respon imun seluler pada penderita hepatitis c kronik

9
RESPON IMUN SELULER PADA PENDERITA HEPATITIS C KRONIK Ichsannil Husna, Irsan Hasan, Rino A. Gani, Unggul Budihusodo, L. A. Lesmana, Ali sulaiman, Nurul Akbar, H. J. Sjaifoellah Noer Sub Bagian Hepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN – Cipto Mangunkusumo Jakarta Pendahuluan Penyakit hati kronik masih menjadi masalah besar pada banyak negara di dunia ini, termasuk juga di Indonesia. Berbagai faktor dapat berperan sebagai penyebabb hepatitis kronik, seperti virus hepatitis, konsumsi alkohol, obat-obatan, penyakit hati bawaan maupun perlemakan hati non alkoholik. Untuk negara kita masalah terbesar berasal dari virus hepatitis B disusul dengan virus hepatitis C. Virus hepatitis B diperkirakan telah menginfeksi 2 milyar manusia, dan lebih dari 300 juta penduduk dunia menderita infeksi kronik. Di Indonesia prevalensi HbsAg berkisar antara 3,5% sampai dengan 9,1% atau rata-rata 5,5%. Di beberapa tempat bahkan dilaporkan angka yang sangat tinggi mencapai 17%. Hepatitis C saat ini masih berada di tempat kedua sebagai penyebab hepatitis kronik di negara kita, dengan prevalensi 2,1%. 1 Seiring dengan makin maraknya penyalahgunaan narkoba diperkirakan jumlah penderita hepatitis C ini akan meningkat pula dengan cepat. Di jakarta ternyata 74,9% penyalahguan obat telah terinfeksi oleh virus hepatitis C. 2 Pengobatan penyakit hepatitis virus kronik masih sulit dijangkau bagi sebagian besar pasien di Indonesia karena masalah sosioekonomi. Selain dari itu tingkat keberhasilan terapi anti viral untuk hepatitis B maupun C adalah sekitar 40-7-%. Kegagalan terapi dan besarnya kelompok yang tidak memenuhi pensyaratan untuk mendapatkan obat anti virus membuat para ahli tertarik untuk mengguanakan apa yang selama ini disebut sebagai terapi alternatif (complementary and alternative medicine = CAM). Preparat herbal yang paling sering dipakai untuk penyakit hati Sylimarin danCurcuma. Echinacea dikenal sebagai obat herbal yang mempunyai kemampuan imunostimulan. Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk membuktikan kemampuan Echinacea dalam meningkatkan sistem imun pasien dengan infeksi virus. 10 ~ 1 ~

Upload: mus-amano

Post on 13-Aug-2015

135 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

RESPON IMUN SELULER PADA PENDERITA HEPATITIS C KRONIK

TRANSCRIPT

Page 1: RESPON IMUN SELULER PADA PENDERITA HEPATITIS C KRONIK

RESPON IMUN SELULER PADA PENDERITA HEPATITIS C KRONIK

Ichsannil Husna, Irsan Hasan, Rino A. Gani, Unggul Budihusodo, L. A. Lesmana, Ali sulaiman, Nurul Akbar, H. J. Sjaifoellah Noer

Sub Bagian Hepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam

FKUI/ RSUPN – Cipto Mangunkusumo

Jakarta

Pendahuluan

Penyakit hati kronik masih menjadi masalah besar pada banyak negara di dunia ini, termasuk juga di Indonesia. Berbagai faktor dapat berperan sebagai penyebabb hepatitis kronik, seperti virus hepatitis, konsumsi alkohol, obat-obatan, penyakit hati bawaan maupun perlemakan hati non alkoholik. Untuk negara kita masalah terbesar berasal dari virus hepatitis B disusul dengan virus hepatitis C.

Virus hepatitis B diperkirakan telah menginfeksi 2 milyar manusia, dan lebih dari 300 juta penduduk dunia menderita infeksi kronik. Di Indonesia prevalensi HbsAg berkisar antara 3,5% sampai dengan 9,1% atau rata-rata 5,5%. Di beberapa tempat bahkan dilaporkan angka yang sangat tinggi mencapai 17%. Hepatitis C saat ini masih berada di tempat kedua sebagai penyebab hepatitis kronik di negara kita, dengan prevalensi 2,1%.1 Seiring dengan makin maraknya penyalahgunaan narkoba diperkirakan jumlah penderita hepatitis C ini akan meningkat pula dengan cepat. Di jakarta ternyata 74,9% penyalahguan obat telah terinfeksi oleh virus hepatitis C.2

Pengobatan penyakit hepatitis virus kronik masih sulit dijangkau bagi sebagian besar pasien di Indonesia karena masalah sosioekonomi. Selain dari itu tingkat keberhasilan terapi anti viral untuk hepatitis B maupun C adalah sekitar 40-7-%.

Kegagalan terapi dan besarnya kelompok yang tidak memenuhi pensyaratan untuk mendapatkan obat anti virus membuat para ahli tertarik untuk mengguanakan apa yang selama ini disebut sebagai terapi alternatif (complementary and alternative medicine = CAM). Preparat herbal yang paling sering dipakai untuk penyakit hati Sylimarin danCurcuma.

Echinacea dikenal sebagai obat herbal yang mempunyai kemampuan imunostimulan. Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk membuktikan kemampuan Echinacea dalam meningkatkan sistem imun pasien dengan infeksi virus.10

Metodologi

Sampel penelitian adalah C kronik kompensai yang menjalani rawat jalan di poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit cipto Mangunkusumo. Pasien yang memenuhi kriteria adalah mempunyai anti HCV positif selama lebih dari 3 bulan dengan kadar SGPT lebih dari 1,3 kali

~ 1 ~

Page 2: RESPON IMUN SELULER PADA PENDERITA HEPATITIS C KRONIK

normal. Kriteria inklusi lain adalah tidak sedang menjalani terapi anti virus, usia antara 12-50 tahun dan tidak menderita penyakit kronik lain seperti Hipertensi dan Diabtes Melitus dan penyakit sistemik lain.

Pada kelompok studi (kelompok A) diberi echinacea 150 mg dengan kombinasi Sylibum marianum extrac sicc (setara dengan 35 mg Sylimarin) dan Curcuma xanthorrizae extrac sicc (setara dengan 20 mg Oleum xanthorizae), Curcuma estrac sicc soluble 10 mg. Pada kelompok kontrol (kelompok B) diberi Sylibum marianum extrac sicc (setara dengan 35 mg Sylimarin) dan Curcuma xanthorrizae extrac sicc (setara dengan 20 mg Oleum xanthorrizae), Curcuma extrac sicc soluble 10 mg.

Terhadap seluruh pasien yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan SGOT, SGPT dan status imunologi. Selanjutnya pasien mendapat kapsul obat dengan dosis 3 x 1 kapsul sehari. Evaluasi yang mencakup keluhan, nilai enzim SGOT, SGPT dilakukan setiap dua minggu. Pemeriksaan status imunologi yang terdiri dari sel T, sel B, sel Th, dan sel NK dilaksanakan pada awal dan akhir penelitia, yaitu minggu ke 12.

Hasil

Selama penelitian didapatkan 39 kasus hepatitis C kronik yang termasuk dalam kriteria penelitian dengan 20 kasus masuk kedalam kelompok kelola dan 19 kasus masuk ke dalam kelompok kontrol.

Tabel 1. Karekteristik pasien hepatitis virus C kronik

Karakteristik pasien Kelompok kelola(n = 20)

Kelompok kontol(n – 19)

P

Jenis kelamin*Pria (%) 18(90%) 16(84,2%) 0,60Wanita (%) 2(10%) 3(15,8%) 0,72Rerata usia ± SB (tahun)**

36,35 ± 14,95 35,42 ± 15,62 0,85

Rerata SGOT ± SB (u/L)

80,65 ± 51,12 70,68 ± 37,96 0,74

Rerata SGPT ± SB (u/L)

95,15 ± 60,52 97,58 ± 54,78 0,75

*chi-square ** Mann whitey U test, signifikan bila p<0,05

Dari karekteristik pasien didapatkan nilai rata-rata SGOT dan SGPT pada kedua kelompok >2x nilai normal. Tidak ada perbedaan bermakna dalam karekteristik pasien pada kedua kelompok ditinjau dari seks, usia dan kadar enzin SGOT dan SGPT (tabel 1).

~ 2 ~

Page 3: RESPON IMUN SELULER PADA PENDERITA HEPATITIS C KRONIK

Tabel 2. Perubahan nilai SGPT dan SGOT pada kedua kelompok sebelum dan sesudah penelitian.

Kelompok kelola(n = 20)

P Kelompok kontrol(n = 19)

P

Nilai enzimTransaminase

Awal Akhir Awal Akhir

SGOT u/L * 80,65 ± 50,21 37,85 ± 21,53 0,01 70,68 ± 37,96 32,21 ± 16,65 0,00

SGPT u/L * 95,15 ± 60,52 43,50 ±25,79 0,01 97,48 ± 54,78 40,74 ± 25,79 0,00

*paired t test, bermakna bila p < 0,05

Parameter kadar enim transamninase pada akhir penelitian menunjukkan terjadinya penurunan nilai SGOT dan SGPT yang bermakna pada masing-masing kelompok.

Bila dibandingkan nilai enzim transaminase antara kedua kelompok pada awal dan akhir penelitan tidak menunjukkan kemaknaan statistik meskipun terjadi penurunan parameter enzim transaminase pada kedua kelompok (SGOT 80,65 ± 50,21 vs 70,68 ± 37,96 p = 0,73 menjadi 37,85 ± 21,53 vs 32,21 ± 16,65 p = 0,37 dan SGPT 95,15 ± 60,52 vs 97,48 ± 54,78 p = 0,54 menjadi 43,50 ±25,79 vs 40,74 ± 25,79 p = 0,70).

Tabel 3. Karakteristik imunitas seluler pada kedua kelompok sebelum penelitian

Karakteristik imunitas seluler

Kelompok kelola(n = 20)

Kelompok kontrol(n = 19)

P

CD4+ ± SB (sel/µL)* 560,70 ± 189,47 591,371 ± 178,26 0,61CD8+ ± SB (sel/µL)* 559,90 ± 174,70 616,89 ± 220,14 0,37Sel T ± SB (sel/µL)* 1186,65 ± 291,89 1253 ± 307,26 0,48Sel B ± SB (sel/µL)* 324,25 ± 207,15 274,74 ± 17,49 0,38NK ± SB (sel/µL)* 369,30 ± 185,96 370,71 ±312,81 0,98

*independent t test, signifikan bila p <0,05

Tidak terlihat adanya perbedan karakteristik imunitas seluler yang bermakna antara kedua kelompok pada awal penelitian. Nilai rerata CD4+ dan CD8+ masih dalam batas normal pada kedua kelompok pengamatan (tabel 3)

~ 3 ~

Page 4: RESPON IMUN SELULER PADA PENDERITA HEPATITIS C KRONIK

Tabel 4. Rerata nilai CD4+ dan CD8+ pada kedua kelompok sebelum dan sesudah penelitian

Parameter imunitas

Kelompok kelola(n = 20)

P Kelompok kontrol(n = 19)

P

Seluler Awal Akhir Awal Akhir

CD4+ sel/µL*

560,70 ± 189,47

567,85 ± 167,02

0,74

591,37 ±78,26 630,84 ± 02,75

0,44

CD8+ sel/µL*

559,90 ± 174,70

516,20 ± 183,86

0,37

616,89 ± 220,14

499,32 ± 98,66

0,03

*paired t test, bermakna bila p < 0,05

Setelah penelitian tidak tampak kenaikan CD4+ yang bermakna pada kedua kelompok. Jumlah CD8+ terlihat menurun secarabermakna pada kelompok kontrol sedangkan pada kelompok kelola meskipun terjadi penurunan tetapi tidak signifikan (tabel 4).

Gambar 1. Gambaran parameter imunitas seluler pada kedua kelompok sebelum dan sesudah penelitian.

AwalAkhir

520

540

560

580

600

620

640

Kelola

Kontrol

AwalAkhir

0

100

200

300

400

500

600

700

Kelola

Kontrol

CD4+ CD8+

Bila dibandingkan nilai CD4+ antara kelompok kontrol dan kelola pada keadaan awal tidak terdapat perbedaan yang bermakna (560,70 ± 189,47 vs 591,37 ±78,26 ; p = 0.61) demikian juga dengan nilai akhir setelah pemberian imunomodulator meskipun terjadi kenaikan nilai CD4+ pada kedua kelompok (567,85 ± 167,02 vs 630,84 ± 02,75 ; p = 0,29).

Jumlah CD8+ mengalami penurunan pada masing-masing kelompok setelah penelitian. Penurunan pada kelompok kontrol lebih signifikan (p = 0,03). Bila dibandingkan

~ 4 ~

Page 5: RESPON IMUN SELULER PADA PENDERITA HEPATITIS C KRONIK

pada kedua kelompok tidak terlihat perbedaan yang lebih bermakna antara kedua kelompok (559,90 ± 174,70 vs 616,89 ± 220,14 ; p = 0,38 menjadi 516,20 ± 183,86 vs 499,32 ± 98,66 ; p = 0,78)(gambar 1).

Pembahasan

Pengobatan penyakit hepatitis virus kronik masih sulit dijangkau bagi sebagian besar pasien di Indonesia, baik itu berupa Lamivudine yang diberikan per-oral maupun Interferon injeksi untuk hepatitis B maupun kombinasi Interferon dengan Ribavirin untuk hepatitis C. Di samping itu pasien juga harus memenuhi beberapa kriteria sebelum mendapat pengobatan, seperti peningkatan SGPT > 2 kali batas atas normal dan HBV DNA positi untuk hepatitis B kronik yang hendak mendapat terapi Lamivudine. Untuk hepatitis C selain peningkatan transaminase, HCV RNA harus positif, lebih baik lagi bila disertai data genotipe, juga harus bebas dari gangguan psikiatri, tiroid, anemia dan beberapa keadaan lain yang bisa diperberat oleh pemberian Interferon.3 Bagi mantan pengguna obat terlarang masih ditambah lagi dengan bukti bahwa mereka telah berhenti memakai narkotika dan zat adiktif lain selama lebih 2 tahun. Selain itu ada lagi ketentuan tidak tertulis yang harus dikonfirmasikan oleh dokter pada pasiennya, antara lain disiplin dan keteraturan dalam menjalani pengobatan, kesiapan untuk menerima efek samping pengobatan dan satu hal justru paling banyak menjadi penghambat di negara kita yaitu sebagian kesal pasien yang dapat menjalani terapi anti virus. Keadaaan ini berlangsung di semua pusat pengobatan. Sebagai contoh sebuah data dari Ohio, amerika serikat yang melaoprkan bahwa dari 327 psien hepatitis C yang berkunjung ke rumah sakit hanya 83 orang (25%) yang memenuhi pensyaratan untuk di obati dengan Interferon.4

Keadaan ini juga berlangsung di indonesia bahkan dengan rasio yang lebih jauh lebih tidak seimbang. Misalnya data yang tercantum pada catatan pasien Poliklinik Hepatologi RSCM sepanjang tahun 2001, dari 62 penderita hepatitis C yang berkunjung hanya 2 orang yang memenuhi syarat dan sanggup menjalani terapi Interferon.5

Masalah berikutnya yang harus dihadapi adalah kegagalan pengobatan. Terapi Interferon selama 6-12 bulan pada hepatitis B dengan SGOT lebih dari 3x batas normal hanya memberikan kesembuhan sekitar 30-40% dan hasil yang lebih rendah dari kelompok denagn SGPT 1,3-3x batas normal sebelum mendapat pengobatan. Sementara itu pemberian Lamivudine 100mg/hari selama 1 tahun hanya menghasilkan serokonversi 65% (SGPT pra terapi > 5x batas normal), 25% (SGPT pra terapi >2-5x batas normal), dan turun jadi 5% jika SGPT pra terapi < 2x batas normal.3

Pengobatan hepatitis C juga belum memberikan hasil yang memuaskan, meskipun penelitian guna mendapatkan obat baru yang lebih ampuh serta uji klinis terus menerus dujalankan di seluruh dunia. Pada awalnya Interferon merupakan satu-satunya pilihan dengan keberhasilan terapi (sustained virological responses) antara 6-16%. Selanjutnya monoterapi dengan Interferon mulai ditinggalkan dan berbagai pengobatan standar. Kesembuhan yang dicapai memang meningkat yaitu 33-41%, namun jelas belum memenuhi kriteria sempurna, karena masih ada kelompok yang tetap menghidap virus hepatitis C setelah pengobatan di selesaikan dengan lengkap.6

~ 5 ~

Page 6: RESPON IMUN SELULER PADA PENDERITA HEPATITIS C KRONIK

Kegagalan terapi dan besarnya kelompok yang tidak memenuhi pensyaratan untuk mendapatkan obat anti virus membuat para ahli tertarik untuk mengguanakan apa yang selama ini disebut sebagau terapi alternatif (complementary ang alternative medicine = CAM). Sesungguhnya obat-obatan alternatif yang umumnya berasal dari tanaman ini sudah sejak lama dikenal dan digunakan di tengah masyarakat, baik itu di negara yang dikenal dengan pengobatan tradisionalnya seperti Indonesia dan Cina maupun negara maju yang biasa terlibat dengan teknolgi kedokteran moden. Dikatakan bahwa di Amerika serikat hampir 15 juta orang dewasa menggunakan terapi konvensional berupa bahan-bahan herban denagn atau tanpa vitamin dosis tinggi, dimana separuhnya tidak pernah memberitahu dokter yang menanganinya. Dilaporkan pula bahwa sebanyak 41% dari pasien dengan penyakit hati pernah menggunakan CAM ini, setidak-tidaknya satu kali dalam bulan-bulan pertama diagnosis ditegakkan. Preparat herbal yang paling sering dipakai untuk penyakit hai di negara tersebut adalah Sylimarin dan sebagian kecil (< 1%) menggunakan produk lain.7 Di Indonesia belum ada data mengenai jumlah pemakaian CAM ini, tetapi melihat banyaknya jenis dan jumlah golongan obat yang kita kenal sebagai hepatoprotektor diperkirakan persentase pengguna CAM ini jauh lebih besar.

Sylimarin yang banyak dipakai di Amrika dan Eropa untuk pengobatan penyakit hai berasal dari ekstrak Sylibum marianum (milk thistle). Fitofarmaka ini telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu sbegai obat untuk gangguan saluran cerna bagian atas, penyakit hati dan saluran empedu. Data yang diperoleh dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa Sylimarin mempunyai aktivitas sebagai anti oksidan, pembersih radikal bebas serta memiliki kemampuan anti fibrotik melalui mekanisme yang belum doketahui. Bahkan disebutkan bahwa potensi anti oksidan Sylimarin 10 kali lebih kuat dibandingkan vitamin E. Referensi lain menuliskan bahwa Sylimarin mempunyai sifat menghambat peroksidasi lipid did dalam membran sel, melindungi sel Kuffer dan merangsang RNA untuk meningkatkan sintesa dari sel hati. Oleh karena itu dikatakan bahwa Sylimarin memiliki manfaat klinis dalam pengobatan hepatitis toksik, perlemakan hati, sirosis hati, cedera dengan iskemik, toksisitas karena radiasi da hepatitis virus. Tecatat 480 tulisan mengenai Sylimarin satu studi melaporkan serokonversi HbeAg yang lebih cepat pada kelompok Sylimarin dibanding plasebo, tapi hasil ini tidak bermakna karena jumlah pasiennya terlalu kecil, sehingga obat ini tidak pernah dianggap punya kemampuan untuk memusnahkan virus hepatitis dari dalam tubuh. Sebaliknya kemampuan Sylimarin untuk menormalkan enzim transaminase pada kasus hepatitis virus sudah pada berbagai penelitian.8

Curcuma xanthorrhizae atau lebih dikenal sebagai temulawak sudah lama dipakai sebagai bahan pengobatan dengan berbagai indikasi. Hal ini dapat dilihat dengan ditemukannya temulawak dalam hampir semua farmakope dan buku mengenai obat-obat herbal. Disebutkan bahwa Curcuma memiliki sifat antiseptik, merangsang sekresi empedu dan khasiat anti hepatotoksik. Pada sebuah uji untuk menilai efek hapatoprotektor temulawak pada hewan percobaan yang diinduksi hepatotoksik dengan Paracetamol dosis tinggi, terbukti SGOT, SGPT dan gambaran hostologi membaik dengan fitofarmaka ini.9

~ 6 ~

Page 7: RESPON IMUN SELULER PADA PENDERITA HEPATITIS C KRONIK

Echinacea dikenal sebagai obat herbal yang mempunyai kemampuan imunostimulan. Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk membuktikan kemampuan Echinacea dalam meningkatkan sistem imun pasien dengan infeksi virus.10

Pada penelitian ini ditemukan penurunan enzim transferase yang signifikan baik pada kelompok yang hanya mendapatkn Sylimarin dengan Curcuma maupun kelompok yang mendapat Echinacea besama-sama Curcuma dan Sylimarin. Penelitian ini membuktikan adanya efek Sylimarin dan Curcuma terhadap kadar enzim ransferase pederita penyakit hati kronik. Pada kelompok yang mendapat Echinacea terlihat pula peningkatan CD4+, yang dapat merupakan tanda adanya penigkatan respon imun meskipun secra statistik tidak signifikan. Disamping itu CD8+ menurun secara signifikan pada kelompok kontrol. Penurunan ini dapat mengakibatkan proses imunologis berlangsung lbih progresif sehingga kerusakan hati dapat menjadi lebih berat disamping kemampuan tubuh untuk menghilangkan virus akan lebih berkurang. Dianjurkan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel lebih besar dan waktu yang lebih lama untuk melihat apakah proses menghilangnya virus dapat terganggu akibat penurunan CD8+ karena pemberia kombinasi Sylimarin dan Curcuma.

Kesimpulan

Pilihan terapi hepatitis virus kronik yang tersedia saat ini msih mengandung berbagai keterbatasan. Obat-obat hepatoprotektor merupakan salah satu alternatif yang bisa dimanfaatkan, khususnya bagi masyarakat Indonesia yang menghadapi kendala untuk mendapatkan obat anti virus dengan harga terjangkau. Kadar rata-rata enzim transaminase pada pasen hepatitis C kronik yang menerima kombinasi fitofarmaka Sylimarin, Curcuma, dengan atau tanpa Echinacea menunjukkan penurunan mendekati angka normal. Kedua kelompok sebanding dalam menurunkan kadar rata-rata SGOT dan SGPT, tidak bebeda bermakna secara statistik.

Sedangkan respon imun sluler pada kelompok Echinacea mempertahankan kadar CD4+ dan CD8+ alam jumlah yang normal dibanding dengan kelompok non Echinacea yang memperlihatkan peurunan sel CD8+ yang lebih besar dan bermakna secara statistik.

~ 7 ~

Page 8: RESPON IMUN SELULER PADA PENDERITA HEPATITIS C KRONIK

Daftar Pustaka

1. Akbar N. Perkembangan mutakhir virus hepatitis, dampak terhadap masyarakat dan upaya pencegahan. Pidato pengukuhan, Jakarta 1998.

2. Gani RA, Budihusodo U, Waspado A, Lesmana LA, Hasan I, Akbar N, Noer HMS. Seroepidemiology and risk factors of Hepatitis B and C virus infections among drug users in Jakarta, Indonesia. Med J indones 2002; 11: 48-55

3. Draft working party reports from Asia-Pacific consencus on prevention and management of chronic Hepatitis B and C. Blackwell science 2000.

4. Ytter YF, Kale H, MullenKD. Suprisingly small effect of antiviral treatment in patients with Hepatitis C. Ann Intern Med 2002; 136: 288-292.

5. Laporan kunjungan pasien Poliklinik Subbagian Hepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo 2001.

6. McHutchinson JG, Gordon Sc, Schiff ER, et al. Interferon alfa-2b alone or in combination with Ribavirin as initial treatment for chronic hepatitis C. N Engl J Med 1998; 339: 1485-1492.

7. See LB, Lindsay KL, Bacon BR, et al. Complementary and alternative medicine in chronic liver disease. Hepatology 2001; 35: 595-603.

8. Saller R, Meier R, Brignoli R. The use of Sylimarin in the treatment of liver diseases. Drugs 2001; 61: 2035-2063.

9. Liang Ob, Asparton Y, Wijaya T, et al. Beberapa aspek isolasi, identifikasi dan pengguanaan komponen Curcuma xanthorrhiza roxb dan Curcuma domestica. Darya Varia Laboratoria 1989; 85-90.

10. Miller LG. Herbal medicinals: selected clinical considerations focusing on known or potential drug-herb interactions. Arch Intern Med 1998: 158: 2200-11.

~ 8 ~