resusitasi jantung paru

36
BAB 1 PENDAHULUAN Kasus henti jantung merupakan kegawatan medik yang paling akut yang sering dihadapi oleh staf medik dan biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda awal sebelumnya. Kasus henti jantung merupakan pembunuh nomor satu di dunia pada orang dewasa dengan usia lebih dari 40 tahun di Amerika Serikat dan negara- negara lainnya. Kasus henti jantung tidak hanya sering terjadi di rumah sakit, namun juga sering terjadi di luar rumah sakit. Diperkirakan terdapat 350.000 kasus kematian akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat mendapatkan pertolongan resusitasi. Pada banyak kasus, sebenarnya kematian mendadak akibat henti jantung dapat dicegah bila tindakan resusitasi dilakukan secara tepat. Itulah sebabnya teknik resusitasi jantung paru harus dapat dikuasai dengan baik untuk meningkatkan angka keselamatan pada kasus kegawatdaruratan medik akibat henti jantung atau henti nafas. Oleh sebab itu, melalui penulisan referat ini, diharapkan setiap tenaga kesehatan dapat mengetahui lebih baik tentang definisi, indikasi, fase dan prosedur resusitasi jantung paru dan melakukan pertolongan yang lebih cepat dan tepat dalam kasus-kasus yang membutuhkan resusitasi jantung paru.

Upload: ernie-yantho

Post on 28-Dec-2015

39 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

RJP

TRANSCRIPT

Page 1: Resusitasi Jantung Paru

BAB 1

PENDAHULUAN

Kasus henti jantung merupakan kegawatan medik yang paling akut yang sering

dihadapi oleh staf medik dan biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda awal sebelumnya.

Kasus henti jantung merupakan pembunuh nomor satu di dunia pada orang dewasa dengan

usia lebih dari 40 tahun di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya. Kasus henti jantung

tidak hanya sering terjadi di rumah sakit, namun juga sering terjadi di luar rumah sakit.

Diperkirakan terdapat 350.000 kasus kematian akibat henti jantung di Amerika dan Kanada.

Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan

tidak sempat mendapatkan pertolongan resusitasi.

Pada banyak kasus, sebenarnya kematian mendadak akibat henti jantung dapat

dicegah bila tindakan resusitasi dilakukan secara tepat. Itulah sebabnya teknik resusitasi

jantung paru harus dapat dikuasai dengan baik untuk meningkatkan angka keselamatan pada

kasus kegawatdaruratan medik akibat henti jantung atau henti nafas.

Oleh sebab itu, melalui penulisan referat ini, diharapkan setiap tenaga kesehatan dapat

mengetahui lebih baik tentang definisi, indikasi, fase dan prosedur resusitasi jantung paru dan

melakukan pertolongan yang lebih cepat dan tepat dalam kasus-kasus yang membutuhkan

resusitasi jantung paru.

Page 2: Resusitasi Jantung Paru

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Resusitasi Jantung Paru

Resusitasi jantung paru merupakan suatu prosedur untuk menjaga oksigenasi dan

sistem sirkulasi sehingga fungsi organ vital sistem pernafasan dan sirkulasi yang mengalami

keadaan henti nafas dan atau henti jantung dapat tetap terjaga dengan baik dan kerusakan sel

akibat kekurangan oksigen tidak terjadi.1

2.2 Indikasi Resusitasi Jantung Paru

2.2.1. Henti Nafas

Henti nafas (respiratory arrest) ditandai dengan tidak adanya gerakan dada

dan aliran udara pernafasan dari korban dan merupakan kasus yang harus dilakukan

tindakan pertolongan segera. Pada awal kejadian henti nafas, oksigen masih dapat

masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung juga masih dapat

menyalurkan darah ke otak dan organ vital lainnya.1,2 Pemberian bantuan resusitasi

dapat membantu menjalankan sirkulasi lebih baik sehingga mencegah terjadinya

kegagalan perfusi. Henti nafas dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya serangan

stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/ uap/ gas, obstruksi jalan nafas oleh

benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang

epiglotis, tercekik (suffocation), trauma, dan lain-lainnya.1

2.2.2. Henti Jantung

Henti jantung (cardiac arrest) adalah keadaan dimana curah jantung tidak

sanggup untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya yang

terjadi secara mendadak. Keadaan ini dapat kembali normal jika dilakukan tindakan

yang tepat, namun jika tidak dilakukan apapun, maka akan menyebabkan kematian

atau kerusakan otak.1,2

Page 3: Resusitasi Jantung Paru

Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardia

tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%), dan terakhir

oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Fibrilasi ventrikel terjadi karena koordinasi

aktivitas jantung yang hilang sementara ventrikel asistol dan disosiasi elektromekanik

disebabkan adanya gangguan pacemaker jantung dan biasanya lebih sulit

ditanggulangi. 1

Henti jantung ditandai oleh tidak terabanya denyut nadi pada pembuluh nadi

besar seperti A. karotis, femoralis, radialis disertai dengan warna kulit kebiruan

(sianosis) atau pucat sekali, pernafasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnea),

dilatasi pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan keadaan pasien yang

tidak sadar.1

2.3. Fase Resusitasi Jantung Paru

2.3.1. Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support)

Bantuan hidup dasar (BHD) atau basic life support (BLS) terdiri dari

pengenalan awal kegawatdaruratan medis, aktivasi sistem tanggap darurat, serta

intervensi yang dilakukan dalam respon terhadap kasus henti jantung mendadak,

serangan jantung, stroke, dan obstruksi jalan nafas akibat benda asing.3 Bantuan hidup

dasar merupakan pemeliharaan jalan nafas dan pemberian dukungan pernafasan serta

sirkulasi tanpa menggunakan peralatan selain alat bantu nafas atau alat proteksi

sederhana. Tujuan bantuan hidup dasar adalah untuk memberikan oksigenisasi darurat

yang efektif kepada organ-organ vital seperti otak dan jantung sampai jantung dan

paru dapat menyalurkan oksigen kembali secara spontan dan normal sehingga tidak

terjadi kerusakan sel akibat kekurangan oksigen.1

Bantuan hidup dasar berupa resusitasi jantung paru yang terdiri atas

penyediaan sirkulasi buatan melalui pijatan jantung (C), pemeliharaan jalan nafas agar

tetap terbuka (Airway), dan pemberian nafas buatan (Breathing).1 Ketika American

Heart Assocation (AHA) menetapkan pedoman resusitasi yang pertama kali pada

tahun 1966, resusitasi jantung paru (RJP) dibuat pada awalnya dengan urutan “A-B-

Page 4: Resusitasi Jantung Paru

C” yaitu membuka jalan nafas korban (Airway), memberikan bantuan napas

(Breathing) dan kemudian memberikan kompresi dinding dada (Circulation). Namun,

urutan ini berdampak pada penundaan bermakna (kira-kira 30 detik) untuk

memberikan kompresi dinding dada yang dibutuhkan untuk menyediakan aliran darah

yang cukup ke jantung dan otak.

Dalam 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary

Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care, AHA menekankan fokus bantuan

hidup dasar pada:

Pengenalan segera pada henti jantung yang terjadi tiba-tiba (immediate

recognition of sudden cardiac arrest [SCA])

Aktivasi sistem respons gawat darurat (activation of emergency

response system)

Resusitasi jantung paru sedini mungkin (early cardiopulmonary

resuscitation)

Defibrilasi segera jika diindikasikan (rapid defibrilation if indicated)

Dalam AHA Guidelines 2010 ini, AHA mengatur ulang langkah-langkah RJP

dari “A-B-C” menjadi “C-A-B” pada dewasa dan anak, sehingga memungkinkan

setiap penolong memulai kompresi dada dengan segera. Sejak tahun 2008, AHA juga

melakukan rekomendasi teknik resusitasi jantung paru sesuai dengan tingkat

kemampuan penolong baik yang sudah terlatih maupun belum terlatih.4

Gambar 1 Sistematika Resusitasi Jantung Paru Berdasarkan Kemampuan Penolong

Page 5: Resusitasi Jantung Paru

Rangkaian bantuan hidup dasar pada dasarnya dinamis, namun sebaiknya tidak

ada langkah yang terlewatkan untuk hasil yang optimal. Berikut ini adalah algoritma

bantuan hidup dasar berdasarkan 2010 American Heart Association Guidelines for

Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovacular Care, yaitu:5

C. Circulation

Metode ini meliputi dua tahap yaitu pertama, penolong memastikan ada

tidaknya denyut jantung pasien/korban dan kedua mengadakan sirkulasi buatan

dengan kompresi jantung paru segera.

Denyut jantung pasien ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah leher

pasien/korban dengan cara dua atau tiga jari penolong meraba pertengahan leher

Page 6: Resusitasi Jantung Paru

sehingga teraba trakea, kemudian digeser ke arah penolong kira-kira 1-2 cm, raba

dengan lembut selam 5 – 10 detik. Bila teraba penolong harus memeriksa pernafasan,

bila tidak ada nafas berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila ada nafas, pertahankan

airway pasien/korban.

Jika dipastikan tidak ada denyut jantung, maka perlu diberikan bantuan

sirkulasi atau kompresi jantung luar. Kompresi dada mendorong terjadinya aliran

darah dengan meningkatkan tekanan intratorakal (thoracic pump) atau secara

langsung mengkompresi jantung (cardiac pump). Sternum pada orang dewasa harus

ditekan dengan kedalaman minimal 2 inchi atau 5 cm karena kompresi memberikan

aliran darah melalui peningkatan tekanan intratorakal dan kompresi secara langsung

pada jantung. Kompresi membuat aliran darah sebagai penghantar oksigen dan energi

ke jantung dan otak. Pada RJP fase awal, aliran darah lebih banyak dipengaruhi

mekanisme pompa jantung. Selama RJP diteruskan, peranan jantung akan semakin

berkurang dan mekanisme pompa dada semakin penting.

Sesuai dengan pentingnya mempertahankan laju dan kekuatan kompresi untuk

menjaga aliran darah, perfusi efektif jantung dan otak paling baik dicapai dengan

kompresi dada yang mengkonsumsi 50% siklus dan 50% lainnya merupakan fase

relaksasi dimana aliran darah kembali ke dada dan jantung. Pengembangan dada pada

RHP yang tidak lengkap dapat menyebabkan tekanan intratorakal yang meningkat Dn

hemodinamik yang menurun secara signifikan, termasuk penurunan perfusi koroner,

indeks jantung, aliran darah miokard, dan perfusi serebral. (AHA bab 5)

Tindakan kompresi yang benar akan menghasilkan tekanan sistolik 60 – 80

mmHg dan diastolik yang sangat rendah. Selang waktu mulai dari menemukan

pasien/korban sampai dilakukan tindakan bantuan sirkulasi harus dilakukan tidak

lebih dari 30 detik.

Kompresi dada dilakukan dengan cara:

Tiga jari penolong (telunjuk,tengah dan manis) menelusuri tulang iga

pasien/korban yang dekat dengan sisi penolong sehingga bertemu

tulang dada (sternum).

Dilakukan perabaan sepanjang costae hingga processus xiphoideus

sternum, kemudian dari tulang dada (sternum) diukur 2- 3 jari ke atas.

Page 7: Resusitasi Jantung Paru

Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong.

Kedua tangan diletakkan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu

telapak tangan di atas telapak tangan yang lain

Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada

pasien/korban dengan tenaga dari berat badannya secara teratur dimana

posisi lengan dan siku juga lurus sebanyak 30 kali dengan kedalaman

penekanan minimal 2 inchi ( 5 cm).

Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan mengembang

kembali ke posisi semula setiap kali kompresi.Waktu penekanan dan

melepaskan kompresi harus sama (50% duty cycle).

Tangan tidak boleh berubah posisi.

Rasio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30:2 baik oleh satu penolong

maupun dua penolong. Kecepatan kompresi adalah minimal 100 kali

per menit.

AHA Guideline 2010 merekomendasikan beberapa hal dalam metode

sirkulasi:5

Kompresi dada dilakukan cepat dan dalam (push and hard)

Kecepatan adekuat minimal 100 kali/menit

Kedalaman adekuat

o Dewasa : 2 inchi (5 cm), rasio 30 : 2 (1 atau 2 penolong)

o Anak : 1/3 AP (± 5 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2

penolong)

o Bayi : 1/3 AP (± 4 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2

penolong)

Memungkinkan terjadinya pengembangan dada seperti semula setelah

kompresi, sehingga waktu kompresi dada sama dengan waktu relakasi

atau pengembangan dada kembali seperti semula.

A. Airway

Selain pemeliharaan jalan nafas, langkah awal pada Airway juga berarti

penilaian awal pada pasien yang meliputi pengenalan awal kegawatdaruratan medis

serta aktivasi sistem tanggap darurat. Kemudian dilakukan evaluasi jalan nafas. Jalan

Page 8: Resusitasi Jantung Paru

napas harus dipastikan terbuka dan bersih sehingga memungkinkan pasien dapat

bernapas secara optimal.7

Pasien diposisikan berbaring telentang pada permukaan rata. Biasanya jalan

nafas terhalang oleh lidah atau epiglottis yang jatuh ke arah posterior dan menyumbat

laring akibat hilangnya tonus otot pada pasien. Jika tidak terdapat indikasi adanya

instabilitas tulang servikal, maka manuver head tilt-chin lift dapat dicoba terlebih

dahulu. Kepala diekstensikan dengan memberikan tekanan satu telapak tangan pada

dahi pasien sementara mandibula ditarik ke depan dengan jari telunjuk dan jari tengah

tangan sebelahnya, untuk mengangkat lidah menjauhi faring posterior.7

Jaw-thrust bisa jadi menjadi cara yang lebih efektif dalam membuka jalan

nafas atau dapat dilakukan pada pasien dengan trauma leher. Jaw-thrust dilakukan

dengan mendorong ramus vertikal mandibula kiri dan kanan ke depan sehingga

barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas atau menggunakan ibu jari masuk

ke dalam mulut korban dan bersama dengan jari-jari yang lain menarik dagu korban

ke depan, sehingga otot-otot penahan lidah teregang dan terangkat.5

AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk menggunakan head tilt-chin

lift untuk membuka jalan napas pada pasien tanpa ada trauma kepala dan leher. Jaw

thrust digunakan jika korban merupakan suspek cedera servikal. Pada pasien suspek

cedera spinal lebih diutamakan dilakukan restriksi manual (menempatkan 1 tangan di

di setiap sisi kepala pasien) daripada menggunakan spinal immobilization devices

karena dapat mengganggu jalan napas tapi alat ini bermanfaat mempertahankan

kesejajaran spinal selama transportasi.5

Gambar 2 Manuver Head Tilt-Chin Lift dan Jaw Thrust

Page 9: Resusitasi Jantung Paru

Obstruksi jalan napas karena benda asing sering terjadi pada anak dan dewasa.

Obstruksi jalan nafas oleh benda asing dapat dipertimbangkan pada korban yang

mengalami henti nafas mendadak dan mengalami sianosis serta penurunan kesadaran.

Oklusi jalan nafas dapat terjadi secara total maupun sebagian. Tanda obstruksi jalan

nafas total adalah kurangnya pergerakan udara meskipun usaha pernafasan sudah ada

dan ketidakmampuan korban untuk berbicara atau batuk. Obstruksi parsial jalan nafas

akan menyebabkan pernafasan dengan mengi yang diikuti dengan batuk. Jika korban

sudah memiliki pergerakan nafas yang baik dan usaha batuk yang cukup, maka tidak

diperlukan intervensi apapun. Namun, jika batuk melemah atau sianosis mulai terjadi,

maka pasien harus segera dilakukan intervensi.6

Jika muntahan atau benda asing terlihat pada mulut pasien yang tidak sadar,

maka benda tersebut harus dikeluarkan dengan jari telunjuk. Benda asing harus

diwaspadai agar tidak sampai terdorong ke dalam laring. Jika pasien sadar atau benda

asing tidak dapat dikeluarkan dengan jari tangan, maka dapat dilakukan manuver

Heimlich. Dorongan abdomen subdiafragmatik dapat mendorong diafragma ke atas,

mengeluarkan kumpulan udara dari paru-paru sehinggga dapat mendorong benda

asing keluar.7 Pada pasien sadar, maneuver dapat dilakukan pada posisi tegak.

Penolong berdiri di belakang pasien, kemudian meletakkan satu tangan yang

mengepal di epigastrium di antara xiphoid dan umbilicus. Kepalan digenggam oleh

tangan lainnya kemudian ditekan ke dalam epigastrium dengan dorongan yang cepat

ke arah atas. Pada pasien tidak sadar, penolong berlutut di antara pasien dan

melakukan tekanan dengan kedua tangan di epigastrium.6 Komplikasi dari maneuver

Heimlich berupa fraktur iga, trauma pada organ dalam seperti laserasi hati dan limpa,

ruptur gaster, serta terjadinya regurgitasi.

Kombinasi

pukulan pada punggung

dengan dorongan pada

dada

Gambar 3 Manuver Heimlich

Page 10: Resusitasi Jantung Paru

direkomendasikan pada balita dengan obstruksi jalan nafas. Pukulan pada punggung

diberikan secara langsung pada tulang belakang bagian toraks di antara kedua skapula

dengan tekanan. Sementara itu, dorongan pada sternum sama seperti Heimlich

maneuver dilakukan dari belakang, hanya saja kepalan tangan diletakkan pada

midsternum. Dorongan pada sternum juga bermanfaat pada orang-orang obesitas dan

wanita dengan kehamilan lanjut.6,7

Jika setelah pembukaan jalan nafas belum terdapat tanda-tanda nafas yang

cukup, penolong dapat memulai ventilasi bantuan dengan menginflasi paru-paru

melalui nafas yang diberikan dari mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke stoma

trakeostomi, atau mulut ke mulut melalui sungkup muka. Nafas diberikan secara

perlahan (waktu inspirasi ½–1 s) dengan volume tidal yang lebih kecil (400–600

mL).5

Dengan ventilasi tekanan positif, dapat terjadi inflasi gaster yang

menyebabkan regurgitasi dan aspirasi. Oleh sebab itu, jalan nafas harus diamankan

dengan tracheal tube (TT), atau jika tidak dapat dilakukan, jalan nafas alternatif harus

dimasukkan seperti esophageal–tracheal Combitube (ETC), laryngeal mask airway

(LMA), pharyngotracheal lumen airway, dan cuffed oropharyngeal airway. 5

Beberapa penyebab obstruksi jalan nafas terkadang tidak dapat diselesaikan

dengan metode konvensional. Intubasi trakea terkadang juga tidak dapat dilakukan

karena beberapa alas an tertentu atau usaha yang berulang bersifat merugikan. Pada

keadaan ini, krikotirotomi atau trakeostomi mungkin diperlukan. Krikotirotomi

meliputi pemasangan kateter intravena yang besar atau melalui suatu kanula ke dalam

trakea melewati garis tengah membran krikotiroid. Lokasi yang tepat ditentukan

melalui aspirasi udara.7

Page 11: Resusitasi Jantung Paru

B. Breathing

Tahap ini meliputi pemberian bantuan nafas sehingga terbentuk ventilasi paru

dan oksigenisasi yang adekuat. Volume tidal yang dibutuhkan berkisar antara 8-10

ml/kg untuk menjaga oksigenisasi normal dan eliminasi karbon dioksida. Selama

resusitasi jantung paru, output jantung berkisar 25% to 33% dari keadaan normal,

sehingga pengambilan oksigen danri paru dan penghantaran oksigen ke paru-paru

juga berkurang. Hasilnya, ventilasi dengan volume tidal dan tingkat pernafasan

yanglebih rendah cukup untuk oksigenisasi dan ventilasi yang efektif. Oleh sebab itu,

pada resusitasi jantung paru orang dewasa volume tidal yang dibutuhkan antara 500

sampai 600 ml (6 to 7 ml/kg) sudah mencukupi dan pengembangan dada juga jelas

terlihat.5

Pasien dengan obstruksi jalan nafas atau komplians paru yang buruk

membutuhkan tekanan lebih tinggi untuk mendapatkan ventilasi yang cukup. Pada

pasien ini, dibutuhkan bantuan resuscitation bag-mask untuk mendapatkan

penghantaran volume tidal yang cukup. 5

Ventilasi yang berlebihan tidak diperlukan karena dapat menyebabkan inflasi

gaster dan menimbulkan komplikasi seperti regurgitasi dan aspirasi. Selain itu,

Gambar 4 Prosedur pelaksanaan krikotirotomi

Page 12: Resusitasi Jantung Paru

ventilasi berlebihan dapat berbahaya karena dapat meningkatkan tekanan intratorakal,

menurukan aliran balik vena ke jantung, dan mengurangi output jantung. Jadi,

penolong harus menghindari terjadinya ventilasi berlebhan baik berupa jumlah nafas

maupun volume nafas yang berlebihan selama resusitasi jantung paru. 5

Pada guideline AHA 2010 untuk resusitasi jantung paru tidak memiliki terlalu

banyak perubahan bila dibandingkan dengan tahun 2005. 5

Nafas pertolongan yang diberikan setiap satu detik.

Pemberian volume tidal yang cukup untuk memproduksi peningkatan

volume dada yang terlihat.

Rasio kompresi : ventilasi = 30:2

Setelah alat intubasi terpasang pada pemberian RJP dengan 2 orang

penolong, ventilasi diberikan setiap 8-10 kali per menit tanpa usaha

sinkronisasi antara kompresi dan ventilasi. Kompresi dada tidak

dihentikan untuk menunggu pemberian ventilasi.

Bantuan nafas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke alat

pembatas nafas (mouth barrier device), mulut ke hidung dan mulut ke stoma( lubang

yang dibuat pada tenggorokan).5

Bantuan nafas mulut ke mulut

Cara ini merupakan cara yang  cepat dan efektif untuk memberikan

ventilasi dan oksigen yang adekuat kepada korban. Cara memberikan bantuan

nafas melalui mulut yaitu membuka jalan nafas korban, menutup hidung

pasien/korban dengan telunjuk dan ibu jari penolong penolong, dan mulut

penolong menutup seluruhnya mulut pasien/korban. Bantuan nafas diberikan

satu kali dalam satu detik, dengan volume nafas reguler. Jika korban dewasa

memiliki sirkulasi spontan yang baik namun membutuhkan bantuan ventilasi,

maka bantuan nafas diberikan sekali tiap 5 sampai 6 detik, atau 10-12 detik per

menit.5

Bantuan nafas mulut ke mouth barrier device

Beberapa tenaga kesehatan dan penolong enggan untuk memberikan

pertolongan bantuan nafas melalui mulut ke mulut dan lebih memilih barrier

device. Risiko penularan penyakit melalui ventilasi mulut ke mulut sebenarnya

Page 13: Resusitasi Jantung Paru

sangat kecil. Hal yang harus diperhatikan adalah penolong hendaknya tidak

menunda kompresi dada saat dilakukan pemasangan barrier device.5

Bantuan nafas mulut ke hidung

Ventilasi dari mulut ke hidung dianjurkan jika ventilasi melalui mulut

korban tidak dapat diberikan dalam situasi-situasi seperti mulut yang tidak bisa

dibuka, korban berada di dalam air, atau penutupan mulut ke mulut sulit

dilakukan. 5

Bantuan nafas mulut ke stoma

Bantuan nafas dari mulut ke stoma diberikan pada korban dengan

stoma trakea. Untuk membentuk penutup yang rapat di sekeliling stoma

digunakan sungkup wajah anak-anak yang berbentuk bulat.5

Ventilasi dengan Bag – Mask

Penolong dapat memberikan ventilasi bag-mask dengan udara ruanagn

atau oksigen. Alat bag-mask memberikan ventilasi tekanan positif tanpa jalur

nafas tambahan, sehingga memungkinkan terjadinya inflasi gaster dan

komplikasinya. Ventilasi bag-mask tidak dianjurkan sebagai metode ventilasi

pada RJP dengan penolong sendiri. Metode ini paling efektif dilakukan oleh

penolong yang sudah terlatih dan berpengalaman sebanyak dua orang. Satu

penolong membuka jalur nafas dan menutup masker ke muka sementara yang

lain memompa, keduanya memperhatikan pengembangan dada yang terlihat.

Penolong biasanya menggunakan bag berukuran 1-2 L untuk

mengantarkan sekitar 600 mL volume tidal untuk korban dewasa. Jumlah ini

biasanya cukup untuk memproduksi pengembangan dada yang jelas dan

menjaga oksigenisasi dan normokarbia pada pasien apnea. Jika

memungkinkan, pemberikan oksigen suplemental dengan konsentrasi 100%

dengan aliran minimal 10 sampai 12 L/menit.5

Ventilasi dengan alat nafas supraglotis

Alat bantu nafas supraglotis seperti LMA atau esophageal-tracheal

combitube dapat menjadi alternatif selain ventilasi bag-mask pada tenaga

kesehatan terlatih dalam memberikan bantuan nafas pada korban dengan gagal

jantung.5

Penekanan krikoid

Page 14: Resusitasi Jantung Paru

Penekanan krikoid merupakan teknik dalam memberikan tekanan pada

karttilago krikoid korban untuk mendorong trakea ke arah posterior dan

mengkompresi esofagus ke vertebra servikal. Penekanan krikoid dapat

mencegah inflasi gaster dan mengurangi risiko regurgitasi dan aspirasi selama

ventilasi bag-mask tapi juga dapat mengganggu ventilasi. Penekanan pada

krikoid dapat digunakan pada beberapa keadaan tertentu seperti membantu

intubasi trakea dalam melihat pita suara. Namun metode ini tidak dianjurkan

secara rutin dalam resusitasi pada pasien dengan gagal jantung.5

Komponen Dewasa Anak-Anak Bayi

Pengenalan Tidak responsif (untuk semua umur)

Tidak bernafas atau

tidak bernafas dengan

normal

Tidak bernafas atau hanya megap-megap

Nadi tidak teraba dalam 10 detik

Urutan RJP CAB CAB CAB

Kecepatan

kompresi100/menit 100/menit 100/menit

Kedalaman

kompresi2 inchi (5cm)

1/3 AP, sekitar 2

inchi (5cm)

1/3 AP, sekitar 1,5

inchi (4 cm)

Interupsi kompresi

Minimalisasi

interupsi hingga < 10

detik

Minimalisasi

interupsi hingga < 10

detik

Minimalisasi

interupsi hingga < 10

detik

Jalan nafasHead tilt-chin lift-jaw

thrust

Head tilt-chin lift-jaw

thrust

Head tilt-chin lift-jaw

thrust

Page 15: Resusitasi Jantung Paru

Rasio

kompresi:ventilasi

30:2 (1 atau 2

penyelamat)

30:2 (satu), 15:2 (2

penyelamat)

30:2 (satu), 15:2 (dua

penyelamat)

Jika penyelamat

tidak terlatihKompresi saja Kompresi saja Kompresi saja

Ventilasi jika

mungkin

1 nafas setiap 6-8

detik, tanpa

menyesuaikan dengan

kompresi, 1 detik

setiap nafas, hingga

dada mengembang

1 nafas setiap 6-8

detik, tanpa

menyesuaikan dengan

kompresi, 1 detik

setiap nafas, hingga

dada mengembang

1 nafas setiap 6-8

detik, tanpa

menyesuaikan dengan

kompresi, 1 detik

setiap nafas, hingga

dada mengembang

Defibrilasi

Gunakan AED

sesegera mungkin,

minimalisasi interupsi

kompresi, lanjutkan

kompresi setelah

setiap kejutan

Gunakan AED

sesegera mungkin,

minimalisasi interupsi

kompresi, lanjutkan

kompresi setelah

setiap kejutan

Gunakan AED

sesegera mungkin,

minimalisiasi

interupsi kompresi,

lanjutkan kompresi

setelah setiap kejutan

Tabel 1 Ringkasan komponen BLS (basic life support) bagi dewasa, anak-anak dan bayi

2.3.2. Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support)

Bantuan hidup lanjut (Advance Life Support) merupakan perpanjangan

bantuan hidup dasar untuk mendukung sirkulasi dan memberikan jalur nafas terbuka

dengan ventilasi adekuat. Bantuan Hidup Lanjut meliputi beberapa hal berikut ini:

D. Drugs

Setelah memberikan resusitasi jantung paru, akses intravena atau intraosseus

harus dilakukan untuk memberikan terapi obat-obatan namun tanpa mengganggu

jalannya resusitasi jantung paru. Tujuan utama terapi farmakologis selama henti

jantung adalah untuk memfasilitasi pengembalian dan pemeliharaan perfusi dari ritme

spontan. 8

Page 16: Resusitasi Jantung Paru

Pemberian obat dapat diberikan dari empat cara yaitu intravena perifer,

intraosseus, intravena sentral, dan melalui endotrakeal. Pada intravena perifer,

pemberian obat-obatan harus diberikan melalui injeksi bolus diikuti dengan bolus 20

ml cairan intravena untuk memfasilitasi aliran obat dari ekstremitas ke sirkulasi

sentral. Pada kanulasi intraosseus, akses pada pleksus vena yg tidak kolaps dapat

tercapai dengan dosis yang sama dengan akses vena perifer. Pemasangan akses

intraosseus dilakukan jika akses intravena tidak dapat dilakukan. Sementara itu, pada

akses intravena sentral, pemasangan dilakukan di vena jugular interna atau subklavia

selama henti jantung, kecuali terdapat kontraindikasi. Manfaat utama dari pemasangan

akses vena sentral adalah konsentrasi puncak obat lebih tinggi dan waktu sirkulasi

obat yang lebih pendek bila dibandingkan dengan obat yang diberikan secara kateter

intravena perifer. Selain itu, intravena sentral juga dapat memantau saturasi oksigen

vena sentral dan mengestimasi tekanan perfusi serebral selama resusitasi jantung paru.

Pada pemberian obat resusitasi melalui trakea konsentrasi dalam darah akan menjadi

lebih rendah bila dibandingkan dengan pemberian intravaskuler, oleh sebab itu dosis

optimal dari pemberian obat melalui endotrakea adalah 2-2,5 kali dosis intravena.

Pemberian epinefrin, vasopressin, dan lidokain dapat dilakukan melalui endotrakea

dalam keadaan resusitasi jantung paru dimana akses intravema atau intraosseus tidak

dapat dilakukan.8

Vasopresor

Penggunaaan vasopresor terbukti berhubungan dengan peningkatan

kejadian pengembalian sirkulasi spontan pada korban henti jantung.

Vasopresor yang banyak digunakan dalam resusitasi jantung paru adalah

epinefrin dan vasopressin.8

o Epinefrin

Epinefrin hidroklorida memberikan manfaat pada pasien

dengan henti jantung, terutama karena efek stimulasi reseptor alfa

adrenergik yang dapat meningkatkan tekanan perfusi serebral selama

resusitasi jantung paru. Namun, nilai keamanan dan efek beta

adrenergik dari epinefrin masih kontroversial karena dapat

meningkatkan kerja miokard dan menurunkan perfusi subendokard.

Pada pasien dewasa dengan henti jantung, epinefrin diberikan dengan

dosis 1 mg intravena atau intraosseus setiap 3 sampai 5 menit.8

Page 17: Resusitasi Jantung Paru

o Vasopresin

Vasopresin merupakan vasokonstriktor perifer nonadrenergik

yang dapat menyebabkan vasokonstriksi koroner dan renal. Dosis

vasopressin 40 unit setiap pemberian melalui intravena atau

intraosseus dapat menggantikan dosis pertama atau kedua epinefrin

pada terapi henti jantung.8

Antiaritmia

Obat antiaritmia meningkatkan tingkat keselamatan jangka pendek

pada pasien dengan henti jantung sebelum dibawa ke rumah sakit.

o Amiodaron

Amiodaron yang diberikan secara intravena mempengaruhi

kanal natrium, kalium, dan kalsium serta memiliki efek

penghambatan alfa dan beta adrenergik. Amiodaron dapat

sipertimbangkan sebagai terapi pada fibrilasi ventrikel atau takikardia

ventrikel tanpa nadi yang tidak responsif dengan pemberian

defibrilasi, resusitasi jantung paru, dan vasopresor. Dosis inisial dari

obat ini adalah 300 mg diberikan intravena atau intraosseus diikuti

dengan dosis 150 mg. 8

o Lidokain

Penggunaan lidokain diteliti memiliki hubungan dengan

perbaikan tingkat jumlah pasien yang mengalami henti jantung yang

dibawa ke rumah sakit. Namun belum ada bukti yang cukup tentang

efek penggunaan lidokain pada fibrilasi ventrikel refrakter yang tidak

responsif terhadap defibrilasi. Lidokain dapat menjadi antiaritmia

alternatif dengan efek samping minimal bila dibandingkan antiaritmia

lainnya meskipun belum terbukti memiliki efek jangka pendek atau

panjang terhadap henti jantung. Lidokain dapat dipertimbangkan jika

amiodaron tidak tersedia. Dosis awal dimulai dengan 1-1,5 mg/kg

dengan pemberian intravena, jika fibrilasi ventrikel tetap terjadi, dapat

diberikan dosis tambahan 0,5-0,75 mg/kg dengan interval 5-10 menit

dengan dosis maksimum 3 mg/kg.8

o Magnesium sulfat

Page 18: Resusitasi Jantung Paru

Pemberian magnesium sulfat secara intravena dibuktikan

dapat menghentikan torsades de pointes (takikardia ventrikel

ireguler / polimorfik dengan pemanjangan interval QT). Magnesium

sulfat tidak efektif untuk takikardia ventrikel dengan interval QT

normal. Magnesium sulfat dapat diberikan secara intravena atau

intraosseus dengan dosis 1-2 gram dilarutkan dengan 10 ml D5W.8

E. ECG

Aritmia merupakan abnormalitas ritme jantung yang serius yang sering

menyebabkan kematian koroner mendadak. Pemantauan melalui elektrokardiografi

harus dilakukan sesegera mungkin pada pasien yang tiba-tiba kolaps atau pasien yang

memiliki gejala iskemia atau infark koroner. Elektrokardiografi dengan 12 lead

dibutuhkan untuk mengetahui diagnosis ritme jantung yang pasti. Elektrokardiografi

dapat dilakukan baik sebelum maupun selama pemberian intervensi farmakologis.9

Jenis aritmia yang harus dikenali pada EKG yaitu:

Normal sinus rhythm

Sinus bradycardia

Tabel 2 Dosis Obat Intravena untuk Bantuan Hidup Lanjut

Page 19: Resusitasi Jantung Paru

Atrioventricular (AV) blocks of all degrees

Premature atrial complexes (PACs)

Supraventricular tachycardia (SVT)

Preexcited arrhythmias (associated with an accessory pathway)

Premature ventricular complexes (PVCs)

Ventricular tachycardia (VT)

Ventricular fibrillation (VF)

Ventricular asystole

F. Fibrillation Treatment

Defibrilasi awal sangat penting diperlukan pada gagal jantung akut karena

beberapa alasan yaitu: 1) ritme jantung awal yang paling sering terjadi sebelum henti

jantung adalah fibrilasi ventrikel, 2) terapi untuk fibrilasi ventrikel adalah defibrilasi,

3) kemungkinan defibrilasi berhasil berkurang seiring berjalannya waktu, 4) fibrilasi

ventrikel sering berkembang menjadi asistol seiring berjalannya waktu.9

Defibrilasi yang dikombinasikan dengan resusitasi jantung paru berupa

kompresi dada meningkatkan angka keberhasilan dari penyelamatan fibrilasi

ventrikel. Pada onset fibrilasi ventrikel, aliran darah mikrovaskuler menurun dalam

waktu 30 detik, kompresi dada mengembalikan aliran darah mikrovaskuler. Jika

penolong memberikan RJP sesegera mungkin, banyak orang dewasa dengan fibrilasi

ventrikel dapat selamat dengan fungsi neurologis intak, apalagi jika defibrilasi

dilakukan antara 5 sampai 10 menit setelah henti jantung akut. RJP memperpanjang

fibrilasi ventrikel, menunda onset asistol, dan memperpanjang waktu untuk

menyiapkan defibrilasi. Tindakan RJP saja tanpa defibrilasi tidak dapat menghentikan

fibrilasi ventrikel dan mengembalikan ritme perfusi.5,9

Page 20: Resusitasi Jantung Paru

Proses defibrilasi mencakup penghantaran energi listrik melalui dinding dada

menuju ke jantung untuk mendepolarisasikan sel-sel miokard dan menghilangkan

fibrilasi ventrikel. Karena defibrilasi merupakan sebuah proses elektrofisiologis yang

terjadi dalam 300-500 milidetik setelah penghantaran energi, maka defibrilasi

didefinisikan sebagai hilangnya fibrilasi ventrikel selama kurang lebih 5 detik setelah

dilakukan kejut listrik.1,9

Defibrillator modern diklasifikasikan berdasarkan dua tipe gelombang yaitu

monofasik dan bifasik. Defibrillator gelombang monofasik menghantarkan energi

dengan satu polaritas sementara defibrillator gelombang bifasik menggunakan satu

dari dua gelombang dan setiap gelombang terbukti efektif untuk menghilangkan

fibrilasi ventrikel dengan dosis tertentu. Saat ini penggunaan defibrillator gelombang

bifasik lebih banyak dipakai karena lebih aman dan efektif untuk menghilangkan

fibrilasi ventrikel. Satu kejut defibrilasi bifasik setara bahkan lebih baik daripada tiga

kali kejut defibrilasi monofasik.1

Lempeng elektroda diletakkan pada dada korban dengan posisi sternoapikal.

Lempeng dada kanan (sternal) diletakkan pada dada bagian supero-anterior bagian

kanan dan lempeng apikal (kiri) diletakkan pada dada bagian infero-lateral kiri.9

Tabel 3 Kebutuhan Energi Defibrilasi

Page 21: Resusitasi Jantung Paru

2.4. Algoritma Resusitasi Jantung Paru pada Keadaan Khusus

2.4.1. Henti Jantung Tanpa Nadi

2.4.2.

Takikardia dengan Nadi

Page 22: Resusitasi Jantung Paru

2.4.3. Bradikardia

Page 23: Resusitasi Jantung Paru

BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Resusitasi jantung paru merupakan usaha bantuan hidup berupa pemberian sirkulasi

dan nafas buatan yang penting dalam kasus kegawatdaruratan medik berupa henti jantung dan

henti nafas. Resusitasi jantung paru berguna untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan

sirkulasi darah ke sistem tubuh terutama organ yang sangat vital dan sensitif terhadap

kekurangan oksigen seperti otak dan jantung. Berhentinya sirkulasi beberapa detik sampai

beberapa menit dapat menyebabkan hipoksia otak yang yang dapat mengakibatkan

kemampuan koordinasi otak untuk menggerakkan organ otonom menjadi terganggu, seperti

gerakan denyut jantung dan pernapasan sehingga dapat menimbulkan kematian biologis.

Page 24: Resusitasi Jantung Paru

Oleh sebab itu, kemampuan melakukan resusitasi jantung paru perlu dikembangkan

dengan baik sehingga usaha bantuan kegawatdaruratan ini dapat dilakukan sebaik mungkin

dan sesegera mungkin untuk mendapatkan hasil yang optimal. Resusitasi jantung paru

sekarang ini tidak hanya dikuasai oleh tenaga kesehatan, namun juga dapat dilakukan oleh

tenaga awam sesuai dengan kemampuannya masing-masing untuk meningkatkan rantai

harapan hidup.

Resusitasi jantung paru sekarang ini berpusat pada C-A-B yaitu Circulation, Airway,

dan Breathing. Resusitasi jantung paru sekarang ini menekankan pada pemberian bantuan

kompresi dada untuk memberikan sirkulasi buatan untuk mengalirkan oksigen ke seluruh

organ tubuh kemudian baru ditambah dengan pemberian bantuan nafas setelah menjaga

terbukanya jalan nafas yang paten. Dengan adanya urutan CAB ini, diharapkan angka

harapan hidup pada kasus henti jantung dan henti nafas semakin besar.

Page 25: Resusitasi Jantung Paru

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA. Suryadi KA. Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Ed ke-2.

Jakarta: Penerbit FKUI; 2007.

2. Alkatiri J. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid I. Ed ke-4. Jakarta: FKUI; 2007. Hal 173-7

3. Miller, R D et al. Miller’s Anesthesia. 7th ed. USA: Elsevier. 2009.

4. Travers AH, et al. Part 4: CPR Overview 2010 American Heart Association

Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.

Circulation. 2010; 122[suppl 3]:S676 –S684.

5. Berg RA, et al. Part 5: Adult Basic Life Support 2010 American Heart Association

Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.

Circulation 2010; 122:S685-S705.

6. Barash PG et al. Clinical Anesthesia. 6th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins.

2009.

7. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th ed. USA: McGraw-Hill Companies.

2006.

8. Neumar RW, et al. Part 8: Adult Advanced Cardiac Life Support 2010 American

Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency

Cardiovascular Care. Circulation 2010; 122[suppl 3]:S729-767.

9. Link MS, et al. Part 6: Electrical Therapies Automated External Defibrillators,

Defibrillation, Cardioversion, and Pacing 2010 American Heart Association

Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.

Circulation. 2010; 122[suppl 3]:S706 –S719.