karakteristik ppn
TRANSCRIPT
Anang Mury Kurniawan
Y = C + IPPh PPN PBB
Sales Tax / Pajak Penjualan (PPn)Value Added Tax (VAT) / Pajak
Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pembangunan I (PPb I) Mulanya sukarela 1 Juni 1947 resmi dipungut atas rumah makan UU No 32 Tahun 1956 dilimpahkan ke Pemda Pajak Peredaran 1950 (Ppe 1950) Dikenakan atas penyerahan barang/jasa di Indonesia Dikenakan tiap jalur distribusi Satu tarif (single rate) 2,5% Bersifat kumulatif Pajak Penjualan (PPn 1951) UU Darurat No 19 Tahun 1951, berlaku 1 Oktober 1951 Ditingkatkan jadi Undang-Undang dg UU No 35 tahun 1953 Single stage tax pada tingkat pabrikan (manufacturer’s
sales tax) Mengalami perluasan objek 18 jenis jasa Mengalami perluasan objek umtuk impor Pajak Pertambahan Nilai (PPN 1984)
UU PPn 1951 Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951,
Pajak Penjualan berlaku di Indonesia sejak 1 Oktober 1951 Undang-undang ini dinamakan UU PPn 1951
Dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 1953, UU Darurat tersebut ditetapkan menjadi Undang-undang
UU PPN 1984 dalam “Reformasi Sistem Perpajakan Nasional
1983” yang lebih dikenal dengan sebutan “Tax Reform 1983”, diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai.
UU PPn 1951 telah berulang kali diubah sehingga sulit dipahami sehingga sulit dilaksanakan;
dalam pelaksanaannya UU PPn 1951 menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga PPn menjadi tidak netral baik dalam perdagangan di dalam negeri maupun internasional;
mengandung dualisme sistem pemungutan, yaitu bagi wajib pajak yang mampu menyelenggarakan pembukuan menggunakan “self assessment system” sedangkan bagi yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan menggunakan “official assessment system”.
variasi tarif yang cukup banyak, sampai 9 macam tarif, menyulitkan tindakan pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak.
Tidak mendorong ekspor Tidak mengatasi penyelundupan
Mencegah pengenaan pajak berganda Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri Membantu likuiditas pengusaha. PPN atas
perolehan barang modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan, sesuai dengan consumption type VAT dan indirect subtraction method
Dari sudut pandang negara mendapat predikat money maker karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus memungutnya
Biaya administrasi tinggi bila dibandingkan dengan pajak tidak langsung lainnya, baik dari administrasi fiskus maupun WP
Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajakyang dipikul, sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan konsumen, semakin berat beban pajakyang dipikul. Dampak ini timbul dari konsekuensi karakteristik PPN sebagai pajak objektif
PPN rawan penyelundupan. Akibat dari mekanisme pengkreditan pajak masukan yg merupakan upaya memperoleh kembali pajak yang sudah dibayar oleh pengusaha
Menuntut pengawasan yang lebih tinggi
Pajak Tidak Langsung Pajak Objektif Pajak atas konsumsi umum dalam negeri Multi Stage Tax Indirect Subtraction Method/Credit
Method/Invoice Method Bersifat netral Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda Menggunakan tarif tunggal
Karakter PPN sebagai pajak tidak langsung ini menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak (destinataris pajak) dengan penanggung jawab atas penyetoran pa-jak ke kas negara berada pada pihak-pihak yang berbeda.
Pemikul beban pajak ini berada pada pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP).
Sedangkan penang-gung jawab atas pelaporan/penyetoran pajak ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bertindak selaku penjual BKP atau pengusaha JKP selaku pengusaha yang me-nyerahkan JKP.
Oleh karena itu apabila terjadi penyimpangan pemungutan PPN, fiskus akan meminta pertanggungjawaban kepada Penjual BKP atau Pengusaha JKP tersebut, bukan kepada pembeli, walaupun pembeli kemungkinan juga berstatus sebagai PKP
Sebagai Pajak Tidak Langsung, pengertian Pajak Pertambahan Nilai dapat dirumuskan berdasar dua sudut pandang sebagai berikut: Sudut pandang ilmu ekonomi, beban pajak dialihkan
kepada pihak lain, yaitu pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi obyek pajak.
Sudut pandang ilmu hukum, tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas negara tidak berada ditangan pihak yang memikul beban pajak. Sudut pandang ilmu hukum ini membawa konsekuensi filosofis bahwa :▪ apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar
pajak yang terutang kepada penjual atau pengusaha jasa, pada hakekatnya sama dengan telah membayar pajak tersebut ke kas negara.
▪ dalam hal (PKP) penjual tidak memungut pajak dari pembeli dengan alasan apapun, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual, bukan tanggung jawab pembeli.
Timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut objek pajak.
Kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan. PPN tidak membedakan antara konsumen orang
pribadi dengan konsumen berbentuk badan, antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan yang berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka mengonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan sama.
Sebagai pajak objektif PPN menimbulkan dampak regresive yaitu semakin tinggi kemampuan konsumen semakin ringan beban pajak yang dipikul, semakin rendah kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul. Untuk mengurangi dampak regresif ini, terhadap konsumen yang mengonsumsi BKP yang tergolong mewah dikenakan PPnBM di samping PPN.
Pajak atas konsumsi mengandung makna bahwa : PPN bukan pajak atas kegiatan bisnis. Pemikul beban pajak adalah konsumen.
Sebagai pajak atas konsumsi sebenarnya tujuan akhir PPN adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi (a tax on consumption expenditure) baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh badan baik badan swasta maupun badan Pemerintah dalam bentuk belanja barang atau jasa yang dibebankan pada APBN/APBD.
Karena konsumen tidak semata‑mata mengonsumsi barang tetapi juga mengonsumsi jasa, maka PPN selain dikenakan atas konsumsi barang juga dikenakan atas konsumsi jasa.
Spesifikasi “dalam negeri”, merupakan refleksi dari prinsip destinasi (destination principle) yang diadopsi dalam UU PPN 1984.
Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, PPN hanya dikenakan atas konsumsi BKP dan/atau JKP yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu, komoditi impor dike-nakan PPN dengan persentase yang sama dengan produk domestik.
Dalam kaitan dengan arus barang atau jasa yang melintas batas wilayah negara (cross border area), PPN mengenal dua prinsip pemungutan, yaitu : Prinsip tempat asal (origin principle); Prinsip tempat tujuan (destination
principle).
Apabila dikehendaki ada sifat netral PPN dibidang perdagangan internasional, maka prinsip yang dianut adalah prinsip tempat tujuan (destination principle).
Dalam prinsip ini, komoditi impor akan menanggung beban pajak yang sama dengan barang produksi dalam negeri. Karena kedua jenis komoditi tersebut sama-sama dikonsumsi di dalam negeri, maka akan dikenakan pajak dengan beban yang sama.
Karakteristik PPN sbg pajak konsumsi menempatkan PPN pada posisi netral yaitu netral baik atas pola konsumsi, pola produksi maupun pola distribusi.
Netralitas PPN dibentuk oleh dua faktor yaitu : PPN dikenakan baik atas konsumsi barang
maupun jasa. Dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip
tempat tujuan (destination principle).
Pasal 7 (UU No. 42 Tahun 2009)
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan c. ekspor J asa Kena Pajak.
(3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam conpsumtion type value added tax semua pembelian yang digunakan untuk produksi yaitu pembelian BKP termasuk barang modal dikurangkan dari penghitungan nilai tambah.
Jadi dasar pengenaan pajaknya terbatas pada pembelian untuk keperluan konsumsi.
Tidak terjadi pengenaan pajak lebih dari satu kali terhadap barang modal, karena pembelian barang modal dikeluarkan dari dasar pengenaan pajak.
Hal ini memberi sifat netral PPN terhadap pola produksi. Pengusaha bebas memilih apakah mau menggunakan sistem produksi padat modal atau padat karya, PPN tidak akan ikut menentukan.
PPN tipe konsumsi ini memiliki beberapa nilai positif, yaitu: Membantu likuiditas perusahaan, karena seluruh Pajak
Masukan atas pembelian BKP ternmasuk Barang Modal yang digunakan dalam proses produksi segera dapat dikreditkan.
Menunjang iklim investasi yang sehat. Mendorong pengusaha secara berkala melakukan
regenesari alat produksi barang modal karena dikenakan pajak tidak lebih dari satu kali.
Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (bersifat non kumulasi).
Indirect Subtraction Method adalah metode penghitungan PPN yang akan disetor ke kas negara dengan cara mengurangkan pajak atas perolehan dengan pajak atas penyerahan barang atau jasa
Untuk menghitung PPN atas nilai tambah dapat dilakukan melalui tiga metode yaitu : Subtraction method (metode pengurangan secara
langsung), yaitu dengan cara mengalikan tarif PPN dengan selisih antara harga jual dengan harga beli.
Indirect subtraction method (metode pengurangan secara tidak langsung), yaitu dengan cara mengurangkan PPN yang dipungut oleh penjual atau pengusaha jasa atas penyerahan barang atau jasa, dengan PPN yang dibayar kepada penjual atau pengusaha jasa lain atas perolehan barang atau jasa.
Addition method (metode penghitungan nilai tambah), yaitu mengalikan tarif PPN dengan hasil penjumlahan unsur-unsur nilai tambah.
PPN
SISTIM PEMUNGUTANPPN atas
Nilai Tambah
HARGA BELI
BH BAKU = 500BH PEMBANTU= 300SUKU CADANG DLL. = 200
-----------JUMLAH = 1000
BIAYA
PENYUSUTAN = 50BUNGA = 100GAJI/UPAH = 300MANAJEMEN = 150LABA USAHA = 100
----------JUMLAH = 700
HARGA J UAL
1700
Nilai Tambah700
SUBTRACTION ADDITIONINDIRECT
SUBTRACTION/CREDIT/INVOICE
METODE PENGHITUNGAN(Calculation Method)
HARGA J UAL = 1.700HARGA BELI = 1.000
DPP = 700PPN 10% = 70
HARGA J UAL = 1.700 PPN = 10% x 1.700 = 170
HARGA BELI = 1.000 PPN = 10% x 1.000 = 100
PPN TERUTANG UNTUK DISETOR KE KAS NEGARA = 70
PENYUSUTAN = 50BUNGA = 20
SEWA = 80GAJ I/UPAH = 300
MANAJ EMEN = 150LABA USAHA = 100
J uml ah = 700 PPN 10% = 70
SUBTRACTION METHOD
ADDITION METHOD
INDIRECT SUBTRACTION/INVOICE/CREDIT METHOD
Diantara tiga metode tersebut, UU PPN Indonesia menganut “indirect subtraction method” (metode pengurangan tidak langsung).
Untuk mendeteksi atau menguji kebenaran jumlah pajak yang terutang atas perolehan dan jumlah pajak yang terutang atas penyerahan tersebut diperlu-kan suatu dokumen pendukung.
Dokumen ini dinamakan “tax invoice” (Faktur Pajak), oleh karena itu metode ini dinamakan juga “Invoice Method”.
Oleh karena itu Faktur Pajak merupa-kan persyaratan mutlak dalam indirect subtraction method.
Dalam hukum pajak, kegiatan me-ngurangkan pajak dengan pajak dinamakan “tax credit”, oleh karena itu metode ini juga dina-makan “credit method” yaitu mengkreditkan pajak yang dibayar kepada penjual atau pengusaha jasa yang dinamakan “Pajak Masukan” (input tax) dengan pajak yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan “Pajak Keluaran” (output tax).
Dalam kalimat yang lebih sederhana dan populer adalah mengreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran.
Multi stage tax adalah karakteristik PPN yang mempunyai makna PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produk si maupun jalur distribusi.
Setiap penyerahan barang yang menjadi obyek PPN mulai dari tingkat pabrikan (manufacturer) kemudian ditingkat pedagang besar (wholesaler) dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang pengecer (retailer) dikenakan PPN.
M ULTI STAGE LEVY n am un NON K UM ULATI F
P AB R I K AN
P EDAGANG B ESAR
P EDAGANG ECERAN
K ONSUM EN
BK P
BK P
BK P
HAR GA JUAL =1.000.000
HAR GA B EL I =1.000.000NI LAI TAM B AH = 300.000HAR GA JUAL =1.300.000
HAR GA B EL I = 1.300.000NI LAI TAM B AH = 200.000HAR GA JUAL= 1.500.000
P P N 10%100.000
P P N 10%130.000
P P N 10%150.000
P K = 100.000
P M = 130.000
B EB AN P AJAK
P P N = 30.000
P P N = 20.000
P P N = 100.000
K N
K N
K NP K = 150.000
P K = 130.000
P M = 100.000
PERBANDINGAN PPn KUMULATIF& PPN NON KUMULATIF
P AB R I K AN
P EDAGANG B ESAR
P EDAGANG ECERAN
K ONSUM EN
HARGA JUAL1.000.000
HAR GA B EL I = 1.000.000NILAI TAM B AH=300.000 HAR GA JUAL = 1.300.000
HAR GA B EL I = 1.300.000NILAI TAM B AH = 200.000HAR GA JUAL= 1. 500.000
P P N100.000
P P N130.000
P P N150.000
HARGA JUAL1.000.000
HAR GA B EL I = 1.100.000NILAI TAM B AH = 300.000HAR GA JUAL=1.400.000
HAR GA B EL I = 1.540.000NILAI TAM B AH = 160.000HAR GA JUAL =1. 700.000
P P n100.000
P P n140.000
P P n170.000
K AS NEGAR A
P P N30.000
K AS NEGAR A
P P N20.000
K UM ULAT I F NON K UM ULAT I F
P erb an d in gan an tara P P n k u m u lati f d g P P N n on ku m u lati f
Mekanisme umumMekanisme khusus
PKP yg melakukan penyerahan BKPJKP) wajib memungut PPN daripembeli/penerima BKP/JKP dg membuat FP.
PPN yg tercantum dlm FP merupakan PK (Out Put Tax) bagi PKP Penjual BKP/JKP, yg sifatnya sbg pjk yg harus dibayar (hutang pjk).
Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yg dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan PM (Out Put Tax), yg sifatnya sbg pajak yg dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yg dibeli tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.
Untuk setiap masa pajak (setiap bulan), apabila jumlah PK lebih besar dari pada PM, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara. Dan sebaliknya, apabila jumlah PM lebih besar dari pada PK, maka selisih tersebut dapat di kompensasi ke masa pajak berikutnya atau diminta kembali (restitusi)
Pengusaha Kena Pajak di atas wajib menyampaikan Laporan Perhitungan PPN setiap bulan (SPT Masa PPN) ke Kantor Pelayanan Pajak
Secara umum PPN yg terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP dipungut oleh PKP Penjual. Dg demikian, pembeli BKP/JKP yg bersangkutan wajib membayar kpd PKP Penjual sbsr harga jual ditambah PPN yg terutang
Namun demikian, apabila yg bertindak sebagai pembeli BKP/JKP tsb berstatus Pemungut PPN (Pembeli Khusus), PPN yg terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP tidak dipungut oleh PKP Penjual, malainkan disetor langsung ke kas negara oleh Pemungut PPN tsb. Dg demikian, Pemungut PPN hanya membayar kpd PKP Penjual sebesar harga jual, sedangkan PPN-nya (10%) disetor langsung ke kas negara.
Pemungut PPN (Pembeli Khusus) terdiri dari ; Bendahara Pemerintah Kontraktor Perjanjian Kerjasama Pengusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
UU Nomor 8 tahun 1983dengan nama “UU PPN 1984”
Mulai berlaku 1April 1985
Diubah denganUU Nomor 11 Tahun 1994
Mulai berlaku 1 Januari 1995
Diubah denganUU Nomor 18 Tahun 2000
Mulai berlaku 1 Januari 2001
Diubah denganUU Nomor 42 Tahun 2009
Mulai berlaku 1 April 2010
Pasal 20 UU No 8 Tahun 1983 "Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984“ Pasal ini sampai UU No 42 Tahun 2009 tidak diubah sehingga masih menggunakan istilah UU PPN 1984
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Pengertian Pasal 1A Ruang Lingkup Penyerahan
Barang Kena Pajak Pasal 2 Transaksi Hubungan Istimewa
BAB II PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK Pasal 3 Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak
BAB IIA KEWAJIBAN MELAPORKAN USAHA DAN KEWAJIBAN MEMUNGUT, MENYETOR DAN MELAPORKAN PAJAK YANG TERUTANG Pasal 3A Pengusaha Kena Pajak,
Pengusaha Kecil, BKP tida berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean
BAB III OBJEK PAJAK Pasal 4 Obyek Pajak Pertambahan
Nilai Pasal 4A Jenis Barang dan Jasa
Tidak Kena Pajak Pasal 5 Obyek PPnBM Pasal 5A Retur Penjualan/Pembelian Pasal 6 (dihapus)
BAB IV TARIF PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PAJAK Pasal 7 Tarif Pajak Pertambahan
Nilai Pasal 8 Tarif PPnBM Pasal 8A Cara Menghitung PPN Pasal 9 Pajak Masukan dan Pajak
Keluaran Pasal 10 Cara Menghitung PPnBM
BAB V SAAT DAN TEMPAT TERUTANG DAN LAPORAN PENGHITUNGAN PAJAK Pasal 11 Saat Terutang Pajak Pasal 12 Tempat Terutang Pajak Pasal 13 Faktur Pajak Pasal 14 Larangan Membuat Faktur Pajak Pasal 15 ((dihapus) Pasal 15a Jangka Waktu Penyetoran Pajak
dan Penyampaian SPT Masa Pasal 16 ((dihapus)
BAB V A KETENTUAM KHUSUS Pasal 16A Pemungut PPN Pasal 16B Fasilitas Pajak Pasal 16C PPN Kegiatan Membangun
Sendiri Pasal 16D PPN atas Penyerahan Aktiva
Yang Menurut Tujuan semula Tidak Untuk Diperjualbelikan
Pasal 16E Permintaan Kembali PPN dan PPnBM
Pasal 16F Tanggung Jawab Renteng Pembayaran Pajak
BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 17 Tata Cara Pemungutan (lex
specialist) BAB VII KETENTUAN PERALIHAN
Ketentuan peralihan BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19 Ketentuan tentang peraturan pelaksanaan
Pasal 20 Nama UU PPN 1984 Pasal 21 Mulai Berlaku UU PPN
Cari bukti di dalam pasal-pasal UU PPN yang mendukung bahwa PPN di Indonesia memiliki karakteristik : Pajak Tidak Langsung Pajak Objektif Pajak atas konsumsi dalam negeri,
menganut destination principle Multi stage tax Indirect subtraction method
Pajak Tidak Langsung Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c Pasal 3 A Pengusaha yang melakukan
penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
Penyimpangan : Pasal 4 ayat (1) huruf b, huruf d, huruf e Pasal 3 A ayat (3) Orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 4 Faktor subjektif yang memikul beban
pajak bukan dalam arti yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ke negara
dalam pasal 4 tidak menyebut konsumen
Pasal 4 ayat 1 huruf a penyerahan dalam daerah
pabean huruf c penyerahan dalam daerah
pabean
Pasal 4 ayat (1) huruf a, c, f, g,hPasal 1 angka 15 Pengusaha Kena
Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 9 ayat 2 Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
Pasal 13