risalah indonesia menggugat - gelora45.com menggugat_risalah.pdfmenyebar hingga ke eropa dan asia....

12
1 Risalah Indonesia Menggugat Kang Ade Bastiawan http://bastiawanade.blogspot.com/2014/04/risalah-indonesia-menggugat.html Minggu, 20 April 2014 Meski Sukarno malah dijatuhi hukuman empat tahun penjara, dua kali lebih berat dari rekan-rekannya Soekarno mendapat remisi jadi dua tahun penjara. Bukan soal gagalnya pledoi itu membebaskan Soekarno dan rekan-rekannya dari interniran, melainkan bagaimana pledoi itu sendiri menjadi naskah klasik yang paling gemilang yang dilahirkan manusia republik di masa pergerakan. Bahkan, pidato pembelaannya Bung Karno ini menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan judul “Indonesie klaagt aan” –Indonesia Menggugat. Reaksi dari ide yang digelontorkan Sukarno di gedung Landraad ini, menyebar hingga ke Eropa dan Asia. Di Belanda, Partai Buruh bergolak, mendukung pledoi Sukarno Indonesie klaagt aan, sekaligus mendukung Indonesia Merdeka. Di Asia, pidato ini menjadi salah satu inspirasi para tokoh negara-negara Asia untuk ikut menggelorakan semangat kemerdekaan di negara mereka. Penangkapan Tokoh PNI Pada bulan Mei tahun 1929, keputusan diambil Hoofd-Bestuur dan cabang-cabang PNI untuk mengadakan daadwerkelijke actie aksi kekerasan. Bunyi keputusan Mei PNI

Upload: phamphuc

Post on 07-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Risalah Indonesia Menggugat Kang Ade Bastiawan

http://bastiawanade.blogspot.com/2014/04/risalah-indonesia-menggugat.html

Minggu, 20 April 2014

Meski Sukarno malah dijatuhi hukuman empat tahun penjara, dua kali lebih berat dari

rekan-rekannya –Soekarno mendapat remisi jadi dua tahun penjara. Bukan soal gagalnya

pledoi itu membebaskan Soekarno dan rekan-rekannya dari interniran, melainkan

bagaimana pledoi itu sendiri menjadi naskah klasik yang paling gemilang yang dilahirkan

manusia republik di masa pergerakan. Bahkan, pidato pembelaannya Bung Karno ini

menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan judul “Indonesie klaagt aan” –Indonesia

Menggugat. Reaksi dari ide yang digelontorkan Sukarno di gedung Landraad ini,

menyebar hingga ke Eropa dan Asia. Di Belanda, Partai Buruh bergolak, mendukung

pledoi Sukarno Indonesie klaagt aan, sekaligus mendukung Indonesia Merdeka. Di Asia,

pidato ini menjadi salah satu inspirasi para tokoh negara-negara Asia untuk ikut

menggelorakan semangat kemerdekaan di negara mereka.

Penangkapan Tokoh PNI

Pada bulan Mei tahun 1929, keputusan diambil Hoofd-Bestuur dan cabang-cabang PNI

untuk mengadakan daadwerkelijke actie –aksi kekerasan. Bunyi keputusan Mei PNI

2

tersebut, adalah: “untuk mencapai kemerdekaan, kita harus bersatu, membinasakan

imperialisme dan kapitalisme atau merubuhkannya”. Hal ini, membuat berang pemerintah

kolonial Hindia Belanda. Pada 24 Desember 1929, pemerintah Hindia Belanda

perintahkan Procureur General bij het Hoog Gerechtshof. Tugas Procureur: geledah dan

tangkap pemimpin-pemimpin pergerakan di seluruh “Nederlandsch Indie”. Rumah-rumah

dan kantor pemimpin PNI digeledah, dokumen-dokumen dibeslah –disita. Tuduhannya

tunggal: “melakukan perbuatan pelanggaran keamanan umum”.

Pada 28 Desember 1929, diselenggarakan rapat umum PNI di Jogja. Tampil bicara:

Sukarno, Gatot Mangkupradja, Maskun Sumadiredja, dan Ki Hajar. Rombongan bermalam

di rumah Dr. Sujudi, Jl Tugu Kidul.

Saat menjelang Subuh –29 Desember 1930, terjadi kegaduhan. Pintu digedor keras oleh

Komisaris Polisi Belanda, sambil menyuruh Sukarno dkk keluar dari kamar –di bawah

todongan pistol. Sukarno dkk hanya dibolehkan tukar pakaian tidur dengan pakaian

sehari-hari –itu pun dilakukan di halaman, tidak boleh lagi balik ke kamar. Sukarno dkk

digiring ke penjara Mergangsan –Wirogunan, depan gedung Taman Siswa.

Hanya sehari, Sukarno dan interniran PNI lainnya diinapkan di Wirogunan. Subuh, sipir

penjara membangunkan. Kemudian, muncul Komisaris Polisi dan intel berbaju kain carik

dengan memakai ikat kepala dan baju tutup –wedana bernama Salamun yang digunakan

Belanda untuk mengawasi aktivis pergerakan.

Sang wedana memberikan perintah dalam bahasa Belanda: “De heren worden nu naar

Bandung getransporteerd, ga nu maar vlug aankleden” (Tuan-tuan sekarang diangkut ke

Bandung, lekas kenakan pakaian).

Dari stasion Tugu, Sukarno diangkut dengan kereta. Jendela-jendela ditutup rapat,

serta dikawal ketat oleh polisi-polisi bersenjata. Di peron stasion Cicalengka, Sukarno

dkk disambut oleh Edjeh Kartahadimedja (patih) dan Rahmat (camat) serta pasukan

bersenjata lengkap.

Perjalanan dilanjutkan ke Bandung dengan mobil, Sukarno dkk kemudian digiring ke

penjara Banceuy di Bantjeujweg –Jalan Banceuy.

Pledoi Sukarno

Sejak ditangkap di Jogja 29 Desember 1929, Sukarno dkk resmi jadi tahanan penjara

3

Banceuy pada 30 Desember 1929 –dijaga satu regu tentara KNIL. Selama kurang lebih 8

bulan menjadi tahanan penjara Banceuy inilah, Sukarno menyusun pledoi yang sangat

terkenal yang kemudian diberi nama Indonesia Menggugat tersebut.

Dua bulan, Sukarno –sebagai pendiri dan Voorzitter Bestuur PNI,

Gatot Mangkupradja –sebagai Sekretaris II Hoofdbestuur PNI,

Maskun Sumadiredja –sebagai Sekretaris II Bestuur cabang Bandung, dan

Supriadinata –sebagai kandidat propagandis PNI cabang Bandung, diinterogasi Parket

Pokrol Djendral.

Strafproses atas keempat pemimpin PNI tersebut, dimulai pada 18 Agustus 1930

hingga 22 Desember 1930 di Landraad Bandung. Selama 27 hari (18 Agustus – 29

September 1930), proses verbaal Sukarno berlangsung di Landraad Bandung –ada 32

saksi dihadirkan. Setelah proses verbaal, sidang kemudian ditambah dengan

mendengarkan pembacaan pledoi –pembelaan Sukarno yang dipersiapkannya di penjara

Banceuy dan diberi judul: “Indonesia Menggugat”.

Sukarno membaca “Indonesia Menggugat” pada 1 Desember 1930.

Jika naskah itu diindeks dengan jeli, maka kita akan dapatkan sekitar 66 nama tokoh

yang dikutip Sukarno. Sebut saja: Albarda, Anton Menger, August de Wit, Bauer,

Boeke, Brailsford, Brooshooft, Clive Day, Colenbrander, Daan van der Zee, de Kat

Angelino, Dietrich Schafer, Dijkstra, Duys, Engels, Erskin Childres, Federik Peter

Godfried, FG Waller, Gonggijp, Henriette Roland Holsts, Herbert Spencer, HG Wells,

Houshofer, Huender, Jaures, John Robert Seeley, dan Jozef Mazzini. Ada juga:

Jules Harmand, Karl Kautsky, Karl Marx, Karl Renner, Kilestra, Koch, Kraemer,

Lievegoed, Mac Swiney, Manuel Quezon, Michael Davitt, Multatuli, Mustafa Kamil,

Parvus, Peter Maszlow, Pieter Veth, Raffles, Reinhard, Rouffaer, Rudolf Hilferding,

Sandberg, Sarojini Naidu, Schrieke, Scmalhausen, Sister Nivedita, Sneevliet, Snouck

Hugronje, Stokvis, Sun Yat Sen, Treub, Troelstra, van den Bergh van Eysinga, van

Gelderen, van Heldingen, van Kol, van Lith, dan Vleming.

Tokoh-tokoh itu menempati posisi dari pelbagai penjuru aliran pemikiran; dari kaum

agamawan, sosialis liberal, komunis, hingga penganjur kapitalis modern.

Bung Karno dan Inggit Garnasih

4

Bagaimana bisa Sukarno mendapatkan begitu banyak pasokan buku? Padahal, naskah itu

ditulisnya saat ia disekap dalam penjara Banceuy yang kotor dan jorok selama 330 hari.

Bahkan dalam kamar sel nomor 5 yang berukuran 1.5 x 2.5 meter itu, Sukarno dijaga

ketat dan berlapis karena dianggap sebagai musuh pemerintah kolonial kelas wahid.

Inggit Garnasih

Adalah Inggit Garnasih – istri Sukarno, yang mengambil peran itu. Inggit Garnasih tahu,

5

Sukarno itu hantu buku. Ia pelahap buku yang sangat rakus –bahkan, ketika rekannya

yang membeli buku belum sempat membacanya, sudah direbut Sukarno duluan dan

setelah selesai barulah buku itu dikembalikan.

Sukarno boleh jadi hantu buku yang lahap, tapi penjara Banceuy tetap mengharamkannya

bertemu dengan buku. Penjara dan pengucilan di Banceuy, memutus hobi Sukarno pada

buku dan diskusi. Inggit Garnasih yang membuka jalan bagaimana Sukarno kembali

bergulat dengan buku, terutama sekali saat Sukarno sedang mempersiapkan pleidoi

panjang atas tuduhan subversif yang dituduhkan pengadilan kepadanya.

Cara Inggit Garnasih sangat sederhana, untuk mempertemukan Sukarno dengan buku.

Inggit menempuh jalan klandestin. Mula-mula, Inggit mengutus kurir ke Jakarta untuk

mengambil buku-buku milik Sartono – kawan sepergerakan dan jaksa pembela Sukarno.

Inggit memesan kurir untuk berpindah-pindah kendaraan agar tak diketahui spion-spion

pemerintah kolonial yang berkeliaran menginternir aktivis-aktivis pergerakan.

Untuk bisa lolos ke dalam penjara, buku-buku dililitkan Inggit Garnasih distagennya

dengan didahului puasa tiga hari –supaya perutnya bisa kempis betul.

Lolos dari pintu depan, tak berarti mata para spion Banceuy lepas. Namun Inggit

Garnasih selalu berhasil memperdaya penjagaan berlapis spion itu, hingga Sukarno

mendapatkan pasokan buku yang cukup dalam selnya yang pengap. Buku-buku pasokan

Inggit itulah yang dinukil Sukarno secara diam-diam, nyaris setiap malam.

Inggit Garnasih

6

Mereka diadili dengan Hakim Ketua: Mr. Siegenbeek van Heukelom dengan Jaksa

Penuntut: R. Soemadisoerja. Belanda, yang diwakili oleh Jaksa R. Soemadisoerja,

menggunakan dakwaan ‘penyebaran kebencian terhadap penguasa’ sesuai Pasal 169 bis

dan Pasal 153 bis Wetboek van Strafrecht, yang dikenal dengan haatzai

artikelen –pasal-pasal ‘karet’, untuk menjerat Sukarno dan rekan-rekannya.

Mereka juga dituduh oleh pemerintah kolonial Belanda telah melakukan makar, serta

dianggap telah menghasut masyarakat melalui pemberitaan dan propaganda di Fikiran

Ra’jat, untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial.

Pengadilan Landraad pun, memberikan kesempatan kepada Sukarno untuk menyampaikan

pidato pembelaannya. Sukarno membacakan pledoi ini dengan didampingi kwartet

pembela: Meester in de rechten (Mr) Sartono; Mr. Sastromuljono; Dr. Sujudi; dan R.

Ipih Prawiradiputra (Paguyuban Pasundan); serta didukung pula oleh Iskaq

Tjokrohadisurjo (PNI).

Tapi, Landraad tetap tak bergeming dengan keputusannya. Sukarno tetap dihukum 4

tahun penjara – dengan tuduhan melanggar pasal 169 dan 153 bis Wetboek van

Strafrecht/KUHP-nya jaman kolonial, sementara tiga rekan Sukarno di PNI: Gatot

Mangkupradja (dihukum 2 tahun); Maskun Sumadiredja (1 tahun 8 bulan); dan

Supriadinata (1 tahun 3 bulan).

Setelah diadili di pengadilan Landraad, para tokoh ini kemudian dimasukkan dalam sel

penjara Sukamiskin Bandung –tidak lagi di penjara Banceuy. Penjara Sukamiskin, sebuah

penjara yang ironisnya dirancang oleh Bung Karno sendiri ketika ia masih bekerja di biro

arsitek milik gurunya yaitu Prof. C.P. Wolff Schoemaker, yang kini justru

mengurungnya.

Sukarno merasa, penjara Sukamiskin lebih parah ketimbang penjara Banceuy –tempat

dia ditahan saat masih menjalani persidangan di pengadilan. Di penjara Banceuy, dia

masih bisa mempelajari sejarah, lewat buku dan surat kabar yang diselundupkan istrinya.

Namun di penjara Sukamiskin, semua itu tidak bisa dilakukannya lagi.

Pledoi itu sendiri terdiri dari 6 bagian, yakni: Pendahuluan; Imperialisme dan

Kapitalisme; Imperialisme di Indonesia; Pergerakan di Indonesia; Partai Nasional

Indonesia; dan Pelanggaran Pasal-pasal 169 dan 153 bis.

Risalah

7

Diambil dari Risalah “Indonesia Menggugat”, yaitu Pidato Pembelaan Bung Karno di depan

pengadilan kolonial (Landraad) Bandung, 1930.

Imperialisme Tua dan Modern

Oleh: Sukarno

Dan bukan saja di dalam dua macam itu imperialisme bisa kita bagikan, – imperialisme

juga bisa kita bagikan dalam imperialisme-tua dan imperialisme-modern. Bukankah besar

bedanya imperialisme-tua bangsa Portugis dan Spanyol atau East India Company Inggris

atau Oost Indische Compagnie Belanda dalam abad ke-16, 17 dan 18— dengan

imperialisme-modern yang kita lihat dalam abad ke-19 atau 20, imperialisme-modern

yang mulai menjalar ke mana-mana sesudah kapitalisme-modern bertakhta kerajaan di

benua Eropa dan di benua Amerika Utara?

Imperialisme-modern, – imperialisme-modern yang kini merajalela di seluruh benua dan

kepulauan Asia dan yang kini kami musuhi itu – imperialisme-modern itu adalah anak

kapitalisme-modern.

Imperialisme-modern pun sudah mempunyai perpustakaan, – tetapi belum begitu

terkenal di dalam arti-artinya dan rahasia-rahasianya sebagai soal kapitalisme.

Imperialisme-modern itu, oleh karenanya, Tuan-tuan Hakim, mau kami dalilkan artinya

agak lebar sedikit dari buku-buku satu dua. Kami tidak akan mendalilkan buku Sternberg

“Der-Imperialismus” yang walau sangat menarik hati dan tinggi ilmu toh roda “kering”

untuk mendengarkannya, – kami mendalilkan Mr. Pieter Jalles Troelstra, pemimpin

Belanda yang baru wafat, yang menulis:

“Yang saya artikan dengan imperialisme ialah kejadian, bahwa kapital besar sesuatu

negeri yang sebagian besar dikuasai bank-bank, mempergunakan politik luar negeri dari

negeri itu untuk kepentingannya sendiri. Perkembangan ekonomi yang cepat dalam abad

kesembilan belas itu, menimbulkan suatu persaingan hebat di lapangan pertanian dan

industri. Salah satu akibat persaingan ini, ialah bahwa pada penghabisan abad itu, politik

proteksi (melindungi negara sendiri) dengan cepat menjadi pegangan. Lahirlah industri

besar yang modern, tenaga produksi industri besar itu sangat diperbesar, tapi

kemungkinan-kemungkinan untuk menjualkan di negeri sendiri terbatas dan timbullah

kemustian mencari pasar di luar batas negeri sendiri.

Caranya industri besar mengatur kesukaran ini dengan tidak mengurangi untungnya ialah:

meninggikan harga di pasar dalam negeri yang dilindungi dan menjalankan taktik dumping

8

di luar negeri (yakni menjual barang-barang dengan harga yang lebih murah dari harga

biasa di situ). Politik “perlindungan yang agresif” ini saja sudah membikin tambah

panasnya perhubungan internasional. Di samping itu dengan cepat bertambah subur

bank-bank yang besar, kapitalnya tambah besar dan industri dan perdagangan dalam

negeri tidak cukup lagi untuk menanamkan kapital itu. Akibatnya mengalirlah kapital itu

keluar, istimewa ke negeri-negeri yang belum maju ekonominya dan miskin akan modal

(misalnya aliran kapital Prancis dan Inggris ke Rusia dan kapital Belanda ke Timur).

Aliran kapital keluar ini tidak hanya berupa uang saja. Negeri-negeri yang mengeluarkan

kapital itu juga mengirimkan mesin-mesin, mendirikan pabrik-pabrik, membikinkan

jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-pelabuhan, dll. Dalam banyak hal bagi penanam

modal lebih menguntungkan memasukkan uangnya dalam onderneming-onderneming di

negeri-negeri yang terkebelakang ekonominya, di mana tenaga buruh murah dan

keuntungan tidak dibatasi oleh undang perburuhan dsb. ”

Begitulah keterangan Mr. Pieter Jalles Troelstra. Marilah kita sekarang mendengarkan

seorang sosialis lain, yakni H.N. Brailsford, pengarang Inggris yang termashur itu.

“Di dalam zaman sekarang, yang dinamakan kekayaan itu ialah pertama-tama

kesempatan menanamkan modal dengan untung luarbiasa. Penaklukan dalam pengertian

yang lama sudah tidak berlaku lagi… Memburu konsesi-konsesi di luar negeri dan

membuka kekayaan-kekayaan terpendam dari negara-negara yang lemah dan

kerajaan-kerajaan yang setengah mati, makin menjadi suatu pekerjaan resmi, suatu

peristiwa nasional.

Dalam fase ini bagi kaum berkuasa jadi lebih penting dan menarik hati mengalirkan modal

keluar negeri dari mengekspor barang-barang. Imperialisme adalah semata-mata

penglahiran politik dari kecenderungan yang bertambah besar dari modal, yang

bertimbun-timbun di negeri-negeri yang lebih maju industrinya, untuk diperusahakan ke

negeri-negeri yang kurang maju dan kurang penduduk”.

Bukankah dengan dua contoh ini nyata dengan sejelas-jelasnya, bahwa sangkaan

imperialisme itu kaum amtenar, atau bangsa kulit putih, atau pemerintah, atau “gezag”

pada umumnya, adalah salah sama sekali?

Tapi marilah kita mendengarkan satu kali lagi uraian seorang sosialis lain, yakni Otto

Bauer yang termashur itu, yang melihat di dalam imperialisme-modern itu, suatu politik

meluaskan daerah, suatu expansie politiek yang “Senantiasa mengusahakan tercapainya

9

maksud menjamin supaya kapital mendapat lapangan menanaman dan pasar-pasar

penjualan.

Di dalam perekonomian negeri kapitalis setiap waktu sebagian dari modal uang

perusahaan ditarik dari peredaran kapital pabrik… Jadinya, setiap waktu sebagian dari

modal perusahaan dibekukan, setiap waktu menjadi “bero” (Jawa, maksudnya tanah

kosong yang tidak dimanfaatkan).

Apabila banyak modal uang dibekukan, apabila pecahan-pecahan kapital yang lepas ini

hanya lambat mengalirnya kembali keperusahaan-perusahaan produksi, maka yang

pertama-tama berkurang ialah permintaan kepada alat-alat produksi dan tenaga-tenaga

kerja.

Ini berarti segera merosotnya harga-harga dan keuntungan-keuntungan dalam industri

alat-alat produksi, bertambah beratnya perjuangan serikat sekerja, turunnya upah-upah

kaum buruh. Tapi kedua peristiwa itu berpengaruh pula atas industri-industri, yang

membikin barang-barang keperluan sehari-hari. Permintaan kepada barang-barang yang

langsung dibutuhkan untuk memenuhi keperluan orang, berkurang, pertama oleh karena

kaum kapitalis yang mendapat penghasilannya dari industri-industri alat produksi, lebih

sedikit mendapat untung, dan kedua karena bertambah besarnya pengangguran dan

turunnya upah-upah, mengurangi tenaga pembeli golongan buruh.

Oleh karena itu, juga dalam perusahaan-perusahaan barang-barang keperluan hidup,

harga-harga, keuntungan-keutungan, upah-upah buruh merosot pula; demikianlah

penarikan sebagian besar dari modal uang dari peredaran kapital dalam industri umum,

berakibat merosotnya harga-harga, keuntungan-keuntungan, upah-upah, serta

bertambah banyaknya pengangguran.

Maka pengetahuan ini buat maksud kita penting sekali, sebab sekaranglah baru bisa kita

mengerti maksud-maksud politik kapitalis untuk menguasai (negeri lain). Politik ini

bergiat mencari lapangan untuk menanaman kapital dan pasar-pasar buat penjualan

barang-barang. Sekarang mengertilah kita bahwa ini bukan soal-soal yang berdiri

sendiri-sendiri, tapi, pada hakekatnya adalah satu soal saja”.

Apabila banyak modal uang dibekukan, apabila pecahan-pecahan kapital yang lepas ini

hanya lambat mengalirnya kembali keperusahaan-perusahaan produksi, maka yang

pertama-tama berkurang ialah permintaan kepada alat-alat produksi dan tenaga-tenaga

kerja. Ini berarti segera merosotnya harga-harga dan keuntungan-keuntungan dalam

10

industri alat-alat produksi, bertambah beratnya perjuangan serikat sekerja, turunnya

upah-upah kaum buruh.

Tapi kedua peristiwa itu berpengaruh pula atas industri-industri, yang membikin

barang-barang keperluan sehari-hari. Permintaan kepada barang-barang yang langsung

dibutuhkan untuk memenuhi keperluan orang, berkurang, pertama oleh karena kaum

kapitalis yang mendapat penghasilannya dari industri-industri alat produksi, lebih sedikit

mendapat untung, dan kedua karena bertambah besarnya pengangguran dan turunnya

upah-upah, mengurangi tenaga pembeli golongan buruh.

Oleh karena itu, jugadalam perusahaan-perusahaan barang-barang keperluan hidup,

harga-harga, keuntungan-keutungan, upah-upah buruh merosot pula; demikianlah

penarikan sebagian besar dari modal uang dari peredaran kapital dalam industri umum,

berakibat merosotnya harga-harga, keuntungan-keuntungan, upah-upah, serta

bertambah banyaknya pengangguran. Maka pengetahuan ini buat maksud kita penting

sekali, sebab sekaranglah baru bisa kita mengerti maksud-maksud politik kapitalis untuk

menguasai (negeri lain).

Politik ini bergiat mencari lapangan untuk menanaman kapital dan pasar-pasar buat

penjualan barang-barang. Sekarang mengertilah kita bahwa ini bukan soal-soal yang

berdiri sendiri-sendiri, tapi, pada hakekatnya adalah satu soal saja”.

Sekianlah dalil-dalil kami tentang arti kata imperialisme, dari pena orang-orang sosialis.

Marilah kita sekarang mendengarkan keterangan orang yang bukan sosialis, yakni

keterangan Dr.J.S. Bartstra di dalam bukunya “Geschiedenis van het moderne

imperialisme”, dimana nanti akan tampak juga kebenaran perkataan kami, bahwa

imperialisme itu bukan pemerintahan, bukan sesuatu anggota pemerintah, bukan sesuatu

bangsa asing, –tetapi suatu kehausan, suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau

mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri lain.

Berkata Dr.Bartstra:

“Perkataan “imperialisme” pertama sekali dipakai di Inggris kira-kira tahun 1880.

Yang dimaksud orang dengan perkataan itu, ialah usaha untuk mengeratkan kembali

perhubungan dengan Inggris dari daerah-daerah jajahan yang memerintah sendiri dan

pertaliannya dengan negeri induknya sudah agak kendur dalam “masa liberal” yang lampau.

Yang menarik hati ialah bahwa perkataan itu sudah hilang sama sekali maknanya yang

mula-mula itu”.…….. lama-kelamaan perkataan itu mendapat isi-pengertian yang lain:

maknanya sekarang ialah usaha bangsa Inggris, yang hendak memberi kepada “kerajaan”

11

pengluasan daerah jajahan yang lebih besar, baik dengan jalan menaklukkan

negeri-negeri yang oleh karena letaknya dalam ilmu bumi mungkin membahayakan jika

berada dalam tangan saingan, manapun dengan jalan merampas daerah-daerah, yang bisa

dijadikan pasar penjualan yang baik atau tepat-tempat orang bisa mendapakan

bahan-bahan pokok untuk pertukangan dalam negeri, yang justru waktu itu mulai makin

menderita oleh saingan luar negeri”. “Dalam arti pengluasan daerah jajahan dengan tidak

berbatas, pengertian itu segera juga menjadi umum….”

Maka sesudah itu, Dr. Bartstra lalu memberi keterangan lebih lanjut tentang penglihatan

kaum sosialis terhadap imperialisme itu, demikian:

“Sebabnya perkataan itu menjadi sangat populer, ialah karena propaganda kaum

sosial-demokrat, yang menganggap peristiwa itu sebagai konsekuensi dari sistem

produksi kapitalis. Memang yang memberikan perkataan itu pengertian yang lebih dalam

dan luas ialah pengarang-pengarang Marxis, seperti Rudolf Hilferding, Karl Renner dan

juga H.N. Brailsford yang terkenal itu. Menurut mereka, imperialisme itu adalah politik

luar negeri yang tidak bisa dielakkan dari negara-negara yang mempunyai “kapitalisme

keliwat matang”.

Yang dimaksud mereka ialah suatu kapitalisme yang pemusatan perusahaan-perusahaan

dari bank-bank yang dijalankan sampai sejauh-jauhnya. Oleh karena itu, dan tidak sedikit

pula oleh karena fungsi proteksionisme yang sudah berubah —dulu suatu cara untuk

mempertahankan diri terhadap luar negeri, sekarang menjadi “sistem dumping” —maka

imperialisme itu tidak puas lagi dengan pikiran-pikiran liberal yang tradisionil mengenai

tidak ikut campurnya negara (dengan urusan partikulir), persaingan bebas dan pasifisme.

Paham-paham kemudian ini seolah-olah sudah terbalik menjadi yang sebaliknya, yakni

menjadi usaha mempergunakan alat-alat kekuasaan negara yang melulu bersifat politik

untuk maksud-maksud ekonomi, yakni: mempengaruhi dan merampas daerah-daerah

pasaran dan daerah-daerah bahan pokok, pun juga menjamin pembayaran rente

kapital-kapital yang ditanam di negeri-negeri terkebelakang ekonominya.

Mengenai soal belakangan ini, yakni yang disebut “ekspor kapital”, oleh

pengarang-pengarang tersebut istimewa-istimewa sekali ditunjukkan betapa pentingnya.

Disebabkan karena usaha kerajinan lebih sungguh-sungguh dikerjakan, oleh

pemusatan-pemusatan bank-bank dan oleh “sistem dumping”, maka —demikian kata

mereka—bukan main banyaknya kapital tertimbun-timbun, yang seringkali di dalam

negeri tidak cukup bisa dipergunakan. Itulah sebabnya maka makin lama makin terasa

12

perlunya untuk menanam kapital besar-besar di negeri-negeri yang terkebelakang

ekonominya, tentu saja dengan bunga yang setinggi-tingginya.

Lagi pula dengan demikian didapatlah pesanan-pesanan besar jalan kereta-api,

mesin-mesin, dll. pada industri sendiri. Akibat segalanya itu pula: perhubungan dengan

luar negeri menjadi runcing, bahaya perang, ekspedisi-ekspedisi militer, “daerah-daerah

pengaruh” di daerah-daerah seberang lautan, pengawasan atas uang masuk dan uang

keluar dari negeri-negeri asing oleh perkumpulan-perkumpulan bankir Eropa, pemburuan

mencari jajahan. Itulah imperialisme! Akhirnya Dr. Bartstra sekali lagi mengatakan

dengan saksama apa yang disebutnya imperialisme-modern, katanya:

“Yang disebut imperialisme-modern ialah usaha meluaskan milik jajahan dengan tidak

berbatas, seperti cita-cita demikian itu menjadi pendorong dalam masa ± 1880 sampai

sekarang bagi politik luar negeri hampir semua negeri-negeri kebudayaan yang besar,

terutama untuk keuntungan industri dan kapital bank mereka sendiri. Imperialisme

bukan sekali-kali satu-satunya tenaga penggerak, bahkan tidak setiap saat yang paling

kena dari tenaga-tenaga penggerak yang sangat beragam-ragam dari jangka waktu itu,

tapi dalam akibat-akibatnya itulah salah satu yang menjadi sangat penting, oleh karena

panggung sejarah bertambah luas karenanya, buat pertamakali dan buat selama-lamanya,

di seluruh muka bumi”.

***

Diposkan oleh Ade Bastiawan di 01.41