resumehpi
DESCRIPTION
hpiTRANSCRIPT
RESUME
KONVENSI WINA 1969 & KONVENSI WINA 1986
A. KONVENSI WINA 1969
Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian yaitu bagian konsiderans dan bagian isi. Di
samping itu terdapat pula annex dan dua deklarasi yaitu Deklarasi mengenai larangan
menggunakan paksaan militer, politik, atau ekonomi dalam membuat suatu perjanjian dan
Deklarasi mengenai partisipasi universal dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional. Annex dan deklarasi ini berdiri sendiri terpisah dengan konvensi tersebut.
Konsideran tersebut berisi tentang hal-hal sebagai berikut yakni:
1. Konsideran pertama menyatakan bahwa negara-negara yang menjadi peserta atau yang
atau yang menjadi pihak dalam perjanjian menakui peranan yang sangat fundamental
dari perjanjian-perjanjian internasional dalam sejarah hubungan internasional.
2. Konsideran kedua menyatakan bahwa peranan perjanjian internasional sebagai sumber
hukum internasional semakin penting dan perjanjian internasional juga dijadikan dasar
dalam memulai hubuan damai antara negara-negara.
3. Konsideran ketiga menyatakan bahwa prinsip-prinsip hukum umum dalam hukum
internasional secara tegas diatur dalam konvensi ini. Prinsip-prinsip ini diantaranya
prinsip free consent, prinsip good faith, prinsip pacta sunt servanda.
4. Konsideran keempat menyatakan bahwa perselisihan-perselisihan mengenai perjanjian
internasional diselesaikan secara damai berdasarkan keadilan dan hukum internasional.
5. Konsideran kelima ditujukan kepada rakyat dari PBB bukan ditujukan kepada negara-
negara untuk menciptakan kondisi dimana keadilan dan penghormatan terhadap
kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional dapat dipelihara.
6. Konsideran keenam ditegaskan beberapa prinsip yang harus dipatuhi oleh negara-
negara yakni prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat, prinsip
tidak campur tangan urusan dalam negeri negara lain, prinsip penghormatan HAM dan
persamaan manusia,kesemuanya itu biasa disebut prinsip jus cogens.
7. Konsideran ketujuh menunjukan suatukeyakinan dari negara-negara peserta onvensi
bahwa pengembangan progresif dan pengkodifikasian hukum perjanjian internasional
sebagaimana terdapat dalam konvensi, dan ini akan mendorong tercapainya
pemeliharaan perdamaian dan keamanan.
8. Konsideran kedelapan memberian penegasan tentang pengakuan bahwa hukum
kebiasaan internasional khususnya hukum perjanjian internasional yang masih
berbentuk hukum kebiasaan internasional, yang berada di luar konvensi masih
mengatur dan berlaku sebagai hukum.
Substasi Konvensi Wina 1969 meliputi bagian-bagian (Parts)dan masing-masing bagian
terdiri dari pasal-pasal (Articles) dan ada yang dibagi-bagi lagi ke dalam ayat-ayat (Paraghraps)
dan ayat-ayat itu ada pula yang dibagi-bagi lagi ke dalam sub-ayat (sub-Paraghraps). Jadi
Konvensi Wina ini terdapat 8 (delapan) bagian dan ke delapan bagian ini terdiri dari 85 (delapan
puluh lima) pasal. Namun perlu di ingatkan bahwa konvensi ini harus dilihat sebagai satu
kesatuan yang utuh. Berikut ini adala uraian mengenai Konvensi Wina 1969 tersebut.
Bagian pertama adalah bagian pengantar yang terdiri dari lima pasal, dimana Pasal 1
mnjelaskan mengenai istilah-istilah dalam konvensi ini seperti treaty, ratification, acceptance,
approval, accession, full powers, reservation, negotiating State, contracting State, party, third
State, dan international organization. Pasal 2 menyebutkan persetujuan internasional yang
terltak di luar konvensi. Pasal 3 menerangkan bahwa konvensi ini tidak memakai azas non-
retroactive. Serta dalam Pasal 4 dan Pasal 5 menegaskan bahwa perjanjian internasional yang
merupakan dasar bagi terbentuknya organisasi internasional dan perjanjian intrnasional yang di
hasilkan dalam kerangka suatu organisasi intrnasional.
Bagian Kedua mengatur tentang pembuatan dn prumusan dan mulai berlakunya suatu
perjanjian internasional. Dalam Pasal 6 ditegaskan tentang kemampuan negara-negara dalam
membuat perjanjian internasional. Pasal 7 mengatur mengenai Kuasa Penuh yaitu siapa-siapa
pejabat negara dalam membuat suatu perjanjian internasional harus membutuhkan kuasa
penuh dari negara atau pemerintah negara tersebut (Pasal 7 ayat 1) dan pejabat-pejabat neara
yang tidak membutuhkan kuasa penuh (Pasal 7 ayat 2).
Dalam Pasal 8 mengatur mengenai pejabat negara sebagaimana dalam Pasal 7 dimana
ketika dalam perundingan tidak ada atau belum diberikan kewenangan untuk itu maka dapat
dimintakan konfirmasi belakangan kepada negaranya. Pasal 9 mengenai pengadopsian naskah
perjanjian yang terbagi dalam 2 (dua) ayat dan mengatur pula mengenai caranya. Sedangkan
dalam Pasal 10 diatur mengenai pengontentifikasian naskah perjanjian.
Setelah naskah diotentifikasikan maka dalam Pasal 11 diatur megenai cara pengikatan
dalam perjanjian tersebut yakni dengan cara penandatanganan, pertukaran instrument
pembuatan perjanjian, ratifikasi, akseptasi, aksesi, maupun cara-cara lain yang disetujui para
pihak. Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 diatur secara lebih lanjut tentang cara menyatakan
persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11. Dan Pasal 18 mewajibkan kepada negara-
negara untuk tidak menggagakan maksud dan tujuan perjanjian sebelum perjanjian itu berlaku.
Seksi 2 dari bagian II berkenaan dengan persyaratan atau reservasi yang dapat diajukan
oleh negara oleh suatu negara pada waktu menyatakan persetujuan untuk terikat dalam
persetujuan. Pengaturan ini terdapat alam Pasal 19 sampai dengan Pasal 23. Dalam Pasal 19
mengatur mengenai pengajuan persyaratan terhadap negara yang menyatakan persetujuan
untuk terikat pada suatu perjanjian dan pembatasan-pembatasannya. Sedangkan dalam Pasal
20 diatur mengenai penerimaaan dan penolakan oleh suatu negara peserta terhadap syarat
yang diajukan suatu negara. Sedangkan dalam Pasal 21 diatur tentang akibat hukum dari
persyaratan, penerimaan, maupun penolakan atau suatu keberatan dari persyaratan. Pasal 22
mengatur tentang penarikan kembali persyaratan dan penarikan kembali penolakan terhadap
syarat. Akhirnya dalam Pasal 23 yang terdiri dari ayat 1-4 mengatur mengenai persyaratan-
persyaratan seperti prosedur pengajuan persyaratan, prosedur mngenai pengajuan penerimaan
maupun penolakan terhadap persyaratan.
Seksi 3 bagian III terdiri dari 2 pasal yakni Pasal 24 dan Pasal 25. Dimana Pasal 24
mengatur mengenai cara mulai berlakunya suatu perjanjian. Sedangkan dalam Pasal 25 diatur
tentang penerapan sementara suatu perjanjian baik atas keseluruhan maupun sebagian.
Bagian III (Part III) terdiri dari 4 seksi dan 12 pasal (Pasal 26-Pasal 38). Seksi 1 terdiri dari
Pasal 26 dan Pasal 27. Di dalam Pasal 26 ditegaskan bahwa asas Pacta Sunt Servanda bahwa
perjanjian internasional itu mengikat bagi setiap yang mengikatkan diri seperti undang-undang.
Sedangkan dalam Pasal 27 menegaskan bahwa hukum nasional tidak data dijadikan alasan
pembenar terhadap gagalnya menaati perjanjian.
Seksi II terdiri dari 3 pasal, yakni Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30. Pasal 28 menegaskan
tentang tidak berlaku surutnya suatu perjanjian internasional. Pasal 29 mengatur mengenai
ruang lingkup wilayah berlakunya perjanjian internasional. Sedangkan dalam Pasal 30 yang
terdiri dari 5 ayat mengatur mengenai hubungan antara perjanjian lama dengan perjanjian
baru.
Seksi 3 terdiri dari tiga pasal, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33. Di mana Pasal 31 terdiri
dari 4 ayat yang mengatur tentang ketentuan umum mengenai penafsiran. Pasal 32 berkenaan
dengan sarana tambahan atas sarana pelengkap penafsiran atas perjanjian. Pasal 33 mengatur
tentang penafsiran perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih.
Seksi 4 terdiri dari 5 pasal. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa sutu perjanjian
internasional tidak menciptakan hak dan kewajiban terhadap pihak pihak ketiga tanpa
persetujuan dari pihak ketiga. Pasal 35 ayat 1,2 dan Pasal 36 ayat 1,2 mengatur mengenai
menetapkan mengenai kewajiban dan hak bagi pihak ketiga. Pasal 37 mengatur mengenai
penarikan kembali hak dan kewajiban pihak ketiga. Terakhir dalam Pasal 38 diatur mengenai
perjanjian internasional yang mengikat pihak ketiga karena kebiasaan internasional.
Bagian IV (Part IV) terdiri dari tiga pasal. Pasal 39 mengatur mengenai amandemen
perjanjian internasional. Pasal 40 ayat 1-5 mengatur mengenai amandemen perjanjian
internasional multilateral. Pasal 41 ayat 1-2 mengatur mengenai modifikasi perjanjian
internasional.
Bagian V (Part V) terdiri dari lima seksi dan tiga puluh pasal. Seksi 1 terdiri dari empat
pasal, yakni Pasal 42-45, Pasal 42 terdiri dari dua ayat yang mngatur tentang keabsahan
perjanjian internasional. Pasal 43 mengatur tentang kewajiban yang terpisah dari perjanjian
internasional. Pasal 44 ayat 1-5 mengatur tentang pemisahan ketentuan-ketentuan perjanjian
dan Pasal 45 mengatur tentang hilangnya hak dengan pernyataan atau alasan-alasan seperti
tersebut dalam konvensi ini.
Seksi 2 yang terdiri dari Pasal 46-53, menerangkan tentang sah-tidaknya perjanjian
internasional. Pasal 46 berkenaan dengan ketentuan-ketentuan hukum internal dan peraturan-
peraturan dari organisasi-organisasi internasional tidak boleh dijadikan dasar dalam engikaran
terhadap perjanjian internasional. Dalam Pasal 47 diatur tentang pembatasan secara khusus
terhadap suatu negara, organisasi internasional terhadap wakilnya dalam menyatakan
persetujuan terhadap perjanjian internasional. Sedangkan dalam Pasal 48 tentang kesalahan
atau situasi error dalam perjanjian internasional. Pasal 49 mengenai kecurangan, penipuan dari
negara dan organisasi internasional yang melakukan perundingan. Dalam Pasal 50 tentang
korupsi yang dilakukan oleh negara dan organisasi internasional baik langsung maupun tak
langsung. Pasal 51 tentang paksaan dari wakil negara atau organisasi internasional dalam
mengikatkan diri terhadap perjanjian internasional. Dalam Pasal 52 dirumuskan mengenai
ncaman dan paksaan pada waktu merumuskan perjanjian. Pasal 53 diatur mengenai
perumusan perjanjian yang melanggar Jus Cogens.
Seksi 3 yang terdiru dari pasal 54-64, dimana Pasal 54 mengatur tentang pengakhiran
berlakunya perjanjian internasional dan penarikan diri dari perjanjian internasional. Pasal 55
mengatur tentang berkurangnya para pihak dalam perjanjian internasional sesuai dengan
syarat yang ditentukan dalam perjanjian internasional. Sedangkan dalam Pasal 56 mengatur
masalah penarikan diri dari perjanjian internasional. Dalam Pasal 57 berkenaan dengan
pengunduran diri dalam suatu perjanjian internasional. Kemudian Pasal 58 mengatur tentang
penundaan berlakunya perjanjian internasional multilateral. Pasal 59 mengatur tentang
berakhirnya penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional multilateral. Dalam Pasal 60
diatur tentang pengakhiran dan penundan berlakunya suatu perjanjian internasional. Pasal 61
mengatur tentang tidak mungkinnya salah satu pihak untuk menaati isi perjanjian. Dalam Pasal
62 mengatur mengenai keadaan yang fundamental. Pasal 63 mengatur mengenai pemutusan
hubungan diplomatic dan konsuler terhadap eksistensi perjanjian. Dalam Pasal 64 tentang
lahirnya Jus Cogens baru.
Seksi 4 terdiri dari 4 pasal. Dalam Pasal 65 mengatur tentang prosdur yang harus diikuti
dalam hal tidak sahnya pengakhiran, penarikan diri, atau penundaan berlakunya perjanjian.
Pasal 66 mengatur tentang prosedur mengenai penyelesaian sengketa. Sedangkan dalam Pasal
67 mengatur tentang instrument-instrumen yang dapat dijadikan untuk menyatakan perjanjian
internasional itu tidak sah, harus diakhiri, penarikan diri, dan penundaan berlakunya perjanjian.
Terakhir Pasal 68 menerangkan tentang penarikan kembali pemberitahuan-pemberitahuan dan
instrument-instrumen seperti ditegaskan dalam Pasal 65-67.
Seksi 5 berkenaan dengan konsekuensi dari ketidaksahan, pengakhiran, atau penundaan
berlakunya suatu perjanjian internasioanal. Dalam Pasal 69 menatur tentang konsekuensi tidak
sahnya perjanjian internasional. Pasal 70 tentang konsekuensi hukum dari pengakhiran
berlakunya perjanjian internasional. Pasal 71 tentang konsekuensi dari perjanjian yang
bertentangan dengan Jus Cogens. Pasal 72 tentang akibat hukum dari penundaan berlakunya
perjanjian internasional.
Bagian VI (Part VI) terdiri dari 4 pasal. Pasal 73 mengatur tentang pergantian negara,
tanggung jawab negara dan pecahnya hubungan permusuhan dan pengaruhnya terhadap
perjanjian, Pasal 74 mengatur tentang hubungan diplomatic dan konsuler akibat perjanjian
internasional. Dalam Pasal 75 mengatur tentang suatu negara yang menjadi aggressor terhadap
negara lain serta pengaruhnya terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban yang lahir dalam
perjanjian internasional.
Bagian VII (Part VII) terdiri dari 5 pasal. Pasal 76 mengatur tentang penyimpanan naskah
perjanjian. Sedangkan dalam Pasal 77 mengatur tentang fungsi dari negara dan organisasi
internasional yang melakukan penyimpanan naskah perjanjian. Pasal 78 mengatur tentang
komunikasi para peserta terhadap perjanjian-perjanjian internasional lain yang berkaitan
dengan perjanjian internasional yang ditandatangani. Dalam Pasal 79 mengatur tentang
perbaikan dan salah cetak yang dialami perjanjian internasional tersebut. Pasal 80 mengatur
tentang pendaftaran dan publikasi perjanjian.
Bagian VIII (Part VIII) merupakan bagian akhir yang terdiri dari 5 pasal. Pasal 81
mengatur tentang penandatanganan. Pasal 82 mengatur tentang ratifikasi. Pasal 83 mengatur
tentang aksesi. Pasal 84 mengatur tentang mulai berlakunya perjanjian. Pasal 85 mengatur
tentang naskah konvensi yang otentik.
Di luar konvensi ini terdapat satu annex tentang pembentukan komisi konsiliasi yang
berhubungan dengan penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian internasional ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Konvensi Wina 1969. Selain dari annex tersebut terdapat
pula 2 deklarasi yakni “Decides that the present Declaration shall from part of the Final Act of
the United Nations Conference on The Law of Treaties. Sedangkan deklarasi kedua lebih kepada
seruan kepada negara-negara untuk berpartisipasi dalam konvensi ini.
B. KONVENSI WINA 1986
Seperti halnya Konvensi Wina 1969, konvensi ini juga terdiri dari dua bagian yakni
bagian konsideran dan bagian substansi. Dalam konsiderannya disebutkan beberapa hal yang
menjadi dasar dari konvensi ini yakni:
1. Konsideran pertama menyatakan bahwa adanya pengakuan atas peranan yang
fundamental dari perjanjian internasional dalam sejarah hubungan internasional.
2. Konsideran kedua menyatakan bahwa perjanjian internasional sebagai sumber hukum
internasional yang mempunya sifat konsesualisme.
3. Konsideran ketiga menyatakan bahwa prinsip-prinsip hukum umum dalam hukum
internasional secara tegas diatur dalam konvensi ini. Prinsip-prinsip ini diantaranya
prinsip free consent, prinsip good faith, prinsip pacta sunt servanda.
4. Konsideran keempat menyatakan bahwa kodifikasi hukum perjanjian internasional
semakin penting.
5. Konsideran kelima disebutkan bahwa pengkodifikasian dilakukan untuk tertib hukum
masyarakat.
6. Konsideran keenam ditegaskan beberapa prinsip yang harus dipatuhi oleh negara-
negara yakni prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat, prinsip
tidak campur tangan urusan dalam negeri negara lain, prinsip penghormatan HAM dan
persamaan manusia,kesemuanya itu biasa disebut prinsip jus cogens.
7. Konsideran ketujuh menunjukan bahwa terdapat kesadaran bahwa Konvensi Wina 1969
merupakan uatu hal yang sangat penting.
8. Konsideran kedelapan memberian arti adanya hubungan erat antar perjanjian-perjanjian
internasional yang dibuat olh negara dan organisasi internasional.
9. Konsideran kesembilan memberikan penegasan dari perjanjian internasional.
10. Konsideran kesepuluh mengakui adanya subjek hukum organisasi internasional dalam
pembuatan perjanjian internasional.
11. Konsideran kesebelas memberikan organisasi internasional untuk membuat perjanjian
internasional berdasarkan fungsi dan tugasnya.
12. Konsideran keduabelas dalam pembuatan perjanjian internasional yang dibuat oleh
organisasi internasional dengan ngara harus sesuai dengan constiturent instrument.
13. Konsideran ketigabelas memberikan penegasan bahwa konvensi ini tidak dapat
ditafsirkan.
14. Konsideran keempatbelas ditegaskan bahwa perselisihan akibat perjanjian harus
diselesaikan berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
15. Konsideran kelimabelas diakui juga bahwa peranan hukum kebiasaan internasional
masih terus berlangsung.
Substasi Konvensi Wina 1986 meliputi bagian-bagian (Parts)dan masing-masing bagian
terdiri dari pasal-pasal (Articles) dan ada yang dibagi-bagi lagi ke dalam ayat-ayat (Paraghraps)
dan ayat-ayat itu ada pula yang dibagi-bagi lagi ke dalam sub-ayat (sub-Paraghraps). Jadi
Konvensi Wina ini terdapat 8 (delapan) bagian dan ke delapan bagian ini terdiri dari 86 (delapan
puluh enam) pasal. Namun perlu di ingatkan bahwa konvensi ini harus dilihat sebagai satu
kesatuan yang utuh. Berikut ini adala uraian mengenai Konvensi Wina 1969 tersebut.
Bagian pertama adalah bagian pengantar yang terdiri dari lima pasal, dimana Pasal 1
menjelaskan mengenai ruang lingkup perjanjian. Pasal 2 menyebutkan persetujuan
internasional yang terltak di luar konvensi. Pasal 3 menerangkan bahwa konvensi ini tidak
memakai azas non-retroactive. Serta dalam Pasal 4 dan Pasal 5 menegaskan bahwa perjanjian
internasional yang merupakan dasar bagi terbentuknya organisasi internasional dan perjanjian
intrnasional yang di hasilkan dalam kerangka suatu organisasi internasional.
Konvensi ini juga berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang demikian itu. Yang
dimaksud dengan Organisasi Internasional adalah organisasi Internasional yang anggotanya
terdiri dari negara-negara dan Organisasi Internasional, jika Organisasi Internasional itu
membuat suatu perjanjian Internasional uang nantinya akan mengikat para anggotannya terdiri
dari negara dan organisasi Internasinal. Bagian II mengatur tentang rumusan atau pembuatan
berlakunya suatu perjanjian Internasional yang terdiri dari 3 seksi dan 20 pasal yang meliputi
pasal 6 sampai dengan pasal 25. Dimana isi dari Pasal 6 ialah mengatur tentang kapasitas atau
kemampuan suatu organisasi Internasional dalam membuat atau merumuskan suatu perjanjian
Iternasional. Dimana ditegaskan dalam Pasal 6 tersebut bahwa kemampuan suatu organisasi
Internasional dalam membuat atau merumuskan suatu perjanjian Internasional diatur oleh
peraturan-peraturan yang berlaku dalam Organisasi Internasional yang dilakukan.
Pasal 7 mengatur tentang kuasa penuh(full powers) dari seseorang yang bertindak
mewakili suatu negara atau suatu Organisasi Internasional dalam membuat atau merumuskan
suatuperjanjian Internasional. Pasal 8 mengatur tentang konfirmasi yang dilakukan kemudian
atas suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang tanpa kewenangan untuk membuat
atau merumuskan suatu Perjanjian Internasional tanpa sepengetahuan sebelimnya dari suatu
negara atau suatu Organisasi Internasional. Tindakan seperti ini tidak meninggalkan akibat
hukum apapun terhadap para pihak, kecuali kemudian negara atau organisasi Internasional itu
menyetujuinya.
Pasal 9 dari 2 Seksi mengatur tentang pengapdopsian naskah perjanjian(Adoption of the
text), Pasal 10 tentang pengotentikasian naskah perjanjian (authentication of the text), dan
Pasal 11 mengatur tentang cara-cara menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu
perjanjian Internasional. Pasal ini membedakan antara cara yang dilakukan oleh suatu negara
pada suatu pihak dimana cara yang dipilih adalah penandatangan(signature), pertukaran
instrument-instrumen yang membentuk perjanjian Internasional, ratifikasi, akseptasi, aksesi,
persetujuan, atau dengan cara-cara lain yang disetujui. sedangkan organisasi internasional tidak
dapat menggunakan cara ratifikasi , tetapi dengan menggunakan cara melakukan tindakkan
konfirmasi formal. selanjutnya dalam Pasal 12,13,14,15,16,17 diatur secara lebih rinci tentang
penggunaan masing-masing cara seperti tersebut pada Pasal 11 sedangkan Pasal 18 mengatur
tentang kewajiban untuk tidak menggagalkan maksud dan tujuan suatu perjanjian
internasional, sebelum perjanjian itu belum berlaku.
Pasal 20 mengenai tentang penerimaan dan penolakan atau keberatan atas suatu
pensyaratan , Pasal 21 tentang akibat hukum dari pensyaratan dan penolakan atau keberatan
atas suatu pensyaratan, Pasal 22 tentang penarikan kembali atas pensyaratan dan penerikan
kembali atas keberatan terhadap suatu pensyaratan, sedangkan Pasal 23 berkenaan prosedur
yang yang berkaitan dengan pensyaratan seksi III mengenai mulai berlakunya dan penerapan
sementara suatu perjanjian internasional, masing-masing dalam Pasal 24, Pasal 25.
Pasal 26 memuat asas Pact sunt servanda yang berarti setiap perjanjian internasional
yang mengikat para pihak wajib ditaati dengan penuh itikad baik . Pasal 27 mengatur hukum
tentang hukum nasional (internal law) suatu negara, pada hakekatnya hukum nasional maupun
hukum atau peraturan internal suatu organisasi internasional tidak boleh dijadikan sebagai
alasan oleh negara atau organisasi yang bersangkutan atas kegagalannya menaati suatu
perjanjian internasional dimana negara atau organisasi internasional itu sebagai pihak atau
pesertanya.
Seksi 2 terdiri dari 3 pasal, yakni Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30. Pasal 28 menegaskan
tentang tidak berlaku surutnya suatu perjanjian internasional. Pasal 29 mengatur mengenai
ruang lingkup wilayah berlakunya perjanjian internasional. Sedangkan dalam Pasal 30 yang
terdiri dari 6 ayat mengatur mengenai pergantian perjanjian lama dengan perjanjian baru.
Seksi 3 terdiri dari tiga pasal, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33. Di mana Pasal 31 terdiri
dari 4 ayat yang mengatur tentang ketentuan umum mengenai penafsiran. Pasal 32 berkenaan
dengan sarana tambahan atas sarana pelengkap penafsiran atas perjanjian. Pasal 33 mengatur
tentang penafsiran perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih.
Seksi 4 terdiri dari 5 pasal. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa sutu perjanjian
internasional tidak menciptakan hak dan kewajiban terhadap pihak pihak ketiga tanpa
persetujuan dari pihak ketiga. Pasal 35 menegaskan tentang kewajiban yang timbul terhadap
pihak ketiga dalam perjanjian dan Pasal 36 ayat 1,2 mengatur mengenai menetapkan mengenai
hak bagi pihak ketiga. Pasal 37 mengatur mengenai penarikan kembali hak dan kewajiban pihak
ketiga. Terakhir dalam Pasal 38 diatur mengenai perjanjian internasional yang mengikat pihak
ketiga karena kebiasaan internasional.
Bagian IV (Part IV) terdiri dari: Pasal 39 mengatur mengenai amandemen perjanjian
internasional. Pasal 40 mengatur mengenai amandemen perjanjian internasional multilateral.
Pasal 41 mengatur mengenai modifikasi perjanjian internasional.
Bagian V (Part V) terdiri dari lima seksi dan tiga puluh satu pasal. Seksi 1 terdiri dari,
Pasal 42 terdiri dari dua ayat yang mngatur tentang keabsahan perjanjian internasional. Pasal
43 mengatur tentang kewajiban yang terpisah dari perjanjian internasional. Pasal 44 mengatur
tentang pemisahan ketentuan-ketentuan perjanjian dan Pasal 45 mengatur tentang hilangnya
hak dengan pernyataan atau alasan-alasan seperti tersebut dalam konvensi ini.
Seksi 2 yang terdiri dari Pasal 46-53, menerangkan tentang sah-tidaknya perjanjian
internasional. Pasal 46 berkenaan dengan ketentuan-ketentuan hukum internal dan peraturan-
peraturan dari organisasi-organisasi internasional tidak boleh dijadikan dasar dalam engikaran
terhadap perjanjian internasional. Dalam Pasal 47 diatur tentang pembatasan secara khusus
terhadap suatu negara, organisasi internasional terhadap wakilnya dalam menyatakan
persetujuan terhadap perjanjian internasional. Sedangkan dalam Pasal 48 tentang kesalahan
atau situasi error dalam perjanjian internasional. Pasal 49 mengenai kecurangan, penipuan dari
negara dan organisasi internasional yang melakukan perundingan. Dalam Pasal 50 tentang
korupsi yang dilakukan oleh negara dan organisasi internasional baik langsung maupun tak
langsung. Pasal 51 tentang paksaan dari wakil negara atau organisasi internasional dalam
mengikatkan diri terhadap perjanjian internasional. Dalam Pasal 52 dirumuskan mengenai
ancaman dan paksaan pada waktu merumuskan perjanjian. Pasal 53 diatur mengenai
perumusan perjanjian yang melanggar Jus Cogens.
Seksi 3 yang terdiri beberapa pasal, dimana Pasal 54 mengatur tentang pengakhiran
berlakunya perjanjian internasional dan penarikan diri dari perjanjian internasional. Pasal 55
mengatur tentang berkurangnya para pihak dalam perjanjian internasional sesuai dengan
syarat yang ditentukan dalam perjanjian internasional. Sedangkan dalam Pasal 56 mengatur
masalah penarikan diri dari perjanjian internasional. Dalam Pasal 57 berkenaan dengan
pengunduran diri dalam suatu perjanjian internasional. Kemudian Pasal 58 mengatur tentang
penundaan berlakunya perjanjian internasional multilateral. Pasal 59 mengatur tentang
berakhirnya penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional multilateral. Dalam Pasal 60
diatur tentang pengakhiran dan penundan berlakunya suatu perjanjian internasional. Pasal 61
mengatur tentang tidak mungkinnya salah satu pihak untuk menaati isi perjanjian. Dalam Pasal
62 mengatur mengenai keadaan yang fundamental. Pasal 63 mengatur mengenai pemutusan
hubungan diplomatic dan konsuler terhadap eksistensi perjanjian. Dalam Pasal 64 tentang
lahirnya Jus Cogens baru.
Seksi 4 mengatur tentang procedural. Dalam Pasal 65 mengatur tentang prosedur yang
harus diikuti dalam hal tidak sahnya pengakhiran, penarikan diri, atau penundaan berlakunya
perjanjian. Pasal 66 mengatur tentang prosedur mengenai penyelesaian sengketa. Sedangkan
dalam Pasal 67 mengatur tentang instrument-instrumen yang dapat dijadikan untuk
menyatakan perjanjian internasional itu tidak sah, harus diakhiri, penarikan diri, dan
penundaan berlakunya perjanjian. Terakhir Pasal 68 menerangkan tentang penarikan kembali
pemberitahuan-pemberitahuan dan instrument-instrumen seperti ditegaskan dalam Pasal 65-
67.
Seksi 5 berkenaan dengan konsekuensi dari ketidaksahan, pengakhiran, atau penundaan
berlakunya suatu perjanjian internasioanal. Dalam Pasal 69 mengatur tentang konsekuensi
tidak sahnya perjanjian internasional. Pasal 70 tentang konsekuensi hukum dari pengakhiran
berlakunya perjanjian internasional. Pasal 71 tentang konsekuensi dari perjanjian yang
bertentangan dengan Jus Cogens. Pasal 72 tentang akibat hukum dari penundaan berlakunya
perjanjian internasional.
Bagian VI (Part VI) terdiri dari 4 pasal. Pasal 73 mengatur tentang pergantian negara,
tanggung jawab negara dan pecahnya hubungan permusuhan dan pengaruhnya terhadap
perjanjian, Pasal 74 mengatur tentang hal-hal dan persoalan yang tidak tunduk pada konvensi
ini. Dalam Pasal 75 mengatur tentang tidak adanya hubungan diplomatic dan konsuler tidak
mengahalangi adanya perjanjian internasional. Pasal 76 mengatur tentang suatu negara yang
menjadi aggressor terhadap negara lain serta pengaruhnya terhadap pelaksanaan hak dan
kewajiban yang lahir dalam perjanjian internasional.
Bagian VII (Part VII) terdiri dari 5 pasal. Pasal 77 mengatur tentang penyimpanan naskah
perjanjian. Sedangkan dalam Pasal 78 mengatur tentang fungsi dari negara dan organisasi
internasional yang melakukan penyimpanan naskah perjanjian. Pasal 79 mengatur tentang
komunikasi para peserta terhadap perjanjian-perjanjian internasional lain yang berkaitan
dengan perjanjian internasional yang ditandatangani. Dalam Pasal 80 mengatur tentang
perbaikan dan salah cetak yang dialami perjanjian internasional tersebut. Pasal 81 mengatur
tentang pendaftaran dan publikasi perjanjian.
Bagian VIII (Part VIII) merupakan bagian akhir yang terdiri dari 5 pasal. Pasal 82
mengatur tentang penandatanganan. Pasal 83 mengatur tentang ratifikasi. Pasal 84 mengatur
tentang aksesi. Pasal 85 mengatur tentang mulai berlakunya perjanjian. Pasal 86 mengatur
tentang naskah konvensi yang otentik.
Dalam konvensi ini juga disepakati sebuah annex yang mengatur mengenai
pembentukan prosedur aribitrase dan konsiliasi dalam penerapan atas Pasal 66.