ringkasan eksekutif
TRANSCRIPT
RINGKASAN EKSEKUTIF
Tanah, baik sebagai ruang maupun sumberdaya, mempunyai fungsi
penting dan strategis bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Luas
tanah yang praktis tidak bertambah disatu pihak, sedangkan kebutuhan
penduduk yang selalu meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya
merupakan sumber permasalahan pertanahan. Masalah tanah
merupakan masalah yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik
ekonomi, sosial, politik, bahkan untuk Indonesia, tanah juga mempunyai
nilai religius.
Kebijakan dibidang pertanahan bersumber pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 yang berisi tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA).
Seiring dengan itu pemanfaatan tanah yang semula nilai ekonomisnya
sebatas penggunaan pemukiman, pertanian dan/atau perkebunan, lambat
laun berkembang menjadi modal yang besar potensinya untuk
menggerakkan perekonomian.
Dengan disahkannya UU No. 25 tahun 2007 pada 26 April 2007 tentang
Penanaman Modal, dimaksudkan sebagai upaya peningkatan penanaman
modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan riil, baik
menggunakan modal yang bersumber dari dalam negeri maupun luar
negeri, dan dengan adanya ketersediaan tanah diharapkan dapat
mempercepat pembangunan ekonomi nasional.
Selain itu pasal 21 UU No. 25 Tahun 2007, dinyatakan bahwa pemerintah
memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada
perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah.
Selanjutnya ditegaskan pula dalam pasal 22, bahwa perolehan hak atas
tanah dengan mengatur jenis hak atas tanah, jangka waktu, dan
perpanjangan hak atas tanahnya.
Ringkasan Eksekutif Page | 1PT. Alfriz AuliatamaBPN - 2008
Dengan demikian dalam UU No. 25 Tahun 2007 diatur suatu pola
hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara
penguasa dengan pemilik modal (investor). Namun dalam
pengoperasionalannnya justru ditengarai cenderung kurang
memperhatikan kepentingan rakyat dan bahkan dapat merugikan
kepentingan rakyat.
Berdasarkan hal di atas, diperlukan suatu kajian mendalam tentang
pemenuhan kebutuhan tanah untuk penanaman modal pada satu sisi,
namun pada sisi lain hal tersebut tidak menimbulkan reduksi ekonomi
masyarakat kecil dan akses masyarakat terhadap pemilikan dan
penguasaan hak atas tanahnya serta tetap menjamin pengendalian
perubahan penggunaan dan penguasaan tanah, khususnya tanah
pertanian.
Tujuan Penelitian Kebijakan Pertanahan Dalam Penanaman Modal adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana implikasi UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal terhadap aturan-aturan yang berlaku pada
pengelolaan pertanahan.
2. Untuk merumuskan beberapa alternatif kebijakan pengelolaan
pertanahan berkaitan dengan penanaman modal.
Adapun tujuan khusus dari pelaksanaan kegiatan ini adalah:
1. Mengevaluasi secara utuh pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal, khususnya pada 3 provinsi, Bali,
Kepulauan Riau, dan Banten.
2. Memberikan rekomendasi terhadap hasil studi Penelitian Kebijakan
Pertanahan Dalam Penanaman Modal sebagai bahan masukan bagi
pembuat kebijakan (policy maker) dalam menyusun kebijakan
selanjutnya.
Ringkasan Eksekutif Page | 2PT. Alfriz AuliatamaBPN - 2008
Penelitian dilakukan pada daerah kabupaten/kota sampel dengan potensi
penanaman modal tinggi dan rendah. Dalam hal ini dilaksanakan di 3
(tiga) provinsi (Kepulauan Riau, Banten dan Bali) dengan lokasi sampel 1
(satu) kabupaten dan 1 (satu) kota yang dipilih secara purposive
sampling, yaitu
- Provinsi Kepulauan Riau dipilih kabupaten Bintan dan kota
Batam;
- Provinsi Banten dipilih kabupaten Tangerang dan kota
Cilegon;
- Provinsi Bali dipilih kabupaten Badung dan kota Denpasar.
Penelitian difokuskan pada implementasi UU Nomor 5 Tahun 1960,
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agaria, dalam upaya pemberian
iklim kondusif penanaman modal di Indonesia, yaitu dengan:
1. Mengumpulkan data kualitatif sehingga memperoleh beberapa
alternatif kebijakan pengelolaan pertanahan berkaitan dengan
penanaman modal.
2. Melakukan kunjungan ke lokasi sasaran (sampel) dalam rangka
pengumpulan data pada lokasi terpilih di tiga provinsi, Bali, Kepulauan
Riau, Banten.
3. Melakukan analisis data hasil penelitian; dan
4. Penyajian dan penyusunan laporan hasil pelaksanaan pekerjaan
studi Penelitian Kebijakan Pertanahan Dalam Penanamn Modal.
Pemberian iklim yang kondusif bagi penanaman modal dapat diwujudkan
apabila didukung kebijakan pengelolaan pertanahan secara optimal.
Kondisi demikian terwujud bila terselenggara:
1. koordinasi antar Departemen/Instansi/Lembaga di tingkat pemerintah
dan pemerintan daerah dalam pelaksanaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan,
Ringkasan Eksekutif Page | 3PT. Alfriz AuliatamaBPN - 2008
2. birokrasi meliputi prosedur dan proses pelayanan yang jelas
(transparan), sederhana dan tepat waktu, serta
3. jaminan perlindungan dan kepastian hukum meliputi kepastian
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Hasil studi menunjukkan bahwa penilaian pada tingkat penanam modal,
jaminan kepastian hukum menempati urutan pertama, disusul birokrasi
pelayanan dan koordinasi antar-instansi pelaksana kebijakan. Sedangkan
nilai harapan (EV) baik untuk PMA dan PMDN, menunjukkan bahwa
kepastian hukum menempati urutan pertama disusul birokrasi dan
koordinasi.
Untuk faktor kepastian hukum (hak) yang perlu mendapat perhatian
adalah:
1. kepastian penggunaan dan pemanfaatan tanah yaitu kesesuaian
dengan RTRW;
2. status penguasaan tanah yaitu jangka waktu hak atas tanah;
3. penyelesaian masalah pertanahan yaitu masalah tumpang tindih
peruntukan dan penanganan sengketa/konflik pertanahan.
Untuk faktor koordinasi yang perlu mendapat perhatian adalah :
1. penyelenggaraan rapar koordinasi yaitu partisipasi aktif peserta rapat;
2. kesiapan bahan rapat koordinasi yaitu kesiapan data-base masing-
masing instansi, khususnya pertanahan.
Untuk faktor birokrasi yang perlu mendapat perhatian adalah :
1. prosedur pelayanan yaitu waktu/lama pelayanan;
2. proses pelayanan yaitu biaya pelayanan, dan
3. kelembagaan yaitu sinkronisasi peraturan antar-sektor yang terkait
dengan pertanahan.
Ringkasan Eksekutif Page | 4PT. Alfriz AuliatamaBPN - 2008
Dari hasil analisis alternatif kebijakan yang dikembangkan, beberapa
langkah yang ditempuh dalam upaya sinkronisasi kebijakan pengelolaan
pertanahan yang terkait dengan penanaman modal sebagai berikut :
1. Jaminan kepastian Hak :
a. Pengefektifan pemanfaatan RTRW Kabupaten/Kota
dalam rangka perolehan izin lokasi dan perolehan hak atas tanah
sebagai upaya memberikan kepastian status penguasaan,
khususnya jangka waktu hak atas tanah dan kepastian
penggunan/pemanfaatan tanah serta alih penguasaan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah yang tidak terkendali serta tumpang tindih
peruntukan.
b. Sinkronisasi antara UUPA dan UU 25 Tahun 2007,
dengan penyamaan persepsi mengenai pasal-pasal yang terkait
dengan pertanahan dengan pembuatan SKB antar-Lembaga/Sektor.
Khususnya jangka waktu hak atas tanah
2. Koordinasi:
a. Sosialisasi dan penyempurnaan kepanitiaan yang sudah
ada, khususnya kepanitiaan terkait dengan perizinan dan pemberian
hak atas tanah
b. Mempercepat dan memperluas cakupan
penyelenggaraan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan,
Pemanfaatan Tanah (P4T) secara sistematis dalam upaya penyiapan
data-base pertanahan
3. Birokrasi:
a. Sosialisasi dan penyempurnaan PP 46 Tahun 2003 dan
SOPP Tahun 2005 yang terkait dengan biaya pelayanan perolehan
hak atas tanah
b. Sosialisasi dan penyempurnaan peraturan perundangan
antar-sektor terkait khususnya sektor terkait dengan perizinan Ringkasan Eksekutif Page | 5PT. Alfriz AuliatamaBPN - 2008
lokasi dan perolehan hak atas tanah baik di tingkat Nasional,
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dalam upaya meningkatkan implementasi kebijakan pertanahan dalam
rangka penanaman modal sehingga memberikan rasa aman dan
kepastian berusaha, perlu mengefektifkan, menyempurnakan dan
mengembangkan dalam:
a. Pemberian jaminan kepastian hak atas tanah meliputi
pengefektifan pemanfaatan RTRW sebagai dasar penerbitan izin lokasi
dan pemberian hak atas tanah serta penanggulangan tumpang tindih
peruntukan dan sengketa/ konflik pertanahan
b. Koordinasi antar instansi terkait meliputi penyelenggaraan rapat
koordinasi dan kesiapan bahan rapat, khususnya partisipasi aktif
intansi terkait dalam rapat koordinasi, kesiapan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten dan Kota serta kesiapan data-base
masing-masing instansi yang terkait dengan pelayanan pertanahan.
Untuk ini perlu adanya SKB antar lembaga/instansi.
c. Birokrasi pelayanan meliputi prosedur dan proses pelayanan
serta peraturan perundangan sektoral, khususnya terkait dengan biaya
pelayanan dan sinkronisasi peraturan perundangan sektoral baik
nasional, provinsi maupun kabupaten/kota, khususnya yang terkait
dengan penerbitan izin lokasi, perolehan hak atas tanah dan
pengendalian alih penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah.
Agar produk dari langkah-langkah sebagaimana dikemukakan efektif
diperlukan langkah-langkah dalam bentuk pengaturan perundangan dan
pensosialisasiannya:
1. Perlu diatur dengan PP atau SKB, yaitu substansi berkaitan
dengan koordinasi antar-instansi. Contoh antara lain: kewenangan
Ringkasan Eksekutif Page | 6PT. Alfriz AuliatamaBPN - 2008
penerbitan izin lokasi, kewenangan penerbitan SK hak atas tanah dan
sertpikat tanah, kewenangan perizinan investasi dan sebagainya.
2. Perlu diatur dengan SK Menteri/Kepala Lembaga Non
Departemen, yaitu substansi yang terkait dengan penjabaran lanjut
dari UU atau PP yang sifatnya teknis fungsional lembaga. Contoh
antara lain penyiapan data-base instansi (IP4T), penentuan prioritas
investasi, dan sebagainya.
3. Perlu diatur dengan Perda yaitu substansi yang menjabarkan UU,
PP atau Kepmen/Keputusan Kepala LPND yang mengikat masyarakat di
daerahnya. Contoh antara lain RTRW, pembebanan biaya dan
sebagainya.
4. Perlu diatur dengan Keputusan Kepala Daerah, yaitu substansi
terkait dengan teknis UU. PP, Kepmen/Keputusan Kepela LPND yang
bersifat mengefektifkan pelaksanaan operasional di daerahnya.
Contoh: penyelenggaraan rapat koordinasi antar-instansi di daerah,
pembentukan kepanitiaan dan sebagainya.
Selain itu sebagai tindak lanjut penelitian ini diperlukan:
1. review peraturan perundangan yang suda ada
sebagaimana direkomendasikan serta menyusun naskah
penyempurnaan dan penyusunan peraturan perundangan baru baik
ditingkat nasional, provinsi dan daerah,
2. studi lanjutan antara lain pengkajian jangka waktu hak
atas tanah untuk usaha penanaman modal, kesesuaian jenis hak
dengan jenis usaha, mekanisme pengendalaian alih penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan bidang-bidang tanah untuk usaha
penanaman modal.
Ringkasan Eksekutif Page | 7PT. Alfriz AuliatamaBPN - 2008