saat terutang ppn

22
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan, kesempatan, dan semangat kepada kami untuk menyusun makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Pajak Pertambahan Nilai, yang dipandang perlu untuk dikuasai oleh mahasiswa dalam rangka membekali diri agar dapat menambah wawasan serta dapat menerapkan dalam bekerja. Terima kasih kepada dosen mata kuliah Pajak Pertambahan Nilai yang telah mengajar kami, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Kepada teman-teman dan sumber- sumber lainnya yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini, kami mengucapkan terima kasih. Dengan adanya keterbatasan, baik kemampuan maupun kesempatan, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran, serta sumbangan pemikiran dari pembaca sebagai bahan masukan yang membantu untuk penyempurnaan makalah ini. Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca. i

Upload: hanifah-atsariyana

Post on 30-Sep-2015

28 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Saat terutang PPN. Tempat terutang PPN. Kaitan dengan Penerbitan faktur Pajak. Pemusatan tempat terutang. UU PPN 1984. UU Pajak. Perpajakan Indonesia

TRANSCRIPT

KATA PENGANTARPuji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan, kesempatan, dan semangat kepada kami untuk menyusun makalah ini.Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Pajak Pertambahan Nilai, yang dipandang perlu untuk dikuasai oleh mahasiswa dalam rangka membekali diri agar dapat menambah wawasan serta dapat menerapkan dalam bekerja.Terima kasih kepada dosen mata kuliah Pajak Pertambahan Nilai yang telah mengajar kami, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Kepada teman-teman dan sumber-sumber lainnya yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini, kami mengucapkan terima kasih.Dengan adanya keterbatasan, baik kemampuan maupun kesempatan, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran, serta sumbangan pemikiran dari pembaca sebagai bahan masukan yang membantu untuk penyempurnaan makalah ini.Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca.

Bintaro, 15 April 2015

Penulis

DAFTAR ISIKATA PENGANTARiDAFTAR ISIiiBAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang1B. Tujuan1BAB IIPEMBAHASANA. Saat Terjadi Penyerahan2B. Saat Pajak Terutang Berdasarkan Pasal 11 UU PPN 19842C. Kaitan Antara Saat Pajak Terutang Dengan Saat PembuatanFaktur Pajak4D. Tempat Pajak Terutang Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 19845E. Pemusatan Tempat PPN Terutang (Sentralisasi)6BAB IIIPENUTUP12DAFTAR PUSTAKA13ii

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangKetentuan yang dianut dalam hal pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah bersifat akrual yaitu melihat peristiwa atau kejadian penyerahan barang yang mengakibatkan PPN, harus dipungut walaupun belum terjadi pembayaran atau pembayaran baru dilakukan sebagian. Dalam hal pembayaran diterima sebelum terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.B. Tujuan1. Memahami Saat Pajak Terutang Berdasarkan Pasal 11 UU PPN 19842. Memahami Saat Terjadi Penyerahan3. Memahami Kaitan Antara Saat Pajak Terutang Dengan Saat Pembuatan Faktur Pajak4. Memahami Tempat Pajak Terutang Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 19845. Memahami Pemusatan Tempat PPN Terutang (Sentralisasi)

13

BAB IIPEMBAHASANA. Saat Terjadi PenyerahanPajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang pada saat penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Dalam memori penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang undang PPN 1984 ditegaskan bahwa Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Hal ini juga berlaku untuk kegiatan transaksi melalui "electronic commerce". Prinsip akrual sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang undang PPN 1984 tersebut mencerminkan bahwa penentuan saat terutangnya PPN atas penyerahan barang dan penyerahan jasa sejalan dengan norma dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum. Dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum, penyerahan barang dianggap telah terjadi apabila risiko dan manfaat kepemilikan barang telah berpindah kepada pembeli dan jumlah pendapatan dari transaksi tersebut dapat diukur dengan handal. Demikian juga dengan penyerahan jasa diakui pada saat pendapatan atas penyerahan jasa tersebut telah dapat diestimasi atau diukur dengan handal. Dalam sistem akrual, pendapatan atau piutang diakui pada saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa melihat apakah atas transaksi tersebut telah dibayar ataupun belum dibayar. Pengakuan pendapatan atau pencatatan piutang dicerminkan dengan penerbitan invoice/faktur penjualan yang sekaligus menjadi dokumen sumber dan sebagai dasar pencatatan pengakuan pendapatan atau pencatatan piutang.B. Saat Pajak Terutang Berdasarkan Pasal 11 UU PPN 1984Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat:a. penyerahan Barang Kena Pajak;b. impor Barang Kena Pajak;c. penyerahan Jasa Kena Pajak;d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atauh. ekspor Jasa Kena Pajak.

1. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:a. penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat: Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli; Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang untuk pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antar cabang; Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan; atau harga atas penyerahan Barang Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.b. penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak berwujud tersebut, secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.c. penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud, terjadi pada saat: harga atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; atau kontrak atau perjanjian ditandatangani, atau saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian atau seluruhnya, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak diketahui.d. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat: ditandatanganinya akta pembubaran oleh Notaris; berakhirnya jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar; tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perusahaan dibubarkan; atau diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.e. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 1A ayat (2) huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai atau perubahan bentuk usaha, terjadi pada saat: disepakati atau ditetapkannya penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham yang tertuang dalam perjanjian penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha; atau ditandatanganinya akta mengenai penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha oleh Notaris.2. Impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.3. Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi pada saat: harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diketahui; atau mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak.4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e terjadi pada saat: harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya; harga jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau penggantian Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya, yang terjadi lebih dahulu.5. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terjadi pada tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian, dalam hal saat terjadinya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diketahui.6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean.7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terjadi pada saat Penggantian atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.8. Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terjadi pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.

C. Kaitan Antara Saat Pajak Terutang Dengan Saat Pembuatan Faktur PajakPasal 13 ayat (1) UU PPN 1984 menentukan : Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f dan untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c.Apabila sudah dikukuhkan menjadi PKP, maka diwajibkan untuk membuat faktur pajak atas setiap kegiatan penyerahan BKP maupun JKP, penyerahan secara lokal maupun penyeraha secara ekspor. Pembuatan Faktur Pajak sebagai bukti bahwa BKP/JKP tersebut dikenakan PPN yang berlaku sehingga akan mampu dikreditkan untuk Pajak Masukan pada akhir Massa Pajak dalam penyampaian SPT Massa yang harus disertai dengan Faktur Pajak tersebut.Pengusaha Kena Pajak harus membuat Faktur Pajak untuk setiap :1. penyerahan BKP2. penyerahan JKP3. eskpor barang BKP tak berwujud4. ekspor JKP Untuk mengetahui kapan faktur pajak harus diterbitkan, PKP harus memahami terlebih dahulu mengenai kapan saat terutangnya PPN. Sebab prinsipnya Faktur Pajak itu harus diterbitkan pada saat terutangnya PPN. Sementara itu, saat terutangnya PPN ditentukan oleh kapan saatpenyerahan BKP/JKP dilakukan. Jadi kesimpulannya yaitu, PKP harus mengetahui kapan saat penyerahan BKP/JKP karena saat penyerahan BKP/JKP itu merupakan saat terutangnya PPN dan menentukan saat pembutan faktur pajak. Untuk membuat Faktur Pajak harus memenuhi syarat agar Faktur Pajak tersebut dapat dipergunakan, antara lain:1. Menyertakan NPWP, nama, alamat, orang yang melakukanpeyerahan BKP/JKP tersebut.2. Menyertakan NPWP, nama, alamat, orang yang membeli BKP, penerima JKP tersebut.3. PPN/PPnBM yang dipungut.4. Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak, nama, dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak5. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga.Faktur Pajak akan dapat dikreditkan saat Faktur Pajak tersebut memenuhi syarat-syarat Formil yang ditetapkan Direktorat Jendral Pajak yang akan dapat dikreditkan, sebagaimana kita membuat Faktur Pajak Keluaran.D. Tempat Pajak Terutang Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 1984Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 1984 ditetapkan bahwa pajak terutang di : 1. tempat tinggal atau tempat kedudukan ; dan 2. tempat kegiatan usaha dilakukan, atau 3. tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ; 4. tempat BKP dimasukkan, dalam hal impor ; 5. satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tempat pemusatan pajak terutang atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ; atau 6. tempat orang pribadi atau badan terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam hal pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah PabeanKetentuan Pasal 12 UU PPN 1984 tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000, yang menetapkan bahwa : 1) Tempat pajak terutang untuk Penyerahan di dalam Daerah Pabean. 2) Pajak terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 3) Tempat pajak terutang untuk impor BKP adalah ditempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean. 4) Tempat pajak terutang untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean adalah di tempat orang pribadi atau badan yang memanfaatkan, terdaftar sebagai Wajib Pajak. 5) Tempat pajak terutang untuk Kegiatan membangun sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya atau oleh bukan Pengusaha Kena Pajak, adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.6) Tempat pajak terutang bagi PKP yang dikukuhkan di KPP Wajib Pajak Besar, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-335/PJ/2002 tanggal 1 Juli 2002 dipusatkan di KPP Wajib Pajak Besar yang menerbitkan surat pengukuhan. 7) Tempat pajak terutang ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan tertulis dari wajib pajak atau secara jabatan.E. Pemusatan Tempat PPN Terutang (Sentralisasi)Pemusatan tempat terutangnya PPN adalah melakukan pemusatan tempat penerbitan Faktur Pajak dan pengkreditan PPN serta tempat pelaporan SPT Masa PPN.Menurut Pasal 12 ayat (1) masing-masing PPN terutang di tempat di mana penyerahan BKP dilakukan. Misalnya: Saat sebuah pabrik selesai membuat produk dan menyerahkannya ke gudang untuk disimpan, maka PPN atas penyerahan produk tersebut terutang di lokasi pabrik. Kemudian saat gudang menyerahkan produk itu kepada outlet untuk dijual, maka PPN atas penyerahan produk tersebut terutang di lokasi gudang. Dan seterusnya saat outlet menyerahkan (menjual) produk itu kepada konsumen, maka PPN atas penjualan produk tersebut terutang di lokasi outlet.Karena PPN terutang di masing-masing tempat kegiatan usaha (baik di lokasi pabrik, gudang, maupun toko), maka Perusahaan yang membuat produk tersebut wajib menjadi PKP di masing-masing KPP lokasi. Artinya Perusahaan tersebut, suka atau tidak, harus terdaftar NPWP dan menjadi PKP di KPP-KPP yang membawahi pabrik, gudang dan toko-toko (outlet) di masing-masing lokasi.Kewajiban menjadi PKP ini juga berlaku untuk kantor pusat Perusahaan karena bagi WP Badan kewajiban untuk menjadi PKP berlaku baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha. Sebab menurut UU PPN, WP di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan BKP [memori penjelasan Pasal 12 ayat (1) UU PPN].Ketentuan Pasal 12 ayat (1)UU PPNtersebut tentu dapat merepotkan khususnya bagi PKP yang memiliki banyak tempat kegiatan usaha. Sebab meski sekecil apapun tempat kegiatan usaha tersebut, berarti mau tidak mau PKP harus melakukan administrasi perpajakan seperti penerbitan Faktur Pajak, penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN pada setiap bulan (Masa Pajak). Bagi PKP ini tentu akan menimbulkan tambahan biaya produksi atau biaya operasional, apalagi jika harus menempatkan personel atau staff khusus untuk melakukan administrasi dan kewajiban perpajakan tersebut.Bagi PKP dalam bidang usaha tertentu, seperti misalnya PKP dalam bidang konstruksi, kewajiban untuk terdaftar NPWP dan PKP di setiap tempat kegiatan usaha tersebut bahkan bisa menjadi dilema tersendiri. Sebab dengan merefer pada Pasal 12 ayat (1)UU PPNtadi, berarti PKP konstruksi juga harus mendaftar untuk NPWP dan PKP di setiap lokasi proyek pembangunan konstruksi yang sedang dikerjakan.Padahal kita tahu bahwa proyek pembangunan konstruksi itu umumnya hanya berlangsung selama dua atau tiga tahun. Bahkan tidak jarang ada proyek konstruksi yang selesai hanya dalam waktu setahun atau kurang. Setelah selesai, maka selesai pula keberadaan kantor cabang atau perwakilan PKP di lokasi tersebut.Meski secara normatif NPWP dan pengukuhan PKP di lokasi proyek tersebut dapat dihapus atau dilakukan pencabutan pengukuhan PKP, namun karena proses penghapusan NPWP maupun pencabutan pengukuhan PKP itu harus melalui proses pemeriksaan pajak terlebih dahulu, maka tidak sedikit PKP kontraktor yang menganggap bahwa kewajiban untuk mendaftar NPWP dan PKP di lokasi proyek bagaikan buah simalakama. Tidak mendaftar NPWP dan PKP berisiko kena sanksi pajak, namun jika mendaftar NPWP berisiko di periksa pajak terutama pada saat mereka mengajukan permohonan penghapusan dan pencabutan NPWP dan PKP atas proyek yang sudah selesai tersebut. Jika tidak mengajukan permohonan penghapusan dan pencabutan NPWP maupun PKP, berarti kontraktor harus tetap rutin melaporkan SPT Masa PPh maupun PPN meskipun nihil (tidak ada kegiatan operasional lagi).Begitu juga dengan pengusaha yang begerak di bidang jual-beli tanah/bangunan (developer). Umumnya kantor cabang mereka akan ditutup begitu proses pembangunan dan penjualan property di kawasan tersebut selesai seluruhnya. Tapi kalau yang ini memang proses penutupan kantor cabang atau perwakilannya agak lama dibanding dengan jasa konstruksi.Karena situasi dan kondisi seperti itulah,UU PPNkemudian memasukkan klausul sentralisasi PPN. Dalam UU PPN yang sekarang klausul mengenai sentralisasi PPN ini tertuang dalam Pasal 12 ayat (2) UU PPN 1984. Klausul Pasal 12 ayat (2)UU PPNtersebut diadakan dengan maksud untuk memberi kemudahan kepada PKP-PKP tertentu seperti yang disebutkan di atas. Dengan sentralisasi PPN, pengusaha yang bersangkutan diperkenankan hanya menjadi PKP di KPP tertentu yang mereka pilih sendiri.Misalnya:PT ABC, diperkenankan oleh Pasal 12 ayat (2)UU PPNuntuk memilih sendiri tempat sentralisasi PPN-nya, apakah di KPP Jakarta Selatan (kantor pusat), di KPP Tangerang (pabrik/gudang), atau di KPP lainnya. Jika PT ABC memilih di KPP Jakarta Selatan (tempat kantor pusat), maka PT ABC hanya wajib menjadi PKP di KPP di Jakarta Selatan. Sedangkan pabrik/gudang maupun outlet-outlet miliknya tidak wajib menjadi PKP.Dengan memilih sentralisasi PPN, maka tidak ada lagi yang namanya penyerahan BKP antar cabang. Sebab sesuai dengan ketentuan yang berlaku, penyerahan BKP antar cabang dianggap bukan sebagai penyerahan BKP yang terutang PPN selama PKP telah melakukan sentralisasi PPN [Pasal 1A ayat (2) huruf c UU PPN 1984]. Jadi penyerahan produk dari pabrik PT ABC ke gudangnya tidak terutang PPN. Begitu pun dengan penyerahan produk dari gudang/pabriknya ke outlet, tidak terutang PPN.Penyerahan produk yang akan terutang akan terjadi jika PT ABC menyerahkan produknya kepada pihak luar (eksternal). Sedangkan penyerahan kepada pihak internal akan terutang PPN jika penyerahan itu dilakukan dalam konteks pemakaian sendiri BKP.Untuk setiap penyerahan produk kepada pihak eksternal, baik yang dilakukan oleh pabrik, gudang maupun outlet-nya, PT ABC wajib membuat Faktur Pajak dan melaporkannya di KPP di Jakarta Selatan yaitu di tempat sentralisasi PPN yang dipilih PT ABC. Sebab atas penyerahan produk kepada pihak eksternal yang dilakukan oleh pabrik, gudang maupun outlet, semuanya terutang di Jakarta Selatan (pusat sentralisasi PPN).Selama PT ABC memilih sentralisasi PPN di kantor pusatnya (di Jakarta Selatan), maka pabrik, gudang, maupun outlet-nya tidak perlu membuat Faktur Pajak dan tidak wajib melaporkan SPT Masa PPN di KPP-nya masing masing.Akan tetapi, banyak praktisi pajak yang baru sadar bahwa dengan terbitnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2013, ketentuan Pasal 12 ayat (2)UU PPNtersebut nyaris tidak berbunyi lagi dalam praktik.Peraturan Dirjen Pajak tertanggal 3 Juli 2013 ini pada intinya hanya mengatur mengenai kewajiban PPN bagi pengusaha yang melakukan usaha di bidang pengalihan tanah maupun bangunan (termasuk developer). Singkatnya, menurut peraturan itu setiap pengusaha (developer) tersebut harus menjadi PKP di setiap tempat kegiatan usaha dilakukan. Bahkan di Pasal 3 PER-25/PJ/2013 tersebut, ditegaskan bahwa PER-28/PJ/2012 tidak berlaku bagi pengusaha (developer). Dengan kalimat sederhana boleh dikatakan bahwa pengusaha (developer) tidak berhak melakukan sentralisasi PPN.Itu baru yang mencakup pengusaha di bidang pengalihan tanah maupun bangunan (developer). Lalu bagaimana dengan pengusaha yang bergerak di bidang usaha lainnya? Masih bolehkah atau sama seperti developer yang tidak diperkenankan melakukan sentralisasi PPN?Dari hasil eksplorasi terhadap peraturan pajak yang berlaku saat ini, istilah dan klausul mengenai sentralisasi (pemusatan tempat terutang) PPN ternyata memang hanya ada dalam Pasal 12 ayat (2)UU PPN. Sementara dalam UU KUP dan peraturan terkait lainnya, tidak ditemukan klausul khusus yang mengatur mengenai sentralisasi PPN.Secara umum UU KUP hanya menegaskan mengenai tempat pendaftaran NPWP maupun tempat pengukuhan PKP [Pasal 2 ayat (2) UU KUP]. Selain itu UU KUP juga memberi kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menetapkan tempat lain atau tempat tertentu sebagai tempat pendaftaran NPWP maupun pengukuhan PKP [Pasal 2 ayat (3) huruf b UU KUP].Dalam peraturan lainnya, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 73/PMK.03/2012), juga ditegaskan ketentuan yang senada dengan UU KUP [Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) PMK Nomor 73/PMK.03/2012]. PMK ini merupakan peraturan dan petunjuk pelaksanaan (juklak) dari UU KUP khususnya yang mengatur mengenai jangka waktu dan tempat pendaftaran NPWP maupun tempat pengukuhan PKP.Sebagai juklak dari PMK Nomor 73/PMK.03/2012 di atas, Dirjen Pajak kemudian menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 pada tanggal 30 Mei 2013. Peraturan ini juga tidak memuat aturan khusus mengenai sentralisasi PPN. Peraturan ini mewajibkan PKP untuk menjadi PKP di tempat tinggal atau tempat kedudukan maupun di setiap tempat lokasi kegiatan usaha.Untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 2 ayat (3) huruf b UU KUP maupun Pasal 3 ayat (4) PMK Nomor 73/PMK.03/2012, Dirjen Pajak kemudian menerbitkan peraturan yang secara khusus mengatur mengenai tempat pelaporan uraha (tempat pengukuhan PKP) bagi pengusaha-pengusaha tertentu. Peraturan-peraturan tersebut adalah: PER-28/PJ/2012, tanggal 17 Desember 2012. Peraturan ini khusus mengatur mengenai tempat pendaftaran NPWP dan tempat pengukuhan PKP bagi WP/pengusaha yang berada di lingkungan atau wilayah kerja KPP Wajib Pajak Besar, KPP Jakarta Khusus dan KPP Madya; dan PER-25/PJ/2013 tanggal 3 Juli 2013. Peraturan Dirjen Pajak ini khusus mengatur mengenai tempat pendaftaran NPWP dan tempat pengukuhan PKP bagi WP/pengusaha yang melakukan usaha di bidang pengalihan tanah maupun bangunan.Dari hasil eksplorasi peraturan pajak tersebut, bisa disimpulkan bahwa secara umum, berdasarkan UU KUP dan juklaknya, sentralisasi PPN memang sudah tidak diperkenankan lagi untuk dilakukan oleh PKP. Kecuali PKP yang telah ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Dengan demikian, pengusaha selain dari pengusaha yang tercantum dalam PER-28 maupun PER-25 di atas, tidak mempunyai dasar hukum untuk mengajukan permohonan sentralisasi PPN.Satu-satunya dasar hukum yang masih bisa digunakan hanyalah Pasal 12 ayat (2)UU PPNyang mengatur mengenai sentralisasi PPN. Namun dalam pasal ini pun menurut banyak praktisi, posisi Dirjen Pajak masih lebih unggul dibandingkan posisi PKP....Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang... [Pasal 12 ayat (2) UU PPN].Sebab dengan kata dapat dalam kalimat di atas berartiUU PPNmemberikan hak atau kewenangan sepenuhnya kepada Dirjen Pajak untuk menolak atau menerima pemberitahuan yang disampaikan oleh PKP. Artinya dengan alasan tertentu, misalnya tidak ada peraturan pajak (KUP) yang mengatur mengenai sentralisasi PPN atau dengan alasan lainnya seperti untuk memudahkan pengawasan, bisa saja Dirjen Pajak (KPP) menolak permohonan atau pemberitahuan mengenai sentralisasi yang diajukan pengusaha.Tata cara pengajuan pemberitahuan pemusatan PPN adalah : 1. PKP menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kakanwil yang membawahi KPP yang wilayah kerjanya meliputi Tempat Pemusatan PPN Terutang. Pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah ini disampaikan dengan tembusan kepada Kepala KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat PPN terutang yang akan dipusatkan.Pemberitahuan kepada Kakanwil tersebut minimal memuat : 0. nama, alamat, dan NPWP tempat terpilih sebagai pemusatan PPN Terutang (Perhatian : tidak harus/ tidak selalu kantor pusat ber-NPWP 000)1. nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang akan dipusatkan2. dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan dipusatkan pada tempat terpilih sebagai tempat pemusatan PPN terutang3. Kakanwil menerbitkan SK Persetujuan atau SK Penolakan paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan dari PKP. Dalam hal ditolak, maka PKP dapat menyampaikan pemberitahuan kembali dengan melengkapi syarat yang diperlukan.4. SK Persetujuan berlakuselama lima tahun dan dimulai pada masa pajak berikutnya setelah tanggal SK.Tata Cara Penambahan/Pengurangan Tempat Terutang PPN Pemusatan 1. PKP menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kakanwil yang membawahi KPP yang wilayah kerjanya meliputi Tempat Pemusatan PPN Terutang2. Pemberitahuan kepada Kakanwil tersebut minimal memuat : 1. nama, alamat, dan NPWP tempat terpilih sebagai pemusatan PPN Terutang2. nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang akan dipusatkan3. dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan dipusatkan pada tempat terpilih sebagai tempat pemusatan PPN terutangPerubahan Tempat Pemusatan PPN:Dalam hal Pengusaha Kena Pajak telah mendapatkan persetujuan pemusatan tempat PPN terutang, PKP dapat memilih tempat PPN terutang yang lain sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang yang baru dengan syarat masa berlaku pemusatan di tempat lama sudah berjalan minimal 2 tahun, kecuali bagi PKP dengan tempat pemusatan awal yang secara permanen tidak ada lagi aktivitas usaha (jangka waktu minimal 2 tahun tidak berlaku baginya).Tata cara melakukan perubahan tempat pemusatan PPN adalah : 1. PKP wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah yang membawahi KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang yang baru2. Pemberitahuan kepada Kakanwil tersebut minimal memuat : 1. memuat nama, alamat, dan NPWP tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang;2. memuat nama, alamat, dan NPWP tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang akan dipusatkan; dan3. dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan dipusatkan pada tempat terpilih sebagai tempat pemusatan PPN terutang2. Kakanwil menerbitkan SK Persetujuan atau SK Penolakan paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan dari PKP. Dalam hal ditolak, maka PKP dapat menyampaikan pemberitahuan kembali dengan melengkapi syarat yang diperlukan.3. SK Persetujuan berlaku selama lima tahun dan dimulai pada masa pajak berikutnya setelah tanggal SK persetujuan pemusatan dterbitkan.Tata Cara Pencabutan Pemusatan Tempat PPN Terutang 1. PKP menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kakanwil tembusan Kepala KPP masing-masing tempat kedudukan2. disampaikan paling lambat 2 bulan sebelum masa yang diinginkan untuk tidak lagi pemusatan.3. Kakanwil meneribitkan SK Pencabutan paling lama 5 hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan dari PKP.Tata Cara Perpanjangan Jangka Waktu Pemusatan Tempat PPN Terutang: 1. PKP menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kakanwil2. Pemberitahuan paling lambat disampaikan 2 bulan sebelum jangka waktu pemusatan berakhir. Apabila tidak terpenuhi, maka PKP dianggap tidak memperpanjang jangka waktu pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang. namun PKP dapat menyampaikan pemberitahuan pemusatan kembali dalam jangka waktu 2 tahun sejak SK persetujuan pemusatan berakhir.3. Kakanwil menerbitkan SK Persetujuan yang baru paling lambat 14 hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan.4. SK Persetujuan yang baru berlaku selama lima tahun dan dimulai pada masa pajak berikutnya setelah tanggal SK.

Kepastian Hukum Bagi PKPApabila Kakanwil tidak menerbitkan SK Persetujuan atau SK Penolakan dalam waktu yang telah ditetapkan (14 hari kerja), maka pemberitahuan dari PKP dianggap disetujui dan SK Persetujuan paling lambat diterbitkan 5 hari kerja sejak jangka waktu penyelesaian (14 hari kerja) berakhir. SK Persetujuan berlaku selama lima tahun dan dimulai pada masa pajak berikutnya setelah tanggal SK.

BAB IIIPENUTUPTerutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat:a. penyerahan Barang Kena Pajak;b. impor Barang Kena Pajak;c. penyerahan Jasa Kena Pajak;d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atauh. ekspor Jasa Kena Pajak

DAFTAR PUSTAKAPoernomo, Yosep. 2011. Bahan Ajar Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.http://ortax.org/ortax/?mod=forum&page=show&idtopik=46348http://datapajak.com/2014/11/04/pemusatan-tempat-ppn-terutang-ketentuan-sejak-1-januari-2013-masih-menggunakan-per19pj2010/http://www.pembayarpajak.com/index.php/articles/ppn-dan-ppn-bm/ppn-ppnbm-umum/262-sentralisasi-tak-boleh-lagiSukardji, Untung. 2012. Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada