s2-2015-293143-introduction

Upload: fajar-nugraha

Post on 22-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    1/20

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    2/20

    2

    Sumberdaya budaya material peninggalan Kerajaan Soppeng dalam tulisan

    ini adalah wanua (kampung) bekas kerajaan yang mengandung tinggalan

    Arkeologi. Kerajaan Soppeng sudah tidak ada lagi, hanya situs-situs bekas

    kerajaan yang sebagian besar tersebar di kawasan Watansoppeng. Pertanggalan

    situs Kerajaan Soppeng oleh Bulbeck dkk, (1989:19,20,21,32), dari hasil analisis

    keramik asing yang dilakukan di Situs Sewo, Tinco, Laleng Benteng dan Botto

    dimulai sekitar abad XII.

    Situs atau wanuaKerajaan Soppeng yang tersebar di kawasan Watansoppeng

    antara lain: Laleng Benteng (kompleks Istana Datu Soppeng), Bila (kompleks

    makam Jera Lompoe), Botto (bangunan kolonial Villa Juliana), Mattabulu

    (kompleks makam Petta Bulu Matanre), kompleks megalitik Situs Sewo, batu

    bergores Situs Lawo, bekas pemukiman awal Kerajaan Soppeng di Situs Tinco,

    situs megalitik Salotungo dan situs makam Ujung. Tujuh situs peninggalan

    Kerajaan Soppeng di atas yaitu kompleks Istana Datu Soppeng, kawasan Villa

    Yuliana, makam Jera Lompoe, makam Petta Bulu Matanre, Situs Sewo, Lawo dan

    Tinco telah dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR)

    Kabupaten Soppeng menjadi objek wisata Sejarah, wisata budaya dan wisata

    religi (Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata Soppeng, 2012).

    Data inventaris situs yang diperoleh dari Balai Pelestarian Cagar Budaya

    (BPCB) Makassar memperlihatkan, lima dari sembilan situs di atas sudah terdata

    sebagai cagar budaya. Situs tersebut adalah Kompleks Makam Jera Lompoe

    (No.INV 258), Villa Yuliana (No.INV 448), Situs Sewo (No.INV 265), Situs

    Lawo (No.INV 257) dan Situs Tinco (No.INV 263) (Data Base BPCB Makassar).

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    3/20

    3

    Gambar 1. AcaraMappadendang

    Sumber:http://tksoppeng.blogspot.com/2010/09/mappadendang

    -di-soppeng.html

    Selain sumberdaya budaya material peninggalan Kerajaan Soppeng,

    sumberdaya budaya non-material seperti tradisi dan adat istiadat masih biasa

    dijumpai di Watansoppeng. Tradisi tersebut antara lain: upacara pernikahan

    keturunan bangsawan Soppeng, ritual tahunan pembersihan regalia kerajaan,

    tradisi tahunan massapo wanua yaitu tradisi yang dipercaya dapat melindungi

    warga Soppeng dari musibah dan wabah penyakit, ritual pattaungeng di Situs

    Tinco yaitu arajangSoppeng dibawa ke Desa Tinco dan dilakukan upacara adat,

    maddoja bine yaitu ritual yang dilakukan untuk memulai menanam padi dan

    mappadendang yaitu tradisi syukuran panen padi.

    http://tksoppeng.blogspot.com/2010/09/mappadendang-di-soppeng.htmlhttp://tksoppeng.blogspot.com/2010/09/mappadendang-di-soppeng.htmlhttp://tksoppeng.blogspot.com/2010/09/mappadendang-di-soppeng.htmlhttp://tksoppeng.blogspot.com/2010/09/mappadendang-di-soppeng.htmlhttp://tksoppeng.blogspot.com/2010/09/mappadendang-di-soppeng.html
  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    4/20

    4

    Gambar 2. Peta Sebaran Sumberdaya Budaya dan Sumberdaya Alam di Watansoppeng

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    5/20

    5

    Pengelolaan sebagian besar SDB dan sumberdaya alam di Watansoppeng

    sudah dilakukan oleh DISBUDPAR. Langkah pengelolaan yang telah dilakukan

    pada sebagian besar objek tersebut adalah:

    1. Penempatan pegawai di beberapa situs atau objek wisata (juru pelihara

    situs dan pegawai sukarela).

    2. Penetapan Peraturan Daerah tentang pelestarian kelelawar di

    Watansoppeng (Lembaran Daerah Kabupaten Soppeng Nomor 66 Tahun

    2006 tentang Pelestarian Burung Kelelawar).

    3.

    Pengembangan bangunan kolonial Villa Yuliana menjadi Museum Daerah

    Latemmamala pada tahun 2007.

    4. Sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat tentang pentingnya

    pelestarian SDB dan sumberdaya alam.

    5.

    Adanya pameran tahunan yang terangkai dengan hari jadi Kabupaten

    Soppeng. Pameran dengan tema kebudayaan Soppeng sekaligus sebagai

    ajang promosi wisata.

    Pengelolaan SDB Watansoppeng telah dilakukan oleh DISBUDPAR

    berkoordinasi dengan beberapa lembaga terkait seperti BPCB Makassar dan Balai

    Arkeologi Makassar. Hasil yang dicapai meliputi: a) Beberapa SDB

    Watansoppeng telah dilestarikan dan dipugar, seperti bangunan Villa Yuliana

    dipugar pada tahun 1996 dan makam Jera Lompoe dipugar pada tahun 1977-1978

    (Data BaseBPCB Makassar). b) Beberapa situs telah tertata dengan rapi, seperti

    Villa Yuliana, Makam Jera Lompoe dan Situs Megalitik Sewo dipagari dan

    dilakukan penataan taman. c) Beberapa bangunan seperti Bola Ridie dan Villa

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    6/20

    6

    Yuliana dapat dipertahankan keberadaan dan dikuatkan konstruksinya. d) SDM

    untuk mengelola SDB cukup menunjang, beberapa PNS (Pegawai Negeri Sipil) di

    DISBUDPAR Soppeng adalah alumni mahasiswa ilmu budaya (Arkeologi,

    Sejarah, Antropologi, Sastra Daerah, Sastra Indonesia dan Sastra Inggris). d)

    Penempatan pamong/penyuluh budaya oleh BPCB Makassar di Kabupaten

    Soppeng.

    Selain hasil yang telah dicapai seperti yang dikemukakan di atas, juga masih

    terdapat hal yang belum tercapai. Rencana strategis yang disusun oleh

    DISBUDPAR tahun 2010, yaitu menjadikan Kabupaten Soppeng sebagai salah

    satu daerah tujuan wisata utama di Sulawesi Selatan belum bisa dikatakan

    berhasil. Data jumlah pengunjung 10 daerah tujuan wisata utama di Sulawesi

    Selatan menempatkan Kabupaten Soppeng di peringkat ke-10. (Sumber:

    DISBUDPAR Provinsi Sulawesi Selatan, 2014). Berikut tabel persentase

    distribusi wisatawan nusantara ke Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    7/20

    7

    Tabel 1 Persentase Distribusi Wisatawan Nusantara ke

    Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 2014

    No Daerah Tujuan Wisata Kontribusi Peringkat

    1 Makassar 46,78 % I

    2 Pare-pare 9, 73 % II

    3 Tana Toraja 6, 24 % III

    4 Toraja Utara 5, 80 % IV

    5 Maros 5, 75 % V

    6 Gowa 3, 20 % VI

    7 Bantaeng 2, 51 % VII8 Bulukumba 2, 45 % VIII

    9 Enrekang 1, 91 % IX

    10 Soppeng 1, 83 % X

    Sumber: DISBUDPAR Prov. SulSel, 2014

    Uraian langkah-langkah positif oleh DISBUDPAR Soppeng dan hasil yang

    telah dicapai menunjukkan bahwa DISBUDPAR Soppeng telah melakukan upaya

    pengelolaan meskipun hasilnya belum maksimal. Jika indikator yang digunakan

    adalah jumlah kunjungan wisata, maka hasilnya dapat dikatakan masih kurang.

    Kondisi seperti ini memang ironis mengingat potensi kawasan yang dimiliki

    sangat menjanjikan.

    Melihat potensi dan keragaman SDB dan sumberdaya alam di Watansoppeng

    cukup tinggi, tetapi belum dikelola secara optimal dan professional, maka

    penelitian ini mengangkat tema pemanfaatan SDB menggunakan perspektif

    Cultural Resources Manajemen (CRM). Penulis tertarik untuk meneliti lebih

    dalam nilai penting kawasan Watansoppeng dan nilai penting situs-situs Kerajaan

    Soppeng, serta pihak-pihak terkait (stakeholder) dengan pengelolan SDB

    Watansoppeng. Nilai penting dan data stakeholder akan dijadikan dasar dalam

    menentukan dua hal. Pertama, untuk menentukan jenis pemanfaatan yang tepat

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    8/20

    8

    dari setiap SDB. Kedua, untuk menentukan model pemanfaatan yang memadukan

    SDB dan sumberdaya alam Watansoppeng.

    B. Masalah Penelitian

    Fokus penelitian ini yaitu pemanfaatan SDB Watansoppeng dengan

    perspektif Cultural Resources Management. Permasalahan yang diajukan adalah:

    a. Apa nilai penting kawasan Watansoppeng dan nilai penting masing-

    masing situs Kerajaan Soppeng? Berdasarkan nilai penting tersebut, jenis

    pemanfaatan apa yang tepat digunakan?

    b.

    Bagaimana persepsi stakeholder terhadap pemanfaatan SDB di

    Watansoppeng? Bagaimana pemanfaatan sumberdaya budaya

    Watansoppeng dengan mempertimbangkan kepentinganstakeholder?

    c. Model pemanfaatan seperti apa yang tepat berdasarkan sumberdaya

    budaya dan sumberdaya alam kawasan Watansoppeng?

    C. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi atau model pemanfaatan

    yang memadukan sumberdaya budaya dengan sumberdaya alam Watansoppeng

    menggunakan perspektif Cultural Resources Management.

    D.

    Tinjauan Pustaka

    Sumberdaya budaya di Watansoppeng khususnya peninggalan Kerajaan

    Soppeng telah banyak diteliti oleh peneliti asing dan peneliti lokal. Pelestarian dan

    penelitian juga sering dilakukan oleh instansi pemerintah di bidang kepurbakalaan

    yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar dan Balai Arkelologi

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    9/20

    9

    (BALAR) Makassar. Selain itu, tercatat pula beberapa akademisi yang melakukan

    penelitian di Watansoppeng.

    Secara kronologis tercatat beberapa penelitian yang pernah dilakukan pada

    situs-situs tinggalan Kerajaan Soppeng. Awalnya dilakukan oleh Ian Caldwell

    (1988) dalam rangka penulisan tesisnya, yang berjudul South Sulawesi A. D 1300-

    1600 Ten Bugis Texts. Hasil telaahnya terhadap naskah lontarak attoriolonna

    Soppeng (naskah kuno Kerajaan Soppeng), Naskah E (=MAK 188, hlm.5.7.29),

    menyebutkan bahwa masyarakat Soppeng berasal dari dua tempat yaitu Sewo dan

    Gattareng. Orang-orang yang berasal dari Sewo menempati daerah yang disebut

    Soppeng Riaja (Soppeng Barat) dan yang berasal dari Gattareng menempati

    SoppengRilau(Soppeng Timur). Pada kedua tempat tersebut terdapat 60 wanua

    (kampung yang dipimpin oleh seorang kepala yang disebut Matoa). Wanua-

    wanua tersebut antara lain Salotungo, Lompok, Kubba, Paningcong, Talagae,

    Attasalo, Mangkutta, Maccile, Watuwatu, dan Akkampeng, termasuk dalam

    wilayah Soppeng bagian barat. Pesse, Seppang, Pising, Launga, Mattabulu, Ara,

    Lisu, Lawo, Madello Rilau dan Tinco, termasuk dalam wilayah Soppeng bagian

    timur. Cenrana, Salokaraja, Malaka, Mattoanging, termasuk ke dalam wilayah

    Soppeng barat dan timur (Caldwell, 1988:106-112 dan Bulbeck dkk, 1989:11).

    Masih berdasarkan pada lontarak attoriolonna Soppeng yang menyebutkan

    bahwa Kerajaan Soppeng memiliki 60 wanua, Bulbeck dkk (1989), meneliti dan

    menelusuri wanua tersebut yang kemudian ditulis dalam sebuah laporan

    penelitian yang berjudul Survei Pusat Kerajaan Soppeng 1100-1986. Hasil

    penelitian tersebut membuktikan bahwa wanua Kerajaan Soppeng merupakan

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    10/20

    10

    tempat aktivitas manusia masa lampau dengan ribuan data artefaktual. Dapat

    disebutkan antara lain: regalia Kerajaan Soppeng, bangunan kolonial Villa

    Yuliana, batu bergores, lumpang batu, dakon, dolmen, batu tempat air suci, altar

    batu, menhir, batu temu gelang, pagar/benteng batu, fragmen gerabah dan keramik

    asing, serta beberapa makam Islam yang berorientasi utara-selatan. Hasil dari

    penelitian Bulbeck dkk juga membantu pertanggalan situs Kerajaan Soppeng.

    Hasil analisis yang dilakukan pada beberapa fragmen keramik asing yang

    ditemukan pada situs-situs bekas Kerajaan Soppeng memperlihatkan keramik

    tersebut berasal dari abad XII hingga abad XX (Bulbeck dkk, 1989).

    Selain itu Kerajaan Soppeng juga disebutkan mempunyai hubungan dengan

    kerajaan-kerajaan lain, sebagaimana yang dikemukakan oleh Pelras (dalam

    Manusia Bugis, 2006), hasil telaahnya pada teks La Galigo bahwa zaman La

    Galigomerupakan periode keemasan (sekitar abad ke-11 hingga abad ke-13) yang

    berkaitan dengan ekspansi perdagangan antar pulau dan internasional, yang

    melahirkan berbagai kerajaan seperti Luwu, Cina, Soppeng dan Suppa (Pelras,

    2006:395).

    Selain penelitian di atas, tercatat juga beberapa penelitian yang dilakukan

    oleh akademisi dan praktisi Arkeologi. Khatimah (2002:84), menulis tentang

    Pengelolaan Situs Villa Yuliana di Watansoppeng Kabupaten Soppeng. Hasil

    penelitiannya merekomendasikan Villa Yuliana lebih tepat dikelola secara

    terpadu, meliputi penelitian, pelestarian dan pemanfaatan. Berdasarkan hasil

    penelitian yang telah dilakukan kemudian dilakukan upaya pelestarian sesuai

    dengan kondisi situs yang meliputi pelestarian fisik bangunan maupun

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    11/20

    11

    lingkungannya yang dilakukan dalam bentuk konservasi, preservasi, rehabilitasi,

    pemintakatan dan penataan lingkungan situs. Selanjutnya, setelah dilakukan upaya

    pelestarian fisik juga perlu dilakukan pelestarian non fisik yaitu pelestarian nilai-

    nilai budaya yang dimilikinya. Salah satu pemanfataan situs yang mengacu pada

    tujuan tersebut adalah pemanfaatannya sebagai museum daerah dan objek wisata

    budaya.

    Abdullah (2005:68), menulis tentang evidensi bentuk artefaktual terhadap

    data naskah dan toponim berdasarkan aktivitas masyarakat di Situs Tinco

    Kabupaten Soppeng. Penelitian tersebut melakukan pembuktian data naskah

    lontarak dan toponim dengan data sebaran artefak yang merefleksikan aktivitas

    manusia pendukungnya. Data naskah yang ditunjukkan melalui toponim atau

    tempat di situs Tinco di dalamnya terdapat beragam temuan artefaktual.

    Selanjutnya Hasanuddin (2004) dan Utomo (2006) mengklasifikasikan

    tinggalan Arkeologis Situs Tinco, yaitu; a. kelompok peralatan rumah tangga

    (fragmen gerabah dan keramik), b. kelompok media ritual (monument megalit,

    seperti: batu dakon, lumpang batu, batu temu gelang, batu bergores bergambar

    rusa, benteng batu), c. kelompok sisa makanan (tulang, gigi dan kerang), d.

    kelompok alat batu (alat serpih, beliung persegi, batu asah).

    Selanjutnya Savitri (2007:72), menulis tentang sebaran situs-situs Kerajaan

    Soppeng (analisis Arkeologi ruang). Hasil dari penelitian tersebut

    menyebutkan,pola sebaran 10 situs Kerajaan Soppeng adalah acak atau tidak

    teratur. Variabel yang dipakai adalah administratif, jarak dan grid. Lingkungan

    fisik terlihat cukup berpengaruh dalam pemilihan ruang. Variabel lingkungan fisik

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    12/20

    12

    yang digunakan yaitu ketinggian, kelerengan, jenis batuan, jenis tanah dan sungai.

    Kesimpulan dari penelitian ini adalah lingkungan fisik merupakan salah satu

    faktor penempatan situs-situs Kerajaan Soppeng.

    Penelitian yang dilakukan oleh Hasrianti (2013:127), dengan judul Arsitektur

    Villa Yuliana di Watansoppeng Kabupaten Soppeng. Hasil penelitian tersebut

    menyimpulkan bahwa bentuk arsitektur Villa Yuliana memadukan gaya arsitektur

    bangunan Eropa dan rumah tradisional Bugis. Di dalam perpaduan akulturasi

    tersebut, pengaruh Eropa lebih dominan dibanding arsitektur Bugis. Gaya Eropa

    yang mendominasi merupakan perpaduan gaya klasik yaitu indische empire,

    renaisans, viktoria dan gotik dengan gaya modern (art nouveau).

    Penelitian yang dilakukan Rosmawati (2013), dengan tema Tamaddun Awal

    Islam di Sulawesi Selatan, dari Perspektif Arkeologi dan Sejarah. Penelitian ini

    dilakukan pada semua makam kuno Islam di Sulawesi Selatan, salah satunya pada

    kompleks makam Jera Lompoe Kabupaten Soppeng. Hasil penelitiannya adalah

    klasifikasi nisan Jera Lompoe yang menonjol yaitu nisan tipe pedang (pipih)

    merupakan khas tipe Bugis, nisan tipe menhir dan nisan tipe balok merupakan

    khas tipe Makassar, serta nisan tipe mahkota dan hulu keris merupakan nisan khas

    tipe Mandar.

    Uraian penelitian di atas menunjukkan banyaknya penelitian yang telah

    dilakukan pada situs-situs peninggalan Kerajaan Soppeng. Sebagian besar

    penelitian merupakan penelitian Sejarah dan penafsiran data Arkeologi, serta

    belum ada yang membahas pengelolaan situs dalam satu kawasan. Berbeda

    dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mencoba mengkaji pemanfaatan

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    13/20

    13

    situs-situs Kerajaan Soppeng dalam satu kawasan Watansoppeng. Nilai penting

    kawasan Watansoppeng dan nilai penting situs peninggalan Kerajaan Soppeng

    dijadikan dasar dalam menawarkan model pemanfaatan SDB. Selain itu data

    kepentingan stakeholder juga digunakan untuk menawarkan suatu model

    pemanfaatan SDB Watansoppeng.

    E. Landasan Teori

    Penelitian ini mengangkat tema pemanfaatan sumberdaya budaya

    Watansoppeng dengan menggunakan perspektif manajemen sumberdaya budaya

    atau Cultural Resources Management (CRM). Daft (1988) dalam Knudson

    (2001), menyebutkan definisi pengelolaan (management) adalah capaian hasil dari

    tujuan organisasi dengan cara yang efektif dan efisien melalui perencanaan,

    pengorganisasian, pemimpinan dan pengontrolan. Lebih lanjut Knudson

    menjelaskan tujuan CRM, yaitu konservasi informasi nilai budaya dan/atau

    pengalaman spiritual dan estetis yang melekat dalam potensi sumberdaya budaya

    dalam konteks yang berasosiasi dengan nilai publik (misalnya lingkungan fisik,

    ekonomi dan kebutuhan masyarakat) (Knudson, 2001:361).

    Definisi sumberdaya budaya adalah tidak sekedar tinggalan Arkeologi in situ

    yang terpendam di tanah, tetapi mencakup tradisi yang masih berlangsung,

    struktur bahasa daerah, dan koleksi museum (McManamon dan Hatton, 2003:3).

    Lebih lanjut McManamon dan Hatton (2003:48-49) menyebutkan, ada tiga aspek

    penting dalam pendekatan CRM, yaitu:

    1. Identifikasi dan evaluasi sumberdaya budaya

    2. Pemeliharaan sumberdaya budaya

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    14/20

    14

    3.

    Konsep pengelolaan jangka panjang terhadap sumberdaya budaya.

    Menurut Mason (2002:26-27), idealnya prinsip berkelanjutan atau

    pengelolaan jangka panjang akan dipengaruhi perencanaan model dalam beberapa

    cara dan beberapa tahapan, antara lain, membentuk tujuan program, komposisi

    kelompokstakeholder, analisis signifikansi dan konteks manajemen, dan evaluasi

    luaran program. Melihat kembali efektifitas dari keputusan merupakan kunci

    sukses implementasi perencanaan yang terukur dan realisasi manajemen yang

    efektif bagi konservasi warisan budaya.

    Darvill (2005:41-43), membagi nilai penting menjadi sembilan nilai kegunaan

    yaitu penelitian Arkeologi, penelitian ilmiah, kesenian, pendidikan, rekreasi dan

    pariwisata, representasi simbolik, tindakan yang sesuai dengan undang-undang,

    solidaritas sosial dan integrasi, memperoleh uang dan keuntungan. Karena

    manfaat yang dapat didatangkan tersebut, sumberdaya budaya perlu mendapat

    perlakuan pelestarian. Oleh karena itu, pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya

    budaya sebaiknya dilakukan sejalan seperti yang dinyatakan oleh Haryono (2003).

    Pada penerapannya CRM mencakup empat langkah utama seperti yang

    dijabarkan oleh Pearson and Sullivan (1995:19), yakni: 1) Lokasi, identifikasi dan

    dokumentasi sumberdaya baik sumberdaya budaya maupun kawasannya, 2)

    penilaian nilai penting terhadap kawasan, 3) Perencanaan dan pembuatan

    keputusan berdasarkan nilai penting, peluang dan hambatan yang sesuai dengan

    prinsip-prinsip konservasi, 4) implementasi dari perencanaan dan kebijakan, untuk

    upaya pemanfaatan dan pengelolaan suatu tempat.

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    15/20

    15

    Situs-situs Kerajaan Soppeng tersebar dalam wilayah atau kawasan

    Watansoppeng. Menurut Kovacs dkk (2008:126), kawasan konservasi heritage

    adalah satuan bangunan atau situs atau kelompok bangunan dan lingkungan yang

    berada dalam satu kawasan. Contohnya, konservasi kawasan perkotaan bersejarah

    yang mengandung struktur, bangunan, atau situs yang berdiri sendiri maupun situs

    yang mengelompok.

    F. Metode Penelitian

    Wilayah penelitian secara administratif berada di Kecamatan Lalabata, atau di

    kawasan Watansoppeng. Pembatasan wilayah penelitian berdasarkan konsentrasi

    sebaran SDB situs-situs peninggalan Kerajaan Soppeng yang ada pada wilayah

    ini. Penelitian diawali dengan pengumpulan data pustaka untuk memperoleh

    gambaran tentang karakter SDB di lokasi penelitian.Selain itu, pengumpulan data

    juga dilakukan dengan carapenelusuran sumber pustaka di internet. Data awal

    tersebut dijadikan dasar untuk menentukan strategi pengumpulan data.

    Sehubungan dengan masalah penelitian yang dipilih yaitu pemanfaatan SDB

    di Watansoppeng, maka data yang dikumpulkan bervariasi. Data yang

    dimaksudkan meliputi data pustaka, data SDB yang berbentuk material

    maupundata berupa tradisi masyarakat, datastakeholder, dan data tentang kondisi

    pengelolaan yang sedang berlangsung.

    Penelitian lapangan meliputi survei dan wawancara. Survei dilakukan untuk

    memperoleh data tentang karakteristik situs dan lingkungan bekas Kerajaan

    Soppeng, serta tradisi lokal yang masih berlangsung. Selain itu, survei juga

    dilakukan untuk menjaring data tentang sumberdaya alam sekitar lokasi

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    16/20

    16

    penelitian, aksesibilitas, akomodasi, serta sarana dan prasarana penunjang yang

    memungkinkan untuk program pemanfaatan SDB.

    Wawancara menggunakan dua metode yaitu wawancara terstruktur

    (structured interview) dan wawancara tak-terstruktur (unstructured interview).

    Wawancara terstruktur yaitu selama proses wawancara para responden akan

    mendapatkan sederet pertanyaan (lembar kuesioner) yang sama dan harus dijawab

    secara berurutan (Fontana dkk, 2009:504).

    Wawancara terstruktur dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

    lembar kuesioner. Pertanyaan yang dilontarkan kepada responden dijawab secara

    berurutan sesuai dengan urutan pertanyaan dalam lembar kuesioner. Wawancara

    terstruktur dilakukan guna mengetahui sejauh mana persepsi dan kebijakan

    stakeholderterhadap pengelolaan SDB di Watansoppeng. Responden yang dipilih

    dengan latar belakang profesi/pekerjaan dan pendidikan yang berbeda-beda.

    Responden tersebut antara lain, masyarakat setempat (keturunan Raja Soppeng

    dan masyarakat pendatang), instansi cagar budaya (Kepala Kantor DISBUDPAR

    Soppeng, BALAR Makassar dan BPCB Makassar, serta beberapa stafnya), serta

    akademisi budaya dan non-budaya (dosen, guru dan mahasiswa).

    Wawancara tak-terstruktur (unstructured interview), wawancara ini

    digunakan untuk memahami kompleksitas perilaku anggota masyarakat tanpa

    adanya kategori, yang dapat membatasi kekayaan data yang dapat diperoleh

    (Fontana dkk, 2009:507-508). Wawancara tak-terstruktur dalam penelitian ini

    dilakukan tanpa menggunakan format isian, dengan demikian pertanyaan yang

    diajukan kepada responden tidak terstruktur. Cara penelitian ini ditempuh supaya

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    17/20

    17

    suasana penelitian tidak formal dan lebih santai. Tujuan dari wawancara ini agar

    dapat memperoleh informasi lebih detail, dan ingin lebih dekat dengan responden

    agar informasi yang diperoleh lebih komprehensif.

    Pemilihan responden didasarkan pada jenis informasi yang dibutuhkan

    dalam penelitian. Jika informasi tentang adat istiadat yang dicari maka

    responden yang dipilih adalah tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat

    (seperti, keturunan bangsawan dan raja Soppeng). Selain itu dilakukan pula

    wawancara dengan akademisi yang pernah melakukan penelitian di

    Watansoppeng dan praktisi di bidang Arkeologi seperti staf pegawai

    DISBUDPAR Soppeng, BALAR Makassar dan BPCB Makassar.

    Data yang telah dikumpulkan kemudian dikatagorikan menjadi dua bagian

    berdasarkan dua alat analisis yang digunakan, yaitu analisis nilai penting dan

    analisis pemetaan kepentingan stakeholder. Analisis pertama adalah analisis nilai

    penting. Referensi utama yang digunakan adalah UU Nomor 11 tahun 2010

    tentang Cagar Budaya, pasal 1 ayat (1). Regulasi ini menyebutkan ada lima nilai

    penting Cagar Budaya yaitu nilai penting Sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,

    agama, dan kebudayaan. Alasan penulis merujuk nilai penting seperti yang

    digariskan dalam regulasi di atas karena pengelola SDB Watansoppeng adalah

    pemerintah daerah Soppeng. Penyesuaian regulasi dengan program di daerah tetap

    akan terkait. Secara akademis, acuan nilai penting dalam UU CB No. 11 tahun

    2010 lebih fleksibel sehingga mudah disesuaikan dengan nilai penting SDB yang

    sedang penulis teliti.

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    18/20

    18

    Selain itu definisi unsur nilai penting yang penulis gunakan yaitu merujuk

    pendapat dari beberapa ahli, antara lain Tanudirjo (2004) menguraikan definisi

    nilai penting Sejarah, pendidikan dan kebudayaan. Nilai penting religi menurut

    Mason (2002). Nilai penting pendidikan menurut Darvill (2005). Nilai penting

    arsitektural menurut Pearson dan Sullivan (1995) dan nilai penting publik menurut

    (Scovill, 1977 dan Lipe, 1977 dalam Tanudirjo, 2004). Alasan penggunaan

    definisi nilai penting tersebut karena kompleksnya kandungan nilai penting SDB,

    baik karakter maupun jenisnya dan lebih bervariasi dalam satu kawasan

    Watansoppeng.

    Setelah penentuan nilai penting, langkah selanjutnya adalah melakukan

    pembobotan nilai penting. Pembobotan untuk memeringkat kandungan nilai

    penting SDB Watansoppeng dengan melihat skala nilainya. Variabel pembobotan

    yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada yang diusulkan oleh Tanudirjo

    (2004), yaitu: kelangkaan, keunikan, umur/pertanggalan, tataran, integritas dan

    keaslian.

    Analisis kedua adalah analisis pemetaan kepentingan stakeholder, dengan

    melihat persepsi stakeholder terhadap sumberdaya budaya yang ada. Analisis

    pemetaanstakeholderyang dipilih adalah analisis analogi bawang bombaydengan

    cara memetakan posisi, kepentingan dan kebutuhan (Setyowati,2011:6) setiap

    pihak yang memiliki hubungan dengan pemanfaatan SDB di Watansoppeng.

    Langkah analisis ini dilakukan agar rumusan konsep yang dihasilkan dapat

    mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan pihak-pihak yang terkait dengan

    pemanfaatan.

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    19/20

    19

    Setelah semua data dianalisis, hasil analisis kemudian diintegrasikan dan

    disintesiskan untuk mendapatkan sebuah model pemanfaatan SDB di

    Watansoppeng. Model pemanfaatan yang dihasilkan akan mempertimbangkan

    nilai penting kawasan Watansoppeng dan nilai penting SDB Watansoppeng, serta

    mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder. Sintesis penelitian ini

    adalah model pemanfaatan SDB Watansoppeng berbasis nilai penting dan

    mempertimbangkan posisi, kebutuhan dan kepentingan stakeholder. Selain itu

    beberapa model alternatif pemanfaatan yang direkomendasikan yaitu pemanfaatan

    untuk penelitian ilmiah, pemanfaatan pariwisata terpadu perspektif kawasan

    Watansoppeng, pemanfaatan yang menggandeng wisata alam seperti pengolahan

    sutera di Desa Tajuncu atau permandian alam air panas Lejja, pemanfaatan

    agrowisata heritage, dan pemanfaatan menerapkan marketing nostalgia.

  • 7/24/2019 S2-2015-293143-introduction

    20/20

    20

    Alur Penelitian

    Pengumpulan data:

    1. Data pustaka dan data dari di internet

    2. Data lapangan:

    a. Survei

    b. Wawancara

    Hasil pengumpulan data: data SDB berbentukmaterial dan non-material, datastakeholder

    dan data pengelolaan saat ini

    Analisis data:

    1. Nilai penting dan pembobotan

    2.

    Posisi, kepentingan, dan kebutuhanstakeholder

    Model pemanfaatan untuk pariwisata

    terpadu dan pemanfaatan untuk kepentingan

    akdemis/ilmu pengetahuan

    Model alternatif pemanfaatan:

    a. Pemanfaatan untuk penelitian ilmiah

    b. Pemanfaatan pariwisata terpadu

    persepektif kawasan

    c. Pemanfaatan menggandeng wisata alam

    pengolahan sutera dan wisata alam

    permandian air panas Lejja

    d. Pemanfaatan untuk agrowisata heritage

    e.

    Pemanfaatan menerapkan marketingnostalgia