ringkasan-kajian-2008
DESCRIPTION
kajianTRANSCRIPT
Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral
Desember 2011
Policy Paper
Pendanaan Luar Negeri Bilateral
melalui Skema Credit Line
Kata Pengantar
i
Policy paper ini adalah hasil telaahan dari kegiatan Policy Paper Direktorat Pendanaan
Luar Negeri Bilateral yang dibiayai dari APBN Tahun Anggaran 2011 dengan judul
“Pendanaan Luar Negeri Bilateral melalui Skema Credit Line”. Policy paper ini masih
berkaitan erat dengan kegiatan kajian direktorat pendanaan luar negeri bilateral pada
tahun-tahun sebelumnya khususnya mengenai syarat dan ketentuan yang berlaku
dalam suatu pinjaman luar negeri.
Relevansinya dengan kajian sebelumnya, “Analisis Korelasi Terms and Conditions
Pinjaman, Biaya Pinjaman, dan Rules of Origin dalam Pengadaan Barang/Jasa”, adalah
tekanan pada syarat dan ketentuan yang berlaku dalam pemanfaatan pinjaman
berupa credit line dengan bahasan utamanya mengenai pembedaan kelebihan dan
kekurangan credit line yang ditawarkan oleh beberapa negara pemberi pinjaman.
Dengan menganalisis perbandingan tersebut diharapkan Pemerintah Indonesia
mampu secara optimal mendapatkan dan memanfaatkan skema pembiayaan credit
line dengan syarat dan ketentuan yang melekat padanya.
Policy paper ini bertujuan untuk menganalisis prospek pendanaan bilateral melalui
skema credit line sebagai alternatif pembiayaan luar negeri. Policy paper ini sekaligus
juga untuk menganalisis kelebihan dan kekurangan pemanfaatan pembiayaan credit
line yang selama ini telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia. Pada saat yang
bersamaan, policy paper ini melakukan evaluasi atas pemanfaatan skema pembiayaan
ini sehingga didapatkan peta dan profil negara pemberi pinjaman credit line yang
memiliki potensi pembiayaan luar negeri dengan syarat dan ketentuan yang bersifat
lunak dan tidak komersial.
Semoga policy paper ini memberikan kontribusi yang berarti bagi Bappenas dan
Pemerintah Indonesia dalam perumusan kebijakan kerjasama pembangunan
terutama yang menyangkut pendanaan luar negeri bilateral.
Jakarta, Desember 2011
Tim Pelaksana
KKaattaa PPeennggaannttaarr
Daftar Isi
ii
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Bab 1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Kerangka Penulisan 2
Bab 2 Kebijakan Pengadaan Pinjaman Luar Negeri 4
2.1 Kebijakan Umum Pendanaan Pembangunan 4
2.2 Kebijakan Pinjaman Luar Negeri 5
2.3 Peraturan Perundangan tentang Pengadaan Pinjaman Luar Negeri 8
2.3.1 Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 1984 8
2.3.2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 8
2.3.3 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 9
Bab 3 Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit Line 13
3.1 Definisi Credit Line 13
3.2 Credit Line dalam Kerangka Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 2011 13
3.3 Credit Line yang Diterima Pemerintah Indonesia 15
3.3.1 Jepang 15
3.3.2 China 20
3.3.3 Korea 23
3.3.4 Rusia 26
Bab 4 Analisis Pemanfaatan Credit Line oleh Pemerintah Indonesia 28
4.1 Perbandingan Umum Credit Line 28
4.2 Kelebihan Credit Line 29
4.3 Kekurangan Credit Line 30
Bab 5 Rekomendasi Kebijakan 33
5.1 Faktor-faktor Utama dalam Penyusunan Pilihan Alternatif Pengambilan
Keputusan 34
5.2 Pilihan Alternatif Pengambilan Keputusan 35
DDaaffttaarr IIssii
Daftar Isi
iii
5.3 Analisis atas Pilihan Alternatif 37
5.4 Rekomendasi 38
Daftar Pustaka 40
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Perbandingan Jenis Pinjaman Luar Negeri Menurut PP No.2/2006 dan
PP No. 10/201110 11
Tabel 3.1 Rincian Pemanfaatan Credit Line JBIC 18
Tabel 3.2 Komitmen Pinjaman Preferential Export Buyer’s Credit 20
Tabel 3.3 Terms and Conditions Preferential Export Buyer’s Credit 21
Tabel 3.4 Pemanfaatan Pinjaman Preferential Export Buyer’s Credit 22
Tabel 3.5 Perbandingan antara Framework Arrangement 2007-2009
dan 2010-2013 23
Tabel 3.6 Proyek Pinjaman EDCF 24
Tabel 3.7 Persyaratan Perjanjian Pinjaman Credit Line Korea berdasarkan
Individual Loan Agreement 25
Tabel 3.8 Proyek Dalam Persiapan 25
Tabel 3.9 Persyaratan Perjanjian State Credit 26
Tabel 4.1 Perbandingan Umum Credit Line dari Empat Sumber Pinjaman 29
Tabel 4.2 Perbandingan Persyaratan Credit Line dari 4 Negara 31
Tabel 5.1 Alternatif Credit Line saat ini 35
Tabel 5.2 Alternatif 4 36
Tabel 5.3 Alternatif 5 36
Tabel 5.4 Alternatif yang ditawarkan Policy Paper 37
Gambar
Gambar 3.1 Prosedur Pinjaman Credit Line Sumber Kreditor Bilateral 14
Gambar 3.2 Prosedur Pinjaman Credit Line Sumber Kreditor Swasta Asing 15
Kotak
Kotak 3.1 Kronologis Pemanfaatan JBIC Credit Line 17
Bab 1: Pendanaan Luar Negeri Bilateral Melalui Skema Credit Line
1
Bab ini membahas tentang:
Latar Belakang
Permasalahan
Tujuan
Kerangka Penulisan
1.1 Latar Belakang
Indonesia masih membutuhkan sumber-sumber pembiayaan luar negeri (PHLN)
untuk melaksanakan agenda dan program-program pembangunan nasional
termasuk dalam menghadapi perkembangan isu-isu global, sementara di sisi lain
target pengurangan stok utang dalam RPJMN 2010-2014 harus dicapai 28 persen
terhadap PDB pada 2011.
Dalam kerjasama pembangunan internasional, Indonesia adalah negara penerima
bantuan pembangunan resmi (Official Development Assistance/ODA) yang pada
tahun 2006 naik posisi dalam daftar penerima ODA Komite Donor (DAC) OECD
dengan kategori Lower Middle Income Countries/Territories bersama 48
negara/teritori lainnya (GNI per kapita $826 - $3255). Naiknya posisi Indonesia
sebagai negara Lower Middle Income Countries memberikan tantangan dalam
pendanaan luar negeri bilateral yaitu berdampak pada berkurangnya potensi
pembiayaan luar negeri yang bersyarat lunak/murah namun di sisi lain terdapat
banyak tawaran skema pendanaan dengan terms and conditions yang tidak lunak dan
bervariasi.
Salah satu sumber pembiayaan alternatif yang telah dimanfaatkan adalah skema
credit line. Credit line adalah buyer’s credit facility dimana lebih dari satu supply
contract dapat dibiayai dari loan agreement yang sama. Selama ini pemerintah masih
secara terbatas memanfaatkan skema credit line.
BBaabb 11::
PPEENNDDAAHHUULLUUAANN
Bab 1: Pendanaan Luar Negeri Bilateral Melalui Skema Credit Line
2
1.2 Permasalahan
a. Terms and conditions skema credit line umumnya lebih mahal dibanding term
and conditions pinjaman yang masuk dalam kategori Official Development
Assistance (ODA) atau concessional loan yang memiliki komponen hibah
(grant element) sekurang-kurangnya 35%1.
b. Fasilitas credit line yang diterima Pemerintah Indonesia diberikan dalam
kerangka kerjasama bilateral yang membatasi proses pengadaan barang/jasa.
Hal ini mengakibatkan tambahan cost of financing karena grant element credit
line tersebut yang kecil, dan kurangnya competitiveness dalam proses
pengadaan barang/jasa.
1.3 Tujuan
a. Menganalisis prospek pendanaan bilateral melalui skema credit line sebagai
salah satu sumber pembiayaan luar negeri alternatif.
b. Menganalisis keuntungan dan kerugian dari pemanfaatan pembiayaan
bilateral melalui skema credit line.
c. Melakukan evaluasi terhadap pemanfaatan pembiayaan bilateral melalui
skema credit line yang selama ini diterima/dimanfaatkan oleh Pemerintah
Indonesia.
d. Membuat rekomendasi kebijakan.
1.4 Kerangka Penulisan
Penulisan Policy Paper ini disusun dengan kerangka sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini memaparkan latar belakang, permasalahan, tujuan dari penyusunan
policy paper ini.
Bab 2 Kebijakan Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
Bab ini akan memaparkan kebijakan pemerintah tentang pengadaan pinjaman
luar negeri. Kebijakan yang diambil adalah menurut Instruksi Presiden Nomor
1 Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral Bappenas., Analisis Korelasi antara Terms and Conditions
Pinjaman, Biaya Pinjaman, dan Rules of Origin dalam Pengadaan Barang/Jasa, (Jakarta: Bappenas,
2010), xiii.
Bab 1: Pendanaan Luar Negeri Bilateral Melalui Skema Credit Line
3
8 tahun 1984, Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2006, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 2011.
Bab 3 Kerjasama Bilateral Dalam Skema Pendanaan Credit Line
Bab ini akan memaparkan gambaran mengenai prosedur pinjaman Credit line
dalam kerangka pinjaman kredit ekspor Negara Jepang, Korea, China, dan
Rusia.
Bab 4 Analisis Alternatif Pemanfaatan Credit line oleh Pemerintah Indonesia
Bab ini akan memaparkan analisis Credit Line yang diterima oleh dan
ditawarkan kepada Pemerintah Indonesia.
Bab 5 Rekomendasi
Bab ini akan memaparkan rekomendasi dengan mempertimbangkan
kelebihan dan kekurangan dari masing-masing alternatif.
Bab 2: Kebijakan Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
4
Bab ini membahas tentang:
Kebijakan Umum Pendanaan Pembangunan
Kebijakan Pinjaman Luar Negeri
Peraturan Perundangan Tentang Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
2.1 Kebijakan Umum Pendanaan Pembangunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014
menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3-6,8 persen per tahun. Bahkan, jika
pemulihan ekonomi global terjadi secara lebih cepat dan tidak terjadi gejolak
ekonomi baru, pertumbuhan ekonomi rata-rata tersebut akan dipacu lebih tinggi lagi
mencapai 7 persen atau lebih pada tahun 2014. Untuk mencapai target pertumbuhan
ekonomi tersebut, Pemerintah membutuhkan investasi dengan perkiraan nilai total
mencapai Rp 11.913,2 - Rp 12.462,6 triliun dalam periode lima tahun. Dari total
kebutuhan investasi tersebut, diharapkan sekitar 18 persen dapat dipenuhi oleh
pemerintah melalui sumber-sumber pembiayaan luar negeri dalam rangka
pelaksanaan agenda dan program-program pembangunan nasional termasuk dalam
menghadapi perkembangan isu-isu global.
Kebijakan pendanaan pembangunan dalam rangka pencapaian sasaran
pembangunan diarahkan untuk menjamin ketersediaan dan pengoptimalan
pendanaan. Strategi utama yang diterapkan adalah: 1) optimalisasi sumber dan
skema pendanaan pembangunan, baik yang telah ada maupun yang akan
dikembangkan, dan 2) peningkatan kualitas pemanfaatan sumber dan skema
pendanaan pembangunan.
Untuk pembiayaan dalam negeri pemerintah terdiri dari pembiayaan perbankan dan
bukan perbankan, dengan peran yang sangat penting terutama bersumber dari Surat
Berharga Negara (SBN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang merupakan
pembiayaan bukan perbankan. Selain itu, sumber lain yang juga penting adalah
pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri diperoleh melalui pembiayaan
perbankan BUMN, perbankan swasta dalam negeri dan Pemerintah Daerah. Skema
pendanaan dari perbankan ini dapat bersifat konvensional maupun syariah.
BBaabb 22::
KKeebbiijjaakkaann PPeennggaaddaaaann PPiinnjjaammaann LLuuaarr NNeeggeerrii
Bab 2: Kebijakan Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
5
Selain melalui perbankan, dana masyarakat juga dapat disalurkan melalui lembaga
keuangan bukan bank yang terdiri dari lembaga pembiayaan termasuk lembaga
pembiayaan infrastruktur dan lembaga pembiayaan ekspor, lembaga asuransi,
lembaga dana pensiun, lembaga pegadaian, lembaga pasar modal dan lainnya. Dana
masyarakat tersebut, baik yang disalurkan melalui perbankan maupun lembaga
keuangan bukan bank mempunyai peran yang sangat penting dalam penyediaan
sumber dana investasi bagi pembangunan. Pemerintah akan lebih mengarahkan
potensi lembaga-lembaga keuangan ini pada sektor riil untuk mendorong investasi.
Skema pendanaan yang melibatkan peran dan kontribusi pemerintah, swasta dan
masyarakat juga perlu didorong dan dikembangkan sebagai salah satu potensi untuk
meningkatkan sumber pendanaan pembangunan. Beberapa skema yang dapat
dimanfaatkan antara lain: Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), Corporate Social
Responsibility (CSR) dan donasi/zakat.
2.2 Kebijakan Pinjaman Luar Negeri
Dalam rangka membiayai dan mendukung kegiatan prioritas serta mencapai sasaran
pembangunan, pemerintah juga dapat memanfaatkan pembiayaan yang bersumber
dari luar negeri.
Dalam hal ini, sumber pembiayaan luar negeri tersebut dapat berupa hibah maupun
pinjaman. Pinjaman luar negeri yang dimaksud di sini adalah setiap pembiayaan
melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari pemberi pinjaman luar negeri (PPLN)
yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga
negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.2 Pinjaman luar
negeri dapat berupa pinjaman program maupun pinjaman proyek yang berasal dari
kreditor multilateral, kreditor bilateral, kreditor swasta asing dan lembaga penjamin
kredit ekspor.
Pemanfaatan pinjaman luar negeri tidak hanya dilihat dari sisi pendanaannya saja tapi
juga harus dipandang sebagai sarana pertukaran informasi dan pembelajaran dalam
rangka memperkuat dan menyermpurnakan sistem perencanaan, anggaran,
pengadaan, pemantauan, dan evaluasi nasional serta mendukung kerjasama
internasional yang efektif.
Dalam meningkatkan kualitas pemanfaatan pinjaman luar negeri, RPJMN
menegaskan perlunya dilakukan:
2 Pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) No 10/2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan
Penerimaan Hibah.
Bab 2: Kebijakan Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
6
1. Penyempurnaan peraturan perundangan mengenai perencanaan dan
pengelolaan pinjaman pemerintah (Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah
serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang telah
disempurnakan dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan
Hibah, dan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 5
Tahun 2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan Usulan Serta
Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri
yang telah disempurnakan dengan disahkannya Peraturan Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Perencanaan, Pengajuan Usulan, Penilaian, Pemantauan, dan Evaluasi Kegiatan
yang Dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri dan Hibah).
2. Peningkatan kualitas perencanaan dan kapasitas pelaksanaan proyek antara
lain melalui penegakan aturan kesiapan proyek, penajaman fokus
pemanfaatan pinjaman yang lebih selektif untuk membiayai atau mendukung
program/kegiatan prioritas nasional.
3. Peningkatan penggunaan sistem nasional dan harmonisasi kegiatan mitra-
mitra pembangunan.
4. Penguatan kualitas pemantauan dan evaluasi.
Dalam hal ini pemerintah terus meningkatkan efektivitas pemanfaatan pinjaman
bersama dengan mitra pembangunan secara konsisten melaksanakan agenda-
agenda yang telah diamanatkan dalam Paris Declaration yang dijabarkan lebih lanjut
oleh pemerintah Indonesia ke dalam dokumen Jakarta Commitment.
Dalam kerjasama pembangunan internasional, Indonesia adalah negara penerima
bantuan pembangunan resmi (Official Development Assistance/ODA) yang pada
tahun 2006 naik posisi dalam daftar penerima ODA Komite Donor (DAC) OECD
dengan kategori Lower Middle Income Countries/Territories (LMIC) bersama 48
negara/teritori lainnya.
Hal ini sebagai hasil dari membaiknya kinerja perekonomian Indonesia. GNI perkapita
Indonesia pada tahun 2010 sebesar USD 2.500 meningkat lebih dari 2 kali lipat dari
kondisi pada tahun 2005 sejumlah USD 1.070.3
Akan tetapi, dengan naiknya Indonesia menjadi LMIC, Indonesia menjadi semakin
sulit mendapatkan pembiayaan dengan persyaratan lunak bahkan dengan tingkat
suku bunga di bawah tingkat suku bunga komersial.
3 World Bank, 2011.
Bab 2: Kebijakan Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
7
Sebagaimana telah diamanatkan di dalam peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2006
tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Luar Negeri
dalam rangka pengembangan strategi pengelolaan pinjaman luar negeri pemerintah
perlu menerbitkan dokumen strategi pengembangan dialog maupun negosiasi
dengan para kreditor/donor bilateral dan multilateral. Hal ini juga sejalan dengan
hasil evaluasi RPJMN 2004-2010.
Peraturan presiden nomor 7 tahun 2011 tentang Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar
Negeri pun lahir atas dasar kebutuhan tersebut. Dokumen ini memuat kebutuhan dan
kapasitas peminjaman luar negeri (baik jangka menengah maupun tahunan),
kapasitas penyerapan, bidang prioritas dan kriteria kegiatan yang layak untuk dibiayai
pinjaman luar negeri, upaya perbaikan manajemen termasuk pemantauan dan
evaluasi, serta koordinasi yang efektif dengan pihak pemberi pinjaman.
Langkah-langkah untuk mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan luar negeri
yang murah dan melakukan pengadaan barang dan jasa yang efektif juga dirasa
perlu untuk ditindaklanjuti sebagai sebuah strategi pinjaman. Demikian juga dengan
penganekaragaman sumber pinjaman, mekanisme pinjaman, pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan pinjaman, harus lebih dicermati terutama tentang jumlah
komposisi denominasi valuta, tingkat suku bunga, dan jangka waktu jatuh tempo
pelunasan.
Langkah-langkah ini juga diperkuat dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi
defisit anggaran dan debt to GDP ratio untuk mencapai 24% bahkan dipercepat
hingga 20% pada akhir tahun 2014. Debt to GDP ratio Indonesia relatif moderat
dengan pengurangan yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan negara lain
termasuk negara maju. Data menunjukkan bahwa pemerintah telah berhasil
menurunkan debt to GDP ratio dari 47,3% di tahun 2005 menjadi 26,9% di tahun
2010.
Permasalahan lainnya yang dihadapi dalam pembiayaan luar negeri adalah: tingginya
beban pembayaran cicilan pokok utang dan bunga utang, dan belum optimal secara
efisien dan efektif dalam pemanfaatan utang yang berdampak pada meningkatnya
beban biaya komitmen yang timbul akibat keterlambatan pemenuhan persyaratan
pemberi pinjaman, khususnya pada utang baru.
Pemanfaatan pinjaman luar negeri pemerintah sejak tahun 2009 cenderung
diprioritaskan pada pinjaman dari sumber bilateral dan multilateral. Sementara itu,
fasilitas kredit ekspor atau pinjaman komersial diturunkan porsi pendanaanya antara
lain karena biaya utang yang diperlukan relatif lebih tinggi dibandingkan pinjaman
lainnya.
Bab 2: Kebijakan Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
8
2.3 Peraturan Perundangan tentang Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
Terkait dengan pemanfaatan pinjaman luar negeri, Pemerintah Indonesia
menerbitkan peraturan perundangan mengenai pengaturan pemanfaatan pinjaman
luar negeri. Pertama kali pemerintah menerbitkan peraturan perundangan adalah
dengan instruksi presiden yang mengatur tentang syarat dan ketentuan pinjaman
luar negeri.
2.3.1 Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 1984
Syarat dan ketentuan pinjaman luar negeri merupakan komponen yang sangat
penting dalam perencanaan pinjaman luar negeri. Hal ini diperlukan untuk
menentukan seberapa besar beban yang timbul dari pinjaman luar negeri tersebut.
Dalam Instruksi Presiden no. 8 tahun 1984 tentang Penggunaan Kredit Ekspor Luar
Negeri, diatur mengenai syarat dan ketentuan yang terkandung dalam pinjaman
lunak dan perencanaan kredit ekspor, yaitu: (1) jangka waktu pengembalian termasuk
tenggang waktu adalah 25 tahun atau lebih; (2) tenggang waktu 7 tahun atau lebih;
(3) bunga pinjaman 3,5% atau kurang.
Sejak masuknya Indonesia pada negara yang berkategori LMIC menjadikan posisi
tawar Indonesia untuk mendapatkan pinjaman dengan persyaratan yang bersifat
lunak lebih sulit.
2.3.2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006
Pada tahun 2006 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara
Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau
Hibah Luar Negeri. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2006 bertujuan untuk
mengatur pengadaan pinjaman luar negeri, juga untuk mengantisipasi penargetan
pinjaman, kemampuan membayar kembali, pengurangan resiko, dan kesinambungan
fiskal.
Pinjaman luar negeri dapat berbentuk pinjaman program atau pinjaman proyek.
Pinjaman program adalah pinjaman luar negeri dalam valuta asing yang dapat
dirupiahkan dan digunakan untuk pembiayaan APBN. Sedangkan pinjaman proyek
adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai kegiatan
pembangunan tertentu. Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut, pinjaman
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis pinjaman luar negeri, yaitu:
1. Pinjaman lunak, pinjaman yang masuk dalam kategori ODA Loan atau
Concessional Loan dan memiliki komponen hibah (grant element) sekurang-
kurangnya 35%.
Bab 2: Kebijakan Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
9
2. Fasilitas kredit ekspor, pinjaman komersial yang diberikan oleh lembaga
keuangan atau lembaga non keuangan di Negara pengekspor yang dijamin
oleh lembaga penjamin kredit ekspor.
3. Pinjaman komersial, pinjaman luar negeri pemerintah yang diperoleh dengan
persyaratan yang berlaku di pasar dan tanpa adanya penjaminan dari
lembaga penjamin kredit ekspor.
4. Pinjaman campuran, kombinasi antara dua unsur atau lebih yang terdiri dari
hibah, pinjaman lunak, fasilitas kredit ekspor, dan pinjaman komersial.
Terbitnya peraturan pemerintah ini hanya mengatur mengenai tata cara perencanaan
dan pengusulan proyek-proyek yang dibiayai pinjaman luar negeri. Beberapa bagian
dalam Instruksi Presiden nomor 8 tahun 1984 khususnya yang mengatur tentang tata
cara perencanaan dan pengusulan proyek-proyek yang dibiayai kredit ekspor
menjadi tidak berlaku lagi. Namun, ketentuan mengenai persyaratan pinjaman dan
proses pengadaannya tetap berlaku karena belum ada peraturan perundangan yang
mengatur tentang ini.
Penilaian persyaratan pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah
dengan menggunakan indikator grant element untuk mengategorikan syarat dan
ketentuan suatu pinjaman apakah bersifat lunak atau tidak. Pada akhirnya, semua
jenis pinjaman yang diterima pemerintah Indonesia yang syarat dan ketentuannya
tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku
namun tetap mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh OECD yaitu sepanjang
pinjaman tersebut mengandung grant element-nya termasuk kategori pinjaman
lunak.
2.3.3 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman
Luar Negeri dan Penerimaan Hibah merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2006. Peraturan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan
perkembangan pengelolaan pinjaman dan hibah luar negeri, perkembangan pasar
keuangan, serta tuntutan terhadap prinsip pengelolaan pinjaman luar negeri dan
hibah yang baik (good governance).
Menurut peraturan pemerintah tersebut, jenis pinjaman luar negeri terdiri atas:
1. Pinjaman tunai, pinjaman berbentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan
untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portfolio utang. Pinjaman
tunai berupa pinjaman program, standby loan, pembiayaan likuiditas jangka
pendek, pembiayaan kontijensi, pembiayaan untuk permodalan, dan lain-lain,
yang pencairannya bersifat tunai dalam bentuk antara lain Official
Bab 2: Kebijakan Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
10
Development Assistance/ODA (bilateral), Concessional (multilateral, Non
Official Development Assistance/NonODA (bilateral), Non Concessional
(multilateral), pinjaman komersial, dan Mixed Credit/ pinjaman campuran
(bilateral).
2. Pinjaman kegiatan, pinjaman yang digunakan untuk membiayai kegiatan
tertentu. Pinjaman kegiatan berupa pinjaman proyek, credit line dan lain-lain,
yang pencairannya terkait dengan kegiatan dalam bentuk antara lain Official
Development Assistance/ODA (bilateral), Concessional (multilateral), Fasilitas
Kredit Ekspor, pinjaman komersial, dan Mixed Credit/pinjaman campuran
(bilateral).
Penjelasan umum peraturan pemerintah tersebut antara lain menjelaskan bahwa,
peraturan ini mengakomodasi berbagai ketentuan diantaranya berupa pemisahan
kewenangan dan tanggung jawab masing-masing institusi yang terkait,
penyempurnaan konsep mengenai batas maksimal pinjaman luar negeri, dan rencana
pemanfaatan pinjaman luar negeri.
Peraturan yang diterapkan melalui peraturan pemerintah ini, mendorong pemerintah
untuk menggunakan batas maksimal pinjaman luar negeri sebagai indikator
pelaksanaan pinjaman luar negeri. Kewenangan untuk menentukan batas maksimal
pinjaman luar negeri berada di tangan Menteri Keuangan dengan penilaian
berdasarkan indikator biaya, risiko utang, kapasitas pemerintah untuk berutang dan
kemampuan kreditor memberikan pinjaman.
Bab 2: Kebijakan Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
11
Tab
el
2.1
Perb
an
din
gan
Jen
is P
inja
man
Lu
ar
Neg
eri
Men
uru
t P
P N
o. 2
/20
06
dan
PP
No
. 1
0/2
01
1
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
13
Bab ini membahas tentang:
Definisi Credit line
Credit line dalam Kerangka Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011
Credit line yang Diterima Pemerintah Indonesia:
Jepang
China
Korea
Rusia
3.1 Definisi Credit line
Literatur mengenai konsep "credit line" hingga saat ini masih sangat terbatas
sehingga tidak mudah untuk menemukan penjelasan yang komprehensif mengenai
skema pinjaman ini. Tidak adanya definisi yang jelas mengenai credit line berimplikasi
pada beragamnya istilah yang digunakan mitra pembangunan untuk menyebut skema
pinjaman ini. Sebagai contoh China menyebut pinjaman credit line sebagai
preferential buyer's credit, sedangkan Rusia menyebutnya dengan istilah State Credit.
Berdasarkan definisi Bradlow dan Jourdin, credit line dapat dipahami sebagai buyer’s
credit facility dimana lebih dari satu supply contract dapat dibiayai dari loan agreement
yang sama (perjanjian induk).4
3.2 Credit Line dalam Kerangka Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 2011
PP 10/2011 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah Indonesia untuk memroses
pengadaan pinjaman luar negeri skema credit line. Pasal 33 dari PP tersebut
menyatakan bahwa perjanjian untuk pinjaman luar negeri yang bersumber dari
kreditor multilateral dan kreditor bilateral dapat didahului dengan perjanjian induk.
Perjanjian induk tersebut harus ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sesuai
4 Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Kementerian Keuangan,2011, hal. 24
BBaabb 33::
KKeerrjjaassaammaa BBiillaatteerraall ddaallaamm SSkkeemmaa PPeennddaannaaaann
CCrreeddiitt LLiinnee
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
14
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau hukum internasional. Di
samping itu, perjanjian induk hanya memuat persyaratan yang tidak mengakibatkan
beban APBN atau terbatas pada persyaratan yang bersifat indikatif, kecuali:
a. mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang terkait dengan indikasi
persyaratan keuangan yang mengikat dan mengakibatkan beban APBN;
dan/atau
b. mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional yang terkait dengan indikasi persyaratan penggunaan dana untuk
pembiayaan kegiatan dan/atau kelompok kegiatan tertentu.
Lebih lanjut PP tersebut menyebutkan bahwa perjanjian induk dapat dituangkan
dalam berbagai bentuk dokumen seperti Memorandum of Understanding (MoU),
Umbrella Agreement, Financial Protocol, General Agreement, Framework Agreement,
komitmen resmi, dan dokumen lain yang mengindikasikan kesepakatan.
Oleh karena PP No. 10/2011 mengklasifikasikan pinjaman luar negeri berdasarkan
jenis pemberi pinjaman, credit line dengan demikian dapat disalurkan oleh kreditor
bilateral seperti Rusia, China, Korea maupun kreditor swasta asing seperti Japan Bank
for International Cooperation (JBIC). Hal ini berimplikasi pada munculnya dua prosedur
bagi penyaluran credit line.
Sesuai dengan Pasal 31 PP No. 10/2011, jika pinjaman bersumber dari kreditor
bilateral, maka perundingan dilakukan sebelum pengadaan barang/jasa dilaksanakan
atau setelah kontrak pengadaan barang/jasa. Dengan demikian, prosedur penyaluran
Credit line dari kreditor bilateral bisa dipaparkan sesuai gambar 3.1.
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
15
Sedangkan jika Credit line tersebut diberikan oleh kreditor swasta asing, maka
perundingan dilaksanakan secara bersamaan atau setelah kontrak pengadaan
barang/jasa. Dengan demikian, prosedur penyaluran Credit line tipe ini bisa dijelaskan
oleh Gambar 3.2 di bawah ini:
3.3 Credit Line yang Diterima Pemerintah Indonesia
Sampai dengan policy paper ini disusun, Pemerintah Indonesia telah menerima credit
line dari empat kreditor bilateral yaitu Jepang, China, Rusia dan Korea.
3.3.1 Jepang
Credit line yang diterima dari Jepang dikelola oleh Japan Bank for International
Cooperation (JBIC). Pemerintah Indonesia mengklasifikasikan pinjaman Jepang ini
sebagai pinjaman komersial (pinjaman dari kreditor swasta asing). Persyaratannya
lebih mahal dibandingkan pinjaman concessional/ODA dan pihak JBIC memberikan
pinjaman ini bukan dalam kerangka kerjasama antara pemerintah (G to G) atau bukan
melaksanakan mandat dari Pemerintah Jepang. Dalam General Agreement yang
ditandatangani pada tanggal 26 November 2004 oleh JBIC dan Kementerian
Keuangan, disepakati bahwa pihak JBIC akan memberikan pinjaman senilai JPY 27,5
miliar atau ekuivalen USD 250 juta untuk kegiatan rehabilitasi beberapa pembangkit
listrik dan dukungan suku cadang. Selanjutnya, Kementerian Keuangan
meneruspinjamkan credit line ini kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Pinjaman ini memang diperuntukkan khusus untuk membiayai kegiatan PLN yang
pada saat itu membutuhkan dana yang tidak terlalu besar namun mendesak untuk
merehabilitasi beberapa pembangkit listrik.
Untuk memanfaatkan pinjaman tersebut, ada beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi:
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
16
- Perusahaan/kontraktor pelaksana harus entitas Jepang;
- Setiap kegiatan harus mempunyai Contract Agreement yang ditandatangani
executing agency dan kontraktor/supplier.
- Setiap kegiatan harus mempunyai contract loan agreement (CLA) yang
ditandatangani oleh JBIC dan bank-bank Jepang selaku lenders dan
Pemerintah Indonesia yang diwakili pihak Kementerian Keuangan RI sebagai
borrower. CLA tersebut berisi ketentuan mengenai jumlah dan persyaratan
pinjaman (tingkat bunga per tahun, commitment fee, periode pembayaran, dll).
- Untuk pengefektifan CLA tersebut, PLN sebagai executing agency diharuskan
terlebih dahulu menandatangani perjanjian penerusan pinjaman dengan
Pemerintah.
- Mengingat credit line dari Jepang ini dikategorikan sebagai pinjaman
komersial, maka setiap kegiatan harus mendapat alokasi Kredit Ekspor.5
General Agreement tersebut memang tidak secara spesifik menyebutkan nama-nama
proyek (kegiatan) yang akan dibiayai credit line tersebut. Perjanjian tersebut hanya
menyebutkan jenis proyek seperti proyek pembangkit, proyek transmisi dan distribusi
dan proyek rehabilitasi. Penentuan proyek dilakukan oleh PLN dengan persetujuan
dari Menteri BUMN.
Pada bulan Maret 2006 PLN mengusulkan untuk memanfaatkan dana credit line ini
untuk membiayai empat kegiatan yang bernilai sekitar USD 278 juta, yaitu:
1. Rehabilitation for Muara Karang #4 and #5
2. Rehabilitation and Modernization of Paiton Steam Power Plant Unit 1 & 2
(2X400 MW)
3. Rehabilitation and Modernization of Saguling HEPP (4X 178 MW)
4. Rehabilitation and Modernization of Saguling HEPP (4X 178 MW).
Keempat pembangkit ini dinilai sangat penting karena mempunyai kapasitas yang
besar dan pemasok daya listrik untuk daerah-daerah pusat ekonomi seperti Jakarta
dan Surabaya. IRR keempat proyek ini di atas 12% sehingga layak untuk didanai
dengan pinjaman dari kredit ekspor. Kegiatan rehabilitasi tersebut diharapkan juga
5 Lihat General Agreement, Article XVII butir 1 (g). General agreement ini disusun mengacu pada
peraturan mengenai pinjaman dan hibah luar negeri yang berlaku saat itu yaitu Keputusan Bersama
Menteri Keuangan dan Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No.
185/KMK.03/1995 dan No. KEP.031/KET/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan, Pelaksanaan/
Penatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam rangka Pelaksanaaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Berdasarkan Keputusan Bersama ini, instansi yang mengusulkan proyek
Kredit Ekspor harus mengajukan permohonan alokasi Kredit Ekspor kepada Menko Bidang Ekonomi,
Keuangan dan Pengawasan Pembangunan dengan tembusan kepada Men PPN/Ketua Bappenas dan
Menteri Keuangan.
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
17
dapat menaikkan nilai aset PLN dan menambah masa operasi (life extension) serta
menghemat pemakaian bahan bakar.
KOTAK 3.1
Kronologis Pemanfaatan JBIC Credit Line
Pada mulanya PLN mengusulkan 14 proyek yang akan dibiayai dengan menggunakan fasilitas credit line
ini, di mana sebagian besar merupakan proyek rehabilitasi serta pengadaan spare parts, yaitu:
1. Modernization and upgrade of Sutami HEPP (3X36 MW)
2. Rehabilitation and Modernization of Wlingi HEPP (2X28 MW)
3. Rehabilitation and Modernization of Lodoyo HEPP (1X4,7 MW)
4. Rehabilitation and Modernization of Paiton Steam Power Plant Unit 1 & 2 (2X400 MW)
5. Rehabilitation and Modernization of Saguling HEPP (4X 178 MW)
6. Replacement of Generator Stator Slot GT 2.3 Tanjung Priok CCPP
7. Life Extension and Rehabilitation of PLTU Semarang #1 and 2 SFFPP
8. Rehabilitation for Muara Karang #4 and #5
9. Retrofit Control System Suralaya #1-4, Steam Coal Power Plant
10. Rehabilitation of Desalination Plan A/B, Suralaya #1-4 Steam Coal Power Plant
11. Capacity Upgrade and Modernization for Suralaya SPP #1-4
12. Rehabilitation Generator System Diesel Power Plant Pesanggrahan Bali
13. Rehabilitation of Tonsea Lama HEPP
14. Barged Mounted Diesel Power Plant for Outside Java (Sorong, Ambon, Jayapura, Kupang and
Mataram) 5 X 10MW
Karena beberapa masalah antara lain tidak terpenuhinya sebagian readiness criteria sesuai jadwal,
pemanfaatan dana fasilitas credit line tersebut memakan waktu yang lama sehingga PLN harus
melakukan kajian ulang atas ke-14 usulan proyek tersebut. Berdasarkan hasil kajian ulang tersebut, PLN
mengusulkan agar fasilitas credit line dikonsentrasikan untuk membiayai sistem kelistrikan Jawa-Madura-
Bali (JAMALI), sedangkan Rehabilitasi Tonsea Lama dicarikan dari sumber pendanaan lain. Rehabilitasi
Sutami, Wlingi, dan Lodoyo HEPP ternyata tidak membutuhkan biaya besar sehingga dapat dibiayai
sendiri oleh PLN (PJB). Replacement of Generator Stator Slot GT 2.3 Tanjung Priok CCPP dan Life Extension
and Rehabilitation of PLTU Semarang #1 and 2 SFFPP dilaksanakan oleh PLN (Indonesia Power).
Mengenai proyek Rehabilitation of Desalination Plan A/B, Suralaya #1-4 Steam Coal Power Plant, PLN
menilai bahwa kondisi Desalination Plan A/B Suralaya sudah sangat kritis sehingga PLN tidak dapat
menunggu dana JBIC. Rehabilitation Generator System Diesel Power Plant Pesanggrahan Bali
dilaksanakan oleh Indonesia Power. Sedangkan proyek Barged Mounted Diesel Power Plant for Outside
Java (Sorong, Ambon, Jayapura, Kupang and Mataram) 5 X 10MW dibatalkan akibat bahan bakar minyak.
Lebih lanjut kajian tersebut menyebutkan bahwa untuk memperbaiki performance dan perpanjangan
umur ekonomi ± 20 tahun diperlukan penambahan scope kerja yang cukup signifikan untuk 4 (empat)
proyek yaitu:
1. Rehabilitation for Muara Karang #4 and #5
2. Rehabilitation and Modernization of Paiton Steam Power Plant Unit 1 & 2 (2X400 MW)
3. Rehabilitation and Modernization of Saguling HEPP (4X 178 MW)
4. Rehabilitation and Modernization of Saguling HEPP (4X 178 MW).
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
18
Tabel 3.1 Rincian Pemanfaatan Credit line JBIC:
Nama Proyek
Muara Karang
Steam Power
Plant
Rehabilitation
Project
Rehabilitation of
Suralaya Steam
Power Plant unit
1-4 lot 2 Turbine
Generator Unit
1&2 (4X400
MW)**
Rehabilitation
and
Modernization
Project of
Saguling Hydro
Electric Power
Plant
Rehabilitation
of Paiton
Steam Power
Plant Unit 1&2
(2X400 MW)
Suralaya
Steam Power
Plant
Rehabilitation
Project**
Tanggal Contract Loan
Agreement (CLA)
28 Januari 2008 16 Juni 2008 26 Maret 2010 26 Maret 2010 13 Juni 2008
No CLA CLA No. 1 CLA No. 2 CLA No. 3 CLA No. 4 CLA No. 5
Lenders JBIC dan
Mizuho
Corporate
Bank, Ltd.
JBIC dan The
Bank of Tokyo-
Mitsubishi UFJ,
Ltd.
JBIC dan
Sumitomo
Mitsui Banking
Corporation
JBIC dan
Mizuho
Corporate
Bank, Ltd.
Jumlah pinjaman (JPY) 10.554.246.526 3.788.979.242 1.303.638.324 4.205.930.906 7.297.041.115
Persyaratan
Pinjaman
Bunga
(per tahun)
3,96% 3,45% 3,46% 3,29% 3,53%
Commitment
charge (per
tahun)*
0,2% 0,2% 0,2% 0,2% 0,2%
Periode
pembayaran
10 tahun 8 tahun 8 tahun 8 tahun 10 tahun
Grace period 2,5 tahun 2,5 tahun 2,5 tahun 2,5 tahun 2,5 tahun
Final
disbursement
date
31 Desember
2011
30 September
2012
30 September
2012
30 September
2012
30 September
2012
Tanggal Contract 21 Mei 2007 11 Februari 2008 11 Februari
2008
3 Maret 2008 4 Maret 2008
Kontraktor Mitsubishi
Corporation
Mitsubishi
Corporation
Sumitomo
Corporation
Sumitomo
Corporation
Marubeni
Corporation
Keterangan:
*Dibayar terhitung mulai tanggal Notice of Approval of Contract and Loan sampai dengan tanggal disbursement terakhir.
**Khusus untuk Modernisasi PLTU Suralaya Unit 1-4 dituangkan dalam 2 project contract
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa proses pemanfaatan credit line ini
berlangsung lambat. Meskipun General Agreement ditandatangani pada November
2004, contract agreement keempat proyek tersebut baru ditandatangani tahun 2007
dan 2008, sedangkan dua CLA baru ditandatangani setelah 2010. Keterlambatan
tersebut disebabkan oleh berbagai macam hal, terutama yang berhubungan dengan
masalah administrasi. Sebagai contoh, PLN membutuhkan waktu yang lama (lebih dari
1 tahun sejak General Agreement ditandatangani) untuk menentukan keempat proyek
yang akan dibiayai credit line tersebut. Di samping itu, proses penerbitan Alokasi
Kredit Ekspor juga mengalami hambatan akibat lamanya proses permohonan alokasi
KE oleh pihak PLN maupun adanya perubahan landasan hukum mengenai prosedur
pengadaan pinjaman dan hibah luar negeri dari Keputusan Bersama Menteri
Keuangan dan Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No.
185/KMK.03/1995 dan No. KEP.031/KET/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan,
Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam
rangka Pelaksanaaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi PP No.
2/2006. Sebagai dampak dari keterlambatan ini, Pemerintah Indonesia terpaksa
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
19
mengusulkan perpanjangan final disbursement date dari General Agreement ini
sebanyak dua kali kepada pihak JBIC. Final disbursement date yang pertama
diperpanjang sampai dengan 30 september 2010 dan yang kedua sampai dengan 30
September 2012. Perpanjangan final disbursement date yang kedua tersebut dilakukan
untuk mengakomodir berakhirnya masa disbursement proyek Rehabilitation and
Modernization Project of Saguling Hydro Electric Power Plant dan Rehabilitation of
Paiton Steam Power Plant Unit 1&2 (2X400 MW) pada 30 September 2012.
Meskipun kinerja proyek-proyek credit line tersebut mengalami banyak hambatan,
pada awal 2011 pihak JBIC kembali menawarkan fasilitas credit line yang baru dengan
jumlah komitmen yang lebih besar yakni JPY 50 miliar. Seperti halnya fasilitas credit
line sebelumnya, credit line fase II ini juga diperuntukkan untuk membiayai kegiatan di
sektor pembangunan ketenagalistrikan. Meskipun demikian, pihak JBIC tidak menutup
kemungkinan untuk menawarkan credit line II ini untuk pembiayaan kegiatan sektor
lain.
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
20
3.3.2 China
Pinjaman skema credit line yang diberikan China dikenal dengan sebutan Preferential
Buyer's Credit. Skema ini adalah pinjaman jangka panjang yang mempunyai syarat
dan ketentuan tertentu. Tujuan utama China memberikan preferential buyer’s credit
adalah untuk mempromosikan kerjasama ekonomi dan perdagangan China dengan
negara-negara berkembang lainnya.6
Pinjaman credit line dari China dituangkan dalam perjanjian induk yang disebut
Agreement Regarding Utilization of the Facility from the Government of the People’s
Republic of China to the Government of the Republic of Indonesia between the Export-
Import Bank of China and the Ministry of Finance of the Republic of Indonesia (untuk
selanjutnya disebut General Agreement). Untuk pertama kalinya General Agreement
tersebut ditandatangani oleh the Export-Import Bank of China (China Eximbank) dan
Kementerian Keuangan RI pada 17 Desember 2002 dengan nilai komitmen mencapai
USD 400 juta. Total komitmen pinjaman credit line dari tahun 2002 – 2008 mencapai
USD 1,8 miliar yang dituangkan dalam 5 (lima) General Agreement seperti
diperlihatkan pada table berikut:
Tabel 3.2 Komitmen pinjaman Preferential Export Buyer’s Credit
Tahapan Tanggal Penandatanganan Nilai Komitmen
General Agreement I 17 Desember 2002 USD 400 juta
General Agreement II 25 April 2005 USD 300 juta
General Agreement III 28 Juli 2005 USD 100 juta
General Agreement IV 25 September 2007 USD 200 juta
General Agreement V 22 Desember 2008 USD 800 juta
Total USD 1,8 miliar
General Agreement tersebut menyatakan bahwa penandatanganan perjanjian induk
ini merupakan tindak lanjut dari hasil pertemuan antara Presiden China, Jiang Zemin,
dan Presiden Indonesia, Megawati Soekarnoputri pada tanggal 24 Maret 2002 di
Beijing China. Dalam pertemuan tersebut, Pemerintah China sepakat untuk
memberikan Credit line kepada Pemerintah RI untuk membiayai proyek-proyek yang
disepakati kedua pemerintah. China Eximbank ditunjuk oleh Pemerintah China
sebagai satu-satunya bank yang mengelola credit line, sedangkan dari pihak
Indonesia pengelolaan credit line tersebut menjadi kewenangan Kementerian
Keuangan. Dengan demikian, berbeda halnya dengan pinjaman credit line yang
diberikan oleh kreditor swasta asing (JBIC) kepada Pemerintah Indonesia, Preferential
6 China Exim Bank (2011).
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
21
Export Buyer’s Credit merupakan pinjaman dari Pemerintah China untuk Pemerintah
Indonesia (pinjaman G to G)
China Eximbank menetapkan hal-hal berikut sebagai persyaratan bagi peminjam
untuk mendapatkan preferential buyer’s credit:
1) Proyek harus sesuai dengan prioritas rencana pembangunan negara
peminjam dan memberikan kontribusi bagi pembangunan sosial-ekonomi
negara peminjam dan hubungan perdagangan dan kerjasama ekonomi
antara China dan negara peminjam.
2) Proyek harus mampu menghasilkan devisa dan menciptakan lapangan kerja di
negara peminjam. Kredit ini difokuskan untuk mendukung pembangunan di
bidang infrastruktur seperti sektor energi, transportasi, telekomunikasi, sektor
industri dan pertanian di negara peminjam.
3) Pengadaan peralatan, material, teknologi atau jasa yang dibutuhkan negara
peminjam harus diprioritaskan berasal dari Cina.
Seperti halnya pinjaman JBIC, Preferential Export Buyer’s Credit juga mempunyai
persyaratan yang bersifat komersial dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 3.3 Terms and Conditions Preferential Export Buyer’s Credit
Bunga per tahun 3%
Commitment charge per tahun Tidak ada
Management fee 0,2%
Periode pembayaran 12 tahun
Grace period 3 tahun atau selama masa pelaksanaan/konstruksi proyek
Coverage ratio 85-90% dari nilai kontrak valuta asing
Kontraktor Perusahaan China
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
22
Hingga saat ini Pemerintah Indonesia sudah memanfaatkan dana sekitar USD 698 juta
untuk membiayai empat proyek infrastruktur (lihat tabel berikut).
Tabel 3.4 Pemanfaatan Pinjaman Preferential Export Buyer’s Credit
No Nama Proyek Tanggal
Loan Agreement
Jumlah Pinjaman
1 The Construction of Surabaya-Madura Bridge
Project*
5 November 2004 USD 229 juta
10 December 2008
2 Labuan Angin Coal Fired Steam Power Plant* 6 November 2003 USD 184 juta
10 November 2009
3 Development of Jati Gede Dam 25 September 2007 USD 216 juta
4 Procurement of 1000 km track material and 200
units turn out
29 Juli 2011 USD 69 juta
Total USD 698 juta
Keterangan: * Terjadi penambahan jumlah pinjaman sehingga terdapat dua loan agreement.
Dari sisa komitmen senilai USD 1,1 miliar, sejumlah USD 237 juta direncanakan
digunakan untuk membiayai pembangunan 2 jalan tol yang menggunakan skema
Public Private Partnership (PPP) yaitu proyek Toll Road Development of Medan-
Kualanamu dan Toll Road Development of Cileunyi-Sumedang-Dawuan. Dalam hal ini,
preferential export buyer’s credit digunakan untuk membiayai porsi pemerintah dalam
skema PPP tersebut, sedangkan investor kedua jalan tol tersebut akan dipilih melalui
tender terbuka. Sementara itu, pinjaman sebanyak USD 863 juta akan dialokasikan
untuk membiayai 5 (lima) proyek sebagai berikut:
1. Tayang Bridge Construction
2. Construction of Kendari Bridge
3. Parit Baru Steam Power Plant
4. Construction of 2X200 MW Pangkalan Susu Coal-Fired Power Plant
5. Construction of 2X200 MW Takalar Coal-Fired Power Plant
Di samping itu, pihak China juga kembali menawarkan komitmen senilai USD 1 miliar
pada saat kunjungan PM Wen Jibao pada akhir April 2011.
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
23
3.3.3 Korea
Pemberian credit line sebesar USD 970 juta dari Pemerintah Korea dituangkan secara
resmi dalam 2 (dua) perjanjian induk yaitu Framework Arrangement between the
Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Korea
Concerning Loans from the Economic Development Cooperation Fund. Framework
Arrangement pertama ditandatangani pada tanggal 19 November 2007 yang berisi
komitmen Pemerintah Korea melalui Korea Exim Bank untuk memberikan credit line
senilai USD 370 juta untuk periode 2007-2009. Berdasarkan Framework Arrangement
tersebut, komitmen dana yang tidak termanfaatkan sampai dengan 2009 tidak dapat
digunakan untuk komitmen periode berikutnya. Framework Arrangement kedua
ditandatangani pada tanggal 27 Desember 2010. Dalam perjanjian induk ini,
Pemerintah Korea memberikan komitmen credit line senilai USD 600 juta untuk
periode 2010-2013.
Dalam hal ini, klausul-klausul yang terdapat dalam Framework Arrangement kedua
merupakan hasil penyempurnaan dari perjanjian induk sebelumnya. Berikut
perbandingan antara kedua perjanjian induk tersebut:
Tabel 3.5 Perbandingan antara Framework Arrangement 2007-2009 dan
2010-2013
Framework Arrangement 2007-2009 Framework Arrangement 2010-2013
Perbedaan
Menyatakan secara rinci persyaratan
pinjaman, antara lain:
- Tingkat bunga per tahun: 1,5%
- Masa pembayaran kembali (termasuk
grace period) : 30 tahun
- Grace period: 10 tahun
- Overdue charge per tahun 2%
Persyaratan pinjaman hanya akan diuraikan
secara rinci dalam individual loan agreement.
Tidak mengandung klausul mengenai ada
tidaknya pengenaan bunga untuk untuk
pinjaman porsi consulting services.
Porsi pinjaman untuk consulting services tidak
dikenakan bunga apabila konsultannya
merupakan perusahaan Korea.
Tidak ada ketentuan mengenai penggunaan
metode limited competitive bidding antar
asosiasi-asosiasi yang dibentuk oleh
gabungan perusahaan-perusahaan Indonesia
dan Korea untuk pengadaan supplier/
konsultan.
Khusus untuk proyek tertentu yang disetujui
kedua belah pihak, supplier barang/jasa
maupun konsultan dipilih atau dipekerjakan
melalui limited competitive bidding antar
asosiasi-asosiasi yang dibentuk oleh
gabungan perusahaan-perusahaan Indonesia
dan Korea.
Tidak ada ketentuan mengenai penggunaan
metode limited competitive bidding antar
Pihak executing agency diharuskan
menggunakan metode limited competitive
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
24
Framework Arrangement 2007-2009 Framework Arrangement 2010-2013
consulting firms Korea untuk memilih
konsultan.
bidding antar consulting firms Korea untuk
memilih konsultan.
Persamaan
Pada kejadian di mana Pemerintah Indonesia gagal melakukan pembayaran atas utang yang
jatuh tempo, Pemerintah Indonesia akan dikenai overdue charge sebesar 2% per tahun di atas
tingkat bunga yang disebutkan oleh Loan Agreement.
Kontrak pengadaan dan consulting contracts harus diselesaikan dalam waktu 18 bulan setelah
tanggal efektif individual loan agreement.
Korea adalah asal negara (country of origin) yang eligible untuk pengadaan barang dan jasa,
termasuk consulting services, yang dibiayai pinjaman ini untuk porsi mata uang asing dan
Indonesia untuk porsi mata uang lokal. Namun, dalam Framework Arrangement 2010-2013
terdapat klausul yang menyatakan bahwa jika pengadaan membutuhkan partisipasi dari
perusahaan-perusahaan yang tidak berasal Korea maupun Indonesia, maka hal ini akan
disebutkan dalam Individual Loan Agreement.
Supplier barang dan jasa, termasuk consulting services, harus dipilih dari perusahaan-
perusahaan Korea. Namun, Framework Arrangement 2010-2013 menyempurnakan ketentuan
ini dengan menyatakan bahwa pengadaan supplier barang dan jasa dilaksanakan melalui
mekanisme competitive bidding antar perusahaan-perusahaan Korea.
Berbeda halnya dengan credit line yang diberikan JBIC dan China, pinjaman credit line
Korea mempunyai persyaratan lunak. Meskipun demikian, pemanfaatan pinjaman
Credit Line Korea juga mengalami banyak hambatan, terutama akibat belum
terpenuhinya readiness criteria oleh banyak proyek yang diusulkan untuk
mendapatkan pinjaman ini. Ini terlihat dari fakta bahwa dari total komitmen USD 970
juta tersebut, Pemerintah Indonesia baru mengalokasikan USD 140 juta untuk 2 (dua)
proyek seperti yang dijelaskan pada Tabel 3.6 Saat ini Pemerintah Indonesia sedang
mempersiapkan 3 proyek dengan total nilai USD 155 juta (lihat Tabel 3.8).
Tabel 3.6 Proyek Pinjaman EDCF
No Nama Proyek Executing
Agency
Tanggal Loan
Agreement
Nilai Pinjaman
1 Construction of Karian Multipurpose
Dam Project
Ditjen
Sumber
Daya Air,
Kementerian
PU
22 Desember 2011 USD 100 juta
2 Integrated Trunking Radio
Communication for Indonesia National
Police
Kepolisian RI 22 Desember 2011 USD 40 juta
Total USD 140 juta
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
25
Tabel 3.7 Persyaratan Perjanjian Pinjaman Credit Line Korea berdasarkan
Individual Loan Agreement Kedua Proyek
Periode pembayaran 30 tahun
Masa tenggang 10 tahun
Bunga 0,15% per tahun
Cakupan 100% dari nilai kontrak
Service Charge 0,1% per tahun
Dari tabel tersebut terlihat bahwa terms and conditions yang ditetapkan dalam kedua
individual loan agreement tersebut lebih rendah dibandingkan ketentuan perjanjian
induknya (Framework Agreement). Sesuai dengan surat Ministry of Strategy and
Finance Korea pada tanggal 30 Desember 2008 yang ditujukan kepada Bappenas,
kebijakan penurunan terms and conditions tersebut di satu sisi dimaksudkan untuk
secara aktif mempromosikan proyek-proyek yang dibiayai pinjaman credit line Korea
di Indonesia dan di sisi lain untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam mengelola
manajemen pembayaran pinjaman luar negerinya.
Tabel 3.8 Proyek Dalam Persiapan
No Nama Proyek Executing Agency Nilai Pinjaman
1 Lombok Steam Coal Power Plant PT PLN USD 86 juta
2 The Development of Sewerage System in Batam
Island
Badan Pengusahaan
Batam
USD 50 juta
3 North Sulawesi e-Government Implementation
Project
Pemprov Sulawesi Utara USD 40 juta
Total USD 176 juta
Sama halnya dengan JBIC, Pemerintah Korea melalui Export-Import Bank of Korea
(Koexim) juga menawarkan tambahan credit line senilai USD 1 milliar yang dapat
digunakan oleh perusahaan Indonesia maupun perusahaan Korea di Indonesia tanpa
memperhitungkan kinerja dari 2 (dua) tahap credit line sebelumnya. Pemberian
pinjaman credit line tahap ketiga tersebut bertujuan untuk mendorong program
kerjasama pemerintah dan swasta (Public Private Partnership - PPP). Namun, berbeda
halnya dengan credit line USD 970 juta yang bersifat concessional, terms and
conditions untuk credit line senilai USD 1 miliar ini bersifat komersial.
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
26
3.3.4 Rusia
Pemberian state credit ini bermula dari penandatangan Memorandum of
Understanding (MoU) mengenai kerjasama di bidang logistik militer antara Indonesia
dan Rusia pada tahun 1996. Krisis 1997 menghambat pelaksanaan MoU tersebut dan
kesepakatan pembelian alutsista TNI baru dimulai kembali pada tahun 2002, dengan
skema pembayaran imbal beli. Meskipun demikian, pada akhirnya pemerintah
menggunakan mekanisme pinjaman luar negeri untuk melakukan pengadaan
alutsista, yang dituangkan dalam Alokasi Kredit Ekspor tahun 2002.
Selanjutnya pada April 2003 Departemen Pertahanan RI dan Departemen Pertahanan
Rusia menandatangani Naskah Kesepakatan (Agreement) untuk Kerjasama Teknik
Militer Indonesia-Rusia. Sebagai tindak lanjut dari Agreement tersebut, pada Maret
2006 Pemerintah Rusia menawarkan pinjaman state credit untuk pembiayaan alutsista
TNI sebesar USD 1 miliar dalam kurun waktu 2007-2010, yang dituangkan dalam
Minutes of Discussion antara Departemen Keuangan RI dan Departemen Pertahanan
Rusia. Sebagai puncaknya, Pemerintah Indonesia dan Rusia menandatangani
perjanjian mengenai pemberian state credit sebesar USD 1 miliar tersebut di Jakarta
pada tanggal 6 September 2007, pada saat kunjungan Presiden Rusia saat itu,
Vladimir Putin, ke Indonesia.
Tabel 3. 9 Persyaratan Perjanjian State Credit
Periode utilisasi 5 tahun dari tanggal perjanjian *
Periode pembayaran 10 tahun
Masa tenggang 5 tahun
Bunga 5,3% per tahun
Cakupan 85% dari nilai kontrak
*Berlaku mulai tahun 2008
Untuk pelaksanaan masing-masing kontrak, Kementerian Keuangan RI dan
Kementerian Keuangan Rusia menandatangani suatu protokol perjanjian sebagai
pengganti individual loan agreement. Pinjaman ini diperuntukan khusus untuk
pengadaan peralatan militer dimana Rusia menjadi country of origin. Uang muka 15%
dari nilai setiap kontrak harus dibayar Kementerian Pertahanan RI sebagai executing
agency. Seperti halnya proyek-proyek credit line JBIC, state credit dikategorikan
sebagai pinjaman kredit ekspor mengingat persyaratannya yang lebih tinggi daripada
pinjaman ODA.
Sejauh ini, Pemerintah Indonesia baru memanfaatkan dana state credit senilai USD
190,5 juta untuk membiayai beberapa kegiatan sebagai berikut:
1. Pembelian helikopter Mi-17-V5;
2. Pembelian helikopter Mi-35P;
3. Pengadaan Suku Cadang Avionik Pesawat Sukhoi SU-27/30;
Bab 3: Kerjasama Bilateral dalam Skema Pendanaan Credit line
27
4. Pembelian Sucad Helikopter Mi-35P;
5. Pembelian Tank Amfibi BMP-3F;
6. Pembelian persenjatan Sukhoi & Acessories;
Selanjutnya Pemerintah Indonesia berencana untuk memanfaatkan State Credit untuk
membiayai 2 (dua) kegiatan berikut, yaitu:
1. Pengadaan tank amfibi BMP-3F dan Suku Cadangnya senilai USD 114 juta
2. Modifikasi alat navigasi dan komunikasi 4 pesawat dan pengadaan suku
cadang avionik pesawat Sukhoi senilai USD 25 juta.
Sedikitnya dana state credit yang telah dimanfaatkan menjadi concern instansi terkait
baik di pihak Indonesia dan Rusia mengingat perjanjian induk tentang pemberian
state credit tersebut akan berakhir tahun 2012.
Bab 4: Analisis Pemanfaatan Credit line oleh Pemerintah Indonesia
28
Bab ini membahas tentang:
Perbandingan Umum Credit Line
Kelebihan Credit Line
Kekurangan Credit Line
Bab ini akan memaparkan analisis credit line, baik yang sudah dimanfaatkan maupun
yang akan ditawarkan kepada Pemerintah Indonesia. Bagian pertama BAB ini akan
difokuskan pada analisis mengenai perbandingan umum credit line dilihat dari empat
parameter. Bagian selanjutnya akan membahas aspek kelebihan skema credit line
sebagai alternatif sumber pendanaan pembangunan. Analisis ini berkisar pada
keuntungan dari adanya perjanjian induk dan proses pengadaan yang bisa
berlangsung relatif cepat. Pada bagian berikutnya akan ditampilkan analisis mengenai
kekurangan dari skema credit line.
4.1 Perbandingan Umum Credit Line
Berdasarkan uraian pada BAB sebelumnya dapat diketahui perbandingan credit line
yang diterima Pemerintah Indonesia dari keempat kreditor yang menjadi fokus
pembahasan dalam policy paper ini. Ada 4 (empat) parameter yang digunakan untuk
membandingan credit line-credit line tersebut, yaitu origin of goods and services,
pemanfaatan credit line, concessionality, dan prosedur yang digunakan untuk proses
pengadaan barang/jasa.
Dilihat dari parameter origin of goods and services (asal barang/jasa) dapat
disimpulkan bahwa keempat lender mensyaratkan pinjaman yang bersifat tied dalam
arti credit line tersebut harus digunakan untuk membeli atau mengimpor barang/jasa
yang diproduksi negara lender.
Sedangkan dilihat dari parameter pemanfaatan, penjelasan pada BAB sebelumnya
menunjukkan ada dua kategori: (i) credit line harus digunakan untuk pembiayaan
kegiatan di sektor/prioritas tertentu, dan (ii) credit line dapat digunakan untuk
pembiayaan kegiatan di berbagai sektor/prioritas. Sebagai contoh, credit line yang
BBaabb 44::
AAnnaalliissiiss PPeemmaannffaaaattaann CCrreeddiitt LLiinnee oolleehh
PPeemmeerriinnttaahh IInnddoonneessiiaa
Bab 4: Analisis Pemanfaatan Credit line oleh Pemerintah Indonesia
29
bersumber dari JBIC hanya boleh digunakan untuk sektor energi kelistrikan,
sedangkan yang bersumber dari Rusia hanya untuk membiayai kegiatan pengadaan
alutsista. Sementara itu, credit line yang berasal dari China dan Korea bebas
digunakan untuk sektor/prioritas apa pun.
Dilihat dari parameter concessionality, semua lender, kecuali Korea, memberikan credit
line yang bersifat komersial. Apabila ditinjau dari parameter prosedur, JBIC dan Rusia
memperbolehkan penerapan prosedur Pemerintah Indonesia dalam proses
pengadaan barang/jasa yang dibiayai credit line dari kedua lender ini. Sedangkan
China dan Korea menggunakan prinsip campuran.
Tabel 4.1 Perbandingan Umum Credit Line dari Empat Sumber Pinjaman
Parameter Pemberi Credit Line
China JBIC Korea Rusia
Origin of goods
and services
Tied Tied Tied Tied
Pemanfaatan Bebas Terbatas Bebas Terbatas
Concessionality Non concessional Non concessional Concessional Non concessional
Prosedur
pengadaan
barang/jasa
China dan
Indonesia
Indonesia Korea dan
Indonesia
Indonesia
Pelaksana China Exim Bank
melaksanakan
mandat dari
Pemerintah China
JBIC sebagai bank
pelaksana, bukan
sebagai pelaksana
mandat dari
Pemerintah
Jepang
Korea Eximbank
melaksanakan
mandat dari
Pemerintah Korea
Bank for
Development and
Foreign Economic
Affairs
(Vnesheconombank)
melaksanakan
mandat dari
Pemerintah Rusia
4.2 Kelebihan Credit Line
Berdasarkan uraian pada BAB III, dapat diketahui bahwa credit line mempunyai
beberapa kelebihan sebagai alternatif sumber pendanaan pembangunan. Adanya
perjanjian induk yang menjadi payung bagi pemberian credit line oleh lender kepada
Pemerintah Indonesia dapat berfungsi sebagai jaminan ketersedian dana (financial
commitment) untuk membiayai kegiatan pembangunan di masa yang akan datang.
Sebagai contoh, untuk kasus PLN, jaminan ketersediaan dana tersebut sangat
diperlukan mengingat besarnya dana yang diperlukan oleh perusahaan BUMN
tersebut untuk investasi membangun/merehabilitasi pembangkit, transmisi, dan
Bab 4: Analisis Pemanfaatan Credit line oleh Pemerintah Indonesia
30
distribusi setiap tahun. Selama ini setiap tahun PLN dan pemerintah baru mampu
menyediakan dana 20% dari total kebutuhan dana investasi.7
Sebagai implikasi dari adanya jaminan ketersediaan dana tersebut, skema credit line
memberikan kesempatan kepada executing agency untuk mematangkan kesiapan
proyek. Di samping itu, penandatangan perjanjian induk tidak langsung berimplikasi
pada pengenaan commitment fee. Biaya ini baru akan dikenakan pihak lender setelah
individual loan agreement efektif.
Kelebihan lainnya adalah skema ini memungkinkan terjadinya proses pengadaan
barang/jasa yang lebih cepat karena 1 (satu) kegiatan hanya terdiri dari 1 (satu) paket
pekerjaan. Sebagai contoh, setiap kegiatan yang dibiayai credit line JBIC dilaksanakan
oleh satu kontraktor.
Sejak pertama kali disalurkan pada pertengahan tahun 2000-an, sebagian besar credit
line dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan
infrastruktur dan energi serta pengadaan alutsista yang bersifat strategis. Hal ini
sejalan dengan kebijakan Pemerintah saat ini yang berusaha untuk mengutamakan
penggunaan dana pinjaman luar negeri untuk pembangunan infrastruktur dan energi.
4.3 Kekurangan Credit Line
Di samping kelebihan-kelebihan yang telah dipaparkan sebelumnya, skema credit line
juga mempunyai sejumlah kekurangan yang harus dicermati Pemerintah Indonesia
sebagai peminjam. Seperti yang telah diulas pada BAB 3, sebagian besar credit line
yang ditawarkan oleh kreditor bilateral bersifat komersial dan terikat (tied loan) di
mana kontraktor untuk melaksanakan proyek harus berasal dari negara lender. Dari
keempat lender yang menjadi fokus Policy Paper ini, hanya Korea yang menawarkan
credit line dengan persyaratan lunak. Meskipun demikian, adanya kecenderungan
bahwa Pemerintah Indonesia menerima credit line dengan persyaratan pinjaman yang
bersifat komersial membuat Korea pun tertarik untuk menawarkan skema ini dengan
persyaratan yang bersifat komersial pula.
Berikut ini adalah paparan mengenai perbandingan syarat dan ketentuan yang
berlaku pada pinjaman negara Jepang, Rusia, China, dan Korea.
7 Wawancara dengan mantan Direktur Energi, Telekomunikasi dan Informatika Bappenas, Gumilang
Hardjakusuma pada tanggal 5 Desember 2011
Bab 4: Analisis Pemanfaatan Credit line oleh Pemerintah Indonesia
31
Tabel 4.2 Perbandingan Persyaratan Credit line dari 4 Negara
No. Persyaratan
Pinjaman
Negara
Jepang Korea China Rusia
1. Bunga per tahun (%) 3,29 – 3,96 0,15 3,00 5,30
2. Commitment Charge
per tahun (%)
0,20 - - -
3. Management Fee (%) - - 0,20 -
4. Periode Pembayaran
(tahun)
8 – 10 30 12 10
5. Service Charge setiap
transaksi (%)
- 0,10 - -
6. Grace Period (tahun) 2,5 10 3 tahun atau selama
masa
konstruksi/pengerjaan
proyek
5
7. Coverage Ratio (%) 85 100 85 – 90 85
8. Contractor Perusahaan
Jepang
Perusahaan
Korea dan
Indonesia
Perusahaan China Perusahaan
Rusia
Fakta bahwa credit line yang ditawarkan kreditor bilateral ini bersifat komersial
merugikan pihak Indonesia mengingat semua credit line bersifat tied. Pinjaman tied
loan ditengarai lebih banyak merugikan pihak borrower karena hal-hal sebagai
berikut:
1. Country of origin harus berasal dari negara pemberi pinjaman.
Pengadaan barang/jasa untuk pinjaman yang sifatnya tied harus
menggunakan barang/jasa dari negara lender.
2. Tidak mendorong penggunaan barang/jasa dalam negeri.
Karakter tied dari suatu pinjaman sangat terkait dengan ketentuan
penggunaan barang/jasa dari pihak lender atau negara ketiga. Ketentuan ini
menyebabkan rendahnya penggunaan komponen dalam negeri dalam
pengadaan barang/jasa.
3. Biaya transaksi (cost of transaction) lebih mahal.
Pinjaman yang sifatnya tied umumnya memunculkan biaya transaksi yang
lebih tinggi karena mengharuskan penggunaan barang/jasa dari negara lender
dengan biaya yang lebih tinggi dibanding menggunakan kandungan lokal.
Bab 4: Analisis Pemanfaatan Credit line oleh Pemerintah Indonesia
32
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa tied loan akan meningkatkan biaya
pengadaan barang/jasa hingga mencapai 15% hingga 30%.8
8 Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral Bappenas. Kajian Analisis Korelasi Terms and Conditions
Pinjaman, Biaya Pinjaman, dan Rules of Origin dalam Pengadaan Barang/Jasa. Jakarta: Bappenas. 2010.
Hal.12-20.
Bab 5: Rekomendasi
33
Bab ini membahas tentang:
Faktor-Faktor Utama dalam Penyusunan Pilihan Alternatif Pengambilan Keputusan
Pilihan Alternatif Pengambilan Keputusan
Analisis atas Pilihan Alternatif
Rekomendasi
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa credit line yang
diterima Pemerintah Indonesia dapat berupa pinjaman komersial maupun
concessional loan. Dalam hal ini, credit line yang bersifat komersial lebih banyak
diterima Pemerintah Indonesia dibandingkan yang bersifat concessional loan. Selain
itu, salah satu karakteristik pinjaman skema ini adalah adanya perjanjian induk
(general agreement) yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia selaku borrower
dan para pemberi pinjaman (lender). Karakteristik lainnya adalah dilihat dari bentuk
pengadaan barang/jasa, semua credit line yang saat ini diterima Pemerintah Indonesia
bersifat tied loan tanpa memperhatikan apakah pinjaman tersebut bersifat komersial
atau concessional loan. Di samping itu, dalam pelaksanaannya credit line yang
diterima Pemerintah Indonesia, dikelola oleh lembaga-lembaga keuangan asing, baik
yang menjalankan mandat dari pemerintahnya masing-masing seperti China Exim
Bank, Korea Eximbank dan Vnesheconombank Rusia, maupun lembaga keuangan
asing yang bergerak sendiri, tanpa mandat dari pemerintah, seperti JBIC.
Mengingat tujuan dari Policy Paper ini antara lain untuk menganalisis prospek
pendanaan bilateral melalui skema credit line sebagai salah satu sumber pembiayaan
luar negeri alternatif dan membuat rekomendasi kebijakan, pada bagian berikutnya
akan diuraikan analisis mengenai perlu tidaknya Pemerintah Indonesia menerima
tawaran credit line dengan mempertimbangkan beberapa alternatif. Analisis ini
BBaabb 55::
RReekkoommeennddaassii KKeebbiijjaakkaann
Bab 5: Rekomendasi
34
diperlukan mengingat di masa yang akan datang skema credit line diperkirakan akan
semakin banyak ditawarkan oleh pihak lender mengingat telah meningkatnya status
Indonesia dari low income countries menjadi lower middle income countries.
5.1 Faktor-Faktor Utama dalam Penyusunan Pilihan Alternatif
Pengambilan Keputusan
Berdasarkan uraian dari BAB-BAB sebelumnya, terdapat 4 (empat) faktor utama yang
dijadikan sebagai pertimbangan untuk menyusun pilihan alternatif pengambilan
keputusan. Keempat faktor tersebut yakni:
1. Ketentuan PP No. 10/2011
Peraturan pemerintah mengenai pinjaman luar negeri yang berlaku saat ini, PP
No. 10/2011 lebih memfokuskan perhatian pada sumber pinjaman (kreditor
multilateral, kreditor bilateral, kreditor swasta asing, dan lembaga penjamin
kredit ekspor) daripada hal-hal yang berkaitan dengan terms and conditions
pinjaman sebagaimana peraturan pemerintah yang berlaku sebelumnya (PP
No. 2/2006). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah
Indonesia dapat menerima tawaran pinjaman luar negeri dari keempat jenis
kreditor tersebut terlepas dari terms and conditions yang menyertai tawaran
pinjaman tersebut.
2. Konsekuensi dari status Indonesia sebagai lower middle income countries
Status Indonesia saat ini sebagai salah satu lower middle income countries akan
membatasi kemampuan Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan pinjaman
dengan terms and conditions yang bersifat lunak (concessional loan/soft loan).
3. Efisiensi dan efektivitas pinjaman luar negeri
RPJMN dan Jakarta Commitment menekankan pentingnya efisiensi dan
efektivitas dalam pengelolaan dan pemanfaatan pinjaman luar negeri. Dalam
hal ini, efisiensi dan efektivitas akan lebih mudah terealisasi apabila proses
pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan pinjaman tersebut
menggunakan sistem yang bersifat untied dalam arti tidak ada pembatasan
mengenai ketentuan origin of goods and services.
Bab 5: Rekomendasi
35
4. Fleksibilitas dalam pemanfaatan pinjaman
Suatu pinjaman akan lebih bermanfaat apabila pinjaman tersebut digunakan
untuk membiayai kegiatan di sektor-sektor yang memang merupakan prioritas
dari negara borrower.
Di samping keempat faktor di atas, policy paper ini juga mempertimbangkan keempat
parameter yang telah dipaparkan dalam BAB 4 untuk menyusun dan menganalisis
alternatif-alternatif tersebut. Dalam hal ini origin of goods and services merupakan
parameter yang memiliki bobot penilaian paling tinggi karena parameter ini
mempengaruhi tingkat efisiensi dan keefektifan pinjaman luar negeri. Parameter
berikutnya yang memiliki nilai tinggi yaitu pemanfaatan karena mempengaruhi
tingkat ownership dari kegiatan pinjaman luar negeri. Semakin tinggi ownership yang
dimiliki pihak borrower, semakin besar pula kemungkinan kegiatan tersebut akan
mencapai tujuannya. Policy paper ini menempatkan parameter concessionality berada
di urutan ketiga mengingat Peraturan Pemerintah No. 10/2011 secara tegas tidak
mempermasalahkan apabila pinjaman tersebut termasuk pinjaman komersial atau
pun soft loan. Sementara itu, parameter prosedur memiliki nilai paling kecil
dibandingkan ketiga parameter lainnya.
5.2 Pilihan Alternatif Pengambilan Keputusan
Berdasarkan penjelasan pada BAB 49 terdapat beberapa alternatif credit line yang
sedang berlaku saat ini sebagai berikut:
Tabel 5.1 Alternatif Credit Line Saat Ini
Parameter Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3
Origin of goods and services Tied Tied Tied
Pemanfaatan Terbatas Bebas Bebas
Concessionality Non Concessional Concessional Non Concessional
Prosedur Indonesia Indonesia Indonesia
9 Lihat Tabel 4.1 Perbandingan Umum Credit Line dari Empat Sumber Pinjaman, hal. 29.
Bab 5: Rekomendasi
36
Sesuai dengan kajian Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral Bappenas 2010,
origin of goods and services mempunyai kaitan dengan derajat concessionality.
Semakin rendah tingkat concessionality-nya, pinjaman cenderung untied. Berdasarkan
kesimpulan tersebut, di samping ketiga alternatif di atas, policy paper ini juga
mengusulkan satu alternatif baru (Alternatif 4) yaitu credit line bersifat untied, bebas,
non concessional dan menggunakan prosedur Indonesia.
Tabel 5.2 Alternatif 4
Parameter Alternatif 4
Origin of goods and services Untied
Pemanfaatan Bebas
Concessionality Non concessional
Prosedur Indonesia
Selain itu, kajian tersebut juga mengungkapkan adanya praktek pemberian pinjaman
untied yang bersifat concessional seperti skema Promotional Loan yang diberikan
Pemerintah Jerman. Karena itu, policy paper ini juga merekomendasikan Alternatif 5 di
mana pinjaman bersifat untied, bebas, non concessional dan mengikuti prosedur
Indonesia.
Tabel 5.3 Alternatif 5
Parameter Alternatif 5
Origin of goods and services Untied
Pemanfaatan Bebas
Concessionality Concessional
Prosedur Indonesia
Dengan demikian, secara lengkap terdapat 5 (lima) alternatif sebagai hasil kombinasi
dari 3 (tiga) alternatif yang sudah ada dan 2 (dua) alternatif baru yang diusulkan policy
paper seperti terlihat dalam tabel berikut:
Bab 5: Rekomendasi
37
Tabel 5.4 5 Alternatif yang ditawarkan Policy Paper
Parameter Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3 Alternatif 4 Alternatif 5
Origin of goods
and services Tied Tied Tied Untied Untied
Pemanfaatan Terbatas Bebas Bebas Bebas Bebas
Concessionality Non
Concessional Concessional
Non
Concessional
Non
Concessional Concessional
Prosedur Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia
5.3 Analisis atas Pilihan Alternatif
Menurut Alternatif 1, Pemerintah Indonesia memanfaatkan fasilitas credit line dengan
ketentuan origins of goods and services yang bersifat tied dan hanya bisa
dimanfaatkan untuk sektor tertentu. Disamping itu, credit line ini memiliki terms and
conditions yang mahal karena berupa pinjaman non concessional. Meskipun demikian,
credit line ini mengadopsi sistem peraturan Indonesia dalam proses pengadaan
barang/jasa. Saat ini pola credit line seperti ini dimiliki oleh JBIC dan Rusia.
Seperti halnya Alternatif 1, dalam Alternatif 2 Pemerintah Indonesia juga
memanfaatkan fasilitas credit line dengan ketentuan origins of goods and services yang
bersifat tied. Meskipun demikian, credit line ini bebas digunakan untuk sektor apa pun
sesuai dengan prioritas pembangunan Indonesia, mempunyai terms and conditions
yang lunak (concessional) dan juga mengadopsi sistem peraturan Indonesia dalam
proses pengadaan barang/jasa. Credit line Korea merepresentasikan alternatif ini.
Alternatif 3 memungkinkan Pemerintah Indonesia memanfaatkan fasilitas credit line
dengan ketentuan origins of goods and services yang bersifat tied, yang bebas
digunakan untuk sektor apa pun sesuai dengan prioritas pembangunan Indonesia,
mengadopsi sistem peraturan Indonesia dalam proses pengadaan barang/jasa,
namun mempunyai terms and conditions yang mahal (komersial). Contoh dari
alternatif ini adalah credit line yang diberikan Pemerintah China.
Berbeda halnya dengan ketiga alternatif sebelumnya, Alternatif 4 menawarkan credit
line yang bersifat untied, bebas dalam hal pemanfaatannya, serta menerapkan sistem
peraturan Indonesia dalam proses pengadaan barang/jasa. Meskipun demikian, terms
Bab 5: Rekomendasi
38
and conditions yang ditawarkan termasuk mahal karena credit line ini termasuk jenis
pinjaman non concessional.
Alternatif 5 juga merekomendasikan pemanfaatan credit line yang bersifat untied dan
bisa digunakan untuk sektor apa pun sesuai dengan prioritas nasional Pemerintah
Indonesia. Di samping itu, alternatif ini menawarkan kelebihan lain yakni merupakan
pinjaman concessional dan mengadopsi aturan Indonesia dalam proses pengadaan
barang/jasa.
5.4 Rekomendasi
Dengan mempertimbangan keempat faktor utama dan keempat parameter yang telah
diutarakan pada bagian atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya semua alternatif sesuai dengan PP No. 10/2011 tanpa
mempersoalkan apakah credit line tersebut bersifat concessional atau non
concessional.
2. Dengan mempertimbangkan butir pertama dan fakta bahwa Indonesia saat ini
sudah termasuk lower middle income countries, fokus berikutnya harus
ditujukan pada aspek efisiensi dan efektivitas pemanfaatan pinjaman luar
negeri. Dengan demikian, perhatian Pemerintah sebaiknya difokuskan pada
upaya-upaya untuk mendapatkan pinjaman yang bersifat untied.
3. Selain bersifat untied, credit line juga harus diutamakan untuk membiayai
kegiatan-kegiatan (sektor-sektor) yang memang menjadi prioritas Indonesia,
bukan prioritas lender, sehingga bisa terwujud prinsip ownership dari kegiatan
credit line tersebut.
4. Setelah aspek untied dan pemanfaatan, fokus berikutnya harus ditujukan pada
upaya penurunan terms and conditions credit line.
5. Apabila ketiga aspek di atas telah terpenuhi, prioritas berikutnya adalah
mengupayakan adopsi peraturan Indonesia dalam proses pengadaan
barang/jasa yang dibiayai credit line.
Dengan demikian, diluar fakta bahwa Alternatif 5 muncul sebagai alternatif ideal,
policy paper ini berkesimpulan bahwa Alternatif 4 merupakan alternatif yang paling
Bab 5: Rekomendasi
39
optimal dan sesuai dengan kondisi Indonesia riil saat ini. Oleh karena itu, kebijakan
Pemerintah utamanya harus ditujukan untuk mendapatkan credit line yang bersifat
untied, bisa digunakan untuk membiayai kegiatan (sektor) yang menjadi prioritas
utama Pemerintah Indonesia, dan yang mengutamakan penggunaan aturan Indonesia
dalam proses pengadaan barang/jasa. Dalam hal ini, fakta bahwa credit line berbentuk
pinjaman komersial tidak harus menjadi faktor penghambat bagi Pemerintah
Indonesia dalam menetapkan kebijakan mengenai pinjaman luar negeri.
Kata Pengantar
40
China Exim Bank. (2011). “Chinese Government Concessional Loan and Preferential
Export Buyer's Credit”. Diunduh pada tanggal 20 September 2011 dari
http://english.eximbank.gov.cn/businessarticle/activities/loan/200905/9398_1
.html
Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral, Bappenas. (2007). “Peningkatan
Harmonisasi Kerjasama Bilateral.”
Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral, Bappenas. (2010). “Analisis Korelasi antara
Term and Condition Pinjaman, Biaya Pinjaman, dan Rules of Origin dalam
Pengadaan Barang/Jasa.”
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Kementerian Keuangan. (2011). “Daftar Istilah,
Singkatan dan Akronim Berkenaan dengan Pinjaman Luar Negeri.” Diunduh
pada tanggal 10 November 2011 dari http://www.dmo.or.id/dmodata/
8Pojok_Edukasi/2Daftar_Istilah/Daftar_Istilah_PHLN.pdf
Pemerintah Indonesia. (1984). “Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1984 tentang Penggunaan Kredit Ekspor Luar Negeri.”
Pemerintah Indonesia. (2006). “Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor
Per.005/M.PPN/06/2006 Tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan
Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah
Luar Negeri.”
Pemerintah Indonesia. (2006). “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan
Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.”
Pemerintah Indonesia. (2011). “Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun
2011 Tentang Tata Cara Perencanaan, Pengajuan Usulan, Penilaian,
Pemantauan, dan Evaluasi Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri
dan Hibah.”
Pemerintah Indonesia. (2011). “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan
Penerimaan.”
Pemerintah Indonesia. (2011). “Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2011 Tentang
Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri.”
DDaaffttaarr PPuussttaakkaa