ruptur uteri - jessica harlan fk untar (406138083)

18
BAB I PENDAHULUAN Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada kehamilan dan persalinan. ruptur uteri di rumah sakit- rumah sakit besar di Indonesia berkisar antara1:92 persalinan. Angka-angka ini sangat tinggi ika dibandingkan dengannegara-negara !antara 1:12"# dan 1:2### persalinan$. %al ini disebabkan karenarumah sakit & ru Indonesia menampung banyak kasus darurat dari luar.'e(ara klasik) ruptur uteri d dengan nyeri abdomen akut dan perdarahan per*aginam ber+arna merah segar serta k anin yang memburuk Faktor predisposisi yang sering ditemukan pada rupture uteri adalah ri+aya atau manipulasi yang mengakibatkan trauma) seperti kuretase atau per,orasi.'timu se(ara berlebihan atau kurang tepat dengan oksitosin) yaitu suatu penyebab yang la im ditemukan) tampak semakin berkurang. Ruptur uteri sendiri merupakan kasus yang harus terdiagnosis dan ditangani segera untuk menyelamatkan ibu dan anin. karena itu diagnosis dan manaemen ruptur uteri sangatlah penting./renatal (are) partus yang baik) disamping ,asilitas pengangkutan yangmemadai dari daerah-daer dan penyediaan darah yang (ukup uga merupakan,aktor yang penting BAB II 1

Upload: widyasari-wuwungan

Post on 02-Nov-2015

243 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kjl

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada kehamilan dan persalinan.Frekuensi ruptur uteri di rumah sakit- rumah sakit besar di Indonesia berkisar antara1:92 sampai 1:428 persalinan. Angka-angka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengannegara-negara maju (antara 1:1250 dan 1:2000 persalinan). Hal ini disebabkan karenarumah sakitrumah sakit di Indonesia menampung banyak kasus darurat dari luar.Secara klasik, ruptur uteri ditandai dengan nyeri abdomen akut dan perdarahan pervaginam berwarna merah segar serta keadaan janin yang memburuk

Faktor predisposisi yang sering ditemukan pada rupture uteri adalah riwayat operasi atau manipulasi yang mengakibatkan trauma, seperti kuretase atau perforasi.Stimulasi uterus secara berlebihan atau kurang tepat dengan oksitosin, yaitu suatu penyebab yang sebelumnya lazim ditemukan, tampak semakin berkurang. Ruptur uteri sendiri merupakan kasus gawat darurat yang harus terdiagnosis dan ditangani segera untuk menyelamatkan ibu dan janin. Oleh karena itu diagnosis dan manajemen ruptur uteri sangatlah penting.Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping fasilitas pengangkutan yangmemadai dari daerah-daerah perifer dan penyediaan darah yang cukup juga merupakanfaktor yang penting

BAB IIPEMBAHASANDefinisi

Ruptur uteri adalah robeknya dinding rahim pada saat kehamilan atau persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum (1-3). Epidemiologi

Ruptura uteri merupakan suatu komplikasi yang sangat berbahaya dalam persalinan. Angka kejadian ruptura uteri di indonesia masih tinggi yaitu berkisar antara 1:92 sampai 1:428 persalinan. Begitu juga angka kematian ibu akibat ruptura uteri masih tinggi yaitu berkisar antara 17,9% sampai 62,6%. Angka kematian anak pada rutura uteri berkisar antara 89,1% sampai 100%.

Etiologi

Rupture uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang telah di seksio sesarea pada persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus yang demikian dilakukan partus percobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitosin atau sejenisnya.

Pasien yang berisiko tinggi antara lain persalinan yang mengalami distosia, grandemultipara, penggunaan oksitosin atau prostaglandin untuk mempercepat persalinan, pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah sesar atau operasi lain pada rahimnya, pernah histerorafia, pelaksanaan trial of labor terutama pasien bekas seksio sesarea, dan sebagainya. Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas seksio sesarea klasik berlaku adagium Once Caesarean Section always Caesarean Section. Pada keadaan tertentu seperti ini dapat dipilih elective caesarean section untuk mencegah rupture uteri dengan syarat janin sudah matang. Eksplorasi pasca kelahiran pada persalinan yang sukar dengan perdarahan yang banyak atau pascapartus dengan kemungkinan dehisens perlu dilakukan untuk memastikan tidak adanya rupture uteri. (4-6).Faktor predisposisi

1. Multiparitas/grandemultipara

Ini disebabkan oleh karena : dinding perut yang lembek dengan kedudukan uterus dalam posisi antefleksi, sehingga terjadi kelainan letak dan posisi janin, janin sering lebih besar, sehingga dapat menimbulkan disproporsi sefalopelvik, terjadi nya infiltasi jaringan fibrotik dalam otot rahim penderita, sehingga mudah terjadi ruptura uteri spontan.

2. Pemakaian oksitosin untuk induksi atau stimulasi persalinan yang tidak tepat.

3. Kelainan letak dan implantasi plasenta umpamanya pada plasenta akreta, plasenta inkreta atau plasenta perkreta.

4. Kelainan bentuk uterus umpamanya uterus bikornis

5. Hidramnion.

Patofisiologi

Pada waktu his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian, dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya, tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke bawah ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik ke atas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang, dan sering sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin dapat terdorong turun tanpa halangan dan jika kapasitas segmen bawah rahim telah penuh terpakai untuk ditempati oleh tubuh janin, maka pada gilirannya bagian terbawah janin terdorong masuk ke dalam jalan lahir melalui pintu atas panggul ke dalam vagina melalui pembukaan jika serviks bias mengalah. Sebaliknya, apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena sesuatu sebab yang menahannya (misalnya panggul sempit atau kepala janin besar), maka volume korpus yang tambah mengecil pada waktu his harus diimbangi oleh perluasan segmen bawah rahim ke atas. Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologik semakin tinggi ke arah pusat melewati batas fisiologik menjadi patologik. Lingkaran patologik ini disebut lingkaran Bandl (ring van Bandl). Ini terjadi karena segmen bawah rahim terus-menerus tertarik ke proksimal, tetapi tertahan di bagian distalnya oleh serviks yang terpegang pada tempatnya oleh ligamentum sakrouterina di bagian belakang, ligamentum cardinal pada kedua belah sisi kanan dan kiri, dan ligamentum vesikouterina pada dasar kandung kemih. Jika his berlangsung kuat terus-menerus, tetapi bagian terbawah tubuh janin tidak kunjung turun lebih ke bawah melalui jalan lahir, lingkaran retraksi makin lama semakin meninggi (mendekati pusat)dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas sembari dindingnya menjadi sangat tipis hanya beberapa millimeter saja lagi. Ini menandakan telah terjadi tanda-tanda rupture uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada saatnya dinding segmen bawah rahim itu akan robek spontan pada tempat yang tertipis ketika his berikut datang, dan terjadilah perdarahan yang banyak bergantung kepada luas robekan yang terjadi dan pembuluh darah yang terputus. Umumnya robekan terjadi pada dinding depan segmen bawah rahim, luka robekan bias meluas secara melintang atau miring. Bila mengenai daerah yang ditutupi ligamentum latum terjadi luka robekan yang meluas ke samping. Robekan bias juga meluas ke korpus atau ke serviks atau terus ke vagina (kalpaporeksis) dan bahkan kadang kala bias mencederai kandung kemih. Pertumpahan darah sebagian besar mengalir ke dalam rongga peritoneum, sebagian yang lain mengalir melalui pembukaan serviks ke vagian. Pertiwa robekan pada segmen bawah rahim yang sudah menipis itu (dalam status rupture uteri iminens) dipercepat jika ada manipulasi dari luar, misalnya dorongan pada perut sekalipun tidak terlalu kuat sudah cukup untuk menyebabkan robekan. Demikian juga apabila fundus uteri didorong-dorong seperti yang banyak dilakukan pada upaya yang sulit, dan sebagainya. Oleh karena itu, jika terlihat lingkaran Bandl penolong haruslah berhati-hati. Ketika terjadi robekan pasien merasa amat nyeri seperti teriris sembilu dalam perutnya, dan his terakhir yang masih kuat itu sekaligus mendorong sebagian atau seluruh tubuh janin keluar rongga rahim ke dalam rongga peritoneum. Melalui robekan tersebut usus dan dan omentum mendapat jalan masuk sehingga bias mencapai vagina dan bias diraba pada waktu periksa dalam.

Rupture uteri yang tidak merobek perimetrium sering terjadi pada bagian rahim yang longgar hubungannya dengan peritoneum yaitu pada bagian samping dan dekat kandung kemih. Di sini dinding serviks yang meregang karena ikut tertarik bias ikut robek. Robekan pada bagian samping bisa sampai melukai pembuluh-pembuluh darah besar yang terdapat dalam ligamentum latum. Jika robekan terjadi pada bagian dasar ligamentum latum, arteri uterine atau cabang-cabangnya bias terluka disertai perdarahan yang banyak, dan di dalam parametrium dipihak yang robek akan terbentuk hematoma yang besar dan menimbulkan syok yang sering berakibat fatal.

Dari sudut patofisiologi rupture uteri dapat ditinjau apakah terjadi dalam masa hamil atau dalam persalinan, apakah terjadi pada rahim yang utuh atau pada rahim yang bercacat, dan sebagainya. Tinjauan tersebut bias mempengaruhi pilihan operasi, apakah akan dilakukan histerektomi atau histerorafia. (4-7).

Klasifikasi(8).

Menurut anatomis :a. Ruptur uteri komplit, bila robekan terjadi pada seluruh lapisan dinding uterus.b. Ruptur uteri inkomplit, bila robekan hanya sampai miometrium (perimetrium masih utuh), disebut juga dehisensi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan eksplorasi dindingrongga uterus setelah janin dan plasenta lahir.Menurut etiologinya:a. Ruptur uteri spontan

Yaitu bila ruptur uteri terjadi secara spontan pada uterus tanpa parut (utuh) oleh karena kekuatan his semata dan tanpa adanya manipulasi dari penolong. Faktor pokok disini ialah bahwa persalinan tidak maju karena rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosepalus, janin dalam letak lintang dan sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin meregang. Faktor yang merupakan predisposisi terhadap terjadinya rupture uteri adalah multiparitas, disini ditengahtengah miometrium sudah terdapat banyakjaringan ikat yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga regangan lebih mudah menimbulkan robekan.b. Ruptur uteri traumatikaRuptur uteri yang disebabkan oleh trauma pada abdomen, dapat terjadi karena jatuh, kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma dari luar. c. Ruptur uteri violentaDisebabkan ada manipulasi tenaga tambahan lain seperti induksi, stimulasi partus dengan oksitosin atau yang sejenins, atau dorongan yang kuat pada fundus dalam persalinan. Oleh banyak penulis dilaporkan pula bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh dukundukun memudahkan timbulnya ruptur uteri. Pada persalinan yang kurang lancar, dukundukun biasanya melakukan tekanan keras kebawah terusmenerus pada fundus uteri, hal ini dapat menambah tekanan pada segmen bawah uterus yang sudah meregang dan mengakibatkan terjadinya ruptur uteri. Pemberian oksitosin dalam dosis yang terlampau tinggi dan atau atas indikasi yang tidak tepat, bisa pula menyebabkan ruptur uteri.

Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan usaha vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptur uteri. Hal itu misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah ketika melakukan embriotomi. Berhubung dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut d iatas dan juga setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptur uteri. Gejala-gejala ruptur uteri violenta tidak berbeda dari ruptur uteri spontan.Menurut aspek keutuhan rahim:

Rupture uteri dapat terjadi pada uterus yang masih utuh, tetapi bias terjadi pada uterus yang bercacat misalnya pada parut bekas bedah sesar atau parut jahitan rupture uteri yang pernah terjadi sebelumnya (histerorafia), miomektomi yang dalam sampai ke rongga rahim, akibat kerokan yang terlalu dalam, reseksi kornu atau bagian interstisial dari rahim, metroplasti, rahim yang rapuh akibat telah banyak meragang misalnya pada grandemultipara atau pernah hidramnion atau hamil ganda, uterus yang kurang berkembang kemudian menjadi hamil, dan sebagainya.

Menurut waktu terjadinya:a. Ruptur Uteri Gravidarum, terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus, misalnya karena trauma pada rahim yang bercacat, sering pada bekas bedah sesar klasik.

b. Ruptur Uteri Durante Partum, Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya seringpada SBR. Jenis inilah yang terbanyak. Kebanyakan rupture uteri terjadi dalam persalinan kala I dank ala II pada partus percobaan bekas seksio sesarea, terlebih pada kasus yang hisnya diperkuat dengan oksitosis atau prostaglandin dan yang sejenis.Menurut sifat:

a. Tanpa menimbulkan gejala (silent) seperti pada rupture yang terjadi pada parut bedah sesar klasik dalam masa hamil tua. Parut itu merekah sedikit demi sedikit (dehiscence) dan pada akhirnya robek tanpa menimbulkan perdarahan yang banyak dan rasa nyeri yang tegas.

b. Dengan tanda yang jelas (overt) dan akut, misalnya ruptur uteri yang terjadi dalam kala I atau kala II akibat dorongan atau picuan oksitosin. Kantong kehamilan ikut robek dan janin terdorong masuk ke dalam rongga peritoneum. Terjadi perdarahan internal yang banyak dan perempuan bersalin tersebut merasa sangat nyeri sampai syok.Menurut paritas:

a. Nulipara : diusahakan histerorafia apabila lukanya rata dan tidak infeksi

b. Multipara : umumnya lebih baik dilakukan histerektomi atau jika keadaan umumnya jelek dan luka robekan pada uterus tidak luas dan tidak compang-camping, robekan pada uterus dijahit kembali dan dilanjutkan tubektomi

Menurut gradasi

Kecuali akibat kecelakaan, rupture uteri tidak terjadi mendadak. Peristiwa robekan yang umumnya terjadi pada SBR didahului oleh his yang kuat tanpa kemajuan dalam persalinan sehingga batas antara korpus dan SBR yaitu lingkaran retraksi yang fisiologik bertambah tinggi menjadi lingkaran Bandl yang patologik, sementara ibu yang melahirkan itu merasa sangat cemas dan ketakutan oleh karena menahan nyeri his yang kuat. Pada saat ini penderita berada dalam stadium rupture uteri iminens. Apabila keadaan yang demikian berlanjut dan tidak terjadi atonia uteri sekunder, maka pada gilirannya dinding SBR yang sudah sangat tipis itu robek. Peristiwa ini disebut rupture uteri spontan.

Menurut lokasi:a. Korpus uteri, biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.b. Segmen bawah rahim (SBR), biasanya pada partus sulit dan lama (tidak maju).SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur.c. Servik uteri, biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forcep atau versidan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.d. Kolpoporeksis-kolporeksis, robekan-robekan diantara servik dan vaginaPatologi Anatomi

Ruptur pada uterus yang sebelumnya utuh saat kelahiran paling sering terjadi pada dinding segmen bawah rahim yang tipis. Lainnya, bila langsung di sekitar serviks, sering meluas transversal atau oblique. Biasanya, luka ini memanjang ketika terjadi di bagian rahim yang berdekatan dengan broad ligament. Meskipun berkembang terutama di

segmen bawah uterus, tidak biasa bagi laserasi untuk meluas ke atas ke korpus uteri atau ke bawah melalui serviks ke dalam vagina. Dalam keadaan ini, kandung kemih mungkin

juga terkena (Rachagan dan rekan, 1991). Setelah rupture komplit, isi rahim keluar ke kavum peritoneal. Dalam kasus di mana bagian presentasi tegas terlihat , hanya sebagian dari janin dapat dikeluarkan dari uterus. Pada ruptur uteri di mana peritoneum utuh, perdarahan sering meluas ke broad ligament. Hal ini dapat mengakibatkan hematoma retroperitoneal dan exsanguination. (8)Gejala dan Tanda

Sebelum rupture, biasanya ada tanda- tanda pendahuluan yang terkenal dengan istilah gejala-gejala ancaman robekan rahim :1. lingkaran retraksi patologis/lingkaran Bandl yang tinggi, mendekati pusat dan naik terus

2. kontraksi rahim kuat dan terus-menerus

3. penderita gelisah, nyeri perut di bagian bawah, juga di luar his

4. palpasi segmen bawah rahim, tepatnya di atas simfisis, menimbulkan rasa nyeri

5. ligament rotundum tegang, bahkan ketika tidak ada his

6. bunyi jantung anak biasanya tidak terdengar atau tidak baik karena anak mengalami asfiksia akibat kontraksi dan retraksi rahim berlebihan

7. air kencing mengandung darah karena kandung kencing teregang atau tertekan

Bila keadaan ini berlarut-larut, terjadilah rupture uteri. Oleh sebab itu, gejala-gejala ancaman robekan rahim merupakan indikasi segera menyelesaikan persalinan, baik dengan perforasi atau dekapitasi bila anak mati, maupun seksio sesarea bila anak hidup. Sambil menunggu persiapan ibu ditolong dengan diberi morfin 20mg untuk mengurangi kekuatan his.

Bila memang sudah terjadi, rupture uteri menampilkan gejala-gejala berikut :

1. dalam kontraksi kuat, pasien tiba-tiba merasa nyeri menyayat di perut bagian bawah

2. segmen bawah rahim terasa sangat nyeri ketika di palpasi

3. his berhenti/hilang

4. ada perdarahan pervaginam, walaupun biasanya tidak banyak

5. bagian-bagian anak mudah diraba bila anak masuk ke dalam rongga perut (seolah-olah dapat berjabatan tangan dengan anak)

6. terkadang di samping anak teraba tumor, yaitu rahim yang telah mengecil

7. pada pemeriksaan dalam ternyata bagian depan mudah ditolak ke atas, bahkan kadang-kadang tidak teraba lagi karena masuk ke dalam rongga perut

8. bunyi jantung anak tidak ada/tidak terdengar

9. biasanya pasien jatuh dalam keadaan syok

10. bila sudah lama terjadi, seluruh perut nyeri dan gembung

11. kencing berdarah dapat membantu kita menentukan diagnosis, bila gejala-gejala solusio plasenta kurang jelas(8,9)Ruptur Uteri di Bekas Luka Seksio Sesarea

Rupture uteri karena luka bekas seksio semakin sering terjadi dengan meningkatnya tindakan seksio sesarea. Rupture uteri semacam ini lebih sering terjadi pada luka bekas seksio sesare klasik daripada luka seksio sesarea profunda.

Rupture luka bekas seksio sesarea klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan, sedangkan luka bekas seksio sesarea profunda baisanya baru terjadi dalam persalinan.

Karena itu, semua pasien riwayat seksio yang kembali mengandung harus diawasi oleh seorang dokter spesialis, baik sewaktu kehamilan maupun persalinan.

Untuk mengurangi kemungkinan rupture uteri, ibu yang telah mengalami seksio dianjurkan agar tidak terlalu lekas hamil, sekurang-kurangnya berselang 2 tahun untuk memberi kesempatan luka sembuh dengan baik.

Gejala dan Tanda

Rupture uteri pada luka bekas seksio sesarea sering kali sukar didiagnosis. Tidak ada gejala yang khas seperti rupture yang terjadi pada rahim yang utuh, hanya ada perdarahan yang lebih banyak daripada perdarahan pembukaan atau rasa nyeri di daerah bekas luka.

Karena itu, rupture semacam ini disebut silent rupture. Gambaran klinisnya sangat berbeda dengan gambaran klinis rupture uteri pada uterus yang utuh. Hal ini disebabkan karena rupture pada luka bekas seksio sesarea biasanya terjadi sedikit demi sedikit. Perdarahan pada rupture bekas seksio sesarea profunda malah terjadi retroperitoneal sehingga tidak menimbulkan gejala perangsangan peritoneum. Sebaliknya, eksplorasi kavum uteri dilakukan penderita bekas seksio yang bersalin per vaginam.

Pengelolaan Kehamilan dan Persalinan pada Bekas Seksio Sesarea

1. Seorang perempuan yang telah menjalani seksio sebaiknya tidak hamil dulu selama 2 tahun. Apabila perempuan kembali mengandung setelah mengalami seksio sesarea, ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan :

a. Versi luar tidak boleh dilakukan

b. Wanita harus dirawat mulai kehamilan 38 minggu

2. Semua perempuan dengan riwayat seksio sesarea harus melahirkan di rumah sakit besar.

a. Bila seksio yang sebelumnya adalah seksio sesarea klasik, harus dilakukan seksio sesarea primer

b. Bila penyebab seksio sesarea bersifat menetap (seperti panggul sempit absolute), harus dilakukan seksio sesarea primer. Bila penyebab seksio sesarea tidaklah tetap dan persalinan berjalan lancar, perempuan boleh melahirkan per vaginam dengan ketentuan sebagai berikut :

i. Oksitosin tidak boleh dipakai dalam kala I untuk memperbaiki his

ii. Kala II harus dipersingkat. Perempuan diperbolehkan mengedan 15 menit. Jika dalam 15 menit bagian terendah anak turun dengan pesat, perempuan boleh mengedan lagi selama 15 menit. Sebaliknya, jika setelah 15 menit kepala tidak turun dengan cepat, dapat dilakukan ekstraksi forceps atau vakum bila syarat-syarat telah terpenuhi(8,9)

PenatalaksanaanDalam menghadapi rupture uteri semboyan prevention is better than cure sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelola persalinan di mana pun persalinan itu berlangsung. Pasien risiko ringgi haruslah dirujuk agar persalinannya berlangsung dalam rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup dan diawasi dengan penuh dedikasi oleh petugas berpengalaman.

Kita harus melakukan observasi yang teliti dan mewaspadai kemungkinan rupture uteri dalam persalinan dengan rintangan kemajuan bagian depan, seperti letak lintang, hidrosefalus, panggul sempit, dan bila kepala tidak turun dalam kala II walaupun his baik.

Gejala ancaman robekan rahim merupakan indikasi segera menyelesaikan persalinan.

Bila telah terjadi rupture uteri tindakan terpilih hanyalah histerektomi dan resusitasi serta antibiotika yang sesuai. Diperlukan infuse cairan kristaloid dan transfuse darah yang banyak (transfuse darah merupakan syarat mutlak pengelolaan rupture uteri), tindakan antisyok, serta pemberian antibiotika spectrum luas, dsb. Seusai operasi, pasien dibaringkan ala Fowler agar infeksi terbatas di pelvis dan diberi antibiotika dosis tinggi.

Jarang sekali bisa dilakukan histerorafia kecuali bila ruka robekan masih bersih dan rapi dan pasiennya belum punya anak hidup. (8,9)KomplikasiSyok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi adalah dua komplikasi yang fatal pada peristiwa rupture uteri. Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus yang belum punya anak hidup meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan mendalam. (5,6)SKEMA PENATALAKSANAAN RUPTUR UTERI

PrognosisPrognosis untuk anak buruk karena biasanya anak akan mati. Prognosis pada ibu juga kurang baik. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan (penyebab kematian segera) atau infeksi, seperti peritonitis atau sepsis (penyebab kematian yang kemudian)

Prognosis rupture uteri inkomplit lebih baik daripada rupture uteri komplit karena cairan dari kavum uteri tidak dapat masuk ke dalam rongga perut.

Dengan adanya ruptur dan keluarnya janin ke dalam rongga peritoneum, kemungkinan janin untuk bertahan hidup sangat sedikit, dan dilaporkan angka mortalitas berkisar dari 50hingga 75%. . Kondisi janin tergantung pada sejauh mana sisa-sisa implantasi plasenta yang utuh, meskipun hal ini dapat berubah dalam beberapa menit. Setelah ruptur, satu-satunya harapan untuk mempertahankan jiwa janin adalah dengan persalinan segera,paling sering oleh laparotomi. Jika tidak, hipoksia dari pemisahan plasenta dan hipovolemia ibu tidak bisa dihindari. Jika ruptur diikuti oleh pemisahan total plasenta, maka sangat sedikit janin akan diselamatkan. Misalnya, pada bulan Agustus 2008 ACOG Hari ini, tim darurat di Sharp Mary Birch Hospitaldijelaskan. Setelah pelatihan, waktu "decision to incision" menurun menjadi 14+- 5,6 menit.

Dengan demikian, bahkan dalam situasi yang terbaik, penyelamatan janin akan terganggu. Dalam studi Swedish Birth Registry, Kaczmarczyk and colleagues (2007)dikatakan bahwa kematian neonatal diikuti rupture uteri adalah 5%-60 kali lipat lebih tinggi disbanding wanita hamil tanpa komplikasi rupture uteri(8,9)Histerektomi vs Repair UterusRupture komplit dalam partus percobaan mungkin membutuhkan histerektomi. Dari laporan oleh McMahon (1996) and Miller (1997) dkk, 10-20% membutuhkan histerektomi untuk hemostasis. Dalam kasus tertentu, mempertahankan uterus dengan repair mungkin dilakukan. Repair yang dilakukan diikuti sterilisasi tuba. Histerektomi: o Fungsi reproduksi tidak diharapkan

o Kondisi buruk yang membahayakan ibu

Repair uterus:

o Wanita muda masih mengharapkan fungsi reproduksinya

o Kondisi klinis stabil

o Ruptur yang tidak komplikasi

o Rekurensi 4-10%, disarankan seksio sesaria elektif pada kehamilan

36 minggu atau mauritas paru janin telah terbukti. (8,10)BAB III

KESIMPULAN

Ruptur uteri adalah robeknya dinding rahim pada saat kehamilan atau persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum. Ruptura uteri merupakan suatu komplikasi yang sangat berbahaya dalam persalinan. Angka kejadian ruptura uteri di indonesia masih tinggi yaitu berkisar antara 1:92 sampai 1:428 persalinan. Rupture uteri bisa disebabkan oleh anomaly atau kerusakan yang telah ada sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang masih utuh. Paling sering terjadi apda rahim yang telah di seksio sesarea pada persalinan sebelumnya. Klasifikasi rupture uteri sendiri dapat ditinjau dari berbagai aspek. Dari aspek anatomis dapat dibagi menjadi rupture uteri komplit dan inkomplit. Dari aspek sebab dapat dibagi menjadi rupture uteri spontan, traumatika, dan violenta.

Biasanya ruptura uteri didahului oleh gejala gejala ruptura uteri yang membakat. Setelah terjadinya ruptura uteri dijumpai gejala gejala syok, perdarahan ( bisa keluar melalui vagina atau pun kedalam rongga perut), pucat, nadi cepat dan halus, pernapasan cepat dan dangkal, tekanan darah turun. Bila sudah diagnosa dugaan ruptur uteri sudah ditegakkan maka tindakan yang harus diambil adalah segera memperbaiki keadaan umum pasien ( resusitasi cairan dan persiapan tranfusi ) dan persiapan tindakan laparotomi atau persiapan rujukan ke sarana fasilitas yang lebih lengkap. Prognosis untuk anak buruk karena biasanya anak akan mati. Prognosis pada ibu juga kurang baik. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan (penyebab kematian segera) atau infeksi, seperti peritonitis atau sepsis (penyebab kematian yang kemudian).

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Williams obstetrics 21st ededed ed.

New york : McGraw-Hill, 2001 : 646-63.

2. Wiknyo S. Ilmu bedah kebidanan . 1st ed. Jakarta : Tridasa Print, 2000 ; 89-139.

3. Sciarra JJ, Silverman NS, Watkins TJ, Gynecology and obstetrics CDROM, Philadelphia : Lippincott-Raven, 1997.4. Hayashi RH, Gambone JC. Obstetric Hemorrhage and Puerperal Sepsis. In Hacker NF, Moore JG, Gambone JC. Essentials of Obstetrics and Gynecologi, 4th ed, Elseiver Saunders, 2004. 146-585. Moir Ch J, Myerscough PR. Munro Kerrs Operative Obstetrics, 8th ed, ELBS and Balliere Tindall, 1972; 843-646. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap L, Wenstrom KD. Williams Obstetrics 22nd ed. McGraw-Hill, 2005; 615-6,837-97. Beischer NA, Mackey EV. Obstetrics and the newborn. 2nd edit. WB Saunders Company, 1986; 504-6

8. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, , Rause DJ, Spancy CY. Williams Obstetrics. Edisi ke-23. New York. McGraw-Hill;2010.9. Current Obstetrics and Gynecologic. Edisi ke-8. Connecticut : Appleton and Lange, 1999.10. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Ruptur Uteri. HKFM POGI, Jakarta. 2006: 60-61.16