resumehpi

20
RESUME KONVENSI WINA 1969 & KONVENSI WINA 1986 A. KONVENSI WINA 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian yaitu bagian konsiderans dan bagian isi. Di samping itu terdapat pula annex dan dua deklarasi yaitu Deklarasi mengenai larangan menggunakan paksaan militer, politik, atau ekonomi dalam membuat suatu perjanjian dan Deklarasi mengenai partisipasi universal dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Annex dan deklarasi ini berdiri sendiri terpisah dengan konvensi tersebut. Konsideran tersebut berisi tentang hal-hal sebagai berikut yakni: 1. Konsideran pertama menyatakan bahwa negara-negara yang menjadi peserta atau yang atau yang menjadi pihak dalam perjanjian menakui peranan yang sangat fundamental dari perjanjian-perjanjian internasional dalam sejarah hubungan internasional. 2. Konsideran kedua menyatakan bahwa peranan perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional semakin penting dan perjanjian internasional juga dijadikan dasar dalam memulai hubuan damai antara negara-negara. 3. Konsideran ketiga menyatakan bahwa prinsip-prinsip hukum umum dalam hukum internasional secara tegas diatur dalam

Upload: shaleh-anwar

Post on 14-Jun-2015

1.080 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

hpi

TRANSCRIPT

Page 1: resumehpi

RESUME

KONVENSI WINA 1969 & KONVENSI WINA 1986

A. KONVENSI WINA 1969

Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian yaitu bagian konsiderans dan bagian isi. Di

samping itu terdapat pula annex dan dua deklarasi yaitu Deklarasi mengenai larangan

menggunakan paksaan militer, politik, atau ekonomi dalam membuat suatu perjanjian dan

Deklarasi mengenai partisipasi universal dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian

Internasional. Annex dan deklarasi ini berdiri sendiri terpisah dengan konvensi tersebut.

Konsideran tersebut berisi tentang hal-hal sebagai berikut yakni:

1. Konsideran pertama menyatakan bahwa negara-negara yang menjadi peserta atau yang

atau yang menjadi pihak dalam perjanjian menakui peranan yang sangat fundamental

dari perjanjian-perjanjian internasional dalam sejarah hubungan internasional.

2. Konsideran kedua menyatakan bahwa peranan perjanjian internasional sebagai sumber

hukum internasional semakin penting dan perjanjian internasional juga dijadikan dasar

dalam memulai hubuan damai antara negara-negara.

3. Konsideran ketiga menyatakan bahwa prinsip-prinsip hukum umum dalam hukum

internasional secara tegas diatur dalam konvensi ini. Prinsip-prinsip ini diantaranya

prinsip free consent, prinsip good faith, prinsip pacta sunt servanda.

4. Konsideran keempat menyatakan bahwa perselisihan-perselisihan mengenai perjanjian

internasional diselesaikan secara damai berdasarkan keadilan dan hukum internasional.

5. Konsideran kelima ditujukan kepada rakyat dari PBB bukan ditujukan kepada negara-

negara untuk menciptakan kondisi dimana keadilan dan penghormatan terhadap

kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional dapat dipelihara.

6. Konsideran keenam ditegaskan beberapa prinsip yang harus dipatuhi oleh negara-

negara yakni prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat, prinsip

Page 2: resumehpi

tidak campur tangan urusan dalam negeri negara lain, prinsip penghormatan HAM dan

persamaan manusia,kesemuanya itu biasa disebut prinsip jus cogens.

7. Konsideran ketujuh menunjukan suatukeyakinan dari negara-negara peserta onvensi

bahwa pengembangan progresif dan pengkodifikasian hukum perjanjian internasional

sebagaimana terdapat dalam konvensi, dan ini akan mendorong tercapainya

pemeliharaan perdamaian dan keamanan.

8. Konsideran kedelapan memberian penegasan tentang pengakuan bahwa hukum

kebiasaan internasional khususnya hukum perjanjian internasional yang masih

berbentuk hukum kebiasaan internasional, yang berada di luar konvensi masih

mengatur dan berlaku sebagai hukum.

Substasi Konvensi Wina 1969 meliputi bagian-bagian (Parts)dan masing-masing bagian

terdiri dari pasal-pasal (Articles) dan ada yang dibagi-bagi lagi ke dalam ayat-ayat (Paraghraps)

dan ayat-ayat itu ada pula yang dibagi-bagi lagi ke dalam sub-ayat (sub-Paraghraps). Jadi

Konvensi Wina ini terdapat 8 (delapan) bagian dan ke delapan bagian ini terdiri dari 85 (delapan

puluh lima) pasal. Namun perlu di ingatkan bahwa konvensi ini harus dilihat sebagai satu

kesatuan yang utuh. Berikut ini adala uraian mengenai Konvensi Wina 1969 tersebut.

Bagian pertama adalah bagian pengantar yang terdiri dari lima pasal, dimana Pasal 1

mnjelaskan mengenai istilah-istilah dalam konvensi ini seperti treaty, ratification, acceptance,

approval, accession, full powers, reservation, negotiating State, contracting State, party, third

State, dan international organization. Pasal 2 menyebutkan persetujuan internasional yang

terltak di luar konvensi. Pasal 3 menerangkan bahwa konvensi ini tidak memakai azas non-

retroactive. Serta dalam Pasal 4 dan Pasal 5 menegaskan bahwa perjanjian internasional yang

merupakan dasar bagi terbentuknya organisasi internasional dan perjanjian intrnasional yang di

hasilkan dalam kerangka suatu organisasi intrnasional.

Bagian Kedua mengatur tentang pembuatan dn prumusan dan mulai berlakunya suatu

perjanjian internasional. Dalam Pasal 6 ditegaskan tentang kemampuan negara-negara dalam

membuat perjanjian internasional. Pasal 7 mengatur mengenai Kuasa Penuh yaitu siapa-siapa

pejabat negara dalam membuat suatu perjanjian internasional harus membutuhkan kuasa

Page 3: resumehpi

penuh dari negara atau pemerintah negara tersebut (Pasal 7 ayat 1) dan pejabat-pejabat neara

yang tidak membutuhkan kuasa penuh (Pasal 7 ayat 2).

Dalam Pasal 8 mengatur mengenai pejabat negara sebagaimana dalam Pasal 7 dimana

ketika dalam perundingan tidak ada atau belum diberikan kewenangan untuk itu maka dapat

dimintakan konfirmasi belakangan kepada negaranya. Pasal 9 mengenai pengadopsian naskah

perjanjian yang terbagi dalam 2 (dua) ayat dan mengatur pula mengenai caranya. Sedangkan

dalam Pasal 10 diatur mengenai pengontentifikasian naskah perjanjian.

Setelah naskah diotentifikasikan maka dalam Pasal 11 diatur megenai cara pengikatan

dalam perjanjian tersebut yakni dengan cara penandatanganan, pertukaran instrument

pembuatan perjanjian, ratifikasi, akseptasi, aksesi, maupun cara-cara lain yang disetujui para

pihak. Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 diatur secara lebih lanjut tentang cara menyatakan

persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11. Dan Pasal 18 mewajibkan kepada negara-

negara untuk tidak menggagakan maksud dan tujuan perjanjian sebelum perjanjian itu berlaku.

Seksi 2 dari bagian II berkenaan dengan persyaratan atau reservasi yang dapat diajukan

oleh negara oleh suatu negara pada waktu menyatakan persetujuan untuk terikat dalam

persetujuan. Pengaturan ini terdapat alam Pasal 19 sampai dengan Pasal 23. Dalam Pasal 19

mengatur mengenai pengajuan persyaratan terhadap negara yang menyatakan persetujuan

untuk terikat pada suatu perjanjian dan pembatasan-pembatasannya. Sedangkan dalam Pasal

20 diatur mengenai penerimaaan dan penolakan oleh suatu negara peserta terhadap syarat

yang diajukan suatu negara. Sedangkan dalam Pasal 21 diatur tentang akibat hukum dari

persyaratan, penerimaan, maupun penolakan atau suatu keberatan dari persyaratan. Pasal 22

mengatur tentang penarikan kembali persyaratan dan penarikan kembali penolakan terhadap

syarat. Akhirnya dalam Pasal 23 yang terdiri dari ayat 1-4 mengatur mengenai persyaratan-

persyaratan seperti prosedur pengajuan persyaratan, prosedur mngenai pengajuan penerimaan

maupun penolakan terhadap persyaratan.

Seksi 3 bagian III terdiri dari 2 pasal yakni Pasal 24 dan Pasal 25. Dimana Pasal 24

mengatur mengenai cara mulai berlakunya suatu perjanjian. Sedangkan dalam Pasal 25 diatur

tentang penerapan sementara suatu perjanjian baik atas keseluruhan maupun sebagian.

Page 4: resumehpi

Bagian III (Part III) terdiri dari 4 seksi dan 12 pasal (Pasal 26-Pasal 38). Seksi 1 terdiri dari

Pasal 26 dan Pasal 27. Di dalam Pasal 26 ditegaskan bahwa asas Pacta Sunt Servanda bahwa

perjanjian internasional itu mengikat bagi setiap yang mengikatkan diri seperti undang-undang.

Sedangkan dalam Pasal 27 menegaskan bahwa hukum nasional tidak data dijadikan alasan

pembenar terhadap gagalnya menaati perjanjian.

Seksi II terdiri dari 3 pasal, yakni Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30. Pasal 28 menegaskan

tentang tidak berlaku surutnya suatu perjanjian internasional. Pasal 29 mengatur mengenai

ruang lingkup wilayah berlakunya perjanjian internasional. Sedangkan dalam Pasal 30 yang

terdiri dari 5 ayat mengatur mengenai hubungan antara perjanjian lama dengan perjanjian

baru.

Seksi 3 terdiri dari tiga pasal, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33. Di mana Pasal 31 terdiri

dari 4 ayat yang mengatur tentang ketentuan umum mengenai penafsiran. Pasal 32 berkenaan

dengan sarana tambahan atas sarana pelengkap penafsiran atas perjanjian. Pasal 33 mengatur

tentang penafsiran perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih.

Seksi 4 terdiri dari 5 pasal. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa sutu perjanjian

internasional tidak menciptakan hak dan kewajiban terhadap pihak pihak ketiga tanpa

persetujuan dari pihak ketiga. Pasal 35 ayat 1,2 dan Pasal 36 ayat 1,2 mengatur mengenai

menetapkan mengenai kewajiban dan hak bagi pihak ketiga. Pasal 37 mengatur mengenai

penarikan kembali hak dan kewajiban pihak ketiga. Terakhir dalam Pasal 38 diatur mengenai

perjanjian internasional yang mengikat pihak ketiga karena kebiasaan internasional.

Bagian IV (Part IV) terdiri dari tiga pasal. Pasal 39 mengatur mengenai amandemen

perjanjian internasional. Pasal 40 ayat 1-5 mengatur mengenai amandemen perjanjian

internasional multilateral. Pasal 41 ayat 1-2 mengatur mengenai modifikasi perjanjian

internasional.

Bagian V (Part V) terdiri dari lima seksi dan tiga puluh pasal. Seksi 1 terdiri dari empat

pasal, yakni Pasal 42-45, Pasal 42 terdiri dari dua ayat yang mngatur tentang keabsahan

perjanjian internasional. Pasal 43 mengatur tentang kewajiban yang terpisah dari perjanjian

internasional. Pasal 44 ayat 1-5 mengatur tentang pemisahan ketentuan-ketentuan perjanjian

Page 5: resumehpi

dan Pasal 45 mengatur tentang hilangnya hak dengan pernyataan atau alasan-alasan seperti

tersebut dalam konvensi ini.

Seksi 2 yang terdiri dari Pasal 46-53, menerangkan tentang sah-tidaknya perjanjian

internasional. Pasal 46 berkenaan dengan ketentuan-ketentuan hukum internal dan peraturan-

peraturan dari organisasi-organisasi internasional tidak boleh dijadikan dasar dalam engikaran

terhadap perjanjian internasional. Dalam Pasal 47 diatur tentang pembatasan secara khusus

terhadap suatu negara, organisasi internasional terhadap wakilnya dalam menyatakan

persetujuan terhadap perjanjian internasional. Sedangkan dalam Pasal 48 tentang kesalahan

atau situasi error dalam perjanjian internasional. Pasal 49 mengenai kecurangan, penipuan dari

negara dan organisasi internasional yang melakukan perundingan. Dalam Pasal 50 tentang

korupsi yang dilakukan oleh negara dan organisasi internasional baik langsung maupun tak

langsung. Pasal 51 tentang paksaan dari wakil negara atau organisasi internasional dalam

mengikatkan diri terhadap perjanjian internasional. Dalam Pasal 52 dirumuskan mengenai

ncaman dan paksaan pada waktu merumuskan perjanjian. Pasal 53 diatur mengenai

perumusan perjanjian yang melanggar Jus Cogens.

Seksi 3 yang terdiru dari pasal 54-64, dimana Pasal 54 mengatur tentang pengakhiran

berlakunya perjanjian internasional dan penarikan diri dari perjanjian internasional. Pasal 55

mengatur tentang berkurangnya para pihak dalam perjanjian internasional sesuai dengan

syarat yang ditentukan dalam perjanjian internasional. Sedangkan dalam Pasal 56 mengatur

masalah penarikan diri dari perjanjian internasional. Dalam Pasal 57 berkenaan dengan

pengunduran diri dalam suatu perjanjian internasional. Kemudian Pasal 58 mengatur tentang

penundaan berlakunya perjanjian internasional multilateral. Pasal 59 mengatur tentang

berakhirnya penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional multilateral. Dalam Pasal 60

diatur tentang pengakhiran dan penundan berlakunya suatu perjanjian internasional. Pasal 61

mengatur tentang tidak mungkinnya salah satu pihak untuk menaati isi perjanjian. Dalam Pasal

62 mengatur mengenai keadaan yang fundamental. Pasal 63 mengatur mengenai pemutusan

hubungan diplomatic dan konsuler terhadap eksistensi perjanjian. Dalam Pasal 64 tentang

lahirnya Jus Cogens baru.

Page 6: resumehpi

Seksi 4 terdiri dari 4 pasal. Dalam Pasal 65 mengatur tentang prosdur yang harus diikuti

dalam hal tidak sahnya pengakhiran, penarikan diri, atau penundaan berlakunya perjanjian.

Pasal 66 mengatur tentang prosedur mengenai penyelesaian sengketa. Sedangkan dalam Pasal

67 mengatur tentang instrument-instrumen yang dapat dijadikan untuk menyatakan perjanjian

internasional itu tidak sah, harus diakhiri, penarikan diri, dan penundaan berlakunya perjanjian.

Terakhir Pasal 68 menerangkan tentang penarikan kembali pemberitahuan-pemberitahuan dan

instrument-instrumen seperti ditegaskan dalam Pasal 65-67.

Seksi 5 berkenaan dengan konsekuensi dari ketidaksahan, pengakhiran, atau penundaan

berlakunya suatu perjanjian internasioanal. Dalam Pasal 69 menatur tentang konsekuensi tidak

sahnya perjanjian internasional. Pasal 70 tentang konsekuensi hukum dari pengakhiran

berlakunya perjanjian internasional. Pasal 71 tentang konsekuensi dari perjanjian yang

bertentangan dengan Jus Cogens. Pasal 72 tentang akibat hukum dari penundaan berlakunya

perjanjian internasional.

Bagian VI (Part VI) terdiri dari 4 pasal. Pasal 73 mengatur tentang pergantian negara,

tanggung jawab negara dan pecahnya hubungan permusuhan dan pengaruhnya terhadap

perjanjian, Pasal 74 mengatur tentang hubungan diplomatic dan konsuler akibat perjanjian

internasional. Dalam Pasal 75 mengatur tentang suatu negara yang menjadi aggressor terhadap

negara lain serta pengaruhnya terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban yang lahir dalam

perjanjian internasional.

Bagian VII (Part VII) terdiri dari 5 pasal. Pasal 76 mengatur tentang penyimpanan naskah

perjanjian. Sedangkan dalam Pasal 77 mengatur tentang fungsi dari negara dan organisasi

internasional yang melakukan penyimpanan naskah perjanjian. Pasal 78 mengatur tentang

komunikasi para peserta terhadap perjanjian-perjanjian internasional lain yang berkaitan

dengan perjanjian internasional yang ditandatangani. Dalam Pasal 79 mengatur tentang

perbaikan dan salah cetak yang dialami perjanjian internasional tersebut. Pasal 80 mengatur

tentang pendaftaran dan publikasi perjanjian.

Bagian VIII (Part VIII) merupakan bagian akhir yang terdiri dari 5 pasal. Pasal 81

mengatur tentang penandatanganan. Pasal 82 mengatur tentang ratifikasi. Pasal 83 mengatur

Page 7: resumehpi

tentang aksesi. Pasal 84 mengatur tentang mulai berlakunya perjanjian. Pasal 85 mengatur

tentang naskah konvensi yang otentik.

Di luar konvensi ini terdapat satu annex tentang pembentukan komisi konsiliasi yang

berhubungan dengan penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian internasional ini

sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Konvensi Wina 1969. Selain dari annex tersebut terdapat

pula 2 deklarasi yakni “Decides that the present Declaration shall from part of the Final Act of

the United Nations Conference on The Law of Treaties. Sedangkan deklarasi kedua lebih kepada

seruan kepada negara-negara untuk berpartisipasi dalam konvensi ini.

B. KONVENSI WINA 1986

Seperti halnya Konvensi Wina 1969, konvensi ini juga terdiri dari dua bagian yakni

bagian konsideran dan bagian substansi. Dalam konsiderannya disebutkan beberapa hal yang

menjadi dasar dari konvensi ini yakni:

1. Konsideran pertama menyatakan bahwa adanya pengakuan atas peranan yang

fundamental dari perjanjian internasional dalam sejarah hubungan internasional.

2. Konsideran kedua menyatakan bahwa perjanjian internasional sebagai sumber hukum

internasional yang mempunya sifat konsesualisme.

3. Konsideran ketiga menyatakan bahwa prinsip-prinsip hukum umum dalam hukum

internasional secara tegas diatur dalam konvensi ini. Prinsip-prinsip ini diantaranya

prinsip free consent, prinsip good faith, prinsip pacta sunt servanda.

4. Konsideran keempat menyatakan bahwa kodifikasi hukum perjanjian internasional

semakin penting.

5. Konsideran kelima disebutkan bahwa pengkodifikasian dilakukan untuk tertib hukum

masyarakat.

6. Konsideran keenam ditegaskan beberapa prinsip yang harus dipatuhi oleh negara-

negara yakni prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat, prinsip

tidak campur tangan urusan dalam negeri negara lain, prinsip penghormatan HAM dan

persamaan manusia,kesemuanya itu biasa disebut prinsip jus cogens.

Page 8: resumehpi

7. Konsideran ketujuh menunjukan bahwa terdapat kesadaran bahwa Konvensi Wina 1969

merupakan uatu hal yang sangat penting.

8. Konsideran kedelapan memberian arti adanya hubungan erat antar perjanjian-perjanjian

internasional yang dibuat olh negara dan organisasi internasional.

9. Konsideran kesembilan memberikan penegasan dari perjanjian internasional.

10. Konsideran kesepuluh mengakui adanya subjek hukum organisasi internasional dalam

pembuatan perjanjian internasional.

11. Konsideran kesebelas memberikan organisasi internasional untuk membuat perjanjian

internasional berdasarkan fungsi dan tugasnya.

12. Konsideran keduabelas dalam pembuatan perjanjian internasional yang dibuat oleh

organisasi internasional dengan ngara harus sesuai dengan constiturent instrument.

13. Konsideran ketigabelas memberikan penegasan bahwa konvensi ini tidak dapat

ditafsirkan.

14. Konsideran keempatbelas ditegaskan bahwa perselisihan akibat perjanjian harus

diselesaikan berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

15. Konsideran kelimabelas diakui juga bahwa peranan hukum kebiasaan internasional

masih terus berlangsung.

Substasi Konvensi Wina 1986 meliputi bagian-bagian (Parts)dan masing-masing bagian

terdiri dari pasal-pasal (Articles) dan ada yang dibagi-bagi lagi ke dalam ayat-ayat (Paraghraps)

dan ayat-ayat itu ada pula yang dibagi-bagi lagi ke dalam sub-ayat (sub-Paraghraps). Jadi

Konvensi Wina ini terdapat 8 (delapan) bagian dan ke delapan bagian ini terdiri dari 86 (delapan

puluh enam) pasal. Namun perlu di ingatkan bahwa konvensi ini harus dilihat sebagai satu

kesatuan yang utuh. Berikut ini adala uraian mengenai Konvensi Wina 1969 tersebut.

Bagian pertama adalah bagian pengantar yang terdiri dari lima pasal, dimana Pasal 1

menjelaskan mengenai ruang lingkup perjanjian. Pasal 2 menyebutkan persetujuan

internasional yang terltak di luar konvensi. Pasal 3 menerangkan bahwa konvensi ini tidak

memakai azas non-retroactive. Serta dalam Pasal 4 dan Pasal 5 menegaskan bahwa perjanjian

internasional yang merupakan dasar bagi terbentuknya organisasi internasional dan perjanjian

intrnasional yang di hasilkan dalam kerangka suatu organisasi internasional.

Page 9: resumehpi

Konvensi ini juga berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang demikian itu. Yang

dimaksud dengan Organisasi Internasional adalah organisasi Internasional yang anggotanya

terdiri dari negara-negara dan Organisasi Internasional, jika Organisasi Internasional itu

membuat suatu perjanjian Internasional uang nantinya akan mengikat para anggotannya terdiri

dari negara dan organisasi Internasinal. Bagian II mengatur tentang rumusan atau pembuatan

berlakunya suatu perjanjian Internasional yang terdiri dari 3 seksi dan 20 pasal yang meliputi

pasal 6 sampai dengan pasal 25. Dimana isi dari Pasal 6 ialah mengatur tentang kapasitas atau

kemampuan suatu organisasi Internasional dalam membuat atau merumuskan suatu perjanjian

Iternasional. Dimana ditegaskan dalam Pasal 6 tersebut bahwa kemampuan suatu organisasi

Internasional dalam membuat atau merumuskan suatu perjanjian Internasional diatur oleh

peraturan-peraturan yang berlaku dalam Organisasi Internasional yang dilakukan.

Pasal 7 mengatur tentang kuasa penuh(full powers) dari seseorang yang bertindak

mewakili suatu negara atau suatu Organisasi Internasional dalam membuat atau merumuskan

suatuperjanjian Internasional. Pasal 8 mengatur tentang konfirmasi yang dilakukan kemudian

atas suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang tanpa kewenangan untuk membuat

atau merumuskan suatu Perjanjian Internasional tanpa sepengetahuan sebelimnya dari suatu

negara atau suatu Organisasi Internasional. Tindakan seperti ini tidak meninggalkan akibat

hukum apapun terhadap para pihak, kecuali kemudian negara atau organisasi Internasional itu

menyetujuinya.

Pasal 9 dari 2 Seksi mengatur tentang pengapdopsian naskah perjanjian(Adoption of the

text), Pasal 10 tentang pengotentikasian naskah perjanjian (authentication of the text), dan

Pasal 11 mengatur tentang cara-cara menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu

perjanjian Internasional. Pasal ini membedakan antara cara yang dilakukan oleh suatu negara

pada suatu pihak dimana cara yang dipilih adalah penandatangan(signature), pertukaran

instrument-instrumen yang membentuk perjanjian Internasional, ratifikasi, akseptasi, aksesi,

persetujuan, atau dengan cara-cara lain yang disetujui. sedangkan organisasi internasional tidak

dapat menggunakan cara ratifikasi , tetapi dengan menggunakan cara melakukan tindakkan

konfirmasi formal. selanjutnya dalam Pasal 12,13,14,15,16,17 diatur secara lebih rinci tentang

penggunaan masing-masing cara seperti tersebut pada Pasal 11 sedangkan Pasal 18 mengatur

Page 10: resumehpi

tentang kewajiban untuk tidak menggagalkan maksud dan tujuan suatu perjanjian

internasional, sebelum perjanjian itu belum berlaku.

Pasal 20 mengenai tentang penerimaan dan penolakan atau keberatan atas suatu

pensyaratan , Pasal 21 tentang akibat hukum dari pensyaratan dan penolakan atau keberatan

atas suatu pensyaratan, Pasal 22 tentang penarikan kembali atas pensyaratan dan penerikan

kembali atas keberatan terhadap suatu pensyaratan, sedangkan Pasal 23 berkenaan prosedur

yang yang berkaitan dengan pensyaratan seksi III mengenai mulai berlakunya dan penerapan

sementara suatu perjanjian internasional, masing-masing dalam Pasal 24, Pasal 25.

Pasal 26 memuat asas Pact sunt servanda yang berarti setiap perjanjian internasional

yang mengikat para pihak wajib ditaati dengan penuh itikad baik . Pasal 27 mengatur hukum

tentang hukum nasional (internal law) suatu negara, pada hakekatnya hukum nasional maupun

hukum atau peraturan internal suatu organisasi internasional tidak boleh dijadikan sebagai

alasan oleh negara atau organisasi yang bersangkutan atas kegagalannya menaati suatu

perjanjian internasional dimana negara atau organisasi internasional itu sebagai pihak atau

pesertanya.

Seksi 2 terdiri dari 3 pasal, yakni Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30. Pasal 28 menegaskan

tentang tidak berlaku surutnya suatu perjanjian internasional. Pasal 29 mengatur mengenai

ruang lingkup wilayah berlakunya perjanjian internasional. Sedangkan dalam Pasal 30 yang

terdiri dari 6 ayat mengatur mengenai pergantian perjanjian lama dengan perjanjian baru.

Seksi 3 terdiri dari tiga pasal, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33. Di mana Pasal 31 terdiri

dari 4 ayat yang mengatur tentang ketentuan umum mengenai penafsiran. Pasal 32 berkenaan

dengan sarana tambahan atas sarana pelengkap penafsiran atas perjanjian. Pasal 33 mengatur

tentang penafsiran perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih.

Seksi 4 terdiri dari 5 pasal. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa sutu perjanjian

internasional tidak menciptakan hak dan kewajiban terhadap pihak pihak ketiga tanpa

persetujuan dari pihak ketiga. Pasal 35 menegaskan tentang kewajiban yang timbul terhadap

pihak ketiga dalam perjanjian dan Pasal 36 ayat 1,2 mengatur mengenai menetapkan mengenai

hak bagi pihak ketiga. Pasal 37 mengatur mengenai penarikan kembali hak dan kewajiban pihak

Page 11: resumehpi

ketiga. Terakhir dalam Pasal 38 diatur mengenai perjanjian internasional yang mengikat pihak

ketiga karena kebiasaan internasional.

Bagian IV (Part IV) terdiri dari: Pasal 39 mengatur mengenai amandemen perjanjian

internasional. Pasal 40 mengatur mengenai amandemen perjanjian internasional multilateral.

Pasal 41 mengatur mengenai modifikasi perjanjian internasional.

Bagian V (Part V) terdiri dari lima seksi dan tiga puluh satu pasal. Seksi 1 terdiri dari,

Pasal 42 terdiri dari dua ayat yang mngatur tentang keabsahan perjanjian internasional. Pasal

43 mengatur tentang kewajiban yang terpisah dari perjanjian internasional. Pasal 44 mengatur

tentang pemisahan ketentuan-ketentuan perjanjian dan Pasal 45 mengatur tentang hilangnya

hak dengan pernyataan atau alasan-alasan seperti tersebut dalam konvensi ini.

Seksi 2 yang terdiri dari Pasal 46-53, menerangkan tentang sah-tidaknya perjanjian

internasional. Pasal 46 berkenaan dengan ketentuan-ketentuan hukum internal dan peraturan-

peraturan dari organisasi-organisasi internasional tidak boleh dijadikan dasar dalam engikaran

terhadap perjanjian internasional. Dalam Pasal 47 diatur tentang pembatasan secara khusus

terhadap suatu negara, organisasi internasional terhadap wakilnya dalam menyatakan

persetujuan terhadap perjanjian internasional. Sedangkan dalam Pasal 48 tentang kesalahan

atau situasi error dalam perjanjian internasional. Pasal 49 mengenai kecurangan, penipuan dari

negara dan organisasi internasional yang melakukan perundingan. Dalam Pasal 50 tentang

korupsi yang dilakukan oleh negara dan organisasi internasional baik langsung maupun tak

langsung. Pasal 51 tentang paksaan dari wakil negara atau organisasi internasional dalam

mengikatkan diri terhadap perjanjian internasional. Dalam Pasal 52 dirumuskan mengenai

ancaman dan paksaan pada waktu merumuskan perjanjian. Pasal 53 diatur mengenai

perumusan perjanjian yang melanggar Jus Cogens.

Seksi 3 yang terdiri beberapa pasal, dimana Pasal 54 mengatur tentang pengakhiran

berlakunya perjanjian internasional dan penarikan diri dari perjanjian internasional. Pasal 55

mengatur tentang berkurangnya para pihak dalam perjanjian internasional sesuai dengan

syarat yang ditentukan dalam perjanjian internasional. Sedangkan dalam Pasal 56 mengatur

masalah penarikan diri dari perjanjian internasional. Dalam Pasal 57 berkenaan dengan

pengunduran diri dalam suatu perjanjian internasional. Kemudian Pasal 58 mengatur tentang

Page 12: resumehpi

penundaan berlakunya perjanjian internasional multilateral. Pasal 59 mengatur tentang

berakhirnya penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional multilateral. Dalam Pasal 60

diatur tentang pengakhiran dan penundan berlakunya suatu perjanjian internasional. Pasal 61

mengatur tentang tidak mungkinnya salah satu pihak untuk menaati isi perjanjian. Dalam Pasal

62 mengatur mengenai keadaan yang fundamental. Pasal 63 mengatur mengenai pemutusan

hubungan diplomatic dan konsuler terhadap eksistensi perjanjian. Dalam Pasal 64 tentang

lahirnya Jus Cogens baru.

Seksi 4 mengatur tentang procedural. Dalam Pasal 65 mengatur tentang prosedur yang

harus diikuti dalam hal tidak sahnya pengakhiran, penarikan diri, atau penundaan berlakunya

perjanjian. Pasal 66 mengatur tentang prosedur mengenai penyelesaian sengketa. Sedangkan

dalam Pasal 67 mengatur tentang instrument-instrumen yang dapat dijadikan untuk

menyatakan perjanjian internasional itu tidak sah, harus diakhiri, penarikan diri, dan

penundaan berlakunya perjanjian. Terakhir Pasal 68 menerangkan tentang penarikan kembali

pemberitahuan-pemberitahuan dan instrument-instrumen seperti ditegaskan dalam Pasal 65-

67.

Seksi 5 berkenaan dengan konsekuensi dari ketidaksahan, pengakhiran, atau penundaan

berlakunya suatu perjanjian internasioanal. Dalam Pasal 69 mengatur tentang konsekuensi

tidak sahnya perjanjian internasional. Pasal 70 tentang konsekuensi hukum dari pengakhiran

berlakunya perjanjian internasional. Pasal 71 tentang konsekuensi dari perjanjian yang

bertentangan dengan Jus Cogens. Pasal 72 tentang akibat hukum dari penundaan berlakunya

perjanjian internasional.

Bagian VI (Part VI) terdiri dari 4 pasal. Pasal 73 mengatur tentang pergantian negara,

tanggung jawab negara dan pecahnya hubungan permusuhan dan pengaruhnya terhadap

perjanjian, Pasal 74 mengatur tentang hal-hal dan persoalan yang tidak tunduk pada konvensi

ini. Dalam Pasal 75 mengatur tentang tidak adanya hubungan diplomatic dan konsuler tidak

mengahalangi adanya perjanjian internasional. Pasal 76 mengatur tentang suatu negara yang

menjadi aggressor terhadap negara lain serta pengaruhnya terhadap pelaksanaan hak dan

kewajiban yang lahir dalam perjanjian internasional.

Page 13: resumehpi

Bagian VII (Part VII) terdiri dari 5 pasal. Pasal 77 mengatur tentang penyimpanan naskah

perjanjian. Sedangkan dalam Pasal 78 mengatur tentang fungsi dari negara dan organisasi

internasional yang melakukan penyimpanan naskah perjanjian. Pasal 79 mengatur tentang

komunikasi para peserta terhadap perjanjian-perjanjian internasional lain yang berkaitan

dengan perjanjian internasional yang ditandatangani. Dalam Pasal 80 mengatur tentang

perbaikan dan salah cetak yang dialami perjanjian internasional tersebut. Pasal 81 mengatur

tentang pendaftaran dan publikasi perjanjian.

Bagian VIII (Part VIII) merupakan bagian akhir yang terdiri dari 5 pasal. Pasal 82

mengatur tentang penandatanganan. Pasal 83 mengatur tentang ratifikasi. Pasal 84 mengatur

tentang aksesi. Pasal 85 mengatur tentang mulai berlakunya perjanjian. Pasal 86 mengatur

tentang naskah konvensi yang otentik.

Dalam konvensi ini juga disepakati sebuah annex yang mengatur mengenai

pembentukan prosedur aribitrase dan konsiliasi dalam penerapan atas Pasal 66.