revitalisasi pembangunan perikanan

30
1 REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN MAKALAH Diajukan Sebagai Bahan Seminar I (Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan) Oleh : IKRAMA MASLOMAN 060 516 009 PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2010

Upload: ikram-syamsury

Post on 19-Jun-2015

1.127 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

MAKALAH REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN DISAMPAIKAN DALAM SEMINAR I

TRANSCRIPT

Page 1: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

1

REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

MAKALAH

Diajukan Sebagai Bahan Seminar I (Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan)

Oleh :

IKRAMA MASLOMAN 060 516 009

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2010

Page 2: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

2

REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

MAKALAH

Diajukan Sebagai Bahan Seminar I (Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan)

Oleh : Ikrama Masloman

060 516 009

Menyetujui,

Kepala Laboratorium Pembimbing I Ekonomi dan Bisnis Perikanan Ir. Christian Dien, M.Si Ir. Otniel Pontoh, M.Si NIP. 19591222 198703 1 001 NIP. 19540903 198503 1 001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya Perikanan Sosial Ekonomi Perikanan Ir. Henneke Pangkey, M.Sc, Ph.D Ir. Jeannette F. Pangemanan, M.Si NIP. 19600622 198703 2 001 NIP. 19611216 198803 2 003

Pembantu Dekan Bidang Akademik

Dr. Ir. Hens Onibala, M.Sc

Page 3: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

3

NIP. 19590930 198703 1 003

RINGKASAN

Ikrama Masloman. 060 516 009. Revitalisasi Pembangunan Perikanan . Dibimbing Oleh : Ir. Otniel Pontoh, M.Si

Indonesia sebagai Negara kepulauan (archipelago state) terbesar di Dunia

memiliki potensi sumberdaya perikanan yang besar hingga sering disebut bahwa sektor perikanan merupakan raksasa yang sedang tidur (the sleeping giant). Hasil riset Komisi Stok Ikan Nasional menyebutkan bahwa stok sumberdaya perikanan nasional diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Hal ini tentu estimasi kasar karena belum mencakup potensi ikan di perairan daratan (inland waters fisheries). dan potensi material untuk bioteknologi yang diperkirakan mencapai kapitalisasi pasar triliunan rupiah. Total kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap PDB nasional mencapai 25 % dan menyumbang lebih dari 15 % lapangan pekerjaan. (Burke, et.al, 2002).

Percepatan pembangunan sektor Perikanan selama ini masih belum dapat menjawab Amanat pembangunan ekonomi serta harapan masyarakat Indonesia secara keseluruhan melainkan bernada setengah hati, degradasi pada sektor ini disumbang oleh rapuhnya regulasi tentang pengelolaan perikanan, mulai dari rezim pengelolaan yang cenderung eksploitatif serta tidak memenuhi keadalin distributif, kemudian kebijakan pengelolaan yang sentralistik sehingga pemanfaatan di daerah yang kurang optimal, dan paradigma pembangunan sektoral yang belum terintegrasi yang memicu ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan, serta model penanaman investasi yang belum jelas keberpihakannya.

Namun demikian, besarnya potensi sumberdaya alam perikanan ini tidak semerta tanpa persoalan baik struktural maupun fungsional. Sebagai hasilnya, besarnya potensi yang ada tidak diimbangi dengan pemanfaatan optimal dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Maka Revitalisasi Pembangunan Perikanan harus menjadi jawaban atas kondisi sektor perikanan hari ini. sebagai langkah pemulihan, dimulai dari perubahan rezim pemanfaatan dari quasi open acces yang cenderung eksploitasi secara bebas di batasi dengan penerapan rezim limited entry, Kemudian Pengelolaan perikanan diberikan otonom kepada daerah dalam konteks desentralisasi sehingga diharapkan pengelolaan sumber daya dapat berjalan secara optimal, Serta pengelolaan perikanan perluh dintegrasikan, dan penerapan kebijakan investasi hijau pada sektor perikanan yang mendorong pemanfaatan yang optimal tanpa meremehkan kesejahteraan masyarakat serta keberlangsungan sumber daya alam.

Page 4: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

4

KATA PENGANTAR

Puja dan Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karunianya

sehingga penyusun dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “Revitalisasi

Pembangunan Perikanan”, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana Perikanan di Program Studi Agrobisnis Fakultas Perikanan dan ilmu

Kelautan Universitas Sam Ratulangi.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, nasihat,

serta dukungan baik secara moril maupun material sehingga penyusun mampu

menyelesaikan Makalah ini, terutama kepada Ir. Outniel Pontoh, M.Si selaku Dosen

Pembimbing serta segenap Dosen Program studi Agrobisnis Perikanan, Mahasiswa,

dan pihak-pihak yang lain.

Penulis dengan segala keterbatasannya menyadari bahwa masih banyak

kekurangan dalam penyusunan Makalah ini, oleh karena itu penulis menerima segala

kritik dan saran yang dapat membangun dalam penyempurnaan Makalah ini. Akhir

kata penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat

digunakan sebaik-baiknya.

Manado, 16 Juni 2010

Penulis

Page 5: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

5

DAFTAR 1SI

HALAMAN JUDUL . ......................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii

KATA PENGANTAR.. ...................................................................................... iii

DAFTAR IS1 ...................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1.Latar Belakang ............................................................................. 1

1.2.Definisi Judul .............................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 8

BEBERAPA STRATEGI REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN 2.1. Perubahan Rezim Perikanan Dari Quasi Open Access ke limited Entry.................................................................................8

2.2. Penerapan Kebijakan Total Allowable Effort (Total Pengijinan Usaha) ………………………………….......10

2.3.Desentralisasi Pengelolaan Perikanan ........................................ 12

2.4. Perencanaan dan Pengelolaan Perikanan Secara Terpadu .......... 16

2.5. Investasi Hijau Sektor Perikanan .............................................. 18 2.5.1. Landasan Pembangunan Berkelanjutan Investas Hijau ................................................................ 18 2.5.2. Pengertian Investasi Hijau untuk Perikanan (Green Investment For Fisheries) ................................... 18 2.5.3. Mengapa Green Investment Untuk Perikanan Diperlukan .......................................... 19 2.5.4. Manfaat Investasi Hijau (Green Investment) ................. 21

BAB III PENUTUP .................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 24

Page 6: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

6

BAB I PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang

terpanjang nomor dua setelah Kanada yaitu 81.000 km. Luas wilayah teritorial

Indonesia yang sebesar 7,1 juta km2 didominasi oleh wilayah laut yaitu kurang lebih

5,4 juta km2. Dengan potensi fisik sebesar ini, Indonesia dikaruniai pula dengan

sumberdaya perikanan dan kelautan yang besar. Dari sisi keanekaragaman hayati,

Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan hayati kelautan terbesar. Dalam

hal ekosistem terumbu karang (coral reefs) misalnya, Indonesia dikenal sebagai salah

satu penyumbang kekayaan hayati terumbu karang terbesar di dunia. Menurut data

World Resources Institute (2002), dengan luas total sebesar 50.875 km2, maka 51 %

terumbu karang di kawasan Asia Tenggara dan 18 % terumbu karang di dunia, berada

di wilayah perairan Indonesia.

Menurut Tridoyo K (2007), Sumberdaya perikanan juga memiliki potensi yang

besar hingga sering disebut bahwa sektor perikanan merupakan raksasa yang sedang

tidur (the sleeping giant). Hasil riset Komisi Stok Ikan Nasional menyebutkan bahwa

stok sumberdaya perikanan nasional diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Hal

ini tentu estimasi kasar karena belum mencakup potensi ikan di perairan daratan

(inland waters fisheries). Total kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap

PDB nasional mencapai 25 % dan menyumbang lebih dari 15 % lapangan pekerjaan.

Namun demikian, besarnya potensi sumberdaya perikanan ini tidak semerta

tanpa persoalan baik struktural maupun fungsional, khususnya pada era pemerintahan

pasca-orde lama. Sebagai hasilnya, besarnya potensi yang ada tidak diimbangi dengan

pemanfaatan optimal dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Isu-isu kemiskinan

nelayan, misalnya, telah menjadi isu struktural sejak lama bagi pengelolaan

(governance) sektor perikanan. Pada saat yang sama, isu-isu rusaknya sumberdaya

alam perikananpun telah lama diketahui. Studi yang dilakukan oleh Burke, et.al

(2002) misalnya menyebut bahwa kerusakan terumbu karang di Indonesia telah

sampai pada tahap mengkhawatirkan. Hampir 51 % kawasan terumbu karang yang

terancam di Asia Tenggara berada di Indonesia, disusul sebesar 20 % di Filipina.

Page 7: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

7

Menurut Tridoyo K (2007), Paling tidak ada 3 hal yang menjadi penyebab

ketidakseimbangan ini. Pertama, masih rendahnya muatan teknologi di sektor

Perikanan dan kelautan. Seperti yang telah jamak diketahui, sektor perikanan dan

kelautan bergerak mulai dari level tradisional hingga industri. Dalam strukturnya,

sektor tradisional masih mendominasi, misalnya di bidang perikanan tangkap yang

mencapai 87 % (Dahuri, 2003). Sektor tradisional ini masih terbelit persoalan

minimnya pengetahuan dan teknologi di bidang perikanan dan kelautan sehingga

optimalisasi terhadap kinerja ini belum sesuai dengan potensi yang ada. Tanpa

mengurangi betapa pentingnya variabel-variabel lokal seperti traditional knowledge,

local wisdoms, dan sebagainya, peningkatan level kinerja dari sektor tradisional

menuju sektor post-traditional memerlukan input teknologi yang sesuai dan tepat.

Kedua, lemahnya pengelolaan. Dalam konteks ini, pengelolaan sumberdaya

perikanan masih belum integratif dan komprehensif. Masih banyaknya benturan antar

sektor dan kepentingan membuat pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan dan

belum optimal. Marjinalisasi sektor budidaya perikanan laut (mariculture) oleh sektor

eksplorasi minyak lepas pantai misalnya telah lama menjadi isu utama

ketidakseimbangan pengelolaan antar sektor. Demikian pula antara perikanan dengan

wisata bahari, dan sebagainya. Oleh karena itu, perubahan paradigma (shifting

paradigm) dari paradigma sektoral menjadi paradigma integrasi diperlukan sehingga

segenap kegiatan ekonomi yang menjadi penyangga sektor perikanan dapat dikelola

secara komprehensif.

Terakhir, masih kurangnya dukungan ekonomi-politik. Dalam era Pemerintahan

sebelumnya, sektor perikanan banyak dimarjinalisasi secara politik dengan

menempatkan sektor ini ke dalam posisi kedua (second-best option) dari kebijakan

pembangunan pertanian nasional. Dalam proses pemerintahan negara, kebijakan

politik sangat mempengaruhi pengambilan keputusan terhadap suatu hal. Hal ini

terkait pula dengan persoalan pengelolaan seperti yang telah dikupas sebelumya yaitu

betapa pentingnya koordinasi antar sektor dan Departemen yang memiliki domain

kerja di atau terkait dengan bidang perikanan. Oleh karena itu perikanan sebagai salah

satu kontributor ekonomi nasional memerlukan dukungan optimal secara ekonomi

dan politik guna memanfaatkan potensi yang dimiliki melalui pendekatan

komprehensif yang berkelanjutan.

Page 8: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

8

Pembangunan Perikanan Nasional secara alamiah (by nature) memerlukan

platform karena platform memiliki peran strategis sebagai “conceptual guidance”

bagi operasionalisasi dan implementasi pembangunan sektor ini. Dengan demikian,

by nature pula, platform pembangunan berisi faktor-faktor strategis yang bersifat

makro kebijakan yang dapat digunakan sebagai petunjuk bagi proses pengambilan

keputusan yang terkait dengan sektor perikanan.

Menurut Hanna (1999) Satu hal yang banyak menimbulkan salah persepsi

(flawing perceptions) di kalangan publik bahkan dari kalangan akademisi adalah

bahwa perikanan dianggap sebagai komoditas semata. Hal ini tidak terlepas dari

pandangan klasik tentang struktur produksi ekonomi yang menempatkan perikanan,

pertanian, kehutanan, dan peternakan sebagai primary sector yang berkonotasi pada

produksi “komoditas” belaka. Padahal sejarah membuktikan bahwa perikanan

merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki banyak keterkaitan langsung (direct

inter-linkages) antar faktor penyusunnya yaitu ekosistem, ekonomi, dan komunitas

serta institusi yang terkait dengannya. Keempat dimensi dengan segenap dinamikanya

tersebut tidak dapat dipisahkan dalam semua pembicaraan tentang Perikanan.

Dalam bukunya yang komprehensif berjudul “Sustainable Fisheries System”,

Charles (2001) menguraikan pentingnya pendekatan sistem bagi pengelolaan

perikanan. Sementara itu, Hall and Day (1977) menganggap bahwa : “any

phenomenon, either structural or functional, having at least two separable components

and some interactions between these components” dapat dianggap sebagai sebuah

sistem. Dalam konteks ini, perikanan, by nature, adalah sebuah sistem karena banyak

faktor dan fenomena yang terkait secara bersama-sama dan saling bergantung (inter-

dependencies) di dalamnya (Gambar 1).

Page 9: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

9

Gambar 1. Perikanan Sebagai Sebuah Sistem (diadopsi dari Charles (2001)

Sementara itu, Charles (2001) menegaskan bahwa sistem perikanan merupakan

sebuah kesatuan dari 3 komponen utama yaitu (1) sistem alam (natural system) yang

mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human

system) yang terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan konsumen,

rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir serta lingkungan sosial, ekonomi dan

budaya yang terkait dengan sistem ini; (3) sistem pengelolaan perikanan (fishery

management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan

Perikanan, Pembangunan Perikanan, rezim pengelolaan perikanan, dan riset

perikanan. Dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa sistem perikanan adalah

sistem yang kompleks. Dengan menggunakan perspektif informal, sistem dikatakan

kompleks apabila struktur dan fungsi dari sistem tersebut tidak diketahui dengan baik

sebagaimana terjadi untuk sistem Perikanan. Selain itu, definisi kompleks adalah

apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain secara

dinamik maupun statis. Semakin banyak jumlah unsur dalam struktur sebuah sistem

maka semakin kompleks sistem tersebut (Charles, 2001).

NATURAL ECOSYSTEM MANAGEMENT SYSTEM

HUMAN SYSTEM

fish population

aquatic environment

external forces(e.g. climate changes)

Harvesters

Comm. PostHarvest

external forces(e.g. governmentdownizing)

external forces(e.g. macroeconomics policy)

Policy Manage-ment

Develop-ment

Research

Page 10: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

10

Kekompleksan sistem perikanan dapat didekati dari perspektif keragaman

(diversity) di mana paling tidak ada empat jenis keragaman dalam sistem ini, yaitu :

keragaman species (species diversity), keragaman genetik (genetic diversity),

keragaman fungsi, dan keragaman sosial ekonomi (de Young, et.al, 1999 dalam

Tridoyo (2007).

Dengan beberapa kendala menyangkut kompleksitas dari sistem dan

pengembangan sumberdaya Perikanan, maka Revitalisasi merupakan jalan terbaik

dalam merancang dan menggagas ide-ide dalam model pembangunan perikanan yang

efektif, efisien, dan berkelanjutan. Sebagai sumbangsih positif terhadap

pengembangan sumberdaya Perikan di Indonesia.

I.2. DEFINISI JUDUL

REVITALISASI

Revitalisasi menurut Laretna, (2002) memiliki dua pengertian besar yaitu :

- Pembenahan.

- Memfungsikan Kembali

Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan suatu kawasan, bagian atau sektor

yang mengalami degradasi kemunduran untuk dicarikan langkah dalam

pemulihan dan meningkatkan kualitas secara optimal suatu kawasan, bagian atau

sektor. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi

sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek

sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan

potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat). (K.

Danisworo, 2001 dalam Laretna 2002).

Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian

keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi

masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan

revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud

Page 11: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

11

bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan

adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya

masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas (Laretna,

2002)

PEMBANGUNAN

Siagian (1994) Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan

yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan

pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation

building)”. Siagian (1994).

Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana,

yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya

yang dilakukan secara terencana”.

Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup

seluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan,

pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994).

Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi,

sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan

untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Esensi pembangunan adalah keseluruhan aktivitas yang berjalan simultan,

meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi guna mencapai tujuan ke arah

perubahan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Seluruh aktivitas tersebut

didukung oleh kebijakan pembangunan, sehingga menjadi pedoman yang

representatif dalam meningkat. anonimuos, (1991)

Pada dasarnya sasaran pembangunan perikanan adalah utuk meningkatkan

pendapatan nelayan, meningkatkan eksport dan mengurangi import hasil

perikanan menyediakan protein ntuk memperbaiki gizi makanan rakyat, serta

meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap kelestarian sumber daya

perikanan. anonimuos, (1993)

Page 12: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

12

PERIKANAN

Perikanan adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan

pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi,

produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu

sistem bisnis perikanan. (UU No 31 tahun 2004).

Perikanan adalah adalah kegiatan yang memiliki banyak keterkaitan langsung

(direct inter-linkages) antar faktor penyusunnya yaitu ekosistem, ekonomi, dan

komunitas serta institusi yang terkait dengannya. Dalam pemanfaatan sumber

daya yang terdapat dalam lingkungan perairan dan dikelola untuk kesejahteraan

masyarakat.

REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

Maka revitalisasi Pembangunan Perikanan dapat di definisikan sebagai suatu

upaya memvitalkan usaha pemanfaatan sumber daya dalam perairan. Lewat proses

perubahan yang berjalan simultan, meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi

guna mencapai tujuan ke arah perubahan kesejahteraan masyarakat.

Page 13: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

13

BAB II

PEMBAHASAN

BEBERAPA STRATEGI REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN 2.1. PERUBAHAN REZIM PERIKANAN DARI Quasi Open Access ke

Limited Entry Pengelolaan atau manajemen perikanan adalah suatu rezim, sebagai suatu rezim

maka pengelolaan perikanan terdiri dari suatu objek yaitu sumberdaya yang harus

dikelola atau ditata serta manusia sebagai pengelola atau penata. Rezim pengelolaan

sumberdaya perikanan berbasis pada sumberdaya perikanan yang berarti bahwa

keberadaan sumberdaya perikanan merupakan sesuatu yang mutlak. Tanpa ada

sumberdaya maka tidak ada artinya rezim pengelolaan itu. Semakin besar ukuran

sumberdaya maka semakin komplikasi pengelolaannya. Sebaliknya semakin kecil

ukuran ukuran sumberdaya perikanan semakin tidak berarti rezim itu. Nikijuluw

(2005).

Dimulai dari adagium “the Freedoom of the Sea” yang diinisiasi oleh Grotius

(1609), rezim pemanfaatan sumberdaya laut dikenal sebagai rezim open acces di

mana hampir tidak ada batasan untuk melakukan akses terhadap sumberdaya

perikanan di laut. Dalam konteks hukum laut, adagium ini merupakan awal dari

perdebatan konsep pengelolaan laut antara penganut mazhab laut terbuka/bebas (mare

liberum) yang dipelopori oleh Grotius dan mazhab laut tertutup (mare clausum) yang

di antaranya diiniasi oleh sekelompok pemikir Inggris seperti Welwood dan Selden.

Seperti yang telah diidentifikasi oleh Charles (2001), paling tidak ada dua makna

dalam rezim open access ini, yaitu pertama, bahwa sumberdaya perikanan yang tidak

tak terbatas ini diakses oleh hampir kapal yang tidak terbatas (laissez-faire) yang

diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna

kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal namun terdapat

pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor

dari overkapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for the fish;

siapa yang kuat dia yang menang, Tridoyo (2007).

Menurut Tridoyo (2007), Indonesia, melalui penataan hukum yang menyangkut

kegiatan perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang menyebut

adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun demikian,

Page 14: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

14

pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang terjadi

adalah quasi open access seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu, lemahnya

penegakan hukum di laut menjadi kontributor utama dari belum berhasilnya rezim

tata kelola (governance) perikanan kita. Dalam konteks ini revitalisasi tata kelola

(governance revitalization) menjadi salah satu prasyarat utama sebagai bagian dari

sebuah konsepsi negara kelautan terbesar (ocean state) di dunia.

Menurut T Kusumantanto (2007), Salah satu titik awal dari revitalisasi tata

kelola perikanan adalah secara gradual mengubah rezim quasi open acces menjadi

limited entry atau paling tidak controlled-open acces. Rezim ini menitikberatkan

pada pengelolaan sumberdaya perikanan baik dari sisi input maupun output melalui

mekanisme pengaturan use rights. Tata pemerintahan yang baik (good governance)

menjadi prasyarat dari penerapan rezim ini karena menyangkut mekanisme

pemberian ijin yang adil, transparan dan efisien. Charles (2001), memperingatkan

bahwa rezim pengelolaan limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian,

namun harus dilakukan dalam skema management portofolio dimana melibatkan tool

lain seperti quantitative allocation of inputs atau allowable catches yang dipayungi

oleh sebuah kerangka peraturan (legal endorsment) yang sesuai. Konsepsi limited

entry ini dapat pula menjadi titik awal bagi pemberian hak yang jelas kepada nelayan

perikanan pantai untuk melakukan aktifitasnya melalui mekanisme fishing right.

Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan ikan (fishing right) harus

mempertimbangkan ”kepada siapa hak tersebut diberikan”. Oleh karena itu, definisi

nelayan perlu pula direvitalisasi sehingga menghasilkan nelayan yang profesional

bukan sekedar free raiders yang menjadi ciri utama pelaku perikanan dalam rezim

open access. ”Fit and proper test” terhadap nelayan tidak berorientasi hanya kepada

pertimbangan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah pertimbangan

komunitas sehingga menjamin keberlanjutan perikanan dari sisi komunitas seperti

yang telah diuraikan sebelumnya.

Page 15: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

15

2.2. PENERAPAN KEBIJAKAN TOTAL ALLOWABLE EFFORT (TOTAL

PENGIJINAN USAHA)

Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system seperti

yang disampaikan oleh Charles (2001), terdapat beberapa karakteristik umum dari

nelayan (fishers) yaitu bahwa pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial

seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas

mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan

anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, dalam komunitas nelayan komersial,

nelayan dapat bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan

penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational

pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber

pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut

motivasi dan perilaku di mana dalam hal ini terdiri dari dua kelompok yaitu nelayan

dengan karakteristik profit-maximizers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan

untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku

seperti layaknya ”perusahaan”, dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang

aktif menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.

Menurut Kusumantanto, T. (2007) Salah satu key factor dalam dinamika sosial

ekonomi nelayan adalah informasi dan pengetahuan tentang hak (rights) karena pola

relokasi nelayan tetap harus mempertimbangkan konsep perikanan berbasis hak

(right-based fisheries) untuk menjamin keadilan dan keberlanjutan komunitas nelayan

sebelum dan sesudah relokasi. Menurut Ostrom and Schlager (1996), paling tidak ada

dua tipe hak yang penting dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

alam termasuk sumberdaya perikanan yaitu (1) use (operational-level) rights, dan (2)

collective-choice rights. Tipe hak yang pertama mengacu pada hak yang melekat pada

operasionalisasi perikanan atau dalam konteks perikanan tangkap adalah yang terkait

dengan proses dan dinamika penangkapan ikan. Dalam tipe ini, beberapa hak penting

antara lain adalah hak akses (access rights) yaitu hak untuk masuk (entry) ke dalam

usaha perikanan tangkap baik dalam konteks daerah penangkapan (fishing ground)

atau dalam salah satu struktur usaha perikanan seperti penyediaan bahan baku,

pengolahan perikanan, dan lain sebagainya. Masih dalam tipe hak yang pertama (use

rights), hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (harvest rights) juga

Page 16: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

16

merupakan jenis hak yang penting. Walaupun secara kontekstual berbeda,

kepemilikan kedua hak (access and harvest rights) secara bersama-sama merupakan

unsur penting dalam keberlanjutan komunitas perikanan. Tanpa pemberian hak

tersebut, maka tujuan relokasi nelayan ke tempat yang baru tidak akan tercapai sesuai

harapan.

Tipe hak kedua (collective-choice rights) lebih menitikberatkan pada hak

pengelolaan perikanan (fisheries governance) yang biasanya diberikan kepada

otoritas tertentu di luar masyarakat nelayan (supra-community). Otoritas ini biasanya

adalah pemerintah lokal yang dalam konteks otonomi daerah sesuai dengan UU No.

32/2004 pasal 18 memegang peran yang penting dalam pengelolaan perikanan.

Dalam konteks relokasi nelayan, tipe hak kedua ini menjadi sangat penting karena

hak ini terkait dengan unsur ”siapa yang mengatur” sebagai pelengkap dari konsep

hak yang terkait dengan ”siapa yang diatur” seperti yang telah dijelaskan dalam tipe

hak pertama (use rights). Selain hak pengelolaan, beberapa jenis hak penting yang

masuk dalam ketegori collective-choice rights adalah hak eksklusi (exclusion right)

yaitu hak otoritas untuk menentukan kualifikasi bagi pihak-pihak yang ingin

mendapatkan hak akses (access right) maupun panen (harvest right) dan hak alienasi

(alienation right) yaitu hak untuk mentransfer dan menjual hak pengelolaan.

Berdasarkan uraian tentang dua unsur penting dalam masyarakat nelayan yaitu

tipologi nelayan dan hak tersebut di atas, maka pola relokasi nelayan yang harus

diterapkan dalam konteks pengembangan perikanan tangkap adalah pola-pola yang

mampu menjamin keberlanjutan komunitas perikanan di tempat yang baru.

Khususnya yang terkait dengan distribusi hak yang adil antara nelayan pendatang

(yang direlokasi) dan nelayan lokal (yang menerima relokasi nelayan). Tanpa skema

ini maka konflik akan sangat mudah terjadi dan pada akhirnya akan memicu

timbulnya biaya sosial (social cost) yang cukup besar. Tridoyo (2007)

Dalam konteks revitalisasi perikanan, pemberlakuan kebijakan relokasi nelayan

harus pula memperhatikan lokasi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sehingga

relokasi nelayan dapat dilakukan dengan prinsip cost effectiveness. Sebagai contoh,

kelebihan nelayan di WPP 1 (Selat Malaka) mungkin akan lebih tepat apabila

dialihkan ke WPP terdekat yaitu WPP 2 (Laut China Selatan) yang notabene masih

relatif dekat dan secara sosial tidak terlalu berbeda.

Selain itu, termasuk dalam strategi ini adalah kebijakan transformasi nelayan.

Kebijakan ini pada intinya bertujuan untuk memindahkan (transform) mata

Page 17: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

17

pencaharian nelayan baik secara vertikal misalnya dari nelayan menjadi pembudidaya

ikan, pedagang perikanan atau pengolah ikan, jadi masih tetap dalam koridor sistem

perikanan, atau dilakukan secara horisontal yaitu mengalihkan profesi nelayan

menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan.

Secara teoritis, transformasi vertikal lebih dipilih sebagai salah satu alternatif

kebijakan mengingat bahwa karakteristik komunitas perikanan pada umumnya

bersifat artisanal sehingga tidak jarang kegiatan perikanan merupakan satu-satunya

pilihan hidup bagi masyarakat nelayan. Dengan memindahkan mata pencaharian

mereka yang masih masuk dalam sistem perikanan, diharapkan tidak banyak terjadi

gejolak sosial ekonomi yang timbul. Sama dengan dalam konteks relokasi nelayan,

faktor hak-hak sosial ekonomi masyarakat nelayan yang ditransformasi harus

diperhatikan sehingga keberlanjutan masyarakat ini tetap dapat dijaga.

2.3. DESENTRALISASI PENGELOLAAN PERIKANAN

Secara makro dan ekstentif, pengelolaan atas sumberdaya alam selama ini

memang berada di bawah kewenangan pemerintah pusat berdasarkan UUD 1945

pasal 33 ayat 3 dalam konteks legal makro, dijelaskan bahwa tanah, air, dan

sumberdaya alam yang terkandung didalamnya dikelola oleh negara dan ditujukan

untuk kemakmuran rakyat. Penjabaran ayat yang menyangkut pengelolaan

sumberdaya alam tersebut memang selama ini masih kabur sehingga kecenderungan

pengelolaan yang sifatnya sentralistik diberlakukan pada hampir seluruh sumberdaya

alam. Satria Arif et.al. (2002).

Kebijakan yang sentralistik tersebut, pada akhirnya terbukti telah menimbulkan

degradasi diberbagai sumberdaya alam, selain mengabaikan kepentingan-kepentingan

lokal. Perhitungan Green Accounting oleh Repetto et.al (1989) dalam Arif Satria

(2002) telah menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada dekade 80-

an ternyata tidak sebanding ketika disesuaikan dengan degradasi sumberdaya

perikanan. Kebijakan pengelolaan yang sentralistik cenderung menimbulkan

distribusi rente sumberdaya yang tidak merata antarwilayah.

Dengan digulirkannya undang-undang mengenai otonomi daerah, penjabaran

pasal 33 yang menyangkut aspek pengelolaan kini dijabarkan secara makro

Page 18: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

18

Pemerintah pada tingkat regional, dengan kata lain, pengelolaan sumberdaya alam

”didesentralisasikan” kepada daerah. Desentralisasi sendiri menurut World Resource

Institute mengandung pengertian seperangkat program dan kebijakan yang dirancang

untuk mewujudkan keseimbangan atas kewenangan (otoritas) dan tanggung jawab

terhadap pengelolaan sumberdaya alam, Fauzi, Akhmad.2005.

Menurut Akhmat Solihin (2010) Otonomi Daerah tidak bisa di pisahkan dengan

Kearifan lokal Agar pengetahuan kearifan lokal dapat diakomodasi dalam kebijakan

pembangunan nasional, maka perlu pembagian posisi dan wewenang yang jelas

antara masyarakat lokal dengan pemerintah. Oleh karena itu, revitalisasi kearifan

lokal di era desentralisasi kelautan tersebut dapat menciptakan pembagian wewenang

yang seimbang antara pemerintah (centralized government management) dengan

masyarakat (community based management), yang dikenal dengan pengelolaan

kolaboratif (Co-management).

Pengakuan kearifan lokal juga dituangkan dalam UU No. 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 2 menyebutkan

bahwa asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup salah satunya

dilaksanakan oleh kearifan lokal, yang dimaksud dengan "asas kearifan lokal" adalah

bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan

nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.

Menurut Satria Arif et.al. (2002). ada beberapa aspek positif menyangkut

pengelolaan sumberdaya perikanan dalam era otonomi daerah. Skenario tersebut,

antara lain menyangkut Efektifitas pengaturan, efisiensi ekonomi, dan pemerataan

distribusi yang secara rinci diuraikan berikut ini :

1. Efektifitas Pengaturan, telah lama diketahui bahwa pengelolaan sumberdaya

alam, khususnya sumberdaya perikanan, merupakan masalah yang kompleks karena

terkait dengan masalah hal kepemilikan. Seperti telah diketahui bersama bahwa

sumberdaya perikanan bersifat common property (milik bersama) dengan akses yang

bersifat quasi open access. Istilah common property yang sering diucapkan saat ini,

khususnya untuk sumberdaya perikanan, lebih megarah kepada pemilikan yang

dilakukan di bawah kontrol penguasa (pemerintah) atau lebih mengarah pada sifat

sumberdaya yang public domain. Jadi, bukanlah sifat saat sumberdaya tersebut bukan

milik siapa-siapa (nobody’s property).

Page 19: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

19

Salah satu sifat yang menonjol dari sumberdaya yang bersifat common

property adalah ketidakterdefinisikannya hak kepemilikan sehingga menimbulkan

gejala yang disebut dengan dissipated resource rent, yaitu hilangnya rente

sumberdaya yang semestinya diperoleh dari pengelolaan sumberdaya yang optimal.

Dalam situasi ketika laut bersifat quasi open acces, eksternalitas (khususnya

eksternalitas negatif) akan mudah timbul, aksi atau tindakan individu yang merugikan

pihak lain (misalnya melakukan eksploitasi yang belebihan) tidak terkoreksi oleh

pasal (market failure).

Dengan lahirnya aturan main yang menyangkut hak kepemilikan sumberdaya

pada tingkat lokal, secara tidak langsung akan memberikan hak kepemilikan

(property rights) kepada pemerintah daerah sehingga masalah-masalah yang

ditimbulkan akibat kondisi yang quasi open access akan jauh lebih mudah

dikendalikan. Pemerintah daerah akan dapat mengelola sumberdaya alam, khususnya

di wilayah pesisir dan lautan secara lebih rasional mengingat ketersediaan

sumberdaya serta terdegradasinya sumberdaya akan menentukan tingkat kemakmuran

pada daerah bersangkutan. Kedua faktor tersebut akan menjadi bagian dalam proses

pengambilan keputusan kebijakan (decision making) sehingga daerah dengan

kewenangan mengelola sumberdaya akan memiliki insentif untuk mengelola

sumberdaya alam tersebut secara efisien dan seoptimal mungkin.

Pada tingkat lokal, desentralisasi diharapkan akan membawa dampak positif

pada terkukuhkannya kembali (restore) hak-hak kepemilikan tradisional yang dalam

sistem sentralistik kurang berkembang dengan baik. Masyarakat pesisir diharapkan

memiliki sense of stewardship terhadap sumberdaya alam mereka sehingga

eksploitasi yang berlebihan dapat terjega.

2. Efisiensi ekonomis. Seperti telah disebutkan, pengelolaan sumberdaya yang

bersifat quasi open access akan menimbulkan ketidakefisienan (inefficiency). Ini

terjadi karena dalam situasi quasi open access, setiap individu akan berusaha

mengeksploitasi sumberdaya sebesar-besarnya. Jika tidak, pihak lain yang akan

meraih keuntungan.

Gordon (1954) dengan sintesis yang sangat terkenal menyebutkan bahwa

dalam situasi open access inilah rente ekonomi (economic rent) akan hilang dan

faktor produksi lebih banyak digunakan dari yang seharusnya sehingga menimbulkan

inefisiensi. Sumberdaya perikanan telah lama terekspos dengan tragedy of the

Page 20: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

20

common (kondisi tragis dari sumberdaya alam common property). Dalam kondisi ini

return per individual fleet (penerimaan per individual armada) justru menurun dengan

meningkatnya kapasitas armada. Inefficiency ini secara teoritis dapat dicegah jika

dilakukan rasionalisasi terhadap sumberdaya.

Untuk itulah peran hak kepemilikan yang terdefinisi secara jelas amat

diperlukan. Dengan adanya otoritas wilayah pemerintah daerah memiliki hak otoritas

penuh untuk melakukan rasionalisasi, misalnya dengan pengaturan pembatasan

(limited entry) sehingga inefisiensi dapat dikurangi atau dihilangkan dan over-

exploitation dari sumberdaya alam dapat dikurangi.

Namun, satu hal yang juga harus diperhitungkan adalah aspek kesejahteraan

dari rasionalisasi tersebut. Perikanan di negara berkembang, khususnya indonesia,

merupakan sistem yang kompleks karena melibatkan stakeholders (pemangku

kepentingan) yang banyak. Paling vital adalah nelayan kecil yang merupakan lapisan

yang cukup banyak. Mereka ini hidup diwilayah yang terpencil dengan alternatif

employment yang terbatas sehingga mereka hidup dalam kemiskinan. Oleh karena itu,

harus dipikirkan jangan sampai terjadi perikanan sebagai employment of the last

resort. Perlu disediakan lapangan kerja secara vertikal maupun horizontal yang

menunjang kegiatan perikanan di wilayah pantai.

3. Pemerataan Distribusi. Keuntungan utama (major benefit) lahirnya undang-

undang otonomi daerah adalah terbentuknya iklim ”hak kepemilikan” (property

rights) bagi pemerintah daerah terhadap kekayaan alamnya, khususnya perikanan.

Situasi ini barangkali dapat dianalogikan ketika 200 mil ZEE dideklarasikan.

Deklarasi tersebut dalam banyak hal memberikan keuntungan kepada negara-negara

berkembang yang memiliki sumberdaya kelautan dengan leluasa mengelolanya secara

lebih rasional. Demikian pula halnya dengan undang-undang otonomi daerah ini.

Pada hakekatnya, otonomi daerah memberikan suatu insentif bagi wilayah-

wilayah yang selama ini kurang diuntungkan dalam pengelolaan sumberdaya alam

untuk kesejahteraan masyarakatnya. Dengan otonomi ini, wilayah-wilayah yang

kurang berkembang dan wilayah yang komunitasnya banyak bergantung pada

kegiatan perikanan diberi kelulasan untuk mengembangkan kapasitas dan kapabelitas

dalam mengelola sumberdaya perikanannya dengan memperhatikan aspek-aspek

kelestarian.

Page 21: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

21

2.4. PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN PERIKANAN SECARA

TERPADU

Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan

mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan

pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan perikanan. Perencanaan terpadu

biasanya dimaksudkan sebagai suatu upaya secara terprogram untuk mencapai tujuan

yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk

memelihara lingkungan, ketelibatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi.

Seringkali keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan

pembangunan perikanan yang meliputi : pengumpulan dan analisis data, perencanaan,

implementasi, dan kegiatan konstruksi. (Sorensen dan Mc Creary, 1990 dalam Dahuri

2001.)

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya

berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan, seperti perikanan tangkap, tambak,

pariwisata, Pelabuhan, indutri, dan pertambangan. Pengelolaan semacam ini dapat

menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkentingan yang melakukan

aktivitas pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang sama. Selain itu

pendekatan sektoral semacam ini pada umumnya tidak atau kurang mengindahkan

dampaknya terhadap yang lain, sehingga dapat mematikan usaha sektor yang lain.

Contohnya kegiatan industri yang membuang limbahnya ke lingkungan pesisir dapat

mematikan usaha tambak, perikanan tangkap, pariwisata pantai dan membahayakan

kesehatan manusia. Dahuri, et.al (2001).

Dalam konteks perencanaan pembangunan perikanan sumber daya alam yang

lebih luas, Hanson (1988) mendefinisikan perencanaan sumber daya secara terpadu

sebagai suatu upaya bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat pemanfaatan

sistem sumber daya alam secara optimal dengan memperhatikan semua dampak lintas

sektoral yang mungkin timbul, dalam hal ini yang dimaksud dengan pemanfaatan

optimal adalah suatu cara pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan yang dapat

menghasilkan keuntungan ekonomis secara berkesinambungan untuk kemakmuran

masyarakat.

Page 22: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

22

Sementara itu, Lang (1986) dalam Dahuri (2001). Menyarankan bahwa

keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam, seperti pesisir

dan lautan, yang didalamnya terdapat aktivitas perikanan hendaknya dilakukan pada

tiga tataran (level): teknis, konsultatif, dan koordinasi. Pada tataran teknis , segenap

pertimbangan teknis, ekonomis, sosial, dan lingkungan hendaknya secara seimbang

atau proporsional dimasukkan kedalam setiap perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan sumberdaya Perikanan.

Pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang

terlibat (stakeholders) hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai

pelaksanaan. Tataran koordinasi mensyaratkan diperlakukannya kerjasama yang

harmonis antar semua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan

lautan, baik itu pemerntah, swasta, maupun masyarakat umum.

Menurut Dahuri, et.al (2001) Keterpaduan mengandung tiga dimensi : sektoral,

bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.

Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perluh ada koordinasi tugas,

wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi Pemerintah pada tingkat

tertentu (horizontal Integration); dan antar tingkat Pemerintah dari mulai tingkat

desa, kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai tingkat pusat (vertical

integration).

Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyarakat bahwa di dalam

pengelolaan hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu

(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi,

teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar karena perikanan pada

dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis.

Keterpaduan ekologis, bahwa sumber daya perikanan merupakan sumberdaya

yang berada pada suatu ekosistem dengan keberagaman ekosistem, yang satu sama

lain saling terkait, tidak berdiri sendiri, perubahan yang menimpa satu ekosistem akan

menimpa pula ekosistem lainnya.

Perencanaan dan penglolaan perikanan secara terpadu diperlukan untuk

peningkatan pembangunan secara berkelanjutan, dan memberikan kontribus optimal

terhadap kesejahteraan masyarakat Oleh karena itu, perubahan paradigma (shifting

paradigm) dari paradigma sektoral menjadi paradigma integrasi diperlukan sehingga

segenap kegiatan ekonomi yang menjadi penyangga sektor perikanan dapat dikelola

secara komprehensif.

Page 23: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

23

2.5. INVESTASI HIJAU SEKTOR PERIKANAN. 2.5.1. Landasan Pembangunan Berkelanjutan dan Investasi Hijau

Amanat pembangunan berkelanjutan dan lestari adalah menjadi hal yang

diamanatkan dalam UUD 45 sebagaimana tertulis pada Pasal 33 yakni

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan

prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi

nasional. Khusus mengenai pembangunan perikanan dan kelautan, selain didukung

oleh Undang-Undang Perikanan No. 31/2004, pengelolaan perikanan yang lestari dan

bertanggung jawab juga menjadi amanah nasional sebagaimana dituangkan dalam

FAO Code of Conduct on Responsible Fisheries. Gambar I berikut menjelaskan

skema landasan investasi Hijau, Anonimous (2010).

Gambar 1. Landasan Kebijakan Investasi Hijau Perikanan

2.5.2. Pengertian Investasi Hijau untuk Perikanan (Green Investment for

Fisheries)

Green Investment for Fisheries (GIFF) atau investasi hijau untuk perikanan

adalah strategi investasi terhadap usaha perikanan tangkap maupun budidaya

Page 24: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

24

perikanan yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan yang tidak saja

memberikan manfaat ekonomi yang maksimum namun juga manfaat sosial dan

ekologi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Investasi hijau diartikan sebagai

investasi yang mendukung environmental stewardship (penjagaan lingkungan),

perlindungan konsumen, keanekaragaman hayati dan keadilan. Investasi hijau juga

memiliki prinsip dinamis sehingga filosofi investasi diarahkan untuk memungkinkan

adanya fleksibilitas dalam proses pengelolaan untuk menangkap peluang investasi

yang ada namun tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudence), sosial dan

lingkungan serta pertumbuhan ekonomi. Anonimous (2010)

FAO

2.5.3. Mengapa Green Investment untuk Perikanan diperlukan?

Sumber daya ikan merupakan aset kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan

untuk kemakmuran bangsa. Sumber daya ikan selain sebagai sumber kebutuhan

ekonomi domestik dengan memberikan sumber penerimaan rumah tangga dan

industri, juga merupakan sumber penerimaan negara melalui nilai tambah yang

dihasilkan. Namun demikian, sumber daya ikan meski merupakan sumber daya alam

yang dapat pulih (renewable), memiliki keterbatasan yang ditentukan oleh daya

dukung lingkungan dan faktor ekologi lainnya. Bukti-bukti ilmiah menunjukkan

bahwa kemampuan sumber daya ikan untuk menopang kebutuhan manusia sudah

semakin menurun dari waktu ke waktu. Bahkan secara global lebih dari 70% sumber

daya ikan laut dunia sudah mengalami eksploitasi berlebih (over exploitation).

Anonimous (2010)

Fenomena overfishing baik secara ekonomis maupun biologi di perikanan pantai

(coastal fisheries) merupakan fenomena umum yang kini dialami hampir seluruh

Negara berkembang. Situasi ini diperburuk pula oleh pengambilan keputusan yang

myopic oleh para pelaku perikanan dimana keinginan untuk memperoleh hasil

tangkap yang cepat dan dengan kuantitas yang banyak dilakukan dengan tidak

bertanggung jawab melalui penangkapan yang merusak lingkungan (destructive)

yaitu menggunakan bom dan racun serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah

lingkungan. Ekstraksi sumber daya ikan melalui perikanan tangkap yang tidak

memperhatikan aspek di atas pada akhirnya akan memberikan umpan balik yang

negatif pada kegiatan ekonomi baik pada skala rumah tangga, industri, regional

maupun nasional. Hal ini dapat diindikasikan dengan menurunnya produktifitas

perikanan, menurunnya tingkat pendapatan nelayan dan kerusakan lingkungan yang

Page 25: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

25

parah yang menimbulkan kerugian ekonomi dan ekologi yang sangat substansial.

Anonimous (2010)

Melihat kenyataan di atas, pembangunan perikanan khususnya perikanan

tangkap memerlukan perubahan dalam pengelolaannya. Orientasi pertumbuhan yang

mengarah pada target kuantitas semata mesti diubah ke arah pertumbuhan yang

berkualitas. Perubahan paradigma ini harus memiliki beberapa karakteristik antara

lain:

Pertama, ia harus menciptakan nilai tambah dan memberikan dampak linkage yang

ekstensif dengan industri lainnya. Dengan kata lain paradigma pembangunan

perikanan ini harus membantu memaksimumkan efisiensi input dan memaksimumkan

output/produk.

Kedua, paradigma baru pembangunan perikanan harus bercirikan keberlanjutan.

Kecenderungan orientasi pembangunan saat ini tidak berkelanjutan karena

ketergantungan pada input produksi yang cukup masif untuk menghasilkan produksi

dan konsumsi yang masif pula yang pada akhirnya menyebabkan permasalahan

lingkungan, dengan kata lain pemenuhan kebutuhan generasi sekarang harus

mengorbankan hak dan kebutuhan generasi yang akan datang.

Ketiga, paradigma baru pembangunan harus mampu memperbaiki kesejahteraan

masyarakat umum. Pembangunan sektoral yang berbasis industrialisasi hanya

memberikan kontribusi yang kecil terhadap masyarakat umum yang berdampak pada

ekstraksi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan lingkungan.

Keempat, paradigma baru ini harus memiliki keunggulan kompetitif dan memiliki

potensi pertumbuhan yang dibutuhkan oleh wilayah untuk mempertahankan

keberlanjutan ekonominya. Diantara sektor-sektor ekonomi lainnya, sektor perikanan,

laut dan pesisir memiliki semua karakteristik di atas karena sektor ini memiliki

kapasitas untuk memperbaiki efisiensi, keberlanjutan, kesejahteraan, daya saing

(competitiveness) dan potensi pertumbuhan. Anonimous (2010)

Salah satu aspek penting yang berhubungan dengan keberlanjutan

(sustainability) adalah green aspect (aspek hijau) atau green growth (pertumbuhan

hijau). Green growth dapat dicapai apabila kontradiksi antara pertumbuhan ekonomi

dan pelestarian lingkungan dapat diatasi dan efek sinergi diantara keduanya dapat

dimaksimumkan. Dengan kata lain, green growth strategy (strategi pertumbuhan

hijau) berbasis perikanan selain mampu menghentikan degradasi lingkungan

sekaligus mengembangkan manfaat ekonomi. Dan ketika pertumbuhan ekonomi

Page 26: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

26

dapat pula menjadi wahana untuk perbaikan lingkungan, maka momentum

pertumbuhan ekonomi seperti ini harus dipertahankan. Anonimous (2010)

Secara operasional, strategi hijau (green strategy) dalam pengelolaan perikanan

tangkap adalah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kegiatan ekonomi

perikanan tangkap yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan. Dengan kata

lain ekstraksi sumber daya ikan dapat dilakukan dengan prinsip economically viable

(dapat berjalan secara ekonomis) dan environmentally sustainable (berkelanjutan

secara lingkungan). Kunci dari tercapainya tujuan tersebut adalah memberikan

guidelines atau pedoman bagi seluruh stakeholder, pengambil kebijakan (policy

makers) akan pentingnya pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab melalui

pengembangan investasi yang ramah lingkungan atau investasi hijau (green

investment). Green Investment tidak saja menjamin “kesehatan” ekosistem sehingga

ia terus mampu menyuplai barang dan jasa untuk kebutuhan manusia, namun juga

memberikan prinsip keadilan (fairness) kepada sumber daya alam sehingga tidak

terjadi apa yang disebut sebagai natural resource slander (penganiayaan terhadap

sumber daya alam). Selain itu green investment juga menjamin prinsip bisnis

keberlanjutan karena prinsip ini didasarkan pada motto “There is no business to be

done on the dead planet”. Anonimous (2010)

2.5.4. Manfaat Investasi Hijau (Green Investment)

Secara umum manfaat Investasi hijau telah diuraikan di atas yakni memberikan

jaminan pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam yang berkelanjutan.

Namun demikian manfaat investasi hijau ini juga bisa diuraikan dalam konteks

Mobius Triangle yakni dalam konteks manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan.

Green investment memberikan manfaat sosial dalam bentuk potensi

pengurangan kemiskinan (poverty reduction), peningkatan kesempatan kerja,

pengurangan potensi konflik serta jaminan kontinuitas penyediaan barang dan jasa

dari sumber daya alam dan lingkungan. Green Investment memungkinkan inovasi-

inovasi baru sehingga memungkinkan membuka lapangan pekerjaan baru, dengan

demikian potensi kemiskinan di wilayah pesisir juga dapat dikurangi. Demikian juga

halnya dengan konflik sosial, dengan terjaminnya kondisi kesehatan lingkungan dan

berkurangnya degradasi lingkungan maka potensi konflik yang dipicu oleh hilangnya

kepercayaan (trust) dalam masyarakat serta kurangnya ketersediaan sumber daya

dapat dikurangi secara nyata.

Page 27: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

27

Manfaat green investment juga dapat dilihat dari sisi fiskal. Sebagai inovasi dan

paradigma investasi baru, green investment akan memberikan manfaat fiskal bagi

Pemda setempat dalam bentuk retribusi izin dan berbagai pembiayaan lainnya.

Namun yang tidak kalah penting adalah potensi green investment sebagai instrumen

untuk mencegah kebocoran (leakage) dari dana publik yang bisa terjadi manakala

dana tersebut tidak diinvestasikan pada investasi hijau. Misalnya saja investasi pada

kapal yang tidak ramah lingkungan setara dengan membuang investasi dana publik

secara sia-sia karena pada akhirnya dana publik tersebut akan menyebabkan degradasi

lingkungan yang menimbulkan biaya sosial yang cukup mahal yang juga harus

ditanggung oleh publik. Anonimous (2010)

Dari sisi manfaat lingkungan, jelas green investment selain menjamin

keberlanjutan ekstraksi sumber daya perikanan, mencegah terjadinya perairan di

lingkungan pesisir dan laut, green investment juga dirancang untuk mejaga kesehatan

ekosistem yang akan memberikan umpan balik positif kepada aspek sosial dan

ekonomi. Interaksi komponenkomponen di atas dapat dilihat pada Gambar 2 berikut

ini. Gambar 2. Manfaat Investasi Hijau untuk Perikanan (Green Investment for

Fisheries) GIFF. Anomous (2010)

Gambar 2. Manfaat Investasi Hijau untuk Perikanan (Green Investment for Fisheries)

Page 28: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

28

BAB III

PENUTUP

Revitalisasi Pembangunan Perikaan harus didekati secara komprehensive dan

tidak semata hanya terkait dengan kepentingan keragaan sebuah birokrasi departemen

melainkan sebuah kebijakan negara untuk mensejahterakan rakyat sehingga program-

program yang disusun harus memperhatikan keterkaitan antar sektor, antar lembaga

dan wilayah dengan tujuan utama adalah mensejahterakan nelayan dan pembudidaya

ikan. Dukungan kebijakan makro nasional dan keberpihakan pemerintah serta

pendekatan program secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan ekologi,

ekonomi, sosial serta kelembagaan akan sangat menentukan keberhasilan revitalisasi

perikanan di negeri bahari Indonesia.

Beberapa strategi revitalisasi yang ditawarkan mulai dari perubahan rezim

pemanfaat, pengelolaan sumber daya yang desentralisasi, kemudian perencanaan dan

pengelolaan secara terpadu antar sektoral, serta penerapan bentuk investasi hijau,

diharapkan mampu membawa sektor Perikanan sebagai kekuatan besar yang dimiliki

negeri ini. Dalam penciptaan lapangan kerja serta tercapainya kesejahteraan rakyat

Indonesia.

Page 29: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

29

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous (2009), Investasi Hijau Bidang Perikanan Untuk Kesejahteraan, World

Wild Found (WWF) Indonesia

Adhisakti Laretna (2002), Revitalisasi Tata Kelola Kota. UGM Press, Jogjakarta.

Anonimous (a) 1993. Lapora Tahunan Dinas Perikanan sulawesi utara. Dinas

Perkanan Tigkat I sulut, Manado

Anonimous (b) 1991. Perkembangan Perikanan sulawesi utara. Dinas Propinsi

Daerah Tingakat I Sulut, Manado.

Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Sciences. London, UK.

Cicin-Sain, B and R. Knecth. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management.

Island Press.

Dahuri, Rokhmin., et.al. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan lautan

Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Fauzi, Akhmad.2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan; isu, sintesis, dan gagasan.

PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hanna, S. 1999. Strengthening Governance of Ocean Fishery Resources. Ecological

Economics Vol. 31 : pp. 275-286.

Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era

Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 30: REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

30

Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan; bagaimana dan kemana bisnis

perikanan. PT. Fery Agung Corporation (FERACO). Jakarta.

Nohria, N and Gulati, R. 1994. Firms and Their Environments. In : Smelser, N.J. and

Swedberg, R. (Eds). The Handbook of Economic Sociology. Princeton

University Press. Pricenton, NJ. pp. 529-599.

Satria, Arif., et.al. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesendo.

Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 dan Nomor 31 Tahun

2004.

Prof. Tridoyo's Online Journal “Revialisasi Perikanan http://tridoyo.blogspot.com/

Prof.Dr.Hj.SyamsiahBadruddi,M.Sihttp://profsyamsiah.wordpress.com/2009/03/19/pe

ngertian-pembangunan/