib melaksanakan
ketentuan waktu kerja.
3. Pasal 79 ayat (1) menyebutkan bahwa, pengusaha wajib memberi waktu
istirahat dan cuti kepada pekerja atau buruh.
4. Pasal 85 ayat (3) menyebutkan bahwa, pengusaha yang mempekerjakan
buruh/pekerja yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja
lembur.
Sedangkan menurut Lalu Husni, kewajiban pekerja pada intinya adalah
sebagai berikut:
1. Buruh/pekerja wajib melaksanakan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah tugas utama buruh dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan.
2. Buruh/pekerja wajib menaati aturan dan petunjuk majikan/pengusaha; dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha.
3. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; jika buruh/pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda61.
Hak pekerja atau buruh yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, antara lain:
61 Lalu Husni, Op.Cit, hal 62.
38
1. Pasal 88 ayat (1) menyebutkan, setiap pekerja atau buruh berhak
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
2. Pasal 99 ayat (1) menyebutkan bahwa, setiap pekerja atau buruh dan
keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial.
3. Pasal 82 ayat (1) menyebutkan, pekerja/buruh perempuan berhak
memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya
melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan
menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Berdasarkan hak-hak pekerja tersebut, secara normatif pekerja telah
mendapatkan perlindungan. Kewajiban pengusaha yang dipaparkan merupakan
hak pekerja, dan sebaliknya hak pekerja merupakan kewajiban pengusaha62.
3. Putusnya Hubungan Kerja
Operasional hukum ketenagakerjaan secara sistematik dan pengelompokan
peraturan perundang-undangan terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu yang
mengatur masa sebelum bekerja (pre-employment), masa selama bekerja (during
employment), dan masa setelah kerja (post-employment):
1. Masa sebelum bekerja (pre-employment), merupakan masalah pengadaan pekerja yang meliputi pengaturan lowongan kerja, pengerahan dan penempatan pekerja merupakan hal penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan tenaga kerja.
2. Masa selama bekerja (during employment), masa ini mendapatkan perhatian, karena masa ini merupakan substansi dari hukum ketenagakerjaan. Sedemikian pentingnya, karena pemerintah perlu campur tangan dan mengatur selama hubungan kerja berlangsung.
62 Ibid, hal 64.
39
Melalui masa inilah semua pihak dapat dilindungi secara adil agar tercapai ketenangan kerja dan kelangsungan berusaha.
3. Masa setelah bekerja (post employment), setelah hubungan kerja juga perlu perhatian seksama, sehingga pekerja tetap mendapatkan perlindungan sesuai keadilan. Permasalahan seperti sakit berkepanjangan, hari tua, pensiun, tunjangan kematian dan sebagainya tidak dapat diabaikan begitu saja63.
Berakhir atau putusnya hubungan kerja dapat menimbulkan permasalahan
terutama bagi pekerja. Sebab dengan putusnya hubungan kerja akan
mempengaruhi pada kehidupan pekerja, terutama dampak secara ekonomis. Imam
Soepomo, mengatakan bahwa pemutusan hubungan kerja bagi buruh merupakan
permulan dari segala pengakhiran, permulaan dari berakhirnya mempunyai
pekerjaan, permulaan dari berakhirnya kemampuan membiayai keperluan hidup
sehari-hari baginya dan keluarganya, permulaan dari berakhirnya kemampuan
menyekolahkan anak-anak dan sebagainya64.
Dampak berakhirnya atau putusnya hubungan kerja terhadap pekerja, akan
memberi pengaruh psikologis, ekonomis, finansial, sebab:
a. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi pekerja telah kehilangan mata pencaharian;
b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak mengeluarkan biaya (keluar masuk perusahaan, disamping biaya-biaya lain seperti pembuatan surat-surat untuk keperluan lamaran dan foto copy surat-surat lain);
c. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya65. Berakhir atau putusnya hubungan kerja dalam teori hukum
ketenagakerjaan ada empat jenis, yaitu:
63 Abdul Hakim, Op. Cit, hal 14-17. 64 Zainal Asikin, dkk, Op.Cit. hal 140. 65 Ibid.
40
a. Pemutusan hubungan kerja demi hukum;
Artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya
dan kepada buruh/pekerja, pengusaha tidak perlu mendapatkan penetapan
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari lembaga yang berwenang
sebagaimna diatur dalam pasal 154 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut:
1) pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana
telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
2) pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri,
secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya
tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan
kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pertama kali;
3) pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
4) pekerja/buruh meninggal dunia. 66
b. Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja;
Buruh/pekerja berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan
pihak pengusaha, karena pada prinsipnya buruh tidak boleh dipaksakan
untuk terus-menerus bekerja bilamana ia sendiri tidak menghendakinya.
66 Lalu Husni, Op.Cit, hal 187.
41
Dengan demikian PHK oleh buruh ini yang aktif untuk meminta
diputuskan hubungan kerjanya adalah dari buruh/pekerja itu sendiri67.
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
indrustrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
1) menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam
pekerja/buruh;
2) membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;
3) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
4) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/buruh;
5) memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan
di luar yang diperjanjikan; atau
6) memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja (Pasal 169 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003). 68
67 Ibid, hal 185. 68 Ibid.
42
c. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha;
Pemutusan ini merupakan kehendak atau prakarsanya berasal dari
pengusaha, karena adanya pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan
oleh pekerja/buruh atau mungkin karena faktor-faktor lain, seperti
pengurangan pekerja, perusahaan tutup karena merugi, perubahan status
dan sebagainya69.
Menurut Abdul Khakim, pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh
pengusaha terbagi menjadi dua macam, yaitu PHK karena kesalahan
ringan dan PHK karena kesalahan berat70.
Berdasarkan Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
bahwa PHK oleh pengusaha harus memeperoleh penetapan terlebih
dahulu dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Jadi,
mem-PHK pekerja/buruh tidak dapat semau atau sekehendak pengusaha.
Kesemuanya harus dilakukan dengan dasar dan alas an yang kuat,
sebagaimana diatur pada Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 71.
d. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan;
Pemutusan ini ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan (majikan/buruh)
berdasarkan alasan penting. Alasan penting adalah di samping alasan
mendesak juga karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan
69 Abdul Hakim, Op. Cit, hal 191. 70 Ibid. 71 Ibid.
43
pemohon atau perubahan keadaan di mana pekerjaan yang dilakukan
sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan
hubungan kerja 72.
C. Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan
1. Pengertian Perlindungan Hukum Tenaga Kerja
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur
hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum, selain itu hukum berfungsi
sebagai perlindungan kepentingan manusia. Perlindungan hukum dapat diartikan
sebagai suatu bentuk tindakan kepada subyek hukum sesuai dengan hak dan
kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia73.
Perlindungan hukum tenaga kerja adalah suatu bentuk perlindungan yang
diberikan oleh pemerintah kepada setiap warga negara dengan tujuan mengatur
dan menjamin pelaksanaan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat74.
Dalam berbagai tulisan di bidang ketenagakerjaan sering kali dijumpai
adagium yang berbunyi “pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan”.
Adagium ini tampaknya biasa saja, sepertiya tidak mempunyai makna, tetapi kalau
dikaji lebih jauh akan kelihatan kebenarannya. Pekerja/buruh dikatakan sebagai
tulang punggung karena memang dia mempunyai peranan yang penting. Tanpa
adanya pekerja/buruh perusahaan tersebut tidak akan bisa jalan, dan tidak akan
bisa pula ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional75.
72 Lalu Husni, Op. Cit, hal 188. 73 Zainal Asikin, Op. Cit, hal 75-76. 74 Ibid, hal 77. 75 Zaeni Asyhadie, Op. Cit, hal 77.
44
Menyadari akan pentingnya pekerja/buruh bagi perusahaan, pemerintah,
dan masyarakat, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat menjaga
keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan. Demikian pula perlu diusahakan
ketenangan dan kesehatan pekerja/buruh agar apa yang dihadapinya dalam
pekerjaan dapat diperhatikan semaksimal mungkin sehingga kewaspadaan dalam
menjalankan pekerjaan itu tetap terjamin. Pemikiran-prmikiran tersebut
merupakan program perlindungan kerja yang dalam praktik sehari-hari berguna
untuk mempertahankan produktivitas dan kestabilan perusahaan76.
Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan
tuntunan, santunana, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak
asasi manusia, perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku
dalam perusahaan. Dengan demikian secara teoritis dikenal ada tiga jenis
perlindungan kerja yaitu :
a. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan mengembangkan perikehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial ini disebut juga dengan kesehatan kerja.
b. Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja.
c. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jaminan sosial. 77
76 Ibid. 77 Ibid, hal 78.
45
2. Perlindungan Secara Ekonomis Bagi Tenaga Kerja
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa perlindungan secara ekonomis
disebut juga sebagai jaminan sosial. Jaminan sosial bagi pekerja diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Undang-Undang Jamsostek).
Pengertian jaminan sosial tenaga kerja menurut Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Jamsostek yaitu suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk
santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang
atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami
oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan
meninggal dunia.
Menurut Abdul Khakim, program Jamsostek merupakan kelanjutan
program Asuransi Tenaga Kerja (ASTEK) yang didirikan menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977. Secara yuridis penyelenggaraan program
Jamsostek dimaksudkan sebagai pelaksanaan pasal 10 dan pasal 15 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Kerja
(yang sekarang sudah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)78.
Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja jo. Pasal 2 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial tenaga Kerja berbunyi :
78 Abdul Hakim, Op. Cit, hal 120.
46
Pasal 3 ayat 2:
Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja.
Pasal 2 ayat 3:
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh)
orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu
juta rupiah) sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program
jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Bunyi pasal tersebut, bahwa program jaminan sosial tenaga kerja sebagai
hak yang harus didapatkan oleh pekerja dan merupakan kewajiban bagi
perusahaan untuk mengikutsertakan para pekerjanya dalam program jaminan
sosial tenaga kerja.
Ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, pasal 6 ayat 1 meliputi :
1. Jaminan kecelakaan kerja 2. Jaminan kematian 3. Jaminan hari tua 4. Jaminan pemeliharaan kesehatan
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) adalah santunan berupa uang sebagai
pengganti biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, biaya pengobatan dan/atau
perawatan, biaya rehabilitasi serta santunan sementara tidak mampu bekerja,
santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya atau cacat total selama-lamanya
baik, fisik maupun mental, santunan kematian sebagai akibat peristiwa berupa
47
kecelakaan kerja. Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaaan kerja berhak menerima
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)79.
Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan
hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian
pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju
tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui80.
Jaminan Kematian (JKM) adalah santunan kematian berupa uang tunai dan
santunan berupa uang untuk pengganti biaya pemakaman, seperti pembelian tanah
(sewa/retribusi), peti jenazah, kain kafan, transportasi dan lain-lain yang berkaitan
dengan tata cara pemakaman sesuai adat istiadat, agama dan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta kondisi daerah masing-masing dari tenaga kerja yang
bersangkutan. Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja,
keluarganya berhak atas Jaminan Kematian (JKM)81.
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) adalah jaminan berupa pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada tenaga kerja atau suami atau istri yang sah dan
anak yang bersifat menyeluruh dan meliputi pelayanan peningkatan kesehatan,
pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta pemulihan kesehatan82.
3. Perlindungan Hukum Bagi Pensiunan
Bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena mencapai
usia pensiun, undang-undang memberikan perlindungan berupa program Jaminan
79 Zulaini Wahab, 2001, Op. Cit, hal 143. 80 Ibid, hal 144. 81 Ibid. 82 Ibid, hal 145.
48
Hari Tua (JHT) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Jaminan hari tua sendiri memiliki arti santunan berupa uang yang
dibayarkan secara sekaligus atau berkala atau sebagian dan berkala kepada tenaga
kerja karena :
a. telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun;
b. atau cacat total tetap setelah ditetapkan oleh dokter. 83
Sedangkan hari tua adalah umur pada saat produktivitas pekerja menurun,
sehingga perlu diganti dengan pekerja yang lebih muda. Termasuk dalam
penggantian ini adalah jika tenaga kerja tersebut cacat tetap dan total84.
Pensiun dapat mengakibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mampu
bekerja, akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi
pekerja, oleh karena itu program jaminan hari tua ini memiliki peran yang tidak
kalah pentingnya dengan program jaminan sosial tenaga kerja yang lain, karena
akan membantu tenaga kerja yang telah memasuki masa pensiun.
Selain program Jaminan Hari Tua, bentuk perlindungan bagi pensiunan
juga diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tersebut, sebagai dasar
penyelenggaraan Program Pensiun adalah Arbeidersfondsen Ordonnantie Tahun
1926 Nomor 337, sebagai pelaksanaan dari Pasal 1601(s) buku III KUH Perdata.
83 Zulaini Wahab, 2001, Op. Cit, hal 144. 84 Lalu Husni, Op.Cit, hal 167.
49
Disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992
tersebut bahwa dana pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan
menjalankan program yang menjanjikan manfaat pasti.
Indonesia sendiri mengenal adanya dua jenis dana pensiun, yaitu:
1. Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), yaitu dana pensiun yang
dibentuk oleh orang atau badan yang mempekerjakan karyawan,
selaku pendiri, untuk menyelenggarakan program pensiun bagi
kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta, dan
yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja. DPPK dapat
menjalankan Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) atau Program
Pensiun Iuran Pasti (PPIP).
2. Dana pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) yaitu dana pensiun yang
dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk
menyelenggarakan program pensiun bagi perorangan, baik karyawan
maupun pekerja mandiri yang terpisah dari dana pensiun pemberi
kerja bagi karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang
bersangkutan. DPLK hanya dapat menyelenggarakan Program
Pensiun Iuran Pasti (PPIP).
Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) adalah program pensiun yang
besar manfaat pensiunnya telah ditetapkan dalam peraturan dana pensiun,
sedangkan besarnya iuran pemberi kerja dari waktu ke waktu tidak pasti
jumlahnya, bergantung dari kecukupan dana untuk memenuhi kewajiban
membayar manfaat pensiun, kekurangan tersebut menjadi tanggung jawab
50
pemberi kerja untuk memenuhinya, dan apabila dana pensiun kelebihan dana,
kelebihan tersebut dapat diperhitungkan sebagai iuran pemberi kerja85.
Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) adalah program pensiun yang besar
iurannya telah ditetapkan dalam peraturan dana pensiun, sedangkan besar manfaat
pensiun bergantung dari besarnya akumulasi iuran dan hasil pengembangannya
sampai seorang peserta berhenti bekerja yang kemudian harus dibelikan anuitas
dari perusahaan asuransi jiwa86.
Peraturan dana pensiun hanya dapat menjadi dasar penyelenggaraan satu
jenis program pensiun. Oleh karena itu satu dana pensiun hanya dapat
menyelenggarakan satu jenis program pensiun. Dengan kata lain, satu dana
pensiun tidak dapat menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP)
dan Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) secara sekaligus87.
Dana pensiun mempunyai tujuan tersendiri dari beberapa sisi, yaitu:
1. Sisi pemberi kerja, dana pensiun sebagai usaha untuk menarik atau
mempertahankan karyawan perusahaan yang memiliki potensi, cerdas,
terampil dan produktif yang diharapkan dapat meningkatkan atau
mengembangkan perusahaan, di samping sebagai tanggung jawab
moral dan sosial pemberi kerja kepada karyawan serta keluarganya
pada saat karyawan tidak lagi mampu bekerja atau pensiun atau
meninggal dunia;
85 Zulaini Wahab, 2001, Op.Cit. hal 4 86 Ibid. hal 5. 87 Ibid.
51
2. Sisi karyawan, dana pensiun adalah untuk memberikan rasa aman
terhadap masa yang akan datang dalam arti tetap mempunyai
penghasilan pada saat memasuki masa pensiun;
3. Sisi pemerintah, dengan adanya dana pensiun bagi karyawan akan
mengurangi kerawanan sosial. Kondisi tersebut merupakan unsur yang
sangat penting dalam menciptakan kestabilan negara;
4. Sisi masyarakat, adanya dana pensiun merupakan salah satu lembaga
pengumpulan dana yang bersumber dari iuran dan hasil
pengembangan. Terbentuknya akumulasi dana yang bersumber dari
dalam negeri tersebut dapat membiayai pembangunan nasional dalam
rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. 88
88 Ibid. hal 2-3.
52
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai maksud; cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan89.
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legisme positivisme yang
berpendapat bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga yang berwenang. Selain itu konsep ini melihat hukum
sebagai sistem normatif yang bersifat otonom tertutup dan terlepas dari kehidupan
masyarakat90.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif. Menurut
Ronny Hanitijo Soemitro, deskriptif analitis adalah menggambarkan Peraturan
perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dari praktek
pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan dalam penelitian ini 91.
89 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hal 580-581. 90 Ronny Hanitijo Soemitro, 1999, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hal 11. 91 Ibid, hal 97-98.
53
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga, Pusat
Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum UNSOED, dan Unit Pelayanan Terpadu
(UPT) Perpustakaan UNSOED.
D. Sumber Data
Peneliti menggunakan sumber data sekunder dan sumber data primer yang
digunakan untuk membangun penelitian. Data primer diambil dari hasil wawancara,
dari data sekunder diambil dan diuraikan dalam tiga bagian, yaitu:
1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang
terdiri dari :
a. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
b. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja.
c. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
d. Perjanjian Kerja Bersama antara PT PLN (Persero) dengan Serikat
Pekerja PT PLN (Persero), serta peraturan internal PT PLN (Persero)
yang terkait langsung dengan pelaksanaan dana pensiun sebagai
bentuk jaminan hari tua.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari literatur mengenai hukum
ketenagakerjaan, jaminan sosial tenaga kerja, dana pensiun, serta berbagai
literatur dan hasil penelitian yang berkaitan dengan obyek yang akan
diteliti.
54
3. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang akan digunakan
dalam rencana penelitian ini adalah yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
yang meliputi, kamus dan ensiklopedia92.
E. Metode Pengumpulan Data
1. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara menginventarisasi
peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dan dokumen resmi yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti kemudian disajikan dalam bentuk teks
normatif yang disusun secara sistematis, logis dan rasional.
2. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dengan jalan wawancara secara langsung
dengan pihak-pihak terkait. Data ini digunakan sebagai pelengkap dari data
sekunder.
F. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun
secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti data yang diperoleh akan
dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan yang diteliti
sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
92 Ibid.
55
G. Metode Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis
kualitatif, yaitu suatu analisis dengan menjabarkan dan menafsirkan data dengan
berdasarkan pada norma-norma hukum, doktrin dan teori-teori ilmu hukum yang
relevan dengan pokok permasalahan sehingga dapat menjawab dan mengambil
kesimpulan.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Data Sekunder
1.1 Sejarah Singkat dan Perkembangan PT PLN (Persero)
Sejak awal berdirinya sampai saat ini, PLN telah banyak mengalami
berbagai perkembangan. Hal tersebut dijelaskan dalam sejarah perjalanan
atau perkembangan PLN yang dikelompokkan dalam beberapa periode, yaitu:
a. Periode Sebelum Tahun 1943
Ketenagalistrikan di Indonesia dimulai pada akhir abad ke 19,
pada saat beberapa perusahaan Belanda, antara lain pabrik gula dan
pabrik teh mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk kebutuhan
sendiri. Ketenagalistrikan untuk kemanfaatan umum mulai ada pada
saat perusahaan swasta Belanda, yaitu NV. NIGN yang semula
bergerak dibidang gas memperluas usahanya dibidang penyediaan
tenaga listrik untuk kemanfaatan umum. Pada tahun 1927 Pemerintah
Belanda membentuk s”Landss Waterkracht Badrijvan (LBW), yaitu
perusahaan listrik negara yang mengelola PLTA Plengan, PLTA
Lamajan, PLTA Bangkok Dago, PLTA Ubrug dan Kracak di Jawa
Barat, PLTA Giringan di Madiun, PLTA Tes di Bengkulu, PLTA
Tonasa Lama di Sulawesi Utara dan PLTU di Jakarta. Selain itu di
beberapa kota praja dibentuk perusahaan-perusahaan listrik Kotapraja.
Sehingga perusahaan-perusahaan kelistrikan tersebut mempunyai
57
kegiatan yang dinilai menguntungkan. Sehingga bermunculan
perusahaan-perusahaan swasta milik Belanda seperti NV.ANIEM,
NV.GEBEO, NV.OGEM dan beberapa perusahaan listrik yang bersifat
lokal ditingkat Kotapraja.
b. Periode Tahun 1943 – 1945
Pada waktu pendudukan Jepang perusahaan-perusahaan
listrik swasta tersebut dikuasai secara keseluruhan oleh Jepang
dan dikelola menurut situasi dan kondisi daerah-daerah tertentu
seperti Perusahaan Listrik Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Sumatra dan lain-lain.
c. Periode Tahun 1945 – 1950
Mulai tahun 1945 sampai dengan tahun 1950, perusahaan Listrik
dan Gas diambil alih oleh Pemerintah RI dari Jepang pada tanggal 27
Oktober 1945. Kemudian melalui ketetapan Presiden Republik
Indonesia No.I/S.D/1945, dibentuk Jawatan Listrik dan Gas yang
berkedudukan di Yogyakarta yang untuk pertama kalinya di dalam
sejarah Indonesia terdapat satu kesatuan Perusahaan Listrik Seluruh
Indonesia tanggal 27 Oktober 1945 dijadikan sebagai hari Listrik
Nasional.
Pada masa Agresi Belanda ke-1 (19 Desember 1948)
perusahaan-perusahaan listrik yang dibentuk dengan ketetapan
Presiden tersebut di atas dikuasai kembali oleh pemiliknya semula.
Pada Agresi ke-2 sebagian besar kantor-kantor Jawatan Listrik dan Gas
58
direbut oleh Pemerintah Koloni Belanda kecuali daerah Aceh. Tahun
1950 Jawatan Listrik dan Gas diubah menjadi Jawatan Listrik dan Gas
milik Pemerintah Koloni Belanda. Sedangkan Perusahaan milik swasta
diserahkan kepada pemiliknya semula sesuai hasil Konferensi Meja
Bundar (KMB).
d. Periode Tahun 1951 – 1966
Jawatan Tenaga membawahi Perusahaan Negara untuk
Pembangkitan Tenaga Listrik (PENUPETEL) dan diperluas
dengan membawahi juga Perusahaan Negara untuk Distribusi
Tenaga Listrik (PENUDITEL) pada tahun 1952. Berdasarkan
Keputusan Presiden No.163 tanggal 3 Oktober 1953 tentang
“Nasionalisme Perusahaan Listrik milik Bangsa Belanda” dan
berlaku sejak 3 Desember 1957, yaitu konsesi pengusahaannya
telah berakhir, maka beberapa perusahaan listrik milik swasta
tersebut diambil alih dan digabungkan ke Jawatan Tenaga.
Kemudian pada tahun 1958 Dewan Perwakilan Rakyat dan
Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan:
1) Undang-undang tentang Nasionalisasi semua perusahaan
Belanda.
2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.18 tentang
Nasionalisasi Perusahaan Listrik dan Gas milik Belanda.
Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, semua perusahaan
milik Belanda diambil alih termasuk Perusahaan Listrik dan Gas
59
seluruh Indonesia. Jawatan Tenaga diubah menjadi Perusahaan Listrik
Negara melalui Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga
No.P.25/45/17 tanggal 23 September 1958, sedangkan P3LG
dibubarkan pada tahun 1959 setelah dibentuk Dewan Direktur
Perusahaan Listrik Negara (DD PLN).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1960 tentang
Perusahaan Negara dan melalui Peraturan Pemerintah RI Nomor 67
tahun 1961 dibentuklah Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik
Negara (BPU PLN), yang mengelola semua Perusahaan Listrik Negara
dan Gas berada dalam satu wadah organisasi. Guna mewujudkan
undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut Menteri Pekerjaan
Umum dan Tenaga pada saat itu menerbitkan Surat Keputusan Menteri
PUT No.Ment.16/1/20 tanggal 20 Mei 1961 yang memuat arahan
mengenai BPU. BPU sendiri adalah suatu perusahaan Negara yang
diserahi tugas mengurus perusahaan-perusahaan Listrik dan Gas yang
berbentuk Badan Hukum. Kemudian dibentuk daerah eksploitasi yang
terdiri atas:
1) 10 (sepuluh) Daerah eksploitasi listrik umum (Pembangkitan
dan Distribusi).
2) Organisasi BPU-PLN dipimpin oleh Direksi.
3) 1 ( satu ) Daerah eksploitasi khusus Pembangkit Listrik.
4) 13 PLN eksploitasi proyek-proyek kelistrikan.
60
5) Daerah eksploitasi khusus Distribusi dibagi lebih lanjut
menjadi Cabang.
6) Daerah eksploitasi khusus pembangkit dibagi lebih lanjut
menjadi Sektor.
e. Periode Tahun 1967 – 1985
Dalam kabinet Pembangunan 1, Dirjen Tenaga Listrik (Dirjen
Gatrik) PLN dan Lembaga Masalah Ketenagaan (LMK) dialihkan ke
Departemen Pekerjaan Umum Tenaga Listrik (PUTL). LMK
ditetapkan dalam pengolahan PLN melalui Peraturan Menteri PUTL
No.6/PRT/1970. Tahun 1972, PLN ditetapkan sebagai Perusahaan
Umum melalui Peraturan Pemerintah No.18, pemerintah juga
memberikan tugas-tugas pemerintah dibidang kelistrikan kepada PLN
untuk mengatur, membina, mengawasi dan melaksanakan perencanaan
umum di bidang kelistrikan Nasional disamping tugas-tugas sebagai
perusahaan.
Mengingat kebijakan energi dipandang perlu untuk ditetapkan
secara nasional, maka pada Kabinet Pembangunan III dibentuk
Departemen Pertambangan dan Energi, dan Perusahaan Listrik Negara
(PLN) serta Perusahaan Gas Negara (PGN) berpindah lingkungan dari
Departemen PUTL ke Departemen di bidang ketenagaan selanjutnya
ditangani oleh Direktorat Jendral Ketenagaan (1981).
Dalam kabinet Pembangunan IV, Dirjen ketenagaan diubah
menjadi Dirjen Listrik dan Energi (LEB), perubahan nama ini
61
bertujuan untuk memperjelas tugas dan fungsinya yaitu:
1) Pembinaan program kelistrikan
2) Pembinaan pengusahaan
3) Pengembangan energi baru
Terlihat bahwa tugas-tugas pemerintah yang semula dipikul oleh
PLN secara bertahap dikembalikan ke departemen sehingga PLN dapat
lebih memusatkan fungsinya sebagai perusahaan.
f. Periode Tahun 1985 – 1990
Mengingat tenaga kerja sangat penting bagi peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara umum serta untuk
mendorong peningkatan kegiatan ekonomi oleh karena itu, usaha
penyediaan tenaga listrik, pemanfaatannya dan pengelolaannya perlu
ditingkatkan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup
merata dengan mutu pelayanan yang baik. Kemudian dalam rangka
peningkatan pembangunan yang berkesinambungan di bidang
ketenagalistrikan diperlukan upaya secara optimal, sehingga
penyediaan tenaga listrik terjamin.
Agar tujuan tersebut tercapai, Pemerintah Republik Indonesia
menganggap bahwa ketentuan dalam perundang-undangan yang ada
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan
pembangunan di bidang kelistrikan, maka bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah menetapkan Undang-Undang
Nomor 15 tahun 1985 tentang Kelistrikan. Kemudian sebagai
62
pengejawatahan undang-undang tersebut Pemerintah Republik
Indonesia pada tahun 1989 mengeluarkan peraturan pemerintah tentang
penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik. Berdasarkan undang-
undang dan peraturan pemerintah tersebut ditetapkan bahwa PLN
merupakan Pemegang Kuasa Usaha Ketenaga Listrikan.
g. Periode Tahun 1990 – Sekarang
Tahun 1990 pemerintah mengubah status pendirian PLN dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1990. Periode Juli 1994 sampai
sekarang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1994,
PLN dialihkan bentuknya menjadi perusahaan Perseroan (Persero).
Maksud dan tujuan peralihan bentuk ini adalah sebagai berikut:
1) Menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum dan
sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan.
2) Mengusahakan penyediaan tenaga listrik dalam jumlah dan
mutu yang memadai dengan tujuan untuk:
a) Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
secara adil dan merata serta mendorong peningkatan
kegiatan ekonomi.
b) Mengusahakan keuntungan agar dapat membiayai
pengembangan penyediaan tenaga listrik untuk melayani
kebutuhan masyarakat.
63
c) Merintis kegiatan-kegiatan usaha penyediaan tenaga
listrik.
d) Menyediakan usaha-usaha lain yang menunjang usaha
penyediaan tenaga listrik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dengan dialihkannya bentuk umum PLN menjadi PT PLN
(Persero), sehingga perusahaan umum listrik negara dinyatakan bubar
pada saat pendirian Perseroan dengan ketentuan bahwa hak dan
kewajiban beralih pada perusahaan Persero yang bersangkutan.
Berhubungan dengan itu maka agar di dalam pelaksanaan operasional
sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan sesuai dengan makna
yang terkandung di dalam undang-undang dan peraturan pemerintah
yang berlaku. Latar belakang perubahan PERUM menjadi PERSERO
adalah bahwa selama lima pelita (25 tahun) PLN hidup dan Beroperasi
atas bantuan anggaran pemerintah (APBN). Sehingga ketergantungan
sektor tenaga listrik pada APBN dan dana-dana lunak dari pinjaman
Bank Dunia dan sebagainya sangat besar. Maksud dan tujuan
perubahan bentuk PERUM menjadi PERSERO antara lain sebagai
berikut:
1) Agar perusahaan dapat meningkatkan pelayanannya kepada
masyarakat.
2) Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha
menyediakan tenaga listrik.
64
3) Agar perusahaan dapat bergerak lebih lincah dan luwes
sehingga dapat memobilisasi dana-dana dari masyarakat
(swasta) selain dana-dana tradisional yang selama ini
diperoleh.
Sejalan dengan perkembangan pembangunan di segala bidang
dan semakin banyaknya kebutuhan pemakaian listrik di negara kita,
maka untuk dapat melayani masyarakat dan industri dalam pengadaan
dan penyediaan tenaga listrik kemudian PLN dibagi menjadi 11 PLN
wilayah, 4 PLN Distribusi, 2 PLN Pembangkitan dan penyalur serta 12
wilayah induk. Adapun dari ke-11 PLN yang berstatus Wilayah antara
lain:
1) PLN Wilayah II di Medan
2) PLN Wilayah III di Padang
3) PLN Wilayah IV di Palembang
4) PLN Wilayah V di Pontianak
5) PLN Wilayah VI di Banjar Baru
6) PLN Wilayah VII di Manado
7) PLN Wilayah VIII di Ujung Pandang
8) PLN Wilayah IX di Ambon
9) PLN Wilayah X di JayaPura
10) PLN Wilayah XI di Denpasar
11) PLN Wilayah khusus di Batam
65
Sedangkan PLN yang berstatus distribusi meliputi:
1) PLN Distribusi Jawa Timur di Surabaya
2) PLN Distribusi Jawa Tengah dan D.I.Y. di Semarang
3) PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten di Bandung
4) PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangggerang di Jakarta
PLN Distribusi Jawa Tengah dan D.I.Y. dibagi menjadi
beberapa Area Pelayanan Pelanggan yaitu:
1) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Semarang
2) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Surakarta
3) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Yogyakarta
4) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Tegal
5) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Purwokerto
6) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Magelang
7) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Kudus
8) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Salatiga
9) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Klaten
10) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Pekalongan
11) Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Cilacap
Selanjutnya PT. PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan
Purwokerto dibagi menjadi beberapa rayon meliputi:
1) Rayon Purwokerto Kota
2) Rayon Banyumas
3) Rayon Purbalingga
66
4) Rayon Banjarnegara
5) Rayon Wonosobo
6) Rayon Ajibarang
7) Rayon Wangon
1.2 Visi, Misi, dan Motto PT PLN (Persero)
PT PLN (Persero) mempunyai visi, misi, dan motto perusahaan sebagai
berikut:
Visi: Diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh kembang
unggul dan terpercaya dengan bertumpu pada potensi insani.
Misi:
a. Menjalankan bisnis kelistrikan dan bidang lain yang terkait,
berorientasi pada kepuasan pelanggan, anggota perusahaan dan
pemegang saham.
b. Menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat.
c. Mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan
ekonomi.
d. Menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan.
Motto: Listrik untuk kehidupan yang lebih baik (Electricity for a better
life).
Serta penerapan nilai-nilai, yaitu :
a. Saling Percaya
b. Integritas
67
c. Peduli
d. Pembelajar
1.3 Struktur Organisasi Perusahaan
Struktur organisasi perusahaan dibuat untuk mengetahui sistem
pengorganisasian perusahaan yang rnelibatkan seluruh karyawan
yang ada di dalam perusahaan tersebut. Fungsi pengorganisasian
dalam perusahaan adalah untuk memandu dan memanfaatkan
komponen-komponen penting guna mengatur jalannya perusahaan
secara bersama sehingga komponen-komponen ini dapat mencapai
sasaran perusahaan dengan baik.
Struktur organisasi yang diperoleh akan menjelaskan gambaran
secara skematis tentang bagian-bagian tugas dan tanggung jawab
serta hubungan antar bagian atau departemen yang ada. Sehingga
perusahaan memiliki garis komando yang jelas untuk seluruh
karyawan.
PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga dalam struktur
organisasinya dipimpin oleh seorang Manajer Rayon dan memiliki
pegawai tetap sejumlah 17 orang.
Struktur organisasi dari PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga
seperti di bawah ini :
Gambar 2.
Gambar 2.
Struktur organisasi dari PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga
seperti di bawah ini :
Gambar 2.1. Struktur Organisasi APJ Purwokerto
Gambar 2.2. Struktur Organisasi Rayon Purbalingga
68
Struktur organisasi dari PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga
Organisasi APJ Purwokerto
. Struktur Organisasi Rayon Purbalingga
69
Adapun uraian tugas dan fungsi dari masing-masing adalah sebagai
berikut.
a. Manajer Unit Pelayanan dan Jaringan
Tugas pokok Manajer Unit Pelayanan dan Jaringan adalah
bertanggung jawab dalam neningkatkan pelayanan pelanggan,
pengelolaan administrasi pelanggaan, pendistribusian tenaga listrik,
pengoperasian, pemeliharaan jaringan dan gardu distribusi di wilayah
kerjanya secara efisien dan efektif, serta pelaksanaan penyambungan
baru dan perubahan daya untuk mendukung peningkatan pendapatan
penjualan tenaga listrik dan menjamin mutu keandalan serta kelancaran
penyalaan tenaga listrik kepada pelanggan, membina hubungan kerja,
kemitraan, dan komunikasi yang komunikatif guna menjaga cira
perusahaan serta mewujudkan Internal Coorporate Governance.
Manajer Unit Pelayanan dan Jaringan mempunyai fungsi sebagai
berikut:
1) Menyusun RKAP unit.
2) Mengkoordinir pelaksanaan kegiatan pemasaran, pelayanan
pelanggan, pengelolaan administrasi pelanggan, pencetakan
rekening, penagihan dan pengawasan piutang.
3) Mengkoordinir pengelolaan pembacaan meter, evaluasi dan
analisa hasil pembacaan meter serta pengolahan hasil
pembacaan meter.
4) Mengkoordinir pelaksanaan pendistribusian tenaga listrik,
70
pelayanan komplain pelanggan, kecepatan penyambungan
dan pemutusan, perubahan daya serta kegiatan penertiban
pemakaian tenaga listrik.
5) Menganalisa dan mengevaluasi kinerja operasi jaringan
distribusi.
6) Bertanggung jawab atas pelaksanaan manajemen asset
distribusi.
7) Mengkoordinir pelaksanaan kontruksi untuk mendukung
program pemasaran, mutu keandalan dan efisiensi.
8) Bertanggung jawab atas penyusunan Tingkat Mutu
Pelayanan.
9) Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam
rangka meningkatkan penyaluran tenaga listrik.
10) Bertanggung jawab atas pelaksanaan K8 dan peralatan kerja.
11) Melaksanakan kegiatan pembinaan administrasi personalia,
pengelolaan kesekretariatan, kehumasan, dan pengendalian
keuangan.
b. Supervisor Pelayanan Pelanggan
Tugas Pokok Supervisor Pelayanan Pelanggan adalah
bertanggung jawab dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
Pelayanan Pelanggan yang meliputi: Informasi pelayanan,
PB/PD/layanan lainnya, administrasi pelanggan, rencana penjualan,
kehumasan serta pelaksanaan dan pengendalian penagihan atas piutang
71
pelanggan dan usulan penghapusan piutang ragu-ragu. Supervisor
Pelayanan Pelanggan mempunyai fungsi:
1) Mengelola informasi dan penyuluhan PB/PD/layanan
lainnya yang berhubungan dengan sambungan tenaga listrik
kepada calon pelanggan, pelanggan dan masyarakat.
2) Melaksanakan promosi penjualan tenaga listrik.
3) Mengendalikan pelayanan PB/PD, ganti nama pelanggan,
penyambungan sementara, perubahan tarif, balik nama
pelanggan, dan perubahan lainnya serta pengaduan
pelanggan yang berhubungan dengan sambungan tenaga
listrik.
4) Mengendalikan, memonitor dan pelaksanaan Perintah Kerja
(PK).
5) Memeriksa kwitansi pembayaran yang berhubungan dengan
pelaksanaan PB/PD, penyambungan sementara, perubahan
tarif, ganti nama pelanggan, balik nama pelanggan, P2TL,
dan perubahan lainnya.
6) Bertanggung jawab atas penerimaan pembayaran BP/UJL,
penyambungan sementara, biaya perubahan, tagihan susulan
dan biaya lainnya.
7) Menjamin atas kebenaran Perubahan Data Pelanggan dan
hasil peremajaan Data Induk Pelanggan (DIP).
8) Mengelola Arsip Induk Pelanggan (AIL) dan DIP.
72
9) Melaksanakan pengumpulan data potensi pasar untuk
informasi pengembangan jaringan distribusi.
c. Supervisor Pembacaan Meter dan Pengelolaan Rekening
Tugas pokok Supervisor Pembacaan Meter dan Pengelolaan
Rekening adalah bertanggung jawab dalam perencanaan, pelaksanaan,
dan pengendalian manajemen baca meter, pengelolaan rekening atas
penjualan tenaga listrik kepada pelanggan yang dilaksanakan akurat
dan tepat waktu, memelihara perangkat lunak dan perangkat keras serta
memuktahirkan data base pelanggan (Data Base Administrator).
Supervisor Pembacaan Meter dan Pengelolaan Rekening mempunyai
fungsi sebagai berikut :
1) Melaksanakan Manajemen Baca Meter.
2) Melaksanakan pengelolaan rekening.
3) Bertanggung jawab atas pengoperasian dan pemeliharaan
perangkat lunak dan perangkat keras.
4) Bertanggung jawab atas pemeliharaan Data Base (sebagai
Data Base Administrator).
d. Supervisor Pelayanan Teknik
Tugas pokok Supervisor Pelayanan Teknik adalah bertanggung
jawab dalam perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan Pelayanan
Teknik yang meliputi : survei, perencanaan kebutuhan material &
pasang SR & APP untuk pekerjaan PB/PD, penyambungan sementara,
pemutusan dan penyambungan kembali, operasi dan pemeliharaan
73
distribusi, pengendalian konstruksi, pengelolaan data asset sesuai
dengan ketentuan dan target yang telah ditentuan perusahaan.
Supervisor Pelayanan teknik mempunyai fungsi:
1) Memantau dan mengendalikan permintaan PB/PD,
penyambungan dan pemutusan sementara, penyambungan
kembali, pembongkaran sementara/rampung dan layanan
lainnya.
2) Merencanakan dan mengendalikan kebutuhan material JMT,
JTR, Trafo, SR dan APP serta kebutuhan anggarannya sesuai
dengan kewenangannya.
3) Menyusun perencanaan pembangunan, pengoperasian dan
pemeliharaan jaringan distribusi.
4) Menyusun SOP pengoperasian dan pemeliharaan jaringan
distribusi.
5) Mengkoordinir dan memantau pelaksanaan operasi dan
pemeliharaan jaringan distribusi, cubicle, proteksi, dan
pembangunan jaringan.
6) Melaksanakan Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL)
bersama tim.
7) Memantau susut KWH dan melakukan penekanannya.
8) Melaksanakan pembacaan KWH meter transaksi pada gardu
induk & KWH batas antar unit.
9) Melaksanakan pengelolaan sarana dan peralatan kerja.
74
10) Memantau pembebanan jaringan distribusi, mutu tegangan,
dan SAIDI/SAIFI.
11) Melaksanakan pengelolaan sarana dan peralatan kerja.
12) Membuat usulan listrik pedesaan.
13) Melaksanakan pengelolaan data asset.
e. Supervisor Keuangan dan Administrasi
Tugas Pokok Supervisor Keuangan dan Administrasi adalah
bertanggung jawab dalam penyusunan anggaran, pengelolaan
keuangan, penyelenggaraan kesekretariatan dan rumah tangga kantor,
pengelolaan SDM dan penyelenggaraan kegiatan hukum dan
kehumasan. Supervisor Keuangan dan Administrasi mempunyai fungsi
sebagai berikut:
1) Memverifikasi dan memvalidasi bukti-bukti penerimaan dan
pengeluaran dana imprest.
2) Melakukan opname saldo kas setiap bulan.
3) Mengawasi dan bertanggung jawab terhadap pengiriman
(transfer otomatis) dan penyimpanan fisik uang.
4) Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penerimaan
pendapatan.
5) Memonitor atas perekaman data transaksi keuangan dan
pengiriman data SIMKEU.
6) Melakukan rekonsiliasi konfirmasi pendapatan operasi, saldo
bank, saldo hutang, saldo piutang, persekot pegawai dinas,
75
PUMP-KPR/BPRP dengan fungsi terkait.
7) Mempersiapkan dokumen berdasarkan transaksi keuangan
untuk keperluan penyelenggaraan akuntansi di kantor APJ.
8) Menyelenggarakan sub-sub administrasi yang terkait dengan
transaksi keuangan (persekot pegawai/dinas, PUMP-KPR,
pajak, hutang usaha, hutang biaya, dll.)
9) Mengelola surat-surat masuk dan keluar sesuai TLSK.
10) Melaksanakan administrasi penggandaan dan pendistribusian
ATK pada fungsi terkait.
11) Mengelola administrasi SDM yang meliputi: SPPD, absensi
pegawai, penilaian kinerja pegawai, pembayaran gaji dan
tunjangan serta biaya perawatan kesehatan.
12) Mengelola rumah tangga kantor dan kendaraan, serta
membantu pelaksanaan kegiatan hukum.
13) Membuat SPK untuk pekerjaan rumah tangga kantor dengan
pihak ketiga.
f. Supervisor Pengendalian Penagihan
Tugas Pokok Supervisor Pengendalian Penagihan yaitu:
1) Menyusun rencana dan melakukan pembukuan pendapatan
operasi.
2) Bertanggung jawab atas penerimaan, perhitungan, dan
pendistribusian rekening ke tempat pembayaran.
3) Bertanggung jawab atas pelaksanaan penagihan dan
76
pelayanan penerimaan pembayaran piutang pelanggan.
4) Melaksanakan uji petik pemeriksaan saldo piutang, daftar
pelunasan rekening dan penyetoran uang ke bank payment
point.
5) Bertanggung jawab atas penyetoran uang/giral/cek/atau
bukti setoran dari hasil penagihan ke fungsi akuntansi.
6) Mengelola, mengawasi, dan mengevaluasi saldo piutang
listrik (tunggakan rekening listrik dan piutang ragu-ragu).
7) Melakukan rekonsiliasi penerimaan pendapatan operasi
dengan fungsi terkait secara harian.
g. Supervisor Penertiban
Tugas Pokok Supervisor Penertiban adalah bertanggung jawab
dalam pelaksanaan penyusunan rencana dan pelaksanaan pekerjaan
penertiban yang meliputi: Penertiban teknik Instalasi, pemutusan dan
penyambungan, bongkar rampung serta pengendalian Losses dan PJU.
Supervisor Penertiban mempunyai fungsi sebagai berikut:
1) Menyusun program kerja fungsi penertiban sebagai pedoman
kerja.
2) Membuat usulan anggaran dan TIM untuk pelaksanaan
P2TL.
3) Melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk
pelaksanaan P2TL.
4) Menyusun jadwal dan melaksanakan P2TL.
77
5) Menetapkan Target Operasi (TO) Penertiban Pemakaian
Tenaga Listrik (P2TL).
6) Membuat laporan hasil pelaksanaan P2TL yang telah
dilaksanakan.
7) Mengelola penertiban jenis tarif listrik sesuai
peruntukannya.
8) Mengelola pemutusan sementara (TUL VI-01) dan bongkar
rampung (TUL VI-03).
9) Mengelola penyambungan kembali berdasarkan permintaan
dari Supervisor Pengendalian Penagihan.
10) Membuat rekapitulasi pelaksanaan pemutusan dan bongkar
rampung serta penyambungan kembali untuk disampaikan
kepada Supervisor Pengendalian Penagihan.
11) Mengusulkan pemegang atau penanggung jawab tang segel
penertiban, pemutusan dan penyambungan.
12) Mengelola data hasil penyegelan tang segel penertiban,
pemutusan dan penyambungan.
13) Mengelola data base pelaksanaan segel plastik.
14) Membuat action plan dan pemantauan program penurunan
susut.
15) Melaksanakan pembacaan KWH meter transaksi pada gardu
induk dan KWH batas antar unit.
78
16) Membuat neraca energi sebagai bahan perhitungan susut
KWH.
17) Memantau susut Distribusi dan melakukan upaya untuk
penekanan susut teknik maupun non teknik.
18) Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam
rangka inventarisasi dan penertiban PJU secara periodik.
19) Membuat laporan berkala sesuai bidangnya.
1.4 Ketenagakerjaan
Terkait dengan ketenagakerjaan dapat dilihat di dalam Perjanjian Kerja
Bersama antara PT PLN (Persero) dengan Serikat Pekerja PT PLN (Persero).
Disebutkan dalam Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan Perjanjian Kerja
Bersama adalah perjanjian hasil perundingan yang diselenggarakan antara
SP-PLN dengan PT PLN (Persero) yang dicatatkan di Kementerian yang
membidangi ketenagakerjaan untuk mengatur dan melindungi hak serta
kewajiban kedua belah pihak yang selanjutnya disingkat dengan PKB.
Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perseroan
adalah PT PLN (Persero) yang didirikan dengan Akta Notaris Soetjipto, SH
Nomor 169 Tahun 1994 beserta perubahannya. Sedangkan yang dimaksud
dengan Serikat Pekerja adalah Serikat Pekerja PT PLN (Persero) yang
selanjutnya disebut SP-PLN, terdiri dari DPD, DPD, DPC, dan DPAC (Pasal
1 angka 7).
Mengenai istilah “pekerja”, dalam PKB ini banyak digunakan dengan
istilah “pegawai”, seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 1 angka 8
79
sebagai berikut :
Pegawai adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
diangkat, bekerja, dan diberi penghasilan menurut ketentuan yang berlaku
di Perseroan, atau dapat juga disebut Pekerja.
1.4.1 Hak dan Kewajiban PT PLN (Persero)
Pasal 5 ayat (1) PKB, menyebutkan bahwa Perseroan berhak
untuk mengatur pegawai dan jalannya Perseroan, memberikan sanksi
kepada pegawai yang melanggar peraturan disiplin pegawai,
mengajukan keberatan atas tidakan SP-PLN yang bertentangan
dengan PKB, serta membuat aturan Kepegawaian dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan Pegawai. Sedangkan kewajiban PT PLN
(Persero) dijelaskan dalam pasal 6 ayat (1) PKB, yaitu :
a. Mentaati dan melaksanakan isi PKB;
b. Menjaga, membina dan meningkatkan hubungan yang
harmonis melalui kerjasama yang baik dengan Serikat
Pekerja (SP-PLN), menghormati dan mempercayai
sehingga hubungan industrial benar-benar terbina,
terpelihara dan dilaksanakan sebagaimana mestinya;
c. Melaksanakan pengelolaan Perseroan secara efisien
dengan membangun dan membina terciptanya Perseroan
yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
dalam rangka mewujudkan Good Corporate Governance
(GCG);
80
d. Menempatkan anggota Dewan Pengawas Dana Pensiun
PLN mewakili peserta yang ditunjuk oleh SP-PLN, dengan
jumlah dan persyaratan sesuai peraturanan perundang-
undangan yang berlaku;
e. Menerapkan sistem SDM dengan best practice perusahaan
terkemuka di Indonesia.
1.4.2 Perlindungan Hukum Bagi Pensiunan PT PLN (Persero)
Pegawai PT PLN (Persero) yang diberhentikan sebagai
Pegawai bukan karena hukuman disiplin diberikan hak-hak sebagai
berikut (Pasal 57 ayat (3) PKB) :
a. Penghargaan;
b. Manfaat pensiun atau pengembalian iuran Peserta bagi
Pegawai yang menjadi peserta Dana Pensiun PLN;
c. Pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai yang berhenti
bekerja pada usia 56 (lima puluh enam) tahun dan telah
memiliki masa kerja di Perseroan paling sedikit 16 (enam
belas) tahun atau berhenti bekerja karena cacat atau
berhenti bekerja karena meninggal dunia/tewas, dan
diberikan kepada keluarga Pegawai yang memenuhi
persyaratan.
81
1.4.2.1 Penghargaan
Bagi Pegawai yang diberhentikan sebagai Pegawai,
serta telah memiliki masa kerja paling sedikit 3 (tiga) tahun
terus menerus dan tidak terputus di Perseroan, termasuk masa
kerja sebagai Tenaga Harian dan Calon Pegawai berhak
mendapatkan penghargaan (Pasal 51 ayat 1 PKB).
Penghargaan yang dimaksud adalah sebagai uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, yang
besarannya ditetapkan sebagai berikut (Pasal 51 ayat 2 PKB) :
a. Uang penghargaan untuk Pegawai yang
mempunyai masa kerja 1 (satu) tahun sampai
dengan 15 (lima belas) tahun, penghargaan per
tahun masa kerja diberikan sebesar 1 (satu) kali
penghasilan bulan terakhir;
b. Uang penghargaan untuk Pegawai yang
mempunyai masa kerja ke 16 (enam belas) tahun
dan seterusnya, penghargaan per tahun masa kerja
diberikan sebesar 2 (dua) kali penghasilan bulan
terakhir.
1.4.2.2 Pemeliharaan Kesehatan
Berdasarkan Pasal 57 ayat (3) huruf c PKB, disebutkan
bahwa pemeliharaan kesehatan diberikan bagi Pegawai yang
berhenti bekerja pada usia 56 (lima puluh enam) tahun dan
82
telah memiliki masa kerja di Perseroan paling sedikit 16 (enam
belas) tahun atau berhenti bekerja karena cacat atau berhenti
bekerja karena meninggal dunia, dan diberikan kepada
keluarga Pegawai yang memenuhi persyaratan.
Pelaksanaan program pemeliharaan kesehatan ini
mengacu pada Pasal 43 dan 44 PKB sebagai berikut :
Pasal 43 (1) Pegawai, keluarga Pegawai (Istri/Suami dan anak yang
memenuhi syarat) yang terdaftar dan diakui di Perseroan berhak mendapatkan pemeliharaan kesehatan.
(2) Istri/Suami yang bekerja di perusahaan/institusi lain dapat diberikan bantuan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan syarat perusahaan/institusi tempat istri/suami tersebut bekerja tidak menyelenggarakan fasilitas kesehatan, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari perusahaan/institusi lain tempat istri/suami tersebut bekerja.
(3) Suami yang tidak bekerja, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Kelurahan, dapat diberikan bantuan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa rawat inap dan rawat jalan.
(4) Batas usia anak yang diberikan pemeliharaan kesehatan adalah usia 25 (dua puluh lima) tahun dengan ketentuan tidak/belum pernah kawin dan atau tidak mempunyai penghasilan sendiri dan atau masih menjadi tanggungan pegawai.
(5) Jumlah anak yang ditanggung sesuai ayat (1) dan ayat (2) di atas maksimum 3 (tiga) orang anak, dengan ketentuan apabila anak yang ditanggung sudah melampaui usia sebagaimana ayat (2) di atas secara otomatis digantikan oleh anak dengan urutan berikutnya yang belum masuk daftar anak yang ditanggung.
(6) Pemeriksaan dan pengobatan dapat dilakukan di sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah atau milik swasta, yang terdiri atas : a. Dokter; b. Rumah sakit; c. Apotik;
83
d. Laboratorium dan tempat pemeriksaan penunjang lainnya.
(7) Untuk memudahkan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (6) Perseroan dapat melanggan dokter, rumah sakit, laboratorium dan apotik.
(8) Pelaksanaan penetapan dokter, rumah sakit, laboratorium dan apotik yang dilanggan dan penetapan kelas rawat inap, serta pelaksanaan rawat jalan, untuk lingkungan Kantor Pusat oleh Pejabat Manajemen Atas terkait dan untuk PLN Unit diserahkan kepada Pimpinan Unit PLN setempat, dengan cara melakukan koordinasi dengan Unit PLN lainnya apabila dalam satu wilayah kerja terdapat beberapa Unit PLN.
(9) Pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud ayat (8) untuk mencapai efisiensi yang lebih optimal.
(10) Jenis bantuan pemeliharaan kesehatan yang ditanggung oleh Perseroan, terdiri atas : a. Rawat jalan; b. Rawat inap; c. Pemeriksaan kehamilan; d. Pertolongan persalinan sampai dengan anak ketiga; e. Pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan untuk
peneguhan diagnosa. (11) Bantuan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), terdiri atas : a. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter
umum/dokter gigi; b. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis,
tidak termasuk perawatan wajah dan kecantikan (skin care);
c. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis, tidak termasuk bedah plastik (kosmetik) kecuali akibat Kecelakaan Dinas;
d. Pertolongan persalinan atau gugur kandung atas indikasi medis;
e. Pelayanan keluarga berencana dan imunisasi/vaksinasi yang menjadi program Pemerintah serta bedah minor (khitan);
f. Alat-alat rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi alat tubuh seoptimal mungkin termasuk kacamata;
g. Upaya peningkatan kesehatan Pegawai yang diselenggarakan oleh Perseroan secara massal;
h. Pemeriksaan kesehatan berkala (khusus) bagi Pegawai yang menjalankan tugas di tempat-tempat kerja yang berpotensi bahaya yang dapat mengakibatkan penyakit yang timbul karena
84
hubungan kerja; i. Pemeriksaan kesehatan berkala (umum) bagi
Pegawai yang usianya lebih dari 40 (empat puluh) tahun;
j. Obat yang diperlukan sehubungan dengan huruf a sampai i sesuai ketentuan yang berlaku.
(12) Rawat jalan yang dimaksud dalam ayat (10) huruf a, adalah pemeliharaan kesehatan yang dilakukan oleh dokter/bidan atau dilakukan di Rumah Sakit, termasuk pemeriksaan penunjang, perawatan dan pengobatan gigi serta pengobatan dalam kondisi darurat gawat.
(13) Rawat inap sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) huruf b, paling rendah menggunakan fasilitas kelas II.
(14) Biaya pemeliharaan kesehatan ditanggung 100 % (seratus perseratus) oleh Perseroan dengan cara restitusi, kecuali di Rumah Sakit yang dilanggan Perseroan.
(15) Penyalahgunaan terhadap fasilitas pemeliharaan kesehatan dikenakan sanksi hukuman disiplin.
Pasal 44
Jenis bantuan pemeliharaan kesehatan yang tidak ditanggung oleh Perseroan, adalah:
a. Biaya pengobatan penyakit yang timbul sebagai akibat dari perbuatan yang bersangkutan, antara lain : (a) Penyalahgunaan obat (narkoba); (b) Percobaan bunuh diri;
b. Perawatan wajah untuk kecantikan (skin care) dan bedah plastik (kosmetik) yang bukan akibat kecelakaan dinas;
c. Pemeliharaan kesehatan yang tidak termasuk standar prosedur perawatan baku (seperti terapi ozon dan lain-lain);
b. Pengobatan penyakit AIDS disebabkan karena perbuatan amoral.
c. Pengobatan non medis.
1.4.3 Dana Pensiun PT PLN (Persero)
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu
hak pensiunan PT PLN (Persero) yaitu mendapatkan manfaat pensiun
atau pengembalian iuran peserta Dana Pensiun PLN. Hak ini
diberikan bagi pegawai yang menjadi peserta Dana Pensiun PLN
85
karena kepesertaan Dana Pensiun PLN ini bersifat sukarela, jadi
hanya pegawai yang menjadi peserta program Dana Pensiun PLN
sajalah yang mendapatkan hak ini.
Dana Pensiun PLN ini merupakan kelanjutan dari Yayasan
Dana Pensiun Perusahaan Umum Listrik Negara yang dibentuk
berdasarkan Akta Nomor 65 tanggal 19 Desember 1989 oleh Adlan
Yulizar, S.H. Notaris di Jakarta dengan nama Yayasan Dana Pensiun
Perusahaan Umum Listrik Negara serta telah diumumkan dalam
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 40 tanggal 18
Mei 1990 yang pembentukan dananya telah mendapat persetujuan
dari Menteri Keuangan RI berdasarkan surat Nomor
S.049/MK.13/1992 tanggal 10 Januari 1992, kemudian disesuaikan
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun, didirikan berdasarkan Keputusan Direksi Perusahaan Umum
Listrik Negara Nomor 035.K/706/DIR/1993 tanggal 13 April 1993
dengan nama Dana Pensiun Perusahaan Umum Listrik Negara, untuk
jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya. Dengan dialihkannya
bentuk hukum Perusahaan Umum Listrik Negara menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero), sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah RI Nomor 23 Tahun 1994, Dana Pensiun Perusahaan
Umum Listrik Negara diubah menjadi Dana Pensiun PT PLN
(Persero) yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan RI dengan
Keputusan Nomor KEP.284/KM.17/1997 tanggal 15 Mei 1997 dan
86
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor KEP-40/KM.10/2009 tanggal 23 Maret 2009.
Dalam melaksanakan program pensiun Pegawai ini, Dana
Pensiun PLN berpedoman pada Peraturan Dana Pensiun PLN yang
saat ini berlaku yaitu Keputusan Direksi PT PLN (Persero) Nomor
010.K/DIR/2011 tentang Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun
PT PLN (Persero). Peraturan Dana Pensiun ini disebut Peraturan Dana
Pensiun dari Dana Pensiun PT PLN (Persero) Tahun 2011 yang
disingkat PDP-DPPLN 2011.
1.4.3.1 Jenis Program Pensiun
Jenis program pensiun yang dijalankan oleh Dana
Pensiun PLN adalah Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP).
Program Pensiun Manfaat Pasti adalah Program Pensiun yang
manfaatnya ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
1.4.3.2 Syarat Kepesertaan
Berdasarkan PDP-DPPLN 2011 Pasal 34, yang
dimaksud peserta adalah setiap orang yang memenuhi
persyaratan Peraturan Dana Pensiun, dan telah terdaftar pada
Dana Pensiun PLN, yang terdiri atas :
a. Pegawai.
b. Pensiunan.
c. Mantan Pegawai yang masih berhak atas Pensiun
Ditunda.
87
Sedangkan syarat kepesertaan, disebutkan dalam Pasal
35 PDP-DPPLN 2011, yaitu :
a. Setiap Pegawai yang diangkat sebelum tanggal 1
Januari 2012 dan Usia Pensiun Normalnya
ditetapkan 56 tahun berhak menjadi Peserta.
Maksud pembatasan kepesertaan ini adalah untuk
menyesuaikan dengan kebijakan yang berkaitan
dengan pengendalian resiko atas beban jangka
panjang Perseroan.
b. Untuk menjadi Peserta, Pegawai yang
bersangkutan wajib mendaftarkan diri dan
menyatakan kesediaannya untuk dipotong
Penghasilan Dasar Pensiunnya guna membayar
Iuran Peserta kepada Dana Pensiun PLN.
1.4.3.3 Mulai dan Berakhirnya Kepesertaan
Kepesertaan dimulai sejak yang bersangkutan
ditetapkan sebagai Peserta dan berakhir apabila :
a. Peserta meninggal dunia/tewas; atau
b. Peserta telah berhenti bekerja pada Pemberi Kerja
yang bersangkutan dengan mengalihkan dananya
ke Dana Pensiun lain; atau
c. Peserta berhenti bekerja sebelum mencapai Usia
Pensiun Dipercepat dengan masa kepesertaan
88
kurang dari 3 (tiga) tahun.
1.4.3.4 Hak dan Kewajiban Peserta
Kewajiban Peserta Dana Pensiun PLN berdasarkan
Pasal 37 PDP-DPPLN 2011 yaitu :
a. Wajib membayar Iuran Peserta.
b. Mematuhi Peraturan Dana Pensiun dan peraturan
pelaksanaannya.
c. Mendaftarkan Isteri / Suami dan atau Anak atau
Pihak Yang Ditunjuk ke Pemberi Kerja dan Dana
Pensiun serta memberitahukan tiap perubahannya.
d. Setiap Penerima Manfaat Pensiun wajib mengisi
dan menyampaikan formulir Surat Pernyataan
Tanda Bukti Diri (SPTB) dalam rangka pendataan
ulang.
Sedangkan hak peserta Dana Pensiun PLN yaitu :
a. Berhak atas Manfaat Pensiun Normal atau Manfaat
Dipercepat atau Manfaat Cacat atau Pensiun
Ditunda.
b. Iuran Peserta dan hasil Pengembangannya apabila
berhenti bekerja sebelum Usia Pensiun Dipercepat
dan memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga)
tahun, dan dibayarkan secara sekaligus.
c. Peserta yang tidak mempunyai Isteri / Suami dan
89
anak, berhak menunjuk Pihak yang Ditunjuk untuk
menerima hak atas Manfaat Pensiun apabila yang
bersangkutan meninggal dunia.
d. Berhak menyampaikan pendapat dan saran atas
perkembangan portofolio investasi dan hasilnya.
e. Berhak melihat hasil pengawasan terhadap
pengelolaan Dana Pensiun PLN.
1.4.3.5 Biaya yang Merupakan Beban Dana Pensiun
Pasal 72 ayat 1 PDP PLN 2011 menyebutkan bahwa
biaya untuk pembayaran Manfaat Pensiun dibiayai oleh Dana
Pensiun PLN. Adapun biaya-biaya yang dimaksud adalah
sebagai berikut (Pasal 72 ayat 2 PDP PLN 2011) :
a. biaya administrasi kantor, termasuk biaya jasa
keahlian, biaya pemeliharaan kantor gedung atau
inventaris, biaya perkantoran, alat tulis kantor,
perangkat komputer, barang cetakan, pemakaian
listrik, air, pos, telegram, telex, facsimile, telepon,
sewa, biaya pengolahan data, dan konsumsi;
b. biaya investasi;
c. penghasilan, uang jasa, tunjangan dan bonus bagi
Anggota Pengurus dan Anggota Dewan Pengawas;
d. biaya kepegawaian Dana Pensiun PLN, termasuk
gaji, upah, uang lembur, uang konsumsi, kesehatan,
90
pakaian dinas, tunjangan, bonus, jaminan hari tua,
uang duka / kemalangan, uang ganti rugi, uang jasa
purnakarya dan asuransi pegawai Dana Pensiun
PLN;
f. biaya umum, termasuk honorarium, rapat,
penyuluhan, perjalanan dinas dan transport;
g. biaya pendidikan termasuk latihan, seminar,
lokakarya dan kursus;
h. biaya Akuntan Publik, Aktuaris, Penerima Titipan,
Konsultan, Notaris, Pengacara, Penasehat Hukum,
Penilai, biaya riset, biaya bank dan biaya
pengumuman dalam Berita Negara Republik
Indonesia;
i. biaya asuransi, pajak, penerbitan dan eksibisi,
iuran, abonemen, iklan dan retribusi, biaya
penyusutan;
j. biaya pembubaran dan likuidasi dalam hal terjadi
pembubaran Dana Pensiun PLN.
1.4.3.6 Iuran
Iuran diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dana
guna membiayai Program Pensiun terdiri dari Iuran Normal
dan Iuran Tambahan (Pasal 44 PDP-DPPLN 2011). Iuran
Normal adalah iuran yang diperlukan untuk membiayai
91
kewajiban Masa Kerja yang akan datang sesuai perhitungan
aktuaria yang didasarkan pada prosentase Penghasilan Dasar
Pensiun. Sedangkan Iuran Tambahan adalah iuran yang
digunakan untuk melunasi defisit yang timbul sesuai dengan
perhitungan aktuaria. Iuran Tambahan menjadi kewajiban dan
tanggung jawab Pemberi Kerja (PT PLN Persero), sedangkan
Iuran Normal menjadi kewajiban dan tanggung jawab Peserta
dan Pemberi Kerja.
Iuran Normal yang menjadi kewajiban Peserta disebut
Iuran Peserta, sementara Iuran Normal yang menjadi
kewajiban Pemberi Kerja disebut Iuran Pemberi Kerja (Pasal
45 PDP-DPPLN 2011). Besar Iuran Peserta perbulan adalah
6% (enam perseratus) dari Penghasilan Dasar Pensiun (PhDP),
sedangkan besar Iuran Pemberi Kerja adalah selisih antara
prosentase Iuran Normal dengan Iuran Peserta dikalikan PhDP
(Pasal 46 PDP-DPPLN 2011). Berdasarkan Surat Keputusan
Direksi PT PLN (Persero) Selaku Pendiri Dana Pensiun PT
PLN (Persero) Nomor 219.K/DIR/2011, besar Iuran Pemberi
Kerja perbulan adalah 11,21% dari Penghasilan Dasar Pensiun
(PhDP).
Tentang tata cara pembayaran iuran diatur dalam Pasal
47 PDP-DPPLN 2011 sebagai berikut :
92
a. Pegawai yang menjadi Peserta, wajib membayar
Iuran Peserta setiap bulan, yang dipotong langsung
oleh Pemberi Kerja dari penghasilan Pegawai yang
bersangkutan.
b. Iuran Peserta dan Iuran Pemberi Kerja dimulai
pada bulan sejak Pegawai ditetapkan sebagai
Peserta dan berakhir pada saat Peserta berhenti
bekerja atau meninggal dunia/tewas atau Pensiun.
c. Pemberi Kerja wajib menyetor seluruh Iuran
Peserta dan Iuran Pemberi Kerja kepada Dana
Pensiun PLN selambat-lambatnya tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya.
d. Iuran Peserta dan Iuran Pemberi Kerja yang belum
disetor setelah melampaui 2,5 (dua setengah) bulan
sejak jatuh tempo dinyatakan:
(1) sebagai hutang Pemberi Kerja yang dapat
segera ditagih dan dikenakan bunga yang layak,
yaitu bunga tertinggi dari deposito berjangka 6
(enam) bulan yang berlaku pada bank
Pemerintah yang dihitung sejak hari pertama
dari bulan;
(2) sebagai piutang Dana Pensiun PLN yang
memiliki hak utama dalam pelaksanaan
93
eksekusi putusan Pengadilan apabila Pemberi
Kerja dilikuidasi.
1.4.3.7 Manfaat Pensiun
Manfaat Pensiun (MP) adalah pembayaran berkala
yang dibayarkan kepada Peserta pada saat dan dengan cara
yang ditetapkan dalam PDP93. Rumusan perhitungan MP
secara garis besar adalah sebagai berikut :
MP = (FP1 x MK1 x PhDP1) + (FP2 x MK2 X PhDP2)
atau
MP = MP1 + MP2
Keterangan : FP = Faktor Penghargaan; MK1 = Masa Kerja sampai dengan Juli 2001; MK2 = Masa Kerja mulai Agustus 2001 sampai dengan Peserta berhenti bekerja PhDP = Penghasilan Dasar Pensiun PhDP1 = Gaji Pokok Peserta pada Juli 2001 x 36,52 PhDP2 = Gaji Dasar terakhir pada saat berhenti bekerja94
1.4.3.8 Jenis Manfaat Pensiun
Pasal 48 PDP-PLN 2011 menyebutkan bahwa jenis-
jenis manfaat pensiun yang diberikan bagi peserta Dana
Pensiun PLN adalah sebagai berikut :
a. Manfaat Pensiun Normal, dibayarkan kepada
Peserta yang berhenti bekerja dan telah mencapai
93 Dana Pensiun PT PLN, 2011, Panduan Peraturan Dana Pensiun (PDP) 2011. Jakarta : Dana Pensiun PT PLN, hal 10.
94 Ibid.
94
Usia Pensiun Normal;
b. Manfaat Pensiun Dipercepat, dibayarkan kepada
Peserta yang berhenti bekerja dan
sekurangkurangnya telah mencapai Usia Pensiun
Dipercepat tetapi belum mencapai Usia Pensiun
Normal;
c. Manfaat Pensiun Cacat, dibayarkan kepada Peserta
yang berhenti bekerja karena Cacat;
d. Pensiun Ditunda, bagi Peserta yang berhenti
bekerja pada usia kurang dari 46 (empat puluh
enam) dan memiliki masa kepesertaan 3 (tiga)
tahun atau lebih.
2. Data Primer
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Setyadi yang bekerja sebagai
Supervisor Keuangan dan Administrasi di PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga,
diperoleh data sebagai berikut:
2.1 PT PLN (Persero) pada awalnya merupakan Perusahaan Umum (Perum)
saat ini telah mengalami perubahan status perusahaan menjadi Persero,
dengan perubahan status tersebut hak-hak dan kewajiban bagi pekerja
mengacu pada perjanjian kerja bersama yang setiap dua tahun ke depan
mengalami perubahan.
95
2.2 Hak-hak pensiunan pegawai diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) antara PT PLN (Persero) dengan Serikat Pekerja PT PLN
(Persero).
2.3 PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga tidak mendaftarkan pegawainya
pada program Jaminan Hari Tua (JHT) yang diselenggarakan oleh PT
Jamsostek. Alasannya adalah mengikuti kebijakan PT PLN (Persero)
pusat.
B. Pembahasan
Pekerja memiliki peran yang sangat penting dalam perusahaan. Agar pekerja
dapat bekerja secara maksimal, dan dapat mempertahankan produktivitas
perusahaan, pengusaha perlu memperhatikan hak-hak dari pekerjanya. Pasal 27 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bunyi pasal tersebut
jelas menyatakan, bahwa setiap orang sebagai warga negara berhak untuk
medapatkan pekerjaan yang layak dan berhak pula untuk memperoleh perlindungan,
baik dari pengusaha maupun dari pemerintah.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 99 ayat (1) menyebutkan
bahwa setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan
sosial tenaga kerja. Lebih lanjut pada ayat (2) pasal tersebut menyebutkan bahwa
jaminan sosial tenaga kerja tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Jaminan sosial tenaga kerja diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Undang-Undang Jamsostek) serta Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993
96
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (yang telah diubah
sebanyak 8 kali, perubahan terakhir peraturan pemerintah ini yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012) sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang
tersebut.
Ruang lingkup jaminan sosial tenaga kerja berdasarkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992 adalah:
1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK);
2. Jaminan Kematian (JKM);
3. Jaminan Hari Tua (JHT);
4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).
Penulis akan membahas mengenai program Jaminan Hari Tua (JHT) karena
program ini yang terkait dengan perlindungan pensiunan yang dibahas dalam
penelitian ini.
Jaminan Hari Tua merupakan program tabungan wajib yang berjangka
panjang dimana iurannya ditanggung oleh pekerja/buruh dan pengusaha, namun
pembayarannya kembali hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat-syarat
tertentu. Pada dasarnya program jaminan hari tua dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1992 merupakan “pembaruan” dari program tabungan hari tua sebagaimana
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi
Sosial Tenaga Kerja. Pembaruan yang dimaksudkan itu adalah dengan penambahan
besarnya iuran yang diwajibkan kepada pekerja/buruh95.
95 Zaeni Asyhadie, 2008, Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia,
Jakarta : Rajawali Press, hal 160.
97
Tabungan biasa, tabungan hari tua dan jaminan hari tua memiliki perbedaan
yang mencolok. Berikut adalah perbedaan antara ketiga “program” tersebut 96:
Tabungan Biasa
Tabungan Hari Tua Jaminan Hari Tua
• Penyelenggaraannya
dilakukan secara sukarela oleh pekerja/buruh dengan menyetor sendiri pada bank atau lebaga keuangan lainnya yang dikehendaki.
• Penyelenggaraannya
dilakukan secara wajib berdasarkan PP No. 33 Tahun 1977, dengan iuran dibayar langsung oleh pengusaha kepada badan penyelenggara (Perum ASTEK).
• Penyelenggaraannya
dilakukan secara wajib berdasarkan UU No. 3 Tahun 1992, dengan iuran dibayar langsung oleh pengusaha kepada badan penyelenggara (PT JAMSOSTEK).
• Besar iuran/tabungan tergantung kemampuan pekerja/buruh yang bersangkutan.
• Besar iuran 2,5% dari upah pekerja/buruh, dengan rincian 1,5% ditanggung oleh pengusaha dan 1% ditanggung oleh pekerja/buruh.
• Besar iuran 5,7% dari upah pekerja/buruh, dengan rincian 3,7% ditanggung oleh pengusaha dan 2% ditanggung oleh pekerja/buruh.
• Pengambilannya bebas, tergantung kebutuhan pekerja/buruh.
• Pengambilan dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu dan dibayar secara lumpsum (sekaligus).
• Pengambilan dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu dan dibayar secara lumpsum (sekaligus), dan juga dibayar secara berkala apabila memenuhi syarat yang ditentukan.
• Hasil tabungan sesuai
dengan besar tabungan yang telah disetor, ditambah presentase bunga yang kadangkala berubah sesuai dengan perkembangan perkonomian.
• Hasil tabungan yang diterima pekerja/buruh lebih dari 150% dari yang disetor pekerja/buruh karena adanya tambahan iuran oleh pengusaha, ditambah bunga yang besarnya diumumkan setiap tahun.
• Besar jaminan yang diterima oleh pekerja/buruh hampir 175% lebih dari yang disetor pekerja/buruh karena adanya iuran oleh pengusaha, ditambah hasil pengembangan oleh badan penyelenggara yang besarnya diumumkan setiap tahun.
96 Ibid, hal 161.
98
Kepesertaan jaminan hari tua bersifat wajib secara nasional bagi semua
pekerja/buruh yang memenuhi persyaratan. Persyaratan yang dimaksudkan adalah
khusus bagi pekerja/buruh harian lepas, borongan, dan pekerja/buruh dengan
perjanjian kerja waktu tertentu yang harus bekerja di perusahaannya lebih dari tiga
bulan97. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat 1 dan Pasal 4 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang berbunyi
sebagai berikut.
Pasal 3 ayat 1 :
Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan
program jaminan sosial tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan
dengan mekanisme asuransi.
Pasal 4 ayat 1 :
Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang
ini.
Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993
menyebutkan bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10
(sepuluh) orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000 (satu
juta rupiah) sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program
jaminan sosial tenaga kerja, yang di dalamnya termasuk program Jaminan Hari Tua.
97 Ibid, hal 163.
99
Berdasarkan data 1.3, jumlah pegawai PT PLN (Persero) yaitu 17 orang.
Artinya, PT PLN (Persero) wajib mengikutsertakan pegawainya ke dalam program
jaminan sosial tenaga kerja yang dijalankan oleh PT Jamsostek, yang termasuk di
dalamnya program Jaminan Hari Tua (JHT) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan data 1.4.2 dan data 2.3, bahwa PT PLN (Persero) belum
mengikutsertakan pegawainya pada program Jaminan Hari Tua (JHT) yang
diselenggarakan oleh PT Jamsostek. Artinya, PT PLN (Persero) melanggar ketentuan
Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993. Atas pelanggaran ini, PT PLN (Persero) dapat
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1992 serta Pasal 47 a Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagai
berikut.
Pasal 29 ayat 1: Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Pasal 47 a : Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 8 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 19 serta Pasal 20 ayat (1), dan telah diberikan peringatan tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan ijin usaha.
Selanjutnya penulis akan membahas mengenai pelaksanaan dana pensiun yang
diberikan bagi pegawai PT PLN (Persero). Dana Pensiun menurut Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 adalah badan hukum yang mengelola dan
100
menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. Indonesia sendiri
mengenal dua bentuk dana pensiun, yaitu Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan
Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 menyebutkan bahwa
Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh orang
atau badan yang mempekerjakan karyawan, selaku pendiri, untuk menyelenggarakan
Program Pensiun Manfaat Pasti atau Program Pensiun Iuran Pasti, bagi kepentingan
sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta, dan yang menimbulkan
kewajiban terhadap Pemberi Kerja.
Berdasarkan data 1.4.3, Dana Pensiun PLN merupakan Dana Pensiun Pemberi
Kerja (DPPK), oleh karena itu Dana Pensiun PLN hanya boleh menjalankan program
Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) atau Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP)
saja. Data 1.4.3.1 telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan tersebut.
Pada masa berlakunya Arbeidersfondsen Ordonnantie, yayasan dana pensiun
bebas menjalankan usahanya. Yayasan dana pensiun dapat menjalankan bermacam-
macam program di samping program pensiun, seperti program tunjangan hari tua,
program bea siswa, pinjaman kepada peserta pensiunan, penggantian biaya
perawatan/kesehatan, dan program lainnya yang bersifat sosial. Namun, sejak
berlakunya Undang-Undang Dana Pensiun, dana pensiun hanya diperkenankan
menyelenggarakan program pensiun saja dan tidak diperkenankan menyelenggarakan
program di luar program pensiun apapun nama dan bentuknya98.
98 Zulaini Wahab, 2005, Op. Cit, hal 23-24.
101
Agar menjamin bahwa dana pensiun benar-benar menyelenggarakan program
pensiun dan tidak menyelenggarakan program lain di luar program pensiun,
perundang-undangan di bidang dana pensiun melakukan pembatasan dengan
menetapkan hal-hal sebagai berikut :
a. Setiap pembentukan dana pensiun wajib mendapatkan pengesahan Menteri
Keuangan. Pengesahan pembentukan dana pensiun dilakukan melalui
pengesahan atas peraturan dana pensiun dari dana pensiun yang
bersangkutan (Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Dana Pensiun)99. Data 1.4.3
menyebutkan bahwa pendirian Dana Pensiun PLN berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor KEP-40/KM.10/2009 tanggal 23 Maret
2009. Berdasarkan data tersebut, Dana Pensiun PLN dalam pendiriannya
telah sesuai dengan ketentuan tersebut.
b. Peraturan dana pensiun dari suatu dana pensiun hanya dapat menjadi dasar
penyelenggaraan satu jenis program pensiun (Pasal 5 ayat 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992)100. Berdasarkan PDP-PLN 2011, Dana
Pensiun PLN hanya menjalankan Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP)
(data 1.4.3.1). Hal ini berarti, dalam menjalankan program pensiunnya,
Dana PLN telah mengikuti peraturan perundangan yang berlaku.
c. Dana pensiun tidak diperkenankan melakukan pembayaran apa pun,
kecuali pembayaran yang ditetapkan dalam peraturan dana pensiun (Pasal
31 ayat 1 Undang-Undang Dana Pensiun)101. Data 1.4.3.5 telah sesuai
dengan ketentuan peraturan ini.
99 Ibid, hal 25. 100 Ibid. 101 Ibid.
102
d. Dalam peraturan dana pensiun harus dicantumkan biaya yang merupakan
beban dana pensiun (Pasal 4 huruf q Peraturan Pemerintah Nomor 76
Tahun 1992)102. Data 1.4.3.5 juga telah sesuai dengan ketentuan peraturan
tersebut.
Mengenai syarat kepesertaan dana pensiun pada Dana Pensiun Pemberi Kerja
(DPPK), Pasal 19 Undang-Undang Dana Pensiun menyebutkan bahwa yang berhak
menjadi peserta dana pensiun adalah:
a. setiap karyawan pendiri dan mitra pendiri (bila ada);
b. yang memenuhi syarat kepesertaan (dalam Dana Pensiun yang didirikan
oleh pemberi kerja);
c. berusia minimal 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;
d. dan telah memiliki masa kerja sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.103
Berdasarkan data 1.4.3.2, syarat kepesertaan Dana Pensiun PLN telah sesuai
dengan Pasal 19 Undang-Undang Dana Pensiun.
Kepesertaan peserta dana pensiun pemberi kerja dimulai sejak tanggal
terdaftar sebagai peserta dan berakhir apabila peserta meninggal dunia atau pensiun,
berhenti bekerja dengan mengalihkan haknya ke dana pensiun lain atau berhenti
bekerja sebelum masa kepesertaannya kurang dari tiga tahun104. Data 1.4.3.3 tentang
mulai dan berakhirnya kepesertaan Dana Pensiun PLN, telah sesuai dengan
ketentuan tersebut.
102 Ibid. 103 Ibid, hal 86. 104 Ibid, hal 87.
103
Hak-hak peserta Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), adalah sebagai berikut:
a. Memperoleh manfaat pensiun normal, atau manfaat pensiun cacat, atau
manfaat pensiun dipercepat, atau manfaat pensiun ditunda sesuai dengan
peraturan dana pensiun.
b. Memperoleh salinan mengenai hasil pengawasan dewan pengawas atas
pengelolaan dana pensiun yang dilakukan oleh pengurus.
c. Memperoleh keterangan dari pengurus mengenai neraca dan perhitungan
hasil usaha dana pensiun serta perkembangan portofolio investasi dan
hasilnya, minimal enam bulan sekali.
d. Menunjuk pihak yang ditunjuk menerima dana peserta apabila peserta
meninggal dunia dan tidak mempunyai istri/suami dan anak.
e. Menyampaikan saran dan pendapat kepada pendiri, dewan pengawas, dan
pengurus mengenai perkembangan portofolio investasi dan hasilnya. 105
Kewajiban peserta Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), adalah sebagai
berikut:
a. Menyatakan kesediaannya untuk dipotong gajinya guna membayar iuran
(apabila peserta diwajibkan membayar iuran).
b. Membayar iuran peserta (apabila peserta diwajibkan membayar iuran).
c. Memberikan data kepesertaan yang diperlukan oleh pengurus.
d. Mendaftarkan istri/suami dan anak serta melaporkan kepada pengurus
setiap terjadi perubahan susunan anggota keluarga.
105 Ibid.
104
e. Menaati peraturan dana pensiun yang bersangkutan.106
Data 1.4.3.4 tentang hak dan kewajiban peserta Dana Pensiun PLN telah
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di atas.
Iuran yang dilakukan oleh Dana Pensiun PLN menurut data 1.4.3.6 adalah
iuran peserta dan iuran pemberi kerja, hal ini telah sesuai dengan ketentuan pasal 15
ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun yang
menyebutkan bahwa iuran dana pensiun pemberi kerja berupa:
a. Iuran pemberi kerja dan peserta; atau
b. Iuran pemberi kerja
Besarnya iuran pemberi kerja yang dibayarkan oleh PT PLN (Persero) kepada
Dana Pensiun PLN sesuai dengan nilai aktuaria. Peraturan pembayaran tersebut juga
telah sesuai dengan pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun, yang menggunakan penghitungan iuran bagi pemberi kerja
berdasarkan pada laporan aktuaria. Dalam hal penyetoran yang terdapat pada data
1.4.3.6 juga telah sesuai dengan pasal 17 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, yang intinya penyetoran dilakukan selambat-
lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya dan iuran yang belum disetor setelah
melewati dua setengah bulan sejak jatuh tempo dinyatakan sebagai utang atau
piutang.
Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) adalah program pensiun yang
menjanjikan pembayaran manfaat pensiun kepada peserta yang besarnya manfaat
pensiun telah ditetapkan secara pasti di dalam peraturan dana pensiun (Pasal 1 angka
106 Ibid, hal 88.
105
(7) Undang-Undang Dana Pensiun). Dengan perkataan lain, besarnya manfaat
pensiun yang akan diterima peserta (setelah pensiun) telah ditentukan secara pasti
dalam bentuk rumus yang tercantum dalam peraturan dana pensiun107. Data 1.4.3.7
telah sesuai dengan ketentuan ini.
Peserta yang mengikuti Dana Pensiun PLN akan mendapatkan manfaat
pensiun (data 1.4.3.8), manfaat pensiun yang diberikan tersebut telah sesuai dengan
pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun,
bahwa peserta yang memenuhi persyaratan berhak atas manfaat pensiun normal, atau
manfaat pensiun cacat, atau manfaat pensiun dipercepat, atau manfaat pensiun
ditunda.
107 Ibid, hal 87.
106
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Hak-hak yang diberikan bagi pensiunan di PT PLN (Persero) Rayon
Purbalingga adalah sebagai berikut :
a. Penghargaan
Penghargaan yang dimaksud adalah sebagai uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Pegawai yang
mempunyai masa kerja 1 – 15 tahun, penghargaan per tahun masa kerja
diberikan sebesar 1 kali penghasilan bulan terakhir. Sedangkan untuk
pegawai yang mempunyai masa kerja ke 16 tahun dan seterusnya,
penghargaan per tahun masa kerja diberikan sebesar 2 kali penghasilan
bulan terakhir.
b. Pemeliharaan Kesehatan
Pelaksanaan pemeliharaan kesehatan ini mengikuti ketentuan yang ada di
Perjanjian Kerja Bersama, yang pada intinya pelaksanaan pemeliharaan
kesehatan bagi pensiunan PT PLN (Persero) ini sama dengan saat mereka
masih bekerja.
c. Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP)
Program ini diselenggarakan oleh Dana Pensiun PLN yang kepesertaanya
bersifat sukarela (tidak wajib). Pekerja yang mengikuti program ini dikenai
iuran setiap bulan sebesar 6%, sedangkan iuran bagi pemberi kerja
tergantung pada nilai aktuaria (Berdasarkan Surat Keputusan Direksi PT
107
PLN (Persero) Selaku Pendiri Dana Pensiun PT PLN (Persero) Nomor
219.K/DIR/2011, besar Iuran Pemberi Kerja perbulan adalah 11,21% dari
Penghasilan Dasar Pensiun).
PT PLN (Persero) Rayon Purbalingga belum mengikutkan pegawainya pada
program Jaminan Hari Tua (JHT) yang diselenggarakan oleh PT Jamsostek.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disimpulkan bahwa PT PLN
(Persero) Rayon Purbalingga belum memberikan perlindungan hukum bagi
pensiunannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, serta
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
B. Saran
PT PLN (Persero) hendaknya memenuhi hak pegawainya dengan
mengikutsertakan pegawainya pada program Jaminan Hari Tua (JHT) yang
diselenggarakan oleh PT Jamsostek sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja, serta Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (yang telah diubah sebanyak
8 kali, perubahan terakhir peraturan pemerintah ini yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2012) sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut.
108
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Asikin, Zainal, dkk, 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Asyhadie, Zaeni, 2007, Hukum Kerja, Jakarta : PT Raja Grafindo.
______________2008, Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, Jakarta : Rajawali Press.
Hamzah, Andi 1990, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta :
Rineka Cipta. Husni, Lalu, 2006, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Edisi Revisi),
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Khakim, Abdul, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Edisi
Revisi), Bandung : PT Citra Aditya Bakti. Manulang, Sundjung H, 1998, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan,
Jakarta:Rineka Cipta. Panduan Peraturan Dana Pensiun (PDP) 2011 Dana Pensiun PT PLN. Prinst, Darwan, 1994, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung : PT Citra
Aditya Bakti. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1999, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Jakarta: Ghalia Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Wahab, Zulaini, 2001, Dana Pensiun dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di
Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti. _____________2005. Segi Hukum Dana Pensiun, Jakarta : PT Raja Grafindo.
109
B. Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133). Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun Pemberi
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120). Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20).
Perjanjian Kerja Bersama antara PT PLN (Persero) dengan Serikat Pekerja PT
PLN (Persero) Periode Tahun 2010 – 2012. Peraturan Dana Pensiun (PDP) PT PLN (Persero) 2011.
C. Sumber lain
Lourenco Gusmao, 2011, Peranan SDA dan SDM terhadap Pembangunan Ekonomi, http://dodogusmao.wordpress.com. Diakses pada tanggal 16 April 2012.
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php. Diakses pada tanggal 30 September 2011.