menggugat ketimpangan, merawat papua: membaca …
TRANSCRIPT
MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA:
MEMBACA LOGIKA POLITIK GERAKAN BUDAYA
PAPUAN VOICES
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora
di Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma
Oleh:
Handrianus Koli Belolon
NIM: 186322011
MAGISTER KAJIAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA, DESEMBER 2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
Kata Pengantar
Terhitung sejak tahun 2011-2018, selama enam tahun lebih berkanjang hidup di
Papua, saya mengalami banyak perubahan berkaitan dengan pola pikir dan tingkah laku.
Hidup bersama orang Papua dan turut merasakan berbagai kisah hidupnya adalah
pengalaman berharga yang tak pernah lekang oleh waktu. Suka dan duka mereka terus
terpatri di sanubari sampai akhirnya mampu meruntuhkan semua persepsi dan asumsi
subjektif tentang Papua yang sebelumnya menyimpang jauh dari realitas yang saya hadapi di
sana. Papua adalah tempat di mana saya menemukan apa artinya mencintai alam dan sesama
manusia. Ia sudah seperti rumah kedua, tempat berbenah diri menjadi pribadi yang lebih peka
dan peduli pada ketidak-adilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Terima kasih
untukmu, Papua.
Pengalaman berharga yang serupa juga saya alami selama menjalani masa
perkuliahan di Program Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Di tempat ini, saya mendapatkan banyak pengetahuan baru yang sangat bermanfaat bagi
seluruh proses penalaran terhadap segala kompleksitas persoalan yang ada di Papua. Saya
pada akhirnya menyadari bahwa untuk memahami sebuah fenomena, kita sesekali perlu
mengambil jarak tertentu darinya sambil mempelajari sesuatu yang baru untuk dapat
menangkap sisi lain yang sebelumnya tak terselami. Untuk itu, saya menyampaikan terima
kasih kepada Rm. Subanar, SJ., Pak Tri, Pak St. Sunardi, Rm. Beni, SJ., Ibu Katrin, Ibu Devi,
Rm. Bagus, SJ., dan Rm. Budi, SJ., yang banyak memberi pengetahuan berharga selama
proses perkuliahan. Secara khusus, saya menyampaikan terima kasih berlimpah kepada Rm.
Baskara, SJ. yang selalu bersedia meluangkan banyak waktu untuk membimbing saya dalam
proses penulisan tesis ini.
Saya juga mau berterima kasih kepada istri dan anak tercinta (Maria Fransiska dan
Michelle Imeldalina) yang terus menguatkan saya dengan cinta dan perhatian yang tulus.
Untuk Andreas, Januarius, Sintus Asalang, Pace Steve Mahuze, Kaka Aprila Wayar, Hans
Hayon, Mba Desi, Clara, Khofi, Primus, Adma, Pak Ramma, Ibu Dharma, Mba Ajenk, Mba
Citra, Pak Iwan, dan Egha; saya menyampaikan banyak terima kasih atas rupa-rupa kebaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
yang saya dapatkan selama proses studi. Tak lupa pula, saya menyampaikan terima kasih
kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dan Eagle Institute
yang telah banyak membantu saya dalam biaya perkuliahan maupun biaya hidup selama
empat semester melalui Program Beasiswa Unggulan.
Tesis ini saya persembahkan untuk para aktivis Papuan Voices yang patang mundur
dalam menyuarakan cerita-cerita dari Papua sambil terus berupaya merawat Papua melalui
kerja-kerja politiknya. Terima kasih atas kesempatan berharga yang diberikan kepada saya
untuk meneliti dan menulis tentang PV. Kiranya tesis ini memberi sumbangsih pemikiran
dalam mewujud-nyatakan demokrasi kerakyatan di Papua. Panjang umur perlawanan dan
salut untuk perjuangan kalian.
Handrianus K. Belolon
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
Abstrak
Sejak zaman kolonial, Papua adalah istilah peyoratif dan menjadi wilayah penting
dalam desain politik kekuasaan. Sampai saat ini, narasi-narasi tentang Papua di dalam media
massa pun tidak jauh berbeda. Publik Indonesia selalu dibanjiri beragam informasi yang
berbading terbalik dengan kondisi sosial-historis di Papua untuk menutupi ketimpangan-
ketimpangan yang terjadi. Bertolak dari fakta yang ada, para sineas muda Papua yang
tergabung dalam komunitas Papuan Voices, berupaya menciptakan narasi lain dalam bentuk
film dokumenter untuk menyuguhkan sisi lain dari Papua berdasarkan perspektif orang
Papua. Tak hanya itu. Dalam aktivismenya, mereka juga terus berupaya melindungi alam dan
manusia Papua dari berbagai bentuk ancaman. Fenomena ini mau menunjukkan bahwa ada
wilayah baru yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan politik gerakan sosial.
Dengan menggunakan metode lived resistance, dan teknik validitas dekonstruktif dari
pespektif post-stukturalisme, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika
perlawanan serta logika politik yang dapat dilacak melalui gerakan budaya Papuan Voices.
Sebagai perangkat analisis, penelitian ini menggunakan pendekatan gerakan sosial baru
dalam tradisi Marxis; terutama melalui Gramsci dan Laclau-Mouffe untuk memeriksa
bentuk-bentuk hegemony, antagonisme, pembentukan identitas kolektif dan counter-
hegemony di dalam gerakan: menggugat ketimpangan, merawat Papua.
Hasil analisis menunjukkan bahwa framing dan hegemoni media massa bertujuan
untuk mengaburkan fakta ketidak-adilan yang terjadi di Papua. Dengan memanfaatkan film-
film dokumenter yang diproduksinya sebagai media kampanye dan advokasi di tengah
masyarakat, para aktivis PV terus mengupayakan hegemoni tandingan dengan menciptakan
makna baru tentang alam dan manusia Papua berdasarkan perspektif orang Papua. Aktivisme
PV adalah representasi gerakan sosial baru yang mengutamakan pendidikan politik dalam
mewujudkan demokrasi yang berpihak pada kedaulatan rakyat.
Kata kunci: Papuan Voices, Gerakan Budaya, Hegemoni, Hegemoni Tandingan, Demokrasi
Kerakyatan, Gerakan Sosial Baru, Pendidikan Politik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
Abstract
Since colonial times, Papua is a pejorative term and has become an important area
in the design of power politics. Until now, the narratives about Papua in the mass media are
not much different. The Indonesian public is always flooded with various information which
contrasts with the socio-historical conditions in Papua to cover up the imbalances that occur.
Starting from the facts, young Papuan filmmakers who are members of the Papuan Voices
community, try to create another narrative in the form of documentary films to present a
different side of Papua based on the perspective of Papuans. Not only that. In their activism,
they also continue to strive to protect Papua's nature and people from various forms of threats.
This phenomenon shows that there are new areas that need to be studied in relation to social
movement politics.
By using the method of lived resistance and deconstructive validity techniques from
the perspective of post-structuralism, this study aims to explore the dynamics of resistance
and political logic that can be traced through the Papuan Voices cultural movement. As an
analytical tool, this research uses a new social movement approach in the Marxist tradition;
especially through Gramsci and Laclau-Mouffe to examine forms of hegemony, antagonism,
collective identity formation and counter-hegemony within the movement: criticizing
inequity, caring for Papua.
The results of the analysis show that framing and mass media hegemony aims to
obscure the facts of the injustices that occur in Papua. By utilizing the documentary films
they produce as media for campaigning and advocacy in the community, PV activists
continue to strive for counter hegemony by creating new meanings about Papua's nature and
people from the perspective of Papuans. PV activism is a representation of a new social
movement that prioritizes political education in realizing democracy that takes the side of the
people’s sovereignty.
Keywords: Papuan Voices, Cultural Movements, Hegemony, Counter-Hegemony, Populist
Democracy, New Social Movement, Political Education
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..........................................................................................iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS ……………………………………………………………………...v
Kata Pengantar ...............................................................................................................................vi
Abstrak ........................................................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................. x
BAB I ............................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................................. 8
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................ 8
D. Manfaat Penulisan .............................................................................................................. 9
E. Kajian Pustaka .................................................................................................................. 10
F. Kerangka Teori ................................................................................................................. 14
1. Dasar Teoretik Gerakan Sosial dalam Tradisi Marxis .................................................... 14
2. Gerakan Sosial Baru dalam Perspektif Gramscian ......................................................... 21
G. Metode Penelitian ............................................................................................................. 27
H. Skema Penulisan............................................................................................................... 29
BAB II ......................................................................................................................................... 31
PAPUA DAN KONSTRUKSI REALITAS DALAM MEDIA MASSA ....................................... 31
A. Pengantar ......................................................................................................................... 31
B. Sekilas tentang Papua ....................................................................................................... 32
1. Manusia dan Alam Papua dalam Fakta .......................................................................... 32
2. Papua di Mata Aktivis Media ........................................................................................ 35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
C. Framing dan Hegemoni Media Massa tentang Papua......................................................... 41
1. Bagaimana Media Nasional Menarasikan Papua? .......................................................... 41
2. Representasi Papua di Dalam Media Film ..................................................................... 48
3. Media Massa sebagai Perangkat Hegemoni Budaya ...................................................... 57
D. Rangkuman ...................................................................................................................... 59
BAB III ........................................................................................................................................ 60
ANTAGONISME DAN HEGEMONI TANDINGAN .................................................................. 60
SEBAGAI LOCUS GERAKAN BUDAYA PAPUAN VOICES .................................................... 60
A. Pengantar ......................................................................................................................... 60
B. Memahami Terminologi Gerakan Budaya dalam Kajian Budaya ....................................... 61
C. Apa Itu Papuan Voices? ................................................................................................... 64
1. Sekilas Cerita Lahirnya Papuan Voices ......................................................................... 64
2. Papuan Voices Sebagai Blok Historis ........................................................................... 66
3. Papuan Voices dan Identitas Kolektif ............................................................................ 69
D. Papuan Voices Bercerita: Locus Bagi Antagonisme dan Counter-Hegemony ..................... 78
1. Film Dokumenter Sebagai Media Artikulasi .................................................................. 79
2. Antagonisme dan Hegemoni Tandingan dalam Dokumenter .......................................... 84
E. Rangkuman ...................................................................................................................... 87
BAB IV ....................................................................................................................................... 89
KONTESTASI MAKNA DAN PERJUANGAN DEMOKRASI KERAKYATAN: SEBUAH
MODEL GERAKAN SOSIAL BARU ......................................................................................... 89
A. Pengantar ......................................................................................................................... 89
B. Politik Kepemimpinan di Dalam Tubuh Papuan Voices? .................................................. 90
C. Kontestasi Makna dan Perjuangan Demokrasi Kerakyatan ................................................ 98
1. Pembingkaian Kultural ................................................................................................. 98
2. Struktur Mobilisasi ..................................................................................................... 109
3. Peluang Politik............................................................................................................ 113
D. Rangkuman .................................................................................................................... 116
BAB V ....................................................................................................................................... 117
PENUTUP ................................................................................................................................. 117
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
B. Rekomendasi .................................................................................................................. 120
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Papua menjadi sebuah istilah yang peyoratif sejak kolonialisme hingga pasca-
reformasi. Pada era Soekarno, Papua adalah enclave penting yang terintegrasi dalam desain
politik kebangsaan NKRI melalui idiom “dari Sabang sampai Merauke”. Demikian pula pada
era Soeharto, di mana Papua diringkus semata-mata demi menunjang projek
developmentalisme. Selanjutnya, pasca-reformasi, karakter buruk ini dilanjutkan dengan
watak yang berbeda-beda, dari isu separatisme hingga ketertinggalan pembangunan, dari isu
infrastruktur hingga kekerasan etnis, dari isu pembangkangan sipil hingga sumber daya alam
yang kaya, dari rezim Megawati hingga rezim Joko Widodo.
Melalui pembacaan yang kritis, ditemukan bahwa isu-isu seperti itu justru
dikonstruksikan, didistribusikan, dan dilanggengkan, − mengutip Michael Foucault (1980) −
melalui mekanisme kepengaturan (governmentality) yang dilakukan baik melalui apparatus
rezim (governmentality by others) maupun melalui warga Papua sendiri (governmentality of
the self). Akibatnya, Papua hari ini adalah narasi yang didominasi dengan cerita tentang
keindahan dan kekayaan alam, PT. Freeport Indonesia, Organisasi Papua Merdeka (OPM),
perang suku, separatis, atau salah satu wilayah di bagian timur Indonesia yang ‘belum maju’
dan mutlak perlu untuk dibangun dan diberdayakan demi tercapainya keadilan sosial bagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
seluruh rakyat Indonesia. Apalagi, mempertimbangkan bahwa aksesibilitas merupakan
hambatan serius dalam penyebarluasan informasi dan gagasan alternatif, perspektif di atas
menjadi begitu dominan persis ketika persepsi publik Indonesia tentang Papua dibentuk oleh
media-media massa arus utama, seperti media cetak maupun elektronik. Dari media-media
tersebut orang pada akhirnya memperoleh pengetahuan lalu membangun opininya secara
sepihak tentang Papua.
Sadar akan absennya narasi-narasi alternatif ini, sejumlah anak muda Papua, baik
perorangan maupun sebagai kelompok, merasa terpanggil untuk menarasikan Papua secara
berbeda. Dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya, mereka menyajikan berbagai
model narasi tentang alam dan manusia Papua yang dikemas dalam bentuk berita, artikel,
opini, puisi, cerpen, novel, lagu, fotografi, videografi, dan berbagai bentuk kerja seni lainnya;
termasuk berunjuk rasa di muka umum. Bagi mereka, Papua bersama kompleksitas persoalan
yang melilitnya perlu diekspos agar publik memperoleh informasi dan pengetahuan yang
utuh dan otentik. Selain itu, aktivisme semacam itu dapat membantu masyarakat adat Papua
untuk memahami persoalan-persoalan yang dihadapi serta bagaimana membentengi diri
terhadap rupa-rupa penindasan sambil mencari solusi alternatifnya. Dalam kerangka kerja
inilah, Papuan Voices lahir untuk mengisi apa yang hilang dari ingatan publik tentang Papua
serta bagaimana merawatnya.
Papuan Voices (selanjutnya disebut PV) merupakan sebuah organisasi sipil
berbentuk perkumpulan para aktivis media yang bergerak di bidang audio-visual, secara
khusus film dokumenter pendek dan video jurnalis. Tujuan utama berdirinya PV di Papua
adalah melakukan advokasi dan kampanye tentang isu-isu alam dan manusia Papua bagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
semua kalangan masyarakat, serta menjadi wadah pengembangan kapasitas sumber daya
generasi muda Papua (Lih. profil organisasi PV). Sebagai suatu bentuk gerakan sosial, sejak
berdiri pada 2011, PV melalui para aktivisnya terus melaksanakan sejumlah agenda kegiatan,
seperti lokakarya produksi film dokumenter, Festival Film Papua (FPP), roadshow, serta
sejumlah strategi distribusi film ke berbagai kalangan masyarakat di tingkat lokal, nasional
maupun internasional.
Tesis ini dimaksudkan untuk mengulas kelahiran PV dan rupa-rupa aktivismenya
sebagai bentuk lain dari protest terhadap cara pandang publik yang cacat tentang Papua;
sekaligus menunjukkan sikap distrust terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang abai
terhadap kelestarian alam dan pemenuhan hak-hak hidup masyarakat adat Papua. Otto
Wanma, seorang sineas PV wilayah Tambraw, menuturkan bahwa selama ini sudah ada
banyak berita tentang Papua, tetapi belum memberi dampak perubahan apa pun terhadap
masyarakat adat Papua. Menurut Wanma, PV adalah wadah bagi orang Papua menceritakan
realitas Papua yang sebenarnya untuk menunjukkan bahwa di Papua belum ada perdamaian
dan keadilan.
Menegaskan pernyataan tersebut, Max Binur selaku pendamping PV wilayah Sorong,
menyatakan bahwa narasi tentang Papua yang diceritakan oleh orang-orang Papua sendiri
masih sangat minim, sehingga generasi muda Papua tergerak untuk menciptakan lebih
banyak cerita tentang Papua yang dikemas dalam bentuk film dokumenter. Terkait dengan
hal itu, semua film hasil karya generasi muda Papua bertujuan untuk menyampaikan pesan
kepada seluruh lapisan masyarakat di Papua maupun di luar Papua agar semakain banyak
orang dapat melihat Papua secara lebih dekat sambil ikut bersolidaritas menyelamatkan masa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
depan alam dan manusia Papua tanpa harus melakukan aksi-aksi yang bersifat destruktif.
Selain itu, film-film PV juga mengajak masyarakat adat Papua untuk tetap menjaga dan
mempertahankan kearifan lokal, nilai budaya, dan adat-istiadat beserta kekayaan alamnya
yang terus mengalami ancaman. Menurut Binur, narasi-narasi yang dikemas PV memberi
perspektif baru tentang Papua, di mana orang Papua ditempatkan sebagai subjek utama dalam
melihat dan menentukan masa depannya sendiri.
Dalam hal ini, film dokumenter sebagai sumber daya pendukung aktivisme PV adalah
sebuah pilihan strategi, karena ia memiliki kekuatan konstruksi pada ranah makna maupun
kesadaran kritis. Berkaitan dengan itu, Patricia Aufderheide dalam Documentary Film: A
Very Short Introduction (2007: 5), mengungkapkan bahwa film dokumenter adalah bagian
dari media yang membantu kita untuk memahami tidak hanya tentang dunia kita, tetapi juga
peran kita sebagai public actors dalam membentuk dunia tersebut. Sebagai bagian dari public
actors, – seperti yang diungkapkan oleh John Dewey (dalam Aufderheide, 2007:5) – para
filmmaker memiliki berbagai pilihan cara untuk mengkomunikasikan representasi realitas
kepada orang lain tentang problem sosial yang dihadapi oleh masyarakat agar diketahui oleh
umum. Melalui berbagai model representasi di dalam film dokumenter,1para filmmaker
senantiasa menjunjung tinggi nilai kebenaran fakta dalam dua elemen penting dokumenter:
representasi dan kenyataan yang disajikan secara filmis. Atau dengan kata lain, melalui film
yang merepresentasikan realitas (betapa pun tak lengkap dan terbatas), mereka menciptakan
1Ada beberapa tipe (mode) film dokumenter, seperti: poetic, performative, reflexive, participatory,
observational, dan expository. Selain memiliki beberapa tipe (mode), film dokumenter juga terbagi dalam
beberapa jenis (genre), seperti: laporan perjalanan, sejarah, potret/biografi, nostalgia, rekonstruksi, investigasi,
perbandingan dan kontradiksi, ilmu pengetahuan, buku harian/diary, musik, association picture story, dan
docudrama. (Lih. Bill Nichols, 2001. Introduction to Documentary, Indiana University Press: USA, hal. 99).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
keberimbangan antara representasi dan kenyataan di setiap narasi tentang kehidupan riil yang
mengandung klaim kebenaran. Film dokumenter adalah cara lain untuk membentuk realitas
baru berupa penggambaran berbagai fenomena sosial beserta persoalan-persoalan yang
menuntut penyelesaian.
Dengan mengusung tema film dokumenter sebagai bagian dari gerakan sosial, tesis
ini berangkat dari sejumlah kajian yang serupa untuk menemukan titk pijak baru di dalam
kerangka kerja logika politik gerakan sosial baru di era post-industrial. Pada prinsipnya, film
dokumenter adalah sarana yang cukup efektif untuk menghidupi sebuah aktivisme di tingkat
akar rumput. Akan tetapi, masing-masing gerakan punya karakteristik tersendiri dalam hal
isu, strategi dan tujuan yang mau dicapai. Sebagai misal, Gino Canella dalam Social
Movement Documentary Practices: Digital Storytelling, Social Media and Organizing
(2017), menekankan peran media sosial sebagai jalur distribusi film dokumenter untuk
menentang narasi dominan, mengorganisir masyarakat, dan menciptakan perubahan sosial.
Melalui film Black Lives Matter 5280 dan Service Employees International Union, Local 105
in Denver, Canella menunjukkan peran media sosial dan teknologi digital sebagai jembatan
bagi para aktivis dokumenter dalam memperjuangan keadilan sosial dan ekonomi bagi orang-
orang kulit hitam di Amerika Serikat.
Masih pada kerangka kerja yang serupa, John Haynes dalam Documentary as Social
Justice Activism: The Text and Political Strategies of Robert Greenwald and Brave New Film
(2007) menunjukkan pentingnya strategi tekstual dan politik seperti yang dikerjakan oleh
Greenwald dan perusahaan Brave New Film untuk memobilisasi aktivisme akar rumput di
tengah menurunnya partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi yang lebih formal di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Amerika Serikat. Haynes menemukan bahwa, dengan memanfaatkan jalur distribusi film
dokumenter di luar bioskop, Greenwald mampu mengembangkan strategi produksi,
distribusi dan pameran film kepada komunitas-komunitas online di akar rumpur seperti
MoveOn.org untuk memperluas daya tarik publik pada isu-isu yang didokumnetasikan di
dalam film-film sayap kiri. Tujuannya adalah untuk menyatukan dan menggalang audiensi
yang lebih beragam sambil membincangkan tindak lanjut yang akan ditempuh di dalam
aktivisme keadilan sosial yang diusung.
Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh Tanya Noetly dan Alexandra Crosby dalam
Transmedia Activism: Exploring the Possibility in West Papua (2013). Noetly dan Crosby
menggambarkan peran serta aktivisme transmedia di Papua (Papuan Voices dan The
Freedom Frontilla to West Papua) dalam menyampaikan cerita-cerita tentang Papua kepada
publik. Tujuan utamanya adalah menggerakkan massa lintas negara, budaya dan bahasa
untuk sedapat mungkin mengamati dan memahami berbagai bentuk perjuangan orang-orang
Papua yang menuntut hak-hak hidupnya. Menurut mereka, media sosial dan teknologi digital
menjadi ruang dialog baru bagi massa untuk mencari berbagai kemungkinan perjuangan yang
berpihak pada masa depan orang Papua.
Berdasarkan ketiga kajian tersebut, tampak bahwa film dokumenter memang menjadi
pilihan strategis untuk mengorganisir massa dalam memperjuangkan keadilan sosial maupun
ekonomi. Akan tetapi, ketiga kajian tersebut belum menunjukkan secara detail faktor-faktor
ideologis yang menggerakkan sebuah aktivisme maupun kedudukan serta fungsi para sineas
dokumenter sebagai aktor penggerak yang penting dalam melakukan kerja-kerja politik
gerakan sosial. Oleh karena itu, tesis ini berupaya menjawab beberapa elemen penting di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
dalam memahami sebuah logika politik gerakan sosial, di mana PV menjadi objek
materialnya. Secara substansial, aktivisme di pusaran PV perlu dilihat dalam dua aspek
penting, yakni gerakan menggugat terhadap hegemoni opini publik tentang Papua melalui
media-media massa arus utama di satu sisi; dan gerakan merawat Papua di sisi lain sebagai
upaya hegemoni tandingan yang di dalamnya ada proses konstruksi makna dan kesadaran
bagi publik dalam melihat Papua secara lebih utuh. Singkatnya, tesis ini berupaya untuk
melihat model-model hegemoni media-media massa arus utama dalam menarasikan Papua
dan bagaimana PV melakukan hegemoni tandingan terhadapnya; termasuk upaya para
aktivisnya dalam memperjuangkan demokrasi kerakyatan di Papua.
Bertolak dari hasil pengamatan tersebut, tesis ini ingin membahas kiprah PV dengan
menggunakan perangkat analisis yang digagas oleh Antonio Gramsci serta Ernesto Laclau
dan Chantal Mouffe yang berhubungan dengan logika politik gerakan sosial dalam tradisi
Marxis. Ada pun pokok-pokok gagasan yang dipakai sebagai perangkat analisis dalam tesis
ini, antara lain: hegemony dan counter-hegemony milik Gramsci yang dilengkapi dengan
hegemony and socialist strategy milik Laclau-Mouffe. Secara keseluruhan, kajian dalam tesis
ini akan berfokus pada tiga hal penting, yakni: Pertama, peran media massa arus utama dalam
menghegemoni opini publik secara tidak sehat tentang alam dan manusia Papua. Kedua,
antagonisme dan hegemoni tandingan sebagai locus bagi pembentukan PV sebagai blok
historis dan upaya membangkitkan intektual organik di Papua. Ketiga, aktivisme PV yang
berorientasi pada kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan sebagai suatu
bentuk gerakan sosial baru yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan keadilan sosial
bagi alam dan manusia Papua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, kajian ini berupaya mempertanyakan tentang
bagaimana logika politik gerakan budaya beroperasi dalam PV dengan menggunakan film
dokumenter sebagai basis gerakannya. Pertanyaan besar ini kemudian dirincikan ke dalam
tiga pertanyaan operasional sebagai berikut:
1. Faktor-faktor ideologis apa saja yang menjadi latar belakang lahirnya PV?
2. Bagaimana antagonisme dan hegemoni tandingan lahir dan tumbuh di dalam gerakan
budaya yang diusung PV?
3. Sejauh mana para aktivis PV mewujud-nyatakan politik kepemimpinan dalam kaitannya
dengan kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan sebagai sebuah model
gerakan sosial baru?
C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya, kehadiran PV sebagai sebuah gerakan budaya bertolak dari cara
pandang subjektif publik yang timpang tentang Papua serta kondisi sosial historisnya yang
masih jauh dari harapan akan adanya keadilan dan perdamaian di Papua. Karena itu,
berdasarkan rumusan masalah tersebut, tesis ini bertujuan untuk melihat logika politik
gerakan sosial di pusaran PV dalam kaitannya dengan gerakan dua arah: menggugat
ketimpangan, merawat Papua. Menggugat ketimpangan yang dikmasudkan dalam tesis ini
berkaitan dengan aktivitas memproduksi makna baru tentang Papua yang bersifat kontras
dengan kemasan narasi milik media arus utama, di mana orang Papua sendiri ditempatkan
sebagai subjek yang bercerita tentang realitas hidup yang dialaminya. Sedangkan merawat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Papua berkaitan dengan pendidikan politik melalui rupa-rupa aktivisme PV yang melibatkan
orang Papua dan siapa saja yang punya keprihatinan yang besar tentang kondisi sosial-
historis di Papua untuk dapat memahami Papua secara lebih utuh dan berimbang; sekaligus
ikut terlibat dalam mewujudkan harapan dan perjuangan pemenuhan hak-hak hidup orang
Papua. Untuk sampai pada pemahaman yang utuh tentang logika gerakan tersebut, maka tesis
ini akan menguaraikan tiga bagian penting, yaitu: pertama, faktor-faktor ideologis yang
melandasi aktivisme PV. Kedua, bentuk-bentuk antagonisme dan hegemoni tandingan
sebagai locus aktivisme PV. Ketiga, kontestasi makna tentang Papua dan perjuangan
demokrasi kerakyatan sebagai strategi pendidikan politik di dalam aktivisme PV.
D. Manfaat Penulisan
Secara akademis, tesis ini bermanfaat bagi bertambahnya kajian tentang gerakan
sosialberbasis film dokumenter melalui pendekatan Kajian Budaya. Selain itu, secara praksis,
tesis ini akan menjadi bahan evaluasisekaligus referensi tambahan bagi para aktivis PV dalam
menghidupi aktivismenya di Papua. Singkatnya, tesis ini menjadi bagian dari upaya
membangun pendekatan alternatif dalam menalar Papua secara berbeda, yakni berdasarkan
perspektif orang asli Papua yang justru lebih mengenal konteks kehidupan mereka sendiri.
Paling tidak, penyesatan opini publik tentang Papuadapat diminimalisir sambil memikirkan
bagaimana membangun solidaritas demi mendukung transformasi dan perubahan sosial di
Papua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
E. Kajian Pustaka
Sejak kemunculannya pada akhir abad ke-19 melalui karya Robert Flaherty yang
berjudul Nanook of the North (1922), sampai dengan saat ini film dokumenter masih
menyisakan perdebatan panjang tentang fiksi dan non-fiksinya sebuah cerita dalam hal
realitas yang direpresentasikan. Para penikmat film cenderung menilai film dokumenter
sebagai hasil gubahan dan manipulasi para sineas atas realitas yang dinarasikan seperti
kebanyakan film pada umumnya. Meskipun demikian, para pegiat film dokumenter justru
mengklaimnya sebagai usaha merepresentasikan realitas yang sesungguhnya. Sebuah film
dokumenter adalah sebuah narasi tentang realitas hidup yang mengandung klaim kebenaran.
Meskipun punya sisi subjektifdalam menarasikan sebuah film dokumenter, seorang
sineaspatut menyadari dirinya sebagai storytellers yang menjunjung tinggi kebenaran dalam
memotret realitas hidup agar tujuan atau pesan yang hendak disampaikan dapat dipahami dan
ditindak-lanjuti oleh siapa saja yang menjadi target penonton.
Banyak kajian ilmiah yang menggunakan film dokumenter sebagai objek materialnya
telah menunjukkan bahwa aktivisme yang berkaitan dengan film dokumenter adalah jalan
menuju gerakan sosial demi terciptanya perubahan di tengah masyarakat. Dalam Social
Movement Documentary Practices: Digital Storytelling, Social Media and Organizing,
Canella (2017) menunjukkan pentinganya menggunakan strategi komunikasi dan distribusi
para pegiat film dokumenter sebagai bagian dari gerakan sosial. Melalui media sosial, film
dokumenter Black Lives Matter 5280 dan Service Employees International Union, Local 105
in Denver didistribusikan dan dipakai sebagai bahan kampanye untuk memediasi dan
mengorganisir gerakan akar rumput masyarakat lokal dalam memperjuangkan keadilan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
sosial dan ekonomi. Menariknya, kedua film tersebut digunakan sebagai pesan untuk
memerangi kekuatan simbolik (rasisme sistemik) yang menindas kehidupan sosial-ekonomi
dan politik warga kulit hitam di Amerika Serikat. Meskipun demikian, kajian ini tidak
menujukkan secara eksplisit bentuk-bentuk kerja politik para aktor penggerak dalam
mewujudkan pemenuhan hak-hak hidup warga yang terkena dampak rasisme.
Selain itu, John Haynes dalam Documentary as Social Justice Activism: The Text and
Political Strategies of Robert Greenwald and Brave New Film (2007) lebih memberi
penekanan pada strategi tekstual dan politik yang dikerjakan oleh Greenwald dan perusahaan
Brave New Film untuk memobilisasi aktivisme akar rumput di tengah menurunnya
partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi yang lebih formal di Amerika Serikat.
Dengan memanfaatkan jalur distribusi film dokumenter di luar bioskop, Greenwald
mengembangkan strategi produksi, distribusi dan pameran film kepada komunitas-komunitas
online di akar rumpur seperti MoveOn.org untuk memperluas daya tarik publik pada isu-isu
yang didokumentasikan di dalam film-film sayap kiri. Tujuannya adalah untuk menyatukan
dan menggalang audiensi yang lebih beragam sambil membincangkan tindak lanjut yang
akan ditempuh di dalam aktivisme keadilan sosial. Sebagai bagian dari kajian tentang
gerakan sosial, Haynes belum menjabarkan bagaimana pembingkaian (framing) sebuah
realitas diciptakan, peluang politik apa saja yang dihadapi, serta bagaimana proses
mobilisasinya.
Selanjutnya, Noetly dalam Transmedia Activism: Exploring the Possibility in West
Papua (2014), juga masih sebatas mengulas tentang pentingnya transmedia sebagai bagian
dari aktivisme, di mana ia menjadikan Papuan Voices dan The Freedom Frontilla to West
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Papua sebagai objek materialnya. Melalui berbagai platform transmedia, cerita-cerita
tentang Papua yang telah diterjemahkan ke dalam multi-bahasa disampaikan kepada publik
agar dapat diakses oleh masyarakat di tingkat nasional maupun internasional. Ada dua tujuan
yang diusungnya, yaitu: pertama, melawan narasi dominan yang cenderung memberi stigma
buruk kepada orang Papua sebagai bangsa primitif dan separatis. Kedua, mengajak dan
menggerakkan masyarakat global untuk sedapat mungkin memperbincangkan berbagai
pergolakan hidup yang dialami oleh masyarakat Papua dalam menuntut hak-hak hidupnya.
Dengan demikian, publik diberi ruang dialog baru untuk membincangkan berbagai persoalan
yang dihadapi orang Papua, ikut memahami dan merasakan pengalaman mereka, sambil
memikirkan berbagai kemungkinan perjuangan menuju masa depan Papua yang lebih baik.
Meskipun sedikit menyinggung usaha melawan narasi dominan, Noetly tidak secara
eksplisit membeberkan faktor-faktor internal maupun eksternal yang mendorong lahirnya
gerakan tersebut. Selain itu, kajian tersebut juga tidak memberi perhatian pada peran dan
kedudukan para pegiat film dokumenter sebagai kaum intelektual publik dalam mewujudkan
sebuah gerakan sosial; khususnya bagaimana mereka mewujud-nyatakan keja-kerja
politiknya. Patut dicatat bahwa proses produksi dan distribusi film dokumenter adalah
peluang baru untuk menciptakan gerakan sosial berbasis media yang mengarah kepada
berbagai kemungkinan perubahan sosial. Melalui pengorganisasian masyarakat yang
dilakukan oleh para aktivis di tingkat lokal maupun global, gerakan-gerakan tersebut
bertujuan untuk menciptakan pendidikan politik bagi publik di tengah berbagai tantangan
hidup berdemokrasi dan persoalan-persoalan lainnya seperti kemanusiaan dan lingkungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Berkaitan dengan peran kaum intelektual di dalam sebuah aktivisme, Eric R. Wolf
dalam Peasant Wars of the Twentieth Century (1969) menunjukkan bahwa dalam sejarah
pergerakan kaum petani ternyata tidak semuanya dipimpin atau digerakkan oleh orang-orang
yang mempunyai kelas yang sama. Dengan mengambil contoh studi kasus gerakan petani di
Kuba, Cina dan beberapa negara Amerika Latin, Wolf menyatakan bahwa peran kaum
intelektual sebagai charismatic leader yang ada di luar kelompok petani sangat kuat untuk
membangun kesadaran kaum petani yang teralienasi. Menurutnya, proses dominasi terhadap
kelompok petani bersifat dominance symbolic sehingga tidak disadari dan membutuhkan
sumber lain yang tidak tampak dari luar untuk membangun kesadaran kelas, mengorganisir
dan melawan dominasi kelas atas. Akan tetapi, Wolf belum menunjukkan secara lebih rinci
bagaimana peran kaum intelektual dalam membentuk identitas kolektif yang didasarkan pada
hubungan antagonistik, batas politik, dan rantai kesamaan sebagai locus gerakan perlawanan
kelompok petani.
Tesis ini sedianya berpijak pada pengalaman para sineas PV dalam usahanya untuk
menggugat berbagai narasi timpang tentang Papua yang selama ini sering dikonsumsi publik
sebagai kebenaran tunggal serta bagaimana mereka berperan sebagai aktor kunci dalam
membangun gerakan merawat Papua. Secara spesifik, tesis ini berupaya menjelaskan
aktivisme PV ke dalam dua arah gerakan: menggugat ketimpangan (ke arah luar) dan
merawat Papua (ke arah dalam). Di satu sisi, gerakan menggugat ketimpangan tidak terlepas
dari rupa-rupa kemasan narasi tentang Papua di dalam media massa arus utama yang pada
umumnya abai terhadap kondisi sosial-historis Papua yang sebenarnya. Dengan
menghadirkan sejumlah narasi media arus utama sebagai data pendukung, tesis ini dimaksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
untuk menunjukkan model lain dari hegemonisasi opini publik tentang Papua serta
perbandingannya dengan kondisi riil sosial-historis Papua yang menjadi latar belakang
lahirnya PV. Di sisi lain, gerakan merawat Papua berkaitan dengan rupa-rupa aktivitas PV
yang diarahkan pada pendidikan kerakyatan (popular education) demi menjamin lahirnya
subjek-subjek politik yang peka sekaligus kritis terhadap rupa-rupa penindasan yang terus
menggerus martabat kemanusiaan maupun kelestarian lingkungan hidup di Papua.
Tentu saja aktivisme semacam ini tidak terlepas dari peran dan kedudukan para
aktivis PV sebagai intelektual organik dan agen sosial baru yang memperjuangkan nilai-nilai
demokrasi yang berpihak pada kedaulatan rakyat, dan bukan pada kepentingan golongan
tertentu saja. Dalam konteks ini, penggunaan term Papua merujuk pada dua hal pokok, yakni:
masyarakat adat Papua (baca: orang Papua) dan alam Papua yang sering menjadi sasaran
praktik diskriminasi maupun eksploitasi aparatus rezim.
F. Kerangka Teori
1. Dasar Teoretik Gerakan Sosial dalam Tradisi Marxis
Mendiskusikan sebuah kajian tentang gerakan sosial (social movement) yang
berangkat dari tradisi Marxis, tentu tidak terlepas dari beberapa teori yang digagas Karl Marx,
Vladimir Lenin, Antonio Gramsci, serta Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Pada dasarnya,
gagasan yang mereka kemukakan memiliki kesatuan teoretik dan telah menjadi bagian
integral di dalam studi gerakan sosial. Pertama, berkaitan dengan tesis tentang kesadaran
kelas proletar dan tindakan kolektif yang melahirkan teori keluhan (grievance theory).
Menyitir Marx, Tarrow menulis:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
People will engage in collective action, they thought, when their social class comes
into fully developed contradiction with its antagonists. In the case of the proletariat,
this meant when capitalism forced it into large-scale factories, where it lost ownership
of its tools but developed the resources to act collectively.... A form of consciousness
had to be created that would transform economic interests into revolutionary
collective action (Tarrow, 2011:17).
Menurut Marx, kesadaran kolektif kelas proletar akan adanya eksploitasi dari kelas
borjuis yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan kelas di antara keduanya adalah sumber
konflik dan menjadi daya dorong sebuah tindakan kolektif. Dengan kata lain, sebuah tidakan
kolektif pertama-tama dipacu oleh adanya kesadaran kolektif akan adanya alienasi yang
dialami kelas proletar di dalam sistem kapitalisme. Untuk mengubah keadaan yang ada, kelas
proletar harus mampu mengorganisir diri melawan dominasi kelas borjuis. Marx juga
menekankan pentingnya ideologi dalam perjuangan kelas sebagai alat untuk melakukan
perjuangan di tengah kuatnya penanaman kesadaran palsu (false consciousness) yang
dilakukan oleh kelas borjuis (Bottomore, 1979 dalam Prasetijo, 2015: 66). Persis di sinilah
Marx sebenarnya telah meletakan dasar teoretik gerakan sosial yang kemudian menjadi titik
pijak bagi para teoretisi sayap kiri untuk mengeritik sekaligus merumuskan kembali gagsaan-
gagasan tentang gerakan sosial secara baru.
Kedua, pentingnya kepemimpinan dan partai pelopor dalam gerakan revolusi kelas
proletar yang melahirkan teori mobilisasi sumberdaya (resource mobilization theory).
Berbeda dengan Marx yang percaya bahwa kesadaran kelas proletar akan tumbuh dengan
sendirinya akibat tekanan dari kelas borjuis, Leninjustru menekankan pentingnya peran dan
fungsi partai komunis untuk mengorganisir dan menggerakkan revolusikaum proletar. Aspek
kepemimpinan dan partai pelopor adalah penting untuk sebuah upaya revolusi, karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
menurut Lenin, kondisi struktural dan eksploitasi saja tidak cukup untuk membangkitkan
perlawanan kaum tertindas.“...organization was the solution to the collective action problem
of the working class” (Tarrow, 2011: 18). Tesis ini berangkat dari pengalaman revolusi
Bolshevik di Rusia pada tahun 1917, di mana Lenin bersama Partai Komunis Rusia berhasil
mengakhiri keditatoran militer dan Perang Dunia I lalu mendirikan Uni Soviet sebagai
republik sosialis pertama di dunia.
Ketiga, hegemoni budaya sebagai tembok penghalang revolusi serta upaya
melakukan hegemoni tandingan melalui pembentukan blok historis dan penggalangan
intelektual organik. Apa yang digagas oleh Gramsci tersebut melahirkan konsep
pembentukan identitas kolektif (collective identity formation) dan pembangunan kerangka
simbolik atau pembingkaian kultural (cultural framing). Bertolak dari pengamatan atas
revolusi Rusia yang gagal menyebar ke Eropa Barat, dan terutama kuatnya kekuasaan
fasisme di Italia, Gramsci menemukan ada persoalan yang paling mendasar, yaitu lemahnya
kesadaran kelas pekerja di bawah subordinasi dan hegemoni budaya kaum proletar. Berbeda
dengan keyakinan Marxisme klasik yang melihat faktor ekonomi sebagai base-structure
yang menentukan sebuah hubungan sosial, Gramsci justru melihat faktor ekonomi bukan
satu-satunya prasyarat revolusi. Logika ekonomistik hanya menjadi salah satu kondisi di
antara kompleksitas lain, seperti aspek sosial, budaya, ideologi, intelektual, dan moral.
Karena itu, gagasan tentang civil society perlu dipikirkan kembali sebagai weapon of the
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
weak bagi kelompok marginal (Fakih, 2002: 73); sekaligus menjadi ajang kontestasi dan
perjuangan politik (political struggle) merebut hegemoni dan konsensus massa.2
Istilah hegemoni seperti yang dikenal luas sebagai sebuah teori yang digagas oleh
Gramsci sebenarnya telah ada dalam tradisi Marxis, terutama melalui Plekhanov dan para
pengikut Marxisme di Rusia pada tahun 1880-an ketika kaum petani dan kelas pekerja
membentuk aliansi untuk meruntuhkangerakan Tsarisme. Kemudian gagasan tersebut
dikembangkan oleh Lenin sebagai sebuah strategi kelas pekerja untuk menggalang simpati
dan mendapatkan dukungan dari kelompok mayoritas. Meskipun demikian, konsep
hegemoni menurut Plekhanov dan Lenin hanya sebagai strategi mendapatkan dukungan dari
luar kelompok gerakan, dan bukan sebagai alat konseptual untuk membaca secara kritis
bentuk-bentuk penindasan baru di dalam masyarakat (Simon, 2004: 20-21).
Gramsci justru memberi pemahaman yang lebih dari sekedar strategi perjuangan.
Hegemoni menurut Gramsci adalah sebuah konsep untuk memahami masyarakat dengan
tujuan untuk mengubahnya melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Hegemoni juga
bukan merupakan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan
hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni
2Marx melihat civil society sebagai masyarakat yang dicirikan oleh pembagian kerja, sistem pertukaran dan
kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Di dalamnya tercakup kaum borjuis sebagai pemilik alat produksi (property-owners) dan kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi (propertyless). Pembagian tersebut
menyebabkan kaum proletar teralienasi dan terus dieksploitasi oleh kelas borjuis. Gramsci justru melihat civil
society secara berbeda. Ia membedakan civil society (masyarakat sipil) dari political society (masyarakat politik)
untuk menjelaskan proses hegemoni. Masyarakat politik adalah wajah dari negara yang melalui aparatusnya
melaksanakan fungsi koersif, seperti polisi, tentara, dan lembaga hukum, termasuk media massa. Sedangkan
masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi privat seperti gereja, serikat dagang, sekolah, keluarga, dan
organisasi sipil, yang punya pengaruh secara ideologis dalam membangun kesadaran politik dan konsensus
massa yang terhegemoni. Menurut Gramsci, masyarakat sipil merupakan medan perjuangan politik bagi kaum
buruh dalam memperjuangkan hegemoni tandingan melalui pembentukan identitas kolektif yang di dalamnya
ada ideologi baru sebagai wadah dan pengikat berbagai kepentingan kelompok-kelompok marginal (Gramsci,
1971: 12; bdk. Sukmana, 2016: 227).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
adalah suatu organisasi konsensusyang menggunakan pendekatan persuasif untuk
membangun sebuah hubungan persetujuan(Simon, 2004: 19). Akan tetapi, konsensus atau
hubungan persetujuan yang diterima masyarakat pada dasarnya bersifat pasif karena struktur
sosial yang ada bukan dianggap sebagai keinginan mereka sendiri, melainkan karena mereka
kekurangan basis konseptual (kesadaran kritis) untuk memahami realitas sosial secara efektif
(Patria dan Arief, 199: 126-127). Singkatnya, hegemoni adalah sebuah fenomena penindasan,
di mana orang secara spontan menyetujui berbagai bentuk symbolic violencedi dalam sistem
kerja perangkat-perangkat kekuasaan, walaupun tidak terasa sebagai penindasan. Dalam
konteks kajian ini, media massa adalah perangkat kekuasaan yang dipakai negara untuk
menanamkan ideologinya melalui permainan bahasa untuk melanggengkan kekuasaan kaum
borjuis. Itulah alasan kenapa hegemoni yang digagas Gramsci bersifat material dan ideologis
di dalam praktik dan penerapannya.
Berkaitan dengan kekuatan hegemonik kelompok penguasa sebagai tembok
penghalang revolusi kelompok marginal tersebut, Gramsci menemukan celah untuk
melakukan perlawanan berupa hegemoni tandingan. Ia menawarkan dua strategi, yaitu:
pertama,menggalang blok historis sebagai sebuah aliansi atau gabungan dari berbagai
kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Dengan mengeritik gagasan Marxisme klasik
tentang ekonomi sebagai base-structure (struktur bawah) serta politik dan ideologi sebagai
supra-struture (struktur atas) dalam memahami masyarakat sipil, Gramsci sebenarnya
menawarkan pentingnya blok historis sebagai sebuah sintesis dari hubungan antara struktur
bawah dan struktur atas yang dinilai bersifat dialektis. Baginya, ekonomi, politik dan ideologi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
saling berkelindan, karena hubungan politik di dalam masyarakat masuk ke dalam hubungan
produksi.
Dengan kata lain, metafora tentang struktur atas dan struktur bawah
mengimplikasikan bahwa perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi adalah sebab utama
terjadinya perubahan-perubahan dalam ekonomi dan politik. Jadi, konflik antara kelas borjuis
dan kelas proletar tidak semata-mata dipahami sebagai persoalan ekonomis, tetapi
mengandung muatan ideologis dan politis juga. Dalam hubungan produksi ada proses
kehidupan sosial, politik dan intelektual. Karena itu, pembentukan blok historis menjadi
penting untuk menggalang kekuatan-kekuatan sosial yang ada melalui politik kepemimpinan
intelektual dan moral menuju proses perubahan revolusioner (Simon, 2004: 126-127).
Kedua, mendorong bangkitnya kalangan intelektual organikdi dalam masyarakat
untuk melakukan hegemoni tandingan. Gramsci menyodorkan gagasan ini sebagai bentuk
kritik terhadap kelompok intelektual tradisional yang terlanjur melegitimasi diri sendiri
maupun yang diletigimasi oleh otoritas lembaga tertentu sebagai sarjanawan maupun
cendekiawan. Menurut Gramsci, intelektual organik sejatinya adalah orang-orang akar
rumput yang lahir dari situasi keterindasan dan bersuara atas dasar pengalaman
ketertindasannya dengan menggunakan bahasa-bahasa yang dapat dimengerti oleh kelompok
masyarakat dari kalangan sosial yang sama.
Intelektual organik bukan dicirikan oleh aktivitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh
semua orang, melainkan oleh fungsi yang mereka jalankan sebagai organisator dalam semua
lapisan masyarakat di bidang sosial, politik dan budaya; di mana mereka mampu
menghubungkan gagasan abstrak dengan realitas sosialnya. Intelektual organik tidak sekedar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tetapi juga
mampu memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman riil
yang tidak mampu diekspresikan oleh masyarakat. Mereka punya kamampuan merasakan
emosi, semangat dan apa yang dialamai oleh masyarakat. Ia menolak pandangan tradisional
dan vulgar terhadap intelektual yang hanya terdiri dari ahli sastra, filosof, dan kaum elit yang
menganggap dirinya sebagai intelektual sejati. Baginya, intelektual bukan dicirikan oleh
aktivitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang, melainkan oleh fungsi yang
mereka jalankan sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat, politik dan budaya
(Simon, 2004: 141). Singkatnya, Gramsci ingin menegaskan bahwa “semua orang adalah
intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual” (SPN 9).
“The organic intellectual must be able to elaborate their specialist knowledge into
political knowledge, …must actively participate in practical life ‘as constructor,
organizer, “permanent persuader” and not just a simple orator’…. It is the job of the
organic intellectal to know more than the traditional intellectual do: really know, not
just pretend to know… to know deeply and profoundly … - a figure who clearly owes
much to his formative experience with the council movement” (Jones, 2006: 85).
Berdasarkan gagasan-gagasan tersebut, Gramsci mau menunjukkan bahwa
perubahan sosial bukan semata-mata menyangkut kekuatan ekonomi dan fisik, tetapi juga
melibatkan perebutan wilayah kebudayaan dan ideologi sebagai suatu upaya masyarakat sipil
untuk membebaskan diri dari hegemoni budaya kaum borjuis. Dalam hal ini, tugas kaum
intelektual organik adalah membangun nilai budaya sendiri bersama-sama dengan kaum
tertindas dan lapisan intelektual yang berpihak. Sebuah revolusi sosial juga tidak dapat
dilakukan dalam jangka waktu yang singkat atau sekali jadi melalui perebutan kekuasaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
politik, tetapi memerlukan waktu yang panjang dalam suatu bentuk perang posisi untuk
merubah pandangan dan nilai-nilai masyarakat sipil.
2. Gerakan Sosial Baru dalam Perspektif Gramscian
Ditinjau dari sejarah perkembangannya, gerakan sosial baru (new social movement)
muncul sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, terutama di Eropa dan Amerika ketika muncul
gelombang gerakan berskala luas di seputar isu-isu yang berkatakter humanis, kultural dan
non-materialistik. Tujuan yang diperjuangkan secara esensial bersifat universal, yakni
diarahkan untuk memberikan perlindungan dan mempertahankan kondisi kehidupan manusia
ke arah yang lebih baik (Sukmana, 2016: 124). Selain itu, nilai-nilainya juga berpusat pada
otonomi dan identitas yang lahir dari hubungan sosial yang antagonistik. Untuk melandasi
dan menginspirasi gerakan, kedudukan ideologi kelompok gerakan juga sangat berperan
dalam hal menentukan taktik, struktur dan partisipan gerakan (Sukmana, 2016: 120-121).
Berbeda dengan gerakan sosial lama (old social movement), gerakan sosial baru tidak
lagi terjebak pada diskursus ideologi seperti anti-kapitalisme, revolusi kelas, dan perjuangan
kelas semata. Gerakan sosial baru juga tidak tertarik pada gagasan revolusi untuk
menggulingkan sistem pemerintahan tertentu, tetapi memperjuangkan nilai-nilai
kemanusiaan bagi kaum marginal maupun kelestarian lingkungan hidup. Dari segi
pengorganisasian, gerakan sosial baru lebih condong kepada mobilisasi opini publik sebagai
nilai tawar politik di luar model pengorganisasian industri dan kepartaian. Dengan demikian,
basis partisipatornya tidak punya batasan atau sekat sosial tertentu, seperti agama, etnis,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
gender atau buruh, tetapi melintasi dikotomi sosial demi tujuan kemanusiaan yang universal
(Suharko, 2006).
Meskipun demikian, kedua-duanya masih memiliki sedikit kesamaan dalam hal
tujuan, yakni memperjuangkan isu-isu seperti peningkatan upah buruh industri, menentang
ketidak-adilan ekonomi dan eksploitasi kelas. Singkatnya, gerakan sosial baru berwajah lebih
plural dan tidak kaku karena mencakup banyak isu, termasuk kebebasan personal dan
perdamaian dunia. Gerakan sosial baru adalah pantulan cermin dari citra sebuah masyarakat
kontemporer yang ditandai oleh adanya kebutuhan akan sebuah paradigma baru dalam
melihat aksi-aksi kolektif (collective actions). Gerakan sosial baru menjadi sebuah alternatif
gerakan budaya yang didasari oleh kesadaran diri yang baru dari suatu komunitas masyarakat
tentang kondisi sosial tertentu yang sangat berpengaruh pada kelangsungan hidupnya menuju
masa depan (Singh, 2002: 16-17).
Menurut Daniel Hutagalung (2006), Laclau-Mouffe justru melihat gerakan sosial
baru dalam konteks hubungan yang antagonistik dalam masyarakat. Sebagai bentuk
perjuangan demokratik baru (new democratic struggle), gerakan sosial baru harus dipahami
sebagai bentuk perlawanan terhadap bentuk-bentuk penindasan baru yang muncul dalam
masyarakat kapitalisme tahap lanjut (advanced capitalism). Karena itu, ada empat hal yang
harus diketahui berkaitan dengan gerakan sosial baru versi Laclau-Mouffe.
Pertama, setiap agen sosial dalam kelompok gerakan adalah locus bagi multiplisitas
dari relasi-relasi sosial. Jadi, tidak hanya sekedar relasi produksi semata, tetapi juga relasi-
relasi sosial lain, seperti sex, ras, gender, dan lingkungan. Posisi subjek setiap agen sosial
sangat ditentukan oleh hubungan sosial yang mengkonstruksinya. Kedua, dengan menolak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
logika ekonomi sebagai penentu sebuah formasi gerakan, Laclau-Mouffe mengajukan
konsepsi bahwa masyarakat adalah sebuah perangkat yang kompleks karena terdiri dari
berbagai macam hubungan sosial yang bersifat heterogen dan memiliki dinamikanya sendiri.
Karena itu, sebuah formasi sosial merupakan produk dari praktik-praktik artikulasi politik
yang juga memiliki kompleksitasnya sendiri. Ketiga, suatu formasi hegemonik selalu
berpusat di antara hubungan-hubungan sosial tertentu dan menjadi materialisasi dari suatu
praktik artikulasi. Keempat, semua hubungan sosial menjadi locus antagonisme sejauh
hubungan tersebut dikonstruksi sebagai hubungan subordinasi yang menjadi asal-mula
sebuah konflik dan perjuangan. Di dalamnya ada multiplisitas antagonisme, di mana
antagonisme kelas hanyalah satu dari sekian banyak model antagonisme. Jadi, semua format
subordinasi dan gerakan perlawanan tidak dapat direduksi ke dalam satu logika tunggal saja,
seperti ketimpangan ekonomi atau perjuangan kelas, tetapi mencakup banyak aspek dan isu
yang diperjuangkan. Karena itu, aktor-aktor penggerak dalam gerakan sosial baru bukan
sebagai satu-satunya pengganti kelas buruh yang menjadi agen dalam perspektif gerakan
sosial lama, melainkan buruh adalah salah satu agen dari sekian banyak agen penggerak.
Berkaitan dengan kritik dekonstruktif terhadap Marxisme klasik yang masih melihat
hubungan antagonistik dalam masyarakat sebagai kontradiksi yang bermuara pada
pertentangan kelas yang disebabkan oleh satu logika tunggal, yaitu ekonomi; Laclau-Mouffe
menawarkan paradigma yang berbeda untuk memahami gerakan sosial secara baru. Melalui
buku Hegemony and Socialist Strategy: Toward A Radical Democratic Politics (1985),
mereka mengusung gagasan demokrasi plural-radikal sebagai sebuah alternatif untuk
mendiskusikan gerakan sosial di tengahperkembangan masyarakat kapitalis yang semakin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
kompleks. Tujuan utama saya menggunakan gagasan tersebut adalah untuk mengelaborasi
gagasan Gramsci tentang hegemoni, blok historis dan intelektual organik dalam melihat
gerakan budaya PV sebagai bagian dari perjuangan demokrasi kerakyatan (popular
democracy): sebuah model gerakan sosial baru.
Dalam sejarah Marxisme, antagonisme dipakai untuk menggambarkan konfrontasi
tak terdamaikan antar kelas sebagai akibat dari proses produksi yang tidak adil. Dalam
demokrasi plural-radikal, Laclau-Mouffe menempatkan antagonisme dalam konteks
pembentukan identitas kolektif yang hegemonik di dalam sebuah blok historis. Antagonisme
bukan merupakan suatu hubungan objektif, melainkan suatu hubungan, di mana batas-batas
objektivitas menjadi kelihatan; suatu wilayah yang menentukan batasan sebuah identitas
kolekttif dan menjadi pembeda dengan sesuatu di luar dirinya (Laclau-Mouffe, 1985: xiii-
xiv). Singkatnya, antagonisme memainkan peranan penting dalam pembentukan identitas
kolektif dan hegemoni tandingan, karena penciptaan suatu antagonisme sosial meliputi
penciptaan musuh bersama yang menjadi sesuatu yang penting untuk membentuk batas
politik sebuah identitas kolektif (Hutagalung, 2006: 12).
Selanjutnya, Laclau-Mouffe menegaskan bahwa terbentuknya sebuah formasi sosial
yang hegemonik di dalam blok historis tidak terlepasdari seluruh proses pembentukan
identitas kolektif. Identitas tersebut tidak lahir begitu saja secara spontan atau sebagai
konsekuensi dari tekanan ideologi kelas penguasa, tetapi ia lahir sebagai hasil dari kerja
politik kepemimpian intelektual dan moral yang dilakukan oleh aktor-aktor di balik sebuah
gerakan (baca: intelektual organik). Jadi, secara umum hegemoni tandingan dalam
pemahaman Gramsci adalah adalah mengorganisir konsensus; suatu proses yang dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
dengan cara mengkonstruksi kesadaran massa tanpa harus melalui jalan kekerasan atau
koersi. Di dalamnya juga ada upaya menyatukan kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik
untuk membentuk sebuah identitas kolektif, di mana partikularitas kehendak dan tuntutan
dikonstruksi menjadi kehendak dan tuntutan yang bersifat universal (Hutagalung dalam
Laclau-Mouffe, 2008: xxv).
Pembentukan identitas kolektif dalam formasi yang hegemonik didasarkan pada
sebuah totalitas yang merepresentasikan seluruh unsur-unsur pembentuknya, baik secara
kolektif maupun tunggal. Terbentuknya identitas semacam ini bukan bersifat konkret atau
positivitas dari setiap unsurnya, melainkan negativitas untuk menunjukkan batas totalitas
dengan apa yang berada di luarnya. Batas totalitas ditentukan oleh logika persamaan dan
perbedaan di dalam sebuah rangkaian ekuivalen (chain of equivalence) untuk membedakan
dirinya dari totalitas yang berada di luar (Lacalu-Mouffe: 1985: 130). Dari proses tersebut,
terbentuklah batas politis (political frontier) yang berfungsi untuk menentukan unsur-unsur
mana saja yang bisa masuk rangkaian ekuivalensi, dan unsur-unsur mana yang harus
dieksklusikan.
Selain itu, untuk menjadi sebuah formasi hegemonik, blok historis membutuhkan
ideologi sebagai pengikat aktor-aktor penggerak dan membentuk mereka menjadi subjek
politik dalam proses artikulasi. Di antara partikularitas kehendak dan tuntutan yang diusung
masing-masing aktor penggerak dalam sebuah formasi hegemonik, perlu ditemukan titik
temu (nodal point) di dalam rangkaian ekuivalensi (chain of equivalence). Dalam
menentukan titik temu tersebut tidak didasarkan pada identitas konkret seperti buruh, gerakan
lingkungan, atau gerakan perempuan, melainkan berdasarkan penanda kosong (empty
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
signifier) yang dianggap cocok dan mampu mencakup massa yang lebih luas; sekaligus untuk
menyatukan partikularitas keanggotaan secara internal, dan membedakan diri dengan suau
kekuatan lain di luar. Penanda kosong adalah sebuah titik temu di dalam rangkaian ekuivalen.
Ia bukan merepresentasikan suatu kelompok tertentu, juga bukan merepresentasikan
rangkaian ekuivalensi, melainkan pertama-tama merepresentasikan kepenuhan suatu
masyarakat yang masih absen (Sunardi, 2012: 20-23).
Sebagai kesimpulan, Laclau-Mouffe menegaskan bahwa identitas kolektif yang di
dalamnya tercakup elemen-elemen ideologis dan agen-agen sosial tersebut bersifat
contingent dan negotiable. Artinya, terbentuknya sebuah identitas sangat bergantung pada
suatu kondisi sosial tertentu yang memungkinkan sebuah hubungan antagonistik tercipta, dan
praktik-praktik artikulasi dan keagenan politik selalu dimungkinkan (Hutagalung, 2008: xxi).
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa demokrasi dalam konteks perjuangan demokrasi
kerakyatan harus bersifat plural sekaligus radikal.
“Plural dalam arti bahwa dalam suatu ruang politik yang dihasilkan oleh rangkaian
ekuivalensial harus diakui adanya pluralitas, maksudnya ada otonomi pada setiap
unsur. Demokrasi juga harus bersifat radikal dalam arti bahwa kesatuan suatu
masyarakat demokratis sesungguhnya tidak lagi membutuhkan suatu pusat, dengan
demikian bisa terus-menerus dibentuk ulang secara terbatas....kesatuan sosial yang
tidak pernah berhasil menjadi identitas kelompok oleh karena itu harus dibentuk
ulang terus” (Sunardi, 2012: 29).
Secara umum, semua gagasan yang dijabarkan pada bagian ini merupakan perangkat
analisis untuk membaca logika politik gerakan budaya PV. Di dalamnya tercakup lima hal,
yakni: pertama, konsep hegemoni budaya Gramsci dipakai untuk mengulas bagaimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
media-media massa arus utama mengkonstruksi konsensus dan opini publik tentang Papua
di bab kedua. Kedua, melihat PV sebagai sebuah blok sejarah yang di dalamnya ada upaya
pembentukan identitas kolektif dan berbagai peran para aktivisnya sebagai intelektual
organik atau agen sosial baru di bab ketiga. Ketiga, menempatkan kontestasi makna dan
perjuangan demokrasi kerakyatan yang diusung PV ke dalam kerangka pemikiran Laclau-
Mouffe tentang demokrasi plural-radikal di bab keempat.
G. Metode Penelitian
Tesis ini merupakan hasil dari penelitian kualitatif di bidang Kajian Budaya dengan
menggunakan pendekatan lived resistance. Menurut Saukko (2003), pendekatan ini
bertujuan untuk meneliti secara cermat praktik-praktik yang dilakukan oleh kelompok-
kelompok terpinggirkan, baik dari aspek kreatif dalam cara mereka melawan berbagai
struktur penindasan yang bersifat nyata maupun aspek kegagalan dan keberhasilan dengan
merujuk pada dampaknya terhadap realitas. Dalam konteks penelitian ini, saya memilih PV
sebagai objek material untuk melihat kerja-kerja kreatif para aktivisnya yang menggunakan
film dokumenter sebagai media pendukung gerakan perlawanan terhadap hegemoni media-
media massa arus utama maupun bentuk-bentuk kerja politik kepemimpinan yang
mendukung gerakan merawat Papua.
Penelitian berlangsung di kota Jayapura dan kota Sorong pada Juli-Agustus 2019.
Adapun alasan pemilihan kedua wilayah tersebut sebagai locus penelitian karena: (1) kota
Jayapura merupakan pusat Sekretariat Nasional PV. Pilihan ini tentu saja memberi
kemudahan dalam menggali data dari para pengurus nasional dan membantu konektivitas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
dengan para pengurus wilayah yang ada di Kabupaten Jayapura, Keerom, Merauke, Timika,
Wamena, Sorong, Biak, Tambrauw, dan Raja Ampat. (2) kota Sorong merupakan tempat
penyelenggaraan Festival Film Papua (FFP) III yang berlangsung pada 5-9 Agustus 2019, di
mana para sineas PV dari berbagai wilayah turut hadir sehingga memudahkan akses
informasi yang berkaitan dengan aktivitas mereka di wilayahnya masing-masing.
Data-data penelitian yang dipakai dalam tesis ini dibagi ke dalam dua kategori, yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil wawancara berbentuk Semi
Structural Interview (SSI) terhadap dua orang inisiator awal berdirinya PV (Rico Aditjondro
dan Wensislaus Fatubun), tiga badan pengurus nasional PV, serta delapan anggota PV
lainnya. SSI ini dimaksud untuk menggali latar belakang lahirnya PV, bentuk-bentuk
kegiatannya serta prospek atau target yang ingin dicapai, serta pengalaman-pengalaman
sehari-hari mereka sebagai orang Papua dan aktivitas politiknya bersama PV dan masyarakat
adat Papua. Sebagai data pendukung (data sekunder), saya melakukan studi pustaka terhadap
sejumlah dokumen PV berupa profil dan statuta organisasi serta laporan kegitan tahunan dari
tahun 2017-2019 untuk melihat bentuk-bentuk kerja politik yang dihidupi selama ini. Selain
itu, data sekunder dalam tesis ini juga mencakup lima film dokumenter PV yang dianggap
punya sisi kontras jika disandingkan dengan beberapa media massa arus utama berupa media
online, televisi dan film-film layar lebar yang dipilih sesuai kebutuhan penelitian untuk
melihat bentuk-bentuk framing dan hegemonisasi opini publik tentang Papua di dalamnya.
Tujuannya adalah melihat bagaimana Papua dinarasikan dalam dua perspektif yang berbeda
sebagai suatu bentuk kontestasi makna.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Selanjutnya, untuk mengecek keabsahan data, penelitian ini menggunakan teknik
triangulasi; yakni teknik pemeriksaan keabsahan data dengan melihat fenomena dari berbagai
sudut pandang. Sesuai dengan tradisi Kajian Budaya, tesis ini dimulai dengan upaya
mengkaji keterkaitan antara pengalaman yang dihidupi oleh para aktivis PV, wacana (teks)
yang berbicara tentang Papua, dan konteks historis maupun sosial dan politik yang
mengitarinya; termasuk teori-teori yang dipakai sebagai perangkat analisis, untuk dapat
mencerminkan realitas Papua secara berimbang. Teknik ini relevan karena kajian ini
menggunakan validitas dekonstruktif dari perspektif post-strukturalisme. Maksudnya,
mempertimbangkan bahwa tesis ini berupaya membongkar berbagai wacana sosial yang
terlanjur dianggap sebagai “kebenaran”, dibutuhkan data alternatif seperti artikulasi-
artikulasi yang cenderung menempati posisi minor dalam peta pengetahuan dominan.
Pembongkaran tersebut berguna dalam rangka menelanjangi historitas, muatan politis,
binaritas, dan pendepakan terhadap “the others” yang terepresentasi melalui data penelitian.
H. Skema Penulisan
Penulisan tesis ini secara keseluruhan dibagi ke dalam lima bab. Bab I berisi latar
belakang yang mencakup fenomena-fenomenadan beberapa hasil penelitian terdahulu yang
mendorong penelitian ini dibuat, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka dan kerangka teoretis, serta metode penelitian yang dipakai. Bab II mengulas tentang
narasi-narasi timpang tentang Papua yang dikemas oleh media-media arus utama untuk
melihat bentuk-bentuk framing dan hegemoni opini publik secara tidak berimbang di
dalamnya. Bab ini juga dimaksud untuk menunjukkan faktor-faktor ideologis yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
mendorong lahirnya PV. Bab III merupakan penjabaran lebih lanjut tentang PV sebagai
sebuah blok historis untuk melihat bentuk-bentuk antagonisme dan hegemoni tandingan yang
lahir dan tumbuh di dalam gerakan budaya yang diusungnya. Selanjutnya, Bab IV berisi
elaborasi yang berhubungan dengan gerakan menggugat ketimpangan, merawat Papua
melalui kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan sebagai sebuah model
gerakan sosial baru. Bab ini dimaksud untuk melihat bentuk-bentuk kerja politik
kepemimpinan yang dilakukan oleh para aktivis PV serta sejauh mana gerakan tersebut
berdampak pada kehidupan manusia dan alam Papua. Sementara kesimpulan dan
rekomendasi untuk penelitian selanjutnya ditempatkan pada bab V yang merupakan bab
penutup.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
BAB II
PAPUA DAN KONSTRUKSI REALITAS DALAM MEDIA MASSA
A. Pengantar
Pada dasarnya, media massa adalah alat komunikasi massa yang berfungsi
menyalurkan dan menyebarkan pesan secara luas, cepat dan terus-menerus untuk
mempengaruhi audiens dalam beberapa model framing. Selain menjadi corong informasi dan
pengetahuan, media massa juga menjadi perangkat ideologis yang mampu mengkonstruksi
realitas di satu sisi, dan memobilisasi konsensus massa di sisi lain. Jadi, dalam hal ini, media
massa tidak hanya menginformasikan sesuatu, tetapi juga memaknakan sesuatu lewat narasi
tertentu yang dikemas dalam bentuk berita maupun opini. Melalui media massa, berbagai
persepsi, asumsi dan pemahaman subjektif akan tumbuh seturut apa yang didengar dan
dilihat.
Secara umum, bab ini dimaksud untuk melihat faktor-faktor ideologis yang menjadi
latar belakang lahirnya PV dan aktivismenya di Papua. Sebagai pintu masuk menuju seluruh
proses penalaran logika politik gerakan, bab ini diawali dengan ulasan singkat tentang
kondisi sosial-historis Papua serta bagaimana pandangan para aktivis media tentang Papua,
lalu dilengkapi dengan framing dan hegemoni media massa arus utama. Dengan
menggunakan konsep hegemoni budaya yang digagas Gramsci, bagian ini berupaya
mengulas muatan-muatan ideologis yang berhubungan dengan bagaimana realitas Papua
dikonstruksi seturut ideologi penguasa; termasuk kemasan narasi arus utama yang turut
menghegemoni opini publik tentang Papua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
B. Sekilas tentang Papua
1. Manusia dan Alam Papua dalam Fakta
Pengalaman ketertindasan, subordinasi dan marginalisasi maupun eksploitasi
terhadap manusia dan alam Papua sesungguhnya sudah ada sejak lama. Agus Alua dalam
“Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan: Suatu Ikhtiar Kronologis” (2006) mencatat bahwa
situasi ketidakadilan di wilayah paling timur Indonesia itu telah ada sejak zaman kolonial
Belanda (1875-1944). Para kolonial mengklaim dirinya sebagai kelompok ‘kelas pertama’
yang memiliki kuasa dan pengetahuan yang lebih tinggi tingkatannya sehingga bangsa Papua
dipandang sebagai ‘kelas ketiga’ dalam strata sosial dan politik. ‘Keunggulan’ kategorisasi
model kolonial inilah menjadi dasar bagi mereka untuk mengendalikan bangsa Papua dalam
hal apapun. Akibatnya, bangsa Papua menjadi orang-orang terjajah yang teralienasi di atas
tanahnya sendiri.
Di tengah situasi ketidak-adilan dan kesengsaraan tersebut, Harry Kawilarang dalam
“Mengindonesiakan Indonesia” (2011) secara khusus pada volume 8, menjabarkan sejarah
perjuangan Bangsa Papua untuk keluar dari belenggu kolonialisme. Kawilarang
menunjukkan bahwa prioritas perjuangan mereka bukan semata-mata untuk bergabung ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi untuk memperjuangkan
pemenuhan hak-hak hidup masyarakat pribumi. Mereka menuntut agar Belanda segera
mengakui kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka dari penjajahan.
Tak hanya sampai di situ. Pengalaman ketertindasan dan diskriminasi terhadap orang
Papua yang berujung pada pelanggaran terhadap HAM masih terus berlanjut sampai dengan
saat ini. Pada tahun 1960, ada harapan besar untuk memperoleh kedaulatan kemerdekaan
ketika pemerintah kolonial Belanda menyatakan janjinya untuk memberikan hak merdeka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
bagi rakyat Papua. 1 Desember 1961 menjadi tonggak sejarah bangsa Papua. Atas izin
kolonial Belanda, Komite Nasional Papua (KNP) mendeklarasikan ‘kemerdekaan’ Papua
Barat di Hollandia (baca: Jayapura). Bendera Bintang Kejora dikibarkan berdampingan
dengan bendera Belanda sambil menyanyikan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”
bersamaan dengan lagu kebangsaan Belanda.3 Akan tetapi, upaya tersebut dipatahkan oleh
pemerintah Indonesia yang juga berupaya mengintegrasikan wilayah Irian Barat (baca:
Papua) ke dalam NKRI atas nama pembebasan rakyat Papua dari kolonialisme Belanda.
Sebagai solusinya, Indonesia menyeret Belanda ke dalam penandatanganan
Perjanjian New York 1962 karena Presiden Soekarno menganggap keberadaaan negara
“Papua Barat” semata-mata hanyalah negara boneka buatan Belanda. Hasilnya, pada 1 Mei
1963, di bawah Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Irian Barat
untuk sementara diserahkan kepada pemerintah Indonesia sambil menunggu
dilaksanakannya referendum melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969,
dimana rakyat Irian Barat akan memilih untuk bergabung dengan Indonesia atau berdiri
sendiri sebagai negara yang berdaulat. Akan tetapi, harapan rakyat Papua untuk menjadi
negara berdaulat hanya menjadi mimpi indah yang tak kunjung menyata. Meskipun hasil
PEPERA telah menyatakan bahwa Irian Barat adalah bagian integral dari negara Indonesia,
gelombang protes dari rakyat Papua terus dikumandangkan.
3 Pada 1 Desember 1961, teks proklamasi kemerdekaan ‘negara’ Papua Barat tidak dibacakan karena sesuai
janji kolonial Belanda, teks tersebut akan dibacakan pada saat kemerdekaan definitif di akhir tahun 1970 atau
awal 1971 ketika pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan sepenuhnya. Pada saat itu, sebuah konstitusi
yang terdiri dari 129 pasal juga disusun dan diumumkan secara resmi bersamaan dengan dibentuknya 12 partai
politik (Alua, 2006). Sampai dengan saat ini, semua persiapan itu hanya menjadi mimpi yang tak kunjung
menyata. Bagi rakyat Papua, ‘perginya’ kolonial Belanda masih menyisakan janji usang yang akan terus ditagih
sampai mereka benar-benar memperoleh kedaulatan sepenuhnya sebagai bangsa yang merdeka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Bagi rakyat Papua, proses PEPERA yang disepakati atau seharusnya one man one
vote mengandung ketidakadilan dan cacat hukum karena suara-suara penentu tersebut hanya
diambil dari masing-masing perwakilan wilayah yang dalam catatan kritis dinilai adanya
keterlibatan rezim militer Orde Baru yang dengan berbagai cara telah mengintervensi para
perwakilan tersebut agar memilih bergabung ke Indonesia. Pengambilalihan administratif
Indonesia atas Papua menjadi titik pijak perlawanan bersenjata antara rakyat Papua (OPM)
dengan pemerintah Indonesia (aparat keamanan) sampai dengan saat ini. Dalam hal ini,
militerisasi menjadi kunci pemberangusan bangsa Papua yang berujung pada eskalasi konflik
di Papua.
Faktor lain yang menyebabkan tingginya gelombang protes dan mosi tidak percaya
setelah 1969 adalah percepatan imigrasi, investasi berbagai perusahaan asing yang terus
mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah Papua, dan Undang-Undang Otonomi Khusus,
yang hanya menjadikan manusia dan tanah Papua sebagai objek jarahan. Rakyat Papua
kehilangan hak-hak atas hidupnya karena dianggap kalah bersaing di hadapan para migran
sehingga mereka tersingkir lalu menjadi asing di atas tanahnya sendiri. Mereka tidak lagi
ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang memiliki hak untuk menetukan nasibnya
sendiri, tetapi hanya menjadi objek pembangunan yang multak perlu untuk diberdayakan
dengan dalih pemerataan pembangunan maupun NKRI harga mati.
Sekretariat Keadilan, Pardamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC
FP) melalui buku serial Memoria Passionis (MP) selalu konsisten mengekspos beragam
peristiwa dan fakta hak-hak asasi manusia di Papua. Sejak 1998 dengan berpedoman pada
hasil investigasi dan laporan tim maupun mitra kerja serta beberapa informasi dari media
massa yang terverifikasi, MP hadir dengan memberi sejumlah catatan analisa dan refleksi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
serta tawaran solusi atas berbagai persoalan yang terjadi di Papua. Selain MP, media-media
lain seperti suarapapua.com, tabloidjubi.com, dan media-media massa lokal lainnya
termasuk PV, juga turut berkontribusi dan saling melengkapi dalam hal menyuarakan
kebenaran, keadilan, perdamaian dan keselamatan yang berpihak pada masa depan alam dan
manusia Papua.
Melalui media-media tersebut, publik disuguhkan berbagai persoalan yang terjadi di
Papua, seperti: politik, pendidikan, kesehatan, lingkungan, diskriminasi, militerisme dan
berbagai ketimpangan sosial lainnya. Apapun bentuknya, persoalan Papua selalu berujung
pada pengabaian atas hak-hak hidup masyarakat adat Papua. Perjuangan untuk mendapatkan
kebenaran, keadilan, perdamaian dan bahkan kebebasan berekspresi di Papua selalu
menyisakan tragedi yang berkepanjangan. Ruang demokrasi dibungkam, praktik-praktik
represif terus dilanggengkan, dan manusia Papua beserta alamnya selalu menjadi ladang
perebutan kekuasaan maupun pencarian prestise. Dengan kata lain, media-media lokal di
Papua adalah representasi counter-narasi yang berupaya menyuguhkan sisi gelap Papua
secara benar dan berimbang di tengah dominasi narasi-narasi lain tentang Papua yang
kadangkala menafikan fakta yang sesungguhnya.
2. Papua di Mata Aktivis Media
Merujuk pada pengalaman ketidak-adilan yang dielaborasi dengan pengetahuan yang
diperoleh dari berbagai kajian tentang Papua dalam fakta, para aktivis media melihat Papua
secara berbeda dari perspektif ‘orang Papua bicara’. Bagi mereka, wajah Papua hari ini
adalah hasil konstruksi dan konspirasi para elit politik di tingkat global maupun pusat dan
daerah. Papua telah digenggam dan dikendalikan oleh mereka yang disebut sebagai pemilik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
kuasa dan modal. Sedangkan rakyat beserta segala aspirasinya yang dipandang ‘terbelakang’
dan separatis hanya menjadi objek pelengkap yang turut melegitimasi eksistensi dan praktik
menguasai dengan dalih: Papua butuh pemberadaban dan penertiban.
Dalam pandangan Aprila Wayar, seorang jurnalis dan novelis Papua, sebelum zaman
kolonial, orang Papua hidup secara komunal. Hal ini ditandai oleh aspek kekerabatan yang
masih sangat kuat di dalam kelompok-kelompok suku yang ada di Papua. Untuk
mempertahankan hidupnya, mereka selalu mengandalkan alam sebagai sumber sandang,
pangan dan papan. Pola hidup seperti itu masih melekat erat sampai dengan saat ini, dan
menjadi suatu peradaban tersendiri yang unik. Papua adalah Papua. Ia tidak bisa dibanding-
bandingkan atau harus disamaratakan dalam hal apapun dengan kelompok masyarakat di
daerah lain. Lebih jauh, Wayar menegaskan bahwa pergeseran dan peralihan peradaban yang
terjadi di Papua adalah akibat lanjutan dari kehadiran orang luar sejak zaman kolonial,
termasuk gelombang migrasi yang terus membanjiri Papua sampai dengan saat ini. Di bawah
panji pemberadaban dan pemerataan pembangunan bagi daerah-daerah tertinggal, orang
Papua digiring untuk mengenal dan mengakui model-model peradaban baru yang dinilai
lebih beradab dan moderen. Akibatnya, orang Papua mengalami loncatan budaya tanpa
melalui tahap-tahap persiapan menyambut perubahan.
Persis dalam kondisi inilah mereka rentan ditipu dan dibungkam. Atau dalam bahasa
Louis Althusser, mereka diinterpelasi4 menjadi subjek ideal seturut ideologi penguasa yang
4 Louis Althusser dalam Lenin and Philosophy and Other Essay (1971: 127-187), menjelaskan bahwa dalam
kerangka kerja formasi sosial, tatanan dan relasi sosial di dalam masyarakat perlu dibentuk dengan cara
menanamkan ideologi pada setiap individu. Dalam hal ini, aparatus negara yang ideologis (ISA) dan maupun
yang represif (RSA) menjadi alat negara untuk membius masyarakat. Melalui agama, pendidikan, hukum,
politik, komunikasi (media), dan budaya (seni); termasuk pendekatan keamanan (militrisme), masyarakat
digiring untuk menerima dan membenarkan semua praktik yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
terus dicekoki melalui perangkat ISA ((Ideological State Apparatuses) dan RSA (Repressive
State Apparatuses). Papua dilihat seperti kaum yang tak mampu memberadabkan dirinya
sendiri sehingga negara bersama seluruh perangkatnya perlu hadir untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Dengan demikian, tak pelak lagi, praktik menguasai Papua menjadi semakin
hegemonik dalam rangka pembentukan model masyarakat seturut cita-cita elit politik
(pemilik modal dan kekuasaan).
Di sisi yang lain, menurut Bernard Koten, Papua hari ini dilihat sebagai pusat
gravitasi baru; tempat para elit menanam serta menuai modal dan kekuasaan. Papua punya
daya tarik tersendiri dan menjadi ‘lubang hitam’; tempat kolonialisme model baru tumbuh
dan merebak luas. Terlepas dari dikotomi pemahaman publik tentang kolonialisme maupun
neokolonialisme, para aktivis media yang tergabung dalam PV melihat Papua sebagai
wilayah yang masih ditempatkan sebagai koloni bagi para penjajah berwajah baru yang
memboyong semangat korporatisme. Dengan kekuatan hukum dan berbagai model peraturan
perundang-undangan, manusia dan alam Papua dibuat tunduk dan turut mengamini berbagai
model hegemoni kaum elit. Bagi mereka yang patuh dan tunduk pada model penjajahan ini
akan selamat walaupun hidup sebagai orang-orang terjajah. Sedangkan bagi mereka yang
menolaknya atau menghambat dan melawan balik akan mendekap di balik jeruji besi; bahkan
harus kehilangan nyawa tanpa melalui proses hukum yang adil dan beradab.
Bagi mereka, di masa penjajahan baru ini, Papua menjadi wilayah perluasan koloni
dan para penghuninya terus ditindas dalam kesengsaraan dan penderitaan yang tiada
berujung. Meskipun gaya menjajahnya tampak samar-samar karena berlangsung secara
terhadapnya. Proses inilah yang disebut sebagai upaya negara menginterpelasi rakyatnya agar menjadi subjek
konkret (citra ideal) seturut cita-cita negara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
lembut dan persuasif; unsur pemaksaan sistem, pandangan, dan tawaran produk yang tampak
baik-baik saja telah berhasil menggiring orang Papua menuju ambang kehancuran. Kekayaan
alam dijarah, manusianya diperalat dan dibungkan lalu menjadi orang asing di atas negerinya
sendiri. Sebagai misal, tawaran Otonomi Khusus (OTSUS), Unit Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), pemekaran wilayah, dan berbagai program
pembangunan lainnya di Papua adalah praktik-praktik hegemoni penjajah baru bernama
Indonesia. Tak pelak lagi, model-model interpelasi tersebut bertujuan untuk menguasai
sekaligus meredam protes dan isu separatisme yang senantiasa memekikkan “Freedom for
West Papua”.
Untuk mengelabui adanya pelanggaran terhadap hak-hak hidup masyarakat adat
Papua di tengah proyek pembangunan, para pemilik hak ulayat yang tanahnya dicaplok
menjadi wilayah perusahaan tambang maupun perkebunan kelapa sawit dan jalan trans Papua
diberi perhatian khusus. Misalnya, mereka diberi dana bantuan untuk membangun rumah
yang bertembok semen dan beratap seng; atau beasiswa pendidikan bagi anak-anak Papua.
Selain itu, pembangunan berbagai jenis infrastruktur pun direalisasikan, seperi jalan raya
beraspal, bandara udara berskala internasional, pelabuhan laut, gedung gereja dan sekolah
yang megah, tokoh dan supermarket, serta berbagai simbol modernitas lainnya. Pola-pola
seperti ini selalu dipakai untuk merebut simpati publik, sekaligus sebagai bukti bahwa
Indonesia punya komitmen yang berfaedah bagi masa depan Papua.
Sebagai perpanjangan tangan kekuasaan, elit-elit lokal Papua diperalat menjadi
pengelolahnya. Iming-iming jabatan bersama gaji dan ‘uang pelicin’ yang menggiurkan
naluri kenikmatan menjadi kunci hegemoni pada tataran lain di tingkat dasar. Meminjam
istilah ‘deep colonialism’ milik Lorenzo Veranici (Lihat Young: 2016), apa yang telah dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang berafiliasi dengan para elit lokal Papua
turut menegakkan penindasan dan marginalisasi terhadap orang Papua. Dengan bahasa lain,
praktik politik terselubung yang dibangun atas dasar korporatisme selama ini turut
memberangus masa depan alam dan manusia Papua serta terus menambah eskalasi konflik
dan palanggaran HAM di Papua.
Celakanya, berbagai bukti kejanggalan maupun kejahatan yang terjadi di Papua
selama ini justru diekspos media massa arus utama (termasuk media-media siluman yang
mendompleng nama-nama media massa lokal) sebagai bentuk perhatian dan keberhasilan
pemerintah Indonesia membangun Papua maupun menjaga keutuhan NKRI. Rekaman fakta
lapangan, di mana terjadi eksploitasi alam atau penindasan dan pembunuhan terhadap
manusia Papua luput dari perhatian media-media tersebut. Alasan jarak dan medan peliputan
yang sulit di Papua, juga larangan bagi jurnalis asing untuk meliput di Papua menjadi peluang
lain bagi para elit dan elemen-elemen pendukungnya untuk bermain isu di dalam berita
maupun opini yang berbicara tentang Papua. Setiap kali ada kelompok masyarakat yang
melawan penindasan dan menuntuk hak-hak hidupnya, mereka justru dijadikan pelaku
antagonis yang dianggap menghambat pembangunan serta mengganggu keutuhan NKRI.
Karena itu, sebagai hasil konstruksi media, narasi apapun tentang Papua yang disuguhkan ke
publik perlu dipertanyakan kebenaran faktualnya.
Secara singkat, framing media massa selama ini bersifat timpang karena
mengabaikan kondisi sosial-historis orang Papua, di mana ada duka dan kecemasan, air mata,
pergolakan, resistensi dan harapan akan masa depan yang lebih berkeadilan. Dengan
melenyapkan kompleksitas persoalan yang ada di Papua, media massa justru menciptakan
informasi dan pengetahuan publik tentang Papua yang diskriminatif, kolonialistik dan tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
manusiawi. Seperti kata Suryawan (2011), Indonesia menempatkan orang Papua sebagai
bangsa yang tidak mempunyai kebudayaan; atau kalau pun punya, derajatnya lebih rendah
daripada kebudayaan Indonesia. Resistensi orang Papua yang memperjuangkan hak-hak
hidupnya adalah perjuangan tanpa rekognisi. Malahan aktivitas semacam itu dianggap
berpotensi menimbulkan konflik yang memecah-belah NKRI. Tidak banyak kebenaran yang
dinarasikan oleh media-media nasional, terutama media yang hidup di dalam genggaman
kaum elit. Narasi-narasinya hanya berkutat pada keutamaan dalam hal pencitraan yang
menggambarkan berbagai keberhasilan pemerintah membangun Papua. Ini adalah fakta
yang tak dapat dipungkiri bahwa media massa turut memberi andil dalam menyesatkan opini
publik tentang Papua.
Membenarkan pandangan tersebut, Aprila Wayar dalam sebuah forum diskusi buku
“Papua Bukan Tanah Kosong” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-
Hak Asasi Manusia (Pusdema) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta pada 28 Februari
2020, mengungkapkan dua temuan fakta tentang Papua. Pertama, dari sudut pandang
jurnalis, Wayar menegaskan bahwa media-media massa tertentu yang ada di Jakarta secara
sengaja menciptakan framing pemberitaan yang menyesatkan mind-set dan opini publik
tentang Papua. Menurut Wayar, hal ini telah berlangsung selama puluhan tahun tanpa
disadari dan ditanggapi secara kritis. Kedua, dari sudut pandang sastra, ia berkisah tentang
proses dan pola penindasan yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetraloginya
adalah sama persis dengan apa yang dilakukan Indonesia terhadap bangsa Papua hari ini.
Menurutnya, Papua saat ini sulit melalukan gebrakan secara massif karena selalu berada di
bawah tekanan. Papua butuh para pegiat kemanusiaan yang secara konsisten mendampingi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
mereka dalam menyuarakan kebenaran, keadilan, perdamaian dan keselamatan yang
berpihak pada masa depan alam dan manusia Papua.
C. Framing dan Hegemoni Media Massa tentang Papua
1. Bagaimana Media Nasional Menarasikan Papua?
Ketika kita menyimak secara jeli dan kritis atas suatu konten berita maupun opini
yang disuguhkan media massa, sering dengan mudah ditemukan adanya unsur pelintiran isu
maupun gagasan di dalamnya. Ada semacam kesengajaan menciptakan opini publik yang
tidak sehat terhadap suatu peristiwa yang diekspos. Tidak ada kandungan kebenaran yang
utuh atas sebuah peristiwa dan cenderung bias kepentingan. Atau dengan kata lain, konten
yang disuguhkan adalah bagian dari upaya memelintir dan mengkonstruksi realitas seturut
cita-cita penguasa negeri. Hal ini dapat kita temui melalui cara membandingkan konten
tersebut dengan hasil survei, pengalaman hidup masyarakat yang mengalami peristiwa
tersebut maupun tanggapan dan komentar publik atas cara penyajian informasi yang tidak
relevan dengan fakta lapangan. Jika ditinjau dari model konstruksinya, media massa tertentu
sering menekankan sisi negatif dari sebuah peristiwa atau sekedar mengagung-agungkan
peristiwa lain yang faktanya tidak dapat diterima sebagai suatu bentuk keberpihakan pada
kebenaran.
Untuk memberikan contoh, pada bagian ini, saya akan menunjukkan sejumlah media
online yang mengekspos beberapa topik utama tentang Papua, seperti Otonomi Khusus
(OTSUS), investasi dan pembangunan, militerisme, serta isu separatisme. Tentu saja masih
banyak konten media online yang mengulas tentang Papua, tetapi saya hanya memilih empat
tema dari lima media yang relevan dengan kajian ini; khususnya yang terkait dengan upaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
framing pemberitaan yang cenderung bias fakta dan lebih menekankan citra baik Pemerintah
di mata rakyatnya daripada menguak fakta lapangan.
Pertama, framing pemberitaan tentang dana OTSUS sebagai afirmative acion untuk
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi orang Papua. Pada 30 Juni 2018, misalnya,
Media TEMPO.CO melansir sebuah berita bertajuk “Dana Otsus Mampu Tingkatkan
Kesejahteraan Masyarakat Papua”.5 Secara garis besar; tanpa menyodorkan bagaimana
tanggapan orang Papua terhadap OTSUS, berita tersebut hanya berisi pernyataan-pernyataan
prestisius para pemangku jabatan. “Kucuran dana OTSUS yang digelontorkan sejak 2002
terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan mengurangi
kesenjangan antara Provinsi Papua dengan provinsi lainnya. Hal ini tentu tidak terlepas dari
keberhasilan pemerintah daerah memanfaatkan anggaran dengan benar”, ungkap Yusharto,
Direktur Penataan Daerah Otonomi Khusus Kementerian Dalam Negeri.
Sebagai upaya membenarkan pernyataan tersebut, dicantumkan juga beberapa klaim
tentang implementasi dana OTSUS, yang dilontarkan oleh Kepala Bagian Sumber Daya
Manusia Biro Otonomi Khusus Provinsi Papua, Anthony Mirin. Dikisahkan bahwa selama
pelaksanaan OTSUS, penggunaan dana mendapatkan hasil yang sesuai harapan. Semua dana
digunakan untuk beasiswa pendidikan, pengadaan fasilitas pendidikan dan kesehatan,
akselerasi kegiatan pertanian, serta pembangunan rumah rakyat. Meskipun masih terdapat
kekurangan dalam aspek kebijakan maupun implementasinya, Tim Evaluasi Dana OTSUS
Papua Kementerina Dalam Negeri mencatat bahwa masyarakat Papua telah merasakan
manfaat dana OTSUS.
5 Lihat https://nasional.tempo.co/read/1102251/dana-otsus-mampu-tingkatkan-kesejahteraan-masyarakat-
papua Diakses pada16 Mei 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Kedua, investasi dan pembangunan adalah bagian dari cipta lapangan kerja dan
pertumbuhan ekonomi kerakyatan. Salah satu kebijakan yang diusung oleh pemerintahan
Joko Widodo adalah mengembangkan dan membangun infrasturktur serta investasi demi
meningkatkan ekonomi lokal dan taraf hidup masyarakat di seluruh Indonesia. Seperti sebuah
konten berita yang diterbitkan oleh REPUBLIKA.CO.ID pada 4 Mei 2017, Pemerintah
Provinsi Papua sebagai perpanjangan tangan para elit, berkomitmen untuk melakukan
pembenahan birokrasi demi menciptakan iklim yang kondusif bagi penanaman modal dalam
negeri maupun asing untuk berinvestasi di Papua.
Di bawah tajuk “Tingkatkan Investasi, Papua Terus Lakukan Pembenahan
Birokrasi”6, konten ini memuat sejumlah pernyataan pejabat lokal; dalam hal ini Gubernur
Papua, Lukas Enembe, yang berupaya memberi keyakinan kepada publik bahwa kegiatan
investasi diarahkan pada keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat.
Menurut Enembe, selain memihak pada kepentingan masyarakat, investasi juga menjadi
peluang transformasi teknologi dan kemampuan manajerial yang dapat membangun jiwa
kewirausahaan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat adat Papua dapat mengolah tanah,
hutan dan seluruh kekayaan alamnya secara mandiri demi kesejahteraan keluarga dan
eksistensinya sebagai tuan rumah di atas tanahnya sendiri.
Masih dalam kerangka kerja investasi dan pembangunan, Luhut Panjaitan, Menteri
Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menawarkan program investasi hijau di
Papua. CNNINDONESIA.COM pada 28 Februari 2020 melaporkan bahwa tawaran program
6 Lihat https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/05/04/opfk5l349-tingkatkan-investasi-papua-
terus-lakukan-pembenahan-birokrasi Diakses pada 26 Mei 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
investasi hijau yang ditawarkan Luhut kepada 24 perusahaan bertujuan untuk menjaga
kelestarian hutan Papua, dan mendorong perekonomian rakyat, di mana dampaknya langsung
dinikmati rakyat kecil sebagai pengelolahnya.
Untuk meyakinkan publik, konten berita ini juga menyertakan pernyataan pendukung
lainnya, seperti yang dilontarkan Direktur Program Yayasan Inisiatif Dagang Hijau, Zakki
Hakim berikut ini: “Investasi hijau merupakan konsep investasi ramah lingkungan yang
sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Harapannya, selain menjadi alternatif
penghasilan rakyat usai moratorium lahan sawit, investasi ini juga memberikan dampak
ekonomi secara langsung kepada 60.000 keluarga di Papua dan Papua Barat. Para petani juga
akan mendapatkan pemberdayaan dan peningkatan kapasitas, penguatan lembaga, koperasi,
dan UMKM, serta pelatihan budidaya pertanian.”7
Ketiga, militerisme sebagai pendekatan keamanan di balik praktik pembangunan dan
isu separatisme. Sejak wilayah Papua dipaksakan untuk terintegrasi (baca: aneksasi) ke
dalam NKRI, sampai hari ini militerisme selalu menjadi opsi utama pemerintah Indonesia
menaklukkan Papua. Seperti suatu proyek heroisme, aparat keamanan (TNI/POLRI) yang
diterjunkan ke Papua selalu ditampilkan media massa nasional sebagai tangan kanan
pemerintah yang punya jasa besar dalam melaksanakan tugas kenegaraan. Mulai dari upaya
pendekatan dan negosiasi sampai pada pelaksanaan proyek pembangunan maupun
pembasmian separatisme, aparat keamanan adalah ‘hero’ yang siap mati demi negaranya.
7 Lihat https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200227205824-92-478931/luhut-tawarkan-investasi-
hijau-di-papua-kepada-24-perusahaan. Diakses pada 26 Mei 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
MEDIAINDONESIA.COM yang menerbitkan sebuah konten berita bertajuk
“Membasmi Separatisme”8 pada 6 Desember 2018 adalah salah satu contoh bagaimana
media massa nasional turut serta mereproduksi proyek heroisme aparat keamanan di Papua.
Secara garis besar, media ini secara terang-terangan memberi stigma buruk kepada kelompok
gerakan yang dikenal luas dengan nama Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang separatis. Dengan mengusung kasus Nduga
pada 2 Desember 2018, berita ini hanya memberi penekanan pada kejatahan yang dilakukan
oleh kelompok Egianus Kogoya sebagai aksi teroris yang tidak beradab dan telah melakukan
pelanggaran HAM yang sanagat serius. Alasannya adalah mereka telah membunuh sejumlah
pekerja jalan Trans Papua beserta beberapa korban lainnya dari pihak TNI.
Untuk membenarkan tajuk tersebut, berita ini diawali dengan sejumlah pernyataan
yang bertujuan untuk meyakinkan publik bahwa pembasmian separatisme adalah bagian dari
perintah suci konstitusi dan atas nama kedaultan negara dan bangsa. Militerisme adalah
sebuah tindakan yang tepat sasaran demi menjaga stabilitas nasional dan kondusivitas dalam
negeri. Dan celakanya, berita ini diakhiri dengan sebuah kesimpulan yang tidak masuk akal:
separatisme adalah bukti paling nyata bahwa kehausan akan keadilan dan kemakmuran yang
dialami orang Papua tidak bisa dibungkam dengan pendekatan militer. Ia hanya bisa
dibungkam dengan pendekatan kesejahteraan seperti pembangunan yang selama ini
digencarkan oleh pemerintah Indonesia untuk memakmurkan orang Papua.
8 Lihat https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1552-membasmi-separatisme. Diakses pada 27
Mei 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Selain itu, KOMPAS TV pada 24 Agustus 20189 melalui program Sapa Indonesia
Siang, menyangkan hal serupa: heroisme militer di balik pengerjaan proyek Trans-Papua.
melalui kekuatan audio-visual, media ini menggambarkan kegigihan mereka menghadapi
tantangan membangun Papua. Mereka seperti orang-orang tangguh yang berani
menyeberangi kali, menembus rimba, dan membelah bebukitan sembari menghadang KKB
demi menunjang keberlangsungan proyek pemerintah membangun Papua.
Di akhir narasinya, diselipkan gambar-gambar teduh yang mau menunjukkan
kebaikan aparat karena membagi pakaian dan makanan (beras dan indo mie) kepada warga
setempat, serta bagaimana keberhasilan mereka menjalin keakraban dengan orang Papua.
Sedangkan secara faktual, sesungguhnya aparat keamanan adalah momok bagi orang Papua.
Dengan merujuk pada banyaknya kasus pelanggaran HAM di Papua, aparat keamanan
(TNI/POLRI) di mata orang Papua adalah sosok yang menakutkan sekaligus paling dibenci;
meskipun belum banyak kasus yang terkuak karena kendala prosedur hukum yang tumpang
tindih.
Berdasarkan berbagai model framing pemberitaan tersebut; entah bagaimana proses
peliputan dan editorialnya; bagi saya, media massa nasional telah gagal menarasikan
kebenaran. Narasi yang dibangun oleh setiap media adalah bagian dari upaya pencitraan
terhadap pemerintah yang dianggap berhasil dalam proyek pembangunan; atau melegitimasi
berbagai asumsi bahwa Papua benar-benar membutuhkan pembangunan seturut visi dan misi
NKRI. Di samping itu, publik digiring untuk mengakui adanya kebenaran di dalam setiap
narasi yang dibangun media massa; bahwa berbagai model wacana dan praktik pembangunan
9 Lihat https://www.youtube.com/watch?v=ilKlkT06FJs. Diakses pada 28 Mei 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
yang dilakukan pemerintah adalah benar-benar menciptakan keadilan dan menyejahterakan
orang Papua. Inilah cara media massa memobilisasi rasa kagum publik terhadap pemerintah;
sekaligus membuyarkan berbagai model gugatan kritis dari kalangan penentang pemerintah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa framing media massa yang hegemonik tersebut
turut membungkam dirinya sendiri dalam hal etos kerja jurnalisme.
Model penyesatan opini publik tentang Papua pun terjadi melalui propaganda media-
media siluman. Berdasarkan hasil penelusuran media Tirto dan Tabloid Jubi10, ditemukan
ada sekitar 18 media siluman yang menyebarkan hoax tentang Papua. Media-media tersebut,
antara lain: kitorangpapuanews.com, papuanews.id, westpapuaupdate.com,
westpapuaterrace.com, onwestpapua.com, freewestpapua.co, freewestpapua.co.nz,
westpapuaarchive.com, cenderawasih-pos.com, tabluidjubi.online.com, harianpapua.com,
kabarpapua.net, freewestpapua-indonesia.com, papuatoday.id, detikpapua.online,
papuainframe.co.id, papuamaju.com, kabarpapua.online. Semua media tersebut tidak
memiliki kejelasan dalam hal susunan redaksi, alamat kantor dan nomor kontak,
menyertakan nama jurnalis dan narasumber fiktif di dalamnya, serta mendompleng nama
beberapa media arus utama di Papua, seperti Cenderawasih Pos (Cepos), jubi.co.id dan
kabarpapua.co.
Framing pemberitaannya pun selalu condong ke politik pencitraan, stigmatisasi
terhadap orang Papua dan abai terhadap persoalan-persoalan substansial yang terjadi di
Papua. Contohnya, di Papua tidak ada pelanggaran HAM, pemerintah Indonesia selalu
10 Lihat https://jubi.co.id/hati-hati-netizen-kini-ada-18-media-siluman-di-papua/, dan https://tirto.id/media-
siluman-di-papua-propaganda-hoaks-hingga-narasumber-fiktif-da5B
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
melakukan hal-hal baik di Papua, tentara dan polisi di Papua melakukan tugasnya dengan
baik, masyarakat Papua hidup aman, damai dana baik-baik saja, kelompok masyarakat yang
pro-kemerdekaan Papua adalah kriminal dan separatis, serta memperlihatkan campur tangan
negara lain dalam menangani persoalan-persoalan Papua sebagai upaya menjajah Papua.
Hadirnya sederetan situs siluman tersebut justru mengaburkan atau bahkan meruntuhkan
klaim-klaim kebenaran yang biasa diekspos media-media lokal arus utama yang ada di
Papua. Dan tentu saja hal ini berdampak juga bagi disposisi opini publik dalam menalar
Papua, atau malah menaruh rasa percaya pada pembohongan massal karena hilangnya
kesadaran kritis.
Tak hanya itu saja. Media film pun punya cara tersendiri dalam memanipulasi isu-
isu tentang Papua. Melalui film, penonton digiring kepada beragam persepsi dan pengakuan
terhadap sejumlah kejanggalan yang terepresentasi secara audio dan visual sebagai bagian
dari kebenaran. Untuk mengetahui bagaimana media film juga turut meemberi framing yang
timpang, maka pada sub bab selanjutnya akan ditelisik sejumlah film layar lebar yang punya
tema dan latar tentang Papua.
2. Representasi Papua di Dalam Media Film
Mengingat film juga menjadi bagian dari media yang berpotensi membentuk persepsi
maupun opini penonton, maka pada bagian ini saya akan meninjau tiga film layar lebar yang
bertema dan berlatar Papua untuk menunjukkan bahwa ketimpangan nalar dalam melihat
Papua juga di(re)produksi di dalam narasi-narasi lain berbentuk film. Adapun film-film yang
ditinjau dalam kajian ini, antara lain: Denias: Senandung di Atas Awan (2006), Lost in Papua
(2011), dan Di Timur Matahari (2012).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Pertama, Denias: Senandung di Atas Awan. Sejak dirilis pada 2006 film yang
disutradarai oleh John de Rantau ini berhasil menarik perhatian publik karena mengisahkan
perjuangan anak-anak pedalaman Papua yang punya semangat belajar yang tinggi untuk
mengejar cita-citanya di tengah segala keterbatasan sarana prasarana pendidikan maupun
ketidak-mampuan ekonomi keluarga dalam mendukung pendidikan anak-anak pedalaman.
Meskipun diangkat berdasarkan kisah nyata, film ini justru jatuh pada framing yang timpang
tentang anak-anak Papua yang diperankan oleh Denias dan kawan-kawannya. Mereka
diperlihatkan sebagai anak-anak nakal yang suka ‘adu jotos’ sehingga perlu dibina dan
dididik secara keras agar bisa menjadi pribadi yang sukses di kemudian hari. Payahnya,
proses pendidikan dan pembinaan untuk anak-anak Papua bukan dilakukan oleh orang-orang
Papua sendiri, tetapi oleh seorang anggota TNI Angkatan Darat (Maleo) dan seorang guru
yang berasal dari Jawa; seolah-olah orang Papua tidak punya kapasitas dalam menunjang
pendidikan bagi anak-anak pedalaman Papua. Hal ini dipertegas oleh sebuah scene yang
menampilkan komentar seorang kepala suku yang menyatakan bahwa pendidikan adalah
kewajiban anak Jawa, bukan untuk diterapkan di Papua.
Berbagai angle yang diperlihatkan dalam film ini juga cederung memberi stigma
buruk terhadap Papua yang secara visual memperlihatkan masih adanya kehidupan yang
miskin dan terbelakang. Contohnya, Maleo memberi sebuah baju kaos miliknya kepada
Denias karena baju yang dikenakannya telah dimakan api; stigma bodoh karena salah
menyusun peta Indonesia; ada rasa kagum bercampur heran ketika mereka melihat sekolah
megah atau helikopter milik TNI; si Enos, sahabat Denias, yang suka mencuri barang milik
orang di depan sebuah swalayan, di kota Timika; anak pedalaman tidak punya pengetahuan
yang luas karena menyebut gambar sapi di sebuah poster sebagai babi atau anjing; anak-anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
pedalaman kurang bersih sehingga perlu mandi dan gosok gigi agar menjadi anak yang
bersih, sehat dan modernis; kecerdasasn intelektual dan kesuksesan menuai masa depan yang
cerah hanya dapat diperoleh di sekolah berstandar internasional milik PT. Freepot; serta
kentalnya praktik sukuisme di antara sesama orang Papua yang berujung pada perlakuan
tidak adil terhadap Denias, di mana ia ditolak oleh pihak sekolah karena berasal dari suku
pedalaman.
Seperti yang dinilai oleh banyak pihak bahwa film yang diproduksi oleh Alenia
Pictures ini didanai oleh TNI Angkatan Darat, pesan sisipan yang bertujuan untuk memberi
citra baik bagi kehadiran mereka di Papua pun tampak jelas dalam film ini. Sosok prajurit
TNI yang dikenal sebagai Maleo ditampilkan seperti pahlawan yang punya andil dalam
mendidik anak-anak pedalaman. Framing pencitraan terhadap militer di pedalaman Papua
tampak dalam sejumlah scene, di mana ada helikopter yang selalu mengantar berbagai
kebutuhan sekolah, sosok Maleo yang setia mengajar anak-anak di saat guru mereka kembali
ke Jawa, dan menjadi penyedia obat-obatan bagi warga yang sakit, menjadikan markas
sebagai tempat bermain dan belajar bagi anak-anak, atau sikap patuh dan hormat seorang
prajurit TNI terhadap orang Papua yang menentangnya karena mendirikan pondok belajar
bagi anak-anak tanpa izin dari kepala suku. Intinya, aparat militer selalu melakukan hal-hal
baik tanpa ada tindakan represif yang merugikan orang Papua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Gambar 1: Dua contoh frame gambar dalam film Denias yang merepresentasikan imajinasi
nasionalisme di benak anak-anak Papua
Di film itu pula, gambaran tentang kedekatan anak-anak Papua dengan militer,
pemaksaan semangat nasionalisme dan rasa bangga terhadap NKRI dalam benak anak-anak
juga selalu ditonjolkan. Anak-anak mengenakan seragam sekolah berwarna merah-putih
sepanjang malam saat tidur; sikap hormat terhadap bendera Merah-Putih maupun peta
Indonesia sambil menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya; atau Denias yang selalu
membawa replika peta Indonesia pemberian Maleo ke mana saja ia pergi, adalah framing
yang sengaja diciptakan untuk memanipulasi fakta bahwa anak-anak Papua sungguh cinta
NKRI dan kehadiran militer adalah berkat di tengah segala keterbatasan yang ada di Papua.
Film ini memberi kesan bahwa di Papua belum ada kemajuan yang signifikan sehingga
membutuhkan model peradaban yang baru dari luar Papua. Dan tentu saja film ini turut
memberi stigma buruk terhadap orang Papua; termasuk mengabaikan berbagai fakta
kejahatan militerisme. Seolah-olah tidak ada noda hitam dalam ingatan kolektif orang Papua
ketika membincangkan Papua dalam rangka persatuan dan kesatuan di bawah payung NKRI
atau militerisme sebagai pendekatan keamanan di Papua.
Di luar framing tentang Papua seperti yang ditunjukan oleh film tersebut, ada fakta
lain yang justru berbanding terbalik. Seturut pengalaman saya selama berada di Papua,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
kehadiran militer di Papua dibaca oleh orang Papua sebagai upaya pembungkaman ruang
demokrasi, tempat mereka menyuarakan hak-hak hidupnya. Selain itu, slogan ‘NKRI Harga
Mati!’ juga merupakan suatu pemaksaan semangat nasionalisme yang menyiksa orang
Papua. Dampaknya, di masing-masing isi kepala orang Papua tertanam ada semacam
nasionalisme ganda untuk mengatakan ‘ya’ sekaligus ‘tidak’ kepada NKRI dan (atau) West
Papua.
Mengamati pencitraan yang prestisius terhadap eksistensi militer di Papua seperti
yang dinarasikan oleh film Denias tersebut, dapat dikatakan bahwa media film menjadi alat
untuk memelintir sejumlah persoalan yang berkaitan dengan militerisme di Papua. Dalam
konteks ini, film Denias terlanjur jatuh pada politik pencitraan dengan menonjolkan sejumlah
enstitas etis yang dilekatkan pada militer. Ia seperti sebuah presisi tanpa opsi lain dalam
membincangkan militerisme di Papua. Ini adalah gambaran tentang kegagalan media-media
massa Indonesia dalam mengekspos kebenaran yang utuh tentang Papua kepada publik.
Sesungguhnya, militerisme yang diklaim sebagai bagian dari pendekatan keamanan dalam
menjamin keutuhan NKRI, juga merupakan senjata mematikan yang turut menambah
eskalasi konflik dan pelanggaran HAM di Papua.
Kedua, Lost in Papua. Buah karya Irham Acho Bachtiar ini sebenarnya bertujuan
untuk menunjukkan keunikan dan kekayaan wisata budaya yang ada di wilayah selatan
Papua. Akan tetapi, sejak rilis pada 2011, film ini menuai kontroversi, khususnya di kalangan
orang Papua karena mengandung unsur stigmatisasi berbau rasisme. Diawali dengan adegan
tentang hilangnya sekelompok pemuda yang mengeksplorasi titik tambang di hutan terlarang
bernama RKT 2000 yang berada di wilayah Boven Digoel, film ini cacat sejak awal, karena
telah menodai filosofi hidup orang Papua. Hutan yang dihormati sebagai ‘ibu yang memberi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
kehidupan’ justru digambarkan secara absurd. Hutan adalah tempat paling menyeramkan,
dan bahkan punya unsur magis yang membahayakan nyawa setiap manusia yang
melintasinya; termasuk orang Papua sebagai pemiliknya.
Gambar 2: Salah satu frame gambar dalam film Lost in Papua yang menggambarkan
kekejaman kaum perempuan suku Korowai terhadap lelaki yang terjebak di hutan
Absurditas film ini semakin menguat lagi ketika beberapa sequence selanjutnya
menonjolkan praktik kanibalisme yang dilakukan oleh salah satu suku primitif bernama
Korowai terhadap sekelompok pemuda lain yang terperangkap di hutan terlarang tersebut.
Dengan asumsi dasar yang dibangun berdasarkan mitosnya orang Korowai, film ini turut
membentuk opini publik tentang kebenaran di balik kisah tentang sekelompok suku kanibal
kaum perempuan yang ada di Boven Digoel itu. Celakanya, suku perempuan itu digambarkan
sebagai orang-orang keji, jahat dan brutal. Setiap orang yang terjebak di area kekuasaan
mereka pasti dipenjara, disiksa lalu dipakai sebagai alat pemuas hasrat seksual maupun
sebagai sumber bibit penerus masa depan kelompok suku tersebut. Selain itu, framing tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
keterbelakangan budaya orang-orang Papua yang hidup di daerah pedalaman pun ditonjolkan
secara gamblang. Misalnya, anak-anak pedalaman sangat membutuhkan orang-orang dari
luar Papua untuk mengajari mereka bersekolah dan memperkenalkan hal-hal baru seperti
makanan dan pakaian yang tidak dimiliki orang-orang pedalaman.
Meskipun Bachtiar sebagai sutradaranya adalah anak transmigran kelahiran Muting-
Papua yang sebenarnya mengenal secara dekat seluk-beluk kehidupan orang Papua, ia malah
gagal mengartikulasikan suara mereka yang sesungguhnya. Sepertinya sutradara lebih tergiur
untuk memetik keuntungan dari dana produksi maupun prestise di dunia perfilman Indonesia,
ketimbang mengangkat harkat dan martabat manusia dan alam Papua yang telah
membesarkannya. Itulah sejumlah alasan yang turut menguatkan kritik dari kalangan
filmmaker, bahwa Lost in Papua adalah film yang gagal dalam segala aspeknya; terutama
dalam hal story-telling yang cacat secara moral maupun sosial-budaya.
Ketiga, Di Timur Matahari. Tak berbeda jauh dengan Denias: Senandung di Atas
Awan, film hasil garapan Ari Sihasale yang rilis pada 2012 ini masih mengulang kegagalan
yang sama, yakni stigma buruk tentang orang Papua dan kebudayaannya. Alih-alih
mengeritik kelalaian pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pendidikan di Papua
maupun praktik kebudayaan yang dinilai tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
film ini malah mempertegas asumsi publik tentang keterbelakangan yang ada di Papua. Tak
seperti matahari yang selalu menjanjikan terangnya sinar di setiap pagi, anak-anak seperti
Mazmur dan kawan-kawannya malah kehilangan terang yang tak kunjung datang di tengah
gelapnya kebodohan. Kampung pedalaman milik anak-anak itu pun digambarkan sebagai
wilayah terpencil yang sulit diakses dan belum banyak memiliki hubungan dengan kehidupan
di luar sana. Mereka seperti orang primitif dan bodoh yang sangat bergantung pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
pertolongan dari sesosok guru pendatang yang siap mengantar mereka keluar dari
kemelutnya hidup yang mengekang.
Selain itu, sebagai bagian dari kritik terhadap tradisi dan budaya orang Pegunungan
Tengah yang masih kaku, film ini justru menunjukkan opisisi biner dalam hal kemajuan dan
keterbelakangan pola pikir di antara orang Papua yang hidup di kampung dengan mereka
yang hidup di Jawa (Jakarta). Seolah-olah hanya orang Papua yang hidup di luar Papua saja
yang punya pola pemikiran yang maju dibandingkan dengan orang-orang kampung di
pedalaman Papua. Michael, anak Papua kelahiran Tiom, Pegunungan Tengah Papua yang
sekolah, menikah dan hidup di Jawa adalah representasi sosok anak-anak Papua yang maju
dalam pola pikir karena telah mengenal dan mengalami banyak hal baik di luar Papua.
Kepulangannya ke Papua untuk melayat saudaranya yang terbunuh akibat perang suku
ditunjukkan sebagai orang Papua yang punya segudang kekayaan intelektual dan mampu
membangun kedasaran kritis bagi keluarga dan sukunya. Ia membawa kesadaran baru bahwa
membunuh, balas dendam dan perang suku bukan merupakan adat Papua yang perlu
dipertahankan.
Jika disimak secara jeli, film ini telah membantuk persepsi penonton tentang Papua.
Kekerasan seperti saling membunuh di antara sesama orang Papua, balas dendam, hingga
perang antar kampung merupakan hal yang lumrah dalam kebudayaan orang Papua. Di Papua
belum ada kemajuan pola pikir dan jauh dari peradaban. Penyebabnya adalah sistem
pendidikan yang mandek dan jauhnya orang Papua dari kehidupan yang ada di luar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Gambar 3: Salah satu frame gambar dalam film Di Timur Matahari yang menunjukkan
masih berlakunya perang antar suku di wilayah pegunungan Papua
Satu-satunya cara untuk merubah pola hidup orang Papua adalah menghadirkan orang
dari luar Papua untuk mengisi apa yang tidak ada di sana, seperti guru, dokter, dan pendeta,
seperti yang digambarkan dalam film tersebut. Atau paling tidak anak-anak Papua harus
bersekolah dan tinggal di luar Papua agar tingkah-laku dan pola pikirnya dapat maju dan
berkembang. Sosok Pendeta Samuel yang selalu memberi wejangan bagi anak-anak dan
warga setempat; Dokter Fatimah yang setia memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat; Om
Ucok yang menjadi penyedia lapangan pekerjaan bagi warga lokal; atau Michael yang
berhasil membawa keasadaran baru tentang pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai
kemnusiaan hanya karena hidup dan mengenyam pendidikan di Jawa, adalah contoh-contoh
penyesatan opini publik tentang Papua melalui media film. Dalam hal ini, film turut
melegalkan paham dan praktik subordinasi maupun inferioritas terhadap manusia dan
kebudayaan Papua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
3. Media Massa sebagai Perangkat Hegemoni Budaya
Berdasarkan beragam ulasan tentang framing media massa dalam membentuk opini
publik secara timpang tentang Papua tersebut, kita pada akhirnya paham bahwa media massa
adalah perangkat ideologis yang dipakai negara untuk melegitimasi sekaligus
melanggengkan kekuasaan. Publik digiring secara halus untuk mendapatkan pengetahuan
dan konsensus bahwa apa yang dinarasikan adalah bagian dari kebenaran yang patut diakui.
Meskipun tidak secara gamblang menunjukkan represi di dalamnya, sesungguhnya media
massa telah menjadi sarana yang ampuh dalam mengkonstruksi wilayah kesadaran manusia
untuk turut membenarkan apa yang diindoktinasi sebagai fakta. Di dalamnya ada organisasi
konsensus yang menggunakan pendekatan persuasif untuk membangun sebuah hubungan
persetujuan.
Menurut Gramsci, konsensus atau hubungan persetujuan yang diterima masyarakat
tersebut bersifat pasif karena informasi dan pengetahuan yang diperoleh bukan sebagai
keinginan mereka sendiri, melainkan karena dibentuk seturut keinginan kelompok penguasa.
Melalui perangkat-perangkat kekuasaannya, negara secara sadar menciptakan pembodohan
massal di tengah ketidak-adilan struktural yang sedang menimpahnya. Hal ini disebabkan
oleh ketiadaan basis konseptual yang kritis dalam benak masyarakat sehingga mereka tidak
mampu memahami realitas sosial secara efektif (bdk. Patria dan Arief, 1999: 126-127).
Inilah cara kerja hegemoni budaya yang bertujuan untuk menggiring publik melihat
alam dan manusia Papua dalam sebuah kacamata yang telah ditetapkan bagi semua orang
agar ia hanya bisa dinalar secara tunggal. Dalam hal ini, kuasa mobilisasi kesadaran publik
untuk menarik simpatisan lalu mengakui adanya kebenaran di balik politik pencitraan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
menjadi sesuatu yang penting bagi keberlangsungan praktik-praktik kekuasaan. Melalui cara
demikian, negara mampu meredam perlawanan dari bawah, dan dengan mudah membentuk
wajah etis masyarakat seturut cita-cita kaum penguasa. Akan tetapi, sangat disayangkan
bahwa citra yang dibentuk di dalam media massa mengandung sejumlah stigma buruk yang
merendahkan martabat orang Papua. Persis dalam kondisi ini, ada bentuk penindasan model
baru (symbolic violence) dari negara terhadap rakyatnya.
Meskipun demikian, menurut Gramsci masih ada celah untuk melakukan perlawanan
karena baginya tidak ada kekuasan yang absolut. Sudah sepatutnya masyarakat sipil
menggalang sense of popular nation dan membangun sebuah solidaritas kerakyatan yang
didasarkan pada pandangan hidup yang sudah dimiliki oleh masyarakat (common sense)
sebagai budaya kerakyatan. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan sosok intelektual organik untuk
melakukan intervensi di tengah masyarakat agar mampu menggerakkan common sense
menjadi good sense sebagai kekuatan perlawanan. Sudah sepatutnya masyarakat membentuk
sebuah wadah baru untuk merangkul kekuatan-kekuatan sosial yang ada, melawan berbagai
rupa symbolic violence, dan merebut pengakuan dari luar, karena sesungguhnya masyarakat
adalah wajah etis dari suatu negara, bukan sebaliknya.
Dengan menggunakan kerangka berpikir semacam itu, tesis ini dimaksud untuk
mengulas PV sebagai bagian dari representasi perlawanan masyarakat sipil di Papua. Rupa-
rupa aktivisme yang dihidupinya selama ini akan diulas dalam rangka menunjukkan adanya
hubungan dialektis antara pengalaman hidup orang Papua dengan banyaknya ragam narasi
yang dibangun oleh media massa. Persis dalam kondisi inilah tonggak berdirinya PV sebagai
sebuah blok sejarah dengan segala aktivitas gerakan budaya menjadi mungkin untuk dibahas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
D. Rangkuman
Tak dapat dipungkiri bahwa persebaran wacana tentang Papua tidak terlepas dari
faktor ideologis sebagai kekuatan terselubung yang mampu mempengaruhi banyak aspek
kehidupan berdemokrasi. Dalam konteks kelahiran PV, kondisi sosial-historis orang Papua
yang carut-marut akibat dominasi kekuasaan dan pembungkaman ruang demokrasi,
menyebabkan orang Papua terus berjuang tanpa henti untuk merebut hak-hak hidupnya.
Selain itu, terbentuknya opini publik yang tidak sehat tentang Papua karena framing media-
media massa arus utama yang cacat kebenaran, mendorong orang Papua untuk mengisi apa
yang absen dari ingatan publik tentang Papua secara utuh dan berimbang.
Media massa telah menjadi perangkat ideologis negara yang mampu menciptakan
hegemoni budaya di tengah masyarakat. Ada dua hal yang mau dicapai, yaitu politik
pencitraan bagi negara beserta aparatusnya di satu sisi, dan menggalang konsensus publik di
sisi lainnya demi menunjang politik kekuasaan. Meskipun demikian, kekuatan negara
semacam ini bukan bersifat absolut dan sulit ditandingi. Orang Papua masih punya kekuatan
perlawanan di tingkat akar rumput untuk mewujudkan perubahan dan transformasi sosial
yang berpihak pada kedaulatan rakyat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
BAB III
ANTAGONISME DAN HEGEMONI TANDINGAN
SEBAGAI LOCUS GERAKAN BUDAYA PAPUAN VOICES
A. Pengantar
Bertolak dari hasil identifikasi dan analisa atas faktor-faktor ideologis yang
mendorong lahirnya PV pada bab sebelumnya, bagian ketiga tesis ini merupakan
penjabaran lebih lanjut tentang bagaimana antagonisme tumbuh dan mendorong para
aktivis PV untuk melakukan gerakan budaya sebagai bagian dari hegemoni tandingan
atassejumlah ketimpangan yang terjadi di Papua. Dengan menggunakan pendekatan
post-marxis dalam studi gerakan sosial, khususnya gerakan sosial baru (new social
movement), bab ini dimaksud untuk membaca dinamika gerakan yang dilakukan PV
sebagai bentuk lain dari strategi perjuangan demokrasi kerakyatan dalam upaya merawat
Papua. Perangkat analisis yang saya gunakan dalam bab ini merupakan kombinasi dari
dua perspektif komprehensif teori gerakan sosial, yaitu: counter-hegemony milik
Gramsci, yang dilengkapi dengan hegemony and socialist strategy milik Laclau dan
Mouffe.
Sebagai sebuah gerakan budaya, upaya menggalang solidaritas ke-kita-an
(we-ness) guna membentuk identitas kolektif adalah langkah awal untuk memahami PV
sebagai blok historis yang hegemonik. Selanjutnya, akan ditunjukkan bahwa jatuhnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
pilihan PV pada film dokumenter sebagai media artikulasi adalah bagian dari sebuah
bangunan antagonisme sosial yang bertujuan untuk melakukan hegemoni tandingan
melalui gerakan Papua Bercerita; sebuah gerakan menggugat ketimpangan, merawat
Papua.
B. Memahami Terminologi Gerakan Budaya dalam Kajian Budaya
Budaya atau kebudayaan dalam Kajian Budaya (Cultural Studies) merupakan
konsep yang sangat penting, meskipun tidak ada makna definitif yang melekat padanya.
Menurut Raymond Williams, kebudayaan tidak ‘ada di luar sana’ dan sedang menunggu
untuk dideskripsikan secara tepat oleh teoretisi yang selalu salah memahaminya. Selama
abad ke-19, definisi kebudayaan lebih bersifat antropologis, yang menggambarkan
kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup dan bersifat khas dengan penekanan pada
pengalaman hidup. Kebudayaan juga berkaitan dengan seni sekaligus nilai (gagasan
abstrak), norma (prinsip atau aturan) dan benda-benda material maupun simbol kehidupan
sehari-hari. Singkatnya, kebudayaan adalah makna sehari-hari yang dapat ditemukan dari
hal-hal biasa di dalam keseharian hidup semua masyarakat, juga dalam setiap pikiran
(Williams, 1989: 4).
Sebagaimana dinyatakan Stuart Hall, kebudayaan dalam Cultural Studies adalah
lingkungan aktual untuk berbagai praktik, representasi, bahasa dan adat-istiadat
masyarakat tertentu yang membentuk kehidupan orang banyak (Hall, 1996c: 439).
Kebudayaan di sini berkaitan dengan pertanyaan tentang makna sosial yang dimiliki
bersama, yaitu berbagai cara untuk memahami dunia di dalam pengalaman hidup sehari-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
hari. Kebudayaan juga menyangkut proses-proses produksi makna dan praktik signifikasi.
Dengan kata lain, memahami kebudayaan berarti mengeksplorasi bagaimana
pembentukan makna tekstual yang dihasilkan secara simbolis dalam bahasa sebagai suatu
sistem signifikasi (Barker, 2004: 9). Proses pembentukan makna (signifikasi) itu terjadi
melalui berbagai citra, bunyi, objek dan aktivitas, yang menjadi bagian penting dari sistem
tanda, dan mengacu pada suatu makna, sehingga kita dapat menyebutnya dengan teks
kultural. Konsep teks di sini bukan hanya mengacu pada kata-kata tertulis, melainkan juga
berbagai bentuk ekspresi wacana atau praktik-praktik yang mengacu pada makna (to
signify). Dengan demikian, film dokumenter yang menjadi basis gerakan budaya PV
adalah bagian dari teks kultural. Melalui paradigma baru yang ditawarkan Kajian Budaya,
tesis ini dimaksud untuk menyelidiki dari mana sebuah teks kultural berasal dan
bagaimana ia memainkan peran di dalam konteks sosial, politik dan historis yang terus
berubah.
Dalam spirit etnografi Kajian Budaya, kajian tentang kebudayaan berkaitan
dengan eskplorasi dan representasi atas nilai dan makna aktivitas kultural; termasuk
masalah-masalah kebudayaan dan identitas (Barker, 2004: 30). Merujuk pada tradisi
Marxis yang turut melahirkan Kajian Budaya, Gramsci secara spesifik memandang
kebudayaan sebagai arena perjuangan ideologis, atau ruang konstestasi makna atas suatu
fenomena dalam konteks kekuasaan yang memungkinkan terjadinya sebuah tindakan,
hubungan dan tatanan sosial yang timpang. Dengan mengusung gagasan tentang
Hegemoni Budaya kaum borjuis yang menjadi tembok penghalang perubahan sosial,
Gramsci menawarkan perlu adanya upaya menggalang blok historis atau formasi sosial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
baru, yang digerakkan oleh para intelektual organik untuk melakukan hegemoni tandingan
(counter-hegemony). Dalam pengertian lain, segala bentuk ketimpangan sosial yang
melahirkan hubungan anatagonistik di dalam masyarakat post-industrial tidak dihadapkan
dengan perang manuver untuk merebut kekuasaan dari tangan negara, tetapi melalui aksi-
aksi kolektif tanpa kekerasan yang dikenal luas dengan nama gerakan sosial; atau yang
dibahasakan secara radikal oleh Laclau-Mouffe sebagai Perjuangan Demokratik Baru.
Keberadaan PV dan aktivismenya adalah bagian dari aksi kultural berupa
perjuangan ideologis yang berupaya memproduksi makna tentang Papua sesuai perspektif
orang Papua. Berangkat dari pengalaman hidup sehari-hari orang Papua, PV
memproduksi sejumlah teks kultural berupa film-film dokumenter maupun video jurnalis
untuk selanjutnya dijadikan sebagai bahan advokasi dan kampanye tentang alam dan
manusia Papua di tingkat lokal maupun global. Produk-produk kebudayaan tersebut
menjadi ide, makna dan praktik ideologis yang dijadikan sebagai peta pemaknaan dalam
mengorganisasi berbagai elemen sosial untuk turut ambil bagian di dalam gerakan:
menggugat ketimpangan, merawat Papua. Di sini, pengalaman hidup sehari-hari dan
produk film dokumenter berperan sebagai perekat sosial dalam menggalang solidaritas
gerakan masyarakat sipil. Sebagai organisasi kultural, PV menjadi medan pembentukan
setiap individu menjadi agen sosial (subjek politik) dalam praktik signifikasi: Papua
bercerita.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
C. Apa Itu Papuan Voices?
1. Sekilas Cerita Lahirnya Papuan Voices
Menurut penuturan para inisiator PV, gagasan tentang PV sudah mulai
diperbincangkan di Jakarta dan Yogyakarta sejak 2009 oleh tiga orang inisiator awal yang
saat itu bekerja di sebuah oraganisasi non-profit bernama Engage Media (EM). Mereka
adalah Max Binur, Wens Fatubun dan Rico Aditjondro. Menindak-lanjuti perbincangan
tersebut, pada 2010, bersama EM yang juga bergerak dalam dunia dokumenter, mereka
mengadakan program workshop audio-visual di Merauke, Jayapura dan Sorong. Melihat
tingginya antusias orang Papua untuk bergelut di dunia dokumenter, PV pun mulai
dibentuk sebagai sebuah organisasi pada 2011 di bawah kerjasama antar tiga lembaga,
yaitu: Engage Media, Justice Peace and Integration of Creation-MSC Indonesia, dan
Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan-Fransiskan Papua. Selanjutnya,
PV diinisiasi pada tahun 2012 dan disahkan dalam akta notaris pada 21 Mei 2016 (Lih.
profil dan statuta PV).
Gambar 4: Logo Papuan Voices (Sumber: Dok. PV)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Wens Fatubun menuturkan bahwa penggunaan nama Papuan Voices dengan lambang
burung cenderawasih, wajah dan tangan manusia seperti yang tertera pada gambar di atas;
sebenarnya merupakan bentuk lain dari pemaknaan atas perjuangan kebudayaan dan
epistemologi orang Papua. Layaknya Cenderawasih, narasi-narasi yang disalurkan melalui
media film juga punya wibawa, kebesaran, keagungan, dan orisinalitas yang mengandung
klaim kebenaran. Dengan mengambil spirit grup musik Mambesak yang terus bercerita
tentang Papua lewat lagu-lagu daerah, PV hadir untuk mewadahi suara-suara orang Papua
yang berkisah tentang pengalaman hidupnya bersama alam. Tujuannya sangat sederhana,
yaitu agar publik tahu membedakan antara cerita ‘tentang’ Papua dengan cerita ‘dari’ Papua.
Memang sudah ada banyak narasi ‘tentang’ Papua yang dipublikasikan, tetapi tidak semua
hal itu dijadikan sebagai sumber informasi dan pengetahuan yang akurat. Masih ada banyak
narasi yang dipelintir dan mengandung cacat kebenaran. Sudah saatnya dunia luar melihat
Papua dari mata orang Papua sendiri, karena sejatinya, orang Papua juga punya kapasitas
yang memadai dalam menarasikan pengalaman hidupnya tanpa harus bergantung pada orang
lain untuk menuturkannya.
Sampai dengan saat ini (tahun 2020), PV tersebar di sembilan wilayah yang ada di
Papua, yaitu: Jayapura, Keerom, Wamena, Merauke, Timika, Biak Supiori, Sorong,
Tambraw, dan Manokwari. Dari semua wilayah tersebut, PV telah berhasil memproduksi
beragam jenis film dokumenter maupun video jurnalis untuk dijadikan sebagai materi
advokasi dan kampanye di tingkat lokal, nasional maupun global. Dalam semangat gerakan
yang sama, semua anggota dan pengurus yang tersebar di masing-masing wilayah tersebut
terus menjadikan PV sebagai tempat belajar dan berproduksi bagi generasi muda Papua, serta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
turut mendukung inisiatif-inisiatif perubahan, keadilan sosial, demokrasi dan perdamaian di
Papua. Untuk mencapai sebuah gerakan yang berkelanjutan, PV selalu membuka
kemungkinan untuk melakukan berbagai rangkaian kegiatan pelatihan dan produksi video
jurnalis maupun film dokumenter bagi individu-individu maupun kelompok masyarakat yang
ada di Papua agar mereka juga dapat menjadi bagian dari story-teller yang mumpuni dalam
menarasikan kehidupan manusia dan alam Papua kepada publik.
2. Papuan Voices Sebagai Blok Historis
Berdasarkan statuta yang disahkan di Jayapura pada 22 September 2018, dijelaskan
bahwa PV merupakan sebuah organisasi non-pemerintah berbentuk perkumpulan yang
bekerja di bidang audio-visual, khususnya film dokumenter dan video jurnalis. Fokus
kegiatannya adalah menyelenggarakan advokasi dan kampanye tentang berbagai fenomena
sosial-budaya, hak asasi manusia, lingkungan maupun politik yang terjadi di Papua melalui
video-video yang diproduksi. Untuk menjamin keberlangsungan aktivismenya, PV menjadi
media pembelajaran dan pengembangan kreativitas dan kapasitas sumber daya manusia
generasi muda dan masyarkat adat Papua dalam memproduksi film dokumenter maupun
video jurnalis tentang alam dan manusia Papua. Selain itu, PV juga melakukan
pengorganisasian komunitas masyarakat di Papua, serta memperluas jaringan antar video
aktivis yang ada di Papua maupun di luar Papua untuk meningkatkan kesempatan kerjasama
dan eksistensinya.
Jika ditelusuri secara saksama dengan berkaca pada pemikiran Gramsci, dapat
dikatakan bahwa PV adalah sebuah bentuk blok historis atau aliansi para aktivis media
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
(sineas) Papua. Seperti yang telah dipaparkan di bab kedua tesis ini, PV dibentuk atas dasar
sikap tidak puas berikut gugatan terhadap berbagai model ketimpangan sosial yang
berhubungan dengan Papua. Ada bentuk kerja kemanusiaan yang diperjuangkan oleh para
aktivis PV di tengah hegemoni media-media arus utama milik negara, yang sangat
berpengaruh terhadap konsensus11 cara pandang publik tentang realitas Papua dan kinerja
pemerintah. Dalam pengamatan saya, kesadaran politik yang kritis dari para aktivis terhadap
cara kerja (framing dan hegemoni) media massa beserta segala sistem yang tidak adil di
negara ini merupakan dasar atau alasan yang mendorong berdirinya PV. Kesadaran baru dan
kehendak kuat ini kemudian mengalami alih bentuk menjadi sebuah perkumpulan sosial,
politik, dan kultural yang meliputi masyarakat adat, aktivis media, organisasi sipil atau NGO,
dan berbagai elemen masyarakat lainnya, yang memiliki kesadaran kritis sebagai intelektual
organik, untuk melakukan aksi politik (gerakan sosial) demi menciptakan makna baru
tentang Papua yang lebih otentik. Proses inilah yang disebut sebagai jalan menuju
demokratisasi (Bdk. Fakih dalam Simon, 2004: xix-xx).
Dalam sebuah kesempatan diskusi di sela-sela FFP (Festival Film Papua) III pada 6
Agustus 2019 di Kota Sorong, Helena Kobogau, Koordinator PV wilayah Timika
menuturkan bahwa tidak semua cerita tentang Papua yang beredar luas selama ini adalah
sesuai dengan fakta yang terjadi di Papua. Selain itu, sejumlah kebijakan pembangunan di
11Dalam pandangan Gramsci, konsensus sebagai bagian dari kerja hegemoni kaum borjuis pada dasarnya
bersifat pasif. Lahirnya konsensus bukan karena kelas yang terhegemoni menganggap struktur sosial yang ada
itu sebagai keinginan mereka, tetapi disebabkan oleh kekurangan basis konseptual yang membentuk kesadaran
kritis yang memungkinkan mereka dapat memahami realitas sosial secara efektif (Partisia dan Arief, 1999: 126-
127). Berkaitan dengan ini, menurut Louis Althusser, hilangnya kesadaran kritis pada masyarakat disebabkan
oleh konstruksi kesadaran palsu yang ditanamkan oleh negara melalui apparatus ideologi negara (ISA
pendidikan, agama dan budaya) agar mereka dibentengi dari kesadaran dan pengetahuan kritis akan adanya
eksploitasi dan penindasan, lalu menyetujui tindakan-tindakan yang dilakukan negara meskipun tidak sesuai
dengan kepentingan mereka (Lihat catatan kaki 4, Bab II).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Papua juga tidak beorientasi pada pemenuhan hak-hak hidup masyarakat adat Papua. Sejalan
dengan itu, teriakan tentang lawan investasi, militarisme, diskriminasi, dan berbagai
fenomena ketidakadilan yang dialami orang Papua kurang mendapat tempat untuk disalurkan
kepada publik. Menurut Kobogau, PV hadir untuk mewadahi suara-suara yang terabaikan
agar kebenaran dapat terungkap dan pengalaman penderitaan orang Papua dapat diketahui
banyak orang. Kenyataan ini mau menunjukkan bahwa kehadiran PV adalah bentuk kontra
hegemoni yang bertujuan untuk: 1) menolak segala bentuk pemelintiran isu tentang Papua
yang tidak berdasarkan fakta; 2) mengisi ruang kosong informasi dan pengetahuan tentang
Papua, yang jarang atau tidak pernah diliput maupun diekspos media-media nasional arus
utama; 3) menyuguhkan sudut pandang baru dalam menarasikan Papua, di mana orang Papua
menjadi subjek dalam bernarasi; dan 4) membangkitkan kesadaran kritis bagi publik demi
memperjuangkan kebenaran dan melawan ketidakadilan di Papua.
Dalam perspektif Gramscian, lahirnya sebuah organisasi masyarakat sipil sebagai
blok historis bertujuan untuk melakukan penguatan terhadap masyarakat sipil yang
dibedakannya dari masyarakat politik (negara dan aparatusnya). Ia tidak lagi menjadi tempat
berkumpulnya orang-orang kalah, tetapi tempat para intlektual organik tumbuh menjadi kuat
dan terus mendukung upaya perlawanan terhadap hegemoni negara (Sukmana, 2016: 212).
Berkaitan denganitu, kehadiran PV di Papua adalah bagian dari strategi gerakan sosial, yakni
mewadahi setiap keluhan dan tuntutan orang Papua sambil terus berjuang menanamkan
kesadaran kritis bagi mereka untuk dapat memahami persoalan yang dialami serta bagaimana
menghadapinya. Perlu ditegaskan bahwa PV dan aktivismenya tidak dimaksudkan untuk
memenangkan kontrol atau merebut kekuasaan negara, tetapi hanya sebatas mempengaruhi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
kebijakan, reformasi kelembagaan dan akuntabilitas negara agar berpihak pada kepentingan
hidup orang banyak. PV juga bukan merupakan kelompok fundamentalis agama atau
chauvanisme etnis. Ia sesungguhnya adalah salah satu dari sekian banyak kekuatan sosial
yang tumbuh dan berkembang dalam konteks perjalanan hidup orang Papua yang tanpa henti
berjuang mencari keadilan, perdamaian dan kelestarian bagi alam dan manusia Papua.
3. Papuan Voices dan Identitas Kolektif
Membentuk dan mempertahankan eksistensi PV sebagai sebuah blok historis tentu
bukan jalan yang mudah. Selain tantangan dari luar, secara internal, pluralisme keanggotaan
bersama beragam keluhan maupun tuntutan yang ingin diperjuangkan adalah tantangan
tersendiri dalam upaya membentuk PV sebagai formasi sosial atau blok historis yang
hegemonik. Terkait dengan hal itu, sub bab ini dimaksud untuk menjawab pertanyaan tentang
bagaimana partikularitas keanggotaan dibentuk menjadi sebuah identitas kolektif yang
disebut ‘Papuan Voices’. Untuk menjawabnya, penjelasan pada bagian ini berangkat dari
gagasan Gramsci tentang pembentukan kehendak kolektif, dan reformasi intlektual dan
moral; kemudian dilengkapi dengan pendekatan lain yang digagas oleh Laclau dan Mouffe,
yaitu logika ekuivalensi dan perbedaan.
Dalam pandangan Gramsci, perjuangan menuju perubahan atau yang disebut sebagai
gerakan budaya bukanlah sekedar cara untuk merebut kekuasaan, melainkan cara
mengakomodasi semua kepentingan dari setiap individu maupun kelompok sosial dalam
sebuah aktivitas yang memiliki sinergitas. Laclau dan Mouffe (1985) menegaskan bahwa
konsep blok historis milik Gramsci sesungguhnya melampaui konsep Leninisme tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
kepemimpinan politik dalam aliansi kelas. Aktor-aktor organik sebagai subjek politik di
dalamnya tidak semata-mata memperjuangkan kepentingan kelasnya masing-masing, tetapi
sesuatu yang lebih kompleks dan menyeluruh, yaitu menampung, memayungi dan
mengorganisir kehendak-kehendak kolektif (collective wills). Ini merupakan salah satu
peluang politik untuk mengorganisir dan memobilisasi kesadaran kritis massa di tengah
dominasi dan hegemoni kaum borjuis agar mereka dapat melawan kebijakan-kebijakan
negara yang sifatnya menindas rakyat. Karena itu, ide-ide dan nilai-nilai yang sebelumnya
terfragmentasi dan bertebaran di mana-mana, dianut bersama sebagai kekuatan historis untuk
selanjutnya diartikulasikan. Sebagai bagian dari kerja hegemoni tandingan, upaya
membangun jaringan dari masing-masing elemen, memberi sumbangan tersendiri dalam
mendukung proses ‘perang posisi’ menuju tatanan baru: masyarakat sosialis (Simon, 2004:
60).
Merujuk pada pendapat Marx tentang ‘soliditas keyakinan masyarakat’, Gramsci
menawarkan pentingnya ideologi organik untuk mewadahi, membangun, menyatukan dan
mengikat berbagai kehendak individu maupun kelompok yang berbeda-beda, serta menjadi
fondasi bagi setiap praktik-praktik sosial. Perlu diperjelas bahwa ideologi yang dimaksud
oleh Gramsci tidak hanya berkutat pada sistem ide yang berada di luar aktivitas politik
maupun praksis manusia. Ia mempunyai eksistensi material yang menjelma di dalam
berbagai bentuk praktik sosial setiap individu dan kelompok atau organisasi; tempat aktivitas
kultural diperjuangkan di dalam kondisi sosial tertentu. Melalui ideologi, kehendak kolektif
dibentuk berdasarkan sejumlah tuntutan atau kepentinganagar mencapai kesatuannya di
dalam sebuah blok historis. Dalam hal ini, individu atau kelompok yang tergabung di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
dalamnya tidak sekadar memperjuangkan kepentingannya, tetapi juga ikut merangkul
kepentingan sektor-sektor lain yang terfragmentasi agar menjadi kekuatan historis yang
solid. (Simon, 2004: 83-86; Laclau dan Mouffe, 2008: 96-98). Itulah alasan, kenapa ideologi
yang dimaksud Gramsci bersifat politis dan historis.
Berbeda dengan Gerakan Sosial Lama, di mana identitas kolektif dibentuk
berdasarkan kesamaan kelas, seperti kelas buruh dan tani; identitas kolektif dalam Gerakan
Sosial Baru dibentuk atas dasar kesamaan gagasan atau tujuan ideal yang ingin
diperjuangkan. Dalam konteks ini, ideologi organik menjadi sebuah elemen penting untuk
mengatur, memberi tempat untuk bergerak, dan menghidupkan kesadaran untuk berjuang
(SPN 367). Dengan kata lain, sebuah blok historis harus mampu dan berhasil menyatukan
berbagai permasalahan demokratis-kerakyatan, yang berakar dalam sejarah, dan tidak
mempunyai karakter kelas yang bersifat khusus sehingga mampu menciptakan kehendak
kolektif secara universal. Paling tidak, harus ada kesatuan sosial-budaya, di mana berbagai
keinginan dengan tujuan yang berbeda-beda dapat dijalin menjadi tujuan tunggal, yang
menjadi dasar bagi konsepsi umum tentang dunia dan norma tingkah laku (SPN 349). Untuk
sampai pada tatanan yang solid, ideologi organik harus dibangun secara bersama dalam
rangka menggerakkan transformasi kesadaran politik melalui reformasi moral dan intelektual
sebagai elemen pokok memperjuangkan hegemoni tandingan. Inilah yang disebut sebagai
prasyarat bagi berdirinya sebuah blok historis yang hegemonik. Melalui cara demikian,
organisasi sipil dan aktivismenya berakar kuat di dalam masyarakat dan semakin hegemonik
(Simon, 2004: 84-91).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Melengkapi pandangan Gramsci, ErnestoLaclau yang terinspirasi oleh Rosa
Luxemburg, berpendapat bahwa identitas kolektif lahir dari kehendak kolektif (collective
will). Partikularitas tuntutan dan kehendak masing-masing agen sosial ditempatkan dalam
sebuah konteks yang lebih luas untuk menemukan apa yang disebut sebagai universalitas
kehendak dantuntutan. Dimensi universalitas inilah yang menginspirasi gerakan hegemonik.
Untuk sampai pada kesatuan identitas, masing-masing mereka perlu menciptakan sebuah
rantai kesetaraan (chain of equivalence) dan batas politik (political frontier) yang menjadi
penyatu secara internal, sekaligus pembeda secara eksternal (Laclau, et.al., 2000: 301-302).
Jika ditinjau dari logika ekuivalensi dan perbedaan, unsur-unsur yang memiliki nilai
sama dikelompokkan menjadi sebuah totalitas dan membentuk identitas tertentu untuk
membedakan dirinya dengan kelompok-kelompok lain yang berada di luar. Melalui
hubungan yang antagonis, sebuah kelompok dapat mengidentifikasi ‘musuh’ bersamanya;
sesuatu yang penting untuk membangun batas politik, identitas kolektif serta makna sosial
yang ingin diperjuangkan. Untuk menyatukan unsur-unsur yang berbeda secara internal,
sekali lagi, ideologi sangat diperlukan sebagai penyatu semua unsur ke dalam sebuah
totalitas. Dalam pengertian Lacanian – sebagaimana yang diikuti oleh Laclau dan Mouffe –
partikularitas keanggotaan sebagai penanda-penanda mengambang (floating signifiers) harus
dibentuk menjadi rangkaian tanda-tanda yang bermakna (signifying chain). Artinya, untuk
menghasilkan rangkaian tanda yang bermakna, sebuah kelompok harus menentukan penanda
utama (master signifier) sebagai titik temu (nodal point) bagi setiap partikularitas identitas
dan tuntutan masing-masing anggota. Dalam hal ini, penanda utama adalah penanda yang
dianggap menjanjikan kepenuhan identitas kolektif; sekaligus sebagai pengingat tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
pengalaman ketidak-adilan yang mendesak sebuah blok historis untuk mengartikulasikannya
(Lih. Sunardi 2012: 9-15).
Dalam konteks PV sebagai sebuah blok historis dan identitas kolektif, setiap individu
maupun kelompok yang terlibat secara intern pertama-tama merupakan gabungan orang-
orang terpanggil yang memiliki tanggung jawab moral-etis untuk menyuarakan pesan-pesan
dari Papua kepada publik. Mereka datang dari berbagai komunitas maupun
orrganisasimasyarakat sipil yang berkedudukan di Papua, seperti: GEMPAR (Gerakan
Mahasiswa Pemuda dan Rakyat) Papua, PAPEDA (Papua Pecandu Damai), JERAT
(Jaringan Kerja Rakyat) Papua, BELANTARA (Bengkel Pembelajaran Antar Rakyat) Papua,
SKPKC (Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan), Papuansphoto, WPU
(West Papua Update), jurnalis, aktivis perempuan, aktivis lingkungan, maupun para pemuda
dan masyarakat adat yang memiliki cinta yang besar untuk Papua. Tentu saja mereka datang
dengan membawa beragam keluhan dan tuntuan seperti apa yang selalu menjadi
pergulatannya di masing-masing basis. Lantas, bagaimana PV mengakomodasikan
perbedaan-perbedaan yang ada agar memiliki satu tujuan tunggal yang dapat merangkum
semuanya menjadi sebuah identitas kolektif?
Satu hal yang menjadi ciri khas gerakan PV adalah transformasi kesadaran kritis
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Setiap anggota PV dituntut untuk
mewujud-nyatakan ciri tersebut dalam pikiran dan tindakan melalui cara-cara yang
menghargai kesetaraan, keberagaman, serta anti terhadap berbagai bentuk kekerasan,
eksploitasi dan ketidakadilan; terutama kepada kaum perempuan dan kelompok marjinal
lainnya. Itulah alasan mendasar bagi PV untuk secara terbuka bekerjasama dengan individu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
maupun organisasi yang mengutamakan penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta
melakukan pemberdayaan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras, dan jenis
kelamin maupun orientasi seksual. Untuk itu, PV sebagai organisasi independentidakmau
mengikatkan atau bersandar pada partai politik tertentu atau pun kepentingan-kepentingan
lain yang berseberangan dengan prinsip-prinsip demokratis (Bdk. Nilai-Nilai dan Prinsip PV
dalam Statuta hal. 2).
Setiap perbedaan pandangan maupun pendapat selalu diberikan ruang untuk hidup
melalui cara-cara yang mampu mengikat setiap anggota tanpa kecuali. Artinya, setiap
keluhan dan tuntutan yang diusung masing-masing orang adalah bagian dari kesepakatan
menyuarakan pengalaman hidup yang berkaitan langsung dengan alam dan manusia Papua;
dan disampaikan secara benar dan berimbang dengan mempertimbangkan nilai-nilai
kemanusiaan yang inheren secara intelektual maupun moral-etis. Berangkat dari kesadaran
bersama atas pengalaman ketidak-adilan yang harus disuarakan, dan banyaknya narasi arus
utama yang tidak sesuai atau bahkan abai terhadap fakta empiris, setiap anggota PV
menghadirkan narasi tandingan yang mengatas-namakan suara-suara orang Papua. Menurut
Koordinator Umum PV, Bernard Koten, inilah alasan kenapa PV selalu mengklaim bahwa
semua narasi yang difilmkan adalah narasi milik orang Papua, dan suara orang Papua yang
difilmkan adalah milik PV. Di sana ada kesatuan yang tak terpisahkan antara PV sebagai
corong artikulasi, dan orang Papua sebagai subjek di dalam setiap film yang diproduksi.
Suara PV adalah suara orang Papua; suara orang Papua adalah suara PV.
Untuk sampai pada soliditas kehendak dan tuntutan, PV terus menyupayakan
transformasi kesadaran kritis (intelektual dan moral) melalui pelatihan dan pengembangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
kapasitas di bidang audio-visual (film dokumenter dan video jurnalis) yang meliputi: strategy
planning, metode riset dan investigasi, workshop tentang tema-tema yang relevan dengan
konteks kehidupan orang Papua, nonton dan diskusi film, serta mengadakan Festival Film
Papua (FFP) tahunan di setiap wilayah secara bergantian. Selain itu, semua anggota PV
diberikan kesempatan untuk mengikuti dan meliput berbagai kegiatan seperti seminar,
workshop, diskusi, aksi demonstrasi maupun festival film di tingkat lokal, nasional dan
internasional, yangbertemakan HAM, lingkungan, perempuan, politik, ekonomi, dan isu-isu
lain yang berkaitan dengan konteks Papua. Selain menambah wawasan berpikir dan
kemampuan membuat pemetaan masalah serta bagaimana menyuarakannya secara
berimbang di dalam film dokumneter maupun video jurnalis, kegiatan-kegiatan semacam ini
oleh para aktivis PV diharapkan mampu membangkitkan kesadaran kritis untuk terus
berjuang memenuhi kehendak maupun tuntutan di dalam setiap narasi tentang cerita ‘dari’
Papua untuk publik.
Gambar 5: Kelas diskusi dan worshop serta pelatihan anggota di Sorong dan Biak (Sumber: Dok. PV)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Berdasarkan logika ekuivalensi dan perbedaan, konteks gerakan budaya yang
diperjuangkan PV dalam hal membentuk identitas kolektif adalah aspek penting dalam upaya
membangun rantai kesetaraan dan batas politikuntuk membedakannya dengan kelompok
atau lembaga lain di luar secara internal dan eksternal. Berbeda dengan beragam kelompok
maupun individu di luar dirinya, para aktivis PV adalah subjek-subjek yang lahir dan tumbuh
bersama pengalaman suka maupun duka orang Papua; bahkan tak jarang sebagian besarnya
adalah pengalaman pribadi. Karena itu, narasi yang dibangun pun bertolak daridan tidak tidak
jauh dengan penglaman sehari-harinya. Mereka adalah orang Papua yang datang, berkumpul
dan bergerak atas nama kehendak menyuarakan cerita ‘dari’ Papua dengan sejumlah tuntutan
yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak hidup serta penghormatan terhadap manusia dan
alam Papua yang selama ini menjadi sasaran empuk praktik kapitalisme, militerisme,
subordinasi, marjinalisasi maupun stigmatisasi yang marak terjadi di Papua.
Meminjam istilah Lacanian tentang subjek terbelah, dapat saya katakan bahwa suara-
suara orang Papua yang menjadi basis gerakan PV lahir dari pengalaman ketidak-adilan yang
menggerakkan mereka untuk bernarasi. Pengalaman-pengalaman itu menjadi seperti
penanda-penanda yang dirangkai berdasarkan kehendak dan tuntutan untuk mengatasi
keterbelahan (split) subjek (baca: orang Papua); bahwa semua hal yang selama ini direpresi
multak perlu untuk disuarakan kepada publik, sebab melalui cara demikian, paling tidak
mereka mendapatkan kepenuhan subjek sebagai masyarakat ideal. Dalam hal ini, suara-suara
orang Papua menjadi penanda utama yang punya sisi imaginer dan simbolik serta
mengandung sejumlah cita-cita universal yang senantiasa diperjuangkan, yakni:
penghormatan terhadap manusia dan alam Papua sebagai bagian dari warga kosmopolit yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
sama kedudukannya di mana pun dan kapan pun. Jadi, identitas kolektif yang dibangun oleh
PV tidak lagi didasarkan pada identitas konkret seperti buruh, perempuan, lingkungan atau
pun etnis, tetapi dibentuk menjadi satu kesatuan sebagai suara-suara orang Papua, di mana
cakupan massanya lebih luas. Mengutip Suryawan (2011: 297), sejarah ingatan penderitaan
(memoria passionis) orang Papua menjadi pengikat yang paling ampuh untuk melawan
berbagai bentuk ketidak-adilan yang terjadi di Papua. Ia menjadi penyatu secara internal
(suara-suara yang terabaikan) sekaligus pembeda secara eksternal di antara sejumlah suara
yang dikategorikan sebagai bukan suara orang Papua.
Melalui dinamika tersebut, aktivisme PV terefleksi di dalam definisi tentang Gerakan
Sosial Baru yang melihat gerakan budaya sebagai jaringan kerja atau interaksi informal yang
elaboratif di antara pluralitas individu maupun kelompok atau organisasi yang terlibat dalam
sebuah konflik politik atau kultural di Papua. Mereka adalah salah satu bagian dari kekuatan
sosial-kultural dalam melakukan ‘perang posisi’ merebut simpati dan konsensus opini publik
tentang Papua. Sebagai sebuah blok historis atau formasi hegemonik, PV tidak lahir begitu
saja secara spontan, tetapi melalui kerja kepemimpinan intelektual dan moral setiap
anggotanya. Secara pribadi, saya melihat fenomena ini sebagai kerja politik kebudayaan,
karena mereka mampu membangun identitas kolektif yang solid sekaligus solider melalui
komunikasi dan aksi yang terus-menerus. Hal-hal tersebut menjadi prasyarat sekaligus tolak
ukur bagi kekuatan sebuah gerakan budaya yang hegemonik, yaitu menarasikan Papua secara
otentik, berimbang dan berpihak pada kemanusiaan yang universal demi mendapatkan
perdamaiandankeadilanbagi manusiadan alam Papua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
D. Papuan Voices Bercerita: Locus Bagi Antagonisme dan Counter-Hegemony
Dalam sejarah Marxisme, antagonisme dipakai untuk menggambarkan konfrontasi
tak terdamaikan antar kelas sebagai akibat dari proses produksi yang tidak adil. Menurut
Lenin, keberadaan negara sebagai kelas atas telah menunjukkan bukti bahwa antagonisme
secara obejktif tidak bisa didamaikan. Althusser juga menunjukkan bahwa anatagonisme
merupakan hasil dari formasi sosial lewat proses overdeterminasi. Selanjutnya, Laclau dan
Mouffe dalam gagasannya tentang demokrasi radikal juga menempatkan antagonisme
sebagai sebuah posisi sentral dalam memahami hegemoni maupun perjuangan demokrasi
kerakyatan yang dikenal dengan nama gerakan sosial baru. Atau dengan kata lain,
antagonisme ditempatkan dalam konteks hegemoni sebagai proses pembentukan identitas
kolektif (Sunardi, 2012: 23-24).
Perlu diketahui bahwa konsep hegemoni yang digagas Lacalu dan Mouffe melampaui
gagasan hegemoni milik Gramsci. Hegemoni tidak hanya berhubungan dengan cara kelas
atas (baca: negara) menjalankan kekuasaannya untuk mendapatkan konsensus di dalam
kesadaran palsu masyarakat, tetapi hegemoni juga adalah cara kerja kepemimpinan
intelektual dan moral untuk membentuk blok historis (Laclau dan Mouffe, 1985: 67).
Berangkat dari pengalaman sehari-hari, di mana tidak ada kesesuaian antara harapan dan
kenyataan hidup, yang pada akhirnya melahirkan hubungan antagonistik di dalam
masyarakat; masing-masing individu maupun kelompok masyarakat mengambil posisi
sebagai subjek politik (dalam bahasa Gramsci disebut intelektual organik). Di dalam
posisinya sebagai subjek politik, para intelektual organik menggalang persatuan bagi
kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik ke dalam sebuah masyarakat politis yang disebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
formasi sosial hegemonik. Jadi, menurut Laclau dan Mouffe, hegemoni atau yang disebut
Gramsci sebagai hegemoni tandingan (counter-hegemony) muncul dalam situasi
antagonisme yang memungkinkan terbentuknya batas politik (political frotier) dan
pertarungan hegemoni. Di dalam situasi seperti itu, dibangunlah apa yang disebut sebagai
rantai kesamaan (chain of equivalence) di antara setiap anggota blok historis untuk
selanjutnya melakukan resistensi terhadap rezim tertentu yang dinilai opresif (Laclau dan
Mouffe, 2008: xxxvi-xxxvii) dan tidak demokratis.
Berdasarkan logika pemikiran tersebut, sub bab ini dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa gerakan budaya Papua Bercerita yang diperjuangkan PV melalui media audio-visual
adalah bagian dari kerja politik kebudayaan dalam hubungan dengan antagonisme dan kontra
hegemoni sebagai locus gerakan. Sebagai bagian dari kontestasi makna tentang Papua, akan
ditunjukkan alasan substansial mengapa PV memilih film dokumneter sebagai media
artikulasi serta bagaimana proses pemaknaan tentang Papua terjadi di dalam dan melalui
media tersebut. Singkatnya, bagian ini menjelaskan tentang pentingnya membangun
hubungan antagonistik dan solidaritas ke-kita-an melalui dokumenter dalam mewujudkan
hegemoni tandingan yang berpihak pada misi menyelamatkan alam dan manusia Papua;
termasuk perang posisi membangun opini publik yang sehat tentang Papua.
1. Film Dokumenter Sebagai Media Artikulasi
Secara umum, film dokumenter selalu diasosiasikan dengan rekaman tentang
kebenaran dari sebuah realitas. Asosiasi tersebut tentu saja merujuk pada interpretasi leksikal
dari kata ‘dokumenter’ (documentary) yang berarti rekaman fotografi yang menggambarkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
kejadian nyata, kehidupan seseorang, suatu periode dalam kurun sejarah, atau suatu
gambaran tentang cara hidup seseorang atau kelompok masyarakat tertentu. Dokumenter
selalu bersinggungan dengan dokumen-dokumen faktual yang dibentuk berdasarkan
rangkuman gambar-gambar yang diambil dari kejadian-kejadian nyata (The Concise Oxford
Dictionary dalam Prakosa, 2008: 123). Dokumenter adalah film tentang kehidupan nyata,
tetapi bukan merupakan kehidupan nyata. Dokumenter juga bukan pintu menuju kehidupan
nyata. Ia hanyalah sebuah potret tentang kehidupan nyata yang menjadi objek material di
dalam sebuah dokumenter. Sebagai cerita berbentuk audio-visual, film-maker berperan
sebagai seniman dan teknisi yang membuat keputusan tentang cerita apa yang harus
dinarasikan, kepada siapa narasi tersebut ditujukan, dan tujuan apa yang hendak dicapai
sambil berpegang teguh pada klaim-klaim kebenaran yang menjadi ciri khas film dokumenter
(Aufderheide, 2007: 2).
Film dokumenter juga tidak pernah terlepas dari subjektivitas seorang film-maker,
tetapi bukan berarti ia tidak memiliki objektivitas. Bagaimana pun juga, seperti John Grierson
yang mendefinisikan film dokumenter sebagai creative treatment of reality; kerja kreatif
dalam ranah seni sangat kental dengan nuansa personal: subjektivitas. Akan tetapi,
subjektivitas dalam film dokumenter harus menjunjung tinggi nilai-nilai universal tentang
kemanusiaan, kegigihan, perjuangan, cinta kasih, maupun perlawanan, dan sebagainya
(Tanzil, et al., 2010: 24). Dengan kata lain, subjektivitas di dalam dokumenter harus mampu
dipertanggungjawabkan, dapat diterima oleh logika orang banyak, dan terutama sasaran
penonton yang ingin dijangkau. Karena itu, dalam fase kerja dokumenter, seorang film-maker
harus melalui beberapa tahapan seperti: membangun gagasan atau ide cerita, melakukan riset
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
(lapangan maupun pustaka) tentang sumber data, menyusun alur cerita dan shot-list sebagai
panduan utama dalam mengumpulkan materi gambar dan suara, mengumpulkan data-data
audio-visual, penyuntingan data audio-visual selama proses editing dan finishing, serta
menentukan jalur distribusinya kepada publik (Bdk. Ayawaila, 2008).
Menggunakan film dokumenter sebagai media artikulasi dalam membangun gerakan
budaya PV adalah pilihan yang tepat dan berdaya-guna. Meskipun kemasan narasinya tidak
sepenuhnya objektif karena sangat bergantung pada subjektivitas sutradara dan produser
dalam hal angle dan stroryboard; paling tidak sebuah film dokumenter mampu mengangkat
sebuah fakta historis yang terjadi di Papua.Narasi-narasi yang dibangun pun berangkat dari
lived experiences maupun lived resistances orang Papua, sehingga dapat mewakili realitas
yang sesungguhnya terjadi. Sebagai bagian dari produk budaya, dokumenter adalah ekspresi
wacana dalam bentuk teks yang kelihatan. Ia lahir dari konteks sosial tertentu untuk menguak
sisi lain dari realitas Papua yang hilang dari ingatan publik karena tidak pernah diekspos oleh
media-media arus utama; sekaligus menjadi atribut perlawanan terhadap dominasi dan
hegemoni negara. Dengan kata lain, dokumenter itu politis (bdk. Juliawan, 2015).
Dalam sebuah kesempatan diskusi daring pada 26 Mei 2020, Max Binur menuturkan
bahwa gerakan budaya untuk menyuarakan suara masyarakat adat Papua sudah ada sejak
berdirinya Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-IRJA) di tahun 1980-
an sampai 2019. Akan tetapi, semua hasil dokumentasi dalam bentuk laporan penelitian,
survei, buku-buku, foto-foto, maupun video sangat sulit untuk ditemukan karena sangat
sedikit yang dipublikasikan ke masyarakat luas. Di sisi lain, hampir semua dokumentasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
tersebut hanya dijadikan sebagai koleksi atau milik pribadi maupun lembaga saja sehingga
sangat sulit untuk diakses secara luas oleh orang lain.
Selain itu, dengan merujuk pada perjalanan sejarah Papua sejak terjadinya transisi
status politik yang berdampak pada perubahan sosial, ekonomi, dan budaya, serta menjadikan
Papua sebagai ‘wilayah konflik’ sampai dengan hari ini; banyak persoalan kemanusiaan
maupun lingkungan jarang didokumentasikan dan dipublikasikan. Karena itu, PV sebagai
sebuah lembaga yang berkarya di bidang dokumenter, hadir untuk ikut serta merekam suara-
suara masyarakat adat di Papua dalam bentuk film dokumenter dan video jurnalis untuk
dipublikasikan ke masyarakat luas. Dengan demikian, suara-suara orang Papua dapat
didengar, dilihat dan dipahami secara baik, benar dan berimbang. Dalam hal ini, PV
berkontribusi dalam menciptakan peluang politik gerakan budaya melalui sebuah perspektif
baru yang menempatkan orang Papua sebagai subjek dalam melihat dan menentukan masa
depan alam dan manusia Papua, serta mendorong kolegialitas untuk mengakhiri
ketidakadilan struktural di Papua.
Menurut Irene Fatagur, anggota PV wilayah Keerom, film dokumenter adalah media
paling efektif untuk menumbuhkan pengetahuan sekaligus membangkitkan kesadaran kritis
masyarakat; terutama bagi mereka yang tidak akrab dengan dunia baca-tulis. Dengan
menonton dokumenter, seseorang atau sekelompok orang dapat mengetahui persoalan-
persoalan yang sedang melanda alam dan sesama manusia Papua, lalu tumbuh rasa solider
untuk membangun kekuatan akar rumput agar persoalan yang sama tidak terulang lagi di
masa mendatang. Monaliza Upuya juga menambahkan tentang pentingnyadokumenter
sebagai bagian dari seni perlawanan tanpa kekerasan untuk menepis beberapa penalaran yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
timpang tentang orang Papua, seperti separatis, terbelakang, pemberontak, dan berbagai jenis
stigma lainnya; termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada
kelestarian alam dan hak-hak hidup orang Papua. Lebih jauh, Upuya menegaskan bahwa
manusia dan alam Papua punya martabat yang sama tingginya di mata semua orang sehingga
perlu dirawat dan dihormati oleh siapa pun.
Merujuk pada klaim-klaim kebenaran tentang arti dan manfaat film dokumenter
tersebut, dapat saya katakan bahwa: pertama, dokumenter menjadi instrumen penting dalam
mengartikulasikan berbagai persoalan lokal yang luput dari perhatian media-media massa
arus utama maupun para pengambil kebijakan di Papua. Kehadiran PV turut melengkapi
pemberitaan media lokal serta mempengaruhi agenda politikpemerintah. Kedua, dokumenter
punya kemampuan untuk mengaktifkan dimensi afeksi para penonton pada hal-hal yang tidak
tampak dan tidak terdengar oleh publik; sekaligus memunculkan tanggung jawab moral para
penonton ketika menyaksikan individu yang diperlakukan tidak setara atau kehilangan hak-
hak sipil dan politiknya. Ketiga, dokumenter jugamenciptakan agensi para korban yang
mengalami pembisuan akibat represi struktural serta mampu membangkitkan kepercayaan
diri masyarakat untuk menyuarakan pengalaman ketidak-adilan yang dialami. Keempat,
dokumenter membuka ruang diskusi bagi masyarakat ketika realitas atau persoalan sosial dan
politik dihadirkan kembali dalam bentuk audio-visual sehingga memudahkan proses
pemahaman atas persoalan yang kompleks serta bagaimana menyikapinya. Kelima,
dokumenter memiliki kapasitas sebagai katalis bagi perubahan sosial. Ia menjadi bagian dari
advokasi atau pemberdayaan masyarakat serta menjadi cinemaof responsibility yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
menuntut tanggung jawab pemegang otoritas kebijakan agar akuntabel dalam menjamin
pemenuhan hak-hak hidup warga masyarakat.
2. Antagonisme dan Hegemoni Tandingan dalam Dokumenter
Satu hal menarik dari kerja gerakan sosial baru (new social movement) adalah bentuk
peran baru yang dimainkan oleh apara aktor penggeraknya. Mereka mampu
mengartikulasikan berbagai konflik sosial yang tersebar di mana-mana dan tampak tak saling
berkaitanmenjadi relasi-relasi yang saling berhubungan (Laclau dan Mouffe, 2008: 235).
Mengutip pernyataan Wittgenstein (dalam Laclau dan Mouffe, 2008: 189), mereka mampu
memperlihatkan apa yang tak terkatakan. Selain itu, sebagai sebuah gerakan massa, ia
bukanlah ide tentang pengelompokkan secara arbitrer dari masing-masing keluhan dan
tuntutan ke dalam satu kategori tunggal berbasis kelas seperti buruh. Kekhasannya ada
padakemampuan para aktor membentuk kesatuan identitas kolektif di tengah kompleksitas
perjuangan yang bersifat partikular, seperti gerakan perempuan, lingkungan, pemuda, etnis,
anti-otoritarian dan lain sebagainya. Singkatnya, gerakan sosial baru adalah medan
konstruksi subyek politik ketika posisi suatu subyek dinegasikan oleh praktik atau wacana
sehingga menciptakan bentuk-bentuk ketimpangan baru yang bersifat antagonistik (Laclau
dan Mouffe, 2008: 235). Dalam kondisi tersebut, pembingkaian kultural (cultural framing)
yang didasarkan pada kondisi sosial historismenjadi salah satu faktor penentu bagi setiap
individu maupun kelompok untuk mengambil posisi subyek (subject position) tertentu,
membentuk identitas kolektif, dan membangunspirit dan simpati gerakandi dalam apa yang
disebut sebagai perang posisi: kontestasi makna (bdk. Sukmana, 2016: 206).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Berangkat dari kondisi-kondisi sosial historis Papua, di mana adaketimpangan-
ketimpangan sosialyang disebabkan oleh sejumlah kebijakan yang kontadiktif berikut
penyesatan opini publik tentang Papua lewat media-media massa arus utama, PV hadir untuk
memberi prespektifbaru. Dengan menggunakan film dokumenter sebagai media penggerak,
para aktivis PV membangun narasi-narasi yang tidak jauh dari pengalaman hidup sehari-hari
orang Papua untuk menunjukkan kondisi alam dan manusia Papua secara faktual. Tak hanya
sampai di situ. Produk-produk narasi yang dikemas secara dokumenter tersebut dijadikan
bahan kampanya maupun advokasi bagi semua kalangan masyarakat di Papua maupun di
luar Papua. Tujuannya adalah menciptakan makna baru tentang Papua di tengah hegemoni
media massa arus utama agar penonton dapat menentukan sikap dan tindakan politik dalam
sebuah relasi sosial yang antagonistik.
Meminjam pendapat Della Porta dan Diani (2006: 93), gerakan semacam ini dapat
terjadi ketika para aktor penggerak mampu mengembangkan kemampuannya untuk
mendefinisikan diri mereka sendiri di hadapan aktor sosial lain, serta mampu menopang
hubungan timbal balik (mutual relationship) di antara mereka. Selain itu, sebagai medan
pembentukan subjek-subjek politik dan penggalangan solidaritas di dalam identitas kolektif
yang hegemonik, dokumenter juga berfungsi membangun komitmen bersama untuk
melakukan transformasi sosial menuju perubahan yang menyelamatkan alam dan manusia
Papua. Caranya adalah mengkonsolidasi dan memobilisasi setiap kepentingan, nilai,
perasaan dan tujuan masing-masing penonton agar menjadi milik bersama di dalam gerakan
menggugat ketimpangan, merawat Papua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Proses transisi dari partikularitas keluhan dan kehendak menjadi tuntutan yang
bersifat universal mengharuskan adanya transformasi intelektual dan moral masyarakat sipil
agar semakin banyak orang ikut serta di dalam gerakan. Transformasi yang dimaksud
Gramsci adalah reformasi intelektual dan moral setiap individu yang terlibat (Simon, 2004:
61). Dalam konteks gerakan budaya PV, transformasi moral dan intelektual terjadi melalui
media film dokumenter ketika aktivitas menonton dan diskusi filmbersama warga massa
berhasil membangkitkan kesadaran baru orang Papua untuk dapat melihat diri dan dunia
sekitar secara kritis. Harapannya, setiap orang mau menolak wajah dirinya yang ditetapkan
dari luar secara pasif dan pasrah lalu memilih wilayah aktivitasnya sendiri, menjadi
pembimbing aksi, ikut berpartisipasi dalam menciptakan sejarahnya sendiri, serta turut ambil
bagian dalam menentukan masa depan diri dan dunianya.
Gambar 6: Poster dan kegiatan nonton film bersama masyarakat
(Sumber: engagemedia dok.)
Untuk sampai kepada gerakan budaya yang hegemonik, pertama-tama para aktivis
PV juga memiliki tanggung jawab intelektual dan moral-etis dalam memobilisasi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
mengorganisir partikularitas kekuatan sosial yang ada menjadi kehendak dan tuntutan
kolektif yang bersifat universal. Maksudnya adalah partikularitas pengalaman yang
terfragmentasi dan bertebaran di mana-mana – entah dalam bentuk pengalaman langsung
para penonton di dalam kehidupan sehari-harinya maupun gambaran kondisi sosial yang
diangkat dalam bentuk narasi film dokumenter – ditelaah dan dieksplorasi lebih jauh dalam
konteks yang lebih luas, misalnya situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang turut
melahirkan kesenjangan di Papua. Jadi, dalam hal ini proses pemaknaan baru tentang Papua
terjadi ketika ada interaksi antara teks (film dan pengalaman hidup) dengan pembacanya
(penonton), di mana momen konsumsi (menonton dan berdiskusi) menjadi momen produksi
makna (bdk. Barker, 2004: 12). Melalui cara-cara demikian, PV mampu membangkitkan
kesadaran kritis dan memenangkan konsensus para penonton, serta memperoleh dukungan
dari masyarakat sipil untuk sebuah gerakan budaya yang memperjuangkan transformasi
sosial di Papua.
E. Rangkuman
Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa dinamika gerakan budaya yang
diperjuangkan PV berangkat dari hubungan antagonistik dalam hal pembingkaian kultural
tentang Papua antara cerita ‘tentang’ Papua dengan cerita ‘dari’ Papua. Sambil bercermin
juga pada kondisi sosial historis yang berhubungan dengan alam dan manusia Papua di dalam
pengalaman sehari-hari, para aktivis PV juga menggalang solidaritas ke-kita-an dan
memobilisasi setiap keluhan dan tuntutan ke dalam sebuah identitas kolektif bernama Suara-
Suara Orang Papua. Di dalam identitas itulah, partikularitas tuntutan diarahkan menuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
tuntutan universal yang mengatas-namakan keberpihakan pada alam dan manusia Papua
yang adil, damai dan lestari sesuai dengan visi dan misi PV. Untuk sampai pada sebuah
gerakan budaya yang hegemonik, PV memilih film dokumenter sebagai media artikulasi
berbagai kerja politik di tingkat lokal maupun global. Produksi film dokumenter tidak lagi
menjadi kerja seni semata, tetapi juga kerja politik untuk mewujudkan demokrasi kerakyatan
di akar rumput.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya film dokumenter yang menjadi bagian dari kerja seni
dan politik turut ambil bagian di dalam proyek emansipasi karena sejatinya seni harus
mendekati persoalan untuk dapat diketahui dan dibentuk seturut realitas empiris. Dalam
konteks perjuangan mewujudkan kerja politik kebudayaan, bagi PV seni tidak semata-mata
hanya bersentuhan dengan urusan estetika saja, tetapi ia juga berpihak pada kenyataan bahwa
masih ada banyak ketimpangan sosial di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Papua.
Atau dalam pengertian lain, bagi PV seni sebagai sebuah “kredo” yang berani tunduk pada
realisme sosialis tanpa mendewakan aspek estetikanya. Sudah sepatutnya seni sepatutnya
menjungjung tinggi tanggung jawab sosial para pekerja seni untuk terlibat di dalam gerakan
pembebasan dari segala bentuk ketidak-adilan yang menimpa banyak orang. Itulah alasan
kenapa film dokumenter menjadi teks yang membicarakan realitas yang tak terkatakan. Film
dokumenter bukan lagi menjadi representasi seorang individu atau kelompok sosial tertentu
saja, melainkan merepresentasikan kepenuhan suatu masyarakat yang masih absen akibat
pengalaman represi yang dialami secara terus-menerus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
BAB IV
KONTESTASI MAKNA DAN PERJUANGAN DEMOKRASI KERAKYATAN:
SEBUAH MODEL GERAKAN SOSIAL BARU
A. Pengantar
Satu gagasan pokok yang merarik dari sejumlah tesis yang diajukan Gramsci dan
Laclau-Mouffe perihal gerakan sosial adalah politik kepemimpinan yang dijalankan oleh
para aktor penggerak dalam memperjuangkan demokrasi kerakyatan. Perlu digaris-bawahi
bahwa subjektivitas para aktor penggeraklahir dan tumbuhdi dalam kondisi sosial-historis
tertentu. Bertolak dari realitas yang dihadapi, setiap aktor mengambil subject position
tertentu dari sejumlah hubungan yang antagonistik di dalam masyarakat lalumembentuk
sebuah identitas kolektif yang didasarkan pada universalitas kehendak dan tuntutan.Hal
terpenting yang perlu dilihat dalam hal kedudukan dan peran para aktor tersebut adalah kerja-
kerja politik yang dimulai dari konstruksi wilayah kesadaran setiap individu demi
keberlangsungan sebuah gerak perlawanan yang hegemonik.
Bagian ke-empat tesis ini merupakan bagian terakhir yang saya anggap penting dan
tak terpisahkan dari seluruh rangkain pembacaan atas logika politik gerakan budaya di
pusaran PV.Dengan merujuk pada gagasan intelektual organik milik Gramsci dan agen sosial
baru milik Laclau-Mouffe, bagian ini dimaksud untuk menelaah kedudukan dan fungsi para
aktivis PV dalam rupa-rupa kerja politik memperjuangkan demokrasi kerakyatan; sebuah
model gerakan sosial barudi Papua. Secara spesifik, bagian ini dimaksud untuk menunjukkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
bagaimana para aktivis PV menjalankan politik kepemimpinan yang berfokus pada proses
pemaknaan dan mobilisasi massa berdasarkan peluang politik sebuah gerakan.
B. Politik Kepemimpinan di Dalam Tubuh Papuan Voices?
Untuk memahami logika politik gerakan sosial atau yang saya sebut dalam tesis ini
sebagai gerakan budaya, kedudukan dan peran para aktor penggerak adalah kunci utama yang
perlu ditelusuri dalam kaitanya dengan keberlangsungan sebuah aktivisme. Mereka adalah
elemen penting yang menjadi penentu berhasil atau tidaknya sebuah gerakan, hegemonik
atau tidaknya bangunan identitas kolektif yang dibangun, serta tercapai atau tidaknya
universalitas kehendak maupun tuntutan yang diusung.Lantas, prinsip dasar apa saja yang
perlu diperhatikan perihal politik kepemimpinan di dalam upaya membangun sebuah gerakan
yang hegemonik? Menjawab pertanyaan tersebut, saya memulai pembahasan pada bagian ini
dengan berangkat dari gagasan Gramsci tentang konstruksi wilayah kesadaran, peran dan
kedudukan intelektual organik, serta proses pembentukan subjek politik bagi setiap agen
sosial baru yang digagas Laclau-Mouffe.
Menurut pandangan Gramsci, hegemoni kaum borjuis melalui konsensus yang
diterima kelas pekerja pada dasarnya bersifat pasif. Kemunculan konsesnsus bukan karena
kelas yang terhegemoni menganggap struktur sosial yang ada sebagai keinginan mereka,
melainkan terjadi karena mereka kekurangan basis konseptual untuk membentuk kesadaran
kritis yang memungkinkan mereka memahami realitas sosial secara efektif. Persoalannya ada
pada kemampuan kaum borjuis dalam menetralisasi pertentangan dan mengaburkan sifat-
sifat subordinasi maupun eksploitasi yang ada di dalam masyarakat. Itulah alasan kenapa
watak konsensus massa dalam masyarakat post-industrial disebut Gramsci sebagai kesadaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
yang kontradiktif (contradictory consciousness). Maksudnya adalah hegemoni yang
dijalankan kelompok borjuis hanya merupakan hasil dari sebuah konsensus yang samar-
samar. Menurut Gramsci, persoalan tersebut disebabkan oleh dua hal, yakni pendidikan di
satu pihak dan mekanisme kelembagaan di pihak lain. Pendidikan tidak pernah menyediakan
kemungkinan bagi setiap orang untuk membangkitkan kemampuan berpikir kritis dan
sistematis. Selain itu, mekanisme kelembagaan seperti sekolah, gereja, partai politik, dan
tentu saja media massa menjadi perpanjangan tangan kelompok penguasa untuk menentukan
dan menerapkan ideologi penguasa guna membentuk keinginan-keinginan, nilai-nilai dan
harapan seturut sistem yang telah ditentukan kelompok penguasa (Partia dan Ariel, 1999:
126-128).
Dalam Prison Notebooks dan terutama dalam Gli Intellettuali, Gramsci memberi
penekanan pada pentingnya peran kaum intelektual dalam sebuah kelompok sosial. Menurut
Gramsci, peran dari kaum intelektual adalah menanamkan homogenitas dan membangkitkan
kesadaran kritis bagi setiap anggota kelompok sosial untuk menentang hegemoni kelompok
dominan. Kesadaran kritis yang dimaksud Gramsci adalah sebuah kesadaran baru tentang
adanya sistem dan struktur yang menyebabkan ketertindasan, eksploitasi dan berbagai sistem
sosial yang tidak adil lainnya, seperti struktur kelas, relasi gender maupun rasisme. Selain
itu, kesadaran kritis juga menyangkut fungsi moral-intelektual yang bergerak melampaui
medan ekonomi dan mencakup level sosial, budaya dan politik (Gramsci, 1976: 5; Gramsci,
2017: 130; Pozzolini, 2006: 144).
Artinya, sebagai bagian dari gerakan sosial baru, gerakan budaya yang diperjuangkan
PV tidak lagi jauh pada satu logika tunggal, di mana faktor ekonomi sebagai base-srtucture
yang menentukan dan mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat. Dengan kata lain,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
dalam aktivisme PV tidak ada faktor determinan tunggal, karena titik pijak dan tujuan
gerakan sangat dipengaruhi oleh multiplisitas kondisi sosial-historis yang dianggap timpang
dan menuntut perubahan melalui beragam cara menggugat. Dalam hal ini, di mata para
aktivis PV, selain menjadi media artikulasi bagi orang Papua dalam mengaktualisasikan
pengalaman hidupnya, film dokumenter juga menjadi media pendidikan politik atau yang
disebut Gramsci sebagai popular education bagi semua kelompok masyarakat yang ada di
Papua. Dokumenter tidak lagi terbatas pada kerja seni semata, tetapi menjadi medan
kontestasi makna yang paling otentik tentang alam dan manusia Papua di hadapan publik;
sekaligus menjadi medan perjuangan mendapatkan keadilan di bidang HAM, demokrasi,
politik, budaya, gender dan tentu saja alam lingkungan yang menjadi bagian tak terpisahkan
dari sejarah peradabannya (Lihat Visi dan Misi PV dalam Statuta Papuan Voices, 2018: 1-
2).
Perihal kedudukan dan fungsi intelektual manusia di dalam kehidupan
bermasyarakat, Gramsci memberi kritik yang sangat tajam dan mendasar bagi sebuah upaya
transformasi moral-intelektual. Baginya, semua manusia adalah kaum intelektual, namun
tidak semua manusia menjalankan fungsi intelektualnya di dalam masyarakat (Gramsci,
1976:9). Dalam artian yang ketat, kaum intelektual adalah adalah sebuah kelompok sosial
yang secara khusus menjalankan fungsi-fungsi organisasi di ranah kebudayaan, sosial-politik
dan produksi (Pozzolini, 2006: 145-146). Mereka memiliki karakteristik yang berbeda dari
kelompok lain yang cenderung mengkalim diri sebagai kaum intelektual publik yang
dikategorikan Gramsci sebagai intlektual tradisional. Oleh karena itu, dalam kerja politiknya,
mereka tak lagi mendasarkan diri pada retorika dan kefasihan yang mampu menggerakkan
perasaan dan hasrat orang secara eksternal dan bersifat momental, tetapi menjadi aktor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
pembangun, organisator, inspirator dan penggerak yang turut berpartisipasi secara aktif
dalam kehidupan praksis sehari-hari masyarakat (Gramsci, 2017: 137).
Berkaitan dengan itu, patut saya katakan bahwa peran dan kedudukan para aktivis
gerakan budaya di pusaran PV adalah wujud nyata kaum intelektual organik masa kini.
Mereka layak disebut sebagai kelompok intelektual organik, karena mampu menghubungkan
aktivisme yang diperjuangkan dengan situasi konkret masyarakat; tempat mereka tumbuh
dan bergerak. Mereka juga menjadi pejuang militan yang tidak hanya memahami, tetapi juga
turut mengalami persoalan yang dihadapi orang Papua serta terus berupaya menghidupkan
perjuangan politik dan budaya melawan berbagai bentuk ketimpangan sosial yang
mengancam kehidupan alam dan manusia Papua. Selain itu, kehadiran dan aktivitas politik
yang dijalankannya juga menjadi bentuk kritik terhadap hilangnya rasa kemanusiaan pada
kelompok intelektual lain yang biasa memakai jargon ‘anak asli Papua’ untuk melegitimasi
kedudukan dan perannya sebagai elit politik, akademisi atau tokoh agama maupun aktivis
yang begitu getol berangan-angan tentang masa depan Papua, tetapi tak punya taring dalam
memperjuangkan pemenuhanhak-hak hidup orang Papua.
Membenarkan pernyataan tersebut, Bernard Koten selaku Koordinator Umum PV
periode 2018-2021 dalam sebuah kesempatan wawancara pada 16 Maret 2020, menuturkan
bahwa Papua hari ini menjadi medan penjajahan model baru yang dikenal dengan nama
neokolonialisme. Orang-orang yang diharapkan mampu memperjuangkan aspirasi orang
Papua begitu mudah digiring untuk menjadi bungkam terhadap ketidak-adilan dan turut
mengamini penindasan. Atribut seperti ‘anak asli Papua’ hanya menjadi pelicin dalam usaha
merebut jabatan dan kekuasaan yang pada gilirannya menjadi peluang meraup keuntungan
pribadi maupun kelompoknya yang memiliki kepentingan yang sama. Mereka tidak memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
sikap politik yang konsisten karena menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan
orang Papua. Segala aktivitas polititknya tidak berkiblat pada aspirasi masyarakat, tetapi
kepentingan ekonomi politik para antek kapitalis maupun neolib yang bermain peran di balik
slogan ‘NKRI harga mati’. Oleh karena itu, kehadiran PV dan aktivitas gerakan budayanya
menjadi sesuatu yang penting demi merangkul orang-orang yang sungguh memiliki
kepedulian yang tinggi serta gigih dalam memperjuangkan keadilan sosial dan kelestarian
alam.
Dalam pengamatan saya, melalui media film dokumenter, para aktivis PV tengah
berjuang menerapkan pendidikan politik di tingkat akar rumput dalam rangka mendukung
tumbuh-kembangnya gerakan demokrasi kerakyatan yang tentu saja berbeda haluan ideologi
dengan demokrasi versi negara yang lebih pro-aktif terhadap kepentingan kapitalisme dan
neoliberalisme. Sebagai aktor penggerak, mereka memiliki beragam strategi yang mampu
menginspirasi dan mengorganisir massa untuk turut ambil bagian di dalam gerakan orang
Papua bercerita melalui media film dokumenter. Berdasarkan laporan tahunan sejak 2017-
2019, para aktivis PV memiliki program pelatihan audio-visual (film dokumenter dan video
jurnalis) bagi setiap anggota baru di setiap wilayah kerjanya masing-masing; termasuk
kelompok-kelompok masyarakat seperti perempuan, pemuda, mahasiswa maupun individu
yang memiliki keinginan yang kuat untuk bergelut di dunia dokumenter.
Prinsipnya adalah melahirkan semakin banyak sineas Papua yang mumpuni dalam
mengartikulasikan berbagai bentuk pergumulan hidup orang Papua bersama alamnya. Jadi,
tidak ada semacam ikatan yang didasarkan pada perjanjian tertentu antara seorang individu
atau sekelompok orang dengan pihak PV demi menjaga kuantitas atau kualitas keanggotaan
PV. Masing-masing individu diberi kebebasan menentukan pilihan politiknya untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
bergabung dengan PV secara institusional atau terpisah tanpa ada ikatan apa pun, karena hal
utama yang mau dicapai dari aktivisme semacam ini adalah regenerasi kaum intelektual
organik di Papua yang mampu menciptakan sejarahnya sendiri. Melalui cara demikian, setiap
generasi diharapkan mampu menjadi aktor penggerak massa di tingkat akar rumput untuk
membangun kontra hegemoni terhadap setiap diskursus dominan seperti globalisasi,
developmentalisme yang tidak demokratis dan tidak berkeadilan sosial. Di tangan mereka,
popular education akan terus berlanjut dalam rangka membangkitkan kesadaran kritis setiap
warga massa yang menjadi dasar bagi demokratisasi (baca: demokrasi kerakyatan) di Papua
dari masa ke masa.
Sebagai misal,untuk menjamin keberlangsungan gerakan budayanya, para aktivis PV
selalu menyediakan ruang dan waktu yang cukup untuk melaksanakan program kegiatan
tahunan, seperti nonton dan diskusi film di komunitas-komunitas masyarakat,
penyelenggaraan Festival Film Papua (I-III), atau workshop dan pelatihan, yang temanya
relevan dengan konteks kehidupan orang Papua. Tujuan yang hendak dicapai adalah
penguatan organisasi di satu sisi, dan gerak perlawanan di sisi yang lain. Melalui cara-
carademikian, mereka punya keyakinan yang kuat bahwa kehendak dan tuntutan yang
diusung dapat dicapai dan gerakan akan menjadi semakin hegemonik. Dengan kata lain,
politik kepemimpinan yang dihidupi PV berorientasi pada terwujudnya emansipasi yang
dilandasi oleh perubahan besar-besaran pada ranah kesadaran serta mampu menciptakan
kohesivitas dan transformasi massa baik secara psikologis maupun teknis.
Selanjutnya, untuk melengkapi sudut pandang politik kepemimpinan di tubuh PV,
bagian ini dimaksudk untuk meninjau lebih jauh tentang proses pembentukan subjek politik
di dalam aktivisme yang dihidupi para aktor penggerak PV dengan menggunakan pendekatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
yang ditawarkan oleh Laclau-Mouffe. Dalam pandangan mereka, kerja politik
kepemimpinan tidak terlepas dari proses pembentukan subjek-subjek politik yang pada
gilirannya mengambil posisi subjek tertentu untuk menentang bentuk-bentuk subordinasi
baru yang kadang tak disadari secara utuh. Dengan merujuk pada pemahaman Lacanian,
menurut Laclau-Mouffe, proses pembentukan subjek politik tidak pernah mencapai
kepenuhannya, tetapi justru subjek dialami sebagai dislokasi, decentred, dan split. Artinya,
dalam proses pembentukan subjek melalui konstruksi wilayah kesadaran (transformasi
moral-intelektual), setiap individu belum sepenuhnya menjadi bagian dari struktur yang
dibangun, karena masih ada jarak antara kehendak yang diperjuangkan dan kenyataan yang
dihadapi. Posisi yang diambil pun tidak tetap atau terpusat, karena sangat bergantung dan
menyebar mengikuti wacana yang mengitarinya. Itulah alasan kenapa subjek politik yang
memperjuangkan keutuhan (fullness) disebut sebagai subject of lack atau split. Di satu sisi,
subjek menduduki posisi tertentu, tetapi di sisi lain terkandung keutuhan yang absen atau
tidak hadir. Jadi, keutuhan subjek politik yang absen tersebut hanya dapat dipahami melalui
bentuk-bentuk artikulasi yang mengusung kehendak dan tuntutan menuju kepenuhannya
(Lih. Sunardi, 2012: 26-28).
Dalam konteks PV, politik kepemimpinan yang dijalankan melalui popular education
adalah bentuk lain proses pembentukan subjek politik. Dengan memanfaatkan kemampuan
mempengaruhi perilaku massa, terutama pada ranah kesadaran setiap individu, para aktor PV
berupaya menunjukkan secara faktual posisi orang Papua di bawah bayang-bayang
subordinasi, marginalisasi dan penindasan model baru. Sebagai bahan refleksi bersama
masyarakat, film dokumenter ditayangkan dan didiskusikan lalu dikorelasikan dengan
pengalaman hidup sehari-hari mereka untuk menemukan persoalan-persoalan yang dianggap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
mengancam masa depan manusia dan alam Papua. Persis dalam momen ini, setiap penonton
diajak untuk menemukan posisi mereka sebagai subject of lack di hadapan berbagai model
konstruksi yang dengan sengaja membentuk mereka untuk tunduk pada kekuatan utama
(negara dan korporatismenya). Dalam pengertian lain, para penonton diantar untuk
menyadari dirinya sebagai subjek yang tidak pernah menemukan kepenuhan karena semua
hal yang dihasrati sedang direpresi bahkan ditenggelamkan secara sistemik maupun normatif.
Situasi semacam inilah yang menyebabkan orang Papua hidup di bawah bayang-bayang
pembodohan massal tanpa punya kesadaran yang kritis untuk memahami realitas hidupnya
lalu bangkit dan melawan berbagai model ketidak-adilan sosial yang terus berlanjut. Sudah
saatnya orang Papua menyadari faktayang sesungguhnya terjadi agar dapat mengambil posisi
tertentu sesuai kehendak dan tuntutan yang ingin diperjuangkan.
Perlu dicatat bahwa kehendak dan tuntutan yang lahir bersamaan dengan kesadaran
kritis untuk melawan bukan bersifat terberi (given), melainkan diciptakan dan dikonstruksi
oleh aktor penggeraknya. Artinya, para aktivis PV punya peran yang besar dalam hal
penerapan gaya politik kepemimpinan untuk menyuburkan perjuangan demokrasi kerakyatan
di Papua. Mereka mampu menerjemahkan berbagai peristiwa hidup yang bersifat menindas
dan eksploitatif ke dalam bahasa yang umum dan mudah dipahami sambil melakukan
konsolidasi kekuatan baru untuk sedapat mungkin menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dihadapi orang Papua, entah pada skala lokal maupun nasional. Mereka juga memberi ruang
seluas-luasnya bagi orang Papua untuk memperjuangkan perubahan sosial seperti
pemenuhan hak-hak hidup dan kelestarian alam melalui sejumlah agenda reformasi yang
dijalankan. Melalui cara demikian, upaya merebut kepercayaan, konsensus dan dukungan di
dalam masyrakat dapat terwujud. Dan tentu saja pola regenerasi model ini memberi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
sumbangan berarti bagi bertumbuh suburnya kaum intelektual organik atau yang disebut
Laclau-Mouffe sebagai agen sosial baru dalam mengatasi krisis organik serta menumbuhkan
gerakan budaya secara masif dan hegemonik di Papua.
C. Kontestasi Makna dan Perjuangan Demokrasi Kerakyatan
Sebagaimana yang telah saya tegaskan di bab ketiga tesis ini bahwa gerakan budaya
yang dilakukan PV bukan pertama-tama untuk menumbangkan kekuasaan negara, melainkan
sebagai upaya war of position di dalam kontestasi makna tentang alam dan manusia Papua
di antara dua versi narasi yang berbeda, yakni cerita ‘tentang’ Papua dan cerita ‘dari’ Papua.
Di samping itu, gerakan budaya ini juga dimaksud untuk menumbuh-kembangkan
perjuangan demokrasi kerakyatan di Papua, di mana kedua-duanya menjadi model gerakan
sosial baru di era post-industrial. Pada bagian ini akan ditunjukkan bagaimana kontestasi
makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan tersebut berlangsung di balik kerja-kerja politik
yang dilakukan oleh para aktivis PV melalui tiga pendekatan utama studi gerakan sosial,
yakni pembingkaian kultural (cultural framing), struktur mobilisasi (mobilizing structures),
dan peluang politik (political opportunities).
1. Pembingkaian Kultural
Mengacu pada pendapat Goffman (1974: 12), pembingkaian kultural merupakan
proses yang digunakan oleh masyarakat untuk mereproduksi maka, seperti peran media
massa yang mengkonstruksi sebuah realitas yang diekspos. Dalam hal ini, analisis framing
juga dipakai untuk melihat bagaimana sebuah peristiwa dipahami dan dibingkai oleh media
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
(Soeyono, 2008: 42-42 dalam Sukmana, 2016: 201). Menurut Benford dan Snow (2000:
614), framing adalah upaya strategis untuk memahami manusia dan dunianya; sekaligus
melegitimasi dan memotivasi gerak perlawanan. Selain itu, framing juga merupakan cara
memberi makna pada sebuah peristiwa yang pada gilirannya berfungsi bagi massa aksi untuk
memahami pengalaman yang dialami dan membimbing tindakan perlawanan. Ia memiliki
kemampuan dalam hal memberi keyakinan dan makna yang menginspirasi dan melegitimasi
gerakan serta mewujudkan solidaritas ke-kita-an.
Framing atau pemaknaan dalam konteks gerakan budaya yang dilakukan PV berkaitan
dengan pengunaan film dokumenter sebagai media pembentukan makna baru tentang Papua
yang di dalamnya terdapat gambar dan suara tentang peristiwa, individu, kelompok, alam,
dan lain sebagainya. Dengan kata lain, realitas empiris dimaknai dan direkonstruksi ke dalam
bentuk media audio-visual (film dokumenter). Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwabercerita melaui media film adalah bagian dari politik signifikasi (the politisc of
signification). Dokumenter sebagai produk seni bisa menjadi perangkat kerja politik dalam
memproduksi makna baru yang punya daya transformasi wilayahkesadaran pada setiap
kelompok massa untuk mendapatkan kepercayaan, simpati, solidaritas, dan konsensus yang
menghasilkan opini publik yang sehat tentang Papua.
Untuk sampai pada pemahaman tentang makna-makna baru apa saja yang diproduksi
oleh PV melalui film-film dokumenternya, pada bagian ini akan diulas lima film utama, yakni
Ironic Survival (2011), Mama Mariode (2014), Surat Cinta Kepada Sang Prada (2012),
Dipenjara (2018) dan Resep Pendidikan Papua (2018). Kelima film tersebut dianggap cukup
relevan dalam hal cara framing yang sangat bersesuaian dengan kondisi sosial-historis Papua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
serta punya kemasan narasi yang sangat kontras dengan narasi-narasi milik media-media arus
utama seperti yang telah diulas di bab kedua.
Pertama, Ironic Survival (2011)12. Dokumenter pendek berdurasi 05:46 ini bercerita
tentang sebuah ironi kehidupan yang dijalankan oleh Alex Mahuze dan keluarganya di
wilayah Merauke. Seperti kelompok suku lain di wilayah Papua, sagu di mata keluarga Alex
adalah makanan pokok orang Papua yang patut dijaga dan dilestarikan demi keberlangsungan
hidup mereka di masa mendatang. Akan tetapi, sejak hadirnya Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE) di wilayah Merauke pada 2010, mereka mengalami banyak kendala
dalam beberapa aspek kehidupan.
Gambar 7: Alex Mahuze dalam salah satu frame di film Ironic Survival (2011)
Program MIFEE yang dicanangkan untuk meningkatkan ketahanan pangan justru
menjadi bencana bagi keluarga Alex. Hutan konservasi yang di dalamnya terdapat lahan sagu
12Film Ironic Survival (2011) dapat diakses di https://papuanvoices.net/2012/07/23/ironic-survival.html
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
dan berbagai sumber kebutuhan hidup orang Merauke dialih-fungsikan menjadi lahan
pertanian yang berorientasi pada kepentingan agrobisnis. Akibatnya, kehidupan keluarga
Alex terombang-ambing karena kehilangan ruang-ruang hidup tanpa ada jaminan dari pihak
perusahaan maupun pemerintah. Untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya, mau
tak mau mereka menambang pasir di pesisir pantai lalu dijual demi mendapatkan uang.
Sungguh ironis! Harmoni kehidupan yang telah terjalin antara manusia dan alam Papua
selama ribuan tahun, terpaksa harus dirusak agar mereka dapat bertahan hidup. MIFEE telah
membuat mereka merasa lapar dan memaksa mereka untuk merusak alam yang adalah
sumber kehidupan sejak masa silam sampai saat ini dan di masa mendatang.
Dalam pengamatan saya, Urbanus Kiaf sebagai sutradaranya telah berhasil membuat
framing yang kontekstual, relevan dan tepat sasaran. Inilah gambaran kondisi sosial-historis
yang benar-benar sedang terjadi di Papua. Ada begitu banyak program pembangunan di
Papua yang diklaim mampu menyejahterakan masyarakat, tetapi faktanya manusia dan alam
Papua hanya menjadi objek jarahan atau sebatas menjadi pengais kehidupan dari remah-
remah proyek pembangunan di atas tanah ulayatnya. Dengan kata lain, pembangunan
nasional masih tetap bertolak dari watak pembangunan ekonomi neoliberal yakni privatisasi
dan pertumbuhan ekonomi. Ini membawa konsekuensi serius diantaranya, pendepakan
masyarakat lokal di satu sisi dan terintergasinya masyarakat lokal ke dalam pasar global.
Celakanya, perspektif semacam ini cenderung absen dalam pemberitaan media massa
dominan di Indonesia. Alih-alih menjadi corong yang menyuarakan aspirasi masyarakat,
media arus utama justru terjebak menjadi aparatus rezim yang bertugas memperkokoh
cengkeraman dan hegemoni negara di aras lokal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Selain itu, film tersebut juga mengandung ktirik pedas sekaligus pesan politis bagi para
penonton. Tentu saja Urbanus tak sekedar ingin menunjukkan persoalan apa yang dialami
kelaurga Alex, tetapi mengajak semua pihak yang menyaksikan film tersebut untuk berpikir
keras tentang bagaimana seharusnya mengakhiri ironi kehidupan semacam itu serta
bagaimana memperlakukan alam sebagaimana mestinya.
Gambar 8: Mama Mariode Malak dalam salah satu frame di film Mama Mariode (2014)
Ya, seperti film Mama Mariode (2014)13 yang digarap oleh Agus Kalalu di wilayah
Sorong. Melalui sosok Maroide Malak dan Kefas Gisim yang ditampilkan di dalam film
tersebut, Agus berupaya membangkitkan kesadaran baru bagi setiap orang Papua untuk
berdiri di garda terdepan sebagai ‘tembok’ penjaga alam Papua dari kepungan investasi yang
terus berupaya membabat habis hutan adat milik mereka. Hutan adalah ibu yang memberi
kehidupan sehingga perlu dijaga keselamatannya demi keberlangsungan hidup setiap
13Film Mama Mariode (2014) dapat diakses di https://papuanvoices.net/2020/09/21/mama-mariode-2.html
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
generasi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu di masa lampau. Apa pun
tantangannya, alam harus tetap dijaga sampai titik darah penghabisan.
Kedua, Surat Cinta Kepada Sang Prada (2012)14. Film dokumenter pendek hasil
garapan Wenda Tokomonowir yang bekerjasama dengan Engage Media dan JPIC MSC
tersebut sempat menjadi topik perbincangan yang hangat karena berhasil menguak tragedi
kemanusiaan yang menimpah seorang gadis belia bernama Maria Goreti Mekiw (Eti).
Dokumenter ini berkisah tentang peliknya pengalaman hidup Eti tanpa kehadiran seorang
suami dan ayah bagi buah hatinya, Yani. Pada 2008, Eti pernah tertambat hatidengan seorang
prajurit TNI bernama Samsul yang saat itu bertugas di Kampung Bupul, Papua; sebuah desa
yang berada di wilayah perbatasan Negara Republik Indonesia-Papua New Guinea.
Di mata Eti, Samsul adalah orang yang baik, sopan dan bertanggung jawab. Setiap
kali berkunjung ke rumahnya, Samsul selalu membawakan biskuit, susu, beras, mie instant
dan ikan kaleng serta pakaian dan perlengkapan tidur buat keluarganya. Sepertinya Samsul
lihai dalam hal bujuk-rayu sehingga Eti berani menyerahkan diri dan bahkan sampai menaruh
rasa percaya yang tinggi padanya bahwa mereka akan menjadi suami dan istri di kemudian
hari.Tapi sayangnya, kisah cinta Eti bersama sang Prada itu ternyata tak bertahan lama dan
berujung sepi serta kecewa yang mendalam. Ketika masa tugas Samsul berakhir, ia pergi
meninggalkan Eti dalam keadaan ‘berbadan dua’ tanpa ada kabar lebih lanjut seperti yang
pernah ia janjikan. Eti sudah dua kali bersurat kepada Samsul, tetapi tak pernah dibalas. Saat
ini, Eti dan Yani masih menggantungkan hidupnya pada kedua orang tuanya yang tampak
kian menua sambil tetap menanti kabar baik datang menghampirinya. Melalui kisah Eti
14Film Surat Cinta Kepada Sang Prada (2012) dapat di akses di https://papuanvoices.net/2012/08/03/love-
letter-to-the-soldier.html
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
tersebut, Wenda sebenarnya hendak menyodorkan sebuah model framing yang berbeda dan
khas tentang pengalaman hidup orang Papua dalam hubungannya klaim tentang militerisme
sebagai pendekatan keamanan. Dengan menempatkan Eti, seorang perempuan Papua sebagai
subjek ceritanya, Wenda membuka tabir baru, di mana ada sisi gelap dari proyek militerisme
di Papua yang hampir tak pernah disuguhkan olehmedia-media arus utama.
Gambar 9: Maria Goreti dan anaknya, Yani dalam sebuah frame di film
Surat Cinta Kepada Sang Prada (2012)
Sebagai pelengkap framing di dalam film tersebut, Wens Fatubun dalam sebuah
artikel bertajuk “Sepi Maria Tanpa Sang Prada”15 yang terbit di Harian IndoProgress pada
21 September 2010, juga menyuguhkan sebuah narasi yang lebih menukik perihal cara aparat
keamanan memperlakukan penduduk lokal di sana secara tidak manusiawi. Meskipun tidak
15Tulisan lengkap “Sepi Maria Tanpa Sang Prada” dapat diakses di indoprogress.com/2010/09/sepi-maria-
tanpa-sang-prada/
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
semua prajurit melakukan hal yang sama, aktivitas mereka telah membuat orang Papua
merasa resah, takut dan bahkan trauma ketika mendengar atau berhadapan dengan sosok
bernama tentara atau polisi. Militerisme adalah nama buruk bagi perjuangan kemanusiaan di
Papua, karena selain Eti, masih ada kisah serupa yang dialami orang Papua lainnya di tempat
yang berbeda. Misalnya keluarga David Kabajai yang diceritakan Wens di dalam artikelnya.
Kasus pemerkosaan yang dilakukan seorang prajurit TNI bernama Viky terhadap istrinya
hanya diselesaikan dengan pendekatan yang tidak manusiawi. David dan keluarganya hanya
dibayar denda berupa uang tunai sebesar Rp250.000, meskipun ia terus menuntut agar Viky
segera dipecat dan dihukum.
Dalam kaitannya dengan itu, hemat saya, praktik militerisme di Papua selalu
menyisakan kubangan luka di setiap benak orang Paua. Ia seperti bencana yang terus
menggerus kehidupan sosial-budaya orang Papua serta menumbuhkan penyakit sosial yang
akut. Melaui kemasan narasi dokumenter semacam itu, diharapkan publik Papua maupun di
luar Papua diantar pada sebuah kesadaran baru bahwa ancaman terhadap keberlangsungan
hidup orang Papua perlu diakhiri. Sudah saatnya publik perlu kritis terhadap narasi-narasi
usang milik media-media arus utama sambil berkaca pada cerita-cerita ‘dari’ Papua untuk
menemukan kebenaran yang paling otentik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Ketiga, Dipenjara (2018)16 karya Stracky Yally. Dengan menghadirkan sosok Yanto
Awerkion sebagai subjek filmnya, Stracky berupaya menepis stigma buruk yang biasa
dilekatkan pada para aktivis politik asal Papua yang sering dianggap separatis, pembangkang,
dan pemberontak yang layakdimusuhi negara.Meskipun sering mengalami represi dan
perlakuan kasar oleh aparat penegak hukum selama berada dalam masa tahanan, Yanto tetap
bersikukuh memperjuangkan hak-hak hidup orang Papua. Di mata Yanto, sumber daya alam
Papua adalah kekayaan yang patur dijaga untuk keberlangsungan hidup orang Papua, bukan
menjadi objek jarahan pemerintah dan konglomeratnya.
Gambar 10: Salah satu frame gambar di dalam film Dipenjara (2018)
Yanto dan teman-temannya yang melakukan aktivitas berkebun dan mendulang emas
di pesisir sungai dekat PT. Freeport yang ditampilkan di dalam film tersebut adalah bukti
16Film Dipenjara (2018) dapat diakses di https://www.youtube.com/watch?v=UfoGBlbVuiI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
bahwa mereka tak ingin kalah berjuang di hadapan kuasa kapitalisme, imperealisme dan
neoliberalisme di atas tanah leluhurnya. Yanto bukanlah seorang separatis atau pemberontak,
tetapi seorang aktivis yang punya rasa kemanusiaan untuk mengakhiri penindasan, ketidak-
adilan maupun eksploitasi terhadap alam dan manusia Papua. Walaupun jiwa dan raga selalu
menjadi tumbal untuk sebuah perjuangan pembebasan, orang Papua tak boleh tunduk atau
menyerah di bawah tirani.
Keempat, Resep Pendidikan Papua (2018)17 karya Yosep Levi. Melalui film tersebut,
Levimengeritik buruknya sistem pendidikan di Papua. Melalui sosok guru Tri Ari Santi
beserta anak-anak didiknya di SDI Saminage, Kabupaten Yakukimo, Levi menunjukkan
bahwa anak-anak Papua memiliki potensi yang besar dalam hal pengetahuan. Mereka juga
memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sebagaimana para peserta didik di
daerah lain. Hanya saja mereka lebih membutuhkan pendidikan kontekstual yang bersesuaian
dengan tradisi dan kebudayaannya masing-masing, tempat mereka hidup, berkembang dan
berkarya di kemudian hari. Jika anak-anak dan gurunya dipaksa untuk patuh terhadap standar
kurikulum nasional, maka semua jerih-payah yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas
sumber daya anak-anak Papua menjadi sia-sia belaka. Mereka sama sekali tidak
membutuhkan cekokan ilmu yang telah diberi standar oleh pemerintah pusat karena dengan
cara demikian, pendidikan akan menjadi kebutuhan yang sentralistik dan menjauhkan
mereka dari konteks kehidupannya sehari-hari.
17Film Resep Pendidikan Papua (2018) dapat diakses di https://www.youtube.com/watch?v=lRxBSo7lXxg
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Gambar 11: Salah satu frame gambar di dalam film Resep Pendidikan Papua (2018) yang
menampilkan Ibu Ari dan para muridnya melakukan aktivitas belajar di alam terbuka
Bagi Levi, pendidikan mestinya berakar dan bersumber pada tradisi dan budaya yang
menjadi konteks kehidupan mereka sehari-hari. Pendidikan juga tak semestinya berlangsung
di dalam gedung sekolah dengan berbagai model perangkat belajar yang telah ditetapkan
negara. Pendidikan adalah tentang kemerdekaan berpikir dan berekspresi. Ketika pendidikan
mengabaikan hal-hal tersebut, ia akan menjadi sebuah dunia baru yang penuh dengan
imajinasi tentang segala hal yang tidak pernah mereka temui di alam dan budaya orang
Papua. Akibatnya, pengetahuan akan menjadi sesuatu yang abstrak dan sulit untuk
dibayangkan dan dipahami di alam pikir peserta didik. Harapannya, film tersebutmembuka
mata publik untuk berani melawan wacana dan praktik pendidikan yang sentralistrik;
sekaligus memerangi berbagai bentuk stigma buruk tentang orang Papua yang masih
dianggap ‘terbelakang’ dan ‘liyan’ yang perlu diberadabkan oleh mereka yang mengklaim
dirinya lebih maju dalam hal segala aspek kehidupan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Berdasarkan ulasan singkat atas beberapa film yang saya pilih tersebut, dapat saya
katakan bahwa para filmmaker PV berhasil menciptakan makna baru tentang alam dan
manusia Papua. Secara substansial, kemasan narasi serta pesan filmnya berbeda jauh dengan
narasi-narasi dominan yang biasa dikonsumsi publik di media-media arus utama, seperti
media-media online, televisi maupun film-film layar lebar sebagaimana yang telah saya ulas
di bab kedua tesis ini. Untuk menciptakan sebuah narasi film dokumenter, mereka selalu
berangkat dari pemahaman serta kedekatannya dengan pengalaman hidup sehari-hari orang
Papua.Meskipun tidak terlepas dari subejtivitas seorang filmmaker dalam membangun
sebuah story-telling, paling tidak mereka telah berhasil menyodorkan kepada publik cerita-
cerita ‘dari’ Papua secara lebih objektif dan punya klaim kebenaran.
Singkatnya, mereka ingin menunjukkan kepada publik bahwa alam dan manusia
Papua tidak bisa dipahami dari satu sudut pandang saja. Papua punya kompeksitas persoalan
yang menuntut banyak pihak untuk ambil bagian di dalam upaya mewujudkan keadilan sosial
bagi orang Papua serta menjamin kelestarian alam hidupnya di masa mendatang. Karena itu,
melalui kerja politik pemaknaan yang ada di dalam setiap film dokuemnter yang
diproduksinya, para aktivis PV terus mengupayakan konstruksi wilayah kesadaran semua
elemen masyarakat di Papua maupun di luar Papua. Sudah saatnya publik melihat realitas
Papua dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya sesuai harapan dan tuntutan yang terus
diperjuangkan oleh setiap generasi penerusnya.
2. Struktur Mobilisasi
Sebagai bagian dari aktivisme gerakan budaya, kontestasi makna dan perjuangan
demokrasi kerakyatan tidak berhenti pada tahap proses pemaknaan atau pembingkaian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
kultural atas sebuah realitas ke dalam frame-frame berbentuk audio-visual (dokumenter)
semata. Makna baru tentang alam dan manusia Papua yang diproduksi melalui film
dokumenter adalah prasyarat yang menjadi titik pijak terbentuknya kesadaran kritis massa
sekaligus menjadi daya dorong untuk sebuah tindakan kolektif. Pada tahap ini terjadilah apa
yang disebut Della Porta dan Diani (2006: 93) sebagai pembentukan identitas kolektif yang
menjadi penuntun tindakan selanjutnya. Dengan bantuan para aktor penggerak, setiap
individu massa pada akhirnya dapat mendefinisikan siapa diri mereka, bagaimana
menempatkan diri sebagai subjek-subjek politik; baik secara internal maupun eksternal, di
dalam sebuah hubungan sosial yang antagonistik. Dengan kata lain, proses pemaknaan
adalah cara menggalang identitas kolektif untuk sedapat mungkin membangun spirit, simpati
dan solidaritas setiap anggota massa dalam mewujudnyatakan sebuah gerakan bersama yang
hegemonik. Persis dalam kondisi inilah, sebuah proses mobilisasi massa dapat dilaksanakan.
Untuk membangun basis gerakan yang berorientasi pada proyek emansipasi rakyat,
perlu dilakukan regrouping politik baru di luar demokrasi kepartaian yang lebih bercorak
partisipatoris. Di dalamnya ada langkah politik demokratis yang bertumpu pada sebuah
komunitas; sebuah bentuk politik identitas yang disatukan oleh cita-cita untuk menjaga
kedaulatan rakyat (popular sovereignity) agar rakyat sendiri mampu melaksanakan legislasi
politik dalam merencanakan aksi bersama memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.
Dengan melakukan pemberdayaan masyarakat dan pembaharuan sosial melalui pendidikan
politik, masyarakat pada akhirnya dapat mengenali masalah-masalah sosial, ekonomi,
politik, dan kebudayaan, sambil menumbuhkan politik kepemimpinan yang lebih peka
terhadap solidaritas dan keadilan sosial (Abdurachman, 2001 dalam Wacana XI/2002:
169).Selain itu, Pichardo (1988: 100 dalam Sukmana, 2016: 157) misalnya, melihat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
partisipasi massa di dalam sebuah gerakan sangat ditentukan oleh tiga elemen dasar, yaitu:
sumberdaya (resources), motivasi (motivation), dan lingkungan politik (political
environment). Dalam hal ini, keberhasilan sebuah gerakan sangat ditentukan oleh seberapa
banyak orang yang tergabung di dalamnya, bagimana peran aktor penggerak mengarahkan
mereka, apa saja yang siap dikorbankan, dan bagaimana mereka bertahan terhadap pihak
lawan (opponent) di tengah perjuangan mencapai tujuan.
Dalam konteks aktivisme di pusaran PV, memproduksi sebuah makna baru tentang
Papua melalui media film dokumenter tentu saja membutuhkan berbagai rupa sumberdaya.
Sebagai sebuah komunitas, PV terus berupaya menjaring serta mengembangkan kapasitas
para filmmakerdi Papua yang punya kepedulian besar terhadap kondisi sosial-historis Papua.
Menariknya, PV tidak mewajibkan semua orang yang terlibat dalam seluruh aktivismenya
untuk menjadi anggota tetap, tetapi memberi kebebasan bagi setiap orang untuk menentukan
pilihannya. PV hanya menjadi wadah yang mempersiapkan regenerasi serta peningkatan
kapasitas maupun jumlah filmmaker di Papuadengan mengadakan pelatihan-pelatihan dasar
dokumenter bagi komunitas-komunitas masyarakat yang ada di setiap wilayah kerjanya.
PV juga tidak hanya memperkuat sumberdayasecara internal, tetapi juga melibatkan
individu-individu maupun kelompok-kelompok yang ada di Papua maupun di luar sebagai
aktor pendukung aktivismenya. Sampai sejauh ini, PV terus menjalin solidaritas dengan para
filmmaker dari luar Papua, aktivis-aktivis dari berbagai bidang gerakan, ahli hukum, jurnalis,
maupun organisasi-organisasi sipil demi menjamin eksistensi dan kerja sama yang saling
melengkapi. Singkatnya, PV tetap konsisten menjamin keberlangsungan aktivismenya secara
internal maupun eksternal agar suara-suara orang Papua semakin banyak didengar oleh
dunia, serta transformasi dan perubahan sosial di Papua dapat terwujud.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
Akan tetapi, perlu diakui bahwa PV masih mengalami keterbatasan sumberdaya yang
berhubungan dengan biaya produksi dan distribusi film dokumenter. Sampai dengan saat ini,
PV belum sanggup melengkapi setiap anggotanya dengan fasilitas kerja film-making secara
memadai sehingga konsistensi, loyalitas dan tanggung jawab masing-masing individu dalam
memproduksi cerita-cerita ‘dari’ Papua benar-benar diuji. Tentu saja kedala semacam ini
sangat berpengaruh pada produktivitas di dalam tubuh PV. Selain itu, luas wilayah, ragam
bahasa dan budaya serta keterbatasan akses transportasi ke semua wilayah yang ada di Papua
juga menjadi kendala lain dalam proses produksi dan distribusi. Itulah alasan mendasar
kenapa PV terus mengupayakan pembentukan wilayah kerja di setiap daerah yang ada di
Papua agar dapat menghasilkan lebih banyak filmmaker maupun cerita-cerita yang selama
ini belum digarap.
Walaupun PV hidup dalam keterbatasan yang ada, para aktor penggeraknya terus
mengupayakan realisasi kerja-kerja politiknya. Masing-masing anggota PV yang tersebar di
sembilan wilayah kerja terus mengupayakan popular educationdengan cara mengadakan
nonton dan diskusi film dokumenter bersama warga setempat untuk merumuskan persoalan-
persoalan apa saja yang sedang melanda Papua serta bagaimana seharusnya mereka bersikap
untuk mengatasinya. Tak hanya sampai di situ. PV juga menyediakan platform khusus berupa
Website (www.papuanvoices.net), akun Youtube (Papuan Voices), maupun media sosial
seperti facebook (Papuan Voices), Tweeter (@papuan_voices), dan Instagram
(@papuanvoices)agar dapat diakses oleh publik di tingkat lokal maupun global. Selain itu,
PV juga terlibat dalam berbagai kegiatan di luar Papua, seperti program Roadshow bertajuk
“Tutut Ufuk Timur” yang diselenggarakan PV bersama Engage Media di enam kota yang
ada di Jawa (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Salatiga, dan Semarang) pada 17-26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
November 2018; termasuk mengikuti berbagai ajang festival film yang diselenggarakan di
dalam maupun luar negeri.
Dari sejumlah langkah strategis yang ditempuh para aktivis PV tersebut, saya
menemukan ada struktur kerja polilik yang bertujuan untuk membentuk sekaligus
memobilisasi makna baru tentang alam dan manusia Papua. yang termaktud di dalam setiap
aktivitas menonton atau mendiskusikan sebuah film dokumenter. Di dalam aktivitas
menonton atau mendiskusikan sebuah film dokumenter ada proses artikulasi, komunikasi,
negosiasi, dan investasi emosional tentang realitas Papua yang sebenarnya. Proses itulah
yang kemudian mendorong, memotivasi serta memobilisasi opini setiap individu untuk
menalar Papua secara lebih kritis. Dan dengan demikian, upaya menggalang dukungan,
simpati, serta konsensus dan kepercayaan dari publik menjadi suatu keniscayaan.
3. Peluang Politik
Salah satu aspek penting yang perlu ditelusuri dalam kaitannya dengan studi gerakan
sosial adalah peluang politik yang dipahami sebagai suatu keadaan yang memungkinkan
seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan kerja-kerja politik dalam
memperjuangkan kepentingannya. Menurut Sydney Tarrow (dalam McAdam, et al., 2004:
41-44), peluang politik yang memicu tumbuhnya sebuah gerak perlawananmencakup dua
hal, yakni proximate opportunity structure dan state centered opportunity structure.Secara
sederhana, proximate opportunity structure dapat dipahami sebagai tanda atau sinyal yang
diterima dari sejumlah kebijakan yang berdampak pada terjadinya perubahan-perubahan di
dalam masyarakat. Sedangkan state centered opportunity berkaitan dengan berubahnya
sebuah sistem politik negara yang mempengaruhi dan menentukan ruang lingkup sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
gerakan. Negara menjadi seperti arena persaingan natar kelas dalam memperjuangkan
kepentingan masing-masing kelas sehingga menimbulkan konflik-konflik sosio-politik di
dalamnya.
Munculnya kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan di balik gerakan
budaya PV tidak terlepas dari peluang-peluang politik yang mengitarinya. Di satu sisi,
sejumlah kebijakan dan praktik politik pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah
Indonesia tidak bersesuaian dengan aspirasi orang Papua. Pendambaan akan kesejahteraan
dan kemerdekaan di Papua hanya menjadi ilusibagi orang Papua, karena selalu ada konflik
horisontal maupun vertikal yang berujung pada pertumpahan darah dan kehilangan nyawa.
Alam dan budayanya pun terus tergerus oleh kepentingan kapitalisme neoliberal. Di mata
mereka, negara Indonesia melalui aparatusnya dinilai gagal membangun Papua.Di sisi yang
lain, persoalan-persoalan mendasar yang terjadi di Papua justru tidak diakuisisi di dalam
kemasan narasi media-media arus utama. Tampaknya, Orang Papua telah sampai pada
puncak krisis kepercayaan sehingga perlu ada upaya untuk membangun gerak perlawanan
menuntut hak-hak hidupnya, meskipun terus mengalami represi yang tak berkesudahan.
Selain itu, faktor organisasi dan kepemimpinan di tubuh PV juga menjadi peluang
politik yang penting struktur mobilisasi massa. Di satu sisi, PV telah dikenal sebagai sebuah
organisasi yang menjadi wadah bagi orang Papua untuk mengartikulasikan berbagai
pengalaman hidupnya yang kebanyakan luput dari liputan media-media nasional. PV juga
menjadi tempat mengembangkan kapasitas seorang story-teller dokumenter yang mumpuni.
Di sisi lain, kebanyakan para aktivis PV adalah orang-orang yang sangat mengenal dan dekat
dengan kehidupan harian orang Papua dan alamnya. Di mata publik Papua, mereka adalah
pejuang kemanusiaan yang terbukti melalui cara berpikir dan tindakan politik yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
bersesuaian dengan kehendak dan tuntutan hidup orang Papua. Duka, kecemasan dan
perjuangan orang Papua telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari seluruh hidup dan
karyanya di Papua. Inilah keunggulan yang menjadi peluang politik bagi terciptanya gerakan
budaya yang hegemonik.
Perlu untuk diketahui juga bahwa PV yang menolak berafiliasi dengan pemerintah
maupun para elit atau partai politik tertentu adalah bukti bahwa ideologi politik
kepemimpinan yang mereka bangun bertolak belakang dengan ideologi demokrasi liberal
yang condong kepada sistem kepartaian dan keputusan politik para elit yang dibingkai oleh
konstitusi dan kekuasaan negara. Apa yang diperjuangkan PV adalah demokrasi kerakyatan;
sebuah perjuangan yang lahir dan tumbuh di dalam kondisi-kondisi sosio-historis orang
Papua serta berpihak pada alam dan manusia Papua. Dalam hal ini, seperti kata Gramsci, PV
sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society) bukan merupakan konsep yang dapat
dipakai untuk melindungi dan melanggengkan kepentingan politik neoliberal di bawah
jargon ‘demokratisasi dan penguatan masyarakat sipil’, melainkan sebagai weapon of the
weak yang menjadi kendaraan bagi kaum marginal dan tertindas untuk mempertahankan hak-
hak hidup (Bdk. Fakih, 2002: 73).
Sikap politik semacam ini mau menunjukkan bahwa para aktivis PV tidak
menginginkan adanya keterbatasan ruang gerak dalam hal pengungkapan kebenaran dan
pencarian keadilan. Jika mereka memilih untuk berafiliasi dengan rezim tertentu, maka
gerakan budaya yang diperjuangkan menjadi tidak hegemonik, karena sebagian dari keluhan
dan tuntuan diakomodir. Dampaknya adalah chain of equivalence yang telah dibangun di
dalam PV sebagai identitas kolektif menjadi buyar; dan setiap anggota akan kembali kepada
masing-masing partikularitasnya. Kondisi inilah yang disebut Laclau-Mouffe sebagai logic
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
of difference; sebuah kondisi yang menyebabkan sebuah hubungan yang anatagonistik
menjadi tidak stabil dan dapat menghambat lajunya gerak perlawanan (Bdk. Hutagalung,
2016). Sudah sepatutnya PV menjadi mesin politik yang menggerakkan kerja-kerja politik
para aktivisnya dengan mengedepankan politik kepemimpinan yang didasarkan padalived-
experiences untuk membedakan dirinya dari politik negara yang condong kepada
korporatisme serta abai terhadap kedaulatan rakyat.
D. Rangkuman
Ada dua hal pokok yang saya temukan dari hasil pembacaan terhadap gerakan budaya
di pusaran PV, yakni kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan yang didukung
oleh politik kepemimpinan yang hegemonik. Berangkat dari adanya praktik pemaknaan yang
timpang di dalam sejumlah media-media arus utama, serta kemampuannya menghegemoni
opini publik secara tidak sehat tetang Papua, para aktivis PV berupaya membangun sebuah
makna baru yang lebih otentik. Dalam mewujudkan aktivismenya, para aktivis PV tidak
berhenti pada produksi makna baru melalui film-film dokumenter, tetapi juga melibatkan
kerja-kerja politik untuk menyusun struktur mobiliasiyang didasarkan pada peluang-peluang
politik yang mengitarinya.
Dari makna-makna baru yang dihasilkan itulah, perjuangan demokrasi kerakyatan
menjadi mungkin untuk diperjuangkan sebagai bentuk protes terhadap limitasi eksistensial
dari demokrasi liberal yang semata-mata menekankan konsensus politik dan kebebasan
individu yang rasional dan otonom. Singkatnya, kehadiran PV dapat dilihat sebagai bentuk
koreksi lanjutan terhadap buruknya mekanisme kebijakan pembangunan neoliberal yang
jamak dipraktekkan di Indonesia, khususnya di Papua dewasa ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejak kemunculannya di Eropa dan Amerika pada awal abad ke-20, sampai saat ini,
gerakan sosial menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji. Gerakan sosial menjadi
salah satu bidang kajian yang terbilang relatif lama dan terus mengalami pembaruan secara
teoretis maupun praksis. Dalam tradisi Marxis, kajian tentang gerakan sosial selalu berangkat
dari beberapa gagasan pokok seperti: pertentangan kelas (Karl Marx), partai pelopor gerakan
(Vladimir Lenin), hegemoni budaya (Antonio Gramsci), dan demokrasi plural radikal
(Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe). Secara teoretis, gagasan-gagasan tersebut secara
kontras memiliki cara pandang tersendiri tentang logika politik yang menjadi dasar dan
tujuan bagi sebuah aksi massa; entah itu sebagai gerakan sosial lama (old social movement)
maupun gerakan sosial baru (new social movement). Praksisnya, perbedaan di antara kedua
bentuk gerakan sosial tersebut berkaitan dengan perubahan karakteristik dan pola hidup
masyarakat pada era industrial sampai post-industrial. Atau dengan kata lain, gerakan sosial
baru tidak lagi terjebak logika ekonomi sebagai satu-satunya penyebab terjadinya eksploitasi
dan subordinasi antar kelas (borjuis vs proletar), tetapi meliputi banyak faktor determinan, di
mana ada bentuk-bentuk baru dari eksploitasi dan subordinasi yang terjadi di dalam
masyarakat post-industrial.
Tesis ini merupakan salah satu bagian dari kajian tentang gerakan sosial baru untuk
melihat karakteristik gerakan yang dihidupi oleh PV sebagai sebuah organisasi masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
sipil milik orang Papua. Dengan menggunakan pendekatan gramscian di dalam tradisi
marxis, tesis ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan pokok tentang bagaimana logika
politik gerakan budaya di pusaran PV. Dalam penjabarannya, saya mengulas tiga pertanyaan
utama, yakni: (1) Faktor-faktor ideologis apa saja yang menjadi latar belakang lahirnya PV;
(2) Bagaimana antagonisme dan hegemoni tandingan lahir dan tumbuh di dalam gerakan
budaya yang diperjuangkan PV; dan (3) Sejauh mana para aktivis PV mewujud-nyatakan
politik kepemimpinan dalam kaitannya dengan kontestasi makna dan perjuangan demokrasi
kerakyatan sebagai sebuah model gerakan sosial baru.
Sebagai perangkat analisis untuk menjawab pertanyaan pokok tersebut, saya
memakai gagasan hegemoni budaya milik Gramsci, yang di dalamnya tercakup pembentukan
blok historis dan intelektual organic untuk melihat bagaimana proses hegemoni tandingan di
balik kerja-kerja politik yang dilakukan oleh para aktivis PV. Selain itu, sebagai pelengkap
perangkat analisis, saya juga memakai gagasan anagonisme dan demokrasi plural-radikal
milik Laclau-Mouffe untuk melihat bentuk-bentuk hubungan antagonistik yang melahirkan
batas-batas politis di balik pembentukan identitas kolektif dalam tubuh PV.
Berdasarkan hasil analisis, saya menemukan bahwa media-media massa arus utama,
seperti media online, televisi, dan film layar lebar, menjadi perangkat kerja hegemoni kaum
penguasa dalam membentuk opini publik yang tidak sehat tetang alam dan manusia Papua.
Melalui media-media tersebut, ideologi penguasa ditanamkan dan disebar-luaskan untuk
mendapatkan persetujuan sekaligus konsensus publik yang berhubungan dengan dua hal.
Pertama, Papua membutuhkan penertiban, pemberadaban dan pembangunan, di mana
apparatus negara menjadi subjek utamanya. Di dalamnya ada politik pencitraan tentang peran
negara dan aparatusnya yang dinilai berhasil membangun Papua; sekaligus melegitimasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
sejumlah kebijakan dan praktik pembangunan, meskipun berbanding ternbalik dengan
kondisi sosial-historis di Papua. Kedua, hegemoni melalui media massa bertujuan untuk
meredam perlawanan secara massif, karena berhasil mengaburkan kepentingan dan orientasi
politik pembangunan yang sarat akan praktik eksploitasi, diskriminasi, dan subordinasi di
Papua.
Menurut saya, berdirinya PV sebagai sebuah blok historis yang dalam kerja-kerja
politiknya terus berupaya menggalang intelektual organik tidak terlepas dari kedua hal
tersebut. Menariknya, partikularitas kehendak dan tuntutan yang datang dari berbagai elemen
masyarakat dapat dipadukan ke dalam sebuah identitas kolektif yang mengatas-namakan
suara-suara orang Papua. Tidak ada kategori tunggal dalam hal isu yang diperjuangkan
maupun partisipan gerakan, karena di dalamnya sudah mencakup universalitas kehendak dan
tuntutan yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan dan kelestarian alam Papua. Jadi, PV tidak
memperjuangkan satu isu tunggal, seperti anti-kapitalisme atau rasisme saja. Basis
partisipannya pun tidak lagi didasarkan pada etnis, agama atau kelas sosial tertentu, tetapi
berdasarkan ideologi yang mengikat setiap individu di dalam identitas kolektif. Ideologi yang
saya maksud di sini bukan merupakan suatu gagasan abstrak yang jauh dari realitas empiris,
melainkan punya sifat materialistik, karena didasarkan pada pemahaman dan kedekatan para
aktor penggerak dengan pengalaman hidup sehari-hari orang Papua.
Sebagai gerakan budaya, aktivisme yang dilakukan PV adalah salah satu bentuk
hegemoni tandingan terhadap hegemoni budaya kaum penguasa. Dengan memanfaatkan
film-film dokumenter yang diproduksinya sebagai media kampanye dan advokasi di tengah
masyarakat, para aktivis PV terus berupaya menciptakan makna baru tentang alam dan
manusia Papua berdasarkan perspektif orang Papua. Proses penciptaan makna baru tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
melibatkan popular education yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kritis massa
untuk sedapat mungkin memahami situasi dan kondisi hidup orang Papua beserta alamnya
sambil mencari solusi alternatif untuk mengatasi persoalan yang didihadapi. Melalui cara
demikian, PV sesungguhnya sedang berjuang mendapatkan kepercayaan dan konsensus
publik sambil terus melakukan regenerasi agen-agen perubahan demi keberlangsungan
aktivismenya secara hegemonik. Dalam hal ini, film dokumneter bukan semata-mata sebagai
kerja seni, melainkan menjadi bagian dari kerja politik kepemimpinan untuk mewujudkan
demokrasi kerakyatan dengan memberi ruang seluas-luasnya bagi orang Papua untuk
memperjuangkan perubahan dan transformasi sosial. Dengan demikian, selain menjadi
media artikulasi pengalaman hidup sehari-hari orang Papua, film dokumenter juga menjadi
medan kontestasi makna sambil mengeritik model kerja demokrasi liberal yang tidak
berpihak pada kedaulatan rakyat.
B. Rekomendasi
Kerja kemanusiaan yang diinisasi oleh PV dan pelbagai organisasi independen
lainnya di Papua perlu diapresiasi. Tanpa mereka, cukup sulit bagi kita untuk membayangkan
adanya narasi pembanding berhadapan dengan wacana dominan yang diproduksi oleh
apparatus rezim negara. Meskipun penelitian ini berhasil menunjukkan mekanisme
kepengaturan dan bagaimana kuasa dominan beroperasi dalam kehidupan masyarakat Papua,
namun perlu disampaikan beberapa hal berkaitan dengan limitasi penelitian ini dan apa saja
peluang riset jika ada peneliti yang ingin mengkaji tema serupa.
Pertama, limitasi pendekatan. Mempertimbangkan bahwa Papua merupakan sebuah
enclave yang menarik sekaligus menantang, lived resistance terbatas untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
merepresentasikan politik gerakan sosial masyarakat Papua pada umumnya termasuk jenis
kekuasaanapa yang sedang dilawan dan jenis kekuasaan apa yang sedang didukung. Oleh
sebab itu, penelitian selanjutnya, perlu diperkaya dengan pendekatan komparatif, termasuk
mengidentifikasi logika kuasa yang bekerja pada setiap sector kehidupan masyarakat Papua.
Menyitir Saukko (2017:19-20) ketika mendeskripsikan lived resistence dengan contingent
approach (pendekatan “tergantung”), komparasi bentuk resistensi di kancah lain perlu
dibahas dalam rangka mengukur sejauh mana dampak kumulatif dari tindakan lokal yang
dilakukan (baik oleh PV maupun organisasi lain yang memiliki agenda yang sama).
Kedua, selanjutnya penelitian ini terbatas dalam menawarkan sebuah strategi gerakan
kiri baru. Disebut demikian karena model gerakan yang ditawarkan oleh Laclau-Mouffe
mengandalkan strategi multi-front yang melibatkan bukan hanya PV, tetapi juga lembaga dan
organisasi lain. Penelitian selanjutnya perlu melacak dan menemukan apa saja strategi yang
relevan dalam rangka menjadikan Papua sebagai empty signifier yang memungkinkan
terciptanya konsolidasi sipil di tingkat lokal.
Ketiga, perspektif global. Akhirnya, penelitian selanjutnya perludi perkaya dengan
perspektif geopolitik tentang bagaimana wacana Papua dihidupi dan distribusikan di kancah
internasional. Hal ini penting untuk melacak distribusi ideologi yang sedang berkembang
saat ini melalui pelbagai platform media khususnya film dokumenter. Disebut penting karena
mustahil membayangkan adanya gerakan politik dalam negeri terlepas dari intervensi dan
pengaruh dari dinamika sosial politik global.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
DAFTAR PUSTAKA
Althusser, Louis. 1971. Lenin and Philosophy and Other Essay. New York: Monthly Review
Press.
Alua, Agus. 2006. Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan: Suatu Ikhtiar Kronologis.
Jayapura: Biro Penelitian STFT Fajar Timur.
Aufderheide, P. 2007. Documentary Film, A Very Short Introduction. New York: Oxford
University Press.
Barker, C. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. London: SAGE Publications.
____. 2004. Cultural Studies: Teori & Praktik. Tr. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Butler, Judith, Ernesto Laclau dan Slavoj Zizek. 2000. Contingency, Hegemony,
Universality: Contemporary Dialogues on the Left. London: Verso.
Della Porta, Donatella & Diani Mario. 2006. Social Movement: An Introduction. Malden:
Blackwell Publishing.
Edgar-Hunt, Robert, John Marland, dan Steven Rawle. 2010. The Language of Film.
Switzerland: AVA Publishing SA.
Gramsci, Antonio. 1971. Selection From the Prison Notebook. Translated by Quintin Hoare
and Geoffrey Nowel Smith. London: Lawrence & Wishart.
____. 2017. Sejarah dan Budaya. Tr. Ira Puspitonni, dkk. Yogyakarta: Narasi
Laclau, E. & Chantal Mouffe. 1985. Hegemony & Socialist Strategy: Toward A Radical
Democratic Politics. London-N.Y.: Verso.
____. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme dan Gerakan Sosial Baru. Tr.
Eko Prasetyo. Yogyakarta: Resist Book.
Irwansyah, Ade. 2009. Seandainya Saya Kritikus Film: Pengantar Menulis Kritik Film.
Yogyakarta: Penerbit CV Homerian Pustaka.
Jones, S. 2006. Antonio Gramschi. London-N.Y: Routledge.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Magnis-Suseno, Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nichols, Bill. 2001. Introduction to Documentary. USA: Indiana University Press.
Patria, Nezar & Andi Arief. 1999. Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Prakosa, Gatot. 2004. Film dan Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Seni Visual Inonesia.
____. 2008. Film Pinggiran: Antologi Film Pendek, Film Eksperimental, dan Film
Dokumneter. Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia.
Saukko, P. 2003. Doing Research in Cultural Studies, An Introduction to Classic and New
Methodological Approaches. London: SAGE Publication.
Simon, Roger. 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramschi. Tr. Kandani dan Imam Baehaqi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Singh, Rajendra. 2010. Gerakan Sosial Baru. Tr. Eko Prasetyo. Yogyakarta: Resist Book.
Sukmana, Oman. 2016. Konsep dan Teori Gerakan Sosial. Malang: Intrans Publishing.
Tarrow, Sidney. 2011. Power in Movement: Social Movement and Contentious Politics. New
York: Cambridge University Press.
Young, Robert. 2016. Postcolonial Remains. Dalam Pramod K. Nayar (ed). “Postcolonial
Studies: An Anthology”. Oxford: Wiley Blackwell.
Wolf, E. R. 1969. Peasant Wars of the Twentieth Century. New York: University of
Oklahoma Press.
Sumber Artikel
Benford, R. D. & David A. Snow. 2000. “Framing Processes and Social Movement: An
Overview and Assesment”. Annual Review of Sociology, Vol. 26, 2000.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Canella, G. 2017. “Social Movement Documentary Practices: Digital Storytelling, Social
Media and Organizing”. Digital Creativity, Vol. 28.
Fakih, Mansour. 2002. “Social Movement Sebagai Alternatif Terhadap Civil Society”.
Dalam Menuju Gerakan Sosial Baru. Wacana Edisi 11. Tahun III. Yogyakarta: Insist
Press.
Goffman, Erving. 1974. “Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience”.
London: Harper and Row.
Hayes, John. 2007. “Documentary as Social Justice Activism: The Textual and Strategies of
Robert Greenwald and Brave New Films”. 49th Paralle, Vol. 21.
Hutagalung, Daniel. 2006. “Laclau-Mouffe Tentang Gerakan”. Basis No. 01-02, Tahun Ke-
55, 2006
Irawanto, Budi dan Theresia Octastefani. 2019. “Film Dokumenter Sebagai Katalis
Perubahan Sosial: Studi Kasus Ambon, Aceh, dan Bali”. Jurnal Kawistara, Vol. 9, No.
1, 22 April 2019.
Juliawan, B. Hari. 2016. “Tradisi Marxis dalam Kaian Gerakan Sosial”. Basis No. 03-04,
Tahun Ke-65, 2016.
Notley, T. dan Alexandra C. 2014. “Transmedia Activism: Exploring the Possibilities in
West Papua”. Dalam Transmedia Practice: A Collective Approach. Oxford, United
Kingdom: Inter-Disciplinary Press.
Prasetijo, Adi. 2015. “Pergerakan Sosial: Antara Marxian dan Non Marxian”. Jurnal
Antropologi, Vol. 17, No. 1.
Singh, Rajendra. 2002. “Teori-Teori Gerakan Sosial Baru”. Tr. Setiaji Purnasatmoko. Dalam
Menuju Gerakan Sosial Baru. Wacana, Edisi 11. Tahun III. Yogyakarta: Insist Press.
Stover, J. A. 2013. “Framing Social Movement Through Documentary Film”. Sage Journals.
Sumarwan, A. 2018. “Memahami Framing Gerakan Sosial”. Basis No. 01-02, Tahun Ke-67,
2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Suryawan, I Ngurah. 2011. “Antropologi Gerakan Sosial: Membaca Transformasi Identitas
Budaya di Kota Manikwari, Papua Barat”. Humaniora, Vol. 23, No. 3 Oktober 2011.
Sumber Film
Denias: Senandung di Atas Awan (2006)
Di Timur Matahari (2012)
Dipenjara (2018)
Ironic Survival (2011)
Lost in Papua (2011)
Mama Mariode (2014)
Resep Pendidikan Papua (2018)
Surat Cinta Kepada Sang Prada (2012)
Sumber Internet
https://nasional.tempo.co/read/1102251/dana-otsus-mampu-tingkatkan-kesejahteraan-
masyarakat-papua (Diakses pada 16 Mei 2020)
https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/05/04/opfk5l349-tingkatkan-
investasi-papua-terus-lakukan-pembenahan-birokrasi (Diakses pada 26 Mei 2020)
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200227205824-92-478931/luhut-tawarkan-
investasi-hijau-di-papua-kepada-24-perusahaan. (Diakses pada 26 Mei 2020)
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1552-membasmi-separatisme.
(Diakses pada 27 Mei 2020)
https://www.youtube.com/watch?v=ilKlkT06FJs. (Diakses pada 28 Mei 2020)
https://jubi.co.id/hati-hati-netizen-kini-ada-18-media-siluman-di-papua/ (Diakses pada 30
Mei 2020)
https://tirto.id/media-siluman-di-papua-propaganda-hoaks-hingga-narasumber-fiktif-da5B
(Diakses pada 30 Mei 2020)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI