respon seorang ahli anastesi terhadap laporan alergi obat oleh pasien sendiri

15
Respon Seorang Ahli Anastesi terhadap Laporan Alergi Obat oleh Pasien Sendiri Latar Belakang. Pasien dengan alergi obat adalah hal yang umum terjadi pada praktek anastesi. Kami memeriksa insiden dan sifat dari “alergi” obat yang didapat dari pasien operasi yang sebelumnya dirawatdi klinik sebelum rumah sakit dan telah mengalami alergi obat dengan derajat yang tak pasti didata dengan obat yang diberikan selama pasien berada di rumah sakit dan menentukan apa ada efek samping yang muncul berhubungan dengan obat yang diberikan pada populasi ini. Metokde. Pasien yang mendapat penanganan anestesi pada Klinik Pre-Admisi selama periode 30 minggu dieperiksa berhubungan dengan alergi obat. Rekam medis dari pasien ini kemudian diperiksa setelah perawatan di rumah sakit untuk mendapat medikasi selama periode tersebut. Hasil. Dari 1260 pasien yang datang ke klinik Pre-Admisi/Sebelum dirawat inap selama periode penelitian 420 (33,4%) diklaim memiliki total 644 individu dengan alergi obat. Agen yang paling sering menyebabkannya adalah antibiotic (n=272), analgesik opioid (n= 118) dan OAINS (n=62); bentuk reaksi yang paling umum adalah dermatologic (n=254) dan mual dan muntah (n=124). Terdapat 41 laporan pribadi yang spesifik dengan anafilaksis dan lebih lanjut terdapat 61 yang melibatkan sistem respirasi.

Upload: rizki-setiawan

Post on 28-Sep-2015

9 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

anestesi

TRANSCRIPT

Respon Seorang Ahli Anastesi terhadap Laporan Alergi Obat oleh Pasien Sendiri

Latar Belakang. Pasien dengan alergi obat adalah hal yang umum terjadi pada praktek anastesi. Kami memeriksa insiden dan sifat dari alergi obat yang didapat dari pasien operasi yang sebelumnya dirawatdi klinik sebelum rumah sakit dan telah mengalami alergi obat dengan derajat yang tak pasti didata dengan obat yang diberikan selama pasien berada di rumah sakit dan menentukan apa ada efek samping yang muncul berhubungan dengan obat yang diberikan pada populasi ini.

Metokde. Pasien yang mendapat penanganan anestesi pada Klinik Pre-Admisi selama periode 30 minggu dieperiksa berhubungan dengan alergi obat. Rekam medis dari pasien ini kemudian diperiksa setelah perawatan di rumah sakit untuk mendapat medikasi selama periode tersebut.

Hasil. Dari 1260 pasien yang datang ke klinik Pre-Admisi/Sebelum dirawat inap selama periode penelitian 420 (33,4%) diklaim memiliki total 644 individu dengan alergi obat. Agen yang paling sering menyebabkannya adalah antibiotic (n=272), analgesik opioid (n= 118) dan OAINS (n=62); bentuk reaksi yang paling umum adalah dermatologic (n=254) dan mual dan muntah (n=124). Terdapat 41 laporan pribadi yang spesifik dengan anafilaksis dan lebih lanjut terdapat 61 yang melibatkan sistem respirasi.

Kesimpulan. Mayoritas laporan alergi oleh pasien sendiri sebenarnya merupakan efek samping obat yang telah dipertimbangkan. Laporan pasien akan riwayat alergi obat yang secara umum dihormati oleh ahli anestesi dan staf medis lainnya. Terdapat 13 insidens yang melibatkan morfin, dimana pasien diberikan obat yang diklaim alergi terhadap obat tersebut.Terdapat 101 insidens pada 89 pasien dimana obat dengan grup farmakologik yang sama dengan alergi obatnya diberikan. Tidak terdapat reaksi yang tidak diinginkan pada 84 pasien yang memiliki reaksi alergi terhadap penisilin terhadap pemberian cephalosporin. Tidak terdapat sequele dari peristiwa lainnya. Ketika ahli anastesi menghargai laporan pasien akan alerginya, tetap harus memberikan perhatian lebih untuk akurasi dari kejadian pasien dan perbedaan jelas antara alergi obat sesungguhnya dengan reaksi efek samping obat.

Kata kunci: Komplikasi, reaksi efek samping; komplikasi, alergi

Mendapatkan riwayat pemakaian obat adalah bagian penting untuk perawatan medis dan dalam riwayat tersebut, penting untuk memperoleh dari laporan pasien akan efek samping atau alergi obat sebelumnya, dimana detil tersebut biasanya ala kadarnya.

Tujuan dari penelitian ini terdiri dari 3. Pertama, untuk memeriksa detil dari laporan alergi obat pada populasi pasien operasi dan menentukan sejauh mana kejadian ini merupakan alergi obat dan bukan merupakan efek samping obat. Kemudian, dengan memeriksa rekam medis pasien, maka dapat memastikan tingkatan dari alergi obat yang dilaporkan pasien untuk mempengaruhi pemberian obat dan adanya efek samping oleh karena resep yang tidak sesuai.

Metode

Setelah adanya persetujuan dari Komite Etik Rumah Sakit, semua pasien yang datang ke klinik seblum dirawat inap di rumah sakit ini dianamnesis oleh ahila farmasi (C. W. atau C. C.) menggunakan kuisioner yang berisi tentang alergi obat yang perlu dilaporkan. Jika respon tersebut positif, ciri data pasien direkam dan juga reaksi serta lama reaksi yang terjadi dicatat. Alergi pasien-pasien ini dicatat sesuai tata cara pada Patient Medication Chart. Setelah dipulangkan dari rumah sakit, rekam medis dari pasien tersebut diperika untuk menentukan obat apa yang diberikan selama dirawat dan apakah obat tersebut memberikan reaksi sesuai laporan alergi yang diberikan dari daftar alergi pasien.

Hasil

Selama periode 30 minggu, terdapat total 1260 pasien yang datang di Rumah Sakit PAC untuk ditangani sebelum operasi. Dari 431 (29,1%) diklaim memiliki setidaknya satu alergi obat dan mendapat penanganan lebih lanjut oleh ahil farmasi. Sebelas pasien dieksklusi. Pada Sembilan pasien, hal ini dilakukan karena alergi tersebut bukan karena obat, tapi oleh karena peralatan operasi atau makanan. Sisa 2 kasus lainnya oleh karena mereka mengaku memiliki lebih dari 40 alergi obat yang berbeda. Sayangnya, dari daftar yang ada, secara singkat pasien-pasien ini tidak menerima semua obat tapi hanya dari daftar yang dibuat dari obat-obat yang mereka rasa alergi. Hal ini membuktikan bahwa tidak mungkin untuk menentukan riwayat pasien akan obat mana yang telah terekspos dan yang mana dicurigai sebagai allergen. Untuk itu, 420 pasien yang dirawat inap akhirnya diteliti. Karakteristik pasien dari grup tersebut menunjukkan jumlah perempuan yang lebih besar (perempuan 269, laki-laki 139) dengan rata-rata umur 62,6 tahun (19-95 tahun).

Penilaian preoperative

Terdapat total 644 reaksi yang dilaporkan dari 420 pasien yang diteliti. Reaksi ringan seperti ruam dan pruritus (n=254) atau mual dan muntah (n=124) merupakan sebagian besar dari laporan yang ada (tabel 1). Dari laporan yang serius, terdapat 41 laporan pribadi terjadi anafilaksis [penisilin (n=21); sulfonamide (n=4); OAINS (n=2)] dan lebih lanjut terdapat 61 laporan dari kejadian yang berpotensi serius termasuk distress repsiratori, obstruksi jalan napas atau edem oro-fasial. Meskipun, terdapat pertimbangan kemungkinan sulit dibedakan kategori anafilaksis dan edem pernapasan, hanya pasien yang spesifik masuk kedalam keadaan anafilaksis yang dapat masuk ke kategorinya. Dari grup ini, obat paling umum yang menyebabkan alergi obat adalah golongan antibiotic dengan 31 laporan [penisilin (n=14); sulfonamide (n=12), antibiotic lainnya (n=5)], obat anti inflamasi non steroid (n=8) dan opioid (n=3). Terdapat 38 kasus dimana pasien mengalami efek samping untuk obat tertentu, tapi telah melupakan detil dari kejadian tersebut sehingga tidak memberikan informasi lebih lanjut.

Tabel 2 menunjukkan obat yang paling umum menyebabkan reaksi ini adalah antibiotik (n=272) dan analgesik opioid (n=118). Yang juga penting untuk ahli anestesi adalah obat umum lainnya yang menyebabkan alergi tersebut termasuk didalamnya IOAINS (62), phenothiazine (13) dan tramadol (12). Dari enam pasien yang mengaku alergi terhadap anestesi umum, didapatkan bahwa hanya terdapat keluhan mual dan muntah setelah operasi. Alur perjalanan reaksi ini juga diinvestigasi. Meskipun mayoritas (n=317) muncul selama 10 tahun terakhir, pasien juga tetap melaporkan kejadian yang muncul 30 (n=570), 40 (n=47) atau bahkan 50 tahun yang lalu (n=37). Pada 124 kasus, pasien tidak dapat meningat reaksi yang telah muncul sebelumnya

Penilaian Postoperatif

Tujuan dari bagian penelitian ini adalah untuk memeriksa derajat alergi yang dilaporkan oleh pasien dimana untuk pemberian obat medis nantinya. Dari 420 pasien yang mengikuti penelitian ini, hanya tercatat 400 pasien yang dipilih untuk pemeriksaan lebih lanjut.Dua puluh pasien dieksklusi dari bagian kedua penelitian ini entah karena pasien tersebut tidak melanjutkan operasi (n=9) atau karena rekam medis pasien tidak bisa ditemukan (n=11).

Pada kebanyakan kasus (n=298), pasien tidak diberikan obat yang spesifik membuat mereka alergi. Terdapat 101 contoh dari 89 individu dimana obatnya telah dipilih dari grup mereka, barangkali untuk mengindari alergi obat (tabel 3). Kejadian yang paling umum adalah penggunaan sefalosporin pada pasien yang melaporkan dirinya alergi terhadap penisilin (n=84).

Akan tetapi, pada sejumlah kecil kasus (n=13), terdapat bukti bahwa pasien telah dirawat inap baik mereka telah menklaim dirinya alergi atau yang mirip dengan konten obat yang dialergi. Pada kasus lainnya, penisilin diberikan pada dua pasien yang melaporkan dirinya alergi terhadap penisilin, dan kodein (tiga), tramadol (satu), dan aspirin (satu) juga diberikan dibawah keadaan yang sama. Tidak ada satupun dari kasus ini yang menunjukkan adanya efek samping setelah pemberian.

Diskusi

Bagian penting dari medis atau penilaian anestesi adalah pemeriksaan akan adanya alergi obat sebelumnya atau reaksi efek samping/ adverse drugs reactions (ADRs). Di Rumah Sakit, pertanyaan yang sama biasanya ditanyakan oleh tim pelayanan kesehatan termasuk staf perawat dan ahli farmasi, tapi meskipun hal ini dilakukan, penilaian yang akurat tidak selalu terjadi.

Sementara data tersebut dirangkum ke daftar yang sederhana, analisis lebih lanjut sering memberikan pandangan yang berguna untuk melihat sifat dasar dari reaksi ini. Efek samping yang dimaksud adalah efek samping berbahaya, tidak disengaja dan tidak diinginkan dari obat yang muncul dari dosis untuk pencegahan, diagnosis dan pengobatan. Akan tetapum Rawlins dan hompson telah mengembangkan konsep inim dan menklasifikasikan reaksi efek samping ke dalam dua grup utama tergantung dari etiologinya.

Reaksi tipe A adalah umum terjadi dan dapat diprediksi. Reaksi ini biasanya tergantung pada dosis dan telah diketahui aksi farmakologi dari obatnya. Efeknya termasuk dosis yang berlebihan efek sekunder seperti diare yang dihubungkan dengan penggunaan antibiotik. Intoleransi obat (efek yang tidak diinginkan dimana dikarenakan oleh dosis terapi atau sub-terapi) juga termasuk dalam kategori ini.

Reaksi tipe B jarang terjadi, biasanya tidak diprediksi dan tidak tergantung dosis. Penjelasan dari kejadian ini termasuk reaksi idiosinkratik (reaksi yang tidak memiliki ciri khas dan tidak dapat dijelaskan aksi farmakologinya) dan alergi atay reaksi hipersensitivitas. Baru-baru ini, semua kuisioner untuk semua kriteria digunakan untuk pemeriksaan kembali reaksi alergi. Grup ahli menyarankan istilah hipersensitivitas harusnya digunakan sebagai payung untuk semua reaksi, khusunya yang melibatkan kulit dan membran mukosa. Istilah alergi digunakan hanya untuk reaksi yang telah ditunjukkan memiliki reaksi imunologis.

Tidak diragukan lagi bahwa analisis reaksi efek samping dan perbandingan antara penelitian-penelitan menjadi lebih lebih sulit. Hal ini dikarenakan oleh istilah dari salah satu peneliti Tower of Babel, dimana dengan berjalanannya waktu, definisi dan istilah berubah, dengan beberapa kategori (contohnya pseudo-alergi) yang ditinggalkan dan muncul kategori baru (contoh dermatitis kontak alergik protein). Perubahan ini menunjukkan perkembangan dari ruang lingkup imunologi klinis.

Meskipun adanya keterbatasan dari klasifikasi Rawlinson dan Thompson, klasifikasi tersebut tetap dipakai oleh banyak peneliti untuk menyederhanakan klasifikasi reaksi efek samping (ADR). Telah ditunjukkan bahwa, sebagai tambahan dari reaksi tipe A dan tip B, grup ketiga perlu ditambah. Grup ini adalah pasien yang mengalami kejadin efek samping seperti mual atau muntah dan telah salah menanggap obat sebagai penyebabnya, melainkan mungkin merupakan bagian dari proses penyakit.

Insidens dari alergi obat dan distribusi dari reaksi tipe A dan B menggunakan klasifikasi Rawlinson dan Thompson telah diteliti secara luas. Kebanyakan penelitian menemukan bahwa kejadian laporan adanya alergi obat oleh pasien sendiri sekitar 25 dan 39%.

Pada 915 pasien yang dirawat lebih dari 13 bulan, 78 (8,5%) melapokan adanya 102 reaksi efek samping dan 102 reaksi. Pada 45 kasus, efek samping tersebut menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit. Obat yang paling sering menyebabkan adalah diuretic, analgesik khususnya OAINS dan obat anti-psikotik. Pada penelitian lainnya oleh Jones dan Como menunjukkan bahwa dari sampel mereka (n=133) terdapat reaksi efek samping pada 39% dengan antibiotik beta-lactam (12,6%), sulfonamide (9,1%) dan opioid (4,4%).

Ketika reaksi efek samping ini diperika lebih lanjut, kebanyakan penelitian menyimpulkan bahwa mayoritas laporan reaksi obat adalah kategori tipe A. Reaksi ini antara 70 dan 80% dari semua laporan dengan grup yang tidak dapat ditentukan sekitar 10%. Penelitian kami mendukung penemuan ini dengan kategori reaksi A (n=386) melebihi kategori reaksi B (n=152). Sebagai pengingat dari kasus tersebut (n=106), tidak munkgin untuk menentukan sifat dari reaksi melalui data yang ada. Tipe reaksi yang paling umum hanyalah minor dengan reaksi dermatologis dan gastrointestinal.

Yang lainnya menemukan hasil yang berlainan. Pada satu kasus dimana peneliti meneliti lebih dari 1800 pasien dan menemukan bahwa 28% memiliki satu atau lebih alergi. Terdapat jumlah yang lebih besar pada wanita (60,3%). Umumnya obat yang berkaitan adalah antibiotik (50%), opioid (27%) dan OAINS (10%). Angka kemungkinan alergi yang sesunggunya (tipe B) adalah lebih tinggi dari 50%. Pada penelitian prospektif lainnya pada perawatan di rumah sakit, menunjukkan 366 kasus dari suspek alergi obat diikuti selama 2 tahun dan ditemukan bahwa mayoritas (57,4%) merupakan alrgi obat yang sesunggunhnya, 19,7% idiosinkratik dan 19,1% reaksi koinsidens.

Meskipun perubahan ini penerapan pola berubah seiring berjalanannya waktu, obat yang paling umum dilaporkan adalah antibiotik dan analgesik termasuk opioid dan OAINS, dengan reaksi yang paling umum terjadi adalah reaksi dermatologis.

Secara umum, penisilin merupakan penyebab paling banyak untuk reaksi alergi obat dan anafilaksis, dengan kejadian pada populasi antara 1 dan 10%. Akan tetapi, telah ditunjukkan bahwa mayoritas pasien yang melaporkan dirinya alergi dengan penisilin, tidak betul-betul alergi terhadap penisilin dan dapat menerima penisilin dengan aman. Penelitian lainnya menunjukkan dari 1790 pasien dengan alergi penisilin, hanya 57 (3,2%) yang benar-benar alergi terhadap penisilin dan 4 diantaranya mengalami anafilaktik.

Banyak yang telah menulis tentang alerfi penisilin dan konsekuensinya. Hal ini penting untuk mengidentifikasi reaksi sesungguhnya dari pasien yang menganggap dirinya alergi terhadap penisilin. Validasi dari alergi yang sesungguhnya menggunakan tes skin prick dapat dilakukan sehingga pemberian obat antibiotik yang sesuai dapat diberikan serta mengindari resisten yang dapat terjadi.

Reaksi anafilaksis terhadap penisilin, meskipun masih jarang tetap saja memberikan reaksi yang fatal lebih dari 75%. Ketika reaksi ini muncul,m biasanya pada umur dewasa 20-29 tahun. Yang menarik adalah seiring dengan berjalanannya waktu, risiko untuk terjadi reaksi berkurang, dengan kejadian tes skin prick yang positif pada anafilaksis sebelumnya berkurang 10%. Pemeriksaan kulit sendiri memiliki sensitivitas yang bervariasi antara 20 dan 70% tergantung penyebabnya.

Kejadian cross-senstivity antara penisilin dan sefalosporin telah menjadi subjek yang menarik untuk diteliti. Derajat cross-sensitivity telah diperkirakan sekitar 10% untuk generasi pertama sefalosporin, tapi hanya 1-2% untuk generasi ketiga. Pada penelitian kami, diberikan sefalosporin [cephazolin (n=73), cefotetan (n=7) dan ceftriaxone (n=4)] diberikan pada 84 pasien yang dipercaya alergi terhadap penisilin tanpa sequele efek samping.

Antibiotik sulfonamis jarang diberikan sekarang ini, dan kebanyakan orang menetapkan bahwa yang alergi pada obat ini merupakan pasien orang tua (rata-rata umur 61,7), menunjukkan perubahan pada pola pemberian resep. Ketika reaksi dermatologis muncul seperti sindrom Steven-Johnsondimana dapat membahayakan jiwa dengan keluhan paling umum adalah kulit dan gastrointestinal. Terdapat beberapa perbedaan pendapat berhubungan dengan insidens cross-sensitivity antara sulfonamide dan obat lainnya dengan struktur yang mirip. Diketahui bahwa bagian para-amino benzoic acid ditemukan pada sulfonamide, tetapi juga ditemukan ada COX-2 inhibitor, diuretic thiazide, sulfonylurea oral dan diazoxide, yang telah ditunjukkan bahwa risiko cross-sensitivity lebih teoritis dibandingkan dengan penilaian klinis. Hal ini karena sulfonamide mengandung aromatic amine pada posisi N4, yang penting untuk aktivitas antimicrobial dan kecendrungan alergenik.

OAINS adalah obat yang paling sering menyebabkan keluhan gastrointestinal, yaitu reaksi tipe A. Dan reaksi alergi yang sesungguhnya tidak umum terjadi, melainkan berhubungan dengan OAINS induced asma, dan urtikaria/angio-edema. Meningitis aspetik dan pneumonitis hipersensitif adalah reaksi imun lainnya yang telah dilaporkan.

Untuk opioid, mayoritas reaksi yang terjadi adalah tipe A dan termasuk mual, muntah sedasi dan pruritus. Gejala tersebut jelas bukan merupakan alergi tapi masalah pada penggunaan obat. Kebanyakan ahli anestesi pada penelitan kami memilih untuk menghindari offending drug (biasanya morfin) dan opioid lainnya. Akan tetapi, tren terbaru melawan penggunaan meperidine lebih dibatasi.

Menarik untuk dicatat bahwa pada penelitian kami, tujuh pasien melaporkan reaksi terhadap kortikosteroid (ruam, 2; udem wajah, 2: halusinasi, 1; tak dapat mengingat,1). Reaksi hipersensitivitas steroid jarang dan tidak diketahui. Pada suatu ulasan ditunjukkan bahwa reaksi steroid dapat bervariasi dari efek minor dermatologis sampai kolaps kardiovaskular. Mekanisme yang berperan kemungkinan bersifat multipel dengan respin IgE dan beberapa pseudo-alergik.

Pada penelitian ini, total 644 reaksi dilaporkan dari 420 pasien pada Klinik pra-admisis, dengan hasil bahwa laporan sebelumnya menunjukkan sepertiga pasien di rumah sakit memiliki setidaknya satu alergi obat. Pasien cenderung untuk melebih-lebihkan alergi obatnya, dengan banyak reaksi dan banyak yang muncul 40 tahun yang lalu. Lebih penting, bahwa obat-obat penyebab alergi seperti antibiotik, opioid dan obat analgesik lain seperti OAINS dan tramadol merupakan bagian dari penanganan anestesi dan selama pembedahan. Ketika akan melakukan prosedur anestesi pada pasien, ahli anestesi harus mnentukan apakah menghindari penggunaan obat yang dilaporkan alergi atau menggunakan alternatif lain atau bahkan memeriksa lebih lanjut laporan alergi yang diberikan. Jika pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan bahwa reaksi yang dialami hanyalah efek samping, maka tidak ada alasan untuk menggunakan obat alternatif setelah mendisuksikan dengan pasien. Risiko selalu ada dan situasi yang tidak diinginkan dapat terjadi.

Label alergi obat perlu diberikan dengan hati-hati setelah adanya reaksi efek samping (ADR). Pasien haru mengerti bahwa tidak perlu untuk melabel diri mereka alergi ketika hal tersebut tidak benar dan dapat mengganggu pemberian obat untuk masa yang akan datang. Bahkan ketika pasien menderita reaksi alergi yang sesungguhnya, pemeriksaan subsekuen dapat menunjukkan bahwa penyebabnya bukan berasal dari obat yang disangka sebagai penyebabnya.

Pendekatan kedua adalah penggantian dari skema medikasi dan lembar rekam anestsi dari hasil alergi obat dan ADR, yang terpisah secara terminology sehingga membantu dokter untuk memberikan resep dengan mempertimbangkan kejadian sebelumnya. Pada rumah sakit kami, kejadian efek samping dicatat pada lembar spesifik, yang mana ditransfer dari rekam medis pasien selama dirawat. Untuk itu, rekam medis permanen dan lanjut dari efek samping yang terjadi dicatat oleh personal rumah sakit yang berkompeten. Kita juga harus sadar bahwa proporsi besar tapi tidak mayoritas, dapat muncul pada komunitas masyarakat, tidak hanya di rumah sakit. Komuniaksi yang layak diperlukan untuk pengembagan setiap area.

Kemungkinan efek samping obat muncul selama perioperatif perlu dipertimbangkan dan seorang ahli anestesi harus membahas ini dengan pasien. Jika ada kemungkinan bahwa Tipe reaksi A terjadi pasien harus diyakinkan bahwa hal ini bukan merupakan reaksi alergi dan tidak menghalangi penggunaan obat di masa akan datang.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ahli anestesi selalu berhati-hati untuk menghindari pemberian obat pada pasien yang alergi pada obat tertentu. Namun, banyak informasi oleh pasien yang tidak dapat diandalkan, menunjukkan kejadian sebelumnya. Memastikan pasien diberikan detil efek samping yang akurat yang dapat muncul selama perawatan di rumah sakit akan membantu meringankan masalah yang dapat muncul di masa yang akan datang.