revisi rancangan.doc prof rozak

Upload: thope21

Post on 14-Jul-2015

690 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Berangkat dari fungsi Pancasila sebagai padangan hidup bangsa Indonesia, sesunguhnya mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakter mulia. Karakter tersebut adalah berketuhanan, berperikemanusiaan, mengutamakan persatuan, suka musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan, serta berjiwa sosial yang bersendikan keadilan. Dalam perjalananya, karakter bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dan di kehendaki oleh Pancasila, tidak menunjukan eksistensinya, bahkan boleh di katakan telah pudar. Kerukunan antara umat beragama dan seagama telah berubah menjadi konflik yang mengatasnamakan agama. Nilai-nilai kemanusiaan dan kegotongroyongan telah berganti menjadi sifat individualistis. Nilai persatuan telah berubah menjadi kerusuhan kelompok. Musyawarah telah berganti pemaksaan kehendak. Nilai-niai keadilan sosial telah tergantikan oleh kepastian untuk memperoleh keuntungan materi bagi kelompok tertentu. Disadari bahwa nilai keberagaman adalah satu (Bhineka Tungal Ika) yang menjadi cikal bakal eratnya nilai kebangsaan bagi bangsa Indonesia, kelihatanya tidak sepenuhnya menjiwai bangsa Indonesia, bahkan sudah terjadi pengkikisan. Terjadinya budaya saling curiga satu sama lain, kerusuhan yang bernuansa sara dan hilangnya sikap saling menghormati sesama elemen bangsa, setidaknya menjadi salah satu bukti, telah terjadinya pengikisan jiwa Bhineka tunggal Ika. Di satu sisi, perilaku elit bangsa (mereka yang seharusnya menjadi tuntunan) justru mempertontonkan perilaku-perilaku yang tidak layak untuk ditiru. Semua yang dilakukan, dialamatkan untuk memperoleh dan melanggengkan kekuasaan dan kemenangan, meskipun harus mengingkari hati nuraninya. Rakyat dan negara merupakan dua unsur relasi yang memposisikan sebagai kesatuan integral. Negara merupakan wadah di mana bernaung suatu komunitas kehidupan yang disebut bangsa. Penting kiranya untuk menyebutkan karakteristik suatu masyarakat yang mendukung demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karakteristik ini menunjukan bahwa di dalam masyarakat yang demokratis terdapat nilai-nilai universal yang menjadi sebuah fondasi dasar. Sejarah perjalanan bangsa dalam menerapkan basis segala konsep tentang karakter bangsa, baik yang bersifat nasional maupun pemerintahan, telah tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945, melalui pemikiran genius founding fathers kita. Founding fathers telah merumuskan secara antisipatif citacita nasional (national ideas) berupa negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Juga, digariskan tujuan nasional (national goals),

yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Cita-cita bangsa Indonesia adalah menjadi negara besar kuat disegani dan dihormati keberadaannya ditengah-tengah bangsa di dunia. Setelah 65 tahun merdeka pencapaian cita-cita ini belum menunjukan tanda-tanda menggembirakan. Optimisme mencapai cita-cita itu terus menerus di hadapkan pada berbagai macam tantangan. Era globalisasi dengan ikon teknologi disatu sisi telah membantu percepatan kemajuan bangsa. namun demikian seiring dengan hal ini dirasakan juga dampak yang tidak diharapkan dalam kehidupan berdemokrasi, dalam hal ini mulai bergeser keluar dari norma-norma yang dijungjung tinggi oleh sebuah bangsa1. Filter atau ambang batas (threshold) atau batas pembenaran (margin of appreciation) yang harus digunakan untuk menyeleksi nilai-nilai globalisasi adalah nilai lokal atau nilai partikularistik bangsa Indonesia yang ekstrapluralistik telah mengalami seleksi internal sebelum dan sesudah kemerdekaan dan mengkristal menjadi karakter nasional (national character) berupa empat konsensus dasar bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, prinsip NKRI dan sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Di samping itu, karakter pemerintahan (governmental character) berupa nilainilai dasar demokrasi. Potret perilaku yang demikian bukan hanya terjadi dilini birokrasi dan lembaga politik, tetapi terjadi pula di dunia pendidikan. Semua berlomba untuk eksis dan mendapat pengakuan dari manusia lain, tidak perduli, apakah eksistensinya di akui oleh DIKTI. Perilakuperilaku bangsa yang mencerminkan budaya manusia yang berkarakter Pancasila dan hanya menjadi jargon yang kemudian di tulis dalam bentuk visi dan misi. Namun sayang, semua tidak mempu membekas dalam hati, karena semua berbasis struktural legalistik bukan nurani. Orang tidak lagi perduli kepada tetangganya, tidak perduli atas kondisi masyarakat yang ada disekelilingnya, bahkan tidak lagi perduli atas nasib bangsanya. Mereka hanya mau berbicara tentang tetangga, tentang masyarakat dan tentang bangsa apabila menguntungkan atau apabila ada kesalahan yang dilakukannya, dengan cara mencaci maki tanpa memberikan solusi. Apabila diamati, perilaku-perilaku negatif yang tidak mencerminkan karakter manusia (warga negara) yang ber- Pancasila, dilakukan juga oleh alumni-alumni Perguruan Tinggi (Para Sarjana). Tanpa harus mengatakan bahwa, Perguruan Tinggi tidak mengajarkan perilaku-perilaku yang demikian, tentunya Perguruan Tinggi harus bersikap dan memberikan kontribusi agar perilakuperilaku tersebut diminimalisasi atau apabila mungkin dihentikan.

1

Prayitno, Dkk, Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa, Gramedia Jakarta, 2011, hlm 1

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki jumlah penduduk sangat besar dengan adat-istiadat dan budaya yang bermacam-macam. Kenyataan itu sangatlah mempengaruhi masyarakat dalam membangun pola interaksi satu sama lain. Sementara itu, dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, bangsa Indonesia sangat memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang besar dan bermutu guna mendukung terlaksananya program pembangunan dengan baik. Penulis tetap berkeyakinan, bahwa pendidikan mampu merubah pola sikap dan tingkah laku peserta didik. Berawal dari keyainan tersebut, upaya meminimalisasi atau apabila mungkin terjadinya perilaku yang tidak mencerminkan manusia yang berkarakter Pancasila dapat di mulai dari Perguruan Tinggi, dengan cara menyelenggarakan pendidikan karakter. Diharapkan setelah mahasiswa menerima pendidikan karakter, mereka dapat melakukan perubahan perilaku sesuai dengan karakter manusia yang berPancasila kepada dirinya sendiri dan menjadi pionir dan monifator bagi yang lain. Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati) didirikan pada tanggal 16 Januari 1961 dengan tujuan membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan, khususnya pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan tinggi. Prakarsa masyarakat untuk mendirikan sebuah Perguruan Tinggi mendapat respon positif dari setiap kalangan baik dari pemerintah maupun kalangan akademisi yang ada di Kota Cirebon. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, Unswagati telah merumuskan visi dan misi yang tertuang dalam Rencana Induk Pendidikan Unswagati tahun 2011-2019. Harapan kedepan Unswagati menjadi sebuah Perguruan Tinggi Negeri dengan terwujudnya Universitas unggulan yang mandiri dan kompetitif dalam penyelenggaraan Tri Darma Perguruan Tinggi. Dalam pelaksanaannya pendidikan di Unswagati harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang terpuji. Dalam undangundang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Renstra Kemendiknas 2010 menyebutkan beberapa paradigma pendidikan menyangkut peserta didik. Dua diantaranya menyangkut pemberdayaan manusia seutuhnya dan pembelajaran sepanjang hayat berpusat pada peserta didik (Renstra Kemendiknas 2010-2014, hal. 3). Paradigma pemberdayaan manusia seutuhnya menyatakan bahwa memperlakukan peserta didik sebagai subjek merupakan penghargaan terhadap peserta didik sebagai manusia yang utuh. Peserta didik memiliki hak untuk

mengaktualisasikan dirinya secara optimal dalam aspek kecerdasan intelektual, spiritual, sosial, dan kinestetik2. Sumber Daya Manusia tidak akan mampu bersaing jika lulusannya tidak berkualitas. Disinilah diperlukan adanya kepedulian yang tinggi terhadap Quality control dan Qualiti assurance. Paradigma ini merupakan fondasi dari pendidikan yang menyiapkan peserta didik untuk berhasil sebagai pribadi yang mandiri (makhluk individu), sebagai elemen dari sistem sosial yang saling berinteraksi dan mendukung satu sama lain (makhluk sosial) dan sebagai pemimpin bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik di muka bumi (makhluk Tuhan). Secara khusus, Unswagati menyadari bahwa kegiatan pembelajaran menjadi ujung tombak untuk menyiapkan generasi muda yang akan memikul tanggung jawabnya di masa depan. Implementasi kurikulum yang berbasis pada pendidikan yang berkarakter nasionalis dan religius. Menjadi sebuah pilihan untuk melahirkan pribadi-pribadi dan pemimpin-pemimpin yang berjiwa nasionalis dan religius. Secara institusional Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati) mempunyai tujuan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kepribadian dan kemampuan akademik yang profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menghasilkan karya, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berguna untuk masyarakat dan memiliki kepribadian yang tangguh dan mandiri dan serta memiliki moral dan akhlak yang karimah Kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kebangsaan bagi lulusan Unswagati merupakan langkah yang strategis dalam upaya membentuk dan menghasilkan lulusan yang memiliki karakter kuat, handal, religius dan serta mampu bersikap, menyelesaiakan persoalan-persoalan di tengah perbedaan dengan baik. Oleh karena itu lulusan Unswagati dapat mampu memberikan suri tauladan kepada masyarakat dan mengedepankan persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menghormati setiap elemen bangsa. B. Tujuan Penyusunan Buku Pendidikan Karakter Unswagati

Usaha penyusunan buku kecil ini untuk didapatkan dokumen tentang penyelenggaraan pembinaan karakter yang selama ini memang belum pernah terdokumen dengan baik. Dan dengan adanya dokumen diharapkan dapat diikuti perjalanan panjang usaha yang telah dilakukan, dan akan memudahkan pengembangannya. Di samping untuk kepentingan intern Unswagati. Keuntungan lain adalah sebagai Pedoman Umum dalam mengimplementasi dari Ilmu Pengetahuan yang berbasis pada kebangsaan, agama dan kebudayaan sehingga tercapainya pengembangan nilai dan kompetensi keilmuan yang menghasilkan alumni Unswagati yang memiliki2

Pendidikan Karakater Sanata Darma

kepribadian dan pola pandang sebagai generasi bangsa yang nasionalis dan religius. Oleh karena itu mahasiswa dan dosen memiliki sebuah Pedoman Umum dalam mengimplementasi dari Ilmu Pengetahuan yang berbasis pada kebangsaan, agama dan kebudayaan sehingga tercapainya pengembangan nilai dan kompetensi keilmuan yang menghasilkan alumni Unswagati yang memiliki kepribadian dan pola pandang sebagai generasi bangsa yang nasionalis dan religius. Selain itu, usaha penyusunan buku kecil ini untuk didapatkan dokumen tentang penyelenggaraan pembinaan karakter yang selama ini memang belum pernah terdokumen dengan baik. Dengan adanya dokumen diharapkan dapat diikuti perjalanan panjang usaha yang telah dilakukan, dan ini akan memudahkan pengembangannya. C. Potret Kondisi Unswagati (dalam bentuk evaluasi diri) Cita-cita Unswagati adalah mencerdaskan dan mengembangkan pendidikan, dan menjadikan kampus budaya bangsa, serta membangun emosional. mengemban misi pendidikan, yaitu kehidupan masyarakat sekitarnya melalui sebagai agen perubahan dan pelestarian kecerdasan spiritual dan kecerdasan

Dalam melaksnakan cita-cita tersebut, Unswagati senantiasa berpegang teguh pada falsafah Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam melaksanakan cita-cita tersebut, Unswagati senantiasa menjunjung tinggi asas demokrasi dan transparansi dalam pengelolaan pendidikan dan pelayanan kepada peserta didik. Visi Unswagati adalah terwujudnya universitas unggulan yang mandiri dan kompetitif dalam penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi, untuk menghasilkan lulusan yang beriman dan bertakwa, bermoral Pancasila, berwawasan dan berkemampuan ilmu dan teknologi, serta memiliki kepemipinan dan semangat kejuangan yang tinggi dalam mendukung pembangunan nasional. Berangkat dari visi tersebut, karakter alumni Unswagati adalah beriman dan bertakwa,bermoral Pancasila, berwawasan dan berkemampuan ilmu dan teknologi, memiliki jiwa kepemimpinan, memiliki semangat untuk berjuang dan semangat membangun bangsa. Unswagati bertanggung jawab terhadap masyarakat tidak sekedar menghasilkan lulusan yang mempunyai daya nalar, tetapi lulusan yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengaplikasikannya, dan mempunyai rasa percaya diri. Unswagati berkewajiban mewujudkan visi sebagai universitas unggulan melalui kerja sama yang dibangun antara stakeholder (pemangku kepentingan) dan lembaga agar dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Usaha Unswagati dalam mewujudkan visinya tersebut yaitu memberdayakan potensi Unswagati dalam menumbuh kembangkan kualitas akademik dan menjadikan Unswagati sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bermartabat yang berlandaskan riset, pengembangan hasil riset, dan penerapannya dalam kehidupan nyata setiap bidang kajian. Lulusan Unswagati dituntut dapat mengaplikasikan dan mengamalkan ilmunya dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik di segala bidang. Dengan demikian, Unswagati sebagai salah satu Perguruan Tinggi Swasta dapat meningkatkan perannya dalam menunjang pembangunan nasional disegala bidang. Penguraian tentang karakter alumni yang di harapkan yang bersumber visi tersebut menjadi sangat lengkap dan sangat rinci dan semua terangkup dalam kalimat: Alumni Unswagati bermoral Pancasila. Untuk mewujudkan lulusan Unswagati yang berkarakter Pancasila, pimpinan Unswagati telah menggariskan rambu-rambu bagi Dosen dan karyawan dalam bekerja yang dikenal dengan istilah Nawa Karya, yang meliputi: 1. Pelayanan kepada mahasiswa agar lebih di tingkatkan;

2. Dalam menyelesaikan setiap urusan agar lebih dipermudah dengan tetap berpedoman pada peraturan/ketentuan yang berlaku, jangan mempersulit; 3. Setiap pengeluaran agar lebih efesien dengan mengacu pada prinsip-prinsip transparasi dan akuntabilitas; 4. Upayakan optimalisasi penerimaan, sehingga dapat lebih menigkatkan kinerja Universitas; 5. Dengan lebih ditingkatkannya kesehteraan agar diimbangi dengan semangat dan etos kerja yang tinggi,dispiln, dan penuh tanggungjawab; 6. Lebih meningkatkan komitmen dalam rangka mendukung terciptanya universitas unggulan dan dapat melahirkan lulusan yang lebih profesional, memilki daya saing tinggi dan dibutuhkan oleh masyarakat untuk masa kini dan masa yang akan datang; 7. Lebih meningkatkan kemampuan dan profesionalisme seluruh pengajar dengan dukungan tenaga administrasi yang optimal; 8. Kepada segenap civitas akadimika agar tetap menjaga kondisi kampus yang kondusif, sehingga dapat melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi dengan sebaik-baiknya; 9. Dengan senantiasa mengharap rakhmat Tuhan Yang Maha Besar, semoga tujuan Unswagati dapat tercapai.

Dalam perjalananya, seiring dengan memudarnya prinsip dan nilai kejujuran, profsionalisme, disiplin, kerjasama dan penghormatan terhadap lembaga tempat bekerja, seluruh civitas akademika tetap berkomitmen bahwa sikap dan nilai tersebut harus menjadi nafas dalam bekerja. Komitmen tersebut diformal dalam bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh Para wakil Rektor. Isi pernyataan sikap tersebut secara rinci sebagai berikut: Kami pimpinan Universitas, Pimpinan Fakultas, Dosen dan karyawan Universitas Swadaya Gunung Jati dengan ini menyatakan : 1. Kejujuran merupakan dasar bertindak dalam menentukan berbagai kebijakan dan keputusan kepentingan lembaga selama ini telah meyakinkan kami bahwa prinsip ini akan terus menjadi rujukan utama ; 2. Profesional adalah menjadi dasar melaksanakan tugas dan kewajiban kami sehari-hari di Unswagati sehingga kualitas proses dan asil terus di tingkatkan secara berkelanjutan. 3. Disiplin ,etos kerja, dan budaya kerja menjadi landasan utama menjadi Universitas Unggulan secara nasional menuju Inernasional; 4. Kerja sama merupakan perwujudan dari tugas yang diemban sesuai dengan jabatannya masing-masing sehingga tujuan Unswagati tercapai atas kontribusi dan sinergi semua pihak peduli terhadap lembaga; 5. Menjunjung tinggi dan menjaga nama baik lembaga Unswagati adalah kewajiban kami, karena itu kami akan mempertahankan dengan segala upaya dan daya agar tetap menjadi lembaga terhormat dimata masyarakat nasional dan interasional. Lima prinsip tersebut selalu menjadi landasan kami dalam menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi. Semoga Allah SWT, senantiasa membimbing kami dalam meraih keridhaan-Nya. Kelima prinsip kerja tersebut berlaku bagi seluruh keluarga besar Unswagati, baik bagi Dosen dan karyawan. Untuk membentuk sivitas akademika yang berkarakter kebangsaan, di Unswagati sedang dibentuk Lembaga Pengkajian, Penghayatan dan Pengalaman Ideologi Kebangsaan (LP3IK). Pembentukan (LP3 Ideologi Kebangsaan) salah satunya dilatar belakangi oleh kondisi Indonesia yang sedang mengalami demoralisasi hampir pada semua segmen kehidupan, terutama yang menonjol dalam bidang hukum dan politik dan budaya yang berpengaruh pada pranata sosial. Lembaga Pengkajian, Penghayatan dan Pengamalan Kebangsaan (LP3 Idologi Kebangsan) berfungsi sebagai berikut ini : 1. Fungsi pembentukan dan Pembangunan Potensi Ideologi

Dalam kontek ini, Pembentukan LP3 Ideologi Kebangsaan berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi civitas akademika Unswagati, Pemerintah Pusat maupun daerah dan masyarakat umum, khususnya kota Cirebon menjadi manusia dan warga negara Indonesia yang memiliki dan dan menumbuhkembangkan sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai dan falsafah kebangsaan yang terkandung pada Pancasila.

2. Fungsi perbaikan dan penguatan. Dalam kontek ini, pembentukan LP3 Idologi Kebangsaan berfungsi memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidian, masyarakat dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertangungjawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan dan terkandung pada Pancasila. 3. Fungsi penyaring. Pembangunan karakter bangsa memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat sehingga mencerminkan sikap dan pola pandang sebagaimana yang terkandung pada nlai-nilai Pancasila. Maksud dibentuknya LP3 Ideologi Kebangsaan adalah menjadikan peserta didik yang memiliki kepribadian dan memiliki jiwa nasionalisme dan religi dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. LP3I Ideologi Kebangsaan bertujuan: 1. Menjadikan kampus kebangsaan melalui Tridharma Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia khususnya kota Cirebon; 2. Melakukan pengkajian, penghayatan dan pengamalan ideologi dalam pembinan karakter kebangsanpada civitas akademika Unswagati, Satuan Pendidikan, Pemerintah Pusat maupun daerah dan masyarakat (khususnya kota Cirebon) meningkatkan profesionalisme seluruh pengajar dalam bidang ilmu pengetahuan yang berbasis berbangsa, beragama dan berbudaya akan sebuah nilai-nilai yang terkandung pada ideologi kebangsan agar dapat membentuk mahasiswa yang berjiwa nasionalis dan religius; 3. Mencetak kader-kader bangsa yang berkualitas dari tingkat pendidikan usia dini hingga Perguruan Tinggi (khususnya dikota Cirebon) tidak hanya secara wawasan keilmuan, akan tetapi kader bangsa yang juga berkualitas secara moral (al-akhlak al-karimah) dan memiliki kepribadian yang kuat dan tangguh sebagai pribadi yang nasionalis

dan relijius sehingga mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi pada masyarakat; 4. Bersama-sama pemerintah Pusat maupun daerah (khususnya kota Cirebon) memberikan peyuluhan dan pembinaan tentang karaktristik ideologi kebangsaan kepada masyarakat umum sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusayawaratan perwakilan, serta berkedudukan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian untuk mengatasi krisis multi dimensional termasuk krisis moral yang sedang melanda bangsa dan negara harus diawali dengan pembangunan moral dan karakter bangsa, yaitu mendorong penumbuhan dan pengembangan nilai-nilai 4 (empat) Pilar Kebangsaan oleh kalangan Civitas Akademik Unswagati dari mahasiswa hingga dosennya dengan memberikan kuliah umum, seminar dan lokakarya. Sehingga dalam hal ini diharapkan Perguruan Tinggi Unswagati akan memiliki dan mengembangkan kurikulum yang berbasis pada pendidikan yang berkarakter nasionalis dan religius, sehingga peserta didik dapat mengamalkan dalam kesehariannya.

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL A. Pengertian Pendidikan Karakter. Pendefinisian atau mengartikan atau mengetahui sebuah definisi sebuah ilmu pengetahuan atau sebuah peristilahan, dimaksudkan untuk mengetahui esensi dari ilmu pengetahuan atau istilah yang hendak di ketahui atau di pelajari sekaligus membatasi ruang lingkupnya. Definisi itu tidak satu, melainkan banyak. Hal tersebut, karena pendefinisian sebuah ilmu pengetahuan atau sebuah istilah sangat tergantung pada yang membuat definisi dengan segala sudut pandangnya. Demikian juga pendefinisian tentang pendidikan karakter. Berdasarkan peristilahan, pendidikan karakrer berakar dari kata pendidikan dan karakter yang dalam pemaknaanya dapat disatukan yaitu pendidikan karakter dan pendidikan dan karakter. Dalam tulisan ini, penulis tidak membuat dikotomi antara keduanya, melainkan menyatukan keduanya, sehingga menghasilkan sebuah definisi yang komprehenship. Secara normatif, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional telah memberikan rambu-rambu bahwa yang dimaksud pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa dan negara. Berpedoman pada uraian di atas, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional ternyata tidak menyuratkan peristilahan pendidikan karakter. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyiratkan adanya proses yang harus dilalui, yaitu belajar mengajar untuk menghasilan manusia yang berkarakter. Karakter manusia yang merupakan luaran dari proses belajar secara formal, yaitu manusia aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam bagian yang lain juga menyebutkan : Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap,kreatif,mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Pasal 3 Undang-Undang No.20 Tahun2003). Baik Pasal 1 angka 1 maupun Pasal 3 Undang-Undang Tahun 2003, keduanya menegaskan bahwa pendidikan merpakan sebuah proses untuk mehasilkan manusia atau peserta didik yang berkarakter. Memang harus diakui, karakter manusia yang hendak dibangun melalui proses pendidikan sangat bias dan sangat banyak. Karakter manusia yang merupakan produk pendidikan yang dikehendaki menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional adalah: 1. Manusia yang aktif mampu mengembangkan potensi dirinya; 2. Manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan; 3. Manusia yang mampu pengendalian diri; 4. Manusia yang memiliki kepribadian; 5. Manusiua yang memiliki kecerdasan; 6. Manusia yang memiliki akhlak mulia; 7. Manusa yang memiliki keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara; 8. Manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 9. Manusia yang sehat; 10. Manusia yang memiliki ilmu pengetahuan; 11. Manusua yang cakap; 12. Manusia yang kreatif 13. Manusia yang mandiri; dan 14. Manusia yang demokratis serta bertanggungjawab. Menurut Kamus Bahasa Indoesia karangan Suharto dan Tata Iryanto, (Penerbit Indah Surabaya, Halaman 99) bahwa yang dimaksud karakter adalah watak atau tabiat. Berangkat dari pengertian tersebut, maka fokus dari pendidikan karakter adalah mengubah sikap dan pola tingkah laku. Dengan demikian, pengertiana karakter adalah pendidikan yang titik fokusnya adalah mengubah tingkah laku.

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat , tabiat, temperamen dan watak. sementara itu yang disebut dengan berkarakter adalah berkepribadian,berperilaku, bersifat dan berwatak3. Lain halnya dengan pendapat Tadzikiroatun Musfiroh (2008)4, menurutnya karakter mengacu pada serangkaian sikap, perilaku, motivasi dan keterampilan. Makna karakter itu sendiri dari bahasa Yunani yang berarti to mark atau menandai dan memfokuskan pada aplikasi nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku sehingga orang tidak jujur, kejam, rakus dan berperilaku jelek dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek. Sebaliknya orang yang berkarakter sesuai dengan kaidah moral dinamakan berkarakter mulia. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa Pendidikan Karakter merupakan sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran, individu, tekad serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa sehingga terwujudnya Insan Kamil. B. Makna Pembangunan Pendidikan Karakter Wawasan Kebangsaan. Memaknai akar makna pembangunan pendidikan berkarakter wawasan kebangsaan, harus berangkat dari semangat yang sama, yaitu cinta tanah air dan bangsa. Komitmen yang demikian menjadi sebuah keharusan, karena memberikan makna yang lain, akan membawa konsekunsi yang berbeda. Dalam bahasa yang sederhana, pembangunan merupakan upaya sadar seseorang/sekelompok orang/suatu bangsa yang di lakukan secara terencana melalui untuk menuju pada kondisi yang lebih baik. Untuk sebuah pembangunan maupun pendidikan, keduanya merupakan sebuah proses yang terencana. Berangkat dari pembahasan ini, maka makna pembangunan pendidikan berkarakter wawasan kebangsaan, dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan manusia yang berwasaan kebangsaan. Penanaman sebuah karakteristik kebangsaan tidaklah lepas dari dukungan dan peran penting pemerintah pusat maupun daerah. Unsur pemerintahan merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembentukan karakter bangsa karena aparatur negara sebagai penyelenggara pemerintahan merupakan pengambil dan pelaksana kebijakan yang ikut menentukan berhasilnya pembangunan karakter kebangsaan pada tataran informal, formal, dan nonformal. Pemerintahlah yang mengeluarkan berbagai kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan. Kebijakan pemerintah dalam berbagai seginya (termasuk kebijakan dalam bidang penyiaran atau media massa) harus mengacu pada pembangunan yang berbasis pada karakter kebangsaan.

3

Nurla Isna,Panduan Penerapan Pendidikan Karakter di sekolah, Laksana Yogayakarta 2011,hlm 19 4 ibid

Menurut UU no 20 tahun 2003 Pasal 3 pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa yang bermartabat. Ada 9 (sembilan) pilar pendidikan berkarakter, diantaranya adalah : 1. Cinta tuhan dan segenap ciptaannya 2. Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian 3. Kejujuran/amanah dan kearifan 4. Hormat dan santun Dermawan, suka menolong dan gotong royong/ kerja sama 5. Percaya diri, kreatif dan bekerja keras 6. Kepemimpinan dan keadilan 7. Baik dan rendah hati toleransi kedamaian dan kesatuan

Pendidikan karakter sangat erat dan dilatarbelakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Pembangunan karakter melalui satuan pendidikan dilakukan mulai dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi. Sehingga menjadikan sebagai salah satu kunci keberhasilan pada satuan pendidikan adalah keberhasilan dalam menumbuhkan sikap keteladanan dari para pendidik dan tenaga kependidikan. Keteladanan bukan sekadar sebagai contoh bagi peserta didik, melainkan juga sebagai penguat moral bagi peserta didik dalam bersikap dan berperilaku. Oleh karena itu, penerapan keteladanan di lingkungan satuan pendidikan menjadi prasyarat dalam pengembangan karakter peserta didik. Pembangunan Karakter Bangsa adalah upaya kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu melalaui pembangunan karakter kebangsaan pada dunia pendidikan diharapkan menghasilkan sebuah pendidikan berkarater kebangsaan. Dalam hal ini Pendidikan karakter kebangsaan merupakan pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kebangsaan sebagaimana yang diamanatkan pada UUD 1945 yang diharpakan hasilnya adalah dapat mencetak kader-kader bangsa yang berkualitas, tidak hanya secara wawasan keilmuan, akan tetapi kader bangsa yang juga berkualitas secara moral (al-akhlak al-karimah). Untuk itu diperlukan

sebuah pengembangkan Satuan pendidikan sebagai wahana pembinaan dan pengembangan karakter kebangsaan. Upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Unswagati mengacu kepada kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional di dalam mengembangkan grand design pendidikan karakternya. Grand design ini menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaiannya. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosialkultural tersebut dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). C. Tujuan Pendidikan Karakter Kebangsaan Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (18691966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan. Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparde, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi5. Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte6. Pendidikan bertujuan untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur. Rakyat Indonesia melalui majelis perwakilannya menyatakan, bahwa pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia, diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, dan mandiri, sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya, serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

5 6

Sutangsa,Peran Guru dalam Pendidikan Karakter, UPI Bandung, 2011 hlm 12 Ibid

Pendidikan Karakter kebangsaan mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari atas berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku kebudayaan, dan beraneka ragam kepentingan perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan. Dengan demikian, perbedaan pemikiran, pendapat, atau kepentingan diatas melalui keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. D. Pendidikan Karakter Kebangsaan di Perguruan Tinggi Umum: Sebagai Dasar Nilai dan Pedoman Berkarya Bagi Lulusan Perguruan Tinggi

Pendidikan abad 21 yang disepakati oleh 9 menteri pendidikan dari Negara-negara berpenduduk terbesar di dunia, termasuk Indonesia di New Delhi 1996, diharapkan dapat berperan secara efektif dalam hal : 1. mempersiapkan pribadi, sebagai warga Negara dan anggota masyarakat yang bertanggung jawab; 2. menanamkan dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bagi kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan hidup; dan 3. menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada penguasaan, pengembangan, dan penyebaran ilmu pengetahuan, teknologi dan seni demi kepentingan kemanusiaan.

Senada dengan hal di atas, Konferensi Dunia tentang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh UNESCO di Paris pada tahun 1998, yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 140 negara termasuk Indonesia, menyepakati perubahan pendidikan tinggi ke masa depan yang bertumpu pada pandangan, bahwa tanggung jawab pendidikan tinggi adalah :

1. selain meneruskan nilai-nilai, transfer ilmu pengetahuan teknologi dan seni, juga melahirkan warga negara yang berkesadaran tinggi tentang bangsa dan kemanusiaan; 2. mempersiapkan tenaga kerja masa depan yang produktif dalam konteks yang dinamis; dan 3. mengubah cara berfikir, sikap hidup dan perilaku berkarya individu maupun kelompok masyarakat dalam rangka memprakarsai

perubahan sosial yang berkaitan dengan perubahan ke arah kemajuan, adil dan bebas. Sejalan dengan kesepakatan dunia telah disebutkan diatas, pendidikan nasional Indonesia melakukan penyesuaian yang dituangkan dalam Ketetapan MPR No. VII Tahun 2001, bahwa visi Indonesia 2020 adalah bertujuan terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Menurut Malik Fajar (1999), masyarakat Indonesia yang memanifestasikan wujud visi Indonesia 2020 disebut sebagai masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang memiliki keadaban demokratis atau masyarakat yang berkarakter sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. Beriman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Pancasilais. Demokratik, berkeadaban, menghargai perbedaan, keragaman pendapat dan pandangan. Mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan, dan tidak diskriminatif. Sadar serta tunduk pada hukum dan ketertiban. Mampu berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik, memiliki keahlian, keterampilan kompetitif dengan solideritas universal. Menjunjung tinggi nilai-nilai luhur masyarakat beradab dan demokratis. yang mengakar pada

6. 7.

Belajar yang berlangsung sepanjang hayat, membangun warga negara berkeadaban.

UU No. 20 Tahun 2003 memberikan rumusan tentang Visi Indonesia 2020 berupa masyarakat warga yang berkeadaban (civil siciaty / masyarakat madani) yang hendak diwujudkan melalui pendidikan nasional sebagai berikut: Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai visi Indonesia 2020, pendidikan tinggi nasional Indonesia memiliki program jangka menengah yang disebut Visi Pendidikan Tinggi Nasional 2010, sebagai berikut : 1. Mengembangkan kemapuan intelektual mahasiswa untuk menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab bagi kemampuan bersaing bangsa mencapai kehidupan yang bermakna.

2.

Membangun suatu sisten pendidikan tinggi yang berkontribusi dalam pembangunan masyarakat yang demokratik, berkeadaban dan inklusif, serta menjaga kesatuan dan persatuan nasional.

Pancasila harus menjadi core phylosophy bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara demokratis, dalam rangka mewujudkan masyarakat warga yang berkeadaban. Berdasarkan itu semua, perguruan tinggi umum harus mampu menghasilkan manusia yang unggul secara intelektual, anggun secara moral, kompeten dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan seni, serta memiliki komitmen tinggi untuk berbagai kegiatan pemenuhan amanat sosial tersebut. Pelembagaan atau sebut saja internalisasi karakter suatu bangsa hanya akan berhasil bila menerapkan model pendidikan yang relevan dan bersungguh sungguh sebagai suatu sistem, sehingga karakter dapat dilembagakan sebagai norma ideologi atau paling tidak implementasi dari ideologi negara. Prinsip long life education yang sudah menjadi kesepakatan para ahli merupakan kebutuhan dan prasyarat pembentukan karakter manusia. Tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Adapun karakter bangsa Indonesia yang dijiwai kelima sila Pancasila secara utuh dan komprehensif (Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025) dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Bangsa yang Berke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antar umat beragama sehingga terciptanya tatanan dalam kehidupan antar umat beragama Selain itu juga, berke-Tuhan-an Yang Maha Esa adalah bentuk kesadaran dan perilaku iman dan takwa serta akhlak mulia sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia.Karakter Berke-Tuhan-an Yang Maha Esa tercermin antara lain dalam sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan; saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu; tidak memaksakan agama dan kepercayaanya itu kepada orang lain. b. Bangsa yang Menjunjung Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya. Oleh karena itu sikap dan perilaku menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab diwujudkan dalam perilaku

saling menghormati antarwarga negara sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kemanusiaan seseorang tercermin antara lain dalam pengakuan atas persamaan derajat, hak, dan kewajiban; saling mencintai; tenggang rasa; tidak semenamena terhadap orang lain; gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; berani membela kebenaran dan keadilan; merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia; serta mengembangkan sikap saling menghormati dan saling menghargai antar sesama manusia. c. Bangsa yang Mengedepankan Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Nilai persatuan indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa indonesia. Untuk itu komitmen dan sikap yang selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan Indonesia di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kebangsaan seseorang tercermin dalam sikap menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan; rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara; bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta menjunjung tinggi bahasa Indonesia; memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. d. Bangsa yang Demokratis dan Menjunjung Tinggi Hukum dan Hak Asasi Manusia Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan. Dengan demikian sikap dan perilaku demokratis yang dilandasi nilai dan semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan merupakan karakteristik pribadi warga negara Indonesia. Karakter kerakyatan seseorang tercermin dalam perilaku yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara; tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; beritikad baik dan bertanggung jawab dalam melaksanakan keputusan bersama; menggunakan akal sehat dan nurani luhur dalam melakukan musyawarah; berani mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta nilai-nilai kebenaran dan nilai-nilai keadilan. e. Bangsa yang Mengedepankan Keadilan dan Kesejahteraan

Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah ataupun batiniah. Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundangundangan lainnya. Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental penyelenggaraan negara Indonesia. Komitmen dan sikap untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter keadilan sosial seseorang tercermin antara lain dalam perbuatan yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan; sikap adil; menjaga keharmonisan antara hak dan kewajiban; hormat terhadap hakhak orang lain; suka menolong orang lain; menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain; tidak boros; tidak bergaya hidup mewah; suka bekerja keras; menghargai karya orang lain. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional sedang mendapat ujian yang cukup berat dan berarti, kebenarannya mulai diragukan dan praktis tidak berdaya menghadapi fenomena gejolak sosial di masyarakat. Keraguan tersebut muncul akibat tidak berfungsinya norma, nilai dan kaidah normatif, termasuk law inforcement yang lemah, bahkan nilai keagamaan pun nyaris tidak berdaya dan terkalahkan oleh hal-hal yang bersifat pragmatis. Kondisi tersebut memicu timbulnya cara berfikir yang merefleksikan kemerosotan watak, mental, dan etika kebangsaan; mentalitas berorientasi pada kekuatan dan kekerasan, persepsi yang sempit, dangkal dan tertutup, kritik dan perbedaan pendapat diposisiskan sebagai pertentangan dan mendorong kekuatan radikalisme bersinergi dengan faham fundamentalisme, lihat kekerasan di Pandegelang Banten kasus Akhmadyah, orang bersorak sorai, tepuk tangan ketika berhasil membunuh manusia. Cerminan watak, mental, dan sikap demikian berpengaruh terhadap upaya penciptaan identitas dan karakter bangsa, terutama berkaitan dengan proses demokratisasi. Jika Pancasila tetap dipersepsikan sebagai bagian dari paradigma lama dan tidak dijadikan pedoman dan rambu-rambu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka upaya ke arah berkembangnya karakter bangsa dipastikan bakal terkendala. Karakter bangsa masih diwarnai karakter patron, partisipasii politik rendah dibanding dengan mobilitas politik yang dijalankan elite politik. Kemajemukan masyarakat Indonesia yang dipengaruhi globalisasi sosial budaya melalui media komunikasi, telekomukasi dan informasi rentan munculnya konflik sosial.

Karakter suatu bangsa ditanamkan kepada warga negara sebagai suatu norma yang melekat dengan ideologi nasional bangsa itu. Ideologi merupakan prinsip dan norma yang dipegang dan berlaku dalam masyarakat dan merupakan motivasi untuk menentukan tindakan. Ideologi sebagai keseluruhan prinsip atau norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang meliputi berbagai aspek, seperti sosio-politik, ekonomi, budaya dan hankam. Ideologi adalah merupakan keseluruhan prinsip dan norma atau motivasi dalam bertindak. Ideologi menentukan tingkah laku kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Di sini, ideologi berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kenegaraan. Ideologi sebagai karakter bangsa merupakan suatu konsensus atau kesepakatan bersama yang dilakukan oleh masyarakat dalam suatu negara sehingga menjadi nilai dasar bagi masyarakat. Di dalam ideologi terdapat gagasan-gagasan yang tersusun secara sistematis dan menyeluruh dan dapat membangkitkan motivasi bagi masyarakat untuk membangun negaranya. Selain itu ideologi dapat dikaitkan sebagai sistem paham mengenai dunia yang mengandung teori perjuangan dan dianut kuat oleh para pengikutnya menuju cita-cita sosial tertentu dalam kehidupan. Pancasila sebagai dasar etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diberdayakan melalui kebebasan akademik untuk mendasari suatu sikap mental atau attitude. Kebebasan akademik adalah hak dan tanggung jawab seseorang akademisi. Hak dan tanggung jawab itu terkait pada susila akademik, yaitu sebagai berikut 7 : a. Curiosity, dalam arti terus menerus mempunyai keinginan untuk mengetahui hal-hal baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tidak mengenal titik henti yang dampak dan pengaruhnya dengan sendirinya juga terhadap pengembangan etika. b. Wawasan, luas dan mendalam dalam arti bahwa nilai-nilai etika sebagai norma dasar bagi kehidupan suatu bangsa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak terlepas dari unsur-unsur budaya yang hidup dan berkembang dengan ciri-ciri khas yang membedakan bangsa itu dari bangsa lain. c. Terbuka, dalam arti luas bahwa kebenaran ilmiah adalah sesuatu yang tentative, bahwa kebenaran ilmiah bukanlah sesuatu yang hanya sekali ditentukan dan bukan sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat, yang implikasinya ialah bahwa pemahaman suatu norma etika tidak hanya tekstual melainkan juga kontekstual untuk diberi makna baru sesuai dengan kondisi actual yang berkembang dalam masyarakat. d. Open mindedness, dalam arti rela dan dengan rendah hati (modest) bersedia menerima kritik dari pihak lain terhadap pendirian atau sikap intelektualnya.7

Syahrial Syarbaini,Pendidikan Pancasila sebagai Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa,hlm 35,Grahalia Jakarta 2011

e. Jujur, dalam arti menyebutkan setiap sumber atau informasi yang diperoleh dari pihak lain dalam mendukung sikap atau pendapatnya. f. Independent, dalam arti bertanggung jawab atas sikap dan pendapatnya, bebas dari tekanan atau kehendak yang dipesankan oleh siapapun dan dari manapun.

Pancasila sebagai core philosophy bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga memahami etika yang sarat dengan nilai-nilai filsafati, jika tidak dilandasi dengan pemahaman segi-segi filsafatnya, maka yang kita tangkap hanyalah segi-segi fenomenalnya saja tanpa menyentuh inti hakikinya. Untuk berhasilnya perilaku bersandarkan pada norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai berikut ini8 : a. Proses penanaman dan pembudayaan etika tersebut hendaknya menggunakan bahasa agama dan bahasa budaya sehingga menyentuh hati nurani dan mengundang simpati dan dukungan seluruh masyarakat. Apabila sanksi moral tidak lagi efektif, langkah-langkah penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan konsisten. b. Proses penanaman dan pembudayaan etika dilakukan melalui pendekatan komunikatif, dialogis, dan persuasif, tidak melalui pendekatan cara indoktrinasi. c. Pelaksanaan gerakan nasional etika berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat secara sinergik dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh potensi bangsa, pemerintah ataupun masyarakat. d. Perlu dikembangkan etika-etika profesi, seperti etika profesi hukum, profesi kedokteran, profesi ekonomi, dan profesi politik yang dilandasi oleh pokok-pokok etika ini yang perlu ditaati oleh segenap anggotanya melalui kode etik profesi masing-masing. e. Mengkaitkan pembudayaan etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat sebagai bagian dari sikap keberagaman, yang menempatkan nilai-nilai etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di samping tanggung jawab kemanusiaan juga sebagai bagian pengabdian pada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan dasar itu semua, maka perguruan tinggi harus mampu menghasilkan manusia yang unggul secara intelektual, anggun secara moral, kompeten dalam penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta memiliki komitmen tinggi untuk berbagai kegiatan pemenuhan amanat nasional. E. Urgensi Pembangunan Karakter Kebangsaan

8

Ibid

Kita bisa Kehilangan seorang pemimpin dan kehilangan perekonomian, yang berarti hanya kehilangan seorang dan sesuatu saja dan semuanya dapat di bangun kembali akan tetapi ketika kita kehilangan karakter bangsa berarti kehilangan segala-galanya sebagai suatu bangsa (Yudi Latief)9 Perlu kiranya kita pahami kalimat di atas. Hal ini merupakan sebuah pukulan berat bagi bangsa ini, mengapa demikian? Mudah saja bagi kita menguraikan dengan cara kesadaran pada diri dan sekitar kita tanpa adanya sebuah hipnotis dari seorang Romy Rafael. Sederhana saja kita melihat keadaan bangsa ini pascaperguliran reformasi tidak semakin membaik. Bahkan menjadi semakin terpuruk. Perang Ideologi dari berbagai macam pergulatan politik semakin memberikan warna indah dan warna pelangi sehingga menjadikan bangsa ini menuju bangsa yang tidak berkeperimanusian dan tidak beradab. Patut kiranya kita sadari bahwa reformasi yang semestinya berjalan di atas norma dan etika demokrasi pada kenyataannya lebih mirip arena adu pembenaran diri, dengan memanfaatkan berbagai macam media masa yang cenderung provokatif dan agitatif, sehingga situasi dan kondisi semakin tidak kondusif. Perjuangan kelompok/golongan dengan label demi kebebasan telah melahirkan aneka konflik kepentingan, baik yang bersifat horisontal maupun vertikal. Pada dasarnya sebuah proses reformasi merupakan sebuah proses reinventing and rebuilding (menciptakan kembali dan membangun kembali) akan sebuah terciptanya konsolidasi bangsa Indonesia menuju masyarakat demokratis yang memiliki kesadaran korektif guna kembali menata kehidupannya kembali. Tujuan akhiri proses ini adalah menjadikan masyarakat menjadi lebih baik demi pencapaian tujuan dan citacita nasional bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Sudah seharusnya reformasi merupakan sebuah perubahan yang sistematis dan terukur. Namun, pada tataran empirik dapat diindikasikan bahwa reformasi ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan semula. Diawali dari krisis moneter, berlanjut ke krisis ekonomi, krisis sosial budaya, dan akhirnya menjalar ke krisis politik. Akibat dari krisis politik yang terjadi, banyak pelanggaran etika politik dan berakibat meningkatnya tindakan kriminal di dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Indonesia kehilangan orientasi tata nilai, nilai-nilai luhur dalam budaya kita hilang. Identitas dan karakter ciri khas nasional perlu dipertanyakan kredibilitasnya. Perubahan yang terjadi di dunia terasa begitu cepat, sehingga seluruh tatanan yang ada di dunia ikut berubah. Sementara tatanan yang baru belum terbentuk. Sekitar 10 tahun terakhir rakyat Indonesia merasakan semakin lunturnya rasa kebangsaan.

9

Menyamai Karakter Bangsa Perlukah Keteladanan Pejabat, dalam Kompas,Jumat 15 Januari 2010

Rasa memiliki terhadap Indonesia makin kendur. Bahkan semakin hari semakin tidak mendapat tempat di hati anak bangsanya sendiri. Dalam hal sepanjang pemerintahan Orde Baru, dalam diri anak-anak negeri ini ditanamkan nilai-nilai luhur ideologi Pancasila dan UUD 1945. Selain itu juga arti semboyan Bhineka Tunggal Ika terus-menerus dikumandangkan. Kita pun dengan bangga menyebut diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di sisi lain, tuntutan pemekaran wilayah yang dianggap sebagai wujud kebebasan ekspresi lokal, dalam praktiknya telah berkembang semakin luas dan semakin sulit dikendalikan. Hal tersebut dapat dijadikan bukti bahwa reformasi yang mengusung ide pembaharuan ternyata telah membawa bangsa ini ke dalam cara berpikir yang semakin mengecil dan sempit10. Primodialisme atas dasar kesukuan maupun keagamaan tumbuh untuk saling menunjukkan eksistensinya. Mosaik Indonesia retak dan membelah masyarakat dan bangsa. Bangsa yang dahulu dikenal yang paling sopan di dunia mengalami krisis identitas. Berbagai unsur perekat yang mempersatukan kebinekaan bangsa ini kian longgar. Sirnanya rasa kebangsaan akan kebangsaan menjadi luntur. Hampir dari sebagian rakyat Indonesia melupakan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Pada era saat ini, sebagaian rakyat Indonesia menjadikan Bhineka Tunggal Ika hanya sebagai semboyan atau jargon tanpa makna. Semboyan Bhineka Tungggal Ika hanyalah sebuah slogan politik bagi segelintir atau sekelompok orang dengan dalih menuju Indonesia baru. Gerakan-gerakan itu menjalar hampir tanpa hambatan karena sepanjang era Reformasi rakyat Indonesia mengabaikan untuk tidak mengatakan melupakan Pancasila sebagai dampak reformasi yang dinilai kebanyakan orang kebablasan. Akibat dari itu semua secara langsung telah mengubah perilaku (behavior) masyarakat menjadi sangat kurang menghormati kaidahkaidah kehidupan yang pluralis. Selain itu juga wawasan tentang kebangsaan dan NKRIpun mengalami nasib serupa dan lambat laun hilang dari kesadaran anak-anak bangsa sendiri11. Pengotak-kotakkan masyarakat berdasarkan sentimen primordial, seperti agama, merupakan suatu isu yang mudah sekali dibakar. Bahkan, mulai muncul pengkaplingan tempat tinggal (perumahan) berdasarkan agama, suku dan bahasa. Sedangkan adanya kebijakan transmigrasi pada era Orde Baru, menjadikan salah satu tujuannya membentuk masyarakat Indonesia yang multikultural tanpa membeda-bedakan darimana dia berasal. Mereka bahkan curiga dan merasa menghadapi ancaman. Padahal, justru kecurigaan dan kekhawatiran inilah yang telah menimbulkan konflik dan aksi-aksi kekerasan yang cukup marak di Indonesia akhir-akhir ini.10 11

Kompas 2007Serba serbi Otonomi Daerah dan Permasalahannya

Anhar Gonggong dalam Diskusi Terbatas, Perspektif Sejarah atas Demokrasi Indonesia, 11 September 2002, di Bappenas, oleh Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi

Perlu disadari bahwa pluralitas adalah suatu keniscayaan, sehingga ini harus direspons dengan arif dan bijaksana. Pandangan multikulturalisme lebih menyukai kebebasan, sehingga mampu mempertahankan keragaman budaya. Hal ini karena keragaman budaya ini tidak saja lebih menjamin kemajuan, tetapi juga keindahan. Pluralisme, dalam konteks keindonesiaan, mudah dipahami sebagai Bhineka Tunggal Ika, beraneka ragam tetapi satu. Di sinilah pluralisme bersambung dengan Pancasila. Fakta sejarah membuktikan bahwa Indonesia dibangun di atas keserberagaman suku, adat istiadat, agama, bahasa, bahkan ideologi. Kebinekaan adalah salah satu ciri utama bangsa Indonesia. Founding Fathers menerima dan mengakuinya sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk menjamin keberlangsungannya, mereka menggelorakan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kita pun, sebagai ahli waris bangsa Indonesia, punya kewajiban untuk menghidupi semboyan itu. Tanpa mengakui fakta itu, mustahil negara bernama Indonesia ini bisa bertahan hingga kini12. Salah satu ancaman serius terhadap keutuhan NKRI dewasa ini, selain masalah korupsi dan kemiskinan, adalah upaya pengingkaran terhadap pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (ideologi Pancasila, konstitusi UUD Negara RI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika)13. Jika saja keadaan bangsa ini dibiarkan terus larut ke dalam situasi sebagaimana gambaran di atas, serta tanpa upaya nyata untuk segera mengatasinya, dapat dipastikan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menjadi semakin rapuh. Bagaimanakah caranya memunculkan kembali karakter bangsa kita sebagai ide dasar yang tercantum dalam 4 (empat) pilar? Karakter bangsa Indonesia akan muncul pada saat seluruh komponen bangsa menyatakan perlunya memiliki perilaku kolektif kebangsaan yang unik dan baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa serta bernegara dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang bangsa Indonesia. Krisis jati diri bangsa yang paling mencekam muncul dalam sikap antipluralisme di kalangan sekelompok anak bangsa. Sebagian besar masyarakat, terutama kelompok-kelompok dominan, masih tidak memahami prinsip- prinsip pluralisme dan multikulturalisme. Dalam hal ini sangatlah bertentangan dengan Konsensus Nasional sebagai manifestasi kehendak untuk bersatu maupun sebagai satu kesatuan karakter atau jati diri bangsa Indonesia14 Kondisi saat ini menuntut perlunya pemahaman terhadap empat pilar kebangsaan itu dan pengamalannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, upaya sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan12 13 14

Komisi VIII anggot DPR RI, Menemukan Kembali Indonesia Yang Hilang, Sinar Harapan 2010 ibid ibid

bernegara oleh 670 anggota MPR patut mendapat dukungan. Sasarannya utamanya adalah supaya pada saatnya nanti pemahaman terhadap empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi lebih baik. Pemahaman yang lebih baik atas empat pilar tersebut akan menjadi modal dasar bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita luhur dan masa depan yang lebih baik. Hanya dengan cara itu kita menemukan kembali Indonesia yang hilang dari sanubari anak-anak negeri ini15. Apabila kesadaran kebangsaan tidak pernah terpaterikan di dalam sanubari setiap warga negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta berkehidupan kebangsaan yang bebas hanya akan menjadi kenangan sejarah. Artinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun dengan konsep 4 (empat) pilar kebangsaan akan hilang dari muka bumi,dan tercabikcabik oleh semangat disintegrasi. Oleh karena itu, kita, bangsa Indonesia, membutuhkan dan harus terus merawat pilar-pilar kebangsaan itu. Hanya dengan kesadaran itu, Indonesia dapat membangun suatu masyarakat terbuka yang menjadi basis bagi pengembangan paham multikulturalisme. Karena dengan keterbukaan, berbagai unsur masyarakat bisa saling memahami, saling belajar, dan saling memanfaatkan dalam kerja sama maupun persaingan yang sehat. Sejarah perjalanan bangsa dalam menerapkan konsep tentang karakter bangsa, secara nasional telah tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945, melalui pemikiran genius founding fathers kita. Founding fathers telah merumuskan secara antisipatif cita-cita nasional (national ideas) berupa negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Selain itu juga telah digariskan tujuan nasional (national goals), untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Konsensus dasar, yang merupakan aspek partikularistik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, mempunyai peran penting, yakni antara lain merupakan fungsi perekat (adhesive function) persatuan, sebagai measurement guide lines (pengukuran garis panduan) dalam mengelola ketahanan nasional, elemen prediktibilitas dalam hubungan antar bangsa (predictability elements) dan sarana menegakkan kedaulatan (sovereignty) yang di samping mengandung privilege atau hak istimewa untuk mengatur hak penegakan hukum di wilayah negara juga harus ada tanggung jawab pada dunia serta sebagai peringatan dini (early warning) kepada pemerintah, bahwa persoalan-persoalan seperti masalah keragaman beragama,masalah HAM, masalah persatuan dan kesatuan, berdemokrasi, masalah keadilan sosial merupakan permanent constraint (kendala yang permanen) Indonesia. Untuk itu, perlu kiranya dikelola dengan sungguhsungguh16. Filter atau ambang batas15 16

Opcit,Sinar Harapan 2011 Sukarno dan perjuangan kemerdekaan, diterj.oleh: Hasan Basari / Bernhard Dahm, Hasan Basari.-- Jakarta : LP3ES, 1987. Judul asli : Sukarno and the struggle for Indonesian

(threshold) atau batas pembenaran (margin of appreciation) yang harus digunakan untuk menyeleksi nilai-nilai globalisasi adalah nilai lokal atau nilai partikularistik bangsa Indonesia yang ekstrapluralistik telah mengalami seleksi internal sebelum dan sesudah kemerdekaan dan mengkristal menjadi karakter nasional (national character) berupa 4 (empat) konsensus dasar bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, prinsip NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, selain itu juga pada era sekarang diperlukan sebuah karakter pemerintahan (governmental character) sebagai nilai-nilai dasar demokrasi17. Untuk itu perlu kiranya dihayati baik secara konseptual tentang studi strategis yang selalu memasukkan karakter nasional dan karakter pemerintahan sebagai salah satu determinan utama kekuatan nasional (national power) atau ketahanan nasional (national resilience) yang sangat strategis. Jika hal ini kurang diantisipasi, lambat laun akan mengancam kekuatan harkat, martabat dan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia. Untuk itu kita perlu mengimbangi dengan pemahaman dan penghayatan yang mendalam atas nilainilai luhur yang terdapat pada 4 (empat) pilar kebangsaan. Di sinilah pentingnya kita melakukan revitalisasi terhadap 4 (empat) pilar kebangsaan dalam dunia pendidikan, karena bagaimanapun karakter dan identitas bangsa Indonesia harus mengacu kepada konsesus dasar tersebut. F. Konsepsi Pembangunan Karakter bangsa dan Dinamika Pendidikan Nasional. 1. Konsepesi Pembangunan Karakter Bangsa Perlu kita ketahui bahwa sejarah pendidikan formal di Indonesia dimulai semenjak zaman Belanda, kita tentu akan bertanya bagaimanakah pendidikan kita sebelumnya? sebelum pendidikan ala barat dikenalkan di Indonesia, pada saat nusantara masih dikendalikan oleh raja-raja. Sulit jika kita mencari sebuah refensi tentang bagaimanakah proses pendidikan pada era tersebut. Akan tetapi perlu kita akui masyarakat pada era tersebut memiliki sebuah peradaban yang cukup maju, artinya pada era tersebut pendidikan non formal menjadikan masyarakat yang memiliki karakter kebudayaan yang kuat dalam membangun kehidupannya. Seperti halnya jika kita melihat candi Borobudur atau Prambanan tidaklah mungkin bangunan semacam itu dibangun oleh orang-orang yang bukan berpendidikan, bangunan tersebut pastilah dibangun dengan seorang arsistek atau konseptor yang handal serta dibantu dengan para tenaga ahli yang profesional dalam bidangnya. Pada masa Hindu-Budha pendidikan mulai dilihat dikenal dengan sistem karyan merupakan sebuah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi19. Dalam hal ini jika kita tarik benang merahnya bahwa sistem pendidikan Hindu-Budha pada era tersebut lebih1817 18

Muladi Artikel National Charaktter,2010 Karyan dibagi menjadi sebuah tempat untuk segala kegiatan keagamaan yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta,murid dan para pengikutnya. Selain itu juga sebagai tempat penggodokan calon-calon pemimpin dan elite kerajaan (pemerintah) ( Fathul Muim, Pendidikan Berkarakter, hlm 79, Yogyakarta, Arus Media 2011) 19 Ibid hlm 77

diarahkan pada pembentukan karakter yang disandarkan pada penyerahan diri kepada dewa untuk kebijaksanaan, melalui penggemblengan diri agar terlatih menjadi manusia yang memiliki moral, welas asih dan bijak. Ketika Islam datang di Nusantara, membawa sebuah pengaruh peradaban di era tersebut, sehinggga model pendidikan membawa pengaruh dan mengalami akulturasi dengan pendidikan yang sudah ada sebelumnya. Pendidikan Islam juga mengenal istilah mengasingkan diri dengan sebutan istilahnya Uzlah atau yang saat ini dikenal dengan model pendidikan pondok pesantren. Pada era penjajahan Belanda memunculkan sebuah sekolah modern, dengan tetap tanpa meninggalkan atau mengubah sturktur sosial agar sesuai dengan kebutuhan dari bangsa penjajah tersebut. Hanya saja pada era penjajahan ini, sekolah modern lebih diwajibakan untuk mempelajari bahasa Belanda, hal ini bertujuan untuk mempermudah antara pribumi dan Belanda dapat berkomunikasi dengan baik. Pada masa inilah pendidikan karakter di desaian untukmenciptakan ketertundukan dan kepatuhan anak-anak pribumi, khususnya para priyayi-priyayi terhadap penjajah Belanda, mengapa demikian? sebab pada era tersebut masih terasa kental budaya kerajaan yang masih kuat dengan ketertundukan rakyat pada kaum bangsawan. Bagi penduduk pribumi bahwa pendidikan modern dirasakan sebuah berkah karena telah mampu melepaskan diri dari kegelapan zaman lama, seperti pepetah RA Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang. Dengan pendidikan modern, bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dilakukan dengan cara lisan seperti halnya sebuah dongeng dan cerita legenda, akan tetapi perlunya sebuah pengenalan huruf, aksara dan buku-buku sebagai sumber bacaan yang menambah wawasan dan wacana sehingga dapat membantu rakyat mengembangkan imajinasi terhadap kehidupannya secara lebih maju lagi. Pendidikan didefinisikan sebagai usaha terencana untuk membangun lingkungan belajar dan proses pembelajaran, sehingga para anak didik dapat secara giat mengembangkan potensi masing-masing guna memperbaiki taraf kerohanian, kesadaran, kepribadian, kecerdasan, keetisan, dan kekreatifan yang sesuai bagi masing-masing, bagi sesama warga negara, maupun bagi bangsa. Untuk itu bahwa pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah ideologi kebangsaan yang ada. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip tersebut akan menyebabkan peserta didik yang tidak memahami dan mengerti akan sebuah ideologi bangsanya sendiri. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal jati diri bangsanya dengan baik, sehingga ia menjadi orang asing dan terjebak oleh pemikiran-pemikiran ideologi yang menyesatkan. Sehingga dampak akses bagi kaum muda yang tidak mengenal akan sebuah

ideologi bangsanya sendiri akan cenderung menjadi acuh,pragmatis serta antipati akan sebuah persoalan-persoalan yang ada disekitarnya. Dalam pandangan Notonagoro20, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah perwujudan dari asas perikemanusiaan yang adil dan beradab, dan bersama semua asas yang terkandung dalam Pancasila. Dalam hal ini merupakan sebuah bentuk landasan ideologis yang dapat diterapkan pada kegiatan pendidikan, pengajaran dan kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan bangsa Indonesia. Mengenai pandangan Notonagoro tersebut, selaras dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 22 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mendiknas menyatakan bahwa mulai tahun ajaran 2011/2012 ingin mewujudkan dalam kegiatan nyata, bahwa pendidikan berbasis karakter bisa dijadikan gerakan nasional, mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga Perguruan Tinggi, termasuk pendidikan Nonformal dan Informal. Lebih lanjut Muhammad NUH mengemukakan, bersamaan dengan gerakan pendidikan berbasis Karakter, sekaligus menyiapkan generasi Indonesia 2045 dan dimulai dengan memberikan perhatian khusus pada PAUD dan nantinya, merekalah yang akan melanjutkan pembangunan Bangsa dan Negara Republik Indonesia21. Sedangkan menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara (1889-1959), sebagaimana dikutip dalam pidato Mohammad Nuh (2010), pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Ini pertanda bahwa antara budi pekerti (akhlak, moral, etika), pikiran (wawasan pengetahuan) dan tubuh peserta didik harus berjalan seiring-seirama dalam proses pendidikan sebagai modal mencerdaskan dan memajukan peradaban bangsa. Untuk memenuhi cita-cita tersebut, pendidikan yang berkarakter Ideologi Kebangsaan dibangun atas prinsip dan semangat nilai-nilai dari 4 (empat) pilar kebangsaan tersebut, sehingga penting kiranya untuk direalisasikan sebagai salah satu tahapan membentuk kepribadian peserta didik yang benar-benar berjiwa nasionalis dan religius. Pandangan lain yang diutarakan Wamendiknas dalam rembug nasional Pendidikan Karakter di UPI dengan tema Membangun Karakter Bangsa dengan Wawasan Kebangsaan sebagai berikut : Bahwa Arti penting pendidikan karakter bagi bangsa dan Negara. Pendidikan karakter sangat erat dan dilatar belakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,20 21

Mubyarto, Perlunya Pendidikan Karakter di2004:45 ibid

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai dari fitrah yang diberikan ilahi, yang kemudian membentuk jati diri dan perilaku. Dalam prosesnya sendiri fitrah ilahi ini dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, sehingga lingkungan memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan perilaku. Bahwasanya sekolah dan perguruan tinggi sebagai bagian dari lingkungan memiliki peranan yang sangat penting22. Selain itu, Wamendiknas menganjurkan agar setiap sekolah dan seluruh lembaga pendidikan memiliki school culture , di mana setiap sekolah memilih pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk. Wamendiknas pun berpesan, agar para pemimpin dan pendidik lembaga pendidikan tersebut dapat mampu memberikan suri teladan mengenai karakter tersebut. Untuk itu, hendaknya pendidikan karakter ini tidak dijadikan kurikulum yang baku, melainkan dibiasakan melalui proses pembelajaran23. Mengenai sarana-prasarana, pendidikan karakter ini tidak memiliki saranaprasaran yang istimewa, karena yang diperlukan adalah proses penyadaran dan pembiasaan.Perihal pengembangannya sendiri, Wamendiknas melihat bahwa kearifan lokal dan pendidikan di pesantren dapat dijadikan bahan rujukan mengenai pengembangan pendidikan karakter, mengingat ruang lingkup pendidikan karakter sendiri sangatlah luas24. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana yang mengandung dasar filosofi pendidikan : Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Pendidikan harus mampu mengembangkan budaya dan karakter bangsa, apalagi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama, yang terkenal dengan istilah multikulturalisme (Pidato Mohamad Nuh: 2010). Mahatma Gandhi menyatakan, salah satu dosa sosial yang mematikan adalah education without character. Pendidikan nasional harus melihat persoalan di atas sebagai sesuatu yang sangat strategis. Sebab, salah satu fungsi pendidikan nasional menurut UU No 20 Tahun 2003 adalah membentuk watak serta peradaban. Bahkan di tingkat pendidikan tinggi, bisa langsung dikaitkan dengan disiplin ilmu, kebebasan akademis, budaya akademis dan kejujuran intelektual serta etika profesi masing-masing bidang keilmuan. Dengan demikian,22

Yoggi Herdani , Pendidikan Karakter Sebagai Pondasi Kesuksesan Peradaban Bangsa, Thursday, 03 June 2010 ,www.dikti.com 23 ibid 24 Ibid

intelektual Indonesia tidak justru menjadi predator bagi bangsa dan negaranya, seperti melakukan korupsi, kejahatan perbankan, terorisme, malapraktik, pelacuran intelektual dan sebagainya25. Pada dasarnya pendidikan berkarakter selaras dengan tujuan nasional pendidikan Indonesia yang tercantum dalam Pasal 3 UU Nomor 20 tahun 2003. Pasal tersebut mengatur mengenai sistem pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pasal ini dapat dilihat bahwa pendidikan karakter sudah mulai diperkenalkan walaupun demikian pendidikan karakter pada implementasinya tidak akan dimasukkan menjadi kurikulum yang baku, melainkan dikembangkan melalui tindakan dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Maka dari itu, setiap lembaga pendidikan diharapkan untuk membiasakan pendidikan karakter dalam kesehariannya sehingga dapat menciptakan peserta didik yang memiliki ideologi Kebangsaan yang kuat. Pendidikan berbasis kebangsaan yang dimaksud, setidaknya mempunyai tugas untuk mencetak kader-kader bangsa yang berkualitas, tidak hanya secara wawasan keilmuan, akan tetapi kader bangsa yang juga berkualitas secara moral (al-akhlak al-karimah). Pendidikan yang berkarakter Ideologi Kebangsaan sangat erat hubungannya dengan perasaan nasionalis masyarakatnya. Oleh sebab itu, pendidikan yang memiliki karakter Ideologi Kebangsaan perlu dimaknai sebagai sarana penguatan rasa cinta tanah air pada peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan karakter ini harus disinergikan dengan pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Kewarganegaraan dan serta Ilmu Budaya Dasar. Dengan demikian upaya untuk menjadikan karakter bangsa sebagai norma bagi kehidupan masyarakat harus diawali oleh adanya kemauan politik (political will) pemerintah terlebih dahulu26. Secara substansial rusaknya karakter berkebangsaan, beragama, dan berbudaya telah masuk ke semua lapisan masyarakat, seperti halnya unjuk rasa yang menimbulkan aksi anarkis, tawuran pelajar dan mahasiswa, kriminalitas setiap hari menjadi ditayangankan, di sisi yang lain kemiskinan dan kebodohan masih terhampar luas di negeri ini dan menjadi tontonan menarik di televisi 27. 2. Dinamika Pendidikan Nasional Dalam dinamika proses pendidikan tidaklah lepas dari aspek sejarah akan sebuah proses pendidikan yang diperoleh masyarakat. Perlu kiranya kita ketahui bagaimana mendapat pendidikan secara formal dan non formal yang diperoleh masyarakat. Dalam hal perjalanan waktunya bahwa sejarah membuktikan

25 26 27

Muladi Artikel National Charaktter,2010 Fachri Ali,Aspek Politik Kebijakan Publik dan Demokrasi Pengalaman ORBA,Komunal:jakarta;2006 Hlm 1 Wijaya Kusuma,Pergulatan Perjalanan Reformasi,UII Yogyakarta;2006,hlm 20

pendidikan tak dapat dipisahkan dari sejarah masyarakat didalamnya, terutama sejarah tentang perkembangan sosio-ekonominya. Sudah barang tentu kiranya perkembangan pendidikan suatu masyarakat ditentukan oleh sejauh mana kekuatan produktif dapat di tata dengan baik. Mengapa demikian?. Dalam setiap kehidupan masyarakat memiliki sebuah kekuatan sosio ekonomi yang sama, begitu juga sebaliknya dalam menerima pendidikan bagi masyarakat yang dikatagorikan ekonomi lemah hanya mengandalakan dari sebuah bentuk pengalaman ataupun pengetahuan yang di dapat pada kesehariannya. Jika anda bertanya apa manfaat pendidikan, maka jawabannya sederhana : Pendidikan membuat orang menjadi lebih baik dan orang baik tentu berperilaku mulia (Plato, 428-347 SM) Kalimat filosofi di atas merupakan pandangan yang sangat idealis akan sebuah pembentukan karakter manusia, bahwa pendidikan merupakan bentuk awal dari manusia dalam menghasilkan ide dan meraih cita-cita di dunia ini. Dalam hal ini pendidikan masih di pandangan sebagai cara untuk membuat manusia menjadi baik, bijak dan pendidikan menghasilakan manusia-manusia yang mendukung berjalannya masyarakat ideal. Tidak dipungkiri bahwa adanya sebagian orang yang merasa tak puas terhadap dunia pendidikan, baik akses, proses maupun hasilnya. Ivan Illich misalnya, adalah pemikir humanis radikal yang dalam bukunya deschooling society (masyarakat tanpa sekolah), menurutnya bahwa sekolah yang terlembagakan hanya memasung kebebasan dan perkembangan manusia, selain itu juga sekolah dianggapnya sama sekali tak memadai bagi perkembangan anakanak dan kaum muda, bahkan cenderung orang-orang yang berwatak tidak baik justru banyak yang lahir dari pendidikan formal28. Seorang sastrawan besar di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan secara tegas, Janganlah Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah, bahwa seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya manusia, apalagi kalau guru itu sendiri seorang bandit, bisa dibayangkan akan sebuah pendidikan di negeri ini29. Kalimat pernyataan dari seorang Pramoedya merupakan kalimat yang sangat menyakitkan bagi kalangan akademisi sekaligus menjadikan sebuah kajian pelajaran buat dunia pendidikan di negeri ini. Kita tak perlu menutup-nutupi realitas kenyataan yang ada tak perlu lagi bermain pada wilayah citra (imalogi). Tujuan pendidikan memang bercita-cita mulia yang harus dihormati, termasuk menghormati lembaga dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di dalamnya. Mungkin saja bagi orang yang tak mau berpikiran realistis dan menerima28 29

Ivan Illich, Bebas dari sekolah, (jakarta: Sinar Harapan-Yayasan Obor Indonesia,1982) Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, (Jakarta: Lentera Dipantara,2006), hlm 291

kenyataan secara terbuka dan lapang dada, bahwa pernyataan Pramoedya terkesan melecehkan dunia pendidikan dan kehormatan seorang akademisi. Namun, kalau kita mau menempatkan pernyataan tersebut merupakan sebuah kritikan terhadap dunia pendidikan, kata-kata tersebut seharusnya dijadikan sebuah evaluasi diri bersama khususnya bagi kalangan akademisi. Fenomena yang terjadi pada beberapa tahun ke belakang, banyak sekali kejahatan terhadap anak didik yang dilakukan di dalam kalangan akademisi (dosen/guru), seperti halnya akademisi yang terkenal malas mengajar, dan menganggap peserta didiknya sebagai musuh, ada juga perlakuan yang kasar bahkan memperkosa anak didiknya sendiri. Hal ini sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, bahkan fenomena ini hampir disetiap daerah ada. Seorang akademisi yang baik adalah seorang yang mampu memberikan sebuah inpirasi muridmuridnya, sehingga mereka benar-benar bisa tumbuh menjadi manusia yang mengarah pada kebaikan karakter seperti halnya memiliki kejujuran, kedisiplinan, kecerdasaan dan menjadi manusia yang produktif pada saat terjun ke dunia masyarakat. Tidak ada sebuah perubahan jika tidak adanya sebuah kritikan yang di dasari ketidakpuasan atas kondisi yang ada. Penghinaan dan penindasan mental oleh kalangan akademisi yang tak mau pedulu bahkan cenderung mementingkan diri sendiri akan membawa sebuah kehancuran bagi benak kaum muda. Apa jadinya dunia pendidikan yang seharusnya menjadi sebuah tempat guna mencetak anak bangsa menjadi tidak mutu dan tidak memiliki karakter yang kuat untuk membangun sebuah bangsa. Jika kita tilik dari pengalaman sejarah bangsa, pendidikan karakter sesungguhnya bukan hal yang baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia. Beberapa pendidik Indonesia modern yang kita kenal, seperti R.A.kartini, Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Moh. Natsir dan lain-lain. Telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka alami. Dengan caranya masing masing, mereka mencoba membayangkan dan menggas sebuah bangsa yang memiliki identitas. Kalo kita mau menegok sedikit ke belakang dan melihat bagimana awal munculnya kebankitan nasional, kita akan menemukan bahwa bangsa ini terbentuk bukan terutama karena praksis pejuangan melawan penjajah yang tersebar secara sporadic di seluruh tanah air.Kemerdekan kita berawal dari sebuah ide dan gagasan. Ide dan gagasan ini dimulai dari hasil perantauan mental para pemikir dan candekiawan kita pejuangkan dengan kerja keras, melalui perjuangan sengit yang megorbankan banyak nyawa dan harta,tanpa ada pemikiran tentang siapa diri kita ini, perjuangan dan perlawanan tidak akan ada. G. Pancasila Sebagai Dasar dan Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Pada dasarnya manusia dapat hidup sempurna dalam hubungan dan pergaulan dengan sesamanya. Hal ini berarti bahwa ada beberapa yang perlu

dikembangkan pada proses hubungan dan pergaulan antar sesesama sehingga kehidupan yang aman,tertib dan sejahtera. Ketika terbentuknya sebuah komunitas terbesar dalam bentuk negara, maka masyarakat membentuk hukum dasar dalam bermasyarakat yang berasal dari kebiasaan dan atau perjanjian antara kelompok yang ada di dalamnya telah disepakati. Adapun aktualisasi Pancasila sebagai dasar etika, tercermin dalam sila-silanya, yaitu sebagai berikut : Sila Pertama: menghormati setiap orang atau warga Negara atas berbagai kebebasannya dalam menganut agama dan kepercayaannya masingmasing, serta menjadikan ajaran-ajarannya sebagai panutan untuk menuntun maupun mengarahkan jalan hidupnya.

Sila Kedua: menghormati setiap orang dan warga Negara sebagi pribadi (persona) utuh sebagi manusia, manusia sebagai subjek pendukung, penyangga, pengemban serta pengelola hak-hak dasar kodrati, merupakan suatu keutuhan dengan eksistensi dirinya secara bermartabat.

Sila Ketiga: bersikap dan bertindak adil dalam mengatasi segmentasisegmentasi atau primodialisme sempit dengan jiwa dan semangat Bhineka Tunggal Ika, yaitu bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan.

Sila Keempat: kebebasan, kemerdekaan, kebersamaan, dimiliki dan dikembangkan dengan dasar musyawarah untuk mencapai mufakat secara jujur dan terbuka dalam menata berbagai aspek kehidupan.

Sila Kelima: membina dan mengembangkan masyarakat yang berkeadilan social yang mencakup kesamaan derajat (equality) dan pemerataan (equity) bagi setiap orang atau setiap warga Negara.

Sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan integral dan integrative menjadikan dirinya sebagai referensi kritik social kritis, komprehensif serta sekaligus evaluative bagi pengembangan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Konsekuensi dan implikasinya ialah bahwa norma etis yang mencerminkan satu sila akan mendasari dan mengarahkan silasila lain.

Selain itu juga, upaya lain dalam mewujudkan pancasila sebagai sumber nilai adalah dengan menjadikan nilai dasar Pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai pancasila adalah nilai moral. Oleh karena itu, nilai pancasila juga dapat diwujudkan kedalam norma-norma moral (etik). Norma-norma etik tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa indonesia saat ini sudah berhasil merumuskan norma-norma etik sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma etik tersebut bersumber pada pancasila sebagai nilai budaya bangsa. Rumusan norma etik tersebut tercantum dalam ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang etika Kehidupan Berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai pancasila sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat, adapun Etika yang ada di dalam nilai-nilai Pancasila adalah sebagaimana berikut ini 30: a. Etika Sosial dan Budaya

Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan tolong menolong di antara sesama manusia dan anak bangsa. Senafas dengan itu juga menghidupkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, perlu dihidupkan kembali budaya keteladanan yang harus dimulai dan diperlihatkan contohnya oleh para pemimpin pada setiap tingkat dan lapisan masyarakat. b. Etika Pemerintahan dan Politik

Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan agar para pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.30

Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila sebagai Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa, Ghalia Indonesia, hlm 14 :2009

c.

Etika Ekonomi dan Bisnis

Etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh pribadi, institusi maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi, dapat melahirkan kiondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan bersaing, serta terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usahausaha bersama secara berkesinambungan. Hal itu bertujuan menghindarkan terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang bernuansa KKN ataupun rasial yang berdampak negatif terhadap efisiensi, persaingan sehat, dan keadilan; serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan. d. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Etika penegakan hukum dan berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan keasadaran bahwa tertib sosial, ketenangan, dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang ada. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi hukum sejalan dengan menuju kepada pemenuha rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. e. Etika Keilmuan dan Disiplin Kehidupan

Etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tingghi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu berpikir rasional, kritis, logis dan objektif. Etika ini etika ini ditampilkan secara pribadi dan ataupun kolektif dalam perilaku gemar membaca, belajar, meneliti, menulis, membahas, dan kreatif dalam menciptakan karya-karya baru, serta secara bersama-sama menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya etika maka nilai-nilai pancasila yang tercermin dalam norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara dapat kita amalkan. Nilai-nilai pancasila selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangan yang ada. Perundang-undangan, ketetapan, keputusan, kebijaksanaan pemerintah, program-program pembangunan, dan peraturanperaturan lain pada hakikatnya merupakan nilai instrumental sebagai penjabaran dari nilai-nilai dasar pancasila. Dengan de