respon beberapa kultivar duku terhadap patogen … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ......

227
530 RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN KANKER BATANG Sigid Handoko Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi ABSTRAK Duku di Provinsi Jambi mengalami gejala penyakit kanker batang Phytophthora palmivora, tercatat pada 2011 sebesar 47,63% tanaman bergejala dari populasi 365.729 pohon duku. Penyakit ini sudah menyebar di beberapa wilayah kabupaten sentra duku di Provinsi Jambi. Sementara sampai saat ini belum diinformasikan adanya gejala penyakit yang sama terhadap duku di pulau Jawa. Fenomena ini sebagai kekayaan diversitas duku yang memiliki sifat polimorfisme sehingga dapat dimanfaatkan dalam pengendalian penyakit kanker batang. Kajian ini bertujuan untuk 1). Memperoleh informasi genotipe beberapa kultivar duku di Provinsi Jambi, dan sentra duku di Pulau Jawa, dan 2). Memperoleh informasi kultivar duku yang memiliki ketahanan terhadap penyakit kanker batang. Kajian merupakan penelitian eksplorasi, dan pengujian skala rumah kasa, menggunakan rancangan acak lengkap. Variabel pengamatan terdiri dari masa inkubasi penyakit, dan gejala penyakit seiring dengan waktu pengamatan. Data dianalisis pada kekerabatan kultivar duku, dan potensinya dalam pengendalian penyakit. Hasil kajian menunjukkan bahwa duku kultivar Jambi dari 6 kabupaten wilayah sentra duku, kultivar Palembang dari Komering, dan duku dari Jawa Tengah kultivar Kalikajar (Purbalingga), Blimbing (Purworejo), dan Matesih (Karanganyar), dan duku kultivar Bantul, memiliki kekerabatan yang berbeda-beda. Kultivar duku yang berasal dari wilayah Jawa Tengah memiliki kekerabatan yang jauh terhadap duku Jambi, terutama duku Bantul, dan Matesih. Selanjutnya pengujian skala rumah kasamenunjukkan P. palmivora mampu menginfeksi setiap kultivar duku yang diujikan, dan perbedaan genotipe duku dapat mengakibatkan perbedaan laju infeksi P. palmivora. Perbedaan genotipe dalam satu jenis tanaman berpotensi dapat digunakan untuk memperoleh ketahanan lebih tinggi terhadap P. Palmivora.. Kata Kunci: kultivar, duku, penyakit, kanker-batang, pengendalian PENDAHULUAN Duku (Lansium domesticum Corr.) sebagai buah unggulan Provinsi Jambi, merupakan tanaman warisan dari generasi sebelumnya, yang tumbuh secara alami, sehingga petani pemilik belum menerapkan budidaya duku sehat. Duku tidak dirawat secara optimal, dibiarkan tumbuh begitu saja, bahkan pemeliharaannya hanya dilakukan ketika menjelang dan pada saat panen (Antony, 2010). Meskipun demikian, duku memiliki peranan penting dalam perekonomian daerah sebagai sumber penghasilan petani. (Endrizal et al., 2009). Produksi buah duku di Provinsi Jambi dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Selama kurun tahun 2002—2011, terjadi penurunan tajam mulai tahun 2007. Dilaporkan pada tahun 2004 jumlah produksi buah duku Provinsi Jambi mencapai 88.877 ton, dan pada tahun 2011 hanya sebesar 5.575 ton. Hal ini dipengaruhi oleh iklim yang berubah dan perubahan musim, dan diakibatkan oleh kematian duku karena penyakit mati meranggas atau yang lebih dikenal dengan kanker batang yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora (Handokoet al., 2013). Tiga faktor utama yaitu patogen, inang, dan lingkungan menentukan terjadinya epidemi penyakit tumbuhan di alam. Faktor inang merupakan faktor potensi yang terbawa dalam tanaman yang bersangkutan. Keterkaitan genetika dalam suatu individu tanaman memiliki pengaruh dalam terjadinya infeksi patogen, dalam perkembangannya menimbulkan penyakit.

Upload: buinhi

Post on 07-Mar-2019

316 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

530

RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN KANKER BATANG

Sigid Handoko

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi

ABSTRAK Duku di Provinsi Jambi mengalami gejala penyakit kanker batang Phytophthora

palmivora, tercatat pada 2011 sebesar 47,63% tanaman bergejala dari populasi 365.729 pohon duku. Penyakit ini sudah menyebar di beberapa wilayah kabupaten sentra duku di Provinsi Jambi. Sementara sampai saat ini belum diinformasikan adanya gejala penyakit yang sama terhadap duku di pulau Jawa. Fenomena ini sebagai kekayaan diversitas duku yang memiliki sifat polimorfisme sehingga dapat dimanfaatkan dalam pengendalian penyakit kanker batang. Kajian ini bertujuan untuk 1). Memperoleh informasi genotipe beberapa kultivar duku di Provinsi Jambi, dan sentra duku di Pulau Jawa, dan 2). Memperoleh informasi kultivar duku yang memiliki ketahanan terhadap penyakit kanker batang. Kajian merupakan penelitian eksplorasi, dan pengujian skala rumah kasa, menggunakan rancangan acak lengkap. Variabel pengamatan terdiri dari masa inkubasi penyakit, dan gejala penyakit seiring dengan waktu pengamatan. Data dianalisis pada kekerabatan kultivar duku, dan potensinya dalam pengendalian penyakit. Hasil kajian menunjukkan bahwa duku kultivar Jambi dari 6 kabupaten wilayah sentra duku, kultivar Palembang dari Komering, dan duku dari Jawa Tengah kultivar Kalikajar (Purbalingga), Blimbing (Purworejo), dan Matesih (Karanganyar), dan duku kultivar Bantul, memiliki kekerabatan yang berbeda-beda. Kultivar duku yang berasal dari wilayah Jawa Tengah memiliki kekerabatan yang jauh terhadap duku Jambi, terutama duku Bantul, dan Matesih. Selanjutnya pengujian skala rumah kasamenunjukkan P. palmivora mampu menginfeksi setiap kultivar duku yang diujikan, dan perbedaan genotipe duku dapat mengakibatkan perbedaan laju infeksi P. palmivora. Perbedaan genotipe dalam satu jenis tanaman berpotensi dapat digunakan untuk memperoleh ketahanan lebih tinggi terhadap P. Palmivora..

Kata Kunci: kultivar, duku, penyakit, kanker-batang, pengendalian

PENDAHULUAN Duku (Lansium domesticum Corr.) sebagai buah unggulan Provinsi Jambi,

merupakan tanaman warisan dari generasi sebelumnya, yang tumbuh secara alami, sehingga petani pemilik belum menerapkan budidaya duku sehat. Duku tidak dirawat secara optimal, dibiarkan tumbuh begitu saja, bahkan pemeliharaannya hanya dilakukan ketika menjelang dan pada saat panen (Antony, 2010). Meskipun demikian, duku memiliki peranan penting dalam perekonomian daerah sebagai sumber penghasilan petani. (Endrizal et al., 2009).

Produksi buah duku di Provinsi Jambi dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Selama kurun tahun 2002—2011, terjadi penurunan tajam mulai tahun 2007. Dilaporkan pada tahun 2004 jumlah produksi buah duku Provinsi Jambi mencapai 88.877 ton, dan pada tahun 2011 hanya sebesar 5.575 ton. Hal ini dipengaruhi oleh iklim yang berubah dan perubahan musim, dan diakibatkan oleh kematian duku karena penyakit mati meranggas atau yang lebih dikenal dengan kanker batang yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora (Handokoet al., 2013).

Tiga faktor utama yaitu patogen, inang, dan lingkungan menentukan terjadinya epidemi penyakit tumbuhan di alam. Faktor inang merupakan faktor potensi yang terbawa dalam tanaman yang bersangkutan. Keterkaitan genetika dalam suatu individu tanaman memiliki pengaruh dalam terjadinya infeksi patogen, dalam perkembangannya menimbulkan penyakit.

Page 2: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

531

Meskipun penyakit kanker batang duku telah terjadi meluas di Provinsi Jambi, tetapi keberadaan penyakit kanker batang duku belum dilaporkan terjadi di beberapa daerah sentra duku lainnya, seperti di Provinsi Sumatera Selatan (Kabupaten Ogan Ilir), di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, dan Kabupaten Karanganyar), dan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Bantul). Diduga kultivar duku yang memiliki genotipe yang berbeda dapat mempengaruhi terjadinya infeksi jamur P. palmivora yang menyebakan terjadinya penyakit kanker batang.

METODE PENELITIAN Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penularan penyakit

kanker batang duku kultivar Jambi terhadap duku kultivar lainnya. Percobaan dilakukan menggunakan bibit duku yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta (kultivar Bantul), Jawa Tengah (kultivar Purbalingga, kultivar Purworejo, dan kultivar Matesih Karanganyar), dan Sumatera Selatan (kultivar Komering), dan dari Jambi (kultivar Batanghari).

Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, kultivar duku sebagai perlakuan. Setiap perlakuan diulang tiga kali, masing-masing ulangan terdiri atas 5 tanaman. Inokulum patogen yang digunakan yaitu Phytophthora sp. yang berasal dari Kabupaten Batanghari. Medium tanam berupa tanah yang berasal dari masing-masing daerah asal kultivar duku. Pelaksanaan percobaan dilakukan di dua lokasi yaitu dataranrendah(113 m dpl; 310C; 76%), dan di datarantinggi (615 m dpl; 260C; 84%). Data pengamatan yang berupa intensitas gejala penyakit dianalisis dengan sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil analisis yang menunjukkan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Jarak Ganda Duncan pada tingkat kepercayaan 95%. Pengujian lanjutan tentang kekerabatan antar kultivar duku dilakukan dengan metode amplifikasi DNA menggunakan Primer OPA 1, OPA 4, dan OPB 1, dan mesin Polymerase Chain Reaction (PCR) Thermocycler Amplitron®-1 dengan program: tahap denaturasi pada suhu 95oC selama 15 detik, tahap pemasangan (annealing) pada suhu 55oC selama 15 detik, dan tahap pemanjangan (extention) pada suhu 72oC selama 20 detik. Reaksi PCR berlangsung sebanyak 35 siklus, kemudian ditambah perpanjangan 72oC selama 2 menit. Campuran reaksi PCR terdiri atas 1,25 µl masing-masing primer; 1,00 µl DNA templet; 12,50 µl unit polimerase DNA Taq dan H2O sampai volume 25,00 µl. Untuk mengetahui keberhasilan amplifikasi DNA, hasil PCR dielektroforesis menggunakan gel agarose 1%, dengan tegangan 50 V, selama 30 menit. Gel kemudian difoto di transiluminator UV. Pita yang muncul disusun dalam bentuk bilangan binner, dan dianalisis menggunakan Program NT-Sys versi 2.1, sehingga dapat disusun pohon dendogram yang menunjukkan kekerabatan duku.

HASIL DAN PEMBAHASAN Duku memiliki sifat polimorfisme dalam genotipenya, sehingga kemungkinan dapat

mempengaruhi kemampuan infeksi P. palmivora. Duku yang berasal dari Yogyakarta (Kabupaten Bantul), Jawa Tengah (Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, dan Kabupaten Karanganyar/Matesih), dan Sumatera Selatan (Kabupaten Ogan Komering Ulu), dan dari Jambi (Kabupaten Batanghari) diinokulasi dengan P. palmivora isolat Djb1, memunculkan intensitas gejala kanker batang duku yang berbeda-beda, dan disajikan dalam Gambar 1.

Page 3: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

532

Gambar 1. Gejala penyakit kanker batang pada beberapa kultivar duku umur 20 minggu

setelah inokulasi, yang diinkubasikan di rumah kasa datarantinggi(615 m dpl; 260C; 84%), (a) control negatif, (b) kultivar Palembang, (c) kultivar Purbalingga, (d) kultivar Purworejo, (e) kultivar Bantul, (f) kultivar Matesih, (g) kontrol positif(kultivar Jambi)

Untuk mengetahui kekerabatan genotipe duku yang diujikan, digunakan metode

Amplifikasi Acak Polimorfisme DNA atau Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dengan cara melakukan analisis menggunakan PCR, dan primer OPA 1, OPA 4, dan OPB 1. Hasil PCR yang divisualisasi menggunakan elektroforesis dalam agarosa, menunjukkan adanya variasi genotipe antar kultivar duku . Analisis menggunakan program NTSYS versi 2.1 dapat menunjukkan tingkat kekerabatan kultivar duku dari Jambi, Komering, Purbalingga, Purworejo, Matesih, dan Bantul, disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2 memperlihatkan kekerabatan duku kultivar Jambi yang berada di 6 kabupaten wilayah sentra produksi dengan duku kultivar Palembang dari Komering, dan duku dari Jawa Tengah kultivar Kalikajar (Purbalingga), Blimbing (Purworejo), dan Matesih (Karanganyar), dan duku kultivar Bantul. Tampak di antara duku yang berasal dari wilayah Jawa Tengah memiliki kekerabatan yang jauh terhadap duku Jambi, terutama duku Bantul, dan Matesih. Hal ini menunjukkan bahwa secara genetik duku kultivar Bantul, dan kultivar Matesih memiliki perbedaan ketahanan dibandingkan kultivar duku lainnya. Hal ini dapat digunakan sebagai penduga terdapat sifat polimorfisme duku yang mengakibatkan perbedaan hubungan kesesuaian antara duku dan P. palmivora. Kejadian ini dapat dikaitkan dengan pernyataan Erwin & Riberio (1996) bahwa Phytophthora palmivora memiliki kemampuan menginfeksi tumbuhan yang luas, berbagai spesies tumbuhan menjadi inangnya. Beberapa kultivar duku menunjukkan perbedaan sifat genotipenya, sehingga juga terjadi perbedaan pada tingkat infeksi. Sesuai dengan Agrios (2005) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan infeksi memiliki sifat-sifat yang terkait erat dengan genotipe tumbuhan yang menjadi inangnya (Agrios, 2005). Hasil penelitian kekerabatan kultivar duku terhadap infeksi P. palmivora menunjukkan P. palmivora mampu menginfeksi setiap kultivar duku yang diujikan, dan perbedaan genotipe duku dapat mengakibatkan perbedaan laju infeksi P. palmivora. Hal ini dapat dijelaskan dengan mengikuti pernyataan Crouzillat et al. (2000) yang menyebutkan bahwa sifat lokus kuantitatif dalam genotipe kakao dapat menyebabkan perbedaan tingkat kemampuan infeksi P. palmivora pada kakao. Perbedaan sifat lokus kuantitatif dalam genotipe umum terdapat dalam tanaman tahunan yang bersifat polimorfisme, termasuk duku (Song et al., 2000). Hal ini disampaikan juga oleh O’Gara et al. (2004) dan Marcroft et al. (2012)bahwa perbedaan

Page 4: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

533

genotipe dalam satu jenis tanaman dapat digunakan untuk memperoleh tanaman yang memiliki ketahanan lebih tinggi terhadap Phytophthora spp.

Gambar 2. Kekerabatan duku kultivar Jambi dengan duku kultivar Palembang, Purbalingga,

Purworejo, Karanganyar (Matesih), dan Bantul Hasil pengujian kultivar duku yang diinkubasikan di lokasi inkubasi dataranrendah(113 m dpl; 310C; 76%), dan lokasi inkubasi di datarantinggi (615 m dpl; 260C; 84%), menunjukkan adanya perbedaan perkembangan penyakit, dan perbedaan masa inkubasi penyakit kanker batang duku. Hasil pengujian disajikan dalam Gambar 3.

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 17; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 18; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 19; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 20; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 21; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 22; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 23; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 24; 0.00

Kultivar Jambi; 17; 0.00

Kultivar Jambi; 18; 0.00

Kultivar Jambi; 19; 0.00

Kultivar Jambi; 20; 5.00

Kultivar Jambi; 21; 22.50

Kultivar Jambi; 22; 35.00

Kultivar Jambi; 23; 42.50

Kultivar Jambi; 24; 57.50

Kultivar Palembang; 17;

0.00

Kultivar Palembang; 18;

0.00

Kultivar Palembang; 19;

0.00

Kultivar Palembang; 20;

5.00

Kultivar Palembang; 21;

12.50

Kultivar Palembang; 22;

20.00

Kultivar Palembang; 23;

40.00

Kultivar Palembang; 24;

45.00

Kultivar Purworejo; 17;

0.00

Kultivar Purworejo; 18;

0.00

Kultivar Purworejo; 19;

0.00

Kultivar Purworejo; 20;

0.00

Kultivar Purworejo; 21;

0.00

Kultivar Purworejo; 22;

5.00

Kultivar Purworejo; 23;

12.50

Kultivar Purworejo; 24;

20.00 Kultivar

Purbalingga; 17; 0.00

Kultivar Purbalingga; 18;

0.00

Kultivar Purbalingga; 19;

0.00

Kultivar Purbalingga; 20;

0.00

Kultivar Purbalingga; 21;

0.00

Kultivar Purbalingga; 22;

2.50

Kultivar Purbalingga; 23;

10.00

Kultivar Purbalingga; 24;

20.00

Kultivar Matesih; 17; 0.00

Kultivar Matesih; 18; 0.00

Kultivar Matesih; 19; 0.00

Kultivar Matesih; 20; 0.00

Kultivar Matesih; 21; 0.00

Kultivar Matesih; 22; 0.00

Kultivar Matesih; 23; 7.50

Kultivar Matesih; 24; 20.00

Kultivar Bantul; 17; 0.00

Kultivar Bantul; 18; 0.00

Kultivar Bantul; 19; 0.00

Kultivar Bantul; 20; 0.00

Kultivar Bantul; 21; 0.00

Kultivar Bantul; 22; 2.50

Kultivar Bantul; 23; 10.00

Kultivar Bantul; 24; 22.50

Inte

nsit

as

Pen

yak

it (

%)

Pengamatan (minggu)

Kultivar Jambi tidakdiinokulasi (kontrol)Kultivar Jambi

Kultivar Palembang

Kultivar Purworejo

Kultivar Purbalingga

Kultivar Matesih

Kultivar Bantul

A

Page 5: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

534

Gambar 3. Perkembangan gejala kanker batang pada beberapa kultivar duku yang

diinokulasi P. palmivora isolat Djb1, A) lokasi inkubasi di dataranrendah(113 m dpl; 310C; 76%); B) lokasi inkubasi di datarantinggi (615 m dpl; 260C; 84%)

Gambar 3 menunjukkan bahwa gejala penyakit kanker batang pada bibit duku yang

diinkubasikan di rumah kasa dataranrendahmulai muncul pada minggu ke-20 pada duku kultivar Jambi dan Palembang, sedangkan duku kultivar lainnya, gejala baru muncul pada minggu ke-22. Bibit duku yang diinkubasikan di rumahkasadatarantinggisudah muncul gejala penyakit pada minggu ke-18 , pada semua kultivar duku. Hal ini menunjukkan pada kelembapan udara kurang dari 80% dan suhu udara rerata 30oC memperlambat terjadinya infeksi P. palmivora isolat Djb1 pada bibit duku kultivar Purworejo, kultivar Purbalingga, kultivar Matesih, dan kultivar Bantul. Jika terjadi sebaliknya yaitu kelembapan udara meningkat sampai lebih dari 80% dan suhu udara turun sampai rerata 26oC, infeksi P. palmivora isolat Djb1 segera terjadi, dan tidak dipengaruhi asal kultivar duku yang diujikan.

Perkembangan penyakit terlihat adanya perbedaan. Di rumah kasa dataranrendah, menunjukkan intensitas penyakit pada duku kultivar Palembang paling tinggi dibandingkan duku kultivar lainnya, dan tidak berbeda dengan kultivar Jambi (kontrol), sementara duku kultivar lainnya menunjukkan intensitas penyakit yang lebih rendah, dan saling tidak berbeda nyata. Di rumah kasa dataran tinggi, menunjukkan intensitas penyakit pada duku kultivar Palembang tetap paling tinggi, tetapi tidak berbeda dengan duku kultivar Purworejo, dan kultivar Purbalingga. Intensitas paling rendah terdapat pada duku kultivar Bantul, dan kultivar Matesih.

Berdasarkan perbedaan masa inkubasi, dan intensitas penyakit yang muncul antara di rumah kasa dataran rendah, dan rumah kasa datarantinggi, dapat dikemukakan bahwa infeksi penyakit kanker batang duku diduga dipengaruhi oleh genotipe kultivar duku, sementara suhu udara, dan kelembapan udara di lokasi inkubasi menjadi faktor lingkungan yang mempercepat terjadinya infeksi dan perkembangan penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa P. palmivora mampu menginfeksi semua kultivar duku yang diujikan, meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda. Pengaruh perbedaan genotype duku yang mengakibatkan perbedaan infeksi pathogen sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Skelsey et al., (2005), bahwa perbedaan genotipe inang dalam satu spesies akan memunculkan respons terhadap patogen yang berbeda juga. Genotipe duku dalam sifat polimormisme dapat mengakibatkan tingkat infeksi yang berbeda.

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 17; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 18; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 19; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 20; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 21; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 22; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 23; 0.00

Kultivar Jambi tidak diinokulasi

(kontrol) ; 24; 0.00

Kultivar Jambi; 17; 0.00

Kultivar Jambi; 18; 8.33

Kultivar Jambi; 19; 30.00

Kultivar Jambi; 20; 53.33

Kultivar Jambi; 21; 61.67

Kultivar Jambi; 22; 65.00

Kultivar Jambi; 23; 86.67 Kultivar Jambi; 24;

86.67

Kultivar Palembang; 17;

0.00

Kultivar Palembang; 18;

5.00

Kultivar Palembang; 19;

25.00

Kultivar Palembang; 20;

38.33

Kultivar Palembang; 21;

45.00

Kultivar Palembang; 22;

50.00

Kultivar Palembang; 23;

58.33

Kultivar Palembang; 24;

61.67

Kultivar Purworejo; 17;

0.00

Kultivar Purworejo; 18;

3.33

Kultivar Purworejo; 19;

18.33

Kultivar Purworejo; 20;

28.33

Kultivar Purworejo; 21;

40.00

Kultivar Purworejo; 22;

46.67

Kultivar Purworejo; 23;

53.33

Kultivar Purworejo; 24;

56.67

Kultivar Purbalingga; 17;

0.00

Kultivar Purbalingga; 18;

6.67

Kultivar Purbalingga; 19;

20.00

Kultivar Purbalingga; 20;

26.67

Kultivar Purbalingga; 21;

31.67

Kultivar Purbalingga; 22;

36.67

Kultivar Purbalingga; 23;

45.00

Kultivar Purbalingga; 24;

48.33

Kultivar Matesih; 17; 0.00

Kultivar Matesih; 18; 5.00

Kultivar Matesih; 19; 15.00

Kultivar Matesih; 20; 20.00

Kultivar Matesih; 21; 23.33

Kultivar Matesih; 22; 25.00

Kultivar Matesih; 23; 28.33

Kultivar Matesih; 24; 33.33

Kultivar Bantul; 17; 0.00

Kultivar Bantul; 18; 5.00

Kultivar Bantul; 19; 10.00

Kultivar Bantul; 20; 16.67

Kultivar Bantul; 21; 16.67

Kultivar Bantul; 22; 18.33

Kultivar Bantul; 23; 23.33

Kultivar Bantul; 24; 23.33

Inte

ns

ita

s P

en

ya

kit

(%

)

Pengamatan (minggu)

Kultivar Jambitidak diinokulasi(kontrol)Kultivar Jambi

KultivarPalembang

Kultivar Purworejo

KultivarPurbalingga

Page 6: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

535

KESIMPULAN Berdasarkan uraian di muka, dapat diambil kesimpulan, yaitu: 1. Kultivar duku yang berbeda memiliki respon yang berbeda terhadap infeksi jamur P.

palmivora, 2. Perbedaan genotipe yang pada setiap kultivar duku memiliki potensi dalam

pengembangan duku sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition. Academic Press. New York.

Crouzillat, D., W. Phillips, P. J. Fritz, & V. P´etiard. 2000. Quantitative trait loci analysis in Theobroma cacaousing molecular markers. Inheritance of polygenic resistance to Phytophthora palmivorain two related cacao populations. Euphytica 114: 25—36.

Endrizal, Adri, Muzirman, N. Asni, D. Sitanggang, & A. Meilin, 2009. Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian Di Provinsi Jambi. Laporan Akhir Tahun 2009. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian RI. Jambi.

Erwin, D.C. & O.K. Ribeiro. 1996. Phytophthora Diseases Worldwide. The American Phytopathological Society. USA.

Handoko, S., B. Hadisutrisno, A. Wibowo, & J. Widada. 2013. Identifikasi Patogen Utama Penyakit Kanker Batang pada Duku di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, Indonesia. (Unpublished).

Marcroft, S.J., A. P. Van de Wouw , P. A. Salisbury, & T. D. Potter.2012. Effect of rotation of canola (Brassica napus) cultivars with different complements of blackleg resistance genes on disease severity. Plant Pathology 61: 934—944.

O’Gara, E., L. Vawdrey, T. Martin, S. Sangchote, H. van Thanh, L. N. Binh, & D.I. Guest. 2004. Screening for Resistance to Phytophthora In: A. Drenth & D.I. Guest (Eds) Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. Australian Centre for International Agricultural Reseacrh (ACIAR) Monograph 114.

Skelsey, P., W. A. H. Rossing, G. J. T. Kessel, J. Powell, & W. van der Werf. 2005. Influence of host diversity on development of epidemics: An evaluation and elaboration of mixture theory. Phytopathology 95: 328—338.

Song, B.K., M.M. Clyde, R. Wickneswari, & M.N. Normah. 2000. Genetic Relatedness among Lansium domesticum Accessions Using RAPD Markers. Annals of Botany 86: 299—307.

Page 7: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

536

IDENTIFIKASI DAN DOMINANSI GULMA PADA PERTANAMAN PADI SAWAHDI KABUPATEN REJANG LEBONG

PROVINSI BENGKULU

Yong Farmanta1), Siti Rosmanah2), dan Alfayanti2)

1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Jl. Samarinda Paal Lima Kota Baru

2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119Telp. (0736) 23030, Fax. (0736) 345568

ABSTRAK

Gulma merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produksi padi karena dapat menurunkan produksi antara 6-87%. Pengetahuan tentang daur hidup gulma, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan gulma, dan cara perkembang biakan gulma sangat penting diketahui untuk menentukan cara pengendalian terutama pegendalian di pertanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan dominansi gulma yang terdapat pada pertanaman padi sawah di Kabupaten Rejang Lebong. Penelitian dilaksanakan di Desa Kota Pagu Kecamatan Bermani Ulu Raya Kabupaten Rejang Lebong pada bulan Desember sampai Februari 2016. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (m dpl). Pengumpulan data dilakukan dengan analisis vegetasi menggunakan metode kuadrat. Pengambilan contoh gulma dilakukan dengan menggunakan kuadrat berukuran 1 x 1 m sebanyak 5 kali pada lahan seluas 1 ha yang dilakukan secara acak. Data yang dikumpulkan meliputi nama jenis gulma, jumlah individu dan kelindungan masing-masing jenis gulma. Data yang diperoleh berdasarkan hasil pengambilan gulma digunakan untuk mengetahui kerapatan relatif, frekuensi relatif, Summed Dominance Ratio (SDR) serta indeks dominansi menggunakan Indeks Simpson. Hasil identifikasi diperoleh sebanyak 10 jenis yang tersebar pada 6 famili dengan nilai SDR tertinggi pada jenis gulma Drymaria cordata (20,78%). Berdasarkan hasil analisis dominansi diperoleh nilai sebesar 0,12 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat psesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil.

Kata Kunci: identifikasi, dominansi, gulma, lahan sawah

PENDAHULUAN

Gulma merupakan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki karena dapat mempengaruhi dan menurunkan produksi tanaman. Selain itu, keberadaan gulma juga dapat mengakibatkan kerugian secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung adalah dalam hal memperebutkan unsur hara, air maupun cahaya, sedangkan secara tidak langsung dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit (Desvayanti, 2002). Pada tanaman padi, gulma merupakan salah satu permasalahan yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas (Miranda et al, 2011). Menurut Pane dan Jatmiko (2002), keberadaan gulma pada tanaman padi akan menyebabkan penurunan produksi apabila gulma tidak dikendalikan secara efektif karena dapat mempengaruhi pertumbuhan dan menurunkan produksi tanaman pangan. Pada pertanaman padi sawah dengan menggunakan pengairan irigasi, adanya persaingan gulma dengan tanaman dapat menurunkan hasil mencapai 10-40% tergantung pada spesies dan kepadatan gulma, jenis tanah, pasokan air, dan keadaan iklim (Nantasomsaran dan Moody, 1993). Menurut Soedanjono (2005) kehilangan hasil padi di tingkat petani karena adanya persaingan dengan gulma mencapai 10-15%. Waktu pengendalian gulma yang tepat pada tanaman padi adalah pada saat periode kritis yaitu waktu setelah pengaruh gulma pada pertanaman relatif dapat

Page 8: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

537

dikendalikan (Moenandir, 1993). Menurut Woolley et al (1993) dalam Pane dan Jatmiko (2009) bahwa awal periode kritis persaingan gulma dapat ditentukan berdasarkan fase pertumbuhan tanaman, yaitu pada saat tingkat kerugian hasil akibat persaingan dengan gulma sebesar 5%. Akhir periode kritis persaingan ditandai dengan oleh batas lamanya tanaman bebas dari persaingan gulma untuk mencegah penurunan hasil sebesar 5%. Umumnya periode kritis persaingan gulma dimulai sejak tanaman tumbuh sampai sekitar ¼-1/3 pertama dari siklus hidup tanaman. Pada padi periode kritis persaingan dengan gulma umumnya terjadi sampai umur 40 hari pertama dari siklus hidupnya. Pada fase ini kanopi tanaman padi belum menutup, intensitas cahaya ke permukaan tanah masih tinggi karena kanopi masih terbuka. Pertumbuhan gulma setelah umur tersebut, persaingan dengan gulma biasanya tidak menyebabkan tingkat persaingan dan penurunan hasil yang nyata. Pengendalian gulma efektif dilakukan apabila telah mengetahui jenis-jenis gulma pada lahan sawah. Menurut Sundaru (1976), terdapat beberapa jenis gulma utama pada lahan sawah di Indonesia yaitu Cyperus iria L, Cyperus difformis L., Echinochloa cruss galli (L) Beauv, Echinochloa colonum (L.) Link, Marsilea crenata Presl, Fimbristylis miliacea (L.) Vahl, Pasapalum vaginatum Berg, Monochoria vaginalis (Burm. F.) L, Salvinia molesta D.S. Mitchel, Scirpus juncoides Roxb, Scirpusmucronatus L., Althernanthera sassilis L. (D.C.). Gulma spesifik pada lahan sawah dapat menyebabkan kehilangan hasil yang sangat besar diantaranya adalah Leersia hexandra 60%, Echinochloa colonum dan Paspalum distichum 85 %, dan Echinochloa crus-gall) bisa mencapai 100% (Rukmana dan Sugandi, 1999 dalam Miranda et al., 2011). Menurut Kastanja (2011) keberhasilan pengendalian gulma harus didasari dengan pengetahuan yang cukup dan benar dari sifat biologi gulma melalui identifikasi, mencari dalam pustaka tentang refensi gulma tersebut, atau bertanya pada para pakar atau ahli gulma. Ketiga cara tersebut merupakan langkah pertama untuk menjajaki kemungkinan pengendalian yang tepat (Sukma dan Yakup, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dominansi gulma yang terdapat pada pertanaman padi sawah di Kabupaten Rejang Lebong.

METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada pertanaman padi sawah di Desa Kota Pagu Kecamatan Bermani Ulu Raya Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu pada Desember 2015 sampai Februari 2016. Lokasi penelitian pada lahan sawah irigasi ½ teknis seluas 1 ha yang berada pada ketinggian ± 700 meter di atas permukaan laut (m dpl). Lahan sawah yang digunakan merupakan lokasi yang setiap tahunnya dilakukan penanaman padi sebanyak 2 kali/tahun. Pengambilan data dilakukan melalui pengamatan gulma pertanaman padi pada fase vegetatif. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat yang diambil secara acak sebanyak 5 kuadrat yang berukuran 1 x 1 m. penggunaan kuadrat 1 x 1 m ini sesuai dengan saran Oosting (1956) dalam Irwanto (2012), penggunaan kuadrat 1 x 1 m sesuai untuk vegetasi bawah atau herba. Data yang dikumpulkan meliputi nama jenis gulma, jumlah individu dan kelindungan masing-masing spesies. Untuk mengetahui dominansi gulma dihitung dengan menggunakan Summed Dominance Ratio (SDR) yang diperoleh dari hasil Nilai Penting (NP) dibagi 3. Sedangkan NP diperoleh melalui kerapatan nisbi (KNSS), frekuensi nisbi (FNSS) dan dominansi nisbi (DNSS). Perhitungan parameter tersebut dilakukan dengan menggunakan persamaan menurut Tjitrosoedirdjo, et al (1984) sebagai berikut :

KNSS (%) = Kerapatan mutlak jenis itu

x 100% Jumlah kerapatan mutlak semua jenis

FNSS (%) = Nilai frekuensi mutlak suatu jenis x 100%

Jumlah nilai frekuensi mutlak semua jenis

DNSS (%) = Nilai dominansi mutlak suatu jenis

x 100% Jumlah semua petak contoh yang diambil

NP = Kerapatan Nisbi + Dominansi nisbi + frekuensi nisbi

Page 9: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

538

SDR = NP/3

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Jenis Gulma Berdasarkan hasil identifikasi, diperoleh sebanyak 10 jenis gulma yang tersebar pada 6 familidengan jumlah jenis terbanyak Gramineae sebanyak 4 jenis dan terdapat 4 famili yang hanya mempunyai satu jenis gulma yaitu Araceae, Caryophyllaceae, Pontederiaceae, dan Rubiaceae. Sedangkan menurut golongannya, diperoleh sebanyak 3 golongan yaitu gulma berdaun lebar, teki-tekian dan rumput-rumputan. Gulma berdaun lebar dan rumput-rumputan masing-masing sebanyak 4 jenis, sedangkan sisanya sebanyak 2 jenis merupakan golongan gulma teki-tekian. Hasil identifikasi pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil identifikasi gulma pada pertanaman padi sawah di Desa Kota Pagu

Kecamatan Bermani Ulu Raya Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu pada tahun 2015.

No. Nama Jenis Famili Jumlah

individu Golongan

1. Pistia stratiotes L. Araceae 7 Berdaun lebar

2. Drymaria cordata Caryophyllaceae 51 Berdaun lebar

3. Cyperus killingia Cyperaceae 14 Teki-tekian

4. Cyperus rotundus Cyperaceae 1 Teki-tekian

5. Eragrostis atrovirens Gramineae 10 Rumput-rumputan

6. Echonochloa colonum Gramineae 14 Rumput-rumputan

7. Digitaria adscendens Gramineae 4 Rumput-rumputan

8. Eichhornia crassipes (Mart.) Solms Gramineae 24

Rumput-rumputan

9. Monochloa vaginalis Pontederiaceae 16 Berdaun lebar

10. Hedyotis corymbosa (L.) Lam Rubiaceae 15 Berdaun lebar

Sumber : Data primer diolah, 2015 Jenis gulma yang teridentifikasi pada pertanaman padi sawah di Kabupaten Rejang Lebong masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan hasil identifikasi pada lokasi lain. Menurut Miranda et al (2011), hasil identifikasi gulma padi sawah lokal di Kota Padang diperoleh sebanyak 13 jenis, lebih banyak jika dibandingkan dengan jenis gulma yang diperoleh di Kabupaten Rejang Lebong. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab sedikitnya jenis gulma yang teridentikasi, salah satunya adalah sejarah penggunaan lahan hal ini sesuai dengan pernyataan Mardiyanti et al (2013), yang menyatakan bahwa sejarah penggunaan lahan yang berbeda-beda selain berpengaruh terhadap lingkungan juga berpengaruh terhadap perubahan dan perkembangan tumbuhan atau suksesi. Pernyataan tersebut diperkuat dengan pernyataan Whitten (1996) dalam Wicaksono (2006) yang menyatakan bahwa pada proses suksesi, komposisi tumbuhan dan hewan yang hidup dan menghuni daerah tersebut juga akan berubah. Kecepatan, arah dan komposisi suksesi ditentukan oleh spesies yang ada dan berkembang biak secara cepat setelah gangguan. Beberapa spesies nantinya akan muncul dan paling dapat beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga mendominasi lingkungan baru tersebut. Selain itu, adanya perbedaan jumlah individu yang diperoleh antara satu tempat dengan tempat yang lainnya juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tumbuhnya seperti suhu, kelembaban, tanah, ruang tumbuh dan cahaya (Yussa et al, 2015). Menurut Moenandir (1993), cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi jumlah spesies yang hidup pada suatu komunitas, dimana cahaya sangat berpengaruh terhadap jenis dan jumlah individu yang bisa tumbuh pada tempat tersebut. Selain cahaya, iklim yang diterima pada suatu tempat juga akan mempengaruhi perbedaan jenis dan jumlah individu gulma (Lubis, 1992). Menurut Indriana (2009) adanya perbedaan dan perubahan lingkungan dapat mempengaruhi komposisi komunitas gulma yang menempati suatu daerah tersebut.

Page 10: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

539

Dominansi Gulma Berdasarkan nilai SDR terdapat satu jenis gulma yang mempunyai nilai tertinggi yaitu Drymaria cordata (20,78%), akan tetapi nilai dominansinya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa luas area yang ditumbuhi oleh gulma jenis ini lebih sedikit. Nilai SDR tinggi yang diperoleh oleh gulma Drymaria cordata disebabkan jumlah individunya yang banyak serta frekuensinya yang ditemukan hampir pada seluruh petak pengambilan sampel. Struktur gulma pada lahan sawah di Kabupaten Rejang Lebong pada Tabel 2. Tabel 2. Struktur gulma pada lahan sawah di Kabupaten Rejang Lebong

No. Nama Jenis KNSS FNSS DNSS NP SDR

1 Drymaria cordata 32,69 27,78 1,88 62,35 20,78

2 Cyperus killingia 8,97 11,11 19,20 39,29 13,10

3 Eragrostis atrovirens 6,41 5,56 24,48 36,45 12,15

4 Eichhornia crassipes (Mart.) Solms 15,38 11,11 6,99 33,48 11,16

5 Echonochloa colonum 8,97 11,11 13,26 33,35 11,12

6 Digitaria adscendens 2,56 5,56 21,51 29,63 9,88

7 Monochloa vaginalis 10,26 11,11 1,82 23,19 7,73

8 Pistia stratiotes L. 4,49 5,56 5,34 15,38 5,13

9 Hedyotis corymbosa (L.) Lam 9,62 5,56 0,17 15,35 5,12

10 Cyperus rotundus 0,64 5,56 5,34 11,54 3,85 Sumber : Data primer diolah, 2015

Dibandingkan dengan jenis gulma lain, Drymaria cordata merupakan salah satu jenis

gulma yang termasuk golongan berdaun lebar yang memiliki luas daun lebih kecil dibandingkan dengan gulma yang lain. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya dominansi nisbi pada spesies tesebut, dimana nilainya paling rendah dibandingkan dengan gulma berdaun lebar lainnya.

Dilihat dari nilai dominasi, jenis gulma Eragrostis atrovirens dan Digitaria adscendens merupakan jenis gulma yang mempunyai nilai dominansi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis gulma yang lain. Hal ini disebabkan karena kedua jenis gulma tersebut menutupi area lebih luas dibandingkan dengan jenis gulma lain. Menurut Tjitrosoedirdjo et al (1984), menyatakan bahwa dominasi merupakan berapa luas area yang ditumbuhi oleh jenis tumbuhan, atau kemampuan suatu jenis tumbuhan dalam hal bersaing terhadap jenis lain. Dominasi juga dinyatakan dengan istilah kelindungan (coverage), atau luas basal atau biomassa atau volume.

Pengendalian gulma yang dilakukan oleh petani pada lokasi penelitian adalah pengendalian secara manual, akan tetapi cara tersebut membutuh waktu dan biaya yang lebih tinggi. Pengendalian gulma secara manual dengan cara mencabut efektif untuk mengendalikan gulma semusim atau dua musim. Untuk gulma tahunan pengendalian dengan cara memcabut akan menyebabkan pemotongan bagian tanaman (rhizom, stolon dan umbi akar) yang tertinggal di dalam tanah. Sisa tanaman tersebut merupakan bagian yang efektif untuk tumbuh dan berkembang kembali (Pane dan Jatmiko, 2009).

KESIMPULAN

1. Teridentifikasi sebanyak 10 jenis gulma yang tersebar pada 6 famili pada lahan sawah di Kabupaten Rejang Lebong.

2. Jenis gulma yang mendominasi pada lahan sawah di Kabupaten Rejang Lebong adalah Eragrostis atrovirens dan Digitaria adscendens.

Page 11: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

540

DAFTAR PUSTAKA

Desvayanti, G. 2002. Struktur dan komposisi gulma pada padi sawah dengan sistem tanam benih sebar langsung (Tabela) di Desa Pauh Kecamatan Pariaman Tengah Kabupaten Padang Pariaman. Skripsi Sarjana Biologi FMIPA Universitas Andalas. Padang.

Indriana, R. 2009. Keanekaragaman jenis tumbuhan pada area Bantaran Kali pembuangan di Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Demak. Skripsi IKIP PGRI. Semarang.

Irwanto. 2012. Metode survei vegetasi. http://www.irwantoshut.net/analisis_vegetasi_ Teknik_Analisis_Vegetasi.html [26 Oktober] 2015.

Kastanja, A. Y. 2011. Identifikasi jenis dan dominansi gulma pada pertanaman padi gogo (Studi kasus di Kecamatan Tobelo Barat, Kabupaten Halmahera Utara). Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 1 : 40-46.

Lubis, A. 1992. Kelapa sawit (Elaeis quineensis Jacq.). Pusat Penelitian Perkebunan. Bandar Kuala Pematang Siantar Sumatera Utara.

Mardiyanti, D.E., K. P Wicaksono dan M. Baskara. 2013. Dinamika keanekaragaman spesies tumbuhan pasca pertanaman padi. Jurnal Produksi Tanaman Volume 1 No. 1 : 24-35.

Miranda, N., I. Suliansyah, dan I. Chaniago. 2011. Eksplorasi dan identifikasi gulma pada padi sawah lokal (Oryza sativa L.) di Kota Padang. Jerami Volume 4 No. 1 : 45-54.

Moenandir, J. 1993. Ilmu gulma dalam sistem pertanian. PT. Grafindo Persada. Jakarta.

Moenandir, J. 1993. Pengantar ilmu gulma. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soerjandono, N.B. 2005. Teknik pengendalian gulma dengen herbisida persistensi rendah pada tanaman padi. Buletin Teknik Pertanian Volume 10 Nomor 1 : 5-8.

Sukma, Y. Dan Yakup. 2002. Gulma dan teknik pengendalianya. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan gulma di perkebunan. Gramedia. Jakarta.

Wicaksono, K.P. 2006. Analisis rona agroekosistem pengembangan daerah irigasi Mbay Kabupaten Bajawa Flores, Nusa Tenggara Timur. Jurna Habitat 17 (1) : 63.

Yussa, I. P., Chairul dan Z. Syam. 2015. Analisis vegetasi gulma pada kebun kopi Arabika (Coffea arabica L.) di Balingka, Agam, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA) 4 (1) : 83-89.

Page 12: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

541

RESPONS KOLONI WERENG HIJAU (Nepotettix virescens) PADA BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI TAHAN TUNGRO

Nur Rosida, Ani Mugiasih, dan Khaerana Loka Penelitian Penyakit Tungro

ABSTRAK

Tungro merupakan penyakit penting pada tanaman padi yang disebabkan oleh virus dan paling efektif ditularkan oleh wereng hijau (Nephotettix virescens Distant). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons wereng hijau pada beberapa galur harapan padi tahan tungro. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Loka Penelitian Penyakit Tungro pada bulan Januari – Apil 2015. Varietas yang digunakan adalah 50 galur harapan padi tahan tungro dan 2 varietas pembanding. Wereng hijau yang digunakan adalah hasil koleksi di rumah kaca Loka Penelitian Penyakit Tungro Lanrang. Percobaaan dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama adalah padi ditanam pada baki bundar, 5 tanaman per varietas lalu. Imago dilepas di tengah-tengah baki (500 ekor) dengan umur tanaman 2 minggu setelah semai lalu disungkup dengan plastik mika. Baki disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dengan tiga kali ulangan. Pengamatan jumlah wereng hijau yang hinggap pada setiap varietas dilakukan pada 1 – 3 hari setelah infestasi dengan interval waktu 2 hari. Tahap kedua adalah masing-masing galur disemai pada ember plastik. Setelah umur 1 minggu, tanaman dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi kapas basah 5 bibit per tabung. Ke dalam setiap tabung diinfestasikan 10 ekor nimfa instar tiga lalu ditutup dengan kapas dan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dengan 3 kali ulangan. Pengamatan dilakukan 1 - 4 hari setelah infestasi, dengan menghitung jumlah wereng yang masih hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wereng hijau tidak mampu bertahan hidup pada 15 galur uji. Rata-rata populasi wereng hijau adalah 0 – 3 ekor/galur tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding tahan Inpari 9 ( 3 ekor).

Kata Kunci : Respons, Nepotettix virescens, galur harapan

PENDAHULUAN

Wereng hijau ( Nephotettix virescens) meruapakan salah satu jenis serangga hama pada tanaman padi. Selain sebagai hama, wereng hijau juga berperan sebagai vektor penyakit tungro, sehingga keberadaannya di pertanaman berpotensi mengakibatkan kerugian yang lebih besar Tungro adalah penyakit penting pada tanaman padi yang disebabkan oleh dua jenis virus, yaitu Rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan Rice tungro spherical virus (RTSV) (Rahim dan Nasrudin 2010). Penyakit tungro tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah sentra produksi beras nasional seperti di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Kalimantan Selatan (BB Padi 2010). Pada tahun 2012 area Penyakit tungro tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah sentra produksi beras nasional seperti di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Kalimantan Selatan (BB Padi 2010). Pada tahun 2012 area serangan tungro seluas 7.747 ha dan meningkat menjadi 10.250 ha pada tahun 2013 yang tersebar di 24 propinsi di Indonesia (Pusdatin, 2014). Penyebaran penyakit tungro sangat bergantung pada populasi dan aktivitas serangga vektornya. Penyakit tungro seringkali dilaporkan menimbulkan kerugian yang besar. Antara tahun 1980 – 1985 dilaporkan bahwa penyakit tungro merusak area pertanaman padi di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur berturut-turut seluas 3939 ha, 1632 ha, dan 2120 ha. Gejala utama penyakit tungro antara lain tampak pada perubahan warna daun muda menjadi kuning-oranye dimulai dari ujung daun, jumlah anakan berkurang dan tanaman menjadi kerdil, dan beberapa mengalami klorosis intervenal (Bunawan et al. 2014).

Tinggi rendahnya intensitas penyakit tungro berkorelasi positif dengan fluktuasi populasi wereng hijau apabila tersedia sumber inokulum (Suzuki et al., 1992). Kemampuan wereng hijau (N.virencens) dalam menularkan virus tungro mencapai 81% (Supriyadi et al.,

Page 13: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

542

2008). Wereng hijau menularkan RTSV secara bebas, tetapi menularkan RTBV tergantung pada keberadaan RTSV (Ahmad & Tissera, 2001). Wereng hijau dapat memperoleh dan menularkan RTSV dan RTSV secara bersama-sama atau RTSV saja dan tidak dapat memperoleh dan menularkan RTBV jika tidak memperoleh RTSV sebelumya (Choi et al.2009).Segera setelah makan dari tanaman yang terinfeksi virus tungro, wereng hijau akan menularkan virus tersebut pada tanaman baru.

Wereng hijau menggunakan tanaman padi sebagai tempat bertelur, berlindung dan sebagai pakan. Pada tanaman yang tahan (tidak disenangi wereng hijau), kemungkinan besar tidak terjadi penularan virus (makan inokulasi) sehingga penggunaan varietas tahan merupakan salah satu alternatif untuk pengendalian penyakit tungro. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respons wereng hijau terhadap beberapa galur harapan tahan tungro.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca dan di Kebun Percobaan Loka Penelitian Penyakit Tungro pada bulan April – Juli 2014. Perbanyakan Wereng Hijau (N.virescens)

Perbanyakan wereng hijau (N.virescens) dilakukan pada tanaman padi varietas TN1 dengan mengikuti prosedur Heinrichs et al. (1985). Koloni Wereng hijau berasal dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang kemudian dikoleksi di Rumah Kaca Loka Penelitian Penyakit Tungro Lanrang. Sebanyak 300 – 500 wereng dewasa dipelihara dalam sangkar wereng berukuran 53 cm x 53 xm x 90 cm dengan tanaman padi varietas TN1 berumur 45 hari selama 2 – 3 hari untuk peneluran. Kemudian tanaman padi yang digunakan untuk bertelur dipindahkan pada sangkar yang lain dan diletakkan kembali tanaman padi baru untuk peneluran. Tanaman padi untuk oviposisi tersebut dibersihkan, daun dan pelepah yang sudah tua dibuang, dan tanaman dicuci sebelum dimasukkan dalam sangkar untuk menghilangkan semut dan predator. Tanaman padi yang telah diteluri dirawat sampai muncul nimfa. Selanjutnya tanaman padi TN1 umur 45 hari diletakkan lagi dalam sangkar tersebut sebagai bahan makanan yang diperlukan untuk berkembang menjadi dewasa. Wereng hijau dewasa yang baru muncul dipindahkan dalam sangkar penularan. Proses tersebut dilakukan terus-menerus untuk memelihara ketersediaan wereng hijau. Uji Preferensi dan Non-Preferensi Wereng Hijau

Penelitian dilakukan dengan metode Heinrich et al. (1985). Benih padi yang diuji (48 galur + 2 varietas pembanding) disemai pada baki besar berbentuk lingkaran (diameter ± 60 cm) dengan jarak 4 cm, lalu dimasukkan ke dalam kurungan plastik yang dimodifikasi dengan kasa. Pada saat tanaman berumur 2 minggu setelah semai, imago wereng hijau sebanyak 500 ekor ditempatkan pada piring petri, kemudian diletakkan di tengah lingkaran tanaman. Baki tanam disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dengan tiga kali ulangan. Pada saat 1, 2, dan 3 hari setelah infestasi, diamati dan dihitung jumlah wereng hijau yang hinggap pada masing-masing galur/varietas. Data hasil pengamatan diuji dengan analisis ragam uji F dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (α = 0,05) dengan menggunakan fasilitas uji SPSS 17.0. Uji Survival Wereng Hijau

Mengikuti metode survival yang digunakan Siwi et al., (1987). Benih padi yang diuji (48 galur + 2 varietas pembanding) disemai pada ember plastik. Setelah umur 1 minggu, masing-masing galur/varietas dipindahkan ke dalam tabung reaksi diameter 1.5 cm (5 tanaman/tabung) dengan akarnya dibalut kapas basah. Setiap tabung diinfestasikan 10 ekor wereng hijau instar tiga lalu disungkup kain kasa. Tabung disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dengan 3 kali ulangan. Pengamatan dilakukan 1, 3 dan 5 hari setelah infestasi, kemudian dihitung jumlah wereng hijau yang bertahan hidup (berhasil menjadi dewasa).

Page 14: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

543

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji preferensi menunjukkan bahwa hampir tidak ditemukan wereng hijau

hinggap pada galur (no.12) BP3770A-1-219-LRG-3-5-2-8 (no.12), BP3856A-2-743-LRG-9-6-2-6 (no.17), P3860A-2-842-LRG-1-9-1-7 (20) dan BP3860A-2-842-LRG-1-9-1-7 (no.37). Hal ini membuktikan bahwa wereng hijau yang hinggap pada setiap galur berebera-beda tergantung dari tingkat kesukaannya. Menurut Schoonhoven et al. (2005), seleksi tanaman inang oleh serangga termasuk wereng hijau meliputi aktivitas mencari, orientasi, kemudian hinggap, lalu melakukan seleksi penusukan hingga penetrasi stilet.

Tabel 1. Preferensi hinggap wereng hijau pada berbagai galur harapan padi tahan tungro

No Galur/varietas Jumlah Wereng Hijau yang hinggap

1 HIS 3 HIS 5HSI

1 BP3734A-3-15-LRG-5-8-2-5 4.3 6.7 5.7 b-h 2 BP3736A-1-43-LRG-3-7-1-10 2.0 1.0 1.7 abcd 3 BP3742A-3-97-LRG-8-6-2-8 2.7 1.0 1.7 abcd 4 BP3744A-1-100-LRG-2-1-2-6 0.7 1.3 3.0 abcde 5 BP3744A-1-104-LRG-5-2-1-7 2.0 0.7 2.0 abcd 6 BP3744A-2-110-LRG-1-1-2-6 4.0 1.0 0.7 ab 7 BP3762A-5-149-LRG-1-5-1-8 2.3 10.0 7.0 d-h 8 BP3762A-5-157-LRG-9-1-2-9 12.0 8.0 8.3 f-h 9 BP3764A-3-185-LRG-8-5-1-8 6.0 5.0 4.7 a-h 10 BP3768A-2-214-LRG-8-10-2-7 0.0 1.7 0.7 ab 11 BP3770A-1-218-LRG-2-3-1-9 2.7 0.7 2.0 abcd 12 BP3770A-1-219-LRG-3-5-2-8 0.7 2.0 0.0 a 13 BP3770A-2-234-LRG-8-1-1-9 7.3 7.3 6.3 c-h 14 BP3840A-6-253-LRG-8-6-2-8 3.0 1.7 0.3 ab 15 BP3846A-7-425-LRG-10-3-1-9 12.3 9.0 8.7 gh 16 BP3846A-8-428-LRG-3-3-2-6 10.7 3.7 9.0 h 17 BP3856A-2-743-LRG-9-6-2-6 0.0 0.3 0.0 a 18 BP3860A-2-842-LRG-1-1-1-7 0.0 0.3 1.0 abc 19 BP3860A-2-842-LRG-1-6-1-7 1.3 1.7 3.7 a-g 20 BP3860A-2-842-LRG-1-9-1-7 0.7 0.0 0.0 a 21 BP3860A-4-853-LRG-2-1-1-7 3.3 0.3 3.7 a-g 22 BP3862A-8-938-LRG-7-1-1-9 8.0 5.0 4.7 a-h 23 BP3862A-15-999-LRG-8-1-1-8 7.3 3.7 2.3 abcde 24 BP3862A-16-1005-LRG-4-3-1-9 5.0 3.0 0.3 ab 25 BP3862A-18-1026-LRG-7-10-1-7 2.3 1.7 4.3 a-h 26 BP3862A-19-1037-LRG-8-1-1-8 1.3 7.0 2.3 abcde 27 BP3862A-21-1054-LRG-5-1-1-6 0.7 0.3 1.0 abc 28 BP3862A-23-1078-LRG-9-6-2-7 2.0 1.7 0.7 ab 29 BP3864A-6-1131-LRG-2-5-1-8 8.3 4.0 3.0 abcde 30 BP3864A-7-1146-LRG-7-6-2-6 14.0 5.7 7.0 d-h 31 BP3864A-8-1151-LRG-3-7-2-8 2.7 2.7 2.0 abcd 32 BP3866A-1-1175-LRG-7-3-2-7 2.0 4.3 1.3 abc 33 BP3866A-3-1193-LRG-5-5-2-3 2.3 0.0 1.3 abc 34 BP3866A-4-1200-LRG-2-5-2-7 2.3 1.3 2.3 abcde 35 BP3866A-4-1207-LRG-9-3-2-7 2.0 3.3 2.0 35 36 BP3866A-5-1211-LRG-3-8-1-7 1.7 2.0 1.0 abc 37 BP3866A-5-1213-LRG-5-2-1-7 0.0 0.0 0.0 a 38 BP3866A-5-1219-LRG-1-3-2-4 4.0 3.3 4.3 a-h 39 BP3866A-6-1227-LRG-9-4-2-6 0.7 2.0 1.7 abcd 40 BP3866A-8-1244-LRG-9-5-1-7 1.0 2.7 1.0 abc 41 BP3868A-5-1283-LRG-8-1-2-7 4.0 0.7 1.3 abc 42 BP3868A-8-1307-LRG-2-2-1-7 4.3 2.3 5.0 a-h

Page 15: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

544

43 BP3870A-4-1357-LRG-2-3-1-7 2.0 3.0 2.0 abcd 44 BP3870A-4-1363-LRG-8-1-1-7 1.0 1.0 2.7 abcde 45 BP3870A-6-1383-LRG-8-1-1-8 4.0 2.3 4.3 a-h 46 BP3870A-6-1385-LRG-10-2-1-7 1.3 2.0 3.0 abcde 47 BP3870A-7-1387-LRG-2-1-1-7 4.7 1.3 3.3 a-f 48 BP3872A-1-1396-LRG-1-2-2-7 6.3 9.0 7.3 e-h 49 TN1 6.0 5.0 3.7 a-g 50 INPARI 9 1.3 1.0 3.3 a-f

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan (α = 0.05).

Hasil uji survival menunjukkan bahwa sudah terjadi kematian nimfa wereng hijau

pada 1 HSI di semua galur/varietas sebanyak 1 - 9 ekor bahkan terlihat tidak ada nimfa yang hidup pada 3 HSI yang terjadi pada beberapa galur yaitu B10525E-KN-37-2-3-7-SI-2-MR-3-2-1-1-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-SI-2-MR-1-2-3-2-1,B11742-RS*2-4-MR-31-1-4-SI-4-1-MR-3-2-1-2-2, B12519-3-SI-2-1-MR-3-3-2-1-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-SI-2-MR-1-2-3-2-1, IR71145-153-3-3-1-2-3-1-3 dan IR71710-78-2-2-2-3-3-1 (Tabel ). Nimfa wereng hijau masih beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan ketersediaan pakan yang baru (di dalam sungkup) pada 1 HSI dan pada hari-hari berikutnya akan mulai menyesuaikan untuk dapat bertahan hidup menjadi dewasa. Semakin banyak wereng hijau yang mampu bertahan hingga menjadi dewasa maka semakin rendah tingkat ketahanan galur/varietas terhadap wereng hijau, namun diperlukan kajian lebih lanjut untuk melihat adanya pengaruh senyawa antibiotik dari setiap galur/varietas terhadap kematian wereng hijau. Wereng hijau akan membentuk generasi selanjutnya jika tersedia pakan yang sesuai, sehingga akan terjadi penularan sekunder di lapangan jika ditanam suatu varietas yang tidak tahan terhadap wereng hijau.Lama hidup, fluktuasi populasi, laju reproduksi, dan laju pertumbuhan wereng hijau dipengaruhi oleh sumber makanan (tanaman inang) (Win et al. 2011). Beradasarkan jumlah wereng hijau yang masih hidup atau mampu bertahan hingga 5 HSI maka galur-galur B10525E-KN-37-2-3-7-SI-2-MR-3-2-1-1-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-SI-2-MR-1-2-3-2-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-SI-2-MR-2-2-2-2-2, Beradasarkan jumlah wereng hijau yang masih hidup atau mampu bertahan hingga 5 HSI maka galur-galur B10525E-KN-37-2-3-7-SI-2-MR-3-2-1-1-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-SI-2-MR-1-2-3-2-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-SI-2-MR-2-2-2-2-2, B11597-RS*2-3-2-16-5-SI-2-MR-2-2-2-3-1, B11742-RS*2-4-MR-31-1-4-SI-4-1-MR-3-2-1-2-2, B12519-3-SI-2-1-MR-3-3-2-1-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-SI-2-MR-1-2-3-2-1,B11597-RS*2-3-2-9-5-SI-3-MR-2-1-2-2-1, IR71138-49-2-2-1-2-2-4-4, IR71145-153-3-3-1-2-1-3-1, IR71138-49-2-2-1-2-2-4-4, IR71145-153-3-3-1-2-3-1-3 dan IR71710-78-2-2-2-3-3-1 mempunyai tingkat ketahanan yang lebih tinggi terhadap wereng hijau dibandingkan galur-galur yang lain. Menurut Sahjahan et al. (1990), varietas tahan mengandung gen ketahanan, dimana gen yang mengatur ketahanan terhadap virus tungro dikontrol oleh lebih dari satu gen (polygenic) dan ketahanan terhadap vektornya dikontrol oleh satu gen (monogenic). Selain itu, ketebalan epidermis maupun kelebatan bulu serta kasar pada helaian daun menyebabkan vektor (N.virescens) bermigrasi ke tempat lain dan memilih varietas yang lebih disenangi (Pakki S., 2010).

Page 16: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

545

Tabel 2. Kemampuan bertahan hidup (Respons) wereng hijau pada berbagai galur harapan padi tahan tungro

No Galur/varietas

Jumlah wereng hijau yang betahan hidup

(menjadi dewasa)

1 HIS 3 HSI 5HSI

1 BP3734A-3-15-LRG-5-8-2-5 2.0 0.7 0.0 a 2 BP3736A-1-43-LRG-3-7-1-10 4.3 1.3 0.7 ab 3 BP3742A-3-97-LRG-8-6-2-8 4.3 0.3 0.3 a 4 BP3744A-1-100-LRG-2-1-2-6 5.0 1.0 0.7 ab 5 BP3744A-1-104-LRG-5-2-1-7 8.0 2.0 1.0 ab 6 BP3744A-2-110-LRG-1-1-2-6 7.7 1.7 0.3 a 7 BP3762A-5-149-LRG-1-5-1-8 8.0 6.3 1.0 ab 8 BP3762A-5-157-LRG-9-1-2-9 8.0 7.0 5.0 c 9 BP3764A-3-185-LRG-8-5-1-8 0.0 0.0 0.0 a 10 BP3768A-2-214-LRG-8-10-2-7 6.0 3.7 1.0 ab 11 BP3770A-1-218-LRG-2-3-1-9 3.3 1.7 1.0 ab 12 BP3770A-1-219-LRG-3-5-2-8 6.0 0.0 0.0 a 13 BP3770A-2-234-LRG-8-1-1-9 8.7 3.3 1.3 ab 14 BP3840A-6-253-LRG-8-6-2-8 3.0 1.3 0.3 a 15 BP3846A-7-425-LRG-10-3-1-9 9.0 4.7 1.3 ab 16 BP3846A-8-428-LRG-3-3-2-6 3.3 0.7 0.0 a 17 BP3856A-2-743-LRG-9-6-2-6 0.0 0.0 0.0 a 18 BP3860A-2-842-LRG-1-1-1-7 5.7 1.7 0.7 a 19 BP3860A-2-842-LRG-1-6-1-7 9.7 4.3 1.3 ab 20 BP3860A-2-842-LRG-1-9-1-7 0.0 0.0 0.0 a 21 BP3860A-4-853-LRG-2-1-1-7 6.3 1.3 0.3 a 22 BP3862A-8-938-LRG-7-1-1-9 7.3 0.3 0.0 a 23 BP3862A-15-999-LRG-8-1-1-8 7.7 1.7 0.7 ab 24 BP3862A-16-1005-LRG-4-3-1-9 7.7 2.0 0.3 a 25 BP3862A-18-1026-LRG-7-10-1-7 2.3 0.0 0.0 a 26 BP3862A-19-1037-LRG-8-1-1-8 7.3 0.7 0.0 a 27 BP3862A-21-1054-LRG-5-1-1-6 1.7 0.0 0.0 a 28 BP3862A-23-1078-LRG-9-6-2-7 8.0 2.7 0.0 a 29 BP3864A-6-1131-LRG-2-5-1-8 9.0 4.0 1.0 ab 30 BP3864A-7-1146-LRG-7-6-2-6 6.3 2.0 0.3 a 31 BP3864A-8-1151-LRG-3-7-2-8 7.3 2.0 0.3 a 32 BP3866A-1-1175-LRG-7-3-2-7 9.7 2.0 0.3 a 33 BP3866A-3-1193-LRG-5-5-2-3 7.3 0.3 0.0 a 34 BP3866A-4-1200-LRG-2-5-2-7 6.3 2.7 0.3 a 35 BP3866A-4-1207-LRG-9-3-2-7 7.0 6.0 1.0 ab 36 BP3866A-5-1211-LRG-3-8-1-7 7.7 1.0 0.3 a 37 BP3866A-5-1213-LRG-5-2-1-7 7.3 0.7 0.3 a 38 BP3866A-5-1219-LRG-1-3-2-4 8.0 2.0 1.3 ab 39 BP3866A-6-1227-LRG-9-4-2-6 5.7 2.0 0.7 ab 40 BP3866A-8-1244-LRG-9-5-1-7 7.0 2.0 0.0 a 41 BP3868A-5-1283-LRG-8-1-2-7 7.7 2.3 0.7 ab 42 BP3868A-8-1307-LRG-2-2-1-7 6.3 4.3 0.7 ab 43 BP3870A-4-1357-LRG-2-3-1-7 8.0 1.0 0.7 ab 44 BP3870A-4-1363-LRG-8-1-1-7 6.7 0.7 3.0 bc 45 BP3870A-6-1383-LRG-8-1-1-8 5.0 2.3 0.3 a 46 BP3870A-6-1385-LRG-10-2-1-7 8.0 4.0 0.7 ab 47 BP3870A-7-1387-LRG-2-1-1-7 9.0 1.3 0.0 a 48 BP3872A-1-1396-LRG-1-2-2-7 0.0 0.0 0.0 a 49 TN1 10.0 6.0 3.7 a 50 Inpari 9 Elo 0.0 0.0 0.0 a

Page 17: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

546

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan (α = 0.05)

KESIMPULAN

Respons (hasil uji preferensi dan survival test) menunjukkan bahwa terdapat 15 galur

uji yang disenangi (hinggap dan bertahan hidup) oleh wereng hijau yaitu galur BP11780-1f-Kn-9-2-1*B-Lrg-1-17-3, BP11820-5f-Kn-9-3-1*B-LR-8-5,BP11820-5f-Kn-9-3-1*B-LR-9-12, BP11820-5f-Kn-10-2-1*B-LR-8-2, BP11820-5f-Kn-10-2-1*B-LR-17-12, BP11858-1f-Kn-1-2-1*B-Lrg-1-16-2, BP11592f-1-Kn-1-1*B-Lrg-1-4-15, BP11660f-3-Kn-3-1*B-Lrg-1-11-18, BP11778-3f-5-Kn-1-1*B-Lrg-1-1-7, BP11778-3f-5-Kn-1-1*B-Lrg-1-1-8, BP11848-3f-8-Kn-1-1*B-Lrg-1-2-7, BP11870-1f-3-Kn-2-1*B-Lrg-1-19-20, BP11922-1f-9-Kn-3-1*B-Lrg-1-1-9, BP5480-3f-Kn-30-2-6*B-lrg.1-18-10, dan BP10868f-Kn-1-1-2*B-lrg.1-17-3. Populasi wereng hijau adalah 0 – 3 ekor/galur tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding tahan Inpari 9 ( 3 ekor).

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad A.S and Tissera N. 2001. Plant Virology: Rice Tungro Disease. Institute for Plant Biology, Section for Plant Pathology. The Royal Veterinary and Agricultural University. http://www.dias.kvl.dk/plantvirology/rtdvforweb.htm [9 Desember 2013].

Bunawan H., L. Dusik, S.N. Bunawan, and N.M. Matamin. 2014. Rice Tungro Disease: From Identification to Disease Control. World Applied Science Journal 31 (6): 1221-1226.

Heinrichs, E.A., F.G. Medrano, H.R. Rapusas.1985. Genetic Evaluation for Insect Resistance in Rice. Int. Rice Res. Inst., Los Banos, Philippines. 356 p.

Pakki, S. 2010. Peran Faktor Ekobiologi Terhadap Dinamika Populasi Vektor dan Penyakit Tungro. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. hal 107-113.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Statistik iklim, Organisme Penganggu Tanaman, dan Dampak Perubahan Iklim 2011-2013. Kementerian Pertanian.

Rahim MD, Nasrudin A. 2010. Efisiensi penularan virus tungro oleh Nephotettix virescens (Homopterra: Cicadellidae) dengan berbagai umur inokulum. Jurnal Fitomedika. 7(2):125-129.

Sahjahan, M.B.S. Jaelani, A.H. Zakri, T.Imbee, and Othman. 1990. Inheritance of tolerance to rice tungro bacilliform virus (RTBV) in rice. Theor. Appl. Genect (1990).

Schoonhoven, L.M., J.J.A van Loon, and M. Dicke. 2005. Insectplant Biology. 2nd Ed. Oxford University Press.

Siwi, S. S., Arifin Kartohardjono, Suartini Harnoto, dan Alit Diratmaja. 1987. The green leafhopper, genus nephotettix matsumura. In Proceedings of the Workshop onRice Tungro Virus. Ministry of Agriculture.

Supriadi, Untung K, Trisyono A& Yuwono T. 2008. Keragaman populasi wereng hijau, nephotettix virescens distant (Hemiptra:Cicadellidae) asal wilayah endemis dannon endemispenyakit tungro padi. Seminar Nasional V PerhimpunanEntomologi (PEI) Cabang Bogor. Bogor:18-19 Maret 2008.

Page 18: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

547

Suzuki, Y., I K.R. Widrawan, I G.N. Gede, I N. Raga, Yasis, and Soeroto. 1992. Field epidemiology and forecasting technology of rice tungro disease vectored by green leafhopper. JARQ 26: 98−104.

Win, S.S., R. Muhammad, Z abiding, M. Ahmad, and N A. Adam. 2011. Life table and population parameters of Nilaparvata lugens Stal (Homoptera: Delphacidae) on rice. Tropical Life Sciences Research 22(1): 25-35.

Page 19: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

548

KAJIAN PENERAPAN MODEL TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TIKUS DI LAHAN PASANG SURUT MENDUKUNG UPSUS PAJALE

KABUPATEN TANJUNG TABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI

Sigid Handoko, Adri, Busyra B.S

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Jl. Samarinda Paal V Kotabaru, Jambi 36128

ABSTRAK Potensi sawah pasang surut di Kabuaten Tanjung Jabung Timur yaitu seluas 200.000

ha, sementara lahan yang telah dapat digunakan untuk pertanaman tanaman pangan seluas 90.000 ha. Pemanfaatan sebagai lahan sawah tanaman pangan didominasi oleh pertanaman padi pada musim penghujan (MT I), dan pertanaman jagung pada musim kemarau (MT II). Selain keberadaan air menjadi faktor pembatas dalam usaha tani padi, serangan hama tikus seringkali menjadi faktor utama kegagalan panen padi. Beberapa cara pengendalian hama tikus sawah berbasis penggunaan pestisida dalam bentuk umpan beracun dan pengemposan, diperoleh hasil kurang efektif di lapangan karena pelaksanaan aplikasinya setelah muncul serangan dalam kategori kerusakan sedang atau berat. Pengendalian hama tikus secara terpadu diperlukan dengan tujuan memperoleh keberhasilan dalam usaha tani padi dengan menekan kehilangan hasil di lapangan. Pengendalian hama tikus yang dilakukan yaitu: 1. Penggunaan teknik Trap barrier system (TBS) awal musim tanam, 2. Penggunaan teknik Linear trap barrier system (LTBS).Hasil kajian di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan teknik Trap barrier system (TBS) awal musim tanam dapat memerangkap 296 ekor tikus dengan perbandingan tikus jantan : betina sebesar 3:7. Penggunaan teknik Linear trap barrier system (LTBS) dapat memerangkap tikus yang melakukan migrasi antara lahan sawah dan habitat tikus, atau sebaliknya. Pengendalian hama tikus terpadu menggunakan TBS, LTBS, dan fumigasi dapat mengendalikan tikus di pertanaman padi pada musim tanam II tahun 2015, sehingga dapat terbebas dari serangan hama tikus. Kata Kunci: pengendalian, hama, tikus, TBS, LTBS, pasang surut

PENDAHULUAN Potensi sawah rawa pasang surut di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi

Jambi yaitu seluas 200.000 ha, sementara lahan yang telah dapat digunakan untuk pertanaman tanaman pangan seluas sekitar 90.000 ha (Busyra & Hendri 2015). Pemanfaatan sebagai lahan sawah tanaman pangan didominasi oleh pertanaman padi pada musim penghujan (MT I), dan pertanaman jagung pada musim kemarau (MT II) (Busyra et al. 2014; Busyra & Hendri 2015). Selain keberadaan air menjadi faktor pembatas dalam usaha tani padi, serangan hama tikus seringkali menjadi faktor utama kegagalan panen padi, berasal dari kebun sawit yang berbatasan langsung dengan sawah. Beberapa cara pengendalian hama tikus sawah berbasis penggunaan pestisida dalam bentuk umpan beracun dan fumigasi, diperoleh hasil kurang efektif di lapangan karena kondisi lahan pasang surut, dan pelaksanaan aplikasinya setelah muncul serangan dalam kategori kerusakan sedang atau berat. Teknik pengendalian hama tikus alternatif diperlukan dengan tujuan memperoleh keberhasilan dalam usaha tani padi dengan menekan kehilangan hasil di lapangan.

TBS merupakan salah satu teknologi pengendalian tikus sawah yang terbukti efektif menangkap tikus dalam jumlah banyak. Tangkapan tikus dapat berlangsung terus menerus sejak tanaman perangkap ditanam hingga panen (Singleton et al. 1997; Sudarmaji et al. 2003). Jumlah tangkapan tikus pada setiap unit TBS dipengaruhi oleh tingkat populasi tikus dan stadium padi tanaman perangkap. Tangkapan tikus tertinggi terjadi ketika tanaman perangkap berumur 3 minggu setelah tanam (MST) atau bertepatan dengan periode tanam petani di sekitarnya (Sudarmaji 2001 & 2002). Dengan banyaknya tikus yang tertangkap di

Page 20: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

549

awal pertanaman, populasi tikus di lapangan dapat ditekan sehingga tingkat kerusakan tanaman padi menurun dan lebih banyak hasil panen dapat diselamatkan.

LTBS merupakan salah satu komponen pengendalian tikus sawah yang efektif, ramah lingkungan dan mudah dalam pemakaiannya di lapangan (Leung &Sudarmaji1999). LTBS berupa bentangan pagar plastik sepanjang minimal 100 m, tanpa tanaman perangkap, dilengkapi bubu perangkap pada kedua sisinya secara berselang-seling sehingga mampu menangkap tikus dari dua arah (habitat dan sawah). Pemasangan LTBS dilakukan di dekat habitat utama tikus sawah seperti tepi kampung, sepanjang tanggul irigasi, semak belukar, dan tanggul jalan/pematang besar. LTBS juga efektif menangkap tikus migran, yaitu dengan memasang LTBS pada jalur migrasi yang dilalui tikus sehingga tikus dapat diarahkan masuk bubu perangkap. Jumlah tangkapan tikus pada setiap unit TBS dipengaruhi oleh tingkat populasi tikus dan stadium padi tanaman perangkap (Singleton et al. 1997; Sudarmaji et al. 2003).

METODOLOGI

Kajian yang dilakukan menggunakan metode Demonstrasi Plot yang terdiri atas: a)

Teknik Trap Barrier System (TBS) yaitu petak pertanaman padi yang berukuran 25 m x 25 m, yang ditanam 3 minggu sebelum tanaman padi lainnya. Varietas padi yang digunakan sama dengan varietas sekitarnya yaitu Inpari 30. Dipersiapkan kelengkapan jaring burung, yang dipasang pada saat padi keluar malai. Petak perangkap dibuatkan parit kecil mengelilingi (lebar sekitar 0,5 m), kemudian dipasang pagar plastik mengelilingi di sebelah dalam parit, dan di setiap sisinya dipasang bubu perangkap di sebelah dalam, menghadap keluar, dan b) Penggunaan teknik Linear trap barrier system (LTBS) yaitu memasang pagar plastik yang memisahkan habitat tikus dengan sawah yang dilengkapi dengan bubu perangkap yang dipasang secara berselang-seling. Pemasangan pagar

Gambar 1. Sketsa pemasangan pagar perangkap. (a) Tata letak pemasangan TBS, (b) teknik

pemasangan pagar perangkap, dan peletakan bubu perangkap (sumber: Anggara 2008)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil kajian menunjukkan tikus dapat diperangkap melalui teknologi TBS sebanyak

293 ekor yang terdiri atas 88 ekor jantan, dan 205 ekor betina. Hal ini menunjukkan potensi tikus yang dapat dikendalikan yaitu sebesar lebih kurang 16.400 ekor dalam 1 musim tanam. Menurut penelitian Anggara (2008), 1 ekor tikus betina pada awal musim tanam padi, dapat

Page 21: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

550

berpotensi menjadi 80 ekor pada akhir musim tanam padi, lebih kurang selama 4 bulan. Keadaan ini menjadi indikator keberhasilan penerapan teknologi TBS.

Dari bubu perangkap dalam setiap sisi petak perangkap TBS, menunjukkan adanya perbedaan jumlah tikus yang terperangkap. Sisi yang menghadap langsung dengan semak belukar terlihat dapat memerangkap lebih banyak dibandingkan dengan sisi lainnya. Hal ini dapat terjadi diduga tikus yang berasal dari semak belukar berjumlah lebih banyak pada saat lahan bera, dan dapat segera tertarik dan mendatangi petak perangkap TBS. Tikus yang berusaha masuk ke dalam petak perangkap memperoleh jalan terdekat antara semak belukar dan petak perangkap. Menurut Anggara (2008), pada saat lahan bera, tikus menjalani fase bertahan dengan kembali ke perkampungan, semak, dan pematang sawah. Pada saat telah terdapat padi yang tumbuh, maka tikus akan segera mendatangi padi, untuk memenuhi kebutuhan pelengkap hormon perkembangbiakan yang terdapat di pangkal tunas padi. Dari kondisi ini menunjukkan pengendalian tikus sawah menggunakan teknologi TBS dapat efektif digunakan.

Gambar 2. (a)Petak perangkap TBS ditanam 3 minggu sebelumnya dari sekitarnya, dan

(b)Tikus terperangkap dalam bubu

Hasil penggunaan teknologi LTBS menunjukkan bahwa dari letak perangkap yang terdapat berbatasan dengan semak belukar saja yang dapat memerangkap tikus, yaitu sebanyak 9 ekor. Hal ini dapat terjadi mungkin disebabkan tikus telah tertarik dengan tanaman perangkap dalam TBS dan lebih awal dapat terperangkap dalam bubu. Kondisi letak petak perangkap TBS yang berdekatan dengan semak belukar dapat efektif memerangkap tikus sejak fase awal tanam. Keadaan ini menunjukkan potensi pengendalian tikus sawah yang mengadakan migrasi dari habitatnya (semak belukar) menuju ke sawah dapat efektif digunakan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pemerangkapan tikus menggunakan teknik TBS menggambarkan potensi pengendalian

tikus yang dapat berkembang sesuai dengan dukungan faktor genotipe dan lingkungannya.

2. Tikus yang dapat diperangkap sebanyak 296 ekor (85 jantan dan 211 betina). Hal ini menunjukkan potensi tikus yang dapat dikendalikan yaitu sebesar 16.880 ekor dalam 1 musim tanam.

3. Sisi petak perangkap TBS yang menghadap ke arah semaK belukar dapat memerangkap tikus lebih banyak.

4. Penggunaan teknik LTBS menunjukkan potensi pengendalian tikus sawah yang mengadakan migrasi dari habitat menuju sawah, dan sebaliknya.

Saran 1. Penerapan teknologi TBS dibuat 1 petak perangkap dapat melindungi lebih kurang 15

ha, sehingga di lahan yang berbatasan dengan semak belukar sebaiknya dibuat lebih dari 1 petak perangkap.

a b

Page 22: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

551

2. Dalam penerapan TBS dan LTBS dalam sawah yang berbatasan semak belukar sebaiknya digunakan pagar plastik yang lebih tinggi, yaitu lebih kurang 80 cm.

UCAPAN TERIMA KASIH

- Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian RI. - Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. - Dr. Agus Wahyana Anggara (BB Padi).

DAFTAR PUSTAKA

Anggara, A.W. 2008. Pengendalian Hama Tikus Terpadu.Balai Besar Penelitian Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Busyra B.S., Adri, Endrizal. 2014. Optimalisasi Lahan Sub Optimal Rawa Pasang Surut Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu dan Peningkatan Indek Pertanaman.

Busyra BS dan Jon Hendri.2015. PotensiLahanRawa Di KabupatenMuaroJambi UntukMeningkatkanProduksiPadi. Siapterbit.BalaiPengkajianTeknologiPertanian Jambi Jl. SamarindaPaal V Kotabaru Jambi

Leung, K.P.L., andSudarmaji.1999. Techniques for the ricefield rat Rattusargentiventer. Malayan Nature Journal. 53:4. p.323-333.

Singleton.G.R., Sudarmaji and SadeliSuryapermana. 1997. An Experimental field study to evaluate a trap barrier system and fumigation for controlling the rice-field rat, Rattusargentiventer, in rice crops in West Java. Crop protection vol.17 No.1.Elsevier Great Britain. PII:S0261-2194 (97) 00074-4. P.55-64.

Sudarmaji. 2001. Pengendaliantikussawahdengan TBS dan LTBS. MakalahpadaDiskusi Panel Pengendalian Hama Tikus HKTI Pusat di BPHP-TPH Jatisari.pp: 113.

Sudarmaji. 2002. Strategipengendaliantikusterpadu. Makalahpada Workshop danPelatihan Site Specifik Nutrient Managemant di BalitpaSukamandi.6-10 Mei 2002.pp : 1-18.

Sudarmaji. 2005. Permasalahan hama tikus dan penanganannya pada padi (hibrida). Makalah pada Training Produksi Benih Padi Hibrida di Balitpa Sukamandi, 16-18 Mei 2005. pp:1-16.

Page 23: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

552

IMPACT OF COMMUNITY BIODIVERSITY MANAGEMENT AS A

CONCEPT OF MODERN AGRICULTURE TOWARDS DIVERSITY

OF TROPICAL FRUIT TREE, ECOSYSTEM SUSTAINABILITY AND

COMMUNITY INCOME IN INDONESIAN SUPPORTING AEC

Kurniasih, D 1)* and Arsanti, IW 2)*

1) Peneliti Pertama at Indonesian Centre for Horticulture Research and Development, Jl. Tentara Pelajar No 3C, Bogor

2) Peneliti Madya at Indonesian Centre for Horticulture Research and Development,Jl. Tentara Pelajar No 3C, Kampus Penelitian Pertanian, Cimanggu, Bogor

E-mail: [email protected], [email protected]

INTRODUCTION

The ASEAN Economic Community (AEC) is a big challenge and opportunity for Indonesia to encourage the economic growth. The AEC is the realization of the end goal of economic integration, based on a convergence of interests of ASEAN Member Countries to deepen and broaden economic integration through existing and new initiatives with clear timelines. The AEC will establish ASEAN as a single market and production base making ASEAN more dynamic and competitive with new mechanisms and measures to strengthen the implementation of its existing economic initiatives; accelerating regional integration in the priority sectors (ASEAN Secretariat, 2008).

The high level of competitiveness is an important key for Indonesia to conquer the global competition. One of most valuable assets owned by Indonesian is specific genetic resources. It is related with Indonesia as a mega biodiversity countries and an archipelagic country, with its thousands of islands scattered between two continents (Asia and Australia) and two oceans (Pacific and Indian). Indonesia is endowed with very rich and unique biological resources. More than 329 native and introduced fruit species have been documented and described in Indonesia as potential sources of food, nutrition and medicine (Uji, 2007). The Indonesian Ministry of Agriculture (2010) has prioritized mango and Citrusas commodities and has targeted production of some 2.5 million tons of mango and 2.3 million tons of Citrus. However, the programs are threatened by farm land conversions. The rate of farm land conversions in Indonesia is around 100.000 hectares per year and caused by the rapid population growth in the last 15 years that increased around 1,49% per year (Indonesian Statistic Agency, 2014).

Diversifying the agricultural sector has become now an important strategic interest for the Indonesian Government, which requires also a conservation strategy to maintain a viable population of species and the intra-specific diversity within species as the fundamental source for improved planting material. To diversify and improve the agricultural sector, the conservation of fruit trees is urgently needed by the Indonesian government (Hanani et al., 2009), especially for fruit trees which have recalcitrant seeds and cannot be conserved in cold storage. The prevention of erosion of native fruit genetic resources should be highlighted as a national priority. Loosing plant genetic resources means that Indonesia will lose national assets to develop new products or compete in the global market, whereas the competitiveness level of Indonesian fruits in Asia is already low.

On-farm conservation entails the active participation of local communities in the documentation, multiplication, utilization and safeguarding of unique species and varieties found on their farms. In-situ and on-farm conservation is ineffective without local community

Page 24: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

553

participation (Isager et al.,2001). Community-based Biodiversity Management (CBM), is an example of a conservation approach that empowers the community through participation so that their access to and control over genetic resources are secured (Rechlin et al., 2008). Sthapit et al., (2008) described CBM method entails several steps and type of interventions. Firstly, sites and communities are selected with high level of unique inter or intra-specific diversity, followed by full understanding of the local context to determine if on-farm conservation is appropriate and feasible. The next steps are: raising awareness, set-up institutional modalities, strengthen capacities and skills, development and implementation of action plans for utilization and conservation, mobilize CBM funds, and facilitating social learning in which local stakeholders lead and drive the CBM process (Sthapit et al.,2008).

On-farm conservation activities and interventions include the organization of diversity fairs, the documentation and description of local species and varieties in a catalogue or register, establishment of nurseries for multiplication and distribution of unique plant or seed material, the promotion of nutritional values and traditional recipes, the development of enterprises and market linkages for the sales of products or services based on local unique crop diversity and the protection/conservation of most important source trees or seed material (Arsanti, 2013). Thus, CBM approaches can be classified as a new concept of modern agriculture system since the community participations have been placed as an important part and the project also osculate the upstream and downstream aspects of conservation, so that the community can generate the economic welfare.

METHODOLOGY

As an impact assessment, this studies were focused on the benefit of the diversity project’s activities in enhancing the number of tropical fruit tree diversity, ecosystem sustainability, and community income. The methodology used in this study are survey and literature review. The study had been held in 2014 at two sub district in South Kalimantan (Telaga Langsat for mango, Cerbon for Citrus) and two sub district in East Java Province (Tiron for mango and Bibis for Citrus). The locations were selected out have been part of the UNEP/GEF funded project namely “Sustainable use of wild and cultivated tropical fruit tree diversity, improving livelihoods, ecosystem services and food security”. The project used the CBM approach to strengthen local on-farm conservation practices for mango and Citrus species and varieties in selected villages. Data was collected by enumerators using pen and paper questionnaire including multiple choice questions and few open questions regarding their participation of project interventions. Respondents were selected by purposive random sampling, selecting 383 people from six locations. Interviews were conducted at the end of the UNEP/GEF project for on-farm conservation after completion of all field activities. The variables used in this study are community participation in the conservation of tropical fruit trees, the number of tropical fruit tree ownership, and income of community related to their conservation activities.

RESULTS AND DISCUSSION

Characteristic of Respondents The study shows that the average age of respondents was 48.5 years old. It reflected

that most of farmers respondents are in productive age. They actively worked in their farm to cultivate paddy, vegetable, fruit, and also raised cattle. They also still involved in the farmers group activities. By interacting with the other farmers they benefitted from the information related to their mango and Citrus farming.

The 62% respondents are male and 38% are women. It showed that the project has prioritized the involvement of woman farmers in the project. Gender is an important issue and involving woman farmers in conservation programs is necessary as they have significant knowledge on conservation issues and hence should have the same right as men to be

Page 25: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

554

involved in any decision making process regarding on-farm conservation activities (Kurniasih, 2007). The woman farmers were also actively involved in the farmer group activities, conservation activities and the training workshops provided by government agencies or Non-Government Organizations (NGOs). Woman also got involved through a woman farmer group that established a business unit for the processing of mango and Citrus fruits.

Most of the respondents did not have high level education such as pursuing a bachelor or master’s degree. About 62% of the respondents were formally educated (under 9 years), meaning they just finished a primary or secondary school. Others respondents or 38% are well educated as they finished a high school or bachelor degree. Education strengthens capacities and gives knowledge and ideas to the participants to access more information and technologies that are useful to improve their farming system.

Community Participation This study conducted in the final phase of a community-based on-farm conservation

project showed that farmers’ participation in project activities had a major positive effect on their perceptions about on-farm conservation, and thus increased the likelihood that practices are adopted and continued within their farming system. In the diversity fair activity the study showed that 27% respondents attended the diversity fair, 14% respondents stated that they actively participated in the diversity fair as a guide and promoted the CBM activities to the visitors. They visitors stated that diversity fair is new method of dissemination since they can get a lot of information about the richness of genetic resources and CBM activities.

In this study, 40% of farmers indicated that they participated actively in community nursery. They produce the mango and Citrus planting materials in community nursery that were established by the project. Unfortunately, community nurseries have not been able to fulfill the planting materials demand because of its limitation of rootstocks. This issue should be taken by the government and it should develop faculties so that the access to seedlings of species/varieties by farmers is improved. This may be done through establishing nurseries by formal sector or by promoting community nurseries.

The result also showed that 15% respondents stated that they involve to build the diversity block. They conserved the wild relatives of mango and Citrus trees in some place and they use it to serve the material planting in grafting activities. To increase the farmers capabilities in nursery, the project also give assistant for the farmers in grafting or seedling technologies.

The existing conservation activities that are part of the CBM approach, such as biodiversity block or garden, community biodiversity register or fruit catalogue, community nursery, diversity fair, processing product of mango and Citrus, and marketing training, are effective to encourage farmers’ participation and perception on conservation of mango and Citrus. Therefore, these activities should be continued to get increased participation not only in the project location but also in the other places in Indonesia.

Fruit Trees Diversity

At the beginning of the project, it had been identified that in six project sites have a richness of genetic resources of mango and Citrus. The four locations represented a center of mango and Citrus diversity in Indonesia. The baseline survey had been done in 2013 by Winarno et.al. (2013) reported that Tiron Kediri has different species and 24 varieties of M. indica are known within the community. Indigenous varieties such as Jaran, Lanang, Santok Kapur, Santok Buto Bader, Jempol, Dodonilo, Beruk, Pakel, Empok, Ireng, Dasamuko, Cantek, Lulang, Cantrik, are combined with commercial varieties like Podang Urang, Podang Lumut, Golek, Gadung, Madu, and Manalagi.

After the project intervention, the mango trees maintained by community in Tiron had been increasing by 14,1% (Table 1).

Page 26: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

555

Table 1. Distribution of Mango Tree Diversity in Tiron Before and After The Project

No Varieties

Before After

Number of farmers

Number of Trees

Number of farmers

% Number of

Trees %

1 Podang Urang

52 1233 55 5,77 1270 3,0

2 Podang Lumut

6 42 7 16,67 104 147,6

3 Golek 18 47 19 5,56 50 6,4

4 Gadung 29 291 30 3,45 302 3,8

5 Jaran 2 2 3 50,00 10 400,0

6 Madu 15 28 16 6,67 56 100,0

7 Santok Buto

7 8 8 14,29 30 275,0

8 Kopyor 13 20 15 15,38 45 125,0

9 Manalagi 6 15 10 66,67 17 13,3

10 Dodonilo 1 1 5 400,0

0 6 500,0

11 Arumanis 4 17 10 150,0

0 55 223,5

Total 153 1704 178 16,34 1945 14,1

In Bibis Magetan at the beginning of the project has been identified 6 different

species (C. grandis, C. sinensis, C. hystrix, C. reticulata, C. aurantifolia, C. limon), 3 varieties of C. reticulata, and 9 varieties of C. grandis are known within the community. Almost all indigenous varieties of C. grandis such as Adas, Adas Duku, Nambangan, Sri Nyonya, Pamelo Magetan, Jeruk Gulung, and Jeruk Jowo, are commercial varieties.

After the project, the study identified that the number of Citrus trees in Bibis had increase by 15,79% that shows at Table 2.

Page 27: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

556

Table 2. Distribution of Citrus Tree Diversity in Bibis Before and After The Project

No Varieties

Before After

Number of

farmers

Number of Trees

Number of

farmers %

Number of Trees

%

1 Adas Duku 51 2891 53 7,84 2892 21,07

2 Nambangan 36 2827 37 94,44 2828 1,80

3 Sri Nyonya 51 476 53 13,73 480 34,24

4 Bali Merah 28 452 29 3,57 453 34,96

5 Pamelo Magetan

9 150 9 0,00 150

18,67

6 Sunkis 6 20 6 0,00 22 75,00

7 Jeruk nipis 2 2 3 50,00 3 200,00

8 Keprok Manis

10 72 13 30,00 73

43,06

9 Jeruk Gulung 1 3 4 100,00 4 233,33

10 Jeruk Jowo 17 172 19 11,76 175 15,12

11 Jeruk Pecel 1 14 2 0,00 15 128,57

12 Jeruk Purut 1 2 1 0,00 2 400,00

Total 213 7081 229 24,88 7097 15,79

In Telaga Langsat, identified 11 different species of mango : Mangifera indica (local

name : hampalam nagara, mangga golek, mangga gadung, hampalam hambuku, hampalam biasa and apel), M. foetida (local name of varieties : hambawang biasa, hambawang kalambuai, and hambawang tapah), M, odorata (local name of variety : kuini), M. torquenda (local name : hambawang pulasan), M. griffthii (local name of varieties : rawa-rawa humbut and rawa-rawa biasa), M. casturi (local name : kasturi), M, havilandii (local name : hampalam damar), M, applanata (local name of varieties : palipisan sak hirang and palipisan sak hijau), M. rufocostata (local name : tandui), M. caesi (local name of varieties : binjai manis and binjai asam), and M. pentandra (local name : asam pauh).

After the project intervened the community, the number of mango trees diversity had been increasing by 17%. The enhancement of mango trees in Telaga Langsat is shown in Table 3.

Page 28: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

557

Table 3. Distribution of Mango Tree Diversity in Telaga Langsat Before and After The Project

No Varieties

Before After

Number of

farmers

Number of Trees

Number of farmers

% Number of

Trees %

1 Kasturi 8 12 13 62,50 13 8,33

2 Mangga gadung

2 3 5

150,00 4

33,33

3 Binjai 2 4 2 0,00 4 0,00

4 Hambawang 4 6 5 25,00 7 16,67

5 Hampalam 10 14 11 10,00 15 7,14

6 Kuini 2 3 3 50,00 3 0,00

7 Mangga Golek 6 7 8 33,33 8 14,29

8 Mangga Apel 2 3 3 50,00 6 100,00

9 Mangga Madu 1 1 1 0,00 2 100,00

Total 37 53 51 37,84 62 16,98

In Cerbon site, the number of citrus tree conserved by the community is also raising

about 13,56%. At the beginning of the project, there were 47 varieties are maintained per

household and in total 7 different species; 2 varieties of C. reticulata; 3 varieties of C.

sinensis; and 2 varieties of C. grandis are known within the community. Commercial

Indigenous varieties such as Limau Sambal, Limau Bali, Limau Purut, and Limau Nipis. The

number of farmers and Citrus tree enhancement after the project intervention in Cerbon site

can be seen in Table 4.

Page 29: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

558

Table 4. Distribution of Citrus Tree Diversity in Cerbon Before and After The Project

No Varieties

Before After

Number of

farmers

Number of Trees

Number of farmers

% Number of Trees

%

1 Podang Urang

52 1233 55 5,77 1378

11,76

2 Podang Lumut

6 42 8 33,33 49

16,67

3 Golek 18 47 23 27,78 52 10,64

4 Gadung 29 291 32 10,34 312 7,22

5 Jaran 2 2 3 50,00 5 150,00

6 Madu 15 28 18 20,00 35 25,00

7 Santok Buto 7 8 11 57,14 9 12,50

8 Kopyor 13 20 23 76,92 38 90,00

9 Manalagi 6 15 11 83,33 17 13,33

10 Dodonilo 1 1 1 0,00 8 700,00

11 Arumanis 4 17 5 25,00 32 88,24

Total 153 1704 190 24,18 1935 13,56

In average, the number of fruit trees in 4 project sites was raising about 15% after 6 years

CBM intervention. This study identified that this condition was caused by : (1) the project

gave sapling and training for the community; (2) farmers’ knowledge were raising since the

interventions; (3) community nurseries were developed properly, so that the farmers’ can

access the seed easily; and (4) the added value of fruit trees product was increasing since the

farmers got several training on processing fruit.

Community Income

Based on the analysis of the base line data, it was observed that mango contributes

just 1,3% in South Kalimantan, and 13.9 percent in Tiron, Kediri, East Java. After the

intervention of the project, the house hold income were raising about 10% in Telaga Langsat

and 20,6% in Tiron (Table 5).

Table 5. House Hold Income and Contribution of Mango Before and After the Project

Before After

Particulars Tiron, EJ Telaga

Langsat, SK Tiron, EJ

Telaga Langsat, SK

HH Net income (Rp) 11.122.870 10.757.192 14.459.731 12.908.630

Contribution/Share of

Mango (Rp/%) 1.549.978 (13,9) 144.175 (1,3) 2.991.946 (20,6) 1.075.719 (10)

Meanwhile for Citrus, the study identified that based on baseline survey, the intervention

also raised the community income. In Bibis site the house hold income were raising about

Page 30: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

559

15% and in Cerbon site the project can lead the community to raise the income from Citrus

until

Table 5. House Hold Income and Contribution of Citrus Before and After the Project

Particulars Before After

Bibis, EJ Cerbon, SK Bibis, EJ Cerbon, SK

HH Net income (Rp) 22.329.566 9.021.422 24.795.479 12.908.630

Contribution/Share of

Citrus (Rp/%)

9.016.006

(40,44)

4.961.782

(55,47) 12.877.288 (51,9)

6.745.178

(52,23)

The raising of community income was led by the processing was led by several factor such

i.e. : (1) The ownership of fruit trees were raising and the community can generate more

money by selling the fresh fruit; (2) The development of processing product by woman

farmers group, so they can earn more income by adding the value of the fruit; (3) the

community nurseries were develop properly, so the community can generate the income by

selling the planting material.

Conclusion

The community biodiversity management approach and its activities, as used in the project, seems an appropriate approach to influence farmers’ perceptions related to conservation activities, especially when incentives and needs of farmers are recognized and addressed. Creating access to planting material of unique fruit species and varieties, the provision of additional agronomic and technical support and the creation of benefits through income generation seem all important aspects for a community-based biodiversity management approach.

With efficient and effective government assistance, farming communities in high diversity areas may be able to position themselves as agent of change to ensure the sustainable utilization and conservation of fruit tree diversity. Maintaining the diversity is a must since the genetic resources of tropical fruit tree are comparative advantages for Indonesia to win the global economic competition especially to face the AEC.

Some outcome that emerge from this study that can be implemented by stakeholders are: 1. The importance of identifying and working through custodian households within the

community as entry point for interventions and agents of change to document and spread knowledge, practices and saplings across the community.

2. The importance of having a long timeframe of 5-8 years of on-farm conservation projects to understand the context, identify key stakeholders, plan interventions to be able to influence and change perceptions and behaviors regarding the utilization and safeguarding of local fruit tree species.

3. The existing conservation activities that are part of the CBM approach, such as biodiversity block or garden, community biodiversity register or fruit catalogue, community nursery, diversity fair, processing product of mango and Citrus, and marketing training, are effective to encourage farmers’ participation and perception on conservation of mango and Citrus. Therefore, these activities should be continued to get increased participation not only in the project location but also in the other places in Indonesia.

Page 31: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

560

References

Arsanti IW and Dian Kurniasih (2013). Putting theories into practices: community based biodiversity management on podangurang (Mangifera indica) in Kediri, East Java. Proc. of Int. Con. on Trop. Hor., 2-4 October 2013,ICHORD, Jakarta, Indonesia.

ASEAN Secretariat. 2008. ASEAN Economic Community Blue Print 2015. The ASEAN Secretariat. Jakarta

Indonesian Ministry of Agriculture (2010). Indonesian Ministry of Agriculture Strategic Plan. Jakarta, Indonesia.

Indonesian Statistic Agency (2014). Trends of Selected Socio Economic Indicators of Indonesia. Jakarta, Indonesia.

Isager, L, I Theilade, L and Thomson (2001). People's participation in forest conservation: considerations and case studies. Proc. of the Southeast Asian Moving Workshop on Conservation, Management and Utilization of Forest Genetic Resources, 25 February-10 March 2001, FAO.

Hanani, N, R Hartono and LPA Ratnadi (2009) Competitiveness analysis of Indonesian fruits export level. Jurnal AgrisE, 9: 1-8.

Kurniasih, D (2007) Pengaruh daya dukung lahan dan faktor sosial ekonomi terhadap perilaku petani dalam konservasi lahan sawah di Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Agro Ekonomi, 14(1): 35-48

Rechlin, MA, D Taylor, J Lichatowich, P Hoon, and B Leon (2008). Community-Based Conservation. is it More Effective, Efficient, and Sustainable?, The Gordon and Betty Moore Foundation.

Sthapit BR, PK Shrestha, A Subedi, P Shrestha, MP Upadhyay and P Eyzaguirre (2008) Mobilizing and empowering communities in biodiversity management. Thijsen M H, Z Bishaw, A Beshir and WS de Boef (Eds.). Farmers, seeds and varieties: Supporting informal seed system in Ethiopia. Wageningen, Wageningen International.

Uji, T (2007) Review: The diversity of Indonesian indigenous fruits and its potency. Journal Biodiversity, 8: 157-167.

Winarno, BA Kuntoro, and R Achmad (2013) Baseline Report: UNEP-GEF Project on “Conservation and Sustainable Use of Cultivated and Wild Tropical Fruit Diversity: Promoting Sustainable Livelihoods, Food Security and Ecosystem Services. Jakarta, Indonesia, (Unpublished).

Page 32: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

561

INOVASI TEKNOLOGI LAHAN RAWA PASANG SURUT MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN NASIONAL

(TECHNOLOGICAL INNOVATION TIDAL SWAMP LAND TO SUPPORT NATIONAL FOOD SOVEREIGNTY)

Ani Susilawati* dan Erwan Wahyudi**

*)Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA) Jl. Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru 70712,Kalimantan Selatan

E-mail:[email protected] **)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi

Jl. Samarinda Paal Lima Kota Baru Jambi E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Potensi lahan rawa pasang surut sangat besar, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Sulawesi. Sebagian lahan tersebut sudah dibuka dan diusahakan. Namun perlu didukung oleh inovasi teknologi karena umumnya lahan rawa pasang surut memiliki beberapa kendala meliputi aspek teknis, infrastruktur, dan aspek sosial ekonomi serta kelembagaan. Dengan adanya sentuhan teknologi, lahan rawa pasang surut berpeluang besar untuk meningkatkan produksi padi di lahan rawa pasang surut sehingga berkontribusi signifikan terhadap produksi padi nasional, bahkan dapat dijadikan sebagai lumbung pangan nasional. Beberapa inovasi teknologi budidaya padi di lahan rawa pasang surut yang terkait dengan tanah dan air antara lain: penyiapan lahan, penataan lahan, pengelolaan air, pengelolaan hara dan pupuk. Apabila dilakukan optimalisasi lahan rawa pasang surut dengan dukungan inovasi teknologi pengelolaan dan budidaya yang baik, peningkatan intensitas pertanaman (IP 200), maka dapat diperoleh tambahan produksi sebesar 3,5 juta ton gabah per tahun. Pencapaian optimalisasi di atas dapat dilakukan secara bertahap, penerapan asas prioritas, berkesinambungan, sistematis, dan fokus.

Kata Kunci : inovasi teknologi, lahan pasang surut, kedaulatan pangan

PENDAHULUAN

Lahan rawa pasang surut mempunyai peran dan kedudukan penting sebagai penopang kehidupan jutaan masyarakat baik di kota maupun pedalaman. Lahan rawa pasang surut mempunyai potensi sangat besar dengan luas sekitar 20,14 juta hektar, diantaranya yang sesuai untuk pertanian 9,53 juta ha. Lahan rawa pasang surut yang telah dibuka atau direklamasi oleh pemerintah baru sekitar 2,27 juta ha dan belum direklamasi sekitar 7,26 juta ha. Sementara lahan rawa pasang surut yang telah dimanfaatkan untuk pertanian secara umum diperkirakan baru sekitar 1,43 juta ha atau 53% dari luas yang telah dibuka oleh pemerintah. Selain itu, terdapat lahan rawa pasang surut yang dibuka secara swadaya oleh masyarakat setempat sekitar 3,0 juta ha (Haryono et al., 2013). Data lain menunjukkan luas lahan rawa pasang surut yang tersebar di 30 provinsi sekitar 11,03 juta ha, diantaranya 9,32 juta ha berpotensi atau sesuai untuk pertanian (Mulyani dan Sarwani, 2013).

Dalam rangka meningkatkan produksi pangan nasional seiring dengan meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat dan mengimbangi alih fungsi lahan yang masih tinggi, maka upaya intensifikasi dan ekstensifikasi areal pertanian ke lahan yang tersedia seperti lahan rawa pasang surut merupakan pilihan yang logis dan beralasan. Hasil analisis potensi

Page 33: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

562

produksi dari lahan rawa pasang surut, apabila dilakukan optimalisasi (peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, dan peningkatan intensitas tanam) dari 2,27 juta ha yang tersebar di sepuluh provinsi (Jambi, Riau, Sumsel, Lampung, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Kalbar, Sulbar dan Sulteng) dapat diperoleh tambahan produksi sekitar 2,70 juta t GKG/tahun (BBSDLP, 2011; Haryono, 2013). Namun demikian, sumbangan produksi padi dari lahan rawa pasang surut pada saat ini masih tergolong rendah diperkirakan antara 600-700 ribu ton gabah/ tahun atau sekitar 1,5% dari produksi nasional 62,56 juta ton gabah dengan produktivitas antara 3,0-5,0 t GKG/ha atau rata-rata 4,5 t GKG/ha. Rendahnya produktivitas yang dicapai di atas karena budidaya padi di lahan rawa menghadapi berbagai masalah baik agro fisik lahan dan lingkungan, sosial ekonomi, budaya dan adat istiadat budaya setempat (BBSDLP, 2011).

Makalah ini mengemukakan prospek pengembangan lahan rawa pasang surut untuk mendukung kedaulatan pangan nasional dan beberapa inovasi teknologi budidaya padi di lahan rawa pasang surut yang terkait dengan tanah dan air antara lain: penyiapan lahan, penataan lahan, pengelolaan air, pengelolaan hara dan pupuk.

INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI DI LAHAN RAWA PASANG SURUT

Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk pertanian masih menghadapi berbagai masalah, yakni masalah biofisik lahan dan sosial ekonomi. Masalah biofisik lahan diantaranya adalah kondisi luapan dan genangan air yang bervariasi, terdapatnya lapisan pirit (FeS2), jenis tanah yang sangat beragam dengan tingkat kesuburan yang rendah, dan kemasaman tanah. Masalah sosial ekonomi antara lain adalah lemahnya permodalahan petani dan langkanya tenaga kerja (Widjaja-Adhi et al., 1992: Ramli et al., 1992; Ismail et al., 1997).

Beberapa inovasi teknologi budidaya padi di lahan rawa pasang surut yang terkait dengan tanah dan air antara lain: penyiapan lahan, penataan lahan, pengelolaan air, pengelolaan hara dan pupuk.

Penataan Lahan

Penataan lahan dapat diartikan suatu kegiatan mempersiapkan lahan yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan suatu kondisi atau membuat lahan sedemikian rupa sehingga lahan tersebut memenuhi syarat sebagai media tumbuh bagi tanaman yang akan dikembangkan (Nazemi et al., 2012).

Di lahan rawa pasang surut, ada tiga model sistem penataan lahan yang dikembangkan, yaitu: (1) penataan lahan sistem sawah, (2) penataan lahan sistem tukungan dan (3) penataan lahan sistem surjan. Penataan lahan sistem sawah

Penataan lahan sistem sawah umumnya dikembangkan pada lahan rawa pasang surut dengan tipe luapan air A. Penataan lahan dilakukan dengan cara membuat saluran kecil untuk mengalirkan air dari sungai besar ke lahan usaha tani hingga sejauh 2-3 km dari pinggir sungai, yang disebut “handil”. Saluran-saluran tersebut dimaksudkan untuk mempercepat pembuangan kelebihan air yang masam dan memasukkan kembali air segar ke lahan pertanaman.

Penataan lahan sistem tukungan

Sistem tukungan adalah bentuk penataan lahan dengan cara meninggikan sebagian lahan agar tidak terjangkau oleh luapan pasang atau genangan. Tukungan berbentuk kubus atau kubah (dome) dengan ukuran lebar atau garis tengah sekitar 2-3 m dan tinggi menyesuaikan ketinggian muka air setempat. Pada sistem tukungan ini padi ditanam pada bagian sawahnya dan tanaman tahunan seperti rambutan dan jeruk ditanam pada tukungan. Sistem tukungan merupakan bentuk antara dari sistem surjan (surjan bertahap).. Penataan Lahan Sistem Surjan

Surjan mengandung pengertian meninggikan sebagian tanah dengan menggali tanah disekitarnya. Dalam prakteknya, sebagian tanah atau lapisan atas diambil atau digali dan digunakan untuk meninggikan bidang tanah disampingnya secara memanjang sehingga

Page 34: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

563

terbentuk surjan. Wilayah bagian lahan yang ditinggikan disebut tembokan (raise bed), sedangkan wilayah yang digali disebut tabukan (sunken beds). Lahan bagian bawah (tabukan) ditanami padi, sedangkan lahan bagian atas (tembokan) dtanami tanaman palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar), hortikultura, dan juga perkebunan (Ismail et al., 1993).

Penyiapan Lahan

Penyiapan lahan merupakan kegiatan yang paling awal dilakukan pada budidaya padi, yang bertujuan untuk membersihkan semak belukar, termasuk gulma atau sisa-sisa tanaman sebelum dilakukan pengolahan tanah. Oleh karena itu, penyiapan lahan dapat diartikan suatu kegiatan untuk mempersiapkan lahan dan atau mengolah tanah agar tercipta kondisi lahan yang baik bagi pertumbuhan tanaman padi. Sedangkan pengolahan tanah bertujuan untuk melumpurkan tanah sawah supaya pembagian hara menjadi lebih merata, kecepatan kehilangan air dapat dihambat sehingga perkembangan akar dan penyerapan hara oleh tanaman dapat berlangsung secara optimal. Selain itu, penyiapan lahan juga bertujuan untuk menekan pertumbuhan gulma sehingga dapat mengurangi persaingan tanaman dalam hal penyerapan hara (Ar-Riza dan Saragih, 2004).

Di lahan sawah pasang surut, penyiapan lahan dan atau pengolahan tanah tidak bisa dilakukan seperti sistem penyiapan lahan di lahan sawah irigasi. Hal ini dikarenakan karakteristik lahan rawa pasang surut yang sangat spesifik yakni terdapatnya lapisan pirit di dalam tanah. Oleh karena itu penyiapan lahan memerlukan cara yang spesifik dan hati-hati agar tidak memberikan pengaruh buruk akibat oksidasi pirit tapi memberikan pengaruh baik bagi pertumbuhan tanaman padi

Pirit tidak berbahaya apabila lahan tetap tergenang (submerged), akan tetapi apabila pirit terekspose ke permukaan tanah dan teroksidasi akan memasamkan serta menghasilkan senyawa racun bagi tanaman padi. Untuk menghindari pengaruh buruk dari pirit, maka sistem penyiapan lahan dan atau cara pengolahan tanah setidak-tidaknya mengacu kepada prinsip konservasi sumberdaya lahan, antara lain: (1) dapat mengambalikan bahan organik, (2) pengolahan tanah tidak dalam, dan (3) lahan dalam kondisi berair.

Pengelolaan Air

Pengelolaan air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan pertanian di lahan pasang surut dalam kaitannya dengan optimalisasi pendayagunaan dan pelestarian sumberdaya lahannya (Widjaja Adhi dan Alihamsyah, 1998). Pengaturan tata air ini bukan hanya untuk mengurangi atau menambah ketersediaan air permukaan, melainkan juga untuk mengurangi kemasaman tanah, mencegah pemasaman tanah akibat teroksidasinya lapisan

pirit, mencegah bahaya salinitas, bahaya banjir, dan mencuci zat beracun yang terakumulasi di zona perakaran tanaman (Suryadi et al., 2010). Strategi pengendalian muka air ditujukan kepada aspek upaya penahanan muka air tanah agar selalu di atas lapisan pirit dan pencucian lahan melalui sistem drainase terkendali. Kondisi muka air yang diinginkan sangat tergantung kepada jenis tanaman,jenis tanah, dan kondisi hidrologis wilayah setempat (Imanudin dan Susanto, 2008).

Sistem tata air yang teruji baik di lahan pasang surut adalah sistem aliran satu arah menggunakan flap-gate untuk lahan bertipe luapan air A dan sistem tabat menggunakan stop-log untuk lahan bertipe luapan C dan D karena sumber airnya hanya berasal dari air hujan serta kombinasi sistem aliran satu arah dan tabat untuk lahan bertipe luapan B (Sarwani, 2001).Pada tipe luapan B yang tidak terluapi air pasang pada musim kemarau diperlukan kombinasi antara sistem tata air satu arah dengan tabat konservasi (SISTAK), sedangkan pada tipe luapan B yang terluapi air pasang di musim kemarau cukup diterapkan tata air satu arah.

Sistem tata air yang memadukan antara sistem aliran satu arah dan sistem tabat konservasi (SISTAK) memberikan peluang dalam meningkatkan hasil dan perbaikan sifat-sifat tanah. Dalam sistem SISTAK, tabat lebih difungsikan pada musim kemarau untuk konservasi air sehingga kebutuhan air pada musim kamarau terpenuhi. Penggalian pembuatan saluran perlu diperhatian kedalaman lapisan pirit sehingga tinggi permukaan air

Page 35: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

564

yang berada dalam saluran yang berada pada sisi kanan kiri tidak lebih rendah dari lapisan pirit sehingga pirit mudah teroksidasi.

Pengelolaan Hara dan Pemupukan

Umumnya produktivitas alami lahan rawa pasang surut tergolong rendah sampai sedang dan untuk meningkatkan produktivitas lahan agar menjadi lebih baik dilakukan ameliorasi. Ameliorasi lahan merupakan sebuah upaya memberikan bahan amelioran ke tanah dengan tujuan memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologi tanah, sehingga pertumbuhan dan produksi tanaman dapat ditingkatkan. Beberapa contoh bahan amelioran yang umum digunakan untuk memperbaiki produktivitas lahan rawa pasang surut antara lain: bahan organik, fosfat alam, biochart, dan kapur. Aplikasi bahan organik yang banyak dilakukan oleh petani di lahan rawa pasang surut berupa pengembalian jerami padi sisa panen ke lahan sawah. Petani di Kalimantan Selatan secara tradisional telah melakukan pengelolaan jerami padi dengan cara tajak-puntal-balik-ampar. Kegiatan ini merupakan proses pengomposan secara alami pada kondisi anaerob.

Pemupukan diartikan sebagai penambahan atau pemberian bahan atau unsur hara ke dalam tanah agar dapat memperbaiki sifat-sifat tanah sehingga dapat menyokong pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, semua usaha pertanian memerlukan pemupukan, terlebih jika lahan sebagai media tumbuh tanaman miskin hara. Kegiatan usahatani dapat menyebabkan kehilangan hara akibat diserap tanaman dan tercuci. Rata-rata kehilangan hara N, P dan K yang terangkut dari setiap ton/ha hasil panen padi varietas unggul masing-masing sebesar 17,5 kg; 3,0 kg; dan 17,0 kg. Penggunaan padi hibrida dapat menyebabkan kehilangan hara lebih besar lagi, karena padi jenis ini membutuhkan hara yang lebih banyak dibanding varietas unggul (Dierolf, 2000).

Peningkatan produktivitas lahan rawa pasang surut dapat dilakukan melalui pemupukan yang dilakukan secara rasional dan berimbang dengan memperhatikan kaidah efesiensi pemupukan. Agar takaran pupuk yang diberikan tepat dan efektif, maka faktor kemampuan tanah menyediakan hara dan kebutuhan hara tanaman perlu diperhatikan. Oleh karena itu, dalam aplikasi pupuk berimbang diperlukan data hasil analisis tanah dan kebutuhan hara tanaman selama masa pertumbuhannya. Sejak tahun 2014 Balittra telah berupaya mewujudkan pemupukan berimbang untuk tanaman padi di lahan rawa pasang surut melalui pembuatan software Decision Support System (DSS) pemupukan padi lahan rawa pasang surut. Software ini memberikan informasi tentang pengelolaan hara (pemupukan N, P, K, kapur, dan bahan organik) yang bersifat spesifik lokasi untuk tanaman padi di lahan rawa pasang surut berdasarkan tipe luapan dan tipologi lahannya. Program ini sudah dapat diunduh dan diaplikasikan langsung di website Balittra.

Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) sebagai salah satu institusi penelitian

di bawah Badan Litbang Pertanian telah berhasil membuat formulasi pupuk hayati Biotara yang adaptif dengan lahan rawa pasang surut dan mampu meningkatkan produktivitas tanaman. Komposisinya terdiri dari konsorsia mikroba dekomposer (Trichoderma sp), pelarut-P (Bacillus sp), dan penambat N (Azospirillium sp). Pupuk hayati ini dapat mengikat N, meningkatkan ketersediaan hara P tanah, mempercepat perombakan sisa-sisa organik, dan memacu pertumbuhan. Formula pupuk hayati Biotara tersebut telah teruji mampu meningkatkan efisiensi pemupukan N dan P dan meningkatkan hasil padi. Pemberian pupuk hayati Biotara sebesar 25 kg/ha dengan pupuk NPK Pelangi 400 kg/ha serta pemanfaatan bahan organik in situ dapat meningkatkan hasil sebesar 35% (varietas Margasari) dan 48% (varietas Inpara 1) dibandingkan cara petani (Mukhlis, 2011).

PENUTUP Dengan dukungan inovasi teknologi pengelolaan dan budidaya yang baik maka

optimalisasi lahan rawa pasang surut dapat dilakukan dan intensitas pertanaman dapat

Page 36: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

565

ditingkatkan (IP 200), sehingga diperoleh tambahan produksi sebesar 3,5 juta ton gabah per tahun. Pencapaian optimalisasi ini dapat dilakukan secara bertahap, penerapan asas prioritas, berkesinambungan, sistematis, dan fokus.

DAFTAR PUSTAKA

BBSDLP. 2011. State of the Art & Grand Design Pengembangan Lahan Rawa. 44 hlm. Bogor:

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor

Dierolf, T., T. Fairhurst, and E. Mutert. 2000. Soil fertility kit: A toolkit for acid, upland soil fertility management in Southeast Asia. Handbook Series. 149 p.

Haryono, 2013. Lahan Rawa: Lumbung Pangan Masa Depan Indonesia. Cetakan ke 2. IAARD. Jakarta.142 Hlm.

Haryono, M. Noor, M. Sarwani, dan H. Syahbuddin. 2013. Lahan Rawa: Penelitian dan Pengembangan. Cetakan ke 2. IAARD Press. Jakarta. 102 hlm.

Imanudin, MS. and R.H. Susanto. 2008. Perbaikan sarana infrastruktur jaringan tata air pada berbagai tipologi Lahan rawa pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Rawa (Banjarmasin, 4 Agustus 2008) Tema: Teknik Pengembangan Sumber Daya Rawa. ISBN: 979985718-7.

Ismail, I.G., I.G.M. Subiksa., dan I.P.G Widjaya-Addi. 1997. Perkembangan dan hasil penelitian pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk produksi pertanian. Hlm 101-114. Dalam Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI Peragi. Perhimpunan Agronomi Indonesia, Jakarta.

Ismail, I.G., T. Alihamsyah, IPG Widjaja Adhi, Suwarno, T. Herawati, R. Thahir, dan DE, Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa: Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Proyek Swamps II. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.

Mukhlis.2011. Uji Keefektivan Pupuk Hayati Biotara Terhadap Tanaman Padi di Lahan Rawa Sulfat Masam. Laporan Hasil Penelitian. Kerjasama Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa dengan PT. Pupuk Kaltim. Banjarbaru.

Mulyani, A. dan M.Sarwani. 2013. Karakteristik dan potensi lahan sub optimal untuk pengembangan pertanian di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 (1): 47-55.

Nazemi, D., A. Hairani., dan Nurita. 2012. Prospek pengembangan penataan lahan sistem surjan di lahan rawa pasang surut. Agovigor. Jurnal Agroteknologi. Vol. 5 No. 2.

Ramli, R., I. Ar-Riza., dan R. S. Simatupang. 1992. Teknologi sistem usahatani lahan sulfat masam di Kalimantan Selatan. Dalam Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Pasang surut dan Lebak. Risalah Pert. Nas. Pengemb. Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak, Puslitbangtan, Badan Litbang, Deptan, Cisarua.

Sarwani, M. 2002. Penegelolaan air di Lahan Pasang Surut. Dalam Ar-Riza, M. Sarwani dan T. Alihamsyah (eds). Monograf pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru.

Suryadi, FX., PHJ. Hollanders, and RH. Susanto. 2010. Mathematical modeling on the operation of water control structures in a secondary block case study: Delta Saleh, South Sumatra. Hosted by the Canadian Society for Bioengineering (CSBE/SCGAB).Québec City, Canada June 13-17, 2010.

Page 37: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

566

Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah. 1998. Pengembangan Lahan Pasang Surut ; Potensi, Prospek, dan Kendala Serta Teknologi Pengelolaannya untuk Pertanian. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komda HITI, 16-17 Desember 1998.

Widjaya-Adhi, I.G.P., K. Nugroho., D. Ardi. S., dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa; potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Dalam S. Partohardjono., dan M. Syam (Eds.) Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Pasang Surut dan Lebak. Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Puslitbang Tanaman Pangan, Cisarua, Bogor.

Page 38: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

567

PENGEMBANGAN KOMODITAS PERTANIAN YANG BERDAYA SAING

BERBASIS ZONA AGROEKOLOGI DALAM MENDUKUNG MEA

DI KALIMANTAN BARAT

Muhammad Hatta1), Adri2) , dan Dadan Permana3)

1) PenelitiMadya pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat

Jl. Budi Utomo No 45 Pontianak, 78241. Fax : 0561883883.

HP : 0816 4983449. e-mail : [email protected]

2) Peneliti Madya pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

3) Peneliti Pertamapada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat

ABSTRAK

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan integrasi ekonomi dalam wilayah kesatuan pasar dan basis produksi dengan tingkat kompetisi tinggi yang akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah besar. Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan Negara Malaysia dan Brunei Darussalam, menjadi kesempatan yang baik karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatn ekspor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Data dan informasi sumberdaya tanah/lahan mempunyai peranan penting di sektor pertanian dalam mendukung keberhasilan MEA di Kalimantan Barat. Kalimantan Barat mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan komoditas pertanian unggulan yang berdaya saing. Disamping fasilitas infrastruktur, informasi detail potensi sumberdaya lahan, baik komoditas pertanian unggulan maupun sentra-sentra pengembangan komoditas pertanian, sangat diperlukan dalam rangka mempercepat laju pembangunan wilayah dalam menghadapi MEA. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memanfaatkan data dan informasi sumberdaya lahan yang berbasis Zona Agro Ekologi (ZAE). Hasil analisis sumberdaya lahan dan analisis sosial ekonomi dituangkan kedalam peta ZAE yang menginformasikan jenis komoditas unggulan yang berdaya saing. Data sumberdaya lahan berbasis ZAE mampu memberikan informasi spasial tentang tingkat kesesuaian lahan, distribusi, luasan, potensi, dan kendala fisik penggunaan lahan untuk pertanian unggulan, serta alternatif teknologi pengelolaan lahan spesifik lokasi. Komoditas unggulan seperti lidah buaya, jeruk, lada, kelapa sawit dan lain-lain dengan produk derivatnya mempunyai daya saing yang tinggi. Data sumberdaya lahan berbasis ZAE dapat mendukung terbentuknya kawasan pertanian terpadu dalam menghadapi MEA sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi.

Kata Kunci : MEA, kempetisi tinggi, sumberdaya lahan, ZAE, komoditas unggulan, daya saing.

PENDAHULUAN Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan integrasi ekonomi dalam wilayah

kesatuan pasar dan basis produksi dengan tingkat kompetisi tinggi yang akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah besar. Pemberlakuan pasar bebas MEA, negara ASEAN yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang tinggi akan lebih banyak menikmati manfaat pasar tunggal ASEAN tersebut. Oleh karena itu untuk menyikapi hal tersebut Indonesia perlu mangambil langkah strategis untuk melindungi produsen dalam

Page 39: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

568

negeri, pemerintah perlu mengambil langkah terobosan untuk memperkuat kemampuan inovasi dalam negeri diantaranya dengan menentukan komoditas dan produk pertanian yang memiliki keunggulan dan berdaya saing. Daya saing komoditas pertanian juga ditentukan oleh daya saing daerah yang mendukung komoditas pertanian unggulan tertentu. Kalimantan Barat yang memiliki wilayah berbatasan langsung dengan negara Malaysia dan Brunei Darussalam mempunyai daya saing daerah yang relatif tinggi, hal ini menjadi kesempatan yang baik karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada yang akan berdampak pada peningkatan ekspor.

Posisi daya saing produk produk pertanian Indonesia diantara Negara ASEAN apabila diukur dengan indeks daya saing yang disepakati bersama menunjukkan 81 produk pertanian yang mempunyai daya saing. Komoditas yang mempunyai daya saing tinggi antara lain adalah minyak inti sawit, minyak sawit, bungkil inti sawit dan karet alam kering (Balitbangtan, 2014). Provinsi Kalimatan Barat, mempunyai beberapa komoditas berdaya saing tinggi dan potensi ekspor hasil pertanian yang cukup besar seperti komoditas kelapa sawit, lada, jeruk, lidah buaya (Aloe Vera) dan beberapa komoditas lainnya. Oleh karena itu diperlukan informasi detail potensi sumberdaya lahan, baik komoditas pertanian unggulan maupun sentra-sentra pengembangan komoditas pertanian, sangat diperlukan dalam rangka mempercepat laju pembangunan wilayah dalam menghadapi MEA. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperoleh data/informasi sumberdaya lahan tersebut adalah dengan mengetahui konoditas unggulan yang memiliki daya saing tinggi dengan memanfaatkan informasi Zona Agro Ekologi (ZAE).

Zona Agro Ekologi adalah merupakan pengelompokan atau zonasi yang didasarkan atas keseragaman kondisi biofisik pada suatu wilayah. Setiap wilayah dapat digolongkan dalam zone agro-ekosistem tertentu berdasarkan kesamaan atau kemiripan faktor-faktor alam (iklim, terain dan tanah) dan kegiatan pertanian yang dilakukan pada wilayah tersebut. Hasil analisis sumberdaya lahan yang ditunjang dengan analisis sosial ekonomi dapat dituangkan kedalam peta pewilayahan komoditas pertanian yang menginformasikan jenis komoditas unggulan suatu wilayah yang sesuai dengan daya dukung lahannya, secara spasial (Siswanto, et al.,. 2002).

Hasil analisis sumberdaya lahan dan analisis sosial ekonomi dituangkan kedalam peta ZAE yang menginformasikan jenis komoditas unggulan yang berdaya saing. Data sumberdaya lahan berbasis ZAE mampu memberikan informasi spasial tentang tingkat kesesuaian lahan, distribusi, luasan, potensi, dan kendala fisik penggunaan lahan untuk pertanian unggulan, serta alternatif teknologi pengelolaan lahan spesifik lokasi. Komoditas unggulan seperti lidah buaya, jeruk, lada, kelapa sawit, karet dan lain-lain dengan produk derivatnyadi Kalimantan Barat mempunyai daya saing yang tinggi. Data sumberdaya lahan berbasis ZAE dapat mendukung terbentuknya kawasan pertanian terpadu dalam menghadapi MEA sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi.

Seperti yang dilaporkan Erwidodo (2014) bahwa perkebunan kelapa sawit dan karet yang terkonsentrasi di Sumatera dan Kalimantan, telah menempatkan wilayah-wilayah tersebut pada posisi daya saing daerah yang tinggi. Kondisi demikian terjadi pula pada komoditas pangan dan hortikultura. Demikian pula dengan Komoditas peternakan yang semula banyak di hasilkan di wilayah timur sekarang sudah mulai bergeser ke arah barat. Oleh karena itu, memperkuat daya saing komoditas tertentu yang mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut dilakukan dengan memperbaiki daya saing daerah, mencakup infrastruktur, kelembagaan pemerintahan, keuangan dan kualitas sumber daya manusia. Mengingat daya saing komoditas pertanian sangat ditentukan oleh daya saing daerah yang mendukung komoditas pertanian unggulan tertentu maka ada beberapa karakteristik daya saing daerah yang perlu diperhatikan adalah peningkatan efisiensi budidaya, pemasaran, dan adanya dukungan infrastruktur, serta pengembangan komoditas unggulan (modal, kelembagaan), dan diversifikasi produk.

Data dan informasi sumberdaya tanah/lahan (soil/land resources) sebagai salah satu komponen utama sumberdaya alam, mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan program pembangunan suatu wilayah khususnya dalam menghadapi MEA. Informasi dasar tentang sumberdaya tanah/lahan, terutama data spasial yang menyajikan karakteristik tanah/lahan, potensi dan tingkat kesesuaian lahan, distribusi dan luasannya sangat dibutuhkan dalam setiap perencanaan pembangunan, khususnya di

Page 40: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

569

sektor pertanian. Dengan tersedianya data dasar sumberdaya tanah yang handal dan mutakhir pada skala yang memadai, akan memudahkan dalam penyusunan Master Plan pengembangan wilayah komoditas unggulan yang berdaya saing.

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – Desember 2014 di beberapa

Kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan kegiatan survei lapang/lahan dan analisis di laboratorium dengan melibatkan instansi terkait seperti Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian Bogor dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Barat.

Bahan dan alat yang digunakan antara lain :Seri Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 dari Badan Informasi Geospasial (2013). Peta Wilayah Administrasi Indonesia dari Badan Pusat Statistik (2010). Peta sebaran lahan sawah Indonesia dari Kementerian Pertanian (2012). Peta tanah tinjau skala 1:250.000 dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP 2007; 2010a; 2010b; 2011a; 2011b; 2011c; 2011d; 2012; 2013a; 2013c). SRTM DEM resolusi 30m x 30m (USGS (2004), Shuttle Radar Topography Mission, 1 Arc Second scene Global Land Cover Facility, University of Maryland, College Park, Maryland, February 2000), (Badan Litbang Pertanian. 2009). Peta sumberdaya iklim skala 1:1.000.000 (Balitklimat, 2003). Serta peralatan survei tanah serta bahan dan alat penolong lainnya.

Lingkup kegiatan diawali dengan penyusunan peta satuan lahan (land unit) skala 1:50.000 melalui pendekatan analisis terrain. Analisis terrain dilakukan dengan pendekatan citra satelit (landsat) yang didukung oleh informasi peta rupabumi dan peta geologi untuk mengetahui sebaran landform, relief, elevasi, dan jenis bahan induk tanah. Penarikan batas poligon sebagai dasar untuk menyusun satuan peta lahan (land mapping unit). Peta satuan lahan tersebut digunakan sebagai dasar untuk penelitian lapangan (Suharta dan Suratman. 2004).

Penelitian lapangan mencakup verifikasi lapangan, perbaikan delineasi satuan lahan dilakukan berdasarkan hasil temuan di lapangan. Pengamatan tanah dilakukan pada setiap satuan lahan representatif meliputi pengamatan sifat-sifat morfologi dan fisik tanah serta sebarannya yang diperoleh dengan pembuatan minipit dan profil tanah pewakil. Untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah akan diambil contoh-contoh tanah dari lapisan profil/minipit tanah pewakil setiap satuan tanah pada setiap satuan lahan untuk dianalisis di laboratorium. Data tersebut digunakan untuk keperluan evaluasi lahan. Selain itu, dikumpulkan pula data sekunder berupa data iklim dan data sosial ekonomi untuk mendukung data sumberdaya lahan tersebut. Hasil pengamatan sifat-sifat tanah dan keadaan fisik lingkungannya dicatat dalam formulir isian basisdata yang telah dibakukan. Klasifikasi tanah ditetapkan menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2010). Evaluasi lahan untuk berbagai komoditas pertanian diolah secara komputerisasi dengan program SPKL (Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan) (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2014).

Pengolahan data meliputi hasil analisis contoh tanah, entry data, dan interpretasi data. Analisis contoh tanah meliputi penetapan sifat-sifat fisika dan kimia tanah, yang terdiri atas penetapan tekstur 3 fraksi, pH tanah, kadar bahan organik, kadar P dan K, kadar kation basa-basa (Ca, Mg, K dan Na), kapasitas tukar kation, kadar Al dapat ditukar (Soil Survey Laboratory Staff (1991). Semua data hasil pengamatan lapangan dientry dalam basisdata. Sedangkan peta satuan lahan setelah diperbaiki dan disempurnakan selanjutnya disimpan dalam suatu sistem basisdata spasial sumberdaya lahan. Melalui pengelolaan basisdata secara optimal, dan proses tumpang tepat dapat dihasilkan peta-peta tematik yang dibutuhkan untuk perencanaan pembangunan daerah, antara lain peta kesesuaian lahan, peta penggunaan lahan saat ini, peta pewilayahan komoditas pertanian yang diproses secara komputerisasi.

Page 41: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

570

Gambar 1. Alur Pembuatan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian

Penentuan simbol zonasi berdasarkan kelas lereng dan klasifikasi tanah. Terdapat tujuh simbol zonasi yaitu pada Zona I sampai dengan III berdasarkan kelas lereng, sedangkan untuk Zona IV sampai dengan VII berdasarkan kelas lereng dan klasifikasi tanah (Tabel 1). Tabel 1. Kriteria Pengelompookan Zona Agro Ekologi (ZAE)

No. Parameter Zona I II III IV V VI VII

1 Lereng (%) > 40 15 – 40 8 - 15 < 8 < 8 < 8 < 8 2 Jenis Tanah Fibrists,

Hemists, Saprists

Halaquepts, Sulfauepts

Spodosols, Quartzipsamments

3 Drainase Cepat, agak cepat, sangat cepat

Hasil analisis sifat–sifat tanah baik dari lapangan maupun hasil dari analisis

laboratorium digunakan untuk menentukan kelas kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian. Analisis kelas kesesuaian lahan ditentukan dengan membandingkan persyaratan penggunaan lahan (LUR) untuk tanaman dengan kualitas lahan (LQ) atau karakteristik lahan (LC). Pada proses pembandingan hukum minimum dipakai untuk menentukan faktor pembatas yang akan menentukan kelas atau subkelas kesesuaian lahan. Hasil klasifikasi kesesuaian lahan kemudian didigitasi dengan teknik GIS untuk menghasilkan peta kesesuaian lahan digital (digital map) (Bourogh, 1987; Albert dan Yeung. 2002).

Peta kesesuaian lahan yang dihasilkan berupa peta kesesuaian lahan aktual (present) dan setelah dilakukan usaha perbaikan (improvement) terhadap peta kesesuaian lahan aktual tesebut, maka diperoleh peta kesesuaian lahan potensial dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Penenilaian Kesesuaian Lahan (SPKL) Versi 1. (Gambar 2). Penentuan komoditas unggulan berdasarkan kelas urutan ZAE pada urutan kelas kesesuaian lahan dan bobot yang diberikan dikalikan hasil penilaian parameter ekonomi BCR/RCR dan IRR.

EVALUASI LAHAN DAN ZONASI

Tabel Prioritas

Tabel Analisis Ekonsiomi

PETA ZONASI

OVERLAY Gis Process

PETA KAWASAN HUTAN

PETA PENGGUNAAN

LAHAN

PETA PEWILAYAHAN KOMODITAS PERTANIAN

Page 42: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

571

Gambar 2. Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan (SPKL)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kawasan Budidaya Pertanian Provinsi Kalimantan Barat memiliki areal seluas 14.732.166 ha, berdasarkan

zonasinya dapat dibedakan menjadi kawasan budidaya pertanian seluas 8.922.292 ha (60,57%) dan kawasan non budidaya pertanian seluas 5.809.874 ha (39,43%) (Mulyani et al., 2013).

Gambar 3. Luas Kawasan Budidaya dan Non Budidaya di Provinsi Kalimantan Barat Gambar 4. Luas Zona pada Kawasan Budidaya di Provinsi Kalimantan Barat

8,922,292 ha

(60,57%)

5,809,874 ha

(39,43%) Kawasan Budidaya

Pertanian

Kawasan Non Budidaya

3,067,142 ha (20.83 %)

2,083,999 ha (14,15%)

3,771,151 ha

Zona II (sawit, karet, kelapa, kopi

Robusta, lada, kakao, durian, jeruk

dan cengkeh)

Zona III (padi gogo, Jagung,

kedelai, kacang hijau, kacang tanah,

kacang tunggak, ubijalar, ubi- kayu,

tembakau, bawang merah, cabe

rawit.)

Page 43: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

572

Kawasan budidaya pertanian menyebar di Zona II seluas 3.067.142 ha, Zona III seluas 2.083.999 ha, dan Zona IV seluas 3.771.151 ha. Pada kawasan ini wilayah pengembangan budidaya tanaman pangan dan hortikultura menyebar di subzone IIIax, IVaq, IVax, dan IVbq. Subzona IIIax merupakan zona pengembangan budidaya tanaman pangan dan hortikultura terluas di Kalbar, mencakup 14,15% dari total luas provinsi. Subzone ini merupakan wilayah datar hingga berombak (0-8%) pada ketinggian 0-700 m di atas permukaan laut (dpl), dengan drainase baik dan lembab. Arahan komoditas yang dapat dikembangkan adalah: padi gogo, Jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, kacang tunggak, ubijalar, ubi- kayu, tembakau, bawang merah, cabe rawit.

Selain subzona IVax, pengembangan budidaya tanaman pangan lahan kering dan hortikultura lahan kering di dataran rendah yang cukup luas, juga dijumpai di subzone IIIax. Subzona ini merupakan wilayah dengan ketinggian antara 0-700 m dpl pada kemiringan lereng 8-15%, mencakup 15,55% dari total luas provinsi. Arahan komoditas yang dapat dikembangkan di subzona ini adalah: blimbing, nangka, duku, durian, jambu, jeruk, manggis, jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, kacang tunggak, ubijalar, ubikayu, dan pisang. Subzona IVaq merupakan zona pengembangan budidaya tanaman pangan cukup luas selanjutnya di Kalbar, mencakup 10,00% dari total luas provinsi. Subzona ini merupakan wilayah dengan ketinggian antara 0-700 m dpl pada wilayah yang datar hingga berombak (lereng < 8%), dengan draenase tanah terhambat hingga sangat terhambat. Arahan komoditas yang dapat dikembangkan di subzona ini adalah: padi sawah, karena suplai air yang cukup untuk pertumbuhan tanaman.

Selain di subzona IVaq di atas, zona pengembangan untuk padi sawah juga dijumpai di subzona IVbq. Subzone ini merupakan wilayah bergelombang pada ketinggian 700-1.200 m dpl. Tanahnya tergolong kurang subur dari tipe Endoaquepst, berdraenase sangat terhambat. Subzona ini tergolong sempit, mencakup areal 0,05% dari total luas wilayah.

Kawasan pengembangan untuk budidaya tanaman perkebunan menyebar di subzone IIax, IIbx, dan IIcx. Subzone IIax merupakan zone pengembangan tanaman perkebunan terluas di Kalbar, mencakup 20,73% dari total luas provinsi. Subzona ini merupakan wilayah dataran rendah dengan ketinggian antara 0-700 m dpl pada wilayah dengan kemiringan lereng 15-40%. Arahan komoditas yang dapat dikembangkan di subzona ini adalah: sawit, karet, kelapa, kopi Robusta, lada, dan cengkeh. Selain di subzone IIax, wilayah lainnya untuk pengembangan tanaman perkebunan adalah subzone IIbx. Wilayah ini merupakan daerah dataran sedang (700-1.200 m dpl) dengan kemiringan lereng 15-40%, mencakup areal 0,05% dari total luas wilayah. Arahan komoditas yang dapat dikembangkan di subzona ini adalah: kopi Robusta, kakao, durian, jeruk, dan cengkeh. Wilayah pengembangan lainnya mencakup areal yang lebih sempit (0,04%) dijumpai di di subzone IIcx, dengan arahan komoditas yang dapat dikembangkan di subzona ini adalah: Kopi Arabika, kayu manis, gambir, dan lengkeng,.

Kawasan Non Budidaya Pertanian Kawasan non budidaya pertanian menyebar di Zona I seluas 3.616.698 ha, dan

sisanya berada di Zona V seluas 1.300.853 ha, Zona VI seluas 278.959 ha, Zona VII seluas 414.156 ha dan Zona X seluas 199.208 ha.

Page 44: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

573

Gambar 4. Luas Kawasan Non Budidaya di Provinsi Kalimantan Barat Zona I adalah lahan dengan lereng > 40%, dengan tipe tanah yang sangat beragam,

yakni 6 tipe tanah mulai dari dystrudepts, haplohumults, hapludox, hapludults, kandi- udults, dan Kanhapludults. Lereng yang sangat terjal ini dapat menyebabkan erosi yang tinggi dan longsor. Komoditas diarahkan untuk vegetasi alami, yang sudah toleran dengan kondisi wilayah tersebut. Kawasan non budidaya pertanian di zona ini merupakan paling luas yang mencakup sekitar 24,55% dari total luas provinsi atau 3.616.698 ha.

Kawasan non budidaya pertanian berikutnya berada di Subzona V merupakan wilayah tanah gambut dengan kedalaman > 3 m, yang berdraenase terhambat dari tipe tanah Haplohemist. Tanah gambut ini Kubah gambut merupakan tanah yang miskin hara selain lahan ini merupakan tempat penyimpanan air yang mengatur fungsi hidrologis kawasan. Komoditas dibiarkan vegetasi alami yang sudah beradaptasi dengan kondisi tanah tersebut. Kawasan non budidaya di zone sangat sempit, mencakup 8,83% dari total luasan provinsi atau 1.300.8534ha.

Zona VII yang berupa tanah berpasir kwarsa. Tanah pasir kuarsa adalah tanah berdraenae sangat cepat, sangat miskin hara. Komoditas dibiarkan vegetasi alami yang sudah beradaptasi dengan kondisi tanah tersebut. Kawasan non budidaya di zone-zone ini mencakup 2,81% dari total luasan wilayah atau 414.156 ha.

Komoditas Unggulan Yang Berdaya Saing Komoditas unggulan hasil penilaian komoditas berdasarkan urutan kelas kesesuaian lahan dan bobot yang diberikan dikalikan hasil penilaian parameter ekonomi BCR/RCR dan IRR maka diperoleh komoditas unggulan di Provinsi Kalaimantan Barat yang mempunyai daya saing sebagai berikut:

Perkebunan Komoditas kelapa sawit, karet, kakao dan lada mempunyai daya saing yang lebih

baik dari komoditi pertanian lainnya. komoditas tersebut menjadi basis atau menjadi sumber pertumbuhan yang memiliki keunggulan komparatif, hasilnya tidak saja dapat memenuhi kebutuhan wilayah bersangkutan akan tetapi juga dapat diekspor ke luar wilayah. Upaya peningkatan produktivitas tanaman perkebunan melalui inovasi teknis dan inovasi kebijakan seperti: a) Membangun sistem industri penangkar/pembibitan lada di daerah sentra produksi dan wilayah pengembangan baru, b) Mengembangkan lada yang berdasarkan pewilayahan komoditas (AEZ), 3) Mendorong tumbuhnya agroindustri diversifikasi produk lada, c) percepatan penerapan dan penguasaan teknologi dalam bentuk Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) tanaman lada melalui demonstrasi plot (demplot) dan pembinaan pengolahan aneka produk. Terkait dengan inovasi kebijakan, pemerintah dan pemerintah mendukung upaya peningkatan daya saing lada misalnya melalui pemberian subsidi benih dan pengolahan pasca panen.

Hortikultura Daya saing komoditi hortikultura di Kalimantan Barat cukup bagus seperti jeruk,

papaya, durian, manggis, langsat (duku) dan lidah buaya (aloe vera). Namun demikian masih ada beberapa permasalahan untuk mengembangkan komoditas yang berdaya saing tersebut

3,616,698 ha (24,55% )

1,300,853 ha (8,83% )

278,959 ha (1,89%)

414,156 ha (2,81% )

Zona I (tumbuhan alami)

Zona V (tumbuhan alami)

Zona VI (tumbuhan alami)

Zona VII (tumbuhan alami)

Page 45: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

574

seperti rendahnya kualitas SDM untuk inovasi iptek dan rekayasa sosial, belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek (inovasi) yang mampu menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia teknologi dengan kebutuhan pengguna, rendahnya kemampuan memanfaatkan inovasi teknologi, dan lemahnya dukungan kebijakan pemerintah terhadap Iptek dan inovasi teknologi hortikultura. Selain itu usahatani hortikutura yang diusahakan oleh petani dengan skala kecil, tersebar dan merupakan pekerjaan sambilan merupakan kendala untuk memperbaiki efisiensi usaha.

Tanaman Pangan Komoditas tanaman pangan yang memiliki daya saing antara lain jagung, kedelai,

padi dan ubi kayu. Komoditas tanaman pangan tersebut menjadi basis atau menjadi sumber pertumbuhan yang memiliki keunggulan komparatif. Produk olahan pangan mempunyai peluang pasar termasuk ubikayu, pisang dan jeruk cukup besar, dan apabila tidak dikelola dengan baik akan menjadi ancaman dengan banyaknya negara lain memasuki pasar Indonesia. Walaupun produksi ketiga komoditas tersebut cenderung meningkat namun seiring dengan peningkatan permintaan dalam bentuk segar, Oleh karena itu, kontinuitas penyediaan dan jaminan kualitas bahan baku industri pengolahan pangan harus diupayakan secara terpadu melalui berbagai program ektensifikasi, intensifikasi termasuk rekayasa genetik, varietas unggul berdaya hasil tinggi dan toleran hama/penyakit utama, dan efisiensi usahatani maupun biaya produksi olahan.

Peternakan Komoditas peternakan mengalami defisit perdagangan dan menunjukkan ketidak

mampuan dalam bersaing dengan peternakan wilayah lain. Hanya ternak ayam buras yang mampu bersaing, meskipun komoditas tersebut tergolong non basis, produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak mampu diekspor. Komoditas ini yang sebagian besar perukan ternak rakyat perlu didorong usahanya menjadi komoditas yang memiliki keunggulan komparatif, dengan membina petani peternak yang ada atau membuat peternakan baru. Disamping itu perlu mempercepat proses penerapan teknologi yang dihasilkan seperti teknologi pembibitan, pakan dan nutrisi, kesehatan ayam dan manajemen pemeliharaan dan disarankan lebih kepada penekanan penerapan teknologi yang memecahkan permasalahan di lapangan.

KESIMPULAN Pengembangan komoditas unggulan di Kalimantan Barat secara umum upaya yang

harus dilakukan untuk memperkuat posisi daya saing dalam kawasan ASEAN dan dalam menghadapi MEA antara lain menyusun dan mengimplementasikan rencana program peningkatan produksi dan produktivitas komoditi pertanian unggulan secara konsisten dengan basis pewilayahan komoditas berdasarkan zona agroekologi. Oleh Karena itu peta ZAE adalah langkah awal sebagai dasar dalam perencanaan pemanfaatan sumberdaya lahan secara lebih produtif dan lestari.

Informasi sumberdaya ekonomi wilayah perlu dikumpulkan. pemilihan komoditas-komoditas unggulan yang paling menguntungkan untuk diusahakan di suatu wilayah. Pengembangan komoditas unggulan tesebut yang dapat meningkatkan pendapatan dan keuntungan petani, membantu petani memperoleh pembiayaan, serta mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas dan memenuhi standar mutu dalam menghadapi MEA.

DAFTAR PUSTAKA Albert, K. and W. Yeung. 2002. Concepts and Techniques of Geographyc Information System,

Prentice Hall Inc. Upper Saddle River, New Jersey. Badan Litbang Pertanian. 2009. Panduan Metodologi Analisis Zone Agro Ekologi (ZAE).

Departemen Pertanian. 11 p.

Page 46: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

575

Badan Litbang Pertanian. 2014. Memperkuat Daya Saing Produk Pertanian . IAARD PRESS. 632 Halaman

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2010. Peta Sumberaya Tanah tingkat tinjau provinsi Kalimantan Barat. Bogor.

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2013. Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Pwilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan AEZ pada Skala 1:50.000 Dalam Rangka Pendampingan Litkaji Pemetaan Sumberdaya Lahan. Bogor.

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2013b. Modul ZAE versi 2013. Bogor. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2014. Petunjuk Teknis program SPKL

(Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan) Dalam Rangka Pendampingan Litkaji Pemetaan Sumberdaya Lahan. Bogor.

Balitklimat. 2003. Peta sumberdaya iklim indonesia skala 1: 1.000.000. Bogor. Bourogh, P. 1987. Principle of Geographic Information System for Land Resources

Assessment. Clarendon Press. Oxford. Erwidodo. 2014. Masyarakat Ekonomi Asean dalam Memperkuat Daya Saing Produk

Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Mulyani A. M. Hatta, Ade Supriatna dan Saefoel Bachri. 2013. Peta Zona Agro Ekologi Provinsi

Kalimantan Barat Skala 1 : 250.000. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Siswanto, A.B., Nata Suharta, Rhizatus. 2002. Laporan akhir peningkatan pendayagunaan

basisdata sumberdaya tanah untuk menunjang pertanian (Tidak dipublikasikan). Soil Survey Laboratory Staff. 1991. Soil Survey Laboratory Methods Manual. SCS-USDA.

October 1991; 611p Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. 9th ed. USDA Natural Resources Conservation

Service. Washington DC. Suharta, N., dan Suratman. 2004. Karakterisasi dan evaluasi potensi sumberdaya lahan

tingkat tinjau untuk pengembangan wilayah di Kalimantan Barat. Laporan Akhir Penelitian.

Lampiran : Peta Zona Agro Ekologi Provinsi Kalimantan Barat

Page 47: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

576

DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH TERHADAP PRODUKSI PADI DI KABUPATEN BANTUL

Joko Mulyono1) dan Hery Nugroho2)

1)Peneliti Pertama, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

JL. Tentara Pelajar No. 10 Cimanggu, Bogor e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kebutuhan lahan untuk kegiatan sektor non pertanian terus mengalami peningkatan, sehingga mendorong terjadinya konversi lahan pertanian. Peluang terbesar konversi lahan pertanian terjadi pada lahan sawah dibandingkan pada lahan kering. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konversi lahan pertanian terutama lahan sawah ke non pertanian dan menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Kabupaten Bantul. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bantul tahun 2015. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder, meliputi: konversi lahan sawah tahun 2010-2014, jumlah penduduk, luas panen, produksi dan produktivitas padi. Data yang diperoleh dianalisis secara diskriptif menggunakan tabulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi lahan sawah ke non pertanian sebesar 213 ha dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir (2010-2014) atau 42,61 ha/tahun. Perkiraan kehilangan produksi padi sebesar 2.727 ton atau 525 ton per tahun.

Kata Kunci: dampak, konversi, lahan sawah, produksi, padi

PENDAHULUAN Kabupaten Bantul memiliki luas wilayah 50.685 ha dan secara administratif

Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan, 75 desa dan 933 pedukuhan. Luas lahan sawah 15.471 ha (30,5 %), luas lahan bukan sawah 14.125 ha (27,9 %) dan luas lahan bukan pertanian 21.089 ha atau 41,6 % (BPS Kabupaten Bantul, 2014). Lahan bukan sawah terdiri dari tegalan atau kebun 6.738 ha, hutan rakyat 3.418 ha dan lainnya 3.969 ha. Lahan bukan pertanian terdiri dari tanah untuk bangunan dan pekarangan, hutan negara, lahan tidak ditanami/rawa dan tanah lainnya. Lahan merupakan aset yang berharga bagi rumah tangga petani. Luas penguasaan lahan per rumah tangga petani terus menurun karena meningkatnya jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga petani (Sudaryanto dan Rusastra, 2006).

Bantul merupakan salah satu kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, letaknya cukup dekat dengan ibukota provinsi terus melakukan pembangunan. Konsekuensi dari pembangunan tersebut adalah meningkatnya kebutuhan lahan untuk industri, kantor, pergudangan, perumahan dan sebagainya. Disamping itu, pertumbuhan penduduk juga mendorong meningkatnya kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Jumlah penduduk tahun 2002 adalah 789.745 jiwa dengan tingkat kepadatan 1.558 jiwa/km2. Jumlah penduduk tahun 2013 adalah 955.015 jiwa dengan tingkat kepadatan 1.884 jiwa/km2. Dalam kurun waktu 2002-2013, rata-rata peningkatan jumlah pendudukdan kepadatan penduduk sebesar 1,75 %. Pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian mendorong terjadinya alih fungsi lahan (konversi).

Menurut Irawan (2005), dari sudut pandang ekonomi konversi lahan pertanian disebabkan oleh tarikan permintaan lahan untuk kegiatan non pertanian dan dorongan petani pemilik lahan. Faktor ekonomi, faktor sosial dan perangkat hukum merupakan faktor-

Page 48: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

577

faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan. Sumaryanto (2010), untuk mengerem laju penjualan lahan di kalangan petani adalah dengan peningkatan peran dan usahatani sebagai andalan ekonomi pedesaan.

Kebutuhan lahan dipenuhi dari lahan pertanian, baik lahan sawah maupun lahan kering. Alih fungsi lahan areal pertanian bukan hanya terjadi pada lahan sawah, lahan kering juga mempunyai kecenderungan sama (Dariah, 2015). Menurut Irawan (2005), peluang konversi lahan pertanian lebih besar terjadi pada lahan sawah. Lahan sawah relatif datar, infrastrukturnya sekitar lahan sawah lebih tersedia dan memadai, sehingga lebih mudah untuk melakukan kegiatan-kegiatan non pertanian. Dariah (2015), Laju alih fungsi lahan pertanian utamanya lahan sawah selalu lebih tinggi dibanding perluasan lahan sawah.

Menurut Irawan dan Friyatno (2002), antara tahun 1981-1998 di Kabupaten Bantul terjadi perubahan sawah ke non sawah sebesar 1.412 ha, sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 20.000 ha. Menurut Sudirman (2012), selama kurun waktu tahun 1996-2006 di Kabupaten Bantul luas lahan pertanian yang berubah permanen menjadi bangunan adalah 3.863,50 ha, yaitu di Kecamatan Banguntapan, Kasihan, dan Sewon. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis konversi lahan pertanian terutama lahan sawah ke non pertanian dan menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Kabupaten Bantul.

METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Kabupaten Bantul tahun 2015. Data yang dikumpulkan

adalah data sekunder, meliputi luas lahan sawah, luas lahan sawah yang terkonversi tahun 2010-2014, jumlah penduduk, luas panen, produksi dan produktivitas padi Kabupaten Bantul. Data diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bantul. Pengumpulan data dilakukan melalui survei dan studi literatur. Data yang telah dikumpulkan, kemudian dianalisis secara diskriptif menggunakan tabulasi data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konversi Lahan Sawah ke Non Pertanian Peningkatan kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian mendorong

dilakukannya alih fungsi lahan pertanian terutama dari lahan sawah, sehingga mengurangi lahan pertanian. Data luas konversi lahan pertanian dapat dilihat dari perubahan luas lahan sawah setiap tahunnya ataupun melakukan monitoring dan pencatatan di lapang melalui sensus dan dengan memanfaatkan data berupa izin perubahan penggunaan tanah (IPPT), izin lokasi rencana perolehan dan atau penggunaan tanah dan surat pemberitahuan/klarifikasi rencana perolehan dan atau penggunaan tanah. Data tersebut bisa diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) ataupun Badan Pusat Statistik (BPS).

Data luas lahan pertanian yang terkonversi yang diterbitkan oleh instansi kadang

berbeda satu dengan lainnya, karena metode pengukurannya yang berbeda. Irawan (2005), perbedaan data ini disebabkan karena perbedaan organization interest dan juga metode pengukuran yang digunakan berbeda. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui laju alih fungsi lahan pertanian menggunakan data yang diterbitkan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bantul. Kelebihan dari penggunaan data ini adalah bahwa lahan yang terkonversi sudah memiliki kekuatan hukumnya, namun memiliki kelemahan yaitu aktual di tingkat lapang alih fungsi lahannya belum tentu terjadi meskipun surat izinnya sudah ada.

Lahan-lahan yang dikonversi biasanya digunakan untuk rumah tinggal, perumahan, rumah tinggal dan tempat usaha, tempat usaha, kantor, gudang, tower, sarana pendidikan dan sarana kesehatan (rumah sakit). Konversi lahan terjadi di semua kecamatan di Kabupaten Bantul, dengan laju konversi berbeda-beda setiap wilayahnya. Dari hasil analisis diperoleh bahwa, konversi lahan pertanian terutama lahan sawah banyak terjadi di

Page 49: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

578

kecamatan-kecamatan yang berada di bagian utara Kabupaten Bantul, yaitu Kecamatan Banguntapan, Kasihan dan Sewon. Di wilayah bagian selatan konversi lahan pertanian terutama lahan sawah relatif kecil. Luas dan persentase peruntukan konversi lahan sawah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas dan persentase peruntukan konversi lahan sawah ke non pertanian per

kecamatan di Kabupaten Bantul tahun 2010-2014

Kecamatan

Peruntukan Konversi Lahan Sawah ke Non Pertanian (ha)

Rumah Tingga

l

Perumah-an

Rumah Tingga

l& Tempat Usaha

Tempat Usaha

Sarana Pendidika

n & Kesehatan

Jumlah Persentase

Srandakan 0,1 - - 0,2 - 0,3 0,1

Sanden 0,1 - 0,1 0,1 - 0,3 0,1

Kretek 0,3 - 0,9 0,6 - 1,8 0,8

Pundong 0,2 - 0,4 - - 0,6 0,3

Bambang-lipuro

0,1 - - 0,2 - 0,3 0,1

Pandak 0,4 - 0,3 - - 0,6 0,3

Bantul 4,5 1,1 2,9 2,0 0,4 10,9 5,1

Jetis 1,4 - 1,6 0,2 - 3,2 1,5

Imogiri 0,2 - 0,8 0,2 - 1,2 0,6

Dlingo - - 0,1 - - 0,1 -

Pleret 1,0 4,6 1,7 0,4 - 7,7 3,6

Piyungan 1,8 1,1 2,8 1,8 0,8 8,3 3,9

Bangun-tapan

16,1 27,4 21,2 9,9 4,3 78,9 37,0

Sewon 7,7 5,1 12,9 8,1 0,3 34,0 16,0

Kasihan 6,8 10,9 12,8 7,6 1,0 39,1 18,4

Pajangan 0,7 5,0 5,0 1,6 - 12,2 5,7

Sedayu 0,9 6,4 2,1 4,2 0,2 13,7 6,4

Jumlah 42,1 61,6 65,3 37,0 7,0 213,0 100

Persentase 19,7 28,9 30,7 17,4 3,3 100

Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul, 2010-2014 (diolah)

Dalam kurun waktu 5 tahun (2010-2014), konversi lahan pertanian terutama lahan sawah ke non pertanian terbesar terjadi di Kecamatan Banguntapan, yaitu seluas 78,9 ha atau 37,0 %. Konversi lahan sawah terbesar kedua adalah Kecamatan Kasihan, yaitu seluas 39,1 ha atau 18,4 % dan kemudian Kecamatan Sewon seluas 34,0 ha atau 16,0 %. Sari (2013) dan Suryani (2014), luas konversi di kabupaten Bantul dominan di Kecamatan Banguntapan, Kasihan dan Sewon. Lahan sawah yang terkonversi digunakan untuk rumah tinggal dan tempat usaha sebesar 65,35 ha (30,67 %), perumahan sebesar 61,60 ha (28,91 %) dan rumah tinggal sebesar 42,05 ha (19,74 %).

Beberapa faktor yang menyebabkan ketiga kecamatan tersebut, luas konversinya paling besar adalah: 1). Jarak ketiga kecamatan tersebut dengan ibukota provinsi relatif lebih dekat dibandingkan kecamatan lainnya (7-10 km), 2). Aksesibilitas dan infrastruktur baik, 3). Topografinya datar, dimana wilayah Kecamatan Banguntapan dan Sewon didominasi oleh lahan datar dengan kelerengan 0-2 % dan 4 %). Jumlah penduduknya besar, dimana jumlah penduduk Kecamatan Banguntapan paling besar, yaitu 131.584 jiwa (13,78 %) dari total jumlah penduduk Kabupaten Bantul 955.015 jiwa, Kecamatan Kasihan 119.271 jiwa (12,49

Page 50: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

579

%) dan Kecamatan Sewon 110.355 jiwa (11,56 %). Kepadatan penduduk ketiga kecamatan tersebut paling besar dan di atas rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Bantul, yaitu Kecamatan Banguntapan 4.620 jiwa/km2, Kasihan 4.063 jiwa/km2 dan sewon 3.683 jiwa/km2. Trend jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di tiga kecamatan tersebut cenderung meningkat. Dalam kurun waktu 12 tahun (2002-2013), jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Kecamatan Banguntapan meningkat sebesar 5,41 %, sedangkan di Kecamatan Kasihan meningkat sebesar 4,19 % dan di Kecamatan Sewon sebesar 3,79 %.

Konversi lahan sawah ke non pertanian terkecil terjadi di Kecamatan Dlingo, yaitu 0,1 ha. Faktor-faktor yang menyebabkan kecamatan Dlingo konversinya kecil karena: 1). Jarak dengan dengan ibukota provinsi relatif lebih jauh dibandingkan kecamatan lainnya (23-33 km), 2). Aksesibilitas dan infrastrukturnya kurang dibandingkan dengan kecamatan lainnya, 3). Topografi wilayahnya didominasi oleh lahan miring atau topografi berbukit/pegunungan dengan kelerengan >25 % seluas 2.729 (48,44 %) dari luas wilayah Kecamatan Dlingo 5.634 ha dan 4). Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per km2 rendah, yaitu 647 jiwa/km2. Perkembangan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di tiga kecamatan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Kecamatan

Banguntapan, Sewon dan Kasihan Kabupaten Bantul.

Tahun Banguntapan Sewon Kasihan

Jumlah (jiwa)

Kepadatan (jiwa/km2)

2002 76.162 2.674 75.231 2.770 77.100 2.381

2003 77.523 2.722 76.009 2.802 78.044 2.410

2004 77.207 2.711 76.436 2.814 78.514 2.425

2005 80.209 2.816 77.679 2.860 79.424 2.435

2006 86.053 3.022 78.142 2.877 80.159 2.476

2007 88.236 3.098 79.324 2.921 81.378 2.513

2008 89.667 3.148 80.561 2.966 89.800 2.773

2009 90.931 3.193 81.566 3.003 92.230 2.848

2010 120.015 4.214 104.368 3.843 110.871 3.424

2011 122.510 4.302 105.701 3.892 112.708 3.481

2012 124.838 4.383 106.929 3.937 114.412 3.533

2013 131.584 4.620 110.355 4.063 119.271 3.683

Sumber : BPS Kabupaten Bantul 2002-2014

Dari tahun 2010-2014, luas konversi lahan sawah ke non pertanian sebesar 213 ha atau 42,61 ha/tahun. Dalam kurun waktu tersebut, konversi lahan sawah ke non pertanian terbesar terjadi pada tahun 2011, yaitu sebesar 55,6 ha. Hal ini dimungkinkan karena izin perubahan penggunaan tanah untuk perumahan mengalami peningkatan lebih dari 100 % dibandingkan tahun 2010 dan izin perubahan penggunaan tanah untuk rumah tinggal dan tempat usaha juga mengalami peningkatan sebesar 69,5 %. Konversi lahan sawah ke non pertanian terkecil terjadi pada tahun 2014, yaitu sebesar 21,9 ha. Pada tahun 2014, izin perubahan penggunaan tanah untuk perumahan mengalami penurunan 57,7 % dibandingkan tahun 2013 dan izin perubahan penggunaan lahan untuk rumah tinggal dan tempat usaha juga mengalami penurunan sebesar 39,9 %. Arianti (2015), rata-rata alih fungsi lahan mencapai 40 ha/tahun. Luas konversi lahan sawah disajikan pada Tabel 3.

Page 51: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

580

Tabel 3. Luas konversi lahan sawah Kabupaten Bantul tahun 2010-2014 Tahun Luas Konversi (ha) 2010 44,3 2011 55,6 2012 50,4 2013 40,8 2014 21,9

Jumlah 213,0 Rata-rata 42,61

Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul,2010-2014 (diolah)

Dampak Konversi Lahan Sawah Terhadap Produksi Padi Kabupaten Bantul Lahan pertanian terutama lahan sawah memiliki peran penting sebagai aset dalam

melakukan kegiatan usahataninya untuk menghasilkan pangan. Fahri et al. 2014), lahan tidak saja sebagai faktor produksi yang bernilai ekonomi tetapi juga bernilai sosial untuk memenuhi kebutuhan pemukiman dan infrastruktur. Konsekuensi dari meningkatnya kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian adalah mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian terutama lahan sawah (konversi).

Dampak yang ditimbulkan akibat konversi lahan sawah ke non pertanian dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Dampak langsung akibat konversi lahan sawah adalah berkurangnya produksi padi akibat semakin sempitnya lahan pertanian, kehilangan lapangan pekerjaan dan kerugian investasi. Dampak tidak langsungnya adalah terjadinya kerusakan lingkungan, erosi dan banjir. Konversi lahan sawah dapat menimbulkan dampak negatif secara ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga diperlukan suatu kebijakan untuk pengendaliannya (Irawan, 2005).

Dampak konversi lahan sawah di Kabupaten Bantul dapat mengurangi produksi padi, yang dapat mengancam ketahanan pangan. Dengan asumsi produktivitas padi sawah sebesar 6,4 ton/ha (BPS, 2014) dan indeks pertanaman (IP) 2 kali dalam satu tahun, maka Kabupaten Bantul kehilangan gabah kering panen (GKP) sebesar 2.727 ton (2010-2014) atau 545 ton/tahun. Dengan asumsi harga gabah kering panen (GKP) Rp. 3.557,- (BPS, 2014), maka Kabupaten Bantul kehilangan uang sebesar 9,7 Milyar atau 1,9 Milyar/tahun. Irawan (2005), dampak konversi lahan pertanian terhadap masalah pangan sulit untuk dipulihkan dalam waktu yang singkat. Ada beberapa hal yang menyebabkan masalah pangan yang diakibatkan oleh konversi lahan sulit untuk dipulihkan adalah: 1). lahan sawah yang sudah dikonversi bersifat permanen atau tidak pernah berubah kembali menjadi lahan sawah, 2). pencetakan sawah baru untuk pemulihan produksi membutuhkan waktu yang cukup lama, dan 3). sumberdaya lahan yang dapat dijadikan sawah semakin terbatas terutama di Pulau Jawa. Kebijakan pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan pertanian terutama lahan sawah perlu dilakukan melalui perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) melalui pemberikan insentif kepada petani, adanya asuransi jika mengalami gagal panen, subsidi dan sebagainya. Fahri et al. (2014), untuk menekan konversi lahan diperlukan kebijakan pemerintah melalui pemberian fasilitas pembiayaan, kompensasi kegagalan panen, pemasaran hasil gabah dan jaminan harga gabah yang menguntungkan, pemberian insentif berupa pengembangan infrastruktur.

KESIMPULAN Konversi lahan sawah terus terjadi dan sulit dikendalikan terutama di bagian utara

Kabupaten Bantul. Rata-rata konversi lahan sawah ke non pertanian sebesar 42,61 ha/tahun. Konversi lahan sawah dapat mengurangi produksi padi, yaitu 545 ton/tahun. Kedepan, perlu adanya kebijakan pemerintah dalam mengendalikan konversi lahan pertanian terutama lahan sawah. Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) perlu dilakukan untuk menjaga produksi dan ketahanan pangan melalui pemberian insentif.

Page 52: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

581

UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bantul

dan Bapak Salim selaku pejabat struktural di BPN yang telah membantu kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA [BPN] Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul. 2010. Laporan Kegiatan Pembuatan

Pertimbangan Teknis Pertanahan Bulan Januari-Desember 2010. Kabupaten Bantul. [BPN] Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul. 2011. Laporan Kegiatan Pembuatan

Pertimbangan Teknis Pertanahan Bulan Januari-Desember 2011. Kabupaten Bantul. [BPN] Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul. 2012. Laporan Kegiatan Pembuatan

Pertimbangan Teknis Pertanahan Bulan Januari-Desember 2012. Kabupaten Bantul. [BPN] Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul. 2013. Laporan Kegiatan Pembuatan

Pertimbangan Teknis Pertanahan Bulan Januari-Desember 2013. Kabupaten Bantul. [BPN] Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul. 2014. Laporan Kegiatan Pembuatan

Pertimbangan Teknis Pertanahan Bulan Januari-Desember 2014. Kabupaten Bantul. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2002. Bantul Dalam Angka 2002. Bantul. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2003. Bantul Dalam Angka 2003. Bantul. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2004. Bantul Dalam Angka 2004. Bantul. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2005. Bantul Dalam Angka 2005. Bantul. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2006. Bantul Dalam Angka 2006. Bantul [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2007. Bantul Dalam Angka 2007. Bantul [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2008. Bantul Dalam Angka 2008. Bantul [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2009. Bantul Dalam Angka 2009. Bantul. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2010. Bantul Dalam Angka 2010. Bantul. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2011. Bantul Dalam Angka 2011. Bantul. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2012. Bantul Dalam Angka 2012. Bantul. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2013. Bantul Dalam Angka 2013. Bantul. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2014. Bantul Dalam Angka 2014. Bantul. Arianti, S. 2015. Alih Fungsi Lahan Hijau di Bantul Capai 40 Ha Pertahun.

http://jogja.tribunnews.com/2015/02/03/alih-fungsi-lahan-hijau-di-bantul-capai-40-hektare-pertahun. Diakses tanggal 11 Mei 2016.

Badrudin, R. 2012. Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Menggunakan Tipologi Klasen dan Location Quotient. JRMB. 7(1):17-37.

Dariah, A. 2015. Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion dari Pespektif Lingkungan Hidup. Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion. IAARD Press. Jakarta.348 hlm.

Fahri, A., L.M. Kolopaking, dan D.B. Hakim. 2014. Laju Konversi Lahan Sawah Menjadi Perkebunan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Serta DampaknyaTerhadap Produksi Padi di Kabupaten Kampar, Riau. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 17(1):69-79.

Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23(1):1-18.

Irawan, B. dan S. Friyatno. 2002. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa Terhadap Produksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. 2(2):79-95.

Sari, D.P. 2013. Pengaruh Konversi Pertanian Terhadap Perubahan Sosial Petani di Kabupaten Bantul. http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=62666. Diakses tanggal 26 April 2016.

Sudaryanto, T. dan I.W. Rusastra. 2006. Kebijakan Strategis Usaha Pertanian Dalam Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Litbang Pertanian. 25(4):115-122.

Page 53: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

582

Sumaryanto. 2010. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Keputusan Petani Menjual Lahan. Informatika Pertanian. 19(2):1-15.

Suryani, B. 2014. Sawah di Tiga Kecamatan di Bantul Susut Tercepat. http://www.harianjogja.com/baca/2014/01/14/sawah-tiga-kecamatan-di-bantul-susut-tercepat-481701. Diakses tanggal 26 April 2016.

Page 54: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

583

KESESUAIAN LAHAN UNTUK PADI SAWAH DI KABUPATEN

JAYAPURAPROVINSI PAPUA

Heppy Suci Wulanningtyas1, Afrizal Malik2 dan Busra BS3

1CalonPeneliti, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua 2Peneliti Madya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua 3Peneliti Madya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jl. Yahim No. 49 Sentani, Jayapura, Papua 99352, Telp (0967)592179

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan kegiatan ini adalah mengetahui lahan yang sesuai dan potensial untuk tanaman padi sawah di Kabupaten Jayapura berdasarkan peta AEZ (Agro Ecological Zone) skala 1:50.000. AEZ merupakan pengelompokan wilayah kedalam zona-zona yang mempunyai kesamaan/keseragaman karakteristik sumber daya lahan (biofisik). Penyusunan peta kesesuaian lahan melalui tahapan metodologi yaitu inventarisasi sumber daya lahan dan evaluasi kesesuaian lahan. Dari hasil evaluasi kesesuaian lahan, pengembangan padi sawah dapat dilakukan di lahan basah, seluas 268.433 ha (18,89%) yang terdiri dari lahan cukup sesuai (S2) seluas 254.299 ha (17,89%) dan lahan sesuai marjinal (S3) seluas 14.134 ha (0,99%). Setelah melalui tahapan evaluasi, selanjutnya dilakukan pewilayahan komoditas pertanian untuk mendapatkan zonasi yang paling sesuai dengan tanaman padi yang bebas dari status kawasan hutan. Sistem budidaya pertanian lahan basah untuk padi sawah termasuk dalam zona IV seluas 109.721 ha (7,72%). Peningkatan produktivitas lahan bisa dicapai dengan menyusun pola tanam yang tepat, jadwal tanam yang mempertimbangkan resiko kegagalan panen, dan pemberian kebutuhan pupuk berimbang. Kata kunci: kesesuaian lahan, padi sawah, AEZ

PENDAHULUAN

Kabupaten Jayapura memiliki potensi sumber daya lahan yang cukup besar untuk mendukung budidaya pertanian khususnya padi sawah. Padi merupakan salah satu komoditas strategis untuk mendukung ketahanan pangan melalui program UPSUS dan Kabupaten Jayapura berpotensi untuk medukung program pemerintah dalam mendukung swasembada padi. Berdasarkan BPS (2014), luas panen padi sawah di Kabupaten Jayapura seluas 1.273 ha. Berdasarkan hasil analisis dan pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi (AEZ), sistem budidaya pertanian lahan basah untuk padi sawahseluas 109.721 ha (7,72%). Masih terdapat potensi lahan yang cukup besar untuk budidaya padi sawah.

Untuk memenuhi target produksi padi, pemerintah Kabupaten Jayapura akan mencetak sawah baru. Target cetaan sawah baru pada tahun 2016 oleh pemerintah Kabupaten Jayapura seluas 1.225 ha. Untuk mendukung program pemerintah tersebut, maka BPTP Papua melakukan analisis kesesuaian lahan untuk mendata lahan yang sesuai dan dapat dikembangkan untuk budidaya padi sawah di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Page 55: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

584

METODOLOGI

Kegiatan dilaksanakan pada tahun 2014 di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Bahan yang diperlukan dalam analisis adalah seperangkat peta dan data antara lain citra landsat-7 ETM digital liputan tahun 2010-2012, peta RBI skala 1:50.000, peta Geologi lembar Keerom dan Jayapura skala 1:250.000, Peta Agroklimat/sebaran curah hujan wilayah Provinsi Papua, Peta AEZ KabupatenJayapura, skala 1:250.000, Digital Elevation Model (DEM) resolusi 30 m, peta status kawasan hutan, data iklim dan data sosek/unggulan komoditas daerah.

Alat untuk kegiatan lapangan antara lain : formulir isian pengamatan lapang dalam format basisdata tanah, bor tanah tipe Belgia, buku Munsell Soil Color Chart, Buku Klasifikasi Tanah (Soil Taxonomy) Edisi Tahun 2010, Kompas, Altimeter, GPS (Global Positioning System), Abney level, pH-Truogh, pH Merck, untuk mengukur pH tanah, kantong plastik dan label, sekop dan cangkul. Analisis data dengan seperangkat komputer dengan software ArcView, ErMapper, ArcGisdan SPKL versi 1.0.

Penyusunan peta kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas padi dilakukan

melalui beberapa tahapan metodologi, yaitu: inventarisasi sumber daya lahan, evaluasi

kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas.

1. Inventarisasi Sumber daya Lahan Dalam inventarisasi sumber daya lahan dilakukan beberapa tahapan kegiatan antara

lain pengumpulan dan penyusunan peta dasar, analisis satuan lahan dan verifikasi lapangan. Peta dan data yang telah dikumpulkan dianalisis untuk menghasilkan satuan lahan. Analisis satuan lahan menghasilkan data spasial satuan landform ditambah informasi bahan induk dan litologi. Dari data spasial satuan lahan dapat diduga karakteristik tanah melalui nama tanah yang kemungkinan ditemukan pada masing-masing satuan lahan.Setelah dilakukan analisis satuan maka dilakukan verifikasi lapangan berupa pengumpulan data primer dan sekunder yang meliputi data biofisik (pengamatan tanah, pengambilan contoh tanah untuk analisis laboratorium, penyusunan satuan evaluasi lahan) dan data sosial ekonomi pertanian. 2. Evaluasi Kesesuaian Lahan

Data hasil inventarisasi dan kroscek lapangan selanjutnya dievaluasi secara komputerisasi untuk menghasilkan kelas kesesuaian lahan. Tujuan evaluasi lahan adalah menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Evaluasi lahan dapat dilakukan dengan cara mencocokkan kualitas/karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang diinginkan oleh penggunaan lahan tertentu. Hasil analisis laboratorium dipakai untuk menunjang proses evaluasi. Hasil evaluasi kesesuaian lahan menghasilkan kelas kesesuaian lahan antara lain sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N). 3. Pewilayahan Komoditas Pertanian

Data hasil evaluasi kesesuaian lahan di overlay dengan peta status kawasan hutan dan peta penggunaan lahan. Status kawasan APL dan HPK yang merupakan lahan yang dapat dikembangkan pertanian dan yang lainnya tetap sebagai kawasan hutan.

Komponen pewilayahan komoditas pertanian terdiri atas zona, system pertanian dan alternative komoditas pertanian. Sistem pertanian merupakan kelompok umum pengembangan komoditas yang terdiri atas system pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, peternakan, perikanan, hutan lahan basah, dan hutan lahan kering. Alternatif komofitas pertanian menyajikan jenis komoditas yang disarankan untuk dikembangkan.

Berdasarkan parameter karakteristik sumber daya lahannya, zona dibedakan menjadi 7 zona utama, yaitu: I,II,III,IV,V,VI dan VII. Padi sawah masuk dalam zona IV dengan kelerengan 0-8%, diprioritaskan untuk pengembangan pertanian berbasis tanaman pangan.

Page 56: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

585

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Inventarisasi Sumber daya Lahan Menurut klasifikasi Koppen Kabupaten Jayapura dikelompokkan ke dalam 2 tipe iklim

yaitu Af dan Ams. Tipe iklim Af didefinisikan sebagai tipe iklim hujan hutan tropis dengan penyebaran curah hujan bulanan hampir merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang berarti. Tipe iklim Ams merupakan tipe iklim panas dengan musim kemarau berkisar antara 2 sampai dengan 3 bulan.

Berdasarkan hasil interpretasi, KabupatenJayapura dikelompokan kedalam 7 Grup landform, yaitu: Aluvial, Marin, Fluviomarin, Gambut, Karst, Volkanik, dan Tektonik. Sedangkan relief di Kabupaten Jayapura disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Rincian relief di Kabupaten Jayapura

Simbol Relief Lereng Beda Tinggi Luas

(%) (m) Ha %

F Datar <1 <2 58.069 4,09

N Agak datar 1-3 2-5 219.360 15,43

U Berombak 3-8 5-15 83.023 5,84

R Gerbelombang 8-15 15-25 82.849 5,83

C Berbukit kecil 15-25 25-50 113.501 7,99

H Berbukit 25-40 50-300 312.881 22,01

M Bergunung >40 >300 538.289 37,87

X3 Badan air/sungai

13.428 0,94

J u m l a h 1.421.400 100,00

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan ditunjang dengan data hasil analisis kimia dari laboratorium, tanah-tanah di Kabupaten Jayapura diklasifikasikan menurut Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2010) menjadi 6 Ordo, yaitu: Histosols, Entisols, Inceptisols, Mollisols, Alfisol, dan Ultisols.

Berdasarkan hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa tanah di daerah penelitian mempunyai pH dari sangat masam-netral (pH 4,5–7,0) dengan kandungan bahan organic tanah di lapisan atas (0-30 cm) bervariasi dari sangat rendah sampai tinggi, tetapi secara umum tergolong sedang. Kadar N-total tanah juga sangat bervariasi dari rendah sampai sedang, tetapi secara umum tergolong rendah. Secara umum cadangan hara P adalah sedang, P tersedia rendah, sedangkan kadar K-total sedang sampai tinggi serta hara K-dd juga bervariasi dari sedang sampai tinggi. Penilaian status kesuburan tanah menunjukkan bahwa tanah di Kabupaten Jayapura umumnya tergolong sedang sampai tinggi.

2. Evaluasi Kesesuaian Lahan Dari hasil evaluasi kesesuaian lahan beberapa komoditas menunjukkan bahwa lahan

yang dapat dikembangkan untuk komoditas pertanian di Kabupaten Jayapura seluas 654.217 ha (46,03%), sedangkan sisanya seluas 767.183 ha (53,97%) tidak dapat dikembangkan untuk pertanian, karena kondisi biofisik lahan tidak memungkinkan.

Pengembangan padi sawah dapat dilakukan di lahan basah, seluas 268.433 ha (18,89%) yang terdiri dari lahan cukup sesuai (S2) seluas 254.299 ha (17,89%) dengan kendala lahan berupa retensi hara (nr) dan bahaya banjir (fh) dan lahan sesuai marjinal (S3) seluas 14.134 ha (0,99%) dengan kendala berupa bahaya banjir (fh) dan ketersediaan air (wa). Ketersediaan air berkaitan dengan ada tidaknya sumber air. Menurut Suparyono dan Setyono (1993) dalam Hamsyah (2009), menyatakan bahwa padi merupakan tanaman semi aquatis yang cocok ditanam pada lahan tergenang, meskipun padi juga baik ditanam di lahan tanpa genangan asal kebutuhan air tercukupi. Untuk lahan yang sesuai dengan tanaman padi sawah, retensi hara menjadi faktor pembatas yang paling besar, seluas 213.546 ha ( 15,02 %). Retensi hara juga menjadi faktor pembatas dalam penentuan kelas kesesuaian lahan untuk padi sawah pada tanah Inceptisols (Sinaga et al., 2014). Hasil penelitian Kurniawan et

Page 57: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

586

al., (2013) menunjukkan bahwa retensi hara merupakan faktor pembatas utama dalam pengembangan padi sawah.

Gambar 1. Peta Kesesuaian Lahan Padi Sawah

Lahan ini berpotensi untuk dikembangkan untuk tanaman pangan lahan basah (persawahan). Pengembangan padi sawah pada wilayah ini dapat dilakukan 2x setahun. Sedangkan lahan yang tidak sesuai untuk pengembangan padi sawah seluas 1.152.967 ha (81,11%). Lahan ini mempunyai kendala sangat berat, yaitu berupa bahaya erosi akibat lereng yang agak curam (>15%), ketersediaan oksigen karena lahan selalu tergenang terus menerus, media perakaran akibat tektur tanah pasir, ketersediaan air akibat tidak terdapat sumber air. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air (Arsyad, 2000). Sesuai dengan hasil analisis, bahwa separuh wilayah di Kabupaten Jayapura reliefnya berbukit-bergunung, seluas 851.170 ha (59,88 %). Dengan kondisi tersebut, potensi terjadinya pengikisan tanah oleh aliran permukaan (run off) cukup besar.

3. Pewilayahan Komoditas Pertanian

Sistem budidaya pertanian lahan basah mencakup dengan luas 109.721 ha (7,72%), termasuk dalam zona IV dengan kelerengan <3%.Luas lahan ini adalah luas lahan yang sesuai untuk padi sawah dan tidak masuk dalam kawasan hutan (hutan lindung dan hutan konservasi). Luasan lahan yang masuk dalam pewilayahan komoditas pertanian adalah lahan yang berpotensi untuk sawah, akan tetapi belum tentu siap untuk diolah karena kondisi riil di lapangan yang masih ditumbuhi semak belukar, pepohonan dalam bentuk hutan dsb.

Page 58: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

587

Gambar 2. Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Padi Sawah

Dalam peta tersebut di atas, zonasi untuk pada sawah diberi warna hijau dengan simbol Wr, dengan sebaran antara lain di Distrik Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk dan Kemtuk Gresi.

Dengan melihat kondisi topografi dan sumberdaya lahan di Kabupaten Jayapura, maka pemanfaatan lahan untuk pengembangan pertanian diperlukan suatu langkah strategis, yaitu dengan menerapkan sistem pengeloloan lahan yang tepat. Sistem pengelolaan lahan tersebut meliputi: a) pemilihan komoditas pertanian yang sesuai dengan daya dukungnya, b) penerapan sistem usahatani yang tepat, c) peningkatan produktifitas lahan dengan pemupukan dan usaha konservasi tanah dan air.Pola tanam padi sawah dapat dikombinasikan dengan tanaman kedelai atau jagung pada saat musim kemarau. Awal masa tanam padi sawah (MT I) dimulai tanggal 20-30 September, sedangkan masa tanam padi sawah (MT II) dimulai tanggal 15-25 Januari tahun berikutnya, dengan anjuran pemupukan adalah:

- Tanah dengan kandungan N rendah, kebutuhan pupuk Urea berkisar 225-250 kg/ha. Tanah-tanah dengan kandungan N sedang, kebutuhan pupuk Urea berkisar 200-225 kg/ha.

- Tanah dengan kandungan P tinggi, kebutuhan SP-36 berkisar 50-75 kg/ha. - Tanah dengan kandungan K sedang, kebutuhan KCl berkisar 50-75 kg/ha. Tanah

dengan kandungan K tinggi, kebutuhan KCl berkisar 25-50 kg/ha. Dengan potensi lahan yang besar untuk pengembangan padi sawah, maka Kabupaten Jayapura bisa berkontribusi dalam meningkatkan produksi padi untuk mendukung swasembada pangan khususnya di Provinsi Papua pada masa mendatang. Kendala utama yang dihadapi adalah mayoritas lahan tersebut masih berwujud semak belukar-hutan yang tentunya membutuhkan biaya yang besar untuk proses pembukaan lahan. Selain itu, status tanah di Papua berupa tanah adat yang tentunya memerlukan proses untuk dapat dimanfaatkan sesuai peruntukannya.

KESIMPULAN

Dari hasil evaluasi kesesuaian lahan, pengembangan padi sawah dapat dilakukan di lahan basah, seluas 268.433 ha (18,89%) yang terdiri dari lahan cukup sesuai (S2) seluas 254.299 ha (17,89%) dengan kendala lahan berupa retensi hara (nr) dan bahaya banjir (fh) dan lahan sesuai marjinal (S3) seluas 14.134 ha (0,99%) dengan kendala berupa bahaya banjir (fh) dan ketersediaan air (wa). Setelah dilakukan overlay dengan peta status kawasan

Page 59: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

588

hutan dan penggunaan lahan, diperoleh sistem budidaya pertanian lahan basah untuk padi sawah seluas 109.721 ha (7,72%) yang masuk dalam zona IV dengan kelerengan <3%.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

BPS. 2014. Jayapura Dalam Angka. Jayapura.

Hamsyah, R. 2009. Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Padi Berdasarkan Pendekatan Pedo-Agroklimat di Kabupaten Kutai Kartanegara. IPB. Bogor.

Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. IPB. Bogor.

Kurniawan, A., M. Ardiansyah dan U. Sudadi. 2013. Analisis dan Arahan Pengembangan Lahan untuk Mencapai Swasembada Pangan di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Jurnal Ilmiah Geomatika. 19 (2) : 124.

Sinaga, Y.P.A., Razali dan M. Sembiring. 2014. Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Padi Sawah Tadah Hujan (Oryza sativa L.) di

Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. A Basic System of soil classification for Making and Interpreting Soil Surveys, 2th edition 1999. Nasional Resources Conservation Service, USDA.

Page 60: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

589

POTENSI PENGEMBANGAN PADI GOGO BERDASARKAN

PEWILAYAHAN KOMODITAS PERTANIAN DI KABUPATEN

SARMI, PROVINSI PAPUA

Heppy Suci Wulanningtyas1, Afrizal Malik2 dan Busra BS3

1CalonPeneliti, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua 2Peneliti Madya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua 3Peneliti Madya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jl. Yahim No. 49 Sentani, Jayapura, Papua 99352, Telp (0967)592179

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan kegiatan ini adalah menentukan dan memetakan lahan yang potensial untuk pengembangan tanaman padi gogo berdasarkan pewilayahan komoditas pertanian di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.Penentuan wilayah potensial untuk padi gogo melalui beberapa tahapan metodologi yaitu inventarisasi sumber daya lahan, evaluasi kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas pertanian.Dari hasil analisis, pengembangan padi gogo dapat dilakukan di lahan kering, seluas 86.677 ha (6,37 %) yang tersebar di beberapa distrik antara lain Bonggo, Sarmi, Sarmi Selatan,Sarmi Timur, Pantai Timur, Pantai Barat, Pantai Timur Barat, Apawer Hulu dan Tor Atas. Budidaya padi gogo dapat dikombinasikan dengan tanaman pangan lainnya, tanaman hortikultura maupun tanaman perkebunan.Peningkatan produktivitas lahan bisa dicapai dengan pemupukan dan usaha konservasi tanah dan air.

Kata kunci: pengembangan, padi gogo, pewilayahan komoditas.

PENDAHULUAN

Kabupaten Sarmi merupakan pemekaran dari Kabupaten Jayapura sejak 12 April 2003. Luas wilayah kabupaten ini adalah 17.740 km2 (BPS Sarmi, 2014) dan termasuk wilayah agroekosistem dataran rendah. Kabupaten Sarmi memiliki potensi sumber daya lahan yang cukup besar untuk mendukung budidaya pertanian dan merupakan salah satu dari tujuh kabupaten di Provinsi Papua yang membudidayakan padi ladang. Berdasarkan BPS Sarmi (2014), produksi tanaman pangan yang terbesar selama tahun 2013 yakni padi ladang sebesar 255 ton dibandingkan komoditas lainnya seperti padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, sagu dan talas. Luas panen padi ladang di Kabupaten Sarmi adalah 103 ha.

Padi merupakan salah satu komoditas strategis pemerintah yang menjadi prioritas swasembada pangan. Melalui program UPSUS pemerintah menargetkan swasembada pada tahun 2017 dan Kabupaten Sarmi berpotensi untuk medukung program pemerintah dalam mendukung swasembada padi. Salah satu program prioritas pembangunan di Kabupaten Sarmi yaitu program pemberdayaan ekonomi rakyat (www.papua.go.id, 2016). Pertanian merupakan salah satu sektor yang dapat mendukung program pemerintah tersebut. Potensi lahan yang tersedia untuk tanaman bahan pangan dan hortikultura sedemikian luas (www.papua.go.id, 2016).

Dalam tatanan kehidupan bernegara di Indonesia, beras merupakan komoditas yang memiliki nilai strategis baik dari segi ekonomi, lingkungan hidup, sosial, maupun politik (Suryana, 2014). Beras berperan besar dalam kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia khususnya golongan menegah ke bawah. Perekonomian beras merupakan komoditas strategis dan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1960 (Maulana dan Rachman, 2011). Kekurangan beras dapat dianggap sebagai ancaman terhadap

Page 61: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

590

kestabilan ekonomi dan politik (Kasryno dan Pasandaran, 2004) dalam (Maulana dan Rachman, 2011).

Pembangunan pertanian di Kabupaten Sarmi dihadapkan pada kendala keterbatasan ketersediaan data/informasi sumber daya lahan pada skala operasional. Data tersebut diperlukan untuk perencanaan pembangunan wilayah khususnya sektor pertanian yang sesuai dengan pemanfaatan dan kemampuan lahannya.Untuk mendukung program pemerintah tersebut, maka BPTP Papua melakukan pemetaan potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan padi gogo di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.

METODOLOGI

Kegiatan dilaksanakan pada tahun 2014 di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Bahan yang diperlukan dalam analisis adalah seperangkat peta dan data antara lain Citra satelit Landsat Thematic Mapper 7 ETM+ liputan tahun 2012, peta RBI skala 1:50.000 digital, Peta AEZ Kabupaten Sarmi, skala 1:250.000, peta Geologi, lembar Jayapura, Rotanburg, Taritatu, dan Sarmi, skala 1:250.000 digital, Digital Elevation Model (DEM) resolusi 30 m, peta status kawasan hutan, data iklim dan data sosek/unggulan komoditas daerah.

Alat untuk kegiatan lapangan antara lain formulir isian pengamatan lapang dalam format basisdata tanah, bor tanah tipe Belgia, buku Munsell Soil Color Chart, Buku Klasifikasi Tanah (Soil Taxonomy) Edisi Tahun 2010, Kompas, Altimeter, GPS (Global Positioning System), Abney level, pH-Truogh, pH Merck untuk mengukur pH tanah, kantong plastik dan label, sekop dan cangkul. Analisis data dengan seperangkat komputer dengan softwareArcView, ErMapper, ArcGis dan SPKL versi 1.0.

Penyusunan peta kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas padi gogo dilakukan melalui beberapa tahapan metodologi, yaitu: inventarisasi sumberdaya lahan, evaluasi kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas.

4. Inventarisasi Sumber Daya Lahan

Dalam inventarisasi sumberdaya lahan dilakukan beberapa tahapan kegiatan antara lainpengumpulan dan penyusunan peta dasar, analisis satuan lahan dan verifikasi lapangan.Tahapan dalam penyusunan satuan lahan adalah pengolahan citra satelit, interpretasi landform dari citra satelit, DEM, dan peta geologi. Analisis satuan lahan menghasilkan data spasial satuan landform ditambah informasi bahan induk dan litologi. Dari data spasial satuan lahan dapat diduga karakteristik tanah melalui nama tanah yang kemungkinan ditemukan pada masing-masing satuan lahan.Setelah dilakukan analisis satuan maka dilakukan verifikasi lapangan berupa pengumpulan data primer dan sekunder yang meliputi data biofisik (pengamatan tanah, pengambilan contoh tanah untuk analisis laboratorium, penyusunan satuan evaluasi lahan) dan data sosial ekonomi pertanian.

5. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Pewilayahan Komoditas Pertanian

Data hasil inventarisasi dan kroscek lapangan selanjutnya dievaluasi secara komputerisasi untuk menghasilkan kelas kesesuaian lahan. Tujuan evaluasi lahan adalah menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Evaluasi lahan dapat dilakukan dengan cara mencocokkan kualitas/karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang diinginkan oleh penggunaan lahan tertentu. Hasil analisis laboratorium dipakai untuk menunjang proses evaluasi. Hasil evaluasi kesesuaian lahan menghasilkan kelas kesesuaian lahan antara lain sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N).

Data hasil evaluasi kesesuaian lahan di overlay dengan peta status kawasan hutan dan peta penggunaan lahan. Status kawasan APL dan HPK yang merupakan lahan yang dapat dikembangkan pertanian dan yang lainnya tetap sebagai kawasan hutan.

Komponen pewilayahan komoditas pertanian terdiri atas zona, sistem pertanian dan alternatif komoditas pertanian. Sistem pertanian merupakan kelompok umum pengembangan komoditas yang terdiri atas sistem pertanian lahan basah, pertanian lahan

Page 62: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

591

kering, peternakan, perikanan, hutan lahan basah, dan hutan lahan kering. Alternatif komofitas pertanian menyajikan jenis komoditas yang disarankan untuk dikembangkan.

Berdasarkan parameter karakteristik sumber daya lahannya, zona dibedakan menjadi 7 zona utama, yaitu: I, II, III, IV, V, VI, dan VII. Padi gogo merupakan sistem pertanian lahan kering masuk dalam zona IV dan III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Inventarisasi Sumber Daya Lahan Keadaan iklim wilayah Kabupaten Sarmi tergolong basah dengan curah hujan tahunan

rerata 2.383 mm, dengan distribusi bulan basah berturut-turut >6 bulan dengan bulan kering berturut-turut dalam satu tahun <2 bulan, tergolong ke dalam zona agroklimat B2. Kondisi iklim tersebut ideal untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dan perkebunan.

Lahan di Kabupaten Sarmi umumnya merupakan landform tektonik/struktural (45,54%) dengan relief datar sampai bergelombang mendominasi (56,17%).

Gambar 1. Peta Relief Kabupaten Sarmi

Tabel 1. Rincian Relief Kabupaten Sarmi

Simbol Relief Lereng Beda Tinggi Luas

(%) (m) Ha %

f Datar <1 <2 191.858 14,07 n Agak datar 1-3 2-5 336.450 24,67 u Berombak 3-8 5-15 128.796 9,45 r Gerbelombang 8-15 15-25 108.836 7,98 C Berbukit kecil 15-25 25-50 166.041 12,18 H Berbukit 25-40 50-300 201.917 14,81 M Bergunung >40 >300 228.922 16,79 X3 Badan air/sungai

765 0,06

J u m l a h 1.363.584 100,00

Page 63: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

592

Gambar 2. Peta Tanah Kabupaten Sarmi

Tanah terdiri dari tanah atasan (upland) dan tanah bawahan (lowland) yang berkembang dari bahan aluvium (sungai dan marin), batupasir, batuliat, batupasir berkapur, andesit, dan batugamping yang menghasilkan 5 Ordo, yaitu Histosols, Entisols, Inceptisols, Alfisols, dan Ultisols.

Dari hasil analisis laboratorium, pH tanah masam-netral (4,5–7,0) dan cukup mendukung untuk budidaya pertanian. Kandungan bahan organik secara umum rendah, unsur hara nitrogen sebagian besar rendah, unsur hara fosfat sedang, dan unsur hara kalium rendah-sedang.Penilaian status kesuburan tanah menunjukkan bahwa status kesuburan tanah di daerah penelitian umumnya tergolong rendah sampai sedang.

5. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Pewilayahan Komoditas Pertanian

Hasil evaluasi kesesuaian lahan beberapa komoditas menunjukkan bahwa lahan yang dapat dikembangkan untuk komoditas pertanian di Kabupaten Sarmi seluas 735.945 ha (53,97%), sedangkan sisanya seluas 627.639ha (46,03%) tidak dapat dikembangkan untuk pertanian, karena kondisi biofisik lahan tidak memungkinkan. Kendala dalam pengembangan komoditas pertanian tersebut antara lain bahaya erosi akibat lereng curam, ketersediaan oksigen karena drainase buruk, media perakaran dengan tekstur tanah pasir, ketersediaan air yang terbatas, suhu udara dingin-sejuk dan retensi hara karena derajad kemasaman tanah netral-alkalis.

Hasil pewilayahan komoditas pertanian, sistem pertanian lahan keringtermasuk dalam zona IV, III, dan II, seluas 143.494 ha (10,52%) dengan wilayah yang disarankan untuk pengembangan padi gogo seluas 86.677 ha (6,37 %) dan termasuk dalam zona IV dan III.Selain untuk padi gogo, komoditas pertanian yang disarankan berupa jagung, kedelai, kacang tanah dan umbi-umbian serta tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan. Tanaman hortikultura antara lain pisang dan jeruk. Tanaman perkebunan antara lain kelapa sawit, karet dan kakao. Tanaman tersebut dapat ditanam secara bergantian ataupun tumpangsari dengan padi gogo. Padi gogo dapat dibudidayakandi distrik Bonggo, Sarmi, Sarmi Selatan, Sarmi Timur, Pantai Timur, Pantai Barat, Pantai Timur Barat, Apawer Hulu dan Tor Atas.

Berdasarkan sistem pewilayahan komoditas pertanian, pengembangan padi gogo

dapat dirinci sebagai berikut :

Page 64: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

593

a. Pertanian lahan kering, tanaman pangan

Seluas 518 ha (0,04%), termasuk dalam zona IV (IV/Df), kelerengan <3% dengan komoditas yang disarankan adalah padi gogo, jagungdan umbi-umbian.Terdapat di Distrik Apawer Hulu.

b. Pertanian lahan kering, tanaman pangan dan hortikultura Seluas 38.130 ha (2,80%), termasuk dalam zona IV (IV/Dfh), kelerengan <3% dengan komoditas yang disarankan adalah padi gogo, jagung, kedelai, kacang tanah danumbi-umbian. Alternatif komoditas hortikultura adalah pisang dan jeruk.Tersebar di beberapa distrik antara lain Sarmi, Sarmi Timur, Sarmi Selatan, Pantai Timur, Pantai Barat, Pantai Timur Barat, Tor Atas dan Apawer Hulu.

c. Pertanian lahan kering, tanaman tahunan/perkebunan dan tanaman pangan Seluas 14.952 ha (1,10 %) terdiri dari subzona:

- Subzona IV/Def-2: relief berombak (lereng 3-8%),untuk pengembangan tanaman tahunan/perkebunan dan tanaman pangan dengan komoditas yang disarankan adalahkelapa sawit, karet, padi gogo dan jagung. Terdapat di Distrik Pantai Timur.

- Subzona III/Def-1: relief bergelombang (lereng 8-15%),untuk pengembangan tanaman tahunan/perkebunan dan tanaman pangan dengan komoditas yang disarankan adalahkakao, kelapa sawit, padi gogo dan jagung. Tersebar di beberapa distrik antara lain Sarmi Timur, Sarmi Selatan, Pantai Timur, Pantai Timur Barat, Tor Atas dan Apawer Hulu.

- Subzona III/Def-2: relief bergelombang (lereng 8-15%),untuk pengembangan tanaman tahunan/perkebunan dan tanaman pangan dengan komoditas yang disarankan adalahkelapa sawit, karet, padi gogo dan jagung. Terdapat di Distrik Bonggo.

d. Pertanian lahan kering, tanaman tahunan, tanaman pangan dan hortikultura Seluas 33.077 ha (2,43%), termasuk dalam zona IV(Defh), kelerengan 3-8% untuk pengembangan tanaman tahunan/perkebunan berupa kakao dan kelapa sawit. Tanaman pangan lahan kering yang disarankan adalah padi gogo, jagung, kedelai dan kacang tanah. Alternatif komoditas hortikultura jeruk dan pisang.Tersebar di beberapa distrik antara lain Bonggo, Sarmi Selatan, Pantai Timur, Pantai Barat, Pantai Timur Barat dan Tor Atas.

Page 65: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

594

Gambar 3. Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian untuk Padi Gogo

Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukkan bahwa bahaya erosi, ketersediaan oksigen dan media perakaran merupakan faktor pembatas yang paling dominan dalam pengembangan usahatani di lahan kering disamping faktor ketersediaan air, suhu udara dan retensi hara. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk kelompok tanaman pangan, lahan dengan lereng >15 % sudah tidak sesuai (N) untuk budidaya padi gogo (Ritung et al., 2012). Dari hasil inventarisasi sumberdaya lahan, seperti yang ditampilkan dalam Tabel 1, lahan dengan kelerengan >15% cukup besar luasannya, yaitu 597.645 ha (43,84%). Erosi semakin besar dengan makin curamnya lereng (Arsyad, 2000).

Ketersediaan oksigen ditentukan oleh drainase (Ritung et al., 2012). Keadaan tanah daerah bawahan (lowland) umumnya sering tergenang (jenuh air). Bahan induk tanahnya berasal dari aluvium dan organik, serta karakteristik tanahnya banyak dipengaruhi oleh air.Tanah-tanah yang berkembang dari bahan aluvium (lumpur, pasir, dan kerikil), ditemukan di sekitar S. Tor, S. Bier, S. Biri dan anak-anak sungainya, dengan relief agak datar sampai datar (lereng <3%). Kondisi topografi demikian menyebabkan air banyak tertahan/tergenang dan menyebabkan proses reduksi lebih dominan, sehingga rejim kelembaban tanah yang terbentuk bersifat aquik. Tanah mempunyai drainase agak terhambat sampai sangat terhambat, penampang tanah dicirikan oleh warna kelabu dan terdapat karatan (mottles). Ramadhan et al., 2015) menyatakan bahwa kerusakan yang dialami oleh tanaman akibat lahan tergenang yakni menurunkan pertukaran gas antara tanah dan udara yang mengakibatkan menurunnya ketersediaan oksigen bagi akar, menghambat pasokan oksigen bagi akar dan mikroorganisme. Lahan yang tergenang berpengaruh terhadap proses fisiologis pada tanaman antara lain respirasi, permeabilitas akar serta penyerapan air dan hara.

Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk kelompok tanaman pangan, media perakaran dengan tekstur agak kasar termasuk dalam kelas sesuai marginal (S3) dan tekstur kasar termasuk dalam kelas tidak sesuai (N) untuk budidaya padi gogo (Ritung, et al., 2012). Tanah yang bertekstur kasar (pasir) pada umumnya tanah entisols. Entisols merupakan tanah-tanah yang belum mempunyai perkembangan struktur dengan susunan horison AC atau AR dan bersolum tipis. Solum yang tipis kurang mendukung untuk pertumbuhan tanaman. Dari Gambar 2, tampak bahwa sebaran tanah entisols di Kabupaten Sarmi cukup luas antara lain di Distrik Bonggo, Bonggo Timur, Sarmi, Sarmi Timur, Sarmi Selatan, Pantai Timur, Pantai Barat, Pantai Timur Barat, Tor Atas dan Apawer Hulu.

Page 66: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

595

Air juga menjadi faktor pembatas dalam usahatani padi gogo. (Toha, 2000) menyatakan bahwa masalah umum yang dijumpai untuk peningkatan produktivitas padi gogo antara lain sumber air hanya tergantung dari curah hujan dan sebarannya seringkali tidak normal.

Kondisi kesuburan tanah di Kabupaten Sarmi tidak terlalu tinggi, akan tetapi padi gogo masih dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Sumarno dan Hidayat (2007) menyatakan bahwa tanaman padi gogo memiliki beberapa kelebihan antara lain mampu memanfaatkan hara yang tersedia dalam tanah dengan efisien dan toleran terhadap pH rendah. Toha (2007) menyatakan bahwa introduksi varietas unggul yang sesuai sebagai komponen model PTT padi gogo dapat meningkatkan hasil dan pendapatan petani pada agroekosistem lahan kering. Hasil padi gogo dengan penerapan PTT pada tahun pertama berkisar antara 3,88-4,69 t/ha. Komponen PTT yang digunakan antara lain penggunaan varietas unggul tahan hama penyakit, penambahan bahan organik tanah, pemupukan berimbang berdasarkan status kesuburan tanah dan efisiensi pemupukan dengan cara tanam jajar legowo, pemupukan dalam larikan dan waktu pemupukan yang tepat.

BPS Sarmi (2014) menyebutkan bahwa luas panen padi ladang di Kabupaten Sarmi adalah 103 ha dengan produksi 255 ton. Hasil pewilayahan komoditas pertanian menyatakan bahwa pengembangan padi gogo dapat dilakukan di lahan seluas seluas 143.494 ha. Terdapat potensi yang besar untuk budidaya padi gogo. Padi gogo dapat ditanam secara monokultur maupun tumpangsari dengan tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Tanaman pangan antara lain jagung, umbi-umbian, kedelai dan kacang tanah. Tanaman hortikultura antara lain pisang dan jeruk. Tanaman perkebunan antara lain kelapa sawit, karet dan kakao. Dewi et al. (2014) menyatakan bahwa pola tanam tumpangsari padi gogo dengan jagung manis tidak mempengaruhi hasil tanaman padi gogo. Kombinasi perlakuan varietas tanaman padi gogo dengan kacang tanah yang tepat memberikan peningkatan hasil dibandingkan monokulturnya (Hotnida dan Kartina, 2003). Potensi kacang tanah cukup besar dan produksi di Kabupaten Sarmi pada tahun 2013 sebesar 182 ton, tertinggi ketiga setelah padi gogo dan ubi jalar (BPS Sarmi, 2014).

Jeruk sebagai komoditas hortikultura dapat ditanam bersandingan dengan tanaman pangan. Beberapa varietas jeruk ditanam berdampingan dengan padi gogo dan kedelai. Jenis varietas yang ditanam adalah varietas dataran rendah yang sesuai dengan kondisi daerah yang ada. Tanaman-tanaman tersebut ditanam di sela-sela tanaman padi gogo (Balitjestro, 2016). Berdasarkan data pewilayahan komoditas pertanian, alternatif budidaya jeruk dapat dilakukan pada lahan seluas 71.207 ha. Berdasarkan BPS Sarmi (2014), produksi kedelai tahun 2013 sebesar 144 ton, berada pada urutan kelima diantara produksi tanaman pangan yang lain, dan hal ini masih dapat ditingkatkan lagi antara lain dengan ditanam secara tumpangsari bersama padi gogo.

Padi gogo juga dapat ditanam secara tumpangsari dengan kedelai dan ditanam diantara tanama kakao. Tanaman kakao sendiri di Kabupaten Sarmi menghasilkan produksi tertinggi kedua diantara komoditas perkebunan, sebesar 354,55 ton pada tahun 2013 (BPS Sarmi, 2014). Selain dengan kakao, padi gogo dapat ditanam dengan karet dan kelapa sawit. Pertanaman padi gogo sebagai tanaman tumpangsari perkebunan karet muda dapat diusahakan sampai tahun ketiga, sedangkan untuk perkebunan kelapa sawit sampai tahun keempat. Tanaman tumpangsari padi gogo dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar perkebunan/hutan karena petani mendapat hasil padi sebelum tanaman pokok menghasilkan. Penerapan pola tanam berbasis padi gogo yang intensif seperti tersebut dapat berfungsi sebagai tindakan konservasi tanah secara vegetatif (Anonim1, 2016).

Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa status kesuburan tanah di Kabupaten Sarmi adalah rendah-sedang. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman, maka penambahan unsur hara melalui pemupukan mutlak diperlukan. Tujuan pemupukan adalah meningkatkan pertumbuhan dan mutu hasil tanaman. Pemupukan diberikan pada saat tanaman menunjukkan sejumlah kebutuhan unsur hara agar diperoleh keefisienan yang maksimal (Anonim2, 2016). Pemupukan meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi gogo. Budidaya padi gogo pada dataran sedang memberikan hasil tertinggi untuk varietas Situ Bagendit, Situ Patenggang, Batutegi, BP720C-S-5-1-1-2 dan BP760F-2-2-1-1-PN masing-masing 3,18 t/ha, 3,45 t/ha, 3,82 t/ha, 4,10 t/ha dan 4,46 t/ha GKG (Pirngadi, et al., 2008).

Page 67: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

596

Upaya konservasi tanah dan air dilakukan untuk melindungi tanah dari degradasi lahan. Konservasi tanah sangat penting untuk mengatasi degradasi lahan yang merupakan salah satu dari empat ancaman utama terhadap pelaksanaan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan khususnya pada sektor pertanian dimana ketahanan pangan menjadi salah satu pilar utama (Adimihardja, 2008). Beberapa teknik konservasi tanah yang dapat diterapkan dalam upaya pemanenan air hujan dan aliran permukaan adalah pembuatan saluran peresapan, rorak, mulsa vertikal, embung dan sistem drainase (Subagyono et al., 2004).

Usaha pertanian padi gogo memiliki nilai positif dalam mendukung ketahanan pangan nasional karena musim panennya lebih awal, pada waktu cadangan beras di pasar sedang menipis. Upaya peningkatan produksi beras guna memperkuat ketahanan pangan nasional akan lebih berkesinambungan apabila dilakukan melalui program perluasan areal tanam padi gogo di lahan bukaan baru. Upaya peningkatan produksi beras nasional melalui perluasan areal tanam padi gogo dinilai lebih pasti, memihak rakyat miskin dan menciptakan lapangan kerja baru, serta memberikan tambahan produksi beras yang lebih berkelanjutan (Sumarno dan Hidayat, 2007). Padi gogo beradaptasi baik pada lahan kering yang baru dibuka dan memiliki toleransi yang baik terhadap tanah masam yang mengandung aluminium (Barbosa dan Yamada, 2002) dalam (Sumarno dan Hidayat, 2007).

KESIMPULAN

1. Pengembangan padi gogo dapat dilakukan di lahan kering seluas 86.677 ha (6,37 %), termasuk dalam zona IV dan III yang tersebar di beberapa distrik antara lain Bonggo, Sarmi, Sarmi Selatan, Sarmi Timur, Pantai Timur, Pantai Barat, Pantai Timur Barat, Apawer Hulu dan Tor Atas.

2. Kendala dalam pengembangan padi gogo antara lain bahaya erosi, ketersediaan oksigen, media perakaran, ketersediaan air, suhu udara dan retensi hara.

3. Budidaya padi gogo dapat dikombinasikan dengan tanaman pangan lainnya (jagung, umbi-umbian, kedelai dan kacang tanah), tanaman hortikultura (pisang dan jeruk) maupun tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet dan kakao). Peningkatan produktivitas lahan bisa dicapai dengan pemupukan dan usaha konservasi tanah dan air.

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, A. 2008. Teknologi dan Strategi Konservasi Tanah dalam Kerangka Revitalisasi Pertanian. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. 1 (2) : 105-120.

Anonim1. 2016. Padi Gogo sebagai Tanaman Tumpangsari Perkebunan. http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/2219/.Diakses pada tanggal 15 Mei 2016.

Anonim2. 2016. Teknik Budidaya Tanaman. http://fp.uns.ac.id/~hamasains/BAB%20VIIIdasgro.htm. Diakses pada tanggal 14 Mei 2016.

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Balitjestro.. 2016. Jeruk Diantara Padi.http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/jeruk-diantara-padi/. Diakses pada tanggal 15 Mei 2016.

BPS. 2014. Sarmi Dalam Angka. Sarmi.

BPTP Papua. 2014. Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agroekologi Skala 1:50.000 Kabupaten Sarmi-Provinsi Papua. Laporan. Jayapura.

Page 68: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

597

Dewi, S.S., R. Soelistyono dan A. Suryanto. 2014. Kajian Pola Tanam Tumpangsari Padi Gogo (Oryza sativa L.) dengan Jagung Manis (Zea mayssaccharata Sturt L.). Jurnal Produksi Tanaman. 2(2): 144.

Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hotnida dan S. Kartina. 2003. Kajian Pertumbuhan dan Hasil Tumpangsari Padi Gogo dengan Kacang Tanah. http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=23001.Diakses pada tanggal 14 Mei 2016.

Maulana, M. dan B. Rachman. 2011. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah-Beras Tahun 2010 : Efektivitas dan Implikasinya Terhadap Kualitas dan Pengadan oleh Dolog. http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART9-4c.pdf. Diakses pada tanggal 14 Mei 2016.

Pirngadi, K., H.M. Toha dan B. Nuryanto. 2008. Pengaruh Pemupukan N tehadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Gogo Dataran Sedang. http://www.litbang.pertanian.go.id/special/padi/bbpadi_2008_p2bn1_22.pdf.Diakses pada tanggal 14 Mei 2016.

Ramadhan, R.A., S. Avivi dan Slameto. Studi Pertumbuhan Tanaman Tebu Toleran Cekaman Air Berdasarkan Karakteristik Fisiologisnya. http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/71403/RIZKY%20ARIEZA%20RAMADHAN.pdf?sequence=1.Diakses pada tanggal 16 Mei 2016.

Ritung, S., K. Nugroho, A. Mulyani dan E. Suryani. 2012. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Subagyono, K., U. Haryati dan S.H. Tala’ohu. 2004. Teknologi Konservasi Air pada Pertanian Lahan Kering.http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/buku/buku%20lahan%20kering/07tek_konser_lahan_kering.pdf. Diakses pada tanggal 14 Mei 2016.

Sumarno dan J.R. Hidayat. 2007. Perluasan Areal Padi Gogo sebagai Pilihan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Buletin Iptek Tanaman Pangan. 2 (1) : 26-39.

Suryana, A., B. Rachman dan M.D. Hartono. 2014. Dinamika Kebijakan Harga Gabah dan Beras dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Pengantar Inovasi Pertanian. 7 (4) : 155.

Toha, H.M. 2000. Pengembangan Padi Gogo Mengatasi Rawan Pangan Wilayah Marginal.http://new.litbang.pertanian.go.id/buku/Lahan-Kering-Ketahan/BAB-III-4.pdf. Diakses pada tanggal 14 Mei 2016.

Toha, H.M. 2007. Peningkatan Produktivitas Padi Gogo Melalui Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu dengan Introduksi Varietas Unggul. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 26 (3) : 180.

Page 69: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

598

REHABILITASI LAHAN MARGINAL DALAM RANGKA MENINGKATKANPRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI AIR

Q. D. Ernawanto, dan T. Sudaryono *)

*) Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jl. Raya Karangploso Km.4 Malang, Tlp.(0341) 494052, Fax (0341) 471255

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Karakteristik lahan marginal dicirikan dengan tingkat kesuburannya sangat menurun sehingga cepat atau lambat akan menjadi tidak berfungsi sebagai unsur produksi pertanian dan tidak menguntungkan bagi petani; lahan tersebut kurang berfungsi sebagai penyalur tata air dan perlindungan alam sekitar; dan lapisan olahnya dangkal yang sulit sebagai tempat yang optimal untuk tumbuh tanaman. Rehabilitasi lahan marginal merupakan tindakan perpaduan teknologi di dalam batas-batas alam dari suatu areal untuk optimalisasi sumberdaya lahan, air, dan tanaman dalam rangka mencukupi kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan. Lahan marginal merupakan salah satu penyebab kemiskinan, oleh karena itu perlu segera diatasi agar produktivitasnya dapat ditingkatkan. Pengembangan agribisnis di lahan marginal tidaklah mudah, karena dihadapkan pada beberapa kendala dan permasalahan yang cukup kompleks, diantaranya : (a) potensi erosi relatif tinggi karena kondisi lereng umumnya curam, intensitas hujan cukup tinggi, tanah kurang terlindungi oleh vegetasi permanen; (b) tingkat kesuburan tanah rendah karena kurangnya usaha pengembalian bahan organik, lahan solumnya dangkal, dan praktek penggunaan pupuk kimia yang kurang sesuai; (c) resiko kegagalan panen atau kematian tanaman relatif tinggi karena ketidakpastian hujan atau pola hujan bervariasi, kekeringan pada musim kemarau dan erosi pada musim hujan, penguasaan teknologi pada umumnya masih bersifat subsisten; (d) keterbatasan modal para petani; dan (e) keterbatasan sarana dan prasarana wilayah. Pola pembangunan di daerah marginal memerlukan koordinasi yang mantap antar sektor, seperti sektor pertanian, kehutanan, dan prasarana wilayah. Pengembangan komoditas haruslah diseleraskan dengan kondisi biofisik lahan marginal, sosial ekonomi dan budaya setempat, serta potensi pasarnya.

Kata Kunci : Rehabilitasi lahan marginal, produktivitas.

PENDAHULUAN

Lahan di daerah tropis termasuk Indonesia, mudah mengalami degradasi. Degradasi tanah adalah hilang atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan tanah dan kehilangan atau kerusakan kemampuan (featur) tanah yang tidak dapat diganti. Menurut FAO (1993), degradasi tanah adalah proses penguraian yang menyebabkan menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung suatu kehidupan. Lahan-lahan tersebut apabila dibiarkan akan bertambah rusak, dan akhirnya menjadi kritis/marginal. Lahan marginal merupakan salah satu penyebab kemiskinan, oleh karena itu perlu segera diatasi agar produktivitasnya dapat ditingkatkan.

Lahan kering marginal yang terdegradasi sebagian besar tergolong jenis Ultisol dan Oxisol. Merehabilitasi lahan yang telah terdegradasi memerlukan input yang tidak sedikit untuk menyediakan pupuk organik dan pupuk anorganik (Abdulrachman dan Sutono, 1998). Rehabilitasi lahan marginal merupakan tindakan perpaduan teknologi di dalam batas-batas alam dari suatu areal untuk optimalisasi sumberdaya lahan, air, dan tanaman dalam rangka mencukupi kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan

Page 70: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

599

Pengelolaan lahan marginal melalui tindakan rehabilitasi bertujuan : (a) memanfaatkan tanah, air hujan, tumbuhan dan menangkap kelebihan air tanah, (b) mengembangkan usahatani konservasi yang berkelanjutan dan menstabilkan hasil produksi tanaman dan ternak, (c) menutup areal lahan yang tidak produktif/kosong yang efektif melalui penanaman tanaman hutan, perkebunan, buah-buahan, dan hijauan pakan ternak berdasarkan kelas kemampuan lahan, (d) meningkatkan pendapatan petani dengan usahatani terpadu dan ternak, serta memulihkan keseimbangan ekologi setempat.

Salah satu model untuk mendukung program utama pembangunan pertanian kedepan adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian, termasuk lahan marginal melalui perbaikan sistem usaha pertanian secara terpadu. Ide optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian di lahan marginal didasari oleh mulai menurunnya produktivitas lahan yang mengakibatkan daya saing hasilnya semakin rendah dan kesejahteraan keluarga petani relatif menurun.

PERMASALAHAN

Karakteristik kondisi lahan marginal dicirikan dengan kekritisan lahannya. Pengertian lahan kritis dibagi ke dalam beberapa kategori, yaitu a) ekonomis kritis, yaitu lahan yang kesuburannya sangat menurun sehingga cepat atau lambat akan menjadi tidak berfungsi sebagai unsur produksi pertanian dan tidak menguntungkan lagi bagi petani; b) aktual kritis, yaitu lahan yang tidak mampu lagi secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media penyalur tata air maupun sebagai media perlindungan alam lingkungan; c) hidrologis kritis, yaitu lahan yang kurang berfungsi sebagai penyalur tata air dan perlindungan alam sekitar; dan d) fisik teknis kritis, yaitu lahan yang lapisan olahnya tinggal batuan induk yang sulit sebagai tempat tumbuh tanaman/vegetasi (P3HTA, 1994). Pengembangan agribisnis di lahan marginal tidaklah mudah, karena dihadapkan pada beberapa kendala dan permasalahan yang cukup kompleks, diantaranya : a) Potensi erosi relatif tinggi karena kondisi lereng umumnya curam, intensitas hujan cukup tinggi, tanah kurang terlindungi oleh vegetasi permanen, b) Tingkat kesuburan tanah rendah karena kurangnya usaha pengembalian bahan organik, lahan solumnya dangkal, dan praktek penggunaan pupuk kimia yang kurang sesuai; c) Resiko kegagalan panen atau kematian tanaman relatif tinggi karena ketidakpastian hujan atau pola hujan bervariasi, kekeringan pada musim kemarau dan erosi pada musim hujan, penguasaan teknologi pada umumnya masih bersifat subsisten; d) Keterbatasan modal para petani, serta e) Keterbatasan sarana dan prasarana wilayah.

Kunci strategisnya adalah menemukan pola pengembangan yang sesuai, yakni melalui investasi di sub-sektor pertanian, perkebunan, hortikultura, dan peternakan melalui usaha swasta dan pertanian rakyat. Beberapa masalah yang harus dihadapi antara lain lemahnya kemampuan investasi, tantangan pasar seperti kualitas produk. Di lahan marginal dengan kesuburan lahan yang memadai, terjadi pergeseran pola pengembangan melalui diversifikasi tanaman pangan dengan hortikultura dan ternak, meskipun masih sering terjadi konflik terhadap kelestarian lingkungan. Di wilayah seperti itu, perusahaan swasta mulai masuk, misalnya dengan mengembangkan produksi jagung hibrida, sayuran, dan penggemukan sapi atau usaha ternak ayam. Masalah strategis yang sesungguhnya berkaitan dengan pola pengembangan pertanian lahan marginal di daerah padat penduduk dengan curah hujan yang terbatas. Pada umumnya daerah seperti itu merupakan prioritas bagi kegiatan penghijauan dan reboisasi oleh Departemen Kehutanan dengan tingkat produktivitas yang marginal, sehingga masyarakat tetap tidak bisa keluar dari kemiskinan dan kecenderungan semakin memburuk akibat semakin rusaknya ekosistem oleh tekanan penduduk. Proses erosi terus berlanjut, bahaya banjir, dan keberlanjutan ketersediaan air untuk keperluan masyarakat dan irigasi semakin terancam. Pola pembangunan di daerah kritis memerlukan koordinasi yang mantap antar sektor, seperti sektor pertanian, kehutanan, dan prasarana wilayah. Justru koordinasi inilah yang merupakan titik rawan, karena masing-masing sektor cenderung bekerja sendiri-sendiri, bahkan antar sub-sektor (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan),

Page 71: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

600

koordinasi tetap merupakan titik rawan, sehingga menghalangi terjadinya sinergisme antar sub-sektor dalam rangka pembangunan sistem pertanian industrial. Beberapa permasalahan mendasar yang berkaitan dengan program pengembangan lahan kering marginal selama ini diantaranya adalah : a. Ketidaksesuaian Pelaksanaan dengan Konsep Program pengelolaan lahan marginal bertujuan untuk memupuk keswadayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pemecahan masalah lahan marginal dan lingkungannya. Kegiatan teknis dan operasional disusun dari atas (top-down) oleh para perencana yang kurang memahami kondisi lapang. Akibatnya, proses membangun visi, misi dan semangat swadaya kelompok belum optimal dilaksanakan, pengelola sudah harus beranjak ke kegiatan teknis operasional sehingga terkesan usulan kegiatan dipaksakan dengan kondisi setempat. Hal ini mendorong tumbuhnya sikap ketergantungan dari anggota kelompok tani untuk mengharapkan bantuan, sehingga kurang sejalan dengan semangat kemandirian dan keswadayaan kelompok yang seharusnya dibangun. b. Kaum Perempuan Kurang Memperoleh Akses untuk Berpartisipasi dalam Pengelolaan

Lahan Kering Marginal Selama ini aktivitas di lahan marginal lebih dikenal sebagai wilayah kaum laki-laki, padahal didalamnya sarat dengan permasalahan yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari kaum perempuan, seperti pengelolaan lahan, panen, pengambilan air, mencari pakan ternak, dan lain-lain. Konstruksi budaya yang kuat masih menjadi penghalang bagi perempuan untuk berpartisipasi lebih optimal dalam kelompok pengelola lahan marginal. c. Belum Tersedia Dukungan Dana untuk Kegiatan Sosialisasi dan Pembentukan Kelembagaan Pengelola Kebutuhan dana awal yang perlu diakomodasikan sebetulnya adalah dana untuk kegiatan sosialisasi dan pembentukan kelompok pengelola lahan marginal, bukan dana untuk kegiatan fisik. Dana tersebut diperlukan ketika untuk pertama kalinya masyarakat dikumpulkan dan diajak untuk terlibat dalam pengelolaan lingkungannya. Para pemilik lahan yang berada di suatu hamparan, umumnya tidak mengelompok dalam satu pemukiman, tetapi menyebar di luar dusun bahkan di luar desanya. Ikatan sosial diantara pemilik lahan yang tergabung dalam satu kelompok tani pengelola lahan marginal harus lebih dahulu ditumbuhkan sebelum melangkah pada aktivitas fisik dan teknis. d. Tim Pendamping Untuk Kelompok Tani belum Secara Definitif Ditentukan pada Tingkat

Operasional di Lapangan Para petani yang tergabung dalam kelompok tani pengelola lahan marginal setelah selesai kegiatan proyek secara otomatis ditinggalkan oleh petugas teknis yang selama ini mendampingi mereka. Pada kelompok-kelompok yang sudah mantap dan mandiri aktivitas dapat tetap berjalan, namun untuk para petani yang kelompoknya belum mantap sampai saat ini belum jelas siapa yang bertanggung jawab untuk pendampingannya, sehingga aspek pembinaan kelompok tidak pernah disentuh. Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) ataupun Petugas Kehutanan Lapangan (PKL) lebih banyak melakukan pembinaan secara sektoral dan pendekatannya pada satu hamparan pemukiman bukan hamparan lahan. Walaupun dalam pedoman pengelolaan lahan marginal disebutkan bahwa fasilitasi di lapangan dilakukan oleh PPL dan PKL, akan tetapi dalam pelaksanaannya justru yang banyak berperan adalah “sukarelawan desa” yang umumnya terdiri dari individu-individu petani yang menonjol dalam kelompoknya. Oleh karena itu, program pendampingan kelompok tani akan lebih efektif dan berhasil apabila memanfaatkan “penyuluh swakarsa” dari petani-petani kunci (key farmers) setempat yang dilatih dan dibina secara khusus untuk berperan sebagai fasilitator secara permanen di lokasi binaan. Rehabilitasi Lahan Dan Konservasi Air Beberapa program pengentasan kemiskinan di lahan marginal selama ini telah banyak dilakukan oleh pemerintah dan umumnya ditempuh melalui pendekatan subsidi dan

Page 72: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

601

bantuan. Hasilnya menunjukkan bahwa tanpa persiapan yang matang mengenai kemampuan dan kapasitas kelompok petani, pendekatan tersebut ternyata kurang efektif dan berdampak pada menguatnya ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah. Berdasarkan pengalaman tersebut, maka strategi pendekatan yang ditempuh seyogyanya adalah: 1) partisipatif, 2) fleksibilitas, 3) perspektif gender, 4) keberlanjutan, dan 5) desentralisasi. Dalam pengembangan lahan marginal, pengelolaannya perlu dilakukan melalui pendekatan partisipatif dengan melibatkan masyarakat pengguna secara penuh baik laki-laki maupun perempuan, memotivasi munculnya inisiatif dan keswadayaan masyarakat dengan tidak selalu bergantung pada subsidi dan bantuan pemerintah. Pengelolaan lahan marginal secara swadaya kelompok lebih menjamin keberlanjutan. Perspektif gender akan menjamin tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dan dapat membuka akses kaum perempuan desa untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lahan marginal yang selama ini masih didominasi oleh laki-laki. Capacity building harus sudah dirintis mulai dari awal, berupa pembangunan pranata baru yang memupuk keswadayaan secara partisipatif, berwawasan gender, dan lebih menjamin keberlanjutan.

Prinsip-prinsip pengelolaan lahan marginal : a) memanfaatkan lahan sesuai dengan kapasitasnya; b) adanya tanaman penutup (cover crops) yang memadai selama musim hujan; c) menahan sebanyak mungkin air hujan pada tempat jatuhnya; d) mengalihkan kelebihan air hujan dengan kecepatan yang cukup aman dan menampung air tersebut pada kolam penampungan untuk kebutuhan mendatang di musim kemarau; e) menghindari pembuatan teras pada lahan yang solumnya dangkal untuk mencegah longsor/gully dan erosi tanah; f) memaksimalkan produktivitas per unit lahan, waktu dan per unit air; g) meningkatkan intensitas tanaman dan rasio pengolahan lahan melalui pola tanam tumpang sari atau pergiliran tanaman; h) menjamin biodiversitas ekosistem dengan memanfaatkan karagaman vegetasi dan hewan; i) memaksimalkan pendapatan petani dan menurunkan resiko kegagalan selama situasi cuaca menyimpang dari kebiasaan; j) meningkatkan fasilitas sarana dan prasarana yang berkaitan dengan transportasi, kelembagaan keuangan, pasar dan pemasaran.

Beberapa Langkah Upaya yang Dapat Dilakukan dalam Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Air : 1. Usahatani Koservasi

Usahatani konservasi merupakan salah satu konsep yang dapat diterapkan untuk mengantisipasi permasalahan tersebut di atas. Sukmana et al. (1990), menyatakan bahwa usahatani konservasi merupakan suatu bentuk pengusahaan pertanian yang mengkombinasikan teknik konservasi, baik mekanik maupun vegetatif dengan tujuan memaksimumkan tujuan rumah tangga petani dan kelestarian sumberdaya lahannya. Disamping untuk keberlanjutan produksi. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam usahatani konservasi adalah : (1) kemiringan lahan, (2) kedalaman tanah, (3) kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas), dan (4) sistem pertanaman atau pola usahatani.

Konservasi lahan merupakan tindakan untuk mencegah kerusakan dan mencegah erosi, memperbaiki lahan yang rusak serta menetapkan tindakan-tindakan yang diperlukan agar lahan dapat dipergunakan untuk waktu yang tidak terbatas atau berkalanjutan. Setiap perlakuan yang diberikan terhadap sebidang lahan akan mempengaruhi perilaku tata air daerah tersebut (Astuti dan Suryoatmojo, 2002). Kesadaran akan perlunya konservasi lahan sebenarnya sudah sejak lama dirasakan, akan tetapi selalu saja ada kesenjangan antara keinginan para pemilik lahan dengan pakar konservasi lahan karena biasanya adanya keterbatasan biaya dari para petani pemilik lahan untuk melaksanakan perlakuan-perlakuan yang diperlukan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya masih banyak mengikuti pendekatan lama. Pada pendepakatan lama konsentrasi kegiatan konservasi ada pada pembuatan bangunan-bangunan teras, saluran-saluran dan bangunan lainnya dan sering dilakukan dengan cara melarang orang bertanam di lahan miring. Pendekatan baru dalam kegiatan konservasi lahan adalah yang disebut land husbandrys yang diwujudkan dalam

Page 73: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

602

usahatani dengan pendekatan konservasi (Sabarnurdin, 2002). Selanjutnya dilkatakan bahwa, pendekatan baru ini memberikan peluang bagi digunakannya sistem agroforestry. Program-program pemberdayaan masyarakat lokal seperti pengembangan Hutan Industri Terpadu (HIT) melalui program Penanaman Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), pengembangan kebun produktif dengan Multi Purpose Tree Species (MPTS), yang dipadukan dengan pengembangan peternakan merupakan alternatif yang sesuai untuk wilayah lahan marginal. Model pengelolaan tanaman terpadu pola multistrata seperti wanatani (agroforestry) dalam bentuk kombinasi tanaman perkebunan (farm forestry), kombinasi tanaman kayu-kayuan dengan tanaman semusim (agrosilviculture) atau kombinasi antara tanaman semusim, kayu-kayuan/industri/buah-buahan dan hijauan pakan ternak (agrosilvopasture) dalam bentuk tiga strata. Disamping itu, model-model pengelolaan agroforestry yang sudah ada di masyarakat seperti model wanatani rotasi (rotation agroforestry), tanaman lorong (alley cropping), wanatani multi strata (multi storey agroforestry), kebun pekarangan (communal tree farming) dan kebun penggembalaan (silvipasture) perlu dioptimalkan dalam rangka peningkatan produktivitas lahan dan usahatani serta pendapatan petani.

Rehabilitasi lahan dengan penanaman Mucuna sp dan pemupukan P ternyata memberikan dampak positif terhadap perbaikan produktivitas lahan (Adiningsih dan Mulyadi, 1993). Penelitian yang telah berlangsung selama 3 tahun tersebut mampu meningkatkan produksi padi gogo, kedelaidan jagung. Tanaman Mucuna sp mempunyai toleransi yang baik terhadap kejenuhan Al yang tinggi (Hairiah, 1992) dan mampu bersaing dengan alang-alang dan meningkatkan populasi bakteri Azotobacter (Sudharto et al., 1992 dan 1993), serta dalam waktu singkat dapat memperbaiki sifat fisik, kimia tanah (Suwardjo et al, 1989).

2. Tata Ruang pada Sistem Usahatani Konservasi

Penentuan tata ruang tanaman pada sistem usaahatani konservasi dirancang dan diarahkan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya lahan. Kriteria yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penataan wilayah meliputi kemiringan lahan, kedalaman solum, erodibilitas tanah, prospek komoditas yang akan diusahakan. Pengaturan komposisi tanaman dilakukan berdasarkan kemiringan lahan (< 15 %, 15 – 30 %, 30 – 45 % dan > 45 %), solum, dan erodibilitas tanah, selengkapnya disajikan pada Tabel l.

Pada lahan dengan kemiringan < 15 %, proporsi tanaman semusim lebih besar daripada tanaman tahunan. Pada kemiringan lahan 15-30 % perbandingan tanaman semusim dan tahunan relatif berimbang, kemiringan lahan 30-45 % proporsi tanaman tahunan lebih besar daripada tanaman semusim, serta pada kemiringan lahan > 45 % seluruh bidang olah ditanami tanaman tahunan dikombinasikan dengan tanaman leguminosa (LTC dan LCC) untuk melindungi tanah dari erosi.

Pengaturan tanaman tahunan (hortikultura, perkebunan, kayu-kayuan), ditanam sejajar kontur dengan jarak lubang tanam dengan bibir teras + 1 meter, dengan jenis tanaman sama pada baris kontur, sedangkan pada pada baris kontur lainnya ditanam jenis tanaman tahunan yang lain. Letak tanaman pada baris satu dengan baris lainnya harus mempertimbangkan lebar kanopi tanaman sehingga tidak menutupi lahan dibawahnya, khususnya pada teras dengan bidang olah yang sempit.

Pengaturan jarak tanam untuk tanaman semusim sangat tergantung dari tingkat kemiringan bidang olah yang tersedia. Pengaturan baris tanaman dapat dimulai dari pangkal teras atau + 50 cm dari bibir teras.Tanaman penguat teras seperti rumput dan leguminosa penutup tanah yang berfungsi ganda sebagai tanaman konservasi dan juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau kayu bakar. Rumput-rumputan ditanam pada tampingan teras + 20 cm dari bibir teras, sedangkan tanaman leguminosa pohon ditanam pada bagian tampingan teras di bawah larikan rumput.

Page 74: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

603

Tabel 1. Penataan ruang pada sistem usahatani konservasi di lahan kering

Kemiringan Lahan

(%)

Kedalaman Tanah (Solum ) > 90 cm 90-40 cm < 40 cm Komposisi Tanaman

Erodibilitas Semusim (%)

Tahunan (%) Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi

<15 B B B B C C 75 25

15 – 30 B B B C C C 50 50 30 – 45 B C C C C D 25 75

> 45 D D D D D D 0 100 Keterangan : B = teras bangku dengan tampingan ditanami rumput + 75 % tanaman semusim + 25

tanaman tahunan + ternak C = teras gulud ditanami ditanami dengan rumput dan leguminosa pohon (LTC) + 25 %

tanaman semusim + 75 % tanaman tahunan + ternak D = Alley Cropping dengan tanaman LTC + leguminosa penutup tanah (LCC) + 100 %

tanaman tahunan + ternak Hasil pengkajian penerapan sistem usahatani konservasi di lahan kering yang

dilakukan di desa Sumberkembar, Blitar yang dilakukan selama 5 tahun (Tabel 2). Nampak bahwa penerapan sistem usahatani konservasi mampu menekan erosi dan meningkatkan pendapatan petani. Pendapatan petani cenderung meningkat setelah beberapa tahun, karena adanya kontribusi panenan dari tanaman tahunan dan ternak. 3. Pengembangan Usahatani Integrasi Tanaman-Ternak

Peningkatkan produktivitas di lhan marginal diperlukan rakitan teknologi pengelolaan terpadu spesifik lokasi, meliputi : (a) adanya varietas unggul spesifik lokasi yang dapat diterima oleh petani dan tidak berdampak negatif terhadap kelestarian alam (Suwito, 2001), (b) pemupukan rasional spesifik lokasi yang mengacu pada kandungan hara tanah yang mengacu pada kandungan hara tanah dan kebutuhan tanaman (Suyamto, 2002); (c) penambahan pupuk organik, karena semakin rendahnya bahan organik dalam tanah; dan (d) pengelolaan tanaman secara terpadu.

Untuk mencukupi kebutuhan pupuk organik di lahan marginal dan memberikan tambahan pendapatan petani, para petani dipacu mengusahakan ternak (sapi, kambing, domba) untuk memproduksi pupuk organik dengan biaya murah, melalui pengembangan sistem usahatani terpadu tanaman-ternak. Pada pengembangan ternak ruminansia (sapi, kambing, dan domba) masalah yang sering dihadapi para peternak di lahan marginal adalah yang berkaitan dengan ketersediaan sumber hijauan, khususnya selama musim kemarau. Tidak jarang untuk mencukupi pakan hijauan tersebut para peternak harus menjual ternak lainnya untuk biaya membeli hijauan. Kondisi yang lain adalah seringnya terjadi percekcokan/pertengkaran antar penduduk desa karena ternak-ternak yang digembalakan merusak tanaman tetangganya. Disamping itu, pencurian rumput dan daun-daun pohon selama musim kemarau meningkat dan sering terjadi di daerah sekitar areal perkebunan atau kehutanan, sehingga kehadiran ternak dirasakan mengganggu kelestarian lingkungan.

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 70% dari produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sedangkan faktor genetik hanya mempengaruhi sekitar 30% saja. Diantara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar yaitu sekitar 60%. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak itu tinggi, tetapi apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai. Di samping pengaruhnya yang besar terhadap produktivitas ternak, faktor pakan juga merupakan biaya produksi yang terbesar dalam usaha peternakan. Biaya pakan ini dapat mencapai 60-80% dari keseluruhan biaya produksi. Dengan demikian, memproduksi pakan bukan hanya dituntut dalam pencapaian aspek kualitas saja, tetapi yang lebih penting adalah memproduksi pakan yang ekonomis, murah dan terjangkau oleh kemampuan peternak (Siregar, 1994). Pemilihan Komotidas Spesifik Lokasi

Kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan komoditi spesifik yang sesuai

Page 75: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

604

untuk dikembangkan, yaitu: mempunyai resiko kecil, teknologi budidayanya relatif mudah dan memerlukan input rendah, berpeluang baik untuk dipasarkan, cocok ditumpangsarikan dengan tanaman pangan dan hortikultura, produk dihasilkan tahan lama agar dapat memberikan jangka waktu pemasaran yang panjang, serta cepat berproduksi, serta sesuai dengan minat dan keinginan petani.

Pemilihan tingkat kesesuaian komoditi secara agroekologi memerlukan 4 macam masukan, yaitu : karakteristik tanah, topografi, iklim, dan syarat tumbuh tanaman.

PENUTUP 1. Program rehabilitasi lahan marginal perlu diprioritaskan terlebih dahulu pada upaya

peningkatan produktivitas lahan dan konservasi air dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

2. Dalam upaya rehabilitasi lahan marginal, salah satu alternatif model yang dapat dikembangkan adalah sistem usahatani konservasi atau model pengembangan agribisnis terpadu tanaman-ternak berbasis usahatani konservasi.

3. Secara bertahap di wilayah lahan marginal perlu disiapkan pula kegiatan agroindustri hasil-hasil pertanian dan perkebunan untuk mengolah bahan baku menjadi produk perdagangan sebagai hasil utama, sedangkan produk samping atau limbahnya dapat dimanfaatkan untuk mendukung bahan baku pakan dan pemanfaatan untuk pupuk organik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, A. dan S. Sutono. 1998. Rehabilitasi lahan melalui pengelolaan bahan organik dan pemupukan. Dalam Agus F. et al. (Eds.) Alternatif dan Pendekatan Implementasi Teknologi Konservasi Tanah. Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Penelitian Pengelolaan DAS. Bogor, 27-28 Oktober 1998. Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanian.

Astuti, S dan H. Suryoatmojo. 2002. Pembangunan kawasan Gunung Kidul dengan konservasi lahan yang berwawasan lingkungan. Makalah dalam lokakarya pengembangan agribisnis berbasis sumberdaya lokal dalam mendukung pengembangan ekonomi kawasan selatan Jawa, Malang, 22 Oktober 2002. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur.

Chuzaemi. S. 2002. Arah dan sasaran penelitian nutrisi sapi potong di indonesia. makalah dalam workshop sapi potong, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Loka Penelitian Sapi Potong, Grati. Malang 11-12 April 2002.

Exsa International Co. Ldt. 1992. Studi Dampak Proyek Pertanian Lahan Kering dan konservasi Tanah. main Report. Bogor.

Hardianto R. 2002. Pengkajian pengembangan model pengelolaan tanaman tepadu pola multi strata lahan kering dataran rendah di kawasan selatan Jawa Timur. Makalah BPTP Jawa Timur .

P3HTA. 1994. Penelitian pengembangan usahatani konservasi di daerah aliran sungai bagian hulu. Proses Perencanaan dan Pelaksanaan. Proyek Penelitian Penyelematan Hutan Tanah dan Air (P3HTA), Badan Litbang Pertanian.

Ranuwidjaja. S. 2002. Perencanaan pembangunan wilayah secara terpadu kawasan selatan Jawa Timur. Makalah Seminar Pengembangan Wilayah Blitar Selatan Berbasis Sumberdaya Alam dan Masyarakat dalam Rangka Menunjang Pengembangan

Page 76: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

605

Kawasan Selatan Jawa Timur. Kerjasama antara Pemda Kabupaten Blitar dengan BPPT Jakarta.

Sabarnurdin, M. 2002. Agroforestry: strategi konservasi tanah produktif. Makalah dalam Seminar Kontribusi Olah Tanah Konservasi dalam Memperkokoh Ketahanan Pangan di Indonesia. Yogyakarta.

Sembiring, H., G. Kartono, N.L. Nurhida, R. Hardianto, A. Abdurachman dan S. Sukmana. 1990. Pengaruh pola usahatani konservasi terhadap laju erosi dan pendapatan petani. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Salatiga. p.112-125.

Siregar. S. B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Wahyono D. E. D. Pamungkas. M. A. Yusran, D. B. Wiyono. U. Umiyasih dan Aryogi, 2001. Kajian penggemukan domba ekor gemuk jantan muda melalui perbaikan skema pemberian pakan pada tingkat umur bakalan. Laporan Hasil Pengkajian BPTP Jawa Timur.

Wijaya D. 2002. Prioritas dan strategi baru pembangunan ekonomi jawa timur. buletin litbang dwi bulanan “Teropong” Nomor 02 Edisi Desember 2001-Januari 2002, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, Propinsi Jawa Timur, Surabaya.

Page 77: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

606

EFEKTIVITAS KULTUR CAMPURAN BAKTERI PENAMBAT N-BEBAS DAN PELARUT FOSFAT PADA TOMAT

Yudi Sastro1), Nofi A. Rokhmah2), Erna P. Astuti2), dan Susi Sutardi3)

1)Peneliti Madya, 2)Peneliti Pertama, dan 3) Calon Peneliti, Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Jakarta Jl. Raya Ragunan No. 30 Pasar Minggu Jakarta Selatan (12540), Telp (021) 78839949

Email : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pupuk hayati yang mengandung kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat pada tanaman tomat. Perlakuan penelitian terdiri atas pemupukan menggunakan campuran kultur penambat N-bebas dan pelarut fosfat (PKC), pupuk PKC disertai dengan NPK setengah takaran rekomendasi (PKC+NPK50), pupuk PKC disertai dengan NPK takaran rekomendasi (PKC+NPK 100) dan sebagai pembanding adalah perlakuan pemupukan menggunakan NPK takaran rekomendasi (NPK 100), serta pupuk hayati sejenis yang telah diperjual-belikan secara bebas di pasaran yang disertai NPK setengah takaran rekomendasi (PHS). Petak perlakuan diatur menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan 3 kali ulangan. Peubah pengamatan terdiri atas tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, serta jumlah danberat buah. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pengaruh pupuk kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat setara pupuk hayati pembanding sejenis, namun dengan lebih rendah dibandingkan pupuk NPK takaran rekomendasi. Efektivitas agronomis (RAE) pupuk PKC dan PKC+NPK50 masing-masing mencapai 76,8% dan 88,5%, sedangkan pupuk PKC+NPK 100 mencapai 121,5%. Kata kunci : efektivitas, penambat N-bebas, pelarut fosfat, tomat

PENDAHULUAN

Tomat merupakan salah satu jenis sayuran buah penting dan sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia.Buah tomat kaya senyawa likopen yang memiliki daya antioksidan tinggi dan mampu melawan radikal bebas akibat polusi dan radiasi sinar ultra violet (Khachick et al., 2002; Aghel et al., 2012). Menurut Etisna et al., ( 2013), hasil produksi tanaman tomat di Indonesia masih tergolong rendah, baik kualitas maupun kuantitasnya. Salah satu penyebab rendahnya produksi tomat tersebut adalah belum terpenuhinya kebutuhan unsur hara makro, khususnya nitrogen (N) dan fosfor (P).

Tanaman tomat memerlukan unsur N dan P dalam jumlah relatif tinggi. Fungsi unsur tersebut diantaranya adalah sebagai pembentuk protein, inti sel, lemak, serta karbohidrat, mendukung pertumbuhan perakaran, meningkatkan resistensi tanaman terhadap hama dan penyakit serta memperbaiki kualitas hasil tanaman (Subhan et al., 2009). Pada sebagian besar tanah pertanian di Indonesia, pemenuhan unsur N dan P umumnya dilakukan menggunakan pupuk kimia sintetik.Namun demikian, penggunaan pupuk kimia sintetik memiliki efisiensi yang rendah serta dapat menyebabkan peningkatan laju degradasi senyawa organik dan emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (Widawati et al,, 2012).

Salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemupukkan N dan P adalah melalui pemanfaatan pupuk hayati. Salah satu peran bakteri penambat N dan pelarut fosfat adalah dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara N dan P dalam tanah sebagaimana telah dilaporkan oleh Supriyadi et al., 2004; Son et al., 2006; Aditya et al.,

Page 78: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

607

2009).Beberapa hasil penelitian telah membuktikan pengaruh pupuk hayati yang mengandung penambat N-bebas danpelarut fosfat dalam meningkatkan produksi tanaman, diantaranya dilaporkan oleh Abbasniayzare et al., 2012; Umesha et al., 2014; Derkowska et al., 2015.

Penambat N-bebas mampu mengikat N2secara non simbiosis sehingga meningkatkan ketersediaan N dalam tanah, sedangkan pelarut fosfat dapat melarutkan fosfat anorganik dari bentuk yang tidak tersedia menjadi fosfat yang tersedia bagi tanaman (Ahmad et al., 2008; Khan et al., 2009; Surtiningsih dan Mariam, 2010; Antonius dan Agustiyani, 2011; Walpola dan Yoon, 2012; Mirza et al., 2014). Penelitian penggunaan kultur campuran antara penambat N-bebas dan pelarut fosfat telah banyak dipublikasikan. Namun demikian, hasil pengujian tersebut pada tanaman tomat belum dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efektivitas kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat dalam mendukung pertumbuhan dan hasil tomat pada skala lapang.

METODE PENELITIAN Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan meliputi pupuk hayati campuran penambat N-bebas dan pelaruf fosfat, benih tomat varietas Ratna (Panah Merah), pupuk NPK granular 15:15:15, pupuk hayati yang telah diperjual-belikan di pasaran, dan pupuk kandang ayam. Alat yang digunakan meliputi alat ukur tinggi tanaman, jangka sorong, serta timbangan. Pelaksanaan Percobaan

Percobaan terdiri atas lima perlakuan pemupukan yaitu campuran kultur penambat N-bebas dan pelarut fosfat tanpa pupuk NPK (PKC), kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat yang disertai dengan NPK setengah takaran rekomendasi (PKC+NPK50), kultur campuran mikroba dan pelarut fosfat yang disertai dengan NPK takaran rekomendasi (PKC+NPK 100) dan sebagai pembanding adalah perlakuan pemupukan menggunakan NPK takaran rekomendasi (NPK 100) serta pupuk hayati sejenis yang telah diperjual-belikan secara bebas di pasaran (PHS) (Tabel 1). Tabel 1. Deskripsi jenis perlakuan yang diujikan

No Notasi Perlakuan

1 PKC Campuran kultur penambat N-bebas dan pelarut fosfat

2 PKC + NPK 50 Campuran kultur penambat N-bebas dan pelarut fosfat + NPK 15:15:15, 150 kg/Ha

3 PKC + NPK 100 Campuran kultur penambat N-bebas dan pelarut fosfat + NPK 15:15:15, 300 kg/Ha

4 NPK 100 Pemupukan menggunakan NPK 15:15:15, 300 kg/Ha

5 PHS + NPK 50 Pupuk hayati sejenis yang telah diperjual-belikan secara bebas di pasaran + NPK 15:15:15, 150 kg/Ha

Masing-masing perlakuan ditempatkan pada 10 petak percobaan berukuran (p x l x t)

10x1x0,3 m dan diatur menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan tiga kali ulangan sehingga masing-masing perlakuan terdiri atas 10 petak ulangan.Benih tomat ditanam pada setiap lubang tanam dengan jarak tanam 40 x 60 cm.

Pemberian pupuk NPK (NPK 15:15:15) sesuai dengan takaran perlakuan dilakukan pada 0 dan 30 Hari Sesudah Tanam (HST), masing masing dibagi menjadi ½ takaran pemberian, dengan cara disebar merata pada permukaan petakan. Sementara itu, pemberian kultur campuran mikroba pada setiap petak percobaan dilakukan pada 10, 20, 30, dan 40 Hari Setelah Tanam (HST) dengan menyiramkan 10 liter kultur campuran mikroba per petak.

Page 79: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

608

Peubah pengamatan meliputi tinggi tanaman, jumlah dan ukuran daun, diameter batang, serta berat hasil panen. Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis Varian yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan masing-masing pada tingkat kepercayaan 95%. Penilaian keefektifan pupuk juga dilakukan berdasarkan nilai efektifitas agronomis relatif atau Relative Agronomic Effectiveness(RAE) terhadap pupuk standar(Bolan et al., 1990). Suatu pupuk dinyatakan efektif secara agronomis apabila memiliki nilai RAE lebih dari 100.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh kultur campuran bakteri penambat N-bebas dan pelarut fosfat (PKC) pada peubah tinggi tanaman tomat mulai terlihat sejak pengamatan pertama yakni pada 14 Hari Setelah Tanam (HST). Pengaruh pupuk PKC tersebut lebih tinggi dibandingkan pupuk hayati sejenisyang disertai NPK setengah takaran rekomendasi (PHS+NPK 50). Pengaruh pupuk PKC tersebut bahkan setara dengan NPK takaran rekomendasi. Demikian juga halnya dengan peubah jumlah daun tanaman. Sementara itu, peubah diameter batang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan yang diujikan(Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh kultur campuran bakteri penambat N-bebas dan pelarut fosfat terhadap

pertumbuhan tanaman tomat

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Daun Diameter Batang (mm)

14 HST 21 HST

28 HST 14 HST 21 HST 28 HST 14 HST 21 HST

28 HST

PKC 26,5b 39,5b 62,2c 7,9a 12,3b 19,1b 0,6a 0,7a 0,8a PKC + NPK 50 24,8a 37,1a 62,6c 8,7b 12,5b 20,4c 0,6a 0,7a 0,8a PKC + NPK 100 26,8b 36,1a 59,8a 7,8a 11,8a 17,2a 0,6a 0,7a 0,8a NPK 100 26,8b 38,3b 61,6b 7,8a 11,5a 18,4b 0,6a 0,7a 0,8a PHS + NPK 50 27,7b 36,8a 61,0b 7,5a 12,8b 19,1b 0,6a 0,7a 0,8a

Keterangan : Angka-angka sekolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%

Jumlah dan berat buah tomat pada perlakuan PKC nyata lebih sedikit dibandingkan perlakuan PKC yang disertai NPK setengah rekomendasi (PKC+NPK 50).Jumlah buah perluasan 100 m2 pada perlakuan PKC+NPK50 tersebut secara statistik tidak berbeda nyata dengan PHS+NPK50 dan NPK takaran rekomendasi (NPK 100). Jumlah buah dan berat buah terbanyak terdapat pada perlakuan PKC+NPK 100 yaitu sebanyak 10.590 buah/100m2 atau setara 288,44 kg/100m2.

Tabel 3. Pengaruh kultur campuran bakteri penambat N-bebas dan pelarut fosfat terhadap hasil panen tomat

Perlakuan Jumlah Buah (bh/100m2)

Berat Buah (kg/100m2)

Perkiraan Hasil (Kg/Ha)

PKC 8,004a 145,67a 14,567a

PKC + NPK 50 9,768b 182,93b 18,293b

PKC + NPK 100 10,590c 288,44c 28,844c

NPK 100 9,858b 219,77b 21,977b

PHS + NPK 50 9,084b 182,33b 18,233b Keterangan : Angka-angka sekolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%

Nilai efektivitas agronomis relatif (RAE) pupuk kultur campuran penambat N-bebas

dan pelarut fosfat hanya mencapai 76,8%, sedangkan pupuk PKCyang disertai NPK setengah takaran rekomendasi mencapai 88,5% dan 121,5% untuk perlakuan PKC+NPK 100 (Gambar

Page 80: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

609

1). Hal tersebut menunjukkan bahwa efektivitas agronomis relatif pupuk PKC tersebut lebih rendah dibandingkan pupuk standar (NPK takaran rekomendasi). Sementara itu, kombinasi PKC dan NPK takaran rekomendasi mampu meningkatkan efektivitas pupuk melebihi pupuk NPK rekomendasi. Apabila melihat dari hasil tersebut maka diduga pemberian PKC yang disertai dengan NPK 3/4 takaran rekomendasi akan sebanding dengan pupuk NPK rekomendasi. Artinya pemberian PKC akan mampu menggantikan 25% jumlah pupuk NPK pada tanaman tomat.

Gambar 1. Efektivitas agronomis relatif (RAE) pupuk kultur

campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat pada tanaman tomat

Berdasarkan hasil penelitian di atas, ditemukan tiga hal menarik. Pertama, pupuk

kultur campuran penambat N-bebas dan pelaruf fosfat yang diaplikasikan setara dengan pupuk pembanding sejenis yang telah dijual bebas di pasaran. Kedua, pupuk kultur campuran N-bebas dan pelarut fosfat secara tunggal tidak memberikan pengaruh cukup signifikan dibandingkan pupuk kimia NPK takaran rekomendasi. Ketiga, kombinasi pupuk penambat N-bebas dan pelarut fosfat dan NPK mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemupukkan pada tomat.

Kultur campuran bakteri penambat N-bebas dan pelarut fosfat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas beberapa strain. Strain-strain bakteri tersebut secara tunggal telah diuji dan dipilih sebagai penambat N-bebas ataupun sebagai pelarut fosfat yang memiliki kemampuan cukup baik dalam penyediaan N dan P untuk tanaman. Oleh sebab itu, kemampuan kultur campuran tersebut dalam mendukung penyediaan N dan P untuk tanaman sebanding dengan produk serupa yang telah dijual bebas di pasaran.

Rendahnya kemampuan kultur campuran tersebut apabila dibandingkan dengan perlakuan pupuk NPK takaran rekomendasi disebabkan belum seimbangnya antara kebutuhan tanaman terhadap penyediaan unsur hara yang difasilitasi oleh mikroba penambat N-bebas dan pelarut fosfat yang diaplikasikan. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa karakteristik kimia tanah cukup potensial untuk mendukung penyediaan hara untuk tanaman. Akan tetapi rendahnya unsur karbon (Tabel 4) kemungkinan besar menjadi penyebab utama tidak optimalnya kinerja kultur mikroba tersebut. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan peran unsur karbon terhadap kinerja mikroba fungsional, diantaranya Sastro et al., 2008; Steinbeiss et al., 2009; Abdullahi et al., 2013; Bowles et al., 2014; Lange at al., 2015; Merino et al., 2015.

Peningkatan efektivitas pupuk kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat pada saat dikombinasikan dengan pupuk NPK disebabkan adanya sinergisme antara bakteri dengan ketersediaan nitrogen, fosfat, dan kalium aktual akibat perlakuan pemupukan. Beberapa peneliti telah melaporkan keterkaitan kombinasi aplikasi mikroba dengan pupuk sintetik terhadap ketersediaan hara dan pertumbuhan tanaman, meliputi Abdelaziz et al., 2007; Yazdani et al., 2009; Javaid, 2010; Dinesh et al., 2012; Berger et al., 2013; Abbas et al., 2013; Haggag et al., 2015.

PKC

PKC+NPK 50

PKC+NPK100

Perlakuan

Nila

i

Page 81: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

610

Tabel 4. Karakteristik kimia tanah lahan penelitian

pH Bahan Organik (%) P2O5 K2O pH-H2O

pH-KCl

C N C/N P2O5-HCl 25%

(mg/100g)

P2O5-Bray-1 (ppm)

K2O-HCl 25%

(mg/100g)

K2O-Morga

n (ppm)

5,0 4,3 1,75

0,15

12 157 175,5 34 334

Nilai Tukar Kation (cmolc/kg)

KTK (cmolc

/kg)

KB (%) Al3+ (Cmolc/k

g)

H(cmolc/kg)

Ca Mg K Na 4,68

2,47 13,45

1,63

25,14 88 0,02 0,1

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. Kemampuan pupuk kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat dalam

mendukung pertumbuhan dan hasil tomat sebanding dengan pupuk hayati komersial sejenis.

2. Tingkat efektivitas pupuk kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat dalam mendukung pertumbuhan dan hasil tomat lebih rendah dibandingkan pupuk kimia NPK dosis rekomendasi.

3. Efektivitas kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat dalam mendukung pertumbuhan dan hasil tomat meningkat apabila dikombinasikan dengan pupuk kimia NPK sehingga mampu menggantikan hingga 25% takaran NPK dosis rekomendasi.

.

UCAPAN TERIMAKSIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Badan Litbang Pertanian atas pembiayaan penelitian, Kepala Balai Pengkajian Teknologi (BPTP) Jakarta atas izin dan fasilitasi sarana penelitian, serta petani kooperator Bapak Emod dan Tim Teknisi BPTP Jakarta, meliputi Muhamad Nur dan Winarto yang telah membantu mulai persiapan hingga pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Z., M.A.Zia, S. Ali, Z. Abbas, A. Waheed, A. Bahadur, T. Hameed, A. Iqbal, I. Muhammad, S. Roomi, M.Z. Ahmad and T. Sultan. 2013. Integrated effect of plant growth promoting rhizobacteria, phosphate solubilizing bacteria and chemical fertilizers on growth of maize. Intl J Agri Crop Sci. 6(13):913-921

Abbasniayzare, S.K., S. Sedaghathoor and M.N.P. Dahkaei. 2012. Effect of biofertilizer application on growth parameters of Spathiphyllum illusion. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 12 (5): 669-673.

Page 82: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

611

Abdelaziz, M., R. Pokluda, and M. Abdelwahab. 2007. Influence of compost, microorganisms and NPK fertilizer upon growth, chemical composition and essential oil production of Rosmarinus officinale. Not. Bot. Hort. Agrobot, 35(1):86-90.

Abdullahi, R., H.H. Sheriff, and S. Lihan. 2013. Combine effect of bio-fertilizer and poultry manure on growth, nutrients uptake and microbial population associated with sesame Sesamumindicum L) inNorth-eastern Nigeria. Journal of Environmental Science, Toxicology and Food Technology 5 (5): 60-65.

Aditya, B., A. Ghosh, and D. Chatopadyay. 2009. Co-Inoculation effects of nitrogen fixing and phosphate solubilizing microorganism on teak (Tectona grandis) and Indian redwood (Chukrasia tubalaris). Journal of Biological Science 1(1): 23-32.

Aghel, N., Z. Ramezani, and S. Amirfakhrian. 2011. Issolation and quantification of Lycopene from tomato cultivated in Dezfoul, Iran. Journal of Natural Pharmaceutical Products 6(1): 9-15.

Ahmad, F., I. Ahmad, and M.S. Khan. 2008. Screening of free-living rhizospheric bacteria for their multiple plant growth promoting activities. Microbiological Research 163: 173-181.

Antonius, S and Dwi Agustiyani. 2011. Effects of biofertilizer containing microbial of N-fixer, P solubilizer and plant growth factor producer on cabbage (Brassica Oleraceae Var. Capitata). Berk. Penel. Hayati 16 : 149–153.

Berger, L.R., N.P. Stamford, C.E.R.S. Santos, A.D.S. Freitas, L.O. Franco, and T.C.M. Stamford. 2013. Plant and soil characteristics affected by biofertilizers from rocks and organic matter inoculated with diazotrophic bacteria and fungi that produce chitosan. Journal of Soil Science and Plant Nutrition 13(3):592-603

Bolan, N. S., R.E. White, and M.J. Hedley. 1990. A review of the use of phosphate rocks as fertilizers for direct application in Australia and New-Zealand. Australian Journal of Experimental Agriculture 30(2): 297-313.

Bowles, T.M., V. Acosta-Martínez, F. Calderón, and L.E. Jackson. 2014. Soil enzyme activities, microbial communities, and carbon and nitrogen availability in organic agroecosystems across an intensively-managed agricultural landscape. Soil Biology & Biochemistry 68:252-262.

Derkowska, E. L.S.Paszt, P. Trzciński, M. Przybył, and K. Weszczak. 2015. Influence of biofertilizers on plant growth and rhizosphere microbiology. Acta Sci. Pol. Hortorum Cultus, 14(6): 83-96.

Dinesh, R., M. Anandaraj, A. Kumar, V. Srinivasan, Y.K. Bini, K.P. Subila, R. Aravind, and S. Hamza. 2013. Effects of plant growth-promoting Rhizobacteria and NPK fertilizers on biochemical and microbial properties of soils under ginger (Zingiber officinale) Cultivation. Agric. Res. 2(4):346–353

Etisna, A., Undang, Yaya Sunarya. 2013. Pengaruh Takaran Pupuk Kompos Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tomat (Lycopersicon esculentum Mill) VarietasPermata F1.

Haggag, L.F., M.F.M. Shahin, H.A. Mahdy, K.G. Amira, Atteya, and H.S.A. Hassan. 2015. Beneficial effect of NPK, pigeon manure tea and microbial fertilizers as soil application on growth of "Toffahi" and "Picual" olive seedlings. Journal of Agricultural Technology 11(7):1565-1582.

Page 83: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

612

Javaid. A. 2011. Effects of biofertilizers combined with different soil amendment on potted rice plant. Chilean Journal of Agricultural Research 71(1):157-163.

Khachik, F., L. Carvalho, P.S. Bernstein, G.J. Muir, D. Zhao, and N.B. Katz. 2002. Chemistry,distribution and metabolism of tomato carotenoids and their impact on human health. Exp. Biol. Med. 227: 845–851.

Khan, A.A., G. Jilani, M.S. Akhtar, S.M.S. Naqvi, and M. Rasheed. 2009. Phosphorus solubilizing bacteria: Occurrence, mechanisms and their role in crop production.J. Agric. Biol. Sci. 1 (1):48-58.

Lange, M., N. Eisenhauer, C.A. Sierra, H. Bessler, C. Engels, R.I. Griffiths, P.G.M. Va´zquez1, A.A. Malik, J. Roy, S. Scheu, S. Steinbeiss, B.C. Thomson, S.E. Trumbore, and G. Gleixner1. 2015. Plant diversity increases soil microbial activity and soil carbon storage. Nature Communication. DOI: 10.1038/ncomms7707.

Merino, C., P. Nannipieri, and F. Matus. 2015. Soil carbon controlled by plant, microorganism and mineralogy interactions. Journal of Soil Science and Plant Nutrition, 15 (2), 321-332

Mirza,B.S., C. Potisap, K. Nüsslein, B.J.M. Bohannan, J.L.M. Rodriguesa. 2014. Response of free-living nitrogen-fixing microorganisms to land use change in the Amazon rainforest.Applied and Environmental Microbiology 80 (1): 281–288.

Son, T.T.N., C.N. Diep and T.T.M. Giang. 2006. Effect of Bradyrhizobium and phosphate solubilizing bacteri application on soybean in rotational system in Mekong Delta. Omonrice 14: 48-57.

Steinbeiss, S., G. Gleixner, M. Antonietti. 2009. Effect of biochar amendment on soil carbon balance and soil microbial activity. Soil Biology & Biochemistry xxx:1–10.

Subhan, N. Nurtika, dan N. Gunadi. 2009. Respons tanaman tomat terhadap penggunaan pupuk majemuk NPK 15-15-15 pada tanah Latosol pada musim kemarau. Jurnal Hortikultura 19(1):40-48.

Supriyadi, Jauhari S, dan Yunita I. 2004. Pengaruh pengkayaan kompos sampah kota dengan bakteri penambat N-bebas, bakteri pelarut fosfat dan EM-4 terhadap laju dekomposisi dan kualitas pupuk. Sains Tanah 3(1) : 11-16.

Surtiningsing, T. dan S Mariam. 2010. Efektifitas campuran pupuk hayati dengan pupuk kimia pada pertumbuhan tanaman Selada Bokor (Lactuca sativa, L.) var.Crispa. Jurnal Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamVol 14:. 2 : 4–8.

Umesha, S., M. Srikantaiah, K.S. Prasanna, K.R. Sreeramulu, M. Divya, and R.N. Lakshmipathi. 2014. Comparative effect of organics and biofertilizers on growth and yield of maize (Zea mays. L). Current Agriculture Research Journal 2(1): 55-62.

Walpola, B.C. and M. Yoon. 2012. Prospectus of phosphate solubilizing microorganisms and phosphorus availability in agricultural soils: A review. African Journal of Microbiology Research 6(37): 6600-6605.

Widawati, S., Sudiana, Sukara, dan Muharam, 2012. Teknologi budidaya tanaman tomat melalui inverted gardening dan conventional gardening berbasis pemanfaatan bakteri indigenus. Jurnal Hortikultura22(3):224-232.

Page 84: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

613

Yazdani, M., M.A. Bahmanyar, H. Pirdashti, and M.A. Esmaili. 2009. Effect of phosphate solubilization microorganisms (PSM) and plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) on yield and yield components of corn (Zea mays L.).Engineering and Technology 49:90-92.

Page 85: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

614

IDENTIFIKASI SEBARAN TIMBAL (Pb) PADA LAHAN SAWAH DATARAN TINGGI DI KABUPATEN WONOSOBO DAN

SERAPANNYA PADA TANAMAN PADI

Dolty Mellyga (1), Sukarjo (2), Anik Hidayah (3), Prihasto Setyanto (4)

(1) Calon peneliti, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (2) Peneliti Muda, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian

(3) Peneliti Pertama, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (4) Peneliti Madya, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian

Jl. Jakenan-Jaken Km 5 Kotak Pos 5 - Pati 59182 Email : [email protected]

ABSTRAK

Timbal (Pb) secara alami terdapat di dalam kerak bumi dan tersebar di alam dalam jumlah kecil melalui proses alami termasuk letusan gunung berapi dan proses geokimia. Sumber-sumber timbal antara lain cat usang, debu, udara, air, makanan yang terkontaminasi dan bahan bakar bertimbal (SNI 7387:2009). Penelitian ini untuk mengetahui sebaran Pb pada tanah sawah di Kabupaten Wonosobo dan konsentrasi Pb pada tanaman padi (jerami dan beras). Metode pengambilan sampel menggunakan metode survey. Satuan peta dideliniasi dengan bantuan program ArcGIS berdasarkan kemiringan lahan. Terdapat 312 titik lokasi sampel namun hanya 13 sampel yang terdeteksi mengandung logam Pb. Unsur-unsur logam berat di dalam contoh tanah dan tanaman dapat ditetapkan dengan alat Spektrofotometri Serapan Atom setelah sebelumnya diekstrak melalui proses destruksi menggunakan asam campur yang terdiri dari HNO3, HClO4 dan H2SO4. Logam berat dari ekstrak jernih diukur langsung dengan menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom, menggunakan deret standar logam berat sebagai pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola sebaran Pb pada lahan sawah dataran tinggi Dieng terdistribusi normal dan menyebar. Konsentrasi Pb tanah terukur antara 9,32 ppm - 14,82 ppm, konsentrasi di jerami 0,18 ppm - 4,1 ppm, konsentrasi di beras 0,28 ppm - 1,32 ppm. Hanya ada 13 sampel yang terdeteksi Kata kunci : Pb, padi, tanah sawah, Wonosobo

PENDAHULUAN

Timbal memiliki lambang Pb dalam tabel periodik unsur kimia dengan nomor atom 82. Timbal mempunyai massa jenis atom 11,34 g/cm3 termasuk dalam kategori logam berat karena bermassa jenis atom lebih dari 6 gr/cm3. Timbal terdapat secara alami di dalam kerak bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah kecil melalui proses alami termasuk letusan gunung berapi dan proses geokimia. Pb merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5 ºC dan titik didih 1.740 ºC pada tekanan atmosfer. Sumber-sumber timbal antara lain cat usang, debu, udara, air, makanan, tanah yang terkontaminasi dan bahan bakar bertimbal (SNI 7387 : 2009). Sumber pencemaran timbal dari transportasi berasal dari bahan bakar yang dicampur timbal dengan tujuan untuk meningkatkan angka oktan. Sumber dari perairan Timbal (Pb) dan persenyawaannya dapat berada di dalam badan perairan secara alamiah dan sebagai dampak dari aktivitas manusia. Pb yang masuk ke dalam perairan sebagai dampak aktivitas kehidupan manusia diantaranya adalah air buangan dari pertambangan bijih timah hitam, buangan sisa industri baterai dan bahan bakar angkutan air. Secara alamiah, Pb dapat masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan

Page 86: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

615

bantuan air hujan (Puskak3aceh, 2014). Dalam makanan, timbal berasal dari kontaminasi kaleng makanan dan minuman dan solder yang bertimbal (Puskak3aceh, 2014). Pupuk fosfat dan pupuk organik mengandung logam berat. Logam berat yang terdapat dalam pupuk fosfat sebagai unsur ikutan (impurities). Hasil analisis berbagai pupuk fosfat, selain mengandung unsur utama P2O5 pupuk, juga mengandung unsur hara sekunder Ca, Mg, dan unsur mikro Fe, Mn, Cu, Zn, dan logam berat Cd, Cr, Pb, Cu, Hg dalam jumlah yang bervariasi yaitu Cd (0,1-170 ppm), Cr (66-245 ppm), Pb (40-2000 ppm), dan Cu (1-300 ppm) (Setyorini dalam Sukarjo, 2015) Anak yang terpapar Pb akan mengalami degradasi kecerdasan alias idiot. Pada orang dewasa Pb mengurangi kesuburan, bahkan menyebabkan kemandulan atau keguguran pada wanita hamil, kalaupun tidak keguguran, sel otak tidak bisa berkembang. Dampak Pb pada ibu hamil selain berpengaruh pada ibu juga pada embrio/ janin yang dikandungnya. Selain penyakit yang diderita ibu sangat menentukan kualitas janin dan bayi yang akan dilahirkan juga bahan kimia atau obat-obatan, misalnya keracunan Pb organik dapat meningkatkan angka keguguran, kelahiran mati atau kelahiran premature (Puskak3aceh, 2014). Senyawa-senyawa timbal organik relatif lebih mudah untuk diserap tubuh melalui selaput lendir atau melalui lapisan kulit bila dibandingkan dengan senyawa-senyawa timbal anorganik. Namun hal itu bukan berarti semua senyawa timbal dapat diserap oleh tubuh, melainkan hanya sekitar 5 – 10% dari jumlah timbal yang masuk melalui makanan dan atau sebesar 30% dari jumlah timbal yang terhirup yang akan diserap oleh tubuh. Dari jumlah yang terserap itu hanya 15% yang akan mengendap pada jaringan tubuh, dan sisanya akan turut terbuang bersama bahan sisa metabolisme seperti urin dan fese (Puskak3aceh, 2014). Deskripsi Wilayah DAS Serayu terletak dibagian selatan Jawa Tengah. Sungai Serayu dari hulu hingga hilir mempunyai luas 3.759 km2 dan secara geografis terletak pada koordinat 07o05‘ s.d. 07o4‘ LS dan 108o56‘ s.d. 110o05‘ BT. Adapun batas-batas wilayah DAS Serayu yaitu sebelah timur berbatasan dengan Rangkaian Gunung api Sumbing dan Gunung api Sindoro, sebelah utara berbatasan dengan Pegunungan Besar, pegunungan Rogojembangan, Gunungapi Slamet, sebelah selatan berbatasan dengan Pegunungan Serayu Selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Perbukitan yang melintang sepanjang perbatasan Banyumas dan Cilacap (Sukarjo, 2015).

Berdasarkan PP No. 42 Tahun 2008, Wilayah Sungai mengelola satu atau lebih DAS. Kali Serayu atau Sungai Serayu adalah salah satu sungai di Jawa Tengah. Membentang kurang lebih. 181 km, sungai ini melintasi lima kabupaten yakni Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, hingga bermuara di Samudra Hindia di wilayah Kabupaten Cilacap (Sukarjo, 2015). Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah yang terletak pada 70.43’.13” dan 70.04’.40” garis Lintang Selatan (LS) serta 1090.43’.19” dan 1100.04’.40” garis Bujur Timur (BT), dengan luas 98.468 ha (984,68 km2) atau 3,03 % luas Jawa Tengah. Kabupaten Wonosobo terbagi menjadi 15 kecamatan. Berada pada rentang 250 dpl – 2.250 dpl. Daerah dengan ketinggian 500–1.000 m dpl seluas 50,00% dari seluruh areal dan daerah dengan ketinggian > 1.000 m dpl seluas 16,67% dari seluruh wilayah, sehingga menjadikan ciri dataran tinggi sebagai wajah Kabupaten (NN, 2014). Wonosobo beriklim tropis dengan dua musim yaitu kemarau dan penghujan. Suhu udara rata-rata 24 – 30o C di siang hari, turun menjadi 20 o C pada malam hari. Pada bulan Juli – Agustus turun menjadi 12 – 15 o C pada malam hari dan 15 – 20 o C di siang hari. Rata-rata hari hujan adalah 196 hari, dengan curah hujan rata-rata 3.400 mm (NN, 2014).

Berdasarkan adanya indikasi logam berat dalam produk pertanian, maka diperlukan adanya penelitian di lahan-lahan sawah yang tercemar menurut tingkat pencemarannya. Umumnya lahan pertanian yang berada dekat dengan kawasan industri, kota padat penduduk, pertanian intensif berpeluang tercemar logam berat As, Pb, Cd, Cr, Cu, Mn, Zn, Fe, Ni dan residu pestisida. Limbah cair industri paling sering merusak lingkungan dengan indikator kematian ikan, keracunan pada manusia dan ternak, kematian plankton, akumulasi dalam daging ikan dan moluska. Dengan pertimbangan tersebut maka dilakukan penelitian

Page 87: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

616

ini untuk mengetahui sebaran Pb dalam tanah dan serapannya pada tanaman (jerami) dan beras di lahan sawah dataran tinggi Kabupaten Wonosobo.

(Sumber : http://kripik-jamur-dieng.blogspot.co.id/2012/08/peta-wisata-kabupaten-wonosobo.html)

Gambar 1. Peta Administrasi Kabupaten Wonosobo

METODE Metode pengambilan unit pengamatan digunakan metode survei. Pengumpulan data

primer dilakukan pada titik-titik sampel penelitian yang ditentukan secara gridpada satuan (unit) lahan sawah pada peta Rupa Bumi Indonesia. Satuan peta dideliniasi dengan bantuan program ArcGIS berdasarkan kemiringan lahan. Lahan datar (kemiringan <3%) satu titik sampling dapat mewakili luasan 50-100 hektar, dan lahan dengan kemiringan > 3% satu titik sampling mewakili luasan 50 hektar (Hazelton dan Murphy, 2007; Schoknecht et al., 2008). Pengambilan sampel tanah menggunakan alat bor tanah. Sampel tanah yang diambil pada lapisan olah pada kedalaman 20 cm. Ada 312 sampel yang diambil. Satu titik sampling terdiri dari 10-15 contoh individual (subcontoh), dengan jarak pengambilan tiap subcontoh 25-50 m di lapang.

Sampel tanah yang diambil kemudian dikeringanginkan, digiling kemudian disaring menggunakan saringan ukuran 0,2 mm. Unsur-unsur logam berat di dalam contoh tanah dapat ditetapkan dengan alat Spektrofotometri Serapan Atom setelah sebelumnya diekstrak dengan melalui proses destruksi menggunakan asam campur yang terdiri dari HNO3, HClO4 dan H2SO4.

Pereaksi yang perlu disiapkan adalah : (1) Asam Campur. Cara membuatnya campurkan 750 ml HNO3 pekat, 300 ml HClO4 pekat, 150 ml H2SO4 pekat didalam botol pereaksi. Aduk dengan perlahan-lahan sampai merata. (2) Standar Pokok 1000 ppm Pb (3) Larutan Standar 0 (HClO4 10%). Cara membuatnya pipet 10 ml HClO4 pekat (60%) ke dalam labu ukur 100 ml yang sudah berisi aquades. Aduk perlahan-lahan, encerkan dan impitkan sampai tanda garis dengan aquades. (4) Standar 100 ppm Pb. Cara membuatnya pipet 10 ml Standar Pokok Pb kedalam labu ukur 100 ml. Encerkan dengan larutan standar 0 hingga tepat 100 ml, lalu dikocok. (5) Deret Standar Pb (0.5; 1.0; 2.0; 5.0; 10.0; 20.0 ppm) cara membuatnya pipet 0.5; 1.0; 2.0; 5.0; 10.0; 20.0 ml standar Pb 100 ppm ke dalam labu ukur 100 ml, encerkan dengan larutan standar 0 hingga 100 ml, lalu dikocok.

Page 88: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

617

Setelah seluruh pereaksi yang diperlukan tersedia maka selanjutnya dilakukan destruksi. Langkah pertama menimbang 2.0 gram contoh tanah yang telah dihaluskan ke dalam labu Kjehdahl/ Digestion. Kemudian tambahkan 10 ml Asam Campur (dilakukan di dalam ruang asam). Destruksi dengan suhu rendah (± 100 ºC), kemudian naikkan suhu menjadi lebih tinggi. Pada saat uap kuning muncul, labu digestion digoyang-goyangkan perlahan. Setelah uap kuning habis, suhu dinaikkan menjadi ± 200 ºC. Destruksi diakhiri bila sudah keluar uap putih dan cairan dalam labu tersisa sekitar 0,5 ml. Dinginkan, kemudian cairan diencerkan, dibilas dan disaring dengan kertas saring Whatman No. 41 kedalam labu ukur 25 ml. Pembilasan dilakukan 4 x dan corong juga dibilas.Encerkan dengan aquades menjadi tepat 25 ml.Kocok dengan alat pengocok atau biarkan semalam agar tercipta larutan yang jernih. Setelah didapatkan larutan yang jernih maka dapat langsung dilakukan pengukuran menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom, menggunakan deret standar logam berat sebagai pembanding. Perhitungan

Kadar Logam Berat(ppm) = ppm kurva x fp Keterangan : ppm kurva = Kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar

deretstandar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko. fp = Faktor pengenceran (kalau ada)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Wonosobo memiliki luas 98.468 hektar (984,68 km2) atau 3,03%

(persen) dari luas Jawa Tengah dengan komposisi tata guna lahan terdiri atas tanah sawah mencakup 18.696,68 ha (18,99 %), tanah kering seluas 55.140,80 ha (55,99.%), hutan negara 18.909,72 ha (19.20.%), perkebunan negara/swasta 2.764,51 ha (2,80.%) dan lainnya seluas 2.968,07 ha (3,01.%) (wonosobokab.go.id, 2014) Tata guna lahan di Wonosobo peruntukan tanah sawah 18.696,68 ha, dari luas tanah sawah tersebut diambil sampel sebanyak 312 titik tersebar. Dari hasil analisa didapatkan 13 titik terdeteksi Pb. Data konsentrasi Pb dalam tanah sawah, jerami dan beras dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan hasil analisis statistik deskriptif sebaran Pb dalam tanah sawah dapat dilihat pada Tabel 2 dimana menunjukkan nilai kurtosis -0,71564 sedangkan nilai skewness 0,880716 dan nilai VMR 0,313933. Sedangkan analisis statistik beras dan jerami dapat dilihat pada Tabel 3. Ilustrasi konsentrasi Pb dalam beras yang melebihi ambang batas yang ditentukan dapat dilihat pada gambar 2. Tampak jelas bahwa semua beras yang terdeteksi mengandung Pb konsentrasinya jauh melebihi dari ambang batas yang ditentukan oleh BPOM (2009). Sebaran unsur Pb dalam tanah terdistribusi normal dengan pola sebaran menyebar dimana nilai skewness mendekati 1 dankurtosis mendekati 0. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi Pb memiliki rentang yang cukup lebar di tanah sawah dari konsentrasi rendah ke tinggi. Hal ini dimungkinkan karena adanya pencemaran (dari udara ataupun limbah) dan penggunaan pupuk.

Logam berat Cr, Cr, Cu, Ni, dan Pb menghambat mikroba perombak bahan organik dengan menekan pembebasan CO2; logam Cd dan Cu mempunyai daya hambat paling besar, sebaliknya logam Pb paling kecil (Alloway, 1995). Walaupun daya hambat Pb paling kecil namun tetap saja menghambat perombakan bahan organik. Dan Pb yang terakumulasi semakin banyak di tanah akan menyebabkan tanaman yang tumbuh menyerap Pb tersebut sehingga hasil produksi juga akan tercemar Pb. Hal ini dapat dilihat pada hasil pengukuran konsentrasi Pb pada beras. Karena terdapat Pb dalam tanah sehingga tumbuhan padi juga menyerap Pb tersebut hingga terakumulasi pada tumbuhan itu sendiri yang dapat dilihat pada pengukuran konsentrasi Pb pada jerami dan hasilnya yang berupa beras (dapat dilihat pada gambar 1).

Page 89: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

618

Tabel 1. KonsentrasiPbyang terdeteksi pada tanah sawah, jerami dan beras Kabupaten Wonosobo

No Titik Sampling (Desa, Kecamatan)

Beras (ppm)

Jerami (ppm)

Tanah (ppm)

1 Semayu, Selomerto 1,11 1,28 14,73 2 Sindupaten, Kertek 1,18 0,71 14,82 3 Gunungtawang, Selomerto 0,28 1,68 12,75 4 Wulungsari, Selomerto 0,89 1,74 10,08 5 Sumberdalem, Kertek 0,75 0,18 9,32 6 Bojosari, Kertek 1,20 0,24 11,25 7 Selomerto, Selomerto 1,05 0,95 10,50 8 Kalibeber, Mojotengah 0,63 1,11 10,72 9 Mojosari, Mojotengah 0,89 0,77 11,39

10 Sojokerto, Leksono 1,32 0,73 10,38 11 Jebengplampitan, Leksono 0,97 0,95 14,75 12 Wonosobo, Wonosobo 0,95 4,10 10,80 13 Kalikajar, Kalikajar 1,09 1,24 10,60

. Tabel 2. Hasil analisis statistik deskriptif unsur Pb dalam tanah di lahan sawahKabupaten

Wonosobo

Parameter Statistik Tanah (ppm)

Mean 11,69923

Standard Error 0,53151

Median 10,8

Standard Deviation 1,916387

Sample Variance 3,672541

Kurtosis -0,71564

Skewness 0,880716

Range 5,5

Minimum 9,32

Maximum 14,82

Count 13

VMR 0,313933 Hasil analisa konsentrasi Pb dalam beras sebesar 0,28 ppm hingga 1,41 ppm. Batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan yang ditetapkan oleh BPOM (2009) kadar Pb dalam beras belum disebutkan secara jelas, namun dapat dikategorikan dalam serealia dan produk serealia yaitu sebesar 0,3 ppm. Dengan demikian dari sampel yang terdeteksi Pb hanya ada 1 sampel yang masih aman untuk dikonsumsi karena nilainya dibawah ambang batas yaitu beras yang diambil dari desa Gunungtawang kecamatan Selomerto dengan konsentrasi Pb sebesar 0,28 ppm, sedangkan 12 sampel lain yang terdeteksi Pb sudah melebihi dari batas aman konsumsi yang ditetapkan.

Secara keseluruhan sampel kadar Pb tertinggi berada di tanah dengan konsentrasi 9,32 ppm hingga 14,82 ppm. Hampir seluruh contoh tanah mengandung Pb yang tinggi hal ini diduga dikarenakan selain dari bahan batuan pembentuk tanah juga ada penambahan Pb dari udara dan air. Ketika hujan turun Pb yang ada di udara maupun di tanaman terlarut dan turun ke dalam tanah. Selain itu adanya penambahan pupuk dari kotoran hewan juga dapat menjadi penyumbang Pb dalam tanah. Sehingga Pb terakumulasi di dalam tanah. Nilai ambang batas tanah normal 2-300 mg/kg, kritis 100-400 mg/kg (Alloway, 1995)

Page 90: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

619

Gambar 2. Konsentrasi Pb pada beras

Tabel 3. Hasil analisis statistik deskriptif unsur Pbdalam beras dan jerami di lahan kabupaten Wonosobo

Parameter Statistik Beras (ppm) Jerami (ppm)

Mean 0,946923 1,206154

Standard Error 0,07622 0,273633

Median 0,97 0,95

Mode 0,89 0,95

Standard Deviation 0,274815 0,986598

Sample Variance 0,075523 0,973376

Range 1,04 3,92

Minimum 0,28 0,18

Maximum 1,32 4,1

Count 13 13

BMR 0,3* 20**

∑ sampel >BMR 12 0

∑ sampel <BMR 1 13 *BMR dalam BPOM, 2009 ** BMR dalam Alloway, 1995 Pb yang berada di batang berasal dari Pb yang terakumulasi di tanah yang terlarut dalam air kemudian terangkut ke atas seiring dengan proses fotosintesa tanaman terutama dalam pergerakan air. Konsentrasi terendah di batang 0,18 ppm dan tertinggi mencapai 4,1 ppm. Konsentrasi yang terukur di batang masih dalam nilai ambang batas yang diperbolehkan. Alloway, 1995 menyebutkan kandungan Pb yang diperbolehkan pada tanaman adalah 0,2 – 20 mg/kg.

KESIMPULAN

1. Konsentrasi Pb tanah pada lahan sawah di Kabupaten Wonosobo antara 9,32 ppm hingga 14,82 ppm dengan pola sebaran terdistribusi normal.

2. Serapan Pb pada tanaman padi antara 0,18 ppm hingga 4,1 ppm pada jerami dan 0,28 ppm hingga 1,32 ppm pada beras.

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Pb

(p

pm

)

Titik Sampel

Konsentrasi Pb pada Beras

Beras

Nilai Ambang Batas

Page 91: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

620

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fitra Purnarianto, A.Md. A.K. yang telah

membantu dalam pengukuran logam berat menggunakan AAS, dan Slamet Rianto yang telah membantu proses destruksi contoh tanah untuk analisis Pb.

DAFTAR PUSTAKA

Alloway, B.J. 1995. Heavy metals in soils. 2nd Ed. Blackie Academic & Professional, London.

Anonymous. 2007. Review of National Standard on Toxic Chemichal in Food Item. National Agency For Food and Drug.

Anonymous. 2014. http://www.wonosobokab.go.id/index.php/2014-02-01-04-40-52/selayang-pandang/geografis-kabupaten-wonosobo. Dimodifikasi terakhir Rabu, 10 April 2014 11:56

Anonymous. Tanpa tahun. http://kripik-jamur-dieng.blogspot.co.id/2012/08/peta-wisata-kabupaten-wonosobo.html

Balittanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Petunjuk Teknis. Edisi 2. Balai Penelitian Tanah. Bogor. ISBN: 978-602-8039-21-5

Puskak3aceh, 2014. https://artikelkesker.wordpress.com/2014/12/07/ makalah-timbal. Diunggah tanggal 7 Desember 2014.

SNI 7387:2009. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan. Badan Standardisasi Nasional.

Sukarjo, dkk. 2015. Laporan Akhir Penelitian Deliniasi Sebaran Residu Pestisida dan Logam Berat di Lahan Pertanian. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian.

Page 92: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

621

Pengaruh Pemberian Beberapa Amelioran terhadap Hasil Kedelai di Lahan Kering Masam

Andy Wijanarko1), Didik Harnowo1) dan Syafrial2)

1)Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi.

Jl. Raya Kendalpayak KM. 8 Malang Email : [email protected]

2) BPTP Jambi Jl.Samarinda Paal V Kotabaru 36128 Jambi

ABSTRAK

Tanah masam umumnya berkembang dari bahan induk tua dan mempunyai kendala kemasaman tanah yang berhubungan dengan pH tanah kurang dari 5,5 dan tingginya aluminium yang dapat ditukar (Al-dd) dalam tanah. Pemberian amelioran berupa dolomit atau zeolit dapat mengurangi keracunan Al dalam tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa amelioran terhadap hasil kedelai di lahan kering masam. Penelitian dilakukan di rumah kaca, menggunakan rancangan acak kelompok, tiga ulangan. Perlakuan pemberian dolomit didasarkan pada metode Halley (1992) dan kejenuhan Al mencapai 20%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dolomit secara nyata meningkatkan hasil kedelai. Pemberian dolomit dengan dosis 1400 kg/ha menghasilkan berat biji paling tinggi. Takaran dolomit akan turun menjadi 1000 kg/ha jika dilakukan penambahan pupuk kandang dengan takaran 1000 kg/ha. Penambahan pupuk kandang sebesar 1000 kg/ha meningkatkan efisiensi penggunaan dolomit.

Kata Kunci : Amelioran, kedelai, lahan kering masam.

PENDAHULUAN Areal lahan kering di Indonesia cukup luas, lebih dari 70 juta ha, sehingga

memberikan peluang yang sangat besar untuk perluasan tanaman palawija terutama kedelai dan jagung (Abdurachman, ed al., 1998). Ragam kesuburan lahan kering sangat besar mengacu kepada ragam topo-geografisnya. Lahan kering masam dengan ciri Ultisol dan Oxisol yang sebagian besar terdapat di pulau Sumatra, Kalimantan, dan Irian Jaya memiliki kendala produktivitas berupa kemasaman tinggi, Al-dd (Aluminium dapat ditukar) serta kadar senyawa besi (Fe) bebas sangat tinggi sehingga meracuni tanaman, kadar bahan organik rendah, kadar unsur hara secara umum rendah, derajat kejenuhan basa rendah, kapasitas tukar kation rendah, daya sangga tanah rendah, dan daya menahan air rendah. Taufiq et al.,(2004) melaporkan bahwa masalah utama di lahan kering Lampung Tengah dan Tulang Bawang untuk budidaya kedelai adalah pH rendah (< 5), kejenuhan Al tinggi (12,0 – 40,1 % di Lampung dan 18,4 – 47,6 % di Tulang Bawang), Fe tersedia tinggi (41,30 – 73,43 ppm), status P dan K tersedia rendah. Toleransi tanaman kedelai terhadap kejenuhan Al adalah 20 % (Hartatik et al., 1987).

Penggunaan kapur pertanian baik dalam bentuk CaCO3 maupun Dolomit dan bahan organik untuk meningkatkan produktivitas lahan masam telah lama dianjurkan dan dikerjakan (Kamprath, 1972; Mengel et al., 1987, Prasetya dan Suriadikarta, 2006, Sudaryono et al., 2011). Pengapuran akan efektif jika kejenuhan kemasaman (Al+H) > 10 % dan pH tanah < 5 (Wade et al., 1986). Penelitian perbaikan kondisi lahan kering masam di Lampung Utara menunjukkan bahwa pemberian kapur 1 t/ha dan pupuk kandang 5 t/ha meningkatkan hasil rata-rata sebesar 87%, dan di lahan kering masam Sitiung pemberian

Page 93: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

622

kapur 1,7 t/ha meningkatkan hasil rata-rata sebesar 267%. Efek residunya masih memberikan peningkatan hasil sebesar 80% di Lampung Utara dan sebesar 594% di Sitiung (Arsyad, 2000). Paket teknologi budidaya yang dianjurkan oleh Balitkabi (1999) dan Subandi (2007) untuk lahan kering masam Ultisol dengan komponen teknologi meliputi 1 t kapur pertanian +50 kg Urea + 75 kg SP-36 + 50 kg KCl /ha dapat mencapai hasil > 1,5 t biji kedelai/ha. Sudaryono (2003) melaporkan bahwa teknik budidaya kedelai di lahan masam dengan komponen teknologi 50 kg Urea+75 kg SP-36+75 kg KCl + 3000 kg Dolomit + 2000 kg pupuk kandang + PPC Gandasil D dan B 2 g/l dengan varietas Tanggamus dapat mencapai hasil 1,71 – 2,52 t/ha, sedang apabila memakai varietas Sibayak mencapai 1,30 – 2,02 t/ha. Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa pengapuran sangat penting untuk dilakukan dilahan kering masam. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui penentuan dosis kapur berdasarkan beberapa metode yang telah ada.

METODOLOGI Contoh tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah Ultisol dari Desa Sari Bakti 2, Kecamatan Seputih Banyak, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Penelitian di rumah kaca dilaksanakan tahun 2010 di Balitkabi, Malang. Reaksi tanah yang digunakan percobaan adalah agak masam (pH 5,15), C-organik : rendah (1,07%), P : rendah (4,28 ppm P2O5), N-total : rendah (0,05%), Al-dd : 2,17 me/100g, kejenuhan Al : 59%.

Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 6 ulangan. Perlakuan terdiri atas : 1. Penentuan kapur berdasarkan metode Halliday, 2. Kejenuhan Al, 3. 400 kg/ha (Sudaryono, 2005), 4. Zeolit 300 kg/ha (Sudaryono, 2005). Penetapan amelioran didasarkan pada dua konsep berikut ini :

1. Halliday (1992) menganjurkan penetapan amelioran menurut rumus : (70 – V1) x KTK Kebutuhan amelioran = ----------------------- x f x 1 t/ha 100 adapun : V1 = persen kejenuhan basa KTK = kapasitas tukar kation efektif F = reaktifitas amelioran (nilai umum 1,5) Berdasarkan rumus no 1 dengan kejenuhan basa 9,6% dan KTK efektif 1,7 me/100 g maka kebutuhan amelioran ideal adalah : 1,03 t/ha dan dibulatkan 1 t/ha.

2. Berdasarkan Kejenuhan Al (20%) Kebutuhan amelioran = (Aldd – Y.KTKef.) x 1,65 t dolomit/ha Adapun : Y = batas kritis toleransi kedelai terhadap Al (20%) KTKef = kapasitas tukar kation efektif ((Ca+K+Mg+Na+H+Al) 1,65 t/ha = kebutuhan dolomit ideal (equivalen 1 Aldd). Sudaryono et.al. (2005a) melaporkan bahwa pada tanah lapis atas (0-20 cm) di wilayah kecamatan Rumbia memiliki kadar Aldd rata-rata 1,16 me/100 g tanah, dan kation tertukar K, Ca, Mg dan Na berturut-turut sebesar 0,08, 1,09, 0,41, dan 0,12 me/100 g tanah. Menurut data ini maka kebutuhan amelioran dolomit yang ideal berdasarkan rumus kedua adalah 1,353 t/ha dan dibulatkan 1,4 t/ha.

3. Sudaryono et.al., (2005b) melaporkan bahwa : Kebutuhan dolomit optimal untuk tanaman kedelai adalah 300-450 kg/ha.

4. Kebutuhan Zeolit optimal = 150-300 kg/ha. Pengamatan dilakukan pada musim tanam ke 3 dengan parameter yang diamati

adalah tinggi tanaman fase berbunga, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, bobot 100 biji dan hasil biji per polibag.

Analisis statistik meliputi analisis ragam dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil pada taraf 5%.

Page 94: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

623

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis statistik tinggi tanaman pada umur 45 hst menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara pemberian pupuk kandang dengan amelioran. Pemberian pupuk kandang yang disertai dengan pemberian dolomit 1400 kg/ha atau zeolit 300 kg/ha memberikan tinggi tanaman yang terbaik (Tabel 1). Pemberian pupuk kandang mampu meningkatkan tinggi tanaman lebih baik dibandingkan dengan tanpa pupuk kandang. Sedangkan pada saat panen, pemberian pupuk kandang dan amelioran tidak memberikan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman (Tabel 2).

Tabel 1. Pengaruh amelioran tanah terhadap tinggi tanaman pada umur 45 hst, Rumah Kaca

2010. Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Rata-rata

Tanpa pukan Dengan pukan Dolomit (400 kg/ha) 36,2 f 40,1 bc 35,5 Dolomit (1000 kg/ha) 37,9 e 41,4 b 38,1 Dolomit (1400 kg/ha) 39,7 cd 43,9 a 39,7 Zeolit (300 kg/ha) 35,1 f 45,5 a 41,8 Kontrol 32,7 g 38,1 de 40,3 Rata-rata 36,3 41,8

Keterangan: angka sekolom yang didampingi huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata dengan uji BNT 5%. Dosis pupuk kandang; 1 t/ha, kk : 3,22%

Pemberian pupuk kandang dan amelioran memberikan pengaruh yang nyata terhadap

jumlah polong isi per tanaman. Jumlah polong isi terbanyak diperoleh dengan perlakuan tanpa pemberian pupuk kandang dan pemberian dolomit 1400 kg/ha, dan diikuti dengan perlakuan pemberian pupuk kandang yang disertai dengan pemberian dolomit 1000 kg/ha (Tabel 3). Peningkatan jumlah polong isi mencapai 266% bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan dolomit, untuk memperoleh hasil yang sama apabila tanpa pupuk kandang diperlukan dolomit sebesar 1400 kg/ha, akan tetapi bila menggunakan pupuk kandang makakebutuhan dolomit hanya 1000 kg/ha.

Tabel 2. Pengaruh amelioran tanah terhadap tinggi tanaman pada saat panen, Rumah Kaca

2010. Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Rata-rata

Tanpa pukan Dengan pukan Dolomit (400 kg/ha) 49,8 43,6 44,0 Dolomit (1000 kg/ha) 45,7 51,5 46,7 Dolomit (1400 kg/ha) 46,2 45,5 48,6 Zeolit (300 kg/ha) 46,3 50,0 45,8 Kontrol 41,7 46,3 48,2 Rata-rata 45,9 47,4

Keterangan: angka sekolom yang didampingi huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata dengan uji BNT 5%. Dosis pupuk kandang; 1 t/ha, kk : 8,94%

Penggunaan dolomit 400 kg/ha baik dengan pupuk kandang maupun tanpa pupuk

kandang belum mampu mendukung pertumbuhan tanamankedelai di lahan kering masam. Hal ini dicirikan dengan hasil yang masih relatif rendah. Sedangkan penggunaan zeolit mempunyai potensi untuk digunakan di lahan kering masam, dengan cara memperbesar dosis yang diaplikasikan.

Pemberian pupuk kandang meningkatkan jumlah polong isi per tanaman kecuali pada pemberian amelioran dolomit 1400 kg/ha, pemberian pupuk kandang menurunkan jumlah polong per tanaman (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dolomit dalam jumlah besar yang disertai dengan pemberian pupuk kandang memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan generatif tanaman. Hal ini mungkin karena dengan

Page 95: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

624

jumlah dolomit yang semakin tinggi maka kelarutan Ca juga akan semakin tinggi, sehingga tujuan semula pemberian bahan organik pada lahan masam untuk menetralkan Al melalui mekanisme pengkhelatan menjadi kurang efektif karena terjadi proses pengkhelatan dengan Ca. Meskipun Al mempunyai muatan 3 positif karena kelarutan Ca lebih banyak maka yang berlaku adalah hukum massa.

Pemberian pupuk kandang dan amelioran tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah polong hampa per tanaman. Akan tetapi ada kecenderungan jumlah polong hampa lebih tinggi pada pemberian pupuk kandang.

Tabel 3. Pengaruh amelioran tanah terhadap jumlah polong isi per tanaman, Rumah Kaca

2010. Perlakuan Jumlah polong isi Rata-rata

Tanpa pukan Dengan pukan Dolomit (400 kg/ha) 11,0 e 12,5 d 11,8 Dolomit (1000 kg/ha) 14,2 c 17,7 ab 19,9 Dolomit (1400 kg/ha) 18,3 a 13,7 cd 16,0 Zeolit (300 kg/ha) 14,2 c 16,5 b 15,4 Kontrol 5,0 g 7,2 f 6,1 Rata-rata 12,5 13,5

Keterangan: angka sekolom yang didampingi huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata dengan uji BNT 5%. Dosis pupuk kandang; 1 t/ha. kk : 8,86%

Pemberian pupuk kandang dan amelioran juga memberikan pengaruh yang nyata

terhadap berat biji per tanaman (Tabel 5). Pengaruhnya sama dengan yang terjadi pada jumlah polong isi. Berat biji tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian dolomit 1400 kg/ha, tanpa pupuk kandang atau dengan menggunakan pupuk kandang yang disertai dengan dolomit1000 kg/ha. Hasil ini juga menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang mampu meningkatkan efisiensi penggunaan dolomit. Pada hasil yang sama, apabila tanpa menggunakan pupuk kandang maka diperlukan dolomit sebesar 1400 kg/ha akan tetapi bila menggunakan pupuk kandang maka kebutuhan dolomit hanya 1000 kg/ha saja. Hasil percobaan Taufiq et al (2003) menunjukkan bahwa penambahan kapur dolomit setara ½ Al-dd disertai dengan pemupukan NPK meningkatkan produktivitas kedelai menjadi 2 hingga 4 kali. Jika disertai dengan pupuk kandang 2,5 t/ha maka dosis kapur dapat dikurangi menjadi setara ¼ x Al-dd. Tabel 4. Pengaruh amelioran tanah terhadap jumlah polong hampa per tanaman, Rumah

Kaca 2010. Perlakuan Jumlah polong hampa Rata-rata

Tanpa pukan Dengan pukan Dolomit (400 kg/ha) 0,8 1,3 0,9 Dolomit (1000 kg/ha) 0,8 1,3 1,1 Dolomit (1400 kg/ha) 0,7 1,5 1,1 Zeolit (300 kg/ha) 1,0 0,7 1,1 Kontrol 0,7 1,2 0,8 Rata-rata 0,8 1,2

Keterangan: angka sekolom yang didampingi huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata dengan uji BNT 5%. Dosis pupuk kandang; 1 t/ha. Kk : 37,52%

Page 96: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

625

Tabel 5. Pengaruh amelioran tanah terhadap berat biji per tanaman (g), Rumah Kaca 2010. Perlakuan Berat biji per tanaman (g) Rata-rata

Tanpa pukan Dengan pukan Dolomit (400 kg/ha) 5,23 e 7,17 d 6,20 Dolomit (1000 kg/ha) 7,07 d 12,20 a 9,64 Dolomit (1400 kg/ha) 11,87 a 10,33 b 11,10 Zeolit (300 kg/ha) 8,40 c 8,63 c 8,52 Kontrol 3,53 f 3,97 f 3,75 Rata-rata 7,27 8,41

Keterangan: angka sekolom yang didampingi huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata dengan uji BNT 5%. Dosis pupuk kandang; 1 t/ha. Kk : 8,19%.

Untuk kelestarian lahan kering masam maka teknologi ameliorasi yang tepat untuk

diterapkan adalah dengan menggunakan kombinasi antara pupuk kandang/bahan organik dengan dolomit/kapur (Budianta, 2001, Melati et al., 2008) . Penggunaan dolomit/kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah, selain dapat meningkatkan pH tanah, pengapuran juga dapat meningkatkan ketersediaan kalsium, fosfor, mengurangi keracunan Al serta meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) (Wahyudin, 2006). Telah banyak dilaporkan bahwa pengapuran dapat meningkatkan produksi tanaman kedelai. Tanggap tanaman kedelai terhadap pengapuran karena (a) dinetralkannya Al, (b) tersedianya Ca dan Mg yang cukup, (c) peningkatan ketersediaan Mo, (d) penurunan Mn yang larut, (e) ketersediaan P meningkat dan (f) peningkatan pH lingkungan yang sesuai untuk pembentukan bintil dan aktivitas Rhizobium japonicum. Penambahan kapur setara dengan 0,5 x Al-dd meningkatkan bobot kering biji kedelai dari 3,62 g menjadi 4,05 g/tanaman (Sitorus, 1972). Pengapuran sebanyak 1-2 x Al-dd pada tanah Podsolik Sitiung yang mempunyai pH 4,3, KTK 9,1 me/100 g dan kejenuhan Al 85,2% sudah mampu menurunkan kejenuhan Al hingga di bawah batas toleransi kedelai yaitu <20% (Hartatik dan Adiningsih, 1987).

Sedangkan penggunaan bahan organik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Ditinjau dari kesuburan tanah, pemberian bahan organik mempunyai manfaat ganda yaitu selain memperbaiki sifat fisik tanah, hasil pelapukan bahan organik juga merupakan sumber hara yang cukup potensial. Peranan bahan organik yang sangat dibutuhkan adalah untuk menambah unsur hara dan meningkatkan kapasitas tukar kation. Peningkatan kapasitas tukar kation ini dapat mengurangi kehilangan unsur hara yang ditambahkan melalui pemupukan, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan (Hairiah et al., 2000).

Perbaikan kesuburan lahan kering masam dapat dilakukan dengan tepat apabila terlebih dahulu dilakukan ameliorasi lahan,karena tanpa ameliorasi lahan terlebih dahulu maka pemupukan akan kurang efektif. Pemupukan pada lahan kering masam kurang efektif karena kelarutannya akan rendah yang disebabkan oleh rendahnya pH tanah dan tingginya Al atau Fe. Akan tetapi apabila sudah dilakukan ameliorasi dengan kapur, dolomit dan pupuk kandang maka pemupukan akan lebih efektif karena ameliorasi telah mampu menetralkan pH tanah serta menurunkan kelarutan Al atau Fe.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., K. Nugroho, dan A. S. Karama. 1998. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan untuk mendukung program Gema Palagung. Hal.: 1- 11. Dalam : Sudaryono, dkk. (Penyunting) 1998. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Tahun 1998.

Arsyad, D.M. 2000. Pengaruh residu perbaikan kondisi lahan masam terhadap kedelai.

Makalah Seminar Regional Ilmu Tanah, Univ. Jember 29 Juli 2000. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 1999. Paket Teknologi

Kedelai pada spesifik jenis tanah. Hal. : 49-66. Dalam : Sunarlim, N. dkk. (1999) Strategi Pengembangan Produksi Kedelai. Puslitbangtan Bogor.

Page 97: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

626

Budianta, D. 2001. Response of Soybean on the Application of Lime and Green Manure

Derived from Velvet Bean Planted in an Ultisol. J. Tanah Tropika 13: 1-9. Halliday, D.J. dan M.E.Trenkel, 1992. IFA World Fertilizer Use Manual. International Fertilizer

Industry association (IFA). Paris. Hartatik, W. dan J. S. Adiningsih. 1987. Pengaruh pengapuran dan pupuk hijau terhadap hasil

kedelai dan pada tanah Podsolik Sitiung di Rumah Kaca. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk. No. 7 : 1-4.

Kamprath, E.J. 1972. Exchangeable Al as a criterion for liming leached mineral soil. Soil Sci. and Amer. Proc. 34 : 252-254.

Melati, M., A. Asiah, dan D. Rianawati. 2008. Aplikasi pupuk organik dan residunya untuk

produksi kedelai panen muda Buletin Agron. 36 (3) : 204 -213. Mengel, D.B., W. Segars and G.W.Rehnm. 1987. Soil fertility and liming. P: 461-496. In J.R.

Wilcox (ed) Soybean, Improvement and Uses. Second Ed. ASA, Madison. Prasetyo, B.H. dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi, dan Teknologi Pengelolaan

Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. J. Litb. Pert.. 25(2): 39-46.

Subandi. 2007. Teknologi Produksi dan Strategi Pengembangan Kedelai pada Lahan Kering

Masam. Iptek Tanaman Pangan Vol. 2 (1): 12-24. Sudaryono, A. Wijanarko, Prihastuti, dan W. Tengkano. 2005a. Karakterisasi biofisik lokasi

PTT kedelai di lahan kering masam. Laporan Akhir Tahun ROPP C-1. Balitkabi. Sudaryono, Andy Wijanarko, dan Suyamto. 2011. Efektivitas Kombinasi Amelioran dan

Pupuk Kandang dalam Meningkatkan Hasil Kedelai pada Tanah Ultisol. Jurnal Penelitian Pertanian 30 (01) : 49 -57.

Taufiq , A, H. Kuntyastuti dan A.G. Mansuri. 2004. Pemupukan dan ameliorasi lahan kering

masam untuk peningkatan produktivitas kedelai. Lokakarya Pengembangan Kedelai Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu. BPTP Lampung. Hal. 21-40.

Wade, M.K., M. Al-Jabri dan M. Sudjadi. 1986. The effect of liming on soybean yield and soil

acidity parameters of three Red-Yellow Podsolic soils of west Sumatera. Pemberitaan Pen. Tanah dan Pupuk (6) : 1-8.

Wahyudin, U.M. 2006.Pengaruh pemberian kapur dan kompos sisa tanaman terhadap

aluminium dapat ditukar dan produksi tanaman kedelai pada tanah Vertic Hapludult dari Gajrug, Banten. Bul. Agron. 34:141-147.

Page 98: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

627

Evaluasi Kesesuaian Lahan Tanaman Kelapa Sawit di Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu

Hamdan1, Nurmegawati1, Yong Farmanta2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

email: [email protected]

ABSTRAK

Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang dominan di Kabupaten Mukomuko. Komoditas ini dikembangkan hampir diseluruh tipologi lahan dengan penerapan teknologi budidaya yang kurang tepat sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dan berproduksi dengan maksimal. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk kelapa sawit di Kabupaten Mukomuko. Metode yang digunakan metode survei dan analisis laboratorium untuk menyusun karakteristik lahan sebagai bahan penilaian kesesuai lahan. Hasil penelitian diperoleh pengelompokan grup landform dalam grup aluvial, marin, fluvio-marin, gambut, volkan, dan aneka. Hasil evaluasi kesesuaian lahan komoditas kelapa sawit Kabupaten Mukomuko termasuk cukup sesuai (S2) dengan faktor pembatas ketersediaan air, retensi hara, media perakaran, dan bahaya erosi. Sesuai marginal (S3) dengan faktor pembatas media perakaran, temperatur, dan bahaya erosi.

Kata kunci: karakteristik, lahan, evaluasi, kesesuai, mukomuko

PENDAHULUAN Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan

perekonomian Provinsi Bengkulu, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang cukup besar yaitu sekitar 24,00 % pada tahun 2011 dengan nilai Rp 7,73 triliun meskipun mengalami penurunan menjadi 23,30 % pada tahun 2014 namun nilainya naik menjadi Rp 10,54 triliun (BPS, 2015). Sektor pertanian juga merupakan sektor yang cukup kuat menghadapi goncangan ekonomi.

Salah satu sub sektor yang cukup besar potensinya adalah sub sektor perkebunan. Kontribusi sub sektor perkebunan dalam PDRB Provinsi Bengkulu tahun 2014 sekitar 4,76 atau Rp 2,15 triliun yang merupakan terbesar kedua setelah sub sektor tanaman pangan. Selain itu sub sektor ini merupakan penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga kerja, dan penghasil devisa.

Dari sisi penggunaan lahan, sub sektor perkebunan diusahakan pada lahan seluas 537.460 hektar atau 26,98% pada tahun 2014 yang dikelola oleh 380.619 kepala keluarga, meskipun secara keseluruhan memiliki tren pertumbuhan negatif sebesar 5,13% pertahun. Salah satu komoditas yang banyak diusahakan adalah kelapa sawit, terutama di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, dan Seluma.

Produktivitas kelapa sawit rakyat di Provinsi Bengkulu masih relatif rendah, yaitu 3,54 ton/ha/tahun (BPS, 2015). Menurut Anwar, et al., (2014), produktivitas kelapa sawit pada umur 3-8 tahun mencapai 12,66 ton/ha/tahun. Kondisi ini dipengaruhi oleh pengelolaan yang tidak sesuai dengan anjuran, baik dari sisi teknis budidaya, pengelolaan, dan kesesuian lahan.

Evaluasi kesesuaian lahan merupakan salah satu kunci keberhasilan pengembangan suatu komoditas. Rayes (2007), menyatakan bahwa pemanfaatan lahan yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman akan memberikan hasil yang optimum dan menjaga keberlanjutan pemanfaatan lahan. terkait dengan merancang pengelolan lahan. Kesesuaian lahan adalah

Page 99: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

628

kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu (Arsyad, 1989 dan Sitorus, 1985). Kelas kesesuaian lahan disusun dengan memperbandingkan (matching) antara karakteristik lahan/iklim pada masing-masing satuan peta dengan kriteria kesesuaian lahan (persyaratan tumbuh tanaman). Kelas kesesuaian lahan tersebut dibedakan menjadi tiga yaitu sesuai atau suitable (S), sesuai bersyarat atau conditionally suitable (CS), dan lahan yang tidak sesuai atau not suitable (N).

Pengembangan komoditas kelapa sawit perlu dilihat kesesuaian Lahannya disebabkan biaya investasi yang cukup tinggi dan periode produksi yang panjang. Kesesuaian lahan berkaitan dengan kualitas lahan dan syarat penggunaan lahan. Persyaratan penggunaan lahan mempunyai batas kisaran minimum, optimum, dan maksimum. Kualitas lahan yang optimum merupakan batasan bagi kelas kesesuaian lahan yang paling sesuai (S1). Sedangkan kualitas lahan yang di bawah optimum merupakan batasan kelas kesesuaian lahan antara kelas yang cukup sesuai (S2), dan atau sesuai marginal (S3). Di luar batasan tersebut lahan secara fisik tergolong tidak sesuai (N) (Djaenudin et al., 2003).

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelas kesesuaian lahan tanaman kelapa sawit di Kabupaten Mukomuko sebagai bahan acuan oleh para pengguna seperti petani, Pemerintah Daerah maupun pihak pengusaha dalam pengembangan kelapa sawit.

METODOLOGI Penelitian dilaksanakan di seluruh wilayah Kabupaten Mukomuko Provinsi

Bengkulu, pada bulan Maret-Oktober 2014. Bahan dan peralatan yang digunakan, antara lain: peta satuan lahan, peta geologi, peta penggunaan lahan, peta rupa bumi, peta kontur, GPS (Global Posisition System), munsell soil color chart, dan peralatan survei lainnya. Penelitian ini menggunakan metode survei dan analisis laboratorium. Kegiatan survei berupa karakterisasi dan identifikasi lahan, pengamatan tubuh tanah dengan membuat profil dan pengambilan contoh tanah untuk dianalisis di laboratorium. Kegiatan survei lapangan berdasarkan peta kerja skala 1 : 50.000 yang telah disiapkan sebelumnya, kemudian dilakukan pengecekan di lapangan (groundcheck) dan pengamatan faktor fisik lingkungan seperti lereng, vegetasi, penggunaan lahan, keadaan batuan di permukaan, dan genangan. Perbaikan delineasi satuan lahan dilakukan berdasarkan hasil temuan di lapangan. (Sunarminto, 2000; 2003; Soil Survey Division Staff, 2007).

Pengamatan tanah meliputi sifat-sifat morfologi, fisika tanah, kimia tanah dan sebarannya yang diperoleh dengan membuat profil tanah, serta pengambilan contoh tanah untuk di analisis di laboratorium. Metode pengamatan tubuh tanah mengikuti FAO (1978; 2006) dan klasifikasi tanah ditetapkan menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2006). Analisis sifat tanah antara lain meliputi penetapan tekstur tanah, pH, Corganik, N-total, P dan K-tersedia, KTK, Kejenuhan Basa, dan Al-dd. Hasil analisis digunakan untuk menentukan kualitas lahan dan karakteristik lahan. Analisis kelas kesesuaian lahan ditentukan dengan menggunakan Program Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan (SPKL versi 1).

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Sumberdaya Lahan

Hasil pendetilan delineasi unsur-unsur satuan tanah pada peta satuan lahan skala 1:250.000 Kabupaten Mukomuko diperoleh 6 grup utama landform, yaitu aluvial, marin, fluvio-marin, gambut, volkan dan grup aneka. Selanjutnya grup landform ini diturunkan menjadi 33 sub grup berdasarkan kelerengan dan bahan induk tanah. Data kualitas lahan atau karakteristik lahan tiap landform disajikan pada Tabel 1. Kesuburan tanah

Status kesuburan tanah yang dinilai adalah status kesuburan kimiawi berdasarkan hasil analisis contoh tanah dari laboratorium. Kesuburan tanah alami ditentukan oleh tingkat perkembangan tanah dan komposisi bahan pembentuk tanah. Tingkat perkembangan tanah

Page 100: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

629

diantaranya dicerminkan oleh nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB). Tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut mempunyai KTK dan KB yang rendah. Sebaliknya pada tanah-tanah muda atau belum mengalami perkembangan lanjut mempunyai KTK dan KB tinggi, sehingga tingkat kesuburan tanahnya relatif lebih tinggi. Tanah-tanah di Kabupaten Mukomuko yang berkembang dari bahan aluvial, gambut, sedimen, dan volkan mempunyai cadangan mineral relatif rendah. Penilaian status kesuburan tanah menunjukkan bahwa status kesuburan tanah di daerah penelitian umumnya tergolong rendah. Tabel 1. Kualitas Lahan dan Karakteristik Lahan di Lokasi Penelitian Kabupaten

Mukomuko No Kualitas Lahan/

Karakteristik Lahan

Nilai Data Aluvial Marin Fluvio-

marin Gambut Volkan

1. Rejim suhu rata (oC) Suhu rata-rata terendah Suhu rata-rata tertinggi

28,04 24,71 31,38

28,04 24,71 31,38

28,04 24,71 31,38

28,04 24,71 31,38

28,04 24,71 31,38

2. Kelembaban nisbi (%)

68,5 68,5 68,5 68,5 68,5

3. Curah hujan (mm/thn)

3.495 3.495 3.495 3.495 3.495

4. Media perakaran Drainase Tekstur Kedalaman tanah

Terhambat-

sangat terhambat

Liat

120

Baik-

terhambat

Liat berdebu

120

Terhambat

Liat

120

Terhambat

Gambut

150

Baik

Liat berdebu

120

5. Retensi hara KTK tanah (%) Kejenuhan basa pH tanah C-organik (%)

20,57 34,85 5,51 1,77

16,45 10,75 5,52 0,92

14,66 19,58 5,21 1,11

32,12 8,22 3,19 5,58

10,12 5,79 5,72 8,66

6. Ketersediaan hara N total (%) P2O5 tersedia (ppm) K2O dapat ditukar (me/100 gr)

3,13

76,99 29,64

2,18

18,50 7,94

44,37 15,25 22,40

1,77

21,08 13,64

1,05

27,55 20,08

7. Lereng (%) 0 - 15 0 - 15 0 - 3 0 - 1 3 - >40 Sumber: Data primer diolah (2014)

Persyaratan tanah untuk pertumbuhan kelapa sawit secara optimal sangat

ditentukan oleh kedalaman efektif tanah (solum tanah > 75 cm) dan berdrainase baik. Kelapa sawit dapat tumbuh pada lahan dengan tingkat kesuburan tanah yang bervariasi mulai dari lahan yang subur sampai lahan-lahan marginal. Hal ini dicirikan bahwa kelapa sawit dapat tumbuh pada lahan dengan pH masam sampai netral (>4,2-7,0) dan yang optimum pada pH 5,0-6,5. Kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, lereng dan bentuk wilayah berombak dan bergelombang tidak menjadi pembatas utama. Media perakaran yang optimal adalah lahan

Page 101: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

630

yang mempunyai tekstur halus (liat berpasir, liat, liat berdebu), agak halus (lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu), dan sedang (lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu), serta mempunyai kandungan bahan kasar tidak lebih dari 55% (Djaenudin et al., 2000).

Kelas Kesesuaian Lahan

Hasil penilaian terhadap satuan peta tanah (SPT) diperoleh 14 satuan yang merupakan lahan kelapa sawit, yaitu SPT 2, 5, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 18, 20, 21 dan 22. Kelas keseuaian lahan tanaman kelapa sawit cukup sesuai (S2) seluas 153.936 ha (36,15%) dengan faktor pembatas ketersediaan air, retensi hara, media perakaran, dan bahaya erosi. Sesuai marginal (S3) seluas 105.794 ha (24,85%) dengan faktor pembatas media perakaran, temperatur, dan bahaya erosi. Tidak sesuai (N) seluas 156,658 ha (36,79%).

Meskipun secara umum kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di Kabupaten Mukomuko, namun sebaiknya tetap mempertimbangkan peruntukan lahan untuk komoditas lainnya serta kondisi kemiringan lahan. Kelas kemiringan lereng memiliki hubungan dengan tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit. Berdasarkan kelas kemiringan lereng, tanaman dengan tahun tanam 2003 mempunyai produksi rata-rata TBS tertinggi pada kelas lereng B (8-15%) yaitu sebesar 12.54 ton/ha/thn. Produktivitas TBS menurun pada lereng yang lebih curam (15-25%), Sedangkan produksi rata-rata TBS terendah terdapat pada lereng yang lebih rendah yaitu kelas lereng A (0-8%) yaitu sebesar 9.98 ton/ha/thn. Hal ini disebabkan karena pada sebagian kelas lereng A (0-8%) terdapat faktor penghambat drainase yang buruk (Gandasasmita et al., 2009).

KESIMPULAN Karakteristik sumberdaya lahan Kabupaten Mukomuko dikelompokan dalam enam

grup landform, yaitu aluvial, marin, fluvio-marin, gambut, volkan, dan grup aneka. Tingkat kesuburan tanah berkisar antara rendah-agak rendah berdasarkan hasil analisis laboratorium. Hasil penilaian kesesuaian lahan menunjukkan kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) untuk komoditas kelapa sawit dengan luas masing-masing 153.936 ha dan 105.794 ha.Upaya perbaikan kelas kesesuaian lahan dapat dilakukan dengan perbaikan teknologi pengelolaan lahan dan air seperti pembuatan guludan, teras, tata air mikro, pemberian bahan amelioran berupa kapur dan bahan organik serta pemupukan berimbang dapat meningkatkan produksi

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Rusli Anwar, Santun R. P. Sitorus, Anas Miftah Fauzi, Widiatmaka, Machfud. 2014. Technical Culture and Productivity of Oil Palm in Several Plantations in East Kalimantan. International Journal of Latest Research in Science and Technology Volume 3, Issue 2: Page No19-24 ,March-April, 2014.

Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.

Djaenudin, D., M. Marwan, H. Subagyo, Anny Mulyani Dan N. Suharta. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah Dan Agroklimat, Bogor.

FAO. 1978. Guideline for Soil Profile Description. FAO/UNESCO, Rome

FAO. 2006. Guideline for Soil Description. FAO/UN, Rome

Page 102: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

631

Gandasasmita, K., B. Sumawinata, dan S. Nurmala. 2009. Hubungan Karakteristik Lahan Dengan Produktivitas Tbs (Studi Kasus pada PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor) . Jurnal Tanah dan Lingkungan,Vol. 11 No. 1, April 2009:21-31.

Mulyani, A., Agus, F., A. Abdurachman. 2003. Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit Di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit - Sapi

Rayes, L. 2007. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Sitorus, S.P . 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito. Bandung.

Soil Survei Staff. 2006. Keys to Soil Taxonomy. 9th ed. USDA Natural Resources Conservation Service. Washington DC.

Soil Survey Division Staff. 2007. Soil Survey Manual. United States Department of Agriculture. Hand Book No. 18.

Sunarminto, B.H. 2003. Konservasi Air Tanah dan Lingkungan Secara Terpadu di Kecamatan Cangkringan. Kabupaten Sleman. Laporan Research Grant KKN Tematik. DUE-Like Batch IV UGM.

Sunarminto, B.H., 2000. Transportasi Bahan Sedimen Oleh Agensia Air Darat. Jurnal tanah dan air, F. Pertanian UPN. Yogyakarta. ISSN 1411-5719. Hal 12-19 Vol I/I. Jun 2000.

Page 103: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

632

UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS USAHATANI PADI DI KABUPATEN BUNGO JAMBI

Bustami

Balai Pengkajian Teknologi pertanian (BPTP) Jambi. [email protected]

ABSTRAK

Pengembangan teknologi pertanian umumnya atau tanaman pangan khusus selalu mengalami perkembangan dalam upaya peningkatan produksi. Tanaman pangan yaitu padi, jagung dan kedelai adalah komoditas strategis, sehingga upaya-upaya yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas selalu dilaksanakan . Kabupaten Bungo merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai lahan persawahan yang potensial untuk pengembangan tanaman padi karena mempunyai irigasi tekhnis seluas 4000 ha. Telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatan produktivitas usaha tani padi 5 (lima) tahun terakhir (2011-2014) oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi di Kabupaten Bungo yaitu melalui kegiatan Primatani, SL-PTT dan perbenihan. Hasil kegiatan adalah Indek Pertanaman (IP) sebelum Primatani 100 meningkat menjadi 250 %, Varietas Unggul Baru (VUB) yang berkembang hingga tahun 2014 adalah Mekongga, Inpara 3 IR 42 Batang Piaman, Mira, Ciherang dan padi lokal setelah uji varietas adalah Mekongga, Inpari 12 dan Inpara 3, Penerapan system tanam jarwo 45 % diiringi dengan pemanfaatan pupuk kandang dapat peningkatkan produksi mencapai 2 - 2,5 ton/ha.

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian semakin mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan pertambahan penduduk dari tahun ketahun yang semakin meningkat, sehingga memerlukan kebutuhan pangan juga semakin meningkat, sebaliknya pengalihan fungsi lahandi Propinsi jambi pertahun semakin meningkat, Untuk meningkatkan produkstivitas pertanian diperlukan pengembangan teknologi agar buddaya padi semakin baik dan efisien.

Salah satu penyebab rendahnya produktivitas padi sawah di Propinsi jambi adalah adanya penggunaan varietas yang berulang, , sehingga tidak mampu lagi berproduksi lebih tinggi karena kemampuan genetiknya terbatas. Disamping itu benih padi yang unggul dan bermutu kurang tersedia di lokasi penanaman. Untuk mengatasi permasalahan ketersediaan benih varietas unggul baru (VUB) yang adaptif,perlu dibangun sistem perbenihan VUB padi, sehingga dapat menjamin ketersediaan VUB padi pada waktu yang tepat.

Varietas yang berkembangan di Kabupaten bungo hingga 2014 adalah, Ciherang, IR 42, Batang Piaman dan varietas local.Produktivitas varietas tersebut lebih rendah jika dibandingkan varietas baru. Untuk menggantikan varietas tersebut, diperlukan uji varietas dengan pertimbangan rasa nasi dan produktivitas. Untuk itulah perlu dilaksanakan uji varietas.

Potensi lain yang dapat meningkatkan produktivitas adalah sistem pengairan. Lahan sawah di kabupaten Bungo umumnya sudah mengunakan irigasi Tekhnis dan setengah teknis yang dapat meningkatkan indek pertanaman. Luasan pada masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 104: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

633

MATERI DAN METODE

Tulisan ini merupakan reviu dari pengkajian yang dilakukan BPTP Jambi di kabupaten Bungo dari tahun 2011 hingga 2014, yang bertujuan meningkatkan produktivitas usahatani padi, kegiatan tersebut adalah : (I). Primatani (2008-2012),(II). SL-PTT (2011-2013) dan (III). UPBS 2011-2013). Kegiatan BPTP jambi yang dilaksanakan di dua kecamatan yaitu kec.Tanah sepenggal dan Kecamatan Jujuhan Ilir. Tulisan ini merupakan rangkuman dari laporan pelaksanaan kegiatan dalam rangka upaya untuk meningkatkan produktivitas padi. Dua kecamatan tersebut mempunyai fasilitas irigasi teknis dan semi teknis, Kecamatan Jujuhan dan Jujuhan Ilir.Irigasi “Batang hari” yang berhulu di Propinsi Sumatera Barat dan kecamatan Tanah sepenggal dan Tanah tumbuh adalah “irigasi Batang Uleh” yang berhulu di Kabupaten Bungo.

Tabel 1.Luas sawah Kabupaten bungo.

No Kecamatan Luas sawah(ha) % 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14 15 16 17

Pelepat Pelepat Ilir Bathin II Babeko Rimbo Tengah Bungo Dani Pasar Ma.Bungo Bathin III Rantau Pandan Muko muko Bathin VII Bathin III Ulu Tanah Sepenggal Taanah sepenggal Lintas Tanah Tumbuh Limbur Lubuk Mengkuang Bathin II Pelayang Jujuhan Jujuhan Ilir

680 225

- -

375 -

322 585 681 595

1.974 1.075 1.366

- 530 805 527

6,92 2,29

0 0

3,82 0

3,28 5,95 6,93 6,06

19,99 10,94 13,90

0 5,39 8,19 5,36

Jumlah 9.823 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bungo 2013

Tujuan Tujuan Tulisa ini adalah memberikan informasi dari kegiatan-kegitan yang telah dilaksanakan BPTP jambi yang dapat meningkatkan produktivitas padi di Kabupaten Bungo. Baik secara teknis dankelembagaan kelompok tani.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Primatani Program Rintisan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi (Primatani) yang

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, pertanian berkelanjutan dan melestarikan lingkungan. Kegiatan primatani dimulai pada tahun 2007 hingga 2012 yang berlokasi di Desa Sari Mulya Kecamatan Jujuhan Ilir. Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah :

a. Pembinaan Kelembagaan.

Kelembagaan yang mendukung secara langsung terhadap Sistem Usaha Pertanian (SUP),adalah Gabungan kelompok tani ( Gapoktan),Kelompok tani, Persatuan Petani Pemakai Air (P3A).Kelembagaan adalah komunikasi antar anggota kelompok, Organisasi kelompok tani, terdiri dari Ketua Wakil ketua sekretaris, bendahara dan anggota

Page 105: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

634

Terbentuknya suatu kelompok tani di suatu desa tertentu tidak serta merta kebutuhan kelompok dan permasalahan anggota kelompok tani dapat terselesaikan dengan mudah. Kelompok tani sebagai institusi/lembaga yang membawahi langsung pelaku pertanian di berbagai sektor komoditas, harus selalu senantiasa dihidup-hidupkan, dihimpun, dibina, dikuatkan dan diberdayakan agar proses transformasi pengetahuan dan teknologi dapat dengan mudah dilakukan kepada anggota kelompok selain itu tentunya menjadi sarana anggota memecahkan permasalahan kelompok. Menurut (Dimyati 2007), Permasalahan yang melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di Indonesia adalah.

1. Masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen produksi dan manajemen pemasaran..

2. Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis karena masih terfokus pada kegiatan produksi.

3. Peran dan fungsi kelembagaanpetani sebagai wadah organisasi belum berjalan secara optimal.Untuk mengatasi masalah tersebut perlu upaya pengembangan pemberdayaan dan penguatan kelembagaansalah satunya adalah penguatan permodalan sehingga dapat meningkatkan posisi tawar petani. Kelembagaan yang ideal di pedesaan adalah koperasi atau kelompok tani, dimana

tujuan awal pembentukan dari koperasi/kelompok tani ini adalah untuk meningkatkan produksi pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Pemberdayaan petani dalam kelembagaan koperasi, merupakan suatu bentuk alternatif dari model pembangunan masyarakat pedesaan dapat meningkatkan kesejahteraannya, sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani/buruh tani. Koperasi dan Lembaga keuangan mikro (LKM) contohnya Bantuan PUAP, dalam hal ini memberikan jaminan keuntungan bagi anggota baik dari segi sosial dan ekonomi, selain itu yang utama adalah peningkatan posisi tawar petani dapat ditingkatkan sehingga mereka mempunyai kekuatan untuk menentukan harga produk pertaniannya. Program Kelembagaan Pertemuan rutin Ketua kelompok Tani dan anggota di klinik Teknologi .

Gotong royong. Pengadaan pupuk anorganik dan saprodi pendukung lainnya. Musim Tanam padi Serempak. Kesepakatan menggunaan pupuk organik dan anorganik Bantuan dari instansi Pemerintah. Penggunaan benih bermutu. Bimbingan teknologi dr instansi terkait (Pemda dan BPTP) Berbagai peran penyuluhmampu mengungkit kemandirian pangan, petani memerlukan

reformasi sistem penyuluhan pada belajar bersama dan pengambilan keputusan secara parsitipatif (Kurnia, 2014).

Manfaat Kelembagaan Usahatani. Kelembagaan adalah fakor yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas lahan mapun produktivitas petani, karena adanya kelembagaan komunikasi dengan pemerintah, prusahaan swasta maupun sesama petani terbina dan berlangsung secara alami, banyak manfaat yang telah diperoleh apabila dilakukan secara kelompok atau terorganisir, yaitu.

Kemudahan pelayanan informasi. Kemudahan mendapatkan fasilitas saprodi (Pupuk,obat-obatan).

Kemudahan pengelolaan bantuan modal (simpan pinjam) b. Pemanfaatan pupuk kandang Pemanfaatan pupuk kadang merupakan komponen yang penting pada usaha tani padi, karena dapat meningkatkan produksi 1-2 ton/ha, adapun cara pemberiannya adalah pupuk kadang yang sudah matang ditaburkan dilahan sawah secara merata, untuk memudahkannya penyebaran, dlakukan setelah olah lahan pertama dan sebelum olah lahan kedua, adapun tujuan pemberian pupuk kandang adalah untuk menambah hara lahan sawah dan mencegah keracunan besi ,sehingga produksi padi meningkat sebanyak 2 ton/ha . Hasil kegiatan dapat dilihat pada table 2.

Page 106: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

635

2. SL-PTT Kegiatan SL-PTT dilaksanakan pada tahun 2012 dan 2013 Di kec Tanah sepenggal

dan Kecamatan Jujuhan Ilir. Varietas yang diuji cobakan adalah Mekongga, inpari 10, Inpari 12, inpari 13, cimelati dan inpara 3. Tingkat adopsi teknologi melalui kegiatan SLPTT masih tergolong rendah. Namun, terdapat kecenderungan peningkatan penggunaan varietas unggul baru (VUB) padi. Penerapan beberapa komponen teknologi seperti penggunaan pupuk yang sesuai, pengurangan penggunaan pupuk urea, penggunaan pupuk organik, cara pemupukan, sistem tanam dan jarak tanam sudah mendekati anjuran dibandingkan sebelumnya. Meskipun demikian perbaikan penggunaan VUB padi oleh petani seperti penggunaan varietas Unggul Baru memperlihatkan kecenderungan peningkatan produktivitas.(Bulu.2012)

Tabel 2. Nama Kelompok tani di lokasi Primatani Sari Mulya

No Nama Kelompok Tani Jumlah Anggota Luas Sawah (Ha) 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

Panca Tunggal Setia Kawan Semoga Jaya Tunas Harapan Karya Tani Sarwo Aos Aguna Sari Karya Bersama Tani Makmur Danau Selampam

32 23 28 30 30 19 23 28 30 15

20 18 25 28 24 20 18 21 20 14

Sumber : Bustami (2011) Telah dilaksanakan ujivarietas di dua lokasi yaitu. . Bustami dkk(2010) melaporkan

Hasil uji Varietas unggul baru, produksi terbaik Sari Mulya adalah Mekongga yaitu 6,8 ton/ha. di desa Teluk pandak Kecamatan Tanah sepenggal dan desa Sari Mulya Kecamatan Jujuhan Ilir, dapat dilhata pada table 3. Tabel 3. Keragaan Introduksi teknologi yang berkembang higga saat ini (2014) No Uraian Teknologi Tanah Sepenggal Jujuhan ilir 1 2 3 4 5 6

Uji Varietas Pemupukan Introduksi Jarwo Pembinaan Poktan Bantuan Modal Intoduksi Varietas

Varietas Inpara 3 yang dipernalkan Th 2013 - Dikenalkan thn 2012 hingga saat ini 30 % Poktan Melati Pandak.2012 - Inpari 12 (2012) Inpara 3 (2013)

Varietas Mekongga diperkenalkan thn 2009 Thn 2008-2011. Pengembangan kompos berbahan jerami Dikenalkan 2009 hingga saat ini 80 % Gapoktan Sumber Tani 2008 Puap dan BPTP Mekongga (2009)

Sumber : Kompilasi Laporan Kegiatan Primatani dan SL-PTT tahun 2011 -2014

Page 107: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

636

Tabel 4. Keragaan usaha tani padi di dua kecamatan Uraian Kec Tanah Sepenggal Kec. Jujuhan Ilir Luas Lahan Etnis Varietas Intrduksi Varitasd existing Indek Pertanaman Pemupukan anorganik Pupuk kandang Pestisida Pengolahan lahan Produksi g Produksi Introduksi

1.974 Ha (30%) Petani Lokal Inpara 3,Inpari 12 dan Inpari 12 IR 42.Cisokan dan lokal 150% 50% 20 % 100 % Hand traktor 3 - 4 ton/ha 5,8 – 6,3 ton/ha

527 ha (5,36%) Petani local dan Jawa Mekongga, Batang piaman, Mira, IR 66,Cisokan dan Ciherang 250% 100 % 100 % 100 % Hand Traktor 4 - 4,5 ton/ha 6,1 – 6,8 ton/ha

Tabel 5. Deskripsi Inpari 12 dan IR 42

Uraian Inpari 12 IR42 Umur Tanaman Tinggi Tanaman Anakan Produktif Tekstur nasi Kadar amilosa Rata-rata Hasil Potensi Hasil Ketahanan Hama Penyakit Anjuran Tanam Dilepas tahun

99 hari 99 cm

18 batang Pera

26,4 % 6,2 t/ha 8,0 t/ha

Agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 1 dan 2,agak rentan biotipe 3.

Agak rentan terhadap hawar daun bakteri patotipe III,IV dan VIII.

Tahan terhadap Blass ras 033, agak tahan terhadap ras 133 dan 073.

Tahanterhadap tungro. Cocok ditanam di sawah

tadah hujan dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl 2010

135-145 hari 90-105 cm

20 – 25 batang Pera 27%

5,0 t/ha 7,0 t/ha.

Tahan wereng coklat biotipe 1 dan 2

Rentan wereng coklat

biotipe 3 Tahan terhadap hawar

daun bakteri, virus tungro dan kerdil

rumput Rentan terhadap hawar

pelepah daun Toleran terhadap tanah

masam Baik ditanam di lahan

sawah irigasi, pasang surut dan rawa

1980

Sumber: BB Padi 2012.

Dalam penentuan persepsi petani tentang Varietas inpari 12. Adalah melakukan wawancara terhadap petani yang melaksanakan introduksi dan petani disekitar lokasi kegiatan display VUB. Hasil wawancara menyatakan semua responden (100%) menyatakan akan menanam Varietas Inpari 12 pada musim tanam berikutnya. Alasannya adalah setelah melihat produksi lebih tinggi dan waktu pemeliharaan lebih singkat dan merasakan rasa nasinya pera. Rasa nasi 20 responden (66,67%) menyatakan IR 42 lebih enak. Namun demikian responden tetap memolih Inpari 12 untuk mengembangkannya karena produksi lebih tinggi dan waktu pemeliharaannya hanya 85 hari lebih pendek jika dibandingkan dengan IR 42 selama 120 hari.

Page 108: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

637

Dampak lain dari Primatani adalah meningkatkanya indek pertanaman (IP) dari 100 menjadi 200, hal merupakan tujuan dari Primatani yaitu mengoptimalisasi potensi yang ada dilapangan dengan mengintroduksikan teknologi tepat guna, Kasdi dan Ketut (2012) melaporkan. Pengembangan Primatani menyebabkan meningkatkan penggunaan lahan.

Tabel 2. Keragaan usaha tani padi lokasi penelitian.

Uraian Desa Aur Gading Desa Sari Mulya Varietas Kelas Benih Pemupukan anorganik Pupuk kandang Pestisida Pengolahan lahan Penggunaan dan Puap Produksi Pasca panen Menjual hasil panen Pertemuan Pemilikan lahan

Ciherang Label biru Ya 10% Tidak 100 % Tidak 90 % Hand traktor Ya 10% 2- 4 ton/ha Konsumsi - 3 bulan sekali 90 % Orang lain

Mekongga Labe Biru Ya 100 % Ya 100 % Ya 100 % Hand Traktor Ya 100% 5 – 7 ton/ha Konsumsi dan dijual Gapoktan dan pedagang lokal Satukali sebulan 100% Milik sendiri

Tabel 3. Dosis pupuk urea, SP-36, dan KCl untuk tanaman padi sawah di Jujuhan Ilir

berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS)thn 2009 dalam kg/ha Lokasi Urea SP-36 KCl

Sawah rawa 250 75 50 Sawah bukaan baru 250 100 50 Sawah lama tergenang terus 250 75 50 Sawah lama tidak tergenang 250 75 50

Sumber Bustami 2010.

2. Perbenihan Produktivitas usahatani padi sangat dipengaruhi oleh varietas dan benih yang adaptif dengan rasa nasi disukai oleh petani, upaya untuk persediaan benih berkualitas di tingkat petani sangat diperlukan. Beberapa upaya yang dilakukan oleh BPTP jambi di Kabupaten Bungo yaitu memperbyak benih Mekongga di desa Sari Mulya dan Inpara 3 di desa Teluk Pandak. Kedua varietas tersebut berkembang hingga saat ini, dan menyebar didesa- sekitarnyanya. Jumakir 2012. melaporkan Benih mekongga yang berasal dari Sari Mulya menyebar ke kecamatan Kota Baru Propinsi Sumatera Barat, desa Bukit sari dan desa lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

A.A.N.B.Kamandalu,Ni Putu Sutami,Sagung Aryawati dan Sri Wahyuni.2011.Peran Varietas Unggul Baru (VUB)Inpari Menunjang industri perbenihan padi sawah di kuat subak guama. Prosiding Ilmiah Hasil Penelitian padi Nasional 2010.Variabelitas dan perubahan ilkim, pengaruhnya terhadap kemandirian pangan Nasiona.Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi Inbrida padi sawah Irigasi (Inpari), Inbrida padi Gogo (Inpago), Inbrida padi Rawa (Inpara) dan Hibrida Padi (Hipa).2013

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Deskripsi Varietas Padi. Badan Penelitian

Page 109: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

638

BPS.2011. Bungo dalam Angka. Biro Pusat Statistik Kabupaten Bungo.

Burbey.2006. Pemberian Bahan Organik dan Pemupukan NPK pada padi Sawah.Prosiding Seminar Nasional Peternakan. 11 -12 September 2006. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Padang

Bustami, Adri da Eva Salvia. Introduksi dan Analisa usahatani Varietas Ungul Baru (VUB) padi Inpara 3 di Teluk Pandak Kabupaten bungo.Prosiding Seminar Nasional hari Pangan Sedunia ke 33. Optimalisasi Sumberdaya lokal melalui Diversifikasi pangan menuju kemandirian pangan dan perbakan gizi masyarakat menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.2014

Bustami. Suharyon,J.Hutagaol dan E. Wahyudi.2010. Laporan Akhir Primatani Kabupaten Bungo.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Jambi dan pengembangan pertanian. Kementerian Pertanian.

Didi Ardi Suriadikarta dan Wiwik hartalik. 2004. Teknologi pengelolaan hara lahan sawah bukaan baru dalam Tanah sawah dan pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.Bogor.

Dimyati.A.2007.Pembinaan petani dan kelembagaan petani.Balit Jeruk online.Balai Penelitian Jeruk dan buah subtropika Batu Jawa Timur.

Hasil Sembiring 2011.Kesiapan teknologi budidaya padi menanggualangi dampak perubahan iklim Global. Balai besar Tanaman padi. Prosiding Ilmiah Hasil Penelitian padi Nasional 2010.Variabelitas dan perubahan ilkim, pengaruhnya terhadap kemandirian pangan Nasiona. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Badan litbang Pertanian.2011.

Julistia, Jumakir dan H.Nugroho.2007.Pengelolaan Tanaman terpadu (PTT) padi sawah.Inovasi Teknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.

Jumakir, Rima Purmayani, Bustami dan Endrizal. Produktivitas dan Percepatan difusi Varietas padi Unggul Inpara 1 dan 3 di lahan pasang surut. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi. Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian.2012.

Kasdi Subagiono dan Ketut Kariyasa. Jurnal Pengkajian dan pengembangan Pertanian. Badan i Penelitian dan Pengembangan pertanian Volume 15 No.1 2012.

Kurnia Suci Indraningsih 2014. Peran penyuluhan dalam mendukung pertanian terpadu untuk mewujudkan kemandisrian pangan. Prosiding Seminar Nasional Ke 34. Pertanian Bioindustri berbasis pangan lokal potensial. Makasar 2014. IAARD Press.

Mulyadi Hendiawan 2011.Petunjuk Teknis Monitoring dan Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnia Pedesaan (PUAP) Kementerian Pertanian.

Onong Uchjana Effendy 2009. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek.Remaja Rosdakarya Bandung.

Rr.Ernawati.2010. Evaluasi Varietas Unggul Baru (VUB)pada pengkajianbudidaya beberapa Varietas padi sawah di Lampung Selatan. Prosiding Seminar NasionalHasil Penelitian padi 2009.Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Suparwoto, Abdul Kodir dan Waluyo. 2010.Peningkatan produksi padi melalui sistem tanam legowo di lahan rawa lebak propinsi sumatera selatan. Prosiding Seminar Nasional

Page 110: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

639

Hasil Penelitian padi.Inovasi teknologi untuk mempertahankan swasembada dan mendorong akspor beras.Balai Besa Penelitian Tanaman Padi Badanlitbang pertanian.

Syafrial dkk 2010.Laporan Akhir Kegiatan Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi.

Yohanes G. Bulu.2012. Penguatan Kelembagaan Perbenihan Padi Melalu Kerjasama Dalam Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (MP3MI) Berbasis Agribisnis Di NTB.Best Viewed onHak Cipta © 2011 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB Jl. Raya Peninjauan Narmada, Lombok Barat - NTB (83371), Indonesia

Page 111: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

640

Serangan Wereng Batang Cokelat di Provinsi Jambi dan Strategi Pengendaliannya

Araz Meilin1 dan Ngatmi2

1PenelitipadaBalaiPengkajianTeknologiPertanian Jambi Jl. Samarinda Paal Lima, Kotabaru, Jambi

Email: [email protected] 2POPT UPTD BPTPH Dinas Pertanian Provinsi Jambi

ABSTRAK Wereng Batang Cokelat (WBC) merupakan hama utama pada beberapa wilayah

pertanaman padi di Indonesia terutama di jalur pantura Pulau Jawa. Saat ini juga sudah mengancam beberapa pertanaman padi di Provinsi Jambi. Tulisan ini bertujuan untuk menginformasikan tingkat serangan wereng batang cokelat di Provinsi Jambi dan strategi pengendaliannya. Penelitian dilaksanan dengan cara desk study dan survei lapang. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Serangan Wereng Batang Cokelat pada awal tahun 2016 terjadi pada 3 (tiga) Kabupaten yaitu Tebo, Bungo dan tanjung Jabung Timur. Jumlah desa yang mengalami serangan WBC berturut-turut di Tebo, Bungo dan Tanjung Jabung Timur adalah 5, 3, dan 7 desa. Luas serangan tertinggi terjadi di Kabupaten Tebo yaitu 242 ha dan luas terancam 260,5 ha yang terjadi di Kecamatan Tebo Uu dan VII Koto. Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur luas serangan 52,5 ha dengan luas terancam 310,55 ha terjadi di Kecamatan Berbak dan Sabak Barat. Di kabupaten Bungo serangan paling sedikit yaitu 13,75 ha dan terancam 56,25 ha di Kecamatan Jujuhan Ilir, Pelepat dan Tasep Lintas. Intensitas serangan ada yang mencapai 100%, dan jumlah populasi WBC mencapai lebih dari 100 per rumpun. WBC ditemukan pada padi fase vegetatif dan generatif. Varietas yang diserang adalah Mekongga, Batang Piaman, Ciherang dan lokal. Serangan WBC telah mengakibatkan minimal 7 ha pertanaman padi menjadi puso. Strategi pengendalian yang direkomendasikan adalah penanaman padi serentak, penggunaan varietas tahan dan pergiliran varietas, pemasangan lampu perangkap, penyesuaian waktu persemaian, pengamatan populasi sedini mungkin, pengendalian dengan menuntaskan WBC generasi 1 (satu), dan penggunaan insektisida dengan cara bijaksana.

Kata Kunci: wereng batang cokelat, pengendalian WBC, puso

PENDAHULUAN Wereng batang cokelat merupakan hama global yang tersebar luas dan menyerang

pertanaman padi di wilayah Palaeartik, Oriental, dan Australian. Serangan hama ini merintangi peningkatan produksi padi karena wereng cokelat selalu ada setiap tahun, akibat tanam tidak serempak, terutama di daerah endemik yang sering terjadi ledakan (Baehaki dan Mejaya, 2014). Hama wereng cokelat di samping merusak langsung dengan mengisap cairan sel tanaman dengan alat mulut yang khusus untuk menusuk dan menghisap, juga sebagai vektor penularan penyakit virus kerdil hampa, virus kerdil rumput tipe I, virus kerdil rumput tipe II (Baehaki dan Mejaya, 2014).

Provinsi Jambi merupakan wilayah potensi tanaman pangan. Luas lahan sawah di Provinsi Jambi pada tahun 2014 seluas 151.544 hektar. Jika dilihat dari sistem irigasinya, 27,34 persen merupakan irigasi tadah hujan dan 27,39 persen irigasi pasang surut. Lahan sawah terluas di Provinsi Jambi terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (31.939 hektar) (BPS Provinsi Jambi, 2015). Wereng batang cokelat belum pernah dilaporkan sebagai hama utama di pertanaman padi Provinsi Jambi. Awal serangan wereng batang

Page 112: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

641

cokelat pernah dilaporkan terjadi di Desa Sari Muya, Jujuhan Kabupaten Bungo pada tahun 2012.

Usaha strategis pengendalian wereng cokelat yang dilakukan pemerintah Indonesia meliputi penelitian pembentukan varietas padi tahan wereng, program aksi tanam padi serempak berdasar triangle strategy, pemakaian lampu perangkap sebagai alat monitoring dan reduksi populasi hama dinilai sudah tepat (Baehaki dan Mejaya, 2014). Strategi pengendalian wereng cokelat di setiap negara berbeda, berdasarkan sosial-budaya petani padi, biotipe hama dan penyakit ikutan yang menyertai wereng cokelat. Tulisan ini bertujuan untuk menginformasikan tingkat serangan wereng batang cokelat di Provinsi Jambi pada awal tahun 2016 dan strategi pengendaliannya.

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan dengan cara desk study dan survei lapang. Data diperoleh

dari UPTD BPTPH Provinsi Jambi dan survei lapang serangan wereng Batang Cokelat di Kabupaten Bungo tahun 2012 dan Tebo tahun 2016. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Serangan Wereng Batang Cokelat pada awal tahun 2016 terjadi pada 3 (tiga)

Kabupaten yaitu Tebo, Bungo dan tanjung Jabung Timur. Jumlah desa yang mengalami serangan WBC berturut-turut di Tebo, Bungo dan Tanjung Jabung Timur adalah 5, 3, dan 7 desa. Luas serangan tertinggi terjadi di Kabupaten Tebo yaitu 242 ha dan luas terancam 260,5 ha yang terjadi di Kecamatan Tebo Uu dan VII Koto. Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur luas serangan 52,5 ha dengan luas terancam 310,55 ha terjadi di Kecamatan Berbak dan Sabak Barat. Di kabupaten Bungo serangan paling sedikit yaitu 13,75 ha dan terancam 56,25 ha di Kecamatan Jujuhan Ilir, Pelepat dan Tasep Lintas (Tabel 1).

Intensitas serangan WBC sangat tinggi pada ketiga kabupaten mencapai 99%, jumlah populasi WBC per rumpun padi pada serangan lanjut bisa mencapai lebih dari 100 individu WBC. Serangan WBC telah mengakibatkan 7 ha pertanaman padi menjadi puso. Umur tanaman yang diserang mulai dari tanaman umur vegetatif sampai generatif (36-130 HST/satu bulan sampai 4 bulan untuk padi lokal). Waktu serangan wereng mulai terdeteksi pada bulan Januari dan masih ditemukan pada bulan April 2016 pada 3 Kabupaten. Varietas tanaman padi yang diserang adalah Varietas Unggul Baru (VUB) Mekongga, VUB Ciherang, VUB Batang Piaman, padi lokal, dan Ciliwung (informasi petani) serta Campur Sari (informasi petani) (Tabel 1).

Page 113: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

642

Tabel 1. Sebaran dan Tingkat Serangan Wereng Batang Cokelat (WBC) Tahun 2016 di Provinsi Jambi

No. Keterangan Kabupaten Tebo Kabupaten Bungo

Kabupaten Tanjung Jabung Timur

1. Jumlah Kecamatan 2 3 2 2. Jumlah Desa 5 3 7 3. Luas serangan (Ha) 242 13,75 52,5 4. Luas Terancam (Ha) 260,5 56,25 310,55 5. Intensitas Serangan (%) 10 - 99 24 - 92,83 30 - 99 6. Jumlah Populasi WBC

(WBC per rumpun) 2 - >100 2 - 18 5 - 99

7. Umur Tanaman Terserang (HST)

36 - 76 40 - 86 55 - 130

8. Varietas yang diserang

Batang Piaman, Ciherang, Lokal

Mekongga, Lokal, Ciliwung

Mekongga, Lokal, Campur Sari

9. Waktu Serangan

Januari-April 2016

Januari-April 2016

Januari-April 2016

Sumber: BPTPH, 2016 (data diolah) Wereng batang cokelat belum pernah dilaporkan sebagai hama utama di

pertanaman padi Provinsi Jambi. Awal serangan wereng batang cokelat pernah dilaporkan terjadi di Desa Bukit Sari, Jujuhan Kabupaten Bungo pada tahun 2012 (Gambar 1). Pada tahun 2016 ini serangan wereng batang cokelat sudah terjadi pada tiga kabupaten (Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Timur), dan Kabupaten Tebo mendapat serangan paling luas. Salah satu lokasi yang disurvei adalah Desa Bungo Tanjung, Kecamatan Tebo Ulu,Kabupaten Tebo (Gambar 2).

Gambar 1. Serangan Wereng Batang Cokelat di Desa Bukit Sari, Jujuhan, Bungo pada Tahun 2012

Page 114: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

643

Gambar 2. Serangan Wereng Batang Cokelat di Desa Bungo Tanjung, Tebo Ulu, Kabupaten Tebo pada Tahun 2016 Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya serangan wereng batang cokelat diantaranya faktor imigrasi, penggunaan varietas dan lain-lain. Informasi kejadian serangan wereng batang cokelat pada tahun 2012 yang menyerang Desa Bukit Sari diduga merupakan migrasi dari kabupaten Damasraya yang bersebelahan, Menurut Baehaki (2011), migrasi wereng coklat secara besar-besaran terjadi pada saat akan mencapai hopperburn baik pada tanaman padi vegetative maupun saat generatif. Migrasi wereng coklat dapat terjadi jarak dekat (short distance) hanya belasan kilometer, jarak jauh (long distance) mencapai 200-300 km, dan gerakan jarak sangat jauh (very long distance). Gerakan migrasi jarak dekat dapat terjadi dalam kabupaten dan antar kabupaten. Gerakan migrasi jarak jauh dapat terjadi antar provinsi atau antar pulau missal antar pulau di Indonesia), sedangkan migrasi jarak sangat jauh dapat terjadi antar Negara atau antar benua, seperti halnya migrasi wereng coklat dari China atau Vietnam ke Negara Jepang dan Korea.

Di jalur pantura Jawa Barat telah terjadi migrasi besar-besaran dari pertanaman yang hopperburn ke pertanaman umur 1 bulan dan mendapatkan populasi wereng coklat makroptera 100-200 ekor/rumpun. Lamanya waktu penerbangan migrasi mencapai 10 hari dan 10 malam, sehingga populasi wereng coklat imigran pada tanaman muda makin bertambah. Pada tanaman muda dari varietas yang rentan dengan populasi imigran tersebut terjadi hopperbun setelah satu minggu penerbangan. Di lain pihak pada tanaman muda dari varietas yang tahan dan agak tahan yang dikendalikan dengan insektisida masih dapat bertahan, namun populasi nimfanya setelah 10 hari dari awal penerbangan mencapai 100-500 ekor dan menimbulkan puso (Baehaki, 2011).

Strategi Pengendalian Wereng Batang Cokelat

Pengendalian hama dan penyakit harus terencana sejak awal sedemikian rupa dengan berbagai reka perdaya yang penuh kearifan. Reka perdaya dapat dilakukan dengan varietas tahan, waktu tanam yang tepat, pergiliran variatas, dan manipulasi musuh alami. Pengendalian dari satu tempat ke tempat lain akan berbeda, tergantung dari hama dan penyakit yang menyerang, dan tergantung dari sarana dan prasarana produksi (Baehaki,

Page 115: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

644

2011a). Pengendalian wereng cokelat dapat dilakukan berdasarkan hasil tangkapan melalui lampu perangkap atau berdasarkan monitoring di pertanaman. Pengendalian dengan triangle strategies yaitu strategi sosial (sosiologi), strategi teknologi (SOP pengendalian wereng cokelat), dan strategi kebijakan pemerintah perlu diterapkan (Baehaki dan Mejaya. 2014). Teknik pengendalian wereng cokelat terbaru ini yang harus diterapkan adalah menerapkan tiga strategi pengendalian (triangle strategies), juga telah diuraikan dalam pengendalian Penyakit Dalam Rangka Swasembada Pangan Berkelanjutan (Baehaki, 2013).

Wereng batang cokelat yang menyerang daerah Kabupaten Bungo dan Tebo serta Tanjung Jabung Timur diduga merupakan wereng batang cokelat yang dapat beradaptasi dengan varietas padi yang ditanam secara terus menerus. Untuk itu, beberapa strategi pengendalian yang dapat dilakukan adalah :

1. Penanaman Padi Secara Serentak

Tekonologi pengendalian wereng cokelat sudah berkembang, namun penerapan di lapangan, banyak yang tidak berhasil, karena melupakan sosial kemasyarakatan, di antaranya tidak ada kesepakatan waktu tanam. Penanaman padi serempak dapat disepakati dalam kelompok tani yang berkoordinasi dengan kelompok tani lainnya dalam satu hamparan. Perlu diupayakan tersedianya satu umur tanaman yang seragam pada satu hamparan. Tersedianya tanaman dengan umur yang sesuai yang terus-terusan dapat memicu perkembangan populasi hama. Menurut Baehaki (2013), penanaman padi berjamaah (serempak) dapat merupakan salah satu upaya meredam hama dan penyakit.

2. Menanam Varietas Padi Tahan Wereng Batang Cokelat dan Pergiliran Varietas Tanaman Padi Banyak varietas padi yang sudah dilepas BB Padi dan diinformasikan memiliki ketahanan terhadap biotipe tertentu wereng batang cokelat. Terdapat 38 varietas dilaporkan tahan dan agak tahan terhadap beberapa biotipe wereng batang cokelat (Tabel 2). Varietas padi introduksi yang telah dilepas diantaranya IR26 (Bph1), IR42 (bph2), IR56 (Bph3), IR64 (Bph1 + 7QTLs), IR72 (Bph3) dan IR74 (Bph3) (Baehaki dan Mejaya, 2014).

Identifikasi biotipe wereng sangat diperlukan untuk bisa menggunakan varietas padi tahan wereng yang ada, tapi saat ini belum tersedianya varietas padi yang tahan terhadap campuran biotipe (biotipe 1, 2, 3, 4) yang ada di lapangan. Yang sangat penting juga perlu dilakukan penanaman padi dengan pergiliran varietas padi tahan wereng batang cokelat.

Page 116: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

645

Tabel 2. Varietas padi irigasi yang telah dirakit di Balai Besar Padi yang tahan terhadap biotipe wereng batang cokelat

No. Varietas Padi Ketahanan terhadap Biotipe

No. Varietas Padi Ketahanan terhadap Biotipe

1 Ciherang Tahan biotipe 2 dan 3 20 Inpari 22 agak tahan biotipe 1, 2

dan 3 2 Mekongga Tahan biotipe 2 dan 3 21 Inpari 33 Tahan bioipe 1,2,3 3 Inpari 1 tahan biotipe 2, agak

tahan biotipe 3 22 Inpari 34 Salin

Agritan Agak tahan biotipe 1

4 Inpari 2 agak tahan biotipe 1, 2 dan 3

23 Inpari 35 Salin Agritan

Agak tahan biotipe 1

5 Inpari 3 agak tahan biotipe 1, 2 24 Hipa 3 Agak tahan biotipe 2 6 Inpari 5 agak tahan biotipe 1, 2

dan 3 25 Hipa 4 Agak tahan biotipe 2

7 Inpari 6 tahan biotipe 2 dan 3 26 Hipa 5 Ceva Tahan biotipe 2 8 Inpari 10 agak tahan biotipe 1, 2 27 Hipa 12 SBU agak tahan biotipe 2

dan 3 9 Inpari 12 agak tahan biotipe 1, 2 28 Hipa 13 Agak tahan biotipe 2 10 Inpari 13 Tahan bioipe 1,2,3 29 Hipa 14 SBU Agak tahan biotipe 2 11 Inpari 15 agak tahan biotipe 1 30 Hipa 18 Agak tahan biotipe 1 12 Inpari 17 agak tahan biotipe 1, 2 31 Hipa 19 Agak tahan biotipe

1,2,3 13 Inpari 18 tahan biotipe 1, 2 dan

agak tahan biotipe 3 32 Inpago 7 Agak tahan biotipe 1,2

14 Inpari 19 tahan biotipe 1, 2 dan agak tahan biotipe 3

33 Inpago 9 Agak tahan bioipe 1

15 Inpari 20 Agak tahan biotipe 1 34 Inpara 1 Agak tahan biotipe 1, 2 16 Inpari

Sidenuk agak tahan biotipe 1, 2 dan 3

35 Inpara 2 Agak tahan biotipe 2

17 Inpari 23 Bantul

Tahan biotipe 1, agak tahan biotipe 2 dan 3

36 Inpara 3 Agak tahan biotipe 3

18 Inpari 25 Opak Jaya

Agak tahan biotipe 1 37 Inpara 4 Agak tahan biotipe 3

19 Inpari 31 Tahan bioipe 1,2,3

Sumber: Jamil et al. (2015) 3. Pengelolaan hama yang ramah lingkungan (pengamatan populasi sedini

mungkin, pemasangan lampu perangkap, penyesuaian waktu semai, pengendalian dengan menuntaskan WBC generasi 1)

Pengamatan atau monitoring wereng cokelat dilakukan setiap 1-2 minggu sekali untuk memantau jumlah wereng cokelat, musuh alami laba-laba, Paederus, Ophionea, Coccinella dan Cyrtorhinus pada minggu ke-1. Tindakan pengendalian wereng cokelat ditentukan oleh kepada keberadaan musuh alami dan taksiran harga gabah saat panen (Baehaki dan Mejaya, 2014).

Lampu perangkap sangat penting untuk mendeteksi wereng makroptera betina/jantan imigran yang pertama kali datang di pesemaian atau pertanaman. Alat ini penting untuk mengetahui kehadiran wereng imigran dan dapat menangkap wereng dalam jumlah besar. Fungsi lampu perangkap yang telah secara intensif dilaksanakan BB Padi merupakan monitoing dini terhadap jenis dan jumlah hama imigran yang datang di pertanaman untuk menentukan nilai ambang ekonomi; bila pada lampu perangkap terdapat lebih dari 50 ekor wereng cokelat/malam, maka harus segera diadakan pengendalian. Bila pada lampu perangkap tertangkap kurang dari 50 ekor wereng cokelat/malam, perlu segera diadakan pengamatan pada pertanaman. Bila didapat tiga ekor wereng cokelat/rumpun pada tanaman padi berumur <40 HST atau lima ekor wereng cokelat/rumpun pada tanaman padi berumur >40 HST maka harus segera diadakan pengendalian. Lampu perangkap dapat

Page 117: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

646

mereduksi populasi hama imigran atau hama emigrant. Pengamatan lampu perangkap harus dilakukan setiap hari untuk mengetahui puncak tangkapan.

Penetapan waktu pesemaian dan pertanaman hendaknya dilakukan 15 hari setelah puncak imigran. Bila datangnya wereng terdiri dari generasi yang tumpang tindih, maka akan terjadi pertumbuhan populasi bimodal (dua puncak). Oleh karena itu, pesemaian dan waktu tanam hendaknya dilakuk 15 hari setelah puncak tangkapan hama kedua (Baehaki dan Mejaya, 2014).

Seorang pengamat hama perlu menentukan puncak populasi imigrasi awal sebagai generasi nol (G0); pada 25-30 hari kemudian migran I akan menjadi imago wereng cokelat generasi ke-1, pada 25-30 hari kemudian akan menjadi imago wereng cokelat generasi ke-2, pada 25-30 hari kemudian akan menjadi imago wereng cokelat generasi ke-3. Setelah generasi ke-3 hama wereng cokelat menyerang secara berat tanaman padi dan populasinya akan menurun karena persediaan makanan telah rusak (Baehaki dan Mejaya, 2014). Untuk mengatasi tidak terjadi ledakan hama diperlukan pengendalian tuntas pada generasi ke-1 atau paling lambat harus tuntas pada generasi ke-2. Bila dilakukan pada generasi ke-3 dapat dipastikan pengendalian tidak akan berhasil (Baehaki, 2011b).

4. Pengggunaan insektisida yang bijaksana Penggunaan insektisida harus diimplementasikan pada saat populasi wereng

cokelat mencapai ambang ekonomi terbaru, dan harga gabah saat panen (Baehaki dan Mejaya, 2014). Penggunaan insektisida harus memperhatikan berbagai faktor, antara lain: 1) Keringkan area sawah sebelum aplikasi insektisida baik yang semprotan atau butiran; 2) Aplikasi insektisida dilakukan saat air embun tidak ada antara pukul 08.00 pagi sampai pukul 11.00, dilanjutkan sore hari. Insektisida harus sampai pada batang padi; 3) Tepat dosis dan jenisnya yaitu yang berbahan aktif Pymetrozine, dinotefuran.

KESIMPULAN DAN SARAN Serangan Wereng Batang Cokelat (WBC) pada tahun 2016 di Provinsi telah terjadi di

tiga Kabupaten (Tebo, Bungo, dan Tanjung Jabung Timur) dengan intensitas serangan yang tinggi serta menyerang beberapa VUB (Mekongga, Batang Piaman, Ciherang) dan padi lokal. Strategi pengendalian WBC harus berdasarkan konsep Pengendalian Hama Terpadu dengan memadukan berbagai cara yaitu penanaman padi serentak, penggunaan varietas tahan dan pergiliran varietas, pemasangan lampu perangkap, penyesuaian waktu persemaian, pengamatan populasi sedini mungkin, pengendalian dengan menuntaskan WBC generasi 1 (satu), dan penggunaan insektisida dengan cara bijaksana.

DAFTAR PUSTAKA

Baehaki SE. dan IMJ Mejaya. 2014. Wereng Cokelat sebagai Hama Global Bernilai Ekonomi Tinggi dan Strategi Pengendaliannya. Iptek Tanaman Pangan 9 (1) : 1-12.

Baehaki, S.E. 2011b. Strategi fundamental pengendalian hama wereng batang cokelat dalam pengamanan produksi padi nasional. Pengembangan Inovasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 4(1):63-75.

Baehaki, SE. 2011a. Inovasi Pengendalian Hama Wereng. Agroinovasi. Sinar Tani Edisi 20-26 Juli 2011. No.3415. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Baehaki,.S.E. 2013. Budi daya tanam padi berjamaah suatu upaya meredam ledakan hama dan penyakit dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian, p. 230.

Page 118: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

647

BPS Provinsi Jambi. 2015. Jambi Dalam Angka 2015. Biro Pusat Statistik Provinsi Jambi.

Jamil A, Satoto, P Sasmita, Y Baliadi, A Guswara, Suharna. 2015. Deskripsi Varietas Unggul Padi. Badan Litbang Kementerian Pertanian. Jakarta.

Page 119: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

648

KAJIAN KESUBURAN TANAH LAHAN SAWAH

DI KECAMATAN SELUMA SELATAN

Nurmegawati dan Yong Farmanta

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl Irian km 6,5 Kota Bengkulu, telp (0736) 23030

E-mail : [email protected]

PENDAHULUAN

Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, sehingga pemerintah berupaya meningkatkan produksinya. Salah satunya melalui pengelelolaan tanaman terpadu (PTT) padi yang spesifik lokasi. Tanaman padi pada umumnya dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tetapi untuk tanaman padi di lahan persawahan memerlukan syarat-syarat tertentu karena tidak semua jenis tanah dapat dijadikan lahan tergenang air. Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi sawah memiliki tekstur halus sampai agak halus.

Dilain pihak banyak permasalahan yang mempengaruhi peningkatan produksi padi diantaranya konversi lahan sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim, gejala kelelahan teknologi, penurunan kualitas sumberdaya lahan yang berdampak terhadap penurunan dan atau pelandaian produktivitas (Pramono et al, 2005).

Salah satu penyebab penurunan kualitas sumberdaya lahan adalah apabila lahan tersebut diusahakan terus menerus sehingga penambahan unsur hara melalui pemupukan mutlak diperlukan agar diperoleh hasil pertanian yang menguntungkan. Karena kesuburan tanah berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman, maka penilaian kesuburan suatu tanah mutlak diperlukan. Menurut Nyakpa et al (1988) salah satu cara untuk menilai status hara dalam menilai kesuburan hara yaitu dengan analisis tanah. Dengan konsep bahwa tanaman akan respon terhadap pemupukan bila kadar hara tersebut kurang atau jumlah yang tersedia tidak cukup untuk pertumbuhan yang optimal sehingga dari analisa ini akan diperoleh rekomendasi pemupukan.

Produktivitas tanaman padi di Provinsi Bengkulu masih rendah yaitu 4,24 ton/ha Sementara itu rata-rata produktivitas nasional yaitu 5,13 ton/ha (BPS, 2015). Di sini terlihat bahwa rata-rata produktivitas tanaman pangan di Provinsi Bengkulu relatif lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas rata-rata nasional, ini disebabkan masih banyak inovasi teknologi budidaya yang belum diterapkan. sehingga ada peluang peningkatan melalui penerapan inovasi teknologi, salah satunya pengelolaan lahan sawah.

Namun informasi mengenai pengelolaan lahan sawah masih sangat sedikit terutama tingkat kesuburan tanahnya sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menentukan tingkat kesuburan lahan sawah di Provinsi Bengkulu. Diketahuinya tingkat kesuburan tanah diharapkan pengelolaan lahan sawah dapat dilakukan dengan efisien supaya tingkat produktivitasnya menjadi tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kesuburan tanah sawah Kecamatan Seluma Selatan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2015 di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada Desa Rimbo Kedui. Jenis tanah yang diambil adalah sampel tanah terganggu untuk dianalisis sifat fisika tanah meliputi tekstur tanah dan sifat kimia tanah meliputi pH tanah, C-Organik serta unsur hara lainnya (N,P,K, Ca dan Mg).

Page 120: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

649

Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit yaitu merupakan suatu teknik pengambilan sampel tanah pada beberapa titik pengambilan pada kedalaman 0 – 20 cm. Metode yang digunakan yaitu simple random sampling (SRS). Menurut Suganda et al, (2006) metode SRS tidak ada batasan dalam menentukan jumlah contoh tanah yang dipilih, semua titik pengambilan contoh memiliki peluang yang sama dan saling bebas satu sama lainnya.

Sampel tanah yang diperoleh selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk analisa sifat fisika dan kimia tanah sebagai berikut : (1) Penetapan tekstur tanah (metode hydrometer), (2) penetapan pH tanah (metode kalorometri), (3) penetapan C-Organik (metode spektrofotometer), (4) penetapan P dan K ekstrak HCl 25 %, (5) penetapan kation-kation (N,P,K, Ca, Na, Mg, KTK, Al dan Kejenuhan Basa).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara umum kelas tekstur tanah pada daerah penelitian termasuk liat, pH H2O

(5,57) tergolong agak masam ; kandungan C-organik (2,79 %) tergolong sedang; nisbah C/N

(10,33) tergolong sedang; kandungan N (0,27 %) tergolong sedang, P2O5 tersedia (3,62) dan

potensial (13,61) masing-masing tergolong sangat rendah dan sedang, K potensial (31,21)

tergolong sedang. Sementara itu kation yang dipertukarkan K dan Na tergolong sedang, Ca

dan Mg tergolong rendah dan tinggi. Kapasitas tukar kation (KTK) termasuk sedang. Hasil

analisis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis tanah daerah penelitian No Sifat Kimia dan Fisika Hasil analisis * Keterangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12

Tekstur pH (H2O) C-organik (%) N (%) P-Bray.I (ppm) P potensial (mg/100 gr) K potensial (mg/100 gr) K-dd (me/100g) Ca-dd (me/100g) Mg-dd (me/100g) Na-dd (me/100g) KTK (me/100g

Liat 5,57 2,79 0,27 3,62

13,61 31,21 0,42 0,44 4,97 0,59

17,62

- Agak masam

Sedang Sedang

Sangat rendah Sedang Sedang Sedang Rendah Tinggi Sedang Sedang

Sumber : Hasil analisa laboratorium tanah BPTP Bengkulu * Kriteria penilaian analisa berdasarkan Balai Penelitian Tanah (2009) Tekstur

Hasil analisis tanah mengenai tekstur tanah menunjukkan bahwa kandungan fraksi liat 2,79 persen, fraksi debu 35,19 persen dan fraksi liat 62,54 persen. Berdasarkan diagram segitiga tekstur menurut USDA dalam Luki (1989) maka kelas tekstur tanah tersebut adalah liat. Fraksi liat memiliki kemampuan besar dalam memegang air dibanding dengan fraksi pasir. Hal ini disebabkan pada tanah yang bertekstur halus memiliki lebih banyak ruang pori total yang sebagian besar terdiri dari pori mikro sehingga kapasitas memegang air besar. Pada tanah berpasir disamping ruang pori total rendah juga memiliki jumlah pori mikro lebih rendah dibanding pori makro sehingga sulit menahan air. Tanah yang sulit menahan air kurang cocok dijadikan lahan persawahan sebaliknya tanah yang sulit dilewati air sangat cocok dibuat lahan persawahan.

Tekstur tanah yang baik atau sangat sesuai untuk tanaman padi sawah adalah liat berpasir, liat, liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir dan lempung liat berdebu sedangkan tanah yang cukup sesuai untuk tanaman padi sawah yang memiliki tekstur

Page 121: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

650

lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu dan berdebu (Djaenudin et al, 2003). Menurut Hidayanto et al (2004) tanah yang memiliki tekstur agak kasar atau kasar seperti lempung berpasir, pasir dan pasir berlempung bersipat porous sehingga tidak dapat menahan air serta miskin unsur hara.

Derajat Keasaman (pH) tanah

Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion H+ dalam larutan tanah. Konsentrasi H+ yang diekstrak dengan air menyatakan kemasaman aktif/aktual sedangkan yang diekstrak dengan KCl 1 N menyatakan kemasaman cadangan/potensial (Sulaeman et al 2005). Menurut Tan (1998) ion-ion H+ ada 2 macam yaitu ion-ion yang ada dalam tanah sebagai ion-ion yang dapat dipertukarkan dan ion-ion bebas masing-masing menciptakan kemasaman cadangan dan aktif. Tife kemasaman aktif inilah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

Hasil pengukuran pH tanah maka diperoleh kemasaman aktif senilai 5,57 tergolong agak masam, dari pH tersebut maka daerah penelitian tersebut termasuk baik karena tanaman padi tumbuh baik antara pH 4,0 – 7,0. Pada tanah sawah kalaupun mempunyai pH masam itu tidak menjadi masalah karena pada tanah sawah yang tergenang akan terjadi perubahan kimia salah satunya terjadi perubahan pH tanah. Bila tanah sawah dalam kondisi masam maka setelah pengenangan maka pH tanah akan mendekati netral sebaliknya pada tanah alkalis setelah penggenangan pH tanahnya akan turun mendekati netral (6,5 – 7,5 ). Menurut Djaenudin, et al (2003) pH H2O sangat sesuai untuk tanaman padi sawah yaitu 5,5 – 8,2 dan cukup sesuai 4,5 – 5,5 dan 8,2 – 8,5 sedangkan sesuai marjinal < 4,5 dan > 8,5.

Pengukuran pH tanah merupakan hal yang sangat penting karena dengan pengukuran ini akan diperoleh hal-hal sebagai berikut : Kebutuhan kapur, respon tanah terhadap pespon tanah terhadap pemupukan dan proses-proses kimia lainnya (Hardjowigeno, 1993). Secara umum pemberian kapur ke tanah dapat mempengaruhi sifat fisika dan kimia tanah serta kegiatan jasad renik tanah. Bila ditinjau dari sudut kimia, maka tujuan pengapuran adalah menetralkan kemasaman tanah dan meningkatkan atau menurunkan ketersedian hara bagi pertumbuhan tanaman.

Bahan Organik

Kandungan C-organik (2,79 % tergolong sedang, kandungan N ( 0,27 %) tergolong sedang, sehingga nisbah C/N (10,33) tergolong sedang. Kandungan bahan organik erat kaitannya dengan kandungan C-organik karena dalam penetapannya berdasarkan kandungan C-organik sehingga tinggi rendahnya kandungan bahan organik tergantung kandungan C-organiknya. Kandungan bahan organik pada daerah penelitian tergolong sedang karena pada daerah tersebut petaninya pada umumnya sudah mengembalikan jerami sebagai kompos dengan cara pada saat tanam petani sering menebarkan jerami yang sudah lapuk di lahan sawahnya. Bahan organik akan mempengaruhi kemampuan tanah dalam menahan air, apabila kandungan bahan organiknya tinggi maka kemampuan airnya meningkat, ini sangat cocok untuk lahan sawah yang memerlukan air lebih banyak.

Banyaknya bahan organik maka warna tanah menjadi coklat hingga hitam, biasanya warna tanah yang hitam tanahnya subur. Tinggi rendahnya bahan organik juga mempengaruhi jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah, meningkatnya kegiatan organisme tanah akan mempercepat dekomposisi bahan organik menjadi humus. Menurut Hakim et al (1986) Bahan organik adalah bahan perekat tanah yang tiara taranya, sekitar setengah dari KTK beasal dari bahan organik. Ia merupakan sumber hara tanaman dan sumber energi sebagian besar organisme tanah.

Ditinjau dari kesuburan tanah maka daerah ini belum begitu membahayakan karena kandungan bahan organiknya masih tergolong sedang. Menurut Setyorini et al (2006) kandungan C-organik rendah (< 2%) pada lahan sawah intensifikasi akan berimplikasi pada menurunnya kesuburan tanah dan efisiensi pemupukan.

Nisbah antara karbon dan nitrogen tergolong sedang yaitu 10,33 ini menunjukkan dekomposisinya sedang lanjut. Rasio C/N adalah jumlah relatif karbon terhadap nitrogen

Page 122: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

651

pada bahan organik yang dirombak, merupakan cara untuk menunjukkan gambaran kandungan nitrogen relatif. Rasio C/N dari bahan organik merupakan petunjuk kemungkinan kekurangan nitrogen. Pada daerah penelitian rasio C/N tergolong sangat tinggi, hal ini menunjukkan bahwa tingkat perombakan/ dekomposisi bahan organik belum lanjut atau baru mulai. Suatu dekomposisi bahan organik yang lanjut dicirikan oleh C/N yang rendah. Suatu masalah akan timbul apabila kandungan nitrogen dari perombakan bahan organik kecil dalam arti rasio C/N tinggi maka akan terjadi persaingan antara tanaman dan mikroorganisme dalam mendapatkan nitrogen yang tersedia di tanah. Menurut Foth (1998) Bahan organik dengan rasio kecil atau rendah relatif kaya nitrogen, sedangkan bila tinggi atau luas relatif miskin nitrogennya.

Pertukaran kation

Kation yang dipertukarkan K dan Na tergolong sedang, Ca dan Mg tergolong rendah dan tinggi. Pertukaran kation adalah pertukaran antara satu kation dalam suatu larutan dan kation lain pada permukaan dari setiap permukaan bahan yang aktif (Foth, 1991). Koloid tanah (mineral liat dan humus) bermuatan negatif sehingga dapat menyerap kation-kation. Kation-kation basa dapat ditukar (K, Ca, Na dan Mg) tergolong rendah sampai tinggi. Hidrogen (H) tertukar tergolong rendah dibanding dengan basa K-dd, Ca-dd, Mg-dd kecuali Na-dd. Kation basa lebih banyak daripada kation masam, hal ini disebabkan pada komplek jerapan kation basa mampu mendesak kation masam. Kation Al dan H keluar dari komplek jerapan dan tercuci, sehingga kandungan Al dan H tertukar relatif sedikit. Kation-kation yang dihasilkan baik yang bersifat masam maupun basa tidak lepas begitu saja tetapi dijerap oleh koloid. Kekuatan masing-masing kation berbeda-beda. Menurut Hakim, et al (1986) Kation-kation bila berada dalam jumlah yang sama maka kekuatan jerapannya adalah Al> Ca> Mg> K> Na.

Kapasitas tukar kation (KTK) suatu tanah merupakan suatu kemampuan koloid tanah mejerap dan mempertukarkan kation (Tan, 1991) Pada daerah penelitian KTK tanahnya tergolong sedang, besarnya KTK tanah dipengaruhi salah satunya tekstur tanah yang didominasi oleh fraksi liat. Dari beberapa pengamatan ciri tekstur tanah, ternyata KTK tanah berbanding lurus dengan jumlah butir liat. Semakin tinggi jumlah liat pada suatu jenis tanah yang sama, KTK juga bertambah besar, sebaliknya tekstur yang didominasi oleh fraksi pasir atau debu, KTKnya relatif lebih kecil daripada tanah yang teksturnya halus.

Suatu tanah yang mengandung KTK sedang, artinya tidak rendah maupun tidak tinggi merupakan hal yang ideal, karena pada tanah yang mengandung KTK tinggi memerlukan pemupukan kation tertentu dalam jumlah yang banyak agar dapat tersedia bagi tanaman, bila diberikan dalam jumlah sedikit maka akan kurang tersedia bagi tanaman karena lebih banyak terjerap sebaliknya pada tanah-tanah yang mengandung KTK rendah, pemupukan kation tertentu tidak boleh banyak karena mudah tercuci bila diberikan dalam jumlah berlebihan.

Kejenuhan Basa

Persentase kejenuhan basa (KB) suatu tanah adalah perbandingan antara jumlah me kation basa dengan me KTK. Pada daerah penelitian KB 36 persen artinya 36/100 bagian dari seluruh kapasitas tukar ditempati oleh kation basa (Ca, Mg, Na dan K) yang artinya kesuburan tanahnya tergolong rendah. Menurut Tan (1998) Tanah yang subur bila KB > 80 %, kesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50 – 80 % dan tanah tidak subur jika KB < 50 %. Hal ini didukung oleh Hardjowigeno (1993) yang menyatakan bahwa daerah dengan curah hujan tinggi, suhu tinggi dan landscape tua umumnya mempunyai KB kurang dari 35 persen pada tanah Ultisol.

Page 123: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

652

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Tekstur tanah sangat sesuai untuk tanaman padi sawah dengan kelas tekstur tanah liat dan derajat pH termasuk agak masam, (2) Dari kesuburannya termasuk sedang dengan penciri bahan organik sedang, kandungan P tersedia tergolong sedang, kapasitas tukar kation tergolong sedang namun kejenuhan basa termasuk rendah.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2015. Badan Pusat Statistik. Jakarta Djaenudin,D., H. Marwan,H., H. Subagyo., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk teknis untuk

komoditas pertanian. Edisi Pertama tahun 2003. ISBN 979-9474-25-6. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.

Foth, H.D. 1998. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Purbayanti , Lukiwati dan Trimulatsi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hakim, N., M.Y. Nyakpa., A.M.Lubis., S.G.Nugroho., M.A. Diha., G.B. Hong., dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.

Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi tanah dan pedogenesis edisi pertama. Akademika Pressindo. Jakarta.

Hidayanto,M.W,. A. Heru., F.Yossita. 2004. Analisis tanah tambak sebagai indikator tingkat kesuburan tambak. Jurnal pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian volume 7 nomor 2, Juli 2004. Bogor

Luki, U. 1989. Fisika Tanah Terapan 2. Jurusan Tanah Universitas Andalas. Padang Nyakpa, M.Y,. A.M.Lubis., M.A. Pulung., A.G.Amrah., A.Munawar., G.B.Hong., N.Hakim. 1988.

Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung. Pramono,J., S. Basuki., dan Widarto. 2005. Upaya peningkatan produktivitas padi sawah

melalui pendekatan tanaman dan sumberdaya terpadu. Agrosain 7 (1) : 1 -6 Setyorini, D., L.R. Widowati., A. Kasno. 2006. Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah

Sawah (PUTS). Balai Penelitian Tanah. Bogor. Suganda, H., A. Rachman., dan Sutono. 2006. Petunjuk pengambilan contoh tanah dalam sifat

fisika tanah dan metode analisisnya. Balai Besar Sumberdaya lahan pertanian. Bogor Sulaeman., Suparto., dan Eviati. 2005. Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air dan

pupuk edisi I. Balai Penelitian Tanah. Bogor Tan, Kim H. 1998. Dasar-dasar kimia tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Page 124: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

653

OPTIMALISASI LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI PROVINSI

SUMATERA UTARA

Siti Fatimah Batubara1, Khadijah EL Ramija2, dan Andriko Noto Susanto3)

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara

Jl. Jend. Besar AH. Nasution No 1 B. Medan 20143 Email : [email protected]

ABSTRAK

Padi merupakan komoditas pangan strategis yang produksinya perlu terus ditingkatkan untuk mengimbangi pertambahan jumlah penduduk yang kian pesat dimana beras menjadi sumber makanan pokok. Sementara itu alih fungsi lahan sawah, perubahan iklim, degradasi sumberdaya dan eksploitasi yang kontinu menyebabkan penurunan produktivitas lahan, sehingga lahan-lahan sub optimal seperti lahan rawa pasang surut merupakan alternatif untuk mempertahankan produksi padi. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan rawa pasang surut melalui penerapan teknologi spesifik lokasi dengan aplikasi pemupukan dan varietas padi yang adaptif. Penelitian dilaksanakan di Desa paluh Manan Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang pada bulan januari sampai Desember 2014menggunakan rancangan faktorial dua faktor dengan dua ulangan yaitu faktor varietas V1 (Inpara 2), V2 (Inpara 3), V3 (Indragiri), dan faktor pemupukan P1 (Pemupukan Petani), P2 (Pemupukan Berdasarkan analisis tanah), P3 (Pemupukan berdasarkan rekomendasi PUTR). Respons tanaman yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang malai, jumlah gabah bernas dan hampa per malai, berat gabah 1000 butir, dan produktivitas. Analisis menggunakan ANOVA dan uji lanjut BNJ. Hasil penelitian menunjukkan Varietas padi Inpara 3 menunjukkan pertumbuhan tanaman terbaik dan produktivitas tertinggi dengan produktivitas 5,78 ton/ha dengan pemberian pupuk berdasarkananalisis tanah dengan dosis Urea Urea 175 kg/ha, SP36 100 kg/ha, KCl 75 kg/ha, dan ZA 50 kg/ha.

Kata Kunci :lahan rawa pasang surut, produktivitas padi, optimalisasi lahan

PENDAHULUAN

Padi merupakan komoditas pangan strategis yang produksinya perlu terus

ditingkatkan untuk mengimbangi pertambahan jumlah penduduk yang kian pesat dimana beras menjadi sumber makanan pokok. Beras sebagai makanan pokok utama masyarakat Indonesia sejak tahun 1950 semakin tidak tergantikan meski roda energi diversifikasi konsumsi sudah lama digulirkan, hal ini terlihat bahwa pada tahun 1950 Konsumsi beras nasional sebagai sumber karbohidrat baru sekitar 53% dibandingkan dengan tahun 2011 yang telah mencapai sekitar 95% (jdih.bpk.go.id). Sementara itu alih fungsi lahan sawah, perubahan iklim, degradasi sumberdaya lahan akibat pencemaran dan eksploitasi yang kontinu menyebabkan penurunan produktivitas lahan, sehingga lahan-lahan sub optimal seperti lahan rawa pasang surut menjadi alternatif untuk mempertahankan produksi padi.

Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia sekitar 20,12 juta ha, terdiri dari 2,07 juta ha lahan potensial, 6,72 juta ha lahan sulfat masam, 10,89 juta ha lahan gambut dan 0,44 juta ha lahan salin.Lahan rawa pasang surut yang berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian sekitar 8.535.708 ha. Dari luasan tersebut, yang sudah direklamasi sekitar 2.833.814 ha dan yang belum direklamasi sekitar 5.701.894 ha. Luas lahan rawa pasang surut yang sudah dijadikan lahan sawah hingga tahun 2011 baru sekitar 407.594 ha(Ritung,

Page 125: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

654

2011).Berdasarkan data tersebut peluang untuk melaksanakan ekstensifikasi pertanian khususnya untuk tanaman padi ke lahan rawa pasang surutmasih terbuka luas.

Produktivitas lahan rawa pasang surut sangat beragam dan tergantungpada kondisi tanah, tata air sertapenerapan teknologi terutamateknologi pengeloloaan lahan dan varietas yang ditanam. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi produksipadi pada masing-masing tipologi lahanberkisar 6,3-7,0 t GKGha-1,pada lahan sulfat masam potensial 4,5-6.0 tGKGha-1, lahan sulfat masam aktual4,0-5,0 t GKGha-1(Sutanto, 2009). Introduksi teknologi yang adaptif (sesuai dengan kondisi lingkungan dan kemampuan petani setempat), efektif dan efisien dalam meningkatkan hasil sangat diperlukan. Teknologi pengelolaan air dan tanah yang tepat akan mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa pasang surut tersebut.

Penelitian ini bertujuanuntuk meningkatkan produktivitas padi di lahan rawa pasang surut melalui aplikasi pemupukan dan uji varietas di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di Desa paluh Manan Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara pada bulan Januari sampai Desember 2014.

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dua faktor. Faktor pertamaadalahuji varietas V1 (Inpara 2), V2 (Inpara 3), V3 (Indragiri), dan faktor kedua adalahuji pemupukan P1 (Pemupukan Petani), P2 (Pemupukan Berdasarkan analisis tanah), P3 (Pemupukan berdasarkan rekomendasi PUTR). Dosis pupuk untuk masing masingperlakuan yaitu P1 (Pemupukan Petani : ZA 200 kg/ha, SP36 150 kg/ha, dan NPK Phonska 150 kg/ha), P2 (Pemupukan berdasarkan analisis tanah : Urea 175 kg/ha, SP36 100 kg/ha, KCl 75 kg/ha, dan ZA 50 kg/ha), P3 (pemupukan berdasarkan PUTR : Urea 200 kg/ha, SP36 100 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha).

Pupuk kandang sebanyak 2 t/ha diberikan sebelum tanam. Bibit padi sesuai varietas yang diuji ditanam pada umur 15 hari setelah semai secara tegel pada petakan 4x5 m dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Pemupukan urea sesuai perlakuan dilakukan 3 kali yakni 1/3 dosis diberikan pada umur tanaman 7 HST, 1/3 dosis diberikan pada umur tanaman 25 HST, dan 1/3 dosis diberikan pada umur tanaman 40 HST, sementara pemupukan SP36 dan KCL diberikan sekaligus pada umur tanaman 7 HST. Pengendalian OPT dilakukan sesuai tingkat serangan. Penyiangan dilakukan dengan alat gasrok. Panen dilakukan sesuai umur varietas yang diuji.

Respons tanaman yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang malai, jumlah gabah bernas dan hampa per malai,berat gabah 1000 butir, dan produktivitas tanaman. Data dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut BNJ.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Tanaman Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman antara lain tinggi tanaman, jumlah

anakan produktif, dan panjang malai menunjukkan bahwa faktor varietas berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman, namun faktor pemupukan dan kombinasi perlakuan varietas dan pemupukan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Rata-rata tinggi tanaman pada umur 30 HST dan saat panen masing-masing yang tertinggi terdapat pada perlakuan V1P3 (Varietas Inpara 2) yaitu 49,33 cm dan perlakuan V3P1 (Varietas Indragiri) yaitu 107 cm dan terendah masing-masing pada perlakuan V3P3 (Varietas Indragiri) yaitu 38,74 cm dan V2P2 (Varietas Inpara 3) yaitu 86,97 cm. Hasil tinggi tanaman umur 30 HST (Tabel 1) menunjukkan bahwa perlakuan varietas berbeda nyata antara V1, V2 dan V3, sedangkan perlakuan pemupukan tidak berbeda nyata antara P1, P2, dan P3. Sedangkan tinggi tanaman saat panen menunjukkan bahwa V2 berbeda nyata dengan V3 namun tidak berbeda nyata dengan V1.

Page 126: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

655

Hasil analisis sidik ragam terhadap jumlah anakan produktif (Tabel 1) menunjukkan bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata, sedangkan perlakuan pemupukan dan kombinasi perlakuan varietas berpengaruh tidak nyata. Rata-rata jumlah anakan produktif yang tertinggi terdapat pada perlakuan V3P3 (Varietas Indragiri) yaitu 23 dan terendah pada perlakuan V1P2 (Varietas Inpara 2) yaitu 16,33. Berdasarkan hasil uji lanjut terhadap parameter jumlah anakan produktif diketahui bahwa perlakuan V1P2 berbeda nyata terhadap perlakuan V3P3 dan tidak berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya sedangkan perlakuan pemupukan tidak berbeda nyata antara P1, P2, dan P3 pada masing-masing varietas.

Tabel 1. Pengaruh varietas dan pemupukan terhadap pertumbuhan tanamanpadi di lahan

rawa pasang surut Desa Paluh Manan Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang

Perlakuan Tinggi tanaman

umur 30 HST (cm)

Tinggi tanaman saat

panen (cm)

Jumlah anakan produktif

Panjang malai (cm)

V1P1 46,55bc 96,45abc 18ab 20,77a

V1P2 46,85cd 94,53ab 16,33a 23,34b

V1P3 49,33e 94,23ab 17,67ab 23,56bcd

V2P1 44,62abcde 87,21a 19,67abc 23,92bcd

V2P2 47,83de 86,97a 19,33abc 24,85cd

V2P3 44,84abcde 89,79ab 19abc 26,88bcd

V3P1 39,91abc 107d 22bc 24,12bcd

V3P2 38,77a 98,48bcd 18,67abc 24,12bcd

V3P3 38,74a 105,1cd 23c 24,64bcd

Notasi dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Hasil analisis sidik ragam terhadap parameter panjang malai (Tabel 1) menunjukkan bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata, sedangkan perlakuan pemupukan dan kombinasi perlakuan varietas dan pemupukan berpengaruh tidak nyata. Rata-rata panjang malai yang tertinggi terdapat pada perlakuan V2P3 (Varietas Inpara 3) yaitu 26,88 cm dan terendah pada perlakuan V1P1 (Varietas Inpara 2) yaitu 20,77 cm. Berdasarkan hasil uji lanjut terhadap parameter panjang malai diketahui bahwa perlakuan varietas berbeda nyata antara V1 dengan V2 dan V3, namun V2 tidak berbeda nyata dengan V3 sedangkan perlakuan pemupukan, perlakuan V1P1 berbeda nyata terhadap kombinasi perlakuan lainnya. Bervariasinya penampilan tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, dan panjang malai yang diuji disebabkan oleh faktor genetik tanaman. Dari ketiga varietas yang diuji yakni Indragiri, Inpara 2, dan Inpara 3, varietas Inpara 2 dan Inpara 3 menunjukkan pertumbuhan yang baik di lahan pasang surut di Desa Paluh manan, Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Inpara 2 dan Inpara 3 sesuai untuk ditanam di lahan rawa pasang surut di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian sebelumnya bahwa varietas Inpara memiliki kemampuan beadaptasi lebih tinggi di lahan rawa dibandingkan varietas unggul padi sawah irigasi lainnya ( Nugraha et al, 2011).

Komponen Hasil dan Produktivitas

Hasil pengamatan terhadap komponen hasil dan produktivitas antara lain jumlah gabah bernas dan hampa per malai, berat 1000 butir, dan produktivitas menunjukkan bahwa faktor varietas berpengaruh nyata terhadap berat gabah 1000 butir dan produktivitas, sementara faktor pemupukan tidak berpengaruh nyata. Namun terhadap parameter jumlah

Page 127: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

656

gabah bernas dan hampa per malai kedua faktor varietas dan pemupukan tidak berpengaruh nyata. Rata-rata berat gabah 1000 butir yang tertinggi terdapat pada perlakuan V1P3 (Varietas Inpara 2) yaitu 27,73 g dan terendah pada perlakuan V3P2 (Varietas Indragiri) yaitu 22,63 g. Varietas Inpara 3 menunjukkan hasil tertinggi dengan produktivitas 5,8 ton/ha, diikuti Varietas Indragiri dengan produktivitas sebesar 4,75 ton/ha, dan hasil terendah yaitu pada Varietas Inpara 2 dengan produktivitas hanya 3,7 ton/ha (Tabel 2). Produktivitas yang tinggi pada Varietas Inpara 3 juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sasmita dan Ernawanto (2011) di lahan yang terkena banjir dan rendaman dimana produktivitas Varietas Inpara 3 mencapai 5,2 ton/ha.

Adaptasi Varietas Inpara di lahan pasang surut cukup bervariasi. Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa adaptasi varietas Inpara 2, Inpara 3, dan Inpara 4 cukup baik. Varietas Inpara 3 memiliki adaptasi yang luas, dapat ditanam dengan hasil yang baik di lahan pasang surut sulfat masam dan bergambut, lahan lebak, lahan tadah hujan dan lahan irigasi. Pada lahan lebak dengan kendala genangan air Varietas Inpara 3 mampu tumbuh dan memberikan hasil yang baik. Demikian pula pada lahan pasang surut dengan kendala kemasaman tanah dan keracunan besi, Varietas Inpara 3 juga mampu tumbuh dengan hasil baik (Koesrini dan Nursyamsi, 2008). Produktivitas 5,8 ton/ha di Desa Paluh Manan Kabupaten Deli Serdang, menunjukkan bahwa Varietas Inpara 3 cocok ditanam di lahan pasang surut di Desa paluh Manan Kabupaten Deli Serdang dan mampu memberikan hasil yang baik. Penanaman Varietas Inpara 3 merupakan alternatif yang sangat baik bagi petani untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

Page 128: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

657

Tabel 2. Pengaruh varietas dan pemupukan terhadap komponen hasil dan produktivitas padi di lahan rawa pasang surut Desa Paluh Manan Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang

Perlakuan Jumlah gabah bernas/malai

Jumlah gabah hampa/malai

Berat 1000 butir (g)

Produktivitas (t/ha)

V1P1 219,10a 81,50ab 27,24cd 3,88a

V1P2 251,50a 153,45bc 25,94abcd 3,7ab

V1P3 355,20bc 112,60ab 27,73d 4,55c

V2P1 288,00ab 151,20bc 25,77abcd 5,72cd

V2P2 226,10a 143,60abc 25,92abcd 5,8e

V2P3 377,98bc 164,50c 26,88bcd 5,78cde

V3P1 275,85ab 175,20c 24,33abcd 4,02b

V3P2 248,57a 179,74c 22,63a 4,75c

V3P3 273,29ab 170,95c 25,20abcd 4,5c

Notasi dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Faktor pemupukan dengan pemupukan petani, pemupukan berdasarkan PUTR, dan pemupukan berdasarkan analisis tanah menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap semua parameter baik pertumbuhan maupun komponen hasil dan produktivitas, hal ini diasumsikan karena dosis pemupukan yang diberikan pada masing-masing perlakuan tersebut berada pada rentang yang tidak jauh berbeda sehingga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman dan produksi. Dosis pemupukan yang diberikan oleh petani hampir mirip dengan pemupukan berdasarkan rekomendasi PUTR dan analisis tanah. Hal ini menunjukkan bahwa pemupukan yang selama ini dilakukan oleh petani sudah memadai atau cukup dosis. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya produktivitas padi di lahan pasang surut di Desa Paluh Manan Kabupaten Deli Serdang selama ini disebabkan oleh Varietas yang kurang sesuai dengan kondisi lahan rawa pasang surut. Salah satu cara meningkatkan produktivitas padi di lahan rawa pasang surut adalah dengan penanaman Varietas yang sesuai. Kunci utama pengelolaan lahan rawa adalah pengelolaan lahan, hara dan air yang tepat, serta penggunaan varietas yang adaptif (Koesrini dan Nursyamsi, 2008). Jika komponen-komponen tersebut dapat diterapkan, maka peningkatan produktivitas padi di lahan pasang surut akan dapat terwujud.

KESIMPULAN

Varietas padi Inpara 3 menunjukkan pertumbuhan tanaman terbaik dan produktivitas tertinggi dengan produktivitas 5,78 ton/ha dengan pemberian pupuk berdasarkan analisis tanah dengan dosis Urea 175 kg/ha, SP36 100 kg/ha, KCl 75 kg/ha, dan ZA 50 kg/ha.

Page 129: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

658

DAFTAR PUSTAKA

jdih.bpk.go.id/wp/tulisan-hukum-ketahanan-pangan.pdf. 2012 Kebijakan pemerintah dalam

pencapaian swasembada beras pada program peningkatan ketahanan pangan. [18

Januari 2012].

Koesrini, dan D. Nursyamsi. 2008. Inpara : Varietas Padi Adaptif Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. http://Balittra.Litbang.Pertanian.go.id.

Nugraha Yudhistira, Priatna and Abdelbagi MI. 2011. Performance of sub1 NILs nedium deep stagnant conditions. Makalah Seminar Pemuliaan Berbasis Potensi Kearifal Lokal Menghadapi Tantangan Globalisasi, PERIPI Komda Banyumas, UNSOED Purwokerto, 8-9 Juli 2011.

Ritung, S. 2011. Karakteristik dan sebaran lahan sawah di Indonesia. Hlm 83-98. Dalam. Prossiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan lahan Terdegradasi. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Sasmita, P., dan Q. D. Ernawanto. 2011. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Padi Rawa Adaptif Pada Lahan Banjir dan Rendaman. http://jatim.litbang.pertanian.go.id/ind/phocadownload/p1.pdf

Sutanto, R. H. 2009. Review Hasil Pembahasan Workshop Pengembangan dan Pengelolaan

Rawa dalam Mendukung Upaya Ketahanan Pangan Nasional. 16 Desember 2009, Hotel Nikko

Jakarta. 27 hal.

Page 130: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

659

SERANGAN PENYAKIT KARAT DAUN (Puccinia horiana ) SERTA PERAN KHITOSAN DALAM PENGENDALIANNYA

PADA ADAPTASI KRISAN DI GUNUNGKIDUL

Tri Martini, Sugeng Widodo, dan Darmawan Darwis*

BPTP YOGYAKARTA, Jln. Stadion Maguwoharjo No.22 Sleman, DI Yogyakarta PAIR-BATAN, Jln. Lebak Bulus Raya, Jakarta Timur, DKI Jakarta

ABSTRAK

Upaya pengendalian penyakit utama pada budidaya krisan (karat daun) lebih difokuskan pada pengendalian hama terpadu (PHT), yang salah satu komponennya adalah melakukan penekanan inokulum awal dengan merompes (menghilangkan) daun pada awal pertumbuhan. Ekologi penyakit karat serta keragaan tanaman krisan yang diadaptasikan di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum pernah dilaporkan.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keragaan tanaman krisan serta ekologi penyakit utamanya yakni penyakit karat daun yang disebabkan oleh Puccinia horiana, serta mempelajari teknik pengendalian dengan bahan alami berupa Khitosan, yang diduga dapat memberikan efek kekebalan pada krisan.Penelitian dilakukan di screenhouse pada lokasi Taman Teknologi Pertanian (TTP) di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, DIY. Ketinggian lokasi berada pada 430 mdpl, penelitian dimulai sejak bulan Desember 2015 sampai dengan April 2016. Aplikasi pengendalian penyakit karat disusun dalam rancangan lingkungan yang sesuai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas serangan penyakit karat pada daun di bagian bawah berkisar 40 – 70%, sedangkan pada daun atas hanya berkisar 10 – 30%; intensitas serangan paling tinggi mencapai 30% pada saat tanaman berumur 6 mst; Rerata intensitas serangan penyakit karat pada perlakuan Khitosan sebesar 21,53%, sedangkan pada perlakuan kontrol (tanpa Khitosan) sebesar 36,13%; serta penggunaan bahan alami berbahan aktif khitosan efektif mengendalikan serangan penyakit karat daun krisan (Puccinia horiana).

Kata Kunci :serangan, penyakit, karat, Puccinia horiana, PHT, Khitosan, Krisan

LATAR BELAKANG

Permintaan bunga potong krisan dari tahun ke tahun terus meningkat.Hal ini dapat dilihat dari produksi bunga potong krisan pada tahun 2006 menempati urutan pertama sebesar 63.716.256 tangkai.Angka ini di atas mawar, sedap malam, gladiol dan anggrek. Tahun 2008 produksinya meningkat hingga 99.158.942 tangkai, jauh di atas anggrek dengan produksi 15.343.040, mawar 39.161.603 tangkai dan sedap malam 21.180.043 tangkai. Tahun 2009 total produksinya sudah mencapai 107.847.072 tangkai, dan tahun 2010 mencapai 185.232.970 tangkai. Permintaan pasar akan produk bunga krisan ini rata-rata meningkat 10% per tahun (Soedarjo dkk., 2009).

Performa fisik tanaman dan bunga merupakan hal yang sangat menentukan dalam sortasi dan grading yang pada akhirnya berpengaruh pada harga jual produk bunga krisan.Salah satu faktor penghambat dalam peningkatan produksi krisan adalah penyakit karat hitam yang disebabkan oleh Pucciana horiana.Penyakit ini berkembang baik pada kelembaban tinggi terutama dengan pertanaman rapat dan dapat menyebabkan kerusakan daun krisan hingga 100% (Maaswinkel, 2005).Gejala penyakit tampak pada bagian daun tanaman.Pada sisi bawah daun terdapat bintil-bintil coklat/hitam dan terjadi lekukan-lekukan mendalam yang berwarna pucat pada permukaan daun bagian atas.Bila serangan hebat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bunga.Daun-daun yang terserang karat menyebabkan rendahnya kualitas tangkai bunga dan nilai ekonomisnya (Marwoto,

Page 131: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

660

2005).Pengendalian terhadap penyakit yang dapat menurunkan kualitas krisan ini sangat diperlukan, apalagi mengingat perlunya memenuhi keinginan konsumen untuk mendapatkan krisan dengan kualitas yang disukai.

Kualitas bunga yang baik, ditentukan pula oleh kandungan unsur hara. Jika kekurangan salah satu kandungan unsur hara, dapat mengakibatkan terjadinya pertumbuhan dan produktivitas tanaman akan terganggu (Syekhfani, 2003).Untuk mengatasi keadaan tersebut perlu dilakukan penambahan hara dari luar yaitu dengan pemupukan melalui daun (Pupuk Pelengkap Cair/PPC).Pemupukan ditujukan untuk menyediakan bahan nutrient, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman(Sanusi dan Riyanto, 2003).Salah satu pupuk yang digunakan untuk meningkatkan produksi krisan antara lain pupuk Fitosan. Pupuk Fitosan merupakan hasil dari pemanfaatan limbah kulit udang yang diproses dengan radiasi gamma dan berkas elektron menjadi Oligochitosan. Fitosan mengandung zat penumbuh Gibberellin (Ga), Zeatin, Indole acetic acid yang bermanfaat antara lain untuk meningkatkan daya tumbuh tanaman, mencegah dan mengurangi penyakit tanaman dan meningkatkan imunitas serta produktivitas tanaman.

Adanya seranganpenyakit karat dapat menganggu konsisi performa fisik tanaman, sehingga kualitas pertumbuhan tanaman menurun. Untuk itu perlu dilakukan perlindungan tanaman sesuai dengan sistem pengendalian hama terpadu (PHT), pengendaliannya dapat dilakukan secara fisik, mekanis biologis, genetik, kimia, dan perbaikan budidaya. Penggunaan pupuk yang dapat memberikan efek samping perlindungan tanaman, dirasa sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan penyebarluasan inovasi teknologi di lapangan.Keinginan petani untuk melakukan aktivitas yang tidak membutuhkan tenaga tinggi, serta efektif perlu dipertimbangkan sehingga penggunaan dan pemilihan pupuk tambahan bagi tanaman krisan harus tepat.

Lokasi kegiatan penelitian pengujian pupuk cair berbahan aktif khitosan dilaksanakan di Taman Teknologi Pertanian (TTP) Nglanggeran, Gunungkidul.Ekologi penyakit karat serta keragaan tanaman krisan yang diadaptasikan di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum pernah dilaporkan.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keragaan tanaman krisan serta ekologi penyakit utamanya yakni penyakit karat daun yang disebabkan oleh Puccinia horiana, serta mempelajari teknik pengendalian dengan bahan alami berupa Khitosan,

METODOLOGI

Penelitian dilakukan di screenhouse pada lokasi TTP Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, DIY.Penelitian dimulai sejak bulan Desember 2016.Lahan pertanaman seluas 70 m2.Ukuran bedeng lebar bedengan 1 m; jarak antar bedengan 50 cm; jarak tanam dalam bedengan 10 cm x 10 cm. Jarak antar ulangan 50 cm memanjang dari timur ke barat.

Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok yang terbagi dalam tiga ulangan. Peubah yang diukur meliputi penampilan agronomis 5 varietas krisan, yakni Puspita Nusantara (PN), Kinanti, Pasopati, Dwina Kencana (DK), danSwarna Kencana (SK); serta penggunaan 3 jenis PPC, yakni Fitosan, Hyponex, dan Extragreen.Data kuantitatif yang mencakup tinggi tanaman danwaktu panen, dianalisis dengan Analisis Sidik Ragam dan uji lanjut dengan uji Jarak Berganda Duncan taraf 5%.Pengamatan intensitas penyakit dilakukan dengan mengamati tingkat kerusakan tanaman krisan akibat serangan karat daun, dengan cara diamati secara langsung pada tanaman. Intensitas penyakit P. horiana dianalisis dengan rumus Townsend dan Heuberger (dalam Unterstenhoffer, 1976) sebagai berikut :

Σ n

IP = ---------- x 100%

Z

Page 132: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

661

Keterangan :

IP = Intensitas Penyakit

n = Jumlah tanaman yang sakit (bergejala karat)

Z = Jumlah tanaman yang diamati

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi tanaman merupakan parameter pertumbuhan yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan (Sitompul dan Guritno, 1995). Tinggi tanaman merupakan indikator pertumbuhan yang paling mudah untuk diukur dan dianjurkan pada tanaman berbatang tunggal dengan percabangan lateral yang terbatas (Lakitan, 1996). Data hasil pengukuran tinggi tanaman disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 1. Rata-rata tinggi 5 varietas tanaman krisan dengan tiga jenis pupuk

Varietas Pupuk Hyponex Pupuk

Extragreen Pupuk Fitosan

PN 519.67 abc 480.67 ab 478.33 ab

DK 545.67 bcd 549.33 bcd 540.67 bcd

Pasopati 494.67 ab 454 a 550.67 bcd

Kinanti 700.33 f 684.67 ef 660.67 efg

SK 611 def 632.67 efg 600 cde

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%

Hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman krisan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa

interaksi antara jenis pupuk dengan keragaman varietas krisan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman krisan.Dari masing-masing perlakuan, hasil tertinggi ditunjukkan oleh varietas Kinanti, dan hasil yang terendah yaitu varietas Pasopati.Tanaman krisan yang ditanam dengan jenis pupuk Hyponex menujukkan hasil tertinggi untuk seluruh varietas, diikuti pupuk Extragreen, dan pupuk Fitosan.

Hasil penelitian lain di Balai Penelitian Tanaman Hias menunjukan bahwa pemberian pupuk pelengkap cair Hyponex cukup baik untuk pertumbuhan vegetatif tanaman anggrek hibrida (Wuryaningsih, 1992).Pemberian pupuk memberikan perbedaan yang nyata pada pertumbuhan tanaman anggrek pada fase vegetatif, hal ini dapat dimengerti karena pupuk yang diberikan dapat mensuplai ketersediaan hara (NPK), yang dilepaskan dari pupuk sehingga dapat menjaga atau memenuhi kebutuhan tanaman selama pertumbuhan.

Pendapat Simatupang (1997) bahwa tingginya hasil suatu varietas dikarenakan varietas tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan. Walaupun secara genetik varietas lain mempunyai potensi hasil yang baik, tetapi masih dalam tahap adaptasi, maka hasilnya lebih rendah dari pada yang seharusnya. Penelitian Hermiati (2000) yang menyatakan bahwa setiap varietas memiliki perbedaan dalam hal kemampuannya untuk mempertahankan hidup dan pertumbuhan individu dari iklim yang berbeda.Faktor genetik tanaman dan adaptasinya terhadap lingkungan menghasilkan pertumbuhan yang berbeda-beda, hal ini dapat dilihat varietas memberi pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil kubis bunga.

Page 133: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

662

Waktu panen atau umur berbunga tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Data hasil pengukuran waktu panen tanaman krisan yang ditanam dengan tiga jenis pupuk disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2. Rata-rata waktu panen 5 varietas tanaman krisan dengan tiga jenis pupuk.

Varietas Pupuk Hyponex Pupuk

Extragreen Pupuk Fitosan

PN 121.33 c 123 c 112.33 b

DK 133.67 d 133 d 123.67 c

Pasopati 112 b 113 b 102 a

Kinanti 110 b 110 b 109.67 b

SK 149 e 149.33 e 129 d

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%

Hasil analisis sidik ragam waktu panen tanaman krisan dengan pengaruh tiga jenis

pupuk pada Tabel 2, menunjukkan adanya beda nyata untuk waktu panen yang dipengaruhi oleh jenis pupuk, di mana penggunaan pupuk Fitosan memberikan efek paling cepat berbunga. Rata-rata untuk periode berbunga tanaman krisan tercepat ditunjukkan oleh varietas Pasopati yang disemprot Fitosan dengan waktu panennya umur 102 hari setelah tanam, diikuti oleh varietas Kinanti, Puspita Nusantara, Dwina Kencana, dan Swarna Kencana.

Dalam penelitian ini perbedaan lamanya waktu panen dengan deskripsi yang dikeluarkan oleh Balithi (2015) disebabkan oleh perbedaan lokasi ketinggian tempat atau elevasi penanaman, dan jenis pupuk pelengkap cair yang digunakan.Ketinggian tempat yang mempengaruhi iklim mikro di lingkungan pertumbuhan tanaman inilah yang menyebabkan perbedaan waktu panen.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh varietas lebih lama berbunga.Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Marwoto (2005), bahwa intensitas cahaya matahari yang penuh, justru dapat menunda pembungaan.Menurut Sanjaya (1997) bahwa setiap varietas memiliki ketahanan yang berbeda-beda, beberapa tanaman dapat melakukan adaptasi dengan cepat, namun sebaliknya ada tanaman yang membutuhkan waktu lama untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan.

Pembahasan mengenai intensitas serangan penyakit karat daun krisan dilakukan berdasarkan analisis data pengamatan minggu ke 2, 4, 6, 8, dan 10. Kisaran umur tanaman itu merupakan fase-fase kritis tanaman yang berhubungan dengan fase pertumbuhan vegetatif tanaman dengan pemberian hari panjang (2-6 minggu setelah tanam / mst), dan fase pertumbuhan generatif tanaman (6-10 mst). Pengaruh serangan penyakit karat daun pada fase-fase pertumbuhan tersebut berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan produksi tanaman.Pengaruh serangan penyakit terhadap tanaman diukur melalui perkembangan gejala penyakit karat dihubungkan dengan tingkat kerusakan daun.

Gambar 1. Gejala serangan penyakit karat daun (P. horiana) pada daun krisan

Page 134: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

663

Pengamatan terhadap kerusakan daun pada penyakit karat ditandai dengan gejala pada bagian sisi bawah daun terdapat bintil-bintil coklat atau hitam dan terjadi lekukan-lekukan mendalam yang berwarna pucat pada permukaan daun bagian atas.Serangan penyakit karat dimulai dari daun yang tua hingga daun muda.Serangan paling parah dapat menyebabkan tanaman mati sebelum berbunga.Bila serangan hebat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bunga dan batang. Infeksi biasanya nampak seperti karat, berwarna jingga, kuning, atau bercak putih sebagai hasil dari pecahnya epidermis, pembengkakan dan bahkan gall (Agrios, 1996).

Dari hasil pengamatan bagian tanaman yang terserang di lapangan terlihat bahwa daun di sebelah bawah merupakan bagian yang paling banyak diserang bila dibandingkan dengan daun atas.Intensitas serangan pada daun-daun dari 1/3 bagian tanaman pada posisi bawah berkisar 50-70%, sedangkan pada daun-daun dari 1/3 bagian tanaman pada posisi tengah berkisar 25-50%.Sedangkan pada daun-daun dari 1/3 bagian tanaman pada posisi atas hanya berkisar 10-25%.Daun bagian bawah lebih banyak diserang karat daun karena kelembaban yang lebih tinggi dibanding daun yang terletak di bagian tengah dan atas.Oleh karena itu pengaturan jarak tanam juga menjadi salah satu alternatif menekan keparahan serangan penyakit karat daun. Tanaman krisan yang ditanam dalam jarak yang terlalu berdekatan dapat mempengaruhi iklim mikro, misalnya kelembaban relatif menjadi lebih tinggi. Kondisi demikian sangat menguntungkan bagi pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran patogen (Marwoto, 2005). Jamur Pucciana horiana yang menginfeksi satu daun akan lebih mudah menginfeksi daun lainnya karena kontak langsung secara fisik.

Pengamatan intensitas serangan penyakit karat dilakukan pada umur 30 hari setelah tanam, mengingat pada periode tersebut merupakan periode awal terbentuknya knop bunga (fase generatif di mana kondisi tanaman akan mengalami depresi sebagai akibat dikuranginya periode terang (Martini, 2014). Selain itu peningkatan intensitas serangan terjadi penyebabnya karena inokulum yang patogenik, bentuk morfologi, dan genetik tanaman yang cocok, serta didukung oleh kondisi cuaca yang lembab disertai angin yang sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan patogen.Cuaca yang cukup sejuk dan lembab menyebabkan konidiofor dapat terbawa angin dan embun, kemudian menempel pada jaringan daun dan berkecambah.Menurut Chester, 1946 (dalam Hanudin et al., 2004), P. horiana menginfeksi tanaman melalui stomata, kemudian hifa masuk diantara sel (intra seluler) dan membentuk haustorium.Haustorium berfungsi untuk mengambil makanan dari inangnya.

Tabel 3.Rata-rata intensitas penyakit karat krisanpada variasi konsentrasi perlakuan

Perlakuan pupuk

Varietas

Pasopati PN DK SK Kinanti Fitosan 30.76c 7.69a 15.38b 30.76c 23.07c

Ekstragreen 46.53e 5.84a 43.84e 49.53e 38.46d

Hyponex 46.53e 3.46a 38.46d 48.53e 40.15de

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%

Hasil analisis sidik ragam terhadap presentase penyakit karat dengan perlakuan

fitosan menunjukkan hasil yang beda nyata dan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap intensitas serangan penyakit karat, di mana patogennya bersifat parasit obligat. Hal ini sesuai dengan penelitian Uthairatanakij (2007) yaitu Fitosandigunakansebagaiantivirus untuk tanamanchlilliyangdiserangolehvirusdaun keritingpada usia25hari setelah tanam. Haltersebut sesuai dengan penelitian Batan (komunikasi pribadi)yaitu kitosan memiliki mekanisme kerja yaitu dengan caramenginaktivasi replikasi yang dapat menyebabkan terhentinya multiplikasi dan penyebaran parasit obligat sehingga dapat menghambat infeksi virus. Selain itu nano partikel pada kitosan mampu menyebabkan kerusakan pada virus karena kitosan dapat mengikat asam nukleat pada saat virus melakukan penetrasi. Kitosan

Page 135: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

664

juga mampu menonaktifkan sintesis mRNA yang dikodekan oleh gen untuk metabolik dan infeksi dari virus.

Varietas Puspita Nusantara memiliki daya tahan terhadap penyakit karat lebih tinggi dibandingkan keempat varietas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi tanaman terhadap patogen berbeda, bergantung pada faktor genetik dari tanaman itu. Pada umumnya gejala penyakit akan timbul apabila terjadi interaksi antara inang, patogen, dan lingkungan, sehingga dikenal dengan sebutan segi tiga penyakit. Resistensi pada setiap varietas terhadap patogen disebabkan oleh struktur pertahanan jaringan tanaman yang meliputi ukuran, letak, dan bentuk stomata (Agrios, 1996).

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa serangan karat daun paling tinggi mencapai 49,53% pada varietas Swarna Kencana, sesuai dengan deskripsi Balithi (2015) yang menyebutkan bahwa varietas tersebut rentan terhadap serangan karat daun. Semakin banyak atau tinggi intensitas serangan karat daun pada tanaman maka proses fotosintesis tanaman semakin terganggu. Jumlah daun sehat yang semakin banyak atau tinggi menyebabkan tanaman lebih banyak menyerap radiasi matahari dan karbondiosida yang merupakan bahan dasar utama bagi berlangsungnya proses fotosintesis, sehingga proses fotosintesis diharapkan meningkat. Menurut Gardner et al. (1985) dengan bertambahnya tinggi maupun ukuran daun pada masa vegetatif yang disertai dengan kemampuan akar menyerap unsur hara dan air, akan semakin meningkatkan kemampuan tanaman untuk berfotosintesis. Hasil fotosintesis yang berupa karbohidrat berperan dalam mendorong pertumbuhan tanaman yang dapat menyebabkan terinisiasinya kuncup bunga (knop). Pada varietas dengan kerusakan berat atau jumlah pustul yang banyak pada daun, maka luas permukaan daun untuk fotosintesis menjadi lebih sempit. Dari bahasan tersebut, dapat diketahui bahwa pada varietas yang memiliki intensitas serangan karat tinggi, akan mengalami penurunan laju fotosintesis, yang tentu saja akan merugikan, yang berakibat pada turunnya performa tanaman, baik pada parameter tinggi tanaman, bahkan hingga waktu panen bunga.

KESIMPULAN

1. Intensitas penyakit karat daun pada daun-daun di 1/3 bagian tanaman pada posisi

bawah berkisar 50 – 70%, sedangkan pada daun-daun di 1/3 bagian tanaman pada posisi tengah berkisar 25 – 50%, serta pada daun-daun di 1/3 bagian tanaman pada posisi atas hanya berkisar 10 – 25%.

2. Rerata intensitas serangan penyakit karat pada perlakuan Khitosan sebesar 21,53%, sedangkan pada perlakuan kontrol (tanpa Khitosan) sebesar 36,13%; serta ternyata perlakuan penggunaan bahan alami berbahan aktif khitosan efektif mengendalikan serangan penyakit karat daun krisan (Puccinia horiana).

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, GN. 1996. Plant pathology. 3rd Ed. New York: Academic Press, Inc.

Balai Penelitian Tanaman Hias (BALITHI), 2015. Standar Oprasional Prosedur (SOP)

Produksi Bunga Potong Krisan (Dendrathema grandiflora, Tzvlev Syn.). Segunung,

Cianjur.

Gardner, FP., RB. Pearce, and RL. Mitchell. 1985. Physiology of crops plants. Terjemahan

Herawati Susilo, 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta.

Page 136: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

665

Hanudin, K. Kardin, dan Suhardi. 2004. Evaluasi ketahanan klon-klon krisan terhadap

penyakit karat putih. Jurnal Hortikultura 14:430–435. Badan Litbang Pertanian.

Puslitbang Hortikultura. Jakarta.

Hermiati. 2000. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Universitas Padjadjaran, Bandung.

Lakitan, B. 1996.Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Maaswinkel, R. 2005. Topics of the chrysanthemum cultivation in Indonesia.Protflow

training course. Pacet-Cianjur, September 2005.

Martini T.2014. Teknologi Budidaya Krisan di DIY. Buku Kumpulan Rekomendasi Teknologi

Pertanian. Komisi Teknologi Pertanian Provinsi DIY – Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah DIY.

Marwoto, B. 2005.Standar prosedur operasional budidaya krisan potong. Direktorat

Budidaya Tanaman Hias. Direktorat Jenderal Hortikultura. Departemen Pertanian.

Jakarta.

Safuan, L. O dan Andi, B. 2012.Pengaruh Bahan Organik Dan Pupuk Kalium Terhadap

Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Melon (Cucumis melo L.).Jurusan

Agroteknologi. Vol 2 (2) :69-76

Salisbury, F.B., dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi tumbuhan.Jilid 1Terjemahan Diah R. Lukman

dan Sumaryo.ITB : Bandung.

Sanjaya, L. 1997. Pengaruh nitrogen dan jumlah bunga per tangkai terhadap kualitas bunga

seruni.Prosiding Seminar Tanaman Hias. Sub Balai Penelitian Hotikultura Cipanas.

Jawa Barat.

Simatupang, S. 1997. Pengaruh Pemberian Boraks terhadap Pertumbuhan Produksi dan

Mutu Kubis Bunga. Jurnal Hortikultura. 6 (5): Halaman 465-469.

Soedarjo, M., Shintiavira, H., Supriyadi.Y dan Nasihin, Y. 2009.Teknologi Budidaya Untuk

Menghasilkan Bunga Krisan yang Berkualitas dan Berdaya Saing Secara

Komersial.Sinartani 7 (37) : 10-16

Unterstenhoffer G. 1976. The basic principles of crop protection field trials. Leverkusen:

Pflanzenshutz-Nachricten Bayer AG.

Uthairatanakij, A. Silva J.A.T, and Obsuwan K. 2007.Chitosan for Improving Orchid

Production and Quality.Orchid Sci and Biotech Global Science Books. Bangkok,

Thailand.

Wuryaningsih, S. 1992. Pengaruh Dosis NPK dan Jumlah Bunga per Tanaman Bunga Krisan

Lokal Putih (Chrysanthemum morifolium Ram).J.Hort (2)(4):26-34.

Page 137: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

666

PENGENDALIAN PENYAKIT EMBUN TEPUNG Oidium nephelii PADA RAMBUTAN DENGAN BEBERAPA JENIS FUNGISIDA

Sahlan dan Bambang Hariyanto

Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jl. Solok – Aripan Km. 8, Solok 27301 Sumatera Barat

Telp. (0755) 20137; e-Mail: [email protected].

ABSTRAK

Penelitian pengendalian penyakit embun tepung dengan beberapa bahan aktif fungisida dilakukan di KP. Percobaan Aripan dari bulan Juli – Desember 2014. Buah rambutan yang digunakan adalah kultivar rambutan Korong Gadang yang merupakan koleksi plasma nutfah rambutan yang telah berumur sekitar 20 tahun yang berasal dari sambungan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode ini bukan rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari tujuh perlakuan penyemprotan bahan aktif fungisida dengan dosis 2 gram/liter yaitu: A. Mancozeb 80%; B. Carbendazim 59.4%;. C. Clorotalonil 75.%; D. Campuran Carbendazim 6.2% dan Mancozeb 73.8%; E. Propineb 70%; F. Difenokonazol 25% dan G. Kontrol. Setiap kali penyemprotan datambahkan bahan perekat sebanyak 1 ml/lt larutan semprot. Penyemprotan dilakukan sebanyak 4 kali dengan interval seminggu sekali. Setiap perlakuan menggunakan 100 buah rambutan yang berukuran sekitar sebesar jagung yang terinfeksi penyakit embun tepung dan di ulang 3 kali. Parameter pengamatan meliputi persentase buah rusak dan intensitas kerusakan pada rambut, dan berat rata-rata buah yang dilakukan setelah buah masak dan dipanen. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kerusakan rambut dan persentase buah rusak terserang sebagai akibat dari penyemprotan fungisida masing-masing tinggal 21,25%-35,00 % dan 50,34%-66,34%, sementara pada kontrol masing-masing mencapai 90,34% dan 67,91% Meskipun demikian, penyemprotan fungisida tidak berpangaruh nyata terhadap berat rata-rata buah yang dipanen. Kata kunci : Rambutan, O. nephelli. Fungisida. Intensitas serangan. Persentase buah rusak.

PENDAHULUAN

Buah rambutan memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi, diantaranya karbohidrat,

protein, lemak, fosfor, kalium, kalsium, vitamin B1, B2, B3, B5, B6, B12, folat, mangan, magne-sium, zat besi dan vitamin C. Di dalam 100 g buah rambutan, terdapat kandungan kalori 69 kalori, 66,75 mg vitamin C. Selain itu dilaporkan juga bahwa kadar seratnya juga tinggi, yaitu 2 g per 100 g buah, sehingga sangat cocok untuk orang yang ingin diet menurunkan berat badan.

Kulit buah rambutan mengandung tanin dan saponin, yang dapat digunakan untuk obat disentri dan demam. Sementara itu bijinya mengandung lemak dan polifenol yang dapat digunakan untuk mengatasi diabetes mellitus atau penyakit kencing manis. Daun mengandung tannin dan saponin. Kulit batang mengandung tannin, saponin, flavonida, asam pektat, dan zat besi dan dapat dibuat sebagai obat kumur sebagai obat sariawan.

Sejak lima sampai sepuluh tahun terakhir buah rambutan di berbagai daerah terserang berat penyakit embun tepung. Bahkan serangan penyakit embun tepung initelah mencapai tingkatepidemi. Namun demikian, sampai saat ini secara kuantitas belum diketahui secara pasti berapa kerugian akibat serangan penyakit embun tepung ini. Yang jelas, penampilan buahnya setelah matang sangat tidak menarik karena rambut-rambutnya menjadi pendek dan cenderung gundul.

Page 138: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

667

Penyakit embun tepung dilaporkan untuk pertama kalinyadiIndonesia menyerang tanaman rambutan di Bogor dan Jakarta oleh T. Hadiwijaya pada tahun 1949. Penyebab penyakit ini adalah jamur spesiesOidium sp.Karenajamur ini diduga hanya menyerang tanaman rambutan, maka diberi nama O.nepheliinov.sp. Hadiwijaya. (Hadiwidjaja, 1950). Untuk saat ini, jamurembun tepungmerupakansalah satu kelompok penyebab penyakit yang paling banyak tersebar danmerusak pertanaman rambutan di seluruh dunia seperti Sri Langka, Thailand, Malaysia, Philipina dan Indonesia (Braun etal., 2002). Garcia, 1983;Coatesetal, 2003).

Penyakit embun tepung pada rambutan ini terutama menyerang bagian vegetatifdanreproduksi yang masih mudadanaktif tumbuh(tunas, bungadan buah-buah muda) sementaradaun tuadanbuah–buah yangtidak terserang. Infeksiawal penyakit embun tepung pada buah-buah muda akan menyebabkanperkembangan buahnya menjadi lambat, terjadinya deformasi, nekrosisdan rambut-rambut buah menjadi memendek (Gambar 1 dan 2). Akibat serangan penyakit embun tepun ini akan menyebabkan terjadinya perubahan warna pada rambut menjadi coklat(Rajapaksee etal. 2006).

Gambar 1 Penampilan gejala buah rambutan muda terserang penyakit embun tepung.

Page 139: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

668

Gambar 2. Penampakan buah rambutan muda yang terserang penyakit embun tepung.

Tampak rambutnya memendek dan kulitnya berwarna coklat kehitaman. Berbagai upaya pengendalian penyakit embun tepung ini telah dilakukan di beberapa

negara, seperti Srilangka, Thailand dan Philipina. Laporan menyebutkan bahwa serangan penyakit embun tepungpadapohon rambutan dapat dikendalikan secara efektif denganpenyemprotanbelerang, senyawa fungida sistemik yang mengandung sterol inhibitingsepertibitertanol, etaconazoledantriforine, fungisidachlorothalonil500SC, Thiophanatemetil70WPatauSulphur80WP dengan interval 7- 10 hari begitu penyakit embun tepung ditemukan(Agrios, 1997; Tindall, 1994; Alahakoon etal. 2010), penyemprotan dengan azadirachtinEC, produk alami dari nimba(Azadirachta indica) (Singh danPrithiviraj, 1997). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan satu komponen pengendalian penyakit embun tepung pada rambutan.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan di KP. Percobaan Aripan dari bulan September – Desember 2014.

Buah rambutan yang digunakan adalah kultivar rambutan Korong Gadang yang merupakan koleksi plasma nutfah rambutan yang telah berumur sekitar 20 tahun yang berasal dari sambungan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari tujuh perlakuan penyemprotan bahan aktif fungisida dengan dosis 2 gram/liter yaitu: A. Mancozeb 80%; B. Carbendazim 59.4%; C. Chlorotalonil 75.%; D. Campuran Carbendazim 6.2% dan Mancozeb 73.8%; E. Propineb 70%; F. Difenokonazol 25% dan G. Kontrol. Setiap kali penyemprotan datambahkan bahan perekat sebanyak 1 ml/lt larutan semprot. Penyemprotan dilakukan sebanyak 4 kali dengan interval seminggu. Setiap perlakuan menggunakan 100 buah rambutan yang berukuran sekitar sebesar jagung yang terinfeksi penyakit embun tepung dan di ulang 3 kali. Pengamatan terhadap serangan embun tepung dilakukan pada saat buah rambutan berukuran sekitar sebesar biji jagung.

Page 140: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

669

Variabel pengamatan meliputi saat panen pengamatan terhadap persentase buah rusak dan Intensitas penyakit kerusakan rambut akibat serangan embun tepung pada permukaan kulit buah yang dipanen.

a. Persentase buah yang rusak terserang penyakit embun tepung dihitung dengan

rumus : A P = ------ X 100 %,

B dimana P : Persentase buah terserang,

A : Jumlah buah terserang B : Jumlah total buah yang diamati

b.Intensitas serangan penyakit tiap perlukan dihitung berdasarkan jumlah buah yang menunjukkan gejala serangan embun tepung dengan rumus sebagai berikut:

Σ n b I = -------- x 100 % (N-1)T

dimana n = Jumlah buah yang diamati b = Nilai skala setiap kategori serangan N = Total skore yang digunakan T = Total jumlah buah yang di amati. Nilai skala kategori serangan (Lampiran I): 0 = Rambut sehat/utuh 1 = < 10 % rambut pada kulit buah rusak 2 = 11 – 25 % rambut pada kulit buah rusak 3 = 26 – 50 % rambut pada kulit buah rusak 4 = > 51 % rambut pada kulit buah rusak

c. Berat rata – rata buah masing-masing perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan pada saat panen terhadap jumlah buah rambutan yang rusak akibat

terserang penyakit embun tepung menunjukkan bahwa semua bahan aktif fungisida yang digunakan efektif untuk mengendalikan penyakit (Gambar 3). Buah rambutan yang tidak disemprot pada saat dipanen rata-rata tingkat kerusakannya mencapai 90.34% dan berbeda nyata dengan yang dilakukan penyemprotan. Rata-rata masih tingginya buah yang mengalami kerusakan pada rambutnya diduga disebabkan oleh terlambatnya waktu dilakukannya penyemprotan dan rendahnya dosis fungisida. Rajapaksee etal. (2006) melaporkan bahwa penyemprotan senyawa sulfur sebanyak 5g/l pada 10 dan 20 hari setelah pembuahan dapat mengendalikan penyakit embun tepung rambutan.

Meskipun penyemprotan dapat menghentikan laju kerusakan pada rambut buah rambutan akibat infeksi penyakit embun tepung, akan tetapi rambut buah yang sudah mengalami nekrosis dan mengering sudah tidak dapat lagi untuk meregenerasi kembali sehingga rambut buah menjadi kembali utuh. Di sisi lain, penyemprotan yang terlalu awal misalnya sebelum bunga mekar dikhawatirkan akan dapat mengganggu serangga polinator atau serangga penyerbuk bunga sehingga proses penyerbukan tidak maksimal yang pada akhirnya buah-buah tidak terserbuki berkurang sehingga buah yang jadipun akan menjadi jauh berkurang.

Page 141: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

670

Gambar 3. Pengaruh bahan aktif fungisida terhadap jumlah buah rusak (%) Ket : *) gambar balok-balok yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut

Uji Nyata Berjarak Duncan pada taraf uji 0,05.

Pengamatan terhadap besarnya tingkat kerusakan yang terjadi pada rambut menunjukkan bawa penyemprotan fungisida efektif untuk menghentikan laju infeksi penyakit yang ditandai dengan rendahnya tingkat kerusakan yang terjadi pada rambut-rambut buah rambutan (Gambar 4) dan berbeda nyata dengan kontrol. Dari data di atas menunjukkan bahwa tingkat kerusakan pada rambut buah yang disemprot berkisar antara 21.25%-35.00 %, sementara pada yang tidak disemprot tingkat kerusakan pada rambutnya mencapai 67.91%.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

A B C D E F G

Jum

lah

bu

ah r

usa

k (

%)

JENIS FUNGISIDA

A= Mancozeb 80%

B= Carbendazim 59,40%

C= Chlorothalonil 75,00%

D= Carbendazim 6.2% + Mancozeb 73,80%

E= Propineb 70,00 %

F= Difekonazole 25%

G= Kontrol

a a a a a

a b

a

a

a a a

a

b

Tingkat kerusakan rambut (%)

A= Mancozeb 80%

B= Carbendazim 59,40%

C= Chlorothalonil 75,00%

D= Carbendazim 6.2% + Mancozeb 73,80%

E= Propineb 70,00 %

F= Difekonazole 25%

G= Kontrol

Page 142: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

671

Gambar 4. Pengaruh bahan aktif fungisida terhadap tingkat keparahan rambut buah yang

Rusak (%) Ket : *) gambar balok-balok yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata

menurut Uji Nyata Berjarak Duncan pada taraf uji 0,05.

Dilihat dari segi penampilan buah, buah-buah rambutan yang terserang penyakit embun tepung rambut-rambut buahnya akan menjadi rusak dan memendek bahkan pada tingkat kerusakan yang parah buah rambutan menjadi gundul Hal ini disebabkan karena permukaan kulit buah yang terinfeksi embun tepung akan mengalami nekrosis, berubah warnanya menjadi keocklat-coklatan dan mengering. Infeksi embun tepung pada permukaan rambut buah disamping menjadi nekrosis dan berwarna kecolat-coklatan juga menyebabkan jaringan rambut tersebut menjadi mati dan mengering, rapuh dan akhirnya gugur. Akibatnya sedikit atau banyak rambut-rambutnya menjadi memendek mendekati gundul (Gambar 5.). Karena itu serangan penyakit embun tepung ini yang paling merugikan secara kualitas adalah rusaknya keindahan buah-buah rambutan tersebut karena menjadi gundul sehingga tampilannya jadi sangat tidak menarik.

0

10

20

30

40

50

60

70

A B C D E F G

JENIS FUNGISIDA

Page 143: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

672

Gambar 5. Penampilan buah rambutan masak terserang berat penyakit embun

tepung. Tampak rambutnya memendek sehingga mendekati gundul. Pengamatan terhadap berat buah rata-rata menunjukkan bahwa berat rata-rata buah

yang disemprot dengan kontrol tidak menunjukkan beda yang nyata. Dari data ini menunjukkan bahwa infeksi penyakit embun tepung tidak berpengaruh terhadap bobot buah yang terserang (Gambar 6). Secara makroskopis menunjukkan bahwa infeksi O. nephelli hanya menginfeksi permukaan kulit buah dan rambut, tidak masuk menginfeksi kedalam daging buah sehingga daging buah masih dapat dikonsumsi.

Gambar 6. Pengaruh bahan aktif fungisida terhadap berat rata-rata buah (gr) Ket : *) tidak ada beda nyata menurut Uji Nyata Berjarak Duncan pada taraf uji 0,05.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

A B C D E F G

JENIS FUNGISIDA

Ber

at b

uah

(gr)

A= Mancozeb 80% B= Carbendazim 59,40%

C= Chlorothalonil 75,00%

D= Carbendazim 6.2% + Mancozeb 73,80%

E= Propineb 70,00 % F= Difekonazole 25%

G= Kontrol

Page 144: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

673

Secara keseluruhan menunjukkan bahwa enam jenis bahan aktif fungisida yang digunakan untuk mengendalikan penyakit embun tepung pada buah rambutan menunjukkan efektifitas yang sama. Sebaliknya, hasil penelitian sebelumnya pada tanaman lain menggunakan berbagai bahan aktif fungisida menunjukkan hasil yang bervariatif. Hanzada et al. (2005) melaporkan bahwa Carbendazim sangat efektif untuk mengendalikan penyakit dieback dan layu pada tanaman mangga serta dapat memacu pertumbuhan fegetatif tanaman. Rawal (1998) melaporkan bahwa penyakit die-back pada mangga dapat dikendalikan dengan cara menyemprotkan Carbendazim 0.1%, Methyl-ethiophanate @ 0.1% atau Chlorothalonil 0.2% dengan interval dua minggu sekali.

Senyawa fungisida dithiocarbamat seperti Zineb, Mancozeb, Maneb, Ziram, Ferbam, Thiram, Nabam diketahui sebagai fungisida yang aman dan efektif digunakan dan relative murah serta kurang beresiko terhadap munculnya resistensi pada penyakit tanaman, kecuali Mancozeb dan Propineb (Prakash and Misra, 1986; Persley et al., 1989; Saleem, 1999; Chavan et al., 2009). Sementara fungisida yang mengandung Sulfur baik dalam bentuk serbuk atau cairan sangat efektif untuk mengedalikan penyakit embun tepung pada mangga (Palti et al., 1974; Gupta and Yadav, 1984; Prakash and Misra, 1986; Kawate, 1993; Prakash and Raoof, 1994; Desai, 1998; Chavan et al., 2009), akan tetapi pada cuaca panas di atas 300C fungisida ini dapat menyebabkan kerusakan bunga dan buah-buah mangga muda (Peterson et al., 1991).

Pada tanaman tomat, senyawa mancozeb dengan 12 g/L dan 16 g/L air dengan interval waktu penyemprotan 7, 14, 21 dan 28 hari sangat efektif mengendalian penyakit Leaf Blight Alternaria. (Gondal et al, 2012., Mheswari et al, 1991; Sobolewski and Robak, 2004). Akem (2006) melaporkan bahwa senyawa benzimidazoles, terutama benomyl dan carbendazim sangat efektif untuk mengendalikan penyakit anthracnose dan embun tepung pada mangga (McMillan, 1973; Gupta and Dang, 1980; Gupta and Yadav, 1984; Chavan et al., 2009). Wicks & Lee (1982) melaporkan bahwa senayawa Mancozeb sangat efektif menghambat perkecambahan spora Plasmopara viticola yang menyerang tanaman anggur.Khan et al (2014) pada penelitiannya mendapatkan bahwa senyawa Chlorothalonil lebih efektif dari pada Mancozeb dan Propineb untuk mengendalikan penyakit becak daun Cercospora pada kacang tanah, sementara Sunkad et al. (2005) melaporkan bahwa penyemprotan Chlorothalonil (0.2%), Propiconazole (0.1%) dan Mancozeb (0.1%) untuk mengedalikan becak daun Cercospora pada kacang tanah mendapatkan bahwa senyawa Chlorothalonil lebih efektif daripada Propiconazole dan Mancozeb.

KESIMPULAN

1. Pengendalian penyakit embun tepung dengan cara penyemprotan beberapa fungisida dengan bahan aktif yang digunakan berhasil menurunkan jumlah buah rusak dan tingkat kerusakan rambut buah dan berbeda nyata dengan yang tidak disemprot fungisida.

2. Penyemprotan berbagai bahan aktif fungisida tidak berpengaruh terhadap berat buah rata-rata yang dipanen.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. (1997). Plant pathology. Academic Press, 295-298 Akem, C.N. 2006. Mango anthracnose disease: Present status and future researchpriorities.

PlantPathology Journal 5:266-273.

Page 145: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

674

Alahakoon, P. W. N. H. Jayawardana, K.C. Madushani and R.K.Nilmini. 2010. Introduction of bio-fungicides for controlling powdery mildew disease of rambutan. Proceedings of the International Forestry and Environment Symposium 2010 of the Department of Forestry and Environmental Science, University of Sri Jayewardenepura, Sri Lanka. Pp: 303-308.

Anonimous 2013. Notices Federal Register Vol. 78, No. 26 Thursday, February 7, 2013. Braun U, Cook TA, Inman AJ, Shin HD (2002). The taxonomy of the powdery mildew fungi, 13-

55 p. In: Belanger RR, Bushnell WR, Dik AJ, Carver TLW (Eds.). The Powdery Mildews: A comprehensive Treatise. APS Press, St. Paul, MN.

Chavan, R.A., Deshmukh, V.D., Tawade, S.V., Deshmukh, J.D., 2009. Efficacy of fungicides for

managing powdery mildew of mango. Int. J. Plant Prot. 2, 71-72. Coates, L. M., S. Sangchote, D. I. Jononson and C. Sittigul . 2003. Diseases of Longan, Lychee

and Rambutan. Diseases of tropical fruit crops Edited by R. C. Ploetz. CABI Publishing, 307-325.

Desai, S.A., 1998. Tridemefon in the control of powdery mildew of mango. Karnataka J. Agric.

Sci. 11, 244-245. Garcia, A. S. 1983. The powdery mildew disease of rambutan. Philippine PhytoPathology, Vol.

19, Pp15-16 Gondal AS, Ijaz M, Riaz K, Khan AR (2012) Effect of Different Doses of Fungicide (Mancozeb)

against Alternaria Leaf Blight of Tomato in Tunnel. J Plant Pathol Microb 3:1-3. Gupta, J.H., Yadav, A.S., 1984. Chemical control of powdery mildew of mango. Indian J. Mycol.

Plant Pathol. 14, 297-298. Gupta, P.C., Dang, J.K., 1980. Occurrence and control of powdery mildew of mango in

Haryana. Indian Phytopathol. 33, 631-632 Hadiwidjaja, T 1950. A powdery mildew on rambutan. Landbouw. 22:245-257. Hanzada, MA, AM. Lodhi and S. Shahzad 2005. The causal agent of mango decline in Sindh .

Pak. J. Bot., 37(4): 1023-1030. Kawate, M., 1993. Pesticides registered for mango. In: Chia, C.L., Evans, D.O. (Eds.),

Proceedings: Conference on Mango in Hawaii, March 9e11, 1993. University of Hawaii at Manoa, pp. 25-27.

Khan, A.R., Ijaz, M., I.U. Haq, A. Farzand and M. Tariqjaved 2014. Management of Cercospora

leaf spot of groundnut (Cercospora arachidicola&Cercosporidium personatum) through the use of systemic fungicides. Cercetari Agronomice în MoldovaVol. XLVII , No. 2: 97-102

Maheswari SK, Gupta and PC, Gandhi SK (1991) Evaluation of different fungitoxicants against

early blight of tomato. Agricultural Science Digest 11: 201-202. McMillan Jr., R.T., 1973. Control of anthracnose, powdery mildew of mango with systemic

and non-systemic fungicides. Trop. Agric. (Trinidad) 50, 245-248. Palti, J., Pinkays, Y., Chorin, M., 1974. Powdery mildew of mango. Plant Dis. Rep. 58, 45-49. Persley, D.M., Pegg, K.G., Syme, J.R., 1989. Queensland Department of Primary Industries

Information Series: 188018. Fruit and Nut Crops- a Disease Management Guide.

Page 146: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

675

Peterson, R.A., Schipke, L.G., Clarkson, P.C., 1991. Significance of two mango flower diseases in the dry tropics. In: Proceedings of the 3rd International Mango

Prakash, O., and Misra, A.K., 1986. Evaluation of Mango Germplasm Against Powdery Mildew Under Natural Condition. Annual Report. CIHNP, Lucknow, pp. 62-63.

Prakash, O., and Raoof, M.A., 1994. Studies on powdery mildew (Oidium mangiferae) disease

of mango: distribution, perpetuation, losses and chemical control. Biol. Mem. 20, 31e45.

Rajapakse; R.P.G.A.S. E. R. S. P. Edirimanna and J. Kahawatta. 2006. Management of powdery

mildew disease of rambutan (Nephelium lappaceum L.) in Sri Langka. The Journal of Agricultural Sciences, 2 (3): 8-14.

Rawal, R.D. 1998. Management of fungal diseases in tropical fruits. In:

Tropical.FruitsinAsia:Diversity,Maintenance,ConservationandUse. (Eds.): R.K. Arora and V. Ramanatlia Rao. Proceedings of the IPGRI-ICAR-UTFANET Regional training course on the conservation and use of germplasm of tropical fruits in Asia held at Indian Institute of Horticultural Research, 18-3J May 1997, Bangalore, India.

Saleem, A., 1999. Recent developments in the management of mango diseases. In: Proceedings

of the 2nd National Conference of Plant Pathology, September, 27-29, 1999. University of Agriculture, Faisalabad, pp. 6-11.

Singh, U. P. and B. Prithiviraj 1997. Neemazal, a product of neem (Azadirachta indica)

induces resistance in pea (Pisum sativum) against Erysiphe pisi. Physiological andMolicular Plant Pathology. 51, 181-194.

Sobolewski J, Robak J (2004) New products used for complex disease control on tomato

growing in open field. Progressive Plant Protection 44: 1105-1107. Sunkad G., Mesta R.K., Mahadevareddy, 2005 - Field efficacy of some fungicides for effective

and economical control major foliar diseases of groundnut. Karnataka J. Agric. Sci.,Vol. 18 no. 4 pp: 995997.

Symposium Held at Darwin, 24e29th September, 1989, pp. 338-343. Tindall, H. D. 1994. Rambutan cultivation. In: FAO plant production and protection paper No.

121, pp 135-141. Wicks T, and Lee TC (1982) Evaluation of fungicides applied after infection for control of

Plasmopara viticola on grapevine. Plant Disease 66:839-841.

Page 147: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

676

KEANEKARAGAMAN SERANGGA TANAH PADA LAHAN

SAYURAN DI KECAMATAN KAYU ARO, KABUPATEN KERINCI,

PROVINSI JAMBI

Ratna Rubiana1)*, Araz Meilin2)*

1) Calon Peneliti, 2) Peneliti Madya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jl. Samarinda Paal V, Kotabaru, Jambi

*e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Beberapa jenis serangga permukaan tanah dapat digunakan sebagai petunjuk

(indikator) terhadap kesuburan tanah. Penelitian bertujuan untuk mengetahui

kenekaragaman serangga tanah di lahan sayuran di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci.

Pengambilan sampel serangga tanah dilakukan di tiga desa yaitu Desa Koto Tuo, Sangir

Tengah dan Tanjung Bungo, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi dengan

metode perangkap jebak (pitfall trap). Perangkap dipasang sebanyak 10 titik secara acak dan

menyebar pada tiap desa. Perangkap jebakan dipasang selama 2 malam. Serangga yang

terkumpul disortasi dan diidentifikasi serta dhitung jumlahnya. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terdapat 2.120 individu yang termasuk dalam 10 ordo dan 35 spesies serangga. Indeks

keanekaragaman Shannon-Wiener 2.27 – 2.93 atau termasuk sedang. Keanekaragaman

serangga yang paling tinggi ditemukan di desa Sangir Tengah. Sedangkan nilai indeks Eveness

yang diperoleh berkisar 0.92 – 0.94 yang berarti penyebarannya semakin merata. Kelompok

serangga yang ditemukan sebagai indikator kesehatan lingkungan karena dapat menunjukkan

sensitivitas atau toleransi terhadap kondisi lingkungan adalah semut. Semut hanya ditemukan

sebanyak 19 perjumpaan dari 30 titik yang ada. Hal ini mengindikasikan bahwa secara kimia

lahan tersebut terdegradasi.

Kata kunci: bioindikator, serangga tanah, kenakeragaman serangga

PENDAHULUAN

Keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai kemampuan hidup dan pergantian

antara organisme hidup dari semua sumber kehidupan. Hal ini dapat dipelajari pada

berbagai tingkatan, termasuk keanekaragaman dalam spesies maupun antar spesies dalam

ekosistem. Pada tingkat tertinggi, keanekaragaman hayati dapat untuk melihat semua

spesies yang berbeda di seluruh bumi. Pada skala yang lebih kecil, keanekaragaman hayati

dipelajari dalam ekosistem tertentu dengan mengidentifikasi organisme tertentu yang hidup

di dalamnya (UNESCO 2010).

Keanekaragaman hayati, termasuk jumlah, kelimpahan, dan komposisi jenis genotype,

populasi, spesies, fungsional spesies, komunitas dan landskap, sangat mempengaruhi

penyediaan layanan ekosistem. (Chapin et al. 1996). Penyediaan layanan ekosistem dapat

berupa penyebaran benih, regulasi iklim, penyerapan karbon, pengendalian hayati hama dan

penyakit tanaman, pembentukan tanah dan lain sebagainya. Oleh karena itu

Page 148: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

677

keanekaragaman hayati memainkan peranan penting dalam kestabilan ekosistem dari

interaksi spesies hewan dan tumbuhan dalam ekosistem (Tilman 2002).

Salah satu bagian dari studi keanekaragaman hayati adalah biomonitoring.

Biomonitoring memiliki tujuan utama menggunakan organisme hidup dalam suatu

ekosistem untuk memantau dampak gangguan terhadap pengelolaan suatu ekosistem.

Misalnya untuk menunjukkan bahwa gangguan berupa infestasi bahan kimia pada tanah

terhadap keanekaragaman hayati dalam suatu agrosistem yang berakibat pada penurunan

produktivitas. Serangga termasuk taksa yang dapat digunakan sebagai indikator suatu

agroekosistem karena memiliki amplitudo yang sempit terhadap perubahan iklim mikro.

Untuk itu dengan meneliti keanekaragaman serangga tanah, keanekaragaman serangga yang

memiliki peranan yang berbeda dapat diekplorasi.

Serangga yang seringkali digunakan sebagai biomonitoring adalah Semut

(Hymenoptera: Formicidae) merupakan kelompok serangga yang paling dominan di habitat

terrestrial (Hölldobler dan Wilson 1990). Hal inilah yang menjadikan semut sangat sesuai

untuk melihat tingkat gangguan yang terjadi di permukaan tanah.

Kabupaten Kerinci dikenal sebagai sentra sayuran yang diduga sudah mengalami

jenuh pupuk dan pestisida. Kondisi ini adalunescoah akibat aplikasi bahan kimia melalui

pemupukan dan pestisida yang tidak seimbang serta pola budidaya konservasi yang tidak

dilakukan oleh petani, akibatnya produktivitas menurun bahkan dapat menyebabkan

kegagalan panen. Untuk dapat lebih memahami proses-proses yang terjadi berkenaan

dengan penurunan produktivitas, diperlukan berbagai penelitian mengenai dampak residu

pestisida terhadap keanekaragaman hayati. Salah satu indikator penting yang dapat

digunakan adalah serangga tanah karena serangga cukup sensitif terhadap perubahan

habitat disekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari keanekaragaman

serangga pada lahan sayuran, (2) mempelajari peranan serangga tanah pada lahan sayuran.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada lahan sayuran yaitu pertanaman kentang di Desa Koto Tuo

dan Desa Tanjung Bungo, serta pertanaman kubis di Desa Sangir Tengah, Kecamatan Kayu

Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Waktu penelitian mulai dari Februari sampai dengan

Mei 2016. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah perangkap jebak (pitfall)

(Gambar 1) dan GPS. Bahan yang digunakan yaitu air sabun, alkohol 70%, plastik, ependorf

tube 5 ml dan kertas label.

Page 149: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

678

Gambar 1. Konsep perangkap jebak (pitfall trap)

Pitfall trap dipasang secara acak dengan jarak 1 meter antar jebakan. Untuk setiap lahan diambil sepuluh titik. Ke dalam pitfall trap dimasukkan larutan air sabun dan alkohol dengan perbandingan 3 : 1 sebagai perangkap untuk serangga yang terjatuh. Pifall trap tersebut dipasang selama 2 malam, setelah itu serangga yang terjatuh di dalam pifall trap dikoleksi. Semua spesimen dibawa ke laboratorium dan disimpan dalam ependorf tube 5 ml

yang telah diisi dengan alkohol 70% dan dilabeli. Identifikasi dilakukan sampai pada tingkat ordo dan jika memungkinkan sampai family.

Data morfospesies yang terkumpul dianalisis untuk mendapatkan kurva akumulasi spesies untuk pendugaan keseluruhan spesies yang ada diperoleh dari nilai estimasi S(observasi) dengan EstimateS v.5 (Colwell dan Coddington 1994). Keanekaragaman alfa ditunjukkan dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang disarikan dari Magurran (2003). Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan software R Statistic (R-Development 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kurva akumulasi spesies yang berupa nilai estimasi S(est) yang diperoleh dari data

menunjukkan jumlah keseluruhan spesies yang dikumpulkan dari semua titik contoh memperlihatkan adanya peningkatan dan pada akhirnya melandai (Gambar 2).

Hal ini menunjukkan bahwa titik dimana jumlah spesies tidak mengalami pertambahan, diawali pada titik ke 5 atau 6, sehingga penambahannya sudah stabil sehingga sampel serangga tanah dianggap mewakili ekosistem tanah pada lahan sayuran.

Page 150: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

679

Gambar 2. Kurva akumulasi spesies serangga tanah di lahan sayuran

Serangga yang diperoleh dari keseluruhan plot pada pertanaman kentang terdiri dari

2.120 individu yang termasuk dalam 10 ordo dan 35 morphospesies (Gambar 2).

Gambar 2. Jumlah individu dan ordo serangga pada lahan sayuran di Kecamatan Kayu Aro

Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener termasuk sedang karena nilai indeksnya

antara 1.5 – 3.5 (Tabel 1). Keanekaragaman serangga yang paling tinggi ditemukan di desa

Sangir Tengah. Sedangkan menurut konsep kemerataan, jika nilai indeks Eveness yang

diperoleh mendekati 1 berarti penyebarannya semakin merata. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa penyebaran spesies pada lahan sayuran di tiga desa hampir sama rata.

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1 5 9 13 17 21 25 29 33

S(est) Koto Tuo

S(est) Sangir Tengah

S(est) Tanjung Bungo

0 50 100 150 200

Acarina

Arachnida

Arachnidae

Coleoptera

Collembola

Diptera

Hemiptera

Hymenoptera

Lepidoptera

Orthoptera

Tanjung Bungo Sangir Tengah Koto Tuo

> 200 individu

Page 151: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

680

Tabel 1 Keanekaragaman serangga di Kecamatan Kayu Aro pada pertanaman kentang

Desa Jumlah Spesies Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)

Indeks Kemerataan Evennes (E)

Koto Tengah 11 2.274241 0.948432 Sangir Tengah 24 2.933446 0.923032 Tanjung Bungo 22 2.877007 0.930756

Berdasarkan peranannya total individu serangga tanah dapat dilihat dari diagram (Gambar 3). Jumlah spesies serangga herbivora pada kedua lokasi pengamatan memiliki jumlah tertinggi yaitu 10 spesies di Koto Tuo dan 18 spesies di Sangir Tengah. Serangga herbivora dapat dikategorikan sebagai hama apabila serangga tersebut mengakibatkan kerugian yang melebihi ambang ekonomi. Namun demikian seringkali petani tidak mau mengambil risiko tersebut, sehingga seringkali mengaplikasikan insektisida sesegera mungkin ketika menemukan beberapa serangga. Sering juga ditemui, petani belum bisa membedakan mana serangga yang berperan sebagai hama atau musuh alami yang penting bagi pengendalian hama.

Predator atau parasitoid lebih banyak ditemukan di Desa Tanjung Bungo yaitu 23 spesies. Lokasi pengamatan di Desa Tanjung Bungo merupakan pertanaman kentang milik Balai Benih Induk Kentang (BBI Kentang) yang menjadi percontohan bagi petani dalam pengolahan tanah maupun pengendalian hama terpadu. Sehingga dalam pengelolaannya, BBI Kentang mengaplikasikan pestisida sesuai dengan cara dan dosis yang sesuai dengan prosedurnya. Jika hal tersebut dilakukan maka hama sasaran akan dapat dikendalikan dan serangga musuh alami tetap bertahan hidup.

Serangga herbivora yang mendominasi lahan lokasi pengamatan adalah dari Ordo Coleoptera, Hemiptera, Thysanoptera dan Acrididae. Serangga-serangga tersebut menjadi hama pada pertanaman kentang, karena menyerang daun, batang dan akar. Contohnya pada pertanaman kentang di Desa Tanjung Bungo, ditemukan thrips yang menyerang tanaman dengan cara menghisap cairan daun, sehingga daun tanaman terserang tampak mengeriput lalu keriting. Bagian bawah daun berwarna keperakan karena bagian dalam daun berongga setelah cairannya terhisap. Serangga Hemiptera yang ditemukan adalah sejenis kutu-kutuan, yang mulutnya berfungsi menusuk maupun menghisap bagian tanaman sayuran, seperti daun, bunga, buah, maupun kuncup tunas.

Koto Tuo Sangir Tengah

Page 152: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

681

Gambar 3 Diagram serangga tanah berdasarkan peranannya

Dari 30 titik pengamatan di ketiga lokasi, sangat jarang ditemui Semut (Hymenoptera: Formicidae) yang merupakan salah satu kelompok serangga sosial yang kosmopolitan karena memiliki kekayaan dan kelimpahan jenis yang tinggi. Rubiana et al. (2015) menggunakan semut sebagai bioindikator terhadap dampak transformasi habitat di Jambi. Hal tersebut karena semut mudah dikoleksi serta sensitif pada perubahan lingkungan. Selain itu, semut juga digunakan sebagai biomonitoring untuk tujuan konservasi dan pengelolaan kawasan.

Semut hanya ditemukan sebanyak 19 perjumpaan dari 30 titik yang ada. Semut tersebut dari genus Myrmicinae semut berukuran kecil seperti Pheidole dan semut berukuran besar seperti Tetraponera. Pheidole dikenal banyak ditemui di serasah yang termasuk dalam fungsi group generalized myrmicinae adalah semut umum yang bersifat generalis yang menurut penelitian umum ditemukan di persawahan (Setiani et al. 2010). Perbedaan ini disebabkan oleh metode pengambilan contoh semut yang berbeda. Rendahnya spesies semut yang diperoleh di lahan pengamatan diduga karena aplikasi pestisida pada lahan sayuran tersebut.

Aplikasi pestisida maupun pupuk kimia meninggalkan residu dan memiliki pengaruh besar pada keanekaragaman hayati, bersamaan hilangnya habitat dan perubahan iklim. Residu pestisida dapat memiliki efek toksik jangka pendek secara langsung terkena organisme, dan efek jangka panjang yang mempengaruhi perubahan habitat, rantai makanan, serta struktur tanah.

KESIMPULAN

Biomonitoring yang dilakukan di Kecamata Kayu Aro memiliki peranan penting untuk

mengetahui keanekaragaman serangga pada lahan sayuran. Pengetahuan ini berguna

khususnya untuk melihat keanekaragaman serangga indikator semut untuk melihat

degradasi kesuburan tanah, keanekaragaman herbivroa yang berpotensi sebagai hama serta

Tanjung Bungo

Page 153: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

682

keanekaragaman predator dan parasitoid yang berpotensi sebagai agens hayati. Hasil

penelitian ini dapat dijadikan sebagai rekomendasi dalam pengelolaan habitat pertanian

khususnya dalam aplikasi teknologi yang berguna untuk meningkatkan produktivitas hasil

pertanian.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi tahun 2016.

Terimakasih kepada Jon Hendri yang membantu selama pengambilan data di lapangan,

mitra bestari yang telah memberikan masukan untuk perbaikan naskah.

DAFTAR PUSTAKA

Chapin F.S. III, Reynolds HL, D’Antonio CM, dan Eckhart VM. 1996. The functional role of species in terrestrial ecosystems. Di dalam: B. Walker and W. Steffen, editor. Global Change and Terrestrial Ecosystems. Cambridge University Press, Cambridge, pp.403–428. Colwell RK, Coddington JA. 1994. Estimating terrestrial biodiversity through extrapolation. Philosophical Transactions: Biological Sciences 345(1311): 101-118. Hölldobler B, Wilson EO. 1990. The Ants. Cambridge: Harvard University Press. Magurran AE. 2003. Ecological diversity and its measurement. New Jersey (US): Princeton University Press. R Core Team. 2014. R: A Language and Environment for Statistical Computing. Vienna, Austria: R Foundation for Statistical Computing. Rubiana R, Rizali A, Denmead LH, Alamsari W, Hidayat P, Pudjianto, Hindayana D, Clough Y, Tscharntke T, dan Buchori D. Agricultural land use alters species composition but not species richness of ant communities. Asian Myrmecology . Volume 7, 1 – 13, 2015. Setiani ES, Rizali A, Moerfiah, Sahari B, dan Buchori D. 2010. Keanekaragaman Semut pada Persawahan di Daerah Urban: Investigasi Pengaruh Habitat Sekitar dan Perbedaan Umur Tanaman Padi. Journal Entomologi Indonesia. September 2010, Vol. 7, No. 2, 88-99. Tilman D, Knops J, Wedin D, dan Reich P. 2002. Experimental and observational studies of diversity, productivity, and stability. Di dalam The Functional Consequences ofBiodiversity, Kinzig AP, Pacala SW, dan Tilman D, editor. Princeton University Press, Princeton, pp. 42–70. UNESCO. 2010. International Year of Biodiversity 2010: Biodiversity is life, Biodiversity is our life. United Nations Education, Scientific, and Culture Organization. Paris: Perancis.http://www.unesco.org/mab/doc/iyb/ UNESCOandIYB.pdf. Diakses 29 April 2016.

Page 154: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

683

APLIKASI FUNGISIDA KIMIA UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT BUSUK BATANG BUAH NAGA

Deni Emilda1)*, Jumjunidang2), Riska1), Bambang Hariyanto3), Irwan Muas2), Sudjijo2)& Mega Andini3)

1)Jenjang Fungsional Peneliti Muda, 2)Peneliti Madya 3)Calon Peneliti, Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika,

Jl. Raya Solok-Aripan KM Po Box 5 Solok, 27301 Telp. (0755)20137 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penyakit busuk batang tanaman buah naga menjadi masalah yang sangat penting di sentra pertanaman buah naga di Sumatra Barat dan Kepulauan Riau. Penanganan segera terhadap penyakit ini diperlukan untuk menghindari penurunan produksi secara signifikan. Salah satu langkah pengendalian penyakit yang disebabkan oleh cendawan adalah dengan menggunakan fungisida kimia yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis fungisida kimia yang tepat dalam mengendalikan penyakit busuk batang tanaman buah naga di lapangan. Penelitian dilaksanakan di kebun buah naga milik petani di Pariaman, Sumatera Barat yang telah terserang penyakit busuk batang dengan intensitas ringan-sedang mulai bulan Januari sampai Desember 2013. Penelitian ini disusun menggunakan rancangan acak kelompok terdiri dari 7 perlakuan dan 3 ulangan dengan 20 tiang tanaman sebagai uni. Percobaan adalah a). bubur Bordo, b). Propineb 70%, c). Tembaga hidroksida 77%, d). Siklus aplikasi fungisida (Thiram 30% dan Karbendazim 15% – Propineb 70% - bubur Bordo – Tembaga Hidroksida 77%), e). Siklus aplikasi fungisida (Azoxistrobin 200 g/l dan Difenoconazole 125 g/l - Propineb 70% - bubur Bordo – Tembaga Hidroksida 77%) dan f). Siklus aplikasi fungisida (Difenoconazole 250 g/l - Propineb 70% - Bubur Bordo – Tembaga Hidroksida 77%). Pemangkasan dilakukan pada bagian tanaman yang terserang kemudian diaplikasikan fungisida sesuai perlakuan dengan dosis anjuran pada interval setiap 2 minggu. Peubah yang diamati adalah intensitas penyakit busuk batang pada tanaman buah naga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan aplikasi fungisida dapat menurunkan intensitas serangan 4 penyakit utama tanaman buah naga jika dibandingkan dengan kontrol dengan jenis fungisida yang terbaik adalah bubur Bordo.

Kata kunci: buah naga, pengendalian penyakit, fungisida

PENDAHULUAN

Buah naga merupakan salah satu komoditasbuah yang mulai banyak dibudidayakan secara luas di Indonesia akhir-akhir inidan jenis yang banyak ditanam adalah buah naga merah (Hylocereus polyrhizus). Sumatera Barat merupakan salah satu daerah sentra penanaman buah naga terutama di Kabupaten Padang Pariaman dan kabupaten Pasaman. Harga jual dan preferensi konsumen yang sangat tinggi menyebabkan buah ini berpeluang untuk dikembangkan sebagai komoditas penunjang agribisnis.

Penanaman suatu komoditas pertanian secara luas dan monokultur berpeluang menyebabkan terjadinya ledakan hama atau penyakit tertentu. Masalah yang dihadapi petani buah naga saat ini adalah serangan hama dan penyakit yang semakin berkembang seiring semakin banyaknya sentra penanaman buah naga dalam skala luas. Tanaman buah

Page 155: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

684

naga di berbagai sentra pengembangan di Sumatra Barat dan Kepulauan Riau diserang oleh tiga penyakit utama yaitu busuk batang kuning, kudis/bintik batang dan antraknosa dengan intensitas yang beragam (Jumjunidang et.al, 2016). Penyakit busuk batang dilaporkan juga menyerang pertanaman buah naga di Taiwan (Wang & Lin, 2005), Jepang(Taba et al., 2007) dan Israel (Ben-Ze’evet al.,2011). Buah naga yang diimpor dari Vietnam juga dilaporkan terserang penyakit yang sama (He et al., 2012).

Beberapa cendawan patogen penyebab penyakit busuk batang kuning adalah Bipolaris cactivora (He et al., 2012),Fusarium proliferatum (Hawaet al., 2013)dan F. solani(Ritaet al., 2013). Tanaman buah naga di Taiwan(Chuang et al., 2012), China daratan (Lan & He, 2012) dan Malaysia (Mohdet al., 2013) terserang penyakit bintik batang yang disebabkan oleh cendawan Neoscytalidium dimidiatum. N. dimidiatum juga menyebabkan penyakit busuk batang hitam/coklat di bagian dalam buah naga di Israel (Ezra et al., 2013) dan China (Yiet al., 2015). Cendawan dari jenis Colletotrichum spp menyebabkan penyakit antraknos pada tanaman buah naga di Malaysia (Masyahit et al., 2009); (Vijaya et al., 2015), China (Guo et al., 2014) dan Thailand (Meetumet al., 2015).

Mengingat sebagian besar mikroba yang menyerang tanaman buah naga berasal dari golongan cendawan, perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas fungisida yang tersedia di Indonesia untuk pengendalian penyakit tersebut. Hasil penelitian (Emilda dkk, 2013) menyatakan bahwa fungisida yang terbaik dalam mengendalikan 5 jenis cendawan patogen penyebab busuk batang buah naga termasuk di dalamnya cendawan Fusarium sp. dan Colletotrichum sp. adalah fungisida yang berbahan aktif thiram 30% + karbendazim 15% (terdapat dalam perlakuan D) dan bubur Bordeaux pada pengujian secara in vitro. Penggunaan fungisida kimia dimaksudkan untuk penanganan segera penyakit tanaman buah naga namun untuk jangka panjang perlu dicari alternatif pengendalian penyakit yang lebih ramah lingkungan.

METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakandi kebun buah naga di Pariaman, Sumatra Barat yang terserang penyakit busuk batang dengan intensitas sedang, mulai Januari sampai Desember 2013. Penelitian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 7 perlakuan dan 3 ulangan, masing-masing perlakuan terdiri dari 20 tiang. Perlakuan adalah 6 jenis fungisida dan 1 kontrol (tanpa aplikasi fungisida) yaitu : A). Bubur Bordo, dibuat dengan cara mencampurkan CuSO4, kapur dan air dengan perbandingan 1:1:100 (w:w:v). B).Propineb 70% (fungisida kontak , Antracol 70 WP, Bayer) C). Tembaga hidroksida 77% (fungisida kontak, Kocide 54 WG 2.8 g/l, Dupont) D). Siklus aplikasi fungisida (Thiram 30% dan Karbendazim 15% (fungisida sistemik, Tuo-Fu 45WP, Taiwan China Safe Technology) – Propineb 70% - Bubur Bordo – Tembaga Hidroksida 77%). E). Siklus aplikasi fungisida (Azoxistrobin 200 g/l dan Difenoconazole 125 g/l (fungisida sistemik, Amistar Top 325 SC, Syngenta) - Propineb 70% - Bubur Bordo – Tembaga Hidroksida 77%). F). Siklus aplikasi fungisida (Difenoconazole 250 g/l (fungisida sistemik, Score 250 EC, Syngenta) - Propineb 70% - Bubur Bordo – Tembaga Hidroksida 77%). G). Kontrol. positif

Untuk perlakuan D, E dan F merupakan aplikasi fungisida yang dilaksanakan dalam suatu siklus dimana masing-masing fungisida diaplikasikan setiap 2 minggu dan aplikasi kembali ke awal setelah selesai satu siklus.

Dosis fungisida yang digunakan sesuai dengan dosis anjuran dan diaplikasikan 2 minggu sekali. Batang tanaman yang memperlihatkan gejala penyakit busuk ditandai dengan perubahan warna menjadi kuning kecokelatan dan batang lunak. Sebelum mengaplikasikan fungisida, bagian batang yang bergejala tersebut dibuangatau dikorek sehingga tersisa batang tanaman yang berkayu atau empulurnya. Fungisida diaplikasikan dengan cara disemprotkan ke seluruh permukaan tanaman buah naga.

Page 156: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

685

Perawatan Tanaman

Perawatan tanaman dilakukan sesuai dengan anjuran terdiri dari penyiraman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit selain busuk batang akibat cendawan. Hama dikendalikan dengan menyemprotkan insektisida dan bakteri patogen dikendalikan dengan bakterisida dengan dosis sesuai anjuran dan tergantung gejala serangan yang ditemukan di lapangan.

Peubah yang diamati adalah intensitas penyakit yang menyerang tanaman buah naga. Intensitas penyakit dihitung dengan membuat kriteria keparahan serangan penyakit sebagai berikut : 0 = tidak ada gejala serangan pada tanaman, 1 = serangan ringan (tanaman terserang busuk batang pada 1-10 titik lokasi dengan panjang ≤ 5 cm), 2 = serangan sedang (1-10 titik lokasi dengan panjang 6-10 cm atau 10-20 titik dengan panjang ≤ 5 cm atau 5-10 titik dengan panjang 10-20 cm), 3 = serangan parah (>10 titik lokasi dengan panjang ≥ 20 cm). Penghitungan dilakukan untuk setiap tanaman sampel.

Intensitas penyakit (IP) dihitung dengan rumus:

IP = ∑ (nilai skala x jumlah tanaman dari setiap nilai skala) x 100%

jumlah tanaman teramati x skala tertinggi

Untuk menunjang penelitian dilakukan juga pengumpulan data jumlah hari hujan dan intensitas curah hujan di lokasi penelitian yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Klas II Sicincin Padang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada tahap awal penelitian dilakukan pemangkasan cabang-cabang yang terserang penyakit pada semua tanaman sampel. Kemudian dilaksanakan aplikasi fungisida mulai Bulan April 2013 setiap 2 minggu sekali sesuai perlakuan selama 6 bulan sehingga terdapat 12 kali aplikasi fungisida dan pengamatan intensitas penyakit sedangkan pengamatan ke -13 dilakukan satu bulan setelah aplikasi fungisida dihentikan. Intensitas penyakit dari 4 jenis penyakit utama yang ditemui pada pengamatan setiap 2 minggu dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 157: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

686

Gambar 1. Intensitas penyakit busuk hitam tanaman buah naga dengan aplikasi 6 jenis fungisida dan kontrol di lapang setiap 2 minggu selama 6 bulan dan pengamatan ke-13 pada 1 bulan setelah aplikasi fungisida dihentikan.

Jaringan batang yang terinfeksi penyakit busuk kuning mengalami perubahan warna batang dari hijau menjadi kuning kemudian coklat dan lunak, jika jaringan yang berwarna kuning dibuka akan terlihat pembuluh batang yang masih sehat. Sedangkan penyakit busuk hitam, jaringan batang yang terinfeksi berubah warna menjadi hitam dan dapat menjadi lunak maupun tidak. Gejala penyakit busuk kuning mirip dengan gejala serangan penyakit yang disebabkan oleh Fusarium sp. (Rita et al., 2013). Hasil pengamatan di Laboratorium Hama dan Penyakit Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika juga diperoleh cendawan Fusarium sp dari hasil isolasi bagian jaringan tanaman yang terinfeksi penyakit tersebut. Penyakit bintik batang terutama menyerang cabang-cabang muda dari tanaman buah naga dimana gejala awalnya berupa titik-titik berwarna putih dan agak cekung di bagian tengahnya. Cabang yang terserang akan menguning kemudian menjadi kecokelatan dan mengering. Penyakit bintik batang dan antraknos dapat menyerang batang dan buah. Gejala serangan antraknosa berupa busuk batang atau buah yang berbentuk seperti lingkaran berwarna kecoklatan dan cekung di bagian tengahnya. Jaringan yang terserang menjadi busuk dan lunak.

Tabel 1. Intensitas penyakit rata-rata pada 4 jenis penyakit utama tanaman buah naga di lapang untuk setiap perlakuan selama 12 kali pengamatan

Perlakuan

Intensitas Penyakit dan Standar Deviasi Busuk Hitam Busuk Kuning Bintik Batang Antraknos

A 2.9±1.8 bc*) 22.2±9.3 c 25.6±13.0 c 16.7±7.5 b B 3.1±2.8 bc 26.0±9.5 bc 27.1±13.8 c 18.7±8.3 b C 4.0±4.9 abc 25.4±8.5 bc 25.2±13.7 c 18.2±8.4 b D 2.3±2.0 c 24.5±8.2 bc 28.4±17.4 c 18.1±10.1 b E 3.4±4.2 bc 28.1±9.1 b 32.4±13.4 b 16.4±9.2 b F 4.9±4.0 ab 25.5±8.8 bc 31.7±15.1 b 17.9±6.4 b K 6.3±5.8 a 42.0±14.2 a 62.2±17.9 a 23.6±10.3 a

CV 33.46 10.37 8.04 13.67 *)

Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata

berdasarkan uji LSD taraf 5%

Intensitas penyakit dari ke-4 jenis penyakit utama tanaman buah naga sangat berfluktuasi (Gambar 1) namun secara umum perlakuan fungisida yang diaplikasikan dapat menurunkan intensitas penyakit dibandingkan tanaman kontrol terutama pada penyakit busuk kuning dan bintik batang. Semua perlakuan fungisida yang digunakan dapat menurunkan intensitas penyakit jika dibandingkan dengan kontrol. Untuk pengendalian ke-4 jenis penyakit terlihat bahwa aplikasi fungisida bubur Bordeaux (perlakuan A) memberikan hasil yang terbaik namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan B, C dan D (Tabel 1). Propineb (perlakuan B) dan Difenoconazole (terdapat dalam perlakuan E dan F) digunakan dalam pengendalian penyakit tanaman buah naga di Taiwan (Hoa, 2012). Pengendalian penyakit busuk batang di Malaysia juga dilakukan dengan memangkas bagian tanaman yang terserang dan aplikasi fungisida dengan cara disemprotkan ke seluruh bagian tanaman dengan jenis fungisida yang berbahan aktif tembaga sedangkan untuk pengendalian penyakit antraknos menggunakan fungisida berbahan aktif Mancozeb atau Maneb (Mohd Yunus, 2013).

Dari Tabel 2 diketahui bahwa pada lokasi penelitian selama penelitian berlangsung sering terjadi hujan dengan intensitas ringan-sedang. Hal ini mendukung pertumbuhan cendawan patogen dimana cendawan patogen menyukai kondisi lembap dan basah disamping itu percikan hujan juga dapat menyebarkan spora cendawan sehingga meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit. Dalam kondisi seperti ini terlihat aplikasi fungisida yang dilakukan cukup efektif dalam mengendalikan penyakit.

Page 158: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

687

Tabel 2. Intensitas hujan dan jumlah hari hujan di lokasi penelitian selama bulan Maret –

Oktober 2013*)

No Bulan (2013) Intensitas Hujan (mm) Jumlah Hari Hujan 1. Maret 255 14 2. April 380 15 3. Mei 262 15 4. Juni 233 9 5. Juli 159 10 6. Agustus 370 13 7. September 276 17 8. Oktober 399 19

*)Data diperoleh dari Stasiun Klimatologi Klas II Sicincin Padang

Intensitas penyakit busuk batang tanaman buah naga sangat berkurang saat pengendalian dilaksanakan namun efek pengendalian tersebut akan hilang setelah beberapa waktu aplikasi fungisida dihentikan. Pada Gambar 2 terlihat penyakit busuk batang kembali merebak setelah 1 bulan aplikasi fungisida dihentikan.

Gambar 2. Penampilan tanaman buah naga saat pengendalian dilakukan (A) dan

pada 1 bulan setelah aplikasi fungisida dihentikan (B).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semua perlakuan fungisida dapat menurunkan intensitas serangan 4 jenis penyakit utama tanaman buah naga dengan jenis fungisida yang terbaik adalah bubur Bordeaux.

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk tanaman buah naga yang terserang penyakit akibat patogen dari golongan cendawan yang perlu pengendalian segera namun aplikasi fungisida kimia harus dilakukan secara selektif dan terkontrol untuk mengurangi dampak negatif dari aplikasi fungisida kimia terhadap manusia dan lingkungan.

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mencari fungisida alternatif yang lebih ramah lingkungan namun efektif dalam mengendalikan penyakit utama pada tanaman buah naga.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih disampaikan kepada Bapak Subiakto dan Ibu Subhana yang telah membantu teknis pelaksanaan kegiatan penelitian di lapangan.

Page 159: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

688

DAFTAR PUSTAKA

Ben-Ze’ev, IS, Assouline, I, Levy, E, & Elkind, G (2011). First report of Bipolaris cactivora causing fruit blotch and stem rot of dragon fruit (pitaya) in Israel. Phytoparasitica, 39, 195-197. doi: 10.1007/s12600-011-0143-y

Chuang, MF, Ni, HF, Yang, HR, Shu, SL, & Lai,SY (2012). First Report of Stem Canker Disease of Pitaya (Hylocereus undatus and H. polyrhizus) Caused by Neoscytalidium dimidiatum in Taiwan. Plant Disease, 96(6), 906.

Emilda, D, Jumjunidang, Riska, & Istianto, M (2013). Skrining fungisida untuk pengendalian cendawan penyebab busuk batang pada buah naga. Artikel telah disampaikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Padang.

Ezra, D, Liarzi, O, Gar, T, & Hershcovich, M (2013). First report of internal black rot caused by Neoscytalidium dimidiatum on Hylocereus undatus (Pitahaya) fruit in Israel. Plant Disease, 97, 1513.

Guo, LW, Wu, YX, Ho, HH, Su, YY, Mao, ZC, He, PF, & He, YQ (2014). First Report of Dragon Fruit (Hylocereus undatus) Anthracnose Caused by Colletotrichum truncatum in China. Journal of Phytopathology, 162, 272-275. doi: 10.1111/jph.12183

Hawa, MM, Salleh, B, & Latiffah, Z (2013). Characterization and pathogenicity of Fusarium proliferatum causing stem rot of Hylocereus polyrhizus in Malaysia. Annals of Applied Biology, 163, 269-280. doi: 10.1111/aab.12057

He, PF, Ho, H, Wu, XX, Hou, MS, & He, YQ (2012). Bipolaris cactivora causing fruit rot of dragon fruit imported from Vietnam. Plant Pathology & Quarantine, 2(1), 31-35. doi: 10.5943/ppq/2/1/5/

Hoa, VN (2012). Current Research Activities and the Development of Good Agricultural Practice (GAP) for Pitaya in Vietnam: Southern Horticultural Research Institute (SOFRI).

Jumjunidang, Riska, Emilda, D, Sudjijo, & Muas, I (2016). Distribusi dan tingkat serangan penyakit utama tanaman buah naga di beberapa sentra pengembangan di Indonesia. Dalam Proses Penerbitan.

Lan, GB, & He, PF (2012). First Report of Brown Spot Disease Caused by Neoscytalidium dimidiatum on Hylocereus undatus in Guangdong, Chinese Mainland. Plant Disease, 96(11), 1702.

Masyahit, M, Sijam, K, Awang, Y, & Mohd Satar, MG (2009). The First Report of the Occurrence of Anthracnose Disease Caused by Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Penz. & Sacc. on Dragon Fruit (Hylocereus spp.) in Peninsular Malaysia. American Journal of Applied Sciences, 6(5), 902-912.

Meetum, P, Leksomboon, P, & Kanjanamaneesathian, M(2015). First report of Colletotrichum aenigma and C. siamense, the causal agents of anthracnose disease of dragon fruit in Thailand. Journal of Plant Pathology, 97(2), 402.

Mohd, MH, Salleh, B, & Latiffah, Z (2013). Identification and Molecular Characterizations of Neoscytalidium dimidiatum Causing Stem Canker of Red-fleshed Dragon Fruit (Hylocereus polyrhizus) in Malaysia. Journal of Phytopathology, 161, 841-849. doi: 10.1111/jph.12146

Mohd Yunus, AKB (2013). Pitaya pest and diseases management: Unit Perlindungan Tanaman dan Kuarantin Tumbuhan, Jabatan Pertanian Johor Bahru.

Rita, WS, Suprapto, DN, Sudana, IM, & Swantara, IMD (2013). First Report on Fusarium solani, a Pathogenic Fungus Causing Stem Rot Disease on Dragon Fruits (Hylocereus sp.) in Bali. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare, 3(17), 93-99.

Taba, S, Miyahira, N, Nasu, K, Takushi, T, & Moromizato, Z-i (2007). Fruit rot of Strawberry pear (pitaya) caused by Bipolaris cactivora. J Gen Plant Pathol, 73, 374-376. doi: 10.1007/s10327-007-0032-x

Vijaya, SI, Mohd Anuar, IS, & Zakaria, L (2015). Characterization and Pathogenicity of Colletotrichum truncatum Causing Stem Anthracnose of Red-Fleshed Dragon Fruit(Hylocereus polyrhizus) in Malaysia. Journal of Phytopathology, 163, 67-71. doi: 10.1111/jph.12261

Page 160: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

689

Wang, CL, & Lin, CC (2005). Fruit rot of pitaya and stem rot of cacti in Taiwan. Plant Pathology Bulletin, 14(4), 269-274.

Yi, RH, Lin, QL, Mo, JJ, Wu, FF, & Chen, J (2015). Fruit internal brown rot caused by Neoscytalidium dimidiatum on pitahaya in Guangdong province, China. Australasian Plant Disease Notes, 10(13), 12-15. doi: 10.1007/s13314-015-0166-1

Page 161: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

690

RESPON KETAHANAN BEBERAPA JENIS/KLON TANAMAN

BUAH NAGA TERHADAP PENYAKIT KUDIS STEM CANKER,

BUSUK BATANG DAN ANTRAKNOS

Jumjunidang, Muas, I, Sudjijo, Haryanto, B dan Octriana, L

Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika

Jl. Raya Solok Aripan Km 8. Solok Sumatera Barat E-mail:[email protected]

ABSTRAK

Serangan bersama penyakit kudis/stem canker, busuk batang dan antraknos pada

tanaman buah naga dapat menurunkan produksi sampai 80%, bahkan telah menyebabkan

kematian tanaman di beberapa lokasi pengembangan. Penggunaan varietas tahan/toleran

merupakan salah satu teknik pengendalian yang sangat efektif dan efisien. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui respon ketahanan beberapa jenis/klon tanaman buah naga

terhadap penyakit utama (kudis/stem canker, busuk batang dan antraknos). Penelitian

dilakukan pada lahan endemis penyakit di Kabupaten Padang Pariaman sejak bulan Januari

sampai Agustus 2014. Rancangan yang digunakan adalah acak kelompok 7 perlakuan dan 4

ulangan, masing-masing unit perlakuan terdiri atas 5 tiang. Perlakuan adalah: A=Hylocereus

polyrhizus lokal (kulit dan daging buah merah), B=H. polyrizus var. SM (kulit dan daging buah

merah), C=H. undatus lokal (kulit merah daging buah putih), D=H. undatus var. SP (kulit

merah daging buah putih), E=H. costaricensis klon 03 (kulit merah daging buah super

merah), F=H. costaricensis klon 02 (kulit merah daging buah super merah) dan G=H.

costarisensis klon 01 (kulit merah daging buah super merah). Pengamatan dilakukan setiap

bulan terhadap persentase dan indeks keparahan penyakit. Hasil penelitian menunjukkan

bahwaenam jenis/klon tanaman buah naga yang diuji rentan terhadap serangan penyakit

utama kudis/stem canker dan antraknos. Jenis/klon H. costaricensis klon 01, menunjukkan

respon yang relatif lebih tahan terhadap ketiga penyakit utama dibanding dengan jenis/klon

lainnya, sehingga jenis ini dapat dikembangkan di wilayah endemis panyakit.

Katakunci: Buah naga; Penyakit utama; Jenis/klon; Ketahanan

PENDAHULUAN

Buah naga atau dragon fruit merupakan tanaman tropis yangberasal dari Meksiko,

Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian utara yangtermasuk ke dalam genus Hylocereus

dan Selenicereus (Mc Mahon 2003; Kristanto 2003). Penduduk Indian sering memanfaatkan

buah yang berasa manis agak asam ini sebagai buah meja atau buah yang dikonsumsi segar.

Walaupun buah naga berasal dari Amerika, namun, tanaman ini lebih dikenal sebagai

tanaman dari Asia. Hal ini disebabkan karena buah naga (Cactaceae: Hylocereus)

dikembangkan besar-besaran di Asia seperti Vietnam dan Thailand (Kristanto 2003).

Page 162: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

691

Buah naga memiliki cukup banyak khasiat bagi kesehatan diantaranya sebagai

penyeimbang kadar gula darah, menguatkan ginjal, menyehatkan lever, mengurangi keluhan

panas dalam dan sariawan, menstabilkan tekanan darah, mengurangi kolesterol, dan lain-

lain. Buah ini mengandung 80% air dan kandungan vitamin C yang tinggi. Zat nutrisi lain

yang terkandung di dalam buah naga ialah serat, kalsium, zat besi dan fosfor. Buah naga yang

berdaging merah juga baik untuk memperbaiki penglihatan mata karena mengandung

karotenoid yang tinggi, titokimia yang terkandung dalam buah naga juga diketahui dapat

menurunkan resiko kanker (Mahadianto (2007; Simatupang (2007).

Saat ini buah naga telah dikembangkan secara komersial di beberapa wilayah di

Indonesia, seperti Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, pulau Jawa, NTB dan

beberapa provinsi lainnya, bahkan saat ini luasan pertanaman buah naga di Provinsi

Kalimantan Timur mencapai 1500 Ha. Masalah yang dihadapi petani buah naga saat ini

adalah serangan hama dan penyakit yang semakin berkembang seiring semakin banyaknya

sentra penanaman buah naga dengan skala luas. Provinsi Kepulauan Riau menyatakan

bahwa buah naga merupakan salah satu komoditas unggulan Kabupaten Bintan dan mulai

dikembangkan secara luas di daerah tersebut (BPS Provinsi Kepulauan Riau 2010), selain

untuk pasar dalam negeri produksi buah naga ini juga diperuntukkan untuk pasar ekspor

seperti ke Singapura. Namun dilaporkan tanaman buah naga ini mulai terserang oleh

penyakit yang menyebabkan tanaman menjadi menguning dan membusuk sejak tahun 2012.

Masalah ini telah menyebabkan penurunan produksi buah naga sampai 80% (Batam Pos 25

Januari 2012).

Hasil penelitian Jumjunidang et al. (2016) menunjukkan bahwa ditemukan serangan

penyakit yang sangat parah dan menghancurkan pertanaman buah naga pada hampir semua

lokasi di daerah pengembangan di Sumatera Barat dan Kepulauan Riau. Penyakit utama

adalah busuk batang yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp., dan beberapa bakteri

patogen, penyakit bercak batang atau antaknos dan bercak lainnya yang disebabkan oleh

Colletotrichum sp., Alternaria sp. dan beberapa cendawan patogen lainnya, serta penyakit

kudis yang ditemukan pada batang dan buah.Berdasarkan diskripsi gejala dan pengamatan

morfologi dari cendawan penyebab penyakit kudis disimpulkan bahwa penyakit ini sama

dengan penyakit stem canker yang yang disebabkan oleh cendawan Neoscytalidium dimiatum

yang menyerang tanaman buah naga di beberapa negara seperti Vietnam dan Malaysia

(Mohd et al. 2012; Hoa et al. 2015). Di kabupaten Lombok Utara NTB juga dilaporkan adanya

serangan penyakit yang menurunkan produksi buah naga di beberapa lokasi (Isnaini et

al.2011).Masalah penyakit ini juga ditemukan di beberapa negara produsen buah naga

seperti di Malaysia, Taiwan, Cina dan Vietnam (Masyahit et al. 2009; Anonimus 2010; Hoa

2012).

Teknik pengendalian terhadap penyakit buah naga baik di Indonesia maupun di luar

negeri masih tertumpu pada penggunaan pestisida kimia (Anonimus 2010; Hoa 2012).

Pengendalian hama/penyakit tanaman dengan penanaman tanaman tahan/toleran

merupakan salah satu teknik pengendalian yang efektif dan efisien. Berdasarkan survei

distribusi penyakit yang telah dilakukan di beberapa daerah pengembangan buah naga di

Indonesia, ditemukan beberapa jenis/klon buah naga yang relatif toleran. Untuk itu

dilakukan penelitian lebih lanjut dengan tujuan untuk mengetahui respon ketahanan

beberapa jenis/klon tanaman buah naga terhadap penyakit utama di daerah endemis.

Page 163: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

692

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada daerah endemis penyakit buah naga di Kecamatan

Batang Anai Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, mulai bulan Januari sampai bulan

Desember 2014. Rancangan yang digunakan adalah acak kelompok 7 perlakuan dengan 4

ulangan, setiap unit perlakuan terdiri dari 5 tiang. Perlakuan tersebut adalah 7 jenis/klon

tanaman buah naga seperti tertera pada Tabel 1.

Sistim tanam yang digunakan adalah sistim tiang tunggal dengan jumlah benih yang

ditanam untuk setiap tiang adalah 4 tanaman, ditanam di empat sisi tiang. Tiang yang

digunakan adalah tiang beton dengan ukuran 10x10x200 cm, sedangkan benih berasal dari

perbanyakan vegetatif dengan tinggi ± 40cm. Jarak tanam 3x3 m dengan lubang tanam

berukuran (60x 60) cm.

Tabel 1. Jenis/klon buah naga yang digunakan sebagai perlakuan

No Perlakuan (Jenis/klon buah naga) Sumber

1 A=H. polyrhizus lokal (kulit merah daging merah) Lokal Sumbar

2 B=H. polyrizus var. SM (kulit merah daging merah) DIY

3 C=H. undatus lokal (kulit merah daging putih) Lokal Sumbar

4 D=H. undatus var. SP (kulit merah daging putih), DIY

5 E=H. costarisensis klon 03 (kulit merah daging super merah,

kulit batang berlilin, rasa manis),

DIY

6 F=H. costarisensis klon 02 (kulit merah daging super merah,

kulit batang berlilin, rasa agak asam)

Sumbar/Bantul?

7 G=H. costarisensis klon 01 (kulit merah daging super merah,

kulit batang berlilin, rasa manis).

Sumbar

Perawatan tanaman dilakukan sesuai dengan petunjuk teknik Budidaya Buah Naga

yang dikeluarkan Balitbu Tropika terdiri dari penyiangan, penyiraman, pemupukan dan

pengendalian hama dengan menggunakan insektisida sesuai dengan jenis hama yang

ditemukan menyerang tanaman saat pengamatan di lapangan.

Peubah yang diamati :

1. Jumlah tanaman terserang masing-masing jenis penyakit pada setiap tiang tanaman.

Persentase tanaman terserang dihitung dengan menggunakan rumus:

P = = %1002

1

T

T

P = Persentase serangan, T1 = Jumlah tanaman yang bergejala dan T2 = Jumlah tanaman

yang diamati.

Page 164: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

693

2. Jumlah tanaman dengan gejala masing-masing penyakit berdasarkan kriteria kerusakan/

keparahan yang sudah ditentukan. Kriteria dari masing-masing serangan tersebut adalah:

0=tidak ada gejala serangan pada tanaman, 1=serangan ringan (gejala awal-busuk/bintik

batang pada ≤2 titik lokasi dengan panjang <5cm), 2=serangan sedang (1-2 titik lokasi

dengan panjang 5-10 cm) dan 3=serangan parah (busuk/bintik menyelimuti >50%

permukaan batang). Untuk penyakit antraknos: 1=serangan ringan (1-2 bercak

awal/kecil), 2=serangan sedang (1-2 bercak yang melebar atau 3-5 bercak awal),

3=serangan berat (>5 bercak awal atau >3 bercak yang melebar. Kriteria ini dibuat

berdasarkan kondisi tanaman saat penelitian.

Indeks keparahan/kerusakan oleh masing-masing penyakit dihitung dengan rumus

Mohamed (2009):

I (Indeks keparahan) = ∑ (nilai skala x jumlah tanaman dari setiap nilai skala)

Skala tertinggi xjumlah tanaman diamati

Persentase serangan dan keparahan oleh masing-masing penyakit dihitung setiap bulan.

Data dianalisis dengan sidik ragam. Jika antar perlakuan terdapat perbedaan yang nyata,

maka dilakukan uji DNMRT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian 7 jenis/klon tanaman buah naga pada lahan endemis penyakit di

Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat menunjukkan bahwa

jenis/klon tanaman buah naga yang diuji menunjukkan respon ketahanan yang berbeda

terhadap penyakit utama. Pada Tabel 2 terlihat bahwa respon semua jenis/klon tanaman

buah naga terhadap penyakit busuk batang relatif sama. Serangan penyakit busuk batang

kuning dan hitam sudah mulai terlihat saat tanaman berumur satu bulan setelah tanam,

kecuali pada jenis/klon H. costaricensis 01, namun demikian persentase serangan dan

tingkat keparahan penyakit tidaklah terlalu tinggi. Umumnya serangan penyakit busuk

batang terjadi pada bagian pangkal batang yang bersentuhan dengan tanah. Pengamatan

pada bulan-bulan berikutnya sampai tanaman berumur 4 bulan terlihat bahwa persentase

serangan tidak terlalu tinggi dan perkembangan indeks keparahan penyakit sangat lambat

(Gambar 1A).

Page 165: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

694

Tabel 2. Persentase dan tingkat keparahan serangan penyakit busuk batang, bintik batang

dan antraknospada 7 jenis/klon buah naga, umur 4 bulan setelah tanam

Jenis/klon

Kategoriserangan

Busukkuning Kudis/Stem canker Antraknos

% IKP % IKP % IKP

A=H. polyrizuslokal 67,50 ns 0,68 ns 100 a 3,00 a 76,25 ns 1,62 a

B=H. polyrizus var. SM 65,00 0,66 100 a 3,00 a 73,75 1,68 a

C=H. undatusl local 58,75 0,59 100 a 2,92 a 77,50 1,70 a

D=H. undatusvar. SP 58,75 0,60 100 a 3,00 a 82,50 1,60 a

E=H.costariensisklon 03 60,00 0,61 100 a 2,80 a 76,25 1,52 a

F=H. costarissensis klon 02 60,00 0,61 100 a 2,82 a 73,75 1,68 a

G= H. costarissensis klon 01 55,00 0,55 72.50 b 0,98 b 72,50 0,86 b

Angka-angka pada lajur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata

menurut DNMRT pada taraf nyata 5%

Respon semua jenis/klon tanaman buah naga terhadap penyakit kudis/stem canker

dan antraknos menunjukkan hal yang berbeda jika dibandingkan dengan responnya

terhadap penyakit busuk batang. Dalam Tabel 2 terlihat bahwa enam dari tujuh jenis/klon

tanaman buah naga yang diuji sudah terserang penyakit ini sejak bulan pertama setelah

tanam. Penyakit berkembang sangat cepat sampai bulan keempat setelah tanam dengan

indeks keparahan penyakit yang sangat tinggi (2,80-3,00). Beberapa hasil penelitian

menyatakan bahwa penyakit ini merupakan penyakit yang paling berbahaya pada tanaman

buah naga, tunas-tunas muda yang terserang akan mati mengering (Mohd et al. 2013;

Jumjunidang et al. 2016) .

Page 166: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

695

Gambar 1. Grafik perkembangan indeks keparahan penyakit busuk batang (A), kudis/stem

canker (B) dan antraknos (C) pada 7 jenis/klon tanaman buah naga selama 4

bulan

Berbeda dengan enam jenis/klon tanaman buah naga yang lain, jenis/klon H.

costaricensis klon tahan 01 asal Sumatera Barat memperlihatkan respon relatif lebih

tahan/toleran terutama terhadap penyakit paling berbahaya stem canker dan penyakit

antraknos. Terlihat pada Tabel 2, indeks keparahan penyakit pada jenis/klon ini lebih

rendah dan berbeda nyata dengan enam jenis/klon lainnya, laju perkembangan indeks

keparahan penyakit juga lebih lambat (Gambar 1B dan 1C).Dugaan bahwa H. costarisensis

klon 01 asal Sumatera Barat ini lebih tahan/toleran adalah ketika dilakukan

pengamatan/konfirmasi di tempat jenis/koln buah naga ini dikembangkan. Tanaman

A B

C

Page 167: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

696

tersebut yang telah berumur 2-3 tahun masih tetap sehat dan mampu berproduksi baik,

padahal ditanam di lokasi serangan berat beberapa penyakit (lahan endemis) pada jenis H.

polyrhizus.

Gambar 2. Serangan beberapa penyakit pada 7 jenis/klon buah naga 3 bulan setelah

penanaman

Penyakit kudis/stem canker umumnya menyerang tunas muda, gejala terlihat berupa

bercak bulat kecil berwarna putih dan cekung (seperti ada tusukan halus di tengan bercak).

Pada serangan lanjut, bercak kecil ini menyatu dan mengeras dengan warna kuning sampai

coklat, permukaan batang menjadi kasar seperti kudis, akibatnya tunas menjadi mengering

dan akhirnya mati (Ezra et al. 2013; jumjunidang et al. 2016). Penyakit antraknos

menyerang baik pada tunas yang baru keluar maupun pada batang utama, gejala serangan

seperti disampaikan oleh Masyahit et al. (2009), berupa bercak coklat-hitam yang dikelilingi

oleh lingkaran kuning/coklat. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahan ketiga jenis

penyakit ini menyerang secara bersama-sama pada satu tanaman buah naga, sehingga

A B C D

G F E

A=H.polyrizuslocal

B=H.polyrizus SM

C=H.undatus Lokal

D=H.undatus SP

E=H.costarisensis 03

F=H.costarisensis 02

G=H.costarisensis 01

Page 168: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

697

menyebabkan kerusakan parah dan kematian tanaman menjadi semakin cepat. Serangan

bersama ketiga penyakit pada 7 jenis/klon tanaman buah naga disajikan pada Gambar 2.

Adanya perbedaan respon ketahanan yang berbeda dari semua jenis/klon tanaman

buah naga yang diuji dapat dipengaruhi faktor perbedaan karakter morfologi (pertahanan

mekanik), kimia (pertahanan kimia) dan genetik dari tanaman itu sendiri. Secara morfologi

ketiga jenis/klon H. costaricensis yang diuji memiliki permukaan batang yang berlilin cukup

tebal, terutama jenis/klon H. costaricensis 01. Menurut Agrios (1997), lapisan lilin pada

permukaan tanaman dapat menghalangi infeksi mikro organisme pada tanaman dan

berfungsi sebagai mekanisme ketahanan mekanik/morfologi.

KESIMPULAN

Enam jenis/klon buah naga yang diuji rentan terhadap serangan penyakit utama

kudis/stem canker dan antraknos. Jenis/klon H. costaricensis klon 01, menunjukkan respon

yang relatif lebih tahan terhadap ketiga penyakit utama dibanding dengan jenis/klon

lainnya, sehingga jenis ini dapat dikembangkan di wilayah endemis panyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Fourth Edition. Academic Press London. Anonimus. 2010. Studies on investigation and control of major pitaya diseases in Guizhou

Province. China papers posted on 25 januari 2010. mt.china_papers.com/i/?P=158518. Batam Pos. 25 Januari 2012. Buah Naga Membusuk. BPS Provinsi Kepulauan Riau. 2010. Kepulauan Riau dalam angka. Ezra D, Liarzi O, Gar T & Hershcovich M. 2013. First report of internal black rot caused by

Neoscytalidium dimidiatum on Hylorereus undatus (Pitahaya) fruit in Israel. Plant Dis.97:1513.

Hoa VN. 2012. Current Research Activities and the Development of Good Agricultural

Practice (GAP) for Pitaya in Vietnam. Southern Horticultural Research Institute (SOFRI). (17 Juni 2012).

Hoa VN, Hieu NT, Hanh TTM, Uyen DTK & Dien LQ. 2015. Emerging infectious diseases an

insect pests of dragon fruit, passion fruit, citrus, longan. Workshop on Increasing Production and Market Access for Tropical Fruit in Southeast Asia. 13-17 October 2014. Southern Horticultural Research Institute (SOFRI) Long Dinh, Chau Thanh, Tien Giang, Viet Nam, p 87-100

Isnaini M, Muthahanas I, Jaya KD. 2011. Studi pendahuluan tentang penyakit busuk batang

pada tanaman buahnagadikabupatenLombokUtara .Hal109-114.P.unram.ac.id/data/Profil % 20Jurusan p.unram.ac.id/data/Profil%20Jurusan/.../Mulat_Kdamar_ok.pdf

Jumjunidang, Riska, Emilda D, Sudjijo, dan Muas I. 2016. Distribusi dan Tingkat Serangan

Penyakit Utama Tanaman Buah Naga di Beberapa Sentra Pengembangan Di Indonesia. Jurnal Hortikultura. (inpress).

Page 169: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

698

Kristanto D. 2003. Buah Naga Pembudidayaan di Pot dan di Kebun. Penebar Swadaya. Jakarta.

Mahadianto N. 2007. Budidaya Buah Naga (Dragon Fruit). http://agribisnis.deptan.go.id [1

Juni 2012] Masyahit M, Sijam K, Awang Y, Mohd Satar MG. 2009. The first report of the occurrence of

antrhraccnose disease caused by Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Penz.&Sacc. on dragon fruit (Hylocereus spp.) in Peninsular Malaysia. American Journal of App. Sci. 6(5):902-912

Mc. Mahon G. 2003. Pitaya (Dragon Fruit).Departemen of Primary Industry, Fisheries and

Mines. Darwin. www.horticulture.nt.grov.au. Diakses 25 September 2012. Mohamed AA, Mak C, Liew KW & Ho YW. 1999. Early evaluation of banana plants at nursery

stage for Fusarium wilt tolerance, banana Fusarium wilt management: towards sustainable cultivation. Proceedings of the International Workshop on the Banana Fusarium Wilt Disease, Malaysia, pp. 174-86.

Mohd MH, Salleh B & Zakaria L. 2013. Identification and Molecular Characterization of

Neoscytalidium dimidiatum Causing Stem Canker of Red-fleshed Dragon Fruit (Hylocereus polyrhizus) in Malaysia. J. Phytopathology 161:841-849.

Simatupang L. 2007. Buah Naga Segar dan Nikmat. http://food_details.php [1 Juni 2012]

Page 170: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

699

PENYAKIT UTAMA PADI DI LAHAN PASANG SURUT KECAMATAN TANJUNG LAGO KABUPATEN BANYUASIN YANG

DITAMAN DENGAN TABELA

Yursida , Evriani Marezadan Karlin Agustina

Dosen Program StudiAgroteknologi, FakultasPertanianUniversitas IBA

Hp 082375360970, email: [email protected]

ABSTRAK

Serangan penyakit pada pertanaman padi pasang surut dapat menimbulkan kerugian cukup besar Beberapa penyakit seperti busuk leher malai (neck blast) dapat menyebabkan gagal panen . Banyak faktor yang turut mendukung berkembangnya berbagai penyakit di areal pertanaman padi pasang surut di kecamatanTanjung Lago diantaranya jarak tanam yang terlalu rapat dan pemupukan yang tidak berimbang .Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit seperti cara biologi, fisik, kimiawi dan kultur teknis. Keberhasilan pengendalian sangat ditentukan oleh ketepatan identifikasi penyakit yang menyerang. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menginventarisasi jenis jenis penyakit yang menyerang padi di Desa Telang Sari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin. Pengamatan dilakukan dengan mengamati gejala serangan dan diidentifikasi di laboratorium Fakultas Pertanian UIBA. Perhitungan intensitas penyakit berdasarkan scooring IRRI (2002) .Dari hasil penelitian ditemukan lima macam penyakit yaitu blas daun yang disebabkan oleh Pyricularia oryzae, busuk leher malai (neck blast) yang juga disebabkan Pyricularia oryzae, hawar upih daun yang disebabkan Rhizoctonia solani, bercak coklat yang disebabkan Dreschlera oryzae, dan bercak coklat sempit yang disebabkan Cercospora oryzae.

Kata kunci: identifikasi penyakit, penyakit utama padi, dan pasang surut, .

LATAR BELAKANG

Salah satu masalah yang penting diperhatikan pada budidaya tanaman padi pasang surut adalah serangan penyakit. Penyakit penyakit tersebut menyerang pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman. Tingkat kerugian yang ditimbulkan bervariasi tergantung pada tingkat ketahananan tanaman. Menurut Amir (2001) infeksi Pyriculatria oryzae yang menyebabkan penyakit blas dan busuk leher malai mengakibatkan kehilangan hasil 50-90% pada varietas yang rentan,bahkan dapat menyebabkan gagal panen. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman padi seperti cara fisik, mekanis, kimiawi, hayati dan kultur teknis (Suryanto,2010). Tetapi kenyataannya di lapangan petani banyak mengandalkan pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan pestisida.. Penggunaan fungisida yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan dapat memicu terbentuknya ras ras baru patogen. Menurut

Page 171: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

700

Semangun (2004), cendawan P. oryzae mudah membentuk ras baru sehingga cenderung resisten terhadap fungisida.

Keberhasilan pengendalian sangat ditentukan oleh ketepatan identifikasi penyakit yang menyerang sehingga kita dapat menentukan tindakan pengendalian yang tepat. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan observasi di lapangan untuk menginventarisasi jenis-jenis penyakit yang menyerang tanaman padi pasang surut di Desa Telang Sari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di Desa Sari Kecamatan TanjungLago Kabupaten Banyuasin dari bulan November 2015 sampai Maret 2016. Pengamatan penyakit berdasarkan gejala di lapangan dan identifikasi dilakukan di laboratorium Fakultas Pertanian Universitas IBA Palembang. Intensitas serangan penyakit berdasarkan scooring yang ditetapkan IRRI (2002).

Bahan yang digunakan adalah media PDA, akuades, dan alkohol Sedangkan alat yang dipakai adalah mikroskop, lampu bunsen , otoklaf petridish, kamera dan pinset.

HASIL DANPEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap gejala penyakit padi di Desa Telang Sari ditemukan lima jenis penyakit yaitu blas daun disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae, busuk leher malai (neck blast) yang juga disebabkan cendawan Pyricularia oryzae, hawar upih daun yang disebabkan cendawan Rhizoctonia solani, bercak coklat yang disebabkan cendawan Dreschlera oryzae, bercak coklat sempit yang disebabkan cendawan Cercospora oryzae

Tabel 1. Penyakit penyakit yang menyerang tanaman padi pasang surut di Desa

Telang Sari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyusin

No. Nama penyakit Patogen penyebab Intensitas Serangan

1 Blas daun Pyriculariaoryzae 85 %

2 Busuklehermalai Pyriculariaoryzae 80 %

(neck blast)

3 Hawarupihdaun Rhizoctoniasolani 60 %

4 Bercakcoklat Dreschleraoryzae 35 %

5 Bercakcoklatsempit Cercosporaoryzae 25

Page 172: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

701

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penyakit blas (blas daun dan busuk leher malai) merupakan penyakit penting pada pertanaman padi pasang surut di desaTelang Sari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin.Gejala mulai terlihat sejak padi berumur 45 hari . Intensitas serangan terus meningkat sampai memasuki fase generatif.

Tingginya intensitas serangan penyakit blas diduga karena faktor lingkungan mendukung karena saat penelitian dilakukan di musim hujan dan sistem tanam tabela yang menyebabkan kelembaban relatif tinggi. Selain itu petani mengaplikasikan pupuk Urea dengan dosis 300 kg/ha dan SP 36 dengan dosis 100 kg/ha. Menurut Ou (1985) faktor faktor yang mendukung perkembangan penyakit blas diantaranya pemupukan N yang tinggi, tingkat kelembaban yang tinggi serta varietas yang rentan. Menurut BB Padi (2015), kadar N yang tinggi , kalium dan silikon yang rendah menyebabkan tanaman lebih peka terhadapinfeksi patogen.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian ditemukan lima jenis penyakit yaitu blas daun (Pyricularia oryzae), busuk leher malai ( Pyricularia oryzae), hawar upih daun ( Rhizoctonia solani,) , bercak coklat ( Dreschlera oryzae) , dan bercak coklat sempit (Cercospora oryzae).

Dalam upaya mengurangi intensitas serangan penyakit pada padi pasang surut di desa Telang Sari Kecamatan Tanjung Lago maka dianjurkan petani melakukan pemupukan yang berimbang yaitu pupuk N, P dan K. Sistem tanam juga sebaiknya menggunakan jarak tanam sehingga kelembaban dapat dikurangi. Ketahanan tanaman padi dapat ditingkatkan dengan mengaplikasikan abu sekam karena abu sekam mengandung unsur Kalium dan Silikat. Di lokasi penelitian sekam padi tersedia dalam jumlah yang banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, M.2001. Strategi Pengendalian Blas (Pyriculariaoryzae) di Lahan Kering. Balai Penelitian Tanaman Pangan , Sukamandi

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2015. Unsur hara, Hama dan Penyakit. http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita/info-teknologi/content/247-unsur-hara-hama-dan-penyakit-padi. Diakses tanggal 11 April 2016

IRRI.2002. Standart Evaluation System for Rice. Los Banos Filiphines

Ou, S.H. 1985. Rice Diseases. Second Edition. Commonwealth Mycological Institute, KewSurrey, England

Page 173: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

702

Semangun, H. 2004. Penyakit Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Suryanto,W.A. 2010. Hama dan Penyakit TanamanPangan, Hortikultura dan Perkebunan,Masalah dan Solusinya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Page 174: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

703

KAJIAN ANTIFUNGAL Bacillus subtilis BR2 TERHADAP PENYEBAB PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG KELAPA

SAWIT (Ganoderma sp.)

Rustam

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau,

Jl. Kaharuddin Nasution No. 341 Pekanbaru, Telp 0761-674206 email [email protected]

ABSTRAK

Bacillus subtilis BR2 merupakan bakteri antagonis yang memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan beberapa cendawan patogen seperti Fusarium oxysporum, Helminthosporium maydis,Pyricularia oryzae, dan Rhizoctonia solani, masing-masing sebagai penyebab penyakit layu pada tanaman semangka, bercak daun pada tanaman jagung, blast pada tanaman padi, dan hawar daun tanaman padi. Penelitian bertujuan mengetahui kemampuan B. subtilis BR2 menekan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. penyebab penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit. Penelitian dilakukan di tingkat in vitro, dengan menguji daya hambat B. subtilis BR2 pada medium padat dan cair. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat B. subtilis BR2 mampu menekan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp., dengan persentase hambatan 80% pada medium padat dan 78-97% pada medium cair. Dengan demikian, isolat B. subtilis BR2 memiliki mekanisme antibiosis disamping mekanisme antagonis lainnya dalam menghambat pertumbuhan cendawan Ganoderma sp.

Kata kunci: Bacillus subtilis, kelapa sawit, busuk pangkal batang, Ganoderma sp.

PENDAHULUAN

Kelapa sawit merupakan jenis tanaman perkebunan andalan Indonesia saat ini. Luas tanaman kelapa sawit secara nasional hampir mencapai 10,5 juta ha, dengan daerah perkebunan utama kelapa sawit berada di Provinsi Riau (2,19 juta ha), Sumatera Utara (1,34 juta ha), Kalimantan Tengah (1,1 juta ha), dan Sumatera Selatan (1,06 juta ha) (BPS 2015). Perkebunan kelapa sawit telah mampu menyerap tenaga kerja yang banyak, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, dan menjadikan Indonesia sebagai produsen utama CPO dunia.

Luasnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga mengandung potensi ancaman ledakan serangan hama dan penyakit. Hal ini mengingat karakteristik budidaya tanaman kelapa sawit biasanya ditanam secara monokultur dengan hamparan pertanaman yang sangat luas, pertanaman monokultur dengan umur tanaman relatif dalam, dan penggunaan input produksi seperti varietas yang relatif seragam, insektisida, herbisida, serta pupuk anorganik secara terus menerus. Kondisi ini akan memicu timbulnya ledakan serangan penyakit seperti terjadi di Irlandia tahun 1845-1860, muncul epidemi penyakit late blight

Page 175: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

704

(bercak daun) pada kentang yang disebabkan oleh cendawan Phytophtora infestans (Agrios 2005).

Penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh cendawan Ganoderma sp. merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan kerugian besar di perkebunan kelapa sawit, khususnya di Indonesia dan Malaysia (Darmono 1998). Di beberapa perkebunan kelapa sawit, penyakit dapat menyebabkan kerusakan hingga 80% (Susanto 2011). Gejala penyakit biasanya terlihat setelah 6-12 bulan setelah infeksi (Darmono 1996). Pangkal batang tanaman terinfeksi akan membusuk dan tumbang sebelum masa produktif berakhir. Selama ini serangan cendawan banyak terjdi pada tanaman yang sudah tua tetapi belakangan ini serangan cendawan juga diditemukan pada tanaman stadia pembibitan (Naher et al. 2013)

Penggunaan bakteri antagonis, seperti B. subtilis BR2 untuk mengendalikan penyakit busuk pangkal batang tanaman kelapa sawit merupakan salah satu teknik pengendalian secara hayati (biological control). Penggunaan mikroba antagonis lain yang pernah dilakukan terhadap penyebab penyakit busuk pangkal kelapa sawit adalah menggunakan Trichodermaharzianum (Nur Ain Izzati and Abdullah, 2008). Teknik pengendalian ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan teknik pengendalian secara kimia, diantaranya: bersifat ramah lingkungan, pengendalian dapat bersifat permanen, dapat memperbanyak sendiri, dan relatif mudah diterapkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi secara in vitro penggunaan B. subtilis BR2 dalam menekan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. penyebab penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit.

BAHAN DAN METODE

Persiapan isolat antagonis dan patogen

Bakteri antagonis B. subtilis BR2 (isolat BR2) merupakan koleksi isolat penulis sendiri yang diisolasi dari perakaran rumput-rumputan di daerah Ciampea, Bogor. Isolat tersebut telah diketahui memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan beberapa cendawan patogen seperti Fusarium oxysporum (penyebab penyakit layu pada tanaman semangka), Helminthosporium maydis (penyebab penyakit bercak daun pada tanaman jagung), Pyricularia oryzae (penyebab penyakit blast pada tanaman padi), dan Rhizoctonia solani (penyebab penyakit hawar daun pada tanaman padi) (Rustam, 2011).

Page 176: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

705

Tabel 1. Beberapa karakter morfologi dan biokimia isolat BR2

Karakteristik Isolat BR2

Morfologi koloni - Ukuran (mm) 4 - Bentuk Tidak beraturan - Elevasi Datar - Pinggiran Berombak - Warna putih susu - Permukaan Licin Morfologi sel Batang Reaksi Gram + Ukuran sel (μm) 0,25 x 1,75 Endospora + (terminal) Motil Tidak Biokimia - Uji kitinase + - Uji katalase + - Uji sitrat - - Dekarboksilase (lisin) Non enterobakter - Produksi H2S - - Uji indol - - Uji metil red + - Motilitas - - Reduksi nitrat + - Hidrolisis urea - - Voge-proskauer - - Glukosa + - Sukrosa + - Dekstrosa - - Sorbitol - - Manitol + - Fitotoksisitas - - Produksi siderofor + - Pelarutan fosfat +

Keterangan: + = terjadi reaksi, - = tidak ada reaksi

Sumber: Rustam (2011) dan Rustam (2012).

Berdasarkan hasil karakterisasi sekuens 16S rRNA ternyata isolat tersebut teridentifikasi sebagai Bacillus subtilis (Rustam et al., 2011). Adapun beberapa karakter morfologi dan biokimia isolat B. subtilis BR2 disajikan pada Tabel 1. Sementara itu isolat cendawan penyebab penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit (Ganoderma sp.) diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Daya hambat isolat BR2 pada medium padat (PDA)

Pengujian daya hambat isolat BR2 terhadap patogen (Ganoderma sp.) dilakukan dengan menggunakan metode biakan ganda pada medium PDA. Potongan koloni cendawan Ganoderma sp. dengan diameter 0,5 cm dipindahkan pada medium PDA dengan jarak 3 cm dari tepi cawan petri. Sebagai perlakuan, pada arah berlawanan dengan jarak 3 cm dari tepi

Page 177: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

706

cawan petri dipindahkan sebanyak 10 μl suspensi biakan isolat BR2 (populasi 106 sel/ml) atau isolat Escheria coli DH5α yang tidak memiliki gen penyandi antibiosis, tidak mengekspresikan senyawa antibiotik (koleksi Laboratorum Bakteriologi, Depertemen Proteksi Tanaman). Pengujian dilakukan sebanyak 5 ulangan. Persentase daya hambat isolat BR2 terhadap pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. dihitung dengan rumus:

Persentase daya penghambatan = x 100%

Keterangan: R1 = jari-jari pertumbuhan cendawan ke arah tepi cawan petri

R2 = jari-jari pertumbuhan cendawan ke arah bakteri

Daya hambat biakan isolat BR2 pada medium cair (PDB)

Potongan koloni cendawan patogen (Ganoderma sp.) berdiameter 0,5 cm dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer 250 ml yang telah berisi 50 ml medium potato dekstrosa broth (PDB). Untuk perlakuan ditambahkan 1,5 ml suspensi biakan isolat BR2 (106 sel/ml) atau isolat E. coli DH5α. Sedangkan untuk kontrol ditambahkan 1,5 ml akuades steril. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 ulangan. Sediaan diinkubasi pada suhu ruang selama 10 hari. Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. ditentukan dengan mengukur berat basah dan berat kering koloni cendawan pada hari terakhir inkubasi. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis menggunakan sidik ragam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Daya hambat isolat BR2 pada medium padat (PDA)

Isolat BR2 ternyata mampu menghambat pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. Pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. terhambat hingga 80% oleh perlakuan isolat BR2. Sebaliknya penghambatan pertumbuhan Ganoderma sp. tidak terjadi oleh perlakuan isolat DH5α dan kontrol (Tabel 1 dan Gambar 1). Hal ini membuktikan bahwa isolat BR2 memiliki sifat antifungal terhadap cendawan Ganoderma sp. penyebab penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit.

Tabel 1. Daya hambat isolat BR2 terhadap pertumbuhan cendawan Ganoderma sp.

Perlakuan Daya hambat (%)

Biakan isolat BR2 80

Biakan isolat DH5α 0

Kontrol (tanpa isolat bakteri) 0

R1 – R2

R1

Page 178: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

707

Gambar 1. Performan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp.pada medium padat (kiri) dan mediumcair (kanan) setelah diberi perlakuan isolat BR2 atau DH5α

Daya hambat isolat BR2 pada medium cair (PDB)

Isolat BR2 ternyata juga menekan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. dalam medium cair. Penekanan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. oleh isolat BR2 ditunjukkan dengan berkurangnya berat basah dan berat kering koloni cendawan yang diperoleh. Adapun berat basah dan berat kering koloni cendawan Ganoderma sp. yang diperoleh dari perlakuan isolat BR2 masing-masing 0,4 gr dan 0,11 gr (Tabel 2). Dengan demikian terjadi penghambatan pertumbuhan koloni cendawan Ganoderma sp. oleh isolat BR2 sebesar 97 % dan 78 %, masing-masing berdasarkan berat basah dan berat kering koloni cendawan.

Tabel 2. Berat basah dan berat kering miselium cendawan Ganoderma sp.setelah diinkubasi

selama 10 hari dalam medium cair untuk masing-masing perlakuan

Perlakuan Berat basah (gr) Berat kering (gr)

BR2 0,40 a 0,11 a

DH5α 7,70 b 0,46 b

Kontrol 7,71 b 0,50 b

Angka-angka pada lajur yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama adalah berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%.

Pembahasan

Isolat BR2 secara konsisten menghambat pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. baik pada medium padat maupun pada medium cair. Penghambatan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. dikarenakan isolat BR2 menghasilkan senyawa antifungal. Hal ini sejalan dengan hasil pengujian Rustam (2011) bahwa isolat BR2 memiliki sifat kitinolitik dan antagonis terhadap cendawan Rhizoctonia solani, Fusarium oxisporum, dan Helminthosporium maydis, masing-masing sebagai penyebab penyakit hawar pelepah pada tanaman padi, penyebab penyakit layu pada tanaman melon, dan penyebab penyakit bercak

BR2

+BR2

Ktr

+DH5α

Page 179: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

708

daun pada tanaman jagung. Daya hambat isolat BR2 terhadap cendawan-cendawan tersebut sekitar 36-52%. Hal yang sama dilaporkan Szczech and Shoda (2005) bahwa Bacillus subtilis RB14-C dapat menekan perkembangan cendawan R. solani dan beberapa mikroba tanah lainnya.

Beberapa hasil penelitian penggunaan mikroba antagonis untuk pengendalian Ganoderma sp. menunjukkan keberhasilan. Wibowo (2011) melaporkan bahwa isolat bakteri BK17 cukup efektif menekan pertumbuhan penyebab busuk pangkal batang tanaman kelapa sawit yang disebabkan oleh Ganoderma boninense Pat. Namun belum dilaporkan hasil identifikasi isolat bakteri BK17 tersebut. Rustam et al. (2011) dan Rustam (2012) menginformasikan bahwa berdasarkan analisis sekuens 16S rRNA, sifat morfologi, biokimia, dan karakter pertumbuhannya maka isolat BR2 yang memiliki sifat antifungal terhadap cendawan Ganoderma sp. teridentifikasi sebagai Bacillussubtilis. Sementara itu penelitian penggunaan mikroba lainnya dilakukan oleh Herliyana et al. (2011) yang mendapatkan cendawan Trichoderma T38 dan T39 memiliki sifat antifungal terhadap beberapa isolat Ganoderma.

Senyawa antifungal dapat diproduksi oleh isolat BR2 baik pada medium padat maupun pada medium cair. Efikasi senyawa antifungal yang dihasilkan isolat BR2 dalam medium cair dilaporkan Rustam (2013), bahwa aktifitas antifungal isolat BR2 meningkat hingga 72 jam pertama, mengikuti peningkatan pertumbuhan sel bakteri tersebut. Hasil penelitian Liu et al. (2007) menyimpulkan bahwa pertumbuhan sel bakteri antagonis Acinetobacter baumanni LCH001 berkorelasi erat dengan aktivitas antifungalnya. Lebih jauh dilaporkan Rustam (2013a) bahwa senyawa antifungal pada isolat BR2 dapat diekstrak menggunakan pelarut etil asetat dengan daya hambat ekstrak ini hampir 78% terhadap cendawan R. solani. Adapun nilai minimum inhibitory concentration (MIC) ekstrak etil asetat sebesar 10 mg/l (10-3 %). Namun stabilitas senyawa antifungal tersebut sangat dipengaruhi oleh suhu, yakni semakin tinggi suhu maka aktifitas senyawa antifungal juga menurun. Sebaliknya stabilitas senyawa antifungal relatif stabil pada kondisi asam, netral, dan basa (Rustam 2013b).

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa isolat Bacilus subtilis BR2 dapat menekan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. penyebab penyakit busuk pangkal batang pada tanaman sawit. Potensi penghambatan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. oleh isolat B. Subtilis BR2 secara in vitro sekitar 78-97%.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. San Diego: Academic Press.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Luas Tanaman Perkebunan Menurut Propinsi dan Jenis Tanaman, Indonesia (000 Ha), 2012-2014*. http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/838. (30 September 2015).

Darmono TW. 1996. Pendekatan bioteknologi untuk mengatasi masalah penyakit Busuk Pangkal Batang Kelapa Sawit Akibat Serangan Ganoderma Warta Puslit Biotek Perkebunan 1, 17-25.

Page 180: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

709

Darmono TW. 1998. Development and survival of Ganoderma sp. In oil palm tissue. International Oil Palm Conference. Bali, Indonesia: Indonesian Oil Palm Research Institute.

Herliyana EN, Darmono TW, Minarsih H, Firmansyah MA, Dendang B. 2011. Pengendalian serangan Ganoderma spp. (60-80%) pada tanaman sengon sebagai pelindung tanaman kopi dan kakao. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia16: 14-27.

Liu CH, Chen X, Liu TT, Lian B, Yucheng Go, Caer V, Xue YR, Wang BT. 2007. Study of the antifungal activity of Acinetobacter baumannii of its antifungal components. Appl Microbiol Biotechnol 76: 459-466.

Naher L, Yusuf UK, Ismail A, Tan SG, Mondal MMA. 2013. Ecological status of Ganoderma and basal stem rot disease of oil palms (Elaeis guineensis Jacq.). AJCS 7 : 1723-1727.

Nur Ain Izzati MZ, Abdullah F. 2008. Disease suppression Ganoderma-infected oil palm seedlings treated with Trichoderma harzianum. Plant Protect. Sci. 44: 101-107.

Rustam, Giyanto, Suryo Wiyono, Dwi Andreas Santosa, Slamet Susanto. 2011. Seleksi dan identifikasi bakteri antagonis sebagai agens pengendali hayati penyakit hawar pelepah padi. Jurnal Penelitian Pertanian 30 (3): 164-171.

Rustam. 2011. Potensi isolat Bacillus yang bersifat kitinolitik sebagai agens hayati dan produksi massal pada limbah organik. Di dalam Prosiding Seminar Nasional, Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi, Bogor, 19-20 Nopember 2011.

Rustam. 2012. Characterization and Identification of Bacteria as Biological Agents to Control the Rice Sheath Blight Disease. Prosiding International Seminar of Rice Technology Innovation for Increasing Production and Conserving Enviroment Under, Global Climate Change, Subang-Indonesia, July 11-12, 2012.

Rustam. 2013a. Efikasi senyawa bioaktif anticendawan Bacillus subtilis BR2 terhadap pertumbuhan Rhizoctonia solani penyebab penyakit hawar pelepah padi. Di dalam Prosiding Seminar Nasional: Akselerasi Inovasi dan Diseminasi Teknologi Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal, Palu, 18 Maret 2013. Bogor: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Rustam. 2013b. Fitotoksisitas dan stabilitas senyawa bioaktif anticendawan dari beberapa isolat bakteri agens hayati terhadap penyebab penyakit hawar pelepah padi. Di dalam Prosiding Seminar Nasional: Akselerasi Inovasi dan Diseminasi Teknologi Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal, Palu, 18 Maret 2013. Bogor: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Susanto A. 2011. Ganoderma di perkebunan kelapa sawit dari waktu ke waktu. Simposium Nasional dan Lokakarya Ganoderma: Sebagai Patogen Penyakit Tanaman dan Bahan Baku Obat Tradisional. Bogor, 2-3 November 2011.

Szczech M, Shoda M. 2005. The influence of Bacillus subtilis RB14-C on the development of Rhizoctonia solani and indigenous microorganisms in the soil. Canadian Journal of Microbiology 51: 405-411.

Wibowo RH. 2011. Pengendalian serangan busuk pangkal batang (Ganoderma boninense Pat.) pada bibit tanaman kelapa sawit (elaeis guineensis Jacq.) menggunakan isolat bakteri kitinolitik. Tesis Universitas Sumatera Utara.

Page 181: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

710

POTENSI KETERSEDIAAN HIJAUAN PAKAN LIMBAH

TANAMAN JAGUNG MANIS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU .

1)Supriadi , 2)Lutfi Izhar, dan 3)Oktariani Indri Safitri .

1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jogjakarta 2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

3)Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau . Jl. Pelabuhan Sungai Jang No. 38 Tanjung Pinang.

Telp (0771) 22153; Fax (0771) 26285.E-mail: [email protected]. E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Keberhasilan pengembangan pertanian tergantung kepada keberhasilan

mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki. Potensi sumber

ketersediaan hijuan pakan berdasarkan sumber daya lahan kemungkinan berbeda di setiap

daerah, perbedaan ini penting sekali untuk diketahui karena akan menentukan model

pengembangan usaha peternakan. Pengkajian ini bertujuan mengetahui potensi ketersedian

hijauan pakan dari limbah tanaman jagung manis, dari batangnya maupun dari kulit tongkol

jagung (klobot). Pengkajian ini dilakukan di Kabupaten Bintan, Kecamatan kawal, Kelurahan

Malang Rapat, Provinsi Kepri, sebagai daerah sentra tanaman sayur khususnya tanaman

jagung manis dari Bulan Juli sampai Agustus 2014. Metode pendekatan yang dilakukan

adalah pengukuran sampel dilapangan sebanyak 10 titik dengan parameter tinggi tanaman,

berat tanaman, berat tongkol jagung, berat kulit jagung dan luasan lahan yang ditanam. Hasil

pengkajian menunjukan bahwa rata-rata tinggi tanaman jagung manis adalah 177,35 cm,

berat basah hijauan makanan ternak (HMT) yang terdiri dari batang tanaman dan kulit

tongkol jagung (klobot) adalah sebanyak 20.026,7 kg/ha/musim, kapasitas unit ternak (UT)

yang dapat ditampung berdasarkan produksi basah HMT satu kali musim tanam adalah

sebanyak 1,5 ekor/ha/th, dalam 1 tahun dapat menanam 3 kali. Berdasarkan analisis

sederhana (output – input) usaha penanaman jagung manis dalam 1 hektar dapat

mendatangkan keuntungan sebanyak Rp.48.431.500,- dengan R/C 4,4 dalam satu kali tanam.

Katan kunci: Optimalisasi, sumber hijauan pakan, jagung manis.

PENDAHULUAN

Sektor pertanian adalah sektor yang berbasis pada sumber daya alam, oleh sebab itu keberhasilan pengembangan pertanian tergantung pada keberhasilan pengoptimalan pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki. Pada setiap provinsi masih tesedia areal pertanian yang potensial sebagai wilayah sumber hijauan pakan ternak, seperti di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2011 memiliki lahan sawah seluas 453 ha, lahan kebun/tegalan (bukan sawah) seluas 537.661 ha dan lahan padang penggembalaan atau lahan rumput seluas 29.977ha pada tahun 2010, dengan demikian lahan tersebut secara keseluruhan adalah lahan yang dapat mendukung ketersediaan hijauan pakan ternak (BPS Kepri 2012).

Subsektor peternakan diharapkan pada milinium ketiga ini dapat tumbuh sebesar 7–8% pertahun, sebagai andalan utamanya adalah peningkatan produktivitas ternak diatas 60% dan perkembangan populasi sekitar 40% dari laju kenaikan produksinya (Mentan,

Page 182: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

711

2000). Harapan terserbut dapat dicapai dengan upaya pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan rasional serta efisiensi pakan dan peningkatan produktivitas hijauan pakan.

Berkaitan dengan efisiensi pakan dan harapan pertumbuhan produktivitas ternak serta upaya optimalisasi sumberdaya lokal, sebaiknya terlebih dahulu dikaji potensi sumberdaya yang ada di daerah yang akan menjadi sasaran pengembangan peternakan. Seperti halnya Provinsi Kepulauan Riau, daerah ini diharapkan dapat dikembangkan usaha peternakan. Guna mencapai hal itu perlu dilakukan upaya pengembangan produktivitas dan populasi ternak khususnya ternak ruminansia yang diawali dengan inventarisasi potensi sumber ketersediaan pakan hijauan.

Bahan pakan ternak ruminansia adalah hijauan, yang berasal dari rumput- rumputan maupun dari daun dan ranting pohon-pohon berkayu. Secara garis besarnya jenis hijauan pakan ternak ruminansia yang biasa diberikan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar yaitu: rumput-rumputan; daun-daunan dari pohon berkayu atau disebut juga ramban; dan limbah pertanian atau hasil ikutan dari produksi pertanian seperti jerami padi, jerami jagung dan jerami kacang-kacangan.

Banyak peternak yang mengalami kendala kesulitan mendapatkan hijauan pakan, terlebih lagi pada musim kemarau, hal ini tidak lain karena terlalu banyak ternak yang dipelihara saat itu melampaui kemampuan alam untuk menyediakan hijauan pakan, keadaan ini sangat tidak baik terhadap usaha peningkatan populasi ternak.

Akibat kendala pakan, kelainan reproduksi sering dijumpai adalah uterus terlalu kecil, menurut para ahli ilmu nutrisi kelainan bentuk uterus terlalu kecil ini kemungkinan disebabkan kekurangan gizi pakan (mal nutrition) dalam jangka waktu yang cukup panjang terutama pada saat ternak dalam masa pertumbuhan (anonimuos 1997). Kait mengkait antara usaha peningkatan populasi ternak dengan kendala yang ada seperti kesulitan penyediaan pakan yang baik dan kontinu serta sering terjadi kelainan reproduksi, mendorong harus diketahuinya berapa besar potensi sumber ketersedian hijauan pakan yang ada dan berapa banyak populasi yang sebaiknya dipelihara agar dapat menguntungkan dan dijamin keberlanjutannya.

Apabila potensi ini diketahui dengan baik, maka dapat diproyeksikan berapa besar populasi ternak yang seharunya dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan potensi hijauan pakan yang tersedia agar usaha ternak dapat menguntungkan.

METODA PENELITIAN

Pengkajian ini dilakukan di Kabupaten Bintan, Kecamatan Kawal, Desa Malang Rapat dengan titik koordinat lokasi pengkajian 01˚04ˈ40.48" LU, 104˚37ˈ21.29" BT. Pengkajian dilakukan dari Bulan Juli sampai dengan Bulan Agustus 2014. Kabupaten ini diperkirakan memiliki potensi sumber ketersediaan hijauan pakan yang tinggi terutama limbah dari tanaman jagung manis namun pemanfaatannya belum optimal. Adapun data yang dikumpulkan adalah data hasil pengukuran tanaman jagung sebanyak 10 ulangan yang diambil dari 10 titik kebun jagung manis.

Kebun tanaman jagung manis seluas 0,5 hektar dengan lahan miring sekitar 3%-5%, penanaman jagung dilakukan pada bedengan dengan lebar bedengan 80 cm panjang sekitar 20m, 2 lubang tanaman diantara lebar bedengan dan diantara bedengan dipisahkan dengan parit saluran air selebar 80 cm serta adanya tanggul-tanggul pemisah sebagai jalan setapak beriksar 5% dari luas lahan yang digunakan, jumlah bedengan dikonfersikan dalam satu hektar adalah sebanyak 59 bedengan, sebelum ditanami bedengan dilapisi dengan plastik mulsa.

Penanaman jagung dilakukan pada bedengan dengan jarak tanam 60 x 70 cm, setiap lubang ditanam dua benih jagung, pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali, pemupukan pertama terdiri dari 50 kg Urea/ha dan 100 kg ponska/ha, pemupukan kedua terdiri dari urea 100 kg/ha dan ponska 100 kg/ha. Panen jagung manis dilakukan pada umur 70 hari setelah tanam (HST).

Page 183: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

712

Data yang dikumpulkan berupa tinggi tanaman, berat total tanaman, berat hijauan tanaman, berat tongkol utuh, berat kulit tongkol (Klobot) dan berat tongkol jagung. Potensi ketersediaan hijauan pakan akan ditinjau berdasarkan Agro-ekosistem dan peluang pengembangan ternak berdasarkan ketersedian pekan yang baik dan kuntinue, perhitungan ketersediaan pakan ternak berdasarkan kriteria penelitian Soewardi, (1986) dalam Musofie, (1990). Analisis finansial dihitung secara sederhana melalui perhitungan output-input.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakterisasi Wilayah. Berdasarkan peta pewilayahan komodits unggulan di Kabupaten Bintan yang dibuat

pada tahun 2012 (AEZ 2012), Pulau Bintan tersusun dari 4 formasi geologi yaitu Goungon (Qtg), Granit (Tg), Andesit (Tma) dan Aluvial (Qa), yang paling dominan adalah formasi Goungon yang membentang dari bagian barat-utara sampai ke bagian tengah. Wilayah penelitian masuk kedalam formasi Batuan Granit dengan komposisi felsfar, kwarsa, horblenda dan biotit. Bentuk wilayah didominasi wilayah datar sampai bergelombang (lereng <15%) dengan tanah masuk kedalam subgroup typic kanhapludults, typic hapludox dan oxic dystrudepts.

Kesesuaian lahan untuk tanaman sayuran dan tanaman jagung/jagung manis di wilayah penelitian masuk kedalam sesuai marginal dengan fator pembatas retensi hara (S3nr), oleh sebab itu untuk mencukupi kebutuhan unsur hara pada tanaman jagung manis biasanya petani memberikan pupuk urea hingga 150 kg/ha, ponska sebanyak 200 kg/ha ditambah dengan 4 ton/ha pupuk kandang.

2. Potensi limbah tanaman jagung manis sebagai pakan ternak. Salah satu andalan sumber hijauan pakan ternak adalah limbah pertanian, baik dalam

keadaan segar maupun dalam keadaan kering seperti halnya jerami, namun demikian jerami memiliki lignoselulosa dengan kadar lignin dan silikat yang tinggi yang menyebabkan daya cerna menjadi rendah (Suwandyastuti; 1988). Limbah pertanian sangat bergantung kepada budidaya pertanian terutama pertanian tanaman pangan diantaranya tanaman jagung baik sebagai penghasil jagung pipilan maupun sebagai penghasil pakan (tebon).

Teknologi budidaya pertanian di Provinsi Kepulauan Riau khususnya di Kecamatan Kawal sudah tergolong maju, terutama input saprodi banyak menggunakan saprodi dari produksi Negara Singapura seperti benih jagung manis produksi dari Singapura, pupuk produksi dari Malaysia ditambah dengan pupuk kandang produksi dalam negeri yang ada disekitar Kecamatan Kawal. Hasil pengukuran dari sempel tanaman jagung manis yang ditanam di kecamatan Kawal dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Page 184: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

713

Tabel 1. Rata-rata Produksi Hijauan pakan pada Tanaman Jagung Manis di Kecamatan Kawal 2014.

Ulangan Tinggi

tanaman (cm)

Berat tanaman

(kg)

Berat jagung glondong (kg)

Berat hijauan tanaman (kg)

Berat klobot (kg)

Berat tongkol

(kg)

1 186 1.05 0.4 0.65 0.1 0.3

2 189 0.9 0.41 0.49 0.11 0.3

3 176 0.87 0.42 0.45 0.12 0.3

4 184 1,0 0.45 0.55 0.15 0.3

5 180 0.9 0.45 0.45 0.15 0.3

6 137.5 0.85 0.44 0.41 0.14 0.3

7 186 0.9 0.45 0.45 0.15 0.3

8 172 0.8 0.4 0.4 0.15 0.25

9 173 0.8 0.4 0.4 0.12 0.28

10 190 0.8 0.45 0.35 0.15 0.3

Rataan 177.35 0.887 0.427 0.46 0.134 0.293

Jagung manis yang di tanaman di Desa Malang rapat memilki rata-rata tinggi tanaman 177,35 cm (Tabel 1), rata-rata berat jagung glondong yaitu jagung yang masih terbungkus dengan kulit jagung adalah 0,427 kg, berat hijauan tanaman yaitu tanaman jagung yang sudah diambil jagungnya adalah 0,460 kg dan berat kulit jagung yaitu kulit yang membungkus tongkol jagung atau sering disebut dengan klobot adalah 0,134 kg. Limbah jagung yang menjadi pakan ternak adalah hijauan tanaman, klobot dan gilingan tongkol jagung yang sudah diambil biji jagungnya atau yang sering disebut dengan janggel jagung, tetapi pada penelitian ini gilingan janggel jagung belum diperhitungkan karena keterbatasan alat pengering dan penggilingan.

Dari pembahasan Tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa produktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh keadaan biofisik lahan pertanian seperti kondisi tanah dan ketersediaan pengairan yang umumnya mengandalkan air hujan untuk mendukung budidaya tanaman pangan, hortikultura maupun palawija. Hal ini menyebabkan rendahnya produksi pertanian yang berarti pula rendahnya produksi limbah pertanian sebagai tulang punggung sumber hijauan pakan ternak. Jerami jagung merupakan hasil ikutan tanaman jagung dengan tingkat produksi mencapai 4-5 ton/ha. Kandungan nutrisi jerami jagung diantaranya protein 5,56%, serat kasar 33,58%, lemak kasar 1,25, abu 7,28 dan BETN 52,32% (Budimulya. 2012).

Tanaman jagung yang dapat dijadikan pakan ternak ruminansia yaitu dari hijauannya sedangkan tongkolnya dimanfaatkan untuk pangan. Kapasitas tampung ternak dari hijauan jagung (tebon) yang tersedia dapat dihitung berdasarkan bobot kering atau bobot basah hijauan. Secara teoritis seekor ternak dapat mengkonsumsi bahan kering sebanyak 2-3 % atau bahan basah sebanyak 10% dari bobot badannya. Satu Unit Ternak (UT) seberat 350 kg dapat mengkonsumsi bahan kering sebanyak 7-10,5 kg, atau bahan basah sebanyak 35 kg. Berdasarkan perhitungan bahan kering tanaman jagung mengandung 22% bahan kering (Supriadi et al., 2009) maka daya tampung ternak pada penanaman jagung manis di Kecamatan Kawal, Kabupaten Bintan adalah sebagai berikut:

Page 185: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

714

Tabel 2. Rata-rata Produksi Hijauan pakan pada Tanaman Jagung Manis di Kecamatan Kawal. 2014.

Uraian Tinggi

tanaman (cm)

Berat tanaman

(kg)

Berat jagung

glondong (kg)

Berat hijauan

tanaman (kg)

Berat klobot (kg)

Berat tongkol

(kg)

Rataan/batang 177.35 0.887 0.427 0.46 0.134 0.293

Bobot/ha 29904.32 14396.305 15508.9 4517.81 9878.5

kapasitas UT/ha 1.21 0.35

3xtanam/th 3.64 1.06

Keterangan : ha = Hektar

UT= Unit ternak (setara bobot ternak seberat 350 kg/ekor)

Th = Tahun

Berdasarkan produksi bahan basah (segar), semakin banyak hasil bahan segar yang diproduksi akan semakin besar atau semakin banyak ternak yang dapat ditampung. Kapasitas tampung ternak pada lahan tanaman jagung manis seluas 1 hektar berdasarkan bahan segar yang terdiri dari hijauan tanaman dan kulit tongkol jagung (klobot) dapat menampung ternak sebanyak 1,5 unit ternak setiap tahunnya. Lahan tersebut biasanya dalam satu tahun ditanami jagung manis sebanyak 3 kali, sehingga kapasitas tampung ternak dalam satu tahun adalah sebesar 4,6 unit ternak.

Analisis Finansial

Model analisis usaha tani yang paling sederhana adalah pendekatan proses produksi dengan menggunakan estimasi marjin kotor. Analisis yang lebih sederhana diperoleh dengan cara mengurangi biaya variabel dari pendapatan kotor (Soekartawi et al., 1986, dalam Soeharsono et al., 2004). Analisis finansial usahatani tanaman jagung manis di Kecamatan Kawal, Desa Malang rapat ditunjukkan Tabel 3. Batasan perhitungan hasil produktivitas dari usahatani penanaman jagung manis yang dikaji diuraikan dibawah ini. Penanaman dibatasi hanya satu kali periode penanaman pada lahan seluas 0,5 hektar ditanaman secara monokultur selama 70 haripanen berupa tongkol jagung manis dan produk samping berupa hijauan tanaman jagung. Biaya sewa lahan dan ikutannya tentang lahan belum diperhitungkan. Besaran upah kerja yang berlaku di wilayah pengkajian sebesar Rp 50.000,-/ OH, harga tongkol jagung manis dalam keadaan segar (basah) Rp 5000,-/kg, harga limbah hijauan tanaman segar Rp 500,-/kg. Rata-rata hasil produksi yang diperoleh dan analisis output dikurangi input untuk penanaman jagung manis dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 186: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

715

Tabel 3. Analisis usaha tanaman jagung manis di Kecamatan Kawal, 2014. (per ha)

Uraian Volume Harga satuan Jumlah

Bibit jagung (sacet) 14 90000 1.260.000

Pupuk

Urea (Zak @ 50 kg) 3 425000 1.275.000

Ponska (zak @ 50 kg) 4 115000 460.000

Pupuk kandang (t) 4 900000 3.600.000

Tenaga kerja (HOK)

Olah tanah 28 50000 1.400.000

Penyiangan 8 50000 400.000

Pemupukan 8 50000 400.000

Pembumbunan 8 50000 400.000

Penyemprotan 8 50000 400.000

Panen 12 50000 600.000

Bonus Panen * 4 200000 800.000

A. Total biaya 10.995.000

Hasil

Jagung manis (kg) 9.878.5 5000 49.392.500

Hijauan jagung (kg) 20.026 500 10.013.000

B. Pendapatan 59.405.500

C. Keuntungan (B-A)

48.410.500

Ratio R/C

4.402955889

Keterangan = * Belum berlaku umum dikalangan penanam jagung manis

Bonus panen diberikan pada pekerja yang ikut sejak dari pengolahan tanah hingga panen, tetapi bonus ini sebetulnya belum bisa dimasukkan pada perhitungan biaya produksi secara umum, karena tidak semua petani penanam jagung manis memberikan bonus kepada pekerjanya, disamping itu besaran dan jumlah pekerja yang diberikan bonus panen tidak tetap setiap kali penanaman.

Hijauan jagung segar belum dimanfaatkan oleh pemiliknya tetapi diberikan secara cuma-cuma kepada petani yang membutuhkan pakan ternak yang biasanya datang dari luar kecamatan. Hampir semua petani penanam jagung manis tidak memiliki ternak ruminansia kecuali ternak ayam kampung.

Perbandingan R/C pada usaha penanaman jagung manis tergolong tinggi yaitu 4.4 hal ini apabila hijauan segar dari limbah tanaman diperhitungkan sebagai komoditas yang diperjual-belikan, tetapi apabila hijauan pakan ini belum diperhitungkan maka R/C adalah sebesar 3,5. keuntungan yang diperoleh petani dari penanaman jagung manis seluas 1 hektar selama 70 hari adalah sebesar Rp. 48.410.500,-

Page 187: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

716

KESIMPULAN

Pertanaman jagung manis merupakan sumber hijauan pakan dari produk samping yang berupa hijauan tanaman dan kulit tongkol jagung (klobot). Satu hektar pertanaman jagung manis dapat menghasilkan hijauan pakan sebanyak 20.026,7 kg yang mampu menampung ternak ruminansia sebanyak 1,5 unit ternak untuk setahun. Dalam 1 tahun, lahan dapat ditanami jagung manis sebanyak 3 kali. Berdasarkan hitungan output-input pertanaman jagung manis dalam 1 hektar mendapatkan keuntungan sebanyak Rp 48.410.500,- dengan R/C ratio sebesar 4,4.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 1997. Laporan Akhir. Peranan Rumput, Legum dan Limbah Pertanian Untuk Konservasi Tanah dan Sumber Pakan di Daerah Aliran Sungai Jratunseluna: Kemampuan Adaptasi Rumput – Legum dan Pola Pemberian Pakan. Kerjasama Fakultas Peternakan UGM dengan Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air (P3HTA). Badan Litbang Pertanian.

Anonimus, 2012. Agro Ecological Zone (AEZ). Loka Pengkajian Tenologi Pertanian Kepulauan Riau. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau (BPS). 2012. Kepulauan Riau Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau.

Budimulya. 2012. Teknologi Pembuatan Silase Jagung Untuk Pakan Sapi Potong. http://www.total-fm.co.id/index.php/the-news/639-teknologi-pembuatan-silase-jagung-untuk-pakan-sapi-potong. download 14 /10 2012.

Menteri Pertanian 2000. Memposisikan Pertanian Sebagai Poros Penggerak Perekonomian Nasional. Departemen Pertanian. Januari 2000.

Musofie.A, 1990. Optimasi Penggunaan Hijauan Pakan Dalam Ransum Sapi Perah Rakyat. Proc. Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah . Sub Balai Penelitian Ternak Grati.

Soeharsono, A. Musofie, Prajitno, Supriadi, H. Hanafi, S. Rustijarno,S.B. Lestari, Kurnianita dan Sukar. 2004. Pengkajian Sistem Usahatani Integrasi Tanaman - Ternak di Agroekosistem Lahan Kering. Laporan Pengkajian Proyek Pembinaan Kelembagaan Litbang Pertanian D.I.Yogyakarta.

Supriadi dan Murwati. 2009. Model penyediaan hijauan pakan ternak (HMT) melalui penanaman jagung pola rapat di lahan kering. Proseding. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Pemberdayaan masyarakat melalui usaha peternakan berbasis sumberdaya lokal dalam rangka peningkatan ketahanan pangan nasional bekelanjutan. Univ. Diponegoro. Semarang.

Suwandyastuti .S.N.O, 1988. Pemanfaatan limbah agro-industri untuk meningkatkan nilai nutrisi jerami padi. Proceeding. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Page 188: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

717

PEMODELAN DOWNSCALLING LUARAN GCM MENGGUNAKAN

METODE PCR DAN PLS UNTUK PREDIKSI CURAH HUJAN DI

JAWA TENGAH

Salwati1)

1Peneliti Muda, Bidang Sumber Daya Lingkungan

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi

Abstrak

Statistical downscalling adalah metoda untuk memperoleh informasi pada skala lokal dari skala yang lebih besar dengan menarik kesimpulan dari hubungan-hubungan antar skala, sedangkan fungsi yang digunakan adalah fungsi acak atau deterministik. Metode ini dapat diaplikasikan diantaranya untuk prediksi curah hujan. Data GCM yang digunakan adalah peubah luaran curah hujan dari ECHAM3 dengan resolusi 2,8o x 2,8o. Sedangkan data lokal curah hujan bulanan digunakan dari 12 stasiun hujan di Kabupaten Subang, yaitu Stasiun Ciasem, Cibandung, Cinangling, Ciseuti, Curugagung, Dangdeur, Kasomalang, Pamanukan, Pawelutan, Ponggang, Subang dan Tanjungsari dengan periode data dari tahun 1986-2002. Model SD disusun dengan menggunakan data curah hujan dari tahun 1986-2000, demikian pula data GCMnya. Reduksi data global GCM dilakukan dua tahap. Tahap pertama adalah reduksi klimatologis dengan cropping domain (grid) prediktor dengan asumsi bahwa kondisi iklim di wilayah stasiun-stasiun di Kabupaten Subang dipengaruhi oleh data GCM pada 98o44’BT – 118o13’BT dan 1o39’LU – 18o14’LS, dengan grid 8x8 sehingga terdapat 64 grid. Reduksi tahap dua dilakukan dengan metode statistik yaitu PCR (Principle Component Regression), PSL (Partial Least Squares) dan MARS (Multivariate Adaptive Regression Spline). Untuk analisis dua metode yang pertama digunakan Minitab ver. 14.1, sedangkan untuk metode yang terakhir digunakan MARS ver 2.0. Hasil uji prediksi curah hujan lokal dengan menggunakan prediktor curah hujan hasil ECHAM melalui pemodelan dengan PCR, PLS dan MARS, menunjukkan bahwa PLS memiliki nilai root mean square error prediction (RMSEP) dan mean absolute error prediction (MAEP) yang kecil dengan korelasi validasi yang lebih besar dibanding PCR ataupun MARS. Hal ini menunjukkan bahwa PLS merupakan model yang lebih akurat dibanding kedua metode lainnya. Sementara MARS masih lebih baik dibanding PCR meskipun pada nilai yang lebih bervariasi, tetapi dari nilai rata-rata, hasil RMSEP dan MAEP MARS lebih kecil dari PCR, dengan korelasi validasi yang sedikit lebih besar dibanding PCR. Sehingga untuk pembentukan model, PLS dapat dipilih, karena selain memiliki model yang lebih akurat, juga bersifat multi respon sehingga pelaksanaan pembentukan model pada banyak prediktan dapat dilakukan sekaligus, lebih cepat dibanding PCR ataupun MARS.

PENDAHULUAN

Statistical Downscaling (SD) merupakan model statistik yang menggambarkan hubungan antara data pada grid-grid berskala besar (GCM) dengan data pada grid berskala lebih kecil GCM merupakan alat prediksi utama iklim dan cuaca secara numerik dan sebagai sumber informasi primer untu k menilai pengaruh perubahan iklim

General Circulation Model (GCM) merupakan alat yang sangat penting untuk mempelajari perubahan iklim dan membuat peramalan iklim untuk masa yang akan datang (Benestad, 2004). GCM merupakan alat prediksi utama iklim dan cuaca secara

Page 189: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

718

numerik dan sebagai sumber informasi primer untuk menilai pengaruh perubahan iklim (Wigena 2006). GCM mempunyai hubungan fungsional dengan data yang berasal dari stasiun cuaca (Uvo et al. 2001).

Model iklim GCM mempunyai bentuk luaran grid grid yang berukuran 100-500 km, menurut garis lintang dan bujurnya. Model ini dapat digunakan untuk menduga perubahan unsur-unsur cuaca (von Stroch et al. 1993 dalam Sutikno, 2008). GCM mensimulasikan tiap peubah iklim dengan tingkat akurasi yang berbeda-beda dan hanya menggambarkan keadaan iklim berskala besar (resolusi rendah), sehingga diperlukan suatu teknik untuk pengamatan peubah iklim secara lokal.

Secara umum, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan GCM menjadi informasi skala lokal yaitu Dynamical Downscaling dan Statistical Downscaling. (Benestad 2004). Statistical Downscaling (SD) merupakan model statistik yang menggambarkan hubungan antara data pada grid-grid berskala besar (GCM) dengan data pada grid berskala lebih kecil. Pada SD pola hubungan antara kedua peubah dapat diasumsikan linier dan nonlinier (Zorita dan Storch 1999).

Teknik SD membutuhkan suatu domain atau peubah iklim skala besar (peubah penjelas/prediktor : X) yang akan dihubungkan dengan data pada suatu stasiun cuaca atau peubah lokal (peubah respon/prediktan : Y). Domain berisi peubah-peubah curah hujan dari data GCM. Bentuk model SD secara umum adalah sebagai berikut : y = f(x) dengan y merupakan vektor yang berisi peubah iklim lokal dalam jangka waktu t (misal: curah hujan) dan x merupakan matriks yang berisi gugus peubah luaran GCM (misal: curah hujan).

Salah satu tahapan dalam teknik SD adalah penentuan domain. Domain adalah lokasi dan luasan area permukaan atmosfir pada GCM yang akan dijadikan sebagai daerah yang berisi gugus peubah prediktor untuk menduga curah hujan di stasiun lokal. Pemilihan domain GCM akan menentukan hasil peramalan dan merupakan faktor kritis dalam pemodelan SD (Wilby & Wigley 2000 dalam Wigena 2006).

Adanya kompleksitas permasalahan dalam model Statistical Downscaling(SD) seringkali dilakukan penanganan satu persatu. Untuk mengatasi korelasi antar grid GCM dilakukan reduksi dimensi dengan analisis komponen utama (PCA), sehingga model regresinya y=f(z) + ε, dimana z adalah skor komponen utama.

Metode Partial Least Square (PLS) merupakan metode statistik yang menggeneralisasi dan mengkombinasikan antara metode analisis faktor, Principal Component Analysis (PCA) dan multiple regression (Abdi, 2007). Tujuan dari metode PLS adalah membentuk komponen yang dapat menangkap informasi dari variabel independen yang digunakan untuk memprediksi variabel dependen. Model dari metode Partial Least Square (PLS) terdiri dari hubungan eksternal dan hubungan internal. Hubungan eksternal merupakan hubungan kelompok X dan Y secara individual. PLS merupakan prosedur regresi yang menghubungkan suatu set prediktor untuk dikalikan dengan variabel respon. PLS dikembangkan untuk digunakan pada kondisi data tertentu (prediktor mempunyai korelasi yang tinggi atau melebihi observasi).

Menurut Maitra dan Yan (2008), PCA sebagai metodologi dimensi reduksi, diaplikasikan tanpa menganggap adanya korelasi antara variabel bebas dan variabel tak bebas, sedangkan PLS diaplikasikan berdasarkan korelasi. Maka, PCA disebut sebagai unsupervised dimension reduction methodology, dan PLS disebut sebagai supervised dimension reduction methodology. Meskipun demikian, keduanya memiliki persamaan dalam analisis regresi, yaitu keduanya mempunyai teknik yang digunakan untuk merubah sebuah set variabel yang berkorelasi tinggi menjadi set dari variabel independen dengan menggunakan transformasi linier dan teknik yang digunakan keduanya adalah untuk mereduksi variabel.

Page 190: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

719

Metode statistical downscaling merupakan metode yang cepat dan murah untuk dikerjakan dibanding metode downscaling lain. Tapi permasalahan yang sering muncul pada teknik SD yaitu menentukan domain (grid) dan pereduksian dimensi, mendapatkan variabel independen yang mampu menjelaskan keragaman variabel dependen, dan mendapatkan metode statistik yang sesuai karakteristik data, sehingga bisa menggambarkan hubungan antara variabel independen dan variabel dependen, serta dapat mengakomodasi kejadian ekstrim. Penggunaan metode statistik memungkinkan cepatnya diperoleh hasil yang dimaksud. Tulisan ini bertujuan melakukan pemodelan downscalling untuk memprediksi curah hujan lokal di wilayah Jawa Tengah dari data curah hujan luaran GCM menggunakan metode PCR dan PLS dan divalidasi dengan menggunakan data curah hujan 6 stasiun di Jawa Tengah.

METODOLOGI

Data

Data curah hujan yang digunakan sebagai peubah respon (prediktan) adalah data curah hujan lokal dari 6 stasiun klimatologi di Jawa Tengah yaitu : Stasiun Sukorejo, Kebumen, Banjar Negara, Lumbir, Ngadirejo, dan Brebes, merupakan data bulanan dari tahun 1990-2005. Sebagai peubah penjelas (prediktor) digunakan data curah hujan luaran GCM dari National Centers for Environmental Predicition and the National Center for Atmospheric Research (NCEP/NCAR) reanalysis berukuran 2.50 x 2.50 atau sekitar 300 x 300 km, dapat diakses melalui situs http://www.esrl.noaa.gov/psd.

Metode

Model SD disusun menggunakan data curah hujan lokal dan data curah hujan luaran GCM dari tahun 1990-2003. Reduksi data global GCM dilakukan dengan cropping domain dan metode statistik PCR dan PLS. Analisis metode PCR dan PLS dilakukan dengan menggunakan Minitab ver. 15.1.30.0

Cropping domain (grid) dilakukan untuk memilih domain GCM yang akan digunakan sebagai peubah prediktor. Pereduksian dilakukan terhadap dimensi spasial yaitu lintang dan bujur atau disebut grid pada semua variabel di setiap level serta pada setiap domain.

Analisis komponen utama dilakukan dengan menggunakan data luaran GCM tahun 1990-2003, lalu digunakan untuk menghitung skor komponen utama (z) dan diambil kumulatif eigenvalue hingga 90%. Selanjutnya skor komponen (z) yang didapat untuk tahun 1990-2003 digunakan sebagai prediktor pada pemodelan PCR. Dilakukan regresi untuk melihat keterkaitan antara z dengan curah hujan stasiun. Model yang diperoleh adalah regresi yang dihasilkan. Untuk memperoleh nilai dugaan model, dilakukan substitusi z data tahun 2004-2005 pada model yang dihasilkan. Nilai hasil dugaan model kemudian dibandingkan dengan data curah hujan observasi

PLS yang digunakan pada penelitian ini merupakan regresi satu respon (RKTP satu respon atau PLSR satu respon). Sebagai prediktan digunakan data curah hujan bulanan dari tahun 1990-2003 yang diaplikasikan sekaligus dengan prediktor data curah hujan hasil NCEP-NCAR (1990-2003), dengan memasukkan prediktor data curah hujan hasil NCEP-NCAR untuk prediksi (2004-2005). Hasil prediksi diperoleh dari nilai PFIT yang diperoleh dari keluaran. Nilai PFIT merupakan nilai dugaan dari model.

Untuk membandingkan hasil validasi antara PCR dan PLS digunakan tiga metode statistik, yaitu Root Mean Square Error prediction (RMSEP), Mean Absolute Error Prediction

Page 191: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

720

(MAEP) dan korelasi (r) antara data observasi dan data hasil dugaan model, menggunakan data dua tahun terakhir 2004 dan 2005.

Root Mean Square Error of Prediction (RMSEP) menunjukkan besarnya perbedaan antara nilai dugaan dengan aktualnya. Semakin besar nilai RMSEP yang didapatkan akan menunjukkan bahwa nilai dugaan semakin kurang akurat. Nilai RMSEP didapatkan dengan melakukan perhitungan sebagai berikut :

pN

i

pii NyyRMSEP1

2ˆ ,

dimana iy = nilai observasi, iy = nilai dugaan, pN = banyaknya data bebas yang

digunakan untuk validasi model (Naes, 2002). Sedangkan MAEP dirumuskan

p

N

i

ii NyyMAEPp

/ˆ1

.

Nilai korelasi menunjukkan tingkat keeratan hubungan linier antara dua peubah atau lebih. Semakin besar nilai koefisien korelasi yang bernilai positif maka semakin kuat hubungan positif antara nilai dugaan dengan nilai aktual. Hal ini menunjukkan pola dari nilai dugaan semakin mendekati nilai aktual.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Cropping Domain

Cropping domain (grid) prediktor yang digunakan berukuran 10 x 10, sehingga terdapat 100 grid dengan asumsi bahwa kondisi iklim di wilayah stasiun-stasiun di Jawa Tengah dipengaruhi oleh data luaran GCM yang terletak pada 3.750LU - 18.750LS dan 250BT 98.750BT-121. Penomoran grid dimulai dari 88.75LU dan 1.25 BT. Peta dari domain ini disajikan pada Gambar 1.

100 105 110 115 120

-15

-10

-50

98.75:121.25

3.7

5:-

18

.75

Page 192: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

721

Gambar 1. Peta domain Jawa tengah

Pemilihan grid 10 x 10 sudah dapat mencangkup seluruh wilayah Jawa Tengah, tepat berada di atas lokasi target pendugaan, sehingga memberikan hasil yang lebih stabil atau konsisten dan tidak terlalu sensitif terhadap data pencilan. Ketepatan pemilihan domain, baik luasan maupun lokasinya, akan menghasilkan pendugaan curah hujan yang lebih akurat.

Principal Component Regression (PCR)

Analisis komponen utama/Principal Component Analyses (AKU/PCA) merupakan metode yang dilakukan sebelum pemodelan SD dengan metode PCR dan regresi. Hasil analisis PCA yang dapat menjelaskan keragaman lebih dari 90% sudah diperoleh pada 2 komponen utama. Nilai proporsi yang dapat dijelaskan dari kedua komponen utama ditunjukkan pada Tabel 1 dan Screeplot disajikan pada Gambar 2.

Tabel 1. Eigen analisis dari matriks ragam peragam pada PCA

Principal Component Analysis: x4902; x4903; x4904; x4905; x4906; x4907; x4908;

Eigenanalysis of the Covariance Matrix

Eigenvalue 196.97 35.03 8.27 0.94 0.81 0.68 0.35 0.18 0.17

Proportion 0.807 0.144 0.034 0.004 0.003 0.003 0.001 0.001 0.001

Cumulative 0.807 0.951 0.985 0.989 0.992 0.995 0.996 0.997 0.998

1009080706050403020101

200

150

100

50

0

Component Number

Eig

en

va

lue

Scree Plot of x4902; ...; x6198

Gambar 2. Screeplot Komponen Utama

Pada screeplot terlihat bahwa titik belok terdapat pada Komponen Utama (KU) ke-3, namun di sini hanya digunakan 2 KU saja, karena proporsi keragaman kumulatif telah mencapai > 90% , dan pada screeplot dapat dilihat bahwa penurunan nilai akar ciri setelah KU-2 relatif kecil.

Tabel 1 menunjukkan bahwa keeratan hubungan antar grid diperoleh hingga 2 PCA. Sutikno (2008) menjelaskan bahwa banyaknya komponen utama menunjukkan hubungan keeratan antar peubah-peubah yang dilakukan reduksi dimensi. Semakin sedikit jumlah

Page 193: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

722

komponen yang mempunyai persentase keragaman yang besar menunjukkan antar peubah yang dilakukan reduksi sangat erat dan sebaliknya.

Umumnya untuk suatu model yang dibangun dengan PCA membutuhkan paling sedikit 80% kontribusi PCA. Semakin tinggi kontribusi terhadap model, diharapkan error akan lebih rendah.Prosedur PCA pada dasarnya bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component. Setelah beberapa komponen hasil PCA yang bebas multikorelinearitas diperoleh, maka komponen-komponen tersebut menjadi variabel bebas baru yang akan diregresikan atau dianalisa pengaruhnya terhadap variabel tak bebas (Y) dengan menggunakan analisis regresi (Soemartini, 2008). Setelah metode PCA dillakukan metode PCR, keluaran dari model PCR disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Contoh keluaran PCR stasiun Sukorejo

Regression Analysis: sukorejo versus z1; z2

The regression equation is

sukorejo = 282 + 9.97 z1 - 13.6 z2

Predictor Coef SE Coef T P

Constant 281.95 11.61 24.28 0.000

z1 9.9659 0.8298 12.01 0.000

z2 -13.590 1.968 -6.91 0.000

S = 150.491 R-Sq = 53.8% R-Sq(adj) = 53.2%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 2 4347467 2173733 95.98 0.000

Page 194: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

723

Residual Error 165 3736867 22648

Total 167 8084334

Tabel 2 menyajikan contoh output PCR stasiun Sukorejo dengan persamaan regresimenggunakan z sebagai prediktor. Z merupakan skor komponen utama, yang merupakan hasil transformasi linier peubah bebas X menggunakan dua KU pertama yang diperoleh dari PCA. Setelah dilakukan transformasi, peubah bebas yang digunakan dalam regresi (dalam hal ini PCR) menjadi orthogonal, sehingga tidak lagi terdapat multikolinieritas antar peubah bebas x.

Berdasarkan hasil regresi diperoleh persamaan pada stasiun Sukorejo, y = 282 + 9.97 z1 – 13.6 z2, dengan y mewakili curah hujan lokal sebagai prediktan/peubah respon dan z1 dan z2 yang mewakili GCM sebagai prediktor/peubah penjelas. Tabel 3 menyajikan koefisien determinasi terkoreksi (R2) dan RMSE dari model PCR.

Tabel 3. Model PCR dengan RMSE dan R2 terkoreksi pada 6 stasiun di Jawa Tengah

Stasiun Model PCR RMSE R2 terkoreksi

Sukorejo y = 282 + 9.97 z1 - 13.6 z2 22648 53.2%

Kebumen y = 282 + 9.60 z1 - 13.8 z2 22142 52.6%

Banjar Negara y = 318 + 10.1 z1 - 13.6 z2 40031 39.4%

Lumbir y = 253 + 7.56 z1 - 12.3 z2 29524 35.4%

Ngadirejo y = 363 + 12.1 z1 - 20.0 z2 47423 47.0%

Brebes y = 132 + 5.62 z1 - 7.97 z2 11694 41.5%

Tabel 3 terlihat R2 terkoreksi tertinggi terdapat pada stasiun Sukorejo (53.2%) dan terendah stasiun Brebes (41.5%). Dapat dijelaskan bahwa untuk Stasiun Brebes hanya sebanyak 41.5% yang diterangkan oleh data, sedangkan sisanya bisa disebabkan oleh faktor lain. Tabel 3 terlihat RMSE tertinggi terdapat pada stasiun Ngadirejo (47423) dan terendah berturut-turut terdapat pada stasiun Sukorejo (22648), Kebumen (22142), dan Brebes (11994). Hasil analisis dengan PCR dapat dikatakan bahwa stasiun Sukorejo mewakili stasiun yang R2 terkoreksinya paling tinggi dengan RMSE yang juga cukup rendah.

Partial Least Square (PLS)

Hasil analisis of variance (Anova) pemodelan SD dengan metode PLS disajikan pada Tabel 4.

Page 195: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

724

Tabel 4. Sidik ragam (Anova) keluaran PLSR

Stasiun RMSE F nilai-p R2

Sukorejo 17459 43.29 0.000 65.4%

Kebumen 16387 52.49 0.000 66.2%

Banjar Negara 25016 31.48 0.000 64.2%

Lumbir 26659 30.80 0.000 43.0%

Ngadirejo 34643 38.74 0.000 62.9%

Brebes 10190 41.20 0.000 50.3%

Hasil analisis dengan metode PLS juga dapat dikatakan bahwa stasiun Sukorejo mewakili stasiun yang R2 paling tinggi sebesar 65.4% dengan RMSE yang juga cukup rendah. Dapat disimpulkan bahwa stasiun Sukorejo memiliki prediksi yang paling akurat dibanding stasiun lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi stasiun atau kelengkapan data pada stasiun Sukorejo dibanding stasiun lainnya..

Pada contoh model seleksi dan validasi untuk stasiun Sukorejo diperoleh variasi X dari 0.55 sampai 0.99, sedangkan R2 diperoleh dari 0.41 sampai 0.49 (Tabel 5).

Page 196: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

725

Tabel 5. Contoh model seleksi dan validasi untuk stasiun Sukorejo

Model Selection and Validation for sukorejo

Components X Variance Error SS R-Sq PRESS R-Sq (pred)

1 0.558238 4593121 0.431849 4783709 0.408274

2 0.942790 3547672 0.561167 3720179 0.539829

3 0.972033 3449681 0.573288 3694220 0.543040

4 0.984359 3309717 0.590601 3719020 0.539972

5 0.986309 3018719 0.626596 3904092 0.517079

6 0.988561 2846177 0.647939 3721057 0.539720

7 0.991886 2793495 0.654456 3677234 0.545141

8 2658284 0.671181 3812506 0.528408

9 2517793 0.688559 3946580 0.511824

10 2441289 0.698022 4100855 0.492741

Validasi Model PCR dan PLS

Hasil validasi pemodelan SD dengan metode PCR dan PLS disajikan pada Tabel 6 dan nilai minimum, maksimum serta rataan RMSEP, MAEP dan korelasi validasi model berdasarkan PCR dan PLS disajikan pada Tabel 7.

Page 197: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

726

Tabel 6. Hasil RMSEP, MAEP dan korelasi validasi (r) model 6 stasiun di Jawa Timur

Stasiun RMSEP MAEP korelasi (r)

PCR PLSR PCR PLSR PCR PLSR

Sukorejo 120.5322 125.1939 94.04336 94.77536 0.748019 0.76121

Kebumen 116.7194 120.405 90.89801 87.09273 0.739069 0.761906

Banjar Negara 159.4931 147.4078 128.8056 121.7362 0.718482 0.801105

Lumbir 168.3809 160.3837 132.5692 131.6034 0.526799 0.589326

Ngadirejo 191.8111 166.3313 155.6489 124.89 0.571334 0.728557

Brebes 101.4817 93.68691 61.60286 64.49059 0.801282 0.82086

Tabel 6 terlihat nilai RMSEP hasil pemodelan dengan metode PLS lebih rendah dibanding nilai PCR dengan nilai minimum sebesar 93.69, kecuali pada stasiun Sukorejo dan Kebumen. PLSR rata-rata MAEP juga lebih kecil dibanding PCR pada semua stasiun dengan nilai minimun sebesar 64.49. Korelasi r validasi juga menunjukkan metode PLS mempunyai nilai korelasi yang lebih tinggi dibanding PCR pada keseluruhan stasiun, dengan nilai tertinggi 0.82 dan terendah 0.59. Berdasarkan nilai RMSEP, MAEP, dan korelasi r yang diperoleh dari validasi kedua model, menunjukkan bahwa metode PLS lebih baik dari PCR

Tabel 7. Nilai minimum, maksimum dan rataan RMSEP, MAEP dan korelasi validasi model berdasarkan PCR dan PLS

Ukuran Statistik

PCR PLSR

RMSEP MAEP r RMSEP MAEP r

Minimum 101.4817 61.60286 0.526799 93.68691 64.49059 0.589326

Maximum 191.8111 155.6489 0.801282 166.3313 131.6034 0.82086

Rata-rata 143.0697 110.5947 0.684164 135.5681 104.0981 0.743827

Dari Tabel 7 juga terlihat nilai minimum metode PLS yang labih rendah dari metode PCR, serta nilai korelasi r maksimum yang lebih tinggi dari metode PCR.

Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan RMSEP, MAEP dan korelasi validasi dapat dikatakan bahwa pemodelan curah hujan menggunakan data prediktor curah hujan luaran GCM dengan prediktan curah hujan lokal menunjukkan bahwa PLS merupakan metode yang lebih baik dari metode PCR untuk prediksi. Model dikatakan lebih baik jika RMSEP dan MAEP minimum dan korelasi maksimum.

Gambar 2a sampai 2c memperlihatkan pola curah hujan yang terbentuk berdasarkan model PCR dan PLS yang dibandingkan dengan data hasil observasi. Tabel 8 memperlihatkan besarnya nilai sisaan yang merupakan hasil dari pengurangan data observasi dengan data dugaan yang diperoleh melalui PCR dan PLS untuk stasiun Sukorejo.

Page 198: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

727

Gambar 2a. Hasil validasi dan korelasi PCR dan PLS Stasiun Sukorejo dan Kebumen

Gambar 2b. Hasil validasi dan korelasi PCR dan PLS stasiun Banjar Negara dan Lumbir

Gambar 2c. Hasil validasi dan korelasi PCR dan PLS stasiun Sukorejo dan Brebes

Page 199: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

728

Tabel 8. Nilai observasi, dugaan dan sisaan stasiun Sukorejo dengan menggunakan PCR dan PLS

Y-observasi PCR PLSR

Y-dugaan Sisaan Y-dugaan Sisaan

485 505.0774 -20.0774 495.6649 -10.6649

490 456.7755 33.22446 393.0697 96.9303

401 442.4315 -41.4315 498.8237 -97.8237

295 288.1909 6.809138 244.8668 50.1332

482 180.4903 301.5097 152.9514 329.0486

45 182.7434 -137.743 41.34544 3.654558

56 114.9783 -58.9783 36.00762 19.99238

0 104.1904 -104.19 0 0

55 156.5183 -101.518 91.41332 -36.4133

67 247.1749 -180.175 232.6735 -165.673

112 312.0272 -200.027 339.0892 -227.089

392 411.8655 -19.8655 424.511 -32.511

486 568.3732 -82.3732 536.0791 -50.0791

541 431.6876 109.3124 482.4273 58.57273

561 491.0601 69.9399 523.2826 37.71736

408 335.4393 72.5607 336.1742 71.82579

142 180.8713 -38.8713 238.5139 -96.5139

290 71.90312 218.0969 73.48335 216.5167

229 39.22821 189.7718 15.6115 213.3885

85 37.7631 47.2369 55.55311 29.44689

137 127.1593 9.840701 73.09896 63.90104

266 186.7575 79.24247 196.9146 69.08545

146 269.7453 -123.745 323.9917 -177.992

326 336.499 -10.499 414.7696 -88.7696

Gambar 2a, 2b, dan 2c di atas memperlihatkan pola curah hujan validasi yang hampir berhimpit antara nilai observasi dengan pola curah hujan yang dihasilkan dari model PCR

Page 200: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

729

dan PLS untuk stasiun Sukerejo dan Brebes dibanding stasiun lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa stasiun Sukorejo dan Brebes memberikan hasil validasi yang baik dibanding stasiun lainnya.

Dari Gambar 2a, 2b, dan 2c juga terlihat PLS memberikan nilai korelasi r yang tinggi dibanding PCR untuk semua stasiun yang digunakan. Analisis dengan metode PLS lebih cepat memberikan hasil, karena keseluruhan prediktan maupun prediktor dapat langsung dimasukkan dalam proses analisis dan hasil keseluruhannya dapat langsung diperoleh.

Data merupakan gabungan dari komponen sistematik dengan komponen sisaan (acak). Tabel 8 terlihat bahwa baik pada PLS maupun PCR nilai sisaan yang diperoleh setiap bulan bervariasi. Hal ini dapat dikatakan bahwa PLS dan PCR sama-sama baik digunakan untuk prediksi.

KESIMPULAN

Hasil uji prediksi curah hujan lokal menggunakan prediktor curah hujan luaran GCM melalui pemodelan DS dengan metode PCR dan PLS menunjukkan bahwa RMSEPPLSR< RMSEPPCR, dan MAEPPLSR< MAEPPCR serta dan korelasiPLSR> korelasiPCR. Sehingga dapat disimpulkan jira dilihat dari kriteria RMSEP, MAEP dan korelasi (r) model yang dibangun dengan metode PLSR menunjukan hasil yang lebih unggul dibandingkan dengan PCR.

Pemodelan DS dengan metode PLS merupakan model yang akurat digunakan untuk prediksi curah hujan. Metode PLS selain memiliki model yang lebih akurat, juga bersifat multi respon sehingga pelaksanaan pembentukan model pada banyak prediktan dapat dilakukan sekaligus, lebih cepat dibanding PCR. Metode PCR dengan pra-pemrosesan PCA dapat digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas pada pemodelan SD untuk peramalan curah hujan bulanan.

DAFTAR PUSTAKA

Haryoko U. 2004. Pendekatan reduksi dimensi luaran GCM untuk penyusunan model Statistical Downscalling. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Maitra S, Yan J. 2008. Principle Component Analysis and Partial Least Squares: Two Dimension Reduction Techniques for Regression. Casualty Actuarial Society, 2008 Discussion Paper Program

Sutikno. 2002. Penggunaan Regresi Splines Adaptif Berganda untuk Peramalan Indeks ENSO dan Hujan Bulanan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Sutikno. 2008. Statistical downscaling luaran GCM dan pemanfaatannya untuk peramalan produksi padi. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Wigena AH. 2006. Pemodelan Statistical Downscalling dengan Regresi Projection Pursuit untuk Peramalan Curah Hujan Bulanan, Kasus Curah Hujan Bulanan di Indramayu. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Page 201: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

730

Soemartini, 2008. Principal Component Analysis (PCA) Sebagai Salah Satu Metode UntukMengatasi Masalah Multikolearitas. Jurusan Statistika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjajaran.

Page 202: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

731

TINGGI MUKA AIR TANAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP

TINGKAT PRODUKSI TANAMAN DUKU (Lansium Domesticum

Corr) DI KABUPATEN MUARO JAMBI

Hendri Purnama1dan Desi Hernita2

1Peneliti Pertama, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi

2Peneliti Muda, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jl. Samarinda Paal 5 Kotabaru Jambi telp. 0741 (40174)

e-mail :[email protected]

ABSTRAK

Duku termasuk salah satu tanaman hortikultura dan primadona buah tropis serta mempunyai nilai komersial yang cukup tinggi. Kabupaten Muaro Jambi khususnya kecamatan Kumpeh Ulu merupakan penghasil terbesar duku di Propinsi Jambi, dimana dikenal dengan nama duku Kumpeh, yang mempunyai rasa manis, biji kecil dan daging buah yang tebal. Lahan pertanaman duku di Kumpeh Ulu adalah di dominasi oleh jenis tanah Entisol dengan kadar hara yang rendah. Tetapi walaupun kadar hara pertanaman duku ini relatif sama, tetapi produksi duku di tiap desa tidak sama per pohonnya, sehingga perlu diketahui faktor yang menyebabkan perbedaan dalam hal produksi tanaman duku ini. Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Muaro Jambi tepatnya di sentra duku yaitu di kecamatan Kumpeh Ulu, di desa Arang-arang, Lopak Alai, Pemunduran dan Teluk Raya. Penelitian dilaksanakan selama 3 Tahun Yaitu dari tahun 2009 sampai tahun 2011. Metode penelitian yang digunakan yaitu dilapangan menggunakan purposive sampling dengan mengambil sampel tanaman duku yang berumur sama (30 tahun) sebanyak 20 pohon per desa, dan selanjutnya di ambil sampel tanah untuk dianalisis serta melakukan pengukuran tinggi muka air tanah setiap bulan selama tiga tahun di setiap sampel tanaman tersebut, dan setiap tahun dihitung produksi tanaman sampel. Selanjutnya dilakukan metode analisis data menggunakan metode statistikuntuk membandingkan antara tingkat produksi dengan keadaan tinggi muka air tanah dan hara tanah. Dari hasil penelitian diketahui ternyata di daerah penelitan pH dan kadar hara adalah sama yaitu pH tanah masam, unsur N, P, K dan bahan organik rendah, yang mempengaruhi produksi tanaman duku secara langsung adalah tinggi muka air tanah. Produksi optimum pada tanaman duku dicapai yaitu pada ketinggian muka air tanah 141,73 cm dengan produksi rata-rata 277,50 kg/pohon.

Kata Kunci :Tinggi muka air tanah, duku, produksi tanaman

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Duku termasuk salah satu tanaman hortikultura dan primadona buah tropis serta mempunyai nilai komersial yang cukup tinggi. Kabupaten Muaro Jambi khususnya kecamatan Kumpeh Ulu merupakan penghasil terbesar duku di Propinsi Jambi, dimana dikenal dengan nama duku Kumpeh, yang mempunyai rasa manis, biji kecil dan daging buah yang tebal. Namun saat ini petani kurang tertarik untuk menanam duku dibandingkan untuk penggunaan lain karena masa berbuah duku yang memerlukan waktu yang lama setelah tanam, kurangnya pengetahuan petani tentang budidaya duku, serta lahan yang ada semakin terdesak oleh pembangunan pemukiman.

Menurut Sunarjono (2005) salah satu sebab mengapa Indonesia sulit untuk menghadapi persaingan buah-buahan tropis adalah buah-buahan Indonesia masih dikelola dalam skala pekarangan dan kurang mendapat perawatan yang seimbang yaitu dari segi pembibitan, pemeliharaan tanaman, pemupukan dan pengelolaan hama dan penyakit

Page 203: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

732

tanaman. Selain itu, areal buah-buahan dan sentra produksinya tersebar dengan areal pengelolaan yang sempit sehingga produksinya sulit memenuhi permintaan pasar.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman duku yaitu: iklim, tanah dan topografi. Ketiganya merupakan faktor penting , masing-masing saling berkaitan dalam mempengaruhi fungsi fisiologis dan morfologi tanaman duku (Widyastuti dan Kristiawati, 2000).

Berdasarkan ke tiga faktor tersebut untuk daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh faktor tanah dan iklim.Lahan pertanaman duku di Kumpeh Ulu adalah di dominasi oleh jenis tanah Entisol dengan kadar hara yang rendah. Tetapi walaupun kadar hara pertanaman duku ini relatif sama dan hampir tidak pernah dipupuk tetapi produksi duku di tiap desa tidak sama per pohonnya, sehingga perlu diketahui faktor yang menyebabkan perbedaan dalam hal produksi tanaman duku ini sehingga ke depan dapat lebih mendorong masyarakat untuk lebih bergairah dalam melakukan budidaya tanaman duku.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tinggi muka air tanah dan pengaruhnya terhadap tingkat produksi tanaman duku.

Manfaat

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah diketahuinya tinggi muka air tanah dan pengaruhnya terhadap tingkat produksi tanaman duku

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Muaro Jambi tepatnya di sentra duku yaitu di kecamatan Kumpeh Ulu, di desa Arang-arang, Lopak Alai, Pemunduran dan Teluk Raya. Penelitian dilaksanakan selama 3 Tahun Yaitu dari tahun 2009 sampai tahun 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) peta dan data sekunder (Peta Administrasi Provinsi Jambi, peta topografi Provinsi Jambi, Peta Tanah, data iklim dan bahan-bahan literatur dan kepustakaan lain yang menunjang).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan lapang (abney level, altimeter, pisau, bor tanah, meteran, kompas dan alat-alat pendukung survey di lapangan)

Pelaksanaan

Pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan pendekatan survey. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis regresi sederhana untuk melihat

Page 204: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

733

hubungan antara tinggi muka air tanah dengan tingkat produktivitas tanaman duku.

Penentuan tingkat produktivitas untuk tanaman duku melalui pendekatan boundary line. Persamaan boundary line dibangun berdasarkan analisis regresi sederhana (simple regression) dengan menggunakan data titik-titik terluar dari sebaran data-data yang diperoleh melalui survey, metodologi ini dilakukan dengan mengadopsi metoda DRIS (Diagnostic Recommended Integrated System) (Walworth et al. 1986).Hasil penelitian Poovarodom dan Chatupote (2002), Pendekatan garis batas (boundary line) dapat digunakan untuk memperbaiki kriteria diagnostik untuk standar nutrisidaun durian.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data sekunder dilakukan sebagai dasar dan panduan sebelum melakukan survey lapang ke lokasi, melalui overlay antara peta administrasi, peta tanah, peta topografi, peta iklim dan sebaran pertanaman duku sehingga diperoleh satuan lokasi pengambilan contoh pengamatan di lapangan yang menggambarkan heterogenitas dan keragaman lahan (ketinggian tempat, iklim, topografi dan jenis tanah).Data sekunder lainnya yang dikumpulkan adalah data iklim (suhu rata-rata tahunan, curah hujan bulanan, bulan basah, bulan kering).

Pengumpulan data primer yaitu data produksi duku dan data tinggi muka air tanah.Pengamatan dilakukan melalui survey lapang. Setiap lokasi pengamatan mewakili 1 – 5 kebun duku yang mempunyai umur tanaman yang sama, dan dari setiap lokasi pengamatan ini diambil masing – masing 10 pohon sebagai sampel. Pengambilan sampel muka air tanah dilakukan dengan membuat lubang bor dengan menggunakan bor tanah sampai kedalaman 1.5 meter. Kemiringan lereng (persen) setiap lokasi pengamatan diukur dengan menggunakan abney level.

Analisis Data

Jenis analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear. Sedangkan Penarikan batas dilakukan berdasarkan dengan Boundary Line Method.Penetapan batasan untuk selang kelas menggunakan pendekatan produktivitas tanaman. Batasan kelas yang digunakan mengacu dan mengadopsi pada metoda DRIS dimana menurut Jones et al. (1991), untuk menormalisasi sebaran kurva, komponen produktivitas dibagi menjadi produktivitas tinggi dan rendah. Untuk produktivitas tinggi ditetapkan paling sedikit 10 % dari keseluruhan populasi sehingga produktivitas tinggi terdistribusi secara normal.Dalam penelitian ini diperoleh batas produktivitas tinggi yaitu > 330 kg/pohon. Sedangkan batas nilai produktivitas rendah pada penelitian ini mengacu pada nilai produksi pada ambang batas ekonomis pengusahaan (break even point – BEP) yang dihitung berdasarkan data rata-rata selama 35 tahun, yang mengacu pada hasil penelitian Anto ny (2010) pada tanaman duku di kabupaten Muaro Jambi dimana batas terendah diperoleh pada nilai 263,02 kg/pohon.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian telah didapatkan data tinggi muka air tanah dan data unsur hara makro untuk daerah penelitian, keadaan lahan duku di kabupaten Muaro Jambi merupakan tanaman yang diambil hasilnya setahun sekali, dan umumnya petani tidak melakukan pemupukan, untuk itu data analisis tanah yang diambil adalah pada awal dilakukan penelitian yaitu keadaan lahan duku milik petani yang tidak dilakukan pemupukan ini, hasil analisa tanah di daerah penelitian dapat dilihat pada tabel 1.

Page 205: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

734

Tabel 1. Rata-rata Hasil Analisa Tanah di daerah penelitian*

Desa pH N (%) P (ppm) K (cmol+/kg) C (%)

Teluk Raya 4.5 (M) 0.08 (SR) 3.7 (SR) 0.05 (SR) 0.7 (SR)

Pemunduran 4.6 (M) 0.07 (SR) 4.4 (SR) 0.06 (SR) 0.9 (SR)

Arang-arang 4.7 (M) 0.05 (SR) 5.3 (R) 0.05 (SR) 1.0 (SR)

Lopak Alai 4.5 (M) 0.05 (SR) 4.3 (SR) 0.09 (SR) 0.8 (SR)

* Analisis Laboratorium Balittanah (2009)

* Ket : M= Masam), R= Rendah, SR = Sangat Rendah

Hasil analisis tanah menunjukkan keadaan lahan di daerah penelitian unsur haranya relatif sama yaitu sangat rendah, hal ini karena memang lahan tidak pernah atau sangat jarang dipupuk oleh petani, hanya ada perlakuan yaitu dibersihkan dari semak dan alang-alang hanya setahun sekali ketika akan panen. Menurut Stefanelli et al.2010, Marzouk & Kassem, 2011, pemupukan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan hasil, kualits dan kandungan hara pada tanaman hortikultura.Dari hasil analisis ini juga dapat diketahui bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi tingkat produksi duku di daerah penelitian.

Mengingat daerah penelitian ini merupakan daerah Aliran Sungai, maka faktor tinggi muka air tanah akan mempengaruhi produksi tanaman. Tinggi muka air tanah selain dipengaruhi oleh pasang surut air baik air sungai maupun air laut juga sangat dipengaruhi oleh faktor curah hujan di wilayah tersebut.Karakteristik lahan duku yang terkait dengan ketersediaan air diantaranya adalah curah hujan,jumlah bulan kering dan bulan basah (Purnama, 2011).

Beberapa data iklim telahdikumpulkan untuk mengetahui kondisi curah hujan dan dan iklim di wilayah Kabupaten Muaro Jambi.Data iklim diperoleh merupakan pencatatan dari tahun 2001 – 2011.Iklim di sebagian besar wilayah Kabupaten Muaro Jambi berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman merupakan tipe iklim B2 dengan curah hujan rata-rata sebesar 2.411 mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata 14 hari. Sebaran hujan rata-rata di Kabupaten Muaro Jambi disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Sebaran Hujan di Kabupaten Muaro Jambi (BMKG Provinsi Jambi)

216,7 180,4

245,0 265,7

173,8 137,9

162,9 150,7 164,3

227,9 226,4 259,7

Page 206: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

735

Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa rata-rata curah hujan di Kabupaten Muaro Jambi berkisar antara 137,9 (juni) sampai dengan 265,7 mm (April). Secara umum terlihat tidak adanya perbedaan yang berarti antara curah hujan pada musim kemarau maupun di musim hujan. Hal ini sangat berkaitan dengan data tinggi muka air tanah di daerah penelitian yang tidak terlalu berbeda jauh antara bulan januari – desember.

Hubungan antara produksi dan tinggi muka air tanah di daerah penelitian disajikan pada gambar 2 berikut :

Gambar 2. Hubungan antara Produksi Tanaman dan Tinggi Muka Air Tanah pada Tanaman Duku (data Diolah)

Kelas produksi tanaman dan hubungannya dengan tinggi muka air tanah diperoleh dari proyeksi perpotongan garis batas terluar dengan sekat produksi, Persamaan garis batas terluar dari data-data hubungan antara produksi duku dengan tinggi muka air tanah mempunyai pola polynomial (pada suatu batas tertentu akan mencapai ketinggian maksimum dan selanjutnya akan menurun), yaitu dengan persamaan matematiknya: y = -0.2049x2 + 55.36x - 3259.7.

Berdasarkan persamaan matematik dari proyeksi perpotongan sekat produksi dan garis batas terluar tersebut, maka tinggi muka air tanah yang menjadi batas untuk produksi tinggi yaitu antara 108.07 – 138. 64 cm di bawah permukaan tanah (dpt). Batas kelas untuk produksi sedang yaitu pada tinggi muka air tanah antara 102.58 – 108.07 cm dpt dan untuk kelas produksi rendah yaitu pada tinggi muka air tanah kurang dari 108.07 cm atau lebih dari 138.64 cm dpt.Berdasarkan hasil yang diperoleh, tampak bahwa tanaman duku cukup mampu tumbuh dengan baik walaupun tinggi muka air tanah kurang dari 90 cm, hal ini karena karena tanaman duku dikenal sebagai tanaman yang memiliki akar papan yang pipih (Verheij dan Coronel, 1997) dimana tanaman mempunyai perakaran yang muncul ke permukaan sehingga seakan-akan melilit tanah di atasnya sehingga tanaman dapat berdiri dan tumbuh baik pada tanah bersolum dangkal.

Menurut Hernita, et al, 2012 Tanaman duku mempunyai perakaran yang dalam, hasil survey di lapangan ditemukan bahwa semakin tua umur duku maka semakin banyak akar yang muncul ke permukaan. Untuk tinggi muka air tanah yang lebih dari 150 cm dari permukaan tanah, produksi tanaman duku tidak optimal lagi dan mulai menurun, hal ini karena kemampuan akar tanaman duku untuk menyerap air sudah berkurang karena akar tidak

Page 207: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

736

mampu untuk menyerap air tanah yang sudah semakin jauh di bawah permukaan tanah tersebut.

Hasil penelitian Purnama (2011) kedalaman tanah dan kelas tekstur tanah merupakan karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap kualitas daerah perakaran tanaman. Setiap tanamanmemerlukan kedalaman tanah yang cukup dan kelas tekstur yang sesuai agar perakarannya dapat berkembang dengan baik. Tanah yang terlalu tipis atau mempunyai kandungan pasir/liat terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan perakaran tanaman dan pada akhirnya berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tinggi muka air tanah di daerah penelitian berkisar dari 90 – 150 cm dari permukaan tanah, adapun pengaruh tinggi muka air tanah ini terhadap produksi tanaman duku dapat dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu:

1. 108.07 – 138,64 cm akan memberikan produksi tinggi pada tanaman duku 2. 102.58 – 108.07 cm akan memberikan produksi sedang pada tanaman duku 3. < 108.07 atau >138.64cm akan memberikan produksi rendah pada tanaman duku.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Rencana strategis kementerian pertanian 2015-2019. Kementerian pertanian. Jakarta.

Anonim, 2011. Informasi Iklim Provinsi Jambi. Stasiun Klimatologi Jambi. BMKG Jambi.

Antony D. 2010. Strategi pengembangan komoditas duku (Lansium Domesticum Corr) di Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi. [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Hernita, D. Poerwnto, R, Susila, AD dan Anwar, S 2012. Penetapan Rekomendasi Pemupukan N, P, dan K Tanaman Duku Berdasarkan Analisis Daun. Jurnal Hortikultura volum 2 No 44 : 376 - 384

Jones JB Jr, Wolf B and MillsHA. 1991. Plant Analysis Handbook. A practical sampling, preparation, analysis, and interpretation guide. Micro-Macro Publishing, Inc.

Marzouk, HA dan Kassem, HA, 2011. Improving fruit quality, nutritional value and yield of Zaghloul dates by the application of organic and/or mineral fertilzer. Scientia Horticulturae, vol. 127, pp. 249 - 54

Poovarodom, S dan W. Chatupote, 2002.Boundary Line Approach in Specifying Durian Nutrient Standards.Symposium No. 14. Paper No.2319. 17th WCSS, 14 – 21 August

Page 208: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

737

2002, Thailand.

Purnama, H. 2011. Hubungan Karakteristik Lahan dengan Produktivitas Duku (lansium domesticum Corr) di Provinsi Jambi. [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Stefanelli, D, Goodwin, I. & Jones, R. 2010. Minimal Nitrogen and water use in horticulture effects on qualitu and content of selected nutrients. Food Res Int, Vol 43, pp. 1833-1843

Sunarjono HH. 2005. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Penebar Swadaya Jakarta.

Verheij EWM, dan CoronelRE. 1997. Prosea. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2, Buah-Buahan yang Dapat Dimakan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Bekerja Sama dengan Prosea Indonesia dan European Commision. Jakarta.

Walworth JL, Letzsh WS, and Sumner ME. 1986. Use boundary lines in establishing diagnostic norms. Soil Sci Soc. Am. J. 50: 123-128

Widyastuti YE. dan Kristiawati R. 2000. Duku Jenis dan Budidaya. Penebar Swadaya. Jakarta.

Page 209: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

738

EVALUASI KUALITAS AIR IRIGASI PADA BUDIDAYA PADI IP 400 DI KABUPATEN SIMALUNGUN

Khadijah EL Ramija1), Erpina Delina Manurung2) dan Siti Fatimah Batubara3)

dan Andriko Noto Susanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara

Jl. Jend. Besar A.H. Nasution no 1 B Medan 201431,2) Email address: [email protected])

[email protected])[email protected])

ABSTRAK Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman

padi guna memenuhi swasembada pangan adalah dengan meningkatkan indeks pertanaman padi. IP padi 400 diartikan dengan menanam dan memanen padi empat (4) kali setahun. Penanaman yang intensif dibarengi dengan pemupukan yang intensif akan mempengaruhi kualitas air di lahan sawah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas air pada budidaya padi IP 400 di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara yang dilaksanakan pada bulan Januari sampai Desember 2012 di Desa Purbaganda Kecamatan Pematang Bandar Kabupaten Simalungun. Dari hasil analisis terhadap sifat kimia air irigasi diketahui bahwa pH air mengalami penurunan selama empat musim tanam, daya hantar listrik mengalami peningkatan pada MT II, dan stabil kembali pada MT III dan IV, N-total air menurun pada MT II, kemudian meningkat pada MT III, dan kembali stabil pada MT IV, namun secara umum relatif stabil, P-air secara umum mengalami peningkatan, K air relatif stabil, dan Fe air berfluktuasi selama empat musim tanam. Dari nilai F hitung secara umum memperlihatkan bahwa perlakuan pengairan dan pemupukan serta interaksi pengairan dan pemupukan terhadap kualitas air tidak berbeda nyata selama emapat musim tanam. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa budidaya padi intensif selama empat musim tanam (IP 400) tidak menurunkan kualitas air irigasi sehingga tetap aman untuk dimanfaatkan sebagai sumber air pada budidaya padi selanjutnya. Kata Kunci : Kualitas Air, IP 400, Simalungun

PENDAHULUAN IP Padi 400 artinya petani dapat menanam dan memanen padi sebanyak empat kali

secara rotasi dalam satu tahun, secara terus menerus pada hamparan lahan yang sama dengan konsekuensi penerapan penggunaan bibit padi berumur genjah dan variatif (komposisi penggunaan bibit unggul padi berumur genjah). Jadi Indeks Pertanaman padi menuju 400 atau IP Padi 400 tidak hanya merupakan jumlah frekuensi pertanaman padi dalam satu hamparan atau lahan dalam satu tahun namun merupakan salah satu terobosan baru dengan memadukan seluruh komponen teknologi sehingga peningkatan intensitas tanam dapat dilaksanakan.

Rekayasa Teknologi untuk peningkatan produksi padi dengan penerapan IP Padi 400 yaitu pemanfaatan sumberdaya lahan dan sumberdaya teknologi. Rekayasa teknologi pada IP Padi 400 dengan menggunakan varietas unggul yang berumur sangat genjah (ultra genjah) yaitu berumur 90-104 hari mampu berproduksi tinggi, teknologi hemat air dengan pengairan berselang (intermittent), tanam benih langsung, persemaian dapog atau culikan, serta pengembangan sistem monitoring dini (sebelum tanam, saat ada padi di pertanaman, dan sesudah panen).

Page 210: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

739

Pada sistem pertanian intensif tanaman padi, pemberian pupuk sebagai penambah unsur hara yang ada dalam tanah merupakan keharusan agar tanaman dapat mencukupi kebutuhannya. Perkembangan perhatian terhadap keberlanjutan usaha tani (sustainabilitas), kebutuhan akan pemupukan menjadi bertambah agar unsur-unsur hara yang ada di dalam tanah tidak terkuras habis. Sementara itu, pemupukan yang dilakukan secara terus menerus akan memberikan pengaruh terhadap kualitas lahan dan air irigasi di lahan sawah.

Pada budidaya padi sawah, ketersediaan air merupakan persyaratan utama. Sumber air irigasi harus memenuhi syarat kualitas agar tidak berbahaya bagi tanaman yang akan diairi, karena dalam jangka panjang dapat berpengaruh terhadap kualitas hasil atau produk pertanian. Schwab dan Flevert, 1981 mensyaratkan kualitas air irigasi sangat tergantung dari kandungan sedimen atau lumpur dan kandungan unsur-unsur kimia dalam air tersebut. Sedimen atau lumpur dalam air pengairan berpengaruh terhadap tekstur tanah, terutama pada penampang tanah akibat pori-pori tanah terisi atau tersumbat sedimen tersebut, dan menurunkan kesuburan tanah. Sedimen atau lumpur yang mengendap di dalam saluran irigasi akan mengurangi kapasitas pengaliran air dan memerlukan biaya tinggi untuk pembersihannya.

Sifat-sifat kimia air pengairan berpengaruh terhadap kesesuaian air untuk berbagai penggunaan, sehingga aman untuk setiap pemakaian. Sifat-sifat kimia pengairan yang sangat penting diketahui dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian diantaranya adalah (1) konsentrasi garam total yang terlarut; (2) proporsi garam (Na) terhadap kation lainnya (sodium adsorption ratio =SAR); (3) konsentrasi unsur-unsur racun potensial yang dapat mencemari atau merusak tanah; dan (d) konsentrasi bikarbonat, yang berkaitan erat dengan Ca dan Mg. Bila sifat-sifat kimia air tersebut melebihi konsentrasi yang diizinkan, pertumbuhan tanaman akan terhambat dan akan mengalami penurunan hasil (Subagyono et al., 2005).

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas air irigasi pada budidaya padi IP 400 di Kabupaten Simalungun. Pada penelitian ini standart kualitas air yang digunakan sebagai acuan baik atau tidaknya kualitas air dan tidak membahayakan lingkungan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tanggal 14 Desember 2001 tentang Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran air.

METODOLOGI Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Desember 2012 di Desa

Purbaganda, Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten Simalungun. Data yang dikumpulkan meliputi data biofisik dan sosial ekonomi masyarakat, dilakukan dengan cara pengamatan langsung maupun studi pustaka, pengumpulan laporan dan data pengukuran lembaga penelitian. Sumber data berasal dari responden yang terpilih untuk diwawancarai secara mendalam untuk memperoleh data dan informasi status sosial ekonomi. Data biofisik diperoleh dengan cara observasi, percobaan dan pengukuran secara insitu, data dari laboratotium terutama data hasil pengolahan bahan atau sampel lapangan diolah atau proses di laboratorium.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Kimia Air Awal Secara umum sifat kimia air awal di Desa Purbaganda, Kecamatan Pematang Bandar,

Kabupaten Simalungun dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis sifat kimia air pada kondisi

Page 211: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

740

awal menunjukkan kualitas air tergolong dalam kelas III yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut dan tergolong aman untuk budidaya tanaman padi (kegiatan pertanian) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 82 tahun 2001 tanggal 14 Desember 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Tabel 1. Sifat kimia air awal di Desa Purbaganda, Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten

Simalungun

No. Jenis Analisis Nilai Satuan Metode

1 Suhu 31,8 0C Pemuaian 2 TDS 76,8 mg/lt Gravimetric 3 TSS 55 mg/lt Grafimetric 4 pH 7,0 mg/lt Potensiometric 5 BOD 6,9 mg/lt Potensiometric 6 COD 12 mg/lt Potensiometric 7 DO 6,8 mg/lt Potensiometric 8 EC 71,48 µs/m Potensiometric

9 N (Total) 1,2 mg / lt JIS K0102-45.2 10 P 0,42 mg / lt Spectrophotometric 11 K 1,5 mg / lt Atomisasi 12 Ca 0,015 mg/lt Spectrophotometric

13 Mg 0,14 mg/lt Titrimetric 14 Fe 0,19 mg/lt Spectrophotometric 15 NO3-N 0,9 mg/lt Spectrophotometric

16 NH3-N 0,40 mg/lt Titrimetric:pemben tukan

azo dye 17 Chlorin 1,45 mg / lt Titrimetric 18 Sianida (CN) 0,001 mg / lt Spectrophotometric 19 Fluorida 0,69 mg / lt Titrimetric 20 Nitrit sbg N 0,002 mg / lt Spectrophotometric 21 Sulfat (SO4) 2,0 mg / lt Spectrophotometric 22 CL2 0,01 mg / lt Spectrophotometric 23 Belerang sebagai H2S 0,004 mg/lt Spectrophotometric Sumber: Hasil Analisis Laboratorium Air, 2011 Kualitas Air Selama Penelitian

Untuk mempelajari sampai sejauh mana adanya perubahan kualitas air yang ditunjukkan selama empat musim tanam, maka dilakukan pengamatan perubahan sifat kimia air. Dipilih indikator penilaian kualitas air mencakup pH, Ec (daya hantar listrik), N-total, P-air, K-air, dan Fe.

pH

Sifat-sifat kimia air pengairan berpengaruh terhadap kesesuaian air untuk berbagai penggunaan. Sifat-sifat kimia pengairan sangat penting diketahui dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian. Bila sifat-sifat kimia air tersebut melebihi konsentrasi yang diizinkan, pertumbuhan tanaman akan terhambat dan akan mengalami penurunan hasil (Subagyono et al., 2005).

Hasil analisis sifat kimia air awal menunjukkan nilai pH air 7 yang tergolong dalam kriteria baik untuk pertanian. Nilai pH pada MT I, MT II, MT III, dan MT IV berkisar 6–7 yang juga masih tergolong baik untuk pertanian. Penanaman padi selama empat musim tanam terjadi penurunan pH air (Gambar 1). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena pemupukan yang intensif, terutama pemupukan N dengan menggunakan urea. Menurut

Page 212: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

741

Setyanto, 2004, pemberian Urea (CO(NH2)2 akan menghasilkan Amonium (NH4+) yang

diserap oleh tanaman padi akan diseimbangkan dengan pelepasan H+, sehingga menyebabkan pH air menurun.

Gambar 1. Grafik pH Air selama empat musim tanam

Daya Hantar Listrik (EC)

Salinitas dan salinisasi merupakan masalah yang dapat terjadi pada lahan beririgasi. Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa EC air mengalami peningkatan pada MT II, kemudian stabil pada MT III dan MT IV (Gambar 2). Hasil penelitian Kitamura et al. (2003) di Kazakhtan melaporkan bahwa sumber salinitas ini berasal dari sumber air irigasi yang berkadar garam relatif tinggi atau dapat juga dari air bawah tanah yang melalui proses aliran air ke atas (upward movement). Menurut Ramadhi (2002) hasil gabah di persawahan Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung berkurang sekitar 60-70% dari produksi normal akibat kualitas air mengandung Na dengan konsentrasi tinggi yang berkisar antara 560-880 ppm Na. Dengan pemberian air bersih dan berkualitas, hasil gabah pada persawahan tersebut dapat mencapai 8- 10 t ha -1 (Kurnia et al., 2003).

6.00

6.20

6.40

6.60

6.80

7.00

7.20

GS1 GS2 GS3 GS4

pH

Musim Tanam

A1B1A1B2A1B3A1B4A1B5A1B6A1B7A1B8A2B1A2B2A2B3A2B4A2B5

Page 213: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

742

Gambar 2. Grafik EC Air selama empat musim tanam

N-total

Kandungan N-total air cenderung menurun pada MT II dan meningkat kembali pada MT III, kemudian stabil pada MT IV (Gambar 3). Secara umum kandungan N-total air adalah cenderung stabil. Hal ini terjadi karena kandungan N yang terlarut di dalam air telah diserap tanaman dan sebagian menguap menjadi amoniak.

P-air Fluktuasi kandungan P-air meningkat pada MT II, kemudian menurun pada MT III, dan mengalami peningkatan pada MT IV (Gambar 4). Secara umum rata-rata kandungan P-air selama empat musim tanam mengalami sedikit peningkatan. Hal ini terjadi karena analisa P-air merupakan analisa P-total air, terjadinya peningkatan karena meningkatnya P yang terikat dengan Fe. Berbanding tebalik dengan P-tersedia tanah yang semakin menurun disebabkan oleh meningkatnya P yang terikat dengan Fe.

65.00

75.00

85.00

95.00

105.00

115.00

125.00

135.00

MT1 MT2 MT3 MT4

Ec

(µs/

m)

Musim Tanam

A1B1

A1B2

A1B3

A1B4

A1B5

A1B6

A1B7

A1B8

A2B1

A2B2

A2B3

A2B4

A2B5

A2B6

A2B7

A2B8

Page 214: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

743

Gambar 3. Grafik N-total air selama empat musim tanam

Gambar 4. Grafik P-Air selama empat musim tanam

K-air

Secara umum rata-rata kandungan K-air selama empat musim tanam cenderung stabil. Kandungan K-air pada intermittent lebih tinggi daripada pengairan yang tergenang. Kandungan K-air yang tertinggi terjadi pada perlakuan A2B3 yakni pemupukan 112,5 N+27 P2O5+30 K2O + probiotik dan pengairan intermittent, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan A2B7 yakni pemupukan analisis lab (70% dosis) + probiotik dengan penggenangan (Gambar 5). Hal ini terjadi karena kandungan K-air yang tergenang akan ikut tercuci, sedangkan pada intermittent kandungan K lebih lama bertahan.

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

GS1 GS2 GS3 GS4

N T

ota

l (%

)

Musim Tanam

A1B1A1B2A1B3A1B4A1B5A1B6A1B7A1B8A2B1A2B2A2B3A2B4A2B5A2B6A2B7A2B8

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

1.80

2.00

MT1 MT2 MT3 MT4

P-t

erse

dia

(m

g.l

-1)

Musim Tanam

A1B1A1B2A1B3A1B4A1B5A1B6A1B7A1B8A2B1A2B2A2B3A2B4A2B5A2B6A2B7A2B8

Page 215: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

744

Gambar 5. Grafik K- Air selama empat musim tanam

Fe

Kandungan Fe berfluktuasi untuk setiap musim tanam. Kandungan Fe masih termasuk dalam interval toleransi untuk tanaman padi. Secara umum kandungan Fe pada pengairan intermittent mengalami penurunan terjadi pada perlakuan A2B3, A2B5 (Gambar 6).Pengaturan kondisi sawah dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian akan mencegahnya timbulnya keracunan besi (Fe) dan disisi lain serapan hara P, K, Ca, dan Mg tanaman meningkat. Besi merupakan salah satu unsur yang mengalami perubahan pada kondisi tergenang yaitu dapat mengalami reduksi dari Fe3+ menjadi Fe2+. Dari aspek ketersediaan hara perubahan ini menguntungkan bagi tanaman, karena besi lebih tersedia dan dapat diserap oleh tanaman yaitu dalam bentuk fero (Fe2+), namun apabila reduksi berlebih maka besi tersebut dapat larut melebihi dari kebutuhan tanaman, sehingga mengakibatkan keracunan tanaman (Kasno et al., 1987).

Gambar 6.Grafik kandungan Fe air selama empat musim tanam

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

MT1 MT2 MT3 MT4

K (

mg.l

-1)

Musim Tanam

A1B

1A1B

2A1B

3A1B

4A1B

5A1B

6A1B

7A1B

8A2B

1

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

GS1 GS2 GS3 GS4

Fe (

mg.l

-1)

Musim Tanam

A1B1A1B2A1B3A1B4A1B5A1B6A1B7A1B8A2B1A2B2A2B3A2B4A2B5A2B6A2B7A2B8

Page 216: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

745

Nilai F Hitung Kualitas air Nilai F hitung secara umum memperlihatkan perlakuan pengairan dan pemupukan

serta interaksi pengairan dan pemupukan terhadap kualitas air tidak berbeda nyata selama empat musim tanam, kecuali kandungan N-total dan P air. Hal ini menunjukkan bahwa budidaya padi intensif dengan empat musim tanam tidak menurunkan kualitas air.

Abas et al. (1985) melaporkan bahwa efisiensi penggunaan air pada lahan yang diirigasi secara macak-macak hampir 2-3 kali lebih tinggi dibanding dengan lahan yang digenangi terus-menerus. Setiobudi (2001; 2010), bahwa dengan irigasi macak-macak dari sejak tanam sampai 7 hari menjelang panen pada musim kemarau maupun musim hujan dapat menghemat penggunaan air 40% dibanding dengan penggunaan secara kontinu, pengairan dengan metode alternasi basah kering atau intermittent dengan menggunakan paralon dinding berlubang merupakan langkah operasional yang strategis dalam meningkatkan efisiensi penggunaan air pada pertanaman padi sawah di tingkat tertier. Metode ini sangat efektif dalam penerapan IP padi 400. Pengairan dengan metode alternasi basah kering mampu menghemat air 1.000-3000 m3/ha/musim dan secara konsisten meningkatkan efisiensi produksi, baik pada musim kemarau dan musim hujan.

Ghosh (2003) juga menyatakan bahwa sistem penggenangan juga berpengaruh terhadap effisiensi penggunaan air. Genangan dalam (10-15 cm) seperti yang dilakukan petani pada umumnya dapat menyebabkan tingginya kehilangan air lewat perkolasi sebesar 12.612,8 cu.m ha-1 yang di dalamnya juga terdapat unsur yang bersifat mobile, sehingga tingkat kehilangan hara juga menjadi tinggi dan hasil yang diperoleh sebesar 7,8 t ha-1. Penurunan genangan menjadi 5-7 cm selain dapat menurunkan tingkat kebutuhan air irigasi sebesar 8.918,4 cu.m ha-1 dan juga dapat meningkatkan hasil tanaman hingga 10,5 t ha-1. Tabel 2. Nilai F hitung parameter kualitas air selama empat musim tanam

Parameter Musim Tanam I Musim Tanam II

A B AxB A B AxB

Ph 2.44 tn 11.11 ** 1.58 tn 0.39 tn 1.41 tn 0.53 tn

EC 2.55 tn 0.95 tn 1.81 tn 0.49 tn 0.48 tn 0.33 tn

N 39.83 * 19.04 ** 4.11 ** 14.95 tn 71.62 ** 1.74 tn

P 15.23 tn 52.52 ** 4.24 ** 0.01 tn 17.6 ** 1.26 tn

K 0.82 tn 9.99 ** 3.02 * 0.54 tn 1.58 tn 2.97 *

Ca 0 tn 0 tn 0 tn 0 tn 0 tn 0 tn

Mg 82.29 * 1.04 tn 0.43 tn 8.86 tn 1.92 tn 0.78 tn

Fe 2.96 tn 0.55 tn 0.52 tn 0.75 tn 0.51 tn 1.51 tn

Na 0 tn 0 tn 0 tn 8.86 tn 1.92 tn 0.78 tn

Parameter Musim Tanam III Musim Tanam IV

A B AxB A B AXB

Ph 0.85 tn 0.42 tn 0.55 tn 0.57 tn 0.21 tn 0.59 tn

EC 3.12 tn 0.76 tn 1.31 tn 3.12 tn 0.76 tn 1.31 tn

N 501 ** 28.77 ** 0.95 tn 403.92 ** 27.99 ** 0.83 tn

P 3.91 tn 0.37 tn 1.7 tn 20.52 * 3.03 * 2.01 tn

K 1.06 tn 1.57 tn 2.76 * 1.06 tn 1.57 tn 2.76 *

Ca 1 tn 0.6 tn 1.22 tn 0.02 tn 0.66 tn 0.61 tn

Mg 8.37 tn 1.93 tn 1.11 tn 0.21 tn 0.54 tn 0.91 tn

Fe 8.12 tn 0.68 tn 0.45 tn 8.36 tn 0.48 tn 0.65 tn

Na 8.37 tn 1.93 tn 1.11 tn 0.21 tn 0.91 tn 0.91 tn

** = berbeda nyata pada taraf 1%; * = berbeda nyata pada taraf 5%; tn = tidak nyata A = sistem pengairan; B = pemupukan; AxB = interaksi antara faktor penggenangan dan pemupukan

Page 217: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

746

Teknik irigasi dengan sistem rotasi dapat menghemat penggunaan air 20-30% tanpa menyebabkan terjadinya penurunan hasil serta mendukung lebih baiknya pertumbuhan tanaman dan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan dan penggunaan tenaga kerja (Bhuiyan, 1980). Hasil penelitian yang dilakukan di Nueva Ecija, Filipina juga menunjukkan bahwa pemberian air dengan sistem rotasi tidak menyebabkan terjadinya penurunan hasil, bahkan nampak adanya kecenderungan peningkatan hasil panen.

Dengan penerapan irigasi berselang hasil padi meningkat hampir 7% dibanding dengan hasil pada lahan yang terus-menerus digenangi, sementara hasil padi dengan irigasi bergilir meningkat 2%. Lebih jauh Krishnasamy et al. (2003) melaporkan bahwa produktivitas lahan pada sistem irigasi berselang lebih tinggi 6,73% dibanding penggenangan.

KESIMPULAN

1. Perlakuan pengairan dan pemupukan serta interaksi pengairan dan pemupukan terhadap kualitas air tidak berbeda nyata selama empat musim tanam, kecuali kandungan N-total dan P air.

2. Budidaya padi intensif selama empat musim tanam tidak menurunkan kualitas air irigasi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Pertama-tama, kami mengucapkan terimakasih kepada Allah swt yang telah

memberikan kesehatan dan perlindungannNya kepada semua pihak yang telah terlibat

dalam penelitian ini sehingga penelitian ini telah terlaksana dengan baik. Kami mengucapkan

terimakasih kepada Kementerian Pertanian yang melalui Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian telah menyalurkan dana kepada BPTP Sumatera Utara untuk

dapat melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini. Kami juga mengucapkan terimakasih

kepada Dr. Ir. Didik Harnowo, M.S. selaku kepala balai BPTP Sumatera Utara (2009-2012)

yang pada masanya beliau telah banyak membantu memberikan dukungan dan juga saran-

saran sehingga penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada para pembaca. Pada

akhirnya, kami mengucapkan terimakasih kepada tim dan semua pihak terlibat yang telah

bekerjasama dan turut berkontribusi pada keberhasilan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.I. dan A. Abdurrahman. 1985. Pengaruh Pengelolaan Air dan Pengelolaan Tanah

Terhadap Efisiensi Penggunaan Air Padi Sawah di Cihea, Jawa Barat. Pemberitaan. Penelitian. Tanah dan Pupuk 4:1-6.

Bhuiyan, S.I. 1980. Water Allocation, Distribution, and Use Criteria For Irrigation System

Design and Management: Selected Research Findings. P. 139-157. In IRRI (1980) Report of a Planning Workshop on Irrigation Water Management. International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines.

Ghosh, K. 2003. Overflow Irrigation In Bengal: Lessons from The Past.pp 172-178. In Takara

and Kojima (Eds). Proceeding of The 1st International Conference on Hydrology and Water Resources in Asia Pasific Region. Volume 1. Pa-lu-lu Plaza. Kyoto. Japan, 13-15 March 2003.

Page 218: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

747

Kasno, A., Sulaeman dan Mulyadi, 1999. Pengaruh Pemupukan dan Pengairan Terhadap Eh, pH, Ketersediaan P dan Fe Serta Hasil Padi pada Tanah Sawah Bukaan Baru. J. Tanah dan Iklim:17: 72-81 dan Zaini, Z., Burbey, N. Jalid, dan A. Kaher. 1987. Teknologi Pengendalian Keracunan Besi Pada Sawah Bukaan Baru. Dalam Risalah Ahli Teknologi. Balittan Sukarami 14-15 September 1987. Hal 16-21.

Krishnasamy, S., F.P. Amerasinghe, R. Sakthivadivel, G.Ravi, S.C. Tewari, dan W. Van Der

Hoek. 2003. Strategies for Conserving Water and Effecting Mosquito Vector Control in Rice Ecosystems. International Water Management Intitute (IWMI). Working Paper 56.21 Pp.

Kurnia, U., D. Erfandi., S. Sutono, dan H. Kusnadi. 2003. Penelitian Rehabilitasi dan Reklamasi

Tanah Sawah Tercemar Limbah Industri Tekstil di Kabupaten Bandung. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Tanah dan Proyek Pengkajian Teknologi Partisipatif (PAATP). Balai Penelitian Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 37. Hal.

Ramadhi. 2002. Idntifikasi Pencemaran Lahan Sawah Akibat Limbah Industri Tekstil (Studi

Kasus di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung). Laporan. Program Analisis Lingkungan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB.

Schwab, G.O., dan R.K. Flevert, 1981. Soil and Water Conservation Engineering. Willaey. New York. US.

Setiobudi, D. 2001. Strategi Peningkatan Efisiensi Pendistribusian Air Irigasi dalam Sistem

Produksi Padi Sawah Berkelanjutan. P. 116-128 dalam Prosiding Lokakarya Padi, Implementasi Kebijakan Strategis untuk Peningkatan Produksi Padi Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

--------- 2010. Optimalisasi Penggunaan Air pada Tanaman Padi Sawah Mendukung Implementasi IP Padi 400. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan, Buku 1. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor.

Subagyono, K., U. Haryati, Dan S.H. Tala’ohu. 2005. Teknologi Konservasi Air pada Pertanian

di Lahan Kering. Diusulkan Sebagai Salah Satu Bab dalam Buku Konservasi Tanah dan Air.

Page 219: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

748

Potensi Tandan Kosong Kelapa Sawit sebagai Pupuk Organik dengan Berbagai Dekomposer

Rima Purnamayani, J. Hendri, E. Salvia dan D.S. Gusfarina Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi

Jl. Samarinda Paal V, Kotabaru , Jambi Telp. 0741-7053525/Fax . 0741-40413

Email : [email protected]

ABSTRAK

Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan limbah padat yang jumlahnya cukup besar, namun pemanfaatannya masih terbatas. Pengolahan TKKS menjadi pupuk organik menjadi salah satu alternatif pemanfaatan limbah TKKS yang menumpuk dan secara ekonomis sebagai suplai unsur hara organik bagi tanaman. Lamanya waktu yang dibutuhkan pada proses pengomposan TKKS akan menimbulkan permasalahan, sehingga dibutuhkan strategi untuk mempercepat proses biodekomposisi bahan organik yaitu dengan memanfaatkan aktivator/dekomposer. Pengkajian ini dilaksanakan di areal petani plasma di Desa Muara Delang Kecamatan Tabir Selatan Kabupaten Merangin dari bulan Januari-Desember 2011. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan, terdiri dari: kontrol, jenis dekomposer orlitani, dekomposer M-Dec, dekomposer Promi dan dekomposer Stardec. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa jenis dekomposer berpengaruh nyata terhadap rasio C dan N, serta berpengaruh tidak nyata terhadap rendemen pupuk organik dan kandungan hara P, K, Ca dan Mg. Hasil Uji Duncan menyatakan bahwa perlakuan kontrol dengan jenis dekomposer orlitani, promi dan stardec berbeda tidak nyata tetapi berbeda nyata dengan jenis dekomposer M-Dec. Hal ini menunjukkan bahwa jenis dekomposer M-Dec belum mampu menurunkan rasio C/N dalam masa dekomposisi selama 3 bulan.Hasil analisis sidik ragam rendemen TKKS menunjukkan bahwa pengaruh jenis dekomposer ini berbeda tidak nyata.Hasil uji lanjutan Duncan, bahwa jenis dekomposer orlitani, promi dan kontrol berbeda tidak nyata tetapi ketiganya berbeda nyata dengan jenis dekomposer stardec dan M-dec. Bahan organik hasil dekomposisi dengan menggunakan M-Dec memiliki kandungan C-organik yang tertinggi (32,81%). Kualitas pupuk organik asal TKKS ini digambarkan dengan kandunganhara makro tersedia yaitu 1,08% N-total, 1,32 ppm P-tersedia, 75,07 ppm K-tersedia, 731,26 ppm Ca-tersedia dan 61,64 ppm Mg-tersedia.

Kata kunci : tandan kosong kelapa sawit, pupuk organik, dekomposer

PENDAHULUAN

Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit Indonesia dalam periode 10 tahun terakhir ini lebih berkualitas dari sebelumnya (Sipayung, 2012). Hal ini ditunjukkan oleh pertambahan luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 367 ribu hektar tiap tahunnya selama periode 2000-2010. Selain itu, peran perkebunan kelapa sawit rakyat makin besar. Pangsa kelapa sawit rakyat meningkat dari 28% menjadi 42,4% dari tahun 2000 sampai 2010. Perkebunan kelapa sawit mampu menumbuhkan pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan perdesaan. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi yaitu 484.137 ha terdiri dari perkebunan negara, perkebunan swasta dan perkebunan rakyat, dengan jumlah petani sekitar 168.053 rumah tangga (BPS, 2009).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan adanya pertumbuhan luas lahan kelapa sawit ini, maka terjadi kenaikan produksi TBS (Tandan Buah Segar) dan CPO (Crude Palm Oil ) yang menyebabkan tingginya potensi pengembangan industri hilir kelapa sawit. Di sisi lain,

Page 220: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

749

juga menyebabkan semakin tingginya potensi limbah sawit yang belum termanfaatkan menjadi komoditas yang mempunyai nilai ekonomis.

Jenis limbah kelapa sawit pada generasi pertama adalah limbah padat yang terdiri dari tandan kosong, pelepah, cangkang dan lain-lain. Potensi limbah tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tidak sedikit, salah satunya adalah dapat dimanfaatkan sebagai unsur hara yang mampu menggantikan pupuk buatan. Limbah TKKS merupakan limbah padat yang jumlahnya cukup besar, yaitu sekitar 6 juta ton, namun pemanfaatannya masih terbatas. Limbah tersebut selama ini dibakar dan sebagian ditebarkan di lapangan sebagai mulsa (Ditjen PPHP, 2006).

Saat ini TKKS berpotensi sebagai pupuk kompos, pulp dan kertas, karbon dan media tumbuh. Selama ini tankos dibiarkan melapuk di lahan kebun sawit. Hal ini sebenarnya mengganggu pertumbuhan sawit yang akan ditanam selanjutnya karena tankos membutuhkan waktu yang lama untuk terurai, kemungkinan bisa sampai 6 bulan jika tanpa bantuan dekomposer. (Lasmayadi, 2008). Hal tersebut disebabkan TKKS merupakan bahan organik yang sulit terdekomposisi karena strukturnya yang keras dan ukurannya yang besar serta kandungan lignin 17,1 % (Baharuddin et al., 2009). Lignin merupakan polimer struktural fenilpropan pada tanaman vascular yang membuat kekakuan tanaman dan mengikat serat dinding sel bersama-sama, berfungsi menurunkan permeasi air melintasi dinding jaringan xilem dan membuat kayu resisten terhadap serangan mikoba. Lignin berikatan dengan hemiselulosa dan selulosa membentuk segel fisik di antara keduanya, yang merupakan barier yang mencegah penetrasi larutan dan enzim (Howard et al,2013). Lignin merupakan penghalang akses enzim selulolitik pada degradasi bahan berlignoselulose sehingga menghambat proses dekomposisi, sehingga sering menyebabkan penumpukan bahan organik. Sisa tanaman yang mengandung lignin lebih banyak akan mengalami proses dekomposisi lebih lambat dibanding tanaman yang mengandung lignin lebih sedikit. (Saraswati, 2011), sehingga TKKS membutuhkan waktu sangat lama untuk menjadi pupuk organik,

Lamanya waktu yang dibutuhkan pada proses pengomposan TKKS akan menimbulkan permasalahan, karena semakin lama proses pengomposan berlangsung maka semakin luas area yang dibutuhkan untuk pengomposan, biaya yang dikeluarkan untuk pengomposan TKKS juga akan semakin besar. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut,dibutuhkan suatu teknik pengomposan yang tepat agar proses pengomposan dapat berjalan dengan optimal (Arafotullah, 2011). Strategi untuk mempercepat proses biodekomposisi bahan organik dilakukan dengan memanfaatkan aktivator. Aktivator adalah mikroba dekomposer yang berperan sebagai katalisator untuk mempercepat proses pengomposan dan membuat hasil pengomposan menjadi sempurna dengan mutu yang baik, karena mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. (Widawati, 2005). Penggunaan dekomposer tersebut dapat mempercepat proses pengomposan dari 4 – 6 bulan menjadi 3 – 4 minggu. Ada beberapa aktivator kompos yang mengandung berbagai mikroorganisme dekomposer di pasaran. Balai Besar Sumber Daya Lahan dan Balai Besar Bioteknologi dan Genetika Pertanian juga telah melepas produk mikroorganisme dekomposer sebagai hasil penelitiannya.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui potensi tandan kosong kelapa sawit sebagai pupuk organik melalui berbagai dekomposer untuk mendukung pembangunan pertanian.

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di areal perkebunan plasma di Desa Muara Delang

Kecamatan Tabir Selatan Kabupaten Merangin dari bulan Mei – November 2011. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: TKKS, Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS), pupuk kandang, dekomposer, air, terpal dan tali, sedangkan alat yang digunakan adalah timbangan, ember, gembor dan cangkul.

Page 221: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

750

Metode

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan, terdiri dari dekomposer yang diproduksi Badan Litbang Pertanian dan lembaga penelitian pemerintah lainnya serta instansi swasta, yaitu:

1. Tanpa dekomposer sebagai kontrol. 2. Dekomposer Orlitani (kandungan: Trichoderma koningii , T. Harzianum, T. Hamatum)

dengan dosis 1 kg per 200 kg 3. Dekomposer M-Dec (kandungan: Trichoderma sp., Aspergillus, Trameters) dengan

dosis 1 kg/ton 4. Dekomposer Promi (Kandungan: Trichoderma harzianum DT 38,T. pseudokoningii DT

39 , Aspergillus sp) dengan dosis 1 kg/ton 5. Dekomposer Stardec (kandungan: koloni mikroorganisme aerob lignolitik, selulotic,

proteolitik, lipolitik dan aminolitik) dengan dosis 2 kg/ton Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan Uji Duncan. Pelaksanaan

1. Pencacahan, bertujuan untuk memperkecil ukuran TKKS dan memperluas luas permukaan area TKKS. Pencacahan ini dilakukan secara manual.

2. Inokulasi dengan dekomposer: disusun tandan kosong kelapa sawit sebanyak 200 kg, ditambahkan dengan 60 kg pupuk kandang ditaburi 30 kg dolomit disiram dengan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) sebanyak 20 liter dinkubasikan selama sehari disemprot dengan dekomposer untuk dekomposer yang aplikasinya harus

dicairkan. Khusus untuk Stardec, ditaburkan secara merata di atas bahan tumpukan TKKS

disiram dengan air secukupnya sampai kelembaban merata Agar aktivator bisa merata ke seluruh permukaan TKKS perlu dilakukan

pembalikan. 3. Inkubasi: tumpukan tankos ditutup dengan menggunakan terpal yang cukup tebal

dan kuat serta tahan UV. Tutup terpal berfungsi untuk menjaga kelembaban dan suhu agar optimal untuk proses dekomposisi tankos. Proses dekomposisi dilakukan selama 3 bulan.

4. Pemeliharaan dan pengambilan data: Pemeliharaan dilakukan dengan cara tumpukan dibolak-balik. Pembalikan ini dilakukan dalam periode dua minggu sekali. Data yang diambil berupa suhu dan sampel TKKS untuk dianalisis rasio C dan N.

5. Pemanenan kompos: kompos yang sudah matang segera dipanen. Ciri-ciri kompos yang sudah matang yaitu: warna menjadi coklat kehitaman, suhu sudah turun mendekati suhu awal proses pengomposan, jika diremas TKKS mudah putus serat-seratnya.

Pengamatan

Data yang diamati adalah analisis awal TKKS (N, P, K, Ca, Mg), rasio C dan N, suhu setiap 2 minggu dan analisis kompos (N, P, K, Ca, Mg)

HASIL DAN PEMBAHASAN Efektivitas Dekomposer terhadap Dekomposisi TKKS

Pengujian efektivitas dekomposer yang digunakan dalam pengkajian ini,dilakukan dengan pengambilan sampel TKKS setiap dua minggu analisis rasio C dan N. Rasio C dan N ini menggambarkan tingkat kematangan suatu bahan organik, dimana C/N > 30 berarti bahan belum matang, dan C/N < 30 berarti bahan sudah matang. Rasio C dan N pada TKKS

Page 222: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

751

sebelum dekomposisi adalah 29,35 yang berarti bahan organik sudah termasuk dalam kategori matang. Setelah mengalami dekomposisi, rasio C dan N TKKS pada tiap pengujian jenis dekomposer setiap dua minggu sampai waktu panen dapat dilihat pada Gambar 1.

Hasil pengamatan rasio C/N terlihat bahwa rasio C/N sangat bervariasi tiap periode pengamatan. Hal ini diduga karena pengambilan sampel yang tidak seragam. Jadi ada beberapa bagian yang termasuk bahan mudah terdekomposisi misalnya bagian luar TKKS tetapi ada juga bagian yang masih keras seperti bagian tengah TKKS. Seharusnya, semakin lama masa dekomposisi maka rasio C dan N akan semakin menurun seiring dengan berjalannya waktu, karena semakin lama waktu dekomposisi maka semakin banyak bahan yang terurai. Bahan yang terurai ini menyebabkan rasio C dan N menurun.

Nilai rasio C dan N ini menunjukkan bahwa belum ada dekomposer yang mampu mendekomposisikan TKKS secara cepat dalam waktu kurang dari 2 bulan. Hal ini terlihat pada Minggu ke-8, rasio C dan N masih berkisar > 20, sedangkan rasio C dan N yang baik untuk pupuk organik adalah maksimal 20 berdasarkan Food and Fertilizer Technology Center (1997). Menurut SK Mentan No 2 Tahun 2006, salah satu persyaratan teknis pupuk organik adalah memiliki rasio C dan N 10 - 25 (Suriadikarta, 2011)

Gambar 1. Rasio C/N pada periode pengamatan per 2 minggu

Darihasil analisis sidik ragam, rasio C/N pada tiap jenis dekomposer menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Hasil Uji Duncan menyatakan bahwa perlakuan kontrol dengan jenis dekomposer orlitani, promi dan stardec berbeda tidak nyata tetapi berbeda nyata dengan jenis dekomposer M-Dec (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa jenis dekomposer M-Dec belum mampu menurunkan rasio C/N dalam masa dekomposisi selama 3 bulan. Selain itu, diduga karena jenis dekomposer yang diaplikasikan pada pengkajian ini tidak mengandung mikrooriganisme pendegradasi lignin. Sedangkan TKKS banyak mengandung lignin yang sulit terdekomposisi. Perlakuan tanpa dekomposer (kontrol) memiliki rasio C/N yang terendah. Diduga aplikasi LCPKS yang berpengaruh terhadap nilai rasio C/N ini. Tabel 1. Hasil analisa Uji Duncan terhadap rasio C/N pada akhir dekomposisi

Jenis Dekomposer Rasio C/N Kontrol 19,43 a Orlitani 20,29 ab Promi 21,84 ab Stardec 28,67 b M-dec 42,67 c

*Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata Efektivitas dekomposer ini juga dapat dilihat dari perubahan suhu yang terjadi

selama masa dekomposisi. Proses dekomposisi akan mengakibatkan peningkatan suhu karena dekomposer bekerja aktif mendekomposisikan bahan. Peningkatan suhu ini pun tidak boleh melebihi 60oC karena akan mengakibatkan dekomposer mati. Menurut Rynk et

Minggu 2

Minggu 4

Minggu 6

Minggu 8

Minggu 10

Minggu 12

Page 223: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

752

al (1992) dalam Arafatullah (2011), suhu dekomposisi yang dianjurkan adalah 45 – 60oC. Pengamatan suhu dilakukan setiap 2 minggu sekali yang datanya dapat dilihat pada Gambar 2.

Menurut Arafatullah (2011), proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme akan menimbulkan peningkatan suhu, yang akan terus meningkat dalam suasana anaerob. Hal tersebut dapat terjadi karena panas yang dihasilkan oleh proses metabolisme mikrobia akan terisolasi di dalam tumpukan kompos hingga melebihi panas yang dapat dilepaskan ke lingkungan. Proses degradasi material organik dengan laju tertinggi (optimal) biasanya terjadi pada suhu antara 35 dan 55°C.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, selama sebulan pertama suhu tidak mengalami peningkatan akibat kurang tingginya tumpukan TKKS. Setelah tumpukan TKKS dirubah, baru terjadi peningkatan suhu yang diamati pada minggu ke-6. Hal ini berarti dekomposer mulai aktif dalam mendekomposisikan TKKS. Suhu tertinggi dicapai pada minggu ke-6 dan mulai menurun setelah itu (Gambar 2). Selanjutnya suhu berangsur turun sejalan dengan penurunan jumlah makanan dan penurunan aktivitas mikroba. Pemanenan kompos dilaksanakan pada suhu berkisar 35-37oC.

Gambar 2. Data pengamatan suhu selama masa dekomposisi

Kualitas Pupuk Organik Asal TKKS

Kualitas pupuk organik yang diuji adalah kandungan C-organik, N-total, K2O, P2O5, CaO dan MgO, yang dinyatakan dalam K-tersedia, P-tersedia, Ca-tersedia dan Mg-tersedia. Umumnya kandungan unsur hara tersebut dalam pupuk organik kurang dari 10%. Kandungan awal TKKS disajikan pada Tabel 2. Dari hasil analisa jaringan TKKS ini ternyata unsur hara total yang terkandung dalam TKKS ini sangat tinggi dan berpotensi baik kecuali P-total. Sesuai dengan referensi sebelumnya, umumnya TKKS memiliki kandungan K yang tinggi, demikian pula TKKS dalam pengkajian ini pun memiliki kandungan K yang tinggi pula. Kandungan K yang tinggi dalam TKKS ini berpotensi untuk meminimalisir penggunaan pupuk K.

Hasil analisis sidik ragam terhadap kualitas pupuk organik menunjukkan bahwa jenis dekomposer berpengaruh nyata terhadap kandungan C-organik pada akhir dekomposisi. Sedangkan terhadap kandungan N-total, P-tersedia, K-tersedia, Ca-tersedia dan Mg-tersedia, jenis dekomposer berpengaruh tidak nyata. Tabel 2. Kandungan TKKS sebelum dekomposisi

Jenis analisa Hasil Analisa C-organik (%) 44,02 N-total (%) 1,50 Rasio C dan N 29,35 P-total (ppm) 77,25

Suh

u (

oC

elci

us)

K

M

O

P

S

Page 224: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

753

K-total (ppm) 449,65 Ca-total (ppm) 173,12 Mg-total (ppm) 240,19

Tabel 3 menyajikan kandungan C-organik pada akhir dekomposisi. Hasil uji lanjutan

Duncan, memperlihatkan bahwa jenis dekomposer orlitani, promi dan kontrol berbeda tidak nyata tetapi ketiganya berbeda nyata dengan jenis dekomposer stardec dan M-dec. Bahan organik hasil dekomposisi dengan menggunakan M-Dec memiliki kandungan C-organik yang tertinggi, diduga karena bahan tersebut belum terdekomposisi secara sempurna. Hal ini berkaitan dengan rasio C/N dari hasil dekomposisi M-Dec memiliki nilai tertinggi.

Tabel 3. Kandungan C-organik pada akhir dekomposisi

Jenis Dekomposer C-organik (%) Orlitani 20,57 a Promi 23,60 ab Kontrol 23,72 ab Stardec 28,39 bc M-Dec 32,81 c

Jenis dekomposer berpengaruh tidak nyata terhadap kandungan N-total pupuk

organik yang dihasilkan dari dekomposisi TKKS. Jika dibandingkan dengan kandungan N-total pada bahan TKKS (1,50 %), maka nilai ini mengalami penurunan (Gambar 3). Hal ini disebabkan oleh adanya pelepasan N dan pencucian N selama masa dekomposisi karena N merupakan unsur yang mobil. Jika dibandingkan dengan kandungan N-total dari beberapa pupuk organik yang telah diteliti oleh Balai Penelitian Tanah Bogor, maka kandungan N-total pada pupuk organik ini termasuk cukup tinggi. Sebagai perbandingan, pupuk organik kotoran ayam (1,17%), bokashi (0,73%) dan kompos (0,37%) (Suriadikarta dan Setyorini, 2011). Hasil analisa kandungan P, K, Ca dan Mg menunjukkan bahwa jenis dekomposer berpengaruh tidak nyata terhadap nilai ini. Hal ini sesuai karena bahan TKKS merupakan bahan yang berasal dari sumber yang sama. Hasil analisis akhir, kandungan Ca lebih tinggi daripada kandungan unsur hara lainnya. Hal ini karena pemberian dolomit dalam proses dekomposisi yang memang bertujuan untuk memperkaya unsur Ca dan Mg (Gambar 4 dan Gambar 5).

Page 225: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

754

Gambar 3. Kandungan N-total (%) pada pupuk organik hasil dekomposisi TKKS

Gambar 4. Kandungan unsur hara P2O5 (%) dalam pupuk organik TKKS

Gambar 5. Kandungan hara K2O, CaO dan MgO (%) pada pupuk organik TKKS

Secara rata-rata kualitas pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposisi TKKS ini adalah 1,08% N-total, 0,000301 % P2O5, 0,018093% K2O, 0,102376% Cao dan dan 0,010273 % MgO. Kandungan hara ini berkriteria rendah kecuali kandungan N-total. Hal ini diduga karena TKKS belum terdekomposisi sempurna sehingga pelepasan potensi unsur hara makro yang terkandung dalam TKKS belum banyak. Ditinjau dari hasil analisis awal TKKS, maka bahan ini banyak memiliki potensi kandungan unsur hara makro yang cukup tinggi. Jika waktu dekomposisi ditambah, diduga unsur hara makro yang tersedia lebih tinggi dari sekarang.

Pengolahan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit menghasilkan TKKS. Persentase TKKS terhadap TBS adalah sekitar 20%. Potensi pabrik menghasilkan TKKS tergantung dari

N-total (%); K; 1.27 N-total (%);

P; 1.08 N-total (%); M; 0.94

N-total (%); S; 0.99

N-total (%); O; 1.12

N-total (%)

P2O5; K; 0.00022

P2O5; P; 0.00034

P2O5; M; 0.00025

P2O5; S; 0.00034

P2O5; O; 0.00036 P2O5 (%) K P M S O

K2O

Page 226: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

755

kapasitas pabrik (ton/jam). Kapasitas pabrik selama 60 ton/jam akan menghasilkan TKKS sebanyak 62.400 ton/tahun. Jumlah pabrik di Provinsi Jambi sekitar 78 buah, sehingga dapat diperkirakan jumlah TKKS yang dihasilkan mencapai 3.744.000 ton/tahun. Dengan rendemen TKKS menjadi pupuk organik sekitar 50%, maka akan dihasilkan pupuk organik TKKS sebanyak 1.872.000 ton/tahun. Potensi tandan kosong sebagai pupuk organik ini merupakan alternatif pemupukan pada perkebunan kelapa sawit itu sendiri maupun budidaya tanaman lainnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Dekomposer orlitani, M-dec, promi dan stardec belum dapat mendekomposisikan

TKKS secara sempurna dalam waktu kurang dari 2 bulan, tetapi efektif dalam mendekomposisikan TKKS dalam waktu 3 bulan berdasarkan nilai rasio C dan N. Perlakuan kontrol berbeda tidak nyata terhadap jenis dekomposer.

2. Jenis dekomposer berpengaruh tidak nyata terhadap kualitas pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposisi TKKS. Kandungan unsur hara pupuk organik tersebut adalah 1,08% N-total, 0,000301 % P2O5, 0,018093% K2O, 0,102376% Cao dan dan 0,010273 % MgO

3. Potensi pupuk organik yang dapat dihasilkan dari pabrik di Provinsi Jambi adalah 1.872.000 ton/tahun

Saran

Untuk mempercepat proses dekomposisi TKKS, pencacahan TKKS harus dilakukan dengan mesin pencacah sehingga luas permukaan TKKS menjadi lebih kecil dan mempercepat proses dekomposisi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada PT Sari Aditya Loka-1 Desa Muara Delang Kecamatan Tabir Selatan Kabupaten Merangin, yang telah mengalokasikan tandan kosong kelapa sawit dan areal perkebunannya sebagai bahan penelitian kami.

DAFTAR PUSTAKA

Arafatullah, NA. Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit. www.bangunindonesia.com. Diakses tanggal 24 November 2011.

BPS. 2009. Jambi dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Baharuddin, AS., Wakisake, M., Shirai, Y., Aziz, S.Abd., Rahman, NAA., dan Hassan, MA. 2009.

Com-composting of Empty Fruit Bunches and Partially Treated Palm Oil Mill Effluents I Pilot Scale. International Journal of Agricultural Research 4(2): 69-78. ISSN 1816-4897.

Ditjen PPHP. 2006. Pedoman Pengolahan Limbah Industri Kelapa Sawit. Subdit Pengelolaan

Lingkungan. Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian.

Page 227: RESPON BEBERAPA KULTIVAR DUKU TERHADAP PATOGEN … · epidemi penyakit tumbuhan di alam. ... Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, ... kelembapan udara kurang dari 80% dan

756

Lasmayadi, Edy. 2008. Tankos sebagai Alternatif Pemenuhan Kebutuhan Unsur Hara Tanaman Kelapa Sawit.

Saraswati R. 2011. Bioaktivator Perombak Bahan Organik (Biodekomposer).

http://organikganesha.wordpress.com/2009/10/02/bioaktivator-perombak-bahan-organik-

biodekomposer/. Akses tanggal 6 Juli 2010.

Suriadikarta, DA dan D. Setyorini. 2011. Baku Mutu Pupuk Organik. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. http://Balitanah.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 26 Desember 2011.

Widawati, Sri. 2005. Daya Pacu Aktivator Fungi Asal Kebun Biologi Wamena terhadap

Kematangan Hara Kompos, serta Jumlah Mikroba Pelarut Fosfat dan Penambat Nitrogen. Jurnal Biodiversitas 6(4) : 240-243. ISSN 1412-033X