ringkasan agraria bab 1&2 ( susan shary arifanila )

36
BAB I PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA A. PENGERTIAN AGRARIA Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan “ perladangan, persawahan, pertanian”. Dalam terminology bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian, perkebunan, sedangkan dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian agrarian ini, sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangakat peraturan hokum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikan tanah. Selain pengertian agraria dilihat dari segi terminology bahasa sebagaimana diatas, pengertian agraria dapat pula diketemukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika membaca konsiderans dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri. Oleh karena itu,

Upload: rexy-erlangga

Post on 08-Aug-2015

240 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

BAB I

PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA

A. PENGERTIAN AGRARIA

Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang

satu dengan bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraria berasal dari kata

ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata

agrarius mempunyai arti sama dengan “ perladangan, persawahan, pertanian”.

Dalam terminology bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian,

perkebunan, sedangkan dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian

yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian

agrarian ini, sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan seringkali

digunakan untuk menunjuk kepada perangakat peraturan hokum yang bertujuan

mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan

penguasaan dan pemilikan tanah.

Selain pengertian agraria dilihat dari segi terminology bahasa

sebagaimana diatas, pengertian agraria dapat pula diketemukan dalam Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika membaca

konsiderans dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri.

Oleh karena itu, pengertian agraria dan hokum agraria mempunyai arti atau

makna yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan ruang

angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya (Pasal 1 ayat (2)).

Sementara itu pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah),

tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawahnya air (Pasal 1 ayat (4) jo.

Pasal 4 ayat 1 (1)).

Lebih jauh Boedi Harsono mengatakan bahwa pengertian air meliputi

baik perairan pendalaman walaupun laut wilyah Indonesia (Pasal 1 ayat (5)).

Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan (yang telah

diubah dengan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air) telah diatur

Page 2: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

dalam pengertian air yang tidak termasuk dalam arti yang seluas itu. Hal ini

meliputi air yang terdapat didalam dan atau yang berasal dari sumber air, baik

yang terdapat diatas maupun dibawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air

yang terdapat dilaut (Pasal 1 angka 3).

Berkaitan dengan pengertian air tersebut, dalam UUPA diatur pula

mengenai pengertian kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk

didalamnya bahan galian, mineral biji-bijian dan segala macam batuan,

termasuk batu-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-

Undang No.11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan).

Untuk pengertian mengenai kekayaan alam yang terkandung didalam air adalah

ikan dan semua kekayaan yang berada didalam perairan pedalaman dan laut

wilayah Indonesia (UU No.8 Tahun 1985 tentang perikanan jo UU No.31 Tahun

2004). Pada tahun 1983 hak atas kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh

bumi dan air terwujud dengan keluarnya Undang-Undang No.5 Tahun 1983

tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif

(ZEE) meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis

pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini diatur hak berdaulat untuk

melakukan eksploitasi dan eksplorasi dan lain-lainnya atas sumber daya alam

hayati dan non-hayati yang terdapat didasar laut serta tubuh bumi dibawahnya

dan air diatasnya.

Berkaitan dengan pengertian agraria diatas, tujuan pokok yang ingin

dicapai dengan adanya UUPA, yaitu :

1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hokum agraria

nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan

kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan

Rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang

adil dan makmur.

2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan

kesederhanaan dalam hokum pertanahan.,

3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hokum

mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat keseluruhan. Dengan

mengacu pada tujuan pokok diadakannya UUPA, jelaslah

Page 3: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

bahwa UUPA merupakan sarana yang akan dipakai untuk

mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara sebagiamana yang

diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan Bangsa

Indonesia.

B. PENGERTIAN TANAH

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai

tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Pengertian

tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut;

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam

yang Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan

bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai

oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang

lain serta badan-badan hokum.

Dengan demikian, yang dimaksud istilah tanah dalam Pasal diatas ialah

permukaan bumi. Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat

dihaki oleh setiap orang atau badan hokum. Oleh karena itu, hak-hak yang

timbul diatas hak permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk didalamnya

bangunan atau benda-benda yang terdapat diatasnya merupakan suatu persoalan

hokum. Persoalan hokum yang dimaksud adalah persoalan yang berkaitan

dengan dianutnya asas-asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah

dengan tanaman dan bangunan yang terdapat diatasnya.

1. Asas Perlekatan Horizontal (Horizontale Accessie Beginsel)

Didalam KUHPerdata yang merupakan induk dari ketentuan hokum

yang mengatur hubungan secara pribadi atau perdata, dianut asas perlekatan,

yaitu asas yang melekatkan suatu benda pada benda pokoknya. Asas

perlekatan ini terdiri atas perlekatan horizontal atau mendatar dan perlekatan

Page 4: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

vertical. Asas perlekatan tersebut diatur dalam perumusan Pasal 500, Pasal

506, dan Pasal 507 KUH Perdata.

Dalam KUH Perdata selain dikenal asas perlekatan yang bersifat

horizontal, dikenal pula asas perlekatan yang vertical. Hal ini diatur dalam

Pasal 571 KUH Perdata. Dalam Pasal 571 KUH Perdata dinyatakan bahwa

hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang

ada diatasnya dan didalam tanah itu.

2. Asas Pemisahan Horizontal (Horizontale Scheiding)

Berlainan dengan asas yang terdapat pada Negara-negara yang

menggunakan asas perlekatan, hokum tanah yang dianut oleh UUPA

bertumpu pada hokum adat, dimana tidak mengenal asas perlekatan tersebut,

melainkan menganut asas “pemisahan horizontal” (dalam bahasa Belanda

disebut Horizontale Scheiding), dimana hak atas tanah tidak dengan

sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas

tanahnya.

Menurut Djuhaendah Hasan, Asas perlekatan vertical tidak dikenal

didalam Hukum Adat, karena mengenal asas lainnya yaitu asas pemisahan

horizontal dimana tanah terlepas dari segala sesuatu yang melekat padanya.

Didalam Hukum Adat, benda terdiri atas benda tanah dan benda bukan

tanah, dan yang dimaksud dengan tanah memang hanya tentang tanah saja

(demikian pula pengaturan hokum tanah dalam UUPA) sesuatu yang

melekat pada tanah dimasukkan dalam pengertian benda bukan tanah dan

terhadapnya tidak berlaku ketentuan benda tanah.

C. SUMBER HUKUM TANAH INDONESIA

Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah

kepemilikan dan penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa kini maupun

masa yang akan datang. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan

Page 5: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan

pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa

lampau dan saat ini. Sumber hokum tanah dapat dikelompokkan dalam:

1. Hokum Tanah Adat, dibagi 2 yaitu:

a. Hukum Tanah Adat masa Lampau

b. Hukum Tanah Adat masa Kini

2. Kebiasaan

3. Tanah-Tanah Swapraja

4. Tanah Partikelir

5. Tanah Negara

6. Tanah Garapan

7. Hukum Tanah Belanda

8. Hukum Tanah Jepang

9. Tanah-Tanah Milik Perusahaan Asing Belanda

10. Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warga Belanda

11. Surat Izin Perumahan (SIP) atau Verhuren Besluit (V.B)

12. Tanah Bondo Deso

13. Tanah Bengkok

14. Tanah Wedi Kengser

15. Tanah Kelenggahan

16. Tanah Pekulen

17. Tanah Res Extra Commercium

18. Tanah Absentee

19. Tanah Oncoran, dan Tanah bukan Oncoran.

Selanjutnya sumber-sumber Hukum Tanah di Indonesia dapat diuraikan

sebagai berikut.

1. Hukum Tanah Adat

Menurut pandangan Kappayne, untuk memahami hokum adat Indonesia,

orang harus menempatkan diri dalam Lingkungan Indonesia, harus melihat

hokum rakyat sebagai suatu kesatuan dan tidak boleh memisahkan Jawa dari

daerah-daerah Jawa.

Page 6: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

Sementara itu di Indonesia, hokum agraria yang berlaku atas bumi, air

dan ruang angkasa ialah hokum adat dimana sendi-sendi dari hokum tersebut

berasal dari masyarakat hokum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan

dengan kepentingan social, dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsa dan

sosialisme Indonesia. Dengan demikian menurut B.F. Sihombing , hokum tanah

adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam

masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak

mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis, kemudian pula

ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis. Adapun tanah adat terdiri

dari 2 jenis, yaitu:

a. Hukum Tanah Adat Masa Lampau

Hukum tanah adat masa lampau ialah hak memiliki dan

menguasai sebidang tanah pada zaman penjajahan Belanda dan

Jepang, serta pada zaman Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti

kepemilikan secara autentik maupun tertulis. Jadi, hanya pengakuan.

Adapun cirri-ciri hokum tanah adat masa lampau adalah sebagai

berikut.

Ciri-ciri tanah adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki

dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat

yang memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara

tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku, dan

budaya hukumnya, kemudian secara turun-temurun masih berada

dilokasi daerah tersebut, dan atau mempunyai tanda-tanda fisik

berupa sawah, ladang, hutan, dan symbol-simbol berupa makam,

patung, rumah-rumah adat, dan bahasa daerah yang ada di Negara

Republik Indonesia.

b. Hukum Tanah Adat Masa Kini

Hukum tanah adat masa kini ialah hak memiliki dan menguasai

sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai

sekarang, dengan bukti autentik berupa girik, petuk pajak, pipil, hak

agrarische eigendom, milik yayasan, hak atas druwe atau hak atas

druwe desa, hak usaha atas tanah bekas, partikelir, fatwa ahli waris,

Page 7: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

akta peralihan hak, dan surat segel dibawah tangan, dan bahkan ada

yang memperoleh sertifikat serta surat pajak hasil bumi, dan hak-hak

lainnya sesuai dengan daerah berlakunya hokum adat tersebut, serta

masih diakui secara internal maupun eksternal.

Adapun cirri-ciri Hukum Tanah Adat masa kini adalah tanah-

tanah yang dimiliki seseorang maupun sekelompok masyarakat adat

dan masyarakat didaerah pedesaan maupun dikawasan perkotaan,

sesuai dengan daerah, suku dan budaya hukumnya kemudian secara

turun-temurun telah berpindah tangan kepada orang lain, dan

mempunyai bukti-bukti kepemilikan serta secara fisik dimiliki atau

dikuasai sendiri dan atau dikuasai orang/badan hokum. Secara

ringkas cirri-ciri Hukum Adat Tanah Masa kini ialah:

a. Ada masyarakat, Badan Hukum Pemerintah/swasta

b. Masyarakat didaerah pedesaan atau perkotaan

c. Turun-temrun atau telah berpindah tangan atau dialihkan

d. Mempunyai bukti ppemilikan berupa girik, verponding

Indonesia, petuk, ketitir, sertifikat, fatwa waris, penetapan

pengadilan, hibah, akta peralihan, surat dibawah tangan, dan

lain-lain.

e. Menguasai secara fisik; berupa masjid, kuil, gereja, candi,

danau, patung, makam, sawah, adang, hutan, rumah adat,

gedung, sungai, gunung, dan lain-lain.

2. Kebiasaan

Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hokum adat,

karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami

keadaan bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah terkadang tidak

menguntungkan dari segi ekonomis. Kecuali itu, adalah suatu kenyataan bahwa

tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan

penghidupan, merupakan tempat dimana para warga yang meninggal dunia

dikuburkan; dan sesuai dengan kepercayaan merupakan pula tempat tinggal para

dewaa-dewa pelindung dan tempat roh para leluhur bersemayam. Didalam

Page 8: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

hokum adat, antara masyarakat hokum merupakan kesatuan dengan tanah yang

didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali; hubungan yang bersumber

pada pandangan yang bersifat religio-magis.

Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini menyebabkan

masyarakat hokum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut,

memanfaatkannya, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas

tanah juga berburu terhadap binatang-binatang yang ada disitu. Hak masyarakat

hokum atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat.

3. Tanah-Tanah Swapraja

Menurut hokum ketatanegaraan dahulu daerah-daerah Swapraja dibagi

atas:

a. Swapraja dengan “kontrak panjang” (Lange Contracten)

b. Swapraja dengan “kontrak pendek” (Korte Verklaring)

Dengan demikian, peraturan-peraturan agraria swapraja pada umumnya

boleh dikatakan pada pokoknya selaras dengan peraturan-peraturan yang ada

didaerah-daerah lainnya di Indonesia, meskipun ada kalanya masing-masing

daerah swapraja terdapat beberapa peraturan yang tidak sama dengan

peraturan-peraturan yang ada didaerah luar swapraja, misalnya peraturan

tentang landbouwconcessie (izin pertanian) di Sumatra Timur dan landhuur

(persewaan tanah) di Surakarta dan Yogyakarta. Hak tanah di daerah-daerah

Swapraja masih mempunyai sifat-sifat keistimewaan berhubung dengan

sturuktur pemerintahan dan masyarakat yang sedikit atau banyak adalah

lanjutan system feodal.

4. Tanah Partikelir

Setelah bangsa Indonesia merdeka, maka secara factual hamper seluruh

Indonesia terdapat tanah dengan berbagai ragam dan corak, salah satu

diantaranya adalah tanah partikelir. Kemudian tanah-tanah yang ada tersebut

hamper dimiliki oleh orang-orang asing atau badan-badan hokum asing, yaitu:

a. Hak erpacht untuk perusahaan kebun besar seluas lebih dari 1 juta

hektar.

Page 9: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

b. Hak konsensi untuk perusahaan kebun besar seluas lebih dari 1 juta

hektar.

c. Hak eigendom, hak postal, hak erpacht untuk perumahan atas

kuranglebih dari 200.000 bidang.

Kalau ditilik mengenai asal muasal dari tanah partikelir ini, maka tanah

ini merupakan tanah yang namanya diberikan oleh Belanda dengan nama

eigendom. Dengan demikian pengertian tanah partikelir ini ialah tanah-

tanah ”eigendom” diatas nama pemiliknya sebelum undang-undang ini

berlaku mempunyai hak pertuanan. Selain itu mewarisi pula tanah-tanah

eigendom yang disebut tanah “partikelir”. Jadi tanah-tanah partikelir

adalah tanah-tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak yang

istimewa. Perbedaan antara tanah-tanah eigendom lainnya adalah adanya

hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang dahulu disebut

landheerlijke rechten dan di Indonesia hak-hak pertuanan.

5. Tanah Negara

Menurut Dirman, tanah-tanah Negara dapat dibagi atas 2 bagian yaitu:

a. Tanah Negara yang bebas ( Vrij staatsdomein ) artinya tanah Negara yang

tidak terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.

b. Tanah Negara yang tidak bebas, ( Onvrij staatsdomein ) artinya tanah

Negara yang terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.

Pada tahun 1953 pemerintah mengeluarkan peraturan pertama yang

mengatur tanah Negara, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953

L.N. 1953 Nomor 14 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan tanah Negara adalah tanah yang dikuasai

penuh oleh Negara, kecuali jika penguasaan atas tanah Negara dengan

undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya peraturan

pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu kementrian, jawatan, atau

Daerah Swatantra maka penguasaan tanah Negara ada pada Mentri Dalam

Negeri. Dalam pasal 1 huruf a dinyatakan bahwa Mentri Dalam Negeri

berhak untuk:

Page 10: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

a. Menyerahkan penguasaan itu kepada Kementrian, Jawatan atau Daerah

Swatantra untuk keperluan kepentingan tertentu dari Kementrian,

Jawatan, atau Daerah Swantantra itu, dan

b. Mengawasi agar supaya tanah Negara dipergunakan sesuai dengan

peruntukkannya dan bertindak mencabut penguasaan atas tanah Negara

apabila penyerahan penguasaan ternyata keliru/tidak tepat lagi, luas

tanah yang diserahkan penguasaannya ternyata sangat melebihi

keperluannya dan tanah itu tidak dipelihara atau dipergunakan

sebagaimana mestinya.

6. Tanah Garapan

Garapan atau memakai tanah ialah menduduki, mengerjakan dan atau

menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan diatasnya,

dengan tidak mempersoalkan apakah bangunan itu digunakan sendiri atau tidak.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur soal tanah garapan ini

dapat dibedakan menjadi tiga rukun waktu, pertama periode sebelum Tahun

1945, antara lain:a. staatsblad Tahun 1927 Nomor 177 tentang Onwettige

Occupatie van Landsdomein.b.Staatsblad Tahun 1912 Nomor 177 tentang Sewa

Tanah Kepada Onwittege occupatie.c.staatsblad Tahun 1925 Nomor 649 tentang

Ketentuan Baru mengenai Pembukaan Tanah Oleh Orang Indonesia di Jawa dan

Madura, kedua, periode Tahun 1945-1950, antara lain:UUD 1945, dan

Keputusan Penguasa Perang Pusat tanggal 14 april 1958 Perpu Nomor

011Tahun 1958 jo. Nomor 014 Tahun 1959 tentang Larangan Pemakaian Tanah

Tanpa Izin Yang Berhak atas Kuasanya, ketiga, periode Tahun 1960 jo. Undang-

Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961

tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya,

dan diDaerah DKI Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Nomor 886 Tahun 1983 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Penguasaan

/perlimpahan Tanah Tanpa Hak di Wilayah Provinsi DKI Jakarta.

7. Hukum Tanah Belanda

Page 11: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

Hokum pertanahan yang berlaku di Indonesia pada masa penjajahan

tetap mengacu pada ketentuan peraturan hokum tanah, yaitu Agrarische wet ini,

sangat bertentangan dengan peraturan hokum tanah yang tumbuh dan

berkembang di masyarakat Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, pada

zamanpenjajahan Belanda terdapat dualism hokum pertanahan, yaitu hokum

tanah yang tunduk pada peraturan hokum yang ada di Indonesia, yakni Hukum

Tanah Adat.

8. Hukum Tanah Jepang

Berakhirnya pemerintah Belanda di Indonesia ditandai dengan terjadinya

penyerahan kekuasaan dari pemerintahan Belanda ke pemerintahan Jepang.

Penyerahan kekuasaan tersebut dilakukan pada tanggal 8 maret1942 di Kalijati,

Bandung oleh Letnan Jendral Ter Poorten yang mewakili pemerintah Belanda ke

pemerintah Jepang yang diwakili oleh Letnan Jendral Imamura. Sementara itu

kota Jakarta, Jepang merebutnya dari tangan Belanda pada tanggal 5 Maret

1942, dan kemudian pada tanggal 7 Maret 1942 pembesar tentara jepang di

Jakarta mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang

Menjalankan Pemerintah Bala Tentara Jepang.

Pemerintahan Jepang dalam melakukan roda perekonomian, khususnya

dibidang pertanahan sangat rajin melakukan pembentukkan peraturan baru dan

bahkan melakukan adopsi peraturan hokum tanah yang terdapat di Negara-

negara yang lainnya. Hal ini terbukti bahwa Jepang mempunyai lebih dari 270

hukum yang berkaitan dengan tanah. Akhirnya pada Tahun 1889 barulah

diumumkan Basic Land Act yang berisi empat prinsip: (1) bahwa prioritas

seharusnya diberikan terhadap kesejahteraan public; (2) bahwa penggunaan yang

tepat dan terencana seharusnya dipromosikan; (3) bahwa transaksi yang bersifat

spekulatif harus dibatasi; dan (4) bahwa kewajiban pajak seharusnya sepadan

dengan keuntungan.

9. Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda

Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang akan dinasionalisasi harus

mempunyai criteria menyangkut isi, dan sifat dari perusahaan tersebut. Adapun

Page 12: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

isi dan sifatnya perusahaan Belanda tersebut sebagai berikut: (a) perusahaan-

perusahaan yang untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perorangan

warga Negara Belanda dan bertempat kedudukan dalam wilayah Republik

Indonesia; (b) perusahaan milik suatu badan hokum yang seluruhnya atau

sebagian modal perseorangannya atau modal pendiriannya berasal dari

perseorangan warga Negara Belanda dan badan-badan hokum itu

bertempat/berkedudukan di wilayah Republik Indonesia; (c) perusahaan yang

letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan untuk seluruhnya atau sebagian

merupakan perusahaan milik perseorangan warga Belanda yang kediamannya

diluar wilayah Republik Indonesia; (d) perusahaan yang letaknya dalam wilayah

Republik Indonesia dam merupakan milik suatu badan hokum yang bertempat

kedudukan dalam wilayah Negara kerajaan Belanda.

Sementara itu, dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 86 Tahun 1958

dinyatakan bahwa tiap-tiap perusahaan yang dikenakan nasionalisasi, khususnya

yang termaksud dalam poin a, c dan d termasuk seluruh kekayaan dan harta

cadangan, baik yang berwujud barang tetap atau barang bergerak maupun yang

merupakan hak atau piutang. Adapun untuk butir b termasuk seluruh saham

dalam modal perseroan yang belum dimiliki oleh Republik Indonesia.

Dalam mempertanggungjawabkan tugas BANAS, dalam Pasal 2 huruf a,

b dan c PP Nomor 3 Tahun 1959 diatur tugas organisasi ini mempunyai unsure-

unsur perorangan yang mempunyai tugas: (a) memimpin dan

mempertanggungjawabkan; (b) merencanakan; (c) melaksanakan; dan (d)

mengawasi. Sementara itu Dewan pemimpin BANAS mempunyai tugas

menetapkan keseragaman kebijaksanaan dalam pelaksanaan nasionalisasi

perusahaan-perusahaan milik Belanda yang antara lain: (a) menentukan garis

kebijaksanaan dan mengawasi badan-badan penampung dalam lapangan

manajemen yang meliputi: (1) urusan teknis; (2) urusan komersial; (3) urusan

financial; (4) urusan mempertinggi produksi dan produktivitas; (5) urusan social.

(b) menentukan perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dikenakan

nasionalisasi yang diselanggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah

daerah tingkat I. (c) menampung dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang

timbul sebagai akibat Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda yang

Page 13: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

berhubungan dengan soal-soal pemindahan/pembebasan hak-hak milik serta

yang mengenai peraturan-peraturan, keputusan-keputusan lain yang dari

penguasa perang. (d) menentukan soal-soal yang penyelesaiannya dan atau

pengurusannya dideligasikan kepada pemimpin harian.

Setelah dikenakan nasionalisasi, perusahaan-perusahaan milik Belanda

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2

Tahun 1959 yang sebagian menjadi hak milik orang asing bukan warga Negara

belanda dianggap vital oleh pemerintah akan menjadi perusahaan 100%

sedangkan sebagian dari modalnya yang mula-mula adalah hak milik orang

asing bukan warga Negara Beelanda tersebut akan diberi ganti rugi.

10. Penguasaan Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warga Negara Belanda

Lazimnya Dikenal dengan Panitia Pelaksana Penguasaan Benda-Benda

Milik Belanda (P3MB)

Panitia Pelaksana Penguasaan Benda-Benda Milik Belanda (P3MB)

bertugas untuk:

1). Menerima penyerahan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan

warga Negara Belanda yang pemiliknya meninggalkan Republik Indonesia dan

orang-orang yang dalam hubungan yang bagaimanapun dengan pemilik itu pada

tanggal 9 februari atau sesudahnya menguasai benda-benda tersebut.

2). Atas nama Menteri Muda Agraria melaksanakan penguasaan semua benda

tetap milik perseorangan warga Negara Belanda tersebut terkena Undang-

Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan

Belanda dan yang pemiliknya meninggalkan Republik Indonesia.

3). Mengusulkan kepada Menteri Muda Agraria penyelesaian selanjutnya

mengenai benda-benda tetap yang dikuasai atas, Segala sesuatu atas dasar

pedoman-pedoman yang diberikan Menteri Muda Agraria.

Khusus masalah peralihan perumahan dan tanah-tanah milik

perseorangan warga Negara Belanda kepada warga Negara Indonesia agar dapat

terlaksana dengan baik, adil dan merata, perlu diadakan ketentuan lebih lanjut

yang merupakan pedoman bagi P3MB dalam melaksanakan tugasnya antara lain

sebagai berikut:

Page 14: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

1). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960, larangan

pemindahan hak atas benda-benda tetap kepunyaan bangsa Belanda yang

diinstruksikan kepada Kepala Jawatan Agraria dan Kepala Jawatan Pendaftaran

Tanah dalam surat Menteri Muda Agraria tanggal 2 desember 1957 Nomor

K.A.X.40/2/34 dicabut kembali. Pemindahan hak atas tanah dan benda-benda

tersebut diperkenankan dan sepanjang yang mengenai benda-benda yang terkena

Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960.

2). Benda-benda yang dimaksudkan atau terkena oleh ketentuan-ketentuan

Nomor 3 Prp Tahun 1960 adalah (a) benda-benda tetap yaitu tanah dan rumah

dengan hak apapun juga baik hak-hak barat (eigendom,postal,dll), (b) yang

menjadi milik perseorangan warga Negara Belanda yang sudah meninggalkan

wilayah Republik Indonesia.

3). Benda-benda tetap milik perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi

dengan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958, perusahaan-perusahaan mana

yang dinasionalisasikan itu telah tunduk dalam beberapa peraturan pemerintah.

Demikian juga tanah-tanah milik belanda yang merupakan tanah partikelir yang

hingga kini belum ada surat keputusn penegasnya, karena tanah-tanah itu

mestinya sudah menjadi tanah Negara

4). Benda-benda yang tetap yang pemiliknya masih berada di Indonesia dengan

sendirinya tidak terkena oleh Perpu ini. Akan tetapi, sewaktu-waktu pemiliknya

meninggalkan Indonesia sedang hak miliknya belum dialihkan kepada pihak lain

secara sah menjadi terkena. Adapun sepanjang mengenai benda-benda tetap

yang tunduk kepada Hukum Eropa, peralihan hak itu haruslah diselanggarakan

menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1945.

5). siapa ( subjek ) yang menyerahkan penguasaannya.

6). Pelaksanaan Penyerahan Penguasaan adalah (a) penyerahan penguasaan

harus dilakukan sebelum tanggal 9 April 1960; (b) penyerahan penguasaan

dilakukan di secretariat Panitia setempat dengan memakai daftar isian; (c) daftar

isian tersebut dibuat rangkap dua dan setelah diberi tanda terima oleh sekretaris,

lembar yang kedua diberikan kepada yang melakukan penyerahan; (d) kemudian

daftar penyerahan yang diterima dibubuhkan dalam buku register dan masing-

masing diberi nomor; (e) orang-orang yang sekarang menempati rumah atau

Page 15: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

tanah yang bersangkutan dan telah memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan

penguasaan boleh terus menempatinya hingga ada keputusan lebih lanjut

mengenai tanah/rumah itu daalam pengertian bahwa hal itu sekali-kalibukan

berarti pengesahan jika kemudian ternyata penempatan itu tidak sah; (f) uang

penyewaan tanah/rumah yang bersangkutan untuk selanjutnya harus dibayar

oleh yang bersangkutan kepada panitia. Untuk itu panitia sekelas mungkin akan

mengadakan hubungan dengan kantor Cabang BRI ditempat kedudukkannya

untuk membuka rekening giro atas namanya.

7). Pendaftaran adalah sebagai berikut: (a). jangka waktu untuk mendaftarkan

terbatas selama 2 bulan semenjak belakunya undang-undang tersebut. (b)

pendaftaran hendaknya diperiksa secara cermat agar didapat kepastian apakah

benda-benda yang didaftar itu betul-betul kepunyaan warga Negara Belanda

yang telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia; (c) perlu juga diteliti

adanya perjanjian yang menjadi dasar hubungan hokum antara pelapor (peghuni

atau kuasa) dengan benda-benda terdaftar; (d) perlu kiranya mendapat perhatian

kemungkinan adanya benda-benda(tanah/rumah) milik Belanda yang

meninggalkan Indonesia yang belum terdaftar.

8). Keuangan.

9). Pemindahan Hak.

10). Prioritas untuk membeli rumah perseorangan warga Negara Belanda.

11). Prosedur bagi penjualan rumah milik perseorangan warga Negara Belanda.

12). Cara pembayarannya.

11. Surat Izin Perumahan (SIP) atau Verhuren Besluit (VB)

Surat izin perumahan teermasuk salah satu sumber hokum tanah

nasional, karena keberadaan rumah tetap akan bersentuhan langsung dengan

tanah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang hubungan

Sewa Menyewa Perumahan diuraikan mengenai pengertian rumah, yakni

bangunan atau bagiannya termasuk halaman dan jalan keluar masuk yang

dianggap yang perlu digunakan oleh seseorang, perusahaan atau badan-badan

lain untuk tempat tinggal dan atau keperluan lain.

Page 16: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

Menurut Anwar Junus mengatakan bahwa ada 2 macam status perumahan

yaitu:

1. Perumahan yang hak penggunaan dan penempatannya dikuasai dan diatur

oleh Pemerintah Daerah c.q. Dinas Perumahan.

2. Perumahan yang hak penggunaan dan penempatannya tidak dikuasai dan

diatur oleh Pemerintah Daerah c.q. Dinas Perumahan.

12. Tanah Bondo Deso

Tanah Bondo Deso adalah tanah hak milik yang dipunyai desa atau

sekelompok masyarakat, penggunaanya dapat bersama-sama atau bergiliran.

Adapun hasilnya untuk kepentingan bersama, missal untuk biaya pembangunan

balai desa, masjid, pasar desa, dan sebagainya.

13. Tanah Bengkok

Dalam kenyataannya hamper semua desa atau istilah yang mirip dengan

perkataan desa yang terdapat diseantero Indonesia mempunyai atau memiliki

tanah yang merupakan tanah kas desa. Namun demikian, dijawa hampir

dipastikan setiap desa memiliki tanah, yang lazim disebut “tanah bengkok”.

Menurut Erman Rajaguguk adalah suatu insentif yang kuat untuk calon kepala

desa, yang menghabiskan dana antara Rp. 10.000.000,- dan Rp. 25.000.000,-

dalam kegiatan kampanye, termasuk mengadakan hiburan untuk orang-orang

desa dalam usahanya agar terpilih. Diharapkan bahwa pengeluaran ini akan

dapat diganti dari hasil yang akan diperoleh dari tanah bengkok.

Demikian juga tanah bengkok adalah gaji pegawai yang berupa tanah.

Pegawai yang dimaksud adalah perangkat desa, misalnya Kepala Desa,

Sekretaris Desa (carik)dan Kepala-Keala Bagian. Mengenai besar kecilnya tanah

bengkok ditentukan oleh: a). kepadatan penduduknya, b) luas wilayah, c)

kesuburan tanah, d) jenis jabatan yang dipangkatnya.

14. Tanah Wedi Kengser

Tanah Wedi Kengser adalah tanah yang terletak sepanjang aliran sungai

tanah ini terbentuk,vsifat dan fungsinya selalu berubah-ubah, sesuai dengan

Page 17: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

situasi dan kondisi alamnya. Contohnya: suatu ketika Tanah Wedi Kengser

berupa tanah kering juga dapat ditanami pawija, tetapi setelah musim penghujan

tanah tersebut dapat hanyut dan berubah menjadi sungai. Dengan demikian

tanah wedi kengser hilang dan berpindah ketempat lain. Tanah ini ada dibawah

penguasaan Negara.

15. Tanah Kelenggahan

Tanah kelenggahan adalah tanah gaji yang berupa tanah yang diberikan

oleh raja kepada pembantu-pembantunya yang biasa disebut dengan abdi dalem,

misalnya patih, tumenggung, adipati, dan sebagainya.

16. Tanah Pekulen

Tanah pekulen adalah gaji pegawai berupa tanah yang diberikan oleh

pemerintah kepada masyarakat yang bukan pejabat desa. Hal ini terjadi pada

zaman colonial sebagai penghargaan dari Pemerintah kepada warga masyarakat

yang berjasa.

17. Tanah Res Extra Commercium

Tanah Res Commercium adalah tanah yang berada diluar lalu lintas

perdagangan, yang oleh Negara dapat dipergunakan untuk kesejahteraan seluruh

warga masyarakat. Tanah ini juga dapat disebut sebagai tanah cadangan Negara,

jadi dipergunakan apabila perlu. Biasanya tanah tersebut dipergunakan untuk:

1. Kepentingan suci/peribadatan.

2. Kepentingan Negara.

3. Kepentingan umum.

18. Tanah Absentee

Tanah absentee adalah tanah yang letaknya berjauhan dengan pemiliknya.

Hal ini dilarang oleh pemerintah kecuali pegawai negri dan ABRI. Alasan

pemerintah melarang pemilikan tanah ini adalah kepentingan social dan

keperluan tanah. Adapun pegawai negri dan ABRI masih dimungkinkan, karena

golongan ini adalah abdi Negara dalam tugasnya dapat berpindah-pindah

Page 18: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

tempat.bagi pemilik tanah absentee dapat menyelamatkan haknya antara lain

dengan jalan:

a. Tanah tersebut dijual kepada masyarakat disekitar;

b. Salah satu anggota keluarganya pindah tempat tinggal;

c. Diberikan secara sukarela kepada penduduk setempat (biasanya berupa

wakaf/hibah).

19. Tanah Oncoran dan Tanah Bukan Oncoran

Tanah oncoran adalah tanah pertanian yang mendapat pengairan yang

tertentu. Adapun tanah bukan oncoran adalah tanah pertanian yang tidak

mendapat pengairan tertentu.

Demikianlah gambaran mengenai sumber-sumber hokum tanah nasional,

yang merupakan sumbangan bagi perkembangan hokum agraria saat ini. Namun

demikian kalau kita cermati, kebanyakan sumber hokum tersebut masih berasal

dari istilah peninggalan colonial dan istilah bahasa jawa, akan tetapi itu bukan

masalah, karena pengembangan hokum tanah nasional memang sumbernya

berasal dari hokum tanah adat. Hokum tanah adat ini masih menyimpan banyak

istilah atau nama yang tersebar dari Aceh sampai Merauke, hanya belum

dilakukan penelitian yang sifatnya mendalam, dan ini yang perlu dilakukan agar

tekuak semua istilah atau nama tanah-tanah adat yang terdapat dipelosok

pedalaman Republik Indonesia.

Page 19: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

BAB II

HUKUM TANAH SEBELUM BERLAKUNYA UUPA

A. HUKUM TANAH YANG DUALISTIK DAN PLURALISTIK

Setelah Belanda menjajah bangsa Indonesia, Belanda mendatangkan

peraturan hokum pertanahan yang berlaku dinegaranya ke Indonesia, yang

kemudian diberlakukan terhadap masyarakat di Indonesia. Dengan demikian,

keberadaan hokum agraria yang dibawa dari Belanda menggeser kedudukan dari

hokum agraria yang telah diakui dan ditaati oleh masyarakat tersebut. Oleh

karena itu, dengan hadirnya pemerintahan Belanda, dengan sendirinya tanah-

tanah yang terdapat di Indonesia diatur oleh dua peraturan, yaitu peraturan adat

tentang tanah yang tunduk pada hokum adat dan peraturan tanah yang tunduk

pada hokum Belanda, misalnya hak opsal, hak erpacht, dan hak eigendom.

Dengan adanya kedua peraturan mengenai pertanahan di Indonesia.

Selain kedua peraturan mengenai hokum tanah yang berada di Indonesia

di atas, pemerintah Belanda menciptakan pula hokum tanah seperti agrarisch

eigendom. Disamping itu, pemerintah Swapraja menciptakan pula hokum atas

tanah yang berlaku didaerahnya, seperti grant sultan. Dengan adanya tiga

peraturan mengenai hak-hak atas tanah tersebut, timbullah “pluralistic” hak atas

tanah yang terdapat di Indonesia. Menurut Boedi Harsono bahwa dengan adanya

hak-hak tanah adat, hak atas tanah ciptaan Pemerintah Swapraja, hak atas tanah

ciptaan Pemerintah Belanda, bias kita sebut tanah hak Indonesia, yang cakupan

pengertiannya lebih luas dari tanah-tanah adat.

B. SEJARAH PENGATURAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA

Pembahasan mengenai sejarah penguasaan hak atas tanah di Indonesia akan

dimulai dari tonggak sejarah pada tahun 1811 pada waktu Indonesia dipengaruhi

oleh pikiran Raffles dengan teori domeinnya.

Page 20: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

1. Tonggak Pertama: 1811

Pada zaman ini, penguasaan hak atas tanah lebih diposisikan sebagai alat

untuk menarik pajak bumi demi kepentingan pemerintah jajahan Belanda.

Dalam sejarah, pemerintahan jajahan Belanda gagal melakukan administrasi

pertanahan dengan baik, maka setelah pemerintah Belanda digantikan oleh

pemerintah jajahan Inggris, administrasi pertanahan mulai ditata. Salah

seorang penggagas perbaikan administrasi pertanahan adalah Raffles. Tujuan

Raffles dalam menata system administrasi pertanahan dengan system

domein, yaitu ingin menerapakan system penarikan pajak bumi seperti apa

yang dipergunakan oleh Inggris di India.

Setelah Inggris benar-benar menguasai Indonesia, maka dengan berbekal

pengalaman di India tersebut, Raffles lebih hati-hati menerapkan secara

penuh pengalaman India tersebut, sehingga pada tahun 1811 Raffles

membentuk panitia penyelidikan yang diketuai oleh Mackenzie (komisi

Mackenzie) dengan tugas melakukan melakukan penyidikan statistic

mengenai agraria.

2. Tonggak Kedua: 1830

Tonggak sejarah perkembangan hokum agraria, khususnya pengaturan

hak atas tanah pada zaman ini, ditandai dengan kembalinya Indonesia ke

tangan pemerintah jajahan Belanda yang kurang lebih 19 tahun berada di

tangan Inggris. Pada tahun 1830 pemerintahan Belanda di Indonesia

dipimpin oleh Gubernur Jendral Van den Bosch yang mempopulerkan

sebuah konsep penguasaan tanah Cultuurstelsel atau yang lazim disebut

system tanam paksa. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari diadakannya

system tanam paksa ini adalah untuk menolong negri Belanda yang keadaan

keuangannya dalam keadaan buruk.

3. Tonggak Ketiga: 1848

Wakil-wakil dalam parlemen menuntut agar bias turut campur dalam

urusan tanah jajahan yang sampai saat itu dipegang oleh raja dan menteri

tanah jajahan. Terjadilah pergolakkan antara mereka dengan golongan

konservatif pendukung cultuurstelsel. Namun demikian, dengan kegigihan

dalam memperjuangkan tuntutannya tersebut, kaum liberal memetik

Page 21: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

kemenangan pertama dengan disetujuinya perubahan terhadap Undang-

Undang Dasar Belanda. Perubahan yang terjadi pada Undang-Undang Dasar

Belanda, yaitu dengan adanya ketentuan didalamnya yang menyebutkan

bahwa pemerintah ditanah jajahan harus diatur dengan Undang-Undang.

4. Tonggak Keempat: 1870

Jatuhnya Menteri Jajahan Frans van de Putte, karena dianggap terlalu

tergesa-gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi. Adapun seluk-

beluk agraria di Indonesia belum diketahui benar-benar. Karena itu pada

tahun 1866/1867, pemerintah lalu mengadakan suatu penelitian tentang hak-

hak penduduk Jawa atas tanah yang dilakukan di 808 desa diseluruh Jawa.

Namun pemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil penelitian tersebut.

Pada tahun 1870, enam tahun sebelum jilid pertama dari laporan tersebut itu

terbit, Menteri Jajahan de Waal mengajukan RUU yang akhirnya diterima

oleh parlemen. Isinya terdiri dari 5 ayat.

5. Tonggak Kelima: 1960

Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa peraturan perundang-

undangan di bidang agraria yang dibuat oleh pemerintahan jajahan, baik

Belanda maupun Inggris sangat tidak berpihak kepada rakyat Indonesia.

Perhatian pemerintah terhadap pengaturan mengenai agraria dimulai sejak

tahun 1948 dengan dibentuknya “panitia agraria”. Setelah 15 tahun

Indonesia merdeka barulah lahir UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kelahiran UU Nomor 5 Tahun 1960 melalui

suatu proses yang panjang, yaitu dimulai panitia Yogya pada tahun 1948;

panitia Jakarta (1951), panitia soewahjo (1956), rancangan Soenario (1958)

dan akhirnya rancangan Soedjarwo (1960).

C. HUKUM TANAH ADMINISTRATIF PEMERINTAH JAJAHAN HINDIA

BELANDA

Pembahasan materi ini akan berkisar mengenai berlakunya hokum tanah

pemerintahan Belanda yang terdapat dinegaranya, kemudian dibawa ke

Page 22: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

Indonesia. Kehadiran hokum tanah Belanda menggeser keberadaan hokum tanah

adat yang telah lama bercokol di nusantara.

1. Agrarische Wet 1870

Setelah berkuasa di Indonesia, pemerintah Belanda memberlakukan hokum

tanah yang terdapat di Belanda, yaitu Agrarische Wet. Agrarische Wet ini dibuat

di Belanda tahun 1870 dan diundangkan dalam S 1870-55 tahun 1870 sebagai

tambahan ayat-ayat baru pada pasal 62 Regeling Reglement Hindia Belanda

Tahun 1845. Regering Reglement ini semula hanya terdiri atas 3 ayat, kemudian

di tambah dengan 5 ayat, sehingga menjadi 8 ayat. Pasal 62 RR tersebut

berbunyi:

1. Gubernur Jendral tidak boleh menjual tanah.

2. Dalam larangan diatas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang

diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-

kegiatan usaha.

3. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan

yang ditetapkan dengan ordonansi.

2. Tujuan Agrarische Wet

Tujuan utama diberlakukannya Agrarische Wet (AW) ini adalah untuk

membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hokum kepada para

pengusaha swasta untuk dapat berkembang di Hindia Belanda. Bentuk hak yang

diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada pengusaha adalah dengan hak

erpacht. Dalam Pasal 720 dan 721 KUH Perdata dinyatakan bahwa erpacht

merupakan hak kebendaan yang memberikan kewenangan yang paling luas

kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah

kepunyaan pihak lain.

3. Agrarische Besluit

Ketentuan yang terdapat di Agrarische Wet (AW) pelaksanaannya diatur

lebih lanjut oleh beberapa peraturan dan keputusan, diantaranya adalah

agrarische besluit yang diundangkan dalam S.1870-118. Dalam pasal 1

Page 23: Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )

Agrarische Besluit tersebut dimuat sebuah pernyataan asas yang sangat penting

bagi perkembangan dan pelaksanaan Hukum Tanah Administratif Hindia

Belanda. Asas tersebut dinilai kurang menghargai bahkan memerkosa hak-hak

rakyat atas tanah yang bersumber pada hokum adat.

4. Fungsi Domein Verklaring

Dalam praktik pelaksanaan perundang-undangan pertanahan, domein

verklaring berfungsi:

a. Sebagai landasan hokum bagi pemerintah untuk memberikan tanah

dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUH Perdata, seperti erpacht,

hak postal, dan lain-lainnya. Dalam rangka domein verklaring,

pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara

pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah;

b. Dibidang pembuktian pemilikan.

Pelaksanaan domein verklaring ini telah dipraktikan dibeberapa daerah,

khususnya di Provinsi Sulawesi Tengah. Pemerintah Sulawesi Tengah

mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor: 592.2/33/1993 tentang

Bentuk dan Isi Surat Penyerahan Hak Penguasaan Atas Tanah.

Kehadiran Surat Keputusan Gubernur ini lahir dari adanya beberapa

kasus tanah yang terjadi di poso.