resusitasi jantung paru

15
RESUSITASI JANTUNG PARU http://veniwulandari.blogspot.com/2009/01/ resusitasi-jantung-paru.html diakses tgl 25 april 2010 Diposkan oleh VENI WULANDARI di 04:32 Henti jantung dan henti nafas bukanlah kejadian yang sering terjadi walaupun di Rumah Sakit. Pada banyak kasus sebenarnya kematian mendadak sebagai akibat sroke infark, kelebihan dosis obat dan trauma hebat, dapat dicegah bila tindakan resusitasi dilakukan secara tepat. Setiap tenaga kesehatan harus menguasai teknik resusitasi jantung paru. Pada tahun 1974, The American Association menerbitkan penuntun pertama teknik bantuan hidup ini kemudian direvisi pada tahun 1980, tahun 1986 di negara lain mengikutinya. Pengajaran resusitasi jantung paru (RJP) dibagi dalam 3 fase, yaitu : 1. Bantuan Hidup Dasar (BDH). 2. Bantuan Hidup Lanjut (BHL). 3. Bantuan Hidup Jangka Lama. Dan dalam 9 langkah dengan menggunakan huruf abjad dari A sampai I. Fase I : untuk oksigenasi darurat, terdiri dari : (A) Airway Control : penguasaan jalan nafas.

Upload: ahmad-albugisy

Post on 09-Dec-2015

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RESUSITASI JANTUNG PARU

RESUSITASI JANTUNG PARU

http://veniwulandari.blogspot.com/2009/01/resusitasi-jantung-paru.html diakses tgl 25 april 2010

Diposkan oleh VENI WULANDARI di 04:32

Henti jantung dan henti nafas bukanlah kejadian yang sering terjadi

walaupun di Rumah Sakit. Pada banyak kasus sebenarnya kematian

mendadak sebagai akibat sroke infark, kelebihan dosis obat dan trauma

hebat, dapat dicegah bila tindakan resusitasi dilakukan secara tepat. Setiap

tenaga kesehatan harus menguasai teknik resusitasi jantung paru. Pada

tahun 1974, The American Association menerbitkan penuntun pertama teknik

bantuan hidup ini kemudian direvisi pada tahun 1980, tahun 1986 di negara

lain mengikutinya.

Pengajaran resusitasi jantung paru (RJP) dibagi dalam 3 fase, yaitu :

1. Bantuan Hidup Dasar (BDH).

2. Bantuan Hidup Lanjut (BHL).

3. Bantuan Hidup Jangka Lama.

Dan dalam 9 langkah dengan menggunakan huruf abjad dari A sampai

I.

Fase I : untuk oksigenasi darurat, terdiri dari :

(A) Airway Control : penguasaan jalan nafas.

(B) Breathing Support : ventilasi bantuan dan oksigen paru darurat.

(C) Circulation Support : pengenalan tidak adanya denyut nadi dan

pengadaan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, penghentian

perdarahan dan posisi untuk syok.

Fase II : untuk memulai sirkulasi spontan terdiri dari :

(D) Drugs and Fluid Intravenous Infusion : pemberian obat dan cairan

tanpa menunggu hasil EKG.

(E) Electrocardioscopy (Cardiography).

Page 2: RESUSITASI JANTUNG PARU

(F) Fibrillation Treatment : biasanya dengan syok listrik (defibrilasi).

Fase III : untuk pengelolaan intensif pasca resusitasi, terdiri dari :

(G) Gauging : menetukan dan memberi terapi penyebab kematian dan

menilai sejauh mana pasien dapat diselamatkan.

(H) Human Mentation : SSP diharapkan pulih dengan tindakan

resusitasi otak yang baru dan

(I) Intensive Care : resusitasi jangka panjang.

A. FASE I (BANTUAN HIDUP DASAR)

Bila terjadi nafas primer, jantung terus dapat memompa darah selama

beberapa menit dan sisa O2 yang berada dalam paru darah akan terus

beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada korban dengan

henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat mencegah henti jantung. Bila

terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan O2 yang tersisa dalam

organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti jantung dapat disertai

dengan fenomena listrik berikut : fibrilasi fentrikular, takhikardia fentrikular,

asistol ventrikular atau disosiasi elektromekanis.

Penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan resusitasi meliputi

posisi pembukaan jalan nafas buatan dan kompresi dada luar dilakukan

kalau memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat. Setiap

langkah ABC RJP dimulai dengan penentuan tidak ada respon, tidak ada

nafas dan tidak ada nadi.

Pada korban yang tiba- tiba kolaps, kesadaran harus segera ditentukan

dengan tindakan goncangan atau teriak yang terdiri dari menggoncangkan

korban dengan lembut dan memanggil keras.

Page 3: RESUSITASI JANTUNG PARU

Bila tidak dijumpai tanggapan hendaknya korban diletakkan dalam

posisi terlentang dan ABC BHD hendaknya dilakukan. Sementara itu

mintalah pertolongan dan bila mungkin aktifitaskan sistem pelayanan medis

darurat.

a. Airway (Jalan Nafas)

Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior

faring adalah merupakan persoalan yang sering timbul pada pasien yang

tidak sadar dengan posisi terlentang. Resusitasi tidak akan berhasil bila

sumbatan tidak diatasi. Tiga cara telah dianjurkan untuk menjaga agar jalan

nafas tetap terbuka yaitu dengan metode ekstensi kepala angkat leher,

metode ekstensi kepala angkat dagu dan metode angkat dagu dorong

mandibula, dimana metode angkat dagu dorong mandibula lebih efektif

dalam membuka jalan nafas atas daripada angkat leher.

Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi

kepala juga merupakan metode paling aman

untuk memelihara jalan nafas atas tetap

terbuka, pada pasien dengan dugaan patah

Page 4: RESUSITASI JANTUNG PARU

tulang leher. Bila korban yang tidak sadar bernafas spontan dan adekuat

dengan tidak ada sianosis, korban sebaiknya diletakkan dalam posisi mantap

untuk mencegah aspirasi. Bila tidak diketahui atau dicurigai ada trauma

kepala dan leher, korban hanya digerakkan atau dipindahkan bila memang

mutlak diperlukan karena gerak yang tidak betul dapat mengakibatkan

paralisis pada korban dengan cedera leher. Disini teknik dorong mandibula

tanpa ekstensi kepala merupakan cara yang paling aman untuk membuka

jalan nafas, bila dengan ini belum berhasil dapat dilakukan sedikit ekstensi

kepala.

b. Breathing (Pernafasan)

Setelah jalan nafas terbuka, penolong

hendaknya segera menilai apakah pasien

dapat bernafas spontan atau tidak. Ini dapat

dilakukan dengan mendengarkan gerak nafas

pada dada korban. Bila pernafasan spontan

tidak timbul kembali diperlukan ventilasi

buatan.

Untuk melakukan ventilasi mulut ke mulut penolong hendaknya

mempertahankan kepala dan leher korban dalam salah satu sikap yang telah

disebutkan diatas dan memencet hidung korban dengan satu tangan atau

dua kali ventilasi dalam. Kemudian

segera raba denyut nadi karotis atau

femoralis. Bila ia tetap henti nafas tetapi

masih mempunyai denyut nadi diberikan

ventilasi yang dalam sebesar 800 ml

sampai 1200 ml setiap 5 detik.

Bila denyut nadi karotis tidak teraba, dua

kali ventilasi dalam harus diberikan sesudah tiap 15 kompresi dada pada

resusitasi yang dilakukan oleh seorang penolong dan satu ventilasi dalam

sesudah tiap 5 kompresi dada pada yang dilakukan oleh 2 penolong. Tanda

Page 5: RESUSITASI JANTUNG PARU

ventilasi buatan yang adekuat adalah dada korban yang terlihat naik turun

dengan amplitudo yang cukup ada udara keluar melalui hidung dan mulut

korban selama respirasi sebagai tambahan selama pemberian ventilasi pada

korban, penolong dapat merasakan tahanan dan pengembangan paru

korban ketika diisi.

Pada beberapa pasien ventilasi mulut ke hidung mungkin lebih efektif

daripada fentilasi mulut ke mulut. Ventilasi mulut ke stoma hendaknya

dilakukan pada pasien dengan trakeostomi. Bila ventilasi mulut ke mulut atau

mulut ke hidung tidak berhasil baik walaupun jalan nafas telah dicoba dibuka,

faring korban harus diperiksa untuk melihat apakah ada sekresi atau benda

asing.

Pada tindakan jari menyapu, korban hendaknya digulingkan pada

salah satu sisinya. Sesudah dengan paksa membuka mulut korban dengan

satu tangan memegang lidah dan rahangnya, penolong memasukkan jari

telunjuk dan jari tengah tangan yang lain kedalam satu sisi mulut korban

dalam satu gerakan menyapu. Bila tindakan ini gagal untuk mengeluarkan

benda asing, hendaknya dikerjakan hentakan abdomen atau hentakan dada,

sehingga tekanan udara dalam abdomen meningkat dan akan mendorong

benda untuk keluar.

Hentakan dada dilakukan pada korban yang terlentang, teknik ini

sama dengan kompresi dada luar. Urutan yang dianjurkan adalah:

1. Berikan 6 sampai 10 kali hentakan abdomen.

2. Buka mulut dan lakukan sapuan jari.

3. Reposisi pasien, buka jalan nafas dan coba beri ventilasi buatan dapat

dilakukan dengan sukses.

Bila sesudah dilakukan gerak tripel (ekstensi kepala, buka mulut dan

dorong mandibula), pembersihan mulut dan faring ternyata masih ada

sumbatan jalan nafas, dapat dicoba pemasangan pipa jalan nafas. Bila

dengan ini belum berhasil perlu dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak

mungkin atau tidak dapat dilakukan intubasi trakheal, sebagai alternatifnya

Page 6: RESUSITASI JANTUNG PARU

adalah krikotomi atau fungsi membrane krikotiroid dengan jarum berlumen

besar (misal dengan kanula intravena 14 G). Bila masih ada sumbatan di

bronkhus maka perlu tindakan pengeluaran benda asing dari bronkhus atau

terapi bronkhospasme dengan aminophilin atau adrenalin.

c. Circulation (Sirkulasi)

Bantuan ketiga dalam BHD adalah menilai dan membantu sirkulasi.

Tanda- tanda henti jantung adalah:

1. Kesadaran hilang dalam waktu 15 detik setelah henti jantung.

2. Tak teraba denyut nadi arteri besar (femoralis dan karotis pada orang

dewasa atau brakhialis pada bayi).

3. Henti nafas atau megap- megap.

4. Terlihat seperti mati.

5. Warna kulit pucat sampai kelabu.

6. Pupil dilatasi (45 detik setelah henti jantung)

7. Tidak ada nadi yang teraba pada

arteri besar, pemeriksaan arteri

karotis sesering mungkin merupakan

tanda utama henti jantung. Diagnosis

henti jantung dapat ditegakkan bila

pasien tidak sadar dan tidak teraba

denyut arteri besar. Pemberian

ventilasi buatan dan kompresi dada

luar diperlukan pada keadaan sangat

gawat.

Korban hendaknya terlentang pada permukaan yang keras agar kompresi

dada luar yang dilakukan efektif. Penolong berlutut di samping korban dan

meletakkan sebelah tangannya diatas tengah pertengahan bawah sternum

korban sepanjang sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari dari persambungan

episternum. Tangan penolong yang lain diletakkan diatas tangan pertama,

Page 7: RESUSITASI JANTUNG PARU

jari- jari terkunci dengan lurus dan kedua bahu tepat diatas sternum korban,

penolong memberikan tekanan ventrikel ke bawah yang cukup untuk

menekan sternum 4 sampai 5 cm.

Setelah kompresi harus ada relaksasi, tetapi kedua tangan tidak boleh

diangkat dari dada korban, dianjurkan lama kompresi sama dengan lama

relaksasi. Bila ada satu penolong, 15 kompresi dada luar (laju 80 sampai 100

kali/ menit) harus diikuti dengan pemberian 2 kali ventilasi dalam (2 sampai 3

detik). Dalam satu menit harus ada 4 siklus kompresi dan ventilasi (yaitu

minimal 60 kompresi dada dan 8 ventilasi). Jadi 15 kali kompresi dan 2

ventilasi harus selesai maksimal dalam 15 detik. Bila ada 2 penolong,

kompresi dada diberikan oleh satu penolong dengan laju 80 sampai 100 kali/

menit dan pemberian satu kali ventilasi dalam 1 sampai 1,5 detik oleh

penolong kedua sesudah tiap kompresi kelima. Dalam satu menit minimal

harus ada 60 kompresi dada dan 12 ventilasi. Jadi lima kompresi dan satu

ventilasi maksimal dalam 5 detik.

Kompresi dada harus dilakukan secara halus dan berirama. Bila

dilakkan dengan benar, kompresi dada luar dapat menghasilkan tekanan

sistolik lebih dari 100 mmHg, dan tekanan rata- rata 40 mmHg pada arteri

karotis. Kompresi dada tidak boleh terputus lebih dari 7 detik setiap kalinya,

kecuali pada intubasi trakheal, transportasi naik turun tangga dapat sampai

15 detik. Sesudah 4 daur kompresi dan ventilasi dengan rasio 15 : 2, lakukan

reevaluasi pada pasien. Periksa apakah denyut karotis sudah timbul (5

detik). Bila tidak ada denyut lanjutkan dengan langkah berikut :

Periksa pernafasan 3 sampai 5 detik bila ada, pantau pernafasan dan nadi

dengan ketat. Bila tidak ada lakukan ventilasi buatan 12 kali per menit dan

pantau nadi dengan ketat. Bila RJP dilanjutkan beberapa menit dihentikan,

periksa apakah sudah timbul nadi dan ventilasi spontan begitu seterusnya.

d. Posisi Recovery

Page 8: RESUSITASI JANTUNG PARU

B. FASE II (BANTUAN HIDUP LANJUT)

Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik yang ditujukan untuk

memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi

gangguan irama utama selama henti jantung. Bantuan hidup dasar

memerlukan peralatan khusus dan penggunaan obat. Harus segera dimulai

bila diagnosis henti jantung atau henti nafas dibuat dan harus diteruskan

sampai bantuan hidup lanjut diberikan. Setelah dilakukan ABC RJP dan

belum timbul denyut jantung spontan, maka resusitasi diteruskan dengan

langkah DEF.

a. Drug and Fluid (Obat dan Cairan)

Tanpa menunggu hasil EKG dapat diberikan :

1. Adrenalin : 0,5 – 1,0 mg dosis untuk orang dewasa, 10 mcg/ kg

pada anak- anak. Cara pemberian : iv, intratrakeal lewat pipa

trakeal (1 ml adrenalin diencerkan dengan 9 ml akuades steril,

bukan NaCl, berarti dalam 1 ml mengandung 100 mcg adrenalin).

Jika keduanya tidak mungkin : lakukan intrakardial (hanya oleh

tenaga yang sudah terlatih). Di ulang tiap 5 menit dengan dosis

sama sampai timbul denyut spontan atau mati jantung.

2. Natrium Bikarbonat : dosis mula 1 mEq/ kg (bila henti jantung lebih

dari 2 menit) kemudian dapat diulang tiap 10 menit dengan dosis

0,5 mEq/ kg sampai timbul denyut jantung spontan atau mati

jantung.

Penggunaan natrium bikarbonat tidak lagi dianjurkan kecuali pada

resusitasi yang lama, yaitu pada korban yang diberi ventilasi buatan yang

lama dan efisien, sebab kalau tidak asidosis intraseluler justru bertambah

Page 9: RESUSITASI JANTUNG PARU

dan tidak berkurang. Penjelasan untuk keanehan ini bukanlah hal yang baru.

CO2 yang tidak dihasilkan dari pemecahan bikarbonat segera menyeberangi

membran sel jika CO2 tidak diangkut oleh respirasi.

b. EKG

Meliputi fibrilasi ventrikuler, asistol ventrikuler dan disosiasi elektro

mekanis.

c. Fibrilation Treatment (Terapi Fibrilasi)

Elektroda dipasang disebelah kiri puting susu kiri disebelah kanan

sternum atas, defibrilasi luar arus searah:

200 – 300 joule pada dewasa.

100 – 200 joule pada anak.

50 – 100 joule pada bayi.

C. FASE III (BANTUAN HIDUP JANGKA LAMA ATAU PENGELOLAAN

PASCA RESUSITASI).

Jenis pengelolaan pasien yang diperlukan pasien yang telah

mendapat resusitasi bergantung sepenuhnya kepada resusitasi. Pasien yang

mempunyai defisit neurologis dan tekanan darah terpelihara normal tanpa

aritmia hanya memerlukan pantauan intensif dan observasi terus menerus

terhadap sirkulasi, pernafasan, fungsi otak, ginjal dan hati. Pasien yang

mempunyai kegagalan satu atau lebih dari satu sistem memerlukan bantuan

ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialisis atau resusitasi otak.

Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemik dan

iskemik selama henti jantung adalah otak. Satu dari lima orang yang selamat

dari henti jantung mempunyai defisit neurologis. Bila pasien tetap tidak

sadar, hendaknya dilakukan upaya untuk memelihara perfusi dan oksigenasi

otak. Tindakan ini meliputi penggunaan agen vasoaktif untuk memelihara

tekanan darah sistemik yang normal, penggunaan steroid untuk mengurangi

sembab otak dan penggunaan diuretik untuk menurunkan tekanan

intracranial. Oksigen tambahan hendaknya diberikan dan hiperventilasi

derajad sedang juga membantu.

Page 10: RESUSITASI JANTUNG PARU

D. KEPUTUSAN UNTUK MENGAKHIRI UPAYA RESUSITASI.

Semua tenaga kesehatan dituntut untuk memulai RJP segera setelah

diagnosis henti nafas atau henti jantung dibuat, tetapi dokter pribadi korban

hendaknya lebih dulu diminta nasehatnya sebelum upaya resusitasi

dihentikan. Tidak sadar ada pernafasan spontan dan refleks muntah dan

dilatasi pupil yang menetap selama 15 sampai 30 menit atau lebih

merupakan petunjuk kematian otak kecuali pasien hipotermik atau dibawah

efek barbiturat atau dalam anesthesia umum. Akan tetapi tidak adanya

tanggapan jantung terhadap tindakan resusitasi. Tidak ada aktivitas listrik

jantung selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan

terapi obat yang optimal menandakan mati jantung.

Dalam resusitasi darurat, seseorang dinyatakan mati, jika :

1. Terdapat tanda- tanda mati jantung.

2. Sesudah dimulai resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak timbul ventilasi

spontan dan refleks muntah serta pupil tetap dilatasi selama 15 sampai 30

menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik atau dibawah pengaruh

barbiturat atau anestesia umum.

Dalam keadaan darurat resusitasi dapat diakhiri bila ada salah satu

dari berikut ini:

1. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.

2. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang lebih bertanggung

jawab meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter).

3. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tidak ada dokter

sebelumnya).

4. Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi.

5. Pasien dinyatakan mati

Setelah dimulai resusitasi ternyata diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tak akan pulih (yaitu sesudah setengah atau satu jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP).

Page 11: RESUSITASI JANTUNG PARU