menggugat sifat final dan mengikat putusan badan...

26
50 BAB III FINAL DAN MENGIKAT DALAM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK dapat dilakukan melalui pengadilan dan luar pengadilan. Melalui luar pengadilan yang dimaksudkan adalah penyelesaian sengketa konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa melalui BPSK terdapat 3 alternatif penyelesaian yakni konsiliasi, mediasi dan arbitrasi. Berdasarkan Pasal 54 ayat (3) yang berbunyi “putusan majelis bersifat final dan mengikatsedangkan Pasal 56 ayat (2) berbunyi “para pihak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.Hal ini memperlihatkan ketidakkonsistenan dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK. Seperti yang telah dijelaskan pada penjelasan Pasal 54 ayat (3) berbunyi Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding maupun kasasi.” Sehingga penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK yang telah diputuskan baik itu melalui konsiliasi atau mediasi atau arbitrase bekekuatan hukum tetap. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang, tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. 1 Dengan dikeluarkannya 1 Taufik Makarao, Op.Cit., h 131.

Upload: lykhanh

Post on 26-May-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

50

BAB III

FINAL DAN MENGIKAT DALAM PUTUSAN BADAN

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

Penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK dapat dilakukan

melalui pengadilan dan luar pengadilan. Melalui luar pengadilan yang

dimaksudkan adalah penyelesaian sengketa konsumen di Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa melalui BPSK terdapat 3

alternatif penyelesaian yakni konsiliasi, mediasi dan arbitrasi. Berdasarkan Pasal

54 ayat (3) yang berbunyi “putusan majelis bersifat final dan mengikat”

sedangkan Pasal 56 ayat (2) berbunyi “para pihak dapat mengajukan keberatan

kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah

menerima pemberitahuan putusan tersebut.” Hal ini memperlihatkan

ketidakkonsistenan dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK.

Seperti yang telah dijelaskan pada penjelasan Pasal 54 ayat (3) berbunyi

“Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam

badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding maupun

kasasi.” Sehingga penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK yang telah

diputuskan baik itu melalui konsiliasi atau mediasi atau arbitrase bekekuatan

hukum tetap. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah

putusan yang menurut ketentuan undang-undang, tidak ada kesempatan lagi untuk

menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu.1 Dengan dikeluarkannya

1 Taufik Makarao, Op.Cit., h 131.

Page 2: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

51

putusan yang bersifat final, maka dengan sendirinya sengketa yang diperiksa telah

berakhir. Para pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan

yang telah bersifat final itu.

Pada Bab ini penulis akan membahas mengenai. Pertama, konsep final dan

mengikat suatu putusan hakim. Kedua, konsep upaya hukum “keberatan”. Ketiga,

penyelesaian sengketa konsumen. Keempat, sifat final dan mengikat pada

hakekatnya bukan merupakan sifat putusan BPSK

A. Konsep Final dan Mengikat Suatu Putusan Hakim

1. Pengertian Putusan Hakim

Tujuan diadakannya suatu proses penyelesaian sengketa melalui

pengadilan atau luar pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim.

Putusan hakim atau biasa disebut dengan istilah putusan pengadilan merupakan

suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak-pihak yang

berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-baiknya.

Sebab dengan putusan hakim tersebut para pihak yang bersengketa mengharapkan

adanya kepastian hukum dan keadilan dalam sengketa yang dihadapi.

Untuk itu penulis melihat beberapa literatur untuk menemukan pengertian

mengenai putusan hakim/pengadilan. terdapat beberapa definisi yang berbeda

mengenai putusasn hakim, namum bila dipahami secara seksama diantara definisi-

defini tersebut maka kita akan mendapatkan suatu pemahaman yang sama antara

satu definisi dengan definisi lainnya. I. Rubini dan Chaidir Ali merumuskan

“keputusan hakim itu merupakan suatu akta penutup dari suatu proses perkara

Page 3: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

52

danputusan hakim itu disebut Vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan

terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat pula akibat-akibatnya.”2

Sudikno Mertokusumo memberti batasan putusan hakim adalah “suatu

putusan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di

persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau

suatu sengketa antara para pihak.”3 Dalam definisi ini Sudikno mencoba untuk

menekankan bahwa yang dimaksud dengan putusan hakim itu adalah yang

diucapkan di depan persidangan. Sebenarnya putusan yang diucapkan di

persidangan (uitspraak) memang tidak boleh berbeda dengan yang tertulis

(vonnis). Namum, apabila ternyata ada perbedaan antara keduanya, maka yang sah

adalah yang diucapkan, karena lahirnya putusan itu sejak diucapkan.4 Hal ini

sebagaimana yang diintruksikan oleh Mahkamah Agung melalui surat edaran No.

5 Tahun 1959 tanggal 20 April 1959 dan No. Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962

yang antara lain mengintruksikan agar pada waktu putusan diucapkan konsep

putusan harus sudah selesai. Sekalipun maksud surat edaran tersebut ialah untuk

mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara, tetapi dapat dicegah pula

adanya perbedaan ini putusan yaang diucapkan dengan yang tertulis.5

Hal ini senada juga disampaikan oleh Muhammad Nasir yang

mendefinisikan putusan hakim sebagai “suatu pernyataan (statement) yang dibuat

oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan ucapkan

di muka sidang dengan tujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara

2 I. Rubi dan Chaidir Ali, Pengantar Hukum Acara Perdata, Bandung: Penernit Alumni,

1974, h. 105. 3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1993,

h. 174. 4 Ibid., h. 158.

5 Ibid.

Page 4: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

53

antara para pihak yang bersengketa.”6 Dan Moh.Taufik Makarao memberikan arti

putusan hakim sebagai “suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara

yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk

mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.”7

Sementara itu, beberapa ahli hukum lainnya, seperti Lilik Mulyadi dan

Riduan Syahrani memberikan definisi putusan yang hanya terbatas dalam ruang

lingkup hukum acara perdata. Lilik Mulyadi memberikan definisi putusan hakim

yang ditinjau dari praktik dan teoritis, yaitu “putusan yang diucapkan oleh hakim

karena jabatannya dalam persidangan perkara perdata terbuka untuk umum setelah

melalui proses dan prosedural hukum acara perdata pada umumnya dibuat dalam

bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara.”8

Sedangkan Riduan Syahrani lebih suka menggunakan istilah putusan pengadilan

sebagai “pernyataan yang diucapkan hakim pada sidang pengadilan yang terbuka

untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.”9

Dari uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud

dengan putusan hakim pada hakikatnya adalah suatu pernyataan yang dibuat

dalam bentuk tertulis oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi kewenangan

untuk itu dan diucapkan di depan persidangan yang terbuka untuk umum setelah

melalui proses dan prosedural hukum acara perdata pada umumnya dengan tujuan

menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara perdata guna terciptanya kepastian

hukum dan keadilan bagi para pihak yang bersengketa.

6 Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan, 2005, h. 42.

7 Taufik Makarao, Op.Cit., h 124.

8 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan

Indonesia, Jakarta: PT Djambatan, 2008 (selanjutnya disingkat Lilik Mulyadi I), h. 4-6. 9 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta:

Pustaka Kartini, 1988, h. 83.

Page 5: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

54

2. Jenis Putusan Hakim

Berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (1) Herziene Indlandsch Reglement

(HIR), Pasal 196 ayat (1) Rechtsredlement Buitengewesten (RBg). Maka dapatlah

disebutkan jenis-jenis putusan hakim, yaitu:10

a. Putusan yang bukan putusan akhir

Putusan yang bukan putusan akhir atau lazim disebut

dengan istilah “putusan sela”, “putusan antara”, “tussen

vonnis”, “putusan sementara”, atau “interlocutoir vonnis”,

yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum

memutuskan pokok perkaranya dimaksudkan agar

mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam

konteks ini hakim tidaklah terkait pada “putusan sela”

yang telah dijatuhkan oleh karena pemeriksaan perkara

perdata harus dianggap merupakan suatu kesatuan

sehingga putusan sela hanya bersifat putusan sementara

dan bukan putusan tetap serta perkara belum selesai.

Pada pokoknya “putusan sela” tersebut dapat berupa:

1) Putusan preparatoir yaitu putusan yang dijatuhkan

oleh hakim guna mempersiapkan dan mengatur

pemeriksaan perkara. Sifat dasar dari putusan

preparator adalah tidak mempengaruhi pokok

perkara itu sendiri.

2) Putusan interlocutoir adalah putusan sela yang

dijatuhkan oleh hakim dengan amar berisikan

perintah pembuktian dan dapt mempengaruhi pokok

perkara.

3) Putusan provisional yaitu putusan (karena adanya

hubungan dengan pokok perkara) menetapkan suatu

tindakan sementara bagi kepentingan salah satu

pihak berperkara.

4) Putusan incidentiel yaitu penjatuhkan putusan hakim

berhubung adanya “insiden”, yaitu menurut Rv.

Diartikan sebagai timbulnya kejadian yang menunda

jalannya perkara.

b. Putusan akhir

Putusan akhir atau biasa disebut dengan istilah “eind

vonnis” atau “final judegement”, yaitu putusan dijatuhkan

oleh hakim sehubungan dengan pokok perkara dan

mengakhiri perkara pada tingkat peradilan tertentu.

10

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia: Teori,

Praktik, Teknik Membuatnya dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009

(selanjutnya disingkat Lilik Mulyadi II), h. 156-160.

Page 6: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

55

Ditinjau dari sifatnya, maka “putusan akhir” dapat dibagi

berupa:

1) Putusan deklarator (declaratoir vonnis) ialah

putusan yang dijatukan oleh hakim dengan sifat

menerangkan, di mana ditetapkan suatu keadaan

hukum atau menentukan benar adanya situasi

hukum yang dinyatakan oleh penggugat/pemohon.

Misalnya oleh hakim ditetapkan seorang anak

tertentu adalah anak sah, ditetapkan tentang

kelahiran seseorang, penetapan tentang seseorang

sebagai ahli waris, dan sebagainya.

2) Putusan konstitutif (constitutief vonnis) adalah

putusan hakim di mana keadaan hukum

dihapuskan atau ditetapkan suatu keadaan hukum

baru. Misalnya, putusan tentang pernyataan pailit,

pembatalan suatu perjanjian, perceraian, dan

sebagainya.

3) Putusan kondemnator (condemnatoir vonnis)

adalah putusan hakim dengan sifat berisi

penghukuman salah satu pihak untuk memenuhi

prestasi. Misalnya, menghukum tergugat untuk

mengembalikan sesuatu barang kepada penggugat

atau menghukum tergugat untuk membayar

sejumlah uang tertentu kepada penggugat, dan

sebagainya.

4) Putusan kontradiktor (contradictoir vonnis) adalah

putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam hal

tergugat pernah datang menghadap di persidangan

walau sekalipun ia tidak memberi

perlawanan/pengakuan. Misalnya, si A

(penggugat) menggugat si B (tergugat) karena

masalah hutang piutang di pengadilan negeri.

Setelah dipanggil dengan sah dan patut, si B pada

persidangan datang dan selanjutnya tidak pernah

datang lagi hingga perkara selesai diperiksa.

Terhadap perkara tersebut dimana si B pernah

datang menghadap diputus dengan putusan

contradictoir.

5) Putusan verstek (verstek vonnis) adalah putusan

yang dijatuhkan oleh hakim dalam hal

tergugat/semua tergugat tidak pernah hadir di

persidangan meskipun telah dipanggil dengan

sepatutnya untuk datang menghadap.

Page 7: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

56

3. Kekuatan Putusan Hakim

Mengenai kekuatan putusan ini sebenarnya sama sekali tidak dimuat

dalam HIR maupun RBg, kecuali pasal 180 HIR dan pasal 191 RBg yang hanya

menyebutkan adanya suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Untuk itu, dengan adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap, maka suda tentu ada juga putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan

hukum tetap.

Putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah

putusan yang menurut ketentuan undang-undang masih terbuka kesempatan untuk

menggunakan upaya hukum melawan putusan itu.11

Misalnya perlawanan

(verzet), banding, atau kasasi. sedangkan putusan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang tidak ada

kesempatan lagi untuk meggunakan upaya hukum biasa (perlawanan (verzet),

banding, atau kasasi) melawan putusan itu.12

Jadi putusan itu tidak dapat diganggu

gugat.13

Dengan demikian, Putusan hakim yang bersifat final dan mengikat adalah

putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau tidak ada upaya hukum

biasa untuk melawan putusan itu dan memiliki kekuatan eksekutorial.

Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terdapat 3 (tiga)

macam kekuatan untuk dapat dilaksanakan.14

1) Kekuatan mengikat

Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk

menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan

11

Taufik Makarao, Op.Cit., h 131. 12

Ibid. 13

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. V, Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1992, h. 174-175 14

Muhammad Nasir, Op.Cit., h. 190-194

Page 8: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

57

menetapkan hak atau hukumnya. Apabila yang

bersengketa tidak dapat menyelesaikan sengketa diantara

mereka secara damai, dan kemudian menyerahkan dan

mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau

hakim untuk diperiksa dan diadili, maka hal ini

mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersengketa itu

mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang

bersengketa.

2) Kekuatan pembuktian

Dituagkannya putusan dalam bentuk tertulis, yang

merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat

digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang

mungkin diperlukan untuk mengajukan upaya hukum.

karena meskipun putusan hakim atau putusan pengadilan

tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak

ketiga, namun mempunyai kekuatan pembuktian terhadap

pihak ketiga.

3) Kekuatan executoriaal

Kekuatan executoriaal dalam putusan hakim atau putusan

pengadilan adalah kekuatan untuk melaksanakan secara

paksa oleh alat-alat negara terhadap pihak-pihak yang

tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.

Sebenarnya yang memberi kekuatan executoriaal kepada

putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kata-kata,

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

yang ada pada setiap putusan. Akan tetapi tidak semua

putusan dapat dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan.

hanya putusan condemnatoir sajalah yang dapat

dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan, sementara

putusan declatoir dan constitutif tidaklah memerlukan

sarana-sarana memaksa untuk dapat melaksanakannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan BPSK final dan

mengikat berarti tidak ada peluang untuk mengajukan upaya hukum terhadap

putusan tersebut tetapi pada UUPK memberikan peluang bagi para pihak untuk

mengajukan upaya “keberatan”. Hal ini tidak sesuai dengan hakikat final dan

mengikat.

Pada sisi lain, putusan BPSK yang berisikian pemberian ganti kerugian

pelaku usaha kepada konsumen merupakan bentuk penghukuman. Hal ini

membuat Putusan BPSK merupakan putusan yang bersifat condemnatoir.

Page 9: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

58

Implikasi dari sifat putusan condemnatoir adalah putusan tersebut memiliki

kekuatan eksekutorial. Namun, pada putusan BPSK tidak terdapat irah-irah “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Inilah yang membuat putusan

BPSK tidak dapat dieksekusi.

B. Konsep Upaya Hukum “Keberatan”

1. Upaya Hukum Berdasarkan Sistem Peradilan di Indonesia

Pada hukum acara terdapat terdapat upaya-upaya hukum yang dapat dibagi

menjadi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa atau upaya hukum

istimewa. Upaya hukum biasa dapat berupa:

a. Perlawanan (verzet) adalah upaya hukum terhadap putusan yang

dijatuhkan di luar hadirnya tergugat (Pasal 125 ayat (3) dan Pasal

129 HIR, Pasal 149 ayat (3) dan Pasal 153 RBg).15

b. Banding (revisi) adalah salah satu bentuk upaya hukum untuk

mendapatkan perbaikan (revisi) terhadap putusan hakim di

pengadilan tingkat pertama yang disediakan bagi pihak yang

dikalahkan (Pasal 6 Undang-Undang No. 20 Tahun 1974, Pasal

199 RBg, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun

2004).16

c. Kasasi (cassatie) adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung

sebagai pengawas tertinggi atas putusan pengadilan-pengadilan lain

(Wirjono Prodjodikoro, 1970). Sedangkan menurut Supomo, kasasi

adalah tindakan Mahkamah Agung untuk menegakan dan

15

Muhammad Nasir, Op.Cit., h. 209. 16

Lilik Mulyadi II, Op. Cit., h. 313.

Page 10: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

59

memperbaiki hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan

hakim pada tingkatan tertinggi17

(Pasal 43 dan Pasal 44 ayat (1)

Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dan Pasal 45 ayat (1) Undang-

Undang No. 4 Tahun 2004).

sedangkan upaya hukum luar biasa yang dapat berupa peninjauan kembali.

Peninjauan kembali (herziening) adalah salah satu bentuk upaya hukum luar biasa

yang dapat ditempuh terhadap putusan yang telah dijatuhkan pada tingkat terakhir

atau putusan verstek serta putusan yang tidak terbuka lagi kemungkinan untu

mengajukan perlawanan, karena telah memperoleh kekuatan hukum tetap18

(Pasal

23 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 serta dalam Pasal 34 dan Pasal 67-76

Undang-Undang No. 3 Tahun 2009)

Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan selama

tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Wewenang untuk

menggunakannya hapus dengan menerima putusan. Upaya hukum biasa bersifat

menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.19

Pada perkara perselisihan hubungan industrial ataupun perkara niaga tidak

dikenal dengan upaya hukum banding sehingga dalam PHI dan pengadilan niaga

hanya dapat dilakukan upaya hukum biasa berupa verzet dan kasasi serta upaya

hukum luar biasa yang dapat berupa peninjauan kembali.

17

Muhammad Nasir, Op.Cit., h. 219. 18

Ibid., h. 226 19

Taufik Makarao, Op.Cit., h. 160.

Page 11: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

60

2. Konsep Upaya Keberatan

secara terminologi upaya keberatan tidak dikenal dalam sistem hukum

acara yang ada.20

Apakah upaya keberatan harus diajukan dalam acara gugatan,

perlawanan, atau permohonan dan perlu atau tidaknya BPSK turut digugat agar

dapat secara langsung didengar keterangannya. Di pihak pengadilan akan

menimbulkan permasalahan tersendiri, karena pengajuan keberatan ini akan

didaftarkan pada register apa karena pengadilan tidak mempunyai register khusus

keberatan.21

Pada quasi peradilan yang lain, seperti Komisi Pengawasan Persaingan

Usaha juga terdapat upaya keberatan. Komisi wajib memutuskan telah terjadi atau

tidak terjadi pelanggaran dengan jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga

puluh) hari. Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri

selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan

putusan tersebut. Apabila pelaku usaha tidak mengajukan keberatan dalam jangka

waktu tersebut maka dianggap menerima putusan Komisi. Pengadilan Negeri

harus memeriksa keberatan pelaku usaha dengan jangka waktu 14 (empat belas)

hari dan Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga

puluh) hari.

Sekilas Komisi Pengawasan Persaingan Usaha sama dengan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen terkait dengan dapat dilakukannya upaya

keberatan. Namun, terdapat perbedaan yang mencolok terkait upaya kebertan

antara BPSK (diatur pada UUPK) dengan KPPU (diatur dalam UU No. 5

20

Vide Bab III B 21

Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., h. 262.

Page 12: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

61

Tahun1999) yaitu pada Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

menyatakan “apabila tidak terdapat keberatan, putusan komisi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap”

sedangkan pada UUPK tidak diatur mengenai penegasan tersebut

Salah satu kendala yang cukup membutuhkan perhatian adalah upaya

keberatan yang dapat ditempuh oleh para pihak ke Pengadilan Negeri atas suatu

putusan BPSK yang dalam ketentuan UUPK sudah dengan tegas dinyatakan

bersifat final dan mengikat. UUPK tidak menegaskan secara limitatif luas lingkup

adanya “keberatan” terhadap putusan BPSK ini. Memperhatikan praktik peradilan

saat ini, implementasi instrumen hukum “keberatan” ini sangat membingungkan

dan menimbulkan berbagai persepsi, dan interpretasi, terutama bagi para hakim

dan lembaga peradilan sendiri, sehingga timbul berbagai penafsiran akan arti dan

maksud suatu undang-undang.

Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi mengambil sikap

untuk menjembatani adanya kekosongan prosedural dan kebuntuan dalam proses

pelaksanaan penyelesaian sengketa, dan juga karena adanya kebutuhan yang

sangat mendesak, maka MA menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1

Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap

Putusan BPSK (selanjutnya disingkat dengan PERMA No. 1 Tahun 2006).

Mahkamah Agung menetapkan bahwa keberatan merupakan upaya hukum yang

Page 13: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

62

hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK

saja, tidak meliputi putusan BPSK yang timbul dari mediasi dan konsiliasi.22

PERMA No. 1 Tahun 2006 ini diharapkan untuk sementara sambil

menunggu perubahan undang-undang, dapat menyelesaikan berbagai masalah

yang timbul, walaupun harus diakui bahwa PERMA No. 1 Tahun 2006 bukan

merupakan satu-satunya jalan keluar yang dapat menjawab keseluruhan kendala

yang selama ini masih belum jelas, karena keterbatasan kewenangan yang dimiliki

Mahkamah Agung dalam menerbitkan PERMA No. 1 Tahun 2006. Mahkamah

Agung hanya berwenang memberi penjelasan terhadap acara yang tidak jelas atau

undang-undang tidak memberikan aturan pelaksanaannya. Namun, ketentuan

PERMA No. 1 Tahun 2006 ini tidak mengikat. Meskipun tidak mengikat tetapi

pada umumnya diikuti tidak saja oleh badan peradilan di bawah Mahkamah

Agung,23

tetapi juga oleh para praktisi hukum.24

Permasalahan diatas telah terjawab dalam Pasal 5 ayat (2) PERMA No. 1

Tahun 2006, bahwa keberatan diajukan melalui perkara perdata dan disertai

dengan panjar perkara. PERMA No. 1 Tahun 2006 juga menetapkan bahwa dalam

pengajuan keberatan lembaga BPSK tidak menjadi pihak.

Demikianlah upaya keberatan yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun

2006, walaupun dikatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen terkhusus

melalui BPSK yang diatur dalam UUPK tidak sempurna tetapi proses penegakan

hukumnya masih dapat secara maksimal dijalankan untuk memberikan putusan

yang adil dan memberikan kepastian hukum bagi konsumen terkhususnya.

22

Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2006 23

Nomor 13/Pdt.Sus.BPSK/2013/PN. Bky, h. 18. 24

Nomor 14/Pdt.Sus-BPSK/2015/PN.Grt, h. 1.

Page 14: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

63

Upaya keberatan atas putusan arbitrase BPSK dapat diajukan apabila

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.25

Pertama, surat atau dokumen yang

diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau

dinyatakan palsu. Kedua, setelah putusan arbitrase BPSK diambil ditemukan

dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan.

Ketiga, putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak

dalam pemeriksaan sengketa. Atas dasar alasan untuk mengajukan upaya

keberatan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan dari

diperlukannya upaya keberatan dalam UUPK adalah untuk memberikan

penyelesaian sengketa secara patut kepada para pihak. Pada saat penyelesaian

sengketa konsumen dapat diselesaiakan secara patut maka salah satu dari tujuan

hukum dapat terlaksana, yaitu keadilan. Hal ini sesuai dengan asas keadilan yang

dituangkan dalam pasal 2 UUPK.

Kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan menilai putusan

arbitrase BPSK tidak saja meliputi aspek formal saja, tetapi juga termasuk boleh

menilai pokok perkara dan hal-hal lain yang menyangkut aspek materiilnya,

sepanjang majelis hakim dapat memberikan putusan dalam tenggang waktu 21

hari sejak sidang pertama dilakukan.26

Berdasarkan pertimbangan sisi limitasi

waktu tersebut, sebaiknya ditentukan bahwa pemeriksaan keberatan dilakukan

hanya atas dasar putusan BPSK dan berkas perkara saja. Oleh karena itu, tertutup

kemungkinan pemeriksaan bukti-bukti baru dan saksi-saksi yang sebelumnya

tidak diajukan pada pemeriksaan arbitrase BPSK. Dengan demikian, penulis

25

Pasal 6 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2006 26

Pasal 6 Ayat (7) PERMA No. 1 Tahun 2006.

Page 15: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

64

berpendapat upaya keberatan yang diajukan oleh pihak yang menolak putusan

BPSK tiada lain haruslah ditafsirkan sebagai upaya banding.

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

memberikan pilihan kepada para pihak secara sukarela untuk menyelesaian

sengketa melalui 2 (dua) cara, yaitu : Pertama, melalui luar pengadilan.

penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat dilakukan secara damai

atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara

konsiliasi atau mediasi atau arbitrase (choice of forum). Kedua, penyelesaian

sengketa melalui pengadilan. Proses beracara dalam penyelesaian sengketa

konsumen itu diatur dalam UUPK. Karena UUPK ini hanya mengatur beberapa

pasal ketentuan beracara, maka secara umum peraturan hukum acara seperti dalam

Herziene Indonesische Reglement (HIR) dan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, tetap berlaku.

Penyelesaian sengketa konsumen secara damai ini didasarkan pada Pasal

45 Ayat (2) UUPK. Pada ketentuan tersebut tidak menutup kemungkinan para

pihak dapat menyelesaikan sengketa konsumen secara damai, tanpa melalui

pengadilan atau melalui BPSK. Dari penjelasan Pasal 45 Ayat (2) UUPK dapat

diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai, merupakan upaya

hukum yang justru harus terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang

bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa

konsumen melalui BPSK atau badan peradilan.

Page 16: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

65

Tiga cara persidangan di BPSK menurut Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 s.d.

36 SK No. 350/MPP/Kep/12/2001 adalah konsiliasi, mediasi, atau arbitrase.

Berikut penjelasan tahap persidangannya masing-masing:

1) Konsiliasi

Konsiliasi merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di

luar pengadilan dengan perantara BPSK untuk mempertemukan

pihak yang bersengketa, namun penyelesaiannya diserahkan ke

para pihak27

. BPSK bersikap pasif dalam persidangan karena

inisiatifnya datang dari para pihak. BPSK bisa dikatakan sebagai

perantara saja, sehingga tugas-tugasnya sebatas pada28

: memanggil

para pihak yang bersengketa, memanggil saksi atau ahli bila

diperlukan, menyediakan tempat/forum, menjawab pertanyaan

konsumen dan pelaku usaha mengenai aturan hukum di bidang

perlindungan konsumen. Tata cara penyelesaian lewat mekanisme,

yakni: 1). Proses penyelesaian sengketa menyangkut bentuk atau

jumlah ganti rugi diserahkan para pihak sementara BPSK pasif,

kemudian 2). Hasil musyawarah dikeluarkan BPSK dalam bentuk

Putusan BPSK. (Ps. 28 s.d. 29 KEPMENDAGRI No.

350/MPP/Kep/12/200)

2) Mediasi

Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan dengan perantara BPSK sebagai penasihat para pihak

yang bersengketa, namun penyelesaiannya tetap diserahkan ke para

27

Pasal 1 angka 9 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 28

Pasal 28 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001.

Page 17: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

66

pihak29

. BPSK nampak sudah bisa aktif dalam persidangan

meskipun inisiatifnya tetap harus pertama kali datang dari para

pihak. BPSK bisa dikatakan sebagai perantara sekaligus penasihat

untuk memberikan solusi sengketa, sehingga lingkup tugas-

tugasnya lebih luas daripada konsiliasi: memanggil para pihak yang

bersengketa, memanggil saksi atau ahli bila diperlukan,

menyediakan tempat/forum, aktif mendamaikan, aktif memberi

saran atau anjuran sesuai aturan hukum di bidang perlindungan

konsumen. Tata cara penyelesaian lewat mekanisme30

, yakni: 1).

Proses penyelesaian sengketa menyangkut bentuk atau jumlah

ganti rugi diserahkan para pihak sementara BPSK aktif memberi

nasihat, petunjuk, saran, dan upaya lain yang diperlukan dalam

menyelesaikan sengketa, kemudian 2). Hasil musyawarah

dikeluarkan dalam bentuk Putusan BPSK. (Ps. 30 s.d. 31

KEPMENDAGRI No. 350/MPP/Kep/12/2001)

3) Arbitrase

Arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di

luar pengadilan dimana penyelesaian sepenuhnya diserahkan ke

BPSK31

. BPSK dapat sangat aktif dalam persidangan meskipun

bahkan ketika tidak tercapai kata sepakat diantara mereka. BPSK

bisa dikatakan sebagai penentu sengketa, sehingga lingkup tugas-

tugasnya yang terluas dari kedua cara lain. Tahap penyelesaian

dengan arbitrase, yaitu: Tahap 1). Para pihak memilih arbiter

29

Pasal 1 angka 10 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 30

Pasal 31 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 31

Pasal 1 angka 11 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001.

Page 18: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

67

sebagai anggota majelis, kemudian para arbiter itu memilih arbiter

ketiga yang adalah anggota BPSK dari unsur pemerintah sebagai

Ketua Majelis BPSK; 2). Majelis memberi penjelasan kepada para

pihak terkait ketentuan hukum yang berlaku; 3). Masing-masing

pihak menjelaskan apa yang dipersengketakan; 4). Proses

penyelesaian sengketa menyangkut bentuk atau jumlah ganti rugi

diserahkan ke BPSK; dan yang terakhir adalah 5). Putusan BPSK

dikeluarkan dengan wewenang penuh terhadap penyelesaian

sengketa.32

Perlu diingat bahwa Arbitrase yang diatur dalam Pasal

52 butir a UUPK, tidak ada penggabungan antara BPSK dengan

arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang RI

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative

Penyelesaian Sengketa.33

(Ps. 32 s.d. 36 KEPMENDAGRI No.

350/MPP/Kep/12/2001)

Menurut Aman Sinaga, putusan BPSK ada dua jenis antara lain34

:

1) Putusan hasil konsiliasi atau mediasi: Hanya

mengukuhkan isi perjanjian perdamaian yang telah

disetujui dan ditandatangani kedua belah pihak. Dwi

menambahkan, sedapat mungkin diambil berdasar

musyawarah mufakat, namun jika tidak berhasil akan

digunakan voting. Hasil penyelesaian tidak memuat sanksi

administratif dan dibuat dalam perjanjian tertulis yang

ditandatangani konsumen-pelaku usaha yang selanjutnya

dikuatkan dengan putusan majelis35

.

2) Putusan hasil arbitrase: Sama dengan putusan perkara

perdata, memuat duduk perkara dan pertimbangan hukum

32

Happy Susanto, Loc.Cit., hlm. 179. 33

Pendapat hukum Majelis Hakim Prof. Dr. Valerine J.L.K.,SH.,MA, Prof. Dr. Takdir

Rahmadi,SH.,LLM. dan Soltoni Mohdally,SH.,MH., dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI

Put. No. 560 K/Pdt.Sus/2012, hlm. 26. 34

Aman Sinaga, "Peran dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam

Upaya Perlindungan Konsumen", 2004, hlm. 6. 35

Pasal 39 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001.

Page 19: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

68

dan dapat pula memuat sanksi administratif36

. Sanksi ini

berupa ganti rugi (Pasal 60 UUPK).

Penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan atau litigasi dapat

dilakukan manakala upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat, atau

para pihak tidak mau lagi menempuh alternatif perdamaian, maka para pihak

dapat menempuh penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dengan

cara pengajuan gugatan secara perdata yang diselesaikan menurut hukum acara

perdata dan dapat menggunakan prosedur gugatan perdata konvensional, gugatan

perwakilan/gugatan kelompok, gugatan/hak gugat LSM, gugatan pemerintah

dan/atau instrumen terkait.37

Beberapa alternatif penyelesaian sengketa konsumen yang diberikan

UUPK sangat membantu konsumen untuk memilih sesuai kebutuhannya yaitu

pengadilan atau luar pengadilan (BPSK). Namun, dilihat berdasarkan proses

penyelesaiannya konsumen akan lebih memilih BPSK sebagai tempat untuk

menyelesaikan sengketa. Pada BPSK juga terbuka kesempatan bagi konsumen

untuk memilih cara penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau

konsiliasi atau arbitrase.

Akan tetapi, jika melihat lebih dalam mengenai proses penyelesaian

sengketa melalui BPSK akan nampak bahwa penyelesaian sengketa melalui

BPSK membutuhkan waktu yang lama. Mengingat atas putusan dapat dilakukan

upaya keberatan kepada Pengailan Negeri dengan jangka waktu paling lambat 14

(empat belas) hari sejak menerima pemberitahuan putusan tersebut dan

36

Pasal 37 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 37

Pasal 46 Ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

Page 20: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

69

Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan dalam waktu

paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. Terhadapa

putusan Pengadilan Negeri tersebut para pihak dapat mengajukan kasasi ke

Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu

paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi. Dengan

demikian, penyelesaian sengketa konsumen tidak lagi cepat seperti yang

diharapkan.

D. Final dan Mengikat Pada Hakekatnya Bukan Merupakan Sifat

Putusan BPSK

Putusan BPSK bersifat final berarti putusan hukum tersebut tidak

membutuhkan upaya hukum lanjutan. Dalam Undang-Undang Peradilan Tata

Usaha Negara, bersifat final artinya sudah definitif dan kerenanya dapat

menimbulkan akibat hukum. Dengan dikeluarkannya putusan yang bersifat final

maka dengan sendirinya sengketa yang telah diperiksa diakhiri atau diputuskan.

Putusan final merupakan tindakan terakhir pengadilan dalam menentukan hak-hak

para pihak dalam menyelesaikan segala persoalan dalam suatu sengketa, para

pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan yang sudah

bersifat final tersebut.

Pasal 54 Ayat (3) UUPK menegaskan bahwa putusan majelis BPSK

bersifat final dan mengikat. Kata “final” diartikan sebagai tidak adanya upaya

banding dan kasasi. Pada penjelasannya yang dimaksud dengan putusan majelis

bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak

Page 21: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

70

ada upaya banding dan kasasi, berarti putusan BPSK tidak membutuhkan upaya

hukum biasa untuk menolak putusan BPSK tersebut.

Dengan demikian seharusnya putusan BPSK dapat dijalankan atau

dieksekusi karena putusan yang tidak dapat dieksekusi menjadikan putusan

tersebut tidak ada artinya dan tidak memberikan rasa keadilan bagi para pihak

yang dirugikan. Namun, pada Pasal 56 Ayat (2) UUPK menyatakan para pihak

tenyata dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat 14

hari kerja setelah pemberitahuan putusan BPSK. Dengan dibukanya kesempatan

mengajukan keberatan atas putusan BPSK itu tidak dapat dilakukan eksekusi,

dapat disimpulkan bahwa putusan BPSK tersebut masih belum final. Bahkan atas

putusan keberatan Pengadilan Negeri dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa

dengan dimungkinkannya upaya keberatan maka sifat final dan mengikat atas

putusan BPSK diartikan terbatas dalam lembaga BPSK saja, dengan kata lain

BPSK tidak melayani upaya hukum lanjutan atas putusan yang dibuat. Namun

terkait dengan substansi yang diputuskan sejatinya tidak bersifat final, karena

upaya keberatan dapat ditafsirkan sebagai upaya banding.38

Melihat ketentuan Pasal 56 ayat (2) UUPK tambak bahwa pembuat

undang-undang memang menghendaki campur tangan pengadilan untuk

menyelesaikan sengketa konsumen ini. Hal ini memberikan dampak yang

mengganggu eksistensi dari BPSK dalam upaya memberikan perlindungan kepada

konsumen, antara lain kesan negatif konsumen terhadap keberadaan lembaga

38

Vide Bab III B 2

Page 22: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

71

BPSK, karena menurut konsumen pada akhirnya mereka akan kembali ke

pengadilan juga akibat dari adanya upaya keberatan pada para pihak atas putusan

BPSK tersebut.39

Sehingga keberadaan BPSK yang memiliki kemiripan dengan

lembaga Small Claim Court dalam proses penyelesaian sengketa konsumen secara

sederhana, cepat dan murah tidak bisa tercapai. Akibat dari proses yang panjang

ini, maka perlindungan konsumen yang dicita-citakan atau diharapkan oleh UUPK

menjadi terlaksana.

Sedangkan putusan BPSK bersifat mengikat, mengikat maksudnya adalah

memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subyek

hukum. Dengan demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum

yang tetap (Inkracht van gewijsde) dan oleh karenanya putusan tersebut mengikat

para pihak yang bersengketa. Berdasarkan hal itu maka putusan harus mempunyai

kekuatan eksekutorial sebagai suatu kekuatan untuk melakukan apa yang telah

ditetapkan dalam putusan tersebut secara paksa oleh alat-alat negara.40

Seperti

yang telah diatur pada Pasal 56 ayat (1) UUPK bahwa dalam waktu paling lama 7

hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen pelaku

usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. Dalam eksekusi dikenal 5 (lima) asas

yaitu:41

1) Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan hakim yang

mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde).

39

Kurniawan, Op.Cit., h. 137. 40

Pengecualiannya ada, yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat

dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan (Pasal 180 HIR), putusan yang bersifat deklarator, akta

perdamaian (Pasal 130 HIR), Eksekusi terhadap grosee akte (Pasal 224 HIR) 41

Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi: Prektek Kejurusitaan Pengadilan, 2004, Jakarta:

Tatanusa, h. 64.

Page 23: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

72

2) Putusan hakim yanng akan dieksekusi harus bersifat menghukum

(condemnatoir).

3) Putusan tidak dijalankan secara suka rela.

4) Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan.

5) Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.

Selanjutnya pada Pasal 57 UUPK mengatur mengenai bahwa putusan

majelis dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat

konsumen yang dirugikan. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial atau

yang menjadi persyaratan pada suatu putusan untuk dapat dilaksanakan secara

paksa baik putusan pengadilan maupun putusan arbitrase harus memuat kepala

putusan atau disebut irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan inilah yang memberi kekuatan

eksekutorial terhadap putusan. Namun, ketentuan mengenai prosedur permohonan

eksekusi tidak diatur secara rinci dan jelas dalam UUPK. Bahkan pada putusan

arbitrase BPSK tidak mewajibkan untuk pencantuman irah-irah tersebut.42

Hal ini

berbeda dengan isi suatu putusan arbitrase menurut Pasal 54 ayat (1) butir a

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa yang menyatakan suatu putusan arbitrase harus memuat

kepala putusan atau irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Eksekusi terhadap putusan arbitrase BPSK seharusnya memperhatikan

ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dan hukum acara perdata yang

42

Pada UUPK maupun Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 yang mengatur

pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga BPSK, tidak mengatur mengenai kewajiban

pencantuman irah-irah pada putusan BPSK.

Page 24: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

73

berlaku dan perundang-undangan yang terkait, karena kurang rincinya pengaturan

pengenai eksekusi tersebut. Pemilihan arbitrase dalam penyelesaian sengketa

melalui BPSK, menjadikan BPSK menjadi suatu lembaga arbitrase dan untuk itu

harus memperhatikan ketentuan arbitrase.

Ketentuan Pasal 57 UUPK yang mengatur bahwa Putusan majelis bersifat

final dan mengikat dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri.

Selain ketentuan ini tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai eksekusi atas

putusan BPSK dan tidak adanya ketentuan keharusan memuat irah-irah pada

putusan arbitrase BPSK membuat penetapan eksekusi tersebut bertentangan

dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, bahwa suatu putusan harus memuat irah-irah “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pencantuman irah-irah ini memberikan

kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut sehingga penghapusan irah-irah

mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum.43

Dengan demikian, putusan

arbitrase BPSK yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dimintakan

penetapan eksekusi. Hal ini akan membuat putusan arbitrase BPSK menjadi sia-

sia dan tujuan penyelesaian sengketa konsumen untuk memberikan keadilan tidak

dapat terwujud. Sebagai contoh bahwa Kota Bandung Pernah mengajukan fiat

eksekusi terhadap putusan arbitrase BPSK No. 66/Pts-BPSK/VII/2005 ke

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

43

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 1985 tentang Putusan Pengadilan

yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap yang tidak memuat kata-kata “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Page 25: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

74

menyetakan bahwa putusan BPSK tidak dapat dieksekusi karena tidak

mempunyai irah-irah.44

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) tidak memiliki

wewenang melaksanakan putusannya, sebagaimana memutuskan dan menetapkan

ada atau tidak kerugian di pihak konsumen, dan wewenang menentukan besarnya

ganti kerugian yang harus dibayar oleh pelaku usaha dan mewajibkan pelaku

usaha untuk membayar ganti kerugian kepada konsumen, tetapi BPSK tidak

diberikan kewenangan untuk melaksanakan sendiri hasil putusannya, BPSK harus

lebih dahulu meminta penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sifat putusan BPSK

final dan mengikat pada hakekatnya tidak sama dengan makna final dan mengikat

pada suatu putusan lembaga pengadilan. hal ini memperlihatkan bahwa status dan

kedudukan lembaga BPSK dinilai dari persepsi administrasi, hanya mempunyai

kewenangan administrasi saja, maka putusannya dinilai tidak dapat menggunakan

atribut yidusial. Dengan demikian BPSK dapat dikategorikan sebagai lembaga

quasi peradilan dan sifat putusannya tidak sama dengan sifat putusan pengadilan

utama. Oleh karenanya sifat final dan mengikat putusan BPSK hanya dapat

diartikan sebagai kesepakatan atau perjanjian. Dengan kalimat berbeda, sifat

putusan BPSK tidak final dan mengikat suatu putusan peradilan.

Penulis berpendapat supaya tidak menjadi persoalan terkait penetapan

eksekusi, maka sebaiknya pada putusan arbitrase BPSK di beri irah-irah “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” atau paling tidak harus

44

Susanti Adi Nugroho, Op.cit., h. 353.

Page 26: Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11583/3/T1_312012004_BAB III.pdf · Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan

75

memberikan pengaturan mengenai permintaan penetapan eksekusi kepada

Pengadilan Negeri, seperti mengeluarkan peraturan yang mengharuskan

Pengadilan Negeri memberikan penetapan eksekusi, supaya tidak terjadi lagi

kasus seperti diatas dan ada persamaan dalam memahami penetapan eksekusi

tersebut sekaligus kepastian hukum dapat tercapai. Jika hal tersebut sulit untuk

dilaksanakan, maka menurut penulis lebih baik kewenengan BPSK menyelesaikan

sengketa konsumen dicabut tetapi hanya sebatas memediasi antara konsumen

dengan pelaku usaha atau melakukan pendampingan terhadap konsumen. maka

dari itu, dengan adanya Small Claim Court di Indonesia, konsumen lebih baik

mengajukan gugatan melalui lembaga tersebut, karena lebih memberi kepastian

dan terutama keadilan dalam menyelesaikan sengketa konsumen.