revitalisasi oksidentalisme.3

8
Revitalisasi Oksidentalisme Oleh : Agus Sugito (Saduran karya Zuhairi Misrawi) 1 Pascapeluncuran tesis Samuel P Huntington perihal Clash of Civilization (Benturan Peradaban), banyak pihak yang menepis dan menolak. Di Timur Tengah sendiri pernah diadakan seminar khusus untuk membahas tema tersebut. Para cendekiawan yang dari pelbagai faksi ideologis menampik tesis tersebut karena pelbagai peradaban tidak mungkin berbenturan. Peradaban selalu meniscayakan dialog dan akulturasi antara satu dan yang lain. Karena itu, amatlah sulit membedakan antara Islam dan Barat. Keduanya selalu hadir, baik dalam bentuk nilai maupun simbol-simbol peradaban. Keduanya pun bercampur-baur, menyatu, dan kadang sulit dibedakan. Muhammad Abduh pernah berkata, Saya menemukan Islam di Barat tanpa kaum Muslim, sebaliknya saya menemukan kaum Muslim di Timur tanpa Islam. Milad Hanna, pemikir Kristen Koptik, membabat habis tesis Huntington di atas tanpa ampun dalam bukunya, Qabul al-Akhar (Menghargai yang Lain). Ia berpendapat bahwa peradaban tidak mungkin berbenturan. Buktinya, Mesir sebagai negara yang multikultural bisa hidup damai dan toleran dalam kurun waktu yang lama, berabad-abad. Ini artinya, tabiat manusia adalah saling menghargai dan menghormati antara yang satu dan yang lainnya. Namun, dalam satu dasawarsa pascapeluncuran tesis tersebut, benturan antara Islam dan Barat tidak bisa dihindari. Setidaknya, benturan tersebut tidak semata-mata menyangkut ideologi, melainkan juga posisi tawar panggung politik global dari kedua belah pihak (Islam dan Barat). Dari soal invasi Amerika ke Irak, Hamas, kartun Nabi Muhammad, hingga nuklir Iran. 1 Zuhairi Misrawi Pendiri Center for Multiculturalism and Inter-Religions Studies (CMIS) dan Peneliti P3M, Jakarta.

Upload: agus-sugito

Post on 15-Jun-2015

1.002 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Revitalisasi Oksidentalisme.3

Revitalisasi Oksidentalisme

Oleh : Agus Sugito (Saduran karya Zuhairi Misrawi)1

Pascapeluncuran tesis Samuel P Huntington perihal Clash of Civilization (Benturan Peradaban), banyak pihak yang menepis dan menolak. Di Timur Tengah sendiri pernah diadakan seminar khusus untuk membahas tema tersebut. Para cendekiawan yang dari pelbagai faksi ideologis menampik tesis tersebut karena pelbagai peradaban tidak mungkin berbenturan.

Peradaban selalu meniscayakan dialog dan akulturasi antara satu dan yang lain. Karena itu, amatlah sulit membedakan antara Islam dan Barat. Keduanya selalu hadir, baik dalam bentuk nilai maupun simbol-simbol peradaban. Keduanya pun bercampur-baur, menyatu, dan kadang sulit dibedakan. Muhammad Abduh pernah berkata, Saya menemukan Islam di Barat tanpa kaum Muslim, sebaliknya saya menemukan kaum Muslim di Timur tanpa Islam.

Milad Hanna, pemikir Kristen Koptik, membabat habis tesis Huntington di atas tanpa ampun dalam bukunya, Qabul al-Akhar (Menghargai yang Lain). Ia berpendapat bahwa peradaban tidak mungkin berbenturan. Buktinya, Mesir sebagai negara yang multikultural bisa hidup damai dan toleran dalam kurun waktu yang lama, berabad-abad. Ini artinya, tabiat manusia adalah saling menghargai dan menghormati antara yang satu dan yang lainnya.

Namun, dalam satu dasawarsa pascapeluncuran tesis tersebut, benturan antara Islam dan Barat tidak bisa dihindari. Setidaknya, benturan tersebut tidak semata-mata menyangkut ideologi, melainkan juga posisi tawar panggung politik global dari kedua belah pihak (Islam dan Barat). Dari soal invasi Amerika ke Irak, Hamas, kartun Nabi Muhammad, hingga nuklir Iran.

Karena itu, benturan dalam satu dasawarsa terakhir terasa dahsyat goncangannya. Setidaknya melibatkan negara-bangsa yang cukup besar, bahkan sesekali bernuansa kekerasan.

Pisau bermata dua

Di sinilah sesungguhnya diskursus tentang benturan peradaban perlu mendapat perhatian, terutama dalam rangka memberikan frame yang proporsional. Benturan tidak terhindarkan, tetapi bukan berarti menjadikan benturan sebagai alternatif.

1 Zuhairi Misrawi Pendiri Center for Multiculturalism and Inter-Religions Studies (CMIS) dan Peneliti P3M, Jakarta.

Page 2: Revitalisasi Oksidentalisme.3

Salah satu penyebabnya karena di era globalisasi ini Islam dan Barat telah menjadi diskursus yang betul-betul terbuka, bahkan telanjang. Hampir sebagian besar penghuni dunia mengenal dengan baik entitas Islam dan Barat. Buktinya, di Barat banyak sekali karya tentang Islam yang diterbitkan, bahkan menempati bidang kajian yang paling diminati. Sementara di komunitas Islam sendiri, informasi dan pemikiran tentang Barat dapat diakses dengan mudah melalui internet, media cetak, dan televisi.

Karena itu, fakta tersebut akan melahirkan dua kemungkinan, ibarat pisau bermata dua. Pertama, bisa berdampak positif, yaitu adanya pengenalan, pembacaan, dan pengayaan atas khazanah dan tradisi Barat. Dunia Islam, setidaknya, memahami dan memaklumi modernisasi sebagai salah satu alternatif untuk memajukan martabat mereka. Namun, kedua, bisa berdampak negatif karena posisi subyektif dalam mengenal Barat didasari oleh kecurigaan, kebencian, bahkan sumpah serapah (baca: penolakan total). Sikap yang kedua ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh trauma sejarah dan sikap politik kalangan ekstremis. Nah, memuncaknya sensitivitas dan menguatnya resistensi belakangan karena sebab yang terakhir. Lalu, apa solusi yang bisa ditawarkan?

Cenderung hitam-putih

Sebenarnya dalam tataran akademis, para pemikir Islam dan Timur pada umumnya telah menawarkan pemikiran alternatif dalam rangka membaca Barat, terutama pascamerebaknya studi orientalisme yang sering kali memandang Islam secara sepihak dan sebelah mata, bahkan berbau imprealistik. Para pemikir Muslim dan Timur pada umumnya menawarkan studi oksidentalisme, yaitu sebuah bidang kajian yang hendak menjadikan Barat sebagai obyek kajian dan Timur atau Islam sebagai subyek pengkajinya. Disiplin ini merupakan respons atas orientalisme yang menjadikan Timur sebagai obyek kajian.

Di antara pemikir muslim yang mempunyai ambisi besar untuk menjadikan oksidentalisme sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri dalam rangka memahami dan membaca Barat adalah Hassan Hanafi. Ia menulis buku yang sangat tebal tentang Muqaddimah fiIlm al-Istighrab (Pengantar Oksidentalisme). Dalam buku tersebut ia mengingatkan bahwa sikap umat Islam terhadap Barat merupakan salah satu masalah tersendiri yang maharumit. Karena itu, dibutuhkan sebuah disiplin ilmu tersendiri. Ia mengajak agar pembacaan terhadap Barat bersifat holistik dan komprehensif. Artinya, tidak hanya sekadar melihat Barat dalam satu dasawarsa belakangan ini. Pembacaan terhadap Barat harus dimulai dari abad pertama hingga sekarang ini. Barat, seperti halnya peradaban lainnya, mempunyai kelebihan dan kekurangan, keistimewaan dan kelemahan. Karena itu, dalam menyikapi Barat tidak perlu terjebak dalam sikap-sikap yang radikalistik dan ekstremis.

Page 3: Revitalisasi Oksidentalisme.3

Ahmad Syaikh dalam bukunya, Min al-Istisyraq ila al-istighrab (Dari Orientalisme Menuju Oksidentalisme), menyimpulkan bahwa orientalisme maupun oksidentalisme merupakan disiplin kajian yang kering dan bertepuk sebelah tangan. Tatkala muncul orientalisme, orang- orang Islam pada umumnya tidak memberikan respons yang bersifat akademis dan dialogis. Orientalisme tidak direspons dengan oksidentalisme.

Nah, apa yang terjadi belakangan ini harus diakui sebagai kenyataan terburuk yang pernah dihadapi studi oksidentalisme karena studi terhadap Barat kelihatannya bersifat parsial, bahkan politis. Anti-Barat digunakan sebagai komoditas politik daripada sebagai sebuah disiplin keilmuan untuk membangun peradaban kemanusiaan yang adiluhung. Karena itu, reaksi yang muncul cenderung bersifat hitam-putih.

Karena itu, dibutuhkan sikap oksidentalistik yang konstruktif. Yaitu, memandang Barat secara moderat dan rasional, di samping tidak menumpulkan sikap kritis. Sikap oksidentalistik semacam ini pernah digagas oleh Ibnu Rush dalam kitabnya, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma bayn al-Syariah wa al-Hikmah min al-Ittishal, bahwa kebenaran yang datang dari mereka yang berbeda keyakinan (Barat) harus diterima. Sebaliknya, bila mereka membawa kekeliruan/kesalahan, harus dimaafkan dan diperbaiki. Sikap oksidentalistik yang seperti inilah yang kita butuhkan saat ini.

Kiri Islam dan Oksidentalisme Hassan Hanafi

Setelah kita membedah pemikiran M. Abed Al-Jabiri yang sangat kental dengan gagasan epistemologi dan metodologisnya, maka kini kita melangkah pada gagasan Hassan Hanafi yang lebih banyak berorientasi pada praksis dan wacana pembebasan. Orang banyak mengkritik Hassan Hanafi karena tidak adanya metodologi yang dipakai dalam menganalisa relitas sosial dan menafsirkan teks keagamaan. Ia sering mengatakan bahwa sesungguhnya tak ada metodologi yang dipakainya. Penulis bernganggapan bahwa apa yang selama ini dilakukan olehnya adalah sebagai pembuka atas keadaan umat Islam (dan Arab), dari keadaan inferior menjadi setara dengan Barat, dari kegelapan intelektual menuju pencerahan wacana keilmuan, untuk membangun sebuah peradaban yang baru.

          Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasar al-Islami : Kitabat fi al-Nahdla Al-Islamiyah (Kiri Islam : Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Jurnal ini merupakan kelanjutan dari Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manar, yang menjadi agenda Al-Afghani dalam melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok Timur. Jurnal ini juga terbit setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran, tahun 1979. Tak pelak lagi, peristiwa besar itu memang telah membangkitkan Hassan Hanafi dalam

Page 4: Revitalisasi Oksidentalisme.3

meluncurkan “Proyek Kiri Islam”-nya. Namun, menganggap peristiwa itu sebagai satu-satunya penyebab, adalah tidak benar karena kita juga harus memperhitungkan faktor pergerakan Islam modern dan lingkungan Arab-Islam. Demikian pula, kata Hassan Hanafi, Kiri Islam bukanlah Islam berbaju Marxisme karena itu berarti menafikan makna revolusioner dalam Islam sendiri.

Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yang menindas.  Upaya rekonstruksi ini diawali dengan menjaga jarak terhadap Asy’arisme, prmikiran keagamaan resmi yang telah bercampur dengan tasawuf dan menajdi ideologi kekuasaan, serta mempengaruhi perilaku negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan ilham dari langit. Hassan Hanafi lebih welcome dengan Mu’tazilah versi Muhammad Abduh yang memproklamirkan kemampuan akal untuk mencapai pengetahuan dan kebebasan berinisiatif dalam perilaku. Juga melanjutkan apa yang dirintis oleh Al-Kawakibi dalam menganalisis faktor-faktor sosial politik untuk membebaskan dan memperkuat kaum muslimin. Dan Kiri Islam juga mewarisi kapabilitas Muhammad Iqbal dan upaya-upayanya dalam “Pembaharuan Pemikiran Keagamaan dalam Islam” (Reconstruction of Islamic Thoughts).

Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam, dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khasanah Islam klasik. Hal ini sebagian sudah dijelaskan pada paragraf di atas. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme, karena rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan Muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat. Hassan Hanafi mengingatkan bahaya imperalisme kultural Barat, dan dia mengusulkan “Oksidentalisme”, yang pembahasannya akan diulas di akhir makalah ini. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia  (termasuk Islam). Ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu dalam melihat realitas dunia kontemporer. Jadi, ada tiga pilar atau agenda, yaitu : revitalisasi khasanak klasik (sikap kita terhadap tradisi lama), menentang peradaban Barat (sikap kita terhadap tradisi Barat), dan analisis atas realitas (sikap kita terhadap realitas atau “teori intepretasi”). Dari ketiganya, posisi “ego” (aku, artinya umat Islam) berada di tengah –hal ini akan dibahas kemudian.

Sebelum melangkah pada oksidentalisme, kita perlu bahas dahulu apa yang menjadi pemahaman Hassan Hanafi mengenai tradisi (turats). Tradisi, menurutnya, bukanlah sekedar barang mati yang telah

Page 5: Revitalisasi Oksidentalisme.3

ditinggalkan orang-orang terdahulu. Pernyataan ini persis sama seperti pengakuan Al-Jabiri, yaitu bahwa tradisi adalah barang hidup yang selalu menyertai kekinian kita. Tradisi adalah elemen-elemen budaya, kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup, dan masih terpendam dalam tanggung jawab generasi sesudahnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif, dan sebagai pembentuk “pandangan dunia” serta membimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang. Tradisi ternyata telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme dan menjadi kekuatan kekuasaan yang berkedok agama. Sehingga perlu direvitalisasi menjadi kekuatan yang membebaskan.

Titik tolak Hassan Hanafi adalah realitas Arab saat ini, dan menurutnya adalah keharusan pemecahannya untuk mengakhiri semua hal yang menghambat perkembangan dalam dunia Islam dan Arab. Tradisi, pada dasarnya tidak bernilai. Kecuali jika ia dapat menjadi sarana yang dapat memberikan teori aksi negara Arab dalam merekonstruksi manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Hassan Hanafi mensyaratkan revolusi kemanusiaan sebelum melakukan pembangunan lainnya, sebagai langkah awal dalam mewujudkan kehidupan yang manusiawi. Bahkan, dengan berjilid-jilid buku yang menjadi bagian dari proyeknya adalah usaha untuk mengubah kata “Tuhan” menjadi kata “Manusia”, seperti dikatakan teman-teman dalam sebuah diskusi terbatas di P3M tentang “Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi”.

Proyek Hassan Hanafi dimaksudkan untuk merekonstruksi, menyatukan, dan mengintepretasikan seluruh ilmu peradaban Islam bedasarkan kebutuhan modern untuk dijadikan sebagai ideologi manusia, untuk menuju kesempurnaan hidup. Hassan Hanafi juga bermaksud merekonstruksi tradisi kebudayaan Barat yang dicirikannya sebagai kebudayaan murni historis, di mana wahyu Tuhan tidak dijadikan sebagai sentral peradaban. Hanafi sedang mendekonstruksi bangunan pemikiran Islam klasik yang mati fungsi peradabannya, di samping juga mendekonstruksi klaim-klaim universalitas dan hegemoni wacana yang dilakukan Barat, melalui pemikiran dan kebudayaan westernis. Pandangan obyektif dan kritis dalam pemikiran Hassan Hanafi adalah bagaimana agenda “oksidentalisme” menjadi kekuatan wacana penyeimbang dalam melihat Barat dan upaya westernasasi.

Seperti dijelaskan Hassan Hanafi, Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Orientalisme melihat ego (Timur) melalui the other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas (murakab al-naqish) pada ego dengan kompleksitas superioritas (murakab al-‘uzma) pada pihak the other.  Orientalisme lama adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji terhadap obyek yang dikaji. Di sini terjadi superioritas Barat dalam melihat Timur. Hal demikian dibalikkan dengan Oksidentalisme, yag tugasnya yaitu mengurai inferioritas  sejarah hubungan ego dengan the other, menumbangkan superioritas the other

Page 6: Revitalisasi Oksidentalisme.3

Barat dengan menjadikannya sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan infererioritas kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hanya saja Oksidentalisme kali ini dibangun di atas ego yang netral dan tidak berambisi merebut kekuasaan, dan hanya menginginkan pembebasan. Ia juga tidak ingin mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui keterbentukan dan struktur peradaban Barat. Seperti diklaim oleh Hassan Hanafi, ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral dibadindingkan ego Orientalisme.

Pemikiran Hassan Hanafi juga dilandasi oleh penafsiran secara hermeneutik terhadap teks keagamaan (tradisi keilmuan Islam lama) agar didapatkan pemahaman yang hidup dalam memberikan kontribusi bagi pembebasan. Oksidentalisme adalah bagian dari Kiri Islam, yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif umat Islam dalam membaca tradisinya sendiri dan tradisi the other. Pemikiran beliau juga bermuatan rasional, karena jika masih menggunakan baju konservatisme agama maka tradisi tidak akan berbicara apa-apa. Teks itu adalah barang mati, yang hidup adalah makna (meaning)  dan intepretasi baru (significance)2. Tugas kita adalah bagaimana menghidupkan teks dalm tradisi itu menjadi relevan dan berguna bagi kondisi saat ini. Pemikiran Hassan Hanafi dan juga M. Abed Al-Jabiri perlu diapresiasi lebih mendalam, karena mereka adalah pelanjut bagi tradisi pemikiran Islam kontemporer yang kritis, setelah Ibnu Rusyd dan Muhammad Abduh.

2 Hassan Hanafi, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta : LKIS, 2001), cet. V, hlm. 85.