resiliensi pada istri prajurit tni-au dalam …eprints.ums.ac.id/63039/8/naskah publikasi.pdf ·...
TRANSCRIPT
i
RESILIENSI PADA ISTRI PRAJURIT TNI-AU DALAM MENJALANI
PERNIKAHAN JARAK JAUH
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1
pada Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi
Oleh:
Adita Lintang Kharisma Putri
F 100140105
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
1
RESILIENSI PADA ISTRI PRAJURIT TNI-AU DALAM MENJALANI
PERNIKAHAN JARAK JAUH
ABSTRAK
Resiliensi sangat dibutuhkan bagi istri prajurit TNI-AU dalam menyelesaikan
permasalahan yang menyulitkan ketika menjalani pernikahan jarak jauh. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memahami permasalahan yang dihadapi istri prajurit
TNI-AU serta mendeskripsikan secara mendalam gambaran aspek resiliensi istri
prajurit TNI-AU dalam menjalani pernikahan jarak jauh. Subjek penelitian
berjumlah 6 orang. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam semi terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan jika keenam
subjek memiliki kemampuan resiliensi dalam menghadapi keadaan yang
menyulitkan ketika menjalani pernikahan jarak jauh dengan suaminya, yaitu
keenam subjek berusaha untuk mengalihkan perasaan yang menyulitkan agar
tidak memunculkan emosi negatif dalam melampiaskan perasaannya (regulasi
emosi), mengendalikan keadaan yang menyulitkan agar tidak memunculkan
dorongan untuk berperilaku negatif (kontrol impuls), berkeyakinan dan
berkomitmen untuk dapat menjalani dan menghadapi resiko pernikahan jarak jauh
agar dapat bertahan dalam menghadapi segala tantangan dalam pernikahan
(optimisme), mengetahui dan siap menerima resiko menikah dengan Prajurit TNI-
AU, serta berusaha untuk menjaga hubungan agar tidak timbul resiko yang
merugikan antara kedua belah pihak suami istri (analisis sebab), berusaha
menjalani peran sebagai ibu dan istri yang baik bagi anak-anak dan suami serta
untuk orang-orang sekitar yang membutuhkan (empati), memiliki keyakinan dari
dalam diri untuk dapat menyelesaikan permasalahan (efikasi diri), mampu
mencapai aspek positif dengan memetik hikmah dari setiap kesulitan yang
diterima ketika menjalani pernikahan jarak jauh (reaching out).
Kata kunci: Istri Prajurit TNI-AU, Pernikahan Jarak Jauh, Resiliensi, Wanita
Bekerja.
ABSTRACT
Resilience is needed for TNI-AU soldier’s wife in solving difficult problems
when undergoing long-distance marriage. The purposes of this research is to
understand the problems who faced TNI-AU soldier’s wife and also describe in
depth the image of resilience aspects of TNI-AU soldier's wife in a long-distance
marriage. Subjects of the study were 6 women Data collection method in this
research is deep interview semi-structured. The results showed if the six subjects
have resilience in facing difficult situations when undergoing long-distance
marriage with her husband, the six subjects tried to divert the difficult feeling of
not bringing out negative emotions to release their feelings (emotional regulation),
controlling the difficult situations so that not to bring encourage negative behavior
(impulse control), belief and committed to be able to face the risk of long-distance
marriage so they can survive to face all challenges in marriage (optimism), knows
2
and ready to accept the risks when they are marriage with TNI-AU Soldiers, also
trying to keep the relationship from causing harmful risks between the two
spouses (cause analysis), trying to live the role as a wife and a good mother to the
childrens and husband as well as for people around who need (empathy), having
inner confidence to be able to solving problems (self efficacy), be able to achieve
positive aspects with useful lessons from every difficult who received when
undergoing long-distance marriage (reaching out).
Key words: TNI-AU soldier’s wife, long-distance marriage, resilience, working
women
1. PENDAHULUAN
Setiap pasangan menikah memerlukan suatu pondasi yang kuat untuk
melanggengkan pernikahan yang mereka bina dengan cinta dan kasih sayang
diantara keduanya. Satu-satunya jalan bagi kelanggengan hidup bersama dalam
pernikahan adalah adanya sikap saling menghargai dan memahami diantara suami
maupun istri (Ulfiah, 2016). Namun tidak semua pasangan menikah menjalani
pernikahannya secara berdekatan atau dengan kata lain pasangan suami istri
tinggal di dua daerah yang berbeda (Fikri &Oktavinur, 2017). Pernikahan yang
berlangsung antara suami dan istri yang tinggal di dua daerah yang berbeda itu
disebut dengan pernikahan jarak jauh.
Di Indonesia belum terdapat survey yang pasti terkait dengan berapa
banyak jumlah pasangan yang menjalani pernikahan jarak jauh dari penelitian-
penelitian yang telah dilakukan terdahulu. Ramadhini dan Hendriani (2015) dalam
penelitiannya melakukan pencarian data alternatif melalui media online yaitu
seperti situs Yahoo dan Google untuk menggambarkan berapa banyak fenomena
pernikahan jarak jauh di Indonesia. Melalui situs tersebut, ditemukan sejumlah
pemberitaan terkait dengan pernikahan jarak jauh di Indonesia sepanjang tahun
2014 yaitu ada sebanyak 13 artikel dan sepanjang tahun 2014 terdapat 20 artikel.
Sehingga hal ini dapat menunjukkan adanya fenomena pernikahan jarak jauh di
Indonesia serta terdapat peningkatan data setiap tahunnya.
Pernikahan jarak jauh bukanlah hal yang asing untuk dijalani bagi
pasangan suami istri prajurit TNI-AU. Seorang prajurit TNI-AU harus siap sedia
ditempatkan dimanapun demi melaksanakan tugas dan kewajibannya. Seorang
prajurit TNI-AU harus bersedia tinggal terpisah dengan istri dan anak-anaknya.
3
Sebenarnya, istri prajurit TNI-AU diperbolehkan untuk mengikuti suaminya untuk
berpindah tugas ke lain daerah, namun pada kenyataannya hal itupun juga tidak
dilakukan oleh istri karena berbagai alasan dan pertimbangan.
Kurangnya intensitas kebersamaan antara suami dan istri dapat
mempengaruhi kepuasan perkawinan yang dirasakan. Salah satu kepuasan
perkawinan itu dapat dihasilkan dari adanya kehadiran seorang anak. Namun, istri
yang ditinggal suami untuk bekerja dalam kurun waktu yang cukup lama dan telah
memiliki anak memiliki banyak resiko yang ditimbulkan, seperti ketidak
harmonisan keluarga, pertengkaran, kecurigaan dan ketakutan yang menjadi salah
satu faktor dalam keributan rumah tangga (Handayani, 2016). Suami atau istri
yang tinggal bersama anak-anaknya di rumah akan sangat sulit karena merasa
kurangnya partisipasi salah satu pasangannya dalam membesarkan anak. Pasangan
yang tidak tinggal di rumah dengan anaknya dianggap tidak memiliki kontribusi
terhadap perkembangan anak (Sabbarang, Nasution & Safitri, 2017).
Beberapa peneliti menemukan jika kurangnya keterlibatan ayah dalam
perkembangan anak akan menimbulkan ancaman yang serius bagi perkembangan
anak. Keterlibatan seorang ayah akan membawa kesenangan dan keuntungan bagi
anak. Ayah dapat menjadi contoh keberhasilan bagi anak laki-laki di lingkungan
yang lebih luas dengan memberikan perhatian yang tinggi sebagai model bagi
anak dalam ketekunan, motivasi untuk mencapai prestasi. Jika anak mempunyai
banyak kesempatan untuk mengamati dan meniru sikap ayahnya maka akan
membantu perkembangan, terutama kemampuan diri dalam menyelesaikan
masalah (Dagun, 1990). Menurut Biller (Dagun, 1990) kehadiran serta perhatian
figur seorang ayah untuk anak dapat membantu merealisasikan potensi anak.
Peneliti melakukan wawancara awal pada dua istri Prajurit TNI-AU yang
bekerja dan menjalani pernikahan jarak jauh. Wawancara dengan U dilakukan
pada hari Jum’at, 20 Oktober 2017 di Boyolali dan wawancara dengan K
dilakukan pada hari Minggu 24 Desember 2017 di Magetan. Diperoleh data
bahwa keduanya merasa sedih ketika mendengar suaminya akan dipindah
tugaskan. Selama suaminya dipindah tugaskan ke beberapa wilayah di luar kota
asalnya U dan K mengalami berbagai permasalahan dalam keluarga. Masalah
4
paling menyulitkan yang harus dihadapi U dan K yaitu ketika anak terserang sakit
tetapi tak ada suaminya di rumah. Perbedaan dalam pola pengasuhan anak antara
suami dan istri dirasakan oleh subjek U sehingga sering muncul perselisihan
dalam penerapan pola asuh anak-anaknya. Sedangkan subjek K mengaku jarang
mengalami perselisihan dengan suami meskipun mereka harus berhubungan jarak
jauh. Namun K terkadang merasa kesulitan untuk mengawasi anak-anaknya
seorang diri dan tidak ada yang membantu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah
tangganya. Permasalahan lainnya adalah apabila terjadi kerusakan di rumah
seperti genteng bocor, pompa air mati dan lain sebagainya. Meskipun U dan K
memiliki tanggung jawab di luar rumah yaitu bekerja sebagai pegawai negeri,
keduanya tak merasa kesulitan untuk membagi waktu antara bekerja dan
mengurus anak sehari-hari. Namun U mengaku jika ia akan merasa kesulitan
membagi waktu ketika anaknya sakit dan ia harus memenuhi panggilan suaminya
untuk menghadiri acara kantornya yang melibatkan istri.
Hasil penelitian yang dilakukan Killien dan Brown (Lian & Tam, 2014)
menyatakan jika istri atau seorang ibu cenderung mudah mengalami stress dan
berdampak pada penurunan kesehatan. Oleh sebab itu stress dan konflik peran
perempuan sangat berpengaruh pada kesehatan sehingga memerlukan proses
kognitif yang baik, kemampuan dalam menangani masalah dan juga ketahanan
dalam menghadapinya. Dalam membentuk kondisi kesehatan mental salah satu
faktor yang berperan adalah resiliensi. Kemampuan istri dalam menghadapi
konflik yang ada pada pekerjaan dan rumah tangga tersebut tidak terlepas dari
kemampuan istri untuk menjadi resilien. Resiliensi sangat penting untuk
menentukan bagaimana gaya berfikir seseorang demi mencapai keberhasilan.
Mengingat sosok suami berada jauh dari rumah, seorang istri harus mampu
mengatasi permasalah di rumah tangga sendiri, yang bahkan bisa menimbulkan
stres.
Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan diatas, peneliti ingin
mengetahui: “Bagaimana gambaran resiliensi pada istri prajurit TNI-AU dalam
menjalani pernikahan jarak jauh?” Mengacu pada rumusan masalah tersebut,
5
peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai “Resiliensi pada Istri Prajurit TNI-
AU dalam Menjalani Pernikahan Jarak Jauh.”
2. METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif fenomenologi.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Subjek
yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 6 orang.
Tabel 1. Partisipan Penelitian
No. Informan
Penelitian Usia Pekerjaan
Usia
Pernikahan
Jarak Jauh
Jumlah dan Usia
Anak
1. E ± 46
tahun PNS TNI-AD ± 3 tahun
Jumlah anak 3:
1. Usia ± 17 tahun
2. Usia ± 15 tahun
3. Usia ± 9 tahun
2. RRSM ± 51
tahun Guru TK ± 23 tahun
Jumlah anak 2:
1. Usia ± 28 tahun
2. Usia ± 22 tahun
3. SY ± 47
tahun
WARA
TNI-AU ± 8 tahun
Jumlah anak 3:
1. Usia ± 21 tahun
2. Usia ± 18 tahun
3. Usia ± 12 tahun
4. DSR ± 38
tahun Guru TK ± 2 tahun
Jumlah anak 2:
1. Usia ± 12 tahun
2. Usia ± 5 tahun
5. EKA ± 48
tahun Guru TK ± 7 tahun
Jumlah anak 2:
1. Usia ± 18 tahun
2. Usia ± 12 tahun
6. LRP ± 29
tahun
PNS
(Perawat
Rumah Sakit)
± 2 tahun 6
bulan
Jumlah anak 1:
1. Usia ± 4 tahun
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam
semi terstruktur. Wawancara dilakukan pada istri Prajurit TNI-AU di wilayah
Magetan untuk mengetahui resiliensi dalam menjalani pernikahan jarak jauh,
dalam hal ini adalah ketika menghadapi tekanan kehidupan pernikahan jarak jauh
yang dijalani.
Adapun langkah-langkah dalam analisis data menurut Creswell (2015)
yaitu meliputi, mempersiapkan dan mengorganisasikan data untuk analisis.,
6
mengeksplorasi dan mengkode data (meng-coding), mengode untuk membangun
deskripsi dan tema, merepresentasikan data kualitatif, dan menginterpretasikan
temuan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Permasalahan yang Dihadapi
Berdasarkan hasil wawancara, ada beberapa permasalahan yang terjadi
pada subjek ketika menjalani pernikahan jarak jauh. Ketika pertama kali
mendengar suami akan dipindah tugaskan atau berdinas ke luar kota, keenam
subjek merasakan perasaan gundah. Hal ini diungkapkan oleh satu dari enam
subjek dalam kutipan hasil wawancara, “Yaa pertama..pertama memang was-was
kita yo, kita was-was.. terus ini apa memang kita resah, pertama pertama kita
ditinggal itu adaa adaa pemberitahuan untuk berangkat dinas di.. di.. luar, kita
memang perasaan.. perasaan kita itu was-was juga sedih gitu.” (W/E.161-170).
Permasalahan yang menyulitkan bagi lima dari enam subjek adalah ketika anak
terserang sakit, satu diantaranya diungkapkan oleh subjek EKA sebagai berikut,
“Ada.. banyak sekali. Terutama kalo anak sakit.” (W/EKA. 109-110). Sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Damayanti, Ratnawati dan
Fevriasanty (2016), istri merasa gundah serta pikiran yang kacau ketika menerima
berita tentang penugasan suami. Kendala yang dialami oleh istri tentara yang
berpisah dengan suami karena penugasan salah satunya adalah merawat anak sakit.
Adapun kurangnya dukungan suami sebagai figur ayah bagi anak-
anaknya yang diungkapkan oleh tiga subjek dalam wawancaranya, satu
diantaranya diungkapkan oleh subjek DSR sebagai berikut, “Membimbing anak.
(iter: membimbing anak) ee apalagi anak dengan masa pertumbuhan seperti ee
beda anak laki-laki dengan perempuan. Anak laki-laki lebih banyak memberikan
tantangan dalam mengasuh, membimbing dan mengawasi daripada anak
perempuan. Ketika tidak ada sosok bapak disitu ee kekuatan untuk ee memberikan
pengawasan dan juga pembinaan terhadap anak juga agak lebih sulit dibanding
jika pembinaan itu diberikan langsung oleh seorang ayahnya, seperti
itu.”(W/DSR.206-218). Sebagai wanita bekerja, 3 orang subjek mengaku merasa
kesulitan untuk membagi waktu antara bekerja dan mengurus rumah tangga,
7
“Setiap hari seperti itu, saya mengalami kesulitan membagi antara waktu kerja,
waktu di rumah, waktu membimbing anak…” (W/DSR.235-238). Sesuai dengan
hal tersebut, hasil penelitian yang dilakukan oleh Damayanti, Ratnawati dan
Fevriasanty (2016), kendala dalam merawat buah hati dialami oleh istri tentara
yang berpisah dengan suami karena penugasan. Menurut Biller (Dagun, 1990)
kehadiran serta perhatian figur seorang ayah untuk anak dapat membantu
merealisasikan potensi anak. Sementara itu, ibu yang bekerja memiliki peran
ganda dan bukan merupakan sesuatu yang mudah untuk dijalani (Ermawati, 2016).
Resiko yang dihadapi oleh istri yang bekerja adalah keluarga terabaikan, pikiran
dan tenaga terkuras, sulit menghadapi konflik peran antara ibu rumah tangga dan
wanita bekerja, sering merasakan stres dan beban pikiran, serta berkurangnya
waktu untuk diri sendiri (Lestari, 2017).
Permasalahan terkait dengan perawatan rumah di rasakan oleh seorang
istri ketika tidak ada suami di rumah. Hal ini dirasakan oleh 4 dari 6 subjek, satu
diantaranya diungkapkan oleh subjek RRSM sebagai berikut “…contohnya aja
kalau ada kerusakan apa listrik atau apa air itu mba (iter: hmm) air itu lho (iter:
iyaa hmm) seperti itu kan harus turun ke sumur dalem , saya kan gak mungkin
mengerjakan sendiri (iter: hehe) lalu itu terasa (iter: hehe) hehehe kan berkaitan
dengan apa listrik-listrik kan kami kurang ini lah (iter: laki-laki biasanya) itu aja
yang paling ini kan kalau ada bapaknya enak gitu heheh (iter: hehe) ga perlu
nyuruh orang atau harus ini gitu terutama di malam hari kalau pas ada trouble
listrik kan bingung heheh (iter: oh iya hehe) terutama berkaitan listrik-listrik itu”
(W/RRSM.181-195). Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Damayanti, Ratnawati dan Fevriasanty (2016), persoalan dalam perawatan rumah
juga merupakan bagian yang harus diperhatikan saat suami berada jauh dari
rumah.
Disamping adanya permasalahan yang general atau terjadi pada
keenam subjek. Adapun permasalahan yang menyulitkan dialami hanya oleh salah
seorang subjek saja ketika menjalani pernikahan jarak jauh, yaitu adanya ajakan
perselingkuhan yang dialami oleh subjek RRSM, terbukti dari kutipan hasil
wawancaranya sebagai berikut, “Iya (iter: pernah?) pernah (iter: apa itu te) ya
8
misalnya ada orang lain yang ingin mengajak selingkuh saya gitu lho (iter: oh iya)
tapi tetap saya bertahan diri gitu (iter: oh) heeh (iter: seperti itu) iya sampe
orang itu minta maaf ke suami saya…” (W/RRSM.506-511), dan konflik dengan
ayah mertua yang dialami oleh subjek LRP, terbukti dari kutipan hasil
wawancaranya sebagai berikut, “…Masalah pasti tetep ada gitu kan, kayak
kemaren masalah sama keluarga pihak laki-laki yang membuat aku udah nggak
nyaman, empat tahun aku di sana akhirnya ya nggak, bukan berarti harus
berakhir kan, aku akhirnya aku ngasih keputusan aku gini yaudah ayo kita
mandiri aku bilang gitu, ayok. Entah itu ngekost ngomplek ngontrak atau apalah
aku nggak masalah yang penting ayo kita tu mandiri. Bukan berarti kalau kita
mandiri melupakan orang tua tu enggak. Suatu hari kita misalkan kita jenguk itu
malah bagus daripada kita terus kok setiap hari aku disitu aku nggak nyaman,
bapak nggak nyaman malah jadinya akunya nggak sehat, bapak juga. Ya
akhirnya nggak nggak ada komunikasi kan, udah nggak ada komunikasi akhirnya
yah aku udah nggak kerasan gitu kan itu masalah terberat mungkin saat
menjalani rumah tangga sampe lima tahun.” (W/LRP.177-199).
Sejalan dengan subjek RRSM terkait penolakan ajakan perselingkuhan
yang dilakukannya, Defrain dan Stinnett (Ulfiah, 2016) menyebutkan karakteristik
keluarga yang kukuh, diantaranya memiliki suatu komitmen untuk saling bantu
meraih keberhasilan. Intinya adalah adanya kesetiaan terhadap keluarga dan
kehidupan keluarga menjadi prioritas utama. Sementara itu sejalan dari adanya
konflik dengan mertua yang dialami oleh subjek LRP, Rini (2009)
mengungkapkan jika proses penyesuaian diri istri terkadang muncul berbagai
kendala dikarenakan adanya perbedaan karakter angota keluarga suami dengan
pihak istri. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan ataupun
ketidakberhasilan penyesuaian diri pada individu terhadap permasalahan yang
muncul dalam perkawinan terutama pada pasangan yang tinggal berjauhan,
diantaranya adalah masalah keterbukaan diri.
3.2 Tahapan Resiliensi
Tahapan-tahapan subjek dalam mencapai resiliensi mengacu pada
proses resiliensi yang dikemukakan oleh Coulson (Apriawal, 2012), yaitu yang
9
pertama adalah succumbing (mengalah), dapat dilihat dari perasaan gundah yang
dirasakan keenam subjek dan harus dihadapkan pada permasalahan yang
menyulitkan ketika menjalani pernikahan jarak jauh.
Kedua adalah survival (bertahan), dapat dilihat dari usaha keenam
subjek untuk mengalihkan perasaan gundah dengan aktivitas yang bermanfaat,
pikiran positif dan menahan diri agar tidak timbul emosi negatif, berusaha untuk
mengatasi permasalahannya seorang diri atau dengan bantuan orang lain dan
berusaha untuk mengendalikan keadaan yang menyulitkannya agar tidak
memunculkan dorongan untuk berperilaku negatif.
Ketiga adalah recovery (pemulihan), dapat dilihat dari keenam subjek
yang mulai terbiasa dalam berbagai keadaan yang menyulitkan dan mampu
mengatasi segala kesulitan yang dihadapinya.
Keempat adalah thriving (berkembang dengan pesat), dapat dilihat dari
keenam subjek dapat mencapai aspek positif berupa hikmah dari setiap kesulitan
dan tidak menjadikan setiap kesulitan yang dihadapi sebagai alasan untuk
terpuruk sehingga dapat menjadi lebih baik lagi.
3.3 Keunikan-keunikan Informan Penelitian
Tabel 2. Keunikan Ditinjau dari Pernikahan Jarak Jauh dan Anak
Usia
Pernikahan
Jarak Jauh
Informan
Penelitian
Jumlah dan
Usia Anak Keunikan
0 – 5 tahun E 1. ± 17 tahun
2. ± 15 tahun
3. ± 9 tahun
Pernikahan
Subjek menjaga hubungan
pernikahan jarak jauhnya dengan
membatasi diri untuk tidak
menjalin keakraban dengan rekan
kerja lawan jenis dan berusaha
untuk tidak ikut campur
permasalahan orang lain yang
membuat suaminya tidak senang.
Faktor pembentuk resiliensi
subjek berasal dari dukungan
anak (faktor eksternal).
10
Anak
Subjek mengajarkan dan
mendidik ketiga anaknya untuk
mandiri dalam mengatur waktu
dan saling mengingatkan antar
sesama, sehingga subjek juga
dapat mengatur waktu dan peran
di rumah ataupun di tempat kerja.
DSR 1. ± 12 tahun
2. ± 5 tahun Pernikahan
Subjek menanam rasa optimisme
dan pengharapan-pengharapan
baik pada anak-anaknya agar
selalu sehat selama ayahnya
berada jauh dari mereka.
Faktor pembentuk resiliensi
subjek berasal dari dalam diri
subjek (faktor internal).
Anak
Subjek memberikan keleluasaan
di akhir pekan untuk anak-
anaknya bermain serta mengikuti
keinginan mereka dengan tetap
berada pada pengawasannya.
LRP 1. ± 4 tahun Pernikahan
Subjek sudah berusaha untuk
menuruti apa yang diinginkan
ayah mertuanya, namun hubungan
antar keduanya malah semakin
tidak harmonis hingga tak ada
komunikasi antar keduanya.
Faktor pemmbentuk resiliensi
subjek berasal dari kehadiran
seorang anak (faktor eksternal).
Anak
Diusia anak subjek yang masih
kecil, anak subjek sudah
memahami perasaannya dengan
memberikan ketenangan pada
dirinya ketika terjadi konflik
dengan kakeknya.
11
6 – 10 tahun EKA 1. ± 18 tahun
2. ± 12 tahun Pernikahan
Subjek tidak merasa terbebani
ketika menjalani pernikahan jarak
jauh karena apabila ia mengalami
kesulitan dan membutuhkan
bantuan, suami subjek segera
meminta pertolongan pada rekan
kerjanya untuk membantu subjek.
Faktor pembentuk resiliensi
subjek berasal dari dukungan
suami (faktor eksternal).
Anak
Subjek meluangkan waktu untuk
mengantarkan anak-anaknya
untuk pergi les, pergi ke sekolah
dan lain sebagainya, serta
memberikan kebebasan pada
anaknya untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi.
SY 1. ± 21 tahun
2. ± 18 tahun
3. ± 12 tahun
Pernikahan
Subjek tidak pernah menceritakan
permasalahan yang terjadi pada
dirinya ke orang lain dan hanya
menceritakan semua masalah
pada Allah dan suaminya saja.
Faktor pembentuk resiliensi
subjek berasal dari keimanan
yang dimiliki subjek (faktor
religiusitas).
Anak
Subjek berusaha menjalani
kesulitan dengan menganggap
segala kesulitan itu mudah, agar
lancar secara bergantian
menjenguk kedua anaknya yang
bersekolah di Banyuwangi dan
Ponorogo, serta subjek
memberikan bimbingan belajar
pada anak terakhirnya sepulang
dari bekerja.
12
Lebih dari
20 tahun
RRSM 1. ± 28 tahun
2. ± 22 tahun Pernikahan
Subjek menolak dan bertahan diri
dari ajakan perselingkuhan
tetangganya dengan menguatkan
keimanan dan tetap menjalin
hubungan baik dengan istri pelaku
ajakan perselingkuhan tersebut
meskipun istri pelaku sudah
sangat berburuk sangka pada
subjek.
Faktor pembentuk resiliensi
subjek berasal dari bentuk
kemandirian yang dimiliki oleh
subjek saat mengatasi segala
kesulitannya (faktor internal).
Anak
Subjek telah berhasil mendidik
kedua anaknya hingga
mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak,
mengingat subjek sudah
menjalani pernikahan jarak jauh
dengan suaminya cukup lama,
sehingga subjek mengurus dan
mendidik kedua anaknya seorang
diri tanpa dibantu oleh suami pun
dalam waktu yang relatif lama
pula.
4. PENUTUP
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan ada beberapa
permasalahan yang terjadi ketika menjalani pernikahan jarak jauh, yaitu perasaan
gundah, anak sakit, dukungan suami sebagai figur ayah, membagi waktu, ajakan
perselingkuhan, konflik dengan mertua, kerusakan di rumah.
Keenam subjek mampu mencapai resiliensi setelah menghadapi keadaan
yang menyulitkan ketika menjalani pernikahan jarak jauh dengan suami, yaitu
keenam subjek berusaha untuk mengalihkan perasaan yang menyulitkan agar
tidak memunculkan emosi negatif dalam melampiaskan perasaannya (regulasi
emosi), mengendalikan keadaan yang menyulitkan agar tidak memunculkan
dorongan untuk berperilaku negatif (kontrol impuls), berkeyakinan dan
13
berkomitmen untuk dapat menjalani dan menghadapi resiko pernikahan jarak jauh
agar dapat bertahan dalam menghadapi segala tantangan dalam pernikahan
(optimisme), mengetahui dan siap menerima resiko menikah dengan Prajurit TNI-
AU, serta berusaha untuk menjaga hubungan agar tidak timbul resiko yang
merugikan antara kedua belah pihak suami istri (analisis sebab), berusaha
menjalani peran sebagai ibu dan istri yang baik bagi anak-anak dan suami serta
untuk orang-orang sekitar yang membutuhkan (empati), memiliki keyakinan dari
dalam diri untuk dapat menyelesaikan permasalahan (efikasi diri), mampu
mencapai aspek positif dengan memetik hikmah dari setiap kesulitan yang
diterima ketika menjalani pernikahan jarak jauh (reaching out).
Adapun tahapan resiliensi dari keenam subjek, yaitu merasakan perasaan
gundah dan harus dihadapkan pada permasalahan yang menyulitkan ketika
menjalani pernikahan jarak jauh (mengalah), berusaha untuk mengatasi
permasalahannya seorang diri atau dengan bantuan orang lain dan berusaha untuk
mengendalikan keadaan yang menyulitkannya agar tidak memunculkan dorongan
untuk berperilaku negatif (bertahan), terbiasa dalam berbagai keadaan yang
menyulitkan (pemulihan) dan mencapai aspek positif berupa hikmah dari setiap
kesulitan dan tidak menjadikan setiap kesulitan yang dihadapi sebagai alasan
untuk terpuruk sehingga dapat menjadi lebih baik lagi (berkembang dengan pesat).
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka peneliti memberikan
saran kepada berbagai pihak:
Bagi Istri Prajurit TNI-AU Saran bagi istri prajurit TNI-AU untuk tetap
menjaga komitmen dan kesetiaan yang sudah dibangun sejak awal pernikahan
dengan suami. Pasangan pernikahan jarak jauh diharapkan untuk dapat saling
tebuka satu sama lain dan menjaga komunikasi yang baik agar mengurangi
konflik yang tidak diinginkan terjadi.
PIA Ardhya Garini Saran bagi PIA Ardhya Garini selaku organisasi istri
prajurit TNI-AU juga turut memberikan pembekalan pada istri prajurit TNI-AU
yang menjalani pernikahan jarak jauh agar lebih siap dalam menghadapi konflik
rumah tangga yang tidak diinginkan dalam rumah tangga agar tercipta
keharmonisan dalam keluarga.
14
Bagi Peneliti Selanjutnya Saran bagi peneliti selanjutnya untuk lebih
mengembangkan penelitian ini dengan menggali lebih dalam mengenai resiliensi
pada istri prajurit TNI-AU dalam menjalani pernikahan jarak jauh secara
keseluruhan. Diharapkan peneliti selanjutnya mendapatkan data-data yang lebih
lengkap dan bervariasi sehingga dapat berguna tidak hanya bagi istri prajurit TNI-
AU saja tetapi bagi seluruh kalangan.
DAFTAR PUSTAKA
Apriawal, J. (2012). Resiliensi pada karyawan yang mengalami pemutusan
hubungan kerja (phk). Empathy, 1(1), 94-95. Diunduh dari:
www.jogjapress.com/.
Creswell, J. W. (2015). Research design pendekatan metode kuantitatif, kualitatif
dan campuran. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Dagun, S. M. (1990). Psikologi keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.
Damayanti, F. E., Ratnawati, R., & Fevriasanty, F. I. (2016). Pengalaman istri
tentara (tni-ad) yang tinggal di batalyonsaat suami bertugas di daerah
rawan konflik. Jurnal Ilmu Keperawatan, 4(2), 129, 133. Diunduh dari
http://jik.ub.ac.id/.
Fikri, H. T., & Oktavinur, S. S. (2017). Kebahagiaan pada istri yang menjalani
pernikahan jarak jauh. Jurnal Psyche, 10(1), 19. Diunduh dari
http://lppm.upiyptk.ac.id/.
Handayani, Y. (2016). Komitmen, conflict resolution, dan kepuasan perkawinan
pad aistri yang menjalani hubungan pernikahan jarak jauh (karyawan
schlumberger balikpapan). Psikoborneo, 4(3), 519-521. Diunduh dari
http://ejournal.psikologi.fisip-unmul.ac.id/.
Lestari, Y. I. (2017). Fear of success pada perempuan bekerja ditinjau dari konflik
peran ganda dan hardiness. Jurnal Psikologi, 13(1), 57. Diunduh dari:
http://ejournal.uin-suska.ac.id/.
Lian, S.-Y., & Tam, C. L. (2014). Work, stress, coping strategies and resilience: a
study among working females. Asian Social Science, 10(12), 43-44.
doi:10.5539/ass.v10n12p41.
Ramadhini, S., & Hendriani, W. (2015). Gambaran trust pada wanita dewasa awal
yang sedang menjalani long distance marriage. Jurnal Psikologi Klinis dan
Kesehatan Mental, 4(1), 16. Diunduh dari: www.journal.unair.ac.id.
Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Keys to Finding Your
Inner Strength and Overcoming Life's Hurdles. New York: Broadway
Books.
15
Rini, R. I. (2009). Hubungan antara keterbukaan diri dengan penyesuaian
perkawinan pada pasangan suami istri yang tinggal terpisah. Psycho Idea,
7(2), 2-4. Diunduh dari http://jurnalnasional.ump.ac.id/.
Sabarrang, A. A., Nasution, Z., & Safitri, R. (2017). The role of smartphone for
improving the quality of marital communication in the commuter marriage
couple (case study on postraduate students in malang city). International
Journal of Technical Research and Applications, 5(1), 67. Diunduh dari
http://ijtra.com .
Sari, D. A., & Wulandari, D. A. (2015). Resiliensi diri dalam menghadapi tekanan
kehidupan (studi pada istri anggota TNI Angkatan Darat). Psycho Idea,
13(1), 16-17. Diunduh dari: https://jurnalnasional.ump.ac.id/.
Ulfiah. (2016). Psikologi keluarga. Bogor: Ghalia Indonesia.
Widuri, E. L. (2012). Regulasi emosi dan resiliensi pada mahasiswa tahun
pertama. Humanitas, 9(2), 149-150, 154. doi 10.26555/humanitas.v9i2.341.